Anda di halaman 1dari 149

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI

BAGI NARAPIDANA TINDAK PIDANA NARKOTIKA


BERDASARKAN SISTEM PEMASYARAKATAN

PENULISAN HUKUM ( TESIS)

Disusun Sebagai Syarat Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Oleh

ESTER CLAUDIA PAKPAHAN

14-021-900-19

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

2018
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Problematika Pelaksanaan Pemberian Remisi


Bagi Narapidana Tindak Pidana Narkotika
Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia

OLEH

Ester Claudia Pakpahan

14-021-900-19

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Disetujui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

(Dr. Mompang L. Panggabean SH., MHum) (Dr. (iur.) Antonius P.S. Wibowo, SH MH)

Mengetahui,

Ketua Program Kekhususan Pidana

(Dr. Mompang L. Panggabean SH., MHum)

i
LEMBAR PENGESAHAN

Problematika Pelaksanaan Pemberian Remisi


Bagi Narapidana Tindak Pidana Narkotika
Berdasarkan Sistem Pemasyarakatan Di Indonesia

OLEH

Ester Claudia Pakpahan

14-021-900-19

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Magister Ilmu Hukum

Disahkan oleh :

Penguji I

(Dr. Mompang L. Panggabean SH., MHum)

Penguji II

(Dr. (iur.) Antonius P.S. Wibowo, SH MH)

Penguji III

(Dr. Gindo E.L Tobing, S.H., M.H)

ii
ABSTRAK
e InggrisKejahatan Narkotika tercantum dalam Bab XV Pasal 111 hingga Pasal 148 UU No
35/2009 yang merupakan ketentuan khusus. Ketentuan remisi sejak diberlakukannya KUHP
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 yang terakhir diubah dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang menyebabkan banyak masalah dalam
pelaksanaannya. Masalah tentang pengembangan remisi dan problematika remisi kemudian
diangkat oleh penulis sebagai bahan studi dalam tesis ini.
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian normatif empiris, dimana penulis
mengkaji penerapan aturan tentang hak remisi bagi narapidana dan masalah yang dihadapi
dalam hal remisi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, untuk menggambarkan suatu
perkembangan situasi hukum. remisi remisi dan remisi di Rutan Pondok Bambu Jakarta
Timur.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32/1999, remisi diberikan hanya berdasarkan masa
pidana telah dilaksanakan, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 diubah
dengan ketentuan tahanan yang berbeda. Kasus-kasus tindak pidana umum dengan tindak
pidana khusus, dalam hal ini kasus kasus narkotika diperlukan untuk memiliki perilaku baik
juga memiliki sepertiga dari hukuman penjara yang dikenakan, persyaratan remisi untuk
Narkotika Narkotika narapidana diperketat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 2012 dalam peraturan narapidana narkotika yang dihukum lebih dari 5
tahun wajib menjadi justice collaborator untuk mendapatkan remisi
Ada berbagai masalah yang bermasalah dalam memberikan remisi bagi narapidana
kasus narkotika yang kesulitan untuk menjadi justice collaborator, jumlah narapidana dan
petugas lapas yang tidak seimbang juga kurangnya sosialisasi tentang hak narapidana, dan
adanya kebijakan penjara untuk membuat surat permohonan justice collaborator pada
lembaga penegak hukum lainnya tanpa dasar hukum yang jelas baik dalam bentuk peraturan
pemerintah, peraturan menteri atau keputusan direktur jenderal pemasyarakatan menurut
penulis adalah masalah dalam pelaksanaan remisi
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti, mengenai kondisi remisi seperti yang diatur
sekarang adalah baik tetapi dalam kasus memberikan status justice collaborator harus ada
pemahaman antara penyidik, jaksa dan hakim tentang kriteria siapa saja yang berhak menjadi
justice collaborator karena dengan kriteria "bukan aktor utama" tidak cukup. Ada aturan
yang perlu ditambahkan yaitu batas maksimum bukti untuk bisa mendapatkan status
kolaborator keadilan
Perlu adanya sosialisasi mengenai perlindungan hukum bagi justice collaborator mulai
dari tahap penyidikan sehingga tidak ada ketakutan bagi mereka yang ingin membantu
penegak hukum. Sekalipun memanisme pengajuan surat permohonan justice collaborator
oleh pihak rutan ke penegak hukum dapat berpengaruh positif terhadap kepadatan rutan
namun hendaknya ada aturan hukum yang tegas untuk mekanisme itu

Kata kunci : Narapidana, Narkotika, Problematika, Remisi

iii
Abstract

Narcotics Crime is set forth in Chapter XV Article 111 up to Article 148 of Act No 35 /
2009 which is a special provision. The provision of remission since the enactment of the
Penal Code is regulated in Government Regulation No. 32 of 1999 which was last amended
in Government Regulation Number 99 Year 2012 which caused many problems in its
implementation. The problem concerning the development of remission and problematics of
remission is then raised by the authors as the study material in this thesis.
The type of research that the author uses is empirical normative research, where the
authors review the application of rules on the right of remission for prisoners and the
problems faced in terms of remission.This research is a descriptive research, to describe a
legal situation development of remission and remission problematics remission in Rutan
Pondok Bambu East Jakarta.
Based on Government Regulation Number 32/ 1999, remission is given only based on
the time that the convict has been executed, with Government Regulation Number 28 of 2006
changed with the provision of different prisoners Cases of general criminal acts with special
criminal acts, in this case narcotics cases is required to have good behavior also has one third
of imprisonment imposed, the requirement of remission for Narcotics Narcotics inmate is
tightened with the issuance of Government Regulation No. 99 Year 2012 in this regulation of
narcotics prisoner who convicted more than 5 years are obliged to become justice
collaborator to get remission
There are various issues that are problematic in giving remission for inmate of narcotics
case that is difficulty for being justice collaborator, unbalanced number of inmate and prison
officer also lack of socialization about the right of prisoner, and the existence of policy of
prisons to ask application letter of justice collaborator to other law enforcement agencies
without any clear legal basis either in the form of government regulation, ministerial
regulation or decision of director general of correction according to the author is a problem in
the implementation of remission
Suggestions that can be given by the researchers, regarding the condition of remission
as arranged now is good but in the case of giving the status of justice collaborator there must
be an understanding between the investigator, the prosecutor and the judge about the criteria
of anyone who is entitled to be justice collaborator because with the criteria "not the main
actors" is not enough. There are rules that need to be added that is the maximum limit of
evidence to be able to get the status of justice collaborator.
There needs to be socialization of legal protection for the justice collaborator from the
investigation stage so there is no fear for those who want to help law enforcement. Although
the manifestation of the application letter of justice collaborator by the prison to law enforcer
can have a positive effect on the density of the rutan but there should be clear rules for that
mechanism.

Keywords: Inmates, Narcotic, Problematical Remission

iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 4
1.3 Ruang Lingkup Penelitian........................................................................................4
1.4 Tujuan Penelitian.....................................................................................................6
1.5 Manfaat Penelitian...................................................................................................6
1.6 Kerangka Teori.........................................................................................................7
1.7 Definisi Operasional...............................................................................................15
1.8 Metode Penelitian...................................................................................................18
1.9 Sistematika Penulisan.............................................................................................21

BAB II TINJAUAN TENTANG ISTILAH PIDANA, NARKOTIKA, LEMBAGA


PEMASYARAKATAN DAN REMISI
2.1 Istilah Pidana.................................................................................................23
2.1.1 Pengertian Pidana...............................................................................................23
2.1.2 Unsur-unsur Tindak Pidana.................................................................................26
2.1.3 Pertanggung Jawaban Pidana.............................................................................32
2.2 Istilah Narkotika.................................................................................................36
2.2.1 Pengertian Narkotika..........................................................................................36
2.2.2 Tindak Pidana Narkotika....................................................................................38
2.2.3 Subjek Hukum Tindak Pidana Narkotika.........................................................39
2.3 Istilah Lembaga Pemasyarakatan.....................................................................42
2.3.1 Pengertian Lembaga Pemasyarakatan..............................................................42
2.3.2 Visi dan Misi Lembaga Pemasyarakatan.........................................................42
2.3.3 Sistem Pembinaan Pemasyarakatan.................................................................45
2.4 Istilah Remisi...................................................................................................46
2.4.1 Pengertian Remisi...........................................................................................46
2.4.2 Jenis-Jenis Remisi...........................................................................................47
2.4.3 Besaran Remisi................................................................................................49
2.4.4 Penghitungan Masa Pidana Sebagai Dasar Pemberian Remisi.......................52
2.4.5 Pengecualian Remisi.......................................................................................53

v
BAB III SISTEM PELAKSANAAN PIDANA PENJARA DAN PERKEMBANGAN
PENGATURAN REMISI DI INDONESIA

3.1 Perkembangan Sistem Pelaksanaan Pidana di Dunia.....................................54


3.1.1 Pelaksanaan Pidana Penjara Berdasarkan Konsep Retributif.........................54
3.1.2 Pelaksanaan Pidana Penjara Berdasarkan Konsep Utilitarian........................58
3.1.3 Pelaksanaan Pidana Penjara Berdasarkan Konsep Integratif..........................59
3.2 Perkembangan Sistem Pelaksanaan Pidana di Indonesia................................61
3.2.1 Pelaksanaan Pidana Penjara Zaman Kerajaan.................................................61
3.2.2 Pelaksanaan Pidana Penjara Zaman Penjajahan..............................................61
3.2.3 Pelaksanaan Pidana Penjara Pasca Kemerdekaan.............................................70
3.3 Perkembangan Dasar Hukum Pemberian Remisi Setelah Lahirnya UU
Pemasyarakatan.................................................................................................82

BAB IV PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA


NARKOTIKA DI RUMAH TAHANAN WANITA KELAS IIA PONDOK
BAMBU JAKARTA TIMUR

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian...............................................................................91


4.1.1 Sejarah Rutan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu................................................91
4.1.2 Struktur Organisasi Rutan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu.............................91
4.1.3 Sarana dan Prasarana Rutan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu..........................92
4.1.4 Keadaan Narapidana Rutan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu..........................94
4.2 Pemberian Remisi Kepada Narapidana Rutan Wanita Kelas IIA
Pondok Bambu....................................................................................................95
4.2.1 Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana Narkotika Rutan Wanita Kelas
IIA Pondok Bambu..............................................................................................95
4.2.2 Kendala Dalam Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana Narkotika Rutan
Pondok Bambu...................................................................................................113
4.2.3 Upaya Yang Dilakukan dan Searusnya Dilakukan Pihak Rutan Wanita Kelas IIA
Pondok Bambu Untuk Mengatasi Kendala Remisi ......................................... 117
4.3 Syarat Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Narkotika..............................118
4.3.1 Perubahan Syarat Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Narkotika...................
4.4 Kebijakan Pemberia Remisi Narapidana Narkotika Berdasarkan Sistem
Pemasyarakatan.................................................................................................124
4.5 Kebijakan Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Narkotika Dari Perspektif Hak
Asasi Manusia....................................................................................................127

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan...........................................................................................................130
5.2 Saran......................................................................................................................131

vi
vii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyalahgunaan narkotika di Indonesia merupakan masalah yang sangat

mengkhawatirkan. Indonesia sekarang ini tidak hanya sebagai daerah transit maupun

pemasaran, melainkan sudah menjadi daerah produsen narkotika. Hal ini dibuktikan dengan

terungkapnya pabrik-pabrik pembuatan narkotika di Indonesia dan terungkapnya impor

precursor atau bahan pembuat narkotika dalam bentuk besar dari luar negeri ke Indonesia.

Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu tindakan kejahatan dan pelanggaran yang

mengancam keselamatan baik fisik maupun jiwa si pemakai dan juga terhadap masyarakat

disekitar secara sosial. Peredaran narkotika menimbulkan keresahan dan ketakutan dalam

kehidupan masyarakat terutama bagi generasi muda bangsa. Menyadari sedemikian besarnya

dampak yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan narkotika, Pemerintah telah mengeluarkan

produk hukum yang diharapkan mampu untuk mencegah dan memberantas tindak pidana

narkotika melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang telah

diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika .

Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi yang sering digunakan untuk sarana

menanggulangi masalah kejahatan. Penggunaan pidana penjara sebagai cara untuk menghukum

para pelaku tindak pidana baru di mulai pada akhir abad ke – 18 yang bersumber pada paham

individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang

peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dianggap kejam.

Atas dasar hal tersebut maka pidana penjara yang merupakan primadona dalam sistem sanksi

pidana yang paling sering dijatuhkan oleh hakim dalam memutuskan perkara termasuk dalam

tindak pidana narkotika

1
2

Sebagaimana diketahui bahwa Sistem Pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini,

secara konseptual dan historis sangat berbeda dengan apa yang berlaku dalam Sistem

Kepenjaraan. Perbedaan dua sistem tersebut memberi implikasi perbedaan dalam cara-cara

pembinaan dan bimbingan yang dilakukan, disebabkan perbedaan tujuan yang ingin dicapai.

Pemasyarakatan adalah suatu proses therapeutic1 di mana si narapidana pada waktu

masuk Lembaga Pemasyarakatan (untuk selanjutnya disebut Lapas) atau Rumah Tahanan

Negara (untuk selanjutnya disebut Rutan) dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat

sekitarnya, dan mempunyai hubungan yang negatif dengan masyarakat. Sejauh itu narapidana

lalu mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam masyarakat,

sehingga pada akhirnya narapidana dengan masyarakat sekelilingnya merupakan suatu

keutuhan dan keserasian (keharmonisan) hidup dengan penghidupan, tersembuhkan dari segi-

segi yang merugikan (negatif). 2 Tujuan penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan merupakan

pembentukan warga binaan menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki

diri, tidak mengulangi tindak pidana, kembali ke masyarakat, aktif dalam pembangunan,

hidup wajar sebagai warganegara dan bertanggung jawab.3

Fungsi penyelenggaraan Sistem Pemasyarakatan adalah menjadikan warga binaan

menyatu (integral) dengan sehat dalam masyarakat dan dapat berperan bebas serta

bertanggungjawab. Asas yang dianut Sistem Pemasyarakatan menempatkan narapidana

1Proses ini merupakan sebuah program yang memadukan berbagai metode meliputi aspek medis, sosial,
kerohanian dan keterampilan digunakan dalam pelayanan dan rehabilitasi terpadu, pada mulanya digunakan
hanya bagi pasien-pasien psikiatri, mulai dikembangkan setelah perang dunia kedua. Metode Therapeutic
merupakan sebuah keluarga yang terdiri atas Orang-Orang yang mempunyai masalah dan tujuan yang sama
yaitu menolong diri sendiri dan sesama oleh seseOrang dari mereka sehingga terjadi perubahan tingkah laku dari
yang negatif kearah tingkah laku yang positif, diunduh dari :
https://lapasnarkotika.files.wordpress.com/2008/07/therapeutic-community-rev1_1doc.pdf. Pada 20 Oktober
2016, Bekasi Jawa Barat.
2Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983,
hlm. 116.
3Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Nomor : 77,
Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3614.
3

sebagai subjek yang dipandang selayaknya manusia yang patut di lindungi hak-haknya.

pencerminan akan akan penghargaan terhadap hak warga binaan terkandung dalam

ketentuan Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Permasyarakatan yang

menyebutkan bahwa setiap narapidana mempunyai hak sebagai berikut :

a) Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya.


b) Mendapatkan perawatan, baik perawatan jasmani maupun rohani
c) Mendapatkan pendidikan dan pengajaran
d) Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
e) Menyampaikan keluhan
f) Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang
tidak dilarang.
g) Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
h) Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau Orang tertentu lainnya.
i) Mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
j) Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk Cuti Mengunjungi Keluarga
(CMK).
k) Mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB)
l) Mendapatkan Cuti Menjelang Bebas (CMB) dan Hak untuk mendapatkan Cuti
Bersyarat (CB).
m) Mendapatkan hak-hak lain sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Jumlah Narapidana di seluruh Indonesia saat ini adalah 222.000 orang sementara

kapasitas Lapas hanya 125.000 orang, ini sudah overcapacity dari 222.000 orang tersebut

106.000 orang merupakan narapidana kasus narkotika dan psikotropika, 74.000 pengguna

dan 32.000 bandar.4 Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa sistem pemasyarakatan tidak

dapat berkontribusi banyak dalam hal pencegahan tindak pidana narkotika.

Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan,

tidak lain merupakan salah satu upaya pemerintah dalam melaksanakan perlindungan,

pemenuhan dan penagakan serta penghormatan dan perlindungan hak warga binaan

pemasyarakatan. Hal tersebut ternyata tidak begitu sejalan dengan semangat pemberantasan

4 Penghuni Lapas Di Indonesia di Dominasi Napi Narkotika, dikutip dari laman :


https://www.google.co.id/amp/s/nasional.sindonews.com/newsread/1205976/13/penghuni-lapas-di-indonesia-
didominasi-napi-kasus-narkoba-1495035513, Pada Tanggal 1 November 2017.
4

tindak pidana narkotika karena narapidana narkotika mendapat perlakuan yang sama dengan

narapidana lain dan pengurangan masa pidana atau remisi.

Dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang

pemasyarakatan yang pada saat itu penyalagunaan narkotika belum begitu marak terjadi,

tentunya jika dikondisikan pada masa kini, semangat pemasyarakatan itu tidak sejalan lagi

dengan tingginya tingkat peredaran narkotika yang terjadi. Atas dasar hal tersebut

diterbitkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang merubah ketentuan-

ketentuan mengenai tata cara pemberian hak warga binaan, kenyataannya perubahan

peraturan pemerintah ini menimbulkan berbagai permasalahan di dalamnya.

Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji

lebih lanjut mengenai kebijakan pemberian remisi bagi warga binaan pelaku kejahatan luar

biasa maka penulis memutuskan untuk melakukan penelitian dengan judul :

PROBLEMATIKA PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA TINDAK PIDANA

NARKOTIKA BERDASARKAN SISTEM PEMASYARAKATAN

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimanakah perkembangan pengaturan pemberian remisi setelah berlakunya

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan?

2. Problematika apa saja yang terjadi dalam hal pemberian remisi bagi pelaku tindak

pidana narkotika?

1.3 Ruang Lingkup Penelitian

Pemerintah saat ini sedang memikirkan cara untuk mengurangi tingkat kepadatan di

lembaga pemasyarakatan dengan membuat beberapa pembaruan mulai dari sistem

pengelolaan lembaga pemasyarakatan sampai kepada pembaruan terhadap peraturan yang

berkaitan langsung dengan jumlah narapidana salah satunya dengan mengubah klausul
5

peraturan yang isinya memperketat syarat hak memperoleh remisi bagi narapidana pelaku

korupsi, tindak pidana narkotika, terorisme, pelanggaran hak asasi manusia serta kejahatan

transnasional lainnya.5

Lembaga pemasyarakatan merupakan subsistem dari penyelenggaran hukum pidana

uang secara keseluruhan tidak dapat dipikirkan secara terpisah dari tatanan sistem peradilan

pidana terpadu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pembina

narapidana sekaligus pula melakukan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak asasi

manusia.6

Sebagaimana disebutkan diatas pemasyarakatan sebagai subsistem tata peradilan

pidana sangat dipengaruhi oleh kondisi perubahan dalam masyarakat, hal ini bermuara pada

semakin tumbuhnya berbagai bentuk tindak kriminalitas.

Tidak dipungkiri perubahan masyarakat dan tumbuhnya berbagai tindak kriminalitas

yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa menimbulkan tantangan baru bagi

sistem pemasyarakatan sebagai bagian suatu sistem penegakan hukum yang wajib

menjunjung tinggi hak asasi manusia namun disisi lain juga harus memenuhi rasa keadilan

masyarakat.

Mengingat begitu luasnya cakupan yang akan dibahas maka penulis memberikan

batasan ruang lingkup pembahasan dalam penulisan hukum kali ini yaitu :

1. Membatasi seputar perkembangan aturanpemberian remisi setelah berlakunya

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

5 Mula Akmal, Managemen Penjara Harus Ditata Ulang, Dikutip dari laman : http://koran-
sindo.com/page/news/2016-04-25/0/1/Manajemen_Lapas_Harus_Ditata_Ulang, Pada 11 Oktober 2017, di
Bekasi
6 Diapari Sibatangkayu, Kelayakan Privatisasi Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia, Tesis FISIP
Universitas Indonesia, Depok Jawa Barat, 2008, hlm.15
6

2. Membatasi seputar problematika dalam pelaksanaan pemberian remisi bagi

narapidana pelaku tindak pidana narkotika di Rumah Tahanan Kelas II A Pondok

Bambu.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan adalah

sebagai berikut:

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk memberikan kontribusi pengetahuan bagi ilmu pengetahuan khususnya hukum

pidana mengenai hak memperoleh remisi bagi narapidana dalam sistem pemasyarakatan .

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mendeskripsikan dan pemberian remisi setelah berlakunya Undang-undang

Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

2. Untuk mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan pemberian remisi bagi narapidana

pelaku tindak pidana narkotika sekaligus mendeskripsikan problematikanya?

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang penulis harap dapat terpenuhi dengan adanya penulisan hukum

ini adalah :

1.5.1 Manfaat Umum

Tulisan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam meningkatkan wawasan

serta pengetahuan yang berkaitan dengan hak memperoleh remisi khususnya bagi narapidana

pelaku kejahatan luar biasa, disamping itu karya ini dapat dijadikan referensi dalam karya

ilmiah hukum pidana yang memiliki kaitan dengan remisi dalam sistem pemasyarakatan

1.5.2 Manfaat Khusus


7

Tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi para pemangku jabatan yang memiliki tugas

dan fungsi merumuskan aturan mengenai syarat dan tata cara memperoleh remisi agar kelak

konsisten membuat suatu aturan yang jelas guna melindungi masyarakat umum dan

memperhitungkan nasib narapidana agar sejalan dengan amanat sistem pemasyarakatan.

1.6 Kerangka Teori

1.6.1 Teori Tujuan Pemidanaan

Semua pemikiran mengenai pemidanaan termasuk pemenjaraan bertujuan untuk

mengulas hakikat pidana sebagai suatu rasa sakit (derita) dan kegunaannya di masa

mendatang, khususnya untuk pembaharuan hukum pidana. Pada hakikatnya konsepsi dari

teori-teori tentang tujuan pemidanaan tidak jauh berbeda, oleh karena itu uraian mengenai

teori tujuan pemidanaan akan diuraikan berikut ini :

1. Teori Absolute atau teori pembalasan (Vergeldings theorien).

Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena Orang telah melakukan kejahatan. Pidana

sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang

melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri.

Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori

absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan

adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel

Kant dalam bukunya Filosophy of Law bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata

sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri

maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang

bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharusnya menerima ganjaran

seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota

masyarkat. Itu sebabnya teori ini disebut juga teori pembalasan.


8

Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut: “Teori

pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti

memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk

dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah

perlu memikirkan manfaat penjatuhan pidana”.

Apabila manfaat penjatuhan pidana ini tidak perlu dipikirkan sebagaimana

dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi

sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan

yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan

nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina

si pelaku kejahatan.

Ada beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O.

Cristiansen, yaitu: 7

a. tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan;

b.  pembalasan merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan

lain, misalnya kesejahteraan rakyat;

c.  kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana;

d.  pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat;

e.   pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak

untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali pelanggar.

2. Teori Relatif atau teori tujuan (Doel theorien)

Para penganut teori ini memandang pidana sebagai sesuatu yang dapat digunakan

untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah maupun yang

berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi atau mencegah penjahat

7 Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana: Alumni, Bandung,1992, hlm. 11.
9

potensial, akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik. 8 Dasar pembenaran dari adanya

pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est

(karena orang membuat kesalahan)

Perbedaan ciri-ciri pokok atau karakteristik antara teori pembalasan dan teori tujuan

dikemukakan pula secara terperinci oleh Karl O. Christiansen sebagai berikut :9

1. Pada teori pembalasan:

1) Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan;

2) Pembalasan adalah tujuan utama dan didalamnya tidak mengandung sarana-sarana

untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; dan

4) Pidana melihat kebelakang ia merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya

tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.

2. Pada teori tujuan:

a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);

b. Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai

tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat;

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si

pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk

adanya pidana;

d. pidana harus diterapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan

kejahatan; dan

e. pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur

pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak

membantu pencegahan kejahataan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.

8 Muladi. Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bndung, 2008, hlm.58


9 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm.50
10

Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan antara

istilah prevensi umum (general deterrence) dan prevensi khusus (special deterrence).

Dengan prevensi umum dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya,

artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah

laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan

dengan prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan

kejahatan itu ingin dicapai dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak

melakukan tindak pidana lagi.

Teori tujuan ini berasas pada tiga tujuan utama pemindanaan yaitu preventif,

detterence, dan refomatif. Tujuan preventif (prevention) untuk melindungi masyarakat

dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Tujuan menakuti

(detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku

agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan

tujuan perubahan (reformation) yaitu diharapkan adanya perbaikan dari dalam diri pelaku

sebagai dampak lanjutan dari rasa takut tersebut. 10

3. Teori Gabungan (Vemegings Theorien).

Teori gabungan ini merupakan teori yang bersifat plural karena bersifat gabungan

dari teori-teori sebelumnya (teori retributif dan utilitarian), oleh karenanya sering disebut

sebagai teori integratif.11

Pandangan ini menganjurkan adanya kemungkinan untuk mengadakan artikulasi

terhadap teori pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus retribution

dan yang bersifat "utilitarian" misalnya pencegahan dan rehabilitasi yang semuanya

dilihat sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam rencana pemidanaan. 12 Pidana

dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan

10 Ibid.
11Muladi, Op.Cit. 53
12 Muladi, Ibid, hlm. 52
11

suatu cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali terpidana ke dalam

masyarakat. Hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap masyarakat dan

pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum.

Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-

hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan

dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima

kembali dalam masyarakat.

Sebagai konsekuensi dianutnya aliran ini maka penjatuhan pidana oleh hakim

mengandung sifat :

1. Kemanusiaan dalam arti penjatuhan pidana yang dilakukan oleh hakim harus

menjunjung tinggi harkat dan martabat pelaku kejahaatan

2. Edukatif dalam arti bahwa penjatuhan pidan tersebut mampu membuat pelaku

menyadari kesalahan yang diperbuatnya menumbuhkan jiwa yang positif dan

konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.

3. Keadilan dalam arti bahwa penjatuhan pdana harus dirasa adil baik oleh pelaku, korban

maupun oleh masyarakat.13

1.6.2. Hukum Pelaksanaan Pidana

Menurut J.M. van Bemmelen, Penitentiere Recht adalah hukum yang berkenaan

dengan tujuan, daya kerja dan organisasi dari lembaga-lembaga pemidanaan.Menurut P.A.F.

Lamintang, Hukum Penitensier adalah keseluruhan dari norma-norma yang mengatur

lembaga-lembaga pidana atau pemidanaan, lembaga-lembaga penindakan dan lembaga-

lembaga kebijaksanaan yang telah diatur oleh Pembentuk Undang-Undangdi dalam hukum

pidana materiil.14

13 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Pidana Indonesia, Alfabeta, 2010, hlm, 62.
14 Tonny Suryantoro, Suatu Telaaah Yuridis Atas Kasus Kleptomania Oleh Anak Dibawah Umur, Jurnal
Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2014, hlm.5
12

Menurut S.R. Sianturi, Hukum Penitensia adalah bagian dari hukum positif yang

berisikan ketentuan atau norma mengenai tujuan, usaha (kewenangan) dan organisasi dari

(suatu) lembaga untuk membuat seseorang bertobat, yang dapat berupa :

1. Pemutusan hakim (pemidanaan, pembebasan dan pelepasan dari segala tuntutan

hukum), atau

2. Penindakan, atau

3. Pemberian kebijaksanaan, terhadap suatu perkara pidana.15

Macam-macam lembaga penitensier berikut pengaturannya, sebagai berikut :

2. Lembaga Pemidanaan

a. lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda serta pidana

tambahan (Pasal 10 KUHP);

b. lembaga pidana tutupan (UU No.20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan);

c. lembaga pidana bersyarat (Pasal 14 a sampai dengan 14 f KUHP, Ordonansi Pidana

Bersyarat Stb.1926 No.251 jo 486, Ordonansi Pelaksanaan Pidana Bersyarat Stb.1926

No.487 jo Stb. 1934 No.337);

d. lembaga pemberatan dan pengurangan pidana;

e. lembaga tempat menjalani pidana (Gestichten Reglement Stb.1917 No.708 yang diubah

dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan).

2. Lembaga Penindakan

1. lembaga pendidikan paksa (Dwang opvoedings Reglement Stb.1917 No.741).

2. lembaga penutupan secara terpisah (Afzonderlijke Opsluiting Stb.1917 No.708 dalam

Pasal 35).

3. lembaga kerja paksa negara (Landswerkinrichting Verordening Stb.1936 No.160).

4. Reglement Orang Gila (Reglement op het krankzinningenwezen in Indonesisch

Stb.1897 No.54).
15Ibid, hlm.5
13

3. Lembaga Kebijaksanaan

1. pengembalian kepada orang tua/wali/Orang tua asuh;

2. pembebasan bersyarat (Ordonnantie op de Voorwaardelijke In vrijheidstelling

Stb.1917 No.749).

