Anda di halaman 1dari 30

TUGAS

STASE KULIT DAN KELAMIN

Oleh:
Aprillyanti Beni Abdullah
(20180811018072 / 0120840110)

Pembimbing:
dr Chairil Anwar Sp.KK, M.Kes
dr. Widyaratni Pramestisiwi, Sp. DV

SMF KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH JAYAPURA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH
JAYAPURA-PAPUA
2020
ANATOMI KULIT DAN GAMBAR

1. EPIDERMIS
- Lapisan kulit dinamis, senantiasa beregenerasi, berespons terhadap rangsangan di
luar maupun dalam tubuh manusia.
- Tebal: 0,4 - 1,5 mm
- Penyusun terbesar: keratinosit, tersusun dalam beberapa lapisan diantaranya:
stratum basalis (paling bawah), stratum spinosum, stratum granulosum.
- Lapisan teratas adalah stratum korneum yang tersusun oleh keratinosit yang telah
mati (korneosit)
- Terselip di antara keratinosit adalah sel Langerhans dan melanosit, dan kadang-
kadang juga sel Merkel dan limfosit.
- Susunan epidermis yang berlapis-lapis menggambarkan proses diferensiasi
(keratinisasi) dinamis berfungsi menyediakan sawar kulit pelindung tubuh dari
ancaman di permukaan.
a. Stratum Korneum
 CCE yang dibentuk pada stratum korneum akan mengalami penataan
bersamaan dengan lipid yang dihasilkan oleh LG.
 Susunan brick-and-mortar, CCE menjadi batu bata yang diliputi oleh lipid
sebagai semen di sekitarnya.
 Matriks lipid ekstraselular menahan kehilangan air dan mengatur
permeabilitas, deskuamasi, aktivitas peptida antimikroba, ekslusi toksin
dan penyerapan kimia secara efektif.
 Korneosit berperan dalam memberi penguatan terhadap trauma mekanis,
produksi sitokin dan penyerapan kimia secara efektif.
b. Stratum Lucidum
 Lapisan barrier yang terletak di bawah lapisan tanduk yang
menghubungkan stratum korneum dengan stratum granulosum.
 Stratum Lucidum dapat terlihat dengan jelas di telapak tangan dan kaki.
c. Stratum Granlosum
 Keratinosit stratum granulosum mengandung keratohyaline granules (KG)
yang mengandung profilagrin dan loricrin yang penting dalam
pembentukan cornified cell envelope (CCE).
 Profilagrin akan dipecah mencadi filagrin yang akan bergabung
dengan KIF menjadi makrofilamen.
 Molekul filagin dipecah menjadi molekul asam urokanat yang
memberikan kelembaban stratum korneum dan menyaring sinar
ultraviolet.
 Locrin akan bergabung dengan protein-protein struktural desmosom,
dan berikatan dengan membran plasma keratinosit.
 Proses-proses tersebut menghasilkan CCE yang akan menjadi bagian
dari sawar kulit di stratum korneum.
 Keratinosit di stratum granulosum memulai program kematiannya sendiri
(apoptosis), sehingga kehilangan inti dan organel sel penunjang hidupnya.
d. Stratum Spinosum
 Keratinosit stratum spinosum memiliki bentuk poligonal, berukuran
lebih besar.
 Pemeriksaan mikroskop: sturuktur mirip taji (spina) pada permukaan
keratinosit, penyambung antar keratinosit yang disebut desmosom.
 Desmosom terdiri dari berbagai protein struktural, misalnya
desmoglein dan desmokolin yang memberi kekuatan pada epidermis
untuk menahan trauma fisis di permukaan kulit.
 Keratinosit stratum spinosum mulai membentuk struktur khusus yang
disebut lamellar granules (LG).
 Struktur ini terdiri dari berbagai protein dan lipid, misalnya
glikoprotein, glikolipid, fosfolipid, dan yang terpenting
glukosilseramid yang merupakan cikal bakal seramid, yang kelak akan
berperan dalam pembentukan sawar lipid pada stratum krneum.
 Sawar lipid akan bersinegri dengan sawar struktural yang terbentuk
oleh KIF pada lapisan stratum korneum.
 Pada stratum spinosum dan granulosum terdapat sel Langerhans (SL), sel
dendritik yang merupakan sel penyaji antigen.
 Antigen yang menerobos sawar kulit akan akan difagosit dan diproses
oleh SL, untuk dibawa dan disajikan kepada limfosit untuk dikenali.
 SL berperan dalam pertahanan imunologik manusia.
e. Stratum Basalis
 Keratinosit stratum basalis berbentuk toraks, berjajar di atas lapisan
struktural (basal membrane zone/BMZ)
 Keratinosit stratum basal berdiri di atas BMZ. Protein struktural yang
‘memaku’ membran sitoplasma keratinosit pada BMZ disebut
hemidesmosom.
 Gangguan pada hemidesmosom menyebabkan kulit tidak dapat
menahan trauma mekanik.
 Terdapat tiga subpopulasi keratinosit di stratum basalis, yaitu:
 Sel punca
 Transient amplifying cells
 Sel pascamitosis
 Sel Merkel berfungsi sebagai reseptor mekanik (mechanoreceptors).

