Anda di halaman 1dari 26

I.

TINJAUAN MATA KULIAH


Pada bagian ini, saya akan merinci penjelasan mengenai mata kuliah toksikologi veteriner,
sebagai berikut:
1. Deskripsi Mata Kuliah
Mata kuliah toksikologi veteriner dengan bobot 2 SKS ini membahas tentang cara
mengidentifikasi bahan toksik, menganalisis mekanisme kerja dan pengaruh bahan toksik
dalam tubuh hewan baik terrestrial, akuatik dan lingkungan, teknik dan metoda diagnosa
serta penanggulangan toksisitas.
2. Kegunaan Mata Kuliah
Toksikologi adalah ilmu yang sangat menarik. Namun, untuk dapat memahami dan
menguasai toksikologi, tentu saja dibutuhkan pemahaman yang mendalam terhadap konsep
dan prinsip dasar toksikologi, sebelum melakukan diagnosa toksisitas, menyusun rencana
terapi ataupun aplikasi tindakan penanganan yang cepat dan tepat. Syarat untuk
mempelajari toksikologi adalah anda sudah harus menguasai prinsip – prinsip farmakologi
dan obat – obat yang bekerja pada sistem organ serta prinsip kerja obat kemoterapi.
Kaitannya dengan toksikologi adalah obat selain menghasilkan efek terapi juga dapat
menyebabkan efek samping dan efek toksik bagi tubuh hewan, terutama untuk obat – obat
yang memiliki batas keamanan yang sempit.
Pokok – pokok bahasan yang dibahas dalam mata kuliah ini selain dasar – dasar
toksikologi adalah penanganan toksisitas, toksisitas biotoksin, toksisitas pestisida,
toksisitas bahan kimia, toksisitas tanaman sianogenik dan tanaman penyebab
fotosensitisasi, toksisitas bahan kimia lain (teratogenik dan karsinogenik), toksisitas bahan
mineral, toksisitas logam berat dan bahan radioaktif, toksikologi lingkungan serta
toksikologi obat.
3. Capaian Pembelajaran/Kompetensi Utama
Capaian pembelajaran (CPL) Program Studi: Mahasiswa mampu merancang konsep
kesehatan hewan untuk melindungi, mengamankan dan menjamin kesehatan hewan,
manusia dan lingkungan melalui penolakan, pencegahan, pengendalian, pemberantasan
dan pengobatan penyakit hewan dan zoonosis secara tepat berdasarkan peraturan
perundang – undangan di bidang penyelenggaraan hewan.
Capaian pembelajaran mata kuliah (CP-MK):
1) Mampu mengidentifikasi berbagai bahan yang digunakan pada hewan yang
dapat menimbulkan toksisitas

1
2) Mampu menganalisis mekanisme kerja, gejala klinis atau pengaruh bahan toksik
tersebut terhadap kesehatan hewan terrestrial dan akuatik serta lingkungan
3) Mampu merancang teknik diagnosa dan penanganan yang benar dan tepat
4) Mampu mengumpulkan, mengolah dan menginterpretasi berbagai informasi
terkait toksisitas pada ternak
5) Mampu mempertanggungjawabkan hasil diskusi mandiri dan dalam kelompok
secara akademik.
4. Susunan dan Keterkaitan Antar Modul
Modul ini membahas dasar – dasar toksikologi yang sangat dibutuhkan dalam
memahami pembahasan lain dalam mata kuliah ini.
5. Bahan Pendukung Lainnya
Untuk modul dasar – dasar toksikologi, tidak tersedia bahan pendukung lain.
6. Petunjuk Umum Mempelajari Mata Kuliah
Agar anda dapat menyelesaikan dan menuntaskan mata kuliah ini, ikutilah petunjuk
umum dalam mempelajari mata kuliah ini.
1. Bacalah secara seksama modul dan bahan ajar mata kuliah ini sampai anda benar
– benar memahami setiap topik dalam mata kuliah ini.
2. Dalam membaca uraian materi hendaknya dilakukan secara cermat agar dapat
menemukan dan menandai kata – kata kunci yang anda anggap penting. Cari dan
pelajarilah arti dari kata – kata kunci itu.
3. Diskusikanlah pemahaman anda dengan teman atau dosen pengampu mata
kuliah pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung.
4. Buatlah ringkasan dari setiap pokok bahasan menggunakan bahasa anda sendiri.
5. Sebelum anda memahami materi atau bahasan dasar – dasar toksikologi, anda
belum bisa mempelajari pokok bahasan lain.
Dalam pembelajaran berbasis mahasiswa (Student centered learning), dosen berperan
sebagai fasilitator dalam pembelajaran sekaligus membimbing dalam penggunaan modul
ini. Dosen juga mengorganisasikan kegiatan belajar dalam kelompok kecil (small group
discussion), merencanakan proses penilaian serta menyiapkan perangkatnya. Dosen
kemudian melaksanakan penilaian, menjelaskan kepada mahasiswa mengenai sikap,
pengetahuan dan ketrampilan dari kompetensi yang telah ditetapkan, yang perlu dibenahi
oleh mahasiwa, merundingkan rencana pembelajaran selanjutnya dan mencatat pencapaian
mahasiswa dalam pembelajaran.

2
II. PENDAHULUAN
1. Cakupan Materi Modul
Modul ini menguraikan dan membahas dasar – dasar toksikologi meliputi pengertian
dan sejarah singkat toksikologi, hubungan dosis dan respon, toksikokinetik, faktor – faktor
yang mempengaruhi toksisitas, klasifikasi toksikan dan bagaimana mengenali atau
mendiagnosa kasus toksisitas pada hewan.
2. Tujuan Pembelajaran/ Kompetensi Umum
Mahasiswa mampu merancang konsep kesehatan hewan untuk melindungi,
mengamankan dan menjamin kesehatan hewan, manusia dan lingkungan melalui
penolakan, pencegahan, pengendalian, pemberantasan dan pengobatan penyakit hewan dan
zoonosis secara tepat berdasarkan peraturan perundang – undangan di bidang
penyelenggaraan hewan.
3. Keterkaitan atau Manfaat Materi Bagi Mahasiswa
Hasil belajar yang diharapkan setelah mempelajari modul ini adalah:
1. Mahasiswa dapat memahami definisi toksikologi dan istilah – istilah khusus lain
seperti toksikan, toksisitas, toksikosis, efek toksik, toksin dan istilah lain yang
digunakan dalam mempelajari toksikologi.
2. Mahasiswa dapat memahami bagaimana suatu zat toksik mendapatkan akses masuk
kedalam tubuh.
3. Mahasiswa dapat mengidentifikasi dan memahami tahapan atau reaksi toksikan
untuk menghasilkan respon (gejala klinis toksisitas)
4. Mahasiswa dapat memahami faktor apa saja yang menentukan toksisitas
5. Mahasiswa dapat mengenali kasus toksisitas pada hewan kesayangan maupun pada
ternak.
6. Mahasiswa dapat memahami prinsip kerja suatu zat toksik dalam mendiagnosa kasus
intoksikasi
7. Mahasiswa dapat menerapkan pendekatan klinis yang sesuai dan berurutan dalam
melakukan diagnosa suatu kasus intoksikasi.
4. Urutan Bahasan
Modul ini akan membahas dan mendiskusikan dasar – dasar toksikologi dalam
kedokteran hewan yang meliputi pengertian toksikologi, sejarah singkat, hubungan dosis
dan respon, klasifikasi toksikan, faktor – faktor yang mempengaruhi toksisitas, serta
mengenali atau mendiagnosa suatu kasus toksisitas pada hewan.