3. ijin bagi terpidana untuk di luar tembok setelah jam kerja (Pasal 20 KUHP).

4. hak pistole (Pasal 23 KUHP dan Stb.1917 No.708).

5. Grasi (UU No.22 Tahun 2002), Amnesti dan Abolisi (UU No.11/Drt/1954, Perpres

No.13 Tahun 1961, Keppres No.449 Tahun 1961),

6. Remisi (Keppres No.5 Tahun 1987 terakhir diubah berdasarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012).16

Adapun sumber hukum dalam Hukum Eksekusi Pidana, antara lain :

1) Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie jo UU No.1 Tahun 1946 Tentang

Peraturan Hukum Pidana jo UU No.73 Tahun 1958 Tentang Menyatakan Berlakunya UU

No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik

Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana.

2) KUHP Tentara.

3) UU No.7/Drt/1955 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana

Ekonomi.

4) Uitvoerings Ordonnantie Voorwaardelijke Veroordeling atau Ordonansi Pelaksanaan

Pidana Bersyarat (Stb.1926 No.486 jo Stb.1926 No.487).

5) Gestichten Reglement atau Reglement Kepenjaraan (Stb.1917 No.708) dicabut

dengan UU No.12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan.

6) Ordonnantie op de Voorwaardelijke In vrijheidstelling atau Ordonansi

Pembebasan/Pelepasan Bersyarat (Stb.1917 No.741).

16
14

7) Dwang op voeding Reglement atau Reglement Pendidikan Paksa (Stb.1917

No.741).

8) Landswerkinrichting Veroordening atau Lembaga Kerja Paksa Negara (Stb.1936

No.160).

9) Reglement op het krankzinningenwezenin Indonesisch atau Reglement Orang Gila

(Stb.1897 No.54).

10) Afzonderlijke Opsluiting atau Lembaga Penutupan Secara Terpisah (Stb.1917

No.708).

11) UU No.20 Tahun 1946 Tentang Hukuman Tutupan.

12) UU No.2/Pnps/1964 tentang Pelaksaan Pidana Mati.

13) .UU No.3 Tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi jo UU No.22 Tahun 2002

Tentang Grasi.

14) SE MenKeh No.J.G.2/135/5 tanggal 29 Agustus 1951 tentang Pelaksanaan Urusan

Permohonan Grasi.

15) SE MenKeh No.J.G.3/76/10 tanggal 28 Juli 1950 Tentang Permohonan Ampun.

16) SE MenKeh No.J.C.2/42/11 tanggal 5 Nopember 1969 Tentang Penyelesaian

Permohonan Grasi

17) SE MenKeh No.J.C.2/116/17 tanggal 10 Nopember 1961 Tentang Pelaksanaan

Keppres No.568 Tahun 1961.

18) PERMA No.1 Tahun 1954 Tentang Kasasi dan Grasi.

19) UU No.11/Drt/1954 Tentang Amnesti, Abolisi jo Perpres No.13 Tahun 1961 jo

Keppres No.449 Tahun 1961

20) Keppres No.5 Tahun 1987 Tentang Remisi

1.7. Definisi Operasional


15

Di dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa istilah yang berkaitan erat

dengan objek penelitian, untuk menyamakan presepsi berikut ini penulis akan memberikan

definisi dari istilah tersebut.

1.7. Istilah Kejahatan Luar Biasa

Hukum pidana internasional menggunakan instilah the most serious crimes concern

to international community sebagai istilah yang serupa dengan kejahatan luar biasa. Sejak

dibentuknya Rome Statute of International Criminal Court tahun 1998, diperkenalkan

istilah the most serious crimes concern to international community yang merupakan

kejahatan yang masuk dalam jurisdiksi International Criminal Court.

Kejahatan ini dipandang sebagai kejahatan luar biasa karena telah sangat mencederai

nurani kemanusiaan dan merupakan pelanggaran berat yang mengancam perdamaian,

keamanan dan kesejahteraan dunia.17 Extraordinary Crime adalah suatu perbuatan yang

dilakukan dengan maksud menghilangkan Hak Asasi Orang lain, yang telah disepakati

sebagai pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court

dan statuta Roma, mendapatkn hukuman seberat-beratnya termasuk hukuman mati bagi

pelaku tersebut. Statuta Roma tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud

dengan most serious crimes. Dalam pasal 5 hanya menerjemahkan the most serious crimes

concern to international community  menjadi empat jenis, yaitu genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan, kejahatan agresi dan kejahatan perang.

1.7.2 Kejahatan Transnasional

Pengertian kejahatan transnasional menurut Bassiouni adalah kejahatan yang

mempunyai dampak lebih dari satu negara, kejahatan yang melibatkan atau memberikan

dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara, dan sarana dan prasarana serta

metoda-metoda yang dipergunakan melampaui batas-batas teritorial suatu negara. Jadi

17 Herlina Nania, Extra Ordinary Crime, di kutip dari laman :


http://www.academia.edu/5484392/PEMBAHASAN_EXTRAORDINARY_CRIMES, Pada 11 Oktober 2017 di
Bekasi
16

istilah kejahatan transnasional dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kejahatan-

kejahatan yang sebenarnyanasional (di dalam batas wilayah negara), tetapi dalam

beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain. Sehingga tampak adanya dua atau

lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Kejahatan

transnasional jelas menunjukkan perbedaannya dengan kejahatan atau tindak pidana

dalam pengertian nasional semata-mata. Demikian pula sifat internasionalnya mulai

semakin kabur oleh karena aspek-aspeknya sudah meliputi individu, negara, benda,

publik dan privat. Sifatnya yang transnasional yang meliputi hampir semua aspek

nasional maupun internasional, baik privat maupun publik, politik maupun bukan

politik.18

1.7.3. Narapidana

Pengertian narapidana adalah orang-orang yang sedang menjalani sanksi penjara atau

kurungan menurut peraturan perundang-undangan. Adami Chazawi berpendapat bahwa

narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat untuk belajar

bermasyarakat dengan baik dan ahli hukum lainnya hanya karena melanggar norma hukum

yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani hukuman. 19 Sejak berlakunya sistem

pemasyarakatan dalam pelaksanaan pidana penjara muncul istilah Warga Binaan

Pemasyarakatan, Warga binaan pemasyarakatan terdiri dari :

a) Narapidana

Adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaannya di dalam lembaga

pemasyarakatan.20

b) Anak pidana

18 Muhammad Syaltout, Laporan Akhir Kompediun Hukum Tentang Kerjasama Internasional Dibidang
Penegakan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2013, hlm.58
19Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.59
20Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
17

Adalah anak yang berdasarkan keputusan pengadilan menjalani masa pidana di dalam

lembaga pemasyarakatan paling lama sampai berumur 18 tahun.21

1.7.4. Sistem Pemasyarakatan

Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan

pemasyarakatan berdasarkan pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina

dengan yang dibina serta masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan

pemasyarakatan sehingga dapat menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak22

mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,

dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang

baik dan bertanggung jawab.23

1.7.5. Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan

Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan (untuk selanjutnya disebut UPT PAS) adalah

unit yang melaksanakan kegiatan pemasyarakatan di bidang pembinaan, pembimbingan

warga binaan pemasyarakatan dan perawatan tahanan yang terdiri atas : Lembaga

Pemasyarakatan( Lapas), Balai Pemasyasyarakatan,Rumah Tahanan Negara (Rutan) atau

cabang Rutan.24

1.7.6. Pola Pembinaan

21Lihat Pasal 1 angka 8 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
22Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
23Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
24 Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 2003
18

Segala bentuk kegiatan untuk melakukan pembinaan WBP berdasarkan Sistem

Kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan

dalam tata peradilan pidana.25

1.8 Metode Penelitian

Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”; namun demikian,

menurut kebiasaan metode dirumuskan, dengan kemungkinan-kemungkinan, sebagai

berikut:26

1. Suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian,

2. Suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan,

3. Cara tertentu untuk melaksanakan suatu prosedur.

Dengan teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposisiproposisi yang

telah diuji kebenarannya, sehingga seorang ilmuwan akan dapat menjelaskan, aneka macam

gejala sosial yang dihadapinya walaupun hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan

terhadap masalah yang dihadapi. Suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada

penelitian yang dijalankan, dan memberikan taraf pemahaman tertentu.

Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang cara-cara seorang

ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-lingkungan yang

dihadapinya.27

1.8.1 Tipe Penelitian

Dilihat dari fokus penelitiannya, penelitian hukum terdiri dari 3 (tiga) tipe

penelitian yaitu : (a) penelitian hukum yuridis normatif dan (b) yuridis empiris. Penelitian

hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik karena tidak mengkaji

25 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan


26Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Pustaka Amani, Jakarta,1997, hlm.289
27Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press,2008, hlm.12
19

pelaksanaan atau implementasi hukum. Adapun penelitian yuridis empiris mengkaji

pelaksanaan hukum positif.28

Tipe penelitian yang penulis pakai adalah penelitian normatif empiris (applied law research)

dimana penulis mengkaji pelaksanaan aturan mengenai hak remisi bagi narapidana serta

problematika yang dihadapi dalam hal pemberian remisi

1.8.2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian hukum ini adalah penelitian deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan

untuk memperoleh gambaran tentang keadaan hukum,29 khususnya mengenai pemberian

remisi di lingkungan Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur

1.8.3. Sumber Data

Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara

langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari

masyarakat dinamakan data primer (atau dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-

bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.30 Sumber data dalam penelitian ini

terdiri dari:

1) Data Primer diperoleh dengan melakukan wawancara langsung dengan narasumber

dalam hal ini narapidana tindak pidana narkotika dan ka sub sie pembinaan tahanan..

2) Data Sekunder diperoleh dengan mengumpulkan bahan kepustakaan yang terdiri dari

a. Bahan Hukum Primer, antara lain:

1. Norma atau kaedah dasar.

2. Peraturan dasar.

3. Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan Sistem Pemasyarakatan

dan peraturan pemberian remisi antara lain, Undang-Undang Nomor 12 Tahun

28 Abdul Kadir Muhammad, Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 32
29 Zaenudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.20
30Zaenudin Ali, Op.Cit, hlm.24
20

1995 tentang Pemasyarakatan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Keputusan Presiden

Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, Keputusan Menteri Nomor

M.02.PK.04.10 Tahun 1990 dan lain-lain yang mengatur tentang remisi.

b. Bahan Hukum Sekunder

Untuk menghimpun data sekunder, maka dibutuhkan bahan berupa buku yang

berkaitan dengan Sistem Pemasyarakatan baik tentang Pembinaan maupun

pengawasan, karya ilmiah dan hasilhasil seminar yang relevan dengan penelitian

ini serta pendapat ahli yang dilengkapi dengan data primer berupa hasil

wawancara dengan instansi terkait.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk

dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder seperti kamus umum,

kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang

hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang

diperlukan dalam penelitian.31

1.8.4 Daerah Penelitian

Daerah Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di lingkungan Rutan Klas IIA

Pondok Bambu Jakarta Timur

1.8.5 Pengolahan dan penyajian

Setelah pekerjaan pengumpulan data di lapangan selesai, maka peneliti harus

meneliti kembali informasi yang telah diterima. Editing yaitu memeriksa kembali mengenai

kelengkapan jawaban yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi,

relevansinya bagi penelitian, maupun keseragaman data yang diterima oleh peneliti32

31Ibid.
32Ibid.
21

Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian disajikan dengan pendekatan kualitatif.

Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder, kemudian data

dikelompokkan sesuai dengan rumusan masalah yang ditetapkan.

Berikutnya dilakukan penulisan hasil penelitian dengan metode deskriptif analitis di

mana seluruh fakta dan permasalahan yang berhubungan dengan objek penelitian akan

disajikan secara utuh, setelah dianalisis berdasarkan norma norma hukum yang dituangkan

dalam Peraturan Perundang-undangan.33

1.9 Sistematika Penulisan

Bab I PENDAHULUAN

Berisikan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan

Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teoritis dan Konseptual, Metode

Penelitian dan Sistematika Penulisan

Bab II TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PIDANA, PEMIDANAAN, TINDAK

PIDANA NARKOTIKA DAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN

Membahas tentang Pengertian Tindak Pidana, Unsur-unsur Tindak Pidana, Jenis-

Jenis Pidana, Pengertian Narkotika, Tindak Pidana Narkotika, Subjek Tindak

Pidana Narkotika, Pengertian Lembaga Pemasyarakatan, Sistem Pemasyarakatan

Dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Sistem Pembinaan Dalam Lembaga

Pemasyarakatan, Pengertian Warga Binaan Pemasyarakatan.

Bab III LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS HAK

MEMPEROLEH REMISI BAGI NARAPIDANA DALAM SISTEM

PEMASYARAKATAN

Membahas tentang hasil penelitian penulis mengenai landasan filosofi,

sosiologis serta yuridis dari hak memperoleh remisi yang penulis kaitkan

33Ibid.
22

dengan perkembangan sistem pelaksanaan pidana penjara di dunia yang

berdampak pula kepada perkembangan pelaksanaan pidana penjara serta tujuan

pemidanaan di Indonesia.

Bab IV. PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA NARKOTIKA

BERDASARKAN SISTEM PEMASYARAKATAN

Membahas hasil penelitian penulis mengenai problematika penerapan aturan

pemberian remisi bagi narapidana narkotika di Rutan Kelas IIA Pondok

Bambu Jakarta Timur

Bab V PENUTUP

Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran bagi pihak terkaitguna

meningkatkan ataupun mempertahankan mutu kebijakan mengenai hak memperoleh

remisi khususnya bagi narapidana pelaku kejahatan luar biasa


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA MENGENAI PIDANA, PEMIDANAAN


DAN LEMBAGA PEMASYARAKATAN SERTA REMISI

2.1 Istilah Pidana

2.1.1. Pengertian Pidana

Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari strafbaarfeit, di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang dimaksud

strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari

bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam salah satu kamus hukum pembatasan delik

tercantum sebagai berikut:

“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan

pelanggaran terhadap undang-undang (tindak pidana).”34

Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut strafbaar feit, terdiri atas tiga suku

kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan

boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.

Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering

mempergunakan delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu udang-undang

mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindak pidana.35

Strafbaarfeit dirumuskan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang,

sebagai “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan

34Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm.92


35Amir Ilyas, Asas-asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap Indonesia, Yogyakarta,
2012, hlm. 20
24

sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan

hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.36

Simons mengatakan sebagaimana dikutip dalam buku Lenden Marpaung strafbaarfeit adalah

sebagaimana berikut

“strafbaarfeit adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum”.37

Sedangkan Jonkers merumuskan bahwa

Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatan yang
melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.38

Van Hamel merumuskan delik (strafbaarfeit) itu sebagai berikut:

“Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum, yang


patut dipididana dan dilakukan dengan kesalahan”.39

Moeljatno menyebut tindak pidana sebagai perbuatan pidana yang diartikan sebagai berikut:

“Perbuatan yang melanggar yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang
melanggar larangan tersebut”.40

S.R. Sianturi merumuskan tindak pidana sebagai berikut:

“Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan
tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-
undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang
(yang bertanggungjawab)41

Andi Zainal Abidin mengemukakan istilah yang paling tepat ialah delik, dikarenakan

alasan sebagai berikut:

36P.A.F Lamnintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2011, hlm.192
37Lenden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.8
38Amir Ilyas, Op.Cit, hlm. 20
39Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Cetakan Keempat, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm.96
40Amir Ilyas, Op.Cit, hlm.22
41Ibid, hlm.25
25

a) Bersifat universal dan dikenal dimana-mana;

b) Lebih singkat, efesien, dan netral. Dapat mencakup delik-delik khusus yang

subjeknya merupakan badan hukum, badan, orang mati;

c) Orang memakai istilah strafbaarfeit, tindak pidana, dan perbuatan pidana juga

menggunakan delik;

d) Luas pengertiannya sehingga meliputi juga delik-delik yang diwujudkan oleh

koorporasi Orang tidak kenal menurut hukum pidana ekonomi indonesia;

e) Tidak menimbulkan kejanggalan seperti”Peristiwa Pidana”(bukan peristiwa pidana

yang dapat dipidana melainkan pembuatnya).42

Jonkers dan Utrech berpendapat bahwa rumusan Simons yang paling lengkap karena

meliputi:

a) Diancam dengan pidana oleh hukum;

b) Bertentangan dengan hukum;

c) Dilakukan oleh orang bersalah;

d) itu dipandang bertanggung jawab.43

Dalam KUHP sendiri, tindak pidana dibagi atas dua bagian yakni pelanggaran dan

kejahatan di mana pelanggaran masuk ke dalam buku II dan kejahatan masuk ke dalam buku

III, ancaman pidana terhadap pelanggaran lebih rendah atau lebih ringan daripada kejahatan.

42Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 231-232.
43Andi Hamzah, Loc.Cit.
26

Banyak istilah yang digunakan untuk menunjuk pengertian strafbaarfeit, macam-

macam istilah dan mengertian tersebut dilatarbelakangi oleh pertimbangan rasional dari sudut

pandang masing-masing pakar.

2.1.2 Unsur-unsur Tindak Pidana

Untuk mengenakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat

tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Jadi seseorang dapat

dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak pidana

(strafbaar feit)

Para ahli membagi batasan tindak pidana menurut aliran monoistis dan dualistis yang

akan diuraikan sebagai berikut :

1) Menurut aliran monisme syarat, untuk adanya pidana harus mencakup dua hal yakni

sifat dan perbuatan. Pandangan ini memberikan prinsip-prinsip pemahaman, bahwa di

dalam pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan

yang dilarang (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana atau kesalahan

(criminal responbility).44 Dengan kata lain, aliran ini menganggap bahwa seseorang

yang melakukan tindak pidana sudah pasti bersalah akan tindak pidana tersebut.

Unsur-unsur tindak pidana berdasarkan aliran monisme adalah :

a) Adanya perbuatan;

b) Adanya sifat melawan hukum;

c) Tidak adanya alasan pembenar;

d) Mampu bertanggungjawab

e) Kesalahan;

44Amir Ilyas, Op.Cit 38


27

f) Tidak adanya alasan pemaaf.45

Adami Chazawi berpendapat ada banyak ahli hukum yang menganut aliran monisme

ini, dalam pendekatannya dalam merumuskan tindak antara lain :46

1. J.E Jonkers yang merumuskan peristiwa pidana adalah perbuatan yang

melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan

atau kesalahan yang dilakukan oleh Orang yang dapat

dipertanggungjawabkan”;

2. Wirjoni Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana;

3. Van Schravendijk, merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah

“kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum

sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh

seorang yang karena itu dapat dipermasalahkan”;

4. Simons merumuskan strafbaar feit adalah “suatu tindakan melanggar

hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat

dipertanggung jawabkan atas tindakannya, yang dinyatakan dapat dihukum.

2) Aliran dualistis memisahkan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban

pidana. Pandangan ini memiliki prinsip bahwa dalam tindak pidana hanya mencakup

criminal act, dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh

karena itu, untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan

adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan

hukum tanpa adanya suatu dasar pembenar.

Para ahli hukum yang paham dengan aliran dualisme ini misalnya Pompe, Vos,

Tresna Roeslan Saleh, A. Zainal Abidin, Fetcher mengatakan “perlu dibedakan

45Ibid, hlm.43
46 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.18
28

antara karakteristik perbuatan yang dijadikan tindak pidana dan karakteristik

orang yang melakukannya”.47

Menurut pandangan dualistis, unsur-unsur tindak pidana meliputi:

1) Ada perbuatan yang mencocoki rumusan delik

Perbuatan manusia dalam arti luas adalah mengenai apa yang dilakukan, apa yang

diucapkan, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu hal atau kejadian. Sesuatu yang

dilakukan dan diucapkan disebut act, yang oleh sebagian pakar disebut sebagai

perbuatan positif. Sikap seseorang terhadap suatu hal atau kejadian disebut omission,

yang oleh sebagian pakar disebut sebagai perbuatan negatif.

Perihal omission yang diancam pidana, para pakar berbeda pendapat dalam memberi

dasar atau alasan sebagai berikut:

a) G.A. van Hamel berpendapat bahwa“tidak melakukan sesuatu”itu pada umumnya

tidak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, perilaku semacam itu akan

bersifat melanggar hukum apabila ada suatu kewajiban “kewajiban hukum yang

bersifat khusus”. Kewajiban itu telah ditentukan oleh suatu peraturan perundang-

undangan yang bersifat memaksa di mana kelalaian untuk memenuhi kewajiban

hukum itu telah diancam dengan suatu hukuman ataupun telah diterima secara

sukarela sebagai dimiliki oleh seseorang karena adanya pengaruh dari suatu

sanksi menurut undang-undang.48

b) D.Simons berpendapat bahwa kelalaian untuk bertindak yang harus

dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana itu hanyalah kelalaian untuk

melakukan suatu tindakan yang merupakan suatu kewajiban hukum. Kewajiban

hukum seperti itu dapat timbul karena ditentukan oleh undang-undang, karena

47Ibid, hlm. 22
48Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 31
29

jabatan yang disandang oleh seseorang, karena pekerjaan yang dilakukan

seseorang, atau karena adanya suatu perikatan.49

2) Adanya sifat melawan hukum Sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana dapat di

bagi ke dalam dua macam yaitu:

a. Sifat melawan hukum formil (formale wederrechtelijk).

Perbuatan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut memenuhi

rumusan undang-undang, kecuali jika diadakan pengecualian-pengecualian

yang telah yang telah ditentukan dalam undang-undang. Berdasarkan

pendapat ini, melawan hukum berarti melawan undang-undang.

b. Sifat melawan hukum materil (materiele wederrechtelijk).

Menurut pendapat ini, belum tentu perbuatan yang memenuhi rumusan

undang-undang itu bersifat melawan hukum. Hukum bukan hanya undang-

undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak

tertulis, yakni kaidah-kaidah atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di

masyarakat. 50

3) Tidak ada alasan pembenar

Alasan pembenar merupakan alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya

suatu perbuatan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan

yang patut dan benar.51

Alasan pembenar tersebut antara lain adalah :

a) Daya paksa absolut Memorie van Toelichting (MvT), memberi keterangan

mengenai daya paksa yang mengatakan sebagai setiap kekuatan, setiap

dorongan, setiap paksaan yang tidak dapat dilawan.52

49Ibid, hlm.32
50Amir Ilyas, Op.Cit, hlm.53
51Kamus Hukum Citra Umbara: Bandung,2008, hlm. 19.
52Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan,
Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, PT. Raja Grafindo Persada,
30

Menurut Adami Chazawi, daya paksa absolut baik yang disebabkan oleh

perbuatan manusia maupun alam, baik yang bersifat fisik maupun psikis, adalah

suatu keadaan di mana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri

seseorang, sehingga tidak dapat lagi berbuat sesuatu selain yang terpaksa

dilakukan atau apa yang terjadi.53

b) Pembelaan terpaksa, perihal pembelaan terpaksa (noodweer) dirumuskan dalam

Pasal 49 ayat (1) KUHP sebagai berikut:

“Barangsiapa melakukan perbuatan, yang terpaksa dilakukannya untuk

mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau

harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan

hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.”

Dari rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan mengenai dua hal,

yaitu syarat adanya pembelaan terpaksa dan hal-hal yang termasuk pembelaan

terpaksa.

Pembelaan terpaksa dapat dilakukan dalam tiga hal, antara lain:

1) Untuk membela dirinya sendiri atau diri Orang lain terhadap serangan yang
bersifat fisik.
2) Membela kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) diri sendiri atau Orang lain
3) Pembelaan terhadap harta benda sendiri atau Orang lain. 54

c) Menjalankan ketentuan undang-undang, alasan pembenar karena menjalankan

ketentuan undang-undang dirumuskan dalam Pasal 50 KUHP sebagai berikut:

“Barangsiapa yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-

undang tidak dipidana.”

Jakarta (Selanjutnya disingkat Adami Chazawi II), hlm.28


53Ibid,hlm.30.
54Amir Ilyas, Op.Cit, hlm.60
31

Pasal 50 KUHP ini dimaksudkan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-perbuatan

yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.

Mengenai hal ini telah diterangkan oleh Hoge Raad dalam pertimbangan suatu

putusannya (26-6-1911) yang menyatakan bahwa untuk menjalankan aturan-aturan

undang-undang seorang pegawai negeri diperkenankan mempergunakan segala alat

yang diberikan kepadanya untuk mematahkan perlawanan.55

d) Menjalankan perintah jabatan yang sah, Pasal 51 ayat (1) KUHP yang berbunyi

sebagai berikut: “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah

jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”

Pada perintah jabatan ada hubungan publik antara orang yang memberi perintah dan

orang yang diberi perintah. Hoge Raad memutuskan bahwa perintah yang diberikan

oleh pengairan Negara kepada pemborong tergolong dalam sifat hukum perdata dan

bukan perintah jabatan (HR 27 November 1933 W. 12698, N.J. 1934, 266).56

Tidak perlu, bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang

memerintah. Mungkin sama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah antara yang

diperintah dengan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu.

Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat

dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif dan obyektif.

Yang dimaksud dengan unsur-unsur ”subyektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si

pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala

sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur

”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu

55Adami Chazawi II, Op.Cit, hlm. 56


56Amir Ilyas, Op.Cit, hlm.71
32

keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 57 Lebih lanjut

Lamintang merinci unsur subjektif tindak pidana adalah :

a. Kesengajaan (dolus) atau ketidaksengajaan (culpa);

b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud Pasal

53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian,

penipuan, pemerasan, dan lain-lain

d. Merencanakan terlebih dahulu voorbedacteraad yang terdapat dalam kejahatan

pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.

e. Perasaan takut yang antara lain terdapat dalam Pasal 308 KUHP.

Sedangkan unsur objektifnya adalah :

a) Sifat melawan hukum atau (wederrechttelijk);

b) Kualitas dari pelaku misalnya adalah keadaan pelaku sebagai pegawai negeri;

c) Kausalitas yaitu hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dan suatu

kenyatan sebagai akibat.58

2.1.3 Pertanggungjawaban Pidana

Dalam bahasa asing pertanggungjawaban pidana disebut sebagai criminal

responsibility, atau crimial liability. Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk

menentukan apakah seorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu

tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan

dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu

bersifat melawan hukum, dan terdakwa mampu bertanggungjawab. 59 Kemampuan tersebut

memperlihatkann kesalahan dari pembuat yang membentuk kesengajaan atau kealpaan.

57 PAF Lamintang Op.Cit,hlm.193-194


58Ibid.
59 S.R Sianturi .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Alumni Ahaem-Peteheam,
Jakarta ,1996, hlm .245
33

Artinya tindakan tersebut tercela dan tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.

Hubungan petindak dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari

petindak. Ia menginsyafi hakikat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat mengetahui

ketercelaan dari tindakannya dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan

tersebut atau tidak.60

Unsur-unsur pertanggung jawaban pidana adalah sebagai berikut :

a) Unsur tindak pidana

Unsur ini merupakan salah satu unsur yang pokok pertanggung jawaban

pidana, karena seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak melakukan suatu

perbuatan dimana perbuatan yang dilakukan merupan perbuatan yang dilarang oleh

undang-undang hal itu sesuai dengan asas legalitas yang kita anut. Asas legalitas

nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali artinya tidak dipidana suatu

perbuatan apabila tidak ada Undnag-Undang atau aturan yang mengatur mengenai

larangan perbuatan tersebut.61

Dalam hukum pidana Indonesia menghendali perbuatan yang konkret atau

perbuatan yang tampak, artinya hukum menghednaki perbuatan yang tampak keluar,

karena di dalam hukum tidak dapat dipidana seseorang karena atas dasar keadaaan

batin seseorang, hal ini asas cogitationis poenam nemo patitur, tidak seorang pun

dipidana atas yang ada dalm fikirannya saja.62

b) Unsur kesalahan

60Ibid.
61 Moeljalento, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi revisi, Renika Cipta, Jakarta, 2008, hlm-2
62 Frans Maramis, Hukum PIdana Umum dan Tertulis di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta ,2012,hlm-
85
34

Kesalahan yang dalam bahasa asing disebut dengan schuld adalah keadaan

psikologi seseorang yang berhubungan dengan perbuatan yang ia lakukan yang

sedemikian rupa sehingga berdasarkan keadaan tersebut perbuatan tersebut pelaku

dapat dicela atas perbuatannya.63

Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri

dari:

a) Kesengajaan (dolus, opzet)

Kesengajaan harus mengenai ketiga unsur tindak pidana, yaitu

perbuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan

itu, dan perbuatan itu melanggar hukum.

Kesengajaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:

1) Sengaja sebagai niat (Oogmerk) Kesengajaan sebagai niat atau maksud

adalah terwujudnya delik yang merupakan tujuan dari pelaku. Pelaku

benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan

diadakannya ancaman hukum pidana.

2) Sengaja sadar akan kepastian atau keharusan (zekerheidsbewustzijn)

Kesengajaan semacam ini, terwujudnya delik bukan merupakan tujuan

dari pelaku, melainkan merupakan syarat mutlak sebelum/pada

saat/sesudah tujuan pelaku tercapai.

