Contoh Tugas Akhir Pasca Esclapa
Contoh Tugas Akhir Pasca Esclapa
Oleh
14-021-900-19
2018
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
OLEH
14-021-900-19
TESIS
Disetujui oleh :
Pembimbing I Pembimbing II
(Dr. Mompang L. Panggabean SH., MHum) (Dr. (iur.) Antonius P.S. Wibowo, SH MH)
Mengetahui,
i
LEMBAR PENGESAHAN
OLEH
14-021-900-19
TESIS
Disahkan oleh :
Penguji I
Penguji II
Penguji III
ii
ABSTRAK
e InggrisKejahatan Narkotika tercantum dalam Bab XV Pasal 111 hingga Pasal 148 UU No
35/2009 yang merupakan ketentuan khusus. Ketentuan remisi sejak diberlakukannya KUHP
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 yang terakhir diubah dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang menyebabkan banyak masalah dalam
pelaksanaannya. Masalah tentang pengembangan remisi dan problematika remisi kemudian
diangkat oleh penulis sebagai bahan studi dalam tesis ini.
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian normatif empiris, dimana penulis
mengkaji penerapan aturan tentang hak remisi bagi narapidana dan masalah yang dihadapi
dalam hal remisi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, untuk menggambarkan suatu
perkembangan situasi hukum. remisi remisi dan remisi di Rutan Pondok Bambu Jakarta
Timur.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 32/1999, remisi diberikan hanya berdasarkan masa
pidana telah dilaksanakan, dengan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 diubah
dengan ketentuan tahanan yang berbeda. Kasus-kasus tindak pidana umum dengan tindak
pidana khusus, dalam hal ini kasus kasus narkotika diperlukan untuk memiliki perilaku baik
juga memiliki sepertiga dari hukuman penjara yang dikenakan, persyaratan remisi untuk
Narkotika Narkotika narapidana diperketat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 99 Tahun 2012 dalam peraturan narapidana narkotika yang dihukum lebih dari 5
tahun wajib menjadi justice collaborator untuk mendapatkan remisi
Ada berbagai masalah yang bermasalah dalam memberikan remisi bagi narapidana
kasus narkotika yang kesulitan untuk menjadi justice collaborator, jumlah narapidana dan
petugas lapas yang tidak seimbang juga kurangnya sosialisasi tentang hak narapidana, dan
adanya kebijakan penjara untuk membuat surat permohonan justice collaborator pada
lembaga penegak hukum lainnya tanpa dasar hukum yang jelas baik dalam bentuk peraturan
pemerintah, peraturan menteri atau keputusan direktur jenderal pemasyarakatan menurut
penulis adalah masalah dalam pelaksanaan remisi
Saran yang dapat diberikan oleh peneliti, mengenai kondisi remisi seperti yang diatur
sekarang adalah baik tetapi dalam kasus memberikan status justice collaborator harus ada
pemahaman antara penyidik, jaksa dan hakim tentang kriteria siapa saja yang berhak menjadi
justice collaborator karena dengan kriteria "bukan aktor utama" tidak cukup. Ada aturan
yang perlu ditambahkan yaitu batas maksimum bukti untuk bisa mendapatkan status
kolaborator keadilan
Perlu adanya sosialisasi mengenai perlindungan hukum bagi justice collaborator mulai
dari tahap penyidikan sehingga tidak ada ketakutan bagi mereka yang ingin membantu
penegak hukum. Sekalipun memanisme pengajuan surat permohonan justice collaborator
oleh pihak rutan ke penegak hukum dapat berpengaruh positif terhadap kepadatan rutan
namun hendaknya ada aturan hukum yang tegas untuk mekanisme itu
iii
Abstract
Narcotics Crime is set forth in Chapter XV Article 111 up to Article 148 of Act No 35 /
2009 which is a special provision. The provision of remission since the enactment of the
Penal Code is regulated in Government Regulation No. 32 of 1999 which was last amended
in Government Regulation Number 99 Year 2012 which caused many problems in its
implementation. The problem concerning the development of remission and problematics of
remission is then raised by the authors as the study material in this thesis.
The type of research that the author uses is empirical normative research, where the
authors review the application of rules on the right of remission for prisoners and the
problems faced in terms of remission.This research is a descriptive research, to describe a
legal situation development of remission and remission problematics remission in Rutan
Pondok Bambu East Jakarta.
Based on Government Regulation Number 32/ 1999, remission is given only based on
the time that the convict has been executed, with Government Regulation Number 28 of 2006
changed with the provision of different prisoners Cases of general criminal acts with special
criminal acts, in this case narcotics cases is required to have good behavior also has one third
of imprisonment imposed, the requirement of remission for Narcotics Narcotics inmate is
tightened with the issuance of Government Regulation No. 99 Year 2012 in this regulation of
narcotics prisoner who convicted more than 5 years are obliged to become justice
collaborator to get remission
There are various issues that are problematic in giving remission for inmate of narcotics
case that is difficulty for being justice collaborator, unbalanced number of inmate and prison
officer also lack of socialization about the right of prisoner, and the existence of policy of
prisons to ask application letter of justice collaborator to other law enforcement agencies
without any clear legal basis either in the form of government regulation, ministerial
regulation or decision of director general of correction according to the author is a problem in
the implementation of remission
Suggestions that can be given by the researchers, regarding the condition of remission
as arranged now is good but in the case of giving the status of justice collaborator there must
be an understanding between the investigator, the prosecutor and the judge about the criteria
of anyone who is entitled to be justice collaborator because with the criteria "not the main
actors" is not enough. There are rules that need to be added that is the maximum limit of
evidence to be able to get the status of justice collaborator.
There needs to be socialization of legal protection for the justice collaborator from the
investigation stage so there is no fear for those who want to help law enforcement. Although
the manifestation of the application letter of justice collaborator by the prison to law enforcer
can have a positive effect on the density of the rutan but there should be clear rules for that
mechanism.
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
ABSTRAK
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang...........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 4
1.3 Ruang Lingkup Penelitian........................................................................................4
1.4 Tujuan Penelitian.....................................................................................................6
1.5 Manfaat Penelitian...................................................................................................6
1.6 Kerangka Teori.........................................................................................................7
1.7 Definisi Operasional...............................................................................................15
1.8 Metode Penelitian...................................................................................................18
1.9 Sistematika Penulisan.............................................................................................21
v
BAB III SISTEM PELAKSANAAN PIDANA PENJARA DAN PERKEMBANGAN
PENGATURAN REMISI DI INDONESIA
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan...........................................................................................................130
5.2 Saran......................................................................................................................131
vi
vii
BAB I
PENDAHULUAN
mengkhawatirkan. Indonesia sekarang ini tidak hanya sebagai daerah transit maupun
pemasaran, melainkan sudah menjadi daerah produsen narkotika. Hal ini dibuktikan dengan
precursor atau bahan pembuat narkotika dalam bentuk besar dari luar negeri ke Indonesia.
mengancam keselamatan baik fisik maupun jiwa si pemakai dan juga terhadap masyarakat
disekitar secara sosial. Peredaran narkotika menimbulkan keresahan dan ketakutan dalam
kehidupan masyarakat terutama bagi generasi muda bangsa. Menyadari sedemikian besarnya
produk hukum yang diharapkan mampu untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
narkotika melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang telah
Pidana penjara merupakan salah satu jenis sanksi yang sering digunakan untuk sarana
menanggulangi masalah kejahatan. Penggunaan pidana penjara sebagai cara untuk menghukum
para pelaku tindak pidana baru di mulai pada akhir abad ke – 18 yang bersumber pada paham
individualisme dan gerakan perikemanusiaan, maka pidana penjara ini semakin memegang
peranan penting dan menggeser kedudukan pidana mati dan pidana badan yang dianggap kejam.
Atas dasar hal tersebut maka pidana penjara yang merupakan primadona dalam sistem sanksi
pidana yang paling sering dijatuhkan oleh hakim dalam memutuskan perkara termasuk dalam
1
2
secara konseptual dan historis sangat berbeda dengan apa yang berlaku dalam Sistem
Kepenjaraan. Perbedaan dua sistem tersebut memberi implikasi perbedaan dalam cara-cara
pembinaan dan bimbingan yang dilakukan, disebabkan perbedaan tujuan yang ingin dicapai.
masuk Lembaga Pemasyarakatan (untuk selanjutnya disebut Lapas) atau Rumah Tahanan
Negara (untuk selanjutnya disebut Rutan) dalam keadaan tidak harmonis dengan masyarakat
sekitarnya, dan mempunyai hubungan yang negatif dengan masyarakat. Sejauh itu narapidana
lalu mengalami pembinaan yang tidak lepas dari unsur-unsur lain dalam masyarakat,
keutuhan dan keserasian (keharmonisan) hidup dengan penghidupan, tersembuhkan dari segi-
diri, tidak mengulangi tindak pidana, kembali ke masyarakat, aktif dalam pembangunan,
menyatu (integral) dengan sehat dalam masyarakat dan dapat berperan bebas serta
1Proses ini merupakan sebuah program yang memadukan berbagai metode meliputi aspek medis, sosial,
kerohanian dan keterampilan digunakan dalam pelayanan dan rehabilitasi terpadu, pada mulanya digunakan
hanya bagi pasien-pasien psikiatri, mulai dikembangkan setelah perang dunia kedua. Metode Therapeutic
merupakan sebuah keluarga yang terdiri atas Orang-Orang yang mempunyai masalah dan tujuan yang sama
yaitu menolong diri sendiri dan sesama oleh seseOrang dari mereka sehingga terjadi perubahan tingkah laku dari
yang negatif kearah tingkah laku yang positif, diunduh dari :
https://lapasnarkotika.files.wordpress.com/2008/07/therapeutic-community-rev1_1doc.pdf. Pada 20 Oktober
2016, Bekasi Jawa Barat.
2Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983,
hlm. 116.
3Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, Lembaran Negara Nomor : 77,
Tambahan Lembaran Negara Nomor : 3614.
3
sebagai subjek yang dipandang selayaknya manusia yang patut di lindungi hak-haknya.
pencerminan akan akan penghargaan terhadap hak warga binaan terkandung dalam
Jumlah Narapidana di seluruh Indonesia saat ini adalah 222.000 orang sementara
kapasitas Lapas hanya 125.000 orang, ini sudah overcapacity dari 222.000 orang tersebut
106.000 orang merupakan narapidana kasus narkotika dan psikotropika, 74.000 pengguna
dan 32.000 bandar.4 Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa sistem pemasyarakatan tidak
tidak lain merupakan salah satu upaya pemerintah dalam melaksanakan perlindungan,
pemenuhan dan penagakan serta penghormatan dan perlindungan hak warga binaan
pemasyarakatan. Hal tersebut ternyata tidak begitu sejalan dengan semangat pemberantasan
tindak pidana narkotika karena narapidana narkotika mendapat perlakuan yang sama dengan
pemasyarakatan yang pada saat itu penyalagunaan narkotika belum begitu marak terjadi,
tentunya jika dikondisikan pada masa kini, semangat pemasyarakatan itu tidak sejalan lagi
dengan tingginya tingkat peredaran narkotika yang terjadi. Atas dasar hal tersebut
ketentuan mengenai tata cara pemberian hak warga binaan, kenyataannya perubahan
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji
lebih lanjut mengenai kebijakan pemberian remisi bagi warga binaan pelaku kejahatan luar
2. Problematika apa saja yang terjadi dalam hal pemberian remisi bagi pelaku tindak
pidana narkotika?
Pemerintah saat ini sedang memikirkan cara untuk mengurangi tingkat kepadatan di
berkaitan langsung dengan jumlah narapidana salah satunya dengan mengubah klausul
5
peraturan yang isinya memperketat syarat hak memperoleh remisi bagi narapidana pelaku
korupsi, tindak pidana narkotika, terorisme, pelanggaran hak asasi manusia serta kejahatan
transnasional lainnya.5
uang secara keseluruhan tidak dapat dipikirkan secara terpisah dari tatanan sistem peradilan
pidana terpadu dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai lembaga pembina
narapidana sekaligus pula melakukan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak asasi
manusia.6
pidana sangat dipengaruhi oleh kondisi perubahan dalam masyarakat, hal ini bermuara pada
yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa menimbulkan tantangan baru bagi
sistem pemasyarakatan sebagai bagian suatu sistem penegakan hukum yang wajib
menjunjung tinggi hak asasi manusia namun disisi lain juga harus memenuhi rasa keadilan
masyarakat.
Mengingat begitu luasnya cakupan yang akan dibahas maka penulis memberikan
batasan ruang lingkup pembahasan dalam penulisan hukum kali ini yaitu :
5 Mula Akmal, Managemen Penjara Harus Ditata Ulang, Dikutip dari laman : http://koran-
sindo.com/page/news/2016-04-25/0/1/Manajemen_Lapas_Harus_Ditata_Ulang, Pada 11 Oktober 2017, di
Bekasi
6 Diapari Sibatangkayu, Kelayakan Privatisasi Lembaga Pemasyarakatan Di Indonesia, Tesis FISIP
Universitas Indonesia, Depok Jawa Barat, 2008, hlm.15
6
Bambu.
Adapun tujuan penelitian berdasarkan rumusan masalah yang telah diajukan adalah
sebagai berikut:
pidana mengenai hak memperoleh remisi bagi narapidana dalam sistem pemasyarakatan .
Adapun manfaat yang penulis harap dapat terpenuhi dengan adanya penulisan hukum
ini adalah :
serta pengetahuan yang berkaitan dengan hak memperoleh remisi khususnya bagi narapidana
pelaku kejahatan luar biasa, disamping itu karya ini dapat dijadikan referensi dalam karya
ilmiah hukum pidana yang memiliki kaitan dengan remisi dalam sistem pemasyarakatan
Tulisan ini diharapkan dapat berguna bagi para pemangku jabatan yang memiliki tugas
dan fungsi merumuskan aturan mengenai syarat dan tata cara memperoleh remisi agar kelak
konsisten membuat suatu aturan yang jelas guna melindungi masyarakat umum dan
mengulas hakikat pidana sebagai suatu rasa sakit (derita) dan kegunaannya di masa
mendatang, khususnya untuk pembaharuan hukum pidana. Pada hakikatnya konsepsi dari
teori-teori tentang tujuan pemidanaan tidak jauh berbeda, oleh karena itu uraian mengenai
Menurut teori ini pidana dijatuhkan karena Orang telah melakukan kejahatan. Pidana
sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang
melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenarannya terletak pada adanya kejahatan itu sendiri.
Seperti dikemukakan Johanes Andenaes bahwa tujuan primer dari pidana menurut teori
absolut ialah untuk memuaskan tuntutan keadilan. Sedang pengaruh yang menguntungkan
adalah sekunder. Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dari pendapat Imanuel
Kant dalam bukunya Filosophy of Law bahwa pidana tidak pernah dilaksanakan semata-mata
sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi si pelaku itu sendiri
maupun bagi masyarakat. Tapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang
bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Setiap orang seharusnya menerima ganjaran
seperti perbuatannya dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota
Mengenai teori pembalasan ini, Andi Hamzah mengemukakan sebagai berikut: “Teori
pembalasan menyatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti
dijatuhkan pidana, pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah
dikemukakan oleh penganut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang menjadi
sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori pembalasan
yang pada prinsipnya berpegang pada “pidana untuk pidana”, hal itu akan mengesampingkan
nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan bagaimana membina
si pelaku kejahatan.
Ada beberapa ciri dari teori retributif sebagaimana yang diungkapkan oleh Karl O.
Cristiansen, yaitu: 7
e. pidana melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak
Para penganut teori ini memandang pidana sebagai sesuatu yang dapat digunakan
untuk mencapai pemanfaatan, baik yang berkaitan dengan orang yang bersalah maupun yang
berkaitan dengan dunia luar, misalnya dengan mengisolasi atau mencegah penjahat
7 Muladi dan Barda Nawawi, Teori dan Kebijakan Pidana: Alumni, Bandung,1992, hlm. 11.
9
potensial, akan menjadikan dunia tempat yang lebih baik. 8 Dasar pembenaran dari adanya
pidana menurut teori ini terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est
Perbedaan ciri-ciri pokok atau karakteristik antara teori pembalasan dan teori tujuan
b. Pencegahan bukan tujuan akhir, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana;
kejahatan; dan
Mengenai tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan ini, biasa dibedakan antara
istilah prevensi umum (general deterrence) dan prevensi khusus (special deterrence).
Dengan prevensi umum dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya,
artinya pencegahan kejahatan itu ingin dicapai oleh pidana dengan mempengaruhi tingkah
laku anggota masyarakat pada umumnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Sedangkan
dengan prevensi khusus dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana. Jadi pencegahan
kejahatan itu ingin dicapai dengan mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak
Teori tujuan ini berasas pada tiga tujuan utama pemindanaan yaitu preventif,
(detterence) untuk menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan, baik bagi individual pelaku
agar tidak mengulangi perbuatanya, maupun bagi publik sebagai langkah panjang. Sedangkan
tujuan perubahan (reformation) yaitu diharapkan adanya perbaikan dari dalam diri pelaku
Teori gabungan ini merupakan teori yang bersifat plural karena bersifat gabungan
dari teori-teori sebelumnya (teori retributif dan utilitarian), oleh karenanya sering disebut
dan yang bersifat "utilitarian" misalnya pencegahan dan rehabilitasi yang semuanya
dilihat sebagai sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam rencana pemidanaan. 12 Pidana
dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan
10 Ibid.
11Muladi, Op.Cit. 53
12 Muladi, Ibid, hlm. 52
11
suatu cara tertentu diharapkan untuk dapat mengasimilasikan kembali terpidana ke dalam
Di samping itu Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-
hal lain, yaitu bahwa pidana diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan
dan pidana adalah suatu proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima
Sebagai konsekuensi dianutnya aliran ini maka penjatuhan pidana oleh hakim
mengandung sifat :
1. Kemanusiaan dalam arti penjatuhan pidana yang dilakukan oleh hakim harus
2. Edukatif dalam arti bahwa penjatuhan pidan tersebut mampu membuat pelaku
3. Keadilan dalam arti bahwa penjatuhan pdana harus dirasa adil baik oleh pelaku, korban
Menurut J.M. van Bemmelen, Penitentiere Recht adalah hukum yang berkenaan
dengan tujuan, daya kerja dan organisasi dari lembaga-lembaga pemidanaan.Menurut P.A.F.
lembaga kebijaksanaan yang telah diatur oleh Pembentuk Undang-Undangdi dalam hukum
pidana materiil.14
13 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Pidana Indonesia, Alfabeta, 2010, hlm, 62.
