Anda di halaman 1dari 9

Macam-Macam Bentuk Negara

Bentuk bentuk negara

Digital.vpr.net

Dalam perjalanannya ada beberapa macam bentuk Negara yang digunakan oleh setiap Negara untuk
dapat menjalankan Negaranya dengan baik sesuai dengan bentuk negaranya. Berikut beberapa
macam bentuk Negara yang ada saat ini :

1. Negara Kesatuan

Negara yang menganut bentuk Negara kesatuan salah satunya adalah Negara kita tercinta Indonesia,
maka dari itu Indonesia juga sering disebut dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI.

Negara kesatuan adalah Negara yang pemerintahan tertingginya dilakukan oleh pemerintah pusat
yang memberlakukan aturan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Pemerintah pusat juga
diberi hak untuk dapat melimpahkan kekuasaannya kepada daerah-daerah yang tingkatannya lebih
kecil di dalamnya seperti provinsi dan kabupaten.

Pemerintah bisa memberikan hak otonomi daerah kepada daerah di bawahnya untuk dapat
menjalankan aturannya sendiri namun tentunya tetap berdasarkan aturan dan keputusan dari pusat.

Ciri-Ciri Negara Kesatuan

Pada Negara kesatuan peraturan dasarnya didasarkan pada satu Undang-Undang Negara. Selain itu
Negara kesatuan juga memiliki hanya satu kepala Negara, dewan perwakilan rakyat dan juga dewan
Negara.Pada Negara kesatuan maka semuanya terpusat dan berdasarkan dari satu undang-undang
tersebut, pemerintahannya pun terorganisir pada pusat. Hal ini memiliki manfaat yang baik dimana
peraturan dan roda pemerintahan pun selalu seragam namun ada kalanya mengundang kesulitan
ketika ada hal-hal yang harus diselesaikan di daerah namun harus menunggu keputusan dari pusat
terlebih dulu.

Semua hal yang berkaitan dengan kedaulatan Negara baik itu kedaulatan untuk urusan dalam negeri
maupun urusan luar negeri semuanya diserahkan kepada pusat untuk disetujui dan ditandatangani.
Berbagai macam masalah seperti budaya, ekonomi, politik, keamanan, sosial dan pertahanan hanya
memiliki satu buah kebijakan saja.

2. Negara Federasi

Bentuk Negara federasi ini sangat cocok digunakan oleh Negara yang memiliki kawasan yang sangat
luas sehingga untuk dapat melaksanakan semua pemerintahannya secara menyeluruh dengan baik
maka dibutuhkan adanya pembagian pusat dari pemerintah pusat kepada unsur-unsur daerah
dibawahnya seperti Negara bagian, wilayah, republic, provinsi dan lainnya.

Kedaulatan Negara tersebut tetap dimiliki oleh pemerintah federal yang berada di pusat namun
Negara-negara bagian lain di dalamnya juga memiliki kekuasaan yang besar untuk mengatur
rakyatnya sendiri.

Hal ini tentunya merupakan kekuasaan yang lebih besar daripada daerah-daerah yang ada di Negara
kesatuan. Akibatnay Negara federasi lebih mudah dalam mengatur pemerintahannya karena
kekuasaan dan kewajiban langsung dibagikan kepada Negara bagian di dalamnya.

Negara federasi ini dikenal dengan nama bentuk Negara Serikat. Salah satu contoh bentuk Negara
federasi adalah Amerika Serikat.

Ciri-Ciri Negara Federasi

Kepala Negara yang berada di pusat dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dan
memiliki tanggungjawab yang besar kepada rakyat.

Setiap Negara bagian di dalamnya memiliki kekuasaan asli terhadap daerahnya sendiri namun tidak
memiliki kedaulatan sebab kedaulatan Negara tetap dipegang oleh kepala Negara.

Setiap Negara bagian itu berhak mengatur undang-undangnya namun tetap harus selaras dengan
undang-undang yang ada pada pemerintah pusat.

Pemerintah pusat juga memiliki kedautan bagi Negara bagian terutama untuk urusan yang berkaitan
dengan bagian luar, sedangkan pada urusan dalam Negara bagian pemerintah pusat memiliki
sebagian kedaulatan.

