Anda di halaman 1dari 121

KOMUNIKASI INTERPERSONAL PASANGAN TA’ARUF PRANIKAH

DENGAN MEDIATOR TA’ARUF

SKRIPSI

Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Almamater Wartawan

Surabaya” untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan

Program Sarjana Komunikasi

Disusun Oleh :

Kartika Setya Palupi

NPM : 12.31.0018

Konsentrasi : Broadcasting

SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI

ALMAMATER WARTAWAN SURABAYA “PRAPANCA”

2016
ABSTRAK
Secara fitrah dasarnya, manusia senantiasa ingin hidup berdampingan satu
sama lain. Hal inilah yang membuat adanya kebutuhan pula untuk berkeluarga,
membina rumah tangga demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Terdapat
beberapa alternatif dalam hal memilih atau menentukan pasangan untuk tujuan
pernikahan. Salah satunya adalah berta’aruf. Ta’aruf merupakan suatu proses
pengenalan antara pria dan wanita yang bertujuan pada jenjang pernikahan.
Uniknya proses ta’aruf ini adalah media komunikasi yang digunakan pasangan
ta’aruf adalah manusia. Hal ini menjadi syarat mutlak dalam proses ta’aruf yang
dijalani.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi
interpersonal antara pasangan ta’aruf pranikah dengan mediator ta’aruf. Jenis
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data menggunakan informan
yang pernah menjalani proses ta’aruf dengan metode wawancara.
Hasil penelitian ditemukan bahwa pasangan ta’aruf pranikah dan mediator
yang sukses, terdapat pemenuhan pada lima karakteristik komunikasi
interpersonal. Sedangkan pasangan ta’aruf pranikah dan mediator yang gagal
tidak memenuhi beberapa karakteristik komunikasi interpersonal. Karakteristik
komunikasi interpersonal tersebut diantaranya adalah keterbukaan, empati,
dukungan ,rasa positif dan kesetaraan. Pelaku komunikasi ta’aruf harus memiliki
keterbukan satu sama lain, keterbukaan inilah memunculkan rasa empati terhadap
kondisi yang dimiliki. Dukungan yang baik oleh para pelaku komunikasi dan
sekitarnya akan memunculkan perasaan positif dalam proses komunikasi.
Perasaan positif ini pada akhirnya menumbuhkan sikap saling mengharagai
sebagai wujud kesamaan atau kesetaraan dalam proses komunikasi. Bukan hanya
pasangan ta’aruf saja yang berperan penting dalam proses komunikasi yang terjadi
didalamnya, namun moderator atau perantara juga menjadi kunci sukses dan
gagalnya sebuah proses ta’aruf.

Kata Kunci : Komunikasi Interpersonal, Ta’aruf


KOMUNIKASI INTERPERSONAL PASANGAN TA’ARUF PRANIKAH

DENGAN MEDIATOR TA’ARUF

SKRIPSI

Diajukan Kepada Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi “Almamater Wartawan

Surabaya” untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan

Program Sarjana Komunikasi

Disusun Oleh :

Kartika Setya Palupi

NPM : 12.31.0018

Konsentrasi : Broadcasting

SEKOLAH TINGGI ILMU KOMUNIKASI

ALMAMATER WARTAWAN SURABAYA “PRAPANCA”

2016

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi Oleh :

Nama : KARTIKA SETYA PALUPI

NPM : 12.31.0018

Judul Skripsi : KOMUNIKASI INTERPERSONAL PASANGAN TA’ARUF

PRANIKAH DENGAN MEDIATOR TA’ARUF

Skripsi ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan di hadapan tim

penguji.

Surabaya, 18 Agustus 2016

Mengetahui / Menyetujui

Dosen Pembimbing

Dra. Puasini Aprilyantini, M.Si

ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi oleh Kartika Setya Palupi ini telah dipertahankan

di depan Tim Penguji Skripsi

Surabaya, 30 Agustus 2016

Mengesahkan,

Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya

Ketua Stikosa AWS

Drs. Ismojo Herdono, M.Med.Kom.

Ketua Penguji

Ratna Puspita Sari, S.Sos., M.Med.Kom.

Tim Penguji I

Drs. Mas’ud Sukemi, M.Si

Tim Penguji II

Dra. Puasini Aprilyantini, M.Si

iii
PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa dengan


sebenar-benarnya bahwa skripsi yang saya tulis :

Judul :________________________________________________
________________________________________________

Sub Judul :_________________________________________________


________________________________________________

Yang saya ajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar


Sarjana Ilmu Komunikasi S-1 Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi – AWS
adalah benar-benar hasil karya penelitian saya sendiri, bukan hasil
menjiplak (plagiat) karya orang lain.

Surat pernyataan tentang orisinalitas (keaslian) ini saya buat dengan penuh
kesadaran. Saya siap mempertanggungjawabkan dan menerima risiko apapun
bila di kemudia hari terbukti pernyataan ini tidak benar*

__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________

Surabaya, 18 Agustus 2016

Saya Pembuat Pernyataan

KARTIKA SETYA PALUPI

NPM. 12.31.0018

*Pernyataan yang dicetak dalam huruf miring (cursif) ditulis ulang dengan
tulisan tangan.

iv
MOTTO

Q.S. Al- Insyirah 5-6 :

“Karena sesungguhnya bersama setiap kesulitan ada kemudahan.

Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”.

Lakukanlah segala sesuatunya dengan sebaik dan semampu yang kamu bisa,

dengan segala cara yang kamu bisa, dimana pun yang kamu bisa, kapan pun

yang kamu bisa, kepada siapa pun yang kamu bisa.

v
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur senantiasa kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,

nikmat dan karunia-Nya kepada kami sehingga peneliti dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat menjadi sarana belajar, evaluasi

diri dan dapat dijadikan acuan serta pedoman bagi pembaca.

Alhamdulillaahi rabbil’alamiin, skripsi yang berjudul Komunikasi

Interpersonal Pasangan Ta’aruf Pranikah dengan Mediator Ta’aruf dapat

peneliti susun dan diselesaikan guna memenuhi syarat kelulusan Strata-1 Sekolah

Tinggi Ilmu Komunikasi – Almamater Wartawan Surabaya.

Penyelesaian skripsi ini tentunya tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, dan

dalam kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan ucapan terima kasih sedalam-

dalamnya kepada :

1. Allah SWT. Berkat rahmat dan karunia-Nya peneliti diberikan kemudahan

dan kelancaran dalam penyelesaian skripsi ini.

2. Ayah & Ibu. Skripsi ini peneliti persembahkan untuk Ayah & Ibu, bukan

hanya sebagai bentuk kewajiban dan bakti peneliti dalam menempuh

pendidikan selama perkuliahan. Peneliti tahu, sampai kapan pun peneliti

tidak akan bisa membalas segala jerih dan upaya Ayah & Ibu yang

senantiasa memberikan cinta dan kasih sayang tanpa jeda. Terima kasih

karena selalu menjadi penyemangat dalam setiap langkah ketika segala

sesuatunya terasa sulit.

vi
3. Adik Ratna. Terima kasih yang tiada tara, karena selalu jadi partner

diskusi yang keren. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan

kemudahan dan kelancaran dalam setiap impian dan harapan yang kamu

miliki.

4. Kedua Nenek, Emak dan Mbah. Terima kasih atas segala doa yang kalian

tuangkan dalam setiap sujud. Terima kasih telah menjaga dan merawat

peneliti hingga menjadi seperti sekarang ini.

5. Feri Tri Irawan. Terima kasih yang tiada tara, untuk segala dukungan,

semangat dan doa yang tiada henti. Terima kasih karena tak pernah lelah

menjadi pendengar setia dalam setiap suka dan duka yang kita lalui

bersama. Tangis dan tawa dalam setiap cerita yang kita punya, akan

menjadi kenangan yang indah untuk diceritakan kembali di masa yang

akan datang.

6. Ibu Hj. Djumiah. Ibu, terima kasih banyak untuk setiap semangat dan doa.

Tidak dapat peneliti pungkiri bahwa ibu adalah salah satu penyemangat

peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa

memberikan kesehatan, perlindungan dan kemudahan rezeki untuk ibu dan

seluruh keluarga besar di Pare.

7. Adik Anggi Rara Shinta. Tetap semangat dalam belajar, meraih mimpi.

Jangan pernah berhenti menjadi pembelajar yang tangguh. Jangan pernah

takut untuk menjadi hebat, karena untuk menjadi hebat harus banyak hal

yang dilalui dan dihadapi dengan upaya yang terbaik.

vii
8. Ibu Dra. Puasini Aprilyantini, M. Si. Terima kasih atas segala dukungan

dan semangat yang diberikan kepada peneliti. Terima kasih banyak telah

menjadi dosen pembimbing yang begitu sabar membimbing skripsi

peneliti hingga akhir. Terima kasih untuk segala pembelajaran dan proses

baik dari segi ilmu maupun organisasi kampus.

9. Ibu Ratna Puspita Sari, S.Sos., M.Med.Kom. Selaku koodinator skripsi,

terima kasih untuk semangat yang diberikan. Semoga Allah SWT

senantiasa memberikan kemudahan dan kelancaran di setiap impian dan

harapan yang ibu punya.

10. Ibu Suprihatin, S. Pd., M.Med.Kom., selaku Ketua Program Studi. Terima

kasih untuk semangat dan doa selama ini. Tidak dapat saya pungkiri

bahwa ibu merupakan salah satu dosen Stikosa-AWS yang menginspirasi

saya untuk tetap terus belajar dengan segala dinamika yang peneliti hadapi

selama perkuliahan.

11. Bapak Drs. Ismojo Herdono, M.Med.Kom. selaku Ketua Stikosa AWS.

Terima kasih atas segala ilmu dan dukungan bapak selama ini sedari awal

hingga akhir.

12. Seluruh jajaran Dosen pengajar di Stikosa AWS. Terima kasih atas segala

ilmu dan nasehat-nasehat yang diberikan.

13. Seluruh Staf dan Karyawan Stikosa AWS yang turut membantu dalam

proses belajar saya selama di Stikosa AWS.

viii
14. Seluruh angkatan 2012 Stikosa AWS yang telah berproses bersama sedari

awal hingga akhir. Banyak cerita, banyak hal yang sudah kita lewati

bersama. Semoga kelak, kita dipertemukan kembali dalam keberkahan dan

kemuliaan oleh Allah SWT.

15. Amalia Irawati. Sahabat, Adik, dan Partner organisasi yang tangguh.

Sungguh peneliti tidak pernah membayangkan akan berproses sejauh ini

denganmu. Suka dan duka telah kita lewati bersama, meski pada akhirnya

kita akan memiliki jalan masing-masing di kemudian hari, terima kasih

selalu memberikan dukungan dan semangat dalam setiap keputusan yang

peneliti ambil.

16. Puspita Lestari, Rehana Widi Lestari, terima kasih telah menjadi sahabat

sekaligus adik untuk peneliti. Apapun yang telah terlewati, tidak akan

merubah apa pun bahwa kalian sudah seperti keluarga bagi peneliti. Tetap

semangat untuk senantiasa memberikan yang terbaik bagi semua orang.

17. Ni Nyoman Galuh Setyawati. Sahabat yang tidak pernah lelah untuk selalu

memberikan dukungan dan semangat. Tetap istiqomah di jalan Allah

SWT. Jangan pernah menyerah dengan segala dinamika kehidupan yang

harus dihadapi. Sungguh, Allah SWT senantiasa beserta orang-orang yang

sabar.

18. Mbak Devi A. P, Atika Setia Sari, Nur Fitriatus Sholihah, Risma N., Triya

Maulana Rahma, teman sekaligus sahabat yang telah membantu dalam

setiap diskusi penyusunan skripsi. Terima kasih atas segala bantuan dan

semangatnya.
ix
19. Rizky Dwi Puspitasari & Mbak Octovina Ane Bella Puturuhu, S.I.Kom,

terima kasih banyak atas dukungan dan semangat. Tidak akan ada waktu

yang dapat menggantikan kebersamaan kita dalam setiap tangis dan tawa

yang sudah dilalui.

20. Jajaran Kabinet BEM Periode 2013-2014, dan Jajaran Kabinet BEM

periode 2015-2016. Terima kasih yang tiada tara untuk segala moment dan

pembelajaran yang berarti. Tanpa kalian, peneliti tidak akan mampu

menjadi seseorang yang seperti sekarang ini. Tetap amanah, dan

melakukan yang terbaik dalam setiap kesempatan dan waktu yang

diberikan.

21. Seluruh teman-teman Ormawa Stikosa AWS, baik pengurus maupun

anggota Ormawa. Terima kasih karena telah membantu dan berpartisipasi

bersama dalam membangun dan membenahi segala kekurangan dan

peningkatan mutu BEM Stikosa AWS.

22. Seluruh rekan-rekan di Stikosa AWS dan semua pihak yang tidak dapat

peneliti tuliskan satu-persatu. Terima kasih atas segala bantuan dan

semangatnya dalam upaya penyusunan skripsi ini.

Peneliti begitu menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh

dari kesempurnaan. Maka kritik dan saran yang membangun akan sangat

bermanfaat guna memperbaiki kekurangan yang ada. Peneliti berharap

penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa-

mahasiswi, khususnya ilmu komunikasi dalam hal referensi maupun

penelitian-penelitian mendatang. Semoga Allah SWT senantiasa


x
melimpahkan rahmat dan berkah bagi rekan-rekan yang telah membantu

penyelesaian skripsi ini.

Surabaya, 18 Agustus 2016

Kartika Setya Palupi

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………. i

HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………………. ii

HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………. iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ………………………………. iv

HALMAN MOTTO …………………………………………………………….. v

HALAMAN KATA PENGANTAR…………………………………………… vi

DAFTAR ISI …………………………………………………………………....xii

DAFTAR TABEL……………………………………………………………….xvi

ABSTRAK……………………………………………………………….……. xvii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah………………………………………………1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………....13

1.3 Tujuan Penelitian………………………………………………….....14

1.4 Manfaat Penelitian………………………………………………...…14

1.4.1 Manfaat Teoretis……………………………………........14

1.4.2 Manfaat Praktis………………………………..…………14

1.5 Kajian Pustaka ..……………………………………………..………15

1.5.1 Komunikasi Interpersonal……………………….………15

1.5.1.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal…………....15

1.5.1.2 Karakteristik Komunikasi Interpersonal ………...15

1.5.2 Keterbukaan Diri…………..…………………………….18


xii
1.5.2.1 Pengertian Keterbukaan Diri…..………………...18

1.5.2.2 Tingkatan-Tingkatan Keterbukaan Diri….……...19

1.5.3 Ta’aruf……….………………………………………….21

1.5.3.1 Pengertian Ta’aruf…………………….………...20

1.5.3.2 Langkah-Langkah Ta’aruf……………………....22

1.5.3.3 Adab Ta’aruf…………………….……………...25

1.5.3.4 Informasi……………………….……………….27

1.5.3.5 Jika Ta’aruf Gagal……………………….....…...28

1.6 Kerangka Berpikir…………………………………………………..30

1.7 Metodologi Penelitian…………………………………….………...30

1.7.1 Metode Penelitian………………………....……………30

1.7.2 Jenis dan Sumber Data…………………………………..31

1.7.2.1 Data Primer……………………………………....31

1.7.2.2 Data Sekunder…………………….……………...32

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data……………………………….32

1.7.3.1 Wawancara ……………………..………………..32

1.7.3.2 Sumber Tertulis …………………………..……...32

1.7.4 Pemeriksaan Keabsahan Data ...........................................33

1.7.5 Teknik Analisis dn Interpretasi Data.................................33

BAB II – DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

2.1 Gambaran Umum Objek Penelitian.....................................................35

2.1.1 Pasangan Ta’aruf...................................................................35

xiii
2.1.1.1 Catatan Bagi Pria yang Berta’aruf.........................36

2.1.1.2 Catatan Bagi Wanita yang Berta’aruf....................38

2.1.2 Mediator atau Perantara Ta’aruf...........................................40

2.1.2.1 Pengertian Moderator atau Perantara Ta’aruf........40

2.1.2.2 Peranan Mediator atau Perantara Ta’aruf..............40

2.2 Karakteristik Responden......................................................................44

2.2.1 Pasangan Pertama Beserta Mediator Ta’aruf........................44

2.2.2 Pasangan Kedua Beserta Mediator Ta’aruf...........................44

BAB III – ANALISIS DATA................................................................................49

3.1 Penyajian Data.....................................................................................49

3.1.1 Teknik Penyajiaan Data........................................................49

3.1.2 Pembahasan Hasil Penelitian................................................50

3.1.2.1 Pertanyaan untuk Informan Pertama……………..50

3.1.2.2 Pertanyaan untuk Informan Kedua….……………56

3.1.2.3 Pertanyaan untuk Informan Ketiga………….…...63

3.1.2.4 Pertanyaan untuk Informan Keempat……………67

3.1.2.5 Pertanyaan untuk Informan Kelima……………...73

3.1.2.6 Pertanyaan untuk Informan Keenam……………..78

3.2 Analisis Data………….....…………………………………………...81

3.2.1 Informan Pertama………………………………………......81

3.2.2 Informan Kedua……………………………………….…...83

3.2.3 Informan Ketiga…………………………………………....84

xiv
3.2.4 Informan Keempat………………………………………....86

3.2.5 Informan Kelima……………………………………….......87

3.2.6 Informan Keenam…………………………………….…....89

BAB IV – PENUTUP

4.1 Kesimpulan..........................................................................................97

4.2 Saran....................................................................................................98

DAFTAR PUSTAKA

xv
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Analisis Hasil Wawancara terhadap Informan Sukses/Berhasil dan

Gagal dalam Menjalani Proses Ta’aruf Pranikah…………………………...........91

xvi
ABSTRAK
Secara fitrah dasarnya, manusia senantiasa ingin hidup berdampingan satu
sama lain. Hal inilah yang membuat adanya kebutuhan pula untuk berkeluarga,
membina rumah tangga demi kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Terdapat
beberapa alternatif dalam hal memilih atau menentukan pasangan untuk tujuan
pernikahan. Salah satunya adalah berta’aruf. Ta’aruf merupakan suatu proses
pengenalan antara pria dan wanita yang bertujuan pada jenjang pernikahan.
Uniknya proses ta’aruf ini adalah media komunikasi yang digunakan pasangan
ta’aruf adalah manusia. Hal ini menjadi syarat mutlak dalam proses ta’aruf yang
dijalani.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses komunikasi
interpersonal antara pasangan ta’aruf pranikah dengan mediator ta’aruf. Jenis
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data menggunakan informan
yang pernah menjalani proses ta’aruf dengan metode wawancara.
Hasil penelitian ditemukan bahwa pasangan ta’aruf pranikah dan mediator
yang sukses, terdapat pemenuhan pada lima karakteristik komunikasi
interpersonal. Sedangkan pasangan ta’aruf pranikah dan mediator yang gagal
tidak memenuhi beberapa karakteristik komunikasi interpersonal. Karakteristik
komunikasi interpersonal tersebut diantaranya adalah keterbukaan, empati,
dukungan ,rasa positif dan kesetaraan. Pelaku komunikasi ta’aruf harus memiliki
keterbukan satu sama lain, keterbukaan inilah memunculkan rasa empati terhadap
kondisi yang dimiliki. Dukungan yang baik oleh para pelaku komunikasi dan
sekitarnya akan memunculkan perasaan positif dalam proses komunikasi.
Perasaan positif ini pada akhirnya menumbuhkan sikap saling mengharagai
sebagai wujud kesamaan atau kesetaraan dalam proses komunikasi. Bukan hanya
pasangan ta’aruf saja yang berperan penting dalam proses komunikasi yang terjadi
didalamnya, namun moderator atau perantara juga menjadi kunci sukses dan
gagalnya sebuah proses ta’aruf.

