Universitas Indonesia
GANGGUAN
KESEIMBANGAN
AIR-ELEKTROLIT
DAN
ASAM-BASA
Fisiologi, Patofisiologi, Diagnosis
dan
Tatalaksana
EDISI KE-3
Diterbitkan oleh :
Badan Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Anggota IKAPI,Jakarta
ISBN 978-979-15983-9-2
ii
DAFTAR ISI
Halaman
iii
2.3.2. pH ..................................................................... 69
2.3.3. Keseimbangan Asam Basa................................. 70
2.3.4. Pengaturan Keseimbangan Asam Basa............. 71
Bab 3. Patofosiologi ............................................................................ 86
1. Gangguan Keseimbangan Air dan Elektrolit ........................ 86
1.1. Gangguan Keseimbangan Air dan Natrium ................. 86
1.1.1. Gangguan Volume ........................................... 87
1.1.2. Gangguan Keseimbangan Natrium ................... 90
. 1.1.3. Gangguan Keseimbangan Kalium ................... 94
2. Gangguan Keseimbangan Asam Basa ............................... 100
2.1. Aspek Klinik dan Klasifikasi ........................................ 100
2.2. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Respiratorik..... 100
2.2.1. Asidosis respiratorik ........................................... 100
2.2.2. Alkalosis respiratorik .......................................... 104
2.3. Gangguan Keseimbangan Asam Basa Metabolik......... 106
2.3.1. Asidosis metabolik.............................................. 106
2.3.2. Alkalosis metabolik............................................. 110
iv
2.2.2. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Asam-
Basa Metabolik ................................................ 139
2.2.3. Tatalaksana Nutrisi pada Gangguan
Keseimbangan Asam-Basa ............................. 143
v
DAFTAR TIM EDITOR
Edisi Ketiga
vi
DAFTAR TIM EDITOR
Edisi Kedua
vii
DAFTAR KONTRIBUTOR
viii
Kata Pengantar Edisi Ketiga
.
Akhir kata, semoga buku ini bermanfaat.
Tim Editor
ix
Daftar glossary definisional
x
dehidrasi Kehilangan cairan ekstrasel
difusi Pergerakan spesies molekul melalui suatu sistim, ke
arah suatu down grading, hingga dicapai keseimbangan
elektrolit Substansi yang mengalami disosiasi (ionisasi) di
air dan menyebabkan larutan tersebut memiliki
konduktivitas terhadap listrik
ekilibrium Keadaan dimana setiap zat yang bereaksi berada
dalam nilai konstan (reaksi ke kanan dan ke kiri
memiliki kecepatan yang sama)
hipertonik Terminologi yang digunakan untuk menjelaskan
konsentrasi di atas konsentrasi cairan tubuh normal
hipotonik Terminologi yang digunakan untuk menjelaskan
konsentrasi di bawah konsentrasi cairan tubuh normal
insensible water Pengeluaran cair secara obligat melalui kulit dan
loss paru, yang ditimbulkan oleh heat expenditure
ion Muatan partikel dari suatu molekul dalam larutan
kation Partikel bermuatan positif dari suatu molekul
klirens ginjal Jumlah plasma yang mengalami kliring di ginjal per
satuan waktu, dalam milimeter per menit. Klirens
kreatinin dan inulin mendekati filtrasi glomerulus.
UV
Klirens = mL/menit
P
U : konsentrasi zat dalam urin
P : konsentrasi zat dalam plasma
V : volume urin per satuan menit
membran Membran yang dapat dilalui oleh beberapa jenis
semipermeabel partikel (ion, molekul), tetapi tidak dapat dilalui oleh
larutan lain yang terpisah oleh membran
mili ekivalen (mEq) Unit konsentrasi, setara dengan seperseribu ekivalen,
biasanya dinyataklan sebagai miligram berat atom
miliosmol (mOsm) Unit konsentrasi partikel dalam larutan, tidak
tergantung ukuran dari pertikel
molal Satu gram mole suatu zat per kilogram pelarut (air)
molar Satu gram mole suatu zat per liter larutan
onkotik Terminologi yang digunakan untuk menjelaskan
tekanan osmotik koloid
osmolalitas, Jumlah osmol (miliosmol) per liter larutan, diukur
miliosmolalitas menggunakan osmometer berdasarkan titik beku
atau tekanan uap. Ukuran ini, bukan osmolaritas,
merupakan konsentrasi kimiawi.