3. Negara Konfederasi
Bentuk Negara ini adalah bentuk Negara yang dibuat tidak permanen karena adanya perjanjian
antara Negara yang berkonfederasi untuk tujuan bersama yaitu mempertahankan kedaulatan.
Urusan di dalam Negara masing-masing tetap menjadi urusan masing-masing pihak, namun untuk
urusan bersama dilakukan karena adanya perjanjian.

Masalah yang ada dalam negeri yang bergabung dalam sebuah konfederasi tidak boleh dicampur
dengan kepentingan bersama dalam Negara-negara yang melakukan konfederasi. Dulu Malaysia dan
Singapura pernah menjalin kerjasama dan bergabung menjadi Negara konfederasi karena adanya
politik luar negeri yang terjadi di Indonesia masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Meski sifatnya sementara namun dengan adanya kerjasama maka masalah yang dialami oleh
Negara-negara yang berkonfederasi itu bisa dicari solusinya dan cepat terselesaikan.

Bentuk Negara Lainnya

Selain bentuk Negara yang sudah dijabarkan di atas maka ada beberapa bentuk Negara lainnya yang
dibagi menjadi 3 bentuk yaitu :

Negara Monarki

Negara monarki adalah bentuk Negara yang pemerintahannya hanya dilakukan oleh satu orang saja.
Hak dalam memerintah Negara dalam hal ini hanya dijalankan oleh satu orang yang ditunjuk
tersebut tanpa ada hal lain yang bisa mengganggu gugat.

Negara Oligarki

Biasanya dalam Negara oligarki yang memerintah berasal dari kelompok yang disebut sebagai
kelompok feudal.

Negara Demokrasi

Dibanding dengan dua bentuk Negara sebelumnya maka Negara demokrasi ini adalah Negara yang
lebih sering kita dengar, karena Indonesia setidaknya jug menganut sistem demokrasi. Negara
demokrasi adalah Negara dimana kekuasaan pemerintahannya sepenuhnya berada di tangan rakyat,
Artinya rakyat bebas mengendalikan pemerintahan sesuai dengan keinginan mayoritas rakyat.

Apapun bentuk Negara yang dianut dalam suatu Negara tentunya semua memiliki tujuan yang
kurang lebih sama. Karena Negara merupakan suatu organisasi tertinggi yang terdiri dari rakyat yang
banyak maka tentunya ada bentuk Negara yang digunakan itu bertujuan untuk memberikan
kesejahteraan pada seluruh rakyatnya.

Pemerintah yang ada dalam Negara juga dibentuk agar kesejahteraan rakyat yang ada di dalamnya
bisa lebih terjamin dan lebib terarah, karena dengan adanya pemerintah yang ada di dalamnya itu
tentunya bisa sangat membantu untuk menyelesaikan berbagai macam masalah yang terjadi di
dalam sebuah Negara terlepas dari apapun bentuk Negara yang digunakannya.

Demokrasi Indonesia dan Arah Perkembangannya di Masa


Pandemi COVID-19
 Kategori: Politik Nasional DIBUAT: 12 MEI 2020

 DITULIS OLEH PROF. DR. FIRMAN NOOR  Dilihat: 17651

Membicarakan masa depan demokrasi pada umumnya akan mengarah setidaknya pada dua hal, yakni
penguatan demokrasi atau pelemahan demokrasi. Dalam hal pelemahan demokrasi, ada dua model atau varian.
Pertama, mengarah kembali pada kondisi otoriter (authoritarian resurgence) dan kedua, mengalami kondisi yang
disebut oleh Colin Crouch (2004) sebagai “post-democracy”.
Artikel ini tidak akan membahas masalah penguatan demokrasi, mengingat tidak ada tanda-tanda mengarah ke
situ. Namun penulis juga tidak akan membahas masalah kembali ke kondisi otoriter, karena secara objektif
kondisi politik saat ini tidak mengarah ke sana. Kondisi politik kita lebih pas dilihat tengah bergerak ke bentuk
model post-democracy. Inilah hakikat situasi politik kita sebelum pandemi COVID-19 terjadi.