2. DERMIS
- Jaringan dibawah epidermis yang juga memberi ketahanan pada kulit,
termoregulasi, perlindungan imunologik, dan ekskresi.
- Elemen yang berada pada dermis, yakni struktur fibrosa dan filamentosa, ground
substance, dan selular yang terdiri atas endotel, fibroblas, sel radang, kelenjar,
folikel rambut dan saraf.
- Serabut kolagen (collagen bundles) membentuk sebagian besar dermis, bersama-
sama serabut elastik memberikan kulit kekuatan dan elastisitasnya.
 Keduanya tertanam dalam matriks (ground substance) yang terbentuk dari
proteoglikans (PG) dan glikoaminosglikans (GAG).
 PG dan GAG dapat menyerap dan mempertahankan air dalam jumlah besar
sehingga berperan dalam pengeluaran cairan dalam kulit.
 Fibroblas, makrofag dan sel mast rutin ditemukan pada dermis.
 Fibroblas: sel yang rutin memproduksi protein matriks jaringan ikat dan
serabut kolagen serta elastik di dermis.
 Makrofag: elemen pertahanan imunologik pada kulit yang mampu
bertindak sebagai fagosit, sel penyaji antigen, maupun makrobisidal dan
tumorisidal.
3. SUBKUTIS/HYPODERMIS
- Terdiri atas jaringan lemak
 Mempertahankan suhu tubuh,
 Cadangan energi dan
 Menyediakan bantalan yang meredam trauma melalui permukaan kulit.
EFLORESENSI KULIT DAN GAMBAR

Efloresensi merupakan perubahan kulit normal yang dapat dilihat dengan mata
telanjang akibat biasa dalam proses patologik. Terdapat 2 jenis efloresensi, yaitu Primer
dan Sekunder.

1. Efloresensi Primer
Merupakan lesi kulit yang muncul saat timbulnya penyakit. Diantaranya:
 Makula adalah daerah datar di kulit, yang ditandai oleh perubahan warna yang
berbatas dengan kulit normal.

 Papula merupakan masa padat meninggi yang berukuran sampai 0,5 cm dari
sebesar kepala jarum sampai sebesar kacang.

 Plak merupakan beberapa papul yang menyatu, permukaan menjadi gembung


dan berukuran lebih dari 0,5 cm.
 Nodula/nodul/nodus merupakan suatu massa padat yang menjadi gembung dan
berukuran 0,5 cm sampai 2 cm. Nodul lebih padat konsistensinya daripada
papul.

 Kista merupakan nodul yang terdiri dari ruang berlapis epitel berisi cairan atau
materi semi solid.

 Vesikula/ vesikel merupakan daerah kecil dikulit yang gembung (lepuh) berisi
cairan dan berukuran kurang dari 0,5 cm, Puncak vesikula dapat berbentuk
bulat, runcing/ umbilikasi.

a) Bula adalah vesikel yang berukuran lebih besar. Dikenal dengan istilah bula
hemoragik, bula purulen dan bula hipopion.
 Pustul adalah vesikel yang berisi nanah, bila nanah mengendap di bagian bawah
vesikel disebut vesikel hipopion.
 Tumor merupakan massa padat besar, meninggi, dan berukuran lebih dari 2 cm,
cenderung berbentuk bulat, dapat lunak atau keras, mobile atau terfiksasi pada
perabaan. Tumor dapat menonjol dipermukaan atau tertanam kearah dalam atau
memiliki tangkai.
 Urtika/ wheal/ bentol merupakan kelainan kulit akibat edema lapisan dermis
bagian atas setempat yg timbul mendadak atau perlahan – lahan, tetapi bisa
hilang beberapa jam kemudian merah jambu atau merah suram/luntur.

2. Efloresensi Sekunder
Merupakan lesi kulit yang terjadi akibat perubahan seiring waktu yang
disebabkan oleh perkembangan penyakit, manipulasi (menggaruk, mencungkil,
menggosok), atau pengobatan.
 Skuama: jaringan mati dari lapisan tanduk yang terlepas, mengandung keratin,
bisa tipis, kering dan berminyak atau kasar; warnanya dari putih keabu – abuan
hingga kuning atau coklat karena tercampur kotoran atau melanin

 Krusta: akumulasi eksudat serosa (mirip serum) atau seropurulen (pus) yang
mengering. Warnanya tergantung warna eksudat atau sekret.
 Erosi: hilangnya epidermis superfisial. Biasanya daerah tersebut basah, tetapi
tidak berdarah sehingga sembuh tidak meninggalkan jaringan parut.

 Ekskoriasi: goresan atau garukan di kulit. Kulit epidermis yang terkelupas lebih
dalam dari erosi sehingga bila sembuh meninggalkan bekas.
 Sikatriks / jaringan parut: kulit telah digantikan oleh jaringan fibrosa. Jaringan
ikat fibrosa ini menggantikan jaringan dermis atau jaringan lebih dalam yang
hilang akibat penyakit atau trauma.