Kata Kunci : Komunikasi Interpersonal, Ta’aruf

xvii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Manusia saling berinteraksi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang di

dalamnya terdapat komunikasi untuk saling mempengaruhi baik secara tindakan

maupun pikiran. Seperti yang kita ketahui, bahwa manusia dalam kehidupan

sehari-hari tidak pernah lepas dari hubungan satu dengan yang lain. Unsur saling

membutuhkan muncul, karena setiap manusia sebagai anggota masyarakat tidak

bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya tanpa bantuan anggota atau manusia

lainnya. Jadi, adanya saling ketergantungan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan

psikologisnya. Di sinilah sesungguhnya makna manusia sebagai makhluk sosial

(Suratman dkk, 2013).

Berdasarkan teori lima kebutuhan dasar manusia yang dikemukakan oleh

seorang psikolog humanistik, Abraham Maslow (1984), salah satu dari lima

kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan cinta, sayang dan rasa kepemilikan.

Manusia membutuhkan rasa dimiliki dan diterima, baik datang dari kelompok

sosial yang luas (kelompok, kantor, perkumpulan keagamaan, organisasi

profesional, tim olahraga, dan lain-lain) atau koneksi sosial yang kecil (anggota

keluarga, kerabat dekat, sahabat karib, pasangan). Manusia membutuhkan untuk

mencintai dan dicintai oleh yang lainnya. Ketika tidak tepernuhinya kebutuhan

ini, maka seseorang akan menjadi rentan sendirian, merasa gelisah dan kemudian

mengalami depresi. Di satu sisi, manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa

hidup tanpa manusia lain. Manusia juga membutuhkan cinta, sayang dan

1
kepemilikan. Maka dapat dikatakan bahwa fitrah dasar manusia adalah mencintai

dan dicintai karena dengan begitu mereka dapat saling membagi segala sesuatu

yang mereka miliki karena pada dasarnya mereka tidak bisa melakukan segala

sesuatunya sendiri. Sehingga, rasa cinta dan memiliki antar manusia tersebut

diwujudkan dalam sebuah pernikahan.

Menurut peraturan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 tahun

1974 pasal 1 tentang perkawinan, definisi perkawaninan adalah ikatan lahir batin

antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Hampir semua agama umat manusia menyerukan

untuk menikah sebagaimana bentuk dari perwujudan perasaan cinta, sayang dan

kepemilikan. Sama halnya dengan agama Islam. Dalam agama Islam, menikah

merupakan ibadah kepada Allah SWT.

Dalam kitab Al-Quran dituliskan :

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan


pasangan untukmu dari jenismu sendiri agar kamu cenderung dan merasa
tentram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir. (Q.S. Ar-Rum :21)

Berdasarkan pemaparan Q.S Ar-Rum ayat 21, pernikahan merupakan

suatu anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT kepada manusia dengan

menciptakan pasangan untuk setiap orang. Allah SWT juga menumbuhkan rasa

senang terhadap pasangan, selanjutnya menimbulkan perasaan nyaman, cinta dan

kasih sayang.

2
Dalam Islam juga terdapat hadist Rasul yang menganjurkan umat manusia untuk

menikah :

Dari Ibnu Mas‟ud, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Hai para


pemuda, barangsiapa diantara kamu yang sudah mampu menikah, maka
nikahlah, karena sesungguhnya nikah itu lebih dapat menundukkan
pandangan dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang
belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa, karena berpuasa itu baginya
(menjadi) pengekang syahwat”. (HR. Jamaah)

Dipaparkan dengan jelas bahwa ketika memang sudah mampu untuk

menikah, segerakanlah untuk menikah karena dengan menikah dapat lebih

menjaga dan mengendalikan pandangan. Jika memang belum mampu untuk

menikah, dalam agama Islam dianjurkan untuk berpuasa sebagaimana fungsinya

adalah sebagai pengekang hawa nafsu.

Realitas yang terjadi di era modern seperti sekarang ini, cara yang

dilakukan untuk menemukan dan mengenal pasangan adalah dengan cara pacaran.

Menurut DeGenova & Rice (2005) pengertian pacaran adalah menjalankan suatu

hubungan di mana dua orang bertemu dan melakukan serangkaian aktivitas

bersama agar dapat saling mengenal satu sama lain. Terdapat pengertian pacaran

yang selainnya yaitu menurut Bowman (1978) pacaran adalah kegiatan bersenang-

senang antara pria dan wanita yang belum menikah, dimana hal ini akan menjadi

dasar utama yang dapat memberikan pengaruh timbal balik untuk hubungan

selanjutnya sebelum pernikahan di Amerika. Seperti yang kita ketahui, bahwa

proses pacaran dijadikan sarana bagi kaum laki-laki dan perempuan untuk saling

mengenal sebelum menuju pada tahap selanjutnya yaitu menikah dan membina

rumah tangga. Dalam pacaran tidak terdapat aturan tertentu yang membatasi

pasangan baik dari segi perilaku maupun lamanya hubungan pacaran tersebut

3
dijalankan. Karena tidak adanya batasan perilaku yang mengatur bagaimana

seharusnya hubungan pacaran, maka secara tidak langsung pacaran memberikan

peluang lebih kepada setiap pasangan untuk melakukan hal apapun yang mereka

inginkan. Sehingga perilaku-perilaku pacaran mengarah pada pergaulan bebas,

yakni pergaulan yang dilakukan sudah melanggar nilai dan norma yang berlaku di

masyarakat. Sebagaimana yang sudah disampaikan sebelumnya, tujuan dari

hubungan pacaran adalah untuk mengenal pasangan sebelum menuju pernikahan.

Namun, realitas yang terjadi saat ini, pacaran dijadikan legalitas bagi para pelaku

pacaran untuk melakukan kontak fisik secara berlebihan. Tidak dapat dipungkiri

bahwa kontak fisik yang dilakukan, berujung pada aktifitas zina. Menurut Kamus

Besar Bahasa Indonesia, zina merupakan perbuatan bersenggama antara laki-laki

dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan),

pengertian yang kedua, zina merupakan perbuatan bersanggama seorang laki-laki

yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau

seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan

suaminya.

Jelas bahwa pacaran tidak diperbolehkan dalam Agama Islam. Karena jika

setiap pasangan melakukan zina, dapat dipastikan pihak yang paling dirugikan

adalah perempuan. Karena perempuan ketika memberikan kesuciannya kepada

laki-laki yang belum menjadi suaminya, sama halnya perempuan tersebut telah

kehilangan kehormatannya dan dianggap tidak mampu menjaga kesuciannya baik

di hadapan sesama umat muslim maupun di hadapan Allah SWT. Ustadz Felix Y.

Siauw menuliskan dalam akun Twitter miliknya, “Tidak semua pacaran diikuti

zina, tapi semua zina diawali dengan pacaran”. Perbuatan zina tentu berpotensi

4
terjadi bahkan menjadi alasan bagi pelaku pacaran untuk membuktikan kesetiaan

kepada pasangannya. Hal ini justru adalah kekeliruan. Ekstrimnya, budaya

pacaran yang seperti ini telah menjadi hal yang biasa di kalangan masyarakat.

Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan perempuan bukan mahram


karena yang ke tiganya adalah syetan (HR. Abu Dawud)

Paparan hadist di atas jelas maksudnya, bahwa laki-laki dan perempuan tidak

diperbolehkan berduaan tanpa mahram yakni orang (perempuan, laki-laki) yang

masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan

perkawinan sehingga tidak boleh menikah di antaranya pengertian mahram yang

kedua adalah orang laki-laki yang dianggap dapat melindungi wanita yang akan

melakukan ibadah haji (suami, anak laki-laki, dsb). (Kamus Besar Bahasa

Indonesia – KBBI).

Karena hal inilah, dalam Islam tidak mengenal istilah pacaran. Bahkan,

pacaran Islami pun tidak pernah diajarkan dalam Islam. Dalam agama Islam,

hanya mengajarkan istilah ta‟aruf. Kata ta‟aruf secara bahasa artinya adalah

berkenalan atau saling mengenal. Asal kata ta‟aruf adalah dari akar kata ta‟aarafa.

Sebagaimana yang telah tertulis di Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat 13, sebagai

berikut :

“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang


laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.
Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Kata li ta‟aarafu dalam ayat di atas mengandung makna bahwa, tujuan

daripada semua penciptaan Allah SWT adalah supaya manusia saling mengenal

satu sama lain. Sehingga, secara umum, ta‟aruf adalah upaya sebagian orang

5
untuk mengenal sebagian yang lain. Maka, ketika kita berkenalan dengan

seseorang baik itu tetangga, rekan kerja, atau sesama penumpang kendaraan

umum, dapat di sebut sebagai ta‟aruf. Tentunya, ta‟aruf jenis seperti ini

dianjurkan dengan siapa saja. Karena secara tujuannya adalah untuk mengikat

hubungan persaudaraan. Namun, terdapat batasan tertentu yang harus dipatuhi,

ketika proses ta‟aruf dilakukan oleh dua lawan jenis yaitu laki-laki dan

perempuan. Ta‟aruf atau perkenalan yang dianjurkan dalam agama Islam adalah

dalam batas-batas yang tidak melanggar aturan agama Islam itu sendiri. Jika

dalam persoalan makan dan minum ditentukan oleh halal atau haram, dan tidak

sembarang pakaian boleh dipakai, maka untuk hal-hal yang lebih kompleks,

agama Islam tentu juga memiliki aturannya.

Ta‟aruf pada konteks penelitian ini adalah proses saling mengenal antara

laki-laki dan perempuan dengan orientasi (tujuan) menuju pada jenjang

pernikahan dan membina sebuah rumah tangga. Sehingga, dalam ta‟aruf tentu ada

pertukaran informasi terkait data diri dari masing-masing pasangan. Informasi

yang diberikan kepada masing-masing pasangan ta‟aruf bertujuan sebagai

referensi untuk memberikan pertimbangan terkait kelanjutan dari proses ta‟aruf

itu sendiri. Mekanisme umum dalam proses ini adalah ta‟aruf (saling mengenal) –

khitbah (meminang), akad nikah (melangsungkan pernikahan). Adapun rambu-

rambu ta‟aruf yang harus dipatuhi, salah satunya adalah tidak boleh berdua-

duaan. Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa jika lawan jenis

berdua-duaan, maka akan berpotensi untuk melakukan zina. Berikut ini

diriwayatkan dalam hadist tentang jenis zina :

6
“Telah ditulis bagi tiap anak Adam bagiannya dari zina, dia pasti akan
melakukan, yaitu kedua mata berzina dengan memandang, kedua telinga
berzina dengan mendengar, lisan berzina dengan berbicara, tangan
berzina dengan memegang, kaki berzina dengan melangkah, sementara
hati berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluanlah yang
membenarkannya atau mendustakannya.” (Riwayat al-Bukhari)

Paparan hadist di atas, jelas bagaimana setiap anggota bagian tubuh

manusia berpotensi untuk melakukan zina, sehingga laki-laki dan perempuan

tidak boleh bercampur baur. Maka dari itu, dalam proses ta‟aruf harus menjaga

pandangan, pendengaran, lisan, tangan-kaki serta hati yang tidak boleh berlebihan

dalam berkeinginan dan berangan-angan.

Berdasarkan penjelasan tentang ta‟aruf, jelas sekali bahwa ta‟aruf dan

pacaran adalah berbeda. Dilihat dari segi tujuannya pun sudah berbeda. Ta‟aruf,

memiliki tujuan yang jelas yaitu proses untuk saling mengenal antara laki-laki dan

perempuan untuk menuju pada jenjang pernikahan. Sedangkan pacaran, tujuannya

tidak selalu untuk menuju jenjang pernikahan. Bahkan, saat ini pacaran telah

menjadi budaya bagi masyarakat, khususnya para pelaku pacaran berpeluang

untuk melakukan hal-hal yang mereka inginkan dengan alasan sebagai bentuk rasa

cinta dan kesetiaan sebagai pasangan pacaran. Selanjutnya, dari segi waktu pun,

ta‟aruf tidak seperti pacaran. Dalam ta‟aruf, jika memang sudah cocok dan sesuai,

maka dianjurkan untuk segera menikah. Karena dengan menikah, dapat menjaga

pandangan dan mengendalikan hawa nafsu. Selanjutnya dari segi waktu, ta‟aruf

terbilang cukup singkat jika dibandingkan dengan pacaran yang tidak mempunyai

aturan khusus berapa lama mereka menjalani hubungan pacaran.

Seiring dengan berjalannya waktu, proses ta‟aruf tidak hanya dilakukan

oleh kalangan tertentu saja seperti halnya para santri dan santriwati yang

7
mengemban ilmu di pondok pesantren. Namun, justru saat ini proses ta‟aruf

menjadi salah satu pilihan masyarakat yang beragama Islam untuk menemukan

pasangan hidup. Bahkan para artis dan public figur di Indonesia pun juga memilih

jalan ta‟aruf untuk mengenal calon pasangan hidup mereka.

Berdasarkan salah satu website berita islami masa kini yakni

www.dailymoslem.com menuliskan beberapa artis yang menempuh jalan ta‟aruf

hingga menuju ke jenjang pernikahan. Salah satu diantaranya adalah pasangan

Oki Setiana Dewi dan Ory Vitrio. Oki mulai dikenal masyarakat saat

membintangi salah satu film layar lebar yang diambil dari novel karya

Habiburrahman el Shirazy berjudul „Ketika Cinta Bertasbih‟.

Sumber lain pun juga dikutip dari http://www.hipwee.com yang mana

dalam artikel tersebut menuliskan “Aktor tampan nan berkharisma Fedi Nuril,

akhirnya melepas masa lajang pada 17 Januari kemarin. Vanny Widyasasti,

seorang gadis cantik berjilbab yang telah meluluhkan hati Fedi untuk melalui

proses ta‟aruf yang akhirnya berlabuh ke pernikahan di Balai Sudirman,

Jakarta.”

Perkembangan saat ini adalah proses ta‟aruf dapat ditempuh melalui dua

cara. Cara pertama yakni melalui teman, saudara ataupun kerabat dekat untuk

memfasilitasi seseorang menjalankan ta‟aruf dengan seseorang yang dikehendaki.

Cara kedua adalah melalui agen ta‟aruf. Bahkan agen ta‟aruf ini dapat kita

temukan secara online. Salah satu agen ta‟aruf tersebut adalah “Rumah Ta‟aruf

My Quran” website resminya dapat diakses melalui http://www.rumahtaaruf.com.

8
Berdasarkan paparan di atas membuktikan bahwa proses ta‟aruf bukanlah

hal yang tidak biasa di kalangan masyarakat. Kini ta‟aruf menjadi salah satu

pilihan masyarakat khususnnya umat muslim dalam proses mengenal calon

pasangan mereka.

Namun, tidak semua orang menjalani sebuah hubungan pranikah melalui

proses ta‟aruf. Seperti yang diketahui bersama bahwa banyak juga orang-orang

yang memilih untuk menjalani sebuah hubungan dengan jalan pacaran.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Aji pada penelitiannya

“Penerimaan Terhadap Pasangan dan Religiusutas sebagai Kepuasan

Pernikahan pada Pasangan” (2013), menurut hasil observasi awal yang

dilakukan olehnya kepada konsultan pernikahan yang banyak menangani kasus

pasangan yang menikah melalui proses ta‟aruf. Didapatkan hasil bahwa ternyata

tidak sedikit pasangan yang menikah melalui proses ta‟aruf bercerai. Tidak hanya

itu, ta‟aruf dapat dikatakan bagai memilih kucing dalam karung. Maksud dari

pernyataan tersebut adalah karena adanya batasan dalam hal bertatap muka

maupun berkomunikasi antar pasangan ta‟aruf. Bahkan pada awalnya mereka

tidak pernah bertemu sebelumnya dan hanya bertukar biodata melalui mediator/

perantara ta‟aruf. Sedangkan, ketika orang-orang berkomunikasi, mereka

meramalkan efek perilaku komunikasi mereka. Dengan kata lain, komunikasi juga

terikat oleh aturan/ tatakrama. Artinya, orang-orang memilih startegi tertentu

bedasarkan bagaimana orang yang menerima pesan akan merespon. (Dedy M.,

2008 : 115). Adanya ketidakpastian dalam komunikasi ta‟aruf ini, menyebabkan

para pelaku komunikasi di dalamnya tidak dapat memprediksi perilaku

komunikasi.

9
M. Budyatna dan Leila Mona Ganiem (2011) mengatakan dalam bukunya

bahwa, hubungan antarpribadi yang sehat ditandai oleh keseimbangan

pengungkapan diri atau self-disclosure yang tepat yaitu saling memberikan data

biografis, gagasan-gagasan pribadi, dan perasaan-perasaan yang tidak diketahui

bagi orang lain, dan umpan balik berupa verbal dan respon-respon fisik kepada

orang dan atau pesan-pesan mereka di dalam suatu hubungan. Paparan tersebut

menyatakan bahwa hubungan antarpribadi haruslah ditandai dengan

keseimbangan pengungkapan diri. Sehingga pada penelitian ini hendak

mengetahui bagaimana keterbukaan diri pasangan ta‟aruf. Sedangkan ketika

mereka menjalankan ta‟aruf, mereka dituntut untuk tetap menjaga pandangan dan

mengendalikan hawa nafsu (terikat oleh aturan dalam Agama Islam). Padahal,

untuk dapat memperoleh informasi pasangan ta‟aruf tentu harus didukung dengan

informasi yang diinginkan oleh masing-masing. Tidak dapat dipungkiri bahwa

mekanisme ta‟aruf, berbeda dengan mekanisme orang-orang yang melakukan

pacaran. Ta‟aruf terikat oleh waktu yang dibilang cukup singkat. Bahkan ada yang

mengatakan bahwa proses ta‟aruf maksimal adalah selama 12 minggu (3 bulan)

harus sudah memegang keputusan, apakah ta‟aruf ini berlanjut pada pernikahan

ataukah memang harus dihentikan. Untuk memperoleh informasi yang diinginkan,

para pasangan ta‟aruf ini tidak boleh begitu saja menanyakan hal-hal yang

diinginkan kepada lawan ta‟arufnya ketika tidak didampingi oleh mahramnya.

Mahram di sini dapat dikatakan sebagai wali atau mediator untuk pasangan

ta‟aruf. M. Fauzil Adhim (2008) dalam bukunya mengutip nasehat Sayyidina Ali

bin Abi Thalib karamallahu wajhahu. Beliau mengatakan, “Sebaik-baik syafaat

adalah memperantarai dua orang untuk menikah, dimana dengan itu Allah

10
mengumpulkan mereka berdua”. Terdapat beberapa keterangan mengenai

keutamaan menjadi perantara nikah, yakni menjadi sumber informasi bagi mereka

yang mau menikah. Sehingga dalam proses ta‟aruf, mediator atau perantara

merupakan salah satu kunci yang turut menentukan proses berlangsungnya

pasangan yang menjalankan ta‟aruf. Karena hal inilah, pada penelitian ini

mediator atau perantara turut menjadi subjek penelitian. Ketika tidak ada peran

mediator atau perantara dalam proses ta‟aruf, maka bisa dipastikan bahwa

pasangan tersebut tidak menjalankan ta‟aruf. Justru, aktifitasnya mengarah pada

perilaku pacaran. Pada umumnya, media atau perantara komunikasi adalah alat

atau benda. Namun, pada fenomena komunikasi interpersonal ta‟aruf tidak

demikian, yang menjadi perantara komunikasi adalah manusia. Seperti yang

diketahui bersama bahwa peran mediator atau perantara berpengaruh pada proses

komunikasi diantara pasangan ta‟aruf terkait pertukaran informasi maupun

pemahaman pada masing-masing pasangan. Setiap gagasan maupun pendapat

yang diutarakan oleh mediator atau perantara kepada pasangan ta‟aruf, tentu

menjadi bahan pertimbangan dalam kelanjutan proses ta‟aruf yang ia perantarai.