3
5. Petunjuk Belajar
Modul ini disusun sebagai bahan penguatan dan suplemen belajar mandiri bagi
mahasiswa dalam memahami dasar – dasar toksikologi veteriner sebagai bekal memahami
mekanisme kerja toksikan, respon yang ditimbulkan terhadap paparan toksikan, strategi
diagnosa kasus intoksikasi dalam menentukan terapi yang tepat.
Petunjuk penggunaan modul ini sangat sederhana, dimulai dari mahasiswa
memahami tujuan modul dan capaian pembelajaran dilanjutkan dengan membaca dan
memahami kegiatan belajar, memahami contoh dan non contoh yang diberikan serta
membuat rangkuman dalam bahasa sendiri, serta mengerjakan latihan dan tes formatif pada
bagian akhir modul ini. Kemampuan mahasiswa dalam memahami pokok bahasan ini
dapat diukur dengan capaian pada tes formatif.
6. PETA KOMPETENSI
Mata Kuliah Toksikologi Veteriner (KHDHN 4403)

Setelah mempelajari mata kuliah Toksikologi Veteriner mahasiswa diharapkan mampu


merancang konsep kesehatan hewan untuk melindungi, mengamankan dan menjamin
kesehatan hewan, manusia dan lingkungan melalui penolakan, pencegahan,
pengendalian, pemberantasan dan pengobatan penyakit hewan dan zoonosis secara
tepat berdasarkan peraturan perundang undangan di bidang penyelenggaraan hewan

M2 M3 M4 M5 M6 M7 M8 M9 M10 M11

M1

4
Keterangan Peta Kompetensi:
M1 Menganalisis dasar – dasar toksikologi

M2 Menerapkan penanganan toksisitas

M3 Menganalisis toksisitas biotoksin

M4 Menerapkan penanganan toksisitas pestisida

M5 Menerapkan toksisitas bahan kimia

M6 Menerapkan toksisitas tanaman sianogenik dan tanaman penyebab


fotosensitisasi
M7 Menerapkan bahan kimia lain, agen lain berupa obat yang mempunyai
efek teratogenik dan karsinogenik
M8 Menerapkan toksisitas mineral, bahan kimia yang ditambahkan dalam
pakan, dan toksin asal ragi
M9 Menerapkan toksisitas logam berat dan bahan radioaktif

M10 Menerapkan toksikologi lingkungan

M11 Menjelaskan tentang toksikologi obat

5
III. KEGIATAN BELAJAR
A. PENDAHULUAN
Mengawali pembahasan mengenai dasar – dasar toksikologi, terlebih dahulu saya
akan memaparkan sejarah singkat toksikologi dan perkembangannya yang memberi
kontribusi penting terhadap perkembangan toksikologi veteriner.
Berbicara mengenai racun, tentu saja kita semua sudah tidak asing lagi. Racun sudah
dikenal manusia sejak jaman pra sejarah, dimana pada masa tersebut, manusia belajar
untuk mengidentifikasi tanaman maupun hewan yang dapat dimakan dan yang bersifat
racun atau berbahaya bagi tubuh. Selain itu, mereka juga mengidentifikasi racun asal
hewan (bisa ular/venom), ekstrak tanaman atau material lainnya, yang kemudian
digunakan untuk berburu, mengobati gangguan kesehatan dan untuk kepentingan perang
atau mempertahankan daerah kekuasaannya.
Setelah masa prasejarah, perkembangan toksikologi tidak terlepas dari peran
beberapa filsuf. Adalah Hippocrates (yang kemudian dikenal sebagai bapak kedokteran)
pada sekitar 460-370 B.C, yang sudah menulis tentang venom dan kemampuan orang
Mesir Kuno dalam hal penanganan keracunan yaitu dengan menghambat laju absorpsi
racun dari saluran pencernaan. Setelah Hippocrates, Pendacious Dioscorides (50 B.C)
dengan latar belakang sebagai seorang dokter tentara berhasil mengklasifikasikan racun
asal tanaman, hewan dan mineral. Selanjutnya, Maimonides (1135 – 1204), seorang filsuf
yang juga berprofesi sebagai dokter yang melakukan evaluasi yang mendalam mengenai
racun dan antidotumnya.
Toksikologi kemudian mengalami perkembangan ke arah lebih modern dengan
dikemukakannya konsep dasar toksikologi oleh Aureolus Philippus Theophrastus
Bombastus von Hohenheim (1493 – 1941), yang lebih dikenal dengan nama Paracelcus.
Paracelsus mengemukakan suatu postulat yang kemudian menjadi dasar dalam
toksikologi, yaitu “Semua zat adalah racun dan tidak ada zat yang tidak beracun, hanya
dosis yang membuatnya tidak beracun”. Artinya semua zat merupakan racun atau
berpotensi sebagai racun, bergantung pada dosis. Ada zat yang dalam dosis minimal sudah
menimbulkan sindrom toksisitas, sedangkan ada zat yang dalam dosis besar baru akan
menimbulkan toksisitas. Postulat Paracelsus tersebut menjadi dasar pengembangan konsep
dasar toksikologi yaitu hubungan dosis-respon, yang akan saya jelaskan kemudian.
Selain Paracelsus, perkembangan toksikologi modern juga tidak terlepas dari peran
seorang ahli sains asal Spanyol yang juga berprofesi sebagai dokter, Matthieu Joseph
Bonaventura Orfila (1787 – 1853). Orfila kemudian diberi sebutan sebagai bapak
6
toksikologi modern. Orfila memperkenalkan suatu metode dalam penelitian mengenai
kerja racun pada hewan, yang kemudian menjadi dasar lahirnya toksikologi forensik.
Berkaitan dengan toksikologi forensik, Orfila juga meneliti analisis kimia dalam
mendeteksi dan membuktikan gejala adanya zat kimia tertentu di dalam tubuh. Temuan
Orfila inilah yang kemudian digunakan sebagai bukti legal atau otentik pada kasus
kematian akibat keracunan. Orfila juga berhasil menggelompokkan racun menjadi
beberapa kelompok antara lain korosif, astringen, acrid, narkotik, dan septika. Penemuan
– penemuan Orfila ini memberi kontribusi yang sangat besar dan esensial bagi
perkembangan toksikologi terutama toksikologi forensik, yang secara tidak langsung
mendasari perkembangan toksikologi veteriner.
Demikianlah pembahasan sejarah singkat toksikologi yang berkontribusi dalam
perkembangan toksikologi hingga saat ini. Selanjutnya, kita akan membahas mengenai
pengertian toksikologi.
B. PENGERTIAN TOKSIKOLOGI
Berbicara tentang pengertian tentu kita akan merujuk pada pengertian harafiah atau
menurut arti kata. Toksikologi berasal dari bahasa Yunani “toxicon” yang berarti racun dan
“logos” yang berarti ilmu, sehingga secara harafiah toksikologi disimpulkan sebagai ilmu
tentang racun.
Dasar dari pengertian toksikologi tersebut adalah setiap substansi yang diberikan
dalam jumlah yang cukup melalui rute non-konvensional dapat mempengaruhi dan
membahayakan kesehatan. Dosis suatu substansi pada reseptor yang sesuai, sangat
menentukan substansi tersebut bersifat sebagai nutrisi, obat atau racun. Tentu saja hal
tersebut dikaitkan dengan farmakokinetik dari agen tersebut. Mari kita ingat kembali
materi farmakokinetik dalam dasar – dasar farmakologi. Dalam farmakokinetik, kalian
sudah belajar bahwa bahan aktif obat dapat menghasilkan efek terapi jika tersedia dalam
konsentrasi yang cukup pada reseptornya. Hal ini juga berlaku untuk toksikan dalam
menimbulkan efek toksik. Oleh karena itu, toksikokinetik suatu toksikan sangat penting
untuk diketahui. Selain dosis, derajat absorpsi toksikan, distribusi dalam tubuh,
metabolisme dan eliminasi atau ekskresi dari toksikan juga dipelajari dalam
toksikokinetika. Sebelum kita mempelajari mengenai toksikokinetik, terlebih dahulu saya
akan menjelaskan mengenai hubungan dosis – respon.
C. HUBUNGAN DOSIS-RESPON
Dosis suatu substansi yang masuk kedalam tubuh yang menentukan reaksi tubuh
sebagai respon terhadap kehadiran substansi tersebut. Secara singkat dikatakan bahwa