14 Tonny Suryantoro, Suatu Telaaah Yuridis Atas Kasus Kleptomania Oleh Anak Dibawah Umur, Jurnal
Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2014, hlm.5
12
Menurut S.R. Sianturi, Hukum Penitensia adalah bagian dari hukum positif yang
berisikan ketentuan atau norma mengenai tujuan, usaha (kewenangan) dan organisasi dari
hukum), atau
2. Penindakan, atau
2. Lembaga Pemidanaan
a. lembaga pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda serta pidana
b. lembaga pidana tutupan (UU No.20 Tahun 1946 Tentang Pidana Tutupan);
e. lembaga tempat menjalani pidana (Gestichten Reglement Stb.1917 No.708 yang diubah
2. Lembaga Penindakan
Pasal 35).
Stb.1897 No.54).
15Ibid, hlm.5
13
3. Lembaga Kebijaksanaan
Stb.1917 No.749).
3. ijin bagi terpidana untuk di luar tembok setelah jam kerja (Pasal 20 KUHP).
5. Grasi (UU No.22 Tahun 2002), Amnesti dan Abolisi (UU No.11/Drt/1954, Perpres
1) Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie jo UU No.1 Tahun 1946 Tentang
No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik
2) KUHP Tentara.
Ekonomi.
16
14
No.741).
No.160).
(Stb.1897 No.54).
No.708).
13) .UU No.3 Tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi jo UU No.22 Tahun 2002
Tentang Grasi.
Permohonan Grasi.
Permohonan Grasi
Di dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa istilah yang berkaitan erat
dengan objek penelitian, untuk menyamakan presepsi berikut ini penulis akan memberikan
Kejahatan ini dipandang sebagai kejahatan luar biasa karena telah sangat mencederai
keamanan dan kesejahteraan dunia.17 Extraordinary Crime adalah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan maksud menghilangkan Hak Asasi Orang lain, yang telah disepakati
sebagai pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court
dan statuta Roma, mendapatkn hukuman seberat-beratnya termasuk hukuman mati bagi
pelaku tersebut. Statuta Roma tidak memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud
dengan most serious crimes. Dalam pasal 5 hanya menerjemahkan the most serious crimes
concern to international community menjadi empat jenis, yaitu genosida, kejahatan terhadap
mempunyai dampak lebih dari satu negara, kejahatan yang melibatkan atau memberikan
dampak terhadap warga negara lebih dari satu negara, dan sarana dan prasarana serta
kejahatan yang sebenarnyanasional (di dalam batas wilayah negara), tetapi dalam
beberapa hal terkait kepentingan negara-negara lain. Sehingga tampak adanya dua atau
lebih negara yang berkepentingan atau yang terkait dengan kejahatan itu. Kejahatan
semakin kabur oleh karena aspek-aspeknya sudah meliputi individu, negara, benda,
publik dan privat. Sifatnya yang transnasional yang meliputi hampir semua aspek
nasional maupun internasional, baik privat maupun publik, politik maupun bukan
politik.18
1.7.3. Narapidana
Pengertian narapidana adalah orang-orang yang sedang menjalani sanksi penjara atau
narapidana adalah manusia bermasalah yang dipisahkan dari masyarakat untuk belajar
bermasyarakat dengan baik dan ahli hukum lainnya hanya karena melanggar norma hukum
yang ada, maka dipisahkan oleh hakim untuk menjalani hukuman. 19 Sejak berlakunya sistem
a) Narapidana
pemasyarakatan.20
b) Anak pidana
18 Muhammad Syaltout, Laporan Akhir Kompediun Hukum Tentang Kerjasama Internasional Dibidang
Penegakan Hukum, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, 2013, hlm.58
19Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm.59
20Lihat Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
17
Adalah anak yang berdasarkan keputusan pengadilan menjalani masa pidana di dalam
Suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan warga binaan
dengan yang dibina serta masyarakat untuk meningkatkan kualitas warga binaan
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat,
dapat berperan aktif dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan (untuk selanjutnya disebut UPT PAS) adalah
warga binaan pemasyarakatan dan perawatan tahanan yang terdiri atas : Lembaga
cabang Rutan.24
21Lihat Pasal 1 angka 8 huruf a Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
22Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
23Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan
24 Pasal 1 angka 3 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.02.PR.08.03 Tahun 2003
18
Kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan
Istilah “metodologi” berasal dari kata “metode” yang berarti “jalan ke”; namun demikian,
berikut:26
Dengan teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposisiproposisi yang
telah diuji kebenarannya, sehingga seorang ilmuwan akan dapat menjelaskan, aneka macam
gejala sosial yang dihadapinya walaupun hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan
terhadap masalah yang dihadapi. Suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada
dihadapinya.27
Dilihat dari fokus penelitiannya, penelitian hukum terdiri dari 3 (tiga) tipe
penelitian yaitu : (a) penelitian hukum yuridis normatif dan (b) yuridis empiris. Penelitian
hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis/dogmatik karena tidak mengkaji
Tipe penelitian yang penulis pakai adalah penelitian normatif empiris (applied law research)
dimana penulis mengkaji pelaksanaan aturan mengenai hak remisi bagi narapidana serta
Penelitian hukum ini adalah penelitian deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan
remisi di lingkungan Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu Jakarta Timur
Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh secara
langsung dari masyarakat dan dari bahan-bahan pustaka. Yang diperoleh langsung dari
masyarakat dinamakan data primer (atau dasar), sedangkan yang diperoleh dari bahan-
bahan pustaka lazimnya dinamakan data sekunder.30 Sumber data dalam penelitian ini
terdiri dari:
dalam hal ini narapidana tindak pidana narkotika dan ka sub sie pembinaan tahanan..
2) Data Sekunder diperoleh dengan mengumpulkan bahan kepustakaan yang terdiri dari
2. Peraturan dasar.
28 Abdul Kadir Muhammad, Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 32
29 Zaenudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.20
30Zaenudin Ali, Op.Cit, hlm.24
20
Untuk menghimpun data sekunder, maka dibutuhkan bahan berupa buku yang
pengawasan, karya ilmiah dan hasilhasil seminar yang relevan dengan penelitian
ini serta pendapat ahli yang dilengkapi dengan data primer berupa hasil
dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder seperti kamus umum,
kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang
hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang
Daerah Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di lingkungan Rutan Klas IIA
meneliti kembali informasi yang telah diterima. Editing yaitu memeriksa kembali mengenai
relevansinya bagi penelitian, maupun keseragaman data yang diterima oleh peneliti32
31Ibid.
32Ibid.
21
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kemudian disajikan dengan pendekatan kualitatif.
Pada tahap awal dilakukan pengumpulan data primer dan sekunder, kemudian data
mana seluruh fakta dan permasalahan yang berhubungan dengan objek penelitian akan
disajikan secara utuh, setelah dianalisis berdasarkan norma norma hukum yang dituangkan
Bab I PENDAHULUAN
Berisikan Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan
PEMASYARAKATAN
sosiologis serta yuridis dari hak memperoleh remisi yang penulis kaitkan
33Ibid.
22
pemidanaan di Indonesia.
Bab V PENUTUP
Merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran bagi pihak terkaitguna
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat penjelasan dengan yang dimaksud
strafbaarfeit itu sendiri. Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari
bahasa Latin yakni kata delictum. Dalam salah satu kamus hukum pembatasan delik
Tindak pidana yang dalam Bahasa Belanda disebut strafbaar feit, terdiri atas tiga suku
kata, yaitu straf yang diartikan sebagai pidana dan hukum, baar diartikan sebagai dapat dan
boleh, dan feit yang diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan.
dikenal dengan istilah strafbaarfeit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering
mempergunakan istilah peristiwa pidana atau pebuatan pidana atau tindak pidana.35
Strafbaarfeit dirumuskan oleh Pompe sebagaimana dikutip dari buku karya Lamintang,
sebagai “Suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tata tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.36
Simons mengatakan sebagaimana dikutip dalam buku Lenden Marpaung strafbaarfeit adalah
sebagaimana berikut
“strafbaarfeit adalah suatu tindakan yang melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang tindakannya tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu
tindakan yang dapat dihukum”.37
Strafbaarfeit sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai suatu perbuatan yang
melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau
kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.38
Moeljatno menyebut tindak pidana sebagai perbuatan pidana yang diartikan sebagai berikut:
“Perbuatan yang melanggar yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi siapa saja yang
melanggar larangan tersebut”.40
“Tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan pada, tempat, waktu, dan keadaan
tertentu yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-
undang bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang
(yang bertanggungjawab)41
Andi Zainal Abidin mengemukakan istilah yang paling tepat ialah delik, dikarenakan
36P.A.F Lamnintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2011, hlm.192
37Lenden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm.8
38Amir Ilyas, Op.Cit, hlm. 20
39Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Cetakan Keempat, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm.96
40Amir Ilyas, Op.Cit, hlm.22
41Ibid, hlm.25
25
b) Lebih singkat, efesien, dan netral. Dapat mencakup delik-delik khusus yang
c) Orang memakai istilah strafbaarfeit, tindak pidana, dan perbuatan pidana juga
menggunakan delik;
Jonkers dan Utrech berpendapat bahwa rumusan Simons yang paling lengkap karena
meliputi:
Dalam KUHP sendiri, tindak pidana dibagi atas dua bagian yakni pelanggaran dan
kejahatan di mana pelanggaran masuk ke dalam buku II dan kejahatan masuk ke dalam buku
III, ancaman pidana terhadap pelanggaran lebih rendah atau lebih ringan daripada kejahatan.
42Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 231-232.
43Andi Hamzah, Loc.Cit.
26
macam istilah dan mengertian tersebut dilatarbelakangi oleh pertimbangan rasional dari sudut
tertentu ini lazimnya disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Jadi seseorang dapat
dikenakan pidana apabila perbuatan yang dilakukan memenuhi syarat-syarat tindak pidana
(strafbaar feit)
Para ahli membagi batasan tindak pidana menurut aliran monoistis dan dualistis yang
1) Menurut aliran monisme syarat, untuk adanya pidana harus mencakup dua hal yakni
dalam pengertian perbuatan atau tindak pidana sudah tercakup di dalamnya perbuatan
(criminal responbility).44 Dengan kata lain, aliran ini menganggap bahwa seseorang
yang melakukan tindak pidana sudah pasti bersalah akan tindak pidana tersebut.
a) Adanya perbuatan;
d) Mampu bertanggungjawab
e) Kesalahan;
Adami Chazawi berpendapat ada banyak ahli hukum yang menganut aliran monisme
dipertanggungjawabkan”;
hukum yang dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang yang dapat
pidana. Pandangan ini memiliki prinsip bahwa dalam tindak pidana hanya mencakup
criminal act, dan criminal responbility tidak menjadi unsur tindak pidana. Oleh
karena itu, untuk menyatakan sebuah perbuatan sebagai tindak pidana cukup dengan
adanya perbuatan yang dirumuskan oleh undang-undang yang memiliki sifat melawan
Para ahli hukum yang paham dengan aliran dualisme ini misalnya Pompe, Vos,
45Ibid, hlm.43
46 Adami Chazawi, Op.Cit, hlm.18
28
Perbuatan manusia dalam arti luas adalah mengenai apa yang dilakukan, apa yang
diucapkan, dan bagaimana sikapnya terhadap suatu hal atau kejadian. Sesuatu yang
dilakukan dan diucapkan disebut act, yang oleh sebagian pakar disebut sebagai
perbuatan positif. Sikap seseorang terhadap suatu hal atau kejadian disebut omission,
Perihal omission yang diancam pidana, para pakar berbeda pendapat dalam memberi
tidak bertentangan dengan hukum. Akan tetapi, perilaku semacam itu akan
bersifat melanggar hukum apabila ada suatu kewajiban “kewajiban hukum yang
bersifat khusus”. Kewajiban itu telah ditentukan oleh suatu peraturan perundang-
hukum itu telah diancam dengan suatu hukuman ataupun telah diterima secara
sukarela sebagai dimiliki oleh seseorang karena adanya pengaruh dari suatu
hukum seperti itu dapat timbul karena ditentukan oleh undang-undang, karena
47Ibid, hlm. 22
48Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 31
29
2) Adanya sifat melawan hukum Sifat melawan hukum dari suatu tindak pidana dapat di
undang saja (hukum yang tertulis), tetapi juga meliputi hukum yang tidak
masyarakat. 50
suatu perbuatan sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan
49Ibid, hlm.32
50Amir Ilyas, Op.Cit, hlm.53
51Kamus Hukum Citra Umbara: Bandung,2008, hlm. 19.
52Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 2; Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan,
Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan & Ajaran Kausalitas, PT. Raja Grafindo Persada,
30
Menurut Adami Chazawi, daya paksa absolut baik yang disebabkan oleh
perbuatan manusia maupun alam, baik yang bersifat fisik maupun psikis, adalah
suatu keadaan di mana paksaan dan tekanan yang sedemikian kuatnya pada diri
seseorang, sehingga tidak dapat lagi berbuat sesuatu selain yang terpaksa
harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari pada serangan yang melawan
hak dan mengancam dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.”
Dari rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan mengenai dua hal,
yaitu syarat adanya pembelaan terpaksa dan hal-hal yang termasuk pembelaan
terpaksa.
1) Untuk membela dirinya sendiri atau diri Orang lain terhadap serangan yang
bersifat fisik.
2) Membela kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) diri sendiri atau Orang lain
3) Pembelaan terhadap harta benda sendiri atau Orang lain. 54
Mengenai hal ini telah diterangkan oleh Hoge Raad dalam pertimbangan suatu
d) Menjalankan perintah jabatan yang sah, Pasal 51 ayat (1) KUHP yang berbunyi
Pada perintah jabatan ada hubungan publik antara orang yang memberi perintah dan
orang yang diberi perintah. Hoge Raad memutuskan bahwa perintah yang diberikan
oleh pengairan Negara kepada pemborong tergolong dalam sifat hukum perdata dan
bukan perintah jabatan (HR 27 November 1933 W. 12698, N.J. 1934, 266).56
Tidak perlu, bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang
memerintah. Mungkin sama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah antara yang
diperintah dengan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu.
Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada umumnya dapat
dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur subyektif dan obyektif.
Yang dimaksud dengan unsur-unsur ”subyektif” adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur
”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu
keadaan-keadaan di mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan. 57 Lebih lanjut
b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud Pasal
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam kejahatan pencurian,
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat dalam Pasal 308 KUHP.
b) Kualitas dari pelaku misalnya adalah keadaan pelaku sebagai pegawai negeri;
c) Kausalitas yaitu hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dan suatu
tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan
dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus ternyata bahwa tindakan yang dilakukan itu
Artinya tindakan tersebut tercela dan tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.
petindak. Ia menginsyafi hakikat dari tindakan yang akan dilakukannya, dapat mengetahui
ketercelaan dari tindakannya dan dapat menentukan apakah akan dilakukannya tindakan
Unsur ini merupakan salah satu unsur yang pokok pertanggung jawaban
pidana, karena seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak melakukan suatu
perbuatan dimana perbuatan yang dilakukan merupan perbuatan yang dilarang oleh
undang-undang hal itu sesuai dengan asas legalitas yang kita anut. Asas legalitas
nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali artinya tidak dipidana suatu
perbuatan apabila tidak ada Undnag-Undang atau aturan yang mengatur mengenai
perbuatan yang tampak, artinya hukum menghednaki perbuatan yang tampak keluar,
karena di dalam hukum tidak dapat dipidana seseorang karena atas dasar keadaaan
batin seseorang, hal ini asas cogitationis poenam nemo patitur, tidak seorang pun
b) Unsur kesalahan
60Ibid.
61 Moeljalento, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi revisi, Renika Cipta, Jakarta, 2008, hlm-2
62 Frans Maramis, Hukum PIdana Umum dan Tertulis di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta ,2012,hlm-
85
34
Kesalahan yang dalam bahasa asing disebut dengan schuld adalah keadaan
Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri
dari:
perbuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larangan
63Ibid, hlm-114
64Amir Ilyas, Op.Cit, hlm. 78-83
35
b) Kealpaan (culpa)
umumnya:
a. Keadaan Jiwanya:
demam/koorts, ngidam dan lain sebagainya. Dengan perkataan lain dia dalam
keadaan sadar.
b. Kemampuan Jiwanya
“jiwa” (geestelijke vermogens), dan bukan kepada keadaan dan kemampuan “berfikir”
(verstandelijke vermogens) dari seseorang, walaupun dalam istilah yang resmi digunakan
Narkotika adalah obat atau zat yang dapat menenangkan syarat, mengakibatkan
ketidaksadaran atau pembiusan, menghilangkan rasa sakit dan nyeri, menimbulkan
rasa mengantuk atau merangsang, dapat menimbulkan efek stupor, serta dapat
menimbulkan adiksi atau kecanduan dan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
sebagai narkotika”.68
“Narcotics are drugs which produce insebility stupor due to their depressant effect on
the control nervous system. Included in this definition are opium, opium derivates
Dari kutipan di atas dapat diartikan bahwa narkotika adalah zat-zat (obat) yang dapat
mempengaruhi susunan syaraf sentral. Dalam definisi narkotika ini sudah termasuk jenis
candu dan zat-zat yang dibuat dari candu (morphine, codein, heroin) dan candu sintetis
(meperidin, metadon).
66Ibid, hlm.249
67Ibid, hlm.250
68 Mardani, Penyalaghunaan Narkotika dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2008. hlm. 80
69 Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm.18
37
Kata narkotika pada dasarnya berasal dari bahasa Yunani “Narkoun” yang berarti
Narkotika adalah jenis zat yang dapat menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi
Hari Sasangka72 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja,
cocaine, zat-zat yang bahan mentahnya diambil dari benda-benda tersebut yakni morphine,
heroin, codein, hashish, cocaine. Dan termasuk juga narkotika sintesis yang menghasilkan
a) Bahwa narkotika ada dua macam, yaitu narkotika alam dan narkotika sintesis. Yang
termasuk narkotika alam ialah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish,
codein dan cocaine. Narkotika alam ini termasuk dalam pengertian sempit. Sedangkan
narkotika sintesis adalah termasuk dalam pengertian narkotika secara luas. Narkotika
sintesis yang termasuk di dalamnya zat-zat (obat) yang tergolong dalam tiga jenis obat
b) Bahwa narkotika itu bekerja mempengaruhi susunan syaraf sentral yang akibatnya
disalahgunakan.
c) Bahwa narkotika dalam pengertian di sini adalah mencakup obat-obat bius dan obat-
70 A.R Sujono dan Boy Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta,2011,hlm.13
71 Taufik Makarao, Op.Cit, hlm.19
72 Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Manda Maju, 2003, hlm.33-34.