 Keloid: pembentukan jaringan parut di kulit yang melebihi cedera awal. Keloid
tampak menjadi gembung, merah dan padat. Bila pada sikatriks terjadi absorbsi,
sehingga jaringan parut tampak tertekan dan menjadi tipis, di sebut sikatrik
atrofik.
 Ulkus: hilangnya epidermis dan lapisan kulit yang lebih dalam (dermis,
subkutis, otot) yang dapat mengeluarkan darah dan membentuk jaringan parut.
Ukuran diameter mm hingga cm.

 Fagedenikum: proses terjadinya ulkus yang menjurus kedalam dan meluas, bila
proses menjurus kedalam disebut telebrans, bila proses sangat cepat meluas
galopans.
 Infiltrat: tumor yang terdiri atas kumpulan sel radang.
 Vegetasi: pertumbuhan berupa penonjolan bulat atau runcing yang menjadi satu.
 Anetoderma: bagian yang jaringan elastisnya atrofi.
 Likhenifikasi: penebalan kulit di sertai relief kulit yang makin jelas.
 Fissura: retak linier dikulit.
 Guma: infiltrat berbatas tegas (sirkumpskrip), menahun, destruktif dan biasanya
melunak.
 Eksantema: kelainan kulit yang timbul serentak dalam waktu singkat, tidak
berlangsung lama, umumnya didahului oleh demam.
- Roseola: eksantema lentikuler berwarna merah tembaga pada sifilis dan
frambusia
- Eksantema skariatiformis: erupsi difus (generalisata atau lokalisata) dan
berbentuk eritema numular.
- Eksantema morbiliformis: erupsi berbentuk eritema berukuran lentikular.
 Telangiektasi: pelebaran pembuluh darah kapiler yang menetap pada kulit.
 Fistula: hubungan rongga didalam badan/dibawah kulit yg patologis dengan
luar kulit.
 Collarate : sisik berbentuk garis memanjang, kering, berwarna putih, biasanya
akibat garukkan.
 Sclerosis: pengerasan kulit lokal atau difus akibat edema lapisan dermis/
jaringan subkutan /infiltrat seluler /proliferasi kolagen.

Berbagai Isitilah Ukuran, Susunan Kelainan/Bentuk, Penyebaran dan Lokasi


1. Ukuran
a. Miliar: ukuran/bentuk sebesar kepala jarum pentul.
b. Lentikular: sebesar biji jagung.
c. Numular: sebesar uang logam.
d. Plakat : lebih besar dari numular.

2. Susunan Kelainan/bentuk
a. Linear: seperti garis lurus.

b. Sirsinar/anular: seperti lingkaran

c. Arsinar: berbentuk bulan sabit

d. Polisiklik: bentuk pinggiran yang sambung menyambung.


e. Korimbiformis: susunan seperti induk ayam yang dikelilingi anak – anaknya.

3. Penyebaran dan Lokasi


 Sirkumskrip: berbatas tegas
 Difus: tidak berbatas tegas.
 Generalisata: tersebar pada sebagian besar bagian tubuh.
 Regional: mengenai daerah tertentu.
 Universalis: seluruh atau hampir seluruh tubuh (90%-100%)
 Soliter: hanya satu lesi
 Diskret: terpisah satu dengan yang lain
 Herpeticformis: vesikel berkelompok

 Konfluens: dua atau lebih lesi yang menjadi satu.


 Serpiginosa, proses yang menjalar kesatu jurusan diikuti oleh penyembuhan
pada bagian yang ditinggalkan.
 Irisformis: eritema berbentuk bulat lonjong dengan vesikel warna yang lebih
tengah di tengahnya.

 Simetrik: mengenai kedua belah badan yang sama


 Bilateral: mengenai kedua belah badan yang sama
 Unilateral: mengenai sebelah badan.
KLASIFIKASI PENYAKIT KULIT INFEKSI DAN NON INFEKSI

1. PENYAKIT KULIT INFEKSI


a. Infeksi Bakteri
 Pioderma
 Pioderma Primer
- Pioderma Superfisialis
o Impetigo
 Impetigo krustosa
 Impetigo bulosa
o Folikulitis
o Furunkel/Karbunkel
o Ektima
o Pionikia
- Pioderma Profunda
o Erisipelas
o Selulitis
o Flegmon
o Hidradenitis
 Pioderma Sekunder
 Tuberkulosis Kutis
 Kusta/Morbus Hansen
 Antraks
 Frambusia

b. Infeksi Virus
 Herpes Zoster
 Moluskum Kontagiosum
 Variola
 Varizela
 Veruka Vulgaris dan Veruka Plana
 Hand-Foot-Mouth Disease
c. Infeksi Jamur
 Superfisial
 Nondermatofitosis
- Pitiriasis Versikolor
- Folikulitis Malassezia
- Piedra (Piedra Hitam dan Piedra Putih)
- Tinea Nigra Palmaris
 Dermatofitosis
- Tinea pedis
- Tinea unguium
- Tinea kruris
- Tinea korporis
- Tinea kapitis
 Intermediet: Kandidosis
 Profunda: Misetoma, kromomikosis, zigomikosis subkutan, sporotrikosis,
rinosporidosis

d. Infeksi Parasit Hewani


 Artopoda
 Pedikulosis
 Skabies
 Nematoda
 Creeping Eruption
 Protozoa
 Trikomoniasis

