Anda di halaman 1dari 6

KLIPING

KEKALAHAN JEPANG PADA MASA PERNAGD DUNIA KE I

DISUSUN OLEH :
1. Ma’ rifatul Hasanah ( 23 )
2. Najwa Arihah ( 27 )
3. Putri Nadiyatus Sholikhah ( 31 )
4. Riska Helmalia Putri ( 32 )
Kelas : XI – IPS 3

MADRASAH ALIYAH NEGERI 02 TAYU


TAHUN PELAJARAN
2021 / 2022
KEKALAHAN JEPANG DI PERANG ASIA TIMUR RAYA

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 terwujud salah satunya berkat
kekalahan Jepang di Perang Dunia II. Di Perang Dunia II, Jepang terlibat dalam perang di
Asia Pasifik. Perang itu kerap disebut sebagai Perang Asia Timur Raya. Jepang, bersama
Jerman dan Italia tergabung dalam Blok Poros (Axis). Mereka melawan Blok Sekutu yang
terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, dan China. Di awal perang, Jepang unggul
setelah mengambil alih Asia Tenggara dari koloni Eropa. Baca juga: Perang Asia Timur
Raya: Latar Belakang dan Posisi Jepang Negara-negara di Asia Tenggara saat itu dikoloni
oleh bangsa Eropa. Inggris menguasai Birma (Myanmar), Malaya (Malaysia), dan Borneo
(Kalimantan). Perancis menguasai Indochina (Kamboja, Laos, dan Vietnam). Spanyol
menguasai Filipina (Spanish East Indies). Sementara Indonesia dikuasai Belanda (Hindia
Belanda). Angkatan Udara Kerajaan Jepang membombardir Pearl Harbour, yang memicu
perang di Pasifik pada Desember 1941. Banyak siswa Jepang dibuat tidak tahu apa-apa
tentang kejahatan perang Jepang dalam Perang Dunia II. Lihat Foto Angkatan Udara
Kerajaan Jepang membombardir Pearl Harbour, yang memicu perang di Pasifik pada
Desember 1941. Banyak siswa Jepang dibuat tidak tahu apa-apa tentang kejahatan perang
Jepang dalam Perang Dunia II.(KARTONO RYADI) Lalu pada 8 Desember 1941, Jepang
mengebom Pearl Harbour, pangkalan militer AS di Hawai, Samudra Pasifik. Kemenangan
Jepang di Pearl Harbour mendorong Jepang melebarkan sayapnya ke Asia Tenggara. Baca
juga: Kedatangan Jepang di Indonesia, Mengapa Disambut Gembira? Dari 1942 sampai
1945, Jepang menguasai Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara
KEKALAHAN JEPANG DALAM PERANG PASIFIK DAN KEMERDEKAAN
INDONESIA

Maret 1945, kekalahan Jepang dalam Perang Pasifik sudah di depan mata. Baca juga: Latar
Belakang Jepang Membentuk BPUPKI Letjen Kumakici Harada memutuskan untuk
membentuk Badan Penyelidik Usaha Usaha Persiapan Kemerekaan Indonesia (BPUPKI).
BPUPKI mempunyai 60 anggota dari tokoh nasional Indonesia dan 7 perwakilan Jepang.
BPUPKI diketuai oleh Dr. Radjiwan Widyodiningrat dan Raden Panji Soeroso sebagai wakil
ketua. BPUPKI dibentuk dengan tujuan untuk menyelidiki dan mengumpulkan bahan-bahan
penting dalam bidang konstitusi, ekonomi dan politik untuk kepentingan kemerdekaan
Indonesia. Untuk mencapai tujuannya, BPUPKI melaksanakan 2 kali sidang pada tanggal 29
Mei – 1 Juni 1945 dan 10-16 Juli 1945. Setelah berhasil menjalankan tugas-tugasnya,
BPUPKI dibubarkan pada 7 Agustus 1945 dan tugasnya dilanjutkan oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI memiliki 21 anggota yang merupakan perwakilan dari
Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, etnis Tionghoa dan pihak
Jepang. PPKI mengemban tugas BPUPKI untuk melanjutkan persiapan kemerdekaan
Indonesia.
CARA JEPANG SEMBUNYIKAN KEKALAHAN PERANG DI DEPAN RAKYAT
INDONESIA

Soal kekalahannya, Jepang tidak menyiarkan apapun kepada rakyat Indonesia. Ini tidak sulit,
karena semua pers, entah cetak dan radionya, berada dalam kendali petinggi militer Jepang.
Pantang bagi fasis untuk terlihat lemah. Apalagi lemah di mata rakyat Indonesia yang telah
dirampas padinya, diperkosa perempuannya, dan dianiaya kiainya. Menipu sudah pasti jurus
andalan militer fasis.

Buku Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (1977) menyebut sedari beberapa
bulan sebelum penyerahan Jepang kepada Sekutu, tentara Jepang telah menyita radio-radio
agar penduduk tidak dapat mengetahui tentang berita-berita kekalahan Jepang dan
perkembangan kemajuan Sekutu di Front Pasifik (hlm. 176).