xi
osmolaritas, Jumlah osmol (miliosmol) per liter larutan. Tidak
miliosmolaritas diukur menggunakan instrumen. Konsentrasi ini
dapat diketahui secara akurat dengan menghitung
jumlah zat terlarut, atau dengan melakukan
perhitungan dari osmolalitas.
osmosis Pergerakan suatu pelarut melalui membran sel
dalam upaya memelihara keseimbangan konsentrasi
pelarut di kedua sisi (dalam dan luar membran)
tekanan osmotik Diukur secara matematik :
xii
BAB 1
Pengertian Dasar
1
Bahasa Yunani, ‘homeo’ artinya sama, ‘stasis’ artinya berdiri atau berada
1
Terdapat dua bentuk energi, yaitu energi potensial dan energi
kinetik. Energi potensial adalah energi tersimpan di dalam suatu obyek
(baik posisi maupun struktur) yang diperlukan untuk melakukan aktivitas.
Energi kinetik merupakan bentuk energi bergerak yang diperlukan untuk
kelangsungan aktivitas.
Energi tidak dapat habis, namun mengalami perubahan menjadi
bentuk lain. Sebelum melakukan aktivitas, energi potensial diubah
menjadi suatu bentuk energi kinetik. Namun, perubahan bentuk energi
tersebut tidak pernah mencapai efisiensi seratus persen karena sebagian
energi diubah menjadi panas. Saat istirahat otot rangka memiliki energi
potensial dan ketika otot tersebut berkontraksi, energi potensial diubah
menjadi energi kinetik dan panas. Jumlah panas yang dihasilkan
berbanding secara proporsional dengan aktivitas yang dilakukan.
Reaksi yang melepaskan energi disebut sebagai reaksi yang
bersifat eksergonik; sebaliknya reaksi yang menyerap energi disebut
sebagai reaksi yang bersifat endergonik.
2. Tingkat Energi
Pada sebuah atom, elektron beredar mengelilingi nukleus di
berbagai orbit (circular electron shell). Jumlah elektron maksimal pada
setiap orbit sesuai dengan rumus n2n (dimana, n adalah jumlah orbit).
- Orbit pertama maksimal memuat 1 x 21 = 2 elektron, orbit kedua 2 x
22 = 8 elektron, demikian seterusnya.
- Orbit pertama harus sudah terisi penuh sebelum elektron mengisi
orbit kedua. Orbit kedua harus sudah terisi penuh sebelum elektron
mengisi orbit ketiga, demikian seterusnya.
Jumlah elektron pada orbit terluar menentukan sifat kimia setiap
atom. Atom yang orbit terluarnya sudah penuh terisi elektron merupakan
atom yang stabil dan tidak bereaksi dengan atom lain. Sedangkan
atom yang orbit terluarnya belum penuh terisi elektron merupakan
atom yang tidak stabil (disebut juga atom reaktif) dan dapat bereaksi
dengan atom lain untuk mencapai bentuk stabil. Hal ini dicapai dengan
cara memberi, menerima atau berbagi (sharing) elektron pada orbit
terluar. Sebuah atom atau molekul yang mengandung elektron yang
tidak berpasangan di orbit terluarnya disebut radikal bebas. Radikal
bebas bersifat sangat reaktif.
2
Gambar 1. Atom dengan tingkat energi yang presentasikan
3. Ikatan Kimia
Ikatan kimia (chemical bond) terbentuk karena adanya
kecende¬rungan suatu atom memiliki konfigurasi gas mulia (teori
oktet). Interaksi antar atom dengan elektron–elektron tersebut akan
menyebabkan terbentuknya suatu ikatan kimia yang dapat mengikat
beberapa atom sekaligus.
Ada beberapa jenis ikatan kimia antar atom dan antar molekul
yang penting; yaitu ikatan kovalen (covalent bond), ikatan hidrogen
(hydrogen bond), dan ikatan ion (ionic bond).
