Anda di halaman 1dari 7

Nama : Adji Fauzan Rifky Mata Kuliah : Etika dan Hukum Kesehatan

No.BP: 1911212009 Dosen Pengampu: Ikhsan Yusda, PP., SH., LLM.

Kelas : IKM A1

Analisis Kasus Pelanggaran Hukum Kesehatan

I. Kasus 1
1. Judul kasus: Bocornya data rekam medis oleh Staf Humas RSUD Langsa.
2. Kronologis/ringkasan kasus: Kasus ini terjadi di Riau pada bulan Mei 2017 silam.
Seorang oknum telah membocorkan rekam medis pasien ke luar apalagi ke media
yang dapat diakses oleh banyak pihak. Dengan keluarnya rekam medis tersebut
membuat keluarga korban yang sudah meninggal sangat malu akibat ulah oknum yang
tidak bertanggung jawab di RSUD Langsa tersebut, yang seharusnya tidak boleh
terjadi. Sehingga oknum yang diketahui adalah staff humas di RSUD Langsa
diperiksa oleh polisi dan managemen rumah sakit serta harus bertanggungjawab
dalam kasus keluarnya berita rekam medis di beberapa media.
3. Permasalahan yang dihadapi: Dibocorkannya hasil rekam medis pasien yang sudah
meninggal ke publik oleh salah satu oknum staff humas RSUD Langsa yang membuat
malu keluarga pasien.
4. Solusi terbaik menurut saya: Menurut saya, kasus ini perlu ditindak oleh pihak yang
berwenang secepat dan seadil mungkin sebagai pembelajaran kedepannya agar tidak
ada keteledoran seperti terulang kembali. Selain itu, staff HRD RSUD Langsa perlu
melakukan evaluasi terhadap kinerja seluruh staff rumah sakit dan memperketat
seleksi masuk staff, terutama pada tes psikologis untuk menjamin SDM yang
bermutu.
5. Produk-produk hukum kesehatan yang dilanggar: Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3)
Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam
Medis; Pasal 12 ayat (2) Peraturan Mentri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis; Pasal 14 peraturan mentri
kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis; Pasal 70 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan.
6. Kesimpulan dan saran saya atas kasus tersebut: Dapat disimpulkan bahwa staff rumah
sakit terkesan masih bebas membuka rekam medis pasien tanpa adanya rasa tanggung
jawab dalam menjaga privasi pasien. Hal ini membutuhkan evaluasi dari pihak HRD
RSUD Langsa terhadap kinerja staff rumah sakit dan memastikan terwujudnya
rekrutmen yang tepat.

II. Kasus 2
1. Judul kasus: Psikiater di klinik membuka rekam medis konseling perceraian suami
istri di tahun 2013.
2. Kronologis/ringkasan kasus: Seorang psikolog Sherly Solihin dan klinik tempatnya
bekerja yakni ICAC Profesional Service digugat ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan. Mereka digugat lantaran diduga telah melanggar kode etik psikologi. Gugatan
ini menyusul gagalnya dalam proses mediasi oleh PN Selatan antara pihak tergugat
yakni Sherly dan ICAC dengan pihak penggugat seorang warga Negara (WN)
Australia bernama Denis Anthony Michael Keet. Pengaduan tersebut disebabkan
pihak tergugat telah mengeluarkan rekam medis dari proses konseling perceraian
antara pihak tergugat dan penggugat Denis beserta istrinya Yeane Sailan.
3. Permasalahan yang dihadapi: Dibukanya hasil rekam medis konseling perceraian
klien suami istri.
4. Solusi terbaik menurut saya: Menurut saya, diperlukannya rasa tanggung jawab moral
pada diri setiap psikiater untuk melaksanakan kode etik psikologi agar tidak
merugikan kliennya.
5. Produk-produk hukum kesehatan yang dilanggar: Kode etik psikologi Indonesia pasal
2 mengenai Prinsip Umum; Pasal 4 mengenai Penyalahgunaan di Bidang Psikologi;
6. Kesimpulan dan saran saya atas kasus tersebut: Dapat disimpulkan bahwa sang
psikolog belum sepenuhnya memiliki rasa tanggung jawab akan privasi kliennya dan
sebaiknya penanaman akan kepatuhan terhadap kode etik perlu ditekankan bagi para
calon psikiater.