3) Sengaja sadar akan kemungkinan (Dolus eventualis,

mogelijkeheidsbewustzijn) Kesengajaan sebagai sadar akan

terwujudnya delik bukan merupakan tujuan dari pelaku, melainkan

merupakan syarat yang mungkin timbul sebelum/pada saat/ sesudah

tujuan pelaku tercapai. 64

63Ibid, hlm-114
64Amir Ilyas, Op.Cit, hlm. 78-83
35

b) Kealpaan (culpa)

Menurut D. Schaffmeister, N. Keijzer dan E. PH. Sutorius, skema

kelalaian atau culpa yaitu :

a) Culpa yang disadari (alpa)

b) Conscious: kelalaian yang disadari, contohnya antara lain sembrono

(roekeloos), lalai (onachttzaam), tidak acuh.

c) Culpa yang tidak disadari (lalai)

d) Unconscius: kelalaian yang tidak disadari, contohnya antara lain

kurang berpikir, lengah, dimana seseorang seyogianya harus sadar

dengan risiko, tetapi tidak demikian.65

c) Unsur adanya pembuat yang dapat bertanggung jawab

Dikatakan seseorang dapat bertanggung jawab.(toerekeningsvatbaar), bilamana pada

umumnya:

a. Keadaan Jiwanya:

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus-menerus atau sementara (temporair);

2. cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile dan sebagainya) dan;

3. Tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh

bawah-sadar/reflexe beweging, melindur/slaapwandel, mengigau karena

demam/koorts, ngidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam

keadaan sadar.

b. Kemampuan Jiwanya

1. Dapat menginsyafi hakikat dari tindakannya;

2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan

dilaksanakan atau tidak; dan

65E.Y Kanter dan S.R. Sianturi, Op.Cit, hlm. 84


36

3. mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. 66

Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan

“jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan “berfikir”

(verstandelijke vermogens) dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan

dalam Pasal 44 KUHP adalah verstandelijke vermogen.67

2.2. Istilah Narkotika

2.2.1. Pengertian Narkotika

Pengertian Narkotika sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut di atas, Mardani

mengemukakan mengenai pengertian narkotika, bahwa yang dimaksud dengan narkotika

adalah sebagai berikut :

Narkotika adalah obat atau zat yang dapat menenangkan syarat, mengakibatkan
ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa sakit dan nyeri, menimbulkan
rasa mengantuk atau merangsang, dapat menimbulkan efek stupor, serta dapat
menimbulkan adiksi atau kecanduan dan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
sebagai narkotika”.68

Smith Klise dan French Clinical Staff berpendapat sebagai berikut:69

“Narcotics are drugs which produce insebility stupor due to their depressant effect on

the control nervous system. Included in this definition are opium, opium derivates

(morphine, codein, heroin) and synthetics opiates (meperidine, methadone)”.

Dari kutipan di atas dapat diartikan bahwa narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat

mengakibatkan ketidaksadaran atau pembiusan dikarenakan zat-zat tersebut bekerja

mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis

candu dan zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, heroin) dan candu sintetis

(meperidin, metadon).

66Ibid, hlm.249
67Ibid, hlm.250
68 Mardani, Penyalaghunaan Narkotika dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2008. hlm. 80
69 Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm.18
37

AR. Sujono dan Bony Daniel mengemukakan bahwa :70

Kata narkotika pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani “Narkoun” yang berarti

membuat lumpuh atau mati rasa.

Taufik Makarao mengemukakan bahwa:71

Narkotika adalah jenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi

orang-orang yang menggunakannya, yaitu dengan cara memasukkan ke dalam tubuh.

Hari Sasangka72 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja,

cocaine, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni morphine,

heroin, codein, hashish, cocaine. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan

zat-zat, obat-obat yang tergolong dalam Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.

Dari kedua defenisi tersebut, M. Ridha Ma’ruf menyimpulkan:

a) Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintesis. Yang

termasuk narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish,

codein dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian sempit. Sedangkan

narkotika sintesis adalah termasuk dalam pengertian narkotika secara luas. Narkotika

sintesis yang termasuk di dalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat

yaitu: Hallucinogen, Depressant, dan stimulant.

b) Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya

dapat menimbulkan ketidaksadaran atau pembiusan. Berbahaya apabila

disalahgunakan.

c) Bahwa narkotika dalam pengertian di sini adalah mencakup obat-obat bius dan obat-

obat berbahaya atau narcotic and dangerous drugs.

2.2.2 Tindak Pidana Narkotika

70 A.R Sujono dan Boy Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta,2011,hlm.13
71 Taufik Makarao, Op.Cit, hlm.19
72 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Manda Maju, 2003, hlm.33-34.
38

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap perbuatan yang

tanpa hak berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan narkotika adalah

bagian dari tindak pidana narkotika. Pada dasarnya penggunaan narkotika hanya

diperbolehkan untuk kepentingan pengobatan, pengetahuan dan teknologi apabila

penggunaan narkotika dilakukan diluar kepentingan tersebut maka dapat dikualifikasi sebagai

tindak pidana narkotika hal ini juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 7 Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009 yang merumuskan bahwa :

“Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanankesehatan dan/atau

pengembangan ilmu pengetahuan danteknologi.”

Tindak pidana narkotika dirumuskan dalam Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-undang

Nomor 35 Tahun 2009.

Dilihat dari segi perbuatan ketemuan yang terdapat dalam rumusan pasal tersebut

dampar dikelompokkan menjadi 9 (sembilan) jenis perbuatan yaitu :

1. Kejahatan yang menyangkut kegiatan produksi narkotika.

2. Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika

3. Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transito narkotika.

4. Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika

5. Jahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika

6. Jahatan yang menyangkut tidak melapor pecandu narkotika

7. Kejahatan yang menyangkut label dan publikasi narkotika

8. Kejahatan yang menyangkut jalannya peradilan narkotika

9. Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan narkotika.73

2.2.3. Subjek Hukum Dalam Tindak Pidana Natkotika

2.2.3.1 Pecandu

73Gatot Soeparmono, Hukum Narkoba Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2010, hlm.156


39

Pengertian Pecandu Narkotika itu berkaitan dengan hal-hal yang diatur dalam

Pasal 127 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 54, Pasal 55 serta Pasal 103 UU No. 35 Tahun

2009 tentang Narkotika.

Pasal 1 Angka 13 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa

Pecandu Narkotika adalah Orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika

dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis,

sehingga dari pengertian tersebut, maka dapat diklasifikasikan 2 (dua) tipe Pecandu

Narkotika yaitu:

1. Orang yang menggunakan Narkotika dalam keadaaan ketergantungan secara fisik

maupun psikis, dan

2. Orang yang menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan secara

fisik maupun psikis.74

Tipe yang pertama, dikategorikan sebagai pecandu yang mempunyai legitimasi untuk

mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatan dirinya sendiri.

Kategori seperti itu, dikarenakan penggunaan narkotika tersebut sesuai dengan makna

dari Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan tentunya Pecandu yang

dimaksud adalah seOrang pecandu yang sedang menjalankan rehabilitasi medis

khususnya dalam proses intervensi medis. 75 Jika pecandu memang membutuhkan

pengobatan dan/atau perawatan intensif berdasarkan program assesmen yang dilakukan

oleh Tim Dokter/Ahli, maka berdasarkan Pasal 103 Ayat (1) huruf b UU No. 35

Tahun 2009, Hakim disini dapat menetapkan Pecandu yang tidak terbukti bersalah

tersebut untuk direhabilitasi dalam jangka waktu yang bukan dihitung sebagai masa

74 Hari Sasangka, Op.Cit, hlm. 56


75 Ibid.
40

menjalani hukuman dan penentuan jangka waktu tersebut setelah mendengar keterangan

ahli76

Pecandu Narkotika tipe kedua, maka dapatlah dikategorikan sebagai pecandu

yang tidak mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan

pelayanan kesehatannya. Pengkategorian seperti itu didasarkan pada pengertian

Penyalahguna yang dimaksud pada Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009, dimana

ada unsur esensial yang melekat yaitu unsur tanpa hak atau melawan hukum. Mengenai

penjabaran unsur tanpa hak atau melawan hukum telah dipaparkan penulis sebelumnya

yaitu pada pokoknya seseOrang yang menggunakan Narkotika melanggar aturan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan/atau Pasal 8 UU No. 35 Tahun 2009

tersebut, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau perbuatannya bersifat melawan

hukum77.

Secara esensial penyalahguna dan pecandu Narkotika tipe kedua adalah sama-

sama menyalahgunakan Narkotika, hanya saja bagi pecandu narkotika mempunyai

karakteristik tersendiri yakni adanya ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik

maupun psikis. Pecandu Narkotika tipe kedua tersebut hanya dikenakan tindakan berupa

kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, dalam jangka waktu

maksimal yang sama dengan jangka waktu maksimal pidana penjara sebagaimana

tercantum pada Pasal 127 Ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009

2.2.3.2. Pengedar

Pengedar berasal dari kata dasar edar serupa dengan definisi bandar narkotika,

di dalam undang-undang narkotika tidak ada definisi pengedar secara ekplisit. Sementara

arti pengedaran itu sendiri meliputi kegiatan atau serangkaian penyaluran atau

penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun

76 Ibid, hlm.58
77 Ibid.
41

pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu

teknologi.78

Pengedaran, Membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito, menawarkan

untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,

atau menyerahkan narkotika golongan I, golongan II dan golongan II. Dikenakan

ketentuan pidana: 79

a) Golongan I diancam pidana penjara paling singkat empat tahun dan maksimum

penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit delapan ratus juta

rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah, apabila beratnya melebihi satu

kilogram atau melebihi lima batang pohon(untuk tanaman) dan melebihi lima gram

(bukan tanaman), maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 114 dan

115);

b) Golongan II. Diancam pidana penjara paling singkat tiga tahun dan maksimum

pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit enam ratus

juta rupiah dan paling banyak delapan miliar rupiah. Apabila beratnya melebihi

lima gram, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 119 dan 120)

c) Golongan III. Diancam dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan

paling lama lima belas tahun. Denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling

banyak lima miliar rupiah.Apabila beratnya melebihi lima gram, maka pidana

denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 124 dan 125)

78 Pemilik Puntung Ganja Pengedar Ganja dikutip dari laman :


http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5141cd01a7dac/pemilik-puntung-ganjapengedar-ganja.html, pada
tanggal 1 November 2017
79 Bernardo Nainggolqn, Jurnal Hukum Pidana, Universitas Lampung, Lampung, 2013, hlm.5
42

2.3. Istilah Lembaga Pemasyarakatan

2.3.1. Pengertian Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan menurut menurut Pasal 1 angka (3) Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan

narapidana dan anak pidana pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan adalah Unit Pelaksana

Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi

Manusia, istilah lembaga pemasyarakatan dahulu dikenal sebagai penjara.80

Pengertian lembaga pemasyarakatan secara etimologis, pemasyara adalah kata kerja

yang dibendakan. Pemasyarakatan berasal dari kata kerja memasyarakatkan sedangkan istilah

memasyarakatkan itu sendiri memiliki dua arti yaitu pertama, menyebarkan ide untuk

diketahui masyarakat luas untuk diketahui, dimiliki atau dianut selanjutnya pemasyarakatan

mengandung pengertian melakukan usaha melalui proses yang wajar untuk dan dalam rangka

memperlakukan anggota masyarakat agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan norma-

norma yang terdapat dalam masyarakat.81

Definisi pemasyarakatan menurut Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga

binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan tata cara, yang merupakan

bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam sistem peradilan pidana.

2.3.2. Visi Dan Misi Lembaga Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan sebagai akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan

pidana sebagai bagian integral dari tata peradila pidana terpadu (integrated criminal justice

system) ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan maupun sumber daya

pemasyarakatan

80Petrus Irwan Panjaitan, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Sinar
Harapan, Jakarta, hlm.45, 1995
81Ibid, hlm. 120
43

Lembaga pemasyarakatan sebagai bagian akhir dari pemidanaan dalam sistem

peradilan pidana terpadu sebagai lembaga pembinaan narapidana dalam pelaksanaan

tugasnya mempunyai visi, misi, serta tujuan yang hendak dicapai yaitu :82

Visi

Memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan

Pemasyarakatan sebagai individu, sebagai bagian dari anggota masyarakat serta sebagai

makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (untuk membangun manusia mandiri)

Misi

Untuk melaksanakan perawatan tahanan, melakukan pembinaan dan pembimbingan

terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan negara dalam

kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan

perlindungan Hak Asasi Manusia

Tujuan

Dalam pelaksanaan tugasnya lembaga pemasyarakatan mempunyai tujuan sebagai berikut

a) Untuk membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya,

menyadari kesalahan, dapat memperbaiki diri, mandiri dan tidak mengulangi pidana

yang dilakukannya sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,

dapat berperan setia dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga

negara yang baik dan bertanggungjawab.

b) Untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan di Rumah

Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan dalam rangka memperlancar proses

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan sidang di pengadilan.

c) Untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan atau pihak yang antara

pihak yang berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita

82Widya Puspa Rini Soewarno, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari
Sistem Pemasyarakatan, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hlm.45
44

untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksa di

sidang pengadilan serta benda-benda yang dinyatakan di rampas untuk negara

berdasarkan putusan pengadilan

Sedangkan sasaran yang hendak dicapai oleh lembaga pemasyarakatan yaitu :

a) Sasaran pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan adalah untuk

meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan yang pada awalnya sebagian

atau seluruhnya dalam kondisi kurang yaitu :

1) Kualitas ketakwaan pada Tuhan Yang Maha Esa

2) Kualitas intelektual

3) Kualitas sikap dan perilaku

4) Kualitas profesionalisme/keterampilan dan

5) Kualitas kesehatan jasmani dan rohani83

b) Sasaran pelaksanaan dalam sistem pemasyarakatan pada dasarnya juga merupakan

situasi atau kondisi yang memungkinkan bagi terwujudnya tujuan pemasyarakatan

yang merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan ketahanan sosial dan

ketahanan nasional serta merupakan indikator-indikator yang dapat dipergunakan

untuk mengukur sejauhmana hasil-hasil yang dicapai dalam sistem pemasyarakatan

yaitu:

1) Isi dari lembaga pemasyarakatan lebih rendah daripada kapasitas yang ada;84

2) Menurunnya secara bertahap dari tahun ketahui angka pelarian dan gangguan

terhadap keamanan serta ketertiban;

3) Semakin menurunnya dari tahun ke tahun angka residivis;

4) Meningkatnya secara bertahap jumlah narapidana yang bebas sebelum

waktunya baik melalui pemberian remisi, proses asimilasi dan integrasi;

83Ibid, hlm.45
84Ibid, hlm.48
45

5) Semakin banyaknya jenis-jenis institusi yang sesuai dengan kebutuhan

berbagai jenis atau golongan narapidana;

6) Secara bertahap perbandingan antara banyaknya narapidana yang bekerja pada

bidang industri dan pemeliharaan adalah 70:30;

7) Presentasi antara kematian dan sakit sama dengan persentase di masyarakat;

8) Biaya perawatan sama dengan minimal manusia pada umumnya;

9) Lembaga pemasyarakatan dalam kondisi bersih dan terpelihara;

10) Semakin terwujudnya lingkungan pembinaan yang menggambarkan proyeksi

nilai-nilai masyarakat ke dalam lembaga pemasyarakatan dan semakin

berkurangnya nilai-nilai subkultural penjara

2.3.3 Sistem Pembinaan Pemasyarakatan

Lembaga pemasyarakatan dalam melakukan pembinaan terhadap narapidana maupun

anak pidana secara khusus menurut Keputusan Menteri Kehakimsn Nomor M.02-PK.04.10

Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan, agar selama menjalani masa

pembinaan hingga selesai menjalani masa pidananya narapidana dapat :

1) Berhasil menetapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta optimis akan

masa depannya.

2) Berhasil memperoleh pengetahuan minimal keterampilan untuk bekal mampu hidup

mandiri dan berprestasi dalam kegiatan pembangunan nasional.

3) Berhasil menjadi manusia yang patuh kepada hukum yang tercermin pada sikap dan

perilakunya yang tertib dan disiplin serta menggalang rasa kesetia kawanan nasional.

4) Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian yang tinggi terhadap bangsa dan

negara.
46

Dalam rangka upaya pembinaan terhadap narapidana di lembaga pemasyarakatan maka

lembaga pemasyarakatan melakukan penggolongan terhadap narapidana dan anak pidana

yang didasarkan pada:85

a) Umur

b) Jenis pidana yang dijatuhkan

c) Jenis kejahatan dan

d) Kriteria lainnya sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan.

Selain itu narapidana dan anak pidana juga diklasifikasikan secara administratif dalam

beberapa register menjadi beberapa golongan menurut tinggi rendahnya pidana yang

dijatuhkan oleh hakim kepada mereka yaitu :

a. Register B-I adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana diatas 1 tahun.

b. Register B-II a adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana di atas 3 (tiga) bulan

sampai dengan 12 (dua belas) bulan.

c. Register B-II b adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana selama 1(satu) hari

sampai dengan 3 (tiga) bulan.

d. Register B-III adalah untuk narapidana yang menjalani pidana kurungan

e. Register B-III S adalah untuk narapidana yang menjalani pidan kurungan pengganti

denda.

Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku yang dapat memperoleh remisi

adalah narapidana yang terdaftar dalam register B-I dan B-IIa.86

2.4 Istilah Remisi

85Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan


86Ibid, hlm.51
47

2.4.1 Pengertian Remisi

Remisi dalam sistem pelaksanaan pidana penjara khususnya yang menyangkut sistem

pemasyarakatan sangat penting. Hal ini menyangkut masalah pembinaan yang dilakukan

petugas lembaga pemasyarakatan terhadap para narapidana, untuk itu di dalam sistem

pelaksanaan pidana penjara remisi mempunyai kedudukan yang sangat strategis sebab apabila

narapidana tidak berkelakuan baik maka tidak akan mendapat remisi.87

Pengertian remisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai

pengampunan yang diberikan kepada Orang-Orang terhukum. Menurut Andi Hamzah remisi

adalah sebagai pembebasan hukuman untuk seluruhnya atau sebagai atau dari seumur hidup

menjadi hukuman terbatas yang diberikan setiap tanggal 17 Agustis.88

Pengertian remisi menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999

tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan adalah

pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

2.4.2 Jenis-jenis Remisi

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun

1999 tentang Remisi disebutkan bahwa remisi terdiri atas :

1) Remisi umum

Merupakan remisi yang diberikan pada peringatan hari proklamasi kemerdekaan

Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus

2) Remisi Khusus

Merupakan Remisi yang diberikan pada hari raya keagamaan yang dianut oleh

narapidana dan anak pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama memiliki

87 Andi Hamzah, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm.133
88Ibid, hlm.136
48

lebih dari satu hariraya keagamaan dalam satu tahun maka yang dipilih adalah hari raya

yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan

3) Remisi Tambahan

Merupakan remisi yang diberikan apabila narapidana dan anak pidana yang

bersangkutan selama menjalani pidana:

a. Berbuat jasa kepada negara

b. Melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan

c. Melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di lembaga

pemasyarakatan.

4) Remisi Dasawarsa

Merupakan remisi yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang

pelaksanaan pemberiannya dilakukan bertepatan dengan ulang tahun kemerdekaan Republik

Indonesia pada 17 Agustus tiap 10 (sepuluh) tahun sekali.

5) Remisi Khusus Yang Tertunda

Merupakan remisi khusus yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang

pelaksanaan pemberiannya dilakukan setelah tahanan yang bersangkutan berubah statusnya

menjadi narapidana. Pemberian remisi ini adalah untuk meringankan hukuman bagi

narapidana yang dalam kurun waktu 6 (enam) bulan telah menunjukan perbuatan baik di

lembaga pemasyarakatan namun pengajuan tersebut tertunda karena amasih menunggu status

hukumnya dalam proses peradilan sehingga dengan demikian pengajuan remisi dan turunnya

surat keputusan remisi bagi narapidana yang bersangkutan juga terlambat.

6) Remisi Khusus Bersyarat

Merupakan remisi yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang pada hari

besar keagamaannya belum cukup 6 (enam) bulan menjalani masa pidananya, narapidana

tersebut tetap mendapat usulan remisi khusus bersyarat apabila selama menjalani masa
49

bersyarat 6 (enam) yang bersangkutan senantiasa berkelakuan baik namun apabila sebaliknya

maka remisi tersebut dicabut.89

2.4.3 Besaran Remisi

a. Remisi Umum

Besarnya remisi umum yang dapat diperoleh oleh narapidana dan anak pidana yaitu :

1) 1 (satu) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani pidana selama 6

(enam) bulan sampai 12 (dua belas) bulan; dan

2) 2 (dua) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani pidana selama

lebih dari 12 (dua belas) bulan.

Pelaksanaan remisi umum dilaksanakan sebagai berikut :

1. Pada tahun pertama diberikan sebagaimana telah dijabarkan diatas dan pada

tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan;

2. Pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat)bulan;

3. Pada tahun keempat dan kelima diberikan remisi 5 (lima) bulan;

4. Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam) bulan setiap

tahun.90

b. Remisi Khusus

Besaran remisi khusus yang diberikan pada narapidana adalah sebagai berikut :

1) 15 (lima belas) hari bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani

pidana selama 6 (enam) bulan sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan;

2) 1 (satu) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani pidana

selama lebih dari 12 (dua belas) bulan.

Pelaksanaan remisi umum dilaksanakan sebagai berikut :

1. Pada tahun pertama diberikan sebagaimana telah dijabarkan diatas dan

89 Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan Nomor E.UM.01.10-130 Tahun 2001 tentang Penjelasan Remisi
Khusus Yang Tertunda, Remisi Khusus Bersyarat dan Remisi Tambahan
90Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi
50

2. Pada tahun kedua dan ketiga diberikan remisi 1 (satu) bulan;

3. Pada tahun keempat dan kelima diberikan remisi 1 (satu) bulan 15 (lima belas)

hari;

4. Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua) bulan setiap tahun.91

Sedangkan yang dimaksud dengan hari raya keagamaan menurut Keputusan Menteri

Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.09.02.01 Tahun 1999 Tentang Pelaksanaan

Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi Khusus adalah :

1. Hari Raya Idul Fitri bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama Islam;

2. Hari Raya Natal bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama Kristen atau

Katolik;

3. Hari Raya Nyepi bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama Hindu

4. Hari Raya Waisak bagi Narapidana dan Anak Pidan yang beragama Budha

5. Bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama selain tersebut diatas maka berlaku

sebagaimana ketentuan dalam Pasal 8 ayat (3) Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi

c. Remisi Tambahan92

Sementara besarnya remisi tambahan pengaturannya adalah sebagai berikut :

1. ½ (satu per dua) dari remisi umum yang diperoleh yang bersangkutan bagi

narapidana dan anak pidana yang berbuat jasa pada negara atau perbuatan yang

bermanfaat bagi negara maupun kemanusiaan;

2. 1/3 (satu per tiga) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang

bersangkutan bagi narapidan dan anak pidana yang telah membantu kegiatan

pembinaan di lembaga pemasyarakatan sebagai pemuka.

91 Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi

92Pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi
51

Remisi tambahan bagi narapidana yang menjadi donor organ tubuh dan donor darah

berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor 04.HN.02.01 Tahun 1988 Tentang

Tambahan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjadi Donor Darah dan Donor Organ Tubuh

disebutkan bahwa :

“ setiap narapidana yang menjalani pidana sementara baik pidana penjara, pidana kurungan

maupun pidana pengganti denda dapat diusulkan untuk mendapatkan tambahan remisi

apabila menjadi donor organ tubuh dan/atau donor darah”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan ini pula disebutkan bahwa :

“pengusulan remisi tambahan tersebut harus disertai tanda bukti atau surat keterangan sah

yang dikeluarkan oleh rumah sakit yang melaksanakan operasi donor organ tubuh atau

oleh Palang Merah Indonesia yang melaksanakan pengambilan darah.

Selanjutnya dalam Pasal 5 disebutkan bahwa pemberian remisi terhadap narapidana yang

melakukan donor darah diberikan dengan besaran :

1) 1 (satu) bulan apabila narapidana yang bersangkutan telah menyumbangkan darahnya:

a. 5 kali

b. 10 kali

c. 15 kali

2) 2(dua) bulan apabila narapidana yang bersangkutan telah menyumbangkan darahnya:

a. 20 kali

b. 25 kali

c. 30 kali

3) 3(tiga) bulan apabila narapidana yang bersangkutan telah menyumbangkan darahnya:

a. 36 kali

b. 43 kali

c. 50 kali
52

4) 4(empat) bulan apabila narapidana yang bersangkutan telah menyumbangkan

darahnya :

a. 84 kali

b. 92 kali

c. 100 kali

5) 6(enam) bulan apabila narapidana yang bersangkutan telah menyumbangkan darahnya

101 kali ke atas

d. Remisi Khusus Tertunda

Besaran remisi ini maksimal adalah 1 bulan. Diberikan pada tahanan setelah statusnya

berubah menjadi narapidana.93.

2.4.4 Penghitungan Masa Pidana Sebagai Dasar Pemberian Remisi

Ketentuan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi Pasal

7 yang mengatur tentangnya penghitungan lamanya menjalani pidana sebagai dasar

untuk menetapkan besarnya remisi yang akan diperoleh narapidana dan anak pidana

adalah sebagai berikut :

1) Penghitungan lamanya menjalani pidana sebagai dasar untuk menetapkan besarnya

remisi umum dihitung sejak tanggal penahanan sampai pada hari peringatan

proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.

2) Penghitungan lamanya masa pidana sebagai dasar untuk menetapkan besarnya remisi

khusus dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari besar keagamaan yang

dianut oleh narapidana dan anak pidana yang bersangkutan.

3) Dalam hal masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)

terputus, perhitungan penetapan lamanya masa pidana dihitung sejak penahanan

terakhir.

93Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asssi Manusia Nomor M.01.HN.02.01 Tahun 2001
53

4) Untuk penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, 1 (satu) bulan dihitung

sama dengan 30 (tiga puluh) hari.

5) Penghitungan besarnya remisi khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

didasarkan pada agama narapidana dan anak pidana tercatat dalam buku register

lembaga pemasyarakatan.

2.4.5 Pengecualian Pemberian Remisi

Remisi umum dan Remisi Khusus tidak diberikan terhadap Narapidana dan Anak

Pidana yang :94

1. Dipidana kurang dari 6 (enam) bulan:

2. Dikenakan hukuman disiplin dan didaftar pada buku pelanggar tata tertib

lembaga pemasyarakatan dalam kurun waktu yang diperhitungkan pada

pemberian remisi

3. Sedang menjalani Cuti Menjelang Bebas.95

4. Dijatuhi pidana kurungan sebagai pengganti pidana denda

94 Pasal 12 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
95 Berdasarkan Penjelasan Pasal 41 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dimaksud dengan
cuti menjelang bebas adalah :
a. Bentuk pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasysrakatan telah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa
pidana atau sekurang-kurangnya telah menjalani 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik dengan lama
cuti sama dengan remisi terakhir yang diterimanya paling lambat 6 (enam) bulan;
b. Bentuk pembukaan anak negara yang pada saat mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun 6(enam) bulan
dan telah dinilai cukup baik.
BAB III

SISTEM PELAKSANAAN PIDANA PENJARA

DAN PERKEMBANGAN ATURAN REMISI DI INDONESIA

3.1 Perkembangan Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Dunia

3.1.1 Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Berdasarkan Konsep Retributif

Berbicara mengenai remisi tentu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai

pidana penjara karena remisi digantungkan pada dijatuhkannya pidana penjara oleh

pengadilan, sejarah pertumbuhan penjara sebagai salah satu jenis penghukuman sejalan

dengan perkembangan pertumbuhan sistem perlakuan bagi terhukum. Perkembangan

perlakuan terhadap terhukum didasari oleh paham-paham mengenai tujuan penjatuhan

pidana.96Setidaknya ada 3 golongan utama yang menjadi pembenaran penjatuhan pidana

yaitu:

1. Teori Retributif atau Teori Pembalasan

2. Teori Utilitarian/Detterance atau Teori Tujuan

3. Teori Integratif atau Teori Gabungan.97

Jika dilihat dari sejarah perkembangan pidana penjara sebagai wahana untuk

melaksanakan pidana, yaitu suatu pembatasan kebebasan bergerak terhadap seOrang

terpidana, sudah dikenal orang sejak abad ke-1641. Bahkan diperkirakan penjara dalam

bentuk sederhana sudah ada sejak abad ke-13 di Florence Perancis. Pada masa itu penjara

dilakukan dengan menutup para terpidana di menara-menara, di puri-puri, di benteng-benteng

yang gelap dan kotor, sehingga sangat tidak manusiawi. Dengan menempatkan terpidana

pada tempat-tempat tertentu seperti tersebut di atas, atau berupa pembuangan, atau

pengasingan dimaksudkan supaya tidak bisa mengganggu masyarakat lagi. Jadi bentuk-

bentuk pidana yang berkembang pada masa itu sebagai bentuk awal dari reaksi masyarakat

96Otto Yudianto, Kebijakan Legislatif Dalam Mewujudkan Ide Pemasyarakatan Terhadap Pidana Seumur
Hidup, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm.60
97 Ibid.