Post-Democracy
Sebelum melangkah lebih lanjut, akan dijelaskan makna post-democracy. Istilah ini dipopulerkan oleh Colin
Crouch seorang sosiolog Inggris yang juga pengamat demokrasi. Dalam kondisi post-democracy ini, terdapat
beberapa kecenderungan. Pertama, keterlibatan masyarakat dalam dunia politik bersifat terbatas atau artifisial
saja. Hampir semua aspek kehidupan politik ditentukan oleh elite, khususnya elitenya elite (crème a la crème).
Persetujuan pusat atau pimpinan pusat amat menentukan dan mewarnai segenap kehidupan kader partai
dimana pun berada.
Kedua, dalam situasi di atas, partai bukan lagi sebagai sarana penyalur kepentingan rakyat. Partai tidak lagi
menjadi alat sebuah basis politik, namun alat kepentingan pemilik partai. Partai dikelola secara eksklusif (top-
down) layaknya “firma politik” dan mengandalkan pendistribusian material yang cenderung sentralistis, yang
mengakibatkan pendiri/penyandang utama dana partai menjadi pusat segalanya. Visi dan gerak partai lebih
ditentukan oleh saran-saran political advisor yang berorientasi mengakomodir kepentingan elite dan oligarki,
ketimbang kepentingan riil masyarakat akar rumput.
Ketiga, terdapat kecenderungan menggunakan cara-cara populisme dan artifisial (post-truth) dalam berpolitik.
Hal ini karena pada kondisi post-democracy pertarungan ide tidak diperlukan, yang terpenting adalah bagaimana
membangun pencitraan dan memenangkan emosi pemilih dengan janji-janji politik yang menggiurkan.
Berkembang sebuah kontestasi seputar meningkatkan citra diri dan menjatuhkan kelompok lawan, yang akhirnya
berujung pada pembodohan dan penurunan kualitas demokrasi. 
Keempat, hal ini beriringan dengan kecenderungan people ignorance. Dalam banyak momen politik, antusiasme
berpolitik masyarakat menurun. Masyarakat juga pada umumnya tidak memahami duduk persoalan, hanya
terpaku pada fenomena permukaan. Hal ini terjadi karena kepedulian politik yang semakin rendah terutama
karena dunia politik telah dianggap tidak berkenaan langsung dengan mereka, selain karena terlalu banyaknya
tipu daya. 
Kelima, sebagai dampak dari itu semua, hilangnya penghormatan terhadap institusi, proses dan nilai demokrasi.
Inilah yang menyebabkan pengelolaan partai menjadi jauh dari hakikat demokrasi. Begitu pula lembaga-lembaga
negara telah menjadi “pelayan oligarki” yang akhirnya berdampak pada rendahnya penghormatan masyarakat
kepada mereka. Hilangnya respek juga tercermin dari terus terjadinya manipulasi, kecurangan, dan pelanggaran
dalam pelaksanaan pemilu yang berujung pada munculnya pemerintahan yang eksklusif. Sementara itu,
redupnya norma-norma demokrasi menyebabkan mudahnya demokrasi memicu konflik politik atau terbajak
kepentingan sesaat para elite.
 
