Anda di halaman 1dari 5

1.

Definisi kesehatan Masyarakat Veteriner

Kesmavet atau Kesehatan masyarakat Veteriner untuk pertama kalinya diperkenalkan


World Health Organization (WHO) dan Food Agriculture Organization (FAO) pada
laporannya the Joint WHO/FAO Expert Group on Zoonoses pada tahun 1951. Dalam laporan
tersebut, Kesmavet (VPH) didefinisikan sebagai seluruh usaha masyarakat yang
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh seni dan ilmu kedokteran hewan yang diterapkan untuk
mencegah penyakit, melindungi kehidupan, dan mempromosikan kesejahteraan dan efisiensi
manusia (veterinary public health comprises all the community efforts influencing and
influenced by the veterinary medical arts and sciences applied to the prevention of diseases,
protection of life, and promotion of the well-being and efficiency of man).

Menurut Schwabe (1984), istilah Kesmavet mengarah kepada bidang kesehatan


masyarakat yang mana kedokteran hewan berkontribusi secara khusus. Selanjutnya definisi
Kesmavet dimodifikasi oleh WHO/FAO pada tahun 1975. Kesmavet didefinisikan sebagai
suatu komponen aktivitas kesehatan masyarakat yang mengarah kepada penerapan
keterampilan, pengetahuan dan sumberdaya profesi kedokteran hewan untuk perlindungan
dan perbaikan kesehatan masyarakat (veterinary public health is a component of public
health activities devoted to the application of professional veterinary skills, knowledge and
resources for the protection and improvement of human health).

Pada tahun 1999, WHO, FAO, OIE dan WHO/FAO Coloborating for Research and
Training in Veterinary Epidemiology and Management mengusulkan definisi kesmavet
dikaitkan dengan definisi sehat menurut WHO. Menurut WHO, health is the state of
complete physical, mental, and social well-being and not merely the absence of disease or
infirmity. Oleh sebab itu, pada tahun 1999, Kesmavet didefinisikan sebagai kontribusi
terhadap kesejahteraan fisik, mental dan sosial melalui pemahaman dan penerapan ilmu
kedokteran hewan (veterinary public health is the contribution to the complete physical,
mental, and social well-being of humans through an understanding and application of
veterinary medical science).

Indonesia memasukkan istilah Kesmavet pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967


tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. Definisi Kesmavet
dalam UU tersebut adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan bahan-bahan
yang berasal dari hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan
manusia. Selanjutnya pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun
1983.

2. Tantangan Kesmavet :
 Perubahan demografi (penduduk) dan dampak urbanisasi
 Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat
 Perubahan industry dan teknologi
 Pariwisata
 Perdagangan bebas/global
 Mikroorganisme atau agen pathogen baru (emerging diease), serta adaptasi dan
resistensi mikroorganisme