2. PENYAKIT KULIT NON INFEKSI


a. Dermatosis pada Kehamilan
 Atopic Eruption of Pregnancy (AEP)
 Polymorphic Eruption of Pregnancy (PEP)
 Pemphigoid Gestationis (PG)
 Intrahepatic Cholestatis of Pregnancy
b. Dermatitis
 Dermatitis Kontak
 Dermatitis Kontak Iritan (DKI)
 Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
 Dermatitis Autosensitisasi
 Dermatitis Atopik
 Neurodermatitis Sirkumskripta
 Dermatitis Numularis
 Dermatitis Statis
c. Dermatosis eritroskuamosa
 Psoriasis
 Parapsoriasis
 Pitiriasis Rosea
 Eritroderma
 Dermatitis Seboroik
d. Dermatosis vesikobulosa kronik
 Pemfigus
 Pemfigoid bulosa
 Dermaititis herpetiformis
 Chronic Bullous Disease of Childhood
 Pemfigoid sikatrisial
 Pemfigoid gestationis
 Nekrolisis epidermal (SSJ dan NET)
 Dermatosis vesikobulosa kronik kongenital
 Epidermolisis bulosa
e. Reaksi Kulit Terhadap trauma mekanis
 Kalus
 Klavus
 Black Heel
 Bula Traumatika
 Ulkus Dekubitus
f. Tumor Kulit
 Tumor Jinak
 Keratosis Seboroik
 Fibroma Mole
 Kista Epidermal
 Keloid dan Parut Hipertrofik
 Hemangioma
 Tumor ganas
 Karsinoma Sel Basal
 Karsinoma Sel Skuamosa
g. Kelainan Kelenjar Sebacea dan Ekrin
 Akne Vulgaris
 Erupsi Akneiformis
 Dermatitis Perioral
 Miliaria
h. Penyakit jaringan konektif
 Lupus Eritematosus Kutan
 Skleroderma
 Dermatomiositis
i. Penyakit Kulit Alergi
 Urtikaria
 Angioedema
 Prurigo
 Prurigo Simpleks
 Dermatosis pruriginosa
- Stofulus
- Prurigo kronik multiformis Lutz
- Prurigo Herba
 Urtikaria Papular
j. Kelainan Pigmentasi
 Melasma
 Lentiginosis
 Efelid
 Melanosis Riehl
 Hermokromatosis
 Karotenosis
 Likopenemia
 Albinisme Okulokutanea
 Piebaldism
 Leukoderma
 Vitiligo
 Pitiriasis Alba
 Eritrasma
k. Reaksi Obat
 Fixed Drug Eruption
 Exanthematous Drug Eruption
l. Kelainan Rambut
 Alopesia areatu
 Alopesia androgenik
 Telogen efluvium
KLASIFIKASI INFEKSI MENULAR SEKSUAL

PENYAKIT ETIOLOGI
Infeksi Genital Nonspesifik Chlamydia trachomatis
Ureaplasma urealyticum
Mycoplasma hominis
Gonore Neisseria gonorrhoeae
Trikomoniasis Trichomonal vaginalis
Vaginosis Bakterial Gardnerella vaginalis
Prevotella
Mobiliuncus spp.
Sifilis Treponema pallidum
Ulkus Mole Haemophilusducreyi
Herpes Simpleks Virus herpes simpleks
Kondiloma Akuminata Human papilomavirus
Limfogranuloma Venereum Chlamydia trachomatis
Granuloma Inguinale Calymmatobacterium granulomatis
(Klebsiella granulomatis)
Acquired Immune Deficiency Syndrome Human Immunodeficiency Virus (HIV)
TINJAUAN PUSTAKA KULIT AKIBAT ERUPSI OBAT

Definisi
Erupsi obat alergik atau adverse cutaneous drug eruption adalah reaksi
hipersensivitas terhadap obat dengan manifestasi pada kulit yang dapat disertai maupun
tidak keterlibatan mukosa. Yang dimaksud dengan obat ialah zat yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis, profilkasis, dan pengobatan.

