Anda di halaman 1dari 20

Panduan Praktis

Bagi Pengajar Klinis

Edisi Pertama

Editor
dr. Ardi Findyartini, PhD
Prof. dr. Anwar Jusuf, SpP(K)
Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, SpKK(K)

Departemen Pendidikan Kedokteran


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Penerbit:
Sagung Seto
Jakarta, 2017
Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi


buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin editor dan
penerbit.

Diterbitkan pertama kali oleh Sagung Seto, Jakarta 2017


Buku ini kami persembahkan untuk teman, sejawat dan guru kami
dr. Siti Oetarini Sri Widodo, SpPA(K)
yang telah mendedikasikan sebagian besar kariernya untuk pengembangan
pendidikan kedokteran di Indonesia
Penulis
Prof. dr. Anwar Jusuf, SpP(K)
dr. Ardi Findyartini, PhD
dr. Bambang Tridjaja, SpA(K), MM
dr. Diah Handayani, SpP(K)
dr. Diantha Soemantri, MMedEd, PhD
dr. Estivana Felaza, MPdKed
dr. Fathiyah Isbaniyah, SpP, MPdKed
Prof. dr. Marcellus Simadibrata, PhD, SpPD-KGEH
dr. Natalia Widiasih Raharjanti, SpKJ, MPdKed
Prof. dr. Pradana Soewondo, SpPD-KEMD
Prof. dr. R. Sjamsuhidajat, SpB-KBD
dr. Rita Mustika, MEpid
Dr. dr. Sandra Widaty, SpKK(K)
Dr. dr. Sri Linuwih Menaldi, SpKK(K)
dr. Syntia Nusanti, SpM(K) , MPdKed
dr. Theddeus O. H. Prasetyono, SpBP-RE(K)
per: 17Desember 2015

Topik 2
Prinsip Pengajaran
Penalaran Klinis
PRINSIP PENGAJARAN PENALARAN KLINIS
Ardi Findyartini

BUTIR PENTING

 Penalaran klinis merupakan suatu kemampuan penting yang perlu dimiliki oleh seorang dokter
dan dokter spesialis.
 Kemampuan penalaran klinis perlu diajarkan oleh para pengajar klinis melalui berbagai cara
yang sistematik.
 Kemampuan ini juga perlu dipelajari secara individu oleh mahasiswa atau residen karena
perkembangannya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman klinis yang dimiliki,
pengenalan berbagai strategi penalaran klinis, kemampuan untuk menilai proses berpikir dan
kapasitas diri, serta usaha untuk mengenali lingkungan klinis yang bervariasi.
 Strategi pengajaran dan pembelajaran penalaran klinis memerlukan upaya pengajar klinis untuk
mendiagnosis penyakit atau kasus yang dihadapi, dan mendiagnosis tahapan kemampuan
penalaran klinis mahasiswa atau residen.
 Tingkat kemampuan penalaran klinis seorang dokter ahli (pengajar klinis) dan mahasiswa atau
residen berbeda, sehingga berimplikasi pada proses pengajaran-pembelajaran penalaran klinis.

PENDAHULUAN

Pentingnya diagnosis dan terapi yang akurat dan tepat merupakan salah satu hal mendasar dalam
praktik klinis yang mengutamakan keselamatan pasien dan dapat mencegah terjadinya kesalahan. 1
Penalaran klinis merupakan suatu kemampuan yang sangat penting bagi seorang dokter. Penerapan
kemampuan ini menunjang pengambilan keputusan klinis secara tepat dalam seluruh aspek
tatalaksana pasien. Kemampuan penalaran klinis berkembang secara bertahap sejak awal
pendidikan dokter dan dokter spesialis hingga makin terlatih di tingkat ahli. Meskipun pada akhirnya
kemampuan penalaran klinis ini dapat dicapai oleh seorang dokter dan dokter spesialis di akhir
pendidikannya, pengembangan kemampuan ini perlu disadari oleh peserta didik dan pengajar klinis,
dan sebenarnya memerlukan dukungan yang baik dari pengajar klinis yang umumnya adalah ahli di
bidang masing-masing.

Penegakan diagnosis yang merupakan bagian penting proses penalaran klinis secara keseluruhan
merupakan suatu proses yang kompleks, yang memerlukan dasar pengetahuan, pengalaman klinis
dan kemampuan berpikir. Proses ini juga dipengaruhi oleh karakteristik kasus klinis yang spesifik.
Keluhan gejala sesak napas pada orang dewasa misalnya, dapat merupakan karakteristik untuk
masalah penyakit jantung atau paru, dan tidak akan pernah dapat diputuskan tanpa elaborasi data
klinis lain yang mendukung atau menolak suatu kemungkinan diagnosis. Bagi mahasiswa dan dokter
pemula, tumpang tindih gejala dan tanda suatu penyakit dengan penyakit lain juga dapat
membingungkan. Dengan demikian, pengajaran penalaran klinis merupakan suatu aspek penting
yang mendasari pengembangan kemampuan tersebut bagi mahasiswa dan residen.