Dapat dikatakan bahwa mediator mempunyai kendali dalam membangun suasana

komunikasi interpersonal yang diinginkan. Sehingga, penelitian ini tidak hanya

meneliti para pasangan ta‟aruf saja, namun juga mediator atau perantara dari

pasangan ta‟aruf tersebut.

Penelitian ini bersifat kualitatif, bertujuan untuk mengetahui bagaimana

komunikasi interpersonal antara pasangan dan mediator ta‟aruf. Sebelumnya

terdapat penelitian yang membahas tentang ta‟aruf. Diantaranya adalah penelitian

yang dibuat oleh Fariza Yuniar Rakhmawati Mahasiswi Program Studi Magister

11
Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP Angkatan V dengan judul : Self Disclosure

dalam Ta‟aruf Pranikah Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Penelitian ini,

berfokus pada bagaimana keterbukaan diri kader PKS dalam proses ta‟aruf.

Sehingga yang diteliti adalah kader-kader PKS dengan konteks organisasinya.

Terdapat juga penelitian yang membahas tentang ta‟aruf yakni, Debby

Faura Donna Mahasiswa Universitas Gunadarma dengan judul : Penyesuaian

Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah Tanpa Proses Pacaran (ta‟aruf).

Penelitian ini berfokus pada bagaimana penerapan penyesuaian perkawinan pada

psangan yang menikah melalui proses ta‟aruf, sehingga penelitian ini mengarah

pada penelitian psikologi.

Selanjutnya adalah penelitian oleh Aji Samba Pranata Citra Mahasiswa

Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung tahun 2013 dengan judul :

Penerimaan Terhadap Pasangan dan Religiusutas sebagai Kepuasan Pernikahan

pada Pasangan. Penelitian ini berfokus pada penggambaran penerimaan terhadap

pasangan dan religiusitas pada seseorang yang menikah melalui proses ta‟aruf.

Penelitian ini lebih menekankan tentang kepuasan pernikahan berdasarkan aspek-

aspek kepuasan yang mana ditinjau dari ilmu psikologi.

Kemudian, Dilla Tria Febrina Mahasiswi Universitas Pendidikan

Indonesia, Bandung tahun 2013 dengan judul penelitian : Intimacy pada

Pasangan yang Menikah melalui Proses Ta‟aruf (Studi Kasus pada Dua

Pasangan yang Menikah pada Fase Awal di Kota Bndung). Penelitian ini

berfokus bagaimana keintiman pada pasangan yang menikah pada proses ta‟aruf

12
yang mana keintiman dalam pernikahan ini akan berpengaruh pada penyesuaian

masing-masing pasangan dalam membina rumah tangga bersama.

Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu terkait proses ta‟aruf dengan

penelitian ini adalah dari segi masa ta‟arufnya. Penelitian-penelitian sebelumnya

berfokus pada masa setelah ta‟aruf yakni masa pernikahan. Sedangkan penelitian

ini berfokus pada masa ta‟aruf pranikah, yakni masa di mana pasangan ta‟aruf

belum melangsungkan pernikahan. Alasan peneliti memilih masa pranikah adalah

dikarenakan pada masa pranikah merupakan waktu di mana para pasangan saling

melakukan pertukaran informasi, berbagi pengalaman, serta negosiasi terhadap

hubungan yang sedang mereka jalani.

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya bahwa, dalam proses ta‟aruf,

yang menjadi syarat utama setelah pasangan ta‟aruf adalah adanya mediator atau

perantara. Hal inilah yang menjadi pembeda antara proses ta‟aruf dan proses

pacaran. Sehingga, pada proses ta‟aruf ini mediator atau perantara memiliki andil

dalam proses komunikasi interpesonal antara pasangan ta‟aruf pranikah tersebut.

Proses dari ta‟aruf sendiri, termasuk pada kriteria komunikasi interpersonal yang

mana melibatkan beberapa orang didalamnya, adanya feedback atau umpan balik,

dan tidak harus bertatap muka seperti halnya mekanisme ta‟aruf itu sendiri.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana komunikasi interpersonal antara pasangan ta‟aruf pranikah dengan

mediator ta‟aruf?

13
1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:

Untuk mengetahui bagaimana komunikasi interpersonal antara pasangan ta‟aruf

pranikah dengan mediator ta‟aruf.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoretis

a. Menjadi bahan masukan atau bahan informasi dalam kajian studi Ilmu

Komunikasi terutama tentang komunikasi interpersonal pasangan ta‟aruf

pranikah.

b. Menjadi bahan referensi terkait peranan mediator dalam proses ta‟aruf.

c. Menjadi bahan masukan atau bahan informasi dalam kajian studi Ilmu

Komunikasi terutama tentang komunikasi interpersonal antara pasangan

dan mediator ta‟aruf.

1.4.2 Manfaat Praktis

a. Dapat memberikan manfaat bagi individu yang ingin mengetahui

bagaimana proses komunikasi dalam ta‟aruf. Sehingga, dapat dijadikan

sebagai bahan pertimbangan untuk pemecahan masalah bagi individu yang

hendak melakukan ta‟aruf.

b. Dapat dijadikan sebagai sarana pemecahan masalah terkait peranan

mediator atau perantara dalam proses ta‟aruf pranikah.

14
c. Dapat memberikan manfaat bagi para pendidik, serta masyarakat luas

dalam pemecahan masalah terkait komunikasi interpersonal antara

pasangan ta‟aruf pranikah dan mediator ta‟aruf.

1.5 Kajian Pustaka

1.5.1 Komunikasi Interpersonal

1.5.1.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal

Secara definisi komuikasi interpersonal (komunikasi

antarpribadi) adalah sebagai tujuan di mana komunikasi digunakan

untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi utama komunikasi adalah

mengendalikan lingkungan guna memperoleh imbalan-imbalan

tertentu berupa fisik, ekonomi, dan sosial (M. Budyatna & Leila

Mona Ganiem, 2011 : 27)

1.5.1.2 Karakteristik Komunikasi Interpersonal (Komunikasi

Antarpribadi)

Terdapat lima karakteristik dalam komunikasi interpersonal

menurut Devito (1976) dalam (Dasrun H, 2012:47).

1. Keterbukaan (Openess)

Adanya kemauan menanggapi dengan senang hati informasi

yang diterima di dalam menghadapi hubungan antarpribadi.

Keterbukaan atau sikap terbuka sangat berpengaruh dalam

menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang efektif. Keterbukaan

adalah pengungkapan reaksi atau tanggapan kita terhadap situasi

15
yang sedang dihadapi serta memberikan informasi tentang masa

lalu yang relevan untuk memberikan tanggapan kita di masa kini

tersebut.

2. Empati (Empathy)

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi dari

empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa

atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran

yang sama dengan orang atau kelompok lain. Definisi lain dari

empati yaitu merasakan apa yang dirasakan orang lain.

3. Dukungan (Supportiveness)

Adanya situasi yang terbuka untuk mendukung komunikasi

berlangsung efektif. Dukungan merupakan pemberian dorongan

atau pengobaran semangat kepada orang lain dalam suasana

hubungan komunikasi. Sehingga, dengan adanya dukungan dalam

situasi tersebut, komunikasi interpersonal akan bertahan lama

karena tercipta suasana yang mendukung.

4. Perasaan Positif (Positiveness)

Perasaan positif adalah adanya kecenderungan bertindak

pada diri komunikator untuk memberikan penilaian yang positif

pada diri komunikan. Dalam komunikasi antarpribadi, hendaknya

antara komunikator dengan komunikan saling menunjukkan sikap

positif karena dalam hubungan komunikasi tersebut akan muncul

16
suasana menyenangkan sehingga pemutusan hubungan komunikasi

tidak dapat terjadi.

5. Kesetaraan atau Kesamaan (Equality)

Adanya pengakuan secara diam-diam bahwa masing-

masing pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang

penting untuk diberikan. Kesetaraan merupakan perasaan sama

dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah,

walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu, latar

belakang keluarga atau sikap orang lain terhadapnya.

Richard L. Weaver II (1993) dalam buku yang ditulis M.

Budyatna & Leila Mona Ganiem (2011), tidak memberikan defini

komunikasi antarpribadi melainkan terdapat delapan karakteristik

dalam komunikasi antarpribadi, yaitu :

1. Melibatkan paling sedikit dua orang.

2. Adanya umpan balik atau feedback.

3. Tidak harus tatap muka.

4. Tidak harus bertujuan.

5. Menghasilkan beberapa pengaruh atau effect.

6. Tidak harus melibatkan atau menggunakan kata-kata.

17
7. Dipengaruhi oleh konteks. Konteks merupakan tempat

dimana pertemuan komunikasi terjadi termasuk apa yang

mendahului dan mengikuti apa yang dikatakan (Verderber

et al., 2007).

8. Dipengaruhi oleh kegaduhan atau noise.

1.5.2 Keterbukaan Diri (Self Disclosure)

Hubungan antarpribadi yang sehat ditandai oleh keseimbangan

pengungkapan diri atau self disclosure yang tepat yaitu saling memberikan

data biografis, gagasan-gagasan pribadi, dan perasaan-perasaan yang tidak

diketahui bagi orang lain, dan umpan balik berupa verbal dan renspons-

respons fisik kepada orang dan atau pesan-pesan mereka di dalam suatu

hubungan (M. Budyatna & Leila Moba Ganiem, 2011 : 40)

1.5.2.1 Pengertian Keterbukaan Diri

Menurut Morton (dalam Sears, dkk., 1989) Self disclosure

atau pengungkapan diri merupakan kegiatan membagi perasaan

dan informasi yang akrab dengan orang lain. Informasi di dalam

pengungkapan diri ini bersifat deskriptif atau evaluatif. Deskriptif

artinya individu melukiskan berbagai fakta mengenai diri sendiri

yang mungkin belum diketahui oleh pendengar seperti, jenis

pekerjaan, alamat dan usia. Sedangkan secara evaluatif artinya

individu mengemukakan pendapat atau perasaan pribadinya seperti

tipe orang yang disukai atau hal-hal yang tidak disukai atau

dibenci.

18
Pengungkapan diri (Self Disclosure) adalah kedua belah

pihak mampu mengungkapkan perasaan pribadinya terhadap satu

sama lain ((M. Budyatna & Leila Moba Ganiem, 2011 : 38)

Pengungkapan diri ini dapat berupa berbagai topik seperti

informasi perilaku, sikap, perasaan, keinginan, motivasi, dan ide

yang sesuai dan terdapat di dalam diri orang yang bersangkutan

(Dasrun Hidayat, 2012 : 106).

1.5.2.2 Tingkatan-tingkatan Keterbukaan Diri

Dalam proses hubungan interpersonal atau hubungan

antarpribadi terdapat tingkatan-tingkatan yang berbeda dalam

pengungkapan diri. Menurut Powell (dalam Dasrun, 2012),

tingkatan-tingkatan pengungkapan diri dalam komunikasi yaitu :

a. Basa-basi merupakan taraf pengungkapan diri yang paling leman

atau dangkal, walaupun terdapat keterbukaan di antara individu,

tidak terjadi hubungan antarpribadi. Masing-masing individu

berkomunikasi basa-basi sekedar kesopanan.

b. Membicarakan orang lain yang diungkapkan dalam komunikasi

hanyalah tentang orang lain atau hal-hal yang di luar dirinya.

Walaupun pada tingkat ini isi komunikasi lebih mendalam,

individu tidak mengungkapkan diri.

19
c. Menyatakan gagasan atau pendapat sudah mulai dijalin

hubungan yang erat. Individu mulai mengungkapkan dirinya

kepada individu lain.

d. Perasaan : setiap individu dapat memiliki gagasan atau pendapat

yang sama, tetapi perasaan atau emosi yang menyertai gagasan

atau pendapat setiap individu dapat berbeda-beda. Setiap hubungan

yang menginginkan pertemuan antarpribadi yang sungguh-sunguh,

haruslah didasarkan atas hubungan yang jujur, terbuka, dan

menyarankan perasaan-perasaan yang mendalam.

e. Hubungan puncak : pengungkapan diri telah dilaukan secara

mendalam, individu yang menjalin hubungan antarpribadi dapat

menghayati perasaan yang dialami individu lainnya. Segala

persahabatan yang mendalam dan sejati haruslah berdasarkan pada

pengungkapan diri dan kejujuran yang mutlak.

1.5.3 Ta’aruf

1.5.3.1 Pengertian Ta’aruf

Kata ta‟aruf secara bahasa artinya adalah berkenalan atau

saling mengenal. Asal kata ta‟aruf adalah dari akar kata ta‟aarafa.

Sebagaimana yang telah tertulis di Al-Quran Surat Al-Hujurat ayat

13, sebagai berikut :

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari


seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu

20
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Kata li ta‟aarafu dalam ayat di atas mengandung makna

bahwa, tujuan daripada semua penciptaan Allah SWT adalah

supaya manusia saling mengenal satu sama lain. Sehingga, secara

umum, ta‟aruf adalah upaya sebagian orang untuk mengenal

sebagian yang lain.

Ta‟aruf yang dimaksud di sini adalah proses saling

mengenal antara dua orang lawan jenis yang ingin menikah. Jika di

antara mereka berdua ada kecocokan maka bisa berlanjut ke

jenjang pernikahan namun jika tidak maka proses pun berhenti dan

tidak berlanjut.Aktivitas yang dilakukan saat proses perkenalan

biasanya yaitu bertukar biodata, kemudian melakukan diskusi dan

tanya jawab dalam forum pertemuan. Pada saat forum pertemuan

ini dimungkinkan masing-masing calon untuk mengetahui

pasangannya yang akan dijadikan sebagai suami istri dalam

batasan-batasan aturan agama Islam. Dalam proses ini harus ada

mediator atau perantara yang diminta untuk memfasilitasi

pertemuan atau untuk mencairkan suasana karena banyak pasangan

yang melakukan proses perkenalan ini, sebelumnya belum saling

mengenal.

21
1.5.3.2 Langkah-langkah Ta’aruf

Langkah-langkah ta‟aruf yang secara umum beorientasi

pada pernikahan adalah Ta‟aruf (saling mengenal) – Khitbah

(meminang) – Akad Nikah (melangsungkan pernikahan). Berikut

ini langkah-langkah ta‟aruf :

Pertama, pihak lelaki mencari keterangan tentang biografi,

karakter, sifat, atau hal lain pada wanita yang ingin ia pinang

melalui seseorang yang mengenal baik tentangnya demi maslahat

pernikahan. Bisa dengan cara meminta keterangan kepada wanita

itu sendiri melalui perantaraan seseorang, seperti istri teman atau

yang lainnya. Demikian pula dengan pihak wanita yang

berkepentingan untuk mengenal lelaki yang berkeinginan

meminang dapat menempuh cara yang sama.

Dalam menempuh langkah pertama ini, perlu memerhatikan

beberapa perkara antara lain:

Tidak berkhalwat (berdua-duaan) dalam mencari informasi

secara langsung dari wanita terkait dan sebaliknya. Nabi –

shallallahu „alaihi wa sallam – menegaskan,

“Dan janganlah seorang lelaki berdua-duaan dengan


seorang wanita kecuali jika sang wanita bersama
mahramnya” (Riwayat al-Bukhari no. 3006 dan Muslim
1341.

22
Kemudian Nabi – shallallahu „alaihi wa sallam – kembali

menjelaskan hikmah dari larangan ini dalam sabdanya,

“Tidaklah seorang lelaki berdua-duaan dengan seorang


wanita kecuali setan adalah orang ketiga di antara mereka
berdua.” (Riwayat Ahmad 1/18, Ibnu Hibban)

Pada intinya, tetap harus menjaga adab pergaulan dalam

agama Islam sebagaimana yang diketahui bersama bahwa, Islam

memberikan batasan antara laki-laki dan perempuan untuk tidak

melakukan perbuatan yang mengarah pada zina.

“Telah ditulis bagi tiap anak Adam bagiannya dari zina,


dia pasti akan melakukan, yaitu kedua mata berzina
dengan memandang, kedua telinga berzina dengan
mendengar, lisan berzina dengan berbicara, tangan
berzina dengan memegang, kaki berzina dengan
melangkah, sementara hati berkeinginan dan berangan-
angan, maka kemaluanlah yang membenarkannya atau
mendustakannya.” (Riwayat al-Bukhari)

Tidak ikhtilath (campur baur antara laki-laki dan wanita bukan

mahram).

Kedua, setelah menemukan kecocokan dan sebelum

khitbah, bagi lelaki disunahkan melihat wanita yang ingin ia

nikahi. Hal ini karena bermodalkan informasi saja terkadang tidak

cukup, karena kondisi seseorang atau kecantikan seseorang itu

relatif. Bisa saja cantik menurut kacamata seseorang, namun tidak

23
cantik menurutnya. Sehingga Syekh Utsaimin – rahimahullah –

menegaskan,

“Sesungguhnya penglihatan orang lain tidak mewakili


penglihatan sendiri secara langsung. Bisa jadi seorang
wanita cantik menurut seseorang namun tidak cantik
menurut orang yang lain”. (Syarhul Mumti‟ XII/20)

Saat seorang lelaki ingin wanita yang akan ia khitbah, maka

ia harus memperhatikan rambu-rambu nazhar yang telah dijelaskan

oleh Syekh Utsamin – rahimahullah – dalam Syarhul Mumti‟

XII/22 sebagai berikut :

1. Tidak berkhalwat (berdua-duaan) dengan sang wanita

tatkala memandangnya.

Untuk menjauhi khalwat ketika nazhar, maka ia bisa

melihat wanita yang ingin ia pinang ditemani wali si wanita

atau jika tidak mampu maka ia bisa bersembunyi dan

melihat wanita tersebut di tempat di mana ia sering melalui

tempat tersebut.

2. Hendaknya memandangnya dengan tanpa syahwat

(nafsu), Tujuan dari melihat calon istri adalah untuk

mengetahui kondisinya bukan untuk menikmatinya.

3. Hendaknya ia memiliki prasangka kuat bahwa sang

wanita akan menerima lamarannya.

24
4. Hendaknya ia memandang kepada apa yang biasanya

nampak dari tubuh sang wanita, seperti muka, telapak

tangan, leher, dan kaki (selebihnya adalah aurat).

5. Hendaknya ia benar-benar bertekad untuk melamar sang

wanita. Yaitu hendaknya pandangannya terhadap sang

wanita itu merupakan hasil dari keseriusannya untuk maju

menemui wali wanita tersebut untuk melamar putri mereka.

Adapun jika ia hanya ingin berputar-putar melihat-lihat

para wanita satu per satu, maka hal ini tidak diperbolehkan.

