Anda di halaman 1dari 55

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM DALAM PERKARA TINDAK

PIDANA PENGANIAYAAN RINGAN (STUDI NOMOR


1067/PID.B/2021/PN TJK) DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A
TANJUNG KARANG

(Skripsi)

Oleh
ANGGA PRATAMA ZULKARNAEN
NPM. 18742010030

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SANG BUMI RUWA JURAI
BANDAR LAMPUNG
2

2022
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
D. Konsepsional

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Pengertian Hukum Putusan Hakim
B. Pengertian Tindak Pidana Ringan dan Berat
C. Kategori Penganiayaan Ringan
D. Teori Faktor Penyebab Kejahatan
E. Teori Tentang Upaya Penanggulangan Kejahatan

III. METODE PENELITIAN


A. Pendekatan Masalah
B. Jenis dan Sumber Data
C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
D. Analisis Data

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Gambaran Umum
1. Lokasi Penelitian
2. Karakteristik Informan
B. Temuan Hasil Penelitian
C. Pembahasan
1. Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap
tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar
Lampung.
4

2. Dasar pertimbangan Hakim dalam memutus Perkara Nomor


1076/Pid.B/PN Tjk.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah Negara Hukum tercantum dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-

Undang Dasar yang menyatakan “ Negara Indonesia adalah Negara Hukum

(Rechstat).” Negara yang bersimbol pada Pancasila dengan semboyan

Bhineka Tunggal Ika yang bisa disimpukan bahwa tujuan negara tersebut

adalah untuk menciptakan negara yang aman, tentram dan taat hukum.

Diperlukan suatu kondisi yang dapat mendukung terciptanya tujuan

pembangunan nasional yaitu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan

Pancasila. Penegakan supremasi hukum yang merupakan syarat mutlak bagi

kelangsungan dan berhasilnya pelaksanaan pembangunan nasional sesuai

dengan reformasi. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usaha-

usaha untuk memelihara ketertiban, keamanan, kedamaian dan kepastian

hukum yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia. Sebagaimana

diungkapkan Sudikno Mertokusumo, bahwa dalam fungsinya sebagai

perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan sasaran

yang hendak dicapai. Tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan

masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan.1

1
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Penerbit Liberty,
Yogyakarta, 2006, hlm. 79.
2

Sehubungan jumlah penduduk yang besar, banyak pula permasalahan-

permasalahan hukum yang timbul dalam masyarakat. Salah satunya adalah

tindak pidana penganiayaan. Tindak pidana penganiayaan yang senantiasa

dihadapi oleh masyarakat tidak mungkin dapat dihapuskan sampai tuntas

selama kehidupan berjalan, jadi usaha yang harus dilakukan oleh manusia

dalam menghadapi kejahatan haruslah bersifat penanggulangan, hal tersebut

secara garis besar dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu upaya penal (Hukum

Pidana) dan non penal (di luar Hukum Pidana).

Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur penal, lebih menitik beratkan

pada sifat represif (merupakan tindakan yang diambil setelah kejahatan

terjadi). Sebaliknya upaya non penal menitik beratkan pada sifat preventif

(menciptakan kebijaksanaan sebelum terjadinya tindak pidana), namun dalam

prakteknya penanganan suatu tindak pidana terjadi semacam disparitas

perlakuan antara hak-hak yang diberikan antara korban dengan tersangka

dalam peraturan perundang-undangan. Dalam perkara tindak pidana korban

kejahatan sebenarnya merupakan pihak yang paling menderita. Namun selama

ini, dalam penyelesaian perkara pidana banyak ditemukan korban kejahatan

kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai. Dalam hukum

pidana di Indonesia selama ini korban kejahatan hanya ditempatkan sebagai

alat bukti yang memberi keterangan yaitu saksi sehingga kemungkinan untuk

korban memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya kecil.


3

Salah satu contoh tindak pidana penganiayaan yang sedang menjadi

pembicaraan akhir-akhir ini adalah tindakan kekerasan yang dilakukan

keluarga pasien kepada perawat adalah kasus penganiayaan terhadap perawat

terjadi di Puskemas Kedaton Bandar Lampung. Rendy yang awalnya mengaku

dikeroyok oleh Awang dan dua orang lainnya sudah melaporkan peristiwa itu

lebih dulu ke Polsek Kedaton sebagai kasus penganiayaan dan pengeroyokan.

Berdasarkan laporan Rendy tersebut, tim penyidik Polsek Kedaton juga telah

melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) dan meminta keterangan dari

tiga orang saksi di lapangan. Sementara Awang yang sebelumnya berstatus

sebagai terlapor di Polsek Kedaton, memilih melaporkan balik Rendy ke

Polresta Bandar Lampung dengan tuduhan yang sama, yakni penganiayaan.2

Penganiayaan terhadap tenaga kesehatan oleh keluarga pasien seharusnya

tidak perlu terjadi. Bila pasien mendapati kelalaian dokter, perawat, atau

tenaga kesehatan lainnya, mereka bisa meminta pertanggungjawaban baik

secara hukum perdata atau pidana sesuai undang-undang yang berlaku.

Perawat memang tidak bisa lepas dari kesalahan (nursing error) atau kelalaian

(nursing negligence). Atas kesalahan atau kelalaian mereka, pasien bisa

meminta pertanggungjawaban. Ada sejumlah jenis pidana yang bisa

dikenakan kepada perawat yang melakukan kesalahan atau kelalaian. Perawat

bisa diancam dengan pidana kelalaian yang mengakibatkan luka sesuai dengan

Pasal 360 KUHP atau bila mengakibatkan luka berat atau mati, sesuai Pasal

359 KUHP. Selain itu, Pasal 84 Ayat (1) Undang-Undang Tenaga Kesehatan
2
Ega Yudha, https://www.jpnn.com/news/soal-kasus-penganiayaan-perawat-puskesmas-
kedaton-polisi-bilang-begini, Tanggal 4 Maret 2022, Pukul 12.10 WIB.
4

36 Tahun 2014 juga mengatur pidana terhadap setiap tenaga kesehatan yang

melakukan kelalaian berat sehingga penerima layanan kesehatan luka berat.

Perawat yang dituntut dengan pasal itu terancam pidana penjara paling lama

tiga tahun. Sedangkan bila kelalaian itu menyebabkan kematian, ancamannya

paling lama lima tahun.3

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul: Analisis Yuridis Putusan Hakim Dalam

Perkara (Nomor 1067/PID.B/2021/PN TJK) di Pengadilan Negeri

Tanjung Karang

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian di atas, permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Apakah yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan

penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas di

Puskesmas Kedaton Bandar Lampung?

b. Bagaimanakah dasar pertimbangan Hakim dalam memutus Perkara

Nomor 1076/Pid.B/PN Tjk?

2. Ruang Lingkup

3
Denza Perdana, Tidak Perlu Kekerasan, Pasien Bisa Lakukan Ini kalau Ada Kelalaian
Perawat, diakses dari https://www.suarasurabaya.net/senggang/2021/tidak-perlu-kekerasan-
pasien-bisa-lakukan-ini-kalau-ada-kelalaian-perawat/, Tanggal 3 Maret 2022, Pukul 07.35 WIB.
5

Adapun ruang lingkup penelitian dari masalah di atas adalah

a. Materi penelitian terbatas pada hukum pidana khususnya tentang:

1) Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan

terhadap tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas

Kedaton Bandar Lampung.

2) Dasar pertimbangan Hakim dalam memutus Perkara Nomor

1076/Pid.B/PN Tjk.

b. Penelitian dilakukan pada Tahun 2022.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui dan memahami analisis Hakim dalam memutus

perkara Nomor 1067/Pid.B/2021/PN Tjk

b. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis faktor-faktor

penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga

kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar

Lampung.

c. Untuk mengetahui, memahami dan menganalisis dasar pertimbangan

Hakim dalam memutus Perkara Nomor 1076/Pid.B/PN Tjk.

2. Kegunaan Penelitian
6

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut.

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoretis diharapkan penulisan ini dapat digunakan sebagai

bahan kajian bagi kalangan hukum dalam mengembangkan dan

memperluas ilmu pengetahuan dan dalam bidang hukum pada

umumnya, dan khususnya Hukum Pidana.

b. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan

kepada praktisi hukum khususnya, serta kepada masyarakat umumnya

untuk mengetahui dan turut serta berpartisipasi dalam kasus penegakan

hukum khususnya mengenai analisis yuridis putusan hakim (1 bulan)

dalam perkara tindak pidana penganiayaan terhadap tenaga kesehatan

yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung. Serta

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di

Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai Bandar Lampung.