Contoh Kasus Tantangan Di Lapangan


Pengaturan kesmavet secara legal di Indonesia tertulis dalam Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Pada tahun 2000, dibentuk Direktorat Kesmavet di bawah Direktorat
Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian untuk menangani bidang kesmavet
seperti yang diamanahkan dalam UU Nomor 6 Tahun 1967. Masalah yang terkait
kesmavet pada dua dasa warsa terakhir antara lain munculnya penyakit infeksius
baru (emerging infectious diseases) pada manusia yang sebagian besar bersumber
pada hewan atau bersifat zoonotik. WHO (2012) menyatakan bahwa 75% penyakit
infeksius baru pada manusia dalam 10 tahun terakhir disebabkan oleh agen patogen
yang berasal dari hewan atau produk hewan. Jones et al. (2008) menyebutkan bahwa
71.8% dari zoonosis yang baru muncul (emerging zoonoses) bersumber pada satwa
liar.
Beberapa faktor yang diidentifikasi memicu munculnya penyakit zoonotik
baru tersebut antara lain perubahan demografi (peningkatan populasi dunia),
perdagangan global, perubahan pola hidup masyarakat, perubahan sistem pertanian
(pengalihan hutan menjadi lahan pertanian), dan pariwisata. Masalah kesmavet,
khususnya zoonosis baru, dihadapi juga oleh Indonesia, selain zoonosis yang telah
ada di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, avian influenza telah menyebar ke
seluruh wilayah Indonesia dan telah menyebabkan kasus sakit dan kematian pada
manusia. Selain itu, beberapa daerah bebas historis rabies telah menjadi daerah
tertular. Kasus penyakit parasitik yang bersifat zoonotik seperti toksoplasmosis dan
sistiserkosis masih menjadi masalah di beberapa daerah, namun belum menjadi
perhatian serius pemerintah dalam hal pencegahan dan pengendalian di hewan.
Selain zoonosis, pemotongan hewan masih banyak dilakukan di tempat pemotongan
hewan atau rumah potong hewan yang sangat memprihatinkan, karena tidak
memenuhi persyaratan higiene sanitasi. Hal ini tentunya akan mempengaruhi
keamanan dan kualitas karkas/daging yang dihasilkan. Selanjutnya, kesejahteraan
hewan yang belum diterapkan di tempat atau rumah potong hewan. Praktik
kesejahteraan hewan tersebut menjadi "masalah" dalam perdagangan dengan
Australia.
Hal yang lebih memprihatinkan, banyaknya penutupan rumah potong hewan
untuk babi akibat relokasi atau renovasi, sementara kebutuhan masyarakat tertentu
terhadap daging babi masih harus disediakan. Hal ini yang mendorong terjadinya
pemotongan babi di tempat yang tidak mendapat pengawasan dari pemerintah. Dari
aspek kesmavet, pemotongan babi di luar pengawasan pemerintah atau otoritas
medis veteriner akan membawa risiko pencemaran lingkungan oleh agen patogen
zoonotik yang mengancam kesehatan masyarakat, hewan, dan lingkungan. Selain itu,
adarisiko "masuknya" produk babi ke dalam rantai penyediaan pangan halal.
Masalah kesmavet lain di Indonesia adalah eksploitasi hutan untuk pertanian dan
pertambangan yang dapat mengakibatkan munculnya zoonosis baru yang bersumber
dari satwa liar. Peran vektor di sekitar hutan menjadi penting. Masalah di atas
semakin sulit diatasi dan mungkin tidak akan pernah diatasi dengan kondisi
pemerintahan saat ini, yang mana "hilangnya rantai komando" kesehatan hewan dari
pusat sampai daerah akibat menurunnya "tingkat kewenangan" yang membidangi
kesehatan hewan dan kesmavet di kabupaten/kota. Selain itu, belum adanya undang-
undang yang khusus mengatur veteriner dan praktik dokter hewan memberikan
kontribusi "kelemahan pengaturan" bidang kesmavet. Sebagai simpulan, tantangan
kesmavet di Indonesia adalah munculnya zoonosis baru atau kembali munculnya
zoonosis endemis, penyediaan pangan asal hewan yang belum memenuhi keamanan
dan kelayakan, praktik penanganan hewan yang belum memenuhi kesejahteraan
hewan, lemahnya komando dari pusat ke daerah, dan lemahnya peraturan
perundangan.
3. ISSUE TENTANG KESMAVET
Salah satu issu kesmavet adalah Kemunculan dan penyebaran resistensi
antimikrobial yang dapat disebabkan oleh residu pada pangan asal hewan. Senyawa dari
hasil teknologi pertanian dan industri, obat – obatan dan perangsang pertumbuhan yang
umumnya diaplikasikan pada ternak dapat meninggalkan residu pada pangan hasil
olahannya apabila dikonsumsi dalam waktu yang tidak tepat. Maka dari itu sangat
diperlukan peranan kesmavet untuk mengontrol dan mencegah penyebaran bahan pangan
asal hewan yang mengandung residu antibiotik sehingga tidak menimbulkan resistensi
bakteri pada tubuh konsumen akibat mengkonsumsi pangan tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Pramujiono, Anton . 2005. Kebijakan Pemerintah Terhadap Kebijakan Kesmavet. Diakses


dari http://www.koranPDHI.com/    Diakses  tanggal  01 November 2010.
Yudhabuntara, D. 2011. Kuliah Kesehatan Masyarakat. FKH UGM
Luning, P. A., Marcelis, W.J., Jongen, W.M.F. 2003. Food Management Quality – A Techno-
Managerial Approach. Wageningen Pers, Wageningen.
Waltner-Toews D. 2002. Veterinary public health. http://www.enotes.com/veterinary-public-
health-reference/veterinary-public-health Diakses 27 Februari 2017

Anda mungkin juga menyukai