6. Hendaknya sang wanita yang dinazharnya tidak

berdandan, memakai wangi-wangian, memakai celak, atau

yang sarana-sarana kecantikan yang lainnya.

1.5.3.3 Adab Ta’aruf

Ta‟aruf bukanlah pernikahan yang menghalalkan apa yang

dihalalkan bagi pasangan suami istri. Ta‟aruf hanyalah proses pra

pernikahan, maka selama akad nikah belum diikrarkan, maka

mereka berdua adalah dua orang yang bukan mahram harus

menjaga ada-adab islam.

1. Menahan Pandangan

Allah berfirman,

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,


„Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
memelihara kemaluannya yang demikian itu adalah lebih

25
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
apa yang mereka perbuat.‟ Katakanlah kepada wanita yang
beriman, „Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya …‟” (an-Nur: 30-31)

Yakni, wajib bagi kita untuk menjaga pandangan. Tidak

boleh terlalu memandang, apalagi memperhatikan setiap detail

bagian tubuhnya. Melihat diperbolehkan bila untuk memastikan

kecocokan saja. Artinya, setelah segala sesuatu yang lain dianggap

sudah saling cocok, melihat sebagai penentunya.

2. Menutup aurat

Allah SWT berfirman,

“… Dan janganlah mereka (wanita-wanita mukmin)


menampilkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak
dari pandangan dan hendaklah mereka menutupkan kain
kerudung ke dadanya ….” (an-Nur: 31)

Artinya, bila harus berbicara dengan pria non mahram,

seorang wanita muslimah harus menutup aurat sebatas yang dia

yakini sebagai aurat, menurut dasar yang jelas. Kecuali saat nazhar

(melihat calon istri) dengan tujuan memastikan kecocokan secara

fisik, seperti tersebut di atas. Saat itu boleh dibuka sebagian aurat,

asalkan bukan untuk dinikmati, tapi sekadar memastikan

kecocokan fisik saja, maka yang dilihat juga harus sangat dibatasi.

26
3. Tenang dan Terhormat dalam Gerak-Gerik

Allah SWT berfirman,

“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara


sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab:
32)

4. Serius dan Sopan dalam Berbicara

Allah SWT berfirman,

“… Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara


sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam
hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” (al-Ahzab:
32)

Makna ayat di atas adalah kita harus mengucapkan perkataan yang

baik.

5. Hindari Membicarakan Hal-hal yang Tidak Perlu

Allah SWT berfirman,

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,


(yaitu) orang-orang yang khusyu‟ dalam shalatnya, dan
orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna…” (al-Mukminun : 1-3)

1.5.3.4 Informasi

Informasi memengaruhi persepsi seseorang terhadap orang

lain dan pada gilirannya persepsi memengaruhi cara-cara orang

berkomunikasi. Oleh karena itu, kita harus memerhatikan

informasi yang kita peroleh tentang pihak lain bila kita ingin

27
memhami bagaimana hubungan komunikasi berkembang. Kita

tidak maksudkan untuk menyatakan urutan waktu secara pasti

dalam proses ini bahwa orang pertama-tama harus memperoleh

informasi dan kemudian membentuk persepsi sebelum ia dapat

berkomunikasi (M. Budyatna & Leila Mona Ganiem, 2011 : 49)

Selama proses menuju pernikahan, orang membutuhkan

sumber informasi. Pertama, untuk memperoleh keterangan

mengenai aspek-aspek pribadi calon suami/istri. Kedua, orang yang

membutuhkan sumber informasi, bisa untuk memperoleh

keterangan tentang persoalan-persoalan temporer (sesaat) dan

situasional (M. Fauzil Adhim, 2008 : 139)

Sehingga, informasi mempunyai peran yang cukup penting

dalam proses ta‟aruf. Baik dari pihak pasangan maupun mediator

(perantara) ta‟aruf.

1.5.3.5 Jika Ta’aruf Gagal

Tidak terdapat suatu jaminan atas kepastian bahwa setelah

melaksanakan proses ta‟aruf, maka keduanya secara otomatis akan

segera menuju jenjang perkawinan. Memang setelah adanya

kecocokan keduanya, maka keduanya melanjutkan hubungan

tersebut menjadi ikatan yang lebih kukuh menuju pelaminan. Akan

tetapi, jika ternyata masing-masing atau salah satu pihak merasa

tidak cocok setelah mengetahui „kualitas‟ pihak lainnya, maka

28
pihak yang bersangkutan dapat memutuskan apakah ia akan terus

maju atau tidak (Abdullah, 2003).

29
1.6 Kerangka Berpikir

Pernikahan Ta’aruf

Bagaimana komunikasi
interpersonal antara
pasangan ta’aruf pranikah
dan mediator ta’aruf?

Untuk mengetahui bagaimana proses


komunikasi interpersonal antara
pasangan ta’aruf pranikah dan
mediator ta’aruf
1. Keterbukaan

2. Empati
Karakteristik
Teori Komunikasi Interpersonal Komunikasi
Interpersonal oleh
3. Dukungan
Devito (1976)

4. Perasaan Positif
Analisis

5. Kesetaraan/
Kesimpulan Kesamaan

30
1.7 Metodologi Penelitian

1.7.1 Metode Penelitian

Penentuan metode dalam penelitian adalah langkah yang sangat

penting karena dapat menentukan berhasil atau tidaknya sebuah penelitian

(Mahi M. Hikmat, 2011 : 35). Metode penelitian adalah cara atau strategi

menyeluruh untuk menemukan atau memperoleh data yang diperlukan

(Soehartono, 2002 : 9).

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Penelitian

kualitatif deskriptif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada

filsafat postposotivisme yang biasanya digunakan untuk meneliti pada

kondisi objektif yang alamiah dimana peneliti berperan sebagai instrumen

kunci (Sugiyo, 2008 :15)

Fokus sasaran penelitian ini merupakan individu yang pernah

menjalani proses ta‟aruf pranikah, serta individu yang pernah menjadi

mediator/ perantara ta‟aruf.

1.7.2 Jenis dan Sumber Data

1.7.2.1 Data Primer

Data primer adalah berbagai informasi dan keterangan yang

diperoleh langsung dari sumbernya, yaitu para pihak yang

dijadikan informan penelitian. Jenis data ini meliputi informasi dan

keterangan mengenai pola komunikasi yang terjadi antara pasangan

dan mediator ta‟aruf. Berdasarkan kriteria tersebut, maka

31
selanjutnya para pihak yang dijadikan informan penelitian adalah

pasangan yang menjalankan ta‟aruf (laki-laki dan perempuan) serta

pihak yang menjadi mediator atau perantara dalam proses ta‟aruf.

1.7.2.2 Data Sekunder

Sumber data sekunder adalah berbagai teori dan informasi

yang diperoleh tidak langsung dari sumbernya, data tersebut berupa

buku-buku, artikel, berita, penelitian sebelumnya, serta dapat

diperoleh melalui media internet.

1.7.3 Teknik Pengumpulan Data

1.7.3.1 Wawancara ( in depth interview )

Menggunakan tape recorder untuk merekam percakapan

antara peneliti dengan narasumber diantaranya pasangan ta‟aruf

(laki-laki dan perempuan) serta mediator atau perantara ta‟aruf.

dilengkapi dengan pembuatan catatan, serta analisis dan

kesimpulan dari hasil wawancara tersebut. Narasumber penelitian

ini diantaranya adalah pasangan ta‟aruf dan mediator ta‟aruf.

1.7.3.2 Sumber tertulis

Data tertulis dikumpulkan melalui media internet, koran,

majalah, ataupun tabloid, serta penelitian-penelitian yang telah

dikaji sebelumnya.

32
1.7.4 Pemeriksaan Keabsahan Data (Operasional)

Teknik pemeriksaan Keabsahan Data pada penelitian ini

menggunakan Ketekunan/ Keajegan Pengamatan. Pada teknik ini, peneliti

mengadakan pengamatan dengan teliti dan risi secara berkesinambungan

terhadap faktor-faktor yang menonjol. Kemudian ia menelaahnya secara

rinci sampai pada suatu titik sehingga pada pemeriksaan tahap awal

tampak salah satu atau seluruh faktor yang ditelaah sudah dipahami

dengan cara yang biasa. Peneliti mampu menguraikan secara rinci

bagaimana proses penemuan tentatif dan penelaahan secara rinci tersebut

dilakukan (Lexy J. Moleong, 2011 : 330)

Mengandung makna mencari secara konsisten dengan berbagai

cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan atau tentatif dan

menemukan ciri-ciri dan unsur yang relevan dengan fokus penelitian untuk

lebih dicermati. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan kedalaman

penelitian yang maksimal (Michael Quinn Patton, 2002).

1.7.5 Teknik Analisis dan Interpretasi Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif melibatkan perangkuman

data dalam cara yang dapat dipertanggungjawabkan dan akurat. Presentasi

temuan penelitian dalam suatu cara yang tak dapat diingkari. Interpretasi

data adalah suatu upaya peneliti menemukan makna dalam data dan

menjawab pertanyaan “so what?” dalam istilah implikasi dari temuan

penelitian.

33
Banyak analisis data terjadi sebelum pengumpulan data selesai.

Peneliti memikirkan dan mengembangkan firasat tentang apa yang mereka

lihat dan dengar selama pengumpulan data.

Analisis data kualitatif merupakan suatu siklus, proses iteratif

„berulang‟ dari review data untuk topik-topik umum atau tema-tema. Satu

pendekatan analisis adalah mengikuti tiga langkah iteratif:

membaca/membuat memo, mesdeskripsikan apa yang terjadi pada latar,

dan mengklasifikasikan data penelitian. Membaca/membuat memo

merupakan proses menulis catatan dalam margin catatan lapangan dan

menggarisbawahi bagian-bagian atau masalah-masalah yang tampak

penting selama membaca awal data naratif.

34
BAB II

DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN

2.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

2.1.2 Pasangan Ta’aruf

Syarat utama untuk melakukan proses ta’aruf adalah adanya

pasangan ta’aruf. Yakni terdiri dari satu pria & satu wanita yang nantinya

akan saling bertukar informasi mengenai data diri masing-masing melalui

mediator atau perantara ta’aruf.

Pernikahan sedemikian pentingnya dalam pandangan Islam. Ketika

seorang laki-laki dan perempuan yang beragama Islam menikah, saat itu

juga mereka telah menyempurnakan setengah agama mereka. Seperti yang

sudah disampaikan sebelumnya bahwa pernikahan dilakukan semata-

semata sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Sehingga, langkah awal

yang perlu diperhatikan oleh para pasangan yang berta’aruf adalah niat

daripada melakukan ta’aruf itu sendiri. Diketahui bersama bahwa ketika

seorang pria dan seorang wanita memilih jalan berta’aruf, tujuannya

adalah untuk menikah dan membina sebuah rumah tangga.

Pernikahan merupakan hal yang sangat dimuliakan dalam agama

Islam, maka dari itu hendaknya disegerakan, bukan yang dilakukan secara

tergesa-gesa. Jika sebuah pernikahan dilakukan secara tergesa-gesa, justru

tidak membawa keberkahan diantara keduanya. Makna disegerakan tentu

1
berbeda dengan tergesa-gesa. Seperti yang disampaikan sebelumnya

bahwa yang membedakan keduanya adalah niatnya dalam menjalankan

ta’aruf itu sendiri. Ketika niat yang baik sedari awal sudah dibangun,

maka mekanisme ta’arufnya akan menghasilkan kedamaian hati, karena

memang mempunyai niat yang tulus dalam menjalankan ibadah kepada

Allah SWT.

Hal yang perlu menjadi catatan adalah ketika seorang wanita

sedang menjalankan ta’aruf dengan seorang pria, maka wanita tersebut

tidak diperbolehkan menerima pinangan pria lain sebelum wanita tersebut

memberikan keputusan terhadap pria tersebut apakah dia bersedia atau

tidak melakukan pernikahan. Sebaliknya pun juga begitu, jika seorang pria

mendapati wanita yang dia inginkan untuk dilamar ternyata sudah dilamar

oleh pria muslim yang lain, ia tidak diperbolehkan untuk melamar wanita

tersebut sebelum wanita yang dikehendaki tersebut memberikan keputusan

akhir terhadap proses ta’aruf mereka.

2.1.2.1 Catatan Bagi Pria yang Berta’aruf

Sebelum memutuskan untuk meminang atau melamar

seorang wanita, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh

pria yang sedang melakukan ta’aruf ataupun yang hendak

melakukan proses ta’aruf. Hal awal yang perlu diperhatikan adalah

dalam hal menentukan kriteria wanita yang akan dinikahi.

2
Terdapat satu hadis yang populer dari Abu Hurairah r.a.,

Rasulullah bersabda :

“Biasanya wanita dikawini karena empat (hal) : karena hartanya,


karena kebangsawanannya, karena kecantikan dan karena
agamanya (akhlaknya). Maka pilihlah yang beragama (berkahlak)
semoga beruntung usahamu.” (HR. Bukhari & Muslim, shahih).

Dalam sabda Rasulullah di atas jelas disampaikan bahwa

dianjurkan para pria mengutamakan agama dari wanita yang

hendak dinikahi. Abdullah bin Amr r.a., Rasulullah bersabda :

“Janganlah kamu menikahi seorang wanita karena kecantikannya,


mungkin saja kecantikannya itu membuatnya hina. Janganlah
kamu menikahi wanita karena hartanya, mungkin saja harta itu
melampaui batas. Akan tetapi nikahilah seorang wanita karena
agamanya. Sebab, seorang budak wanita yang shaleh, meskipun
buruk wajahnya adalah lebih utama.” (HR. Ibnu Majah).

Hadis tersebut pun juga menyampaikan bahwa agama dari

wanita yang akan dinikahi menjadi hal utama dalam menentukan

kriteria wanita yang akan dinikahi. Bahkan Rasulullah juga

menjelaskan dalam salah satu hadisnya yang lebih spesifik terkait

kriteria wanita yang akan dinikahi.

Rasulullah mengatakan,

“Tiga kunci kebahagiaan laki-laki adalah istri shalihah yang jika


dipandang membuatmu semakin sayang, dan jika kamu pergi
membuatmu merasa aman, dia bisa menjaga kehormatan dirinya
dan hartamu; kendaraan yang baik yang bisa mengantar kemana
kamu pergi; dan rumah yang damai yang penuh kasih sayang.
Tiga perkara yang membuatnya sengsara adalah istri yang
membuatmu tidak bahagia jika dipandang dan tidak bisa menjaga
lidahnya juga tidak membuatmu merasa aman jika kamu pergi
karena tidak bisa menjaga kehormatan diri dan hartamu;

3
kendaraan yang rusak jika dipakai hanya membuatmu lelah namun
jika kamu tinggalkan tidak bisa mengantarmu pergi; dan rumah
yang sempit yang tidak kamu temukan kedamaian di dalamnya.”
(M. Fauzil Adhim, 2008 : 177-178)

Berdasarkan hadis di atas jelas bahwa standar yang

diberikan dapat dilihat bagaimana seorang wanita tersebut

berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Melihat cara seorang

wanita menyikapi suatu hal, mulai dari hal-hal yang sederhana

hingga pada hal-hal yang rumit, seorang pria dapat memberikan

penilaian bagi wanita tersebut.

2.1.2.2 Catatan Bagi Wanita yang Berta’aruf

Sebagaimana seorang pria yang akan meminang atau

melamar, seorang wanita yang berkeinginan untuk menyerahkan

diri kepada pria untuk dinikahi juga perlu memperhatikan niatnya

memilih pria yang dikehendaki. Tidak dapat dipungkiri bahwa

seorang wanita yang sudah siap secara mental dan psikologis untuk

menikah, tentu mempunyai harapan dapat memilih suami yang

baik, suami yang dapat membimbing istri dalam beragama maupun

membimbing istri dalam menjalani kehidupan bersama sebagai

satu keluarga yang saling mencintai dan mengasihi.

Bukan hanya kaum pria saja, dalam agama Islam kaum

wanita pun juga diperingatkan untuk memilih pendamping hidup

atas dasar agama calon pasangannya. Tidak dapat dipungkiri

bahwa untuk menikah tentu terdapat beberapa hal yang menjadi

pertimbangan diantaranya seperti pendidikan, pekerjaan dan latar

4
belakang keluarga calon pasangan. Namun yang menjadi

pertimbangan mendasar adalah agama calon suami yang akan

dinikahi.

KH. Abdurrahman Wahid menyampaikan,

“Tidak mungkin mengetahui keberagamaan seseorang melalui


shalat dan puasa serta sebagian ritual agama. Keimanannya
dalam beragama, dapat diketahui melalui aspek-aspek akhlak,
penjagaan hak-hak orang lain dan sikap menghindarkan orang
lain dari kezaliman-kezaliman dirinya. Adakalanya ketika orang
berpuasa, sangat takut kemasukan air setetes sehingga tidak
berani berkumur. Tetapi ia tak takut melanggar hak-hak orang
lain.” (M.Fauzil Adhim, 2008 : 111)

Mengutip perkataan dari KH. Abdurrahman Wahid di atas

jelas bahwa untuk mengetahui bagaimana agama seseorang bukan

hanya dilihat dari seberapa seringkah mereka melakukan ritual

keagamaan dalam Islam seperti halnya shalat dan berpuasa. Namun

justru keimanan seseorang dapat diukur melalui akhlak (perilaku)

yang dimiliki.

Rasulullah pernah bersabda,

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling


baik akhlaknya.” (HR. Ahmad & Abu Daud).

Dalam hadis lain pun, Rasulullah juga bersabda,

“Sesungguhnya seorang hamba yang berakhlak baik akan


mencapai derajat dan kedudukan yang tinggi di akhirat, walau
ibadahnya sedikit.”(HR. Thabrani dengan sanad baik).

Berdasarkan dua hadis di atas menegaskan hal yang serupa

yakni tingkat keimanan seseorang diukur dari cara mereka

5
berperilaku baik atau buruk. Sehingga standar untuk menentukan

agama calon pasangan adalah dilihat dari akhlaknya yang baik

serta penyikapannya dalam kehidupan sehari-hari terkait penjagaan

hak-hak orang lain.

Dalam bukunya, Muhammad Fauzil Adhim menyampaikan

bahwa, “nikah adalah masalah kehormatan agama, bukan sekedar

legalisasi penyaluran kebutuhan biologis dengan lawan jenis. Islam

memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada

laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kekuatan agamanya,

dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya.” (M.Fauzil Adhim :

71).

2.1.3 Mediator atau Perantara Ta’aruf

2.1.3.1 Pengertian Moderator atau Perantara Ta’aruf

Mediator atau perantara ta’aruf merupakan orang yang

memperantarai dua orang untuk menikah, mendapat kedudukan

mulia dalam agama Islam. Membantu dua orang yang berkeinginan

untuk menikah, sehingga Allah mempertemukan mereka sebagai

suami istri yang sah di hadapan Allah. (M. Fauzil Adhim, 2008 :

140)

6
2.1.3.2 Peranan Mediator atau Perantara Ta’aruf

Berikut ini peran mediator atau perantara ta’aruf yang

ditulis oleh M. Fauzil Adhim (2008) :

1. Memberi Informasi Objektif

Perantara atau mediator maupun sumber informasi

seyogyanya memberikan informasi yang objektif. Ia

memberikan keterangan yang bersifat informatif

sehingg dapat bermanfaat bagi calon pengntin maupun

keluarganya untuk menilai calon pasangannya. Ada

kalanya, sebagian informasi tidak informatif, tidak

bernilai sebagai informasi. Justru, kadang malah

menimbulkan penilaian (persepsi) yang salah tentang

calonnya. Tidak informatifnya keterangan yang

diberikan, kadang karena kurangnya deskripsi

(penggambaran) mengenai informasi yang abstrak.