DEFINISI DAN URAIAN

Penalaran klinis adalah suatu proses pencarian informasi yang bersifat reflektif dan melibatkan
pasien, sehingga dapat diperoleh pemahaman masalah klinis pasien secara mendalam dan sesuai
konteks. Tujuan pencarian informasi dan pemahaman masalah klinis ini ialah untuk menghasilkan
keputusan klinis dengan dasar yang kuat.2 Penalaran klinis disebut juga proses pengambilan
keputusan klinis.

Menurut Bowen,3 proses penalaran klinis, seperti halnya yang dilakukan oleh dokter atau dokter
spesialis di ruang praktik, umumnya memerlukan tahapan berikut ini:
1. Pengumpulan data pasien (anamnesis, pemeriksaan fisis pemeriksaan penunjang)
2. Perumusan masalah (problem representation)
3. Perumusan hipotesis
4. Proses analisis berdasarkan pengetahuan dan pengalaman klinis yang relevan
5. Penegakan diagnosis dan penetapan tata laksana
Keseluruhan proses ini merupakan suatu siklus yang dapat berulang. Proses ini memerlukan tiga
komponen utama,2 yang dapat dilihat pada gambar 3.1.

Pengalaman klinis

Pengetahuan biomedis Metakognisi/kemampuan


dan klinis mengontrol proses berpikir

Penalaran
klinis

Gambar 3.1. Komponen Utama dalam Proses Penalaran Klinis


Pengetahuan biomedis dan klinis diperlukan dalam proses penalaran klinis. Pengetahuan biomedis
menjelaskan terjadinya suatu proses normal atau abnormal dalam tubuh manusia, termasuk dalam
memberikan landasan patogenesis dan patofisiologi suatu penyakit, sedangkan pengetahuan klinis
lebih menekankan tanda dan gejala suatu penyakit, dan relevansi dari tanda dan gejala tersebut
dengan suatu penyakit atau sindrom. 4 Pengetahuan biomedis dan klinis diperlukan dalam proses
penalaran klinis. Pengalaman klinis yang diperoleh seorang mahasiswa, residen atau dokter, dan
kemudian direfleksikan, juga akan makin menambah pengetahuannya.

Proses penalaran klinis tidak hanya ditentukan oleh jumlah pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan
yang dimiliki oleh peserta didik dan dokter perlu terangkum dengan baik dan mudah diaplikasikan
saat diperlukan. Ada tidaknya pengetahuan biomedis dan klinis yang diperlukan untuk proses
penalaran klinis, menurut Bordage & Lemieux dapat dikategorikan mulai dari pengetahuan yang
terbatas (low knowledge) hingga ke pengetahuan yang sangat banyak dan terkompilasi dengan
sangat baik (high compiled knowledge). Bila dihubungkan dengan tahap pendidikan dan keahlian,
karakteristik pengetahuan untuk penalaran klinis dapat dilihat dalam Gambar 3.2. 5-7

Banyak Banyak Banyak


Pengetahuan pengetahuan pengetahuan pengetahuan
terbatas tersebar (High- terelaborasi (High- terkompilasi
(Low knowledge) dispersed elaborated (High-compiled
knowledge) knowledge) knowledge)

Pengetahuan berisi konsep Membuat hubungan antara Mengintegrasikan faktor


Tahap lebih lanjut

Tahap ahli
Tahap awal pendidikan

pendidikan

biomedik yang sangat detil konsep dan personal, lingkungan,


dan digunakan untuk mengelompokkan konsep- proses patofisiologi, dan
menyusun hipotesis yang konsep tersebut di tingkat gejala, serta tanda penyakit
sangat banyak yang lebih tinggi dalam suatu struktur yang
(’knowledge disebut ‘illness script’
encapsulation’)

Gambar 3.2. Perkembangan Struktur Pengetahuan sesuai Tahap Keahlian


Seorang laki-laki, 56 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan batuk berdahak disertai sesak
napas yang terjadi sejak 1 bulan terakhir. Dalam 3 hari terakhir, pasien merasakan demam dan
sesak napas yang makin berat. Pasien adalah perokok selama 10 tahun dan tinggal bersama
saudaranya yang memiliki riwayat batuk darah.