7
hubungan dosis respon merupakan korelasi antara tipe paparan dengan luasnya efek toksik
yang dapat dihasilkan oleh suatu toksikan. Pengetahuan akan konsep ini sangat membantu
dalam memprediksi jenis reaksi yang akan timbul akibat dari paparan suatu substansi.
Sebagai contoh, metilsantin dalam coklat dapat menyebabkan efek klinis yang serius jika
teringesti dalam jumlah yang cukup. Manusia yang makan coklat setara 50 mg/kg tidak
memperlihatkan respon klinis apapun, namun seekor anjing yang menelan coklat setara
jumlah tersebut akan mengalami gangguan serius pada sistem kardiovaskularnya.
Dalam hubungan dosis – respon, terdapat tiga konsep penting yang harus diingat
yaitu: 1) senyawa kimia harus berinteraksi dengan suatu molekul atau reseptor untuk
menghasilkan respon; 2) derajat respon ditentukan oleh konsentrasi senyawa kimia tersebut
pada reseptor; 3) konsentrasi senyawa kimia berkaitan dengan dosis yang masuk. Konsep –
konsep tersebut menentukan seberapa hebat respon yang timbul terhadap toksikan.
Beberapa senyawa kimia dapat diabsorpsi sangat cepat kemudian didistribusikan ke
sejumlah jaringan. Namun, senyawa kimia tersebut mungkin hanya mempengaruhi satu
atau sedikit jaringan yang spesifik. Sementara itu, senyawa kimia lain memiliki struktur
yang mirip atau identik, namun mempengaruhi banyak sel dan jaringan diseluruh tubuh.
Sebaliknya, terdapat senyawa kimia yang absorpsinya buruk, dapat didistribusikan dalam
tubuh dan mempengaruhi hanya satu, beberapa atau mungkin banyak jaringan. Senyawa
kimia lain mungkin hanya diabsorpsi dan menimbulkan efek minimal, namun dapat
meningkatkan resiko kanker pada jaringan (dalam beberapa tahun kemudian), bila
terakumulasi. Dari penjelasan tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa ada sel, jaringan
ataupun organ yang peka atau sensisitf terhadap paparan toksikan atau kita kenal dengan
target. Akibat paparan toksikan pada target, menghasilkan lesi atau jejas perubahan yang
khas atau disebut dengan lesi patognomonik. Contohnya, ginjal merupakan salah satu
organ target paparan logam Cadmium (Cd) sehingga menghasilkan lesi yang khas
dibandingkan dengan paru – paru yang merupakan target utama paparan toksikan melalui
jalur inhalasi. Sebaliknya, paparan toksikan melalui kulit mungkin hanya menimbulkan
intoksikasi ringan atau tidak menyebabkan efek apapun meskipun terpapar dalam jangka
waktu lama. Demikianlah, hubungan dosis respon ditentukan oleh jumlah toksikan yang
masuk dalam tubuh, target atau sasaran toksikan dan rute paparan.
D. TOKSIKOKINETIK
Setelah mengetahui karakteristik hubungan dosis – respon, kita bahas lagi mengenai
toksikokinetik. Saya perlu menegaskan bahwa setiap kasus keracunan atau diduga
keracunan pada hewan merupakan kasus darurat (emergency), sehingga membutuhkan

8
penanganan yang segera dan tepat. Untuk dapat menangani suatu kasus toksisitas,
dibutuhkan pengetahuan menyeluruh mengenai karakteristik toksikan (rute paparan,
mekanisme kerja, target dan gejala atau lesi yang dihasilkan), sehingga dapat
mempersingkat waktu yang dibutuhkan untuk menentukan penanganan yang dapat
diberikan.
Suatu toksikan atau xenobiotik baru dapat menimbulkan gejala toksik jika sudah
masuk dalam proses atau sirkulasi sistemik dan berikatan dengan reseptor pada target.
Mempelajari metabolisme dan kinetika suatu agen kimiawi pada hewan (baik bersifat
terapi maupun toksik) berkaitan erat dengan keamanan pangan (food safety). Masalah
keamanan pangan akan kalian pelajari semester ini pada mata kuliah kesehatan masyarakat
veteriner (Kesmavet), dengan fokus pada bagaimana pemenuhan nutrisi manusia melalui
bahan pangan asal hewan yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Aman berarti bahwa
bahan pangan tersebut bebas dari patogen, residu hormon dan obat, pestisida maupun
kontaminan lain yang berasal dari lingkungan yang dapat mempengaruhi kesehatan
manusia.
Sekali hewan terpapar pada toksikan, akan terjadi absorpsi, distribusi, metabolisme
dan ekskresi, selanjutnya akan saya sebut dengan ADME. Absorpsi menentukan berapa
banyak toksikan masuk ke dalam tubuh. Perbedaan rute paparan, variasi inter dan intra
spesies menghasilkan pola absorpsi yang berbeda. Setelah diabsorpsi, toksikan kemudian
didistribusi ke berbagai jaringan dan organ dalam tubuh. Tahap distribusi bergantung pada
perbedaan jenis, struktur dan sifat fisika-kimiawi toksikan. Sebagian besar toksikan dapat
menetap dalam cairan tubuh (hidrofilik), namun sebagian lain dapat menetap dalam
jaringan lemak (lipofilik). Toksikan yang bersifat lipofilik, terdistribusi merata ke seluruh
tubuh termasuk otak disebabkan toksikan tersebut dapat melewati sawar darah otak
(blood brain barrier). Toksikan yang telah didistribusikan kemudian mengalami
metabolisme. Proses metabolisme toksikan meliputi hidrolisa sederhana, konjugasi atau
bahkan sama sekali tidak dimetabolisme. Organ utama yang berperan dalam metabolisme
adalah hati. Sedangkan, kulit, ginjal dan saluran gastrointestinal merupakan organ
metabolisme lain. Setelah dimetabolisme, toksikan kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh
melalui ginjal (urin), saluran gastrointestinal (feses), atau paru – paru (ekshalasi toksikan
volatil). Selain mekanisme ekskresi diatas, toksikan juga dapat dikeluarkan melalui air
mata, keringat atau kulit yang mengalami eksfoliasi atau deskuamasi. Untuk memberi
gambaran tahapan kinetika toksikan, mari kita diskusikan secara rinci setiap tahapannya,
sambil melihat istilah khusus yang telah saya bahas dalam glosarium.