54
55

terhadap kejahatan, sama sekali tanpa pertimbangan mengenai rehabilitasi atau pengembalian

pelaku tindak pidana ke masyarakat dengan segala hak-haknya.98

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian pidana merupakan perwujudan

dari rasa kebencian masyarakat dan sebagai pengungkapan rasa takut masyarakat terhadap

para pelanggar hukum. Dimaksudkan untuk melindungi masyarakat. dalam hal ini faktor

pembalasan menjadi dasar utama dalam penjatuhan pidana.

Menurut perkiraan Sutherland sampai di tahun 1670 masih belum dikenal pidana

penjara tetapi sudah ada suatu bangunan yang penggunaannya mirip penjara pada

pertengahan abad 16, yang dikenal sebagai Bridewell, bertempat di bekas istana Raja Edward

Bridewell digunakan untuk penampungan bagi pengemis, gelandangan, dan anak-anak

terlantar yang disebut thriftlesspoor, untuk melatih kerja. Di negeri Belanda, pada akhir abad

ke-16 mulai didirikan lembaga penerbitan yang dikenal sebagai tuchthuis yaitu rumah penjara

untuk menjalankan pidana yang sifatnya berat. Selain itu ada juga rasphuis untuk terpidana

wanita99.

Di Amerika pada awal abad ke 18 terkenal dengan adanya Country Jail, House of

Correction and Penitentiary, Country Jail dipergunakan untuk Orang-Orang yang menunggu

sidang pengadilan serta digunakan untuk tempa debitur yang tidak dapat melunasi hutang-

hutangnya, sedangkan House of Correction, dipergunakan untuk menahan para pelanggar

hukum yang bersifat ringan sementara Penitentiary dipergunakan untuk menahan para

pelanggar hukum yang sifatnya berat. Perkembangan selanjutnya dari pelaksanaan pidana

hilang kemerdekaan ini adalah dengan dibukanya penjara yang pertama pertama di

Philadelphia pada tahun 1776 yaitu Walnut Street Jail, kemudian pada tahun 1829 dibangun

penjara yang kedua di Cherry Hill, Pensylvania.100

98Fauzia Isti Tanoso, Sebuah Tinjauan Mengenai KebijakanConjugal Visit Sebagai Hak Narapidana Dalam
Sistem Pemasyarakatan, UI Press, 2012, hlm.12-13
99Ibid.
100 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta,
1985, hlm.40
56

Penjara di Pennsylvania melahirkan silent system , sistem ini menekankan penutupan

secara terasing agar narapidana merasa menyesal dan insyaf akan perbuatannya dan

memperkokoh daya tolak akan pengaruh jahat. 101 Penjara Sistem Pennsylvania menghendaki

para terhukum untuk terus ditutup sendiri-sendiri dalam kamar sel dan dilarang berkontrak

sesama terhukum.102 Narapidana akan dipasangi topeng yang terbuat dari besi dengan lubang

disekitar mata dan hidung sehingga menutup peluang narapidana satu dengan narapidana

lainnya untuk saling berbicara dengan anggapan bahwa dengan terputusnya komunikasi antar

narapidana maka peluang mereka untuk melarikan diri semakin kecil, narapidana

ditempatkan diruang sempit berpintu besi yang juga dilapisi kayu berat untuk menyaring

kebisingan dari luar penjara, pintu ini dibuat berukuran pendek agar meminimalisasi adanya

upaya perlawanan terhadap petugas dan pada bagian bawah pintu dibuat lubang yang hanya

cukup untuk melewatkan makanan.103 Ketika Narapidana melakukan kesalahan maka ia akan

dibiarkan di lapangan penjara sampai mati kedinginan atau napi berbicara, sebuah kerangka

besi dijepit di lidah dan dirantai ke pergelangan tangan, yang mana mereka diikat tinggi di

belakang punggung. Setiap gerakan menyebabkan pendarahan dan merobek lidah dan banyak

narapidana meninggal karena kehilangan darah dengan penyiksaan ini.

Harapan yang dituju dengan penerapan sistem ini oleh konseptornya ternyata tidak

berjalan sesuai yang di harapkan sehingga penerapannya kemudian ada perubahan bahwa

terhukum diperkenankan melakukan sejenis pekerjaan tangan dan dapat menerima tamu

namun tetap tidak boleh bergaul sesama terhukum. 104 Kemudian tahun 1925 di Auburn

muncul sistem pelaksanaan pidana penjara yang dikenal dengan sistem penjara tutup mulut,

dimana dalam pelaksanaannya sistem ini mewajibkan terhukum untuk tinggal di dalam

selnya pada malam hari dan pada siang harinya melakukan pekerjaan secara bersama-sama

101 A Widiada Gunakarya, Sejarah dan Konsepsi Permasyarakatan, Amrico, Bandung, 1988, hlm. 29
102Ibid
103 Di Lansir dari laman https://www.easternstate.org, Pada 22 April 2018
104PIbid.
57

akan tetapi dilarang keras saling berbicara satu sama lain, diberi imbalan yang nantinya

dialokasikan untuk operasional penjara.105 Setiap kali keluar sel untuk bekerja mereka

diwajibkan untuk berjalan berbaris, menjaga langkah dengan kepala tertunduk. Setiap

narapidana meletakkan tangan di bahu pria di depannya. Kepada narapidana dapat dikenakan

pidana cambuk bahkan pemukulan oleh petugas penjara yang menyebabkan cacat badan jika

pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai atau narapidana tersebut melakukan perlawanan .

Kedua sistem yang berkembang di Amerika tersebut bersifat konvensional dengan

ciri-ciri sebagai berikut : pertama tujuan pidana adalah pembalasan yang kedua narapidana

dianggap sebagai objek perlakuan oleh petugas penjara, karena merupakan objek

kedudukannya dipersamakan dengan benda mati yang tidak mempunyai perasaan yang ketiga

perlakuan pada narapidana tidak berperikemanusiaan. .Ketiga kepada narapidana yang

melanggar tatatertib penjara wajib dikenakan pidana badan. Keempat cara-cara

perlakuannya tidak layak dan tidak berperikemanusiaan.

Menurut Barners dan Teeters penjara dengan sistem Pennsylvania dan sistem Auburn

dikelola oleh organisasi kepenjaraan yang sangat jelek sehingga perlakuan yang tidak layak

pada narapidana sering terjadi. Dijelaskan juga hal-hal yang menyebabkan pengelolaan

penjara sangat jelek, yaitu minimnya dana bantuan dari pemerintah, lemahnya kepemimpinan

kepala penjara, tingkat pendidikan petugas yang rendah, juga karena pengaruh stabilitas

politik pemerintahan kala itu.106

3.1.2 Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Berdasarkan Konsep Utilitarian

Pada tahun 1787 ada sistem deportasi penjahat-penjahat Inggris ke Australia salah

satu pokok pemikirannya supaya peralihan kemerdekaan kepada pidana penjara dirasakan

betul-betul oleh penjahat, karena pada saat itu penjahat dianggap sebuah ancaman dengan

dipindahkannya penjahat dianggap sebagai suatu upaya perlindungan masyarakat

105Ibid, hlm.183
106Muhammad Hafidz, Konsep Penjara Dalam Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Pemasyarakatan di unduh dari
laman : http://ngada.org/bn5-2009-2.pdf, Pada 22 Januari 2017, di Bekasi Jawa Barat, hlm. 2
58

Satu tokoh gerakan pembaruan mengenai pengelolaan penjara adalah

AlexanderMocanochie. Adapun pembaruan yang diupayakan adalah sistem kepenjaraan

dengan angka (mark system) yang dikurangi apabila terpidana bekerja dengan baik dan untuk

pekerjaan tersebut diberikan angka (mark) atau kredit.107 Sistem ini membebani para

narapidana dengan sejumlah tanda penilaian yang didasarkan atas berat ringannya kejahatan,

untuk itu setiap narapidana harus menebusnya dengan prestasi kerja.

Pada perkembangan selanjutnya mark system diterapkan di Irlandia oleh Walter

Crofon dalam sistem dikehendaki para terhukum mula-mula ditutup terus menerus tetapi

kemudian dipekerjakan bersama-sana dan tahap demi tahap diberi kelonggaran untuk bergaul

satu sama lain sehingga pada akhirnya ketika tiga perempat masa hukuman terlampaui ia

dimerdekakan dengan syarat.108

Dalam menjalani pidananya para terhukum harus melalui 3 tingkatan yaitu:

1. Tingkat pertama probation, tingkat dimana terhukum diasingkan dalam sebuah sel

baik disiang maupun di malam hari selama 8(delapan) sampai 9 (sembilan) bulan

bahkan 1 (satu) tahun hal ini tergantung pada kelakuan si terhukum tersebut

2. Tingkat kedua public work prison, tingkat dimana terhukum dipindahkan ke suatu

penjara lain dan di dalam penjara lain tersebut si terhukum di wajibkan bekerja

bersama-sama dengan Orang yang di hukum lainnya109, nantinya mereka akan diberi

kredit dan angka. Bagi yang mengumpulkan kredit dan angka terbanyak mereka akan

ditempatkan ke kelas yang lebih tinggi.110

107 Andi Hamzah, Op.Cit


108 Ismu Gunandi dan Junaedi Effendi, Cepat dan Mudah Memahamk Hukum Pidana, Prenada Media Grup,
Jakarta,2014, hlm.69
109 Made Widjana, Pemidanaan dan Permasalahannya, Udayana, 2012, hlm.37
110 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm.84
59

3. Tingkat ketiga (ticket of leave), tingkat dimana terhukum dibebaskan dengan

perjanjian dari kewajiban untuk menjalani sisa masa waktu hukuman, ia diberi “ticket

of leave” selama sisa hukuman dan tetap berada di bawah pengawasan.111

Di Amerika Serikat dikenal sistem Elmira didirikan reformatory yang diperuntukkan bagi

pemuda yang berusia 16-30 tahun dimana tidak ada batas waktu pidana, lamanya pidana

bergantung pada angka yang di dapat napi.sistem yang hampir serupa diterapkan di Prancis

yang diperkenalkan oleh SonnevilledeMarsange yaitu dengan sistem pelepasan bersyarat

ataupun pengurangan pidana bagi yang berkelakuan baik.

Dari berbagai bentuk pelaksanaan pidana penjara sebagaimana telah dijelaskan di

atasdapat digambarkan bahwa penjatuhan pidana tidak lagi semata-mata dimaksudkan untuk

pembalasan perbuatan jahat melainkan sudah ada suatu tujuanyang hendak dicapai.

3.1.3 Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Berdasarkan Konsep Integratif

Di dalam perkembangannya karena pengaruh dari para ahli penologi, ahli hukum

pidana, dan ahli kriminologi maka tercetuslah usaha perbaikan narapidana dengan metode

rehabilitasi (pembinaan dan pendidikan narapidana) menjadi tujuan utama daripada sebuah

hasil tambahan program lembaga (penjara). Pengamanan masyarakat mulai dipandang lebih

bergantung pada hasil perbaikan diri narapidana daripada peningkatan jumlah penjagaan

keamanan dari lembaga-lembaga (penjara) secara maksimum.

Pemikiran mengenai pembaruan sistem pemenjaraan datang dari berbagai belahan

dunia, di Amerika contohnya dengan terbentuknya Asosiasi Penjara Nasional pada tahun

1870, asosiasi ini mengeluarkan deklarasi untuk memperbaiki sistem kepenjaraan secara luas

termasuk klasifikasi narapidana, pemberian penghargaan bagi yang berkelakuan baik, dan

pendidikan profesionalisme para pegawai penjara, diusahakan pula latihan industri bagi

narapidana juga perubahan bentuk rumah penjara.112

111 Made Widjana, Op.Cit, hlm.41


112 Siti Rohmanul Arrafah, Penjara Dari Masa Ke Masa, Universitas Udayana, Bali, 2013, hlm.4
60

Di London kemudian muncul kongres kepenjaraan pada tahun 1872 yang memulai

revolusi pemenjaraan yang diawali dengan perubahan pola tujuan pemidanaan bukan sebagai

pembalasan di luar prikemanusiaan juga revolusi pelaksanaan pidana penjara menjadi pidana

penjara dengan perikemanusiaan. Pada masa inilah mulai diperkenalkan probation (pidana

percobaan), parole (pelepasan bersyarat), assimilaton (pembauran dengan masyarakat),

remission (pengurangan pidana), hal yang paling menonjol dalam sistem ini adalah

pemisahan narapidana berdasarkan usia dan kejahatan yang dilakukannya disamping itu

diberi jaminan dan kesempatan bagi narapidana untuk tetap dapat berkomunikasi dengan

keluarga dan penasihat hukumnya.

Pada hakekatnya berbagai pandangan baru mengenai pidana dan hukum pelaksanaan

pidana adalah untuk menawarkan cara-cara untuk mengurangi tingkat kejahatan (technique of

crime reduction) agar pidana tersebut menjadi tepat guna dan berhasil guna, sistem

pelaksanaan pidana berdasarkan konsep integratif tidak hanya sekedar pembalasan terhadap

pelaku namun juga untuk perbaikan diri pelaku melalui pembinaan dan pembekalan diri dan

perlindungan masyarakat.113

Tindakan pembaruan dan perubahan sistem kepenjaraan yang lebih

berwawasan prikemanusiaan mencapai satu titik yang lebih memberi harapan baru bagi masa

depan narapidana setelah menyelesaikan pidananya dengan adanya Standar Minimum Rules

for Treatment of Prisoners yang dikonsepkan oleh The International Penal and Penitentiary

Commision pada tahun 1933 setelah melalui proses panjang mengingat di dalamnya diatur

berbagai ketentuan tentang perlakuan terhadap narapidanayang lebih berpegang pada hak

asasi manusia.

Ketentuan ini mengatur batasan-batasan perlakuan petugas penjara terhadap

narapidana yang sedang berkegiatan baik di dalam ruangan maupun diluar ruangan, baik

113Ibid
61

secara sendiri maupun bersama-sama mengatur pula mengenai sarana dan prasarana apa saja

yang wajib ada selama narapidana hidup di dalam penjara.

3.2 Perkembangan Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia

3.2.1 Pelaksanaan Pidana Penjara Zaman Kerajaan

Menurut Kepala Jawatan Kepenjaraan RI Yang pertama sejarah sistem kepenjaraan di

Indonesia terbagi atas zaman sebelum kemerdekaan yang terdiri dari: 114Kerajaan zaman

kerajaan dan zaman Pemerintahan Hindia Belanda.

Pada zaman purbakala, kerajaan belum ada pidana hilang kemerdekaan sehingga

belum dapat penjara terdapat penjara. jenis pidana yang ada pada zaman ini adalah

pidana,pidana siksaan badan( pidana pencambukan, cap besi panas atau penggal organ

tubuh), pidana pembuangan (pengasingan secara adat) pada masa itu belum dikenal bangunan

penjara dalam artian sesungguhnya.115 Pada masa ini tolak ukur kesalahan seOrang terhukum

hanyalah dilaksanakan atau tidaknya perintah dari para raja tidak adanya pembatasan

kesalahan dan jenis pidana yang dijatuhkan akibat kesalahan tersebut segalanya bergantung

pada titah raja atau penguasa.

3.2.2 Pelaksanaan Pidana Penjara Zaman Penjajahan

Pada zaman kompeni Belanda terdapat bangunan yang menyerupai penjara R.A

Koesnoen menyatakan bahwa untuk pertama kalinya dibangun bui di Batavia tahun 1602,

tetapi menurut Bambang Poernomo diperkirakan kebutuhan bui mendesak ketika Belanda

memerlukan tempat tawanan dalam peperangan dengan Sultan Agung sekitar tahun 1628.

Disini fungsi bui hanya sebagai tempat tawanan perang. 116 Di zaman kompeni ini juga dikenal

“spinhuis” yang merupakan rumah tahanan bagi para wanita tuna susila, pengangguran,

peminum, yang dituntut untuk bekerja meraut kayu untuk dijadikan bahan bahan baku cat.

114 Sanusi Haz, Pengantar Ilmu Penologi( Ilmu Pengetahuan Tentang Pemasyarakatan Khusus Terpidana)
Monora, Medan, 1972, hlm.49
115 Ibid
116 Koesoen, Susunan Pidana Penjara Dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur Bandung, 1966, hlm.69
62

Pada zaman ini juga terdapat tiga jenis tempat penampungan bagi Orang Orang yang

melakukan tindak pidana yaitu: bui yang berfungsi untuk menampung Orang-Orang yang

didakwa, Orang-Orang yang disandera, Orang-Orang yang berjudi, Orang-Orang mabuk,

saksi-saksi yang dipanggil oleh pengadilan dan budak beliau yang melawan terhadap

tuannya117Kettingkwartier yang berfungsi sebagai tempat Orang-Orang perantauan, Orang-

Orang China yang datang secara tidak sah dan vrouwmenhuis yang berfungsi menampung

wanita-wanita Belanda yang melanggar kesusilaan.118

Mengenai sistem pidana badan di zaman pemerintahan Inggris terdapat beberapa

peristiwa penting diantaranya, pada tahun 1808-1811 pada masa pemerintahan Gubernur

Jenderal Deansles yaitu tidak lagi diperkenankan penjatuhan pidana pokok, dan pembatasan

hukuman badan kecuali membakar, mengecap dengan besi panas, memukul dengan rotan,

kerja paksa dalam pekerjaan umum. Berakhir pidana potong tangan, pidana potong bibir dan

dipaksa berkelahi dengan harimau.119

Kemudian pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Thomas Standford Raffles

pada tahun 1811-1816, terjadi penghapusan semua jenis pidana yang kejam seperti yang

membuat cacat badan dan menggunakan bangku paksa. Pada masa ini Raffles mencoba

memperbaiki keadaan dengan mendirikan bui di tiap-tiap pengadilan dan menganjurkan

pemisahan Orang-Orang yang berlainan kesalahan namun sayangnya upaya ini gagal karena

perintah Raffles tidak dipatuhi oleh esselon dibawahnya dan masa pemerintahannya yang

relatif singkat.120

Periode perdana kerja paksa berlangsung sejak pertengahan abad ke 19 atau tepatnya

mulai tahun 1872, di periode ini terdapat 2 jenis hukum pidana yang berlaku bagi golongan

Eropa dan bagi Orang Indonesia. Pada periode ini pidana kerja paksa merupakan bentuk

117 Sanusi Has, Op.Cit, hlm.49


118 Ibid
119 Ibid, hlm. 52
120 Koesnoen, Op.Cit, hlm.70
63

pemindahan Naan yang paling sering dijatuhkan pada Inlander, lamanya kerja paksa

bervariasi ada yang seumur hidup, diatas lima tahun dilakukan dengan rantai (dwang arbeid

buiten de ketting), dibawah lima tahun tanpa rantai (dwang arbeit aan de ketting) sedangkan

satu tahun kebawah disebut dengan istilah dipekerjakan ( ter arbet stellen) dan yang dibawah

tiga bulan disebut krakal.

Pidana kerja paksa baik dengan rantai maupun tidak dilakukan diluar tempat

diputuskannya perkara, juga di luar daerah asal terpidana hal ini dimaksud sebagai

“pembuangan” terpidana untuk memberatkan terpidana dan menjauhkannya dari sanak

saudara. Bagi orang Indonesia yang lekat dengan sistem kekerabatan hal ini merupakan

beban tersendiri.Masa kolonial juga mencatat sebuah peristiwa yang terbilang sangat kejam,

kejadian yang menimpa seOrang pemberontak Indonesia yang sudah lama menjadi incaran

pemerintah kolonial Belanda. Suatu hari pemberontak ini tertangkap dan diberi hukuman

yang tidak berperi kemanusiaan keempat anggota badan ( tangan dan kakinya) di ikat ke

kuda lalu kuda tersebut dipecut untuk berlari kearah yang berlawan hingga anggota tubuh si

pemberontak tersebut tercerai berai. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa pecah kulit dan

tempat dimana kejadian tersebut berlangsung bernama jalan Jakarta kota.121

Kemudian didirikan “pusat-pusat penampungan wilayah” yang dikenal dengan

“centralen” atau “centralen gevangenissen terdiri dari bangunan-bangunan dengan ukuran-

ukuran yang sangat besar dengan kapasitas penampungan yang sangat besar juga (kurang

lebih 700 sampai dengan 2700 Orang terdiri atas kamar-kamar besar yang dapat memuat

sampai 25 Orang terpidana(sistem kamar bersama) yang merupakan ciri khas dari

“Centralen Gevangenisse.122

Berdasarkan keterangan tersebut dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pidana pada masa ini

masih menggunakan konsep retributif yang semata-mata bertujuan untuk pembalasan tanpa
121Dikutip dari laman Ditjenpas.go.id/Sejarah, pada 8 April 2018 di Bekasi
122 Koesnoen. Op.Cit, hlm.78
64

memikirkan perbaikan diri dari si pelaku kejahatan hal ini juga sesuai dengan laporan yang

ditulis oleh Jenderal bernama Mr. A. J Swartenguraikan ditahun 1854, di dalamnya

digambarkan tentang keadaan rumah-rumah penampungan penjahat yang kurang baik di

Hindia Belanda pemberitahuan ini berisi tentang keterangan mengenai ketertiban, makanan,

pakaian, kesehatan, situasi tempat-tempat mereka ditampung serta pekerjaan mereka,

keadaan kettingkwatier pada umumnya kurang baik, kebanyakan rumah penampungan terlalu

penuh dan tidak ada pemisahan pemidanaan berdasarkan kesalahannya.

Peralihan tujuan penjatuhan pidana dari retributif menjadi detterence (penjeraan) atau

pencegahan dimulai sejakditerbitkannya Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 ( I.S1872 Nomor 85)

diumumkan Wetboek van Straftrecht untuk bangsa Indonesia yang mulai berlaku pada 1

Januari 1976, kemudian pada tahun 1915 dengan KoninklijkBesluit(KB)tanggal 15 Oktober

Nomor 33 (I.S Nomor 732) dimasukan WvS baru ke Indonesia dengan KB tanggal 4 Maret

1917 (I.S 1917 Nomor 497) dinyatakan berlaku mulai 1 Januari 1918. Memang tiada satu

pasal pun yang secara tegas merumuskan tujuan penjatuhan pidana namun pada masaini

pidana kerja paksa diganti menjadi pidanapenjara) dan bangunan penjara dalam artian

sebenarnya mulai didirikan, sejak saat itu susunan hukuman pidana sebagaimana yang

terdapat dalam pasal 10 KUHP mulai berlaku.

Sejak saat itu pulapenjara dan sistem kepenjaraannya mulai berkembangbentuk

hukuman dengan paradigmapencegahan adalah perampasan kebebasan bergerak dengan

asumsi kebebasan merupakan kebutuhan manusia (pengaruh filsafat free will) sehingga

manusia akan merasa takut menggunakan kebebasannya untuk berbuat jahat karna sudah

terdapat aturan tertulis yang tegas menyatakan bahwa resiko dari perbuatan jahat mereka

adalah hilangnya kemerdekaan.

Pada tahun 1919 di Jatinegara didirikan penjara khusus untuk Orang yang dipidana

penjara seumur hidup dan narapidana nakal (residivis). Selang tiga tahun sesudah 1 Januari
65

1918, terjadi perubahan-perubahan mencolok dalam sistem kepenjaraan. Salah satunya

adalah dihapuskannya sistem “Gewestelijke centralen”, dan diganti dengan sistem

“Strafgevangenissen” (penjara sebagai sarana pelaksanaan pidana). Perubahan ini terjadi di

bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda, Hijmans yang tercatat sebagai

pembawa angin segar dalam sejarah perkembangan urusan kepenjaraan Hindia-Belanda.

Salah satu gebrakan yang dilakukan oleh Hijmans adalah catatannya yang panjang

lebar tentang perbaikan urusan kepenjaraan tertanggal 10 September 1921 kepada Direktur

Justisi. Pria enerjik ini mengutarakan pandangannya tentang pandangan-pandangannya di

bidang kepenjaraan, yang pada pokoknya berupaya untuk melakukan reformasi bagi

terpidana. Perhatian terutama ditujukan kepada anak-anak terpidana dan klasifikasi terpidana

dewasa.

Di bawah kepemimpinan Hijmans pula, Kepenjaraan Hindia-Belanda untuk pertama

kali mengirimkan wakilnya ke Konggres Internasional Penitentiar kesembilan di London,

pada Agustus 1925. Selain itu tiap tahun memberi sumbangan berupa uang sebanyak 500

Rupiah kepada sekretariat untuk anggaran pengeluaran negara dan urusan kepenjaraan.

Pada tahun 1925 di Tanah Tinggi dekat Tangerang didirikan penjara khusus untuk

anak-anak dibawah umur 20 tahun, di Batavia dan di Surabaya diadakan”clearing house”

untuk mengumpulkan narapidana yang ysng dihukum pidana lebih dari satu tahun untuk

diselidiki, dipilih lalu dikirim ke penjara sesuai karakter pidana dan kebutuhan pekerjaan

narapidana.123

Pada tahun yang sama di penjara Cipinang dicoba mengadakan tempat tidur yang

terpisah narapidana yang disebut “chamberla” yaitu kerangkengan yang dibuat dari jeruji

besi dan tiap-tiap kerangkeng di isi satu Orang dengan maksud untuk mencegah perbuatan

cabul.124

123 Mariana Lova, Op.Cit, hlm.25


124 Ibid.
66

Suasana sontak berubah manakala terjadi pemberontakan besar-besaran dari bangsa

Indonesia terhadap pemerintah penjajahan Belanda, pada bulan November 1926. Belanda

menyebutnya sebagai “pemberontakan komunis”. Banyak putra Indonesia ditangkap dan

dijebloskan ke dalam penjara, sehingga urusan kepenjaraan dihadapkan pada kondisi

“overcrowding” (kepenuhan penjara). Hal ini menjadi sandungan bagi Hijmans yang tengah

mencoba mengembangkan mutu kepenjaraan.

Meskipun pidana kerja paksa telah dihapuskan dan muncul beberapa kebijakan yang

terlihat manusiawi namun praktek perlakuan buruk terhadap narapidana tetap terjadi, contoh

nyata perlakuan buruk terhadap narapidana pada era ini dialami Soewignjo mantan

narapidana pada Penjara Glodok dan Penjara Pamekasan Madura pada tahun 1928 yang

menceritakan pengalamannya sebagai narapidana kepada majalah femina. Berikut ini akan

disarikan beberapa perlakuan yang diterimanya : 125

Aku akhirnya dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Selama dua tahun aku mendekam
di penjara Glodok. Bersama teman-teman dalam ruangan luas yang bisa menampung
500 Orang. Tak ada fasilitas yang layak. Bilik untuk buang air hanya berupa ruangan
seluas dua kali dua setengah meter yang ada ditengah ruangan itu. Sisa hukuman
kujalani di Penjara Pamekasan, Madura. Suatu penjara nomor satu di mana aku
beberapa kali mendapat hukuman rotan masing-masing 20 pukulan. Penyiksaan ini
bagai ritual keji. Tangan dan kakiku diikat kemudian digantung di tiang dari kayu
dengan ketinggian 10 sentimeter dari tanah, sehingga kaki tidak bisa menapak bumi
untuk menahan sakit akibat pemukulan rotan. Sementara aku disiksa, para pembesar
penjara duduk tidak jauh dari tiang penyiksaan, menikmati tontonan yang tidak
berperikemanusiaan itu. Pukulan-pukulan rotan berikutnya terasa perih juga, apalagi
salah satu algojo Belanda Hansen keliru mendaratkan rotannya. Aku memakinya.
Mendengar makianku direktur penjara marah, memerintahkan Hansen untuk merotan
lebih keras. Setelah pukulan rotan selesai, ritual sadis yang menyakitkan belum selesai,
seOrang mantri penjara menghampiri dengan kuas besar, dan dicelupkan pada cairan
obat merah.
Aku menahan jeritanku, ketika cairan merah itu beberapa kali mengenai dagingku yang
tersayat rotan. Rasa perih yang luar biasa membuat sekujur tubuhku mengigil perih.
Dengan terhuyung-huyung aku melewati direktur penjara, mengucapkan terima kasih
atas perlakuannya tersebut. Direktur penjara tersinggung, memerintahkan agar aku
dimasukkan ke kamar gelap. Dua minggu aku mendekam di kamar gelap dengan jatah
makan yang menyedihkan, yaitu nasi, garam sesendok dan air putih. Dalam kamar
gelap tangan dan kakiku dirantai bergantian setiap hari. Satu hari tangan kanan dengan
kaki kiri dan esoknya tangan kiri dengan kaki kanan. Setelah empat tahun menjalani

125 Syachdin, Op.Cit, hlm.64


67

hukuman, aku tidak segera dilepas. Atas ketentuan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
atas nama Sri Ratu tanggal 31 Desember 1929 aku diasingkan ke Boven Digoel Tahun
1930 aku dipulangkan. Digoel dibubarkan atas laporan Editur Hillen, sesudah
mengunjunginya. Menurut Hillen, anggota Volksraad, Digoel menghabiskan dana
pemerintah Belanda (Femina, 17/11/1994).

