1.18 Buku Panduan Praktis Bagi Pengajar Klinis Bab 2 Af
1.18 Buku Panduan Praktis Bagi Pengajar Klinis Bab 2 Af
Edisi Pertama
Editor
dr. Ardi Findyartini, PhD
Prof. dr. Anwar Jusuf, SpP(K)
Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, SpKK(K)
Penerbit:
Sagung Seto
Jakarta, 2017
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Topik 2
Prinsip Pengajaran
Penalaran Klinis
PRINSIP PENGAJARAN PENALARAN KLINIS
Ardi Findyartini
BUTIR PENTING
Penalaran klinis merupakan suatu kemampuan penting yang perlu dimiliki oleh seorang dokter
dan dokter spesialis.
Kemampuan penalaran klinis perlu diajarkan oleh para pengajar klinis melalui berbagai cara
yang sistematik.
Kemampuan ini juga perlu dipelajari secara individu oleh mahasiswa atau residen karena
perkembangannya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman klinis yang dimiliki,
pengenalan berbagai strategi penalaran klinis, kemampuan untuk menilai proses berpikir dan
kapasitas diri, serta usaha untuk mengenali lingkungan klinis yang bervariasi.
Strategi pengajaran dan pembelajaran penalaran klinis memerlukan upaya pengajar klinis untuk
mendiagnosis penyakit atau kasus yang dihadapi, dan mendiagnosis tahapan kemampuan
penalaran klinis mahasiswa atau residen.
Tingkat kemampuan penalaran klinis seorang dokter ahli (pengajar klinis) dan mahasiswa atau
residen berbeda, sehingga berimplikasi pada proses pengajaran-pembelajaran penalaran klinis.
PENDAHULUAN
Pentingnya diagnosis dan terapi yang akurat dan tepat merupakan salah satu hal mendasar dalam
praktik klinis yang mengutamakan keselamatan pasien dan dapat mencegah terjadinya kesalahan. 1
Penalaran klinis merupakan suatu kemampuan yang sangat penting bagi seorang dokter. Penerapan
kemampuan ini menunjang pengambilan keputusan klinis secara tepat dalam seluruh aspek
tatalaksana pasien. Kemampuan penalaran klinis berkembang secara bertahap sejak awal
pendidikan dokter dan dokter spesialis hingga makin terlatih di tingkat ahli. Meskipun pada akhirnya
kemampuan penalaran klinis ini dapat dicapai oleh seorang dokter dan dokter spesialis di akhir
pendidikannya, pengembangan kemampuan ini perlu disadari oleh peserta didik dan pengajar klinis,
dan sebenarnya memerlukan dukungan yang baik dari pengajar klinis yang umumnya adalah ahli di
bidang masing-masing.
Penegakan diagnosis yang merupakan bagian penting proses penalaran klinis secara keseluruhan
merupakan suatu proses yang kompleks, yang memerlukan dasar pengetahuan, pengalaman klinis
dan kemampuan berpikir. Proses ini juga dipengaruhi oleh karakteristik kasus klinis yang spesifik.
Keluhan gejala sesak napas pada orang dewasa misalnya, dapat merupakan karakteristik untuk
masalah penyakit jantung atau paru, dan tidak akan pernah dapat diputuskan tanpa elaborasi data
klinis lain yang mendukung atau menolak suatu kemungkinan diagnosis. Bagi mahasiswa dan dokter
pemula, tumpang tindih gejala dan tanda suatu penyakit dengan penyakit lain juga dapat
membingungkan. Dengan demikian, pengajaran penalaran klinis merupakan suatu aspek penting
yang mendasari pengembangan kemampuan tersebut bagi mahasiswa dan residen.
Penalaran klinis adalah suatu proses pencarian informasi yang bersifat reflektif dan melibatkan
pasien, sehingga dapat diperoleh pemahaman masalah klinis pasien secara mendalam dan sesuai
konteks. Tujuan pencarian informasi dan pemahaman masalah klinis ini ialah untuk menghasilkan
keputusan klinis dengan dasar yang kuat.2 Penalaran klinis disebut juga proses pengambilan
keputusan klinis.