Ilustrasi kasus di atas akan dipergunakan untuk menggambarkan strategi penegakan diagnosis suatu
penyakit yang dibagi dalam 4 kategori: 8

a. Penalaran klinis kausal


 Proses penalaran klinis yang banyak menggunakan pengetahuan biomedis untuk
menjelaskan masalah klinis yang terjadi atau menegakkan diagnosis.
 Berdasarkan pendekatan ini, dalam kasus di atas dapat dipikirkan bahwa terjadi
masalah dalam sistem respirasi atau sistem kardiovaskular atau sistem kekebalan tubuh
(kemungkinan infeksi).
b. Penalaran klinis probabilistik
 Proses penalaran klinis yang menggunakan pengetahuan terkait epidemiologi penyakit
(contoh, prevalensi penyakit tersering, prevalensi penyakit berdasarkan usia, dan lain-
lain) di suatu wilayah tertentu dan faktor risiko.
 Pada kasus tersebut, sesuai dengan gambaran usia pasien, perlu dipikirkan
kemungkinan terjadinya penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Data lain perlu
ditelusuri untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi tuberkulosis paru pada pasien,
sebagai penyakit dengan prevalensi yang sangat tinggi di Indonesia. Riwayat kontak
pasien dengan orang lain yang memiliki batuk darah perlu dipikirkan sebagai faktor
risiko untuk tuberkulosis paru.
c. Penalaran klinis deterministik
 Proses penalaran klinis deterministik menggunakan algoritma, ataupun rules of thumb
yang membantu dokter untuk memikirkan kemungkinan diagnosis yang dapat
membahayakan pasien dan harus segera ditegakkan.
 Pada ilustrasi kasus tersebut, pasien datang ke poliklinik dengan keluhan sesak.
Asesmen terhadap sesak perlu dilakukan untuk memastikan atau menyingkirkan
kemungkinan efusi pleura yang dapat terjadi pada pasien dengan gambaran klinis di
atas.
d. Penalaran klinis pattern recognition
 Proses penalaran klinis yang didasari atas proses berpikir yang sangat terelaborasi
dengan menimbang seluruh faktor baik personal, lingkungan, patofisiologi penyakit dan
gejala serta tanda yang dialami pasien.
 Pada contoh di atas, seorang dokter yang berpengalaman akan memikirkan
kemungkinan diagnosis PPOK dan tuberkulosis paru, dan segera melakukan
pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan efusi pleura atau penyebab sesak lain
pada pasien ini.

Masalah klinis pasien

Penalaran klinis kausal


Pengumpulan data

Pelanaran klinis probabilistik


Representasi masalah klinis

Penyusunan Hipotesis Pelanaran klinis deterministik

Diagnosis
Pattern recognition
Terapi

Gambar 3.3. Proses Penalaran Klinis dengan Berbagai Strategi

Seluruh pengetahuan yang dimiliki oleh seorang dokter, baik yang diperoleh dalam proses
pendidikan maupun dari pengalaman, dimanfaatkan untuk dapat menegakkan diagnosis dan
menetapkan terapi terbaik untuk pasien. Ditinjau dari detil proses berpikir yang disadari, banyaknya
data yang dikumpulkan dan kecepatannya, penalaran klinis dibagi ke dalam proses penalaran klinis
analitis dan non-analitis.9 Proses penalaran klinis analitis merupakan suatu proses penalaran klinis
yang banyak diterapkan oleh pemula dan juga oleh dokter ahli, saat menghadapi kasus yang sulit
atau gambaran kasus yang tidak biasa ditemui. Dalam pendekatan ini, penegakan diagnosis
didasarkan pada proses berpikir yang disadari, dan umumnya menggunakan pendekatan perumusan
hipotesis-deduktif, serta penalaran klinis kausal. Proses penalaran klinis yang lebih cepat dan
cenderung tidak disadari karena pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki sudah sangat terangkai
dan mudah diakses, disebut sebagai proses penalaran klinis non-analitis. Proses penalaran klinis
semacam ini diterapkan oleh dokter ahli, terutama dalam menghadapi kasus yang banyak dan sering
ditemui dalam praktik sehari-hari. Kedua pendekatan ini sebenarnya saling mengisi, dan seorang
dokter ahli akan menggunakan keduanya secara fleksibel sesuai dengan tingkat kesulitan kasus yang
dihadapi.10-12