Kondisi Demokrasi Indonesia
Beberapa kecenderungan inti post-democracy di atas pada umumnya terjadi di Indonesia. Inilah yang
menyebabkan secara substansi demokrasi kita menjadi elitis dan dikangkangi oleh kekuatan oligarki yang sulit
ditandingi. Ini terjadi baik pada level nasional maupun lokal. Dengan kondisi demikian, munculah sebuah
demokrasi tanpa demos.
Fenomena ini bukan hanya terjadi pada saat ini, namun telah memiliki gejala-gejala sejak awal reformasi.
Tercermin dari berbagai istilah yang diberikan oleh beberapa pemerhati politik Indonesia, seperti “Delegative
Democracy” (Slatter 2004), “Patrimonial Democracy” (Weber 2006), “Patronage Democracy” (Klinken 2009),
“Political Cartel” (Ambardi 2009), “Clientelism” (Aspinal dan Berenschot 2019; Rahmawati 2018), dan “Oligarchy”
(Bunte and Ufen 2009, Hadiz and Robison 2004, Winters, 2011).
Secara spesifik setidaknya ada sebelas karakteristik demokrasi di Indonesia saat ini yang mencerminkan
demokrasi tanpa demos itu. Pertama, lemahnya pelaksanaan checks and balances. Ini terlihat dari lemahnya
peran partai, DPR, kehakiman, dan lain sebagainya di hadapan eksekutif. Kedua, meredupnya sikap kritis civil
society, baik pers, LSM, akademisi, dan sebagainya sebagai mitra pemerintah; dan pembungkaman kalangan
aktivis-kritis. Akibatnya, demokrasi kita sejatinya tengah tumbuh dalam “tanah yang gersang”.
Ketiga, kepemimpinan nasional tidak membawa pencerahan/pendewasaan berpolitik. Para elite juga tidak cukup
berhasil dalam memelihara soliditas masyarakat, menghindari personifikasi politik, dan mendorong demokrasi
substansial-rasional. Inilah yang akhir-akhir ini menjadi pendorong berkembangnya pembodohan politik dan
manipulasi kepentingan serta pembelahan politik. Keempat, lemahnya penerapan nilai-nilai demokrasi, baik pada
level elite ataupun masyarakat, seiring dengan meningkatnya oportunisme di kalangan elite dan meredupnya
pendidikan politik serta melemahnya ekonomi masyarakat.
Kelima, penegakan hukum yang tebang pilih. Kedekatan dengan rezim akan membawa keuntungan tersendiri
dalam dunia hukum kita. Selain itu, ada kecenderungan menerabas aturan yang terlihat pada aturan-aturan
kekinian, termasuk omnibus law. Keenam, memudarnya partisipasi rakyat yang otonom dan genuine. Ini ditandai
dengan maraknya politik uang, manipulasi informasi, dan beroperasinya buzzer secara masif. Ketujuh,
pelemahan kebebasan berekspresi demi stabilitas politik yang ditandai dengan meningkatnya pendekatan
keamanan dan kriminalisasi.
Kedelapan, terjadinya “de-demokratisasi internal” pada lembaga-lembaga politik, terutama partai yang justru
menyuburkan nilai-nilai anti-demokrasi dan meningkatkan personifikasi lembaga demokrasi. Kesembilan,
pelaksaana pemilu dan pilkada yang sarat dengan manipulasi dan politik uang. Uang demikian bermakna dan
menentukan (money talks and decides). Akibat situasi ini, muncul fenomena yang disebut sebagai “votes without
voice”. Kesepuluh, repolitisasi birokrasi dan aparat untuk kepentingan penguasa, terutama dalam kontestasi
elektoral. Kesebelas, terjadinya diskriminasi politik atas nama SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan)
dan rasa kedaerahan.
Dengan kesebelas karakteristik itu, tidak mengherankan jika nilai demokrasi Indonesia menjadi jeblok. Dari hasil
studi Economist Intelligence Unit (EIU), dalam dua tahun terakhir ini, di kawasan Asia Tenggara Indonesia
berada di peringkat 3, di bawah Malaysia dan Filipina, dengan kategori sebagai “flawed democracy” (demokrasi
yang cacat).
Tabel 1 
Peringkat Kualitas Demokrasi Indonesia Tahun 2019
Sumber: EIU Index 2019 
Sementara menurut Freedom House, Indonesia sudah masuk negara dalam kategori partly free, dan status ini
sudah berlangsung cukup lama. Secara umum beberapa kajian terkini juga menyebutkan Indonesia sebagai
negara yang tidak murni demokrasi atau demokrasi sebatas prosedur saja.
 