D. Konsepsional

1. Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan,

perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya

(sebab-musabab, duduk perkaranya, dan seabgainya). Penguraian suatu

pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta

hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan

pemahaman arti keseluruhan.4


4
Purwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka, Jakarta, 1999, hlm. 75.
7

2. Yuridis merupakan nama lain dari hukum itu sendiri dan yuridis lebih

banyak dipergunakan untuk menegaskan aspek kekuatan hukum atau

landasan dari suatu hal yang telah diatur secara mengikat oleh hukum.5

3. Tindak pidana merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi

pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar

pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya,

tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu

mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas

(Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan

yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih

dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam

bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege

(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu).6

4. Penganiayaan adalah perbuatan dengan sengaja menyebabkan sakit atau

luka pada orang lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit

atau luka pada orang lain tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau

perbuatan itu dilakukan untuk menjaga keselamatan badan.7

5. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam

bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan

5
Ibid, hlm. 45.
6
Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 23
7
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas Dan
Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 5.
8

melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu

memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.8

II. TINJAUAN PUSTAKA

8
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5eaa9a59e79a5/tenaga-medis-dan-
tenaga-kesehatan-itu-berbeda/, diakses Tanggal 3 Maret 2022, Pukul 06.45 WIB,
9

A. Pengertian Hukum Putusan Hakim

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam

menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung

keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu

juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga

pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila

pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang

berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan

Tinggi/Mahkamah Agung.9

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan kepada

teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil

penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran teori dan praktek. Salah

satu usaha untuk mencapai kepastian hukum kehakiman, di mana hakim

merupakan aparat penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak

ukur tercapainya suatu kepastian hukum.

Seorang hakim diwajibkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan

tidak memihak. Hakim dalam memberi suatu keadilan harus menelaah terlebih

dahulu tentang kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian

memberi penilaian terhadap peristiwa tersebut dan menghubungkannya

dengan hukum yang berlaku. Setelah itu hakim baru dapat menjatuhkan

9
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2016,hlm.140.
10

putusan terhadap peristiwa tersebut. Seorang hakim dianggap tahu akan

hukumnya sehingga tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili suatu

peristiwa yang diajukan kepadanya. Hal ini diatur dalam Pasal 16 Ayat (1)

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 yaitu: pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan

mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau

kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Seorang

hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan unruk bercermin pada

yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin). Hakim dalam

memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai hukum yang

hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2009 yaitu: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan

memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat”.

B. Pengertian Tindak Pidana Ringan dan Berat

Menurut M. Yahya Harahap Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,

Kasasi, dan Peninjauan Kembali menyatakan antara lain bahwa Tindak Pidana

Ringan merupakan jenis tindak pidana yang dapat digolongkan ke dalam acara

pemeriksaan tindak pidana ringan. Tetapi, Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menjelaskan mengenai

tindak pidana yang termasuk dalam pemeriksaan acara ringan. Namun,

KUHAP menentukan patokan dari segi “ancaman pidananya”.10

10
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHP, Sinar Grafika.
Jakarta, 2009, hlm. 99
11

Berdasarkan Pasal 205 ayat (1) KUHAP tindak pidan ringan yaitu Perkara

yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan

dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7500 (tujuh ribu lima ratus rupiah);

Penghinaan ringan, kecuali yang ditentukan dalam paragraf 2 bagian ini

(Acara Pemeriksaan Perkara Pelanggaran lalu lintas) (Pasal 205 ayat (1)

KUHAP); Terhadap perkara yang diancam pidana kurungan paling lama 3

(tiga) bulan atau denda lebih dari Rp 7500, juga termasuk wewenang

pemeriksaan Tipiring (Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 18

Tahun 1983).

Tindak pidana berat dapat dicontohkan seperti penganiayaan berat

dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP yang rumusannya adalah sebgai berikut:

a. Siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan

penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

b. Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana

dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Penganiayan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga

menjadikan berat pada tubuh orang lain haruslah dilakukan dengan sengaja.

Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari kejahatan yaitu, pebuatan

yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu dan

bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Ketiga unsur di atas harus disebutkan

dalam undang-undang sebagai unsur dari kejahatan, seorang jaksa harus teliti

dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwa dan
12

ia harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan

dalam undang-undang sebagai unsur dari kejahatan.

Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus

sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan

pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat. Mengenai luka berat

disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka berat, kita hanya dapat

merumuskan luka berat yang telah dijelaskan pada Pasal 90 KUHP sebagai

berikut: Luka berat berarti:

a. Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan

sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut.

b. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan

pencaharian.

c. Tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra.

d. Mendapat cacat besar.

e. Lumpuh (kelumpuhan).

f. Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu.

g. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Pada Pasal 90 KUHP di atas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa

dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan

berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan

faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat.

C. Kategori Penganiayaan Ringan


13

Leden Marpaung membuat pengertian “penganiayaan” sebagai berikut.

“menganiaya” ialah dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang

lain. Akan tetapi suatu perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada

orang lain tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu

dilakukan untuk menjaga keselamatan badan.11

Penganiayaan ringan adalah penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit

atau halangan untuk menjalakan kerjaan jabatan atau pencarian, diancam

sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan

atau pidana denda paling banyak Rp. 4500 (empat ribu lima ratus rupiah).

Disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan

luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan

aktivitas sehari-harinya. Kejahatan penganiayaan ringan diatur dalam Pasal

352 KUHP sebagai berikut:

a. Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 dan Pasal 356, maka

penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai

penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. Pidana dapat

ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap

orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya.

b. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

11
Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh (Pemberantas dan
Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta 2002, hlm 5.
14

Melihat Pasal 352 KUHP Ayat (2) bahwa “percobaan melakukan

kejahatan itu (penganiyaan ringan) tidak dapat dipidana” meskipun dalam

pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju

kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang di tuju, atau hendak

berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai selesai.

Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang

bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur dalam Pasal 53 Ayat

(1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan

membahayakan orang lain.

D. Teori Penyebab Terjadinya Kejahatan

Adapun beberapa teori tentang penyebab terjadinya kejahatan, yaitu:

1. Teori Lingkungan

Muzhab ini dipelopori A. Lacassagne dalam teori penyebab terjadinya

kejahatan yang mendasarkan diri pada pemikiran bahwa “dunia lebih

bertanggung jawab atas jadinya diri sendiri”

2. Teori Kontrol Sosial

Ada dua macam kontrol yaitu personal kontrol dan sosial kontrol.

Personal kontrol dan sosial kontrol. Personal kontrol adalah kemampuan

seseorang untuk menahan diri agar seseorang tidak mencapai

kebutuhannya dengan cara melaggar norma yang berlaku dalam

masyarakat. Sedangkan komtrol sosial adalah kemampuan kelompok


15

sosial atau lembaga dalam masyarakat untuk melaksanakan norma-norma

atau peraturan menjadi efektif.12

3. Teori Spiritualisme

Menurut teori ini sebab terjadinya kejahatan dapat dilihat dari sudut

kerohanian dan keagamaan, karena sebab terjadinya kejahatan adalah

tidak beragamanya seseorang. Oleh karena itu, semakin jauh hubungan

seseorang dengan agama seseorang maka semakin besar kemungkinan

seseorang untuk melakukan kejahatan dan sebaliknya, semakin dekat

seseorang dengan agamanya maka semakin takut orang tersebut untuk

melakukan hal-hal yang menjurus kepada kejahatan.

4. Teori Multi Faktor

Teori ini sangat berbeda dengan teori-teori sebelumnya dalam memberi

tanggapan terhadap kejahatan dengan berpendapat “Penyebabnya terjadi

kejahatan tidak ditentukan oleh satu atau dua faktor yang menjadi

penyebab kejahatan”.