Dengan banyaknya kasus klinis yang dihadapi sehari-hari, bila seluruh penegakan diagnosisnya
dilakukan secara analitis, maka akan sangat melelahkan bagi seorang dokter. Proses non-analitis
yang diterapkan bukan berarti proses berpikir yang sistematis tidak dilakukan, melainkan proses
berpikir dalam penegakan diagnosis terhadap kasus yang sudah sering dihadapi tersebut sudah
terkompilasi dengan sangat baik dan dapat dilakukan dengan sangat mudah. Seorang dokter ahli
dapat melakukan pengkajian ulang terhadap diagnosis dan terapi yang telah ditetapkan, karena pada
dasarnya penalaran klinis merupakan suatu proses yang berkelanjutan, dan memerlukan
kemampuan metakognisi yang baik. Baik pendekatan analitis dan non-analitis dalam penalaran klinis
sangat penting dipahami oleh seorang pengajar klinis. Bagi mahasiswa atau residen di tahap awal
pendidikan, seluruh kasus klinis yang dihadapi dapat merupakan pengalaman baru dan kasus yang
kompleks. Dengan pengetahuan yang masih terbatas, pendekatan klinis analitis akan lebih banyak
diterapkan oleh mahasiswa atau residen pemula.

Berdasarkan gabungan berbagai teori (teori pendekatan analitis dan non-analitis (dual process
theory)), teori pengaturan pribadi (self regulation theory) dan socio-cognitive theory, Patel dkk.
mengusulkan pendekatan trans-teori (trans-theoretical approach) dalam pengajaran penalaran klinis
di tatanan praktik klinik yang sebenarnya. Teori ini mengusulkan agar pengajar klinis menimbang
berbagai hal berikut dalam pengajaran penalaran klinis: 13

1. Pengetahuan yang dimiliki untuk tugas penegakan diagnosis.


2. Keterampilan untuk menerapkan pendekatan analitis dan non-analitis
3. Kesadaran akan peran ‘diri’, termasuk kemampuan individu dan pengendalian emosi akibat
lingkungan klinis yang cenderung tidak dapat diprediksi.
4. Kemampuan mengatur pemanfaatan pengetahuan, keterampilan dan peran diri dalam
menyelesaikan masalah klinis yang dihadapi.

Secara keseluruhan, teori ini merangkum berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
pengajaran dan pembelajaran penalaran klinis di dalam tatanan klinis yang sebenarnya. Berbagai tips
untuk pengajar klinis akan mengelaborasi lebih lanjut keempat aspek di atas.

APLIKASI
Dengan menimbang prinsip-prinsip penalaran klinis di atas, seorang pengajar klinis diharapkan dapat
tetap memanfaatkan keahliannya untuk mengajarkan proses penegakan diagnosis dan terapi suatu
kasus klinis kepada mahasiswa atau residen. Dalam mengajarkan penalaran klinis, hal pertama yang
patut disadari oleh seorang pengajar klinis adalah, bahwa tingkat keahlian antara pengajar klinis dan
mahasiswa atau residen yang dihadapi berbeda. Selain menegakkan diagnosis kasus klinis yang
dihadapi, seorang pengajar klinis juga perlu ‘mendiagnosis’ kemampuan penalaran klinis mahasiswa
atau residen sehingga dapat memberikan pengajaran yang tepat dan umpan balik yang konstruktif.
Beberapa tips pengajaran penalaran klinis adalah sebagai berikut: 3, 14

1. Memaksimalkan pengalaman klinis mahasiswa dalam setiap kasus klinis yang dihadapi
Pengajar klinis dapat memfasilitasi pengalaman belajar mahasiswa dengan meminta mahasiswa
mempersiapkan diri sebelum bertemu pasien atau mendiskusikan kasus, misalnya dengan
menganjurkan bahan bacaan atau melakukan pengarahan sebelum bertemu dengan pasien di
rawat inap. Pengajar klinis juga perlu menyediakan waktu yang cukup untuk mendampingi
mahasiswa dalam melakukan pengumpulan data klinis dan evaluasi terhadap pasien yang
dihadapi. Setelah itu, pengajar klinis perlu memberi waktu kepada mahasiswa untuk melakukan
refleksi. Dengan langkah-langkah ini, pengajar klinis sepenuhnya menunjukkan kesadaran, bahwa
perkembangan kemampuan penalaran klinis mahasiswa masih di tahap pemula.