III. Kasus 3
1. Judul kasus: Pembukaan rekam medis pasien meninggal di RSUD Karang Anyar
kepada bidan, mahasiswa koass, kepolisian, dan lain-lain.
2. Kronologis/ringkasan kasus: Rumah Sakit Umum Daerah Karanganyar sudah
memiliki kebijakan tentang dokumen rekam medis pasien meninggal yang tertuang
dalam prosedur tetap dokumen kematian, akan tetapi kebijakan tersebut belum
mengatur tentang lama penyimpanan baik lama penyimpanan dokumen rekam medis
pasien meninggal bayi maupun pasien meninggal dewasa. Dikarenakan prosedur tetap
yang mengatur tentang prosedur peminjaman dokumen rekam medis pasien
meninggal di RSUD Karanganyar belum ada, maka untuk peminjaman dokumen
rekam medis pasien meninggal masih menggunakan prosedur tetap tentang
peminjaman dokumen rekam medis untuk keperluan penelitian dan peminjaman
dokumen rekam medis untuk keperluan lain.
3. Permasalahan yang dihadapi: Kurang detilnya pembuatan aturan mengenai prosedur
peminjaman dokumen rekam medis, terutama peminjaman dokumen rekam medis
pasien yang meninggal, sehingga menimbulkan masalah di masa depan.
4. Solusi terbaik menurut saya: Menurut saya, permasalahan ini tidak perlu terjadi jika
pihak rumah sakit lebih memperdetil aturan mengenai peminjaman dokumen rekam
medis, terutama rekam medis pasien yang meninggal.
5. Produk-produk hukum kesehatan yang dilanggar : Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3)
Peraturan Mentri Kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam
Medis; Pasal 12 ayat(2) Peraturan Mentri Kesehatan Nomor
269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis; Pasal 14 peraturan mentri
kesehatan Nomor 269/MENKES/PER/III/2008 tentang Rekam Medis; Pasal 70 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Kesehatan.
6. Kesimpulan dan saran saya atas kasus tersebut: Dapat disimpulkan bahwa pembuatan
aturan mengenai peminjaman dokumen rekam medis belum lengkap, terutama rekam
medis pasien yang meninggal. Hal ini menyebabkan perlunya penambahan aturan
yang lebih spesifik terkait permasalahan ini.

IV. Kasus 4
1. Judul kasus: dugaan malpraktek pada seorang pemuda dari Kecamatan Campalagian
Polewali Mandar Sulawesi Barat, yang berobat ke RSUD Polewali Mandar.
2. Kronologis/ringkasan kasus: Pada awal bulan Februari 2019, seorang pemuda
bernama Herman merasakan sakit di pergelangan tangan dan jari-jarinya. Pemuda asal
Kecamatan Campalgian, Polewali Mandar, Sulawesi Barat ini kemudian berobat ke
RSUD Polewali Mandar setelah mendapat rujukan dari Puskesmas Campalagian. Dia
kemudian mendapatkan resep dokter dan menjalani terapi. Akan tetapi, penyakit
Herman bukannya sembuh, ia justru malah lumpuh.Keluarganya pun menduga
anaknya tersebut menjadi korba malpraktek dokter RSUD Polewali Mandar.
3. Permasalahan yang dihadapi: Terjadinya kelalaian dalam pelayanan (malpraktek),
sehingga pasien menderita kelumpuhan setelah diobati oleh dokter.
4. Solusi terbaik menurut saya: Menurut saya, kasus ini merupakan malpraktek yang
sangat parah hingga menyebabkan pasien mengalami kelumpuhan. Oknum rumah
sakit yang menangani pasien perlu diperiksa oleh pihak yang berwajib, sehingga
terlihat jelas dimana letak tindakan malpraktek yang merugikan pasien. Selain itu,
dokter harus berhati-hati dalam melakukan pemeriksaan agar obat yang diberikan
tidak berakibat buruk bagi pasien.
5. Produk2 hukum kesehatan yang dilanggar: UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan; UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; Pasal 1 angka 3
Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
Indonesia.
6. Kesimpulan dan saran saya atas kasus tersebut: Dapat disimpulkan bahwa oknum
dokter yang memberikan pelayanan kurang berhati-hati dalam menangani pasiennya
sehingga terjadi kasus malpraktek. Sebaiknya, sikap hati-hati dalam menegakkan
diagnosa ini dimiliki oleh setiap dokter untuk menghindari terjadinya kasus seperti ini
kedepannya.