Pengalaman Soewignjo tersebut memberikan gambaran betapa kejamnya dan jauh dari

penghormatan HAM karena tujuan utamanya adalah menindas bangsa yang dijajah. 126

Pada tahun 1935, muncul sebuah kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang

memberikan sedikit angin segar terhadap sistem pelaksanaan pidana pada masa itu, kebijakan

ini tertuang dalam Government Besluit tanggal 10 Agustus 1935 No.23 Bijblad 13515

tentang remissieregeling yaitu sebuah kebijakan pemberian ampunan yang diberikan sebagai

hadiah semata-mata pada kelahiran Sri Ratu Belanda. Remisi itu diberikan karena pada saat

kelahiran Sri Ratu Belanda itu dianggap sebagai kebahagiaan semua warga negara, sehingga

kepada narapidana juga diikutsertakan untuk menikmati hari-hari kebahagiaan ditandai

dengan pemberian suatu hadiah berupa pengurangan masa menjalani pidana, kebijakan ini

kemudian dirumah menjadi Governmen Besluit 1941 Nomor

12 Bijblad pada Staatsblad Nomor 14583 dan 26 Januari 1942 Nomor 22.127

Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di ataswalau telah terjadi banyak perubahan

dalam hal pelaksanaan pidana penjara pada zaman penjajahan ini tetapi penulis berpendapat

bahwa pelaksanaan pidana penjaramasih menggunakan konsep pencegahandengan

dimasukannya pidana penjara sebagai pidana pokok disamping pidana mati dan pidana denda

dengan demikiankeberadaan calon penjahat dapat dicegah karna sudah terdapat resiko yang

membayangi atas perbuatan tersebut

Setelah masa penjajahan Belanda Indonesia kemudian dijajah oleh Jepang, selama

periode pendudukan bala tentara Jepang ini (Tahun 1942-1945) kantor Pusat Kepenjaraan di

126Ibid, hlm.66
127 Dwija Priyatno, Op.Cit, hlm. 133
68

Jakarta yang disebut “Gyokeyka” dikepalai oleh seOrang Jepang yang disebut Gyokeyka

Cho.

Kepenjaraan di daerah dipimpin oleh Orang Jepang yang disebut “Tosei

Keimukantotukan yang mengawasi seluruh penjara-penjara yang berada di karesidenan.

Penjara-penjara yang berada di pusat daerah (Ibukota) karesidenan masing-masing dikepalai

oleh Orang Jepang yang disebut “Keimukantotukan” yang dibantu oleh dua atau tiga Orang

Jepang yang disebut “Keimukantotukan Ho” berfungsi sebagai pengurus penjara yang telah

mengalami masa pelatihan selama satu setengah bulan dalam bahasa Jepang disebut

“Keimushucho” Sekalipun berada dalam pendudukan Jepang, masalah pendidikan bagi

petugas kepenjaraan masih dilakukan, antara lain dengan memberi pelatihan bagi pengurus

penjara (Keimusho-cho), selama satu setengah bulan pada tahun 1943. Pendidikan bagi para

pegawai baru sebanyak 100 Orang selama empat bulan, di Jakarta, serta Calon Pegawai

Tinggi Kehakiman (Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepenjaraan) pada tahun 1944 selama satu

tahun, dan pendidikan untuk pegawai menengah kepenjaraan selama enam bulan tahun

1945.Selama penjajahan Jepang pelaksanaan pidana penjara secara teoritis telah mengenal

sistem pembinaan meskipun terbatas pada petugas-petugas penjara.

Meskipun begitu pada masa ini perlakuan terpidana merupakan eksploitasi atas

manusia, yang diutamakan adalah hasil dari perusahaan-perusahaan di penjara khususnya

untuk keperluan perang. Barang-barang yang dihasilkan antara lain; pakaian, sepatu, peti

peluru, pedang samurai. Untuk produksi makanan didirikan penjara-penjara pertanian. Di

Cipinang, para terpidana dikerahkan sebagai romusha untuk pembuatan kapal-kapal atau

sekoci pendarat dari kayu jati untuk kepentingan perang, dan bahkan alat-alat kedokteran,

seperti stetoskop.
69

Selain di Cipinang, di penjara-penjara lain berlangsung juga kegiatan yang

menghasilkan barang-barang tertentu, misalnya kain (di Sragen), selimut dan bahan pakaian

(Cirebon, Sragen), sepatu tentara (Yogyakarta). Khusus untuk samurai, digunakan untuk

keperluan pendidikan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Narapidana pada masa ini tidak

mengalami kekerasan psikis mereka bekerja dibawah ancaman bahwa anggota keluarga

mereka akan di isolir dari desa atau turut ditarik ke penjara.

Akibat diperas tenaganya secara terus menerus, kondisi kesehatan para terpidana

sungguhlah memprihatinkan, banyak dari mereka terserang malaria, disentri, dan busung

lapar. Rata-rata, dalam satu hari 25 Orang terpidana menemui ajal di rumah penjara Cipinang

(tahun 1944). Begitu menyedihkan, sampai suatu kali jalanan menuju ke rumah sakit penjara

Cipinang dipenuhi dengan kotoran manusia. Begitu terbatasnya obat-obatan dan makanan,

sampai-sampai bekicot pun diolah menjadi makanan.

Kejadian lain yang patut diingat dalam periode ini adalah terjadinya penahanan atas

bekas tentara PETA yang melakukan pemberontakan melawan tentara Jepang di Blitar,

menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Mantan anggota tentara PETA ini

dalam jumlah besar ditahan di Cipinang.Perlakukan terhadap terpidana bangsa Indonesia

pada jaman Nippon ini mencatat lembaran hitam dari sejarah kepenjaraan di tanah air tercinta

ini. Tak beda dengan masa kerja paksa di zaman kolonial.

3.2.3 Pelaksanaan Pidana Penjara Pasca Kemerdekaan

Setelah memperoleh kemerdekaan dan ditetapkannya Pancasila sebagai Ideologi

negara juga Undang-undang Dasar 1945 yang di dalamnya terdapat aturan peralihan maka

terdapat aturan-aturan yang masih berlaku diantaranya Reglement Penjara yang


70

mengakibatkan sistem kepenjaraan belum mengalami banyak perubahan. Usaha perubahan

sistem kepenjaraan pada akhirnya sampai pada usaha mengganti sistem kepenjaraan sebagai

sistem perlakuan pada Orang-Orang hukuman menjadi sistem lain yang lebih dirasakan

keberhasilannya dibandingkan sistem kepenjaraan yang berasal dari sistem kolonial

Belanda.128 Usaha-usaha ini didasari atas pertimbangan bahwa sistem kepenjaraan lama tidak

lagi sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang di dalam kehidupan sehari-harinya

berpendoman dan berdasarkan falsafah Pancasila khususnya yang termaktub dalam sila kedua

yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab

Oleh sebab itu diupayakan untuk diadakan aturan-aturan perihal pengaturan

kepenjaraan yang sesuai dengan keadaan negara Republik Indonesia hal itu diawali dengan

dikeluarkannya Surat Edaran untuk pertama kalinya dalam sistem kepenjaraan Republik

Indonesia di Jakarta tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor G.8/588 oleh Menteri Kehakiman

Republik Indonesia yang pertama, Prof Mr. Dr. Soepomo, surat edaran pertama memuat hal-

hal berikut ini :

1) Semua penjara telah dikuasai oleh pemerintahan Republik Indonesia

2) Bawa perintah perintah yang dituruti hanyalah perintah perintah dari Menteri

Kehakiman Republik Indonesia atau dari Kepala Bahagian urusan kepenjaraan

Mr.R.P Notosusanto yang telah ditunjuk sementara untuk itu

3) Bahwa pengurusan atas penjara-penjara setelah dikuasai oleh Republik Indonesia

harus baik guna memperoleh nama baik dan pengakuan dari dunia internasional

3. Bahwa pertama-tama yang harus diperhatikan dan diusahakan adalah kesehatan

Orang-Orang terpenjara apa yang terjadi di masa sebelumnya (Jepang) jangan sampai

terulang khususnya makanan Orang-Orang terpenjara harus tercukupi

128Ibid
71

4. Pekerjaan bagi Orang-Orang terpenjara harus diperhatikan antara lain sebagai sarana

memperbaiki tabiatnya; perhatian khusus diminta untuk usaha-usaha dibidng pertanian

guna mencukupi kebutuhan Orang-Orang terpenjara

5. Akhirnya dipesankan agar dalam hal perlakuan terhadap Orang-Orang terpenjara

harus selalu mengingat perikemanusiaan dan keadilan tanpa pandang bulu.

Kemudian terbitlah Surat Edaran Menteri Kehakiman tanggal 25 Februari 1946 No. G

8/230 diubah dan ditambah dengan surat-surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 5

Febuari 1948 No. G 8/164, tanggal 20 Mei 1946 no. G 8/654, tanggal 7 Juni 1948 No. G

8/675 Kepala Jawatan Kepenjaraan menginstruksikan kepada semua Pimpinan Kepenjaraan

Daerah dan semua Pimpinan Rumah Pendidikan Negara untuk mengadakan bagian baru

dalam tata laksana Kepenjaraan dan Pendidikan paksa yakni bagian “pendidikan”, selain itu

melalui surat Edaran tanggal 23 November 1948 No. G.8/1510 Kepala Jawatan Kepenjaraan

menginstruksikan kepada direktur-direktur kepenjaraan untuk mengadakan pemisahan keras

antara pelanggar hukjm anak-anak dan dewasa dan menginstruksikan pula untuk

menempatkan pegawai khusus untuk pendidikan anak-anak dalam penjara.129

Pada waktu itu urusan ke penjaraan yang semula dipegang oleh Gubernur Jenderal

dan Direktur Yustisi kemudian beralih pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia

sedangkan, untuk urusan sehari-hari dipegang oleh Kepala Kepenjaraan Pusat dan untuk

urusan di daerah ditunjuk Direktur Kepenjaraan.

Kejadian-kejadian lain Yang patut dicatat sebagai dasar dasar pokok bagi penyusunan

bagi sistem kepenjaraan di Indonesia antara lain adalah :

a) Dalam periode tahun 1946 tepatnya pada tanggal 17 Januari 1946 didirikan secara

resmi “Serikat Sekerja Kepenjaraan” (SKK)

129 https://www.ditjenpas,go.id/ index.php.page 20-21 diakses 31 Juli 2017 di Bekasi Jawa Barat
72

b) Di tahun 1947 Belanda melakukan agresi militer ysng pertama yang kemudian

mengskkbstkan terbentuknya daerah renvile. Dalam daerah renvile ini kemudia

terbentuk pula apa yang kemudian disebut Rumah-rumah Taffakur yakni rumah-

rumah asal bangunan penjara yang khusus diperuntukkan bagi

tawanan/tahanan/terpidana politik berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun

1946 tentang Hukuman Tutupan

Selama tahun 1948-1949 terkenal dengan adanya “penjara-penjara darurat” dan

pengadilan untuk membuktikan pada dunia internasional bahwa Pemerintah Republik

Indonesia baik secara de facto maupun de jure tetap ada.

Penyempurnaan ketentuan remisi Governmentbesluit 1935 No. 23 yang dilakukan

dengan peraturan baru dan termuat dalam Keputusan Presiden No.156 B.N RIS No. 26/1950

untuk memberikan pembebasan seluruhnya atau sebagian bagi narapidana setiap tanggal 17

Agustus.130 Sedangkan untuk urusan pemindahan dan penempatan narapidana ditetapkan dan

dikoordinir oleh Jawatan Kepenjaraan Pusat yang diatur tersendiri dalam Surat Edaran

Jawatan Kepenjaraan Pusat No. J.H 1.3/17/35 tanggal 10 November 1952.

Perubahan yang sangat menonjol dibidang pelaksanaan pidana penjara pada masa itu

adalah penghapusan hukuman disiplin yang dilakukan dengan cambuk rotan Staatblad 1948-

77 dan percobaan perawatan narapidana untuk bergaul dengan masyarakat umum atau

bekerja di kantor-kantor atau perusahaan-perusahaan. Menurut Surat Edaran Kepala Jawatan

Kepenjaraan Pusat No. J. H. 8.2/19/2 tanggal 12 November 1957 kelonggaran ini merupakan

awal dari pre release treatment.

Jawatan Kepenjaraan berusaha meningkatkan realisasi pembaruan pelaksanaan pidana

penjara dan memantapkan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Reglement 1917 melalui

konfrensi dinas yang dipimpin oleh Soebandri selaku Kepala Jawatan Kepenjaraan melalui

130 Aturan ini yang kemudian dikenal sebagai Keppres Nomor 156 Tahun 1950, Bambang Poernomo, Op.Cit,
hlm.138
73

Konfrensi Dinas pada tanggal 12-15 November di Nusakambangan berhasil menetapkan

sistem kepenjaraan yang antara lain mengenai seleksi serta diferensiasi perawatan

narapidana, sosial narapidana dan peningkatan pendidikan pegawai.

Konfrensi Dinas pada tanggal 21-25 Juli 1956 di Sarangan menetapkan acara tentang

upaya kepenjaraan yang tiada lain bermaksud menekankan bahwa pada prinsipnya pidana

penjara berupaya mengembalikan seseOrang menjadi anggota masyarakat yang baik sehingga

perlu peningkatan usaha-usaha kearah pendidikan, pekerjaan narapidana, dan kegiatan

rekreasi, urusan pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat harus di tingkatkan.

Pada periode 1960, secara resmi digunakan istilah “narapidana” untuk “Orang-Orang

hukuman”, “tindakan penertiban” untuk “hukuman disiplin”, istilah “pidana” sebagai

pengganti “hukuman”, “tahanan pencegahan” sebagai ganti “tahanan preventief” dan

“tahanan sandera” untuk “di-gidzel(tahanan paksa badan)”. Pergantian istilah khusus berlaku

untuk lingkungan kepenjaraan ditentukan melalui surat edaran Kepala Jawatan Kepenjaraan

tanggal 14 November 1960 (tidak bernomor). Istilah Narapidan sebetulnya berasal dari

pemikiran RA Kusnim, SH dan diartikan sebagai “nara” = kaum, + “pidana” = hukuman.131

Sistem kepenjaraan yang merupakan produk kolonial yang memandang serta

memperlakukan Orang-Orang hukuman (narapidana) tidak sebagai manusia jika ditinjau dari

segi politik hukum pidana sistem kepenjaraan tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip yang

tertera dalam Standar Minimum Rules for Treatment of Prisoners (SMR) olehPerserikatan

Bangsa-bangsa pada tahun 1955.132

SMR ini yang merupakan Kongres Perserikatan Bangsa-bangsa pertama mengenai

Pencegahan Kejahatan dan perlakuan Terhadap Pelanggar Hukum (* The First United

Congress On The Prevention of Crime and The Treatment of Offender*) 133yang

131 Marliana Lova, Op.Cit, hlm.29


132 Peter van Djik, Adnan Buyung Nasution, Leo Polak Instrumen Internasional Pokok-pokok Hak
Narapidana, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999, hlm.671
133Pada Pasal 70 diatur mengenai previllege dimana narapidana harus menetapkan metode yang mendorong
prilaku baik dan mengembangkan rasa tanggung jawab bagi masing-masing narapidana. Menurut penulis hal ini
74

diselenggarakan di Jenewa pada tanggal 30 Agustus 1955, dan disetujui oleh Dewan

Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) dengan resolusi Nomor 663C (XXIV) tangga 31 Juli 1957

yang mempelopori perubahan pelaksanaan pidana penjara dan cara baru menyikapi

narapidana yang juga mengandung aspek social defence dipelopori oleh Adolf Prins yang

dikembangkan lebih lanjut oleh Marc Ancel sebagaimana diketahui dalam bukunya La

Nouvelle Defence Social. Kebijakan hukum mengenai perlakuan terhadap narapidana

berdasarkan La Novelle Defence Social yang menjadi kebijakan pelaksanaan pidana dengan

memperhatikan hal-hal berikut ini:

1. Melindungi masyarakat dari kejahatan

2. Membuat seseOrang untuk tidak melakukan kejahatan lagi dengan cara memperbaiki

atau mendidiknya

3. Berusaha menyembuhkan dan mencegah pelanggar hukum

Negara Indonesia sebagai anggota PBB harus mengikuti pedoman yang sudah disetujui

tersebut. Pembaruan sistem kepenjaraan di Indonesia diawali dengan diperkenalkannya istilah

pemasyarakatan oleh Dr. Sahardjo pada pidatonya saat menerima penghargaan gelar Doktor

Honoris Causa dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963, mengemukakan pidato ilmiah

yang berjudul “Pohon Beringin Pengayoman Hukum Pancasila Manipol/Usdek”

pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara yang tidak lagi

sekedar penjeraan melainkan juga suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan pada

hakekatnya hal masih menitik beratkan perhatiannya pada para pelanggar-pelanggar hukum

yang bersangkutan secara manusiawi.134

Dalam pidatonya beliau mengatakan bahwa pidana penjara selain menimbulkan derita

bagi narapidana harus juga bertujuan untuk membimbing narapidana agar bertobat, mendidik

agar dapat menjadi anggota masyarakat yang sosialis selain itu dikatakan juga bahwa para

berkaitan erat dengan aturan pemberian remisi.


134 Anton Setiawan, Pelaksanaan Pembinaan Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 (Studi
Kasus Lapas Kelas IIA Binjai), Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009, hlm. 22
75

terpidana adalah Orang tersesat jadi harus diberi bekal sehingga dapat menjadi hamba yang

berfaedah di dalam masyarakat.

Satu tahun kemudian dalam Konfrensi Dinas Ditektorat Pemasyarakatan yang

diadakan di Lembang pada tanggal 27 April sampai 4 Mei 1964 dimana salah satu hasilnya

adalah Sistem Pemasyarakatan yaitu suatu sistem pelaksanaan pidana penjara yang

berorientasi pada pengayoman dan pembinaan narapidana.

Munculnya sistem pemasyarakatan tersebut tidak dapat dilepaskan dari kehendak

Indonesia sebagai negara yang merdeka untuk menciptakan sistem baru di segala bidang

termasuk juga bidang kepenjaraan, situasi politik juga berkembang di saat kelahiran sistem

pemasyarakatan di samping kebutuhan pembinaan pelaku kejahatan masyarakat yang

berdasarkan penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan, sejak saat itulah tanggal 27 April

ditetapkan sebagai hari lahir pemasyarakatan dan piagam pemasyarakatan

Piagam Pemasyarakatan Indonesia yang tersusun dalam Konferensi Dinas Pemasyarakatan

merumuskan arti pembinaan sebagai berikut :

“Bahwa sistem pemasyarakatan Indonesia mengandung arti pembinaan narapidana yang


berintegrasi dengan masyarakat dan menuju pada integritas kehidupan dan penghidupan.
Pemasyarakatan sebagai proses bergerak dengan menstimulasi timbul dan
berkembangnya selfpropelling adjustment diantara elemen masyarakat sehingga
narapidana yang bersangkutan menuju kearah perkembangan kehidupan.

Demikian pula dalam Surat Keputusan Kepala Direktorat Pemasyarakatan

No.KP.10.13/3/1 tanggal 8 Febuari 1965 yang menyempurnakan Surat Keputusan No.J.H

G.8/922 Tanggal 26 Desember 1964 tentang konsepsi pemasyarakatan adalah suatu proses,

proses therapiutic yang dimulai sejak narapidana mengalami pembinaan di dasari atas asas :

perikemanusiaan, Pancasila, pengayoman dan Tut Wuri Handayani. 135dalam surat edaran

tersebut dinyatakan “pembinaan narapidana dewasa ini dilakukan melalui empat tahap

sebagaimana berikut :

d) Tahap Orientasi Pemasyarakatan (Tahap Maximum Security)


135 Dwija Priyatno, Op.Cit, hlm.189
76

Dalam tahap ini setiap narapidana akan diteliti untuk mengetahui segala hal tentang
dirinya, narapidana akan diteliti tentang sebab-sebab ia melakukan tindak pidana dan
segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarganya, bekas
atasan, teman sekerja, korban tindak pidana yang dilakukannya maupun pihak yang
menangani perkaranya. Hasil penelitian ini sangat penting dan digunakan sebagai
bahan penyusunan program pembinaan, tahapan ini berlaku selambat-lambatnya 1
bulan.
e) (Tahap Medium Security)

Tahap ini baru diberlakukan jika proses pembinaan terhadap narapidana yang
bersangkutan telah berlangsung selama 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan
menurut pendapat Tim Pembina Pemasyarakatan narapidana tersebut sudah menjadi
lebih baik seperti menunjukan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada tata tertib
yang berlaku di lembaga, maka kepada narapidana tersebut diberikan kelonggaran lebih
banyak.
f) Tahap Asimilasi (Tahap Minimum Security)

Tahap ini berlangsung jika proses pembinaan narapidana telah berlangsung selama ½
dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pembina Pemasyarakatan telah
dicapai kemajuan baik secara fisik maupun mental dan juga segi keterampilan, maka
tempat melakukan proses pembinaannya diperluas dengan diperbolehkannya
mengadakan asimilasi dengan masyarakat luar antara lain : bekerja di luar akan tetapi
dalam pelaksanaannya masih berada di bawah pengawasan dan di bimbing petugas
LAPAS.

Dasar-dasar pelaksanaan sistem permasyarakatan lebih dikenal dengan istilah sepuluh prinsip

pemasyarakatan yang rumusannya adalah sebagai berikut :136

a. Orang yang tersesat diayomi juga dengan memberikan kepadanya beka hidup sebagai
warga yang baik, berguna dalam masyarakat yakni masyarakat Indonesia yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup tidak hanya financial dan materil
tetapi yang terpenting juga mental, fisik, keahlian dan keterampilan sehingga diri
Orang mempunyai kemampuan dan kemaluan yang potensial dan efektif untuk
menjadi warga negara yang baik, tidak melanggar hukum lagi dan berguna bagi
pembangunan negara
b. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara, terhadap narapidana
tidak boleh ada penyiksaan baik berupa ucapan, tindakan, cara perawatan maupun
penempatan. Satu-satunya penderitaan adalah hilang kemerdekaan.
c. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan. Terhadap
narapidana harus ditanamkan norma-norma hidup dan kehidupan, diber kesempatan
untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikut sertakan
dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.
d. Negara tidak berhak membuat seseOrang menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari
sebelumnya (red : sebelum ia masuk lembaga pemasyarakatan) karena itu harus
diadakan pemisahan antara :

136 Petrus Iwan Pandjaitan dan Wiwiek Sri Widiarty, Pembaharuan Pemikirab Dr.Sahadjo Mengenai
Pemasyarakatan Narapidana, Ind. Hill Co, Jakarta, 2008, hlm.26
77

1. Yang residivis dan yang bukan


2. Telah melakukan tindak pidana berat dan ringan
3. Macan tindak pidana yang diperbuat
e. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan pada
masyarakat dan tidak boleh diasingkan daripadanya. Berdasarkan paham yang lama
pada waktu mereka menjalani pidana hilang kemerdekaan identik dengan
pengasingan. Kini menurut sistem pemasyarakatan mereka tidak boleh diasingkan
dalam arti kultural, secara bertahap mereka akan dibimbing di tengah-tengah
masyarakat yang merupakan kebutuhan dalam proses pemasyarakatan.
Pemasyarakatan ini didasarkan pada pembinaan bersifat community base oriented dan
mengandung kegiatan dengan pendekatan Interdisipliner antara narapidana, pegawai
lembaga pemasyarakatan dan masyarakat
f. Pekerjaan yang diberikan pada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu atau
hanya diperuntukkan bagi kepentingan jawatan atau negara sewaktu saja, pekerjaan
harus sesuai pekerjaan di masyarakat yang ditujukan kepada pembangunan nasional,
karenanya harus ada integrasi antara pekerjaan narapidana dengan pembangunan
nasional
g. Bimbingan dan didikan harus berdasar Pancasila. Dalam pendidikan dan
Pembimbingan harus berisikan asas-asas yang terkandung dalam Pancasila, kepada
narapidana harus diberikan pendidikan agama serta diberi kesempatan untuk
melaksanakan ibadahnya, ditanamkan jiwa kegotongroyongan, jiwa toleransi, rasa
kebangsaan Indonesia, jiwa bermusyawarah dan mufakat yang positif, narapidana
harus diikut sertakan dalam kegiatan-kegiatan demi kepentingan bersama dan umum
h. Tiap-tiap manusia harus diperlakukan sebagai manusia meskipun ia tersesat, tidak
boleh selalu ditunjuk pada narapidana bahwa dia itu penjahat. Ia harus selalu merasa
bahwa ia dipandang dan diperlakukan selayaknya manusia. Sehubungan dengan itu,
petugas pemasyarakatan tidak boleh bersikap ataupun memakai kata-kata yang dapat
menyinggung perasaan.
i. Narapidana tidak hanya dijatuhi hukuman penjara namun mendapat mata pencaharian
untuk keluarganya dengan jalan menyediakan pekerjaan dengan upah. Bagi pemuda
dan anak-anak disediakan lembaga-lembaga pendidikan yang diperlukan ataupun
diberi kesempatan kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan di luar lembaga
j. Perlu didirikan lembaga-lembaga pemasyarakatan yang baru sesuai dengan kebutuhan
program pembinaan dan memindahkan lembaga yang berada di tengah-tengah kota ke
tempat yang sesuai dengan kebutuhan proses pemasyarakatan, sebaiknya juga ada
bangunan khusus sehingga dapat diadakan pemisahan antara narapidana.

Mengacu pada hal ini sistem permasyarakatan terlihat mengandung aspek-aspek yang banyak
persamaan dengan konsep resosialisasi. Resosialisasi disini dapat diartikan sebagai proses
interaksi antara narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan dan masyarakat dimana di
dalamnya terdapat perubahan sistem norma sehingga mereka dengan mudah mampu
beradaptasi dengan sistem yang ada dalam masyarakat137 namun, kalau dianalisa secara
mendalam dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa Pemasyarakatan tidak sama dengan
“resosialisasi” dilihat dari sasanti Pemasyarakatan yang berbunyi GRIYA WINAYA JAMNA
MIWARGA LAKSA DHARMESTI yang artinya (kurang lebih) rumah untuk pendidikan
manusia yang salah jalan agar patuh kepada hukum dan bere-integrasi terhadap sekitar.

137 Sri Wahyuni Putri, Pembinaan Narapidana Wanita Dalam Lembaga Permasyarakatan, Universitas Islam
Riau, 2014, hlm.9
78

Acuan yang dipakai untuk menyusun pola pembinaan tersebut didasarkan peraturan

perundang-undangan yaitu :

f) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ( Staatblad 1917-732)

g) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Undang-

undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang menyatakan berlakunya Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh Wilayah

Republik Indonesia dan mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran

Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660);

h) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. (Lembaran

Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209),

i) Peraturan Penjara (GestichtenReglement, Stbl. 1917 Nomor 708):

j) Peraturan Pendidikan Paksa (DwangOpvoedingRegeling, Stbl. 1917 Nomor 741);

k) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan

Lembaran Negara Nomor 3258);

l) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1987 tentang Pengurangan

Masa Pidana (Remisi);

m) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1988 tentang Perubahan

Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen

sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor

27 Tahun 1988;

n) Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04-UM.01.06 Tahun

1983 Tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan dan Tata Tertib Rutan;

o) Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01-PK.04.10 Tahun

1989 tentang Asimilasi, Pembebasan Bersyarat dan Cuti Menjelang Bebas;


79

p) Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02-PR.07.10 Tahun

1989.

Ditempatkannya peraturan mengenai remisi sebagai dasar acuan pola pembinaan

tersebut dapat dikatakan bahwa remisi memiliki fungsi strategis dalam rangka pembinaan

narapidana di lembaga permasyarakatan.