2. Mengingatkan mahasiswa untuk mengumpulkan data dengan memikirkan kemungkinan


diagnosis
‘The eye does not see what the mind does not seek’, merupakan suatu ungkapan yang
menekankan pentingnya pengajar klinis mendorong mahasiswa atau residen agar merumuskan
hipotesis dan menggunakannya sebagai arah dalam melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis. 8
Selain perumusan hipotesis, mahasiswa dapat juga menerapkan pendekatan dengan ‘mnemonic’
untuk menjaga agar selama proses berpikir dan mengumpulkan data tidak tertinggal dan
simpulan tentang diagnosis terlalu dini dapat dihindarkan. Contoh ‘mnemonic’ yang dapat
digunakan adalah SEA TOW (Is a Second opinion needed? Is this a ‘‘Eureka’’/pattern recognition
diagnosis? Is there Anti-evidence that refutes my diagnosis? Did I Think over my thinking
(metacognition)? Am I Overconfident? What else could I be missing?).15

3. Mendorong aplikasi pengetahuan biomedis


Mahasiswa sebagai pemula banyak menerapkan penalaran klinis kausal, dengan memanfaatkan
pengetahuan biomedisnya dalam memikirkan kemungkinan diagnosis suatu penyakit. Aplikasi
pengetahuan biomedis tersebut dapat dimanfaatkan oleh pengajar klinis untuk mendorong
mahasiswa menjelaskan temuan klinis sekaligus mengaitkannya dengan pengetahuan biomedis
yang telah mereka peroleh di tahap sebelumnya. 16 Contohnya, pada kasus seorang pasien dengan
edema pada kedua ekstremitas tanpa bukti gagal jantung dan sirosis hati, seorang mahasiswa
yang memahami hukum Starling, dapat menimbang berbagai mekanisme yang mengurangi
tekanan osmotik intrakapiler. Mahasiswa tersebut dapat memikirkan kemungkinan penyakit
dengan kehilangan protein dalam jumlah sangat besar, seperti pada sindrom nefrotik.

4. Mendorong aplikasi pengetahuan epidemiologis


Mengingat bahwa salah satu strategi penalaran klinis adalah penalaran klinis probabilistik,
pengajar klinis dapat mendiskusikan beberapa informasi epidemiologis yang relevan dengan
kemungkinan diagnosis kasus yang sedang dihadapi atau didiskusikan. Pengajar klinis dapat
menjelaskan prevalensi suatu penyakit tertentu dan mengajak mahasiswa membandingkan data
yang mereka miliki dengan data epidemiologis yang umumnya ada di dalam buku teks.
Pemahaman mahasiswa tentang epidemiologi penyakit ini sangat penting untuk dapat berlatih
menetapkan pretest probability yang lebih akurat.

5. Menggunakan kategorisasi penyakit dan membandingkannya secara jelas


Pengajar klinis dapat membantu mahasiswa menyusun ‘illness script’ dalam memori mereka,
dengan cara meminta mahasiswa membandingkan berbagai diagnosis diferensial dari suatu kasus
klinik. Dengan berbagai langkah seperti microskills teaching dan SNAPPS (Summarize the history
and findings, Narrow the differential, Analyze the differential, Probe preceptor about
uncertainties, Plan management, and Select case-related issues for self-study),17 pengajar klinis
dapat menilai proses penalaran klinis mahasiswa, terutama kemampuan mahasiswa dalam
merumuskan berbagai kemungkinan diagnosis berdasarkan data yang dimiliki.

6. Memperkenalkan proses penalaran klinis analitis dan non-analitis


Pengajar klinis perlu mendiskusikan dengan mahasiswa, bahwa seorang ahli dapat menegakkan
diagnosis dengan pendekatan pattern recognition, melalui gejala dan tanda suatu penyakit dan
menghubungkannya dengan pengalaman klinis sebelumnya. Dengan pendekatan ini, dokter ahli
menunjukkan akurasi diagnosis yang sangat baik. Penerapan pendekatan yang sama oleh
mahasiswa perlu diwaspadai, karena pada dasarnya mahasiswa dan residen tahap awal belum
memiliki pengetahuan dan pengalaman klinis yang cukup. Selain itu, pengajar klinis juga perlu
menekankan bahwa penalaran klinis bersifat spesifik sesuai kasus. Suatu strategi belum tentu
dapat diterapkan dengan cara yang sama saat seorang dokter menghadapi kasus dengan
gambaran yang sama. Dengan kesadaran ini, mahasiswa atau residen perlu diperkenalkan
tentang karakteristik penalaran klinis seorang ahli yang pada dasarnya menggunakan kedua
pendekatan analitis dan non-analitis sesuai kasus yang dihadapi. 12
7. Mendorong mahasiswa untuk menyampaikan proses dan identifikasi tahapan perkembangan
penalaran klinisnya
Dalam setiap kasus klinik yang dihadapi, mahasiswa atau residen dapat diberi kesempatan untuk
mengambil keputusan melalui perumusan diagnosis diferensial. Melalui langkah ini (seperti
halnya yang diterapkan dalam metode pengajaran satu menit), pengajar klinis dapat
mengevaluasi dan ‘mendiagnosis’ tahap perkembangan penalaran klinis mahasiswa dan dapat
memberikan porsi pengajaran dan umpan balik yang tepat, sesuai dengan kebutuhan mahasiswa
atau residen, situasi klinis dan waktu yang dimiliki. Pada saat mendiskusikan kasus sulit, pengajar
klinis dapat juga menanyakan kepada mahasiswa atau residen untuk memprioritaskan diagnosis
diferensial dan tata laksana, serta mendorong mereka untuk menyampaikan alasan lebih lanjut
sesuai dengan pengetahuan atau pengalaman yang dimiliki.