Politik Indonesia Tak Lama sebelum Pandemi COVID-19: Tendensi Regresi
Kondisi politik kita tak lama sebelum pandemi COVID-19 dapat dikatakan mengalami turning point bagi
demokrasi. Ini sebenarnya hanya kelanjutan dari situasi yang secara umum tengah terjadi. Kondisi ini tercermin
dari upaya pemerintah menelurkan berbagai kebijakan kontroversial, yang kemudian ramai disoroti dan dikritisi
oleh masyarakat.
Ketiga kebijakan itu adalah (1) Revisi UU KPK atau di kalangan pegiat demokrasi dikenal sebagai UU
pelemahan KPK; (2) UU KUHP, yang membuka peluang intervensi kepentingan negara dalam ranah privat; dan
(3) RUU Cipta Kerja/Omnibus Law, yang dalam banyak aspeknya lebih memberikan keuntungan kepada kaum
pebisnis besar atau investor ketimbang pekerja/buruh.
Dua yang pertama telah memicu ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia untuk kembali ke jalan. Meski kemudian
berhasil diredam oleh aparat, sebagian dilakukan dengan menggunakan kekerasan. Apa yang diperjuangkan
pun akhirnya menjadi sia-sia karena baik pemerintah maupun DPR tetap dengan pendiriannya untuk
menetapkan UU tersebut.
Ini juga menjadi sebuah indikasi kuat adanya pelemahan peran mahasiswa sebagai kalangan muda-kritis yang
biasanya selalu diharapkan menjadi agen perubahan. Sementara itu, RUU yang terakhir telah memicu
perlawanan terutama dari kalangan buruh. Kehadiran ketiga UU/RUU kontroversial itu pada banyak aspeknya
jelas tidak aspiratif. Ketiganya tampak jelas lebih mengakomodir kepentingan para oligarki.
Ketiga kebijakan itu juga sarat dengan upaya melakukan sentralisasi kekuasaan dan intervensi negara, sehingga
ruang publik (bahkan privat) maupun kewenangan pemerintahan daerah menjadi tereduksi. Tidak itu saja,
upaya-upaya pemberantasan korupsi menjadi dalam pengawasan ketat pemerintah. Padahal pengawasan ketat
semacam itu adalah sebuah bencana untuk pelaksanaan pencegahan dan penindakan korupsi berskala masif.
Terbukti KPK mengalami pelambatan dalam soal operasi tangkap tangan (OTT). Di atas itu semua, tidak saja
para koruptor yang merasa lebih nyaman dalam melakukan aksinya, tetapi juga para oligarki menjadi semakin
sulit dibendung. RUU Omnibus Law jelas akan lebih menguntungkan triple alliance, yakni pengusaha asing,
pemerintah, dan pengusaha lokal yang dalam bekerjanya saling berkelindan dan tak tersentuh (untouchable),
yang akhirnya berpotensi terus memproduksi oligarki baru di tanah air.
Dengan demikian, kondisi terakhir menjelang pandemi COVID-19 pada dasarnya hanya merupakan kelanjutan
dari nuansa post-democracy yang merupakan sebuah kemunduran bagi kehidupan demokrasi kita. 

Ekosistem Politik Saat COVID-19: Bringing the State Back In


Ekosistem politik saat pandemi ditandai dengan peran pemerintahan yang diperkuat guna menangani krisis.
Dalam setiap krisis ada tendensi penguatan peran penguasa, baik dengan alasan yang terkait kebencanaan,
peperangan, ataupun krisis lainnya. Atas nama memulihkan krisis, pemerintah dapat melakukan segala sesuatu
yang dianggap penting.
Dalam kondisi seperti ini pemerintah kemudian menjadi cenderung memiliki banyak hak
bahkan privilege, termasuk membuat berbagai aturan yang bersifat restriksi atau diskresi. Aturan khusus negara
dapat memasuki ranah-ranah privat sekalipun. Pemerintah dapat menerapkan itu secara sepihak. Di banyak
negara, aturan lockdown ataupun karantina tidak memerlukan persetujuan dari masyarakat. Sehingga pada
masa krisis dikenal kondisi “More State, Less Private”.
Selain itu, pemerintah juga memiliki hak untuk menggunakan segenap sumber daya yang ada untuk dapat
membawa negara keluar dari kondisi krisis. Ini memungkinkan negara mengeluarkan pengaturan yang bersifat
khas demi pemanfaatan sumber daya semaksimal mungkin. Di negara kita bahkan dimungkinkan adanya
sebuah pelaksanaan kebijakan terkait pandemi tanpa perlu adanya pengawasan, sejauh itu didasarkan pada
“itikad baik” untuk penyelesaian masalah COVID-19.
Dimungkinkan pula bagi pemerintah untuk mengeluarkan lebih banyak uang dengan skema yang ditujukan pada
upaya-upaya mengatasi dan antisipasi dampak pandemi ini. Di Indonesia misalnya, pemerintah telah
menganggarkan dana sekitar Rp 405 triliun, dari berbagai sumber keuangan yang tersedia, diperuntukkan untuk
tiga persoalan besar, yakni kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Adanya nuansa kedaruratan juga dapat menuntut masyarakat untuk lebih taat. Di beberapa negara, misalnya,
sudah digunakan terminologi “We are at war!” Begitu juga akhirnya di Indonesia, pemerintah terutama melalui
Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sudah menggunakan istilah perang. Vietnam telah
menggunakan istilah ini tak lama setelah adanya penyebaran virus COVID-19. Makna dari peperangan ini adalah
perlunya suatu komando dan disiplin khas perang, sehingga diharapkan adanya sebuah kepatuhan umum baik
masyarakat maupun internal pemerintah sendiri, agar dapat memenangkan perang itu.
Tidak lama setelah ditetapkannya status Bencana Nasional, Presiden Joko Widodo bahkan sempat melontarkan
wacana “Darurat Sipil” yang mengarah pada bentuk pemerintahan darurat bernuansa militeristik. Belakangan
Letjend. Doni Monardo, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, bahkan sudah menggunakan
lagi seragam militernya dalam menyampaikan pesan-pesan terkait penanganan virus ini, yang secara simbolis
menguatkan kesan perang itu.
Dengan kondisi ini, terasa sekali nuansa penguatan peran dan kedudukan pemerintah atau negara. Sehingga
tampak seolah seperti Bringing the State Back In, sebuah fenomena yang dibayangkan dalam sebuah buku yang
disunting oleh Peter Evans, Dietrich Rueschemeyer, dan Theda Skocpol. Meski penguatan peran pemerintah
dibutuhkan, menurut Steve Hank dalam tulisannya Crises Enliven: Totalitarian Temptations (2020), apabila tidak
dibatasi atau berkesudahan situasi ini dapat mengarah pada apa yang disebutnya sebagai “godaan totalitarian”.
Selain itu, menurut Hank tanpa adanya kebijakan yang tepat dan dapat dikontrol dengan efektif, situasi ini dapat
menciptakan oportunis-oportunis atau para pembajak kepentingan yang membahayakan kepentingan rakyat dan
akhirnya eksistensi negara.
Dengan melihat ekosistem politik seperti ini, tampak penguatan peran negara menjadi sesuatu yang tidak dapat
dihindari. Memang situasi ini tidak selalu akan mengarah pada pemusnahan demokrasi, namun manakala itu
tidak sesuai takaran dan periode waktu yang dibatasi, maka akan berpotensi melanggengkan kekuasaan menuju
“godaan totalitarian”. Atau setidaknya, akan membawa pada pelemahan demokrasi karena adanya tendensi
pemerintahan yang terpusat dan memunculkan para oportunis/oligarki.
 