Berkaitan dengan hal tersebut posisi remisi sebagai alat pembinaan di lembaga

pemasyarakatan dari kacamata sosiologis, remisi merupakan sebuah instrument yang dapat

memperbaiki keretakan hubungan narapidana dengan masyarakat. narapidana dengan

masyarakat.138

Dalam paradigma pemasyarakatanl disebutkan bahwa kejahatan merupakan akibat

dari disharmoni antara narapidana dengan masyarakat. Narapidana merupakan warga

masyarakat yang belum mampu menginternalisasi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat

secara tepat sehingga dia melakukan kejahatan. Dengan demikian, agar narapidana mampu

menginternalisasi nilai-nilai masyarakat tersebut, mempercepat kembalinya mereka ke dalam

kehidupan masyarakat adalah satu jalan yang harus ditempuh. Menempatkan mereka dalam

kurun waktu yang lama di dalam penjara justru akan semakin menjauhkan mereka dari nilai-

nilai masyarakat. Dalam tataran inilah, remisi menjalankan perannya untuk mempercepat

proses kembalinya narapidana dalam kehidupan masyarakat, agar narapidana mempunyai

kesempatan untuk menginternalisasi nilai-nilai masyarakat secara tepat.139

Remisi juga merupakan instrument yang dapat mendorong narapidana untuk

berperilaku baik selama menjalani pidana. Karena, remisi hanya akan diberikan kepada

138 Titis Panawang, Cerita Remisi dan Semangat Anti Korupsi, diunduh dari :
http://www.academia.edu/24401811/Cerita_Remisi_dan_Semangat_Anti_Korupsi,hlm.4, Pada 7 November
2016, di Bekasi Jawa Barat
139 Junet Bungsu, Moratorium Pemberian Remisi, dikutip dari :
https://junetbungsu.wordpress.com/2012/11/26/moratorium-pemberian-remisi/, Pada 7 November 2016, di
Bekasi Jawa Barat.
80

narapidana yang berkelakuan baik. Dalam tataran demikian, Remisi menjadi sebuah alat yang

digunakan oleh otoritas penjara untuk melakukan control terhadap perilaku narapidana.140

Dalam konteks demikian, remisi adalah satu instrument yang mampu menjaga

stabilitas penjara. Bahkan dapat dikatakan bahwa remisi adalah “the penal system’s safety

valve”.141

Manfaat lanjutan dari pemberian remisi adalah dapat mengurangi tingkat hunian

penjara. Remisi akan mempercepat seOrang narapidana untuk keluar dari penjara, sehingga

populasi penjara pun akan semakin cepat berkurang. Dalam kurun waktu sekarang, dimana

tingkat hunian penjara semakin tinggi, remisi menjadi instrument yang penting dalam

mengatasi permasalahan ini.142

Mempercepat narapidana keluar dari penjara, yang salah satunya melalui instrument

remisi, memberikan manfaat secara sosial bagi kehidupan narapidana, keluarga, dan

masyarakat secara umum. Dengan demikian, agar narapidana mampu menginternalisasi nilai-

nilai masyarakat tersebut, mempercepat kembalinya mereka ke dalam kehidupan masyarakat

adalah satu jalan yang harus ditempuh. Dalam tataran inilah, remisi menjalankan perannya

untuk mempercepat proses kembalinya narapidana dalam kehidupan masyarakat, agar

narapidana mempunyai kesempatan untuk menginternalisasi nilai-nilai masyarakat secara

tepat.143

Setelah kurang lebih 30 tahun sejak tercetusnya konsep pemasyarakatan pada tanggal

30 Desember 1995 pemerintah menetapkan Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang

pemasyarakatan yang merumuskan hak-hak narapidana termasuk hak mendapatkan remisi

atau pengurangan masa tahanan, dalam konteks pemasyarakatan remisi merupakan salah satu

bagian dari fasilitas pembinaan ysng tidak dapat dipisahkan dari fasilitas pembinaan lainnya,

140Ibid.
141Ibid.
142 Titis Panawang, Op.Cit,hlm.5
143Ibid.
81

dimana hakekat pembinaan selain memberi sanksi yang bersifat punitif juga memberikan

reward sebagai salah satu upaya agar program pembunaan dapat berjalan dan direspon oleh

warga binaan pemasyarakatan. Pemberian remisi dijadikan sarana untuk meningkatkan

kualitas diri sekaligus memotivasi diri sendiri sehingga dapat mendorong warga binaan

pemasyarakatan untuk dapat kembali kejalan yang benar.

Kesadaran untuk menerima dengan baik pembinaan yang diberikan baik oleh pihak

lapas ataupun rutan akan berpengaruh kepada kelangsungan kehidupan dimasa datang oleh

karenanya perlu kita sadari bahwa manusia mempunyai dua potensi dalam kehidupannya,

yaitu potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk melakukan perbuatan buruk (jahat)

sehingga siapa pun dapat berbuat khilaf atau berbuat salah. Namun, dengan tekat

memperbaiki diri dan kesungguhan hati niscaya masyarakat akan memberikan apresiasi dan

kepercayaan kepada warga binaan pemasyarakatan untuk dapat kembali ditengah tengah

masyarakat. Pemberian remisi juga dimaksudkan untuk mengurangi negatif dari subkultur

tempat pelaksanaan pidana, disparitas pidana dan perampasan kemerdekaan 144

Dari hal tersebut dapat disimpulkan fungsi remisi dalam pembinaan narapidana

berdasarkan sistem pemasyarakatan adalah :

e) Sebagai katalisator (untuk mempercepat) upaya mengurangi dampak proses


prisonisasi seseOrang
f) Sebagai katalisator ( untuk mempercepat) proses pemberian tanggung jawab di dalam
masyarakat luas
g) Sebagai alat memodifikasi perilaku dalam proses pembinaan selama di dalam lapas
h) Dalam rangka efisiensi anggaran negara

Dengan melihat penjabaran mengenai sistem pemasyarakatan diatas penulis berpendapat

bahwa teori yang mendasari sistem pemasyarakatan merupakan bentuk sempurna dari teori

integratif yang merupakan gabungan antara konsep retributif dan konsep tujuan, unsur

144 Menteri Hukum dan HAM, Sambutan Menteri Hukum dan HAM RI Pada Upacara Pemberian Remisi Pada
WBP Pada Upacara Memperingati HUT RI Ke 70
82

retributif terlihat dari upaya pengekangan narapidana di dalam rutan atau lapas dalam periode

tertentu dengan tujuan perubahan sikap narapidana melalui pembinaan berkeprimanusiaan

3.3 Perkembangan Pengaturan Pemberian Remisi Setelah Lahirnya UU

Pemasyarakatan

Beberapa tahun setelah disahkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 sebagai

perwujudan aturan pelaksana hak-hak narapidana sebagaimana yang diamanatkan dalam

Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995. Khusus mengenai pemberian

remisi diatur dalam Pasal 34 jo. Pasal 35 yang rumusannya adalah sebagai berikut :

Pasal 34

1. Setiap Narapidana dan Anak Pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan

baik berhak mendapatkan remisi.

2. Remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah, apabila selama menjalani

pidana, yang bersangkutan :

a. berbuat jasa kepada negara;

b. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau

c. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS.

3. Ketentuan untuk mendapatkan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)

berlaku juga bagi Narapidana dan anak Pidana yang menunggu grasi sambil menjalani

pidana.

Pasal 35

Ketentuan mengenai remisi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.


83

Sebagai perwujudan ketentuan Pasal 35 tersebut maka di tahun 1999 telah

dikeluarkan Keppres Nomor 69 Tahun 1999 dan belum sempat diterapakan akan tetapi

kemudian dicabut kembali dengan Keppres Nomor 174 Tahun 1999.

Keppres Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi ini yang kemudian memunculkan

aturan baru mengenai pembagian jenis remisi yang semula hanya terdiri dari remisi umum

dan remisi tambahan menjadi tiga jenis remisi yaitu remisi umum, remisi tambahan juga

remisi khusus yaitu jenis remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh

Narapidana dan Anak Pidana,145remisi ini diberikan oleh Menteri Hukum dan Perundangan

berdasarkan surat keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan

Guna menyesuaikan dengan perkembangan hukum dan rasa keadilan dalam

masyarakat, terutama terkait dengan Narapidana yang melakukan tindak pidana yang

mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak

atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat

Pada tanggal 28 Juli 2006, diundangkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun

2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat

dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan oleh Menteri Hukum dan

HAM saat itu, Hamid Awaludin.

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, terdapat perubahan mengenai ketentuan

persyaratan pemberian remisi sebagaimana yang tertuang dalam pasal-pasal berikut ini :

Pasal 34

(1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.

(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak

Pidana apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. berkelakuan baik; dan

b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.


145 Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi
84

(3) Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika

dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak

asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan

Remisi apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. berkelakuan baik; dan

b. telah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.

(4) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak

Pidana apabila memenuhi persyaratan melakukan perbuatan yang membantu kegiatan

LAPAS

Pasal 34A

(1) Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) diberikan oleh

Menteri setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan.

(2) Pemberian Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) ditetapkan dengan

Keputusan Menteri.

Pasal 35

Ketentuan mengenai remisi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden.

Dengan adanya perubahan syarat dalam hal pemberian remisi mulai terlihat adanya

pembedaan dalam pemberian remisi bagi narapidana umum dengan narapidana kejahatan

yang memiliki sifat khusus diantaranya narkotika. Pada penjelasan umum Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32

tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaa Pemasyarakataan

pembatasan tersebut dilakukan khusus terhadap pelaku tindak pidana :

1. Untuk tindak pidana narkotika dan psikoterapika, ketentuan pemerintah ini hanya

berlaku bagi produsen dan bandar.


85

2. Untuk tindak pidana korupsi, ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya berlaku bagi

tindak pidana korupsi yang memenuhi kriteria sebagai berikut:

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan Orang lain yang

ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak

hukum atau penyelenggara negara;

b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar

rupiah).

Rumusan syarat pemberian remisi sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 ternyata dirasa tidak menimbulkan efek jera bagi para

pelaku dan tidak mampu berfungsi sebagai alat untuk mencegah timbulnya tindak kejahatan

yangg memiliki sifat khusus seperti korupsi, narkotika juga terorisme maka pada 12

November 2012 diterbitkanlah peraturan baru yang memuat perubahan syarat mengenai

pemberian hak narapidana termasuk di dalamnya tentang remisi yaitu :

Pasal 34

(1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana berhak mendapatkan Remisi.

(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan

Anak Pidana yang telah memenuhi syarat:

a. berkelakuan baik; dan

b. telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.

(3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan

dengan:

a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan

terakhir, terhitung sebelum tanggal pemberian Remisi; dan


86

b. telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh LAPAS dengan

predikat baik

Pasal 34A

(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana

terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap

keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional

terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:

a. bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar

perkara tindak pidana yang dilakukannya;

b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan

pengadilan untuk Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana

korupsi;

c. telah mengikuti program deradikalisasi yang diselenggarakan oleh LAPAS

dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta menyatakan ikrar:

1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis bagi

Narapidana Warga Negara Indonesia, atau

2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi

Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana karena melakukan tindak

pidana terorisme.

(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor

narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap

Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
87

(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus

dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal 34B

(1) Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diberikan oleh Menteri.

(2) Remisi untuk Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1) diberikan
oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan

lembaga terkait.

(3) Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh menteri
dan/atau pimpinan lembaga terkait dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) hari

kerja sejak diterimanya permintaan pertimbangan dari Menteri.

(4) Pemberian Remisi ditetapkan dengan Keputusan Menteri


Pada Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata

Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaa Pemasyarakataan Remisi baru dapat diberikan jika surat

mengenai Kesediaan untuk bekerjasama ditetapkan oleh instansi Komisi Pemberantasan

Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republiik Indonesia dan Badan

Narkotika Nasional.

Untuk mempermudah pemahaman mengenai syarat remisi, berikut penulis tuangkan

rumusannya dalam bentuk tabel :


88

PP 32/1999 PP 28/2006 PP 99/2012


(1) Hanya diatur dalam 2 (1) Diatur dalam 3 (1) Diatur Dalam 4 Pasal,

Pasal yaitu Pasal 34 dan Pasal yaitu Pasal 34, yaitu Pasal 34, Passl 34A,

Pasal 35 Pasal 34A dan Pasal 35 Pasal 34B, Pasal 34C

(2) Remisi diberikan pada (2)Adanya syarat

narapidana dan anak berkelakuan baik (2) Adanya syarat

pidana yang berkelakuan (3) Terdapat perbedaan berkelakuan baik

baik syarat remisi antara

(3) Tidak adanya pelaku tindak pidana (3) Terdapat perbedaan

perbedaan syarat remisi umum dan tindak syarat remisi antara pelaku

kejahan pelaku tindak pidana khusus tindak pidana umum dan

pidana biasa dan luar biasa (4) Bagi narapidana tindak pidana khusus

pelaku tindak (4) Adanya kewajiban untuk

(4) Remisi dapat pidana narkotika berkerja sama membongkar

ditambah, apabila selama selain harus tindak pidana yang

menjalani pidana,yang berkelakuan baik dilakulan narapidana.

bersangkutan : juga harus telah (5) Adanya minimal pidana

a. berbuat jasa kepada menjalani 1/3 masa yang dijatuhkan untuk dapat

negara; pidana memberlakukan syarat

b.melakukan perbuatan (5) Remisi diberikan remisi.

yang bermanfaat bagi kepada narapidana (6) Adanya pertimbangan

negara atau kemanusiaan; setelah lembaga lain dalam

atau mendapatkan menetapkan layak tidaknya

c. melakukan perbuatan pertimban narapidana memperoleh

yang membantu kegiatan Direktorat Jenderal remisi


89

LAPAS. Pemasyarakatan (7) Remisi ditetapkan dalam

(6) Ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Keputusan Presiden
(5) Ketentuan untuk

mendapatkan remisi

berlaku juga bagi

Narapidana dan anak

Pidana yang

menunggu grasi

sambil menjalani

pidana.

(6) Telah menjalani

pidana selama 6

bulan.146

(7) Ketentuan lebih

lanjut diatur dalam

Keputusan Presiden

Dari uraian-uraian tersebut diatas dapat dikatakan secara umum diberikannya remisi

adalah di dasari berkembangnya pemikiran-pemikiran masyarakat luas utamanya ahli bidang

hukum pidana, penologi dan kriminologi mengenai perlakuan terhadap narapidana yang

awalnya penuh penyiksaan menjadi perlakuan yang didasari oleh perikemanusiaan, sistem

146 Meskipun di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 2012 tidak menyebutkn batas minimum pidana yang dijalani untuk dapat diberikan remisi sebagaimana
Peraturan Pemeritah No.32 Tahun 1999, namun tidak adanya suatu Keputusan Presiden yang mengubah
maupun menghapus Pasal 4 jo Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 maka menurut penulis
batas waktu pidana yang harus dijalani sebelum diberikannya remisi adalah 6 bulan merujuk pada pasal-pasal
tersebut
90

perlakuan ini semakin di kukuhkan dengan adanya konsep Standar Minimum Rules for

Treatment of Prisoners (SMR) yang semula dirancang oleh The International Penal and

Penitentiary Commision pada tahun 1933. Setelah mendapat perbaikan dari sekertariat PBB

konsep ini kemudian disetujui olehPerserikatan Bangsa-bangsa dalam Pasal 70 diamanatkan

bahwa negara-negara peserta harus menyusun suatu metode yang dapat menstimulasi

perilaku baik pelanggar hukum,

Atas dasar pengakuan terhadap sisi kemanusiaan para narapidana pula Indonesia

selaku negara yang merdeka melakukan perubahan terhadap tujuan filosofis sistem

pelaksanaan pidana warisan kolonial yang awalnya penjeraan dengan penyiksaan menjadi

pemasyarakatan menurut sistem ini tobat tidak didapat dengan jalan penyiksaan pembinaan

guna menumbuhkan kesadaran agar tidak mengulangi perbuatan pidana serta mempersiapkan

narapidana untuk dapat berintegrasi kembali dalam masyarakat, ide pembaruan sistem

pelaksanaan pidana ini dicetuskan oleh Dr. Sahardjo. Remisi berfungsi sebagai alat untuk

minimalisasi pengaruh, katalisator (untuk mempercepat) proses pemberian tanggung jawab

di masyarakat luas, alat modifikasi perilaku dalam proses pembinaan dalam lapas serta

efisiensi anggaran negara melihat posisi strategis dari remisi dalam hal mempercepat proses

integrasi narapidana ke masyarakat maka remisi ditempatkan sebagai hak bersyarat.

Keberadaan remisi sebagai hak bersyarat dimulai sejak adanya Keppres no.156 Tahun

1950 dan posisinya sebagai hak semakin diperkuat dengan adanya Undang-undang

Permasyarakatan. Pada awal kemunculan sistem remisi di Indonesia, ia diposisikan sebagai

hadiah dari ratu Belanda semata, secara yuridis remisi di awali dengan Governmentbesluit

1935 No. 23 yang terus mengalami perombakan hingga sekarang diatur dalam Peraturan

Pemerintah No.99 Tahun 2012.


BAB IV
PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI BAGI NARAPIDANA
NARKOTIKA DI RUMAH TAHANAN WANITA
KELAS IIA PONDOK BAMBU JAKARTA TIMUR

4.1 Gambaran Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Rumah Tahanan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu

Rutan Jakarta Timur berlokasi di Jalan Pahlawan Revolusi No. 38. Pondok Bambu

Jakarta Timur. Rumah Tahanan ini didirikan pada tahun 1974 oleh Pemerintah Daerah

(PEMDA) DKI Jakarta. Pada awal didirikannya Rumah Tahanan ini ditujukan bagi para

pelanggar Peraturan Daerah (PERDA) seperti tuna susila, tuna wisma, gelandangan, dan

pengemis.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M.04.PR.07.03 tahun 1985

tanggal 20 September 1985 bangunan tersebut dialih fungsikan sebagai Rumah Tahanan

Negara Klas IIA yang fungsinya adalah rumah tahanan negara yang diperuntukkan untuk

tahanan yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Pada awal berdirinya Rutan Jakarta

Timur memiliki kapasitas penghuni berkisar kurang lebih 504 Orang.

4.1.2. Struktur Organisasi Rumah Tahanan (RUTAN) Wanita Kelas IIA Pondok

Bambu

Struktur Organisasi RUTAN Kelas IIA Jakarta Timur yang didirikan berdasarkan

Surat Keputusan Menteri Nomor 10.M.04.PR.07.03 Tahun 1985

1) Kepala RUTAN

Eko Suprapti Rudhatiningsih, Bc.IP, S.H.,M.H

NIP. 19630916198603 2 001

2) Kesatuan Pengamanan RUTAN

Yuliana. Amd Bc..IP,SH

NIP. 197907072000122001 40

92
92

3) Sub Sie. Pelayanan Tahanan

Efi Supriyati, Amd Bc..IP,SH., M.H

NIP. 197501221997032001

4) Sub Sie. Bimbingan Kegiatan Pembinaan

Noviana.H., Amd.IP,SH.MH

NIP. 197701211999022001

5) Sub.Sie Pengelolaan

Sigiyati, SH.M.Si.

NIP. 196409301991032001

4.1.3 Sarana dan Prasarana RUTAN Wanita Kelas IIA Pondok Bambu

Sarana dan Prasarana Rumah Tahanan Negara Kelas II A Jakarta Timur Rumah

Tahanan Negara Klas IIA Jakarta Timur memiliki sarana dan prasarana pendukung dalam

melaksanakan tugas-tugas baik tugas perkantoran maupun tugas pelayanan dan pembinaan

baik kepada masyarakat dan warga binaan pemasyarakatan. Rumah Tahanan Klas IIA Jakarta

Timur memiliki bangunan dengan tingkat pengamanan, Maksimum security di antaranya :

1) Bangunan Perkantoran

2) Paviliun hunian

3) Bangunan tempat ibadah

4) Bangunan poliklinik

5) Bangunan dapur

6) Pos Menara

7) Halaman parkir

Rutan Klas IIA Jakarta Timur berdiri di atas tanah seluas ± 14.586 m2 yang berstatus

hak pinjam pakai dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang terdiri dari Gedung perkantoran,
93

perumahan dinas, garasi kendaraan, 5 (lima) paviliun hunian, 1 (satu) Paviliun Karantina, dan

1 (satu) paviliun isolasi. Paviliun hunian terdiri dari :

a) Paviliun Anggrek : merupakan paviliun bagi penghuni wanita dengan kasus pidana

krimina umuml. Dengan luas bangunan 794 m2 (1 lantai) dengan kapasitas 18 kamar dan

tiap-tiap kamar memiliki kapasitas 8 (delapan) Orang.

b) Paviliun Bogenvile : merupakan paviliun bagi penghuni warga binaan yang berusia lanjut

dan warga binaan yang dipilih untuk membantu pekerjaan kantor Rutan ( Tamping).

c) Paviliun Cendana dan Dahlia : Paviliun Cendana, merupakan paviliun bagi penghuni

Narkotika/Psikotropika dan paviliun Dahlia merupakan paviliun bagi penghuni kriminal

umum dengan luas bangunan 508 m2 (2 lantai) dengan kapasitas paviliun Cendana

sebanyak 13 ( tiga belas ) kamar dan kapasitas paviliun Dahlia sebanyak 15 (lima belas)

kamar. Kamar 1 s/d kamar 12 tiap-tiap kamar memiliki kapasitas 10 (sepuluh) Orang dan

kamar 13 s/d 15 tiap-tiap kamar memiliki kapasitas 2 (dua) Orang.

d) Paviliun Edelweis : merupakan paviliun bagi penghuni kasus pidana khusus

(Narkotika/psikotropika). luas bangunan 439 m2 (2 lantai) dengan kapasitas kamar 27

(dua puluh tujuh) kamar, tiap-tiap kamar memiliki kapasitas 10 (sepuluh) Orang.

e) Paviliun Kenanga, merupakan paviliun bagi penghuni warga binaan yang dipilih untuk

membantu pekerjaan kantor Rutan (tamping) . Luas bangunan 100 m2 (1 lantai) dan

memiliki 4 (empat) kamar. Tiap-tiap kamar memiliki kapasitas 6 (enam) Orang. f)

Paviliun Isolasi, diperuntukan bagi penghuni yang melakukan pelanggaran tata tertib

dengan luas 36 m2 (1 lantai) memiliki 5 (lima) kamar. Tiap-tiap kamar memiliki kapasitas

3 (tiga) Orang.

4.1.4 Keadaan Narapidana RUTAN Kelas IIA Pondok Bambu

Hari/Tanggal : Kamis 22 Febuari 2018

Kapasitas : 411 Orang


94

No. Narapidana Tahanan


B.I B.IIa B.IIb B.III S.H Mati A.I A.II A.III A.IV A.V Dll
237 63 6 2 67 115 284 13 8 1
Jumlah : 298 Jumlah : 488
Total : 786

Tabel tersebut menggambarkan bahwa terdapat 237 Orang narapidana dengan vonis lebih

dari 1 tahun penjara, 63 Orang narapidana dengan vonis antara 3 bulan sampai dengan 12

bulan, 6 Orang narapidana sedang menjalani pidana kurungan pengganti denda dan 2

narapidana degan pidana seumur hidup.147

No Jenis Kejahatan Narapidana Tahanan

.
1. Narkotika 121 328
2. Korupsi 6 9
3. Human trafficking 8
4. Kriminal umum 92 150
5. Sandera Pajak 1

Tabel tersebut menggambarkan bahwa terdapat 121 Orang narapidana dan 328 Orang

tahanan untuk kasus narkotika,6 Orang narapidana dan 9 Orang tahanan kasus korupsi, 8

Orang narapidana kasus human trafficking, 92 Orang narapidana dan 150 Orang tahanan

untuk kasus tindak pidana umum, termasuk pula 1 Orang sandera pajak.148

4.2 Pemberian Remisi Kepada Narapidana RUTAN Kelas IIA Pondok Bambu

4.2.1 Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana Narkotika RUTAN Kelas IIA

Pondok Bambu

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan pada 27 Febuari 2018

menyatakan bahwa tolak ukur syarat dalam pelaksanaan pemenuhan remisi bagi

narapidana narkotika bergantung pada vonis yang dijatuhkan oleh hakim kepadanya, jika

147Divisi Registrasi Rutan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu


148 Ibid
95

vonis yang dijatuhkan lebih dari 5 tahun maka narapidana tersebut harus memenuhi syarat

yang ada dalam Pasal 34 dan 34 A PP 99 Tahun 2012 yaitu

Pasal 34

1) Setiap Narapidana dan Anak pidana berhak mendapatkan remisi

2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan

Anak Pidana yang telah memenuhi syarat :

a. Berkelakuan baik dan ;

b. Telah menjalani masa pidananya lebih dari 6(enam) bulan

1) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan

dengan;

a) Tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan

terakhir terhitung sebelum tanggal pemberian remisi;

b) Telah mengikuti program pembinaan yang dilakukan oleh LAPAS dengan

predikat baik.

Pasal 34A

1) Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana

terorisme, narkotika dan prekusor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap

keamanan negara, kejahatan kemanusiaan yang berat serta kejahatan transnasional

terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud

dalam pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:

a) Bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar

perkara tindak pidana yang dilakukannya


96

b) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan

untuk narapidana yang dipidana karena melakukan ringan pidana korupsi dan;

c) Telah mengikuti program deredikalisasi yang diadakan oleh LAPAS dan/atau Badan

Nasional Penanggulangan Terorisme serta menyatakan ikrar:

1. Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara tertulis

2. Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi

narapidana Warga Negara Asing

2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor

narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya berlaku terhadap

narapidana yang dipidana paling singkat 5 (lima) tahun.

3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana diatur ayat (1) huruf a harus dinyatakan

secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan

perundang-undangan.

Remisi pada dasarnya diberikan untuk memotivasi dan memberikan kesempatan bagi

narapidana agar dapat memperoleh kesejahteraan sosial, pendidikan, keterampilan guna

mempersiapkan diri ditengah masyarakat guna mendorong peran serta masyarakat secara

aktif serta mendukung penyelenggaraan sistem pemasyarakatan.149

Adapun dokumen-dokumen yang harus dilampirkan sebagai syarat administratif dalam

pemberian remisi khususnya bagi narapidana narkotika sebagaimana terkandung dalam Pasal

11 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara

Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti

Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat yaitu :

1. Surat keterangan bersedia bekerjasama untuk membantu membongkar tindak pidana

yang dilakukannya yang ditetapkan oleh Instansi penegak hukum;

149 Konsideran Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan
Cuti Bersyarat
97

2. Fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan;

3. Surat keterangan tidak sedang menjalani kurungan atau hukuman pengganti denda

dari Kepala Lapas;

4. Surat keterangan tidak sedang menjalani cuti menjelang bebas dari Kepala Lapas;

5. Salinan daftar register F dari Kepala Lapas;

6. Salinan daftar perubahan dari Kepala Lapas

7. Laporan perkembangan pembinaan yang ditanda tangani Kepala Lapas

Remisi diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi

syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan

dan telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh RUTAN dengan

predikat baik dan yang paling penting adalah mengantongi surat keterangan justice

collaborator dari instansi penegak hukum. Bagi narapidana narkotika yang di vonis

kurang dari 5 (lima) tahun maka tidak harus menjadi justice collaborator.

Saat penulis bertanya mengenai adakah suatu bentuk peraturan khusus yang secara

jelas menunjukan indikator kelakuan baik narapidana atau pun rapor yang menunjukan

nilai-nilai narapidana selama menjalani pembinaan, Ka Sub Sie Pembinaan Tahanan

memberikan jawaban :

Sebenarnya intinya itu perihal keamanan, bagaimana perilaku mereka bagaimana

tindak disiplin yang akan mereka dapatkan jika mereka melakukan tindakan yang

melanggar aturan rutan. Mengenai rapor harusnya memang ada, namun karena disini

rutan dengan penghuni yang agak banyak meskipun begitu setiap pemberian remisi pasti

di dahului oleh sidang TPP, sidang ini dihadiri oleh para pembina narapidana, yang

berhak bersuara jika memang ada nama-nama yang hendak direkomendasikan mendapat

remisi namun pada kenyataannya hasil pembinaannya belum maksimal 150. Namun begitu

penulis menanyakan aturan hukum yang mengaturnya beliau tidak dapat menunjukan
150Wawancara Kepada Kepala Sie Pembinaan Tahanan Noviana dilakukan pada 22 Febuari 2018
98

ataupun sekedar menyebutkan aturan baku yang secara limitatif apa saja kegiatan yang

termasuk kedalam “kelakuan tidak baik”

Berdasarkan keterangan tersebut penulis berpendapat bahwa selama ini pemberian

remisi dilakukan secara masal dan kepada hampir semua narapidana, sedangkan

layak tidaknya diberikan remisi kepada narapidana dan anak pidana diukur

berdasarkan “ukuran waktu” dan “ukuran berkelakuan baik” menurut versi petugas

yang termasuk dalam “tim penilai” dii rutan.

Mengenai ada tidaknya sosialisasi tentang hak-hak narapidana khususnya remisi saat

masuk rutan beliau menjawab bahwa

Pada saat mapenaling setiap narapidana diperkenankan untuk berkeliling lingkungan

rutan termasuk melewati teras ruang registrasi dimana terpampang mengenai syarat-syarat

remisi, memang tidak ada waktu khusus yang disediakan oleh para petugas rutan untuk

menjelaskan mengenai hak napi karena jumlah napi yang begitu banyak sementara jumlah

petugas tidak sebanding namun kami tidak pernah menutup ruang bagi napi untuk bertanya

jika memang mereka kurang mengerti.

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, penulis memperoleh data mengenai jumlah

narapidana yang pernah memperoleh remisi yaitu :

Tabel 1.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2011
Di Rumah Tahan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

Thn.
2011 Umum Remisi Khusus
99

Idul Fitri Natal Waisak Nyepi


RU.1 RU.2 RK 1 RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
248 13 156 5 46 4 4 1 3

Keterangan :151
Remisi Umum
1. 96Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 63Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 39 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 25 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5. 16 Orang mendapat Remisi Umum I selama 5 bulan
6. 9 Orang mendapat Remisi Umum I selama 6 bulan
7. 7 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
8. 4 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
9. 2 Orang mendapat remisi Umum II selama 3 bulan
Remisi Khusus Idul Fitri
1. 38 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2. 103 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 14 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4. 3 Orang mendapat Remisi Idul Fitri I selama 1 bulan
5. 2 Orang mendapat Remisi Idul Fitri II selama 1 bulan 15 hari
Remisi Khusus Natal
1. 7 Orang mendapat Remisi Khusus Natal selama 15 hari
2. 36Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan
3. 3 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari
4. 3 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 1 bulan
5. 1 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 2 bulan

Tabel 1.2
Jumlah Narapidana Narkotika Yang Mendapat Remisi Pada Tahun 2011
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

Thn.