2
Teori oktet adalah teori yang menyatakan bahwa atom dengan delapan elektron pada orbit terluar
merupakan bentuk yang paling stabil
3
3.1. Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen merupakan ikatan yang terbentuk oleh pemakaian
bersama pasangan elektron dari atom–atom yang bergabung dalam
usahanya untuk memenuhi teori oktet.
Gambar 2. Ikatan kovalen. (a) Pada molekul hidrogen, dua atom hidrogen berbagi
elektron yang menempati orbit terluar kedua atom; proses share ini membentuk ikatan
kovalen tunggal. (b) Pada molekul oksigen, dua pasang atom oksigen berbagi dua
pasang elektron; membentuk ikatan kovalen ganda. (c) Pada molekul karbondioksida,
atom karbon sentral membentuk ikatan kovalen ganda dengan dua atom oksigen. (d)
Atom oksida nitrit diikat oleh ikatan kovalen ganda, namun lingkar orbit terluar pada
atom nitrogen memerlukan atom tambahan. Dengan demikian, oksida nitrit merupakan
suatu radikal bebas yang siap bereaksi dengan atom atau molekul lainnya.
4
- Ikatan Kovalen Tunggal
Ikatan kovalen tunggal adalah ikatan yang terbentuk oleh dua buah
atom yang masing–masing memiliki kelebihan atau kekurangan
satu elektron pada orbit terluarnya. Sebagai contoh, sebuah atom
hidrogen memiliki satu elektron pada orbitnya dan siap bereaksi
dengan atom hidrogen lain atau dengan atom dari elemen lainnya.
Pada molekul hidrogen (H2), dua atom hidrogen berbagi elektron
yang mengisi lingkar luar orbit atom; membentuk ikatan kovalen
tunggal (gambar 2).
- Ikatan Kovalen Ganda
Ikatan kovalen ganda adalah ikatan yang terbentuk antara dua
pasang elektron. Sebagai contoh, oksigen dengan nomor atom
delapan memiliki dua elektron pada orbit pertama dan enam
elektron pada orbit kedua. Pada molekul oksigen, dua buah atom
oksigen akan saling berikatan dengan dua pasang elektron dan
membentuk ikatan kovalen ganda (gambar 2).
5
Gambar 3. Ikatan kovalen polar dan struktur air. (a) Pada molekul air,
atom oksigen membagi elektron dengan sepasang atom hidrogen.
Proses share disini bersifat tidak seimbang (unequal) karena atom
oksigen menarik elektron lebih kuat dibandingkan atom hidrogen. (b)
Karena atom oksigen memiliki dua elektron tambahan, ia cenderung
bermuatan negatif; sementara hidrogen bersifat positif. Ikatan bentuk ini
adalah suatu ikatan kovalen polar.
6
bermuatan positif (δ+) dari suatu senyawa kovalen polar dengan atom
lain yang bermuatan negatif (δ-) dari senyawa kovalen polar lain
Ikatan hidrogen terlalu lemah untuk membentuk suatu molekul,
namun dapat merubah bentuk dan menarik molekul secara bersamaan.
Contoh ikatan hidrogen adalah ikatan antara atom hidrogen yang
bermuatan positif (δ+) dari suatu molekul air dengan atom oksigen
yang bermuatan negatif (δ-) dari molekul air lainnya.
Ikatan hidrogen yang terbentuk merupakan interaksi elektrostatik
antara inti hidrogen dari satu molekul air dengan pasangan elektron yang
tidak terpakai dari atom oksigen pada molekul air lainnya (gambar 4).
Selain itu, ikatan hidrogen dapat juga terjadi antara molekul air
dengan atom lain yang bersifat elektronegatif (misalnya oksigen dan
nitrogen). Sebagai contoh, ikatan hidrogen yang terbentuk di antara
asam–asam amino yang terdapat pada struktur protein sekunder.
Bersama dengan ionisasi air, ikatan hidrogen sangat berperan pada
fungsi protein dan asam nukleat.
Struktur molekul air bersifat bipolar dengan kutub hidrogen
bermuatan relatif lebih positif dan kutub oksigen bermuatan relatif lebih
negatif. Keadaan ini membuat keduanya sangat mudah berinteraksi
melalui ikatan hidrogen yang lemah, namun secara keseluruhan
molekul air bermuatan netral (gambar 4).
