Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

IBADAH

DOSEN PENGAMPU
ALI ASMUL,M.Pdi.
Disusun Oleh:

Nurul azizah
2000222067

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA


PROGRAM STUDI D-3 TLM

2020/2021

Ibadah : Pengertian, Macam Dan Keluasan Cakupannya IBADAH : PENGERTIAN,


MACAM DAN KELUASAN CAKUPANNYA Oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan al Fauzan
Definisi Ibadah

Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Di dalam syara’,
ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain
adalah. Ibadah ialah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para
rasulNya.
Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala yaitu tingkatan
tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecin-taan) yang paling tinggi.
Ibadah ialah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu
wa Ta’ala , baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang batin. Ini adalah
definisi ibadah yang paling lengkap. Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota
badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan),
raghbah (senang) dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati).
Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan
hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan hati, lisan dan
badan. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman: ‫﴾ إِ َّن هَّللا َ هُ َو‬٥٧﴿ ‫ون‬ ْ ‫ق َو َما أُ ِري ُد أَ ْن ي‬
ِ ‫ُط ِع ُم‬ ٍ ‫﴾ َما أُ ِري ُد ِم ْنهُ ْم ِم ْن ِر ْز‬٥٦﴿ ‫س إِاَّل لِيَ ْعبُدُو ِن‬
َ ‫ت ْال ِج َّن َواإْل ِ ْن‬
ُ ‫َو َما خَ لَ ْق‬
ُ‫ق ُذو ْالقُ َّو ِة ْال َمتِين‬
ُ ‫ ال َّر َّزا‬Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak
menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi
Sangat Kokoh. [Adz-Dazariyat/51 : 56-58] Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitahukan,
hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala . Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi
merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka kepada Allah, maka
mereka menyembahNya sesuai dengan aturan syari’atNya.

Maka siapa yang menolak beribadah kepada Allah, ia adalah sombong. Siapa yang
menyembahNya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkanNya maka ia adalah mubtadi’
(pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembahNya dan dengan syari’atNya, maka dia
adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah). Macam-Macam Ibadah Dan Keluasan
Cakupannya Ibadah itu banyak macamnya. Ia mencakup semua macam ketaatan yang
nampak pada lisan, anggota badan dan yang lahir dari hati. Seperti dzikir, tasbih, tahlil dan
membaca Al-Qur’an ; shalat, zakat, puasa, haji, jihad, amar ma’ruf nahi mungkar, berbuat
baik kepada kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil . Begitu pula cinta kepada
Allah dan RasulNya, khasyyatullah (takut kepada Allah), inabah (kembali) kepadaNya, ikhlas
kepadaNya, sabar terhadap hukumNya, ridha dengan qadha’Nya, tawakkal, mengharap
nikmatNya dan takut dari siksaNya.
Jadi, ibadah mencakup seluruh tingkah laku seorang mukmin jika diniatkan qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah. Bahkan adat
kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan sebagai bekal untuk taat
kepadaNya. Seperti tidur, makan, minum, jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan
sebagainya. Berbagai kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai
ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu terbatas hanya pada
syi’ar-syi’ar yang biasa dikenal.
PAHAM-PAHAM YANG SALAH TENTANG PEMBATASAN IBADAH
Ibadah adalah perkara tauqifiyah . Artinya tidak ada suatu bentuk ibadah pun yang
disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyari’atkan
berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak), sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
َ ‫َث فِى أَ ْم ِرنَا هَ َذا َما لَي‬
wa sallam : ‫ْس ِم ْنهُ فَهُ َو َر ٌّد‬ َ ‫ َم ْن أَحْ د‬Barangsiapa melaksanakan suatu amalan tidak
atas perintah kami, maka ia ditolak [HR al-Bukhari dan Muslim] Maksudnya, amalnya
ditolak dan tidak diterima, bahkan ia berdosa karenanya, sebab amal tersebut adalah maksiat,
bukan ta’at. Kemudian manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah yang disyari’atkan
adalah sikap pertengahan.