Kondisi Politik dan Pemerintahan Era Pandemi
Di tengah pandemi COVID-19 ini secara substansi demokrasi memang tidak banyak perubahan. Kita pada
dasarnya masih akan menghadapi problematika demokrasi yang sama. Beberapa fenomena terakhir cenderung
mengkonfirmasi hal ini. Pertama, masih terus lemahnya checks and balances dari DPR. Kondisi semacam ini
tampak telah menjadi natur DPR era Jokowi yang pada umumnya kurang kritis dan sekadar menjadi pendukung
penguasa.
Ini terkonfirmasi dari bagaimana sikap DPR yang tampak tidak terlalu terusik dengan kelambanan respon
pemerintah pusat sejak virus mulai merebak. Begitupula saat munculnya beberapa kali inkonsistensi kebijakan
yang membingungkan masyarakat. Bahkan hingga ketika tidak lancarnya pemberian bantuan sosial dan
munculnya pencitraan bagi-bagi sembako, DPR tampak tak bergeming. Meski mulai ada suara-suara kritis,
secara umum nuansa over-protective parlemen kepada pemerintah masih terasa.
Kedua, konsolidasi civil society yang tetap masih belum maksimal. Secara umum kalangan ini masih terus
bergulat dengan lingkungan yang tidak kondusif. Termasuk adanya gangguan “perang proxy” yang melibatkan
para buzzer untuk saling serang dan juga membungkam kritik dan mencanangkan satu versi kebenaran.
Akibatnya, kalangan civil society  tetap memainkan peran pinggiran dan terabaikan. 
Ketiga, sinergi dan koordinasi internal pemerintahan yang tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini telah
menimbulkan saling silang di jajaran pemerintahan sendiri. Pemusatan kekuasaan dan birokrasi penentuan
kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menjadi efek dari situasi yang tidak terkoordinasi dan tidak
sinergis itu. Sentralisasi kebijakan ini kerap dipertanyakan, mengingat PSBB harus dilakukan segera oleh kepala
daerah tanpa harus menunggu keputusan administratif yang memperpanjang rantai birokrasi. Apalagi
kenyataannya, kita sudah terlanjur lambat dalam merespon pandemi ini.
Keempat, munculnya fenomena oportunisme. Pada bulan April 2020, Staf Khusus Milenial Presiden, yakni Andi
Taufan, Adamas Belva, dan Gracia “Billy” Joshapat menjadi sorotan. Ketiganya secara umum ditengarai telah
memanfaatkan posisinya untuk meraih keuntungan pribadi, yaitu upaya mendapatkan proyek pemerintah terkait
pandemi, baik langsung maupun tidak langsung. Meski ketiganya menolak disebut demikian, namun aroma
“kolusi gaya baru” sulit untuk dinafikan.
Fenomena ini tampaknya sejalan dengan dugaan Hank tentang munculnya kalangan oportunis di era pandemi.
Desakan publik yang demikian kuat, mendorong Andi Taufan dan Adamas Belva untuk mengundurkan diri.
Presiden sendiri tidak menganjurkan itu dan tetap mempertahankan keberadaan stafsus milenial meski muncul
suara-suara untuk membubarkannya.
Kelima, beberapa hal lain yang turut mewarnai kehidupan politik ini adalah perlindungan terhadap citra
pemerintah. Pemerintah tampak melihat kewibawaan di saat krisis harus dijaga, sayangnya itu dimaknai dengan
melakukan pengawasan kepada masyarakat. Tidak mengherankan jika kepolisian diminta untuk lebih intens dan
proaktif dalam melindungi simbol-simbol negara termasuk presiden.
Begitu pula fenomena tuntutan permintaan minta maaf kepada kalangan kritis, yang sedikit banyak menunjukkan
ketidakarifan penguasa dalam membedakan kritik kebijakan dengan pencemaran nama baik. Hal ini turut
memperlambat pemulihan pelaksanaan dan penghormatan atas kebebasan berpikir dan upaya membangun
opini kritis di tengah masyarakat.
Keenam, munculnya kebijakan bertendensi oligarki, yakni Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Beberapa kalangan
mengkritik kebijakan ini terutama karena memberikan peluang terjadinya sebuah mal-adminsitrasi yang tidak
bisa diawasi dan bahkan dituntut baik oleh lembaga negara sendiri, apalagi oleh masyarakat. Selain itu,
kebijakan ini memberikan peluang bagi siapa saja untuk melakukan pemanfaatan keuangan negara hanya atas
dasar itikad baik, yang secara riil bepotensi menyuburkan praktik kongkalikong. Kedua hal itu sudah cukup untuk
menjadi alasan penolakan kebijakan ini karena berpotensi dimanfaatkan oleh para oligarki.
Dengan berbagai situasi politik dan pemerintahan di atas (dan tentu saja ditambah ekosistem politik pada masa
pandemi), tentu mudah terlihat bahwa esensi politik kita belum mengarah pada penguatan demokrasi, melainkan
lebih pada sebuah sikap anti-kritik, birokratisasi, sentralisasi, restriksi, dan peluang oligarchy reinforcement.
 