38
tanpa hak berhubungan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan narkotika adalah
bagian dari tindak pidana narkotika. Pada dasarnya penggunaan narkotika hanya
penggunaan narkotika dilakukan diluar kepentingan tersebut maka dapat dikualifikasi sebagai
tindak pidana narkotika hal ini juga ditegaskan dalam ketentuan Pasal 7 Undang-undang
Tindak pidana narkotika dirumuskan dalam Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-undang
Dilihat dari segi perbuatan ketemuan yang terdapat dalam rumusan pasal tersebut
2.2.3.1 Pecandu
Pengertian Pecandu Narkotika itu berkaitan dengan hal-hal yang diatur dalam
Pasal 127 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 54, Pasal 55 serta Pasal 103 UU No. 35 Tahun
dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis,
sehingga dari pengertian tersebut, maka dapat diklasifikasikan 2 (dua) tipe Pecandu
Narkotika yaitu:
Tipe yang pertama, dikategorikan sebagai pecandu yang mempunyai legitimasi untuk
Kategori seperti itu, dikarenakan penggunaan narkotika tersebut sesuai dengan makna
dari Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan tentunya Pecandu yang
oleh Tim Dokter/Ahli, maka berdasarkan Pasal 103 Ayat (1) huruf b UU No. 35
Tahun 2009, Hakim disini dapat menetapkan Pecandu yang tidak terbukti bersalah
tersebut untuk direhabilitasi dalam jangka waktu yang bukan dihitung sebagai masa
menjalani hukuman dan penentuan jangka waktu tersebut setelah mendengar keterangan
ahli76
Penyalahguna yang dimaksud pada Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009, dimana
ada unsur esensial yang melekat yaitu unsur tanpa hak atau melawan hukum. Mengenai
penjabaran unsur tanpa hak atau melawan hukum telah dipaparkan penulis sebelumnya
yaitu pada pokoknya seseOrang yang menggunakan Narkotika melanggar aturan hukum
tersebut, maka pelaku tersebut tidak mempunyai hak atau perbuatannya bersifat melawan
hukum77.
Secara esensial penyalahguna dan pecandu Narkotika tipe kedua adalah sama-
karakteristik tersendiri yakni adanya ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik
maupun psikis. Pecandu Narkotika tipe kedua tersebut hanya dikenakan tindakan berupa
kewajiban menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, dalam jangka waktu
maksimal yang sama dengan jangka waktu maksimal pidana penjara sebagaimana
2.2.3.2. Pengedar
Pengedar berasal dari kata dasar edar serupa dengan definisi bandar narkotika,
di dalam undang-undang narkotika tidak ada definisi pengedar secara ekplisit. Sementara
arti pengedaran itu sendiri meliputi kegiatan atau serangkaian penyaluran atau
76 Ibid, hlm.58
77 Ibid.
41
teknologi.78
untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar,
ketentuan pidana: 79
a) Golongan I diancam pidana penjara paling singkat empat tahun dan maksimum
penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit delapan ratus juta
rupiah dan paling banyak sepuluh miliar rupiah, apabila beratnya melebihi satu
kilogram atau melebihi lima batang pohon(untuk tanaman) dan melebihi lima gram
(bukan tanaman), maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 114 dan
115);
b) Golongan II. Diancam pidana penjara paling singkat tiga tahun dan maksimum
pidana penjara seumur hidup atau pidana mati. Denda paling sedikit enam ratus
juta rupiah dan paling banyak delapan miliar rupiah. Apabila beratnya melebihi
lima gram, maka pidana denda maksimum ditambah sepertiga (Pasal 119 dan 120)
c) Golongan III. Diancam dengan pidana penjara paling singkat dua tahun dan
paling lama lima belas tahun. Denda paling sedikit enam ratus juta rupiah dan paling
banyak lima miliar rupiah.Apabila beratnya melebihi lima gram, maka pidana
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah tempat untuk melakukan pembinaan
narapidana dan anak pidana pemasyarakatan, lembaga pemasyarakatan adalah Unit Pelaksana
Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
yang dibendakan. Pemasyarakatan berasal dari kata kerja memasyarakatkan sedangkan istilah
memasyarakatkan itu sendiri memiliki dua arti yaitu pertama, menyebarkan ide untuk
diketahui masyarakat luas untuk diketahui, dimiliki atau dianut selanjutnya pemasyarakatan
mengandung pengertian melakukan usaha melalui proses yang wajar untuk dan dalam rangka
memperlakukan anggota masyarakat agar bersikap dan berperilaku sesuai dengan norma-
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan warga
binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan tata cara, yang merupakan
Sistem pemasyarakatan sebagai akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan
pidana sebagai bagian integral dari tata peradila pidana terpadu (integrated criminal justice
system) ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan maupun sumber daya
pemasyarakatan
80Petrus Irwan Panjaitan, Lembaga Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Sinar
Harapan, Jakarta, hlm.45, 1995
81Ibid, hlm. 120
43
tugasnya mempunyai visi, misi, serta tujuan yang hendak dicapai yaitu :82
Visi
Pemasyarakatan sebagai individu, sebagai bagian dari anggota masyarakat serta sebagai
makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa (untuk membangun manusia mandiri)
Misi
terhadap Warga Binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan negara dalam
kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan
Tujuan
menyadari kesalahan, dapat memperbaiki diri, mandiri dan tidak mengulangi pidana
dapat berperan setia dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
b) Untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan yang ditahan di Rumah
Tahanan Negara dan Cabang Rumah Tahanan dalam rangka memperlancar proses
c) Untuk memberikan jaminan perlindungan hak asasi tahanan atau pihak yang antara
pihak yang berperkara serta keselamatan dan keamanan benda-benda yang disita
82Widya Puspa Rini Soewarno, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari
Sistem Pemasyarakatan, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, hlm.45
44
untuk keperluan barang bukti pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksa di
2) Kualitas intelektual
yang merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan ketahanan sosial dan
yaitu:
1) Isi dari lembaga pemasyarakatan lebih rendah daripada kapasitas yang ada;84
2) Menurunnya secara bertahap dari tahun ketahui angka pelarian dan gangguan
83Ibid, hlm.45
84Ibid, hlm.48
45
anak pidana secara khusus menurut Keputusan Menteri Kehakimsn Nomor M.02-PK.04.10
Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan, agar selama menjalani masa
1) Berhasil menetapkan kembali harga diri dan kepercayaan dirinya serta optimis akan
masa depannya.
3) Berhasil menjadi manusia yang patuh kepada hukum yang tercermin pada sikap dan
perilakunya yang tertib dan disiplin serta menggalang rasa kesetia kawanan nasional.
4) Berhasil memiliki jiwa dan semangat pengabdian yang tinggi terhadap bangsa dan
negara.
46
a) Umur
Selain itu narapidana dan anak pidana juga diklasifikasikan secara administratif dalam
beberapa register menjadi beberapa golongan menurut tinggi rendahnya pidana yang
a. Register B-I adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana diatas 1 tahun.
b. Register B-II a adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana di atas 3 (tiga) bulan
c. Register B-II b adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana selama 1(satu) hari
e. Register B-III S adalah untuk narapidana yang menjalani pidan kurungan pengganti
denda.
Remisi dalam sistem pelaksanaan pidana penjara khususnya yang menyangkut sistem
pemasyarakatan sangat penting. Hal ini menyangkut masalah pembinaan yang dilakukan
petugas lembaga pemasyarakatan terhadap para narapidana, untuk itu di dalam sistem
pelaksanaan pidana penjara remisi mempunyai kedudukan yang sangat strategis sebab apabila
pengampunan yang diberikan kepada Orang-Orang terhukum. Menurut Andi Hamzah remisi
adalah sebagai pembebasan hukuman untuk seluruhnya atau sebagai atau dari seumur hidup
tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan adalah
pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun
1) Remisi umum
2) Remisi Khusus
Merupakan Remisi yang diberikan pada hari raya keagamaan yang dianut oleh
narapidana dan anak pidana yang bersangkutan, dengan ketentuan jika suatu agama memiliki
87 Andi Hamzah, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm.133
88Ibid, hlm.136
48
lebih dari satu hariraya keagamaan dalam satu tahun maka yang dipilih adalah hari raya
3) Remisi Tambahan
Merupakan remisi yang diberikan apabila narapidana dan anak pidana yang
pemasyarakatan.
4) Remisi Dasawarsa
Merupakan remisi yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang
Merupakan remisi khusus yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang
menjadi narapidana. Pemberian remisi ini adalah untuk meringankan hukuman bagi
narapidana yang dalam kurun waktu 6 (enam) bulan telah menunjukan perbuatan baik di
lembaga pemasyarakatan namun pengajuan tersebut tertunda karena amasih menunggu status
hukumnya dalam proses peradilan sehingga dengan demikian pengajuan remisi dan turunnya
Merupakan remisi yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang pada hari
besar keagamaannya belum cukup 6 (enam) bulan menjalani masa pidananya, narapidana
tersebut tetap mendapat usulan remisi khusus bersyarat apabila selama menjalani masa
49
bersyarat 6 (enam) yang bersangkutan senantiasa berkelakuan baik namun apabila sebaliknya
a. Remisi Umum
Besarnya remisi umum yang dapat diperoleh oleh narapidana dan anak pidana yaitu :
1) 1 (satu) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani pidana selama 6
2) 2 (dua) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani pidana selama
1. Pada tahun pertama diberikan sebagaimana telah dijabarkan diatas dan pada
4. Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam) bulan setiap
tahun.90
b. Remisi Khusus
Besaran remisi khusus yang diberikan pada narapidana adalah sebagai berikut :
1) 15 (lima belas) hari bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani
pidana selama 6 (enam) bulan sampai dengan 12 (dua belas) bulan dan;
2) 1 (satu) bulan bagi narapidana dan anak pidana yang telah menjalani pidana
89 Surat Edaran Dirjen Pemasyarakatan Nomor E.UM.01.10-130 Tahun 2001 tentang Penjelasan Remisi
Khusus Yang Tertunda, Remisi Khusus Bersyarat dan Remisi Tambahan
90Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi
50
3. Pada tahun keempat dan kelima diberikan remisi 1 (satu) bulan 15 (lima belas)
hari;
4. Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua) bulan setiap tahun.91
Sedangkan yang dimaksud dengan hari raya keagamaan menurut Keputusan Menteri
Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi Khusus adalah :
1. Hari Raya Idul Fitri bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama Islam;
2. Hari Raya Natal bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama Kristen atau
Katolik;
3. Hari Raya Nyepi bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama Hindu
4. Hari Raya Waisak bagi Narapidana dan Anak Pidan yang beragama Budha
5. Bagi Narapidana dan Anak Pidana yang beragama selain tersebut diatas maka berlaku
c. Remisi Tambahan92
1. ½ (satu per dua) dari remisi umum yang diperoleh yang bersangkutan bagi
narapidana dan anak pidana yang berbuat jasa pada negara atau perbuatan yang
2. 1/3 (satu per tiga) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang
bersangkutan bagi narapidan dan anak pidana yang telah membantu kegiatan
91 Pasal 5 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi
92Pasal 6 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi
51
Remisi tambahan bagi narapidana yang menjadi donor organ tubuh dan donor darah
berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Kehakiman Nomor 04.HN.02.01 Tahun 1988 Tentang
Tambahan Remisi Bagi Narapidana Yang Menjadi Donor Darah dan Donor Organ Tubuh
disebutkan bahwa :
“ setiap narapidana yang menjalani pidana sementara baik pidana penjara, pidana kurungan
maupun pidana pengganti denda dapat diusulkan untuk mendapatkan tambahan remisi
“pengusulan remisi tambahan tersebut harus disertai tanda bukti atau surat keterangan sah
yang dikeluarkan oleh rumah sakit yang melaksanakan operasi donor organ tubuh atau
Selanjutnya dalam Pasal 5 disebutkan bahwa pemberian remisi terhadap narapidana yang
a. 5 kali
b. 10 kali
c. 15 kali
a. 20 kali
b. 25 kali
c. 30 kali
a. 36 kali
b. 43 kali
c. 50 kali
52
darahnya :
a. 84 kali
b. 92 kali
c. 100 kali
Besaran remisi ini maksimal adalah 1 bulan. Diberikan pada tahanan setelah statusnya
Ketentuan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi Pasal
untuk menetapkan besarnya remisi yang akan diperoleh narapidana dan anak pidana
remisi umum dihitung sejak tanggal penahanan sampai pada hari peringatan
2) Penghitungan lamanya masa pidana sebagai dasar untuk menetapkan besarnya remisi
khusus dihitung sejak tanggal penahanan sampai dengan hari besar keagamaan yang
3) Dalam hal masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
terakhir.
93Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asssi Manusia Nomor M.01.HN.02.01 Tahun 2001
53
4) Untuk penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, 1 (satu) bulan dihitung
didasarkan pada agama narapidana dan anak pidana tercatat dalam buku register
lembaga pemasyarakatan.
Remisi umum dan Remisi Khusus tidak diberikan terhadap Narapidana dan Anak
2. Dikenakan hukuman disiplin dan didaftar pada buku pelanggar tata tertib
pemberian remisi
94 Pasal 12 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi.
95 Berdasarkan Penjelasan Pasal 41 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1999 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan yang dimaksud dengan
cuti menjelang bebas adalah :
a. Bentuk pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasysrakatan telah menjalani 2/3 (dua pertiga) masa
pidana atau sekurang-kurangnya telah menjalani 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik dengan lama
cuti sama dengan remisi terakhir yang diterimanya paling lambat 6 (enam) bulan;
b. Bentuk pembukaan anak negara yang pada saat mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun 6(enam) bulan
dan telah dinilai cukup baik.
BAB III
Berbicara mengenai remisi tentu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai
pidana penjara karena remisi digantungkan pada dijatuhkannya pidana penjara oleh
pengadilan, sejarah pertumbuhan penjara sebagai salah satu jenis penghukuman sejalan
yaitu:
Jika dilihat dari sejarah perkembangan pidana penjara sebagai wahana untuk
terpidana, sudah dikenal orang sejak abad ke-1641. Bahkan diperkirakan penjara dalam
bentuk sederhana sudah ada sejak abad ke-13 di Florence Perancis. Pada masa itu penjara
yang gelap dan kotor, sehingga sangat tidak manusiawi. Dengan menempatkan terpidana
pada tempat-tempat tertentu seperti tersebut di atas, atau berupa pembuangan, atau
pengasingan dimaksudkan supaya tidak bisa mengganggu masyarakat lagi. Jadi bentuk-
bentuk pidana yang berkembang pada masa itu sebagai bentuk awal dari reaksi masyarakat
96Otto Yudianto, Kebijakan Legislatif Dalam Mewujudkan Ide Pemasyarakatan Terhadap Pidana Seumur
Hidup, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997, hlm.60
97 Ibid.
54
55
terhadap kejahatan, sama sekali tanpa pertimbangan mengenai rehabilitasi atau pengembalian
dari rasa kebencian masyarakat dan sebagai pengungkapan rasa takut masyarakat terhadap
para pelanggar hukum. Dimaksudkan untuk melindungi masyarakat. dalam hal ini faktor
Menurut perkiraan Sutherland sampai di tahun 1670 masih belum dikenal pidana
penjara tetapi sudah ada suatu bangunan yang penggunaannya mirip penjara pada
pertengahan abad 16, yang dikenal sebagai Bridewell, bertempat di bekas istana Raja Edward
terlantar yang disebut thriftlesspoor, untuk melatih kerja. Di negeri Belanda, pada akhir abad
ke-16 mulai didirikan lembaga penerbitan yang dikenal sebagai tuchthuis yaitu rumah penjara
untuk menjalankan pidana yang sifatnya berat. Selain itu ada juga rasphuis untuk terpidana
wanita99.
Di Amerika pada awal abad ke 18 terkenal dengan adanya Country Jail, House of
Correction and Penitentiary, Country Jail dipergunakan untuk Orang-Orang yang menunggu
sidang pengadilan serta digunakan untuk tempa debitur yang tidak dapat melunasi hutang-
hukum yang bersifat ringan sementara Penitentiary dipergunakan untuk menahan para
pelanggar hukum yang sifatnya berat. Perkembangan selanjutnya dari pelaksanaan pidana
hilang kemerdekaan ini adalah dengan dibukanya penjara yang pertama pertama di
Philadelphia pada tahun 1776 yaitu Walnut Street Jail, kemudian pada tahun 1829 dibangun
98Fauzia Isti Tanoso, Sebuah Tinjauan Mengenai KebijakanConjugal Visit Sebagai Hak Narapidana Dalam
Sistem Pemasyarakatan, UI Press, 2012, hlm.12-13
99Ibid.
100 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Liberty, Yogyakarta,
1985, hlm.40
56
secara terasing agar narapidana merasa menyesal dan insyaf akan perbuatannya dan
memperkokoh daya tolak akan pengaruh jahat. 101 Penjara Sistem Pennsylvania menghendaki
para terhukum untuk terus ditutup sendiri-sendiri dalam kamar sel dan dilarang berkontrak
sesama terhukum.102 Narapidana akan dipasangi topeng yang terbuat dari besi dengan lubang
disekitar mata dan hidung sehingga menutup peluang narapidana satu dengan narapidana
lainnya untuk saling berbicara dengan anggapan bahwa dengan terputusnya komunikasi antar
narapidana maka peluang mereka untuk melarikan diri semakin kecil, narapidana
ditempatkan diruang sempit berpintu besi yang juga dilapisi kayu berat untuk menyaring
kebisingan dari luar penjara, pintu ini dibuat berukuran pendek agar meminimalisasi adanya
upaya perlawanan terhadap petugas dan pada bagian bawah pintu dibuat lubang yang hanya
cukup untuk melewatkan makanan.103 Ketika Narapidana melakukan kesalahan maka ia akan
dibiarkan di lapangan penjara sampai mati kedinginan atau napi berbicara, sebuah kerangka
besi dijepit di lidah dan dirantai ke pergelangan tangan, yang mana mereka diikat tinggi di
belakang punggung. Setiap gerakan menyebabkan pendarahan dan merobek lidah dan banyak
Harapan yang dituju dengan penerapan sistem ini oleh konseptornya ternyata tidak
berjalan sesuai yang di harapkan sehingga penerapannya kemudian ada perubahan bahwa
terhukum diperkenankan melakukan sejenis pekerjaan tangan dan dapat menerima tamu
namun tetap tidak boleh bergaul sesama terhukum. 104 Kemudian tahun 1925 di Auburn
muncul sistem pelaksanaan pidana penjara yang dikenal dengan sistem penjara tutup mulut,
dimana dalam pelaksanaannya sistem ini mewajibkan terhukum untuk tinggal di dalam
selnya pada malam hari dan pada siang harinya melakukan pekerjaan secara bersama-sama
101 A Widiada Gunakarya, Sejarah dan Konsepsi Permasyarakatan, Amrico, Bandung, 1988, hlm. 29
102Ibid
103 Di Lansir dari laman https://www.easternstate.org, Pada 22 April 2018
104PIbid.