2. Tidak Persuasif

Pertama, informasi persuasif (bersifat membujuk,

promosi) dapat memunculkan harapan (atau malah

angan-angan) yang terlalu tinggi mengenai calonnya.

Ini menjadikannya kurang peka terhadap kebaikan-

kebaikan pasangannya kelak setelah menikah, karena

secara tak sadar membandingkan dengan harapan

semula sebelum menikah. Ia lebih peka terhadap

7
kekurangan, meskipun sedikit, sementara kebaikannya

sebenarnya banyak.

Kedua, informasi persuasif mengarahkan harapan

orang tentang keindahan-keindahan yang akan

diberikan pasangan hidupnya. Bukan apa yang kelak

perlu ia lakukan kepada pasangannya. Ini

menjadikannya mudah merasa kurang terhadap apa

yang telah diberikan oleh pasangannya.

Ketiga, orang justru menjadi takut menikah karena

membandingkan persepsinya (penilaiannya) mengenai

calon dengan keadaan dirinya.

3. Memberi Informasi Menurut Apa yang Diketahui

Nilai keutamaan orang yang memperantarai

pernikahan ataupun yang menjadi sumber informasi,

terletak pada usaha untuk memberikan keterangan yang

tepat. Bukan pada banyaknya informasi yang dapat ia

sampaikan.

4. Lebih melihat Pada Usaha

Seorang perantara hendaknya lebih memperhatikan

kebaikan dalam mengusahakan, bukan beorientasi atau

bertujuan pada keberhasilan mempertemukan pasangan

ta’aruf untuk sampai ke pelaminan.

8
5. Moderat dan Tidak Menyudutkan

Adakalanya orang bersifat kurang moderat. Ia

cenderung mengarahkan pikiran orang yang

diperantarai, sekalipun tidak disadari. Bahkan terkadang

mengarahkan kepada “sikap negatif” yang

memojokkan, sehingga orang yang diperantarai merasa

tertekan. Merasa berada pada situasi yang riskan. Atau

menyebabkan orang yang diperantarai tertekan secara

emosional. Padahal, dalam saat-saat seperti itu, yang ia

butuhkan adalah kejernihan dan ketenangan agar dapat

memberikan keputusan yang terbaik. Sekalipun,

seorang perantara berdiri untuk memperantarai salah

satu orang yang sedang dipertimbangkan, ia sebaiknya

bersikap netral.

6. Memotivasi Jika Mampu

Sebagian perantara maupun sumber informasi,

selain memberikan keterangan yang diperlukan juga

member motivasi. Hal ini dilakukan dengan tujuan

supaya pasangan ta’aruf tersebut bersemangat dan tetap

optimis menghadapi tantangan dan kesulitan yang ada

selama proses ta’aruf berlangsung. Di satu sisi, seorang

perantara maupun sumber informasi perlu berhati-hati

dalam memberikan motivasi.

9
Menceritakan aspek-aspek yang ada ada diri calon,

boleh dilakukan. Tetapi hendaknya tetap

memperhatikan, agar keterangan tersebut tidak

mendorong munculnya persepsi yang keliru dan

harapan yang tidak tepat. Akan jauh lebih baik jika

sumber informasi atau perantara dapat memberikan

keterangan mengenai diri calon sekaligus mengarahkan

pada kelurusan niat.

Orang yang patut serta pantas dipilih untuk menjadi

mediator biasanya adalah orang yang intens atau sering

berinteraksi dengan salah satu pihak, baik itu orangtua, kakak, adik

atau saudara, serta kerabat lainnya. Selain itu,satu pihak dari

pasangan dapat mengajukan sendiri atau mempertimbangkan calon

mediator atau perantara yang diajukan orangtuanya sepanjang

sesuai dengan syarat-sayarat penting selaku perantara.

2.2 Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian adalah dua pasangan ta’aruf beserta mediator

atau perantara ta’arufnya yang mana terdiri dari satu pasangan ta’aruf pranikah

yang sukses menjalani ta’aruf pranikah hingga menuju jenjang pernikahan dan

bertahan hingga saat ini. Satu pasangan yang lainnya terdiri dari pasangan ta’aruf

pranikah yang gagal menuju ke jenjang pernikahan sebagaimana yang diharapkan.

Satu pasangan ta’aruf pranikah dan mediatornya, terdiri atas tiga orang, yakni satu

10
pria dan satu wanita, serta satu mediator atau perantara ta’aruf. Adapun profil

responden sebagai berikut :

2.2.1 Pasangan Pertama Beserta Mediator Ta’arufnya (Ta’aruf

Pranikah yang Sukses)

a. Informan Pria yang Berta’aruf

Nama : Abdul Rahman

Alamat : Jl. Kupang Krajan I, Surabaya

Tempat, Tanggal Lahir : Makassar 6 Mei 1980

Usia : 36 tahun

Agama : Islam

Status : Sudah Menikah (saat ini)

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Pemborong Rumah

Data diperoleh pada tanggal 13 Maret 2016 melalui via handphone pukul

15.30 WIB.

b. Informan Wanita yang Berta’aruf

Nama : Risma Pujiana

Alamat : Jl. Kupang Krajan I, Surabaya

Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 18 Juli 1986

11
Usia : 30 tahun

Agama : Islam

Status : Sudah Menikah (saat ini)

Pendidikan : SMK

Pekerjaan : Penjaga Toko

Data diperoleh pada tanggal 13 Maret 2016 melalui via handphone

pukul 15.35 WIB.

c. Informan Mediator atau Perantara Ta’aruf

Nama : Zaenuri

Alamat : Jl. Wonorejo 4, Surabaya

Tempat, Tanggal Lahir : Bojonegoro, 3 Maret 1955

Usia : 61 tahun

Agama : Islam

Status : Sudah Menikah

Pendidikan : S1 (Strata 1)

Pekerjaan : Guru SMP

Data diperoleh pada tanggal 13 Maret 2016 secara face to face

pada pukul 18.00 WIB.

12
2.2.2 Pasangan Keedua Beserta Mediator Ta’arufnya (Ta’aruf

Pranikah yang Gagal)

a. Informan Pria yang Berta’aruf

Nama : Amir (bukan nama sebenarnya)

Alamat : Graha Kota, Sidoarjo

Tempat, Tanggal Lahir : Bojonegoro, 22 April 1976

Usia : 40 tahun

Agama : Islam

Status : Sudah Menikah (saat ini)

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Supervisor Eksport-Import Kayu

Indonesia-Malasyia

Data diperoleh pada tanggal 10 Juni 2016 melalui via whats’app

pada pukul 21.25 WIB.

b. Informan Wanita yang Berta’aruf

Nama : Rani (bukan nama sebenarnya)

Alamat : Jl. Bebekan, Sidoarjo

Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 10 Maret 1985

Usia : 31 tahun

13
Agama : Islam

Status : Sudah Menikah (saat ini)

Pendidikan : Diploma 3

Pekerjaan : Pegawai Laboratorium Kesehatan

Data diperoleh pada tanggal 17 Juni 2016 melalui via handphone

pukul 19.30 WIB.

c. Informan Mediator atau Perantara Ta’aruf

Nama : Sari (bukan nama sebenarnya)

Alamat : Jl. Raya Benowo, Surabaya

Tempat, Tanggal Lahir : Surabaya, 25 Desember 1970

Usia : 46 tahun

Agama : Islam

Status : Sudah Menikah

Pendidikan : S1 (Strata 1)

Pekerjaan : Guru SMP

Data diperoleh pada tanggal 20 Juni 2016 melalui via handphone pukul 18,26
WIB.

14
BAB III

ANALISIS DATA

3.1 Penyajian Data

3.1.1 Teknik Penyajian Data

Penelitian ini dilakukan di kota Surabaya, subjek penelitian yang dijadikan

sebagai informan pada penelitian ini tidak dibatasi jumlahnya, akan tetapi peneliti

memilih beberapa informan yang dianggap sesuai dengan tujuan penelitian. Pada

penelitian ini, peneliti menjabarkan bagaimana komunikasi interpersonal

pasangan ta’aruf pranikah dengan mediator ta’aruf yang berada di wilayah

Surabaya dan sekitarnya.

Data yang diperoleh menggunakan depth interview (wawancara

mendalam) dengan informan yang dianggap memenuhi kualifikasi, mengetahui

serta memahami sebuah proses komunikasi interpersonal sesuai dengan prosedur

penelitian sehingga dapat menghasilkan data-data untuk memungkinkan

narasumber dalam menggambarkan komunikasi yang terjadi di antara mereka.

Wawancara dilakukan untuk menggali informasi sesuai dengan kualifikasi yang

dibutuhkan.Setelah seluruh data diperoleh dari wawancara mendalam, selanjutnya

peneliti akan menyajikan secara deskriptif serta dianalisis secara kualitatif

sehingga memperoleh jawaban, deskripsi serta kesimpulan dari proses komunikasi

yang diteliti.
3.1.2 Pembahasan Hasil Penelitian

Komunikasi Interpersonal Pasangan Ta’aruf Pranikah dengan

Mediator Ta’aruf

Wawancara yang dilakukan pada masing-masing informan, mempunyai

tujuan untuk mengetahui bagaiaman komunikasi interpersonal pasangan ta’aruf

pranikah dengan mediator ta’aruf. Wawancara ini difokuskan pada situasi

bagaimanakah proses komunikasi interpersonal yang terjadi antara pasangan

ta’aruf dengan mediator ta’aruf. Berikut ini hasil wawancara pada dua pasangan

ta’aruf beserta mediator ta’arufnya :

3.1.2.1 Pertanyaan Untuk Informan Pertama (Abdul Rahman)

Wawancara dilakukan pada tanggal 15 Juli 2016, via

handphone pada pukul 13.15 WIB.

Pertanyaan 1

Bagaimana awal mula Anda memilih melakukan proses ta’aruf untuk

menemukan pasangan hidup?

“Awalnya… memang karena saya sendiri ingin segera menikah dan

membina rumah tangga. Mengingat usia saya sudah hamper kepala 3

pada waktu itu..hehehe… lagipula menikah itu kan ibadah, jadi ya…

harus disegerakan.”

Berdasarkan jawaban Rahman di atas dia berinisiatif untuk melakukan

ta’aruf tanpa arahan dari orang lain. Karena dia memandang, menikah

adalah ibadah yang harus disegerakan.


Pertanyaan 2

Apakah sebelumnya Anda sudah mengenal atau mengetahui tentang

profil diri pasangan ta’aruf Anda?

Sudah mengenal Risma sebelumnya, jadi awalnya si Risma kan dulu

kerjanya di toko, kebetulan toko yang dia jaga itu berhadap-hadapan

dengan proyek ruko yang sedang saya bangun. Nah.. dari situlah

awalnya saya sering melihat dia mondar-mandir di depan toko itu.

Trus, saya nanya-nanya sama tante saya, kenal apa gak gitu sama dia.

Eh… rupanya kenal, ya sudah saya mulai berkenalan dengan dia.”

Jawaban dari pertanyaan kedua, Memang Rahman sudah mengenal

Risma sebelumnya, sehingga dia langsung mencari informasi lebih

mendalam mengenai Risma melalui orang-orang yang dekat dengan

dirinya.

Pertanyaan 3

Berapa lamakah Anda menjalani proses ta’aruf dengan pasangan

Anda? Apakah menurut Anda dirasa cukup efektif dengan kurun waktu

tersebut?

“Berapa ya, enggak lama kok.. sekitar 1 bulanan. Itupun saya gak

begitu sering ketemu meski harus selalu didampingi sama walinya”.

“Hhmm.. menurut saya, cukup. Selama niat kita sedari awal udah

tulus, Insya Allah pasti dimudahkan oleh Allah. Nah, buktinya sampai

sekarang. Alhamdulillah.. Allah senantiasa memberikan kasih sayang

kepada pernikahan saya dan Risma.”


Berdasarkan jawaban Rahman di atas, dia melakukan proses ta’aruf

dengan Risma hanya berlangsung selama satu bulan. Jika rata-rata

pasangan ta’aruf menempuh kurun waktu selama 3-4 bulan, Rahman

dan Risma hanya menempuh ta’aruf selama 1 bulan saja.

Pertanyaan 4

Apakah mediator atau perantara ta’aruf dapat membantu Anda dalam

proses melakukan ta’aruf? Alasannya?

“Sangat membantu menurut saya, bisa dibayangin nggak tuh gimana

kalau gak ada mediatornya, sedangkan kami pada waktu itu juga gak

bisa seenaknya gitu aja ketemu dan ngobrol ini-itu. Ibaratnya nih.. saya

sama Risma punya pintu komunikasi itu ya dari mediatornya.”

Rahman berpikiran bahwa peran mediator sangat membantu dalam

proses kelancarannya dalam menjalani ta’aruf dengan Risma, karena

dengan begitu ia dapat bertukar informasi melalui mediator atau

perantara ta’arufnya.

Pertanyaan 5

Bagaimana cara Anda memperoleh informasi terkait data diri pasangan

ta’aruf Anda? Sedangkan intensitas komunikasi Anda dengan

pasangan ta’aruf Anda dibatasi.

“Waktu itu, saya sengaja ngasih biodata pribadi gitu ke Risma, saya

taruh di map kertas. Terus saya titipkan sama walinya supaya di baca

kayak gimana saya. Hehehe.. Sampai pada akhirnya, saya janjian sama

walinya buat ketemu supaya bisa atur jadwal kami ketika pengen

ngobrol atau diskusi bareng.”


Berdasarkan keterangan Rahman di atas, hal yang dia lakukan pertama

kali adalah memberikan data diri berupa CV kepada Risma dengan

tujuan Risma mengenal sosok seperti apa dirinya. Dapat dikatakan

pula, bahwa dia tergolong aktif berkomunikasi dengan mediator

ta’arufnya. Hal ini ditunjukkan dengan jawaban Rahman yang

menjelaskan bahwa dia membuat janji dengan mediator supaya

mengatur jadwal bertemu mereka pada satu waktu.

Pertanyaan 6

Siapa sajakah yang terlibat bahkan mendukung proses ta’aruf Anda

dengan pasangan?

“Terus terang, banyak yang ngedukung saya waktu itu. Bukan hanya

mediator atau perantara ta’arufnya aja yang ngasih dukungan. Tapi

juga keluarga saya, keluarga Risma, baik banget sama saya. Meraka

ramah-ramah.”

Berdasarkan jawaban Rahman di atas, Rahman merasa mendapatkan

dukungan dari berbagai pihak selama ia melangsungkan ta’aruf. Hal

ini menumbuhkan semangat baginya untuk terus melanjutkan proses

ta’aruf tersebut.

Pertanyaan 7

Apakah pasangan ta’aruf Anda memiliki kesamaan terhadap beberapa

hal seperti latar belakang keluarga, pendidikan dan ekonomi? Mohon

dijelaskan dengan singkat.

“Jelas punya latar belakang keluarga yang beda, kalau saya kan lahir di

Makassar, dibesarkan di Makassar, sedangkan Risma memang asli


orang Surabaya, pendidikan saya aja juga jauh kalau dibandingin sama

Risma. Tapi, dia orangnya gak pernah tinggi hati, selalu merendah tiap

kali saya muji dia. Hehehe..Kalau dari segi ekonomi, Alhamdulillah..

Allah selalu memberikan kecukupan. Lagipula, rejeki kan bisa dicari

kalau kita mau usaha dengan keras.”

Berdasarkan jawaban Rahman di atas, memang pada dasarnya secara

data pribadi mereka tidak mempunyai kesamaan, namun secara pribadi

Rahman merasa ada kecocokan dengan Risma yang senantiasa rendah

hati.

Pertanyaan 8

Ketika pasangan ta’aruf Anda memiliki perbedaan dari segi latar

belakang keluarga, pendidikan, dan ekonomi, apakah menjadi suatu

masalah bagi Anda dan pasangan ta’aruf Anda di kemudian hari

setelah menikah?

Menurut saya, gak ada masalah. Di mata saya, Risma itu sosok wanita

yang sederhana, dia gak pernah ngeluh sama apa yang dia kerjain.

Meskipun budaya kami sedikit berbeda karena dia asli orang Jawa

Timur, sedangkan saya asli Makassar, komunikasi kami masih tetep

baik-baik aja.”

Memahami jawaban Rahman di pertanyaan kedelapan, Rahman

menerima dengan baik segala sesuatu keadaan yang mereka miliki.

Mulai dari perbedaan budaya hingga pribadi Risma sendiri yang

dipandang sederhana oleh Rahman. Adanya penerimaan-penerimaan

yang dia lakukan kepada Risma.


Pertanyaan 9

Apakah terdapat syarat khusus yang diajukan oleh pasangan ta’aruf

Anda jika sesudah menikah nanti? Jika ada, apa sajakah syarat khusus

tersebut?

“Jujur yaa.. Risma gak minta syarat yang aneh-aneh sama saya. Dia

bilang, cukup tanggungjawab dan amanah sama apa yang udah

dimiliki.”

Berdasarkan jawaban di atas, Rahman tidak merasa menemukan

kesulitan dari persyaratan yang diajukan oleh Risma.

Pertanyaan 10

Bagaimana respon Anda setelah diberikan syarat khusus oleh pasangan

ta’aruf Anda jika sesudah menikah nanti? Apakah Anda menerima atau

justru bersikap defensif?

“Bagi saya, syarat yang Risma ajukan itu adalah memang suatu hal

yang harus dilakukan bagi seorang suami di belahan bumi mana pun.

Jadi, saya nggak merasa keberatan sama syarat itu.”

Adanya penerimaan dan pemakluman yang Rahman berikan terkait

syarat yang diberikan Risma.

Pertanyaan 11

Selama proses ta’aruf, apakah Anda menyampaikan hal-hal yang Anda

sukai dan hal-hal yang tidak Anda sukai kepada pasangan ta’aruf Anda

maupun mediator atau perantara ta’aruf Anda?

“Iya pastinya, karena menurut saya itu dasar perkenalan. Dia harus

tahu saya kayak gimana, bayangin aja.. kalau misalnya dimudahkan


jalan sama Allah buat menikah, otomatis kan kita bakal tau gimana dia

di setiap harinya, mulai dari bangun pagi sampai menjelang tidur”

Berdasarkan jawaban Rahman, dia melakukan upaya untuk terbuka

dengan menceritakan keseharian yang dia lakukan dengan dasar

nantinya ketika menikah tentu semua hal-hal yang sederhana pun harus

saling mengetahui.

Pertanyaan 12

Apakah Anda merasakan keterpaksaan dalam hal memberi dan

menerima segala hal dari pasangan selama proses ta’aruf berlangsung?

“Enggak sama sekali, yang ada saya malah seneng, bahagia karena

saya diberikan kesempatan untuk mengenal Risma dengan cara yang

baik. Justru waktu itu, semakin hari, semakin bertambah besar rasa

ingin tahu saya tentang Risma.

Berdasarkan jawaban di atas, Rahman justru merasa bahagia dapat

melakukan ta’aruf pada kala itu. Tidak ada kepura-puraan dalam

dirinya selama melakukan proses ta’aruf.

3.1.2.2 Pertanyaan Untuk Informan Kedua (Risma Pujiana)

Wawancara dilakukan pada tanggal 15 Juli 2016, face to face di Jl.