8. Mendorong praktik klinis yang berhati-hati (deliberate practice)


Pengajar klinis perlu menekankan praktik klinis yang berhati-hati (deliberate practice) dengan
karakteristik sebagai berikut: 18
 upaya mencari umpan balik,
 memaksimalkan pembelajaran di setiap kasus yang dihadapi,
 melakukan refleksi terhadap umpan balik dan kesalahan yang dilakukan,
 berupaya untuk melakukan perbaikan, dan
 melakukan latihan secara rutin baik dengan kasus klinis nyata atau kasus klinis dalam bentuk
lain (simulasi, kertas, dan lain-lain).
Peran penting pengajar klinis dalam hal ini adalah untuk memberikan umpan balik terhadap
proses penalaran klinis mahasiswa atau residen. Pada saat mahasiswa atau residen menghadapi
kasus yang mirip dengan kasus yang pernah dihadapi sebelumnya, pengajar klinis dapat meminta
mereka untuk membandingkan keduanya. Bila ternyata diagnosis kasus tersebut sama, langkah
ini akan memperkaya gambaran kasus klinis dengan diagnosis tersebut dalam memori mahasiswa
atau residen. Sementara bila diagnosisnya berbeda, mahasiswa atau residen dapat belajar
mengidentifikasi persamaan dan perbedaan gambaran klinis kedua penyakit tersebut.

9. Memperkenalkan prinsip Bayesian dalam proses penegakan diagnosis


Teori Bayesian merupakan suatu teori yang menggunakan pendekatan matematis tentang
kemungkinan suatu diagnosis (pre-test odds for a disease x likelihood ratio = post test odds for a
disease). Dengan pendekatan ini, mahasiswa atau residen dapat didorong untuk memikirkan
probabilitas suatu penyakit sebelum mengusulkan tes atau pemeriksaan penunjang dan
menetapkan manfaat tes tersebut untuk penegakan diagnosis dan tata laksana pasien.
10. Mengintegrasikan prinsip kedokteran berbasis bukti
Penerapan kedokteran berbasis bukti sangat penting dalam pengajaran penalaran klinis.
Mendiskusikan bukti terkini terkait diagnosis suatu kasus akan memberikan landasan kuat bagi
proses penalaran klinis mahasiswa. Pengajar klinis dapat mencontohkan, bahwa pencarian
literatur sesuai pertanyaan klinis sambil menemui pasien di poliklinik atau ruang rawat inap,
sangat mungkin dilakukan dengan teknologi yang tersedia saat ini. Mahasiswa atau residen dapat
didorong untuk melakukan pencarian literatur terbaik untuk penatalaksanaan pasien yang
mereka temui secara keseluruhan.

11. Menyampaikan proses penalaran klinis dosen pendidik klinis kepada mahasiswa atau residen
pada tahap umpan balik
Saat memberikan umpan balik, pengajar klinis perlu mencontohkan proses penalaran klinisnya
dalam menetapkan diagnosis atau tata laksana suatu penyakit. Demonstrasi ini penting untuk
memberikan gambaran kepada mahasiswa atau residen tentang analisis terhadap gejala dan
tanda klinis yang penting (key features), proses perumusan masalah, strategi penalaran klinis
yang digunakan (kausal, deterministik, probabilistik, pattern recognition) dan upaya untuk
mengontrol kembali adakah aspek yang belum dipertimbangkan dalam proses penalaran klinis.
Pengajar klinis dapat juga memperkenalkan implementasi strategi penalaran klinis yang berbeda
untuk kasus yang sering dihadapi dan kasus yang jarang. Pengajar klinis dapat juga menimbang
untuk mendiskusikan kasus-kasus yang sering ditemukan di tahap awal pendidikan, dan makin
meningkat pada pembahasan kasus yang lebih kompleks pada tahap pendidikan lanjut.