57
akan tetapi dilarang keras saling berbicara satu sama lain, diberi imbalan yang nantinya
dialokasikan untuk operasional penjara.105 Setiap kali keluar sel untuk bekerja mereka
diwajibkan untuk berjalan berbaris, menjaga langkah dengan kepala tertunduk. Setiap
narapidana meletakkan tangan di bahu pria di depannya. Kepada narapidana dapat dikenakan
pidana cambuk bahkan pemukulan oleh petugas penjara yang menyebabkan cacat badan jika
pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai atau narapidana tersebut melakukan perlawanan .
ciri-ciri sebagai berikut : pertama tujuan pidana adalah pembalasan yang kedua narapidana
dianggap sebagai objek perlakuan oleh petugas penjara, karena merupakan objek
kedudukannya dipersamakan dengan benda mati yang tidak mempunyai perasaan yang ketiga
Menurut Barners dan Teeters penjara dengan sistem Pennsylvania dan sistem Auburn
dikelola oleh organisasi kepenjaraan yang sangat jelek sehingga perlakuan yang tidak layak
pada narapidana sering terjadi. Dijelaskan juga hal-hal yang menyebabkan pengelolaan
penjara sangat jelek, yaitu minimnya dana bantuan dari pemerintah, lemahnya kepemimpinan
kepala penjara, tingkat pendidikan petugas yang rendah, juga karena pengaruh stabilitas
Pada tahun 1787 ada sistem deportasi penjahat-penjahat Inggris ke Australia salah
satu pokok pemikirannya supaya peralihan kemerdekaan kepada pidana penjara dirasakan
betul-betul oleh penjahat, karena pada saat itu penjahat dianggap sebuah ancaman dengan
105Ibid, hlm.183
106Muhammad Hafidz, Konsep Penjara Dalam Sistem Pemasyarakatan, Jurnal Pemasyarakatan di unduh dari
laman : http://ngada.org/bn5-2009-2.pdf, Pada 22 Januari 2017, di Bekasi Jawa Barat, hlm. 2
58
dengan angka (mark system) yang dikurangi apabila terpidana bekerja dengan baik dan untuk
pekerjaan tersebut diberikan angka (mark) atau kredit.107 Sistem ini membebani para
narapidana dengan sejumlah tanda penilaian yang didasarkan atas berat ringannya kejahatan,
Crofon dalam sistem dikehendaki para terhukum mula-mula ditutup terus menerus tetapi
kemudian dipekerjakan bersama-sana dan tahap demi tahap diberi kelonggaran untuk bergaul
satu sama lain sehingga pada akhirnya ketika tiga perempat masa hukuman terlampaui ia
1. Tingkat pertama probation, tingkat dimana terhukum diasingkan dalam sebuah sel
baik disiang maupun di malam hari selama 8(delapan) sampai 9 (sembilan) bulan
bahkan 1 (satu) tahun hal ini tergantung pada kelakuan si terhukum tersebut
2. Tingkat kedua public work prison, tingkat dimana terhukum dipindahkan ke suatu
penjara lain dan di dalam penjara lain tersebut si terhukum di wajibkan bekerja
bersama-sama dengan Orang yang di hukum lainnya109, nantinya mereka akan diberi
kredit dan angka. Bagi yang mengumpulkan kredit dan angka terbanyak mereka akan
perjanjian dari kewajiban untuk menjalani sisa masa waktu hukuman, ia diberi “ticket
Di Amerika Serikat dikenal sistem Elmira didirikan reformatory yang diperuntukkan bagi
pemuda yang berusia 16-30 tahun dimana tidak ada batas waktu pidana, lamanya pidana
bergantung pada angka yang di dapat napi.sistem yang hampir serupa diterapkan di Prancis
atasdapat digambarkan bahwa penjatuhan pidana tidak lagi semata-mata dimaksudkan untuk
pembalasan perbuatan jahat melainkan sudah ada suatu tujuanyang hendak dicapai.
Di dalam perkembangannya karena pengaruh dari para ahli penologi, ahli hukum
pidana, dan ahli kriminologi maka tercetuslah usaha perbaikan narapidana dengan metode
rehabilitasi (pembinaan dan pendidikan narapidana) menjadi tujuan utama daripada sebuah
hasil tambahan program lembaga (penjara). Pengamanan masyarakat mulai dipandang lebih
bergantung pada hasil perbaikan diri narapidana daripada peningkatan jumlah penjagaan
dunia, di Amerika contohnya dengan terbentuknya Asosiasi Penjara Nasional pada tahun
1870, asosiasi ini mengeluarkan deklarasi untuk memperbaiki sistem kepenjaraan secara luas
termasuk klasifikasi narapidana, pemberian penghargaan bagi yang berkelakuan baik, dan
pendidikan profesionalisme para pegawai penjara, diusahakan pula latihan industri bagi
Di London kemudian muncul kongres kepenjaraan pada tahun 1872 yang memulai
revolusi pemenjaraan yang diawali dengan perubahan pola tujuan pemidanaan bukan sebagai
pembalasan di luar prikemanusiaan juga revolusi pelaksanaan pidana penjara menjadi pidana
penjara dengan perikemanusiaan. Pada masa inilah mulai diperkenalkan probation (pidana
remission (pengurangan pidana), hal yang paling menonjol dalam sistem ini adalah
pemisahan narapidana berdasarkan usia dan kejahatan yang dilakukannya disamping itu
diberi jaminan dan kesempatan bagi narapidana untuk tetap dapat berkomunikasi dengan
Pada hakekatnya berbagai pandangan baru mengenai pidana dan hukum pelaksanaan
pidana adalah untuk menawarkan cara-cara untuk mengurangi tingkat kejahatan (technique of
crime reduction) agar pidana tersebut menjadi tepat guna dan berhasil guna, sistem
pelaksanaan pidana berdasarkan konsep integratif tidak hanya sekedar pembalasan terhadap
pelaku namun juga untuk perbaikan diri pelaku melalui pembinaan dan pembekalan diri dan
perlindungan masyarakat.113
berwawasan prikemanusiaan mencapai satu titik yang lebih memberi harapan baru bagi masa
depan narapidana setelah menyelesaikan pidananya dengan adanya Standar Minimum Rules
for Treatment of Prisoners yang dikonsepkan oleh The International Penal and Penitentiary
Commision pada tahun 1933 setelah melalui proses panjang mengingat di dalamnya diatur
berbagai ketentuan tentang perlakuan terhadap narapidanayang lebih berpegang pada hak
asasi manusia.
narapidana yang sedang berkegiatan baik di dalam ruangan maupun diluar ruangan, baik
113Ibid
61
secara sendiri maupun bersama-sama mengatur pula mengenai sarana dan prasarana apa saja
Indonesia terbagi atas zaman sebelum kemerdekaan yang terdiri dari: 114Kerajaan zaman
Pada zaman purbakala, kerajaan belum ada pidana hilang kemerdekaan sehingga
belum dapat penjara terdapat penjara. jenis pidana yang ada pada zaman ini adalah
pidana,pidana siksaan badan( pidana pencambukan, cap besi panas atau penggal organ
tubuh), pidana pembuangan (pengasingan secara adat) pada masa itu belum dikenal bangunan
penjara dalam artian sesungguhnya.115 Pada masa ini tolak ukur kesalahan seOrang terhukum
hanyalah dilaksanakan atau tidaknya perintah dari para raja tidak adanya pembatasan
kesalahan dan jenis pidana yang dijatuhkan akibat kesalahan tersebut segalanya bergantung
Pada zaman kompeni Belanda terdapat bangunan yang menyerupai penjara R.A
Koesnoen menyatakan bahwa untuk pertama kalinya dibangun bui di Batavia tahun 1602,
tetapi menurut Bambang Poernomo diperkirakan kebutuhan bui mendesak ketika Belanda
memerlukan tempat tawanan dalam peperangan dengan Sultan Agung sekitar tahun 1628.
Disini fungsi bui hanya sebagai tempat tawanan perang. 116 Di zaman kompeni ini juga dikenal
“spinhuis” yang merupakan rumah tahanan bagi para wanita tuna susila, pengangguran,
peminum, yang dituntut untuk bekerja meraut kayu untuk dijadikan bahan bahan baku cat.
114 Sanusi Haz, Pengantar Ilmu Penologi( Ilmu Pengetahuan Tentang Pemasyarakatan Khusus Terpidana)
Monora, Medan, 1972, hlm.49
115 Ibid
116 Koesoen, Susunan Pidana Penjara Dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur Bandung, 1966, hlm.69
62
Pada zaman ini juga terdapat tiga jenis tempat penampungan bagi Orang Orang yang
melakukan tindak pidana yaitu: bui yang berfungsi untuk menampung Orang-Orang yang
saksi-saksi yang dipanggil oleh pengadilan dan budak beliau yang melawan terhadap
Orang China yang datang secara tidak sah dan vrouwmenhuis yang berfungsi menampung
peristiwa penting diantaranya, pada tahun 1808-1811 pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Deansles yaitu tidak lagi diperkenankan penjatuhan pidana pokok, dan pembatasan
hukuman badan kecuali membakar, mengecap dengan besi panas, memukul dengan rotan,
kerja paksa dalam pekerjaan umum. Berakhir pidana potong tangan, pidana potong bibir dan
pada tahun 1811-1816, terjadi penghapusan semua jenis pidana yang kejam seperti yang
membuat cacat badan dan menggunakan bangku paksa. Pada masa ini Raffles mencoba
pemisahan Orang-Orang yang berlainan kesalahan namun sayangnya upaya ini gagal karena
perintah Raffles tidak dipatuhi oleh esselon dibawahnya dan masa pemerintahannya yang
relatif singkat.120
Periode perdana kerja paksa berlangsung sejak pertengahan abad ke 19 atau tepatnya
mulai tahun 1872, di periode ini terdapat 2 jenis hukum pidana yang berlaku bagi golongan
Eropa dan bagi Orang Indonesia. Pada periode ini pidana kerja paksa merupakan bentuk
pemindahan Naan yang paling sering dijatuhkan pada Inlander, lamanya kerja paksa
bervariasi ada yang seumur hidup, diatas lima tahun dilakukan dengan rantai (dwang arbeid
buiten de ketting), dibawah lima tahun tanpa rantai (dwang arbeit aan de ketting) sedangkan
satu tahun kebawah disebut dengan istilah dipekerjakan ( ter arbet stellen) dan yang dibawah
Pidana kerja paksa baik dengan rantai maupun tidak dilakukan diluar tempat
diputuskannya perkara, juga di luar daerah asal terpidana hal ini dimaksud sebagai
saudara. Bagi orang Indonesia yang lekat dengan sistem kekerabatan hal ini merupakan
beban tersendiri.Masa kolonial juga mencatat sebuah peristiwa yang terbilang sangat kejam,
kejadian yang menimpa seOrang pemberontak Indonesia yang sudah lama menjadi incaran
pemerintah kolonial Belanda. Suatu hari pemberontak ini tertangkap dan diberi hukuman
yang tidak berperi kemanusiaan keempat anggota badan ( tangan dan kakinya) di ikat ke
kuda lalu kuda tersebut dipecut untuk berlari kearah yang berlawan hingga anggota tubuh si
pemberontak tersebut tercerai berai. Peristiwa ini dikenal sebagai peristiwa pecah kulit dan
ukuran yang sangat besar dengan kapasitas penampungan yang sangat besar juga (kurang
lebih 700 sampai dengan 2700 Orang terdiri atas kamar-kamar besar yang dapat memuat
sampai 25 Orang terpidana(sistem kamar bersama) yang merupakan ciri khas dari
“Centralen Gevangenisse.122
Berdasarkan keterangan tersebut dapat dikatakan bahwa pelaksanaan pidana pada masa ini
masih menggunakan konsep retributif yang semata-mata bertujuan untuk pembalasan tanpa
121Dikutip dari laman Ditjenpas.go.id/Sejarah, pada 8 April 2018 di Bekasi
122 Koesnoen. Op.Cit, hlm.78
64
memikirkan perbaikan diri dari si pelaku kejahatan hal ini juga sesuai dengan laporan yang
Hindia Belanda pemberitahuan ini berisi tentang keterangan mengenai ketertiban, makanan,
keadaan kettingkwatier pada umumnya kurang baik, kebanyakan rumah penampungan terlalu
Peralihan tujuan penjatuhan pidana dari retributif menjadi detterence (penjeraan) atau
pencegahan dimulai sejakditerbitkannya Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 ( I.S1872 Nomor 85)
diumumkan Wetboek van Straftrecht untuk bangsa Indonesia yang mulai berlaku pada 1
Nomor 33 (I.S Nomor 732) dimasukan WvS baru ke Indonesia dengan KB tanggal 4 Maret
1917 (I.S 1917 Nomor 497) dinyatakan berlaku mulai 1 Januari 1918. Memang tiada satu
pasal pun yang secara tegas merumuskan tujuan penjatuhan pidana namun pada masaini
pidana kerja paksa diganti menjadi pidanapenjara) dan bangunan penjara dalam artian
sebenarnya mulai didirikan, sejak saat itu susunan hukuman pidana sebagaimana yang
asumsi kebebasan merupakan kebutuhan manusia (pengaruh filsafat free will) sehingga
manusia akan merasa takut menggunakan kebebasannya untuk berbuat jahat karna sudah
terdapat aturan tertulis yang tegas menyatakan bahwa resiko dari perbuatan jahat mereka
Pada tahun 1919 di Jatinegara didirikan penjara khusus untuk Orang yang dipidana
penjara seumur hidup dan narapidana nakal (residivis). Selang tiga tahun sesudah 1 Januari
65
bawah pimpinan Kepala Urusan Kepenjaraan Hindia-Belanda, Hijmans yang tercatat sebagai
Salah satu gebrakan yang dilakukan oleh Hijmans adalah catatannya yang panjang
lebar tentang perbaikan urusan kepenjaraan tertanggal 10 September 1921 kepada Direktur
bidang kepenjaraan, yang pada pokoknya berupaya untuk melakukan reformasi bagi
terpidana. Perhatian terutama ditujukan kepada anak-anak terpidana dan klasifikasi terpidana
dewasa.
pada Agustus 1925. Selain itu tiap tahun memberi sumbangan berupa uang sebanyak 500
Rupiah kepada sekretariat untuk anggaran pengeluaran negara dan urusan kepenjaraan.
Pada tahun 1925 di Tanah Tinggi dekat Tangerang didirikan penjara khusus untuk
untuk mengumpulkan narapidana yang ysng dihukum pidana lebih dari satu tahun untuk
diselidiki, dipilih lalu dikirim ke penjara sesuai karakter pidana dan kebutuhan pekerjaan
narapidana.123
Pada tahun yang sama di penjara Cipinang dicoba mengadakan tempat tidur yang
terpisah narapidana yang disebut “chamberla” yaitu kerangkengan yang dibuat dari jeruji
besi dan tiap-tiap kerangkeng di isi satu Orang dengan maksud untuk mencegah perbuatan
cabul.124
Indonesia terhadap pemerintah penjajahan Belanda, pada bulan November 1926. Belanda
“overcrowding” (kepenuhan penjara). Hal ini menjadi sandungan bagi Hijmans yang tengah
Meskipun pidana kerja paksa telah dihapuskan dan muncul beberapa kebijakan yang
terlihat manusiawi namun praktek perlakuan buruk terhadap narapidana tetap terjadi, contoh
nyata perlakuan buruk terhadap narapidana pada era ini dialami Soewignjo mantan
narapidana pada Penjara Glodok dan Penjara Pamekasan Madura pada tahun 1928 yang
menceritakan pengalamannya sebagai narapidana kepada majalah femina. Berikut ini akan
Aku akhirnya dijatuhi hukuman empat tahun penjara. Selama dua tahun aku mendekam
di penjara Glodok. Bersama teman-teman dalam ruangan luas yang bisa menampung
500 Orang. Tak ada fasilitas yang layak. Bilik untuk buang air hanya berupa ruangan
seluas dua kali dua setengah meter yang ada ditengah ruangan itu. Sisa hukuman
kujalani di Penjara Pamekasan, Madura. Suatu penjara nomor satu di mana aku
beberapa kali mendapat hukuman rotan masing-masing 20 pukulan. Penyiksaan ini
bagai ritual keji. Tangan dan kakiku diikat kemudian digantung di tiang dari kayu
dengan ketinggian 10 sentimeter dari tanah, sehingga kaki tidak bisa menapak bumi
untuk menahan sakit akibat pemukulan rotan. Sementara aku disiksa, para pembesar
penjara duduk tidak jauh dari tiang penyiksaan, menikmati tontonan yang tidak
berperikemanusiaan itu. Pukulan-pukulan rotan berikutnya terasa perih juga, apalagi
salah satu algojo Belanda Hansen keliru mendaratkan rotannya. Aku memakinya.
Mendengar makianku direktur penjara marah, memerintahkan Hansen untuk merotan
lebih keras. Setelah pukulan rotan selesai, ritual sadis yang menyakitkan belum selesai,
seOrang mantri penjara menghampiri dengan kuas besar, dan dicelupkan pada cairan
obat merah.
Aku menahan jeritanku, ketika cairan merah itu beberapa kali mengenai dagingku yang
tersayat rotan. Rasa perih yang luar biasa membuat sekujur tubuhku mengigil perih.
Dengan terhuyung-huyung aku melewati direktur penjara, mengucapkan terima kasih
atas perlakuannya tersebut. Direktur penjara tersinggung, memerintahkan agar aku
dimasukkan ke kamar gelap. Dua minggu aku mendekam di kamar gelap dengan jatah
makan yang menyedihkan, yaitu nasi, garam sesendok dan air putih. Dalam kamar
gelap tangan dan kakiku dirantai bergantian setiap hari. Satu hari tangan kanan dengan
kaki kiri dan esoknya tangan kiri dengan kaki kanan. Setelah empat tahun menjalani
hukuman, aku tidak segera dilepas. Atas ketentuan Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
atas nama Sri Ratu tanggal 31 Desember 1929 aku diasingkan ke Boven Digoel Tahun
1930 aku dipulangkan. Digoel dibubarkan atas laporan Editur Hillen, sesudah
mengunjunginya. Menurut Hillen, anggota Volksraad, Digoel menghabiskan dana
pemerintah Belanda (Femina, 17/11/1994).
