Anda di halaman 1dari 11

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG

DIPIDANA

Paper Halaqoh
Disajikan pada tanggal 01 Februari 2021

Pengasuh:
Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, S.H

Oleh:
Faiq Dzihnan
Mahasiswa Semester IX
Prodi Teknik Geofisika
Jurusan Fisika
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Brawijaya

Halaqoh Ilmiah

LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG

Februari 2021
A. Pendahuluan
Anak adalah generasi penerus bangsa. Oleh karena itu setiap anak
seharusnya mendapatkan haknya untuk bermain, belajar dan bersosialisasi.
Tetapi keadaannya akan menjadi berbalik apabila anak melakukan tindak
pidana, bukan berarti polisi ataupun pejabat yang berwenang lainnya
memperlakukan anak sama seperti orang dewasa yang melakukan tindak
pidana. Di Indonesia sering dijumpai perilaku anak yang diketegorikan
sebagai anak nakal atau anak yang melakukan pelanggaran hukum, tapi tidak
mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya dalam proses hukum.
Hak-hak yang mereka miliki diabaikan begitu saja dengan perlakuan yang
tidak manusiawi oleh pihak tertentu, pelanggaran hak-hak anak baik yang
terlihat jelas maupun tidak, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa.
Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup
manusia dan keberlangsungan sebuah Bangsa dan Negara, dalam konstitusi
Indonesia anak memiliki peran strategis, hal ini secara tegas dinyatakan
bahwa negara menjamin setiap anak berhak atas kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi. Oleh karena itu kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati
sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Konsekuensi dari ketentuan pasal 28B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan
pemerintah yang bertujuan untuk melindungi Anak. ketika anak terkena kasus
tindak pidana,bukan berarti polisi ataupun pejabat yang berwenang lainnya
memperlakukan anak sama seperti orang dewasa yang melakukan tindak
pidana. Maka dari itu, diperlukan adanya peradilan khusus yang menangani
masalah tindak pidana pada anak yang berbeda dari lingkungan peradilan
umum. Dengan demikian, proses peradilan perkara pada anak yang
melakukan tindak pidana dari sejak ditangkap, ditahan, diadili dan sampai
diberikan pembinaan selanjutnya, wajib diberikan oleh pejabat khusus yang
benar benar memahami masalah anak dan dunianya. Adanya perbedaan
antara teori dan praktik dalam melaksanakan dan menjalankan hukum
tersebut, khususnya kepada anak yang melakukan tindak pidana dan masih
kurangnya perlindungan yang diperoleh anak yang sedang diproses karena
terlibat tindak pidana, sehingga mengakibatkan hak-hak anak menjadi tidak
jelas, dan tidak mendapatkan kepastian hukum serta keadilan terhadap hak
hak anak.

B. Pembahasan
1. Pengertian Anak
Dalam hukum positif di Indonesia anak diartikan sebagai orang
yang belum dewasa (minderjarig/person under age), orang yang dibawah
umur/keadaan dibawah umur (minderjarig heid/ inferiority) atau biasa
disebut juga sebagai anak yang berada dibawah pengawasan wali
(minderjarige under voordij). Pengertian anak itu sendiri jika kita tinjau
lebih lanjut dari segi usia kronologis menurut hukum dapat berbeda-beda
tergantung tempat, waktu dan untuk keperluan apa, hal ini juga akan
mempengaruhi batasan yang digunakan untuk menentukan umur anak.
Perbedaan pengertian anak tersebut dapat dilihat pada tiap aturan
perundang-undangan yang ada pada saat ini. Misalnya pengertian anak
menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak
adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah
kawin (Abdussalam, 2007).
Pengertian anak pada Pasal 1 Convention On The Rights of The
Child, anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali
berdasarkan hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah
diperoleh sebelumnya. Yang dimaksud dengan anak adalah mereka yang
belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu mental,
fisik masih belum dewasa). Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi manusia menjabarkan pengertian tentang anak ialah
setiap manusia yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut
adalah demi kepentingannya (Dellyana, 1988)
Dalam hukum positif yang ada di Indonesia, pengertian anak dapat
dilihat dalam berbagai undang-undang antara lain :

a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak.
Anak adalah seseorang yang belum berumur 18 tahun, termasuk di
dalamnya adalah anak yang masih ada dalam kandungan (Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002).