V. Kasus 5
1. Judul kasus: Meninggalnya pasien yang berobat ke dr. Setianingrum yang diberi
injeksi Streptomycin pada tahun 1979.
2. Kronologis/ringkasan kasus: Pada tahun 1979, dokter Setyaningrum menerima pasien,
yaitu Nyonya Rusmini (28 tahun). Nyonya Rusmini ini merupakan istri dari Kapten
Kartono (seorang anggota TNI). Nyonya Rusmini ini menderita pharyngitis (sakit
radang tenggorokan). Pada saat itu, dokter Setyaningrum langsung menginjeksi
pasiennya dengan Streptomycin. Streptomycin ini berguna untuk mengobati
tuberKulosis (TB) dan infeksi yang disebabkan oleh bakteri tertentu. Ternyata,
beberapa menit kemudian, Rusmini mual dan kemudian muntah. Dokter
Setyaningrum sadar bahwa pasiennya itu alergi dengan penisilin. Oleh karena itu, ia
segera menginjeksi Nyonya rusmini dengan cortisone. Cortisone merupakan obat
antialergi. Tapi, hal itu tak membuat perubahan. Tindakan itu malah memperburuk
kondisi Nyonya Rusmini. Dalam keadaan yang gawat, dokter Setyaningrum
meminumkan kopi kepada Nyonya Rusmini. Tapi, tetap juga tidak ada perubahan
positif. Karena itu, sang dokter kembali memberi suntikan delladryl (juga obat
antialergi). Nyonya Rusmini semakin lemas, dan tekanan darahnya semakin rendah.
Dalam keadaan gawat itu, dokter Setyaningrum segera mengirim pasiennya ke RSU
R.A.A. Soewondo, Pati, sekitar 5 km dari desa itu untuk mendapat perawatan. Pada
saat itu, kendaraan untuk mengantarkan ke rumah sakit, belum semudah yang
dibayangkan sekarang. Untuk mencari kendaraan saja memerlukan waktu beberapa
menit. Setelah lima belas menit sampai di RSU Pati, pasien tidak tertolong lagi.
Nyonya Rusmini meninggal dunia. Kapten Kartono kemudian melaporkan kejadian
itu kepada polisi. Pengadilan Negeri Pati kemudian memutuskan bahwa dokter
Setyaningrum bersalah melakukan kejahatan tersebut pada karena keteledorannya
menyebabkan orang lain meninggal dunia dan menghukum terdakwa dengan
hukuman penjara 3 bulan dengan masa percobaan 10 bulan.
3. Permasalahan yang dihadapi: Keteledoran sang dokter untuk memberitahukan kontra-
indikasi sebuah obat sebelum memberikannya kepada pasiennya, sehingga pasien
mengalami reaksi alergi terhadap obat yang diberikan. Selain itu, dokter juga panik
dan menginjeksikan lagi berbagai cairan antialergi tanpa pertimbangan yang matang,
sehingga memperburuk keadaan pasien hingga meninggal.
4. Solusi terbaik menurut saya: Menurut saya, sudah semestinya seorang dokter
memberitahukan kepada pasiennya info-info terkait obat yang akan diberikan untuk
menghindari kemungkinan terjadinya alergi sebagai akibat dari penggunaan obat
tersebut. Selain itu diperlukannya proses hukum dalam menindak pelaku malpraktek
sebagai peringatan dan menimbulkan rasa jera dalam masyarakat.
5. Produk-produk hukum kesehatan yang dilanggar : UU No. 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan; UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; Pasal 1 angka 3
Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Kerja Majelis Kehormatan Etika Kedokteran
Indonesia
6. Kesimpulan dan saran saya atas kasus tersebut: Menurut saya, dokter Setyaningum
telah gegabah memberikan injeksi tanpa bertanya dahulu mengenai riwayat kesehatan
pasiennya sehingga menyebabkan terjadinya reaksi alergi yang kemudian dia
berusaha menghilangkannya dengan memberikan injeksi antialergi lain secara tidak
terkontrol sehingga berujung kematian. Hal ini dapat dihindari kedepannya dengan
selalu berhati-hati dalam memberikan penanganan pada pasien dan tidak panik dalam
menghadapi kemungkinan yang tidak terduga.
VI. Kasus 6
1. Judul kasus: Bayi Debora di RS Mitra Keluarga Kalideres Jakarta tahun 2017
2. Kronologis/ringkasan kasus: Pada Minggu dini hari tanggal 3 September 2017, bayi
Debora dibawa ke Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres karena pernapasannya
tersumbat sehingga mengalami sianosis (tubuh membiru). Awalnya, staf medis
memberikan pertolongan pertama, namun dokter kemudian memberi tahu bahwa
Debora harus dimasukkan ke ruang pediatric intensive care unit (PICU) dan keluarga
harus membayar uang muka berjumlah belasan juta rupiah terlebih dahulu. Akhirnya,
Debora tak bisa dirawat di ruang PICU karena uang muka tidak mencukupi dan
berakhir meninggal dunia karena terlambat untuk ditangani.
3. Permasalahan yang dihadapi: Ketidaksediaan rumah sakit untuk menangani terlebih
dahulu pasien karena tidak melayani pasien BPJS Kesehatan dan memberikan
penanganan terlebih dahulu pada bayi Debora.
4. Solusi terbaik menurut saya: Menurut saya, rumah sakit seharusnya menerapkan
prinsip ekonomi kesehatan dimana penanganan pasien lebih didahulukan daripada
urusan keuangan. Diperlukan restrukturisasi manajemen rumah sakit untuk
memperbaiki sistem yang kurang baik ini.
5. Produk2 hukum kesehatan yang dilanggar: UU 40 Tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Pasal 23 Ayat 2; UU Nomor 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan Pasal 32 ayat 1 dan 2; UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
85; UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 190.
6. Kesimpulan dan saran saya atas kasus tersebut: Dapat disimpulkan bahwa rumah sakit
yang bersangkutan masih berorientasi pada profit dan tidak menerapkan asas ekonomi
kesehatan. Untuk menanggulangi terulangnya kejadian yang sama, diharapkan tiap
rumah sakit swasta berafiliasi dengan BPJS Kesehatan sehingga tidak ada lagi alasan
untuk menolak pasien BPJS.