9
1. ABSORPSI
Seperti telah saya sebutkan tadi, bahwa untuk dapat menghasilkan efek toksik, suatu
toksikan harus mencapai tempat atau targetnya dalam tubuh. Untuk mencapai target,
toksikan harus mendapat akses masuk (route of entry) atau lebih dikenal dengan rute atau
jalur masuk. Setelah masuk kedalam tubuh, toksikan akan melewati berbagai membran
tubuh (misalnya kulit, paru – paru, saluran GI dan sel darah merah). Kita tahu bahwa
membran sel tubuh terdiri dari dua lapisan fosfolipid dengan protein integral dan pori –
pori dengan fungsi selektif permeabel. Oleh karenanya, molekul atau senyawa yang
melewati membran harus dapat melakukan penetrasi terhadap struktur tersebut. Coba
kalian ingat struktur histologi kulit yang memiliki lapisan – lapisan termasuk stratum
korneum yang sangat tebal. Hal ini menjelaskan mengapa kulit yang utuh sangat sulit
untuk dipenetrasi oleh toksikan. Bandingkan dengan selaput alveoli yang tipis, yang
mudah dipenetrasi oleh toksikan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa absorpsi
merupakan persentasi dari total suatu toksikan yang dapat diserap dan tersedia dalam tubuh
untuk diproses oleh hewan. Jika jalur yang dilewati toksikan adalah melalui pembuluh
darah (injeksi intravena) maka ketersediaannya (bioavailabilitas) adalah 100% karena
semua toksikan langsung masuk kedalam sirkulasi sistemik. Jika toksikan masuk dalam
tubuh melalui rute yang lain, maka jumlahnya dapat diukur atau diperkirakan dan
ketersediaannya dapat ditentukan. Inhalasi, oral dan dermal merupakan rute utama paparan
toksikan, dengan karakteristik masing – masing dalam meloloskan suatu toksikan untuk
masuk dalam tubuh. Untuk memahami bioavailabilitas, anda bisa membuka kembali materi
pendahuluan farmakologi pada mata kuliah Farmakologi Veteriner I. Berikut saya akan
membahas mengenai rute umum toksikan.
1) Inhalasi (pulmoner)
Toksikan yang masuk secara inhalasi harus dapat terlarut dalam udara yang dihirup
oleh hewan. Setelah diinhalasi, toksikan mencapai saluran hidung (nasal passages)
dimana sebagiannya diabsorpsi juga dimetabolisme sebelum memasuki trakea,
bronkus dan alveoli. Setelah mencapai alveoli, toksikan kemudian melewati selaput
alveoli yang tipis dan masuk sirkulasi darah untuk kemudian didistribusikan. Syarat
kelarutan suatu toksikan dalam darah adalah bergantung pada struktur fisikokimiawi.
2) Oral (gastrointestinal)
Toksikan yang masuk melalui rute ini tentu masuk bersama makanan atau minuman
yang telah terkontaminasi. Toksikan yang masuk secara oral harus melalui barrier
10
asam lambung. Stuktur fisika-kimiawi toksikan menentukan kemampuannya untuk
melintasi asam lambung. Toksikan yang tidak stabil terhadap lingkungan lambung
yang asam akan diinaktivasi dan mempengaruhi penyerapan serte ketersediaannya.
Namun, ada toksikan yang dapat langsung diabsorpsi di lambung. Toksikan yang
melewati asam lambung kemudian mencapai usus halus dan mengalami degradasi
atau absorpsi via mukosa usus dan masuk ke dalam sirkulasi portal. Molekul
toksikan yang berukuran besar dan tidak mengalami degradasi, mungkin tidak dapat
diabsorpsi sehingga akan terus masuk ke usus halus dan memasuki usus besar,
dimana molekul toksikan tersebut akan didegradasi oleh bakteri usus besar dan
kemudian diekskresikan melalui feses.
3) Dermal (perkutan)
Jalur masuk toksikan ini sebelumnya tidak banyak disebutkan mengingat integritas
anatomi kulit yang kompleks. Namun, seiring dengan perkembangan jaman, banyak
hasil penelitian yang menuliskan kasus toksisitas dengan jalur paparan via kulit.
Adapun syarat – syarat suatu toksikan dapat masuk melalui kulit yaitu:
a. kelarutan toksikan dalam pelarut yang diaplikasikan pada kulit;
b. kemampuan toksikan mempenetrasi lapisan tebal keratin pada epidermis;
c. kemampuan toksikan melewati epidermis usus halus untuk kemudian masuk ke
dalam pembuluh darah.
Kemampuan suatu xenobiotik atau toksikan untuk melakukan penetrasi dan proses
transpor aktif bergantung pada struktur fisikokimiawinya. Artinya, semakin besar
kemampuan toksikan melewati membran lipid (lipofilik) maka semakin besar pula
kemungkinan untuk diabsorpsi. Untuk dapat lebih memahami bagaimana transpor toksikan
dalam proses absorpsi, saya sarankan untuk membaca lagi materi mata kuliah Biologi
Hewan pada semester I atau Biokimia Veteriner I mengenai transpor seluler.
2. DISTRIBUSI
Pada tahap distribusi, toksikan yang telah diabsorpsi dan melewati sejumlah
pertahanan tubuh kemudian memasuki sirkulasi darah untuk didistribusikan ke organ –
organ dan jaringan – jaringan tubuh. Derajat distribusi toksikan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu:
1) Kecepatan aliran darah (semakin tinggi tekanan darah maka toksikan semakin
berpotensi untuk didistribusikan ke organ)
2) Kemampuan toksikan untuk masuk ke sel – sel endotel pembuluh kapiler
3) Struktur fisikokimiawi toksikan (kelarutan dalam lemak)
11
Sebagai contoh Lindan, salah satu insektisida dari golongan organoklorin, memiliki
kelarutan dalam lemak yang baik sehingga mudah memasuki jaringan adiposa dan menetap
(deposit) didalam jaringan tersebut dalam waktu yang lama. Sebaliknya, etanol yang sering
digunakan sebagai pelarut polar dalam proses ekstraksi, merupakan senyawa yang larut
dalam air sehingga lebih menetap dalam jaringan yang memiliki kandungan air yang cukup
daripada masuk kedalam jaringan adiposa.
3. METABOLISME
Metabolisme toksikan dilakukan oleh hati didukung oleh ginjal, saluran GI, kulit,
jantung dan otak. Idealnya, metabolisme menghasilkan metabolit larut dalam air dan tidak
bersifat toksik, sehingga mudah dikeluarkan melalui urin atau empedu.
Adapun proses metabolisme toksikan berlangsung dalam dua tahapan, yaitu:
a. Fase I, terjadi proses konversi xenobiotik bersifat non-polar dan lipofilik menjadi
metabolit yang lebih polar dan hidrofilik. Pada fase ini, terjadi introduksi atau
liberasi gugus fungsional melalui proses hidrolisis, oksidasi atau reduksi, yang akan
digunakan dalam fase II
b. Fase II, terjadi konjugasi toksikan atau metabolit yang dihasilkan dari fase I (dengan
gugus tambahan) untuk meningkatkan kelarutan toksikan dalam air.
Suatu toksikan dapat mengalami fase I saja, atau fase II saja atau mengalami
keduanya. Selanjutnya, reaksi metabolisme dan enzim yang terlibat dalam setiap fase
metabolisme dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Jalur Biotransformasi Umum Pada Mamalia
Fase dan Reaksi dalam Metabolisme Enzim yang terlibat
Fase 1
Hidrolisis Karboksilesterase
Peptidase
Epoksid hidrolase
Oksidasi Alkohol dehydrogenase
Aldehid dehydrogenase
Aldehid oksidase
Xantin oksidase
Monoamin oksidase
Diamin oksidase
Prostaglandin H sintase
Flavin monooksigenase
Sitokrom P-450
Reduksi Azo-reduksi/Nitro-reduksi
Karbonil reduksi
Disulfida reduksi
Sulfoksid reduksi
Quinon reduksi
12
Dehalogenasi reduktif
Fase 2
Glukoronidasi
Sulfasi
Konjugasi asam amino
Asilasi
Metilasi