Kupang Krajan I pada pukul 15.24 WIB.

Pertanyaan 1

Bagaimana awal mula Anda memilih melakukan proses ta’aruf untuk

menemukan pasangan hidup?


“Awalnya saya nggak kepikiran buat ta’aruf dan segera memiliki

pasangan hidup, tapi, tiba-tiba kak Rahman dating ke rumah saya,

mengajak saya untuk berta’aruf.”

Berdasarkan jawaban Risma, awalnya dia tidak berpikir untuk

melakukan proses ta’aruf sebelumnya.

Pertanyaan 2

Apakah sebelumnya Anda sudah mengenal atau mengetahui tentang

profil diri pasangan ta’aruf Anda?

“Sebenarnya udah kenal, Cuma belum begitu akrab gitu. Dulu, sering

ketemu dia di tempat kerja yang lama, yang waktu itu masih kerja di

toko deket kerjaannya dia.”

Sebelumnya mereka sudah saling mengenal namun tidak begitu akrab

dan belum terlibat percakapan yang begitu mandalam.

Pertanyaan 3

Berapa lamakah Anda menjalani proses ta’aruf dengan pasangan

Anda? Apakah menurut Anda dirasa cukup efektif dengan kurun waktu

tersebut?

“Seingat saya itu… nggak sampai dua bulan, bahkan bisa dibilang

Cuma sebulanan kayaknya. Hehehe…”

“Sebenarnya kurang lama kalau menurut saya, Cuma waktu itu kan

sudah ada wali, jadi ya… semuanya terserah beliau mau gimana waktu

itu.”
Menurut Risma, proses ta’aruf yang ia lakukan tergolong cukup

singkat, namun dia mempercayakan hal itu kepada mediatornya untuk

memfasilitasi jalannya ta’aruf antara dia dengan Rahman.

Pertanyaan 4

Pada proses ta’aruf ini, siapakah yang terlebih dahulu menawarkan diri

untuk melakukan proses ta’aruf? Apakah dari pihak Anda sendiri,

ataukah dari pihak sang pria?

“Pihak sang pria, kak Rahman sendiri yang menawarkan diri untuk

melakukan proses ta’aruf sama saya.”

Inisiatif untuk mencawarkan diri dari pihak laki-laki yaitu Abdul

Rahman.

Pertanyaan 5

Siapakah yang Anda pilih sebagai mediator atau perantara dalam

proses ta’aruf Anda? Alasannya?

“Waktu itu saya memilih paman saya. Alasannya, yaa.. karena dia kan

seorang guru, jadi bayangan saya itu.. Insya Allah bisa ngebantu dari

segi komunikasi saya sama kak Rahman.”

Risma memandang bahwa pamannya dirasa lebih mampu untuk

menjembatani proses ta’aruf mereka mengingat kapabilitas atau

kemampuan yang dimiliki oleh pamannya.

Pertanyaan 6

Apakah mediator atau perantara ta’aruf dapat membantu Anda dalam

proses melakukan ta’aruf? Alasannya?


“Ngebantu banget, karena kami gak bisa menyadari ta’aruf kan gak

boleh sering-sering ketemu.”

Menurut Risma, peran mediator atau perantara ta’aruf sangat

membantu dalam hal bertukar informasi yang dirasa mempunyai

keterbatasan.

Pertanyaan 7

Bagaimana cara Anda memperoleh informasi terkait data diri pasangan

ta’aruf Anda? Sedangkan intensitas komunikasi Anda dengan

pasangan ta’aruf Anda dibatasi.

“Kalau saya, langsung nanya sama Om saya, selaku mediator ta’aruf,

terus nanya sama saudara-saudara perempuan kak Rahman yang aku

kenal.”

Dilihat dari upaya Risma dalam mencari informasi, adanya rasa ingin

tahu dan keterbukaan yang terjadi antara dia dengan pamannya

mengenai proses ta’aruf yang dia lakukan dengan Rahman.

Pertanyaan 8

Siapa sajakah yang terlibat bahkan mendukung proses ta’aruf Anda

dengan pasangan?

“Selain Om saya, orang tua, adik dan kerabat saya senang sekali ketika

mendengar saya sudah memutuskan untuk berta’aruf agar segera

menikah.”

Adanya dukungan yang diberikan oleh keluarga dan kerabat Risma

membuatnya berpikir positif dalam menjalan ta’arufnya pada saat itu.


Pertanyaan 9

Apakah pasangan ta’aruf Anda memiliki kesamaan terhadap beberapa

hal seperti latar belakang keluarga, pendidikan dan ekonomi? Mohon

dijelaskan dengan singkat.

“Hhmm.. apa yaa.. kalau dilihat dari latar belakang keluarga jelas beda.

Dia asli Makassar, tapi aku asli Surabaya, itu yang kentara banget.

Segi pendidikan pun kami juga beda, secara perekonomian juga beda.”

Adanya perbedaan secara profil diri di antara mereka. Risma merasa

adanya perbedaan budaya antara dia dengan Rahman.

Pertanyaan 10

Ketika pasangan ta’aruf Anda memiliki perbedaan dari segi latar

belakang keluarga, pendidikan, dan ekonomi, apakah menjadi suatu

masalah bagi Anda dan pasangan ta’aruf Anda di kemudian hari

setelah menikah?

“Alhamdulillah, saya nggak ngerasa itu masalah. Saya menerima dia

karena kegigihan dia pada waktu itu, tidak peduli saya akan berkata iya

atau tidak pada akhir proses ta’aruf kami.”

Adanya penerimaan dari jawaban yang Risma lontarkan di atas. Tidak

ada keraguan dalam kalimat yang ia katakan.

Pertanyaan 11

Apakah terdapat syarat khusus yang diajukan oleh pasangan ta’aruf

Anda jika sesudah menikah nanti? Jika ada, apa sajakah syarat khusus

tersebut?
“Iya, ada. Waktu itu kak Rahman memberikan syarat kepada saya,

bahwa setelah menikah, saya harus ikut dia tinggal di Makassar.

Karena memang, ada proyek pembangunan di sana, bertepatan saat

dimana dia berta’aruf dengan saya di Surabaya.”

Risma memberikan informasi bahwa Rahman mengajukan syarat

kepadanya, jika nanti sudah menikah dia harus tinggal dengan Rahman

di Makassar karena urusan pekerjaan.

Pertanyaan 12

Bagaimana respon Anda setelah diberikan syarat khusus oleh pasangan

ta’aruf Anda jika sesudah menikah nanti? Apakah Anda menerima atau

justru bersikap defensif?

“Jujur aja, waktu itu saya sempet mikir panjang. Pikiran saya mulai

kemana-mana. Wajarlah namanya juga anak perempuan, gimana nanti

kalau harus tinggal di daerah yang jauh dengan sanak saudara.”

“Setelah mikir panjang, akhirnya saya menerima syarat tersebut.

Sehingga, jikalau kami waktu itu memutuskan untuk menikah, itu

tandanya saya setuju dengan syarat yang dia berikan kepada saya. Saya

sadar, saya juga nggak bisa seenaknya. Saya juga harus bisa

memahami keadaan dia yang harus bekerja jauh di Makassar.”

Berdasarkan jawaban Risma, pada awalnya dia belum berani

mengambil keputusan. Namun setelah melalui proses pemahaman

yang Risma lakukan, dia menerima syarat tersebut. Dalam hal ini

Risma berusaha mengerti keadaan yang dihadapi oleh Rahman dalam

urusan pekerjaan.
Pertanyaan 13

Selama proses ta’aruf, apakah Anda menyampaikan hal-hal yang Anda

sukai dan hal-hal yang tidak Anda sukai kepada pasangan ta’aruf Anda

maupun mediator atau perantara ta’aruf Anda?

“Iya. Saya menyampaikan hal-hal yang saya sukai dan hal-hal yang

tidak saya sukai, dengan alasan supaya suatu hari nanti jika memang

dia berjodoh dengan saya, dia mengetahui hal-hal yang tidak saya

tunjukkan secara langsung kepadanya.”

“Saya lebih sering mengungkapkannya kepada Om saya sebagaimana

wali saya dalam proses ta’aruf ini."

Adanya upaya keterbukaan yang Risma lakukan baik kepada Rahman

maupun mediator ta’arufnya.

Pertanyaan 14

Apakah Anda merasakan keterpaksaan dalam hal memberi dan

menerima segala hal dari pasangan selama proses ta’aruf berlangsung?

“Tidak. Meskipun kak Rahman yang menawarkan diri terlebih dahulu

kepada saya untuk melakukan proses ta’aruf, saya tidak pernah merasa

terpaksa untuk memberi dan menerima segala hal yang ada pada

dirinya selama proses ta’aruf berlangsung.”

Adanya penerimaan yang baik dari Risma kepada Rahman. Risma

merasa nyaman dengan apa yang dia jalani ketika berta’aruf dengan

Rahman.
3.1.2.3 Pertanyaan Untuk Informan Ketiga (Zaenuri)

Wawancara dilakukan pada tanggal 23 Juli 2016, face to face di

rumah Wonorejo IV pada pukul 19.07 WIB.

Pertanyaan 1

Hal apa yang membuat Anda bersedia menjadi mediator atau perantara

ta’aruf?

“Awalnya.. saya ditunjuk oleh kakak ipar saya (ayahnya Risma), selain

itu saya juga ingin melihat keponakan saya itu segera

menyempurnakan setengah agamanya. Jadi saya bersedia untuk

menjadi perantara mereka pada waktu itu.”

Adanya penerimaan yang baik oleh Zaenuri, ketika dia diminta untuk

menjadi moderator atau perantara ta’aruf untuk keponakannya, Risma.

Pertanyaan 2

Apakah Anda memiliki hubungan (seperti : keluarga, kerabat, teman

atau sama sekali tidak memiliki hubungan) dengan para pasangan

ta’aruf?

“Iya punya hubungan, jadi.. Risma itu keponakan saya, sedari kecil

sudah dekat dengan saya dan istri saya. Jadi ya… gitu.. komunikasinya

udah enak, gak canggung.”

Adanya kenyamanan berkomunikasi, mengingat sudah adanya

kedekatan antara Zaenuri (paman Risma) dengan Risma (keponakan

Zaenuri).
Pertanyaan 3

Bagaimana cara Anda memberikan informasi terkait data diri pasangan

ta’aruf yang anda perantarai?

“Menceritakan hal-hal yang sekiranya Rahman butuhkan pada saaat

itu, seperti kesibukan Risma saat itu seperti apa, bekerja dimana,

hobbynya. Sebaliknya juga begitu, saya ke Risma juga menceritakan

hal-hal yang Rahman sampaikan kepada saya sebelumnya.”

Adanya keterbukaan yang dilakukan oleh Zaenuri selama memberikan

informasi terkait pasangan ta’aruf yang diperantarai.

Pertanyaan 4

Bagaimana upaya Anda dalam memberikan dukungan kepada

pasangan selama proses ta’aruf berlangsung?

“Caranya.. menanamkan optimisme kepada mereka berdua tentang

ta’aruf yang mereka jalani. Saya selalu bilang sama mereka berdua,

“Kalau niat kita tulus karena Allah.. Insya Allah akan dimudahkan,

jadi kalian juga harus ada tekad untuk memberikan yang terbaik

dalam proses ta’aruf ini.” Begitu yang saya katakan ke mereka berdua

waktu itu.”

Adanya proses dukungan penuh yang dilakukan oleh Zaenuri terhadap

pasangan ta’aruf tersebut. Rasa optimism itu ia tularkan dalam setiap

kesempatan berkomunikasi dengan pasangan yang ia perantarai.


Pertanyaan 5

Apakah Anda sebagai moderator atau perantara ta’aruf juga

memberikan motivasi kepada pasangan selama proses ta’aruf

berlangsung?

“Tentu, dan itu jauh lebih baik jika dilakukan. Karena supaya mereka

ada dorongan untuk saling menyukseskan proses komunikasi yang

sudah mereka bangun. Sehingga keduanya ada upaya untuk saling

mengerti dan memahami karakter individu masing-masing.”

Seperti sebelumnya, adanya dukungan yang diberikan oleh Zaenuri

sehingga senantiasa menumbuhkan motivasi untuk keduanya saling

memberikan yang terbaik.

Pertanyaan 6

Apakah Anda merasakan keterpaksaan saat ditunjuk sebagai moderator

atau perantara ta’aruf?

“Tidak sama sekali. Niat saya karena Allah, jadi saya berusaha

melakukan yang terbaik di hadapan Allah.”

Adanya penerimaan yang positif oleh Zaenuri ketika ditunjuk sebagai

moderator ta’aruf.

Pertanyaan 7

Apakah dalam proses ta’aruf Anda menemukan kesulitan dalam hal

mengidentifikasi dan menyaring informasi yang disampaikan oleh

masing-masing pasangan ta’aruf? Jika Iya, seperti apa kesulitannya?

“Awalnya saya merasa kesulitan, karena Rahman dan Risma ini

berbeda budaya ya.. si Rahman ini orang Makassar, si Risma nya


orang Jawa – Surabaya. Si Rahman ini basicnya orangnya pendiam,

kebetulan Rismanya juga pendiam. Jadinya… saya harus berusaha

memahami dulu gimana karakter si Rahman ini, namun tetap sambil

menjalin komunikasi yang baik di antara ke duanya.”

Adanya proses empati dalam memahami karakter daripada si Rahman,

sebagaimana seseorang yang mempunyai perbedaan budaya baik

dengan Risma maupun Zaenuri selaku mediator.

Pertanyaan 8

Ketika pasangan pria maupun pasangan wanita menyampaikan

maksud, keinginan, maupun perasaan terkait proses ta’aruf yang

mereka jalani, bagaimana cara Anda menyikapi atau menanggapi

maksud, keinginan maupun perasaan mereka?

“Hal pertama yang harus dilakukan adalah menjadi pendengar yang

baik. Bagi saya itu hukumnya wajib. Bagaimana kita bisa tahu, apa

yang mereka mau dari proses ta’aruf ini, kalau kita gak mau dengerin

apa yang mereka mau. Semuanya kan berawal dari situ.. Setelah itu,

saya kumpulkan dulu data dari keduanya. Setelah itu saya identifikasi

point-point penting dari setiap pasangannya. Kemudian, kita berikan

saran yang bersifat netral dan bisa diterapkan oleh keduanya tanpa

mengurangi rasa horman dari keduanya.”

Adanya upaya yang sistematis yang dilakukan Zaenuri sehingga

informasi yang diperoleh para pasangan ta’aruf dapat digunakan

dengan baik sebagaimana kebutuhan dari proses ta’aruf itu sendiri.


Pertanyaan 9

Menurut Anda, apakah sikap demokratis diperlukan dalam

memerantarai pasangan yang berta’aruf? Alasannya?

“Menurut saya perlu, karena bagi saya keduanya sama-sama

mempunyai hak untuk mendapatkan kebahagiaan dari proses ta’aruf

ini. Ya…terlepas dari nantinya berhasil atau tidak kan, keduanya harus

sama-sama tahu konsekuensi dari setiap pilihan yang mereka putuskan.

Kalau misalnya saya berat sebelah dalam hal memberikan informasi

misalnya, ya.. jelas nanti ada ketidakadilan yang dirasakan oleh salah

satu dari mereka.

Zaenuri merasa bahwa harus ada kesamaan dalam menyikapi pasangan

ta’aruf, tidak boleh ada perbedaan dengan tujuan kualitas pesan yang

diberikan.

3.1.2.4 Pertanyaan Untuk Informan Keempat (Amir)

Wawancara dilakukan pada tanggal 12 Agustus 2016, via telepon

pada pukul 20.09 WIB.

Pertanyaan 1

Bagaimana awal mula Anda memilih melakukan proses ta’aruf untuk

menemukan pasangan hidup?

“Berawal dari kakak Ipar saya. Karena memang ini tujuannya kan baik

untuk saya dan keluarga besar saya, akhirnya saya mau untuk

melakukan proses ta’aruf.”]


Niatan awal berta’aruf adalah dari kakak Ipar, bukan inisiatif diri

sendiri.

Pertanyaan 2

Apakah sebelumnya Anda sudah mengenal atau mengetahui tentang

profil diri pasangan ta’aruf Anda?

“Saya tidak mengenalnya, pada waktu itu dia benar-benar orang yang

baru dalam kehidupan saya.”

Benar-benar bertemu dengan orang baru, bukan dengan seseorang

yang sudah pernah ia kenal.

Pertanyaan 3

Berapa lamakah Anda menjalani proses ta’aruf dengan pasangan

Anda? Apakah menurut Anda dirasa cukup efektif dengan kurun waktu

tersebut?

“Wah… berapa ya? Seingat saya itu hampir 3 bulan sepertinya. Ya..

cukup efektif sih, kan bergantung kitanya juga ada tekad atau tidak

untuk saling mengenal.”

Proses ta’aruf yang dilakukan Amir adalah waktu rata-rata dari para

pasangan menjalankan ta’aruf.

Pertanyaan 4

Pada proses ta’aruf ini, siapakah yang terlebih dahulu menawarkan diri

untuk melakukan proses ta’aruf? Apakah dari pihak Anda sendiri,

ataukah dari pihak sang pria?


“Kalau secara langsung, jelas dari pihak saya sebagai laki-laki yang

waktu itu langsung datang bersama kedua kakak saya ke rumah dia,

dengan tujuan mengajak dia untuk berta’aruf.”

Amir memberikan informasi bahwa ia melakukan proses ta’aruf pada

umumnya, melakukan pertemuan setelah adanya kesepakatan dari

keduanya.

Pertanyaan 5

Apakah mediator atau perantara ta’aruf dapat membantu Anda dalam

proses melakukan ta’aruf? Alasannya?

“Membantu sekali. Alasannya… karena di satu sisi saya ini orangnya

memang pemalu, jadi kalau ada mediator kan saya gak begitu

canggung kalau pengen cari tahu informasi tentang dia. Lalu, alasan

lainnya karena memang komunikasi kami terbatas. Ini kan proses

ta’aruf, bukan pacaran.”

Berdasarkan jawaban di atas, dikarenakan si Amir tergolong orang

yang pemalu, ia merasa kehadiran moderator ta’aruf sangat membantu

untuk proses ta’aruf mereka.

Pertanyaan 6

Bagaimana cara Anda memperoleh informasi terkait data diri pasangan

ta’aruf Anda? Sedangkan intensitas komunikasi Anda dengan

pasangan ta’aruf Anda dibatasi.

“Awalnya kami sempat bertukar CV, persis kayak pas kita lagi mau

ngelamar kerja di suatu perusahaan. Karena memang kita gak saling

kenal, tapi tertuntut harus tahu bagaimana karakter masing-masing.


Jadi, sebelum saya ke rumah dia, kami bertukar CV dan juga foto.

Akhirnya, dia bersedia untuk ditemui. Barulah saya ke rumah dia

dengan kedua kakak saya.”

Adanya keterbukaan satu sama lain dengan cara bertukar data pribadi

baik secara tertulis maupun visual / gambar.

Pertanyaan 7

Siapa sajakah yang terlibat bahkan mendukung proses ta’aruf Anda

dengan pasangan?

“Jelas yang pertama Mbak Sari, kakak ipar saya. Yang kedua… suami

Mbak Sari, yaitu kakak kandung saya. Kedua orang tua dia. Udah

sih… seingat saya itu. Tidak banyak orang yang turut campur dalam

proses ta’aruf saya waktu itu.”