151Op. Cit Divisi Registrasi Rutan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu
100

2011 Umum Remisi Khusus


Idul Fitri Natal Waisak Nyepi
RU 1 RU2 RK 1 RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
156 4 85 2 17 1

Keterangan : 152

Remisi Umum Narkotika


1) 72 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2) 53 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3) 22 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4) 3 Orang mendapatkan Remisi Umum I selama 4 bulan
5) 2 Orang mendapat Remisi Umum I selama 5 bulan
6) 4 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan

Remisi Khusus Narkotika

Remisi Khusus Idul Fitri


1) 78 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
2) 6 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
3) 1 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 2 bulan
4) 2 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II selama 1 bulan
Remisi Khusus Natal
1) 2 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 15 hari
2) 15 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I 1 bulan
3) 1 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 1 bulan

Tabel 2.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2012
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

Thn.
2012 Umum Remisi Khusus

152Ibid
101

Idul Fitri Natal Waisak Nyepi


RU 1 RU2 RK 1 RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
186 6 138 1 61 2 7 2 3 1
Keterangan : 153
Remisi Umum
1. 83 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 55 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 32 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 12 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5. 4 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
6. 1 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
7. 1 Orang mendapat remisi Umum II selama 3 bulan
Remisi Khusus Idul Fitri
1. 63 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2. 26 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 37 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4. 12 Orang mendapat Remisi Idul Fitri I selama 2 bulan
5. 1 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II selama 1 bulan
Remisi Khusus Natal
1 39 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 15 hari
2 15 mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan
3 7 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari
4 2 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 1 bulan
Remisi Khusus Waisak
1. 5 Orang mendapat Remisi Khusus Waisak I selama 1 bulan
2. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Waisak I selama 1 bulan 15 hari
3. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Waisak II 1 bulan

Remisi Khusus Nyepi


1. 1 Orang mendapat Remisi Khusus Nyepi I selama 15 hari
2. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Nyepi I selama 1 bulan
3. 1 Orang mendapat Remisi Khusus Nyepi II selama 1 bulan

Tabel 2.2
Jumlah Narapidana NarkotikaYang Mendapat Remisi Pada Tahun 2012
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Thn.
2012 Umum Remisi Khusus

153Ibid
102

Idul Fitri Natal Waisak Nyepi


RU 1 RU2 RK RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
1
114 2 74 13

Keterangan :154
Remisi Umum
1) 58Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2) 31 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3) 25Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4) 2 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan

Remisi Khusus Idul Fitri


1) 23 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2) 28 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3) 8 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari

Remisi Khusus Natal


1) 8Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 15 hari
2) 3 Orang mendapat Remisi Khusus NataI selama 1 bulan
3) 2Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari

Tabel 3.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2013
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

154Ibid
103

Thn.
2013 Umum Remisi Khusus
Idul Fitri Natal Waisak Nyepi
RU 1 RU2 RK 1 RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
242 17 178 7 61 1 5 1
Remisi Umum
1. 126 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 75 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 24 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 10 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5. 3 Orang mendapat Remisi Umum I selama 5 bulan
6. 3 Orang mendapat Remisi Umum I selama 6 bulan
7. 8 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
8. 5 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
9. 1 Orang mendapat remisi Umum II selama 3 bulan

Remisi Khusus Idul Fitri


1. 89 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2. 52 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 37 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4. 5 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II selama 1 bulan
5. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II selama 1 bulan 15 hari

Remisi Khusus Natal


1. 39 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 15 hari
2. 15 mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan
3. 7 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari
4. 1 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 1 bulan

Remisi Khusus Nyepi

1. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Nyepi I selama 15 hari


2. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Nyepi selama 1 bulan
3. 1 Orang mendapat Remidi Khusus Nyepi I selama 1 bulan 15 hari
4. 1 Orang mendapat Remisi Khusus Nyepi II selama 1 bulan155

Tabel 3.2
Jumlah Narapidana NarkotikaYang Mendapat Remisi Pada Tahun 2013

155 ibid
104

Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

Thn.
2013 Umum Remisi Khusus
Idul Fitri Natal Waisak Nyepi
RU 1 RU2 RK 1 RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
98 3 69 3 46
Remisi Umum

1) 67 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan


2) 23 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3) 8Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4) 2 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
5) 1 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
Remisi Khusus Idul Fitri
1) 48 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2) 14 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3) 7 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4) 2 Orang mendapat Remisi Idul Fitri II selama 1 bulan
5) 1 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II selama 1 bulan 15 hati
Remisi Khusus Natal
1) 7 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 15 hari
2) 36 Orang mendapat Remisi Khusus Natal selama 1 bulan
3) 3 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari.156

156 Ibid
105

Tabel 4.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2014
Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

Thn.
201 Umum Remisi Khusus
4
Idul Fitri Natal Waisak Nyep
i
RU 1 RU2 RK RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
1
283 13 213 5 52 3 4 1

Keterangan :
Remisi Umum
1. 123 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 69 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 56 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 25 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5. 10 Orang mendapat Remisi Umum I selama 5 bulan
6. 7Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
7. 4 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
8. 2 Orang mendapat Remisi Umum II selama 3 bulan
Remisi Khusus Idul Fitri
1. 101 mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2. 83 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 27 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4. 2 Orang mendapat Remisi Idul Fitri I selama 2 bulan
5. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II 15 hari
6. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II 1 bulan

Remisi Khusus Natal


1) 37 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 15 hari
2) 10 mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan
3) 5 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari
4) 3 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 1 bulan 15 hari.157

157 Ibid
106

Tabel 4.2
Jumlah Narapidana Narkotika Yang Mendapat Remisi Pada Tahun 2014
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Thn.
2014 Umum Remisi Khusus
Idul Fitri Natal Waisak Nyepi
RU 1 RU2 RK 1 RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
112 4 47 1 10

Keterangan :
Remisi Umum
1) 51 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2) 23 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3) 18 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4) 10 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5) 3 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
6) 1 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan

Remisi Khusus Idul Fitri


1) 38 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2) 9 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3) 1 Orang mendapat Remisi Idul Fitri II selama 1 bulan
Remisi Khusus Natal
1) 6 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 15 hari
2) 3 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan
3) 1 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari 158

158 Ibid
107

Tabel 5.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2015
DiRumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

Thn Jenis Remisi


2015 UMUM DSWRS Khusus
Idul Fitri Natal Wai
Sa Nye pi
k
RU. I RU RK I RK.II RK.I RK RK.I RK RKI RK
.II .II .II .II
234 11 336 186 2 60 2 4 1

Remisi Umum
Keterangan :
1. 129 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 67 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 38Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 7 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
5. 4 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
6. 336 Remisi Dasawarsa

Remisi Khusus Idul Fitri


1. 87 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2. 48Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 7 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4. 2 mendapat Remisi Idul Fitri II selama 1 bulan 15 hari

Remisi Khusus Natal


1) 37 Orang mendapat Remisi Khusus Natal selama 15 hari
2) 23 Orang mendapat Remisi Khusus Natal selama 1 bulan
3) 2 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 1 bulan 15 hari 159

159 Ibid
108

Tabel 5.2
Jumlah Narapidana Narkotika Yang Mendapat Pada Tahun 2015
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

2015 RU RU DS RK. RK. RK1 RK. RK.1 RK.2 RK1 RK


I 2 W 1 2 Natal 2 Waisak Waisak Nye 2
RS Idul Idul Nata pi Ny
I Fitri Fitri l epi

Rem 14 21 102 37
isi 3 3
Nark
otika

Remisi Umum

Keterangan :
1) 63 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2) 46 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3) 24Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4) 13 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5) 213 Orang mendapat Remisi Dasawarsa

Remisi Khusus Idul Fitri


1. 51 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri selama 15 hari
2. 37Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 14 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4. 3 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri 2 bulan

Remisi Khusus Natal


1) 25 Orang mendapat Remisi Khusus Natalselama 15 hari
2) 9 Orang mendapat Remisi Khusus Natal selama 1 bulan
3) 3 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari.160

160 Ibid.
109

Tabel 6.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2016
Di Rumah Tahan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

Thn Jenis Remisi


2016 Umum Khusus
Idul Fitri Natal Waisak Nye
pi
RU. 1 RU. RK 1 RK2 RK RK.2 RK.I RK.2 RKI RK.2
2 1
181 3 180 3 54 4

Keterangan :161
Remisi Umum
1. 107 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 63 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 11 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 3 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan

Remisi Khusus Idul Fitri


1. 65 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2. 83 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 28 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4. 4 Orang mendapat Remisi Idul Fitri I selama 2 bulan
5. 1 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri 1I selama 1 bulan
6. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II selama 1 bulan 15 hari
Remisi Khusus Natal
1) 22 Orang mendapat Remisi Khusus NatalI selama 15 hari
2) 29 mendapat Remisi Khusus Natal selama 1 bulan
3) 3 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari
4) 3 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 1 bulan
5) 1 Orang mendapat Remisi Khusus Natal selama 1 bulan 15 hari

161 Ibid
110

Tabel 6.2
Jumlah Narapidana NarkotikaYang Mendapat Remisi Pada Tahun 2016
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

2016 RU. RU. RK. RK. RK. RK. RK.1 RK.2 RK.1 RK.2
1 2 I 2 1 2 Waisa Waisa Nyep Nyep
Idul Idul Nata Nata k k i i
Fitri Fitri l l
Remisi 45 38 16 2
Narkotk
a

Keterangan :

Remisi Umum

1. 30 Orang mendapat Remisi Umum Iselama 1 bulan


2. 12 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 3 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan

Remisi Khusus Idul Fitri


1. 12 Orang mendapatkan Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2. 23 Orang mendapatkan Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 3 Orang mendapatkan Remisi Khusus I selama 1 bulan 15 hari

Remisi Khusus Natal


1. 8 Orang mendapatkan Remisi Khusus Natal I selama 15 hari
2. 6 Orang mendapatkan Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan
3. 2 Orang mendapatkan Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari
4. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 1 bulan 15 hari162

162 Ibid
111

Tabel 7.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2017
di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

Thn JENI REMIS


S I
2017 Umum Khusus
Idul Fitri Natal Waisak Nyepi
RU. I RU.I RK RK.II RK.I RK.II RK.I RK.II RKI RK.II
I I
180 4 159 2 24

Keterangan :

Remisi Umum

1. 93 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan


2. 56 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2bulan
3. 26 Orang mendapat Remisi Umum Iselama 3bulan
4. 8 Orang mendapat Remisi umum I selama 4 bulan
5. 2 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
6. 2 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
Remisi Khusus Idul Fitri
1. 71 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2. 59 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 29 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4. 1 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri 1I selama 15 hari
5. 1 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II selama 1 bulan
Remisi Khusus Natal
1. Orang mendapat Remisi Khusus NatalI selama 15 hari
2. 19 Orang mendapat Remisi Khusus Natal selama 1 bulan.163

163 Ibid
112

Tabel 7.2
Jumlah Narapidana Narkotika Pada Tahun 2017
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu

2017 RU. 1 RU. RK.1 RK.2 RK.1 RK.2 RK.1 RK.2 RK.1 RK.2
2 Idul Idul Natal Natal Waisa Waisak Nyep Nyep
Fitri Fitri k i i
Remisi 54 43 2
narkotka

Keterangan :164

Remisi Umum

1. 26Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan


2. 15Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 13 Orang mendapat Rrmisi Umum I selama 3 bulan
Remisi Khusus Idul Fitri

1. 26 Orang mendapatkan Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari


2. 14 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 3 Orang mendapat Remisi Khusus selama 1 bulan 15 hari
Remisi Khusus Natal

1. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Natal 1 selama 1 bulan

Keterangan :

a) R.U I adalah Remisi yang diberikan pada saat hari peringatan kemerdekaan Republik
Indonesia tetapi narapidana masih harus menjalani sisa pidana
b) R.U 2 adalah Remisi yang diberikan pada saat hari peringatan kemerdekaan Republik
Indonesia dan langsung bebas
c) R.K I adalah remisi yang diberikan pada narapidana saat hari besar keagamaan tetapi
masih harus menjalani sisa pidana
d) R.K 2 adalah remisi yang diberikan pada narapidana saat hari besar keagamaan dan
langsung bebas

Mengenai pemberian remisi umum apabila dalam pelaksanaannya narapidana ysng

telah diusulkan memperoleh remisi umum ternyata narapidana tersebut tidak mendapatkan

remisi maka narapidana tersebut akan kembali diusulkan untuk mendapatkan remisi umum di

tahun berikutnya sepanjang masih memenuhi syarat yang berlaku. Pengusulan remisi

164 Ibid
113

menggunakan formulir R.U I untuk narapidana yang masih menjalani pidana setelah

pemberian remisi, dan formulir R.U II untuk narapidana yang setelah mendapat remisi

langsung bebas

Untuk remisi khusus, perhitungan lamanya masa menjalankan pidana sebagaidasar

menetapkan besaran remisi terhitung sejak hari penahanan sampai hari besar keagamaan yang

dianut oleh narapidana. Apabila selama menjalani pidana dalam rutan narapidana berpindah

keyakinan maka agama yang di tetapkan sebagai dasar perhitungan adalah agama yang dianut

ketika registrasi pertama kali.

Pengusulan remisi khusus menggunakan formulir R.K.I untuk remisi khusus sebagian

dan formulir R.K.II untuk pengusulan remisi khusus seluruhnya. Untuk pengajuan usul

mendapatkan remisi khusus sama dengan remisi umum yakni dilakukan oleh kepala Lembaga

Pemasyarakatan kepada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia,

selambat – lambatnya satu hari sebelum remisi diberikan. Pengusulan remisi khusus

dilakukan dengan menggunakan formulir R.K. Setelah pengusulan remisi diterima di kantor

wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia lalu diajukan kepada Direktorat

Jenderal Pemasyarakatan. Setelah mendapat pertimbangan dari Direktur Jenderal

Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengabulkan pemberian

remisi dengan mengeluarkan surat Keputusan Menteri dan dikirim ke Lapas atau Rutan.

Apabila dalam pelaksanaannya, narapidana yang telah diajukan untuk mendapat

remisi khusus ternyata tidak mendapatkan remisi, maka narapidana tersebut diusulkan

kembali. Pengusulan remisi khusus dilakukan dengan menggunakan formulir R.K.T ( Remisi

Khusus Tertunda)

Berdasarkan data remisi periode 2011-2017 terlihat penurunan jumlah remisi yang cukup

signifikan terhadap narapidana narkotika, kecuali di tahun 2012 yang merupakan tahun
114

diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, mengenai hal ini Petugas Rutan

Divisi registrasi menyampaikan bahwa :165

Untuk remisi telah diberikan sesuai dengan Undang – undang yang berlaku, namun

tidak menutup kemungkinan adanya kendala internal maupun eksternal yang terjadi di

lapangan baik dari prosedur, sarana dan prasarana, budaya cultural dan narapidana itu sendiri.

Karena untuk mendapatakan remisi narapidana harus memenuhi peraturan baik subtantif

maupun administratifnya.

4.2.2 Kendala Dalam Pelaksanaan Remisi Bagi Narapidana Narkotika di

Rutan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu

Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan terhadap Petugas dan narapidana di

lingkungan Rutan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu mengenai aturan remisi di dapat hasil

sebagai berikut :

Wawancara dengan Kepala Sub Sie Bimbingan Kegiatan dan Pembinaan Tahan rutan

Noviana Bc. IP, SH166 beliau mengatakan bahwa remisi memang adalah hak narapidana,

sebagaimana tertera dalam Undang-undang Pemasyarakatan tetapi tidak diberikan secara

serta merta, untuk bisa memperolehnya narapidana harus dapat berperilaku baik dengan

menaati peraturan di rutan sehingga narapidana tersebut berhak memperoleh hadiah berupa

pemotongan hukuman, lebih lanjut beliau mengatakan namun, sekarang ini perilaku baik

juga bukan jaminan untuk memperoleh remisi karena harus di gantungkan pada syarat-syarat

lainnya. Khusus untuk kasus narkotika yang menjadi momoknya adalah keharusan untuk

bersedia bekerja sama membongkar pelaku tindak pidana narkotika lainnya. Aturan ini bisa

dikatakan wajar kita tidak boleh memungkiri bahwa memang peredaran narkotika saat ini

semakin mengkhawatirkan namun disisi lain dengan ditambahkannya kewajiban untuk

bekerjasama membongkar kejahatan sejauh ini yang terjadi adalah narapidana kehilangan

165Wawancara dilakukan terhadap Petugas sub sie registrasi Oki Tro Widyastuti Pada 22 Febuari 2018
166Wawancara dilakukan terhadap Ka Sub Sie Kegiatan dan Pembinaan Tahanan pada 22 Febuari 2018
115

minat untuk mengikuti pembinaan karena merasa percuma di bina juga tidak dapat apapun,

selanjutnya karena pemberian remisi berkaitan langsung dengan pelaksanaan kegiatan

pembinaan memang harus diakui program pembinaan disini kurang kontrol dari pihak

petugas rutan hal ini dikarenakan kurangnya jumlah petugas rutan, beruntungnya narapidana

disini sedikit banyak mau membantu pelaksanaan pembinaan dan yang paling terasa dengan

diberlakukan aturan justice collaboratot ini adalah semakin meningkatnya jumlah narapidana

yang menyebabkan program pembinaan tidak terserap dengan baik.

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa : “Segala hal yang berkaitan dengan remisi sudah

dilakukan sesuai dengan peraturan yang ada baik itu Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun

2012 maupun peraturan sebelumnya namun kendala yang paling terasa ada di direktorat

dimana kami biasanya mengirimkan mama-nama yang kami rekomendasikan 3 minggu

sebelum pengumuman remisi tapi terkadang sampai H-1 baru disampaikan kembali ke pihak

rutan. Selain itu, narapidana sendirilah yang menimbulkan kendala sehingga dirinya tidak

dapat memperoleh remisi dengan melakukan pelanggaran contohnya memasukan rokok ke

dalam rutan untuk di nikmati teman satu sel nya atau yang paling sering terjadi adalah

perkelahian antar blok.” 167

Wawancara kemudian dilakukan terhadap Ibu MS pelaku penyalahgunaan narkotika

jenis extacy berusia 29 tahun yang di vonis pada tahun 2015 dengan pidana penjara selama

10 kepada penulis beliau mengaku bahwa beliau di penjara karena mengetahui adanya

narkoba tapi tidak melapor. Ketika ditanya apakah beliau tahu syarat untuk memperoleh

remisi, jawaban yang diberikan hanya sebatas berkelakuan tidak membuat masalah di rutan

dan harus bersedia menjadi justice (collaborator) Lebih lanjut penulis pun bertanya apakah

beliau mengerti apa yang di maksud dengan justice collaborator beliau mengatakan tidak

terlalu mengetahuinya. Penulis menjelaskan apa yang dimaksud Justice Collaborator dan

kemudian bertanya apakah ia pernah menceritakan siapa uang terlibat dalam kasusnya ia
167 Ibid
116

menjawab tidak pernah karena ia takut akan keselamatan nyawa keluarga selama ia di rutan

apalagi jaringan narkotika yang melibatkannya punya kekuasaan yang kuat untuk mencelakai

lebih banyak Orang. Lebih lanjut penulis menjelaskan bahwa ada undang-undang yang

melindungi saksi-saksi dalam kasus pidana. Beliaupun pasrah dengan keadaan yang ada jika

memang ia tidak dapat memperoleh remisi sampai pada kebebasannya yang terpenting adalah

sekarang ia menjalani semua kegiatan yang ada di dalam rutan agar tidak terlibat masalah

baik dengan teman sesama narapidana atau dengan petugas.168

Hal yang unik terjadi kepada narapidana narkotika Susanti Binti M. Subecthi yang di

vonis 7 tahun 3 bulan pada tahun 2016 atas kepemilikan 1 paket hashish seberat kurang lebih

8,3 gram baik di tingkat penyidikan kepolisian sampai pada kejaksaan ia dinyatakan sebagai

justice collaborator yang dinyatakan dengan surat keterangan yang sudah ditanda tangani

oleh pihak penyidik kepolisian juga kejaksaan namun saat penjatuhan vonis hakim

berpendapat berbeda dikarenakan ia juga dianggap sebagai pelaku utama alias pengedar di

jaringan berbeda padahal atas keterangan ysng diberikan olehnya bandar narkoba di

jaringannya sudah tertangkap dan di hukum di rutan pondok bambu juga169.

Selanjutnya penulis mewawancarai narapidana Berna yang di vonis penjara 5 tahun

3 bulan atas kepemilikan 6 gram sabu-sabu pada 2016 lalu, kepada penulis beliau

menyatakan bahwa beliau tahu syarat remisi adalah mau kooperatif dengan penyidik ia pun

berkata bahwa ia telah memberitahu siapa yang merupakan bandar dalam kasusnya maka dari

itu selama berada dalam rutan ia juga sudah 3 kali mengurus Justice dengan perantaraan surat

permohonan yang diberikan oleh pihak rutan tetapi selama 3 kali pengurusan tidak ada

satupun yang diterima oleh penyidik tanpa menyebutkan dasar penolakan secara terperinci.

Ketika penulis menanyakan apa yang menjadi masalah dalam pemberian remisi ia

berkata bahwa keberadaan surat pengantar Justice collaborator sebenarnya berniat

168 Nama sengaja disamarkan atas permintaan pihak yang bersangkutan, wawancara dilakukan pada 22
Febuari2018
169Wawancara dilakukan terhadap Susanti Binti M. Subecthi, Pada 22 Febuari 2018
117

meringankan proses mendapat remisi tapi ketidak jelasan berapa batasan pengajuan surat

pengantar ataupun alasan penolakan yang terperici membuat seakan diberi harapan kosong

belum lagi adanya kata-kata dari petugas yang mematahkan semangat napi untuk mengajukan

surat Justice collaborator

Penulis melakukan wawancara dengan terpidana narkotika dengan Ade Saputri

barang bukti 2 paket ganja dengan vonis pidana 6 tahun pada 2015, sebelum di tempatkan di

rutan pondok bambu ia adalah narapidana di Lapas Tangerang yang dipindahkan karena

alasan kesehatan, terhadap syarat remisi ia hanya tah sebatas berkelakuan baik dan mau

membongkar pelaku lain di kasusnya, menurutnya saat di Polres Metro Tangerang ia sudah

menceritakan semua dengan sejelas-jelasnya tetapi surat keterangan justice collaborator tidak

juga diberikan, pihak kepolisian seperti kurang menaruh perhatian pada kasus-kasus kecil

seperti kasusnya yang menjadi target para penyidik adakah bandar besar, pemilik pabrik.170

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan secara umum terdapat beberapa faktor

yang bisa dikatakan merupakan penghambat dalam hal pelaksanaan yaitu :

1. Ketidaktahuan narapidana mengenai detail syarat remisi

2. Kurangnya sosialisasi mengenai syarat remisi oleh pihak rutan pondok bambu

3. Tidak seimbangnya jumlah narapidana dengan jumlah petugas yang ada

4. Keributan maupun perilaku tidak disiplin dari narapidana itu sendiri

5. Sulitnya memperoleh status justice collaborator

4.2.2 Upaya Yang Dilakukan dan Harusnya dilakukan oleh Pihak Rutan Wanita

Kelas IIA Pondok Bambu Untuk Mengatasi Kendala Pemberian Remisi

170Wawancara dilakukan terhadap , Pada 27 Febuari 2018


118

Dalam sesi wawancara Ka Sub Sie Bimbingsn Kegiatan Pembinaan Tahanan

Noviana. H, Bc.iP., S.H, MH171 mengatakan bahwa pihak rutan melakukan berbagai cara

untuk mengendalikan permasalahan pemberian remisi diantaranya dengan memberikan

kesempatan bagi narapidana untuk menjadi Justice Collaborator dengan menyerahkan

formulir Justice Collaborator yang formatnya sudah diatur oleh pihak rutan, yang kemudian

di tanda tangani oleh narapidana dan di serahkan kembali ke pihak rutan untuk di teruskan ke

pihak kejaksaan ataupun BNN. Jika dalam waktu 14 hari kerja pihak kejaksaan ataupun BNN

tidak memberikan jawaban berupa penolakan atau persetujuan maka pihak rutan berhak

mengeluarkan surat pernyataan persetujuan sebagai lampiran yang dapat dipergunakan jika

nama narapidana tersebut direkomendasikan untuk memperoleh remisi.

Ketika penulis menanyakan mengenai adanya peraturan yang secara tegas

memperbolehkan mekanisme pemberian surat keterangan sebagaimana disebutkan diatas,

beliau tidak dapat menunjukan aturan baku tersebut dengan demikian penulis berpendapat

telah terjadi penyimpangan administratif terkait pemberian remisi terhadap narapidana

narkotika.

Pihak kementerian hukum dan HAM melalui proses seleksi CPNS 2017 telah

menabah formasi petugas rutan yang sekarang ini sedang menjalani pelatihan sesuai dengan

program pembunaan yang dijsnkan di rutan ini dengan begitu diharapkan kualitas pembinaan

semakin meningkat

Untuk meminimalisasi terjadinya keributan ataupun di selundupkannya barang-barang

terlarang seperti rokok tahun ini setiap lorong rutan akan dipasangi CCTV dan juga akan

semakin sering dilakukan inspeksi kamar.

Ketika pemberian remisi dijadikan sebagai salah satu sarana/alat kebijakan untuk

mengatasi permasalahan over kapasitas yang dialami Lapas atau Rutan, maka penulis

berpendapat tolak ukur yang dijadikan dasar untuk menyimpulkan seseOrang narapidana
171Ka Sub Sie Bimbingsn Kegiatan Pembinaan Tahanan Noviana. H, Bc.iP., S.H, MH Pada 27 Febuari 2018
119

“menjadi lebih baik” dengan tidak masuknya narapidana dalam register F tidak bisa diukur

dengan lamanya pidana yang sudah di jalani.

Ketika Penulis melontarkan ide dengan mengatakan bahwa sebenarnya bisa saja

dikurangi dengan memanfaatkan “fasilitas” yang sudah disediakan oleh KUHAP yaitu

mengalihkan bentuk penahanan di Rutan menjadi tahanan rumah atau tahanan kota beliau

pun menjawab hal itu bisa saja terjadi jika ada koordinasi langsung antara lembaga

penyidikan dengan pemerintah, sedangkan rutan maupun lapas hanya melakukan tugas

sebagai pembina saja.

4.3 Syarat Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Narkotika

4.3.1 Perubahan Syarat Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Penyalahgunaan

Narkotika dan Urgensinya Dalam Kerangka Penegakan Hukum Pidana

Marc Ancel pernah menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen

yaitu “criminology”, “criminallaw”, dan “penalpolicy”. Dikemukakan olehnya bahwa,

“PenalPolicy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan

praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan

untuk memberi pedoman tidak hanya pada pembuat undang-undang tetapi juga kepada

pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga para penyelenggara atau pelaksana

putusan pengadilan172. Berkaitan dengan itu kebijakan pemberian remisi bagi narapidana

secara umum mengacu kepada peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat

dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang dalam perkembangannya mengalami dua

kali perubahan, perubahan terakhir adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.

Kebijakan remisi terhadap warga binaan pemasyarakatan ini merupakan tindak lanjut

dari adanya kebijakan moratorium remisi terhadap warga binaan pelaku kejahatan luar biasa

yang kala itu hanya dalam bentuk surat edaran yang dikeluarkan oleh Hukum dan Hak Asasi

172Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.
23-24.
120

Manusia. Bermula dengan dikeluarkan surat Nomor : PAS-HN.01.02-42 Tertanggal 31

Oktober 2011 oleh Direktur Bina Pengelolaan Basan dan Baran yang ditujukan kepada

Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia cq Kepala Divisi

Pemasyarakatan di seluruh Indonesia yang pada intinya memerintahkan kepada seluruh

kepala UPT Pemasyarakatan untuk menangguhkan Pembebasan Bersyarat dan tidak

mengusulkan bagi narapidana pelaku kejahatan luar biasa.

Kebijakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34A Peraturan Pemerintah Nomor 99

Tahun 2012 didasarkan atas alasan :

Tindak pidana Narkotika dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi,

teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak

menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi muda bangsa yang sangat

membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sehingga diperlukan suatu

kebijakan hukum yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang

untuk menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut.173

Mengacu pada Pasal 34 peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 hanya

menggantungkan pemberian remisi kepada warga binaan pemasyarakatan pelaku narkotika

dan psikotropika pada syarat :

1. Berkelakuan baik;

2. Telah menjalani 1/3 dari masa pidananya.

Penjelasan mengenai “berkelakuan baik” dapat ditemukan dalam penjelasan umum

pasal demi pasal pada peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang remisi yang

tercantum pada Pasal 34 yang menyebutkan bahwa : yang dimaksud dengan berkelakuan

baik adalah menaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang

tercatat dalam buku register F selama kurun waktu yang ditentukan untuk pemberian remisi

namun, tidak terdapat standar baku tindakan-tindakan apa saja yang dapat dikategorikan
173 Konsideran Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
121

sebagai pelanggaran yang menimbulkan tindakan disiplin, hal ini dapat menimbulkan celah

yang dapat dipermainkan oleh petugas dalam pemberian remisi.174

Terkait tolak ukur yang dijadikan dasar untuk menentukan narapidana “menjadi lebih

baik, dari rumusan aturan tersebut terlihat bahwa jika pembinaan diri narapidana telah

berjalan lebih kurang 1/3 (satu pertiga) dari masa pidananya berarti yang menjadi tolak ukur

perbaikan diri adalah lama pidana.175

Menurut penulis kriteria perbaikan tingkah laku tidak bisa diukur dengan hitungan

matematika seperti 1/3 (satu pertiga), ½ (setengah) ataupun 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana

yang harus dijalani hal ini disebabkan penjara memaksa seorang untuk bertahan hidup dalam

keterbatasan ruang gerak dan memaksa narapidana tersebut untuk tunduk pada aturan di

dalam rutan, keadaan ini menimbulkan ambiguitas kelakuan baik tersebut apakah benar-benar

merupakan tanda keberhasilan pembinaan ataukah drama yang sengaja dipertontonkan

narapidana tersebut untuk memperoleh remisi

Jika ukuran yang digunakan untuk menilai perilaku narapidana menjadi lebih baik

setelah menjalani sejumlah waktu tertentu dari keseluruhan masa hukuman yang dijatuhkan

padanya hal ini berarti pembinaan hanya bergantung pada lamanya narapidana dapat bertahan

hidup dalam keterbatasan ruang gerak sampai saat pemberian remisi. Kriteria yang digunakan

adalah telah menjalani 1/3 dari masa hukuman pada tataran kebijakan hukum berakibat

terbitnya peraturan Menteri Hukum dan HAM yang mengatur adanya pemberian remisi

umum susulan, remisi khusus yang tertunda dan remisi bersyarat.Persyaratan sebagaimana

diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 yang hanya menggantungkan

persyaratan untuk mendapat remisi berdasarkan hasil review yang dipaparkan dalam sidang

Komisi Narkoba dan Obat-obatan Terlarang/ Comission on Narcotics and Drugs Indonesia

174Rini Soewarno, Pemberian Remisi Kepada Narapidana Tindak Pidana Korupsi, Universitas Indonesia,
Jakarta, 2012, hlm.89
175Dwija Prayitno, Op.Cit, hlm.99
122

dinyatakan terlalu longgar menetapkan aturan remisi bagi pelaku penyalahgunaan

narkotika)176 serta persyaratan tersebut tidak efektif untuk memberikan perlindungan pada

masyarakat khususnya dari pelaku kejahatan luar biasa untuk itu dimunculkan beberapa

persyaratan tambahan diantaranya kewajiban untuk menjadi Justice Collaborator.

Menurut United Nations Office On Drugs and Crime Justice Collaborator adalah

seseOrang yang terlibat dalam suatu pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh atau

berhubungan dengan organisasi kriminal yang memiliki pengetahuan penting tentang

struktur, modus operandi, dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan organisasi tersebut

dengan kelompok lainnya. Kebanyakan dari mereka bekerja sama dengan harapan kekebalan

atau keringanan hukuman dan perlindungan fisik bagi mereka dan keluarganya.177

Mas Ahmad Santosa menyatakan bahwa Justice Collaborator adalah seOrang yang

membantu aparat penegak hukum dengan memberi laporan, informasi atau kesaksian yang

dapat membantu aparat mengungkap suatu tindak pidana dimana Orang tersebut terlibat atau

tindak pidana lain yang memiliki keterkaitan dengan tindak pidana yang diproses. Hal yang

diungkap oleh pelaku yang bekerja sama antara lain adalah mengena siapa pelaku utama

tindak pidana, aset tindak pidana, modus operandi dan jaringan tindak pidana.178

Mahkamah Agung menentukan bahwa mereka yang dapat disebut sebagai saksi

pelaku yang bekerjasama yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana

tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya,

bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangannya sebagai saksi

dalam proses peradilan pidana.179

176
Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013
177United Nations On Drugs and Crime, hlm.19
178Mas Ahmad Santosa, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerja sama (Justice Collaborator),
Makalah disampaikan dalam International Workshop On The Protection of Whistleblower As Justice
Collaborator, diselenggarakan oleh Lembaga Pelindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum( PMH ), Jakarta 19-20 Mei 2016
179Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 Butir 9 Huruf a
123

Pada umumnya alat bukti keterangan saksi adalah alat bukti yang paling utama dalam

perkara pidana. Hampir semua pembuktian tindak pidana, selalu didasarkan pada keterangan

saksi “tiada suatu pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi, hampir

semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi

sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain masih tetap

diperlukan alat bukti keterangan saksi”.180

Masalah-masalah dalam mendeteksi dan menuntut pelaku tindak pidana dalam

kejahatan terorganisir, terorisme, korupsi, narkotika dan kejahatan serius lainnya terbukti

dapat sedikit teratasi dengan kehadiran seOrang informan yang dapat menyediakan informasi

penting tentang kejahatan tersebut.181 Jika dilihat dari latar belakangnya informan dapat

datang dari kalangan warga negara yang “baik” dan “jahat” dalam penegakan hukum

terhadap kejahatan terorganisir jarang ada informan yang merupakan warga negara biasa

memberi bantuan semata-mata karena tujuan moral. Biasanya justru penegak hukum bekerja

sama dengan informan yang merupakan sesama penjahat baik kompetitor bisnisnya. Mereka

bersedia bekerja sama membantu penegak hukum demi imbalan. 182 Ketika Justice

Collaborator sudah ditetapkan aparat penegak hukum semakin bergantung pada kesaksian,

bantuan kerja sama, dan petunjuk mengenai bukti-bukti yang diberikan oleh pelaku untuk

melawan teman mereka sendiri.183

Indrianto Seno Adji dalam makalahnya menyatakan pentingnya saksi yang juga

pelaku kejahatan yang merupakan “Orang dalam” (Inner Circle Criminal) tidaklah mudah

untuk menarik salah satu pelaku tindak pidana untuk melapor atau menjadi informan apalagi

180Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktek, Maharani Press, Jakarta, 2008, hlm.42
181Yvond Dandurand dalam makalah Vanka Dewani, Sistem Perlindungan Saksi Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia, Universitas Udayana, Bali, 2013, hlm.4
182Ibid.
183Ibid, hlm.6
124

menjadi saksi untuk melawan temannya sendiri mengingat pada akhirnya ia juga akan terseret

ke dalam kasus yang sama.184

Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan tersangka/terdakwa kasus

penyalahgunaan narkotika tidak mengakui bahkan mati-matian membela diri karena masih

berharap dapat di vonis bebas oleh majelis hakim sehingga banyak informasi yang

disembunyikan, setelah harapan bebas tidak tercapai dan justru dipidana barulah ia

membongkar informasi secara jujur185 (karena tidak mau dipenjara sendiri) dengan demikian

Justice Collaborator bisa dilakukan tidak hanya pada tahap penyidikan, penuntutan, tetapi

juga di masa pelaksanaan pidana. Secara sistem Justice Collaborator berhak atas keringan

tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, atau keringan hukuman pidana oleh hakim

maupun mendapat remisi atau pembebasan bersyarat pada tahap pelaksanaan pidana.

Mengenai remisi bagi narapidana Indriyanto Seno Adjie mengatakan bahwa remisi

adalah hak dan kewajiban dari narapidana artinya selama ia melaksanakan kewajibannya

maka ia akan memperoleh haknya, selama ini kriteria pemberian remisi terkhusus pada

pelaku tindak pidana luar biasa terlalu ringan maka perlu diperketat lagi karena sifat

kejahatan dan efek yang dibawanya berkaitan dengan masalah keamanan negara juga

keuangan negara serta menyangkut jalannya negara ini ke depan. 186 Lanjutnya pemberian

remisi yang dimonopoli Lembaga Permasyarakatan perlu mendapat kontrol dari luar,

Dari pernyataan tersebut menurut penulis pengetatan syarat remisi ini termasuk cara

untuk memasukan elemen lembaga lain sebagai kontrol dalam hal pemberian remisi dengan

penambahan syarat justice collaboratotdalampemberian remisi khususnya pada narapidana

184Indrianto Seno Adji, Prospek Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Makalah disampaikan dalam diskusi panel yang diselenggarakan oleh United Stated Departement Of Justice,
Office of Overseas Presecution Development Assistence and Training dikutip dalam Dwianto Agung, Peran
Saksi Mahkota Dalam Peradilan Pidana Indonesia, Universitas Indonesia, 2009, hlm.15
185Putusan Mahkamah Agung, Op.Cit.
186Koruptor Dapat Remisi, Ini Komentar KPK diunduh dari :
http://m.bisnis.com/kabar24/read/20150721/16/455087/koruptor-dapat-remisi-ini-komentar-kpk
125

pelaku penyalahgunaan narkotika berimplikasi pada masuknya lembaga lain yang berhak

melakukan pengawasan terhadap narapidana.

Trimedya Panjaitan mengatakan pemberian remisi mestinya memiliki batasan dengan

syarat yang lebih spesifik meskipun remisi adalah hak setiap narapidana, tetap harus ada

kondisi khusus yang membedakan remisi yang diterima narapidana satu dengan yang

lainnya.187

4.4 Kebijakan Remisi Terhadap Narapidana Narkotika Berdasarkan Sistem

Pemasyarakatan

Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian penegakan hukum oleh karena itu

pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai hukum

pidana. Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem peradilan pemidanaan

dalam tata peradilan pidana yang adalah bagian integral tata peradilan pidana terpadu

(Integrated Criminal Justice System) dengan demikian, maka sistem pemasyarakatan

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakan hukum.188

Menurut A. Widiada Gunakarya Sistem Pemasyarakatan adalah :189

Suatu kebijakan Pemerintah dalam memperlakukan narapidana yang bersifat

mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan dan sekaligus mengayomi narapidana itu

sendiri yang dianggap telah sesat jalan hidupnya. Sehingga setelah selesai menjalani

pidananya ia kembali menjadi anggota masyarakat dan dapat menyesuaikan dirinya dari

pergaulan yang sosial secara wajar.

Pemasyarakatan dapat dikatakan sebagai suatu proses therapeoutic dimana si

narapidana pada waktu masuk lembaga pemasyarakatan dalam keadaan tidak harmonis

dengan masyarakat sekitarnya, membawa dampak negatif bagi sekitarnya.

187Remisi Dalam Perspektif Islam, diunduh dari : http://putrabungsu.blogspot.com/2016/04/remisi-dalam-


perspektif-islam.html
188 J. Sinaga, Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan, Janabadra, Yogyakarta, 2006,
hlm.23
189A. Widiada Gunakarya, Op.Cit, hlm.139
126

Pasal 5 Undang-undang Pemasyarakatan mengamanatkan bahwa sistem pemasyarakatan

pada dasarnya diselenggarakan berdasarkan asas-asas pemasyarakatan yang terdiri dari :

a. Pengayoman, yang dimaksud dengan pengayoman adalah perlakuan terhadap warga

binaan pemasyarakatan dalam rangka melindungi kemungkinan di ulanginya tindak

pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada

warga binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat.

b. Persamaan perlakuan dan pelayanan, pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama

tanpa membeda-bedakan Orang.

c. Pendidikan dan Pembimbingan, bahwa penyelenggaraan pendidikan dan

pembimbingan dilaksanakan berdasarkan Pancasila, antara lain kerohanian dan

kesempatan untuk melakukan ibadah

d. Penghormatan harkat dan martabat, sebagai Orang yang tersesat warga binaan

pemasyarakatan harus tetap diperlakukan sebagai manusia.

e. Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan. Warga binaan

pemasyarakatan harus berada dalam lembaga pemasyarakatan dalam jangka waktu

tertentu sehingga negara mempunyai kesempatan penuh untuk memperbaikinya.

Selama di lembaga pemasyarakatan warga binaan pemasyarakatan tetap memperoleh

hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia dengan kata lain hak perdatanya tetap

di lindungi seperti memperoleh perawatan kesehatan, makanan, minuman, pakaian

tempat tidur, latihan keterampilan, olah raga atau rekreasi.

f. Terjaminnya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan Orang-Orang

tertentu, walaupun warga binaan pemasyarakatan berada di lembaga pemasyarakatan

tetapi harus di dekatkan dan dikenalkan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat,

antara lain berhubungan dengan masyarakat dalam bentuk kunjungan, hiburan ke


127

dalam pemasyarakatan oleh anggota masyarakat yang bebas, kesempatan berkumpul

bersama sahabat dan keluarga seperti CMK.

Dengan mengutip salah satu asas yang ada yaitu persamaan perlakuan dan pembinaan

penulis berpendapat bahwa asas ini harus diartikan sebagai persamaan terhadap subjek dalam

kondisi yang sama dalam hal ini remisi diberikan bagi narapidana yang telah sama-sama

memenuhi syarat, hal ini dapat diartikan bahwa ada perbedaan antara mereka yang memenuhi

syarat dengan dengan mereka yang tidak. Perbedaan ini jangan dipandang sebagai suatu yang

negatif karena tidak memperlakukan berbeda kepada narapidana sama-sama memenuhi syarat

melainkan justru bersifat adil karena memperlakukan berbeda terhadap hal yang berbeda

(yang satu memenuhi syarat dan yang satu tidak).

Jauh sebelum berubahnya syarat remisi bagi narapidana penyalahgunaan narkotika

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, Undang-undang

Pemasyarakatan sebagai peraturan pokok yang mendelegasikan kewenangan pemberian

remisi juga mengakui ada pembedaan (penggolongan) narapidana dalam rangka pembinaan

sebagaimana yang diatur dalam pasal 12 ayat 1

1. Umur

2. Jenis kelamin

3. Lama pidana yang dijatuhkan

4. Jenis kejahatan

5. Kriteria lain sesuai dengan kebutuhan atau perkembangan pembinaan

Melihat ide-ide yang terkandung dalam konsep pemasyarakatan tersebut diatas

menekankan bahwa sistem pemasyarakatan adalah suatu sistem perlakuan terhadap

Wargabinaan yang dilakukan yang menitik beratkan pembinaan berdasarkan Pancasila dan

rasa prikemanusiaan yang dalam pelaksanaannya bersandar pada asas-asas sebagaimana yang

juga telah disebutkan di atas menurut penulis tidak ada pertentangan antara sistem
128

permasyarakatan dengan syarat pemberian remisi yang termaktub dalam Pasal 34 A

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, peraturan tersebut hanya dimaksudkan untuk

memperketat syarat remisi bagi pelaku kejahatan luar biasa bukan meniadakannya sama

sekali.

4.5 Kebijakan Remisi Terhadap Narapidana Narkotika Dari Perspektif Hak Asasi

Manusia

John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan

langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak

ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar

(fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak

bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia. 190Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak

yang melekat kepada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha

Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi

oleh hukum, pemerintah dan setiap Orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan

martabat manusia.

Penulis berpendapat bahwa remisi bukanlah hak asasi absolut yang tidak dapat

disimpangi melainkan, hak relatif yang diberikan oleh hukum kepada terpidana hal ini

dikarenakan hak remisi baru timbul setelah terpidana mendapatkan putusan pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap.

Penempatan remisi sebagai hak asasi bersifat absolut dapat mengandung arti bahwa

semua manusia adalah narapidana karena sebagaimana dijelaskan diawal bahwa hak asasi

adalah yang melekat pada manusia karena dirinya adalah manusia namun, untuk

peniadaannya tetap berdasarkan aturan hukum.

190Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional,
(Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 3
129

Sehubungan dengan pendapat yang menyatakan bahwa aturan remisi terhadap

narapidana pelaku kejahatan luar biasa dalam hal ini narkotika diskriminatif karena

membedakan aturan remisi antara narapidana kejahatan biasa dan luar biasa. Adanya

prrbedaan trrsebut disalah artikan sebagai pelanggaran atas hak asasi utamanya yang

terkandung dalam 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 yangmenyebutkan bahwa : “

setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan sama di hadapan hukum“. Begitu juga dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2)

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa “ setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan

kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.“ Menurut pendapat penulis

kalimat persamaan di hadapan hukum harus dimaknai sebagai persamaan terhadap subjek

dengan kondisi yang sama.Sebaliknya, diskriminasi adalah perlakuan berbeda terhadap

kondisi dan subjek yang sama.

Sebaliknya,hukum harus menjadi instrumen untuk mewujudkan persamaan melalui

kebijakan affirmative actions191. Hukum yang demikian sesungguhnya tidak dapat dikatakan

sebagai hukum yang diskriminatif karena bukan memperlakukan berbeda terhadap yang

sama,melainkan justru bersifat adil karena memperlakukan berbeda terhadap hal yang

berbeda. Hukum ini juga bersifat pengecualian, dalam arti tidak dapat diperlakukan secara

terus menerus dan di semua tempat dan kondisi.

Tentu saja perbedaan perlakuan harus dihentikan pada saat sudah tercapai persamaan

atau sudah terjadi perubahan kondisi dari subjek hukum tertentu. Semisal persamaan di

hadapan hukum dalam penegakan hukum juga tidak dapat dimaknai bahwa terhadap

pelanggaran hukum yang sama harus selalu dijatuhi hukuman yang sama. Persamaan tidak

boleh dimaknai hanya dari aspek normatif.

191Kebijakan yang mensyaratkan adanya pengenaan keistimewaan pada kelompok atau kasus-kasus tertentu
guna mencapai kesetaraan ataupun keadilan dikutip dari
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action Pada 6 Maret 2018
130

Proses memeriksa dan memutus perkara adalah proses menemukan fakta suatu

peristiwa dan menerapkan norma terhadap fakta tersebut.Setiap peristiwa hukum memiliki

latar kondisi dan karakteristik yang berbeda sehingga tidak selalu dijatuhi hukuman yang

sama walaupun masuk dalam kategori delik yang sama. Latar kondisi dan karakteristik sangat

penting karena menentukan tingkat kesalahan dan permakluman yang dapat diberikan.

Dengan demikian, penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap pelanggaran yang

sama tidak dapat dikatakan sebagai hukum yang diskriminatif. Sama halnya dengan

perbedaan syarat remisi terhadap narapidana yang harus dilihat kasus per kasus sesuai

peristiwa kejahatan yang dilakukan dan kondisi dari narapidana yang mengajukan itu sendiri.

Sebaliknya, hal itu wujud nyata dari prinsip persamaan di hadapan hukum untuk

mencapai keadilan. Keadilan adalah memperlakukan secara sama terhadap hal yang sama,

dan memperlakukan berbeda terhadap hal yang memang berbeda.

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 remisi diberikan hanya

berdasarkan waktu pidana yang sudah dijalani oleh terpidana yang kemudian melalui

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 dirubah dengan mengadakan perbedaan

syarat antara narapidana kasus tindak pidana umum dengan tindak pidana khusus,

dalam hal ini narapidana kasus narkotika yang merupakan bandar selain diwajibkan
131

berkelakuan baik juga harus telah menjalani 1/3 masa pidana yang dijatuhkan, syarat

pemberian remisi bagi narapidana narkotika belakangan semakin diperketat dengan

diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 dimana dalam peraturan

ini narapidana narkotika yang hukumannya lebih dari 5 Tahun selain berkelakuan

baik diwajibkan menjadi justice collaborator jika ingin memperoleh remisi

2. Terdapat berbagai hal yang menjadi masalah dalam pemberian remisi bagi narapidana

kasus narkotika yaitu sulitnya menjadi justice collaborator hingga proses pembinaan

berjalan tidak sempurna karena adanya pola pikir yang berkembang diantara napi

bahwa percuma berbaik-baik di dalam penjara toh hukuman tidak berkurang, ketidak

tertiban dari narapidana tersebut, ketidak seimbangan jumlah antara penghuni rutan

dan petugas rutan juga kurangnya sosialisasi mengenai hak narapidana, selain itu

adanya kebijakan pihak rutan terkait pengajuan surat permohonan justice collaborator

yang telah ditanda tangani oleh narapidana tanpa adanya alas hukum yang jelas untuk

itu baik dalam bentuk peraturan menteri ataupun peraturan direktorat jenderal

pemasyarakatan merupakan masalah tersendiri.


132

B. SARAN

1. Syarat remisi sebagaimana diatur sekarang sudah baik namun dalam hal

pemberian status justice collaborator harus ada kesepahaman antara penyidik,

jaksa dan hakim mengenai kriteria siapa-siapa saja yang berhak menjadi justice

collaborator karena dengan kriteria “bukan pelaku utama” sebagaimana yang

dipahami sekarang ini tidak cukup contohnya saja apa yang dialami oleh

narapidana bernama Susanti yang sudah mengantongi surat tanda justice

collaborator dari penyidik kepolisian namun ditolak oleh hakim dengan alasan

bahwa dirinyaa adalah bandar di jaringan lain padahal Susanti memperoleh

barang dari oranh lain. Diperlukan penambahan syarat misalnya maksimum

barang bukti yang ada untuk dapat mejadi justice collaborator

2. Perlu adanya sosialisasi mengenai perlindungan hukum bagi justice collaborator

mulai dari tahap penyidikan sehingga tidak ada ketakutan bagi mereka yang ingin

membantu penegak hukum.

3. Sekalipun mekanisme surat permohonan justice collaborator oleh pihak rutan ke

penegak hukum dapat berpengaruh positif terhadap kepadatan rutan, namun

hendaknya ada payung hukum yang jelas untuk hal tersebut


Daftar Pustaka

Buku dan Artikel

Adji, Indrianto Seno , Prospek Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan

Pidana Indonesia, Makalah, Universitas Indonesia, 2009.

Arief, Barda Nawawi , Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,

Bandung, 2010.

Ali, Muhammad, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Pustaka Amani, Jakarta,1997

Arafah, . Siti Rohmanul, Penjara Dari Masa Ke Masa, Universitas Udayana, Bali, 2013

Arief, Barda Nawawi , Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010,

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 : Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-

Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakarta, 2008

———————, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar

Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran

Kausalitas, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

Dewani, Vanka, Sistem Perlindungan Saksi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia,

Universitas Udayana, Bali, 2013.

Djik, Peter van , Adnan Buyung Nasution, Leo Polak Instrumen Internasional Pokok-pokok

Hak Narapidana, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1999.

Effendi, Masyhur, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan

Internasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.

Farid, Zainal Abidin , Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta,, 2007

Gunakarya, A Widiada dan Konsepsi Permasyarakatan, Amrico, Bandung, 1988.

Gunandi, Ismu dan Junaedi Effendi, Cepat dan Mudah Memahamk Hukum Pidana, Prenada

Media Grup, Jakarta,2014


134

Hamzah, Andi, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika

Pressindo, Jakarta, 1983.

——————-, Asas-Asas Hukum Pidana Cetakan Keempat, Rineka Cipta, Jakarta, 2012

Haz, Sanusi , Pengantar Ilmu Penologi( Ilmu Pengetahuan Tentang Pemasyarakatan Khusus

Terpidana) Monora, Medan, 1972.

Ilyas, Amir , Asas-asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap

Indonesia, Yogyakarta, 2012.

Kamus Hukum Citra Umbara: Bandung,2008.

Koesoen, Susunan Pidana Penjara Dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur Bandung, 1966

Lamnintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2011

Makarao, Taufik , Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003

Maramis, Frans, Hukum PIdana Umum dan Tertulis di Indonesia, RajaGrafindo Persada,
Jakarta ,2012.

Marlina, Pembinaan Narapidana di Lapas menurut Undang-Undang RI No. 12 tentang


Pemasyarakatan Studi Kasus Lapas Kelas I Tanjung Gusta Medan. Tesis Medan :
Universitas Sumatera Utara, 2010.

Marpaung, Lenden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta, 2013.

Moeljalento, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi revisi, Renika Cipta, Jakarta, 2008

Nainggolan, Bernardo Hukum Pidana, Universitas Lampung, Lampung, 2013

Ohoitimur, Yon, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2004

Panjaitan, Petrus Irwan Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Sinar
Harapan, Jakarta, 1995.

Poernomo, Bambang Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty,


Yogyakarta, 1985

Prayitno, Dwija , Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, Refika Aditama,


Bandung, 2006
135

Putri, Sri Wahyuni , Pembinaan Narapidana Wanita Dalam Lembaga Permasyarakatan,


Universitas Islam Riau, 2014

Reksodiputro, Mardjono , Kriminologi dan Sistem Pidana Kumpulan Karangan Buku Kedua
Cetakan I, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.

Santosa, Mas Ahmad , Makalah Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerja sama
(Justice Collaborator), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2016

Setiawan, Anton, Pelaksanaan Pembinaan Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun


1995 (Studi Kasus Lapas Kelas IIA Binjai), Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009

Sibatangkayu, Diapari, Kelayakan Privatisasi Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia, Tesis


FISIP Universitas Indonesia, Depok Jawa Barat, 2008

Sianturi S.R .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Alumni Ahaem-
Peteheam, Jakarta ,1996

Sinaga, J. Pelaksanaan Pembebasan Bersyarat di Lembaga Pemasyarakatan, Janabadra,


Yogyakarta, 2006.

Soekanto,Soerjono Penelitian Hukum, UI-Press,2008.

Soeparmono, Gatot , Hukum Narkoba Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.

Soewarno, Widya Puspa Rini, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Tindak Pidana
Korupsi Ditinjau Dari Sistem Pemasyarakatan, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012.

Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 2007

Sudirman, Dindin, Masalah-Masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan. Jakarta: Pusat


Pengkajian Dan Pengembangan kebijakan Depkumham RI, 2006.

Sujono, A.R dan Boy Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta,2011.

Suryantoro, Tonny , Suatu Telaaah Yuridis Atas Kasus Kleptomania Oleh Anak Dibawah
Umur, Jurnal Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2014

Syachdin, Kedudukan Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Nasional, Tesis
Universitas Diponegoro, Semarang, 2009.

Widjana, Made, Pemidanaan dan Permasalahannya, Udayana, 2012

Wijaya, Firman , Peradilan Korupsi Teori dan Praktek, Maharani Press, Jakarta, 2008
Yudianto, Otto, Kebijakan Legislatif Dalam Mewujudkan Ide Pemasyarakatan Terhadap
Pidana Seumur Hidup, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997
136

Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, LN No. 77 Tahun


1995, TNN No. 3080.

Peraturan Pemerintah 28 Tahun 2006. tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah


Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak WBP.
Peraturan Presiden RI No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Hak WBP.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.

Instruksi Presiden RI Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan


Pengawasan. Permen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:
M.MHOT.02.02.Tentang Cetak Biru Pembaharuan Sistem Pemasyarakatan Tahun 2009

Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan RI No. M09.HN.02.01 Tahun


1999 Tentang Pelaksanaan Keppres No. 174 tahun 1999.

Keputusan Menteri Kehakiman No.M.01.PR.07.03 Tahun 1986 Tentang Organisasi dan


Tata Kerja Lembaga Permasyarakatan.

Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.100.HN.02.01 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus,

Permen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M-01.Pr.07.10
Tahun 2005.tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI

Permen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010.
tentang Remisi Susulan.

Permen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M-01.Pr.07.10
Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI

Permen Hukum dan Perundang-undangan No. M.04-HN.04.01 Tahun 2000 tentang


Remisi Tambahan Bagi Narapidana dan anak pidana

Sumber Lain

Penghuni Lapas Di Indonesia di Dominasi Napi Narkotika, dikutip dari laman :


https://www.google.co.id/amp/s/nasional.sindonews.com/newsread/1205976/13/penghuni-
lapas-di-indonesia-didominasi-napi-kasus-narkoba-1495035513

Mula Akmal, Managemen Penjara Harus Ditata Ulang, Dikutip dari laman : http://koran-
sindo.com/page/news/2016-0425/0/1/Manajemen_Lapas_Harus_Ditata_Ulang
137

Herlina Nania, Extra Ordinary Crime, di kutip dari laman :


http://www.academia.edu/5484392/PEMBAHASAN_EXTRAORDINARY_CRIMES

Pemilik Puntung Ganja Pengedar Ganja dikutip dari laman :

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5141cd01a7dac/pemilik-puntung-

ganjapengedar-ganja.html

https://www.ditjenpas,go.id/ index.php.page 20-21

Titis Panawang, Cerita Remisi dan Semangat Anti Korupsi, diunduh dari :

http://www.academia.edu/24401811/Cerita_Remisi_dan_Semangat_Anti_Korupsi

Koruptor Dapat Remisi, Ini Komentar KPK diunduh dari :

http://m.bisnis.com/kabar24/read/20150721/16/455087/koruptor-dapat-remisi-ini-komentar-

kpk

http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action
138
117
117

Anda mungkin juga menyukai