Gambar 4. Atom hidrogen dari suatu molekul air memiliki muatan positif, dan atom
oksigen memiliki muatan negatif (lihat gambar 2). Ikatan antara atom hidrogen suatu
molekul air dengan atom oksigen dari molekul lain membentuk ikatan hidrogen.
7
Kutub positif molekul air menarik kutub negatif molekul air lainnya
sehingga terbentuklah ikatan hidrogen yang merupakan interaksi
elektrostatik antara inti hidrogen dari satu molekul air dengan pasangan
elektron yang tidak terpakai dari atom lainnya (empat molekul air
dapat membentuk satu kesatuan yang masing–masing dihubungkan
oleh ikatan hidrogen). Bersama dengan ionisasi air, ikatan hidrogen
sangat berperan pada fungsi protein dan asam nukleat.
Gambar 5. Ikatan ion. (a) Tahap pertama: atom natrium (Na+) melepaskan elektron,
diterima oleh atom klorida (Cl—). Tahap kedua: Karena atom natrium (Na+) dan klorida
(Cl—) memiliki muatan yang berlawanan, maka akan terjadi proses tarik–menarik di
antara keduanya. Tahap ketiga: Penggabungan atom natrium dan klorida membentuk
ikatan komponen natrium klorida. (b) Sejumlah besar natrium dan klorida membentuk
kristal natrium klorida (garam dapur).
8
Natrium klorida (NaCl) merupakan suatu contoh senyawa dengan
ikatan ion dalam bentuk kristal. Natrium memiliki nomor atom sebelas.
Pada keadaan normal terkandung sebelas proton dan sebelas
elektron. Dua elektron menempati orbit pertama, delapan elektron
menempati lingkar orbit kedua, dan satu elektron menempati orbit
ketiga atau terluar. Bila atom natrium melepaskan satu elektron, maka
ion natrium akan bermuatan +1. Atom klorida memiliki tujuh elektron
pada orbit terluarnya. Untuk memperoleh kestabilan, atom klorida
memerlukan satu elektron; dengan demikian ion klorida bermuatan
–1. Setelah berlangsung transfer elektron, natrium bermuatan positif
akan diikat oleh klorida bermuatan negatif dengan ikatan ion dari
komponen ion natrium–klorida. Kristal NaCl terbentuk karena adanya
ikatan ion antara ion Na+ dan ion Cl–. Bila kristal NaCl dilarutkan dalam
air, ikatan ion antara Na+ dan Cl− mengalami disosiasi atau ionisasi
(terjadi penguraian) sehingga terbentuk ion Na+ dan ion Cl− dalam
larutannya.
4. Lingkungan Hidrasi
Lingkungan hidrasi adalah molekul air yang terhimpun di sekitar
molekul. Molekul–molekul yang cepat berinteraksi dengan molekul
air disebut memiliki sifat hidrofilik (misal, glukosa). Molekul organik
mengandung ikatan kovalen polar yang menarik molekul air. Dengan
demikian, lingkungan hidrasi menyebabkan molekul ini akan berubah
menjadi suatu larutan.
Molekul yang tidak berinteraksi dengan air disebut sebagai
hidrofobik. Molekul hidrofobik memiliki ikatan polar kovalen sangat
sedikit, sehingga disebut sebagai molekul non–polar. Lemak misalnya,
terdiri dari molekul–molekul hidrofobik tidak larut, berbentuk butiran–
butiran yang terperangkap di sisi dalam sebuah sel yang berbasis
cairan. Saat molekul non–polar terpapar dengan air, lingkungan hidrasi
tidak terbentuk dan molekul tidak larut di dalamnya
9
suatu membran fosfolipid yang memisahkan atau membatasi sel
dengan lingkungannya. Di dalam sel terdapat membran interna yang
membagi sel dalam beberapa kompartemen.
Sel merupakan suatu struktur dinamik yang beradaptasi terhadap
lingkungannya. Hal ini dimungkinkan karena setiap sel memiliki organela
yang memberi respons terhadap stimulasi internal maupun eksternal.
Perubahan sel dapat terjadi karena adanya molekul organik antara lain
deoxyribonucleic acid (DNA); suatu komponen di dalam inti sel yang
berperan pada proses sintesis seluruh protein di tingkat sel.