5. Partisipasi Masyarakat

Pengawasan dan kesiagaan terhadap kemungkinan timbulnya kejahatan.13

Penanggulangan kejahatan kalau diartikan secara luas akan banyak pihak

yang terlibat didalamnya antara lain adalah pembentuk Undang-Undang,

kejaksaan, pamong praja dan aparat eksekusi serta orang biasa.14

12
Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito, Bandung, 1992, hlm.
32.
13
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 61.
14
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1981, hlm. 113
16

Hal ini sesuai dengan pendapat Soedjono yang merumuskan kejahatan sebagai

perbuatan yang sangat merugikan masyarakat dilakukan oleh anggota

masyarakat itu juga, maka masyarakat juga dibebankan kewajiban demi

keselamatan dan ketertibannya, masyarakat secara keseluruhan ikut bersama-

sama badan yang berwenang menanggulangi kejahatan.15

Berdasarkan uraian di atas maka usaha-usaha untuk menanggulangi dan

mencegah terjadinya kejahatan, maka kepada masyarakat juga di bebankan

untuk turut serta bersama-sama aparat penegak hukum guna menanggulangi

kejahatan semaksimal mungkin.

E. Teori Penanggulangan Kejahatan

Usaha untuk menanggulangi kejahatan mempunyai dua cara yaitu preventif

(mencegah sebelum terjadinnya kejahatan) dan tindakan represif (usaha

sesudah terjadinya kejahatan). Berikut ini diuraikan pula masing-masing

uasaha tersebut:

1. Tindakan Preventif

Tindakan preventif adalah tindakan yang dilakukan untuk mencegah atau

menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Menurut A. Qirom

Samsudin M, dalam kaitannya untuk melakukan tindak preventif adalah

mencegah kejahatan lebih baik dari pada mendidik penjahat menjadi baik

15
Seodjono D, Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni, Bandung, 1976,
hlm. 31
17

kembali, sebab bukan saja diperhitungkan segi biaya, tapi usaha ini lebih

mudah dan akan mendapat hasil yang memuaskan atau mencapai tujuan.16

Selanjutnya Bonger berpendapat cara menanggulangi kejahatan yang

terpenting adalah:

a. Preventif kejahatan dalam arti luas, meliputi reformasi dan prevensi

dalam arti sempit;

b. Prevensi kejahatan dalam arti sempit meliputi:

1) Moralistik yaitu menyebarluaskan sarana-sarana yang dapat

memperteguhkan moral seseorang agar dapat terhindar dari nafsu

berbuat jahat.

2) Abalionistik yaitu berusaha mencegah tumbuhnya keinginan

kejahatan dan meniadakan faktor-faktor yang terkenal sebagai

penyebab timbulnya kejahatan, misalnya memperbaiki ekonomi

dan lain-lain.

3) Berusaha melakukan pengawasan dan pengontrolan terhadap

kejahatan dengan dengan berusaha menciptakan sistem organisasi

dan perlengkapan kepolisian dengan baik, sistem peradilan yang

objektif dan hukum yang baik.

4) Mencegah kejahatan dengan pengawasan dan patrol yang teratur.

5) Prevensi kenakalan anak-anak sebagai sarana pokok dalam usaha

prevensi kejahatan pada umumnya.17

16
A Qirom Samsudin M, Sumaryono E, Kejahatan Anak Suatu Tinjauan Dari Segi
Psikologis dan Hukum, Liberti, Yogyakarta, 1985, hlm 46
17
Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia Indonesia, Jakarta,
1981, hlm. 15
18

2. Tindakan Represif

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur

penegak hukum sesudah terjadinya tindak pidana.18 Tindakan represif

lebih dititikberatkan terhadap orang yang melakukan tindak pidana,

yaitu antara lain dengan memberikan hukum (pidana) yang setimpal

atas perbuatannya. Tindakan ini sebenarnya dapat juga dipandang

sebagai pencegahan untuk masa yang akan datang. Tindakan ini

meliputi cara penegak hukum dalam melakukan penyidikan,

penyidikan lanjutan, penuntutan pidana, pemeriksaan di pengadilan,

eksekusi dan seterusnya sampai pembinaan narapidana.

Penanggulangan kejahatan secara represif ini dilakukan juga dengan

teknik rehabilitas, menurut Cressey terdapat dua konsepsi mengenai

cara atau teknik rehabilitasi, yaitu:

a. Menciptakan sistem program yang bertujuan untuk menghukum

penjahat, sitem ini bersifat memperbaiki antara lain hukuman

bersyarat dan hukuman kurungan.

b. Lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi

orang biasa, selama menjalankan hukuman dicarikan pekerjaan

bagi terhukum dan konsultasi pisikologi, diberikan kursus

keterampilan agar kelak menyesuaikan diru dengan masyarakat.19

18
Soejono Soekanto, Op.Cit, hlm.32
19
Simanjuntak B dan Chairil Ali, Cakrawala Baru Kriminologi, Trasito, Bandung, 1980,
hlm. 399
19

Upaya represif adalah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadoi

tindak pidana/kejahatan yang tindakannya berupa penegakan hukum

(law enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Upaya preventif

adalah tindakan lanjut dari upaya pre-emptif yang masih dalam tataran

pencegahan sebelum terjadinya tindakan kejahatan. Dalma upaya

preventif ini yang ditekankan adlaah menghilangkan keempatan untuk

melakukan kejahatan. Upaya pre-emptif adalah upaya-upaya yang

dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya tindak

pidana. Usaha-usaha yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan

secara pre-emptif adalah menanamkan nilai-nilai, norma-norma yang

baik sehhingga norma-norma tersebut terinternalisasi dalam diri

seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan kejahatan

tetapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak akan

terjadi kejahatan. Jadi dalam usaha pre-emptif faktor niat akan hilang

meskipun ada kesempatan.

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

yuridis normatif dan pendekatan empiris.


20

1. Pendekatan Yuridis

Pendekatan normatif yaitu pendekatan melalui studi kepustakaan, studi

komperatif dan studi dokumen dengan cara membaca, mengutip, dan

menelaah kaidah-kaidah atau aturan-aturan yang berhubungan dengan

masalah yang akan dibahas. Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk

mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-

teori, dan literatur-literatur yang erat hubungannya dengan masalah dan

pembahasan pada penelitian ini. 20

2. Pendekatan Empiris

Pendekatan empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan melakukan

penelitian di lapangan sebagai objek penelitian dengan cara wawancara

guna memperoleh gambaran dari data yang berkaitan dengan

permasalahan yang ada dalam penelitian ini. 21

B. Jenis dan Sumber Data

1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian di

lapangan (field research) secara langsung pada objek penelitian yang

dilakukan dengan cara wawancara dengan narasumber.

20
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, 2004, hlm. 43.
21
Ibid, hlm. 44.
21

b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan

(library research) terhadap bahan-bahan hukum, asas-asas hukum,

peraturan-peraturan dengan cara membaca, mengutip, menyalin dan

menganalisis. Selanjutnya data sekunder mencakup dokumen-

dokumen resmi, buku-buku hasil-hasil penelitian yang berwujud

laporan dan sebagainya.

2. Sumber Data

Sumber data adalah tempat dari mana data tersebut diperoleh. Dalam

penelitian ini data yang digunakan meliputi 3 (dua) sumber data, yaitu:

a. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat

berupa Peraturan Perundang-undangan, peraturan dasar, norma atau

kaidah dasar bahan hukum yang tidak dikodifikasi. Dalam penelitian

ini bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor

73 Tahun 1958 tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum Pidana di

Seluruh Indonesia (KUHP).

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP).

4) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia.

5) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia.
22

6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan

Kehakiman Republik Indonesia.

7) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan

8) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yang kemudian

diperbaharuhi dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 92

Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan KUHAP.

b. Bahan Hukum Sekunder adalah yang diambil dari literatur yang

berkaitan dengan pokok permasalahan, karya-karya ilmiah, dan hasil-

hasil penelitian para pakar sesuai dengan objek pembahasan penelitian.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

seperti Kamus (hukum), Ensiklopedia.

C. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Prosedur Pengumpulan Data adalah prosedur yang sistematis da standar

untuk memperoleh data yang ada hubungannya dengan metode

pengumpulan data dengan masalah yang dipecahkan. Untuk melengkapi

data guna pengujian penelitian ini, digunakan prosedur pengumpulan data

yang terdiri dari:

1) Studi Kepustakaan (Library research)


23

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mengadakan studi

kepustakaan (Library research), studi komperatif, dan studi dokumen.

Studi ini dimaksudkan untuk memperoleh arah pemikiran dan tujuan

penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mempelajari,

mengutip dan menelaah literatur-literatur yang menunjang, peraturan

perundang-undangan serta bahan-bahan bacaan ilmiah lainnya yang

mempunyai hubungan dengan permasalahan yang akan dibahas.