Pengalaman Soewignjo tersebut memberikan gambaran betapa kejamnya dan jauh dari
penghormatan HAM karena tujuan utamanya adalah menindas bangsa yang dijajah. 126
Pada tahun 1935, muncul sebuah kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang
memberikan sedikit angin segar terhadap sistem pelaksanaan pidana pada masa itu, kebijakan
ini tertuang dalam Government Besluit tanggal 10 Agustus 1935 No.23 Bijblad 13515
tentang remissieregeling yaitu sebuah kebijakan pemberian ampunan yang diberikan sebagai
hadiah semata-mata pada kelahiran Sri Ratu Belanda. Remisi itu diberikan karena pada saat
kelahiran Sri Ratu Belanda itu dianggap sebagai kebahagiaan semua warga negara, sehingga
dengan pemberian suatu hadiah berupa pengurangan masa menjalani pidana, kebijakan ini
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di ataswalau telah terjadi banyak perubahan
dalam hal pelaksanaan pidana penjara pada zaman penjajahan ini tetapi penulis berpendapat
dimasukannya pidana penjara sebagai pidana pokok disamping pidana mati dan pidana denda
dengan demikiankeberadaan calon penjahat dapat dicegah karna sudah terdapat resiko yang
Setelah masa penjajahan Belanda Indonesia kemudian dijajah oleh Jepang, selama
periode pendudukan bala tentara Jepang ini (Tahun 1942-1945) kantor Pusat Kepenjaraan di
126Ibid, hlm.66
127 Dwija Priyatno, Op.Cit, hlm. 133
68
Jakarta yang disebut “Gyokeyka” dikepalai oleh seOrang Jepang yang disebut Gyokeyka
Cho.
oleh Orang Jepang yang disebut “Keimukantotukan” yang dibantu oleh dua atau tiga Orang
Jepang yang disebut “Keimukantotukan Ho” berfungsi sebagai pengurus penjara yang telah
mengalami masa pelatihan selama satu setengah bulan dalam bahasa Jepang disebut
petugas kepenjaraan masih dilakukan, antara lain dengan memberi pelatihan bagi pengurus
penjara (Keimusho-cho), selama satu setengah bulan pada tahun 1943. Pendidikan bagi para
pegawai baru sebanyak 100 Orang selama empat bulan, di Jakarta, serta Calon Pegawai
Tinggi Kehakiman (Pengadilan, Kejaksaan, dan Kepenjaraan) pada tahun 1944 selama satu
tahun, dan pendidikan untuk pegawai menengah kepenjaraan selama enam bulan tahun
1945.Selama penjajahan Jepang pelaksanaan pidana penjara secara teoritis telah mengenal
Meskipun begitu pada masa ini perlakuan terpidana merupakan eksploitasi atas
untuk keperluan perang. Barang-barang yang dihasilkan antara lain; pakaian, sepatu, peti
Cipinang, para terpidana dikerahkan sebagai romusha untuk pembuatan kapal-kapal atau
sekoci pendarat dari kayu jati untuk kepentingan perang, dan bahkan alat-alat kedokteran,
seperti stetoskop.
69
menghasilkan barang-barang tertentu, misalnya kain (di Sragen), selimut dan bahan pakaian
(Cirebon, Sragen), sepatu tentara (Yogyakarta). Khusus untuk samurai, digunakan untuk
keperluan pendidikan tentara PETA (Pembela Tanah Air). Narapidana pada masa ini tidak
mengalami kekerasan psikis mereka bekerja dibawah ancaman bahwa anggota keluarga
Akibat diperas tenaganya secara terus menerus, kondisi kesehatan para terpidana
sungguhlah memprihatinkan, banyak dari mereka terserang malaria, disentri, dan busung
lapar. Rata-rata, dalam satu hari 25 Orang terpidana menemui ajal di rumah penjara Cipinang
(tahun 1944). Begitu menyedihkan, sampai suatu kali jalanan menuju ke rumah sakit penjara
Cipinang dipenuhi dengan kotoran manusia. Begitu terbatasnya obat-obatan dan makanan,
Kejadian lain yang patut diingat dalam periode ini adalah terjadinya penahanan atas
bekas tentara PETA yang melakukan pemberontakan melawan tentara Jepang di Blitar,
menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Mantan anggota tentara PETA ini
pada jaman Nippon ini mencatat lembaran hitam dari sejarah kepenjaraan di tanah air tercinta
negara juga Undang-undang Dasar 1945 yang di dalamnya terdapat aturan peralihan maka
sistem kepenjaraan pada akhirnya sampai pada usaha mengganti sistem kepenjaraan sebagai
sistem perlakuan pada Orang-Orang hukuman menjadi sistem lain yang lebih dirasakan
Belanda.128 Usaha-usaha ini didasari atas pertimbangan bahwa sistem kepenjaraan lama tidak
lagi sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang di dalam kehidupan sehari-harinya
berpendoman dan berdasarkan falsafah Pancasila khususnya yang termaktub dalam sila kedua
kepenjaraan yang sesuai dengan keadaan negara Republik Indonesia hal itu diawali dengan
dikeluarkannya Surat Edaran untuk pertama kalinya dalam sistem kepenjaraan Republik
Indonesia di Jakarta tertanggal 10 Oktober 1945 Nomor G.8/588 oleh Menteri Kehakiman
Republik Indonesia yang pertama, Prof Mr. Dr. Soepomo, surat edaran pertama memuat hal-
2) Bawa perintah perintah yang dituruti hanyalah perintah perintah dari Menteri
harus baik guna memperoleh nama baik dan pengakuan dari dunia internasional
Orang-Orang terpenjara apa yang terjadi di masa sebelumnya (Jepang) jangan sampai
128Ibid
71
4. Pekerjaan bagi Orang-Orang terpenjara harus diperhatikan antara lain sebagai sarana
Kemudian terbitlah Surat Edaran Menteri Kehakiman tanggal 25 Februari 1946 No. G
8/230 diubah dan ditambah dengan surat-surat Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 5
Febuari 1948 No. G 8/164, tanggal 20 Mei 1946 no. G 8/654, tanggal 7 Juni 1948 No. G
Daerah dan semua Pimpinan Rumah Pendidikan Negara untuk mengadakan bagian baru
dalam tata laksana Kepenjaraan dan Pendidikan paksa yakni bagian “pendidikan”, selain itu
melalui surat Edaran tanggal 23 November 1948 No. G.8/1510 Kepala Jawatan Kepenjaraan
antara pelanggar hukjm anak-anak dan dewasa dan menginstruksikan pula untuk
Pada waktu itu urusan ke penjaraan yang semula dipegang oleh Gubernur Jenderal
dan Direktur Yustisi kemudian beralih pada Menteri Kehakiman Republik Indonesia
sedangkan, untuk urusan sehari-hari dipegang oleh Kepala Kepenjaraan Pusat dan untuk
Kejadian-kejadian lain Yang patut dicatat sebagai dasar dasar pokok bagi penyusunan
a) Dalam periode tahun 1946 tepatnya pada tanggal 17 Januari 1946 didirikan secara
129 https://www.ditjenpas,go.id/ index.php.page 20-21 diakses 31 Juli 2017 di Bekasi Jawa Barat
72
b) Di tahun 1947 Belanda melakukan agresi militer ysng pertama yang kemudian
terbentuk pula apa yang kemudian disebut Rumah-rumah Taffakur yakni rumah-
dengan peraturan baru dan termuat dalam Keputusan Presiden No.156 B.N RIS No. 26/1950
untuk memberikan pembebasan seluruhnya atau sebagian bagi narapidana setiap tanggal 17
Agustus.130 Sedangkan untuk urusan pemindahan dan penempatan narapidana ditetapkan dan
dikoordinir oleh Jawatan Kepenjaraan Pusat yang diatur tersendiri dalam Surat Edaran
Perubahan yang sangat menonjol dibidang pelaksanaan pidana penjara pada masa itu
adalah penghapusan hukuman disiplin yang dilakukan dengan cambuk rotan Staatblad 1948-
77 dan percobaan perawatan narapidana untuk bergaul dengan masyarakat umum atau
Kepenjaraan Pusat No. J. H. 8.2/19/2 tanggal 12 November 1957 kelonggaran ini merupakan
penjara dan memantapkan prinsip-prinsip yang tercantum dalam Reglement 1917 melalui
konfrensi dinas yang dipimpin oleh Soebandri selaku Kepala Jawatan Kepenjaraan melalui
130 Aturan ini yang kemudian dikenal sebagai Keppres Nomor 156 Tahun 1950, Bambang Poernomo, Op.Cit,
hlm.138
73
sistem kepenjaraan yang antara lain mengenai seleksi serta diferensiasi perawatan
Konfrensi Dinas pada tanggal 21-25 Juli 1956 di Sarangan menetapkan acara tentang
upaya kepenjaraan yang tiada lain bermaksud menekankan bahwa pada prinsipnya pidana
penjara berupaya mengembalikan seseOrang menjadi anggota masyarakat yang baik sehingga
Pada periode 1960, secara resmi digunakan istilah “narapidana” untuk “Orang-Orang
“tahanan sandera” untuk “di-gidzel(tahanan paksa badan)”. Pergantian istilah khusus berlaku
untuk lingkungan kepenjaraan ditentukan melalui surat edaran Kepala Jawatan Kepenjaraan
tanggal 14 November 1960 (tidak bernomor). Istilah Narapidan sebetulnya berasal dari
memperlakukan Orang-Orang hukuman (narapidana) tidak sebagai manusia jika ditinjau dari
segi politik hukum pidana sistem kepenjaraan tidak lagi sesuai dengan prinsip-prinsip yang
tertera dalam Standar Minimum Rules for Treatment of Prisoners (SMR) olehPerserikatan
Pencegahan Kejahatan dan perlakuan Terhadap Pelanggar Hukum (* The First United
diselenggarakan di Jenewa pada tanggal 30 Agustus 1955, dan disetujui oleh Dewan
Ekonomi dan Sosial (ECOSOC) dengan resolusi Nomor 663C (XXIV) tangga 31 Juli 1957
yang mempelopori perubahan pelaksanaan pidana penjara dan cara baru menyikapi
narapidana yang juga mengandung aspek social defence dipelopori oleh Adolf Prins yang
dikembangkan lebih lanjut oleh Marc Ancel sebagaimana diketahui dalam bukunya La
berdasarkan La Novelle Defence Social yang menjadi kebijakan pelaksanaan pidana dengan
2. Membuat seseOrang untuk tidak melakukan kejahatan lagi dengan cara memperbaiki
atau mendidiknya
Negara Indonesia sebagai anggota PBB harus mengikuti pedoman yang sudah disetujui
pemasyarakatan oleh Dr. Sahardjo pada pidatonya saat menerima penghargaan gelar Doktor
Honoris Causa dari Universitas Indonesia tanggal 5 Juli 1963, mengemukakan pidato ilmiah
pemasyarakatan oleh beliau dinyatakan sebagai tujuan dari pidana penjara yang tidak lagi
sekedar penjeraan melainkan juga suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan pada
hakekatnya hal masih menitik beratkan perhatiannya pada para pelanggar-pelanggar hukum
Dalam pidatonya beliau mengatakan bahwa pidana penjara selain menimbulkan derita
bagi narapidana harus juga bertujuan untuk membimbing narapidana agar bertobat, mendidik
agar dapat menjadi anggota masyarakat yang sosialis selain itu dikatakan juga bahwa para
terpidana adalah Orang tersesat jadi harus diberi bekal sehingga dapat menjadi hamba yang
diadakan di Lembang pada tanggal 27 April sampai 4 Mei 1964 dimana salah satu hasilnya
adalah Sistem Pemasyarakatan yaitu suatu sistem pelaksanaan pidana penjara yang
Indonesia sebagai negara yang merdeka untuk menciptakan sistem baru di segala bidang
termasuk juga bidang kepenjaraan, situasi politik juga berkembang di saat kelahiran sistem
berdasarkan penghormatan atas nilai-nilai kemanusiaan, sejak saat itulah tanggal 27 April
G.8/922 Tanggal 26 Desember 1964 tentang konsepsi pemasyarakatan adalah suatu proses,
proses therapiutic yang dimulai sejak narapidana mengalami pembinaan di dasari atas asas :
perikemanusiaan, Pancasila, pengayoman dan Tut Wuri Handayani. 135dalam surat edaran
tersebut dinyatakan “pembinaan narapidana dewasa ini dilakukan melalui empat tahap
sebagaimana berikut :
Dalam tahap ini setiap narapidana akan diteliti untuk mengetahui segala hal tentang
dirinya, narapidana akan diteliti tentang sebab-sebab ia melakukan tindak pidana dan
segala keterangan mengenai dirinya yang dapat diperoleh dari keluarganya, bekas
atasan, teman sekerja, korban tindak pidana yang dilakukannya maupun pihak yang
menangani perkaranya. Hasil penelitian ini sangat penting dan digunakan sebagai
bahan penyusunan program pembinaan, tahapan ini berlaku selambat-lambatnya 1
bulan.
e) (Tahap Medium Security)
Tahap ini baru diberlakukan jika proses pembinaan terhadap narapidana yang
bersangkutan telah berlangsung selama 1/3 dari masa pidana yang sebenarnya dan
menurut pendapat Tim Pembina Pemasyarakatan narapidana tersebut sudah menjadi
lebih baik seperti menunjukan keinsafan, perbaikan, disiplin dan patuh pada tata tertib
yang berlaku di lembaga, maka kepada narapidana tersebut diberikan kelonggaran lebih
banyak.
f) Tahap Asimilasi (Tahap Minimum Security)
Tahap ini berlangsung jika proses pembinaan narapidana telah berlangsung selama ½
dari masa pidana yang sebenarnya dan menurut Tim Pembina Pemasyarakatan telah
dicapai kemajuan baik secara fisik maupun mental dan juga segi keterampilan, maka
tempat melakukan proses pembinaannya diperluas dengan diperbolehkannya
mengadakan asimilasi dengan masyarakat luar antara lain : bekerja di luar akan tetapi
dalam pelaksanaannya masih berada di bawah pengawasan dan di bimbing petugas
LAPAS.
Dasar-dasar pelaksanaan sistem permasyarakatan lebih dikenal dengan istilah sepuluh prinsip
a. Orang yang tersesat diayomi juga dengan memberikan kepadanya beka hidup sebagai
warga yang baik, berguna dalam masyarakat yakni masyarakat Indonesia yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila. Bekal hidup tidak hanya financial dan materil
tetapi yang terpenting juga mental, fisik, keahlian dan keterampilan sehingga diri
Orang mempunyai kemampuan dan kemaluan yang potensial dan efektif untuk
menjadi warga negara yang baik, tidak melanggar hukum lagi dan berguna bagi
pembangunan negara
b. Menjatuhi pidana bukan tindakan balas dendam dari negara, terhadap narapidana
tidak boleh ada penyiksaan baik berupa ucapan, tindakan, cara perawatan maupun
penempatan. Satu-satunya penderitaan adalah hilang kemerdekaan.
c. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan melainkan dengan bimbingan. Terhadap
narapidana harus ditanamkan norma-norma hidup dan kehidupan, diber kesempatan
untuk merenungkan perbuatannya yang lampau. Narapidana dapat diikut sertakan
dalam kegiatan-kegiatan sosial untuk menumbuhkan rasa hidup kemasyarakatan.
d. Negara tidak berhak membuat seseOrang menjadi lebih buruk atau lebih jahat dari
sebelumnya (red : sebelum ia masuk lembaga pemasyarakatan) karena itu harus
diadakan pemisahan antara :
136 Petrus Iwan Pandjaitan dan Wiwiek Sri Widiarty, Pembaharuan Pemikirab Dr.Sahadjo Mengenai
Pemasyarakatan Narapidana, Ind. Hill Co, Jakarta, 2008, hlm.26
77
Mengacu pada hal ini sistem permasyarakatan terlihat mengandung aspek-aspek yang banyak
persamaan dengan konsep resosialisasi. Resosialisasi disini dapat diartikan sebagai proses
interaksi antara narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan dan masyarakat dimana di
dalamnya terdapat perubahan sistem norma sehingga mereka dengan mudah mampu
beradaptasi dengan sistem yang ada dalam masyarakat137 namun, kalau dianalisa secara
mendalam dapat dijadikan sebagai petunjuk bahwa Pemasyarakatan tidak sama dengan
“resosialisasi” dilihat dari sasanti Pemasyarakatan yang berbunyi GRIYA WINAYA JAMNA
MIWARGA LAKSA DHARMESTI yang artinya (kurang lebih) rumah untuk pendidikan
manusia yang salah jalan agar patuh kepada hukum dan bere-integrasi terhadap sekitar.
137 Sri Wahyuni Putri, Pembinaan Narapidana Wanita Dalam Lembaga Permasyarakatan, Universitas Islam
Riau, 2014, hlm.9
78
Acuan yang dipakai untuk menyusun pola pembinaan tersebut didasarkan peraturan
perundang-undangan yaitu :
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh Wilayah
Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660);
Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209),
undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor
27 Tahun 1988;
1983 Tentang Tata Cara Penempatan, Perawatan dan Tata Tertib Rutan;
1989.
tersebut dapat dikatakan bahwa remisi memiliki fungsi strategis dalam rangka pembinaan
Berkaitan dengan hal tersebut posisi remisi sebagai alat pembinaan di lembaga
pemasyarakatan dari kacamata sosiologis, remisi merupakan sebuah instrument yang dapat
masyarakat.138
masyarakat yang belum mampu menginternalisasi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
secara tepat sehingga dia melakukan kejahatan. Dengan demikian, agar narapidana mampu
kehidupan masyarakat adalah satu jalan yang harus ditempuh. Menempatkan mereka dalam
kurun waktu yang lama di dalam penjara justru akan semakin menjauhkan mereka dari nilai-
nilai masyarakat. Dalam tataran inilah, remisi menjalankan perannya untuk mempercepat
berperilaku baik selama menjalani pidana. Karena, remisi hanya akan diberikan kepada
138 Titis Panawang, Cerita Remisi dan Semangat Anti Korupsi, diunduh dari :
http://www.academia.edu/24401811/Cerita_Remisi_dan_Semangat_Anti_Korupsi,hlm.4, Pada 7 November
2016, di Bekasi Jawa Barat
139 Junet Bungsu, Moratorium Pemberian Remisi, dikutip dari :
https://junetbungsu.wordpress.com/2012/11/26/moratorium-pemberian-remisi/, Pada 7 November 2016, di
Bekasi Jawa Barat.
80
narapidana yang berkelakuan baik. Dalam tataran demikian, Remisi menjadi sebuah alat yang
digunakan oleh otoritas penjara untuk melakukan control terhadap perilaku narapidana.140
Dalam konteks demikian, remisi adalah satu instrument yang mampu menjaga
stabilitas penjara. Bahkan dapat dikatakan bahwa remisi adalah “the penal system’s safety
valve”.141
Manfaat lanjutan dari pemberian remisi adalah dapat mengurangi tingkat hunian
penjara. Remisi akan mempercepat seOrang narapidana untuk keluar dari penjara, sehingga
populasi penjara pun akan semakin cepat berkurang. Dalam kurun waktu sekarang, dimana
tingkat hunian penjara semakin tinggi, remisi menjadi instrument yang penting dalam
Mempercepat narapidana keluar dari penjara, yang salah satunya melalui instrument
remisi, memberikan manfaat secara sosial bagi kehidupan narapidana, keluarga, dan
masyarakat secara umum. Dengan demikian, agar narapidana mampu menginternalisasi nilai-
adalah satu jalan yang harus ditempuh. Dalam tataran inilah, remisi menjalankan perannya
tepat.143
Setelah kurang lebih 30 tahun sejak tercetusnya konsep pemasyarakatan pada tanggal
atau pengurangan masa tahanan, dalam konteks pemasyarakatan remisi merupakan salah satu
bagian dari fasilitas pembinaan ysng tidak dapat dipisahkan dari fasilitas pembinaan lainnya,
140Ibid.