Menurut Bowen,3 proses penalaran klinis, seperti halnya yang dilakukan oleh dokter atau dokter
spesialis di ruang praktik, umumnya memerlukan tahapan berikut ini:
1. Pengumpulan data pasien (anamnesis, pemeriksaan fisis pemeriksaan penunjang)
2. Perumusan masalah (problem representation)
3. Perumusan hipotesis
4. Proses analisis berdasarkan pengetahuan dan pengalaman klinis yang relevan
5. Penegakan diagnosis dan penetapan tata laksana
Keseluruhan proses ini merupakan suatu siklus yang dapat berulang. Proses ini memerlukan tiga
komponen utama,2 yang dapat dilihat pada gambar 3.1.
Pengalaman klinis
Penalaran
klinis
Proses penalaran klinis tidak hanya ditentukan oleh jumlah pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan
yang dimiliki oleh peserta didik dan dokter perlu terangkum dengan baik dan mudah diaplikasikan
saat diperlukan. Ada tidaknya pengetahuan biomedis dan klinis yang diperlukan untuk proses
penalaran klinis, menurut Bordage & Lemieux dapat dikategorikan mulai dari pengetahuan yang
terbatas (low knowledge) hingga ke pengetahuan yang sangat banyak dan terkompilasi dengan
sangat baik (high compiled knowledge). Bila dihubungkan dengan tahap pendidikan dan keahlian,
karakteristik pengetahuan untuk penalaran klinis dapat dilihat dalam Gambar 3.2. 5-7
Tahap ahli
Tahap awal pendidikan
pendidikan
Ilustrasi kasus di atas akan dipergunakan untuk menggambarkan strategi penegakan diagnosis suatu
penyakit yang dibagi dalam 4 kategori: 8
Diagnosis
Pattern recognition
Terapi
Seluruh pengetahuan yang dimiliki oleh seorang dokter, baik yang diperoleh dalam proses
pendidikan maupun dari pengalaman, dimanfaatkan untuk dapat menegakkan diagnosis dan
menetapkan terapi terbaik untuk pasien. Ditinjau dari detil proses berpikir yang disadari, banyaknya
data yang dikumpulkan dan kecepatannya, penalaran klinis dibagi ke dalam proses penalaran klinis
analitis dan non-analitis.9 Proses penalaran klinis analitis merupakan suatu proses penalaran klinis
yang banyak diterapkan oleh pemula dan juga oleh dokter ahli, saat menghadapi kasus yang sulit
atau gambaran kasus yang tidak biasa ditemui. Dalam pendekatan ini, penegakan diagnosis
didasarkan pada proses berpikir yang disadari, dan umumnya menggunakan pendekatan perumusan
hipotesis-deduktif, serta penalaran klinis kausal. Proses penalaran klinis yang lebih cepat dan
cenderung tidak disadari karena pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki sudah sangat terangkai
dan mudah diakses, disebut sebagai proses penalaran klinis non-analitis. Proses penalaran klinis
semacam ini diterapkan oleh dokter ahli, terutama dalam menghadapi kasus yang banyak dan sering
ditemui dalam praktik sehari-hari. Kedua pendekatan ini sebenarnya saling mengisi, dan seorang
dokter ahli akan menggunakan keduanya secara fleksibel sesuai dengan tingkat kesulitan kasus yang
dihadapi.10-12
Dengan banyaknya kasus klinis yang dihadapi sehari-hari, bila seluruh penegakan diagnosisnya
dilakukan secara analitis, maka akan sangat melelahkan bagi seorang dokter. Proses non-analitis
yang diterapkan bukan berarti proses berpikir yang sistematis tidak dilakukan, melainkan proses
berpikir dalam penegakan diagnosis terhadap kasus yang sudah sering dihadapi tersebut sudah
terkompilasi dengan sangat baik dan dapat dilakukan dengan sangat mudah. Seorang dokter ahli
dapat melakukan pengkajian ulang terhadap diagnosis dan terapi yang telah ditetapkan, karena pada
dasarnya penalaran klinis merupakan suatu proses yang berkelanjutan, dan memerlukan
kemampuan metakognisi yang baik. Baik pendekatan analitis dan non-analitis dalam penalaran klinis
sangat penting dipahami oleh seorang pengajar klinis. Bagi mahasiswa atau residen di tahap awal
pendidikan, seluruh kasus klinis yang dihadapi dapat merupakan pengalaman baru dan kasus yang
kompleks. Dengan pengetahuan yang masih terbatas, pendekatan klinis analitis akan lebih banyak
diterapkan oleh mahasiswa atau residen pemula.