2) Studi Lapangan (Field Research)

Data primer diperoleh melalui studi lapangan (field research) dengan

cara yaitu wawancara (interview) yaitu pengumpulan data dengan cara

melakukan wawancara (interview) secara langsung dengan alat bantu

daftar pertanyaan yang bersifat terbuka sebagai pedoman dan dapat

berkembang pada saat penelitian berlangsung, wawancara dilakukan

dengan Fitri Ramadhan selaku Hakim Pengadilan Negeri Tanjung

Karang.

2. Prosedur Pengolahan Data

Kegiatan pengolahan data dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Pemeriksaan data

Pemeriksaan data yaitu memeriksa kembali kelengkapan jawaban,

kejelasannya dan relevansi dengan tujuan penelitian.

b. Klasifikasi data
24

Klasifikasi data yaitu mengklasifikasikan, menggolongkan dan

mengelompokan jawaban responden menurut pokok bahasan dengan

tujuan mempermudah menganalisis data yang telah ditentukan.

c. Sistematisasi data

Sistematisasi data yaitu penyusunan data dilakukan dengan cara

mengklasifikasikan, menggolongkan dan mengelompokan menurut

pokok bahasan dengan tujuan mempermudah menganalisis data yang

telah ditentukan.

D. Analisa Data

Metode penelitian analisis kualitatif adalah penelitian yang dimulai dengan

teori-teori umum, lalu berlanjut dengan observasi untuk menguji validitas

keberlakuan teori tersebut. Jenis penelitian ini berupaya menggambarkan

kejadian atau fenomena sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan, dimana

data yang dihasilkan berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati.22

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tempat Penelitian

1. Lokasi Penelitian

22
Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung,
2004, hlm. 8-9.
25

Pengadilan Negeri Tanjungkarang semula berada di Jalan Teuku Umar

Nomor19 Tanjungkarang, merupakan gedung PT. Kereta Api Indonesia.

Kemudian Sejak berdirinya gedung Pengadilan Negeri Tanjungkarang,

mulai Tanggal 6 Mei 1967 kegiatan perkantoran pindah ke Jalan Rudolf

Walter Monginsidi/Beringin Nomor 27 Teluk Betung sampai dengan

sekarang.

Pengadilan Negeri Tanjungkarang mengalami beberapa kali

pengembangan tahun 1996-1997 menambah 2 (dua) buah ruang sidang.

Ditahun 2005 terjadi pembongkaran besar-besaran. Gedung Pengadilan

Negeri Tanjungkarang yang semula menghadap kearah Utara kemudian di

alihkan menghadap ke arah timur dengan bangunan 2 (dua) lantai, 1 (satu)

baseman.

Untuk lantai dasar terdiri dari 7 ruang sidang biasa, 1 (satu) ruang sidang

anak dan 1 (satu) Ruang sidang Utama, Ruang Panitera Muda Pidana,

Ruang Panitera Perdata, Ruang Jaksa, Ruang Posbakum Ruang Juru Sita,

Ruang Wartawan, Ruang Tunggu Anak dan Ruang Arsip. sedangkan

lantai 2 terdiri dari ruangan Ketua Pengadilan Negeri, Ruang Panitera,

Ruang Wakil Ketua Pengadilan Negeri, Ruang Mediasi/Diversi, Ruang

Sub Bagian Kepegawaian dan Organisasi Tata Laksana,Ruang Sub Bagian

Perencanaan Teknologi Informasi dan Pelaporan, Ruang Hakim 3, Ruang

Panitera Pengganti 3, Ruang Panitera Pengganti 1, Ruang Sub Bagian

Umum dan Keuangan,Ruang Persediaan ATK, Ruang Panitera Pengganti


26

2, Ruang Hakim Ad Hoc Tipikor, Ruang Hakim Ad Hoc Pengadilan

Hubungan Indiustrial, Ruang Panitera Muda Tipikor, Ruang Sekretaris,

Ruang Wakil Panitera, Ruang Hakim 2, Ruang Hakim 1. Untuk bagian

Baseman Ruang Tahanan Wanita, Ruang tahanan Pria, Ruang Tahanan

Anak.

Gedung Utama dihancurkan kemudian di bangun kembali dengan melalui

5 tahap (tahun 2005 sampai dengan 2009). sedangkan untuk gedung yang

berada dibawah (gedung lama) masih digunakan untuk ruang panitera

Muda Hubungan Industrial, dan Ruang Panitera Muda Hukum, Mushola

dan Rumah Penjaga Kantor

2. Karakteristik Responden

Nama : Fitri Ramadhan, S.H., M.H.

Jabatan: Hakim

Instansi : Pengadilan Negeri Kelas I Tanjung Karang

B. Temuan Hasil Penelitian

Para Terdakwa didampingi oleh Penasihat Hukum Sujarwo, S.H.,M.H., Dkk,

Advokat pada Kantor Advokat/Konsultan Hukum Sujarwo & Partners,

berkantor di Jalan Gatot Subroto No.70 C, Pahoman, Kota Bandar Lampung,

Propinsi Lampung, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 11 Oktober 2021

yang telah didaftarkan pada Kepaniteraan Hukum Pengadilan Negeri

Tanjungkarang dengan Nomor 913/SK/2021/PN Tjk. Setelah membaca

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor


27

1067/Pid.B/2021/PN Tjk tanggal 07 Oktober 2021 Tentang Penunjukan

Majelis Hakim, Penetapan Majelis Hakim Nomor 1067/Pid.B/2021/PN Tjk

tanggal 07 Oktober 2021 tentang Penetapan Hari Sidang serta berkas perkara

dan surat-surat lain yang bersangkutan. Setelah mendengar keterangan Saksi-

saksi, Ahli dan Para Terdakwa dan barang bukti yang diajukan di persidangan

dan Setelah mendengar pembacaan tuntutan pidana yang diajukan oleh

Penuntut Umum yang pada pokoknya sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa I. Awang Helmi Christanto Bin Hi. Budiono,

Terdakwa II. Novan Putra Abdillah Bin Hi. Budiono dan Terdakwa III.

Didit Maulana Bin Jayani telah terbukti bersalah melakukan dengan

dengan terang-terangan dan tenaga bersama melakukan kekerasan

terhadap orang atau barang sebagaimana dalam dakwaan kedua Penuntut

Umum;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa I. Awang Helmi Christanto Bin

Hi. Budiono, Terdakwa II. Novan Putra Abdillah Bin Hi. Budiono dan

Terdakwa III. Didit Maulana Bin Jayani berupa pidana penjara masing-

masing selama 2 (dua) bulan penjara dikurangi selama Para Terdakwa

berada dalam tahanan;

3. Menyatakan barang bukti berupa :

a. 1 (satu) buah kacamata dengan bingkai warna hitam; Dikembalikan

kepada Terdakwa Awang Helmi Christanto Bin Hi. Budiono;

b. 1 (satu) buah paving blok dirampas untuk dimusnahkan;


28

c. 1 (satu) buah flashdisk yang menyimpan rekaman video tetap terlampir

dalam berkas perkara;

4. Menetapkan agar Terdakwa I. Awang Helmi Christanto Bin Hi. Budiono,

Terdakwa II. Novan Putra Abdillah Bin Hi. Budiono dan Terdakwa III.

DIDIT Maulana Bin Jayani membayar biaya perkara masing-masing

sebesar Rp2.000,00 (dua ribu rupiah);

C. Pembahasan

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap


tenaga kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar
Lampung

Kriminologi yang menunjuk pada studi ilmiah tentang sifat, tingkat,

penyebab, dan pengendalian perilaku kriminal baik yang terdapat dalam diri

individu maupun dalam kehidupan sosial, budaya, politik, dan ekonomi.

Dengan demikian, cakupan studi kriminologi, tidak hanya menyangkut

peristiwa kejahatan, tapi juga meliputi bentuk, penyebab, konsekuensi dari

kejahatan, serta reaksi sosial terhadapnya, termasuk reaksi lewat peraturan

perundang dan kebijakan-kebijakan pemerintah di berbagai bidang.23

Modus kejahatan adalah cara yang dilakukan oleh para pelaku untuk

melakukan kejahatan. Dengan mengetahui modus kejahatan maka akan

diperoleh gambaran yang jelas tentang bentuk kejahatan yang dilakukan oleh

pelaku. Bentuk gejala kejahatan dibagi menurut perbuatan atau perbuatan

kelompok. Tetapi perbuatan itu dapat juga dilihat sebagai ungkapan pelaku

23
Indah Sri Utari. 2016.  Due Proces of law (Proses Hukum Yang Adil Dalam Proses Peradilan),
Thafa Media, Semarang, hlm. 1.
29

dan kemudian para pelaku dijadikan dasar pembagian. Pembagian menurut

perbuatan dibagi dua bila dilihat dari cara perbuatan dilakukan, pada benda

hukum dan nilai hukum yang menderita karena tindak pidana itu.