Imunopatogenesis
Beberapa studi menunjukkan hubungan kuatantara human lymphocite allele
(HLA) dengan EOA, misalnya HLA B*1502 pada kasus sindrom Stevens-Tohnson
yang disebabkan karbamazepin pada etnis Han-Cina. Temuan lain misalnya HLA
B*5701 pada kasus sindrom hipersensivitas obat yang disebabkan oleh abacavir.
Berdasarkan klasivikasi Coombs dan Gell, patomekanisme imunoglobulin (Ig) E
yang mendasari EOA dibagi menjadi 4 tipe mekanisme:
Reaksi Mekanisme Manifestasi klinis Waktu untuk
imun bereaksi
Tipe I Kompleks obat-IgE berikatan Anafilaksis, Menit hingga
(IgE- pada selmast dengan pelepasan urtikaria, jam setelah
mediated) histamin, mediator inflamasi angioedema, paparan obat
bronkospasme
Tipe II Spesifik antibodi IgG atau IgM Anemia, sitopeni, Bervariasi
(sitotoksik) langsung pada sel-sel yang trombositopeni
terbungkus obat-hapten
Tipe III Deposisi jaringan dari Serum sickness, 1 – 3 minggu
(kompleks kompleks obat-antibodi dengan vaskulitis, demam, setelah
imun) aktivasi komplemen dan ruam, arthralgia1 paparan obat
inflamasi
Tipe IV Presentasi MHC dari molekul Sensitivitas kontak 2-7 hari
(delayed, obat terhadap sel T dengan Ruam pada kulit, setelah
cell sitokin dan pelepasan mediator kerusakan jaringan paparan obat
mediated) inflamasi; dapat berkaitan organ
dengan aktivasi dan pengerahan
eosinofil, monosit, dan
neutrophil

Klasifikasi Coombs dan Gell yang sudah direvisi. Elisitasi oleh obat dapat terjadi pada
semua tipe reaksi hipersensivitas

Konsep mekanisme alergi obat yang umum diterima saat ini adalah konsep
hapten, konsep pro-hapten dan konsep p-i.
1. Konsep hapten
Obat dengan molekul yang tidak cukup besar seperti penisilin, sulfonamide,
sefalosporin pelemas otot, tiopental, antituberkolosis, sisplatin dan kuinidin perlu
terlebih dahulu berikatan dengan protein pembawa agar dapat menginduksi respon
imun spesifik.
2. Konsep pro hapten
Ada sebagian obat yang bersifat tidak reaktif dan perlu mengalami konversi dahulu
melalui proses metabolik, baik dengan enzim ataupun non-enzim untuk menjadi
bentuk yang reaktif. Contoh konsep pro hapten yaitupada alergi obat
sulfametoksazole.
3. Konsep p-i
Sebagian obat dapat memiliki interaksi direksi farmakologik dengan reseptor sel T
atau molekul Major Histocompatibility Complex (MHC) dalam bentuk ikatan
reversibel selain ikatan kovalen, yang dapat mengaktifkan sel T.2,13,14
Reaksi obat sendiri dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko. Faktor risiko terebut
antara lain jenis obat, berat molekul obat, kimiawi obat, regimen pengobatan, faktor
pejamu, atopi, penyakit tertentu, gangguan metabolisme dan lingkungan. Obat seperti
β-laktam, sulfonamid, obat anti-inflamasi non-steroid, trimetoprim dan
sulfametoksazol sering menimbulkan reaksi berat. Obat dengan berat molekul tinggi
lebih sering menimbulkan reaksi imun, Regimen pemberian oral, intravena,
intramuskular, subkutan dan topikal secara berurutan menyebabkan induksi alergi
meningkat. Usia muda dan jenis kelamin wanita meningkatkan kecenderungan
terjadinya alergi obat.

Pendekatan Diagnosis
Langkah pertama pendekatan diagnosis EOA adalah mencurigai terdapat reaksi
hipersensivitas terhadap obat yang dikonsumsi pasien. Kecurigaan tersebut didukung
oleh bukti riwayat konsumsi obat pada saat anamnesis, manifestasi klinis dan morfologi
lesi pada kulit, serta pemeriksaan penunjang. Hal yang sering menjadi tantangan adalah
bila pasien mendapatkan medikasi dengan obat lebig dari satu jenis. Langkah yang
penting diperhatikan adalah sebagai berikut:
1. Kumpulkan data klinis secara sistematis dan teliti mengenai:
a. Riwayat alergi obat sebelumnya, berikut tanda dan gejala klinisnya.
b. Riwayat atopi pada pasien dan keluarga
c. Data medikasi pasien saat ini, baik oral, intravena, dan topikal. Jangan abaikan
penggunaan obatherbal dan suplemen. Buatlah peta kronologis sejak obat
dimulai dan dihentikan, serta peningkatan dosis
d. Riwayat pejanan obat yang dicurigai atau obat yangdapat bereaksi silang
e. Perhatikan kronologis reaksi obat: tanda dan gejala dan hasil laboratorium
2. Obat penyebab yang dicurigai menjadi lebih sempit dengan fokus terhadap:
a. Hubungan temporal antara awal dan akhir konsumsi obat dengan onset
timbulnya erupsi pada kulit
b. Lesi dominan tanda dan gejala klinis reaksi hipersensivitas.
3. Pertimbangkan farmakoepidemiologik obat yang digunkan. Urutkan berdasarkan
obat yang paling berpotensi menyebbkan alergi berdasarkan data pubikasi.
4. Hentikan dan/atau substitusi semua obat yang memiliki hubungan temporal yang
kuat. Observasi gejala setelah obat dihentikan.
5. Pertimbangkan uji kulit untuk menentukan obat penyebab, bila sudah memenuhi
syarat-syarat uji.
6. Jika uji kulit negatif, lakukan provokasi oral dengan dosisi yang dinaikan perlahan
(bila tidak ada kontraindikas).
Departemen Ilmu Kesehatab Kulit dan Kelamin RSCM/FKUI obat yang sering
menyebabkan reaksi alergik adalah golongan betalaktam, sulfonamid, rifampisin,
nevirapin, obat anti konvulsan, serta obat anti inflamasi non-steroid. Pada beberapa
kasus insulin juga dapat menjadi penyebab EOA.
Pada kasus yang meragukan dan belum bisa disingkirkan kemngkinan lain dapat
dilakukan pemeriksaan histopatologi untuk menegakkan diagnosis EOA.