Amir memang mendapat dukungan namun ia mengaku tidak banyak

orang yang turut dalam proses ta’aruf yang dia lakukan.

Pertanyaan 8

Apakah pasangan ta’aruf Anda memiliki kesamaan terhadap beberapa

hal seperti latar belakang keluarga, pendidikan dan ekonomi? Mohon

dijelaskan dengan singkat.

“Menurut saya gak begitu banyak kesamaan, kalau background

keluarga, ibunya dia profesinya guru, kakak saya juga. Jadi,

komunikasinya nyambung aja gitu. Kalau dari segi pendidikan kami

berbeda, pekerjaan juga berbeda. Kalau dari segi ekonomi saya rasa

kami berdua sudah cukup mandiri untuk masalah itu.”


Adanya kenyamanan komunikasi yang terjadi antara moderator dengan

dirinya.

Pertanyaan 9

Ketika pasangan ta’aruf Anda memiliki perbedaan dari segi latar

belakang keluarga, pendidikan, dan ekonomi, apakah menjadi suatu

masalah bagi Anda dan pasangan ta’aruf Anda di kemudian hari

setelah menikah?

“Menurut saya, itu gak jadi masalah besar. Gimana caranya kita

nyikapin perbedaan-perbedaan yang ada. Itu aja menurut saya.”

Adanya penerimaan yang Amir lakukan meski terdapat perbedaan

profil diri di antara mereka.

Pertanyaan 10

Apakah terdapat syarat khusus yang diajukan oleh pasangan ta’aruf

Anda jika sesudah menikah nanti? Jika ada, apa sajakah syarat khusus

tersebut?

“Tidak ada syarat yang khusus pada waktu itu, hanya saja ia ingin

ketika sudah menikah nanti, dia tidak ingin jauh dari ibunya. Itu aja.”

Rani hanya mengajukan syarat khusus berupa tinggal bersama ibunya

setelah menikah nanti.

Pertanyaan 11

Bagaimana respon Anda setelah diberikan syarat khusus oleh pasangan

ta’aruf Anda jika sesudah menikah nanti? Apakah Anda menerima atau

justru bersikap defensif?


“Saya mikirnya waktu itu… gak keberatan, lagipula semua anak tentu

ingin selalu dekat dengan orang tuanya. Saya menerima persyaratan

itu.”

Adanya pemakluman yang Amir lakukan terhadap syarat yang Rani

ajukan.

Pertanyaan 12

Selama proses ta’aruf, apakah Anda menyampaikan hal-hal yang Anda

sukai dan hal-hal yang tidak Anda sukai kepada pasangan ta’aruf Anda

maupun mediator atau perantara ta’aruf Anda?

“Tentu. Saya sampaikan semua pada waktu itu. Mulai dari makanan,

sampai kebiasaan-kebiasaan yang kebanyakan orang lain lakukan

tetapi tidak saya sukai, saya sampaikan itu dalam setiap kesempatan

ketika bertemu dengannya atau pada saat bertemu dengan Mbak Sari.”

Adanya keterbukaan diri yang Amir lakukan dalam setiap kesempatan

berkomunikasi baik dengan pasangan maupun mediatornya.

Pertanyaan 13

Apakah Anda merasakan keterpaksaan dalam hal memberi dan

menerima segala hal dari pasangan selama proses ta’aruf berlangsung?

“Tidak sama sekali, ya.. karena memang saya ingin segera menikah

pada waktu itu. Usia saya udah nggak muda lagi. Jadi.. saya benar-

benar serius menjalani proses ta’aruf itu.”

Ali tidak merasakan keterpaksaan dalam proses ta’aruf yang ia jalani.


3.1.2.5 Pertanyaan Untuk Informan Kelima (Rani)

Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Agustus 2016, via telepon

pada pukul 18.15 WIB.

Pertanyaan 1

Bagaimana awal mula Anda memilih melakukan proses ta’aruf untuk

menemukan pasangan hidup?

“Jelas tujuannya, saya hendak mencari pasangan untuk membina

rumah tangga.”

“Sebenarnya, ini saya lakukan karena ibu saya yang meminta.”

Adanya permintaan dari Ibu Rani untuk melakukan proses ta’aruf pada

waktu itu.

Pertanyaan 2

Apakah sebelumnya Anda sudah mengenal atau mengetahui tentang

profil diri pasangan ta’aruf Anda?

“Sama sekali tidak mengenal Amir. Benar-benar bertemu dengan

orang yang baru.”

Rani sama sekali tidak pernah bertemu ataupun mengenal Amir

sebelumnya.

Pertanyaan 3

Berapa lamakah Anda menjalani proses ta’aruf dengan pasangan

Anda? Apakah menurut Anda dirasa cukup efektif dengan kurun waktu

tersebut?

“Sekitar hampir 3 bulanan. Cukup efektif, untuk apa juga berlama-

lama.”
Waktu berta’aruf mereka adalah rata-rata para pasangan melakukan

ta’aruf dan dirasa tidak perlu berlama-lama.

Pertanyaan 4

Pada proses ta’aruf ini, siapakah yang terlebih dahulu menawarkan diri

untuk melakukan proses ta’aruf? Apakah dari pihak Anda sendiri,

ataukah dari pihak sang pria?

“Yang jelas bukan saya, yang saya ingat tiba-tiba ibu saya memberikan

saya foto dia. Jika saya bersedia, maka dia akan datang ke rumah saya

dengan kedua kakaknya.”

Berdasarkan jawaban di atas, si Amir lah yang melakukan inisiatif

awal untuk berta’aruf dengannya.

Pertanyaan 5

Siapakah yang Anda pilih sebagai mediator atau perantara dalam

proses ta’aruf Anda? Alasannya?

“Kakak ipar perempuan si Amir, namanya mbak Sari. Alasannya,

karna mbak Sari ini kan cukup akrab dengan ibu saya, jadi saya

berpikir… komunikasinya lebih enak kalau beliau yang jadi mediator

kami waktu itu. Alasan keduanya ya karna kami sama-sama

perempuannya jadi kan nggak ada masalah, nggak mungkin kan kalau

mediatornya laki-laki sedangkan saya tidak ada ikatan wali yang sah.

Jadi yaa.. harus perempuan.”

Rani lebih memilih Sari sebagai mediator dengan tujuan kenyamanan

komunikasi dan persyaratan secara ta’arufnya.


Pertanyaan 6

Apakah mediator atau perantara ta’aruf dapat membantu Anda dalam

proses melakukan ta’aruf? Alasannya?

“Membantu sekali, dengan begitu, saya dapat langsung responsif

dengan hal-hal yang harus saya ketahui ketika ta’arufnya

berlangsung.”

Menurut Rani, peran mediator sangat membantu meraka ketika

melakukan proses ta’aruf.

Pertanyaan 7

Bagaimana cara Anda memperoleh informasi terkait data diri pasangan

ta’aruf Anda? Sedangkan intensitas komunikasi Anda dengan

pasangan ta’aruf Anda dibatasi.

“Yang saya ingat waktu, saya bertukar CV sama Amir. Terus, kalau

ada yang mau saya tanyakan terkait dia, saya bisa langsung tanya sama

Mbak Sari.”

Adanya kemauan untuk membagi informasi data pribadi secara umum

kepada mediatornya.

Pertanyaan 8

Siapa sajakah yang terlibat bahkan mendukung proses ta’aruf Anda

dengan pasangan?

“Ibu saya, adik-adik saya, Mbak Sari, kakak kandung Amir.”

Tidak banyak orang yang turut dalam proses ta’aruf yang ia lakukan.
Pertanyaan 9

Apakah pasangan ta’aruf Anda memiliki kesamaan terhadap beberapa

hal seperti latar belakang keluarga, pendidikan dan ekonomi? Mohon

dijelaskan dengan singkat.

“Hhmm… gak begitu banyak hal yang sama di antara kami berdua

waktu itu. Dari segi pendidikan beberda, secara ekonomi pun juga saya

memandang dia sudah mampu untuk berumah tangga.”

Berdasarkan informasim tidak begitu banyak hal yang berbeda di

antara dia dan Amir.

Pertanyaan 10

Ketika pasangan ta’aruf Anda memiliki perbedaan dari segi latar

belakang keluarga, pendidikan, dan ekonomi, apakah menjadi suatu

masalah bagi Anda dan pasangan ta’aruf Anda di kemudian hari

setelah menikah?

“Tidak ada masalah tentang hal itu, kami fine-fine aja kok.”

Adanya penerimaan dalam perbedaan yang mereka miliki.

Pertanyaan 11

Apakah terdapat syarat khusus yang diajukan oleh pasangan ta’aruf

Anda jika sesudah menikah nanti? Jika ada, apa sajakah syarat khusus

tersebut?

“Hhmm.. waktu itu, dia sering bepergian ke luar negeri untuk urusan

pekerjaan. Jadi, dia sampaikan hal itu ke saya, ke orang tua saya kalau

pekerjaan dia menuntut dia harus pulang-pergi Indonesia Malasyia

gitu. Secara gak langsung, pesan yang saya terima itu.”


Rani memperoleh informasi terkait hal pekerjaan Amir yang selalu

bepergian ke luar negeri.

Pertanyaan 12

Bagaimana respon Anda setelah diberikan syarat khusus oleh pasangan

ta’aruf Anda jika sesudah menikah nanti? Apakah Anda menerima atau

justru bersikap defensif?

“Jujur yaa.. saya sulit untuk menerima itu. Karena saya ngebayangin

kalau nanti sudah menikah gimana, saya nanti pasti sering ditinggal

karena urusan pekerjaan dia.”

Pada jawaban ini, adanya ketidaknyamanan yang dirasakan oleh Rani

terkait kondisi Amir yang sering melakukan perjalanan ke luar negeri

karena urusan pekerjaan.

Pertanyaan 13

Selama proses ta’aruf, apakah Anda menyampaikan hal-hal yang Anda

sukai dan hal-hal yang tidak Anda sukai kepada pasangan ta’aruf Anda

maupun mediator atau perantara ta’aruf Anda?

“Hhhm.. gak semuanya saya sampaikan ke dia. Ya.. karena saya belum

ngerasa nyaman aja waktu itu.”

Dikarenakan belum timbul rasa nyaman, pada akhirnya Rani tidak

membagikan semua informasi tentang dirinya kepada si Amir maupun

moderatornya, Sari.

Pertanyaan 14

Apakah Anda merasakan keterpaksaan dalam hal memberi dan

menerima segala hal dari pasangan selama proses ta’aruf berlangsung?


“Enggak sama sekali. Keluarga dia baik sama saya dan keluarga saya.

Jadi, saya juga berusaha memberikan yang terbaik juga pada waktu

itu.”

Tidak adanya keterpaksaan, mengingat perlakuan Amir dan

keluarganya yang juga baik terhadap dirinya dan keluarganya.

3.1.2.6 Pertanyaan Untuk Informan Keenam (Sari)

Wawancara dilakukan pada tanggal 13 Juli 2016, via telepon

pada pukul 10.15 WIB.

Pertanyaan 1

Hal apa yang membuat Anda bersedia menjadi mediator atau perantara

ta’aruf?

“Ingin mencarikan jodoh untuk adik saya”

Tegas dikatakan oleh Sari yaitu mencarikan jodoh untuk adik iparnya,

Amir.

Pertanyaan 2

Apakah Anda memiliki hubungan (seperti : keluarga, kerabat, teman

atau sama sekali tidak memiliki hubungan) dengan para pasangan

ta’aruf?

“Iya, si Amir itu adik ipar saya. Adik kandung dari suami saya.”

Adanya hubungan kekerabatan dengan si Amir.

Pertanyaan 3

Bagaimana cara Anda memberikan informasi terkait data diri pasangan

ta’aruf yang anda perantarai?


“Bertukar biodata gitu. Bertukar foto juga sebelum mereka

memutuskan untuk bertemu pada satu waktu yang udah disepakati.

Waktu itu, saya juga menceritakan silsilah keluarga juga.”

Adanya proses untuk menjalin keterbukaan dalam proses ta’aruf yang

dia perantarai.

Pertanyaan 4

Bagaimana upaya Anda dalam memberikan dukungan kepada

pasangan selama proses ta’aruf berlangsung?

“Berusaha untuk mempertemukan mereka berdua dalam satu waktu

dengan walinya”

Adanya upaya untuk senantiasa menjalin kedekatan supaya dapat

senantiasa berkomunikasi satu sama lain.

Pertanyaan 5

Apakah Anda sebagai moderator atau perantara ta’aruf juga

memberikan motivasi kepada pasangan selama proses ta’aruf

berlangsung?

“Iya, tentu. Saya selalu ngasih motivasi. Terutama ke Amir waktu itu.

Mengingat usia dia yang sudah saya rasa sangat siap untuk menikah.”

Adanya upaya yang lebih dominan dilakukan Sari kepada Amir.

Pertanyaan 6

Apakah Anda merasakan keterpaksaan saat ditunjuk sebagai moderator

atau perantara ta’aruf?


“Sejujurnya iya, alasannya takut jika mereka tidak ada kecocokan satu

sama lain. Jadinya saya ngerasa kayak punya beban moral pada waktu

itu.”

Muncul perasaan bersalah jika proses ta’aruf yang dia perantarai tidak

berhasil. Hal ini memunculkan keterpaksaan dalam proses ta’aruf pada

waktu itu.

Pertanyaan 7

Apakah dalam proses ta’aruf Anda menemukan kesulitan dalam hal

mengidentifikasi dan menyaring informasi yang disampaikan oleh

masing-masing pasangan ta’aruf? Jika Iya, seperti apa kesulitannya?

“Sebenarnya tidak, karena komunikasi yang dibangun juga

berkelanjutan.”

“Kalau ada hal-hal yang sekiranya harus disampaikan ya

disampaikan.”

Sari tidak begitu banyak menemui kesulitan karena selama ada

komunikasi yang terjalin segalanya dapat dibicarakan bersama.

Pertanyaan 8

Ketika pasangan pria maupun pasangan wanita menyampaikan

maksud, keinginan, maupun perasaan terkait proses ta’aruf yang

mereka jalani, bagaimana cara Anda menyikapi atau menanggapi

maksud, keinginan maupun perasaan mereka?

“Mendukung apa pun yang meraka lakukan dalam proses ta’aruf ini.

Jadi saya sebisa mungkin membuat moment-moment tertentu agar

terjadi kedekatan antara kedua belah pihak, contohnya ketika ada


acara ulang tahun saya mengundang mereka berdua untuk datang.

Sehingga silaturahim selalu terjaga.”

Adanya upaya untuk membangun komunikasi dalam setiap

kesempatan, hingga Sari menciptakan kesempatan-kesempatan

komunikasi untuk keduanya selama proses ta’aruf berlangsung.

Pertanyaan 9

Menurut Anda, apakah sikap demokratis diperlukan dalam

memerantarai pasangan yang berta’aruf? Alasannya?

“Perlu, karena saya harus mendengarkan bagaimana keinginan dari

masing-masing individu.”

Adanya pandangan kesetaraan berdasarkan jawaban yang diberikan

Sari di atas.

3.2 Analisis Data

Jika ditinjau dari karakteristik komunikasi interpersonal oleh

Devito, diantaranya sebagai berikut :

3.2.1 Informan Pertama (Abdul Rahman)

1. Keterbukaan (Openess)

Rahman melakukan upaya untuk membagikan

informasi data pribadinya kepada Risma melalui CV yang

ia berikan kepada Risma melalui mediator ta’arufnya.

Dalam hal ini ada proses keterbukaan informasi yang

Rahman lakukan. Bahkan dalam setiap kesempatan dia


senantiasa menyampaikan hal-hal yang ia ingin sampaikan

kepada Risma melalui mediatornya.

2. Empati (Empathy)

Rasa empati ini terlihat dari cara Rahman

memberikan tanggapan terkait syarat yang diberikan oleh

Risma. Rahman menilai bahwa hal tersebut justru

merupakan suatu hal wajib yang harus dimiliki oleh

seorang pria yang siap untuk berumah tangga. Adanya

proses untuk saling mengerti dan memahami meski mereka

berbeda budaya.

3. Dukungan (Supportiveness)

Dijelaskan bahwa pada proses ta’aruf yang ia

lakukan, dia mendapatkan dukungan penuh dari keluarga,

kerabat serta mediator ta’aruf yang senantiasa memberikan

optimisme untuknya dalam setiap kesempatan komunikasi

yang terjadi.

4. Positif (Positiveness)

Selama proses ta’aruf berlangsung, Rahman tidak

sedikit pun merasakan keterpaksaan dalam menjalaninya.

Justru dengan adanya dukungan dan motivasi yang ia

terima dari berbagai pihak, membuatnya bersikap positif

dalam setiap langkah yang diambil selama berta’aruf.

5. Kesetaraan atau Kesamaan (Equality)


Berdasarkan hasil wawancara, Rahman menjelaskan

bahwa meskipun terdapat perbedaan status pendidikan

antara dia dan Risma, hal tersebut tidak menjadikannya

patah semangat dalam menjalani ta’arufnya pada saat itu.

Rahman menilai bahwa segala sesuatunya dapat

diupayakan asalkan dapat saling menerima keadaan

masing-masing.

3.2.2 Informan Kedua (Risma Pujiana)

1. Keterbukaan (Openess)

Pada proses ini Risma dinilai cukup mempunyai

inisiatif, meskipun awalnya dia tidak memiliki niatan untuk

berta’aruf dengan siapa pun. Dia selalu memberikan respon

di setiap kesempatan yang diberikan oleh mediator

ta’arufnya.

2. Empati (Empathy)

Dalam proses ta’aruf yang ia jalani, Risma memiliki

rasa empati ketika Rahman mengajukan syarat bahwa

setelah menikah ia harus ikut tinggal dengan Rahman di

Makassar karena urusan pekerjaan. Meski awalnya ia

bimbang untuk memutuskan, pada akhirnya dia

memberikan penerimaan yang cukup baik. Meski diketahui

bersama bahwa proses ta’aruf mereka hanya berlangsung

selama satu bulan.


3. Dukungan (Supportiveness)

Adanya dukungan cukup baik dari keluaga, kerabat

dan adik-adiknya. Serta peran mediator yang tidak pernah

luput mendengarkan setiap keinginan yang ia tujukan

kepada pasangan ta’arufnya.

4. Positif (Positiveness)

Meskipun awal mula yang mempunyai inisiatif

untuk berta’aruf adalah Rahman, Risma tidak merasakan

keterpaksaan selama menjalani proses ta’aruf dengan

Rahman.

5. Kesetaraan atau Kesamaan (Equality)

Meskipun Risma dan Rahman saling menyadari

adanya perbedaan budaya antara keduanya, hal itu tidak

menjadi masalah bagi Risma untuk melakukan proses

ta’aruf.

3.2.3 Informan Ketiga (Zaenuri)

1. Keterbukaan (Openess)

Zaenuri melakukan upaya untuk memberikan ruang

bagi pasangan berkomunikasi. Dia tidak menutup sedikit

pun informasi yang diberikan oleh masing-masing individu.

Dia memberikan tanggapan yang cukup baik dalam setiap

moment.

2. Empati (Empathy)
Pada porsi moderator, Zaenuri dinilai memiliki

empati dalam proses ta’aruf yang ia perantarai, yakni ketika

ia menyadari bahwa kedua individu (Rahman & Risma)

memiliki kebudayaan yang berbeda. Sehingga, dia harus

melakukan penanganan yang sedikit ekstra dalam

memfasilitasi keduanya untuk bertukar informasi.