Menurut cara melakukan sebagai suatu kemungkinan pembagian:

a. Perbuatan dilakukan sedemikian rupa, sehingga korban dapat


mengamati perbuatan pelaku dan mengamati pelaku, tanpa
mempertimbangkan apakah korban menyadari perbuatan tersebut
sebagai tindak pidana atau bukan. Misalnya penganiayaan,
penghinaan, perampokan, sejumlah bentuk perbuatan curang, tindak
pidana seksual. Sebaliknya, perbuatan dilakukan sedemikian rupa
sehingga korban tidak melihat pada perbuatan pelaku atau tidak
melihat pelakunya saat perbuatan dilakukan. Misalnya penggelapan,
pencurian biasa, dan pemalsuan.
b. Perbuatan itu dilakukan dengan menggunakan atau tanpa
menggunakan sarana-sarana bantu khusus (alat-alat pertukangan,
bahan-bahan kimia).
c. Perbuatan dilakukan dengan kekerasan fisik, dengan cara biasa atau
cara memaksa.24

Penelitian yang diangkat dalam hal ini adalah tentang suatu penganiayaan dan

pengeroyokan yang dilakukan beberapa orang yang menggunakan kekuatan

bersama terhadap orang dengan berbagai cara dan modus yang dilakukan,

salah satunya adalah penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang

bertugas. Bentuk-bentuk kekerasan ini berbagai macam salah satunya

kekerasan seperti penganiayaan, Jenis-jenis penganiayan tergolong banyak

seperti penganiayaan biasa, penganiayaan ringan, penganiayaan berencana,

penganiayaan berat, penganiayaan berat berencana dan turut serta dalam

penyerangan dan perkelahian. disini penulis akan membahas kejahatan-

kejahatan seperti penganiayaan yang sedang penulis teliti.


24
Adami Chazawi. 2012.  Percobaan dan Penyertaan dalam Hukum Pidana .Pelajaran Hukum.
Pidana Bagian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 2-3.
30

Penganiayaan terhadap tenaga kesehatan oleh keluarga pasien seharusnya

tidak perlu terjadi. Bila pasien mendapati kelalaian dokter, perawat, atau

tenaga kesehatan lainnya, mereka bisa meminta pertanggung jawaban baik

secara hukum perdata atau pidana sesuai undang-undang yang berlaku.

Perawat memang tidak bisa lepas dari kesalahan atau kelalaian. Atas

kesalahan atau kelalaian mereka, pasien bisa meminta pertanggung jawaban.

Ada sejumlah jenis pidana yang bisa dikenakan kepada perawat yang

melakukan kesalahan atau kelalaian.

Faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga

kesehatan yang sedang bertugas adalah adanya kurangnya pemahaman

Standar Operasional Prosedur (SOP) selama pandemi Covid-19 oleh korban.

Sedangkan dari pihak pelaku adalah paniknya pelaku pada saat kejadian

sehingga terjadi penganiayaan terhadap tenaga kesehatan.

Hasil wawancara dengan Fitri Ramadhan selaku Hakim Pengadilan Negeri

Tanjung Karang menyatakan bahwa secara kriminologis, dari perspektif

korban kejahatan penganiayaan (si-nakes itu sendiri), maka mereka untuk

konteks pandemi Covid-19 saat ini, termasuk golongan yang “rentan”, secara

ringkas, mereka butuh “penguatan” dapat berupa: pendampinngan atau

perlindungan dari aparat keamanan (satpam/polisi/bahkan TNI yang khusus

bertugas di tiap fasilitas kesehatan). Hasil wawancara dengan Eddy Rifai

menyatakan bahwa Ketentuan umum mengenai kejahatan penganiayaan diatur

dalam bab XX Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 KUHP. Mengenai yang
31

dimaksud dengan penganiayaan tidak dijelaskan di dalam KUHP. Pasal 351

KUHP hanya menjelaskan mengenai hukuman yang diberikan pada kejahatan

tesebut. Berkaitan dengan masalah penganiayaan, maka kekerasan sering

merupakan pelengkap dari bentuk kejahatan itu sendiri. Semakin menggejala

dan menyebar luas frekuensi kejahatan yang diikuti dengan kekerasan dalam

masyarakat, maka semakin tebal keyakinan masyarakat akan penting dan

seriusnya kejahatan semacam ini, dengan demikian pada gilirannya model

kejahatan ini telah membentuk presepsi yang khas di kalangan masyarakat.

Kejahatan yang dimuat dalam buku II KUHP, pada kenyataannya

mengandung sanksi pidana yang lebih berat dari pada pelanggaran

ditempatkan dalam golongan-golongan tertentu berdasarkan kesamaan

sifatnya, yang salah satu sifat yang sama itu adalah berdasarkan suatu

kepentingan hukum yang dibahayakan atau dilanggar. Suatu perbuatan yang

yang dibentuk menjadi kejahatan dan dirumuskan dalam undang-undang

lantaran perbuatan itu dinilai oleh pembentuk undang-undang sebagai

perbuatan yang membahayakan suatu kepentingan hukum. Dengan

menetapkan larangan untuk melakukan suatu perbuatan dengan disertai

ancaman atau sanksi pidana bagi barang siapa yang melanggarnya, berarti

undang-undang telah memberikan perlindungan hukum atas kepentingan-

kepentingan hukum tersebut.

Kejahatan Penganiayaan sendiri sudah diatur dalam Pasal 351 Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP):


32

a. Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun


delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
b. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
c. Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
d. Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
e. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Terdapat dua cara yang dimulai dari berdasarkan motif pelaku atau

berdasarkan sifat-sifat pelaku. Kedua cara tersebut harus dilakukan penelitian

yang mendalam terhadap pelaku. Karena motif dan sifat-sifat pelaku tidak

dapat disimpulkan berdasarkan seseuatu yang kelihatan dari luar saja. Dalam

perkembangannya, modus kejahatan yang dilakukan dalam masyarakat selalu

berubah-ubah dan bahkan mengikuti perkembangan masyarakat itu sendiri.

Misalnya saja dahulu jarang sekali terdengar berita tentang penganiayaan

seperti ini yang dilakukan beramai-ramai. Namun saat ini tidak sedikit pelaku

kejahatan yang melakukan penganiayaan yang mengakibatkan korbanya

meninggal dunia.25

Modus kejahatan semakin berkembang seiring moderisasi dan perkembangan

teknologi baik di bidang komunikasi, transportasi, dan informatika modern.

Modernisasi dan globalisasi disamping membawa manfaat bagi perkembangan

ilmu pengetahuan, juga membawa masalah yang sangat serius. Realita yang

terjadi, kejahatan tidak hanya berkaitan dengan hukum pidana, tapi juga

terdapat hubungan baik dengan norma-norma agama, ada masyarakat yang

25
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 60.
33

menerapkan norma-norma adat kebiasaan yang telah ditentukan oleh nenek

moyangnya. Dalam masyarakat kita mengenal adanya berbagai jenis norma

antara lain norma agama, kebiasaan, kesusilaan dan norma yang berasal dari

adat istiadat. Pelanggaran atas norma tersebut dapat menyebabkan timbulnya

suatu reaksi, baik berupa hukuman, cemoohan atau pengucilan. Norma itu

merupakan suatu hal untuk membedakan perbuatan terpuji atau perbuatan

yang wajar dengan perbuatan yang tidak terpuji atau tercela. Perbuatan yang

tidak terpuji dalam masyarakat sering kali dicap sebagai perbuatan kejahatan.

Kejahatan penganiayaan yang dilakukan beberapa orang ini merupakan

kejahatan yang sangat merisaukan masyarakat setempat. Terlebih para pelaku

penganiayaan ini lebih dari satu orang dan mengakibatkan korbannya

mengalami luka. Banyak pendapat tentang penyebab kejahatan. Ada yang

berpendapat bahwa lingkungan adalah hal yang dapat mempengaruhi

seseorang untuk melakukan kejahatan, ada juga yang berpendapat bahwa

struktur kepribadian pelakulah yang menyebabkan seseorang melakukan

kejahatan. Disisi lain ada juga pendapat yang mengkombinasikan antara

pendapat pertama dengan pendapat yang kedua.