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan


Anak.
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun atau
belum kawin (pasal 1 angka 2). Menurut undang-undang ini, batas usia 21
ditetapkan berdasarkan pertimbangan kepentingan kesejahteraan sosial,
tahap kematangan sosial, tahap kematangan pribadi dan tahap kematangan
mental. Pada usia 21 tahun, anak sudah dianggap mempunyai kematangan
sosial, kematangan pribadi dan kematangan mental. Batas usia 21 tahun ini
, tidak mengurangi ketentuan batas dalam peraturan perundang-undangan
lainnya dan tidak pula mengurangi kemungkinan anak melakukan
perbuatan sepanjang ia mempunyai kemampuan untuk itu berdasarkan
hukum yang berlaku. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979, dapat dicatat : (1) Anak adalah mereka yang belum
berusia 21 tahun atau belum pernah menikah; (2) Bagi mereka yang belum
berusia 21 tahun tetapi sudah kawin, maka disebut bukan anak lagi; (3)
Mereka yang sudah berusia 21 tahun atau belum berusia 21 tahun tetapi
sudah kawin dianggap telah mempunyai kematangan sosial, kematangan
pribadi dan kematangan mental; (4) Batas usia tersebut dapat
dikesampingkan sepanjang ditentu- kan perundang-undangan yang bersifat
khusus serta berdasarkan kenyataan dianggap mampu bertanggung jawab
terhadap perbuatan yang dilakukannya.
c. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak
Pasal 1 ayat (2) Anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak
yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana
dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Pasal 1 ayat (3) Anak yang
Berkonflik dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana

d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang


Pemasyarakatan.
Anak adalah anak didik pemasyarakatan yang terdiri dari anak
pidana, anak negara, anak sipil. Anak pidana adalah anak yang
berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS anak paling
lama sampai berumur 18 tahun. Anak negara adalah anak yang
berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan
ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan/ LAPAS anak paling lama
sampai berumur 18 (delapan belas) tahun (lihat Pasal 1 angka 8 huruf b
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995). Anak sipil anak yang atas
permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan
untuk dididik di LAPAS anak, paling lama sampai berumur 18 (delapan
belas) tahun (Simak Pasal 1 angka 8 huruf e Undang Undang Nomor 12
Tahun 1995). Penempatan anak sipil dalam LAPAS ini paling lama 6
(enam) bulan bagi mereka
yang belum berumur 14 (empat belas) tahun, dengan ketentuan paling
lama sampai anak berusia 18 (delapan belas)

e. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).


Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa
karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun, hakim
dapat menen
tukan; memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang
tuanya,
walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau memerintahkan
supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun,
jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran
berdasarkan pasal-pasal 489,
490, 492, 496, 497, 503 – 505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532, 536, dan
540 serta
belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan
kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya
telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.
Menurut ketentuan Pasal 45 KUHP, anak adalah orang yang berumur
dibawah 16 tahun, apabila anak melakukan tindak pidana, hakim dapat
menentukan anak tersebut dapat dikembalikan kepada orang tuanya, wali
atau pemeliharanya tanpa penjatuhan pidana, atau memerintahkannya
kepada pemerintah dengan tidak dikenai suatu hukuman.
2. Pengertian Sistem Peradilan Pidana Anak
Sistem Peradilan Pidana Anak adalah keseluruhan proses
penyelesaian perkara Anak yang berhadapan dengan hukum, mulai tahap
penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana UndangUndang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak pasal (1) angka 1.
Undang-Undang SPPA menggantikan Undang-Undang Nomor 3
tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Undang-Undang tentang Pengadilan
Anak tersebut digantikan karena belum memperhatikan dan menjamin
kepentingan si anak, baik anak pelaku, anak saksi, dan anak korban.
Dalam Undang- Undang Perlindungan Anak hanya melindungi anak
sebagai korban, sedangkan anak sebagai pelaku terkadang diposisikan
sama dengan seperti pelaku orang dewasa.
Undang-Undang SPPA ini menekankan kepada proses diversi
dimana dalam proses peradilan ini sangat memperhatikan kepentingan
anak, dan kesejahteraan anak. Pada setiap tahapan yaitu penyidikan di
kepolisisan, penuntutan di kejaksaan, dan pemeriksaan perkara di
pengadilan wajib mengupayakan diversi berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang SPPA. Istilah sistem peradilan pidana anak merupakan
terjemahan dari istilah The Juvenile Justice System, yaitu suatu istilah
yang digunakan sedefinisi dengan sejumlah institusi yang tergabung dalam
pengadilan, yang meliputi polisi, jaksa penuntut umum dan penasehat
hukum, lembaga pengawasan, pusat-pusat penahanan anak, dan fasilitas-
fasilitas pembinaan anak (Wahyudi, 2011).
Sistem Peradilan Pidana Anak ini menjadikan para aparat penegak
hukum untuk terlibat aktif dalam proses menyelesaikan kasus tanpa harus
melalui proses pidana sehingga menghasilkan putusan pidana. Penyidik
kepolisian merupakan salah satu aparat penegak hukum yang dimaksudkan
dalam Undang-Undang SPPA ini, selain itu ada penuntut umum atau
jaksa, dan ada hakim. Dalam Undang-Undang SPPA ini juga mengatur
lembaga yang terkait dalam proses diluar peradilan anak misalnya ada
Bapas, Pekerja Sosial Profesional, Lembaga Pembinaan Khusus Anak
(LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga
Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Keluarga atau Wali
Pendamping, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang ikut
berperan di dalamnya (Gultom, 2010).
Prinsip Sistem Peradilan Pidana Anak yang dijelaskan dengan kata
asas,
karena kata prinsip dan asas memiliki makna yang sama, keduanya
dimaknai sebagai suatu dasar hal tertentu. Berdasarkan Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. pelindungan;
b. keadilan;
c. nondiskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi Anak
e. penghargaan terhadap pendapat Anak;
f. kelangsungan hidup dan tumbuh kembang Anak;
g. pembinaan dan pembimbingan Anak;
h. proporsional;
i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya
terakhir
j. penghindaran pembalasan
(Moeljatno, 2005)

Hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini adalah
sebagai berikut; sebagi tersangka, hak-hak yang diperoleh sebagai
tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis
dan kekerasan) : (viktim) hak untuk yang dilayani kerena penderitaan
fisik, mental, dan sosial atau penyimpangan perilaku sosial; hak
didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan, pengaduan
dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan; hak untuk dilindungi dari
bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang
diberikan.
Hak-hak anak dalam proses penuntutan, meliputi sebagai berikut:
menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan,
membuat dakwaan yang dimengerti anak, secepatnya melimpahkan
perkara ke Pengadilan, melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan
semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi.
Hak-hak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan sebagai berikut;
hak untuk mendapatkan keringanan masa/ waktu penahanan, hak untuk
mengganti status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan
Negara) menjadi tahanan rumah atau tahanan kota, hak untuk
mendapatkan perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari
pihak yang beracara, hak untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka
pemerisaan dan penuntutan, hak untuk didampingi oleh penasehat hukum.
Hak-hak anak dalam proses persidangan antara lain adalah; hak untuk
memperoleh pemberitahuan datang kesidang pengadilan (Pasal 145
KUHAP), hak untuk menerima surat penggilan guna menghadiri sidang
pengadilan (Pasal 146 ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang
didakwakan (Pasal 51 hurub b KUHAP), hak untuk mendapatkan juru
bahasa atau penerjemah (Pasal 53, Pasal 177, Pasal 165 ayat (4) KUHAP),
hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi (Pasal 65 dan Pasal 165
ayat (4) KUHAP)
Hak anak selama persidangan, masih dibedakan lagi dalam
kedudukannya sebagai pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak selama
persidangan dalam kedudukannya sebagai pelaku yaitu : Hak mendapatkan
penjelasan mengenai tata cara persidangan kasusnya, Hak untuk
mendapatkan pendamping dan penasihat selama persidangan, Hak untuk
mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai
dirinya, Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang
merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja, Hak untuk
menyatakan pendapat, Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan
yang menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut
ataupun diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan, Hak untuk
mendapatkan perlakuan pembinaan/ penghukuman yang positif, yang
masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya, Hak akan
persidangan tertutup demi kepentingannya (Gultom, 2010)