Antara meremehkan dan malas dengan sikap ekstrim serta melampaui batas. Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: َ‫فَا ْستَقِ ْم َك َما أُ ِمرْ ت‬
ْ ‫ك َواَل ت‬
‫َط َغوْ ا‬ َ ‫و َم ْن ت‬ 
َ ‫َاب َم َع‬ َ Baca Juga  Kaffârat Dalam Islam  Maka tetaplah kamu pada jalan yang
benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu
dan janganlah kamu melampaui batas.[Hud/11 : 112] Ayat al-Qur’an ini adalah garis
petunjuk bagi langkah manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah. Yaitu dengan
beristiqamah dalam melaksanakan ibadah pada jalan tengah, tidak kurang atau lebih, sesuai
dengan petunjuk syari’at (sebagaimana yang diperintahkan padamu). Kemudian Dia
menegaskan lagi dengan firmanNya: “Dan janganlah kamu melampaui batas.” Tughyan
adalah melampaui batas dengan bersikap terlalu keras dan memaksakan kehendak serta
mengada-ada. Ia lebih dikenal dengan ghuluw. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya melakukan ghuluw dalam ibadah, di
mana seorang dari mereka berkata, “Saya puasa terus dan tidak berbuka”, dan yang kedua
berkata, “Saya shalat terus dan tidak tidur”, lalu yang ketiga berkata, “Saya tidak menikahi
َ ُ‫ َوأ‬،ُ‫لَ ِكنِّ ْي أَصُوْ ُم َوأُ ْف ِطر‬
wanita”. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ،ُ‫صلِّي َوأَرْ قُد‬
َ ‫ فَ َم ْن َر ِغ‬،‫ َوأَتَ َز َّو ُج النِّ َسا َء‬Adapun saya, maka saya berpuasa dan berbuka, saya
َ ‫ب ع َْن ُسنَّتِ ْي فَلَي‬
‫ْس ِمنِّ ْي‬
shalat dan tidur, dan saya menikahi perempuan. Maka barangsiapa tidak menyukai jejakku
maka dia bukan dari (bagian atau golongan)-ku. [HR al-Bukhari dan Muslim] Ada Dua
Golongan Yang Saling Bertentangan Dalam Soal Ibadah. Golongan Pertama. Yang
mengurangi makna ibadah serta meremehkan pelaksanaannya.

Mereka meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah


yang terbatas pada syi’ar-syi’ar tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid
saja. Tidak ada ibadah di rumah, di kantor, di toko, di bidang sosial, politik, juga tidak dalam
peradilan kasus sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan lainnya. Memang masjid
mempunyai keistimewaan dan harus dipergunakan dalam shalat fardhu lima waktu. Akan
tetapi ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar
masjid. Golongan Kedua. Yang bersikap berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai pada
batas ekstrim; yang sunnah mereka angkat sampai menjadi wajib, sebagaimana yang mubah
mereka angkat menjadi haram. Mereka menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi
manhaj mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman lainnya. Padahal sebaik-baik
petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk
perkara adalah yang bid’ah.

PILAR-PILAR UBUDIYAH YANG BENAR Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan


pada tiga pilar sentral, yaitu: hubb (cinta), khauf (takut) dan raja’ (harapan). Rasa cinta harus
dibarengi dengan sikap rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’ .
Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
tentang sifat hamba-hambaNya yang mukmin: ُ‫ يُ ِحبُّهُ ْم َويُ ِحبُّونَه‬Dia mencintai mereka dan mereka
mencintaiNya [Al-Ma’idah/5: 54] ِ ‫ َوالَّ ِذينَ آ َمنُوا أَ َش ُّد ُحبًّا هَّلِل‬Adapun orang-orang yang beriman
sangat cinta kepada Allah [Al-Baqarah/2: 165] Dia Subhanahu wa Ta’ala berfirman menyifati
ِ ‫ار ُعونَ فِي ْال َخ ْي َرا‬
ِ َ‫ َو َكانُوا لَنَا خ‬  ۖ‫ت َويَ ْدعُونَنَا َر َغبًا َو َرهَبًا‬
para rasul dan nabiNya. َ‫اش ِعين‬ ِ ‫إِنَّهُ ْم َكانُوا يُ َس‬
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan)
perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdo’a kepada Kami dengan harap dan cemas.

Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu kepada Kami [Al-Anbiya/21: 90]


Sebagian salaf berkata: “Siapa yang menyembah Allah dengan rasa hubb (cinta) saja maka ia
zindiq[1]. Siapa yang menyembahNya dengan raja’ (harapan) saja maka ia adalah murji’[2].
Dan siapa yang menyembahNya hanya dengan khauf (takut) saja, maka ia adalah haruriy[3].
Siapa yang menyembahNya dengan hubb, khauf dan raja’ maka ia adalah mukmin
muwahhid.” Hal ini disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Risalah Ubudiyah.
Beliau juga berkata: “Dien Allah adalah menyembahNya, ta’at dan tunduk kepadaNya. Asal
makna ibadah adalah adzdzull (hina). Dikatakan ” ” jika jalan itu dihinakan dan diinjak-injak
oleh kaki manusia. Akan tetapi ibadah yang diperintahkan mengandung makna dzull dan
hubb.