PELAKSANAAN

Dalam menerapkan prinsip pengajaran penalaran klinis, pengajar klinis perlu menyadari berbagai
sumber kesalahan dalam perumusan diagnosis. Berbagai hal dapat menjadi sumber ketidaktepatan
diagnosis yang ditegakkan, yaitu: 8

1. Perumusan hipotesis yang kurang akurat yang dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan
atau illness script.
2. Representasi masalah klinis yang tidak akurat, yang dapat terjadi karena:
a. Kegagalan dalam pengumpulan data
 Kurang atau tidak akuratnya data anamnesis dan/atau pemeriksaan fisis
 Kegagalan mendapatkan data laboratorium atau pemeriksaan penunjang penting
b. Kegagalan dalam analisis data
 Kesalahan dalam verifikasi data (contoh, premature closure atau pengambilan
kesimpulan terlalu dini)
 Kesalahan dalam perumusan hipotesis
 Kesalahan dalam melakukan estimasi prevalensi penyakit (base rate error)
 Kesalahan dalam interpretasi data pemeriksaan penunjang
 Kesalahan dalam menghubungkan kasus dengan penjelasan penyebabnya
 Terlalu mengandalkan aksiom atau suatu kebenaran klinis

Selain mendiskusikan kemungkinan kesalahan yang dapat terjadi dalam penegakan diagnosis,
pengajar klinis juga perlu memerhatikan, bahwa tahap perkembangan penalaran klinis mahasiswa
atau residen bersifat individual. Contoh kasus berikut ini menggambarkan hal tersebut.

Seorang perempuan berusial 32 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan diare dalam waktu
yang lama. Pasien juga mengeluhkan demam yang tak jelas sebabnya sejak 3 minggu yang lalu.
Pasien merasa cepat lelah, tidak nafsu makan, mengalami penurunan berat badan, dan nyeri
tenggorok, disertai batuk berdahak sejak 2 minggu terakhir. Pasien bekerja sebagai petugas
administrasi di kantor ekspor-impor, pernah menikah dan tidak memiliki anak. Suami pasien telah
meninggal dan memiliki riwayat penggunaan obat suntik.

Dosen klinis dapat menanyakan kepada kelompok mahasiswa tentang kemungkinan diagnosis yang
dipikirkan oleh mahasiswa, “apakah diagnosis yang paling mungkin pada pasien ini?”. Ilustrasi dalam
diagram berikut ini menunjukan, bahwa respon dan alasan yang diberikan oleh mahasiswa dapat
membantu dosen klinis ‘mendiagnosis’ tahap perkembangan penalaran klinis masing-masing
mahasiswa.
Mahasiswa 1; diagnosis yang Menunjukkan pengetahuan yang sangat kurang
paling mungkin adalah Mahasiswa hanya mempertimbangkan diare
Irritable Bowel Syndrome dalam jangka waktu panjang

Menunjukkan pengetahuan dan proses berpikir


Mahasiswa 2; diagnosis yang yang masih tersebar dan sangat detil
paling mungkin adalah infeksi Diare kronis dan demam  infeksi kronis saluran
kronis saluran cerna dan cerna
tuberkulosis paru Berat badan turun dan batuk berdahak 
tuberkulosis paru

Menimbang seluruh gejala dan tanda, termasuk


Mahasiswa 3, diagnosis yang
riwayat suami infeksi multipel karena
paling mungkin adalah full
gangguan kekebalan tubuh e.c kemungkinan HIV-
blown AIDS
AIDS

Gambar 3.4. Berbagai Respons Mahasiswa terhadap Masalah Klinis dan ‘Diagnosis’ Mahasiswa yang
dapat Ditegakkan oleh Dosen Pendidik Klinis

Setelah mengidentifikasi tahap perkembangan penalaran klinis, pengajar klinis perlu memberikan
umpan balik yang konstruktif, sehingga mahasiswa atau residen memahami kelebihan dan
kekurangannya, dan dapat melakukan berbagai tindakan untuk perbaikan lebih lanjut.

SIMPULAN

Proses pengembangan kemampuan penalaran klinis memerlukan upaya khusus dari pengajar klinis
dan mahasiswa atau residen. Penalaran klinis mahasiswa atau residen sulit berkembang dengan baik
selama proses pendidikan, tanpa upaya pengajaran, pemberian umpan balik dan asesmen yang
sesuai. Pengajaran penalaran klinis tidak harus dilakukan di tahap praktik klinis dalam suatu program
pendidikan, namun dapat diawali sejak tahap akademik melalui diskusi kasus dengan pemberian
data secara bertahap ataupun kasus dengan data lengkap. 19 Pengetahuan dan pengalaman klinis
yang terangkum oleh masing-masing mahasiswa atau residen menjadi bagian penting dalam
perkembangan kemampuan penalaran klinis. Pengajaran penalaran klinis dapat berfokus pada
peningkatan elaborasi pengetahuan biomedis dan klinis serta pada strategi penalaran klinis secara
keseluruhan. Pengajar klinis tetap perlu mengingat, bahwa setiap kasus klinis sangat spesifik, dan
memerlukan aplikasi pengetahuan, pengalaman dan strategi penalaran yang berbeda. Oleh karena
itu, kemampuan pengajar klinis untuk mengidentifikasi tahap perkembangan penalaran klinis
mahasiswa atau residen dan memberikan umpan balik yang konstruktif sangat penting. Mahasiswa
atau residen juga perlu dirangsang untuk selalu aktif mengaitkan kasus klinis yang dihadapi dengan
pengetahuan dan penalaran klinisnya, dan kemudian melakukan refleksi secara berkesinambungan.
Berbagai strategi pengajaran yang diterapkan pengajar klinis dan strategi pembelajaran yang
dilakukan mahasiswa atau residen diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penalaran klinis
yang perlu dikembangkan secara individual. 20