Secara umum ada beberapa faktor penyebab kejahatan,yaitu antara lain:

1. Perangkat hukum yang kurang melindungi masyarakat

Banyak anggota masyarakat menginginkan agar setiap pelaku kejahatan

dapat dihukum dengan hukuman yang seberat-beratnya bahkan harus

dijatuhi pidana mati. Beberapa peraturan yang berisikan sanksi pidana bagi

pelaku kejahatan tidak memiliki pidana minimal, sehingga pelaku kejahtan


34

dapat saja dipidana di bawah pidana maksimal. Walaupun beberapa

undang-undang tindak pidana khusus memiliki pidana minimal, namun

pidana minimalnya dirasakan kurang membuat jera dan tidak menyurutkan

niat seseorang untuk melakukan kejahatan.

2. Penegakan hukum yang lemah

Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan kebijakan penerapan

substansi hukum oleh penguasa atau rezim sesuai dengan kebijakan sosial

yang telah digariskan. Tiadanya percantuman pidana minimal didalam

beberapa peraturan mengisyaratkan seseorang yang melakukan tindak

pidana dapat dijatuhi pidana di bawah pidana maksimal yang telah

ditetapkan sebelumya, padahal ketika terjadi sebuah peristiwa kejahatan,

maka yang paling diinginkan oleh masyarakat adalah pelaku harus dijatuhi

hukuman yang seberat-beratnya atau dijatuhi hukuman mati. Terkadang

vonis yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa dianggap belum memenuhi

rasa keadilan dalam masyarakat. Di sisi lain, hukum selalu dianggap tidak

berpihak kepada orang-orang yang memiliki jabatan, pengaruh, dan atau

uang. Sebaliknya hukum dianggap tidak berpihak kepada orang-orang

yang lemah. Hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Kesadaran

hukum baik di lingkungan para penegak hukum maupun masyarakat masih

terasa lemah. Kegagalan menciptakan keadilan oleh penegak hukum masih

sering terjadi, dibarengi dengan masih banyaknya terjadi tindakan anomis

serta perbuatan main hakim sendiri di lingkungan masyarakat. Tindakan

main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, sebagian


35

menggambarkan sikap umum masyarakat yang semakin luruh

kepercayaannya terhadap aparat penegak hukum. Sistem peradilan yang

terpadu, juga tidak kunjung dapat ditegakkan, yang ujungnya selalu

menimbulkan ketidakpuasan bagi pencari keadilan di satu sisi, dan

rusaknya citra penegak hukum di sisi yang lain.

3. Kerusakan moral

Hubungan antara kejahatan dalam arti yuridis dengan moral dapat

digambarkan sebagai dua buah lingkaran dengan berbagai bentuk sebagai

berikut:

a. Pandangan ini menganggap bahwa semua tindak pidana merupakan

perbuatan yang melanggar moral. Pada kelompok ini termasuk mereka

yang menganggap kejahatan sebagai dosa dan mereka yang percaya

bahwa pemerintah adalah pemberian Tuhan

b. Pada pandangan ini mereka berpendapat bahwa hampir semua tindak

pidana merupakan perbuatan yang melanggar moral, hanya sebagian

kecil saja yang tidak melanggar moral. Pandangan ini melihat moral

sebagai pengertian absolut yaitu semata-mata sebagai generalisasi dari

kode moral mereka.

c. Pandangan ini menganggap bahwa hanya kejahatan yang sangat berat

merupakan perbuatan yang bertentangan dengan moral, sedangkan

sebagian besar tindak pidana tidak bertentang dengan moral.

Pandangan ini mendasarkan pada kenyataan bahwa dalam masyarakat


36

terdapat berbagai kelompok masyarakat yang seringkali memiliki

pandangan moral yang berbeda-beda.

d. Pandangan ini memisahkan antara moral pribadi dengan kelompok dan

hukum pidana. Hal ini karena mereka tidak melihat norma tercermin

dalam perundang-undangan pidana karena alasan yang sama sekali

berbeda.

4. Kurangnya kesadaran masyarakat akan bahaya kejahatan

Kejahatan menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat,

terutama bagi korban dan keluarganya. Namun di sisi lain masih ada di

antara anggota masyarakat yang kurang menyadari bahaya dari kejahatan.

Hal ini terlihat dari sikap anggota masyarakat yang masih kurang berupaya

untuk melakukan pencegahan terjadinya kejahatan. Pencegahan kejahatan

memang harus dimulai dari individu.

5. Pembangunan

Pembangunan dapat bersifat kriminogen apabila pembangunan itu:

a. Tidak direncanakan secara rasional, atau direncanakan secara timpang,

tidak memadai atau tidak seimbang;

b. Mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral;

c. Tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang menyeluruh

atau integrasi.

6. Terbukanya peluang bagi pelaku kejahatan

Kejahatan ada karena kesempatan. Kesempatan ada karena peluang

terbuka bagi pelaku. Tidak sedikit peluang itu dibuka oleh masyarakat
37

melalui sikap yang memberikan kesempatan bagi pelaku kejahatan untuk

melakukan kejahatan. Misalnya:

a. Perilaku demonstrative kekayaan dan perilaku konsumtif.

b. Pulang larut malam atau saat dini hari.

c. Berpergian ke tempat yang sepi.

d. Menggunakan pakaian yang tidak sopan dan tidak menutup aurat

terutama bagi perempuan.

e. Minimnya pengawasan terhadap anak.

f. Ucapan yang tidak senonoh.

g. Meninggalkan rumah kosong tanpa dititipkan kepada tetangga atau

pihak lain.

h. Meninggalkan rumah dalam keadaan tidak terkunci.

i. Terlalu mudah dan cepat percaya kepada orang yang baru dikenal.

j. Tidak mematuhi aturan atau norma-norma yang berlaku.

k. Tidak melaporkan individu baru dalam lingkungan.

l. Pengamanan yang tidak maksimal.

7. Iman yang lemah

Perkembangan zaman saat ini tidak diikuti oleh masyarakat dengan

perbaikan dan peningkatan ibadah serta nilai-nilai moral. Masyarakat lebih

memikirkan kehidupan duniawi dibandingkan kehidupan akhirat.

Masyarakat terbiasa meninggalkan kebaikan dan melakukan

ketidakbaikan. Ketidakbaikan tersebut muncul akibat tidak melaksanakan


38

ibadah dengan baik. Padahal ibadah merupkan kinerja yang mampu

mencegah manusia untuk melakukan perbuatan kejahatan. Semakin besar

keimanan yang dimiliki oleh seseorang maka ia akan semakin mengingat

Yang Maha Kuasa. Ketika seseorang selalu mengingat kepada Yang Maha

Kuasa maka ia akan terhindar dari berbagai perbuatan yang tidak baik dan

tidak dibenarkan. Keimanan merupakan kekuatan yang mampu menjaga

manusia dari perbuatan maksiat dan kejahatan.

8. Teknologi Canggih

Teknologi canggih mengubah kondisi masyarakat. Banyak hal yang

dahulu tidak dikenal, tidak mudah diperoleh, atau tidak cepat kita ketahui,

dengan teknologi canggih akan mudah untuk merealisasikannya. Di satu

sisi, teknologi canggih akan mempermudah pekerjaan banyak orang,

namun tidak demikian di sisi lainnya. Misalnya saja teknologi dalam

bidang informasi yang berdampak pada kemudahan berkomunikasi, akses,

dan memasukkan informasi. Saat ini, oranng dapat melakukan komunikasi

tanpa batas dan tanpa mengganggu mobilitas, sehingga kelihatan tiada

kendala antara waktu dan jarak. Internet memberikan kesempatan sama

kepada semua orang untuk berkomunikasi, akses, dan input informasi.

Berbagai informasi dapat diakses melalui internet baik itu oleh orang

dewasa maupun anak-anak. Hal ini tentunya dapat memberikan dampak

yang merugikan tidak hanya kepada pihak yang mengakses internet, tetapi

juga berdampak pada pihak lain yang ada dalam masyarakat. Kemajuan

teknologi informasi tidak hanya memberikan dampak positif, tetapi juga


39

mendatangakan tantangan dan efek negatif dimana kemajuan teknologi

informasi juga memberikan pintu masuk bagi pelaku kejahatan untuk

melaksanakan kegiatannya. Teknologi bersifat netral, bergantung pada niat

penggunanya. Artinya melalui teknologi informasi itu pula kejahtan dapat

dilakukan. Semakin tinggi kemampuan manusia dalam ilmu pengetahuan

dan mengembangkan teknologi membawa dampak negatif di samping

dampak positif. Perkembangan teknologi yang tidak disertai dengan

peningkatan nilai-nilai moral menyebabkan banyak manusia yang

terhanyut dalam dampak negatif teknologi. Semakin canggih teknologi

maka berdampak kepada modus kejahatan yang semakin canggih pula.