141Ibid.
142 Titis Panawang, Op.Cit,hlm.5
143Ibid.
81
dimana hakekat pembinaan selain memberi sanksi yang bersifat punitif juga memberikan
reward sebagai salah satu upaya agar program pembunaan dapat berjalan dan direspon oleh
kualitas diri sekaligus memotivasi diri sendiri sehingga dapat mendorong warga binaan
Kesadaran untuk menerima dengan baik pembinaan yang diberikan baik oleh pihak
lapas ataupun rutan akan berpengaruh kepada kelangsungan kehidupan dimasa datang oleh
karenanya perlu kita sadari bahwa manusia mempunyai dua potensi dalam kehidupannya,
yaitu potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk melakukan perbuatan buruk (jahat)
sehingga siapa pun dapat berbuat khilaf atau berbuat salah. Namun, dengan tekat
memperbaiki diri dan kesungguhan hati niscaya masyarakat akan memberikan apresiasi dan
kepercayaan kepada warga binaan pemasyarakatan untuk dapat kembali ditengah tengah
masyarakat. Pemberian remisi juga dimaksudkan untuk mengurangi negatif dari subkultur
Dari hal tersebut dapat disimpulkan fungsi remisi dalam pembinaan narapidana
bahwa teori yang mendasari sistem pemasyarakatan merupakan bentuk sempurna dari teori
integratif yang merupakan gabungan antara konsep retributif dan konsep tujuan, unsur
144 Menteri Hukum dan HAM, Sambutan Menteri Hukum dan HAM RI Pada Upacara Pemberian Remisi Pada
WBP Pada Upacara Memperingati HUT RI Ke 70
82
retributif terlihat dari upaya pengekangan narapidana di dalam rutan atau lapas dalam periode
Pemasyarakatan
Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995. Khusus mengenai pemberian
remisi diatur dalam Pasal 34 jo. Pasal 35 yang rumusannya adalah sebagai berikut :
Pasal 34
1. Setiap Narapidana dan Anak Pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan
2. Remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah, apabila selama menjalani
3. Ketentuan untuk mendapatkan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
berlaku juga bagi Narapidana dan anak Pidana yang menunggu grasi sambil menjalani
pidana.
Pasal 35
dikeluarkan Keppres Nomor 69 Tahun 1999 dan belum sempat diterapakan akan tetapi
Keppres Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi ini yang kemudian memunculkan
aturan baru mengenai pembagian jenis remisi yang semula hanya terdiri dari remisi umum
dan remisi tambahan menjadi tiga jenis remisi yaitu remisi umum, remisi tambahan juga
remisi khusus yaitu jenis remisi yang diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh
Narapidana dan Anak Pidana,145remisi ini diberikan oleh Menteri Hukum dan Perundangan
masyarakat, terutama terkait dengan Narapidana yang melakukan tindak pidana yang
mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban yang banyak
atau menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa kepada masyarakat
2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan oleh Menteri Hukum dan
persyaratan pemberian remisi sebagaimana yang tertuang dalam pasal-pasal berikut ini :
Pasal 34
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak
(3) Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika
dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak
asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, diberikan
(4) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan Anak
LAPAS
Pasal 34A
(1) Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) diberikan oleh
(2) Pemberian Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) ditetapkan dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 35
Dengan adanya perubahan syarat dalam hal pemberian remisi mulai terlihat adanya
pembedaan dalam pemberian remisi bagi narapidana umum dengan narapidana kejahatan
yang memiliki sifat khusus diantaranya narkotika. Pada penjelasan umum Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32
tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaa Pemasyarakataan
1. Untuk tindak pidana narkotika dan psikoterapika, ketentuan pemerintah ini hanya
2. Untuk tindak pidana korupsi, ketentuan Peraturan Pemerintah ini hanya berlaku bagi
a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan Orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
rupiah).
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 ternyata dirasa tidak menimbulkan efek jera bagi para
pelaku dan tidak mampu berfungsi sebagai alat untuk mencegah timbulnya tindak kejahatan
yangg memiliki sifat khusus seperti korupsi, narkotika juga terorisme maka pada 12
November 2012 diterbitkanlah peraturan baru yang memuat perubahan syarat mengenai
Pasal 34
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan
(3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan
dengan:
a. tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan
predikat baik
Pasal 34A
(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
korupsi;
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi
pidana terorisme.
(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekursor
narkotika, psikotropika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya berlaku terhadap
Narapidana yang dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
87
(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus
dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan
Pasal 34B
(1) Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diberikan oleh Menteri.
(2) Remisi untuk Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34A ayat (1) diberikan
oleh Menteri setelah mendapat pertimbangan tertulis dari menteri dan/atau pimpinan
lembaga terkait.
(3) Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh menteri
dan/atau pimpinan lembaga terkait dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) hari
Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaa Pemasyarakataan Remisi baru dapat diberikan jika surat
Korupsi, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republiik Indonesia dan Badan
Narkotika Nasional.
Pasal yaitu Pasal 34 dan Pasal yaitu Pasal 34, yaitu Pasal 34, Passl 34A,
perbedaan syarat remisi umum dan tindak syarat remisi antara pelaku
pidana biasa dan luar biasa (4) Bagi narapidana tindak pidana khusus
a. berbuat jasa kepada menjalani 1/3 masa yang dijatuhkan untuk dapat
Keputusan Presiden
(5) Ketentuan untuk
mendapatkan remisi
Pidana yang
menunggu grasi
sambil menjalani
pidana.
pidana selama 6
bulan.146
Keputusan Presiden
Dari uraian-uraian tersebut diatas dapat dikatakan secara umum diberikannya remisi
hukum pidana, penologi dan kriminologi mengenai perlakuan terhadap narapidana yang
awalnya penuh penyiksaan menjadi perlakuan yang didasari oleh perikemanusiaan, sistem
146 Meskipun di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 99
Tahun 2012 tidak menyebutkn batas minimum pidana yang dijalani untuk dapat diberikan remisi sebagaimana
Peraturan Pemeritah No.32 Tahun 1999, namun tidak adanya suatu Keputusan Presiden yang mengubah
maupun menghapus Pasal 4 jo Pasal 5 Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 maka menurut penulis
batas waktu pidana yang harus dijalani sebelum diberikannya remisi adalah 6 bulan merujuk pada pasal-pasal
tersebut
90
perlakuan ini semakin di kukuhkan dengan adanya konsep Standar Minimum Rules for
Treatment of Prisoners (SMR) yang semula dirancang oleh The International Penal and
Penitentiary Commision pada tahun 1933. Setelah mendapat perbaikan dari sekertariat PBB
bahwa negara-negara peserta harus menyusun suatu metode yang dapat menstimulasi
Atas dasar pengakuan terhadap sisi kemanusiaan para narapidana pula Indonesia
selaku negara yang merdeka melakukan perubahan terhadap tujuan filosofis sistem
pelaksanaan pidana warisan kolonial yang awalnya penjeraan dengan penyiksaan menjadi
pemasyarakatan menurut sistem ini tobat tidak didapat dengan jalan penyiksaan pembinaan
guna menumbuhkan kesadaran agar tidak mengulangi perbuatan pidana serta mempersiapkan
narapidana untuk dapat berintegrasi kembali dalam masyarakat, ide pembaruan sistem
pelaksanaan pidana ini dicetuskan oleh Dr. Sahardjo. Remisi berfungsi sebagai alat untuk
di masyarakat luas, alat modifikasi perilaku dalam proses pembinaan dalam lapas serta
efisiensi anggaran negara melihat posisi strategis dari remisi dalam hal mempercepat proses
Keberadaan remisi sebagai hak bersyarat dimulai sejak adanya Keppres no.156 Tahun
1950 dan posisinya sebagai hak semakin diperkuat dengan adanya Undang-undang
hadiah dari ratu Belanda semata, secara yuridis remisi di awali dengan Governmentbesluit
1935 No. 23 yang terus mengalami perombakan hingga sekarang diatur dalam Peraturan
Rutan Jakarta Timur berlokasi di Jalan Pahlawan Revolusi No. 38. Pondok Bambu
Jakarta Timur. Rumah Tahanan ini didirikan pada tahun 1974 oleh Pemerintah Daerah
(PEMDA) DKI Jakarta. Pada awal didirikannya Rumah Tahanan ini ditujukan bagi para
pelanggar Peraturan Daerah (PERDA) seperti tuna susila, tuna wisma, gelandangan, dan
pengemis.
tanggal 20 September 1985 bangunan tersebut dialih fungsikan sebagai Rumah Tahanan
Negara Klas IIA yang fungsinya adalah rumah tahanan negara yang diperuntukkan untuk
tahanan yang diduga melakukan pelanggaran hukum. Pada awal berdirinya Rutan Jakarta
4.1.2. Struktur Organisasi Rumah Tahanan (RUTAN) Wanita Kelas IIA Pondok
Bambu
Struktur Organisasi RUTAN Kelas IIA Jakarta Timur yang didirikan berdasarkan
1) Kepala RUTAN
NIP. 197907072000122001 40
92
92
NIP. 197501221997032001
Noviana.H., Amd.IP,SH.MH
NIP. 197701211999022001
5) Sub.Sie Pengelolaan
Sigiyati, SH.M.Si.
NIP. 196409301991032001
4.1.3 Sarana dan Prasarana RUTAN Wanita Kelas IIA Pondok Bambu
Sarana dan Prasarana Rumah Tahanan Negara Kelas II A Jakarta Timur Rumah
Tahanan Negara Klas IIA Jakarta Timur memiliki sarana dan prasarana pendukung dalam
melaksanakan tugas-tugas baik tugas perkantoran maupun tugas pelayanan dan pembinaan
baik kepada masyarakat dan warga binaan pemasyarakatan. Rumah Tahanan Klas IIA Jakarta
1) Bangunan Perkantoran
2) Paviliun hunian
4) Bangunan poliklinik
5) Bangunan dapur
6) Pos Menara
7) Halaman parkir
Rutan Klas IIA Jakarta Timur berdiri di atas tanah seluas ± 14.586 m2 yang berstatus
hak pinjam pakai dari Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang terdiri dari Gedung perkantoran,
93
perumahan dinas, garasi kendaraan, 5 (lima) paviliun hunian, 1 (satu) Paviliun Karantina, dan
a) Paviliun Anggrek : merupakan paviliun bagi penghuni wanita dengan kasus pidana
krimina umuml. Dengan luas bangunan 794 m2 (1 lantai) dengan kapasitas 18 kamar dan
b) Paviliun Bogenvile : merupakan paviliun bagi penghuni warga binaan yang berusia lanjut
dan warga binaan yang dipilih untuk membantu pekerjaan kantor Rutan ( Tamping).
c) Paviliun Cendana dan Dahlia : Paviliun Cendana, merupakan paviliun bagi penghuni
umum dengan luas bangunan 508 m2 (2 lantai) dengan kapasitas paviliun Cendana
sebanyak 13 ( tiga belas ) kamar dan kapasitas paviliun Dahlia sebanyak 15 (lima belas)
kamar. Kamar 1 s/d kamar 12 tiap-tiap kamar memiliki kapasitas 10 (sepuluh) Orang dan
(dua puluh tujuh) kamar, tiap-tiap kamar memiliki kapasitas 10 (sepuluh) Orang.
e) Paviliun Kenanga, merupakan paviliun bagi penghuni warga binaan yang dipilih untuk
membantu pekerjaan kantor Rutan (tamping) . Luas bangunan 100 m2 (1 lantai) dan
Paviliun Isolasi, diperuntukan bagi penghuni yang melakukan pelanggaran tata tertib
dengan luas 36 m2 (1 lantai) memiliki 5 (lima) kamar. Tiap-tiap kamar memiliki kapasitas
3 (tiga) Orang.
Tabel tersebut menggambarkan bahwa terdapat 237 Orang narapidana dengan vonis lebih
dari 1 tahun penjara, 63 Orang narapidana dengan vonis antara 3 bulan sampai dengan 12
bulan, 6 Orang narapidana sedang menjalani pidana kurungan pengganti denda dan 2
.
1. Narkotika 121 328
2. Korupsi 6 9
3. Human trafficking 8
4. Kriminal umum 92 150
5. Sandera Pajak 1
Tabel tersebut menggambarkan bahwa terdapat 121 Orang narapidana dan 328 Orang
tahanan untuk kasus narkotika,6 Orang narapidana dan 9 Orang tahanan kasus korupsi, 8
Orang narapidana kasus human trafficking, 92 Orang narapidana dan 150 Orang tahanan
untuk kasus tindak pidana umum, termasuk pula 1 Orang sandera pajak.148
4.2 Pemberian Remisi Kepada Narapidana RUTAN Kelas IIA Pondok Bambu
4.2.1 Pelaksanaan Pemberian Remisi Kepada Narapidana Narkotika RUTAN Kelas IIA
Pondok Bambu
menyatakan bahwa tolak ukur syarat dalam pelaksanaan pemenuhan remisi bagi
narapidana narkotika bergantung pada vonis yang dijatuhkan oleh hakim kepadanya, jika
vonis yang dijatuhkan lebih dari 5 tahun maka narapidana tersebut harus memenuhi syarat
Pasal 34
2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada Narapidana dan
1) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuktikan
dengan;
a) Tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 (enam) bulan
predikat baik.
Pasal 34A
1) Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana
b) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan
untuk narapidana yang dipidana karena melakukan ringan pidana korupsi dan;
c) Telah mengikuti program deredikalisasi yang diadakan oleh LAPAS dan/atau Badan
2. Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi
2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan prekusor
3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana diatur ayat (1) huruf a harus dinyatakan
secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
Remisi pada dasarnya diberikan untuk memotivasi dan memberikan kesempatan bagi
mempersiapkan diri ditengah masyarakat guna mendorong peran serta masyarakat secara
pemberian remisi khususnya bagi narapidana narkotika sebagaimana terkandung dalam Pasal
11 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara
149 Konsideran Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan
Cuti Bersyarat
97
2. Fotokopi kutipan putusan hakim dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan;
3. Surat keterangan tidak sedang menjalani kurungan atau hukuman pengganti denda
4. Surat keterangan tidak sedang menjalani cuti menjelang bebas dari Kepala Lapas;
Remisi diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah memenuhi
syarat berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan
dan telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh RUTAN dengan
predikat baik dan yang paling penting adalah mengantongi surat keterangan justice
collaborator dari instansi penegak hukum. Bagi narapidana narkotika yang di vonis
kurang dari 5 (lima) tahun maka tidak harus menjadi justice collaborator.
Saat penulis bertanya mengenai adakah suatu bentuk peraturan khusus yang secara
jelas menunjukan indikator kelakuan baik narapidana atau pun rapor yang menunjukan
memberikan jawaban :
tindak disiplin yang akan mereka dapatkan jika mereka melakukan tindakan yang
melanggar aturan rutan. Mengenai rapor harusnya memang ada, namun karena disini
rutan dengan penghuni yang agak banyak meskipun begitu setiap pemberian remisi pasti
di dahului oleh sidang TPP, sidang ini dihadiri oleh para pembina narapidana, yang
berhak bersuara jika memang ada nama-nama yang hendak direkomendasikan mendapat
remisi namun pada kenyataannya hasil pembinaannya belum maksimal 150. Namun begitu
penulis menanyakan aturan hukum yang mengaturnya beliau tidak dapat menunjukan
150Wawancara Kepada Kepala Sie Pembinaan Tahanan Noviana dilakukan pada 22 Febuari 2018
98
ataupun sekedar menyebutkan aturan baku yang secara limitatif apa saja kegiatan yang
remisi dilakukan secara masal dan kepada hampir semua narapidana, sedangkan
layak tidaknya diberikan remisi kepada narapidana dan anak pidana diukur
berdasarkan “ukuran waktu” dan “ukuran berkelakuan baik” menurut versi petugas
Mengenai ada tidaknya sosialisasi tentang hak-hak narapidana khususnya remisi saat
rutan termasuk melewati teras ruang registrasi dimana terpampang mengenai syarat-syarat
remisi, memang tidak ada waktu khusus yang disediakan oleh para petugas rutan untuk
menjelaskan mengenai hak napi karena jumlah napi yang begitu banyak sementara jumlah
petugas tidak sebanding namun kami tidak pernah menutup ruang bagi napi untuk bertanya
Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, penulis memperoleh data mengenai jumlah
Tabel 1.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2011
Di Rumah Tahan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Thn.
2011 Umum Remisi Khusus
99
Keterangan :151
Remisi Umum
1. 96Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 63Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 39 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 25 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5. 16 Orang mendapat Remisi Umum I selama 5 bulan
6. 9 Orang mendapat Remisi Umum I selama 6 bulan
7. 7 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
8. 4 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
9. 2 Orang mendapat remisi Umum II selama 3 bulan
Remisi Khusus Idul Fitri
1. 38 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2. 103 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 14 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4. 3 Orang mendapat Remisi Idul Fitri I selama 1 bulan
5. 2 Orang mendapat Remisi Idul Fitri II selama 1 bulan 15 hari
Remisi Khusus Natal
1. 7 Orang mendapat Remisi Khusus Natal selama 15 hari
2. 36Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan
3. 3 Orang mendapat Remisi Khusus Natal I selama 1 bulan 15 hari
4. 3 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 1 bulan
5. 1 Orang mendapat Remisi Khusus Natal II selama 2 bulan
Tabel 1.2
Jumlah Narapidana Narkotika Yang Mendapat Remisi Pada Tahun 2011
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Thn.
151Op. Cit Divisi Registrasi Rutan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu
100
Keterangan : 152
Tabel 2.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2012
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Thn.
2012 Umum Remisi Khusus
152Ibid
101
Tabel 2.2
Jumlah Narapidana NarkotikaYang Mendapat Remisi Pada Tahun 2012
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Thn.
2012 Umum Remisi Khusus
153Ibid
102
Keterangan :154
Remisi Umum
1) 58Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2) 31 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3) 25Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4) 2 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
Tabel 3.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2013
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
154Ibid
103
Thn.
2013 Umum Remisi Khusus
Idul Fitri Natal Waisak Nyepi
RU 1 RU2 RK 1 RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
242 17 178 7 61 1 5 1
Remisi Umum
1. 126 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 75 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 24 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 10 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5. 3 Orang mendapat Remisi Umum I selama 5 bulan
6. 3 Orang mendapat Remisi Umum I selama 6 bulan
7. 8 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
8. 5 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
9. 1 Orang mendapat remisi Umum II selama 3 bulan
Tabel 3.2
Jumlah Narapidana NarkotikaYang Mendapat Remisi Pada Tahun 2013
155 ibid
104
Thn.