Manifestasi Klinis
EOA dapat bermanifestasi klinis ringan dan berat hingga mengancam jiwa. Leis
dominan yan timbul merupakan petuntuk reaksi hipersensivitas yang mendasari.
1. Urtikaria dan Angiodema
 Definisi: urtikaria adalah reaksi vaskular pada dermis bagian atas, biasanya
sementara, berbentuk bentol (urtika). Angiodema adalah edema yang
melibatkan lapisan lebih dalam karena terjadinya peningkatan permeabilitas
kapiler akibat mediator inflamasi.
 Gejala klinis: gatal dan panas pada tempat lesi, biasanya timbul mendadak dan
hilang perlahan-lahan dalam 24 jam, demam, dan gejala-gejala umum,
misalnya malese, nyeri kepala dan vertigo
 Lokasi: di daerah bibir, kelopak mata, genitalia eksterna, tangan dan kaki.
 Etiologi: penisilin, asam asetilsalisilat, dan obat anti inflamasi non steroid
(NSAID).
 Efek samping: Kasus-kasus angioedema pada lidah dan laring harus mendapat
pertolongan segera.
2. Erupsi Makulopapular
 Definisi: Erupsi makulapapular atau morbiliformis disebut juga erupsi
eksantematosa dapat diinduksi oleh hampir semua obat.
 Gejala klinis: erupsi generalisata dan simetris yang terdiri atas eritema dan
gejala pruritus. Kadang-kadang ada demam, malaise, dan nyeri sendi. Lesi
biasanya timbul dalam 1-2 minggu setelah dimulainya terapi
 Lokasi: lesi eritematosa dimulai dari batang tubuh kemudian menyebar ke
perifer secara simetris dan generalisata.
 Etiologi: ampisilin, obat anti inflamasi non steroid (NSAID), sulfonamid,
fenitoin dan karbamazepin.
 Efek samping: erupsi makulopapular akan hilang dengan cara deskuamasi, dan
terkadang menimbulkan bekas hiperpigmentasi.
3. Fixed Drug Eruption (FDE)
 Definisi: fixed drug eruption merupakan salah satu erupsi kulit yang sering
dijumpai.
 Gejala klinis: eritema dan vesikel berbentuk bulat atau lonjong dan biasanya
nummular.
 Lokasi: di sekitar mulut, di daerah bibir dan daerah penis pada laki-laki
sehingga sering disangka penyakit kelamin
 Etiologi: tetrasiklin, naproxen, dan metamizol
 Efek samping: meninggalkan bercak hiperpigmentasi yang lama, baru hilang,
bahkan sering menetap.
4. Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut
 Definisi: penyakit pustulosis eksantematosa generalisata akut jarang terdapat,
diduga dapat disebabkan oleh alergi obat, infeksi akut oleh enterovirus,
hipersensitivitas terhadap merkuri dan dermatitis kontak
 Gejala klinis: pustul-pustul miliar nonfolikular yang timbul pada kulit yang
eritematosa dapat disertai purpura dan lesi menyerupai lesi target dan cepat
menghilang sebelum 7 hari yang kemudian diikuti deskuamasi selama
beberapa hari.
 Lokasi: predileksi utama di wajah dan lipatan tubuh.
 Etiologi: prestimisin, NSAID, dan semua antiepilepsi kecuali valproic acid.
 Efek samping: diawali dengan demam, mual dan malaise.
5. Eritroderma
 Definisi: eritroderma adalah terdapatnya eritema universal yang biasanya
disertai skuama. Eritroderma dapat disebabkan oleh bermacam-macam
penyakit lain di samping alergi karena obat, misalnya psoriasis, penyakit
sistemik temasuk keganasan pada sistem limforetikular (penyakit Hodgkin,
leukemia).
 Gejala klinis: terlihat eritema tanpa skuama; skuama baru timbul pada stadium
penyembuhan.
 Lokasi: lebih dari 90 % area tubuh.
 Etiologi: asetaminofen dan minosiklin.
 Efek samping: sering terjadi ketidak seimbangan elektrolit, gangguan
termoregulasi, serta kehilangan albumin, sehingga merupakan indikasi pasien
untuk dirawat.
6. Sindrom Hipersensivitas Obat
 Definisi: Sindrom hipersensivitas obat (SHO) merupakan bentuk EOA tipe
berat yang dapat mengancam jiwa, karena keterlibatan multiorgan. Dahulu
SHO dikenal dengan drug reaction with eosinophilia and systemic symptoms
(DRESS).
 Gejala klinis: Lesi kulit biasanya timbul 3 minggu setelah konsumsi obat,
dengan lesi makolapapular paling sering ditemukan. Dapat juga ditemukan lesi
pustular atau epidermolisis. Beberapa gambaran unik pada SHO adalah awitan
yang lambat, gambaran klinis yang tetap timbul walaupun walaupun obat
sudah dihentikan
 Lokasi: wajah biasanya mengalami edema dan distribusi lesis makulopapular
tersebat simetris hampir di seluruh tubuh, tetapi jarang pada telapak tangan
dan kaki.
 Etiologi: Seringkali diawali oleh infeksi saluran pernapasan atas dan
dihubungkan dengan infeksi HHV-6, HHV-7, Epstein Barr virus, dan
Cytomegalovirus.
 Efek samping: demam diatas 38°C, lesi pada kulit, limfadenopati, gangguan
fungsi hati dan/atau fungsi ginjal, leukositosis dan eosinophilia.
Tatalaksana
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera menghentikan obat
penyebab dan yang bereaksi silang. Terapi suportif yang diberikan adalah:
1. Terapi Sistemik
a. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid hingga saat ini masih kontroversi, tetapi pengalaman
di Departemen Ilmu Kulit dan Kelamain FKUI/RSCM untuk kasus EOA berat
memberikan respons sangat baik dan angka mortalitas menuru. Pada EOA
ringan, kortikosteroid diberikan 0,5 mg/kgBB/haRi, sedangakan pada EOA
berat 1 – 4 mg.kgBB/hari. Selama pemberian kortikosteroid waspadai efek
samping yang terjadi misalnya perdarahan intestinal, risiko sepsis, dan
pemimgkatan gula darah.
b. Antihistamin
Antihistamin terutama diberikan untuk EOA tipe urtikaria dan angiodema.
Dapat diberikan sebagai terapi simtomatis pada EOA tipe lain yang disertai
rasa gatal yang berat, misalnya eritroderma atau eksantematosa.
2. Terapi Topikal
Pemberian terapi topikal tidak spesifik, bergantung pada kondisi dan luas lesi kulit
sesuai dengan prinsit dermatoterapi. Misalnya, pada erosi akibat epidermolisis
pada SSJ/NET dapat diberikan bahan keratoplasti asam salisat 1 – 2 %.
3. Terapi sistemik lain yang pernah digunakan adalah penggunaan siklosporin,
plasmaferesis, dan imunoglobulin intravena (IV Ig).