VII. Kasus 7
1. Judul kasus: Tertukarnya gas O2 dengan Gas CO2 saat tindakan operasi di RSUD
Dokter M. Yunus Bengkulu tahun 2001
2. Kronologis/ringkasan kasus: Arief Budianto (16), putra bungsu Keluarga Djuharman
mengalami patah kaki kanan. Hasil diagnosis dokter menyebutkan, pemuda tersebut
harus menjalani operasi. Pada 22 Maret 2001, Arief dinyatakan siap dioperasi. Sekitar
pukul 10.00 WIB, dokter spesialis ortopedi Dicky Rachamaniady dan asistennya, serta
dibantu beberapa perawat membedah kaki Arief. Sampai di situ, semua masih berjalan
normal. Keadaan mulai berubah saat Dicky memasukkan gas N2O dan oksigen
melalui hidung Arief untuk pembiusan. Kala itu, pembedahan sempat dihentikan
beberapa saat. Sebab, tubuh Arief bereaksi tak seperti yang dikehendaki. Operasi baru
dilanjutkan setelah tubuh pasien kembali normal. Tapi setelah pembedahan
pengambilan dan pemasangan pen hampir selesai, tiba-tiba tekanan darah Arief turun.
Segala usaha standar prosedural kedokteran dilakukan untuk menyelamatkan Arief.
Namun pada akhirnya, Arief tak terselamatkan.
3. Permasalahan yang dihadapi: Kelalaian pihak penyedia tabung gas medis dalam
pengisian tabung dan kelalaian rumah sakit dalam memeriksa isi tabung sebelum
digunakan.
4. Solusi terbaik menurut saya: Menurut saya, diperlukan protokol pemeriksaan tabung
di tiap-tiap rumah sakit untuk menghindari kejadian seperti ini terulang lagi. Selain
itu, pihak berwajib perlu memeriksa perusahaan penyedia tabung gas medis tersebut
karena telah melakukan kelalaian yang menghilangkan nyawa seseorang.
5. Produk2 hukum kesehatan yang dilanggar: Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1439/Menkes/SK/XI/2002 Tentang Penggunaan Gas Medis Pada
Sarana Pelayanan Kesehatan; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
1992 Tentang Kesehatan Pasal 81 ayat (2) huruf b jo dan Pasal 40 ayat (2).
6. Kesimpulan dan saran anda atas kasus tersebut: Dapat disimpulkan bahwa terjadi
kelalaian dari perusahaan penyedia tabung gas medis dalam pengisian tabung dan
kelalaian rumah sakit dalam memeriksa isi tabung sebelum digunakan. Diperlukan
evaluasi, baik oleh perusahaan penyedia terhadap ketepatan dalam pengisian gas
medis dan oleh pihak rumah sakit sendiri, yaitu dengan mengadakan mekanisme
pemeriksaan terhadap tabung gas medis sebelum digunakan.

Anda mungkin juga menyukai