Tahapan metabolisme mamalia diatas tidak dimiliki oleh semua spesies. Sebagai
contoh, bangsa Felidae tidak mampu melakukan proses glukoronidasi selama metabolisme
fase II. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa kucing sangat sensitif terhadap beberapa
jenis obat, contohnya asetaminofen. Asetaminofen dimetabolisme secara glukoronidasi,
dimana oleh enzim sitokrom p-450 (CYP), asetaminofen dikonversi menjadi N-
asetilbenzokuinoneimin, yang kemudian menempel pada protein hepatik dan menyebabkan
nekrosis sentrilobular. Oleh karena itu, kucing yang menerima dosis asetaminofen dapat
mati dalam beberapa hari akibat kegagalan fungsi hati. Contoh lain adalah adanya
xenobiotik yang dapat menghambat fungsi enzim metabolisme. Sulfafenazol dan
sulfapirazon dapat menghambat fungsi CYP2C9 menyebabkan lambatnya metabolisme
obat dan berpotensi menimbulkan efek samping toksik jika hambatan berlanjut dalam
waktu yang lebih lama. Sebaliknya, Rifamfin, suatu antibiotika spektrum luas dengan daya
kerja bakterisidal, dapat menginduksi CYP2C9 sehingga dapat mempercepat metabolisme
obat – obat tersebut dan menurunkan efikasi klinisnya. Oleh karena itu, rifampin tidak
dianjurkan penggunaannya bersamaan dengan sulfafenazol atau sulfapirazon.
4. EKSKRESI
Tahapan ini merupakan fase toksikokinetik yang terakhir. Pada umumnya, suatu
xenobiotik diekskresikan secara renal (urin) dan non-renal. Sebelumnya sudah saya
jelaskan dalam fase absorpsi bahwa tidak semua toksikan diabsorpsi secara utuh, terutama
untuk toksikan yang masuk via oral. Jika absorpsi kurang dari 100%, xenobiotik terus
masuk ke saluran GI dan mungkin akan dimetabolisme oleh mikroba usus atau tidak
dimetabolisme (diteruskan) kemudian keluar tubuh melalui feses. Jika diabsorpsi, beberapa
xenobiotik mungkin dimetabolisme, diekskresikan melalui empedu atau dikeluarkan
melalui feses.
Sirkulasi enterohepatik yang terjadi saat xenobiotik diekskresikan kedalam empedu
dan direabsorpsi pada bagian distal saluran GI, dapat memperpanjang waktu paruh dan
potensi toksisitas suatu xenobiotik. Saluran GI sendiri memiliki mekanisme untuk
mendorong xenobiotik masuk kedalam lumen saluran GI dan meloloskannya keluar tubuh.

13
Rute ekskresi non-renal lain termasuk melalui air susu (sangat penting disebabkan
residu yang ditinggalkan dalam air susu), cairan serebrospinal, keringat dan saliva.
Toksikan yang didistribusikan ke kulit dapat dideteksi pada lapisan keratin beberapa hari
setelah paparan, diikuti dengan meluruhnya kulit secara normal (deskuamasi) yang dapat
membersihkan tubuh dari xenobiotik. Ekshalasi merupakan rute eliminasi yang penting
terutama ketika xenobiotik masuk ke dalam tubuh saat bernapas atau xenobiotik bersifat
volatil.
E. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TOKSISITAS
Secara umum, faktor yang mempengaruhi toksisitas terdiri atas faktor individu
(hewan), lingkungan dan toksikan itu sendiri, seperti diuraikan dibawah ini.
1. Faktor Hewan
Faktor ini meliputi spesies, breed atau bangsa hewan, umur, ukuran (berat
badan) serta status kesehatan hewan. Sama halnya seperti respon hewan terhadap
obat, respon hewan terhadap toksikan bersifat individual dan berbeda diantara
spesies. Senyawa yang bersifat non-toksik pada satu spesies dapat bersifat toksik
pada spesies yang lain. Adanya perbedaan respon ini disebabkan oleh adanya
perbedaan dalam fisiologis tubuh dan toksikokinetik toksikan. Sebagai contoh,
kucing adalah karnivora sejati, sehingga tidak terjadi metabolisme senyawa yang
berasal dari tanaman seperti fenol. Secara fisiologis, kucing juga tidak memiliki
enzim yang diperlukan untuk eliminasi senyawa fenolik dari dalam tubuhnya. Latar
belakang inilah yang menjelaskan mengapa kemampuan kucing untuk
memetabolisme senyawa fenolik sangat terbatas, sehingga menyebabkan kucing
sangat sensitif terhadap toksikosis xenobiotik yang mengandung fenol. Selain itu,
kucing juga sangat rentan terhadap timbulnya methemoglobinemia dan anemia
Heinz body disebabkan hemoglobin kucing mengandung 8 kelompok/gugus reaktif
sulfidril (bandingkan dengan anjing yang memiliki 4 gugus dan manusia yang
memiliki 2 gugus). Gugus – gugus tersebut dapat mengikat agen – agen oksidatif
yang menyebabkan denaturasi hemoglobin. Kecenderungan defisiensi
methemoglobin reduktase dalam darah kucing juga menjadi penyebab
ketidakmampuan tubuhnya untuk mengembalikan kerusakan hemoglobin. Oleh
karena itu, data toksisitas suatu spesies tidak dapat diterapkan kepada spesies yang
lain. Dalam menentukan atau menetapkan data toksisitas suatu spesies, diperlukan
penelitian yang lengkap dan bertahap.

14
Hewan domestik sejak lama telah diketahui memiliki sensitivitas terhadap obat
dan toksikan lainnya, bila dibandingkan dengan hewan lain. Sebagai contoh, kondisi
polimorfisme atau variasi genetik yang dialami oleh anjing ras Collie. Kelainan ini
menyebabkan anjing Collie tidak memiliki MDR-1 (Multi drug resistance 1), suatu
gen yang berfungsi untuk memproteksi otak dan strukturnya. Gen tersebut akan
menyandi glikoprotein-P yang bertanggungjawab untuk mengeluarkan beberapa jenis
obat dari otak. Ketiadaan gen ini menyebabkan anjing Collie sangat sensitif terhadap
Ivermectin, antiparasit berspektrum luas dari golongan makrosiklik lakton.
Ivermectin memiliki molekul yang lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah
otak.
Secara umum, jumlah suatu toksikan yang diperlukan untuk dapat
menimbulkan sindrom toksik bergantung pada ukuran hewan. Contohnya, ras anjing
Grey Hound memiliki persentase lemak tubuh yang rendah sehingga lebih sensitif
terhadap pestisida dari golongan organofosfat atau organoklorin. Kedua golongan
pestisida tersebut bersifat lipofilik sehingga mudah terdeposit dalam jaringan
adiposa. Grey Hound dengan tubuh yang relatif kurus tentu saja akan menghasilkan
volume distribusi toksikan diatas lebih rendah daripada yang diharapkan sehingga
berakibat pada tingginya kadar serum toksikan tersebut didalam tubuh.
Selain berat badan, umur hewan juga menentukan respon terhadap obat
maupun racun. Hal ini tentu saja berkaitan dengan proses metabolism toksikan.
Hewan muda lebih rentan mengalami toksisitas disebabkan kemampuan
biotransformasi organ hati belum sempurna sehingga metabolisme toksikan tidak
berjalan dengan sempurna. Sebaliknya, hewan yang berumur tua, sudah mengalami
penurunan fungsi fisiologi termasuk fungsi hati dan laju filtrasi glomerulus
(Glomerular filtration rate), sehingga mempengaruhi proses metabolisme dan
ekskresi toksikan.
Status kesehatan hewan juga mempengaruhi toksisitas. Hewan yang lemah dan
mengalami gangguan fungsi hati serta ginjal, lebih rentan terhadap senyawa toksik
dan obat – obatan disebabkan ketahanan tubuh dan sistem detoksifikasi sangat lemah
sehingga tidak dapat memetabolisme metabolit toksikan.
Variasi antarspesies juga menentukan toksisitas. Contohnya, beberapa jenis
hewan seperti sapi, kuda kelinci dan tikus, tidak dapat muntah secara alami sehingga
sensitif terhadap toksisitas.