Kesimpulan
Masa depan demokrasi kita tampaknya belum akan pulih dalam waktu dekat. Model post-democracy akan tetap
bercokol dalam kehidupan politik kita. Memang kita tidak akan mengarah pada model pemerintahan otoriter,
namun juga belum akan mengarah pada bentuk pemerintahan demokrasi tulen. Berbagai indikasi menjelang dan
saat terjadinya pandemi COVID-19, tidak menunjukkan tanda-tanda yang mengarah pada dukungan bagi
perbaikan demokrasi.
Jika tidak ada sebuah terobosan politik yang berarti, bisa jadi kualitas demokrasi kita semakin melorot pasca-
pandemi ini. Munculnya berbagai regulasi yang bernuansa sentralisasi kekuasaan, selain juga karakter
demokrasi kita yang mengarah pada post-democracy, dan situasi politik yang tengah berjalan saat pandemi,
menjadi persoalan-persoalan pokok demokrasi kita hari ini. Belum lagi kondisi kehidupan ekonomi yang makin
melemah dan potensi renggangnya kohesi sosial yang dapat memperburuk situasi.
Di satu sisi kita harus mulai waspada agar resesi dan konflik seperti yang terjadi di Lebanon ketika rakyat
semakin lapar dan frustasi, tidak terjadi di tanah air. Namun pemulihan stabilitas sosial-politik yang tidak tepat
dapat berujung pada restriksi berkepanjangan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan demokrasi.
Sebuah situasi yang menyebabkan pegiat demokrasi harus melupakan tidur nyenyaknya lebih panjang lagi.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan bagi kalangan civil society untuk bangkit kembali memainkan peran asasinya
dalam melindungi dan menyuburkan kehidupan demokrasi kita, baik pada masa pandemi COVID-19 maupun
sesudahnya. Kerja kolektif para pihak yang peduli terhadap kualitas kehidupan demokrasi harus makin digiatkan,
sebagai bentuk tanggung jawab moral dan konstitusional anak bangsa. (Prof. Dr. Firman Noor) 
  