Berdasarkan gabungan berbagai teori (teori pendekatan analitis dan non-analitis (dual process
theory)), teori pengaturan pribadi (self regulation theory) dan socio-cognitive theory, Patel dkk.
mengusulkan pendekatan trans-teori (trans-theoretical approach) dalam pengajaran penalaran klinis
di tatanan praktik klinik yang sebenarnya. Teori ini mengusulkan agar pengajar klinis menimbang
berbagai hal berikut dalam pengajaran penalaran klinis: 13
Secara keseluruhan, teori ini merangkum berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
pengajaran dan pembelajaran penalaran klinis di dalam tatanan klinis yang sebenarnya. Berbagai tips
untuk pengajar klinis akan mengelaborasi lebih lanjut keempat aspek di atas.
APLIKASI
Dengan menimbang prinsip-prinsip penalaran klinis di atas, seorang pengajar klinis diharapkan dapat
tetap memanfaatkan keahliannya untuk mengajarkan proses penegakan diagnosis dan terapi suatu
kasus klinis kepada mahasiswa atau residen. Dalam mengajarkan penalaran klinis, hal pertama yang
patut disadari oleh seorang pengajar klinis adalah, bahwa tingkat keahlian antara pengajar klinis dan
mahasiswa atau residen yang dihadapi berbeda. Selain menegakkan diagnosis kasus klinis yang
dihadapi, seorang pengajar klinis juga perlu ‘mendiagnosis’ kemampuan penalaran klinis mahasiswa
atau residen sehingga dapat memberikan pengajaran yang tepat dan umpan balik yang konstruktif.
Beberapa tips pengajaran penalaran klinis adalah sebagai berikut: 3, 14
1. Memaksimalkan pengalaman klinis mahasiswa dalam setiap kasus klinis yang dihadapi
Pengajar klinis dapat memfasilitasi pengalaman belajar mahasiswa dengan meminta mahasiswa
mempersiapkan diri sebelum bertemu pasien atau mendiskusikan kasus, misalnya dengan
menganjurkan bahan bacaan atau melakukan pengarahan sebelum bertemu dengan pasien di
rawat inap. Pengajar klinis juga perlu menyediakan waktu yang cukup untuk mendampingi
mahasiswa dalam melakukan pengumpulan data klinis dan evaluasi terhadap pasien yang
dihadapi. Setelah itu, pengajar klinis perlu memberi waktu kepada mahasiswa untuk melakukan
refleksi. Dengan langkah-langkah ini, pengajar klinis sepenuhnya menunjukkan kesadaran, bahwa
perkembangan kemampuan penalaran klinis mahasiswa masih di tahap pemula.
11. Menyampaikan proses penalaran klinis dosen pendidik klinis kepada mahasiswa atau residen
pada tahap umpan balik
Saat memberikan umpan balik, pengajar klinis perlu mencontohkan proses penalaran klinisnya
dalam menetapkan diagnosis atau tata laksana suatu penyakit. Demonstrasi ini penting untuk
memberikan gambaran kepada mahasiswa atau residen tentang analisis terhadap gejala dan
tanda klinis yang penting (key features), proses perumusan masalah, strategi penalaran klinis
yang digunakan (kausal, deterministik, probabilistik, pattern recognition) dan upaya untuk
mengontrol kembali adakah aspek yang belum dipertimbangkan dalam proses penalaran klinis.
Pengajar klinis dapat juga memperkenalkan implementasi strategi penalaran klinis yang berbeda
untuk kasus yang sering dihadapi dan kasus yang jarang. Pengajar klinis dapat juga menimbang
untuk mendiskusikan kasus-kasus yang sering ditemukan di tahap awal pendidikan, dan makin
meningkat pada pembahasan kasus yang lebih kompleks pada tahap pendidikan lanjut.
PELAKSANAAN
Dalam menerapkan prinsip pengajaran penalaran klinis, pengajar klinis perlu menyadari berbagai
sumber kesalahan dalam perumusan diagnosis. Berbagai hal dapat menjadi sumber ketidaktepatan
diagnosis yang ditegakkan, yaitu: 8
1. Perumusan hipotesis yang kurang akurat yang dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan
atau illness script.