Kejahatan saat ini tidak hanya berdimensi nasional, tetapi juga berdimensi

transnasional, bahkan dilakukan oleh kelompok-kelompok yang

terorganisir.

Kejahatan cenderung meningkat setiap tahunnya, kejahatan dilakukan oleh

orang yang lebih muda, maksudnya adalah kejahatan cenderung dilakukan

oleh orang-orang yang memiliki ciri-ciri : miskin, menganggur, dan juga

frustasi di keluarga maupun lingkungan masyarakat. Salah satu masalah

struktural yang perlu diperhatikan didalam analisis kriminologi Indonesia

adalah masalah kemiskinan. Berdasarkan teori kriminologi, keadaan ini

sebenarnya dianggap sangat penting karena kemiskinan merupakan bentuk

kekerasan struktural dengan amat banyak korban. Hasil penelitian yang

didapat di lapangan, terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab atau


40

latar belakang terjadinya kejahatan penganiayaan yang terdapat beberapa

faktor:

1. Teori Biologis

Teori ini mengatakan faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah

seseorang dibawa sejak lahir. Melalui gen dan keturunan, dapat

memunculkan penyimpangan tingkah laku. Pewarisan tipe-tipe

kecenderungan abnormal dapat membuahkan tingkah laku menyimpang

dan menimbulkan tingkah laku sosiopatik. Misalnya, cacat bawaan yang

berkaitan dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental. Faktor biologis

juga menggambarkan bahwa kejahatan dapat dilihat dari fisik pelaku

kejahatan itu, misalnya, dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu seperti

muka yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan lain-lain. Namun

hal ini tidak bisa dijadikan sebagai faktor penyebab terjadinya kejahatan,

hanya saja sebagai teori yang digunakan untuk mengidentikkan seorang

pelaku kejahatan. Selain itu, pelaku kejahatan memiliki bakat jahat yang

dimiliki sejak lahir yang diperoleh dari warisan nenek moyang. Karena

penjahat dilahirkan dengan memiliki warisan tindakan yang jahat.26

2. Teori Psikogenesis

Teori ini mengatakan bahwa perilaku kriminalitas timbul karena faktor

intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi,

rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang

kontroversial dan kecenderungan psikopatologis, artinya perilaku jahat

merupakan reaksi terhadap masalah psikis, misalnya pada keluarga yang


26
Anang Priyanto, Kriminologi, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2012, hlm 19
41

hancur akibat perceraian atau salah asuhan karena orangtua terlalu sibuk

berkarier. Faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan adalah

psikologis dari seorang pelaku kejahatan, maksudnya adalah pelaku

memberikan respons terhadap berbagai macam tekanan kepribadian yang

mendorong mereka untuk melakukan kejahatan. Faktor ini didominasi

karena pribadi seseorang yang tertekan dengan keadaan hidupnya yang tak

kunjung membaik, atau frustasi. Orang yang frustasi cenderung lebih

mudah untuk mengonsumsi alkohol demi membantu mengurangi beban

hidup yang ada dibandingkan dengan orang dalam keadaan normal.

Psikologis seseorang yang terganggu dalam interaksi sosial akan tetap

memiliki kelakuan jahat tanpa melihat situasi dan kondisi. Pelaku

kejahatan cenderung memiliki psikologis yang sedang dalam keadaan

tertekan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang tak kunjung dapat ia

lakukan. Sejalan dengan pemikiran itu bahwa salah satu masalah struktural

yang perlu diperhatikan didalam analisis kejahatan di Indonesia adalah

masalah kemiskinan. Dalam kriminologi, keadaan ini sebenarnya dianggap

sangat penting karena kemiskinan merupakan bentuk kekerasan struktural

dengan amat banyak korban. Kejahatan di Indonesia salah satunya juga

didorong oleh krisis ekonomi, termasuk oleh ketimpangan pendapatan dan

ketidakadilan ekonomi.27

Faktor ekonomi ini membuat orang akan memiliki keinginan untuk

mendapatkan uang dalam waktu yang singkat dan dengan cara yang
27
Indah Sri Utami, Aliran dan Teori dalam Kriminologi , Thafa Media, Yogyakarta, 2012, hlm 48.
42

sederhana, maka timbul lah keinginan seseorang untuk melakukan

kejahatan salah satunya kejahatan pencurian kendaraan bermotor.

Berkaitan dengan faktor ekonomi yang berdampak pada beberapa faktor

lain misal faktor pendidikan. Orang yang tergolong miskin akan identik

dengan pendidikan yang rendah, karena dalam hidupnya tak mampu untuk

membayar biaya pendidikan yang kian lama makin mahal. Karena

berpendidikan rendah maka seseorang akan cenderung untuk menjadi

pengangguran atau hanya memiliki pekerjaan apa adanya, sehingga hal ini

bisa memengaruhi seseorang untuk memiliki penyakit moral atau

kepribadian jahat demi mencapai suatu keinginannya. Teori sosialis

mengemukakan bahwa kejahatan timbul karena adanya tekanan ekonomi

yang tidak seimbang dalam masyarakat.

3. Teori Sosiogenis

Teori ini menjelaskan bahwa penyebab tingkah laku jahat murni sosiologis

atau sosial psikologis adalah pengaruh struktur sosial yang deviatif,

tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial, atau internalisasi simbolis

yang keliru. Teori ini mengungkapkan bahwa penyebab kejahatan karena

dipengaruhi oleh faktor lingkungan sekitarnya, baik lingkungan keluarga,

ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan serta penemuan teknologi.

Teori ini mengarahkan kita bahwa orang memiliki kecenderungan bisa

melakukan kejahatan karena proses meniru keadaan sekelilingnya atau

yang lebih dikenal dengan proses imitation. 28

28
Ende Hasbi Nassarudin, Kriminologi , CV Pustaka Setia, Bandung, 2016, hlm 121-122.
43

Terjadinya kejahatan dalam hal ini dapat timbul akibat tekanan kelompok,

peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Terkait

pembahasan dalam penelitian ini faktor yang terkait dengan timbulnya

kejahatan adalah tekanan dari keluarga yang tidak terima terhadap

perlakuan perawat pada pasien yang dirasa merugikan pasien dan

keluarganya. Kejahatan dapat terjadi akibat oleh lingkungan yang buruk

dan jahat, hal ini dapat saja terjadi pada pelaku kejahatan yang tinggal di

lingkungan yang kurang baik dan mempunyai perilaku yang kurang baik

dalam pergaulan hidupnya. Kejahatan dapat ditimbulkan oleh faktor

lingkungan sekitarnya, baik lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, budaya,

pertahanan keamanan serta penemuan teknologi. Terkait masalah dalam

pembahasan ini, faktor yang menyebabkan kejahatan penganiayaaan pada

petugas kesehatan dapat terkait dengan faktor lingkungan sekitarnya,

khususnya lingkungan keluarga yang kurang dapat menahan emosi

terhadap masalah yang muncul.