Prognosis
Prognosis EOA tipe ringan baik bila obat dapat diidentifikasi dan segera
dihentikan. Pada EOA tipe berat, misalnya eritroderma dan nekrolisis epidermal toksis
prognosisnya dapat menjadi buruk, disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya
sepsis.
Urtikasia dan Erpsi Fixed Drug Pustulosis Eritroderma Sindrom
Angiodema Makulopapular Eruption (FDE) Eksantematosa Hipersensivitas Obat
Generalisata Akut
Definisi Urtikaria: reaksi Definisi: Erupsi Merupakan salah Penyakit pustulosis Eeritroderma adalah Sindrom
vaskular pada dermis makulapapular atau satu erupsi kulit eksantematosa terdapatnya eritema hipersensivitas obat
bagian atas, biasanya morbiliformis yang sering generalisata akut universal yang (SHO) merupakan
sementara, berbentuk disebut juga erupsi dijumpai. jarang terdapat, diduga biasanya disertai bentuk EOA tipe berat
bentol (urtika). eksantematosa dapat disebabkan oleh skuama. Eritroderma yang dapat mengancam
Angiodema: edema yang dapat diinduksi alergi obat, infeksi akut dapat disebabkan jiwa, karena
melibatkan lapisan lebih oleh hampir semua oleh enterovirus, oleh bermacam- keterlibatan
dalam karena terjadinya obat. hipersensitivitas macam penyakit lain multiorgan. Dahulu
peningkatan terhadap merkuri dan di samping alergi SHO dikenal dengan
permeabilitas kapiler dermatitis kontak karena obat. drug reaction with
akibat mediator eosinophilia and
inflamasi. systemic symptoms
(DRESS).
Gejala  Gatal dan panas pada  Eerupsi  Eritema dan  Pustul-pustul miliar  Terlihat eritema  Lesi kulit biasanya
Klinis tempat lesi, biasanya generalisata dan vesikel nonfolikular yang tanpa skuama; timbul 3 minggu
timbul mendadak dan simetris yang berbentuk bulat timbul pada kulit skuama baru setelah konsumsi
hilang perlahan-lahan terdiri atas atau lonjong dan yang eritematosa. timbul pada obat, dengan lesi
dalam 24 jam eritema dan gejala biasanya  Dapat disertai stadium makolapapular
 Demam, malese, nyeri pruritus. nummular purpura dan lesi penyembuhan. paling sering
kepala, danertigo  Kadang ada menyerupai lesi ditemukan.
demam, malaise, target dan cepat  Dapat juga
dan nyeri sendi. menghilang sebelum ditemukan lesi
 Lesi biasanya 7 hari yang pustular atau
timbul dalam 1-2 kemudian diikuti epidermolisis.
minggu setelah deskuamasi selama  Beberapa gambaran
dimulainya terapi beberapa hari. unik pada SHO
adalah awitan yang
lambat, gambaran
klinis yang tetap
timbul walaupun
walaupun obat sudah
dihentikan
Lokasi Di daerah bibir, kelopak Lesi eritematosa Di sekitar mulut, di Predileksi utama di Lebih dari 90 % area Wajah biasanya
mata, genitalia eksterna, dimulai dari batang daerah bibir dan wajah dan lipatan tubuh. mengalami edema dan
tangan dan kaki. tubuh kemudian daerah penis pada tubuh. distribusi lesis
menyebar ke laki-laki sehingga makulopapular tersebat
perifer secara sering disangka simetris hampir di
simetris dan penyakit kelamin seluruh tubuh, tetapi
generalisata. jarang pada telapak
tangan dan kaki.