2013 Umum Remisi Khusus
Idul Fitri Natal Waisak Nyepi
RU 1 RU2 RK 1 RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
98 3 69 3 46
Remisi Umum
156 Ibid
105
Tabel 4.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2014
Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Thn.
201 Umum Remisi Khusus
4
Idul Fitri Natal Waisak Nyep
i
RU 1 RU2 RK RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
1
283 13 213 5 52 3 4 1
Keterangan :
Remisi Umum
1. 123 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 69 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 56 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 25 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5. 10 Orang mendapat Remisi Umum I selama 5 bulan
6. 7Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
7. 4 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
8. 2 Orang mendapat Remisi Umum II selama 3 bulan
Remisi Khusus Idul Fitri
1. 101 mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 15 hari
2. 83 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan
3. 27 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri I selama 1 bulan 15 hari
4. 2 Orang mendapat Remisi Idul Fitri I selama 2 bulan
5. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II 15 hari
6. 2 Orang mendapat Remisi Khusus Idul Fitri II 1 bulan
157 Ibid
106
Tabel 4.2
Jumlah Narapidana Narkotika Yang Mendapat Remisi Pada Tahun 2014
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Thn.
2014 Umum Remisi Khusus
Idul Fitri Natal Waisak Nyepi
RU 1 RU2 RK 1 RK.2 RK.1 RK2 RK1 RK2 RK1 RK2
112 4 47 1 10
Keterangan :
Remisi Umum
1) 51 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2) 23 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3) 18 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4) 10 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5) 3 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
6) 1 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
158 Ibid
107
Tabel 5.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2015
DiRumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Remisi Umum
Keterangan :
1. 129 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 67 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 38Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 7 Orang mendapat Remisi Umum II selama 1 bulan
5. 4 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
6. 336 Remisi Dasawarsa
159 Ibid
108
Tabel 5.2
Jumlah Narapidana Narkotika Yang Mendapat Pada Tahun 2015
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Rem 14 21 102 37
isi 3 3
Nark
otika
Remisi Umum
Keterangan :
1) 63 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2) 46 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3) 24Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4) 13 Orang mendapat Remisi Umum I selama 4 bulan
5) 213 Orang mendapat Remisi Dasawarsa
160 Ibid.
109
Tabel 6.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2016
Di Rumah Tahan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Keterangan :161
Remisi Umum
1. 107 Orang mendapat Remisi Umum I selama 1 bulan
2. 63 Orang mendapat Remisi Umum I selama 2 bulan
3. 11 Orang mendapat Remisi Umum I selama 3 bulan
4. 3 Orang mendapat Remisi Umum II selama 2 bulan
161 Ibid
110
Tabel 6.2
Jumlah Narapidana NarkotikaYang Mendapat Remisi Pada Tahun 2016
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
2016 RU. RU. RK. RK. RK. RK. RK.1 RK.2 RK.1 RK.2
1 2 I 2 1 2 Waisa Waisa Nyep Nyep
Idul Idul Nata Nata k k i i
Fitri Fitri l l
Remisi 45 38 16 2
Narkotk
a
Keterangan :
Remisi Umum
162 Ibid
111
Tabel 7.1
Jumlah Narapidana yang Mendapatkan Remisi Pada Tahun 2017
di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
Keterangan :
Remisi Umum
163 Ibid
112
Tabel 7.2
Jumlah Narapidana Narkotika Pada Tahun 2017
Di Rumah Tahanan Negara Kelas IIA Pondok Bambu
2017 RU. 1 RU. RK.1 RK.2 RK.1 RK.2 RK.1 RK.2 RK.1 RK.2
2 Idul Idul Natal Natal Waisa Waisak Nyep Nyep
Fitri Fitri k i i
Remisi 54 43 2
narkotka
Keterangan :164
Remisi Umum
Keterangan :
a) R.U I adalah Remisi yang diberikan pada saat hari peringatan kemerdekaan Republik
Indonesia tetapi narapidana masih harus menjalani sisa pidana
b) R.U 2 adalah Remisi yang diberikan pada saat hari peringatan kemerdekaan Republik
Indonesia dan langsung bebas
c) R.K I adalah remisi yang diberikan pada narapidana saat hari besar keagamaan tetapi
masih harus menjalani sisa pidana
d) R.K 2 adalah remisi yang diberikan pada narapidana saat hari besar keagamaan dan
langsung bebas
telah diusulkan memperoleh remisi umum ternyata narapidana tersebut tidak mendapatkan
remisi maka narapidana tersebut akan kembali diusulkan untuk mendapatkan remisi umum di
tahun berikutnya sepanjang masih memenuhi syarat yang berlaku. Pengusulan remisi
164 Ibid
113
menggunakan formulir R.U I untuk narapidana yang masih menjalani pidana setelah
pemberian remisi, dan formulir R.U II untuk narapidana yang setelah mendapat remisi
langsung bebas
menetapkan besaran remisi terhitung sejak hari penahanan sampai hari besar keagamaan yang
dianut oleh narapidana. Apabila selama menjalani pidana dalam rutan narapidana berpindah
keyakinan maka agama yang di tetapkan sebagai dasar perhitungan adalah agama yang dianut
Pengusulan remisi khusus menggunakan formulir R.K.I untuk remisi khusus sebagian
dan formulir R.K.II untuk pengusulan remisi khusus seluruhnya. Untuk pengajuan usul
mendapatkan remisi khusus sama dengan remisi umum yakni dilakukan oleh kepala Lembaga
Pemasyarakatan kepada Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia,
selambat – lambatnya satu hari sebelum remisi diberikan. Pengusulan remisi khusus
dilakukan dengan menggunakan formulir R.K. Setelah pengusulan remisi diterima di kantor
wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia lalu diajukan kepada Direktorat
Pemasyarakatan atas nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia mengabulkan pemberian
remisi dengan mengeluarkan surat Keputusan Menteri dan dikirim ke Lapas atau Rutan.
remisi khusus ternyata tidak mendapatkan remisi, maka narapidana tersebut diusulkan
kembali. Pengusulan remisi khusus dilakukan dengan menggunakan formulir R.K.T ( Remisi
Khusus Tertunda)
Berdasarkan data remisi periode 2011-2017 terlihat penurunan jumlah remisi yang cukup
signifikan terhadap narapidana narkotika, kecuali di tahun 2012 yang merupakan tahun
114
diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, mengenai hal ini Petugas Rutan
Untuk remisi telah diberikan sesuai dengan Undang – undang yang berlaku, namun
tidak menutup kemungkinan adanya kendala internal maupun eksternal yang terjadi di
lapangan baik dari prosedur, sarana dan prasarana, budaya cultural dan narapidana itu sendiri.
Karena untuk mendapatakan remisi narapidana harus memenuhi peraturan baik subtantif
maupun administratifnya.
lingkungan Rutan Wanita Kelas IIA Pondok Bambu mengenai aturan remisi di dapat hasil
sebagai berikut :
Wawancara dengan Kepala Sub Sie Bimbingan Kegiatan dan Pembinaan Tahan rutan
Noviana Bc. IP, SH166 beliau mengatakan bahwa remisi memang adalah hak narapidana,
serta merta, untuk bisa memperolehnya narapidana harus dapat berperilaku baik dengan
menaati peraturan di rutan sehingga narapidana tersebut berhak memperoleh hadiah berupa
pemotongan hukuman, lebih lanjut beliau mengatakan namun, sekarang ini perilaku baik
juga bukan jaminan untuk memperoleh remisi karena harus di gantungkan pada syarat-syarat
lainnya. Khusus untuk kasus narkotika yang menjadi momoknya adalah keharusan untuk
bersedia bekerja sama membongkar pelaku tindak pidana narkotika lainnya. Aturan ini bisa
dikatakan wajar kita tidak boleh memungkiri bahwa memang peredaran narkotika saat ini
bekerjasama membongkar kejahatan sejauh ini yang terjadi adalah narapidana kehilangan
165Wawancara dilakukan terhadap Petugas sub sie registrasi Oki Tro Widyastuti Pada 22 Febuari 2018
166Wawancara dilakukan terhadap Ka Sub Sie Kegiatan dan Pembinaan Tahanan pada 22 Febuari 2018
115
minat untuk mengikuti pembinaan karena merasa percuma di bina juga tidak dapat apapun,
pembinaan memang harus diakui program pembinaan disini kurang kontrol dari pihak
petugas rutan hal ini dikarenakan kurangnya jumlah petugas rutan, beruntungnya narapidana
disini sedikit banyak mau membantu pelaksanaan pembinaan dan yang paling terasa dengan
diberlakukan aturan justice collaboratot ini adalah semakin meningkatnya jumlah narapidana
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa : “Segala hal yang berkaitan dengan remisi sudah
dilakukan sesuai dengan peraturan yang ada baik itu Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun
2012 maupun peraturan sebelumnya namun kendala yang paling terasa ada di direktorat
sebelum pengumuman remisi tapi terkadang sampai H-1 baru disampaikan kembali ke pihak
rutan. Selain itu, narapidana sendirilah yang menimbulkan kendala sehingga dirinya tidak
dalam rutan untuk di nikmati teman satu sel nya atau yang paling sering terjadi adalah
jenis extacy berusia 29 tahun yang di vonis pada tahun 2015 dengan pidana penjara selama
10 kepada penulis beliau mengaku bahwa beliau di penjara karena mengetahui adanya
narkoba tapi tidak melapor. Ketika ditanya apakah beliau tahu syarat untuk memperoleh
remisi, jawaban yang diberikan hanya sebatas berkelakuan tidak membuat masalah di rutan
dan harus bersedia menjadi justice (collaborator) Lebih lanjut penulis pun bertanya apakah
beliau mengerti apa yang di maksud dengan justice collaborator beliau mengatakan tidak
terlalu mengetahuinya. Penulis menjelaskan apa yang dimaksud Justice Collaborator dan
kemudian bertanya apakah ia pernah menceritakan siapa uang terlibat dalam kasusnya ia
167 Ibid
116
menjawab tidak pernah karena ia takut akan keselamatan nyawa keluarga selama ia di rutan
apalagi jaringan narkotika yang melibatkannya punya kekuasaan yang kuat untuk mencelakai
lebih banyak Orang. Lebih lanjut penulis menjelaskan bahwa ada undang-undang yang
melindungi saksi-saksi dalam kasus pidana. Beliaupun pasrah dengan keadaan yang ada jika
memang ia tidak dapat memperoleh remisi sampai pada kebebasannya yang terpenting adalah
sekarang ia menjalani semua kegiatan yang ada di dalam rutan agar tidak terlibat masalah
Hal yang unik terjadi kepada narapidana narkotika Susanti Binti M. Subecthi yang di
vonis 7 tahun 3 bulan pada tahun 2016 atas kepemilikan 1 paket hashish seberat kurang lebih
8,3 gram baik di tingkat penyidikan kepolisian sampai pada kejaksaan ia dinyatakan sebagai
justice collaborator yang dinyatakan dengan surat keterangan yang sudah ditanda tangani
oleh pihak penyidik kepolisian juga kejaksaan namun saat penjatuhan vonis hakim
berpendapat berbeda dikarenakan ia juga dianggap sebagai pelaku utama alias pengedar di
jaringan berbeda padahal atas keterangan ysng diberikan olehnya bandar narkoba di
3 bulan atas kepemilikan 6 gram sabu-sabu pada 2016 lalu, kepada penulis beliau
menyatakan bahwa beliau tahu syarat remisi adalah mau kooperatif dengan penyidik ia pun
berkata bahwa ia telah memberitahu siapa yang merupakan bandar dalam kasusnya maka dari
itu selama berada dalam rutan ia juga sudah 3 kali mengurus Justice dengan perantaraan surat
permohonan yang diberikan oleh pihak rutan tetapi selama 3 kali pengurusan tidak ada
satupun yang diterima oleh penyidik tanpa menyebutkan dasar penolakan secara terperinci.
Ketika penulis menanyakan apa yang menjadi masalah dalam pemberian remisi ia
168 Nama sengaja disamarkan atas permintaan pihak yang bersangkutan, wawancara dilakukan pada 22
Febuari2018
169Wawancara dilakukan terhadap Susanti Binti M. Subecthi, Pada 22 Febuari 2018
117
meringankan proses mendapat remisi tapi ketidak jelasan berapa batasan pengajuan surat
pengantar ataupun alasan penolakan yang terperici membuat seakan diberi harapan kosong
belum lagi adanya kata-kata dari petugas yang mematahkan semangat napi untuk mengajukan
barang bukti 2 paket ganja dengan vonis pidana 6 tahun pada 2015, sebelum di tempatkan di
rutan pondok bambu ia adalah narapidana di Lapas Tangerang yang dipindahkan karena
alasan kesehatan, terhadap syarat remisi ia hanya tah sebatas berkelakuan baik dan mau
membongkar pelaku lain di kasusnya, menurutnya saat di Polres Metro Tangerang ia sudah
menceritakan semua dengan sejelas-jelasnya tetapi surat keterangan justice collaborator tidak
juga diberikan, pihak kepolisian seperti kurang menaruh perhatian pada kasus-kasus kecil
seperti kasusnya yang menjadi target para penyidik adakah bandar besar, pemilik pabrik.170
Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan secara umum terdapat beberapa faktor
2. Kurangnya sosialisasi mengenai syarat remisi oleh pihak rutan pondok bambu
4.2.2 Upaya Yang Dilakukan dan Harusnya dilakukan oleh Pihak Rutan Wanita
Noviana. H, Bc.iP., S.H, MH171 mengatakan bahwa pihak rutan melakukan berbagai cara
formulir Justice Collaborator yang formatnya sudah diatur oleh pihak rutan, yang kemudian
di tanda tangani oleh narapidana dan di serahkan kembali ke pihak rutan untuk di teruskan ke
pihak kejaksaan ataupun BNN. Jika dalam waktu 14 hari kerja pihak kejaksaan ataupun BNN
tidak memberikan jawaban berupa penolakan atau persetujuan maka pihak rutan berhak
mengeluarkan surat pernyataan persetujuan sebagai lampiran yang dapat dipergunakan jika
beliau tidak dapat menunjukan aturan baku tersebut dengan demikian penulis berpendapat
narkotika.
Pihak kementerian hukum dan HAM melalui proses seleksi CPNS 2017 telah
menabah formasi petugas rutan yang sekarang ini sedang menjalani pelatihan sesuai dengan
program pembunaan yang dijsnkan di rutan ini dengan begitu diharapkan kualitas pembinaan
semakin meningkat
terlarang seperti rokok tahun ini setiap lorong rutan akan dipasangi CCTV dan juga akan
Ketika pemberian remisi dijadikan sebagai salah satu sarana/alat kebijakan untuk
mengatasi permasalahan over kapasitas yang dialami Lapas atau Rutan, maka penulis
berpendapat tolak ukur yang dijadikan dasar untuk menyimpulkan seseOrang narapidana
171Ka Sub Sie Bimbingsn Kegiatan Pembinaan Tahanan Noviana. H, Bc.iP., S.H, MH Pada 27 Febuari 2018
119
“menjadi lebih baik” dengan tidak masuknya narapidana dalam register F tidak bisa diukur
Ketika Penulis melontarkan ide dengan mengatakan bahwa sebenarnya bisa saja
dikurangi dengan memanfaatkan “fasilitas” yang sudah disediakan oleh KUHAP yaitu
mengalihkan bentuk penahanan di Rutan menjadi tahanan rumah atau tahanan kota beliau
pun menjawab hal itu bisa saja terjadi jika ada koordinasi langsung antara lembaga
penyidikan dengan pemerintah, sedangkan rutan maupun lapas hanya melakukan tugas
Marc Ancel pernah menyatakan bahwa “modern criminal science” terdiri dari tiga komponen
“PenalPolicy” adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan
untuk memberi pedoman tidak hanya pada pembuat undang-undang tetapi juga kepada
pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga para penyelenggara atau pelaksana
putusan pengadilan172. Berkaitan dengan itu kebijakan pemberian remisi bagi narapidana
secara umum mengacu kepada peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat
dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan yang dalam perkembangannya mengalami dua
kali perubahan, perubahan terakhir adalah Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012.
Kebijakan remisi terhadap warga binaan pemasyarakatan ini merupakan tindak lanjut
dari adanya kebijakan moratorium remisi terhadap warga binaan pelaku kejahatan luar biasa
yang kala itu hanya dalam bentuk surat edaran yang dikeluarkan oleh Hukum dan Hak Asasi
172Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hlm.
23-24.