4. Teori Subkultural Delikuensi

Menurut teori ini, perilaku jahat adalah sifat-sifat struktur sosial dengan

pola budaya yang khas dari lingkungan dan masyarakat yang dialami oleh

penjahat. Hal itu terjadi karena populasi yang padat, status sosial-

ekonomis penghuninya rendah, kondisi fisik perkampungan yang sangat

buruk, atau juga karena banyak disorganisasi familiar dan sosial bertingkat

tinggi. Faktor ini bisa menjadi faktor penyebab terjadinya kejahatan,


44

maksud dari faktor ini adalah penyebab kejahatan dilihat berdasarkan letak

suatu daerah tertentu tempat terjadinya suatu kejahatan. Dalam hal ini

faktor ini adalah terletak di luar dari diri pelaku kejahatan. Biasanya

daerah perkotaan akan lebih rawan ketimbang di pedesaan untuk

terjadinya suatu kejahatan, misalnya kejahatan terhadap harta benda,

pencurian ataupun perampokan, hal ini terjadi karena biasanya orang-

orang yang tinggal di perkotaan akan memikirkan strata sosial ketimbang

keamanan dirinya, dengan memiliki pola hidup yang konsumtif dan

cenderung foya-foya.29

Berdasarkan uraian di atas, maka menurut peneliti faktor-faktor penyebab

terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga kesehatan yang sedang

bertugas adalah faktor emosi dan faktor lingkungan yang termasuk dalam

teori biologis dan psikogenesis. Namun dalam penelitian ini faktor yang

paling dominan adalah faktor emosi. Penganiayaan terhadap tenaga

kesehatan oleh keluarga pasien seharusnya tidak perlu terjadi. Bila pasien

mendapati kelalaian dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya,

mereka bisa meminta pertanggung jawaban baik secara hukum perdata

atau pidana sesuai undang-undang yang berlaku. Perawat memang tidak

bisa lepas dari kesalahan atau kelalaian. Atas kesalahan atau kelalaian

mereka, pasien bisa meminta pertanggung jawaban.

2. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor


1076/Pid.B/PN Tjk.

29
Chandra Adiputra, Kriminologi dan Kejahatan, Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2014, hlm. 56
45

Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu didasarkan

kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga

didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang dalam tataran

teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian hukum

kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum melalui

putusannya dapat menjadi tolak ukur tercapainya suatu kepastian hukum.

Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar 1945

Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang Nomor 48

tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya sesuatu

kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan dalam Pasal

24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan penjelasan Pasal 1 Ayat

(1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dan Undang-

undang Negara Republik Indonesia tahun 1945 demi terselenggaranya

Negara Hukum Republik Indonesia.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam

ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas

dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali hal-hal

sebagaimana disebut dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebebasan

dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena

tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan

Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat


46

Indonesia. Kemudian Pasal 24 Ayat (2) menegaskan bahwa: kekuasan

kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan

yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan

peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata

usaha negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.

Hasil wawancara dengan Fitri Ramadhan selaku Hakim Pengadilan Negeri

Tanjung Karang menyatakan bahwa berdasarkan Perkara Nomor

1076/Pid.B/PN Tjk menyatakan Terdakwa I. Awang Helmi Christanto Bin

Hi. Budiono, Terdakwa II. Novan Putra Abdillah, S.H., Bin Hi. Budiono

dan Terdakwa III. Didit Maulana Bin Jayani tersebut diatas, terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana di muka

umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap manusia

sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua; Menjatuhkan pidana kepada

Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing

selama 1 (satu) bulan; Menetapkan masa penangkapan dan penahanan

yang telah dijalani Para Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana

yang dijatuhkan; Menetapkan Para Terdakwa tetap ditahan; Serta

Menetapkan barang bukti berupa: 1 (satu) buah kacamata dengan bingkai

warna hitam dikembalikan kepada Terdakwa I, 1 (satu) buah paving blok

dirampas untuk dimusnahkan serta 1 (satu) buah flashdisk yang

menyimpan rekaman video tetap terlampir dalam berkas perkara.


47

Hasil wawancara dengan Fitri Ramadhan selaku Hakim Pengadilan Negeri

Tanjung Karang menyatakan bahwa pada Perkara Nomor 1076/Pid.B/PN

Tjk, hal-hal yang meringankan adalah tenaga kesehatan mengambil

kebijakan sendiri tanpa menanyakan kepada Kepala Puskesmas yang

seharusnya dapat dipinjamkan dengan tetap mengikuti SOP yang berlaku,

saksi (dokter) melayani dengan kurang professional, terdakwa melakukan

tindakan dengan perasaan kesal karena orang tua terdakwa meninggal

dunia pada saat pandemi Covid-19. Sedangkan hal yang memberatkan

adalah perbuatan terdakwa mengakibatkan orang lain mengalami luka.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
48

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan

bahwa:

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga

kesehatan yang sedang bertugas di Puskesmas Kedaton Bandar Lampung

adalah faktor emosi dan faktor lingkungan. Namun dalam penelitian ini

faktor yang paling dominan adalah faktor emosi. Penganiayaan terhadap

tenaga kesehatan oleh keluarga pasien seharusnya tidak perlu terjadi. Bila

pasien mendapati kelalaian dokter, perawat, atau tenaga kesehatan lainnya,

mereka bisa meminta pertanggung jawaban baik secara hukum perdata

atau pidana sesuai undang-undang yang berlaku. Perawat memang tidak

bisa lepas dari kesalahan atau kelalaian. Atas kesalahan atau kelalaian

mereka, pasien bisa meminta pertanggungjawaban.

2. Dasar pertimbangan Hakim dalam memutus Perkara Nomor

1076/Pid.B/PN Tjk adalah hal-hal yang meringankan adalah tenaga

kesehatan mengambil kebijakan sendiri tanpa menanyakan kepada Kepala

Puskesmas yang seharusnya dapat dipinjamkan dengan tetap mengikuti

SOP yang berlaku, saksi (dokter) melayani dengan kurang professional,

terdakwa melakukan tindakan dengan perasaan kesal karena orang tua

terdakwa meninggal dunia pada saat pandemi Covid-19. Sedangkan hal

yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa mengakibatkan orang lain

mengalami luka.

B. Saran
49

Berdasarkan simpulan di atas, maka dapat diberikan saran antara lain:

1. Penegak Hukum diharapkan untuk dapat mencari solusi terhadap faktor-

faktor penyebab terjadinya kejahatan penganiayaan terhadap tenaga

kesehatan, upaya tersebut dapat dilakukan dengan cara preventif seperti

penyuluhan terhadap masyarakat bahwa penganiayaan masuk dalam ranah

pidana dan akan menerima konsekuensi dari perbuatannya. Serta upaya

represif yaitu dengan melakukan penyelidikan, penyidikan, penututan dan

putusan pengadilan terhadap pelaku penganiayaan agar memberikan efek

jera.

2. Penegak Hukum dalam menangani kejahatan penganiayaan terhadap

tenaga kesehatan yang sedang bertugas hendaknya lebih diutamakan

kesepakatan damai dan penyelesaian secara kekeluargaan sebagai acuan

untuk menerapkan pendekatan restorative justice bagi penganiayaan-

penganiayaan ringan yang terdapat dalam KUHP sehingga dapat menekan

jumlah terpidana di lembaga-lembaga pemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU-BUKU
50

A Qirom Samsudin M, Sumaryono E, 1985. Kejahatan Anak Suatu Tinjauan


Dari Segi Psikologis dan Hukum, Liberti, Yogyakarta.

Abdul Kadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya
Bhakti, Bandung.

Barda Nawawi Arief. 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan


Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Bonger, 1981, Pengantar Tentang Kriminologi, PT. Pembangunan Ghalia


Indonesia, Jakarta.

Leden Marpaung, 2002, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh


(Pemberantas Dan Prevensinya), Sinar Grafika, Jakarta.

Muladi, 1985, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung.

Purwadarminta, 1999, Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka, Jakarta.

Romli Atmasasmita, 1992, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Tarsito,


Bandung.

Seodjono D, 1976, Penanggulangan Kejahatan (Crime Prevention), Alumni,


Bandung.

Simanjuntak B dan Chairil Ali, 1980, Cakrawala Baru Kriminologi, Trasito,


Bandung.

Soedarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung.

Soerjono Soekanto, 2004, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta.

Sudikno Mertokusumo, 2006, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Penerbit


Liberty, Yogyakarta.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun


1958 tentang Pemberlakukan Peraturan Hukum Pidana di Seluruh
Indonesia (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana


(KUHAP).
51

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik


Indonesia.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik


Indonesia.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-


Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman Republik
Indonesia.

Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 yang kemudian diperbaharuhi


dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang
Pedoman Pelaksanaan KUHAP.

C. SUMBER LAIN

Denza Perdana, 2022, Tidak Perlu Kekerasan, Pasien Bisa Lakukan Ini kalau
Ada Kelalaian Perawat, diakses dari
https://www.suarasurabaya.net/senggang/2021/tidak-perlu-kekerasan-
pasien-bisa-lakukan-ini-kalau-ada-kelalaian-perawat/.

Ega Yudha, https://www.jpnn.com/news/soal-kasus-penganiayaan-perawat-


puskesmas-kedaton-polisi-bilang-begini, Tanggal 4 Maret 2022, Pukul
12.10 WIB.

Anda mungkin juga menyukai