DAFTAR PUSTAKA

1. Croskerry P. The importance of cognitive errors in diagnosis and strategies to minimize them. Academic
Medicine. 2003; 78(8): 775–80.
2. Higgs, J. & Jones, M. Clinical decision making and multiple problem spaces. In: Higgs, J., Jones, M., Loftus,
S. & Christensen, N. (eds.) Clinical reasoning in the health professions. 3th ed. Elsevier Butterworth
Heinemann. 2008.
3. Bowen, JL. Educational strategies to promote clinical diagnostic reasoning. The New England Journal of
Medicine. 2006; 355: 2217-25.
4. Patel, VL, Arocha, JF & Kaufman, DR. Expertises tacit knowledge and medicine. In: Sternberg, RJ &
Horvarth, JA. (eds.) Tacit knowledge in professional practice: researcher and practitioner perspectives.
London: Lawrence Erlbaum Associates. 1999.
5. Bordage, G. & Lemieux, C. Structuralism and medical problem solving. International Semiotic Spectrum.
1987; 7: 3-4.
6. Boshuizen, HPA. & Schmidt, HG. The development of clinical reasoning expertise. In: Higgs, J, Jones, MA,
Loftus, S. & Christensen, N. (eds.) Clinical reasoning in the health professions. 3th ed.Butterworth
Heinemann Elsevier.2008
7. Charlin, B., Boshuizen, H. P. A., Custers, E. J. & Feltovich, P. J. Scripts and clinical reasoning. Medical
Education. 2007; 41: 1178-84.
8. Kassirer JP, Wong JB, Kopelman R. Learning clinical reasoning. Baltimore: William & Wilkins. 2009.
9. Eva, KW. What every teacher needs to know about clinical reasoning. Medical Education. 2004; 39, 98-
106.
10. Eva, KW., Hatala, RM, Leblanc, VR & Brooks, LR. Teaching from the clinical reasoning literature: combined
reasoning strategies help novice diagnosticians overcome misleading information. Medical Education.
2007; 41: 1152- 8.
11. Norman, G., Young, M. & Brooks, L. Non-analytical models of clinical reasoning: the role of experience.
Medical Education. 2007;41:1140-5.
12. Norman GR, Eva KW. Diagnostic error and clinical reasoning. Medical Education. 2010; 44(1): 94–100.
13. Patel R, Sandars J, Carr S. Clinical diagnostic decision making in real life contexts: A trans-theoretical
approach for teaching: AMEE Guide No. 95. Medical Teacher. 2014. Early Online 1-17.
14. Rencic J. Twelve tips for teaching expertise in clinical reasoning. Medical Teacher. 2011; 33: 887 – 92.
15. Williams PA. A six-item mnemonic to reduce cognitive errors during medical diagnosis. Poster session
presented at: Diagnostic error in medicine. 3rd International conference of the Society for Medical
Decision Making, 2010 October 25–27. Toronto, Canada.
16. Woods NN. Science is fundamental: The role of biomedical knowledge in clinical reasoning. Medical
Education. 2007; 41: 1173–7.
17. Wolpaw T, Papp, KK & Bordage, G.Using SNAPPS to facilitate the expression of clinical reasoning and
uncertainties: a randomised comparison group trial. Academic Medicine. 2009; 84: 517-24.
18. Ericsson KA. An expert-performance perspective of research on medical expertise: The study of clinical
performance. Medical Education. 2007; 41:1124–30.
19. Schmidt HG, Mamede S. How to improve the teaching of clinical reasoning: a narrative review and
proposal. Medical Education. 2015; 49: 961-73.
20. Schuwirth, L. Can clinical reasoning be taught or can it only be learned? Medical Education. 2002; 36: 695-
6.

Anda mungkin juga menyukai