3. Dukungan (Supportiveness)

Melihat optimisme masing-masing individu yang ia

perantarai, membuat Zaenuri senantiasa termotivasi untuk

senantiasa memberikan dukungan kepada keduanya. Pada

taraf ini, Zaenuri juga dibantu oleh kerabat, keluarga dan

adik-adik dari Risma untuk tetap konsisten memerantarai

proses ta’aruf yang dilakukan oleh keduanya.

4. Positif (Positiveness)

Meskipun pada awalnya Zaenuri ditunjuk olah

orangtua Risma sebagai mediator ta’aruf, Zaenuri sama

sekali tidak merasa keberatan. Justru dia berupaya untuk

melakukan yang terbaik dalam setiap moment yang mereka

lakukan. Terdapat perasaan positif, tanpa harus dipaksa

untuk melakukan upaya yang terbaik.

5. Kesetaraan atau Kesamaan (Equality)


Pada taraf moderator, Zaenuri beranggapan bahwa

sifat demokratis dalam proses ta’aruf perlu dilakukan,

dengan alas an keduanya memiliki hak dan kesempatan

yang sama untuk saling berbagi informasi sejauh yang

mereka inginkan. Hal ini bertujuan supaya mereka dapat

saling memberikan yang terbaik dalam setiap proses yang

mereka jalani selama berta’aruf.

3.2.4 Informan Keempat (Amir)

1. Keterbukaan (Openess)

Adanya inisiatif untuk saling mengenal. Hal ini

ditunjukkan melalui pertukaran CV yang terjadi di antara

ke duanya. Amir pun melakukan upaya untuk terbuka

terkait masalah perkejaannya yang membuatnya sering

melakukan perjalanan ke luar negeri yaitu Indonesia-

Malasyia.

2. Empati (Empathy)

Dikarenakan awalnya meraka tidak saling

mengenal, maka Amir benar-benar berusaha mengerti dan

memahami setiap kondisi yang terjadi diantara ke duanya.

Rani mengajukan syarat jika menikah ia ingin tetap tinggal

bersama ibunya. Pada taraf ini, melakukan empati dengan

melakukan penerimaan atas syarat yang diajukan oleh Rani.

3. Dukungan (Supportiveness)
Pada informan ini, tidak begitu banyak orang yang

turut campur dalam proses ta’aruf mereka. Sehingga lahan

diskusi hanya dapat dia lakukan kepada kakak kandungnya

dana meditor ta’arufnya. Hal ini tentu memiliki pengaruh

tingkat dukungan yang ia terima.

4. Positif (Positiveness)

Sedari awal niat yang dibangun oleh Amir adalah

niat yang positif yakni mendapatkan pasangan hidup,

sehingga dalam proses upayanya menjalani ta’aruf pun,

Amir tidak merasakan keterpaksaan dalam dirinya.

5. Kesetaraan atau Kesamaan (Equality)

Adanya penerimaan terhadap perbedaan status

pendidikan antara dia dan Rani. Peberdaan tersebut tidak

menjadikan dia patah semangat untuk menjalani proses

ta’aruf. Amir merasa, pada proses ini posisi dia dan Rani

adalah sama yakni sama-sama mempunyai tujuan untuk

mendapatkan hasil yang terbaik selama menjalani ta’aruf.

3.2.5 Informan Kelima (Rani)

1. Keterbukaan (Openess)

Sama halnya dengan Amir, Rani dinilai juga

melakukan upaya yang sama terkait pembagian informasi

secara umum. Bahkan bertukar CV. Namun, untuk hal-hal

yang spesifik berkaitan dengan hal-hal yang tidak dia sukai

ataupun hal-hal yang dia sukai, dia tidak membagikan


informasi tersebut. Berbeda dengan Amir yang senantiasa

memanfaatkan kesempatan untuk saling berbagi informasi.

2. Empati (Empathy)

Pada hal-hal yang bersifat umum, Rani berusaha

memahami nilai penting daripada proses ta’aruf yang ia

lakukan. Namun, ketika Amir menceritakan bagaiman

kondisi pekerjaannya nanti, Rani dengan jelas mengatakan

bahwa ia tidak bisa jika nanti setelah menikah Amir masih

tetap sering melakukan perjalanan ke luar negeri demi

pekerjaannya. Pada taraf ini, jelas bahwa Rani belum

memenuhi kriteria empati pada proses komunikasi

interpersonal ini.

3. Dukungan (Supportiveness)

Tidak jauh berbeda dengan Amir, Rani pun

memiliki kondisi yang sama, yang mana tidak begitu

banyak orang yang turut dalam proses ta’aruf yang ia

lakukan. Dukungan penuh yang ia peroleh adalah melalui

ibunya, yang mana sedari awal memang yang mempunyai

inisiatif agar Rani melakukan proses ta’aruf dan segera

menikah.

4. Positif (Positiveness)

Pada hasil wawancara, ia menyampaikan bahwa ia

sama sekali tidak merasa terpaksa dalam menjalani proses


ta’aruf tersebut. Dikarenakan respon yang positif baik dari

keluarga Amir maupun keluarganya sendiri.

5. Kesetaraan atau Kesamaan (Equality)

Tidak jauh berbeda dengan Amir, Rani pun juga

melakukan penerimaan yang cukup baik terhadap Amir.

Bahkan ia merasa bahwa Amir merupakan seorang pria

yang sudah siap untuk berumah tangga.

3.2.6 Informan Keenam (Sari)

1. Keterbukaan (Openess)

Adanya upaya untuk senantiasa menciptakan

kesempatan-kesempatan berkomunikasi satu sama lain. Sari

juga turut andil dalam proses pembagian informasi kepada

rekan ta’aruf si Amir yakni si Rani.

2. Empati (Empathy)

Pada taraf moderator, Sari dinilai melakukan upaya

untuk senantiasa memberikan pemahaman di antara

keduanya selama proses ta’aruf berlangsung. Melakukan

hal-hal yang responsif dalam setiap kesempatan. Karena ia

mempunyai keinginan agar adiknya Amir bisa segera

menikah. Sehingga ia paham betul nilai penting proses

ta’aruf tersebut.

3. Dukungan (Supportiveness)

Pada ranah ini, Sari senantiasa memberikan

dukungan kepada keduanya. Namun berdasarkan data yang


diperoleh dari wawancara, Sari lebih dominan memberikan

dukungan kepada Amir, adiknya.

4. Positif (Positiveness)

Berdasarkan hasil wawancara, Sari berterus terang

bahwa dia merasakan keterpaksaan dalam proses

memerantarai keduanya. Dia menjelaskan bahwa ada

ketakutan dalam dirinya ketika ditunjuk menjadi moderator

ta’aruf oleh keduanya. Sari merasa khawatir ketika tidak

ada kecocokan pada keduanya selama berta’aruf. Hal ini

berdampak pada proses keterbukaan informasi yang terjadi

di antara ia dan pasangan ta’aruf yang diperantarai.

5. Kesetaraan atau Kesamaan (Equality)

Meskipun dalam hasil wawancara Sari

menyampaikan bahwa dia merasa perlu untuk sikap

demokratis pada pasangan ta’aruf, namun di satu kondisi

dia lebih banyak memberikan dukungan kepada Amir,

adiknya. Sehingga, pada proses ini Sari dinilai belum

sepenuhnya memperlakukan kedua pasangan ta’aruf secara

seimbang.
Berikut ini hasil analisis wawancara terhadap informan yang

sukses/berhasil dan yang gagal dalam menjalani proses ta’aruf pranikah

berdasarkan karakteristik komunikasi interpersonal oleh Joseph D. Vito :

No. Karakteristik Sukses / Berhasil Gagal

Komunikasi

Interpersonal

1. Keterbukaan - Pada pasangan - Pada pasangan

Abdul Rahman dan Amir dan Rani

Risma terdapat salah satu

keterbukaan diantara diantaranya belum

mereka. Hal ini sepenuhnya

ditunjukkan dengan terbuka pada hal-

adanya keterbukaan hal yang justru

secara informasi bersifat spesifik

maupun keinginan dalam proses

jangka panjang pertukaran

ketika sudah resmi informasi. Seperti

menikah. hal-hal yang tidak

- Zaenuri selaku disukai dan hal-hal

moderator/perantara yang disukai.

pun juga - Sari selaku

memberikan moderator /

kesempatan kepada perantara pun


kedua pasangan senantiasa

ta’aruf untuk saling menciptakan

bertukar informasi kesempatan-

karena disadari kesempatan

kedua pasangan berkomunikasi satu

membutuhkan bahan sama lain.

pertimbangan

melalui hal-hal yang

saling ditanyakan

ataupun yang

diinginkan.

2. Empati - Pada pasangan ini, - Pada pasangan ini,

adanya penerimaan salah satu diantara

syarat terhadap keduanya yakni

masing-masing informan Rani

pasangan, meskipun tidak dapat

syarat tersebut dirasa menerima syarat

cukup sulit, calon pasangannya

keduanya ada upaya untuk bekerja di

untuk saling luar negeri.

mengerti dan Sehingga disadari

memahami keadaan bahwa dalam

masing-masing. proses ini, tentu

- Moderator pasangan keduanya harus


ini pun, juga sama-sama

memberikan memiliki empati

pemakluman- dalam hubungan

pemakluman yang mereka jalin.

terhadap keduanya - Adanya sikap

dengan cara responsif dalam

memahami setiap kesempatan

kebutuhan dan komunikasi, demi

sesekali memberikan kelancaran proses

solusi terhadap ta’aruf kedua

kesulitan-kesulitan pasangan.

yang dimiliki oleh

masing-masing

pasangan.

3. Dukungan - Pada tahapan ini, - Pada fase ini, salah

keduanya satu diantaranya,

mempunyai pihak keluarga

dukungan yang baik tidak sepenuhnya

bukan hanya dari andil atau

moderator/perantara memberikan

saja, namun kedua dukungan kepada

belah pihak keluarga pasangan ini, hal

pasangan ini juga ini mengakibatkan

mendukung penuh kurangnya


proses ta’aruf motivasi dalam

mereka sedari awal menjalani proses

hingga akhir. ta’aruf.

- Moderator/perantara - Moderator

pasangan ini pasangan ini, juga

memberikan memberikan

dukungan penuh dukungan dalam

dalam setiap setiap kesempatan,

kesempatan dengan namun tidak

cara memberikan memberikan

motivasi dan nasehat-nasehat

nasehat-nasehat seperti yang

kepada keduanya. dilakukan oleh

moderator/perantar

a pasangan ta’aruf

yang

sukses/berhasil.

4. Perasaan - Sedari awal, - Pada pasangan ini,

Positif keduanya memiliki keduanya tidak

upaya untuk memiliki

memberikan yang keterpaksaan

terbaik pada proses dalam menjalani

ta’aruf ini. Sehingga, ta’aruf, selain itu

perasaan positif yang keduanya juga


dimiliki saling memberikan

memunculkan respon yang positif

optimism pada dalam setiap

keduanya dalam kesempatan.

menjalani proses - Berbeda dengan

ta’aruf. Tidak ada moderator/perantar

kecurigaan ataupun a yang

ketakutan selama sukses/berhasil,

bertukar informasi. pada pasangan ini

- Perasaan positif ini moderator

juga didukung oleh memiliki

moderator/perantara keterpaksaan

yang tidak merasa ketika ditunjuk

terpakasa ketika menjadi

ditunjuk sebagai moderator/perantar

perantara keduanya. a. Hal ini

mengakibatkan

munculkan

ketakutan dan

kekhawatiran

ketika adanya

ketidakcocokan

pada keduanya

selama berta’aruf.
5. Kesetaraan - Meskipun keduanya - Pada pasangan ini,

memiliki perbedaan adanya penerimaan

budaya dan status yang baik, tidak

pendikan, hal mempermasalahka

tersebut tidak n status social baik

menjadi masalah dari segi pekerjaan

bagi keduanya dalam maupun usia.

menjalankan proses - Moderator

ta’aruf. pasangan ini belum

- Moderator pun juga sepenuhnya

memperlakukan memperlakukan

keduanya secara kedua pasangan

seimbang, karena ta’aruf secara

dirasa keduanya seimbang.

berhak memiliki

kesamaan informasi.

Tabel 1.1 Analisis Hasil Wawancara terhadap Informan Sukses/Berhasil dan

Gagal dalam Menjalani Proses Ta’aruf Pranikah


BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada analisis data, maka

dapat disimpulkan terdapat karakteristik yang berbeda antara pasangan ta’aruf

pranikah yang sukses hingga menuju pernikahan (saat ini) dengan pasangan

ta’aruf pranikah yang gagal atau dapat dikatakan tidak sampai pada proses

peresetujuan untuk melakukan pernikahan. Pada pasangan ta’aruf pranikah dan

mediator yang sukses, terdapat pemenuhan lima karakteristik komunikasi

interpersonal. Sedangkan pasangan ta’aruf pranikah dan mediator yang gagal,

tidak memenuhi beberapa karakteristik komunikasi interpersonal.

Karakteristik komunikasi interpersonal tersebut diantaranya adalah

keterbukaan, empati, dukungan ,rasa positif dan kesetaraan. Pada tahapan ini,

pelaku komunikasi ta’aruf harus memiliki keterbukan satu sama lain, terbuka dari

segi informasi-informasi dasar hingga informasi yang bersifat spesifik seperti hal-

hal yang disukai dan hal-hal yang tidak disukai. Keterbukaan inilah

memunculkan rasa empati terhadap kondisi yang dimiliki oleh masing-masing

pelaku komunikasi ta’aruf ini, yakni pasangan ta’aruf dan mediatornya. Dukungan

yang baik oleh para pelaku komunikasi beserta kerabat dekat akan memunculkan

perasaan positif dalam proses komunikasi. Dukungan yang diberikan atau

diterima dapat berupa motivasi maupun nasehat-nasehat yang diberikan oleh para

pelaku komunikasi ta’aruf. Perasaan positif ini pada akhirnya menumbuhkan

sikap saling mengharagai dan menghormati sebagai wujud kesamaan atau

1
kesetaraan dalam proses komunikasi. Bukan hanya pasangan ta’aruf saja yang

berperan penting dalam proses komunikasi yang terjadi didalamnya, namun

moderator atau perantara juga menjadi kunci sukses dan gagalnya sebuah proses

ta’aruf.

4.2 Saran

Adapun saran yang ingin peneliti berikan berkaitan dengan penelitian ini

adalah :

1. Untuk setiap individu yang memilih untuk melakukan ta’aruf, baik dari

pihak laki-laki maupun peremuan, hal yang perlu diperhatikan sebelum

memutuskan untuk berta’aruf adalah meluruskan niat dan tujuan daripada

melakukan ta’aruf. Ketika niat dan tujuan yang dibangun sedari awal

sudah jelas dan positif, maka secara upaya dan kualitas proses

komunikasinya akan berbanding lurus dengan hasil yang diperoleh.

2. Untuk individu yang ditunjuk atau memilih untuk menjadi mediator atau

perantara ta’aruf, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya kesetaraan

perilaku dalam memperlakukan pasangan ta’aruf yang diperantarai. Tidak

berat sebelah atau bisa dikatakan lebih dominan pada salah satu individu

yang diperantarai. Bukan hanya para pasangan ta’aruf saja yang

meluruskan niat, namun mediator pun juga harus mempunya misi yang

sejalan dengan kedua pasangan ta’arufnya. Setiap keputusan maupun

tindakan yang dilakukan oleh mediator memiliki peran yang sangat

penting dalam proses berhasil atau tidaknya ta’aruf itu sendiri. Sehingga,

2
diharapkan para mediator ta’aruf mengambil langkah yang tepat dalam

setiap situasi yang terjadi di antara pasangan ta’aruf.

3. Karena keterbatasan peneliti, diharapkan juga bagi peneliti lain yang akan

melakukan penelitian dengan tema yang sama, dengan lebih

memperhatikan karakteristik kasus informan yang lebih beragam, sehingga

dapat memberikan pengetahuan dan wawasan yang dalam lagi terkait

komunikasi interpersonal yang terjadi di atara pasangan ta’aruf pranikah

dengan mediator ta’arufnya.

3
Daftar Pustaka

Adhim, Muhammad Fauzil (2008). Kupinang Engkau dengan Hamdalah.

Yogyakarta : Mitra Pustaka.

Budyatna, Muhammad & Leila Mona Ganiem (2011) . Teori Komunikasi

Antarpribadi. Jakarta : Kencana

Hidayat, Dasrun (2012) . Komunikasi Antarpribadi dan Medianya. Yogyakarta :

Graha Ilmu

Hikmat, Mahi. M (2011). Metode Penelitian Dalam Perspektif Ilmu Komunikasi

dan Sastra. Yogyakarta : Graha Ilmu

Kriyantono, Rachmat., 2008. Teknis Praktis Riset Komunikasi, Kencana : Jakarta.

Maslow, Abraham H.,1984, Teori Motivasi Dengan Ancangan Hirarki Kebutuhan

Manusia, PT Pustaka Binaman Pressindo

Moleong, Lexy J. (2011), Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda.

Mulyana, Dedy., 2008. Suatu Pengantar Ilmu Komunikasi. Bandung: Rosda.

Soehartono, Irawan (2002). Metode Penelitian Sosial. Bandung : Remaja

Rosdakarya

Sugiyono (2013). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif Dan R & D. Bandung :

Alfabeta.

Suratman dkk, 2013, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Malang Intimedia : Malang.

Wood, Julia T., 2005. Komunikasi Interpersonal, Salemba Humanika : Jakarta.

1
Skripsi

Citra, Aji Samba Pranata. (2013). Penerimaan Terhadap Pasangan dan

Religiusutas sebagai Kepuasan Pernikahan pada Pasangan. Bandung.

Universitas Pendidikan Indonesia.

Donna, Debby Faura. Penyesuaian Perkawinan Pada Pasangan yang Menikah

Tanpa Proses Pacaran (ta’aruf). Mahasiswa Universitas Gunadarma.

Febriana, Dilla Tria. (2013). Intimacy pada Pasangan yang Menikah melalui

Proses Ta’aruf (Studi Kasus pada Dua Pasangan yang Menikah pada Fase Awal

di Kota Bndung). Bandung. Universitas Pendidikan Indonesia.

Rakhmawati, Fariza Yuniar. Self Disclosure dalam Ta’aruf Pranikah Kader

Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Semarang. Ilmu Komunikasi FISIP UNDIP

Angkatan V.

Non Buku

http://www.dailymoslem.com/inspiration/indahnya-pernikahan-para-artis-yang-

diawali-dengan-taaruf (Artis-artis yang menjalankan ta’aruf)

http://www.hipwee.com/hiburan/8-fakta-soal-proses-taaruf-fedi-nuril-dan-vanny-

widyasasti-sweet-dan-adem-di-hati (Fedi Nuril yang Menjalankan Ta’aruf)

http://www.rumahtaaruf.com (Agen Ta’aruf Online)

http://alquran-sunnah.com (Hadist Rasulullah – Anjuran Menikah)

2
http://ppsunj.org (Teknik Analisis Data dan Interpretasi Data)

http://remajaislam.com (Deskripsi tentang Ta’aruf)

http://www.kajianteori.com (Keterbukaan Diri)

http://www.psychologymania.com (Pengertian Pacaran)

Kamus Besar Bahasa Indonesia Online.

Majalah Nikah Sakinah Vol.9 No.8, November 2010

Tim Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Quran. 2009. Al-Quran

Terjemahannya. Solo : Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

Anda mungkin juga menyukai