2. Representasi masalah klinis yang tidak akurat, yang dapat terjadi karena:
a. Kegagalan dalam pengumpulan data
Kurang atau tidak akuratnya data anamnesis dan/atau pemeriksaan fisis
Kegagalan mendapatkan data laboratorium atau pemeriksaan penunjang penting
b. Kegagalan dalam analisis data
Kesalahan dalam verifikasi data (contoh, premature closure atau pengambilan
kesimpulan terlalu dini)
Kesalahan dalam perumusan hipotesis
Kesalahan dalam melakukan estimasi prevalensi penyakit (base rate error)
Kesalahan dalam interpretasi data pemeriksaan penunjang
Kesalahan dalam menghubungkan kasus dengan penjelasan penyebabnya
Terlalu mengandalkan aksiom atau suatu kebenaran klinis
Selain mendiskusikan kemungkinan kesalahan yang dapat terjadi dalam penegakan diagnosis,
pengajar klinis juga perlu memerhatikan, bahwa tahap perkembangan penalaran klinis mahasiswa
atau residen bersifat individual. Contoh kasus berikut ini menggambarkan hal tersebut.
Seorang perempuan berusial 32 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan diare dalam waktu
yang lama. Pasien juga mengeluhkan demam yang tak jelas sebabnya sejak 3 minggu yang lalu.
Pasien merasa cepat lelah, tidak nafsu makan, mengalami penurunan berat badan, dan nyeri
tenggorok, disertai batuk berdahak sejak 2 minggu terakhir. Pasien bekerja sebagai petugas
administrasi di kantor ekspor-impor, pernah menikah dan tidak memiliki anak. Suami pasien telah
meninggal dan memiliki riwayat penggunaan obat suntik.
Dosen klinis dapat menanyakan kepada kelompok mahasiswa tentang kemungkinan diagnosis yang
dipikirkan oleh mahasiswa, “apakah diagnosis yang paling mungkin pada pasien ini?”. Ilustrasi dalam
diagram berikut ini menunjukan, bahwa respon dan alasan yang diberikan oleh mahasiswa dapat
membantu dosen klinis ‘mendiagnosis’ tahap perkembangan penalaran klinis masing-masing
mahasiswa.
Mahasiswa 1; diagnosis yang Menunjukkan pengetahuan yang sangat kurang
paling mungkin adalah Mahasiswa hanya mempertimbangkan diare
Irritable Bowel Syndrome dalam jangka waktu panjang
Gambar 3.4. Berbagai Respons Mahasiswa terhadap Masalah Klinis dan ‘Diagnosis’ Mahasiswa yang
dapat Ditegakkan oleh Dosen Pendidik Klinis
Setelah mengidentifikasi tahap perkembangan penalaran klinis, pengajar klinis perlu memberikan
umpan balik yang konstruktif, sehingga mahasiswa atau residen memahami kelebihan dan
kekurangannya, dan dapat melakukan berbagai tindakan untuk perbaikan lebih lanjut.
SIMPULAN
Proses pengembangan kemampuan penalaran klinis memerlukan upaya khusus dari pengajar klinis
dan mahasiswa atau residen. Penalaran klinis mahasiswa atau residen sulit berkembang dengan baik
selama proses pendidikan, tanpa upaya pengajaran, pemberian umpan balik dan asesmen yang
sesuai. Pengajaran penalaran klinis tidak harus dilakukan di tahap praktik klinis dalam suatu program
pendidikan, namun dapat diawali sejak tahap akademik melalui diskusi kasus dengan pemberian
data secara bertahap ataupun kasus dengan data lengkap. 19 Pengetahuan dan pengalaman klinis
yang terangkum oleh masing-masing mahasiswa atau residen menjadi bagian penting dalam
perkembangan kemampuan penalaran klinis. Pengajaran penalaran klinis dapat berfokus pada
peningkatan elaborasi pengetahuan biomedis dan klinis serta pada strategi penalaran klinis secara
keseluruhan. Pengajar klinis tetap perlu mengingat, bahwa setiap kasus klinis sangat spesifik, dan
memerlukan aplikasi pengetahuan, pengalaman dan strategi penalaran yang berbeda. Oleh karena
itu, kemampuan pengajar klinis untuk mengidentifikasi tahap perkembangan penalaran klinis
mahasiswa atau residen dan memberikan umpan balik yang konstruktif sangat penting. Mahasiswa
atau residen juga perlu dirangsang untuk selalu aktif mengaitkan kasus klinis yang dihadapi dengan
pengetahuan dan penalaran klinisnya, dan kemudian melakukan refleksi secara berkesinambungan.