Yakni mengandung makna dzull yang paling dalam dengan hubb yang paling tinggi
kepadanya. Siapa yang tunduk kepada seseorang dengan perasaan benci kepadanya, maka ia
bukanlah menghamba (menyembah) kepadanya. Dan jika ia menyukai sesuatu tetapi tidak
tunduk kepadanya, maka ia pun tidak menghamba (menyembah) kepadanya. Sebagaimana
seorang ayah mencintai anak atau rekannya. Karena itu tidak cukup salah satu dari keduanya
dalam beribadah kepada Allah, tetapi hendaknya Allah lebih dicintainya dari segala sesuatu
dan Allah lebih diagungkan dari segala sesuatu. Tidak ada yang berhak mendapat mahabbah
(cinta) dan khudhu’ (ketundukan) yang sempurna selain Allah[4].

Inilah pilar-pilar kehambaan yang merupakan poros segala amal ibadah. Baca Juga 
Hukum Merayakan Malam Isra' Mi'raj Ibnu Qayyim berkata dalam Nuniyah-nya: “Ibadah
kepada Ar-Rahman adalah cinta yang dalam kepada-Nya, beserta kepatuhan penyembahNya.
Dua hal ini adalah ibarat dua kutub. Di atas keduanyalah orbit ibadah beredar. Ia tidak
beredar sampai kedua kutub itu berdiri tegak. Sumbunya adalah perintah, perintah rasulNya.
Bukan hawa nafsu dan syetan.” Ibnu Qayyim menyerupakan beredarnya ibadah di atas rasa
cinta dan tunduk bagi yang dicintai, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beredarnya
orbit di atas dua kutubnya. Beliau juga menyebutkan bahwa beredarnya orbit ibadah adalah
berdasarkan perintah rasul dan syari’atnya, bukan berdasarkan hawa nafsu dan setan. Karena
hal yang demikian bukanlah ibadah.
Apa yang disyari’atkan baginda Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam itulah yang
memutar orbit ibadah. Ia tidak diputar oleh bid’ah, nafsu dan khurafat. SYARAT
DITERIMANYA IBADAH Agar bisa diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah
itu tidak benar kecuali dengan ada syarat. Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar
dan kecil.
Sesuai dengan tuntunan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam Syarat pertama adalah
konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illa-llah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya
untuk Allah dan jauh dari syirik kepadaNya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari
syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajibnya ta’at kepada Rasul, mengikuti
syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Allah
ٌ ْ‫بَلَ ٰى َم ْن أَ ْسلَ َم َوجْ هَهُ هَّلِل ِ َوه َُو ُمحْ ِس ٌن فَلَهُ أَجْ ُرهُ ِع ْن َد َربِّ ِه َواَل َخو‬
Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َواَل هُ ْم‬
َ‫( يَحْ زَ نُون‬Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia
berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.. [Al-Baqarah/2: 112] Aslama
wajhahu (menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. Wahuwa muhsin
(berbuat kebajikan) artinya mengikuti RasulNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam .

Syaikhul Islam mengatakan: “Inti agama ada dua pokok yaitu kita tidak menyembah
kecuali kepada Allah, dan kita tidak menyembah kecuali dengan apa yang Dia syariatkan,
tidak dengan bid’ah.” Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ‫فَ َم ْن َكانَ يَرْ جُو لِقَا َء َربِّ ِه‬
‫صالِحًا َواَل يُ ْش ِر ْك بِ ِعبَا َد ِة َربِّ ِه أَ َحدًا‬
َ ‫ فَ ْليَ ْع َملْ َع َماًل‬Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya
maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.[Al-Kahfi/18 : 110] Yang demikian adalah
manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallah dan Muhammad
Rasulullah. Pada yang pertama, kita tidak menyembah kecuali kepadaNya. Pada yang kedua,
bahwasanya Muhammad adalah utusanNya yang menyampaikan ajaranNya. Maka kita wajib
membenarkan dan mempercayai beritanya serta menta’ati perintahnya. Beliau telah
menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau melarang kita dari hal-
hal baru atau bid’ah. Beliau mengatakan bahwa bid’ah itu sesat.

Daftar Pustaka

[Disalin dari kitab At-Tauhid Lish Shaffil Awwal Al-Ali, Edisi Indonesia Kitab
Tauhid 1, Penulis Syaikh Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Penerjemah Agus
Hasan Bashori Lc, Penerbit Darul Haq] _______ Footnote [1] Zindiq adalah istilah untuk
setiap munafik, orang yang sesat dan mulhid, -pent. [2] Murji’ adalah orang Murji’ah, yaitu
golongan yang mengatakan bahwa amal bukan bagiandari iman.

Iman hanya dengan hati ,-pent [3] Haruriy adalah orang dari golongan Khawarij, yang
pertama kali muncul di Harurro, dekat Kufah, yang berkeyakinan bahwa orang mukmin yang
berdosa adalah kafir ,-pent [4] Majmu’ah Tauhid Najdiyah 542

Referensi: https://almanhaj.or.id/10952-ibadah-pengertian-macam-dan-keluasan-
cakupannya.html

Anda mungkin juga menyukai