120
Oktober 2011 oleh Direktur Bina Pengelolaan Basan dan Baran yang ditujukan kepada
Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia cq Kepala Divisi
Tindak pidana Narkotika dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi,
teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak
kebijakan hukum yang sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang
1. Berkelakuan baik;
pasal demi pasal pada peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang remisi yang
tercantum pada Pasal 34 yang menyebutkan bahwa : yang dimaksud dengan berkelakuan
baik adalah menaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang
tercatat dalam buku register F selama kurun waktu yang ditentukan untuk pemberian remisi
namun, tidak terdapat standar baku tindakan-tindakan apa saja yang dapat dikategorikan
173 Konsideran Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
121
sebagai pelanggaran yang menimbulkan tindakan disiplin, hal ini dapat menimbulkan celah
Terkait tolak ukur yang dijadikan dasar untuk menentukan narapidana “menjadi lebih
baik, dari rumusan aturan tersebut terlihat bahwa jika pembinaan diri narapidana telah
berjalan lebih kurang 1/3 (satu pertiga) dari masa pidananya berarti yang menjadi tolak ukur
Menurut penulis kriteria perbaikan tingkah laku tidak bisa diukur dengan hitungan
matematika seperti 1/3 (satu pertiga), ½ (setengah) ataupun 2/3 (dua pertiga) dari masa pidana
yang harus dijalani hal ini disebabkan penjara memaksa seorang untuk bertahan hidup dalam
keterbatasan ruang gerak dan memaksa narapidana tersebut untuk tunduk pada aturan di
dalam rutan, keadaan ini menimbulkan ambiguitas kelakuan baik tersebut apakah benar-benar
Jika ukuran yang digunakan untuk menilai perilaku narapidana menjadi lebih baik
setelah menjalani sejumlah waktu tertentu dari keseluruhan masa hukuman yang dijatuhkan
padanya hal ini berarti pembinaan hanya bergantung pada lamanya narapidana dapat bertahan
hidup dalam keterbatasan ruang gerak sampai saat pemberian remisi. Kriteria yang digunakan
adalah telah menjalani 1/3 dari masa hukuman pada tataran kebijakan hukum berakibat
terbitnya peraturan Menteri Hukum dan HAM yang mengatur adanya pemberian remisi
umum susulan, remisi khusus yang tertunda dan remisi bersyarat.Persyaratan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 yang hanya menggantungkan
persyaratan untuk mendapat remisi berdasarkan hasil review yang dipaparkan dalam sidang
Komisi Narkoba dan Obat-obatan Terlarang/ Comission on Narcotics and Drugs Indonesia
174Rini Soewarno, Pemberian Remisi Kepada Narapidana Tindak Pidana Korupsi, Universitas Indonesia,
Jakarta, 2012, hlm.89
175Dwija Prayitno, Op.Cit, hlm.99
122
narkotika)176 serta persyaratan tersebut tidak efektif untuk memberikan perlindungan pada
masyarakat khususnya dari pelaku kejahatan luar biasa untuk itu dimunculkan beberapa
Menurut United Nations Office On Drugs and Crime Justice Collaborator adalah
seseOrang yang terlibat dalam suatu pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh atau
struktur, modus operandi, dan kegiatan organisasi tersebut serta hubungan organisasi tersebut
dengan kelompok lainnya. Kebanyakan dari mereka bekerja sama dengan harapan kekebalan
atau keringanan hukuman dan perlindungan fisik bagi mereka dan keluarganya.177
Mas Ahmad Santosa menyatakan bahwa Justice Collaborator adalah seOrang yang
membantu aparat penegak hukum dengan memberi laporan, informasi atau kesaksian yang
dapat membantu aparat mengungkap suatu tindak pidana dimana Orang tersebut terlibat atau
tindak pidana lain yang memiliki keterkaitan dengan tindak pidana yang diproses. Hal yang
diungkap oleh pelaku yang bekerja sama antara lain adalah mengena siapa pelaku utama
tindak pidana, aset tindak pidana, modus operandi dan jaringan tindak pidana.178
Mahkamah Agung menentukan bahwa mereka yang dapat disebut sebagai saksi
pelaku yang bekerjasama yang bersangkutan merupakan salah satu pelaku tindak pidana
tertentu sebagaimana dimaksud dalam SEMA ini, mengakui kejahatan yang dilakukannya,
bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, serta memberikan keterangannya sebagai saksi
176
Putusan Mahkamah Agung Nomor 51 P/HUM/2013
177United Nations On Drugs and Crime, hlm.19
178Mas Ahmad Santosa, Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerja sama (Justice Collaborator),
Makalah disampaikan dalam International Workshop On The Protection of Whistleblower As Justice
Collaborator, diselenggarakan oleh Lembaga Pelindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerjasama dengan
Satgas Pemberantasan Mafia Hukum( PMH ), Jakarta 19-20 Mei 2016
179Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2011 Butir 9 Huruf a
123
Pada umumnya alat bukti keterangan saksi adalah alat bukti yang paling utama dalam
perkara pidana. Hampir semua pembuktian tindak pidana, selalu didasarkan pada keterangan
saksi “tiada suatu pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi, hampir
semua pembuktian perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi
sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain masih tetap
kejahatan terorganisir, terorisme, korupsi, narkotika dan kejahatan serius lainnya terbukti
dapat sedikit teratasi dengan kehadiran seOrang informan yang dapat menyediakan informasi
penting tentang kejahatan tersebut.181 Jika dilihat dari latar belakangnya informan dapat
datang dari kalangan warga negara yang “baik” dan “jahat” dalam penegakan hukum
terhadap kejahatan terorganisir jarang ada informan yang merupakan warga negara biasa
memberi bantuan semata-mata karena tujuan moral. Biasanya justru penegak hukum bekerja
sama dengan informan yang merupakan sesama penjahat baik kompetitor bisnisnya. Mereka
bersedia bekerja sama membantu penegak hukum demi imbalan. 182 Ketika Justice
Collaborator sudah ditetapkan aparat penegak hukum semakin bergantung pada kesaksian,
bantuan kerja sama, dan petunjuk mengenai bukti-bukti yang diberikan oleh pelaku untuk
Indrianto Seno Adji dalam makalahnya menyatakan pentingnya saksi yang juga
pelaku kejahatan yang merupakan “Orang dalam” (Inner Circle Criminal) tidaklah mudah
untuk menarik salah satu pelaku tindak pidana untuk melapor atau menjadi informan apalagi
180Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktek, Maharani Press, Jakarta, 2008, hlm.42
181Yvond Dandurand dalam makalah Vanka Dewani, Sistem Perlindungan Saksi Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia, Universitas Udayana, Bali, 2013, hlm.4
182Ibid.
183Ibid, hlm.6
124
menjadi saksi untuk melawan temannya sendiri mengingat pada akhirnya ia juga akan terseret
penyalahgunaan narkotika tidak mengakui bahkan mati-matian membela diri karena masih
berharap dapat di vonis bebas oleh majelis hakim sehingga banyak informasi yang
disembunyikan, setelah harapan bebas tidak tercapai dan justru dipidana barulah ia
membongkar informasi secara jujur185 (karena tidak mau dipenjara sendiri) dengan demikian
Justice Collaborator bisa dilakukan tidak hanya pada tahap penyidikan, penuntutan, tetapi
juga di masa pelaksanaan pidana. Secara sistem Justice Collaborator berhak atas keringan
tuntutan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, atau keringan hukuman pidana oleh hakim
maupun mendapat remisi atau pembebasan bersyarat pada tahap pelaksanaan pidana.
Mengenai remisi bagi narapidana Indriyanto Seno Adjie mengatakan bahwa remisi
adalah hak dan kewajiban dari narapidana artinya selama ia melaksanakan kewajibannya
maka ia akan memperoleh haknya, selama ini kriteria pemberian remisi terkhusus pada
pelaku tindak pidana luar biasa terlalu ringan maka perlu diperketat lagi karena sifat
kejahatan dan efek yang dibawanya berkaitan dengan masalah keamanan negara juga
keuangan negara serta menyangkut jalannya negara ini ke depan. 186 Lanjutnya pemberian
remisi yang dimonopoli Lembaga Permasyarakatan perlu mendapat kontrol dari luar,
Dari pernyataan tersebut menurut penulis pengetatan syarat remisi ini termasuk cara
untuk memasukan elemen lembaga lain sebagai kontrol dalam hal pemberian remisi dengan
184Indrianto Seno Adji, Prospek Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Makalah disampaikan dalam diskusi panel yang diselenggarakan oleh United Stated Departement Of Justice,
Office of Overseas Presecution Development Assistence and Training dikutip dalam Dwianto Agung, Peran
Saksi Mahkota Dalam Peradilan Pidana Indonesia, Universitas Indonesia, 2009, hlm.15
185Putusan Mahkamah Agung, Op.Cit.
186Koruptor Dapat Remisi, Ini Komentar KPK diunduh dari :
http://m.bisnis.com/kabar24/read/20150721/16/455087/koruptor-dapat-remisi-ini-komentar-kpk
125
pelaku penyalahgunaan narkotika berimplikasi pada masuknya lembaga lain yang berhak
syarat yang lebih spesifik meskipun remisi adalah hak setiap narapidana, tetap harus ada
kondisi khusus yang membedakan remisi yang diterima narapidana satu dengan yang
lainnya.187
Pemasyarakatan
Sistem pemasyarakatan merupakan suatu rangkaian penegakan hukum oleh karena itu
pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari pengembangan konsepsi umum mengenai hukum
pidana. Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem peradilan pemidanaan
dalam tata peradilan pidana yang adalah bagian integral tata peradilan pidana terpadu
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu rangkaian proses penegakan hukum.188
mengayomi masyarakat dari gangguan kejahatan dan sekaligus mengayomi narapidana itu
sendiri yang dianggap telah sesat jalan hidupnya. Sehingga setelah selesai menjalani
pidananya ia kembali menjadi anggota masyarakat dan dapat menyesuaikan dirinya dari
narapidana pada waktu masuk lembaga pemasyarakatan dalam keadaan tidak harmonis
pidana oleh warga binaan pemasyarakatan, juga memberikan bekal hidup kepada
warga binaan pemasyarakatan agar menjadi warga yang berguna dalam masyarakat.
b. Persamaan perlakuan dan pelayanan, pemberian perlakuan dan pelayanan yang sama
d. Penghormatan harkat dan martabat, sebagai Orang yang tersesat warga binaan
hak-haknya yang lain seperti layaknya manusia dengan kata lain hak perdatanya tetap
tetapi harus di dekatkan dan dikenalkan dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat,
Dengan mengutip salah satu asas yang ada yaitu persamaan perlakuan dan pembinaan
penulis berpendapat bahwa asas ini harus diartikan sebagai persamaan terhadap subjek dalam
kondisi yang sama dalam hal ini remisi diberikan bagi narapidana yang telah sama-sama
memenuhi syarat, hal ini dapat diartikan bahwa ada perbedaan antara mereka yang memenuhi
syarat dengan dengan mereka yang tidak. Perbedaan ini jangan dipandang sebagai suatu yang
negatif karena tidak memperlakukan berbeda kepada narapidana sama-sama memenuhi syarat
melainkan justru bersifat adil karena memperlakukan berbeda terhadap hal yang berbeda
remisi juga mengakui ada pembedaan (penggolongan) narapidana dalam rangka pembinaan
1. Umur
2. Jenis kelamin
4. Jenis kejahatan
Wargabinaan yang dilakukan yang menitik beratkan pembinaan berdasarkan Pancasila dan
rasa prikemanusiaan yang dalam pelaksanaannya bersandar pada asas-asas sebagaimana yang
juga telah disebutkan di atas menurut penulis tidak ada pertentangan antara sistem
128
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, peraturan tersebut hanya dimaksudkan untuk
memperketat syarat remisi bagi pelaku kejahatan luar biasa bukan meniadakannya sama
sekali.
4.5 Kebijakan Remisi Terhadap Narapidana Narkotika Dari Perspektif Hak Asasi
Manusia
John Locke menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang diberikan
langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Oleh karenanya, tidak
ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar
(fundamental) bagi hidup dan kehidupan manusia dan merupakan hak kodrati yang tidak
bisa terlepas dari dan dalam kehidupan manusia. 190Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak
yang melekat kepada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh hukum, pemerintah dan setiap Orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Penulis berpendapat bahwa remisi bukanlah hak asasi absolut yang tidak dapat
disimpangi melainkan, hak relatif yang diberikan oleh hukum kepada terpidana hal ini
dikarenakan hak remisi baru timbul setelah terpidana mendapatkan putusan pengadilan yang
Penempatan remisi sebagai hak asasi bersifat absolut dapat mengandung arti bahwa
semua manusia adalah narapidana karena sebagaimana dijelaskan diawal bahwa hak asasi
adalah yang melekat pada manusia karena dirinya adalah manusia namun, untuk
190Masyhur Effendi. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional,
(Jakarta, Ghalia Indonesia, 1994), hlm. 3
129
narapidana pelaku kejahatan luar biasa dalam hal ini narkotika diskriminatif karena
membedakan aturan remisi antara narapidana kejahatan biasa dan luar biasa. Adanya
prrbedaan trrsebut disalah artikan sebagai pelanggaran atas hak asasi utamanya yang
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan sama di hadapan hukum“. Begitu juga dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 yang mengatakan bahwa “ setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapatkan
kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.“ Menurut pendapat penulis
kalimat persamaan di hadapan hukum harus dimaknai sebagai persamaan terhadap subjek
kebijakan affirmative actions191. Hukum yang demikian sesungguhnya tidak dapat dikatakan
sebagai hukum yang diskriminatif karena bukan memperlakukan berbeda terhadap yang
sama,melainkan justru bersifat adil karena memperlakukan berbeda terhadap hal yang
berbeda. Hukum ini juga bersifat pengecualian, dalam arti tidak dapat diperlakukan secara
Tentu saja perbedaan perlakuan harus dihentikan pada saat sudah tercapai persamaan
atau sudah terjadi perubahan kondisi dari subjek hukum tertentu. Semisal persamaan di
hadapan hukum dalam penegakan hukum juga tidak dapat dimaknai bahwa terhadap
pelanggaran hukum yang sama harus selalu dijatuhi hukuman yang sama. Persamaan tidak
191Kebijakan yang mensyaratkan adanya pengenaan keistimewaan pada kelompok atau kasus-kasus tertentu
guna mencapai kesetaraan ataupun keadilan dikutip dari
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action Pada 6 Maret 2018
130
Proses memeriksa dan memutus perkara adalah proses menemukan fakta suatu
peristiwa dan menerapkan norma terhadap fakta tersebut.Setiap peristiwa hukum memiliki
latar kondisi dan karakteristik yang berbeda sehingga tidak selalu dijatuhi hukuman yang
sama walaupun masuk dalam kategori delik yang sama. Latar kondisi dan karakteristik sangat
penting karena menentukan tingkat kesalahan dan permakluman yang dapat diberikan.
sama tidak dapat dikatakan sebagai hukum yang diskriminatif. Sama halnya dengan
perbedaan syarat remisi terhadap narapidana yang harus dilihat kasus per kasus sesuai
peristiwa kejahatan yang dilakukan dan kondisi dari narapidana yang mengajukan itu sendiri.
Sebaliknya, hal itu wujud nyata dari prinsip persamaan di hadapan hukum untuk
mencapai keadilan. Keadilan adalah memperlakukan secara sama terhadap hal yang sama,
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
berdasarkan waktu pidana yang sudah dijalani oleh terpidana yang kemudian melalui
syarat antara narapidana kasus tindak pidana umum dengan tindak pidana khusus,
dalam hal ini narapidana kasus narkotika yang merupakan bandar selain diwajibkan
131
berkelakuan baik juga harus telah menjalani 1/3 masa pidana yang dijatuhkan, syarat
ini narapidana narkotika yang hukumannya lebih dari 5 Tahun selain berkelakuan
2. Terdapat berbagai hal yang menjadi masalah dalam pemberian remisi bagi narapidana
kasus narkotika yaitu sulitnya menjadi justice collaborator hingga proses pembinaan
berjalan tidak sempurna karena adanya pola pikir yang berkembang diantara napi
bahwa percuma berbaik-baik di dalam penjara toh hukuman tidak berkurang, ketidak
tertiban dari narapidana tersebut, ketidak seimbangan jumlah antara penghuni rutan
dan petugas rutan juga kurangnya sosialisasi mengenai hak narapidana, selain itu
adanya kebijakan pihak rutan terkait pengajuan surat permohonan justice collaborator
yang telah ditanda tangani oleh narapidana tanpa adanya alas hukum yang jelas untuk
itu baik dalam bentuk peraturan menteri ataupun peraturan direktorat jenderal
B. SARAN
1. Syarat remisi sebagaimana diatur sekarang sudah baik namun dalam hal
jaksa dan hakim mengenai kriteria siapa-siapa saja yang berhak menjadi justice
dipahami sekarang ini tidak cukup contohnya saja apa yang dialami oleh
collaborator dari penyidik kepolisian namun ditolak oleh hakim dengan alasan
mulai dari tahap penyidikan sehingga tidak ada ketakutan bagi mereka yang ingin
Adji, Indrianto Seno , Prospek Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Sistem Peradilan
Arief, Barda Nawawi , Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010.
Ali, Muhammad, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Pustaka Amani, Jakarta,1997
Arafah, . Siti Rohmanul, Penjara Dari Masa Ke Masa, Universitas Udayana, Bali, 2013
Arief, Barda Nawawi , Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010,
Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1 : Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-
Teori Pemidanaan, dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Rajawali Press, Jakarta, 2008
Djik, Peter van , Adnan Buyung Nasution, Leo Polak Instrumen Internasional Pokok-pokok
Effendi, Masyhur, Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Gunandi, Ismu dan Junaedi Effendi, Cepat dan Mudah Memahamk Hukum Pidana, Prenada
——————-, Asas-Asas Hukum Pidana Cetakan Keempat, Rineka Cipta, Jakarta, 2012
Haz, Sanusi , Pengantar Ilmu Penologi( Ilmu Pengetahuan Tentang Pemasyarakatan Khusus
Ilyas, Amir , Asas-asas Hukum Pidana, Rengkang Education Yogyakarta dan Pukap
Koesoen, Susunan Pidana Penjara Dalam Negara Sosialis Indonesia, Sumur Bandung, 1966
Lamnintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Keempat, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2011
Maramis, Frans, Hukum PIdana Umum dan Tertulis di Indonesia, RajaGrafindo Persada,
Jakarta ,2012.
Marpaung, Lenden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana Cetakan Ketujuh, Sinar Grafika,
Jakarta, 2012.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media Grup, Jakarta, 2013.
Moeljalento, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi revisi, Renika Cipta, Jakarta, 2008
Ohoitimur, Yon, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, Gramedia Pustaka, Jakarta, 2004
Panjaitan, Petrus Irwan Pemasyarakatan Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Sinar
Harapan, Jakarta, 1995.
Reksodiputro, Mardjono , Kriminologi dan Sistem Pidana Kumpulan Karangan Buku Kedua
Cetakan I, Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.
Santosa, Mas Ahmad , Makalah Perlindungan Terhadap Saksi Pelaku Yang Bekerja sama
(Justice Collaborator), Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Jakarta, 2016
Sianturi S.R .Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapanya,Cet IV, Alumni Ahaem-
Peteheam, Jakarta ,1996
Soewarno, Widya Puspa Rini, Pemberian Remisi Terhadap Narapidana Tindak Pidana
Korupsi Ditinjau Dari Sistem Pemasyarakatan, Tesis, Universitas Indonesia, Jakarta, 2012.
Sujono, A.R dan Boy Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta,2011.
Suryantoro, Tonny , Suatu Telaaah Yuridis Atas Kasus Kleptomania Oleh Anak Dibawah
Umur, Jurnal Hukum, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2014
Syachdin, Kedudukan Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Nasional, Tesis
Universitas Diponegoro, Semarang, 2009.
Wijaya, Firman , Peradilan Korupsi Teori dan Praktek, Maharani Press, Jakarta, 2008
Yudianto, Otto, Kebijakan Legislatif Dalam Mewujudkan Ide Pemasyarakatan Terhadap
Pidana Seumur Hidup, Tesis, Universitas Diponegoro, Semarang, 1997
136
Perundang-undangan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 Tentang Remisi.
Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI No. M.100.HN.02.01 Tahun 1999 tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Remisi Khusus,
Permen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M-01.Pr.07.10
Tahun 2005.tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI
Permen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH-01.PK.02.02 Tahun 2010.
tentang Remisi Susulan.
Permen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : M-01.Pr.07.10
Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kanwil Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI
Sumber Lain
Mula Akmal, Managemen Penjara Harus Ditata Ulang, Dikutip dari laman : http://koran-
sindo.com/page/news/2016-0425/0/1/Manajemen_Lapas_Harus_Ditata_Ulang
137
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5141cd01a7dac/pemilik-puntung-
ganjapengedar-ganja.html
Titis Panawang, Cerita Remisi dan Semangat Anti Korupsi, diunduh dari :
http://www.academia.edu/24401811/Cerita_Remisi_dan_Semangat_Anti_Korupsi
http://m.bisnis.com/kabar24/read/20150721/16/455087/koruptor-dapat-remisi-ini-komentar-
kpk
http://m.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action
138
117
117