Keadilan Resotarif dan Diversi diterapkan dalam Sistem Peradilan


Pidana Anak untuk menjaga agar prinsip-prinsip Sistem Peradilan Pidana
Anak dapat berjalan dan terjaga. Pedoman pelaksanaan keadilan Restoratif
atau Restorative Justice di Indonesia terdapat dalam United Nations
Standard Minimum Rules For the Administration of Juvenile Justice (The
Beijing Rules), dalam resolusi PBB 40/30 tanggal 29 November 1985,
mengatur (Nurindra, 2014):
“Memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum mengambil
tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah
pelanggar anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain mengentikan
atau tidak meneruskan atau melepaskan dari proses peradilan pidana atau
mengembalikan atau menyerahkankepada masyarakan dan bentuk-bentuk
kegiatan pelayanan sosial lainnya.”

Penjelasan diatas merupakan penjelasan mengenai keadilan


restoratif, dimana keterangannya ada dalam Undang-Undang SPPA Pasal
1 ayat (6) yaitu Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak
pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan
pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang
adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan
bukan pembalasan. Penyelesaian terbaik yaitu dengan mempertemukan
para pihak untuk menyelesaikan perkara dengan jalan musyawarah, cara
ini dianggap kooperatif dikarenakan dengan cara musyawarah dapat
menyelesaikan masalah tersebut.

C. Kesimpulan
Pemberlakuan sanksi terhadap anak yang terbukti telah melakukan
tindak pidana menurut sistem peradilan pidana anak, dilarang melanggar
harkat dan martabat Anak. Pidana pokok bagi Anak terdiri atas: pidana
peringatan; pidana dengan syarat: pembinaan di luar lembaga; pelayanan
masyarakat; atau pengawasan, pelatihan kerja; pembinaan dalam lembaga;
dan penjara.
Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak yang telah dijatuhi pidana
menurut sistem peradilan pidana, yakni selama penahanan dan ditempatkan di
Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) dan Lembaga Pembinaan
Khusus Anak (LPKA) selama anak menjalani masa pidana, anak berhak
untuk memperoleh pemenuhan dalam pelayanan dan perawatan kesehatan,
dapat mengikuti pendidikan dan pelatihan serta pembimbingan dan
pendampingan, yang memadai sesuai peraturan perundang-undangan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam . 2007. Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Restu Agung.

Dellyana,Shanty. 1988. Wanita Dan Anak Di Mata Hukum. Yogyakarta : Liberty.


Gultom, Maidin. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung: PT
Refika Aditama

Moeljatno. 2005. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.

Nurindra, Endri. 2014. Implementasi Atas Berlakunya Undang-Undang Nomor 11


Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Surabaya: Sinar
Kencana

Wahyudi,Setya. 2011. Implementasi Ide Diversi dalam Pembaruan Sistem


Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing

Anda mungkin juga menyukai