Berbagai strategi pengajaran yang diterapkan pengajar klinis dan strategi pembelajaran yang
dilakukan mahasiswa atau residen diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran klinis
yang perlu dikembangkan secara individual. 20
DAFTAR PUSTAKA
1. Croskerry P. The importance of cognitive errors in diagnosis and strategies to minimize them. Academic
Medicine. 2003; 78(8): 775–80.
2. Higgs, J. & Jones, M. Clinical decision making and multiple problem spaces. In: Higgs, J., Jones, M., Loftus,
S. & Christensen, N. (eds.) Clinical reasoning in the health professions. 3th ed. Elsevier Butterworth
Heinemann. 2008.
3. Bowen, JL. Educational strategies to promote clinical diagnostic reasoning. The New England Journal of
Medicine. 2006; 355: 2217-25.
4. Patel, VL, Arocha, JF & Kaufman, DR. Expertises tacit knowledge and medicine. In: Sternberg, RJ &
Horvarth, JA. (eds.) Tacit knowledge in professional practice: researcher and practitioner perspectives.
London: Lawrence Erlbaum Associates. 1999.
5. Bordage, G. & Lemieux, C. Structuralism and medical problem solving. International Semiotic Spectrum.
1987; 7: 3-4.
6. Boshuizen, HPA. & Schmidt, HG. The development of clinical reasoning expertise. In: Higgs, J, Jones, MA,
Loftus, S. & Christensen, N. (eds.) Clinical reasoning in the health professions. 3th ed.Butterworth
Heinemann Elsevier.2008
7. Charlin, B., Boshuizen, H. P. A., Custers, E. J. & Feltovich, P. J. Scripts and clinical reasoning. Medical
Education. 2007; 41: 1178-84.
8. Kassirer JP, Wong JB, Kopelman R. Learning clinical reasoning. Baltimore: William & Wilkins. 2009.
9. Eva, KW. What every teacher needs to know about clinical reasoning. Medical Education. 2004; 39, 98-
106.
10. Eva, KW., Hatala, RM, Leblanc, VR & Brooks, LR. Teaching from the clinical reasoning literature: combined
reasoning strategies help novice diagnosticians overcome misleading information. Medical Education.
2007; 41: 1152- 8.
11. Norman, G., Young, M. & Brooks, L. Non-analytical models of clinical reasoning: the role of experience.
Medical Education. 2007;41:1140-5.
12. Norman GR, Eva KW. Diagnostic error and clinical reasoning. Medical Education. 2010; 44(1): 94–100.
13. Patel R, Sandars J, Carr S. Clinical diagnostic decision making in real life contexts: A trans-theoretical
approach for teaching: AMEE Guide No. 95. Medical Teacher. 2014. Early Online 1-17.
14. Rencic J. Twelve tips for teaching expertise in clinical reasoning. Medical Teacher. 2011; 33: 887 – 92.
15. Williams PA. A six-item mnemonic to reduce cognitive errors during medical diagnosis. Poster session
presented at: Diagnostic error in medicine. 3rd International conference of the Society for Medical
Decision Making, 2010 October 25–27. Toronto, Canada.
16. Woods NN. Science is fundamental: The role of biomedical knowledge in clinical reasoning. Medical
Education. 2007; 41: 1173–7.
17. Wolpaw T, Papp, KK & Bordage, G.Using SNAPPS to facilitate the expression of clinical reasoning and
uncertainties: a randomised comparison group trial. Academic Medicine. 2009; 84: 517-24.
18. Ericsson KA. An expert-performance perspective of research on medical expertise: The study of clinical
performance. Medical Education. 2007; 41:1124–30.
19. Schmidt HG, Mamede S. How to improve the teaching of clinical reasoning: a narrative review and
proposal. Medical Education. 2015; 49: 961-73.
20. Schuwirth, L. Can clinical reasoning be taught or can it only be learned? Medical Education. 2002; 36: 695-
6.