Etiologi Penisilin, asam Ampisilin, obat anti Tetrasiklin, Prestimisin, NSAID, Asetaminofen dan Seringkali diawali oleh
asetilsalisilat, dan obat inflamasi non naproxen, dan dan semua antiepilepsi minosiklin. infeksi saluran
anti inflamasi non steroid steroid (NSAID), metamizol kecuali valproic acid. pernapasan atas dan
(NSAID). sulfonamid, dihubungkan dengan
fenitoin dan infeksi HHV-6, HHV-
karbamazepin. 7, Epstein Barr virus,
dan Cytomegalovirus.
Efek Kasus-kasus Erupi Meninggalkan diawali dengan Sering terjadi ketidak Demam diatas 38°C,
Samping angioedema pada lidah makulopapular bercak demam, mual dan seimbangan lesi pada kulit,
dan laring harus akan hilang dengan hiperpigmentasi malaise. elektrolit, gangguan limfadenopati,
mendapat pertolongan cara deskuamasi, yang lama, baru termoregulasi, serta gangguan fungsi hati
segera. dan terkadang hilang, bahkan kehilangan albumin, dan/atau fungsi ginjal,
menimbulkan sering menetap sehingga merupakan leukositosis dan
bekas indikasi pasien untuk eosinophilia.
hiperpigmentasi. dirawat.
Tatalaksana Langkah pertama yang harus dilakukan adalah segera menghentikan obat penyebab dan yang bereaksi silang. Terapi suportif yang diberikan adalah:
1. Terapi Sistemik
a. Kortikosteroid
Pada EOA ringan, kortikosteroid diberikan 0,5 mg/kgBB/hati, sedangakan pada EOA berat 1 – 4 mg.kgBB/hari. Waspadai efek samping
yang terjadi misalnya perdarahan intestinal, risiko sepsis, dan pemimgkatan gula darah.
c. Antihistamin
Antihistamin terutama diberikan untuk EOA tipe urtikaria dan angiodema. Dapat diberikan sebagai terapi simtomatis pada EOA tipe lain
yang disertai rasa gatal yang berat, misalnya eritroderma atau eksantematosa.
b. Terapi Topikal
Tidak spesifik, bergantung pada kondisi dan luas lesi kulit sesuai dengan prinsit dermatoterapi. Misalnya, pada erosi akibat epidermolisis pada
SSJ/NET dapat diberikan bahan keratoplasti asam salisat 1 – 2 %.
c. Terapi sistemik lain yang pernah digunakan adalah penggunaan siklosporin, plasmaferesis, dan imunoglobulin intravena (IV Ig).
Prognosis EOA tipe ringan baik → bila obat dapat diidentifikasi dan segera dihentikan.
EOA tipe berat, dapat menjadi buruk → disebabkan komplikasi yang terjadi misalnya sepsis.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dimanti, dkk. Kamus Kedokteran Dorlan Edisi 31. EGC. Jakarta. 2012.

2. Kalangi, S, J, R. Histofisiologi Kulit. Jurnal Biomedik Volume 5 Nomor 3. Fakultas


Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Manado. 2013. 512 – 520.

3. Menaldi, S, L, S, W. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7. Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia. Jakarta. 2019.

4. Pandaleke, T, A., Pandeleke, H, E, J. Pustulosis Eksantematosa Generalisata Akut.


Jurnal Biomedik Volume 9 Nomor 3. Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi.
Manado. 2017. 137 – 143.

5. Pandapotan, R, A., Rengganis, I. Pendekatan Diagnosis dan Tata Laksana Alergi Obat.
Jurnal Penyakit Dalam Indonesia Volume 3, Nomor 1. 2016. 45 – 52.

Anda mungkin juga menyukai