Referensi
Ambardi, K. (2009). Mengungkap Politik Kartel. Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi.
Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia.
Aspinall, E and Berenschot, W (2019). Democracy for Sale, Election, Clientism and the State in
Indonesia. Itacha: Cornell University Press.
Aspinall, E and Sukmajati, M. (2015). Politik Uang di Indonesia, Patronase dan Klientisme pada Pemilu Legislatif
2014. Yogyakarta: Polgov
Bunte, M and Ufen, A. (2009). “The New Order and Its Legacy: Reflections on Democratization in Indonesia”, in
Bunte, M and Ufen, A, eds. Democratization on Post-Suharto Indonesia. London: Routledge.
Colin, C. (2004). Post-Democracy. Cambridge: Polity Press.
Davidson, J.S (2015). “Dilemmas of Democratic Consolidation in Indonesia”, the Pacific Review,  22 (3), 293-310.
Ford, M and Pepinsky, T B, eds (2014). Beyond Oligarchy. Wealth, Power and Contemporary Indonesian
Politics. Cornell: Cornell Southeast Asia Program Publications.
Fossati, Diego, A Tale of Three Cities: Electoral Accountability in Indonesian Local Politics, Journal of
Contemporary Asia, 2017.
Geiselberger, Heinrich, ed. (2017), The Great Regression, Cambridge Polity.
Hank, S.H, (2020), “Crises Enliven: Totalitarian Tempations”
dalam https://www.cato.org/publications/commentary/crises-enliven-totalitarian-temptations
Haris, S, ed, (2004) Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai. Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif
Pemilu 2004. Jakarta: Gramedia, LIPI and IMD.
Hidayat, Syarif, (2019), “Urgensi Penguatan Kapasitas Lembaga Perwakilan”, Media Indonesia, 11 Oktober.
Klinken, Gerry van (2009), “Patronage Democracy in Provincial Indonesia”, dalam Törnquist, Olle; Webster,
Neil; Stokke, Kristian (eds), Rethinking Popular Representation, London: Palgrave Macmillan, hal. 141-159
Levitsky, S dan Ziblatt, D, (2018), How Democracies Die, New York: Crown Publishing Group.
Power, T.P, (2018). “Jokowi’s Authoritarian Turn and Indonesia’s Democratic Decline”, Buletin of Indonesian
Economic Studies, Vol. 54, No.3, 2018:307-338.
Rahmawati, D. (2018). Demokrasi dalam Genggaman Para Pemburu Rente. Yogyakarta: Departemen Politik dan
Pemerintahan, UGM.
Robison, R. and Hadiz, V. R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of
Markets. London: RouledgeCurzon.
Evans, P, Rueschemeyer, D, Skocpol, T (eds). (1985), Bringing the State Back In, Cambridge: Cambridge
University Press.
Slater, D. (2004), “Indonesia’s accountability trap; Party cartels and presidential power after democratic
transition”, Indonesia, 61-92.
Weber, Douglas, (2006), “A Consolidated Patrimonial Democracy? Democratization in Post-Soeharto Era”,
dalam Journal of Democratization, Vol 13, hal. 396-420. 
Winters, J. A. (2004). Oligarchy. New York: Cambridge University Press.
Winters, J. A. (2014). “Oligarchy and Democracy in Indonesia” in Ford, Michele and Pepinsky, Thomas B.
(2014). Beyond Oligarchy. Wealth, Power and Contemporary Indonesian Politics. Cornell: Cornell Southeast Asia
Program Publications.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200430142945-533-498909/jalan-lapang-oligarki-ekonomi-di-perppu-
corona-jokowi
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200406102542-12-490670/jalur-panjang-birokrasi-psbb-untuk-
penanganan-corona
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200508015745-20-501129/ridwan-kamil-kritik-keras-pemerintah-
pusat-soal-data-bansos  
https://www.kompas.tv/article/77859/apa-salah-staf-khusus-milenial-presiden-jokowi
https://www.eiu.com/public/topical_report.aspx?campaignid=democracyindex2019
https://freedomhouse.org/

Anda mungkin juga menyukai