Di bulan Agustus, setelah banyak kota di luar Jawa diduduki Sekutu, orang-orang Jepang
tentu jadi tidak nyaman di Indonesia. Mereka tidak mau bicara soal Perang Pasifik. “Berita
tentang kekalahan Jepang hanya dapat diduga dari tindak tanduk dan gelagat orang-orang
Jepang sendiri,” tulis Laurens Manus dalam Sejarah Revolusi Kemerdekaan, 1945-1949
daerah Sulawesi Utara (1995: 53).
Kegarangan orang Jepang kepada rakyat Indonesia agak menurun di tahun terakhir Perang
Pasifik.
Jepang Rebut Singapura, Inggris Alami Kekalahan Memalukan

INGGRIS mengalami kekalahan paling memalukan sepanjang sejarah partisipasinya dalam


perang. Benteng pertahanan mereka di Singapura jatuh ke tangan pasukan Kekaisaran Jepang
setelah melalui pertempuran selama satu pekan pada 15 Februari 1942. Lebih dari 60 ribu
tentara gabungan Inggris, Australia, dan India, ditangkap serta dijadikan tawanan perang oleh
Jepang. Mereka bergabung dengan 70 ribu pasukan Sekutu lainnya yang ditangkap selama
upaya Negeri Matahari Terbit merampas Semenanjung Malaya (Malaysia).

Usai mengebom Pealr Harbour di Hawaii pada 8 Desember 1941, pasukan Jepang bergerak
ke Semenanjung Malaya yang dikuasai Inggris. Mereka merangsek masuk lewat Thailand
dan tiba di utara Malaya (sekarang Malaysia).

Melansir dari History, Kamis (15/2/2018), pasukan Jepang maju dengan sangat cepat hingga
ke benteng pertahanan Inggris. Mereka berhasil mengambil alih pangkalan-pangkalan udara
Inggris di Malaysia. Jenderal Inggris, Arthur Ernest Percival, kesulitan untuk meninggalkan
wilayah Malaysia.

Pasukan Jepang saat itu memilih taktik gerilya lewat hutan-hutan rimbun di Malaysia hingga
posisi Arthur Percival makin terdesak. Pasukan Sekutu tidak memiliki banyak pilihan selain
menunda kemajuan pasukan Jepang dan mundur jauh ke selatan.

Jenderal Jepang, Tomoyuki Yamashita, memerintahkan pasukannya untuk terus merangsek


ke selatan. Pada 31 Januari 1942, Pasukan Sekutu terpaksa mundur menyeberangi jembatan
di Selat Johor ke pangkalan laut Inggris di Singapura. Jembatan tersebut berhasil dibom,
tetapi hanya hancur sedikit.

Pada 5 Februari 1942, Yamashita membawa persenjataan lengkap dan menyerbut


Semenanjung Malaya serta mulai membombardir Singapura. Tiga hari kemudian, ribuan
pasukan Jepang berhasil masuk lewat perairan kecil dan mendirikan jembatan-jembatan. Para
teknisi Jepang dengan cepat memperbaiki jembatan utama sehingga seluruh persenjataan
mereka bisa dibawa menyeberang ke Singapura

Jepang pun berhasil masuk ke jantung Inggris di Singapore City dan memecah belah pasukan
Sekutu ke beberapa kelompok. Pada 15 Februari 1942, Jenderal Arthur Ernest Percival
menyerah kepada Jepang karena sudah kehabisan bahan makanan serta amunisi.

Kehilangan Singapura berarti Inggris melepaskan kendali atas jalur perairan strategis dan
membuka Samudera Hindia terhadap invasi Jepang. Perdana Menteri Winston Churchill
menyebut kekalahan itu sebagai bencana paling buruk dalam sejarah Inggris.
KELALAHAN JERMAN

Pada 11 November 1918, tepat pukul 11:00 pagi, di sepanjang Front Barat di Prancis, ledakan
artileri yang tak henti-hentinya tiba-tiba senyap. Petugas medis Amerika, Stanhope Bayne-
Jones, tiba-tiba bisa mendengar air menetes di sebelahnya. “Rasanya misterius, aneh, tidak
bisa dipercaya,” kenangnya kemudian, menurut sebuah akun di situs web Perpustakaan
Nasional Kedokteran Amerika Serikat (AS).

“Semua orang tahu apa arti keheningan, tetapi tidak ada yang berteriak atau melemparkan
topinya ke udara.” Dibutuhkan waktu berjam-jam bagi kenyataan untuk
memahaminya. Perang Dunia I—konflik paling berdarah sejauh ini dalam sejarah manusia,
dengan lebih dari 8,5 juta korban militer—akhirnya berakhir.
Perang berakhir dengan gencatan senjata, kesepakatan di mana kedua belah pihak setuju
untuk menghentikan pertempuran, alih-alih menyerah. Pada November 1918, baik Blok
Sekutu dan Blok Sentral yang saling menyerang selama empat tahun, cukup banyak
kehabisan pasokan. Serangan Jerman tahun itu telah dipatahkan dengan banyak korban, dan
di akhir musim panas dan musim gugur, pasukan Inggris, Prancis, dan AS memaksa mereka
dengan mantap untuk mundur.

Dengan Amerika Serikat mampu mengirim lebih banyak pasukan baru ke dalam
pertempuran, Jerman kalah. Ketika sekutu Jerman juga terkalahkan, hasil perang tampak
jelas.

Meski begitu, kedua pihak menyambut pembantaian yang akhirnya berhenti. “Invasi Jerman
akan membutuhkan terlalu banyak dalam hal moral, logistik, dan sumber daya,” jelas Guy
Cuthbertson dari Liverpool Hope University dan penulis Peace at Last: A Portrait of
Armistice Day, 11 November 1918.
Di luar itu, “di mana akhir perang tersebut? Berlin jauh dari Prancis.” Sebaliknya,”Ada
kebutuhan untuk mengakhiri perang secepat mungkin selama Sekutu bisa mencapai
kedamaian dengan kemenangan.”
Situasi politik dan militer Jerman cukup lemah sehingga Jerman takut ditaklukkan, kata
Cuthbertson. “Jerman menderita kelaparan,” katanya, dengan situasi semakin buruk “dari jam
ke jam.”

Anda mungkin juga menyukai