15
2. Faktor Toksikan
Toksisitas suatu senyawa sangat ditentukan oleh dosis, rute, durasi dan
frekuensi paparan. Jumlah toksikan atau xenobiotik yang masuk kedalam tubuh
menentukan seberapa hebat efek yang ditimbulkan. Sedangkan, rute paparan
menentukan ADME toksikan. Semakin cepat suatu toksikan atau xenobiotik
diabsorpsi, semakin cepat efek toksik atau sindrom toksikosis dihasilkan. Rute
intravena, intrapulmoner dan intraperitonium merupakan rute yang paling poten dan
menimbulkan toksisitas akut. Sedangkan rute melalui mulut (oral) dan kulit (dermal)
merupakan rute umum. Adalah logis bahwa terpapar toksikan dalam jumlah besar
dan sering atau berulang kali efektif menimbulkan toksisitas bila dibandingkan
dengan paparan tunggal toksikan dosis kecil. Durasi dan frekeunsi paparanlah yang
menentukan tipe toksisitas, yaitu toksisitas akut dan toksisitas kronik. Contoh
toksisitas kronik adalah karsinogen. Paparan karsinogen dalam waktu lama dan
berulangkali menyebabkan karsinogen terakumulasi dalam tubuh dan menyebabkan
efek yang juga terakumulasi dan sering tidak diketahui hingga tampak manisfestasi
klinis yang lebih hebat.
Faktor toksikan yang lain adalah sumber atau asal toksikan. Dalam keadaan
tertentu, toksisitas senyawa tertentu dapat dikurangi atau ditingkatkan. Contohnya,
beberapa racun asal tanaman dapat dirusak dengan cara dikeringkan atau disimpan
dalam waktu lama. Selain itu, adanya minyak dalam makanan dapat meningkatkan
absorpsi dan toksisitas mineral fosfor. Begitupun dengan adanya mineral tembaga
(Cu) dalam hati dapat disebabkan pemberian molbdenum (Mo), dan sebaliknya.
Faktor toksikan yang paling penting adalah sifat fisika dan kimia toksikan itu
sendiri. Keadaan fisik toksikan, apakah padat, serbuk, atau dalam larutan,
mempengaruhi dosis toksiknya. Sebagai contoh, arsenik trioksida dalam bentuk
kristal kasar, diabsorpsi secara perlahan sehingga menghasilkan efek toksik yang
rendah. Sedangkan arsen dalam bentuk serbuk halus sangat toksik. Contoh
berikutnya adalah insektisida yang sediaan komersialnya berbentuk minyak,
sehingga lebih mudah diserap dibandingkan dengan bentuk larutan airnya. Sifat
kimia toksikan tidak kalah penting dalam menentukan toksisitas. Contohnya, fosfor
kuning dikenal sebagai zat yang paling beracun, sedangkan fosfor merah bersifat
inert bila masuk dalam tubuh, larut dalam air dan diekskresikan dalam bentuk utuh
(tidak berubah). Arsenik trivalent sangat toksik dibandingkan dengan bentuk

16
pentavalennya. Begitupun barium karbonat lebih toksik dibandingkan dengan barium
sulfat (umum digunakan sebagai media kontras radiografi).
3. Faktor Lingkungan
Berbagai faktor lingkungan dapat mempengaruhi toksisitas, antara lain sirkulasi
udara, suhu dan musim, cahaya, air minum (kuantitas dan kualitas), diet atau pakan
(palatabilitas, jumlah, kandungan nutrien, dan ada tidaknya kontaminan), dan kondisi
kandang (ukuran yang sempit, jumlah ternak yang padat, material kandang, dan
ventilasi).
F. KLASIFIKASI TOKSIKAN
Setelah mengetahui, memahami, mengingat terminologi dan prinsip dasar dalam
toksikologi, membahas toksikokinetik dan hubungan dosis – respon, maka kita akan
membahas klasifikasi toksikan dan bagaimana mekanisme kerjanya. Subpokok bahasan ini
penting untuk dipelajari karena berkaitan dengan pendekatan klinis yang akan
diaplikasikan pada pengenalan kasus keracunan hewan, penentuan uji toksikologi serta
penentuan terapi dan tindakan pencegahan yang perlu diterapkan.
Toksin dan toksikan dikelompokkan dalam beberapa metode (hasil penelusuran
beberapa literatur toksikologi). Toksikan dapat diklasifikasikan berdasarkan sistem organ
utama yang terpengaruh, yaitu hepatotoksin (toksin dengan organ target hati),
neurotoksikan, nefrotoksikan, dan sebagainya. Namun, klasifikasi ini memiliki
keterbatasan yaitu banyak toksin atau toksikan yang dapat mempengaruhi lebih dari satu
sistem organ (multiorgan). Berdasarkan fakta ini, toksikan kemudian diklasifikasikan
berdasarkan struktur kimiawinya. Contohnya, toksik alkaloid yang umum ditemukan pada
tanaman (nikotin dari Nicotiana spp, atau konini dari Conium maculatum). Klasifikasi
toksikan berikutnya berdasarkan organisme target. Sebagai contoh, pestisida dikategorikan
dalam rodentisida (target hewan pengerat/tikus), insektisida (target serangga/insekta),
herbisida (target tanaman pengganggu), fungisida (target jamur/fungi), dan sebagainya,
sesuai dengan tipe dari organisme target. Selain itu, toksikan juga dapat dikategorikan
berdasarkan lokasi yaitu racun yang ditemukan di rumah (misalnya cat tembok dan
deterjen), halaman (tanaman dan hewan beracun), atau kompleks industri (limbah proses
industri dan sebagainya).
G. MEKANISME KERJA TOKSIKAN
Secara umum, mekanisme kerja toksikan dapat dibagi menjadi dua yaitu secara
kimiawi dan fisika. Mekanisme kerja secara fisika ditentukan oleh struktur fisik toksikan,
seperti kelarutan dalam lemak dan kemampuan beberapa senyawa kimia melepaskan efek
17
inhibisi non-spesifik pada sistem enzim sehingga menyebabkan akumulasi pada bagian –
bagian sel yang vital. Akumulasi pada bagian yang vital inilah yang menyebabkan adanya
penekanan pada fungsi sel. Golongan hipnotika dan anestetika seperti hidrokarbon,
hidrokarbon terklorinasi, alkohol, eter dan keton, melepaskan efek inhibisinya dengan cara
seperti tersebut diatas.
Kerja toksikan secara kimiawi ditentukan oleh struktur kimiawinya dan efek yang
dihasilkan akibat interaksi toksikan dengan komponen seluler. Target toksikan adalah
enzim – enzim yang berperan penting dalam oksidasi seluler dan fosforilasi oksidasi,
dimana kedua proses ini sangat sensitif terhadap toksikan. Enzim memiliki bagian aktif
dan senyawa toksik dapat menguasai bagian aktif tersebut sehingga mencegah enzim untuk
terikat pada substratnya. Inhibisi enzim oleh suatu toksikan dapat bersifat
permanen/irreversible (contohnya pada kasus intoksikasi organofosfat) atau bersifat
sementara/reversible (contoh kasus intoksikasi karbamat). Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi inhibisi enzim adalah struktur kimia inhibitor, permeabilitas sel,
konsentrasi inhibitor enzim, adanya inhibitor antagonis, sintesis letal dan adanya antidota.
H.DIAGNOSA INTOKSIKASI
Setelah mengetahui prinsip – prinsip dasar toksikologi, identifikasi toksikan dan
faktor – faktor yang mempengaruhi toksisitas suatu toksikan, selanjutnya kita akan
mendiskusikan pendekatan klinis yang harus dilakukan dalam mendiagnosa suatu kasus
intoksikasi.
Kasus keracunan atau intoksikasi yang dilaporkan pada dokter hewan hanya sedikit
persentasenya, dibandingkan dengan kasus penyakit lainnya. Meskipun demikian, kasus
intoksikasi seperti halnya kasus penyakit lain, membutuhkan diagnosa yang cepat dan
akurat dalam merencanakan dan menetapkan terapi yang memadai bagi korban serta
mencegah agar kasusnya tidak meluas. Dalam upaya penegakan diagnosis dan terapi, tidak
jarang dokter hewan harus menghadapi klien yang emosional, isu publik, dan aspek
medikolegal.
Diagnosis sangat bergantung pada pendekatan yang sistematik, termasuk koleksi dan
penanganan sampel yang tepat. Dapat diibaratkan, diagnosis adalah tindakan
mengumpulkan dan menyusun kepingan puzzle, yang meliputi anamnesa yang lengkap,
gejala klinis yang teramati, temuan klinikopatologi, temuan pemeriksaan postmortem, hasil
analisis kimia dan temuan pengujian lainnya. Untuk mendapatkan hasil diagnosis terbaik,
dalam berbagai kasus toksisitas, pengambilan sampel secara hati – hati dan penanganan
sampel yang tepat merupakan hal yang sangat penting. Identifikasi hewan, pemilik dan
18
lingkungan sekitar yang terdampak harus dapat diinvestigasi sejak awal. Langkah ini
diikuti dengan pencatatan secara cermat dan lengkap. Hal ini penting, agar jika suatu kasus
toksisitas berimplikasi medikolegal, maka semua catatan dan riwayat terkait kasus tersebut
akan sangat membantu.
Langkah – langkah dalam penentuan diagnosa suatu kasus intoksikasi atau keracunan
adalah sebagai berikut:
a. Anamnesa
Anamnesa merupakan langkah penting yang harus dilakukan selengkap mungkin
untuk mendeteksi kemungkinan adanya bahan yang berpotensi toksik. Anamnesa
sering dianggap remeh atau dilakukan hanya sebagai formalitas. Namun, dalam
toksikologi terutama toksikologi forensik, membutuhkan anamnesa yang lengkap
yang tentu saja akan lahir dari seorang dokter hewan yang sudah berpengalaman.
Marilah kita diskusikan bersama bagaimana teknik melakukan anamnesa dengan
seksama sehingga dapat memperoleh informasi yang lengkap.
Dalam suatu kasus yang diduga keracunan, kondisi lingkungan tempat kejadian
harus dipelajari dengan cermat. Tujuan utamanya adalah mengidentifikasi semua
kemungkinan sumber racun, dengan mengamati dan memeriksa lingkungan,
meninjau praktek manajemen, dan merekam atau mencatat pergerakan dan nasib
hewan, sumber air dan kandang atau tempat istirahat. Jika racun spesifik tidak
dapat diisolasi, maka identifikasi awal dari sumber toksik dapat memungkinkan
dokter hewan untuk mengakhiri paparan toksikan dan mencegah jatuhnya kroban
baru. Sebelum investigasi dihentikan, klien atau pemilik hewan dapat
diinformasikan untuk tidak merusak, mengganggu atau membuang specimen
(misalnya dengan mengembalikan pakan kepada perusahaan atau agen penyalur).
Selain itu, siapapun yang diketahui memiliki informasi terkait dengan kasus
tersebut, harus diwawancarai.
Semua sumberdaya disekitar tempat pemeliharaan seperti tanaman, padang
penggembalaan, sumber air dan praktek manajemen hingga industri atau peternakan
lain perlu juga diinvestigasi. Manajemen peternakan, baik pemilik maupun pekerja
kandang/karyawan juga diperiksa. Pakan, selain yang tersedia di padang
penggembalaan, perlu diperiksa kondisi fisiknya, tanggal produksi (batch number),
tanggal kadaluarsa, komposisi, waktu pemberian, jumlah dan frekuensi pemberian
pakan juga perlu dicatat.

19
Selain itu, tipe kasus keracunan yang terjadi juga bergantung pada tipe hewan yang
menjadi korbannya. Jika kasus pada hewan kecil, maka kasus tersebut bersifat
individual. Sebaliknya, kasus toksisitas pada hewan penghasil pangan atau ternak,
tentu saja melibatkan kelompok hewan tersebut dan kepentingan ekonominya.
Sedangkan kasus toksisitas pada satwa liar tentu bisa individu dan juga kelompok.
Kronologi atau urutan kejadian akan sangat membantu untuk mencocokkan onset
klinis dengan faktor lingkungan. Informasi epidemiologi (termasuk data tingkat
insiden, geografis lokasi kejadian, dan pergerakan hewan) dan sinyalemen hewan
(spesies, umur, jenis kelamin dan bangsa hewan) sangat berguna dalam penyidikan
kasus toksisitas. Untuk kasus pada hewan kecil, semua data yang mencakup riwayat
vaksinasi, pemberian pakan, onset gejala, gejala yang khas atau menciri, keparahan
dan perkembangan gejala, termasuk respon terhadap terapi (obat yang diberikan,
dosis, alasan pemberian, waktu pemberian dan siapa yang memberikan) harus
dicatat.
Hasil anamnesa kemudian disusun sedemikian rupa (secara teratur dan logis) untuk
memperoleh kronologi kasus yang membantu dalam penentuan diagnosa. Sebagai
saran, dokter hewan sebaiknya tidak menyampaikan kepada pemilik hewan bahwa
hewannya mati karena diracun jika tidak ada bukti yang kuat untuk mendukung hal
tersebut. .
b. Koleksi dan penyimpanan sampel
Sampel dibutuhkan untuk pengujian toksikologi. Berdasarkan tujuannya, sampel uji
toksikologi dibagi menjadi 3 kategori yaitu sampel lingkungan, sampel
antemortem dan sampel postmortem. Dalam diagnosa kasus keracunan atau
diduga keracunan, pengujian toksikologi seringkali memakan waktu, mahal, dan
sensitif terhadap pengambilan sampel dan kondisi penyimpanan sampel. Oleh
karena itu, dibutuhkan strategi yang tepat dalam koleksi dan penanganan sampel.
Sampel yang dikoleksi harus dilengkapi dengan label yang berisi tanggal, jenis
kasus, jenis dan sumber sampel, deskripsi dan nama dokter hewan yang mengambil
sampel. Sampel untuk pengujian toksikologi umumnya akan disimpan dan ditahan
sampai dengan pengujian lain, seperti pemeriksaan histologi dan bakteriologi, dapat
diselesaikan. Setelah identifikasi lesi atau perubahan (postmortem), barulah uji
toksikologi yang tepat dapat dilakukan. Selama ukuran dan volume sampel
memungkinkan, sampel penting dapat dibagi sebelum disimpan atau dikirim

20
sehingga tersedia sampel cadangan jika sampel yang dikirim hilang atau dibutuhkan
pemeriksaan lanjutan.
Untuk menjaga agar racun tidak rusak, penanganan dan penyimpanan sampel yang
tepat sangat esensial. Jika ragu penanganan apa yang tepat, sebaiknya sampel segar
harus dibekukan sesaat setelah diambil, kecuali sampel kering seperti jerami atau
biji-bijian. Semua sampel serum dan plasma harus dipisah, diberi label dan
dibekukan. Sampel darah harus dijauhkan dari sinar matahari dan panas. Sampel
lingkungan dan jaringan dibekukan dalam gelas, toples, atau kantong terpisah.
Sampel tidak boleh disimpan atau dikirim dalam plastik atau sarung tangan yang
dapat bocor dan mengkontaminasi sampel dengan zat atau sampel lain.
c. Analisis toksikologi
Analisis toksikologi merupakan uji kualitatif maupun kuantitatif racun dari bukti
atau sampel fisik kemudian diinterpretasi apakah terdapat racun atau tidak. Metode
analisis toksikologi bervariasi, mulai dari uji visualisasi sederhana (misalnya
dengan mengidentifikasi bagian – bagian tanaman) sampai dengan metode analisis
kimia modern dan lebih lengkap. Dalam toksikologi, tidak ada satu metode analisis
yang dapat mengidentifikasi ribuan senyawa kimia berbeda yang mungkin bersifat
toksik. Sebagai contoh, spektroskopi, suatu uji yang cepat dan akurat, digunakan
untuk menganalisis kandungan logam berat, seperti kandungan timbal (Pb) dalam
darah yang hasilnya dapat diperoleh dalam beberapa jam. Sedangkan, analisis
jaringan untuk mengetahui kandungan logam berat membutuhkan waktu yang lebih
lama, mulai dari proses pengambilan sampel jaringan, pembuatan preparat sampai
dengan pembacaan hasil.
Analisis toksikologi pada umumnya diawali dengan uji penapisan (screening) dan
dilanjutkan dengan uji pemastian (confirmatory). Uji penapisan hanya untuk
memastikan golongan senyawa, berdasarkan sifat fisika, kimiawi dan efek toksik
atau efek farmakologis yang ditimbulkan. Hasil dari uji penapisan dijadikan
petunjuk untuk kasus yang dihadapi. Seddangkan uji konfirmasi dilakukan untuk
mengetahui kandungan senyawa organik seperti misalnya racun asal tanaman. Uji
pemastian yang umum dilakukan adalah uji kromatografi. Kromatografi merupakan
teknik pemisahan senyawa berdasarkan struktur kimiawinya dalam wujud larutan
(kromatografi cair kinerja tinggi/high performance liquid chromatography –
HPLC), zat padat (kromatografi lapis tipis/thin layer chromatography), atau gas
(gas chromatography atau kromatografi gas). Semakin tinggi tingkat spesifitas pada

21
uji ini, maka metode penentuan toksikannya semakin spesifik. Setelah pemisahan,
senyawa kimia dideteksi dengan menganalisis struktur kimiawi termasuk absorpsi
dengan sinar ultraviolet (UV), fluorisasi, oksidasi dan reduksi, transfer elektron
serta berat masa. Berbeda dengan uji penapisan, analisis kromatografi
membutuhkan waktu lebih lama karena harus didahului dengan proses ekstraksi dan
purifikasi.
Hasil analisis toksikologi harus diinterpretasikan atau diterjemahkan dalam kalimat
atau laporan agar dapat menjawab pertanyaan atau dugaan – dugaan dari kasus
keracunan atau diduga keracunan. Hasil analisis uji konfirmasi dapat dijadikan
sebagai kesimpulan dari kasus yang dihadapi. Berkaitan dengan toksikologi
veteriner, tentu saja yang lebih mengetahui adalah dokter hewan dengan spesialisasi
atau kepakaran di bidang toksikologi-farmakologi, farmakokinetik, biotransformasi
dan patologi. Jika semua pendekatan dalam mendiagnosa telah diikuti dan
diterapkan, maka diganosa kasus toksisitas dapat ditegakkan. Namun, tidak
menutup kemungkinan suatu kasus toksisitas tidak dapat diagnosa penyebab
pastinya walaupun telah dilakukan pendekatan atau tahapan dalam diagnosis seperti
diuraikan diatas. Oleh karena itu, dokter hewan dianjurkan untuk dapat
mengkomunikasikan kepada klien bahwa untuk mengetahui penyebab pasti suatu
kasus toksisitas membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang tidak sedikit.

22
IV. PENUTUP
A. LATIHAN
Untuk memperdalam pemahaman anda mengenai materi dasar – dasar toksikologi,
kerjakanlah latihan berikut!
Identifikasi rute paparan toksikan serta jenis paparan yang dihasilkan!
Petunjuk menjawab latihan
Agar anda dapat menjelaskan latihan ini, silahkan anda melihat bahasan mengenai
toksikokinetik serta faktor – faktor yang mempengaruhi toksisitas terutama pada
bahasan faktor toksikan.
B. RANGKUMAN
Mempelajari toksikologi veteriner membutuhkan pemahaman dan penguasaan
dasar – dasar toksikologi yang meliputi prinsip dosis – respon, sejarah toksikologi
secara umum, istilah – istilah yang digunakan dalam toksikologi, ADME toksikan
(toksikokinetik), klasifikasi toksikan, faktor yang menentukan toksisitas serta
pendekatan dalam diagnosa suatu kasus toksisitas. Dasar – dasar tersebut menjadi
fondasi dalam mempelajari pokok bahasan lain dalam mata kuliah toksikologi
veteriner.
Prinsip dasar toksikologi adalah dosis yang menentukan suatu zat bersifat toksik
atau tidak. Respon yang ditimbulkan akibat paparan toksikan, selain ditentukan
oleh dosis juga dipengaruhi oleh rute, durasi dan frekuensi paparan, sediaan
toksikan, faktor individu dan lingkungan. Kasus toksisitas merupakan keadaan
darurat yang membtuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Diagnosa kasus
toksisitas dilakukan secara bertahap yaitu dengan anamnesa, pemeriksaan klinis,
pengambilan dan penyimpanan sampel serta analisis toksikologi. Oleh karena itu,
penting bagi dokter hewan untuk menyampaikan kepada pemilik ternak mengenai
jangka waktu analisis dan biaya yang dibutuhkan untuk analisis toksikologi. Hasil
analisis bergantung pada jenis sampel yang dikoleksi, teknik penanganan dan
penyimpanannya. Diagnosa suatu kasus intoksikasi hendaknya dilakukan secara
berurutan atau runut dan lengkap serta disampaiakn dalam bentuk laporan kepada
klien.

23
C. TES FORMATIF
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. Prinsip dasar toksikologi bahwa dosislah yang menentukan suatu zat bersifat
toksik atau tidak, dikemukakan oleh …
A. Pedancious Dioscorides
B. Paracelsus
C. Mathiu Joseph Bonaventura Orfila
D. Hippocrates
2. Ketersediaan atau bioavailabilitas toksikan yang masuk melalui rute intravena
adalah …
A. 25%
B. 50%
C. 75%
D. 100%
3. Anjing ras Collie tidak dianjurkan terapi dengan Ivermectin disebabkan …
A. Tidak memiliki gen MDR-1 untuk mengeluarkan Ivermectin dari otak
B. Tidak memiliki enzim untuk metabolisme secara glukoronidasi
C. Hanya sedikit memiliki jaringan adipose untuk deposit lipid
D. Sensitif terhadap methemoglobinemia
4. Toksikan yang memiliki kelarutan yang tinggi dalam air (hidrofilik) memiliki
efek toksik yang lebih rendah dibandingkan dengan toksikan yang bersifat
lipofilik, disebabkan …
A. Mudah menembus sawar darah otak
B. Mudah didistribusikan ke seluruh tubuh
C. Dapat langsung diekskresikan keluar tubuh
D. Dapat langsung diabsorpsi dari tempat paparan
5. Toksin dengan target utama organ ginjal disebut dengan ….
A. Nefrotoksin
B. Hepatotoksin
C. Neurotoksin
D. Kardiotoksin

24
Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif yang terdapat di

bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus

berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi kegiatan

belajar ini.

Tingkat penguasaan :

Jumlah jawaban yang benar x 100%


Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan :

100% = Baik sekali


80% = Baik
60% = Cukup
< 60% = Kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapatt meneruskan

dengan modul selanjutnya. Namun, jika masih dibawah 80%, Anda harus mengulangi

materi Kegiatan Belajar pada modul ini, terutama pada bagian yang belum dikuasai.

25
DAFTAR PUSTAKA

Gary D. Osweiler. Introduction to Toxicology. In Veterinary Toxicology. V. Beasley dan


Robert H. Poppenga. USA.

Konnie Plumlee. Clinical Veterinary Toxicology. 1st Ed. Mosby, St. Louis, Missouri,
USA. 2004.

Ramesh C. Gupta. Veterinary Toxicology Basic and Clinical Principles. 2nd Ed. Elsevier,
USA. 2012.

Sharon Gwaltney-Brant and Robert H. Poppenga. General Toxicologic Principles. In:


Small Animal Toxicology Essentials, 1st Ed, Sharon Gwaltney-Brant and Robert
H. Poppenga, Wiley-Blackwell, UK, pp. 5-16.

26

Anda mungkin juga menyukai