Untuk berlangsungnya reaksi terhadap respons dibutuhkan waktu.
Waktu yang diperlukan antara berlangsungnya proses sintesis dan
degradasi disebut turnover rate. Sebagian besar molekul organik di
dalam sel memiliki turnover rate yang berkisar beberapa jam sampai
beberapa bulan. Proses perubahan molekul organik sel yang terjadi
secara berkesinambungan disebut metabolic turnover.
5.1.1. Air
Air merupakan komponen terpenting yang membentuk tubuh;
mencakup dua per tiga berat badan (BB). Perubahan kandungan air
dapat berakibat fatal karena memengaruhi faal sistemik. Air memiliki
keunikan, karena pada suatu reaksi akan terbentuk ikatan hidrogen
yang terjadi di antara molekul–molekul air.
10
terdiri dari proton, dalam hal ini ion hidrogen bertindak sebagai
proton; dan asam selanjutnya disebut sebagai donor proton.
Suatu asam kuat akan berdisosiasi atau terionisasi lengkap di
dalam suatu larutan. Secara mendasar, reaksi yang timbul terjadi
berlangsung satu arah. Asam lemah tidak mengalami disosiasi atau
tidak terionisasi lengkap; pada keseimbangan, sejumlah molekul
masih utuh di dalam larutan. Oleh karena itu, asam lemah kurang
berperan dibanding asam kuat dalam memengaruhi konsentrasi
ion hidrogen (pH). Asam karbonat adalah contoh asam lemah
di tubuh. Di dalam larutan, asam karbonat mengalami disosiasi
membentuk ion hidrogen dan ion bikarbonat secara reversibel.
- Basa
Basa adalah suatu zat yang dalam suatu larutan melepaskan ion
hidroksida yang akan mengikat ion hidrogen, sehingga basa bertindak
sebagai akseptor proton. Ion hidroksida memiliki afinitas kuat terhadap
ion hidrogen yang terdapat di dalam molekul air, sehingga basa akan
menghilangkan ion hidrogen dalam suatu larutann.
Suatu basa kuat akan mengalami disosiasi atau terionisasi lengkap
di dalam larutan; secara mendasar, reaksi terjadi berlangsung satu
arah. Basa lemah tidak mengalami disosiasi atau ionisasi lengkap,
pada keseimbangan, sejumlah molekul masih utuh di dalam larutan.
Oleh karena itu, basa lemah kurang berperan dalam memengaruhi
konsentrasi ion hidrogen (pH); dibandingkan dengan basa kuat.
- Garam
Garam adalah komponen ion (elektrolit) yang mengandung kation
selain hidrogen (H+) dan anion selain hidroksida (OH––). Karena
terikat oleh ikatan ion, maka garam mengalami disosiasi lengkap
di dalam air; melepaskan kation and anion.
11
- Elektrolit
Elektrolit adalah molekul anorganik terlarut yang berperan sebagai
ion dalam konduksi aliran listrik (baca lebih lanjut: kelarutan pada
halaman 23).
5.2.1. Karbohidrat
Karbohidrat adalah molekul organik yang mengandung karbon,
hidrogen dan oksigen dengan rasio 1 : 2 : 1. Karbohidrat merupakan
sumber energi yang penting; energi ini lebih cenderung mengalami proses
katabolisme dibandingkan disimpan. Karbohidrat merupakan sumber
energi terpenting dalam proses metabolisme (dengan cara melakukan
transfer komponen berenergi tinggi) untuk menunjang aktivitas vital dan
membentuk komponen khusus seperti proteoglikan dan glikolipid.
Terdapat tiga bentuk utama karbohidrat, yaitu monosakarida, disakarida
dan polisakarida.
12
5.2.1.1. Monosakarida
Monosakarida atau gula sederhana adalah suatu bentuk karbohidrat
yang mengandung 3 sampai 7 atom karbon. Suatu monosakarida dapat
disebut triosa, tetrosa, pentosa, heksosa atau heptosa (tergantung
jumlah atomnya). Glukosa (suatu heksosa) merupakan bahan bakar
terpenting dalam proses metabolisme di dalam tubuh.
5.2.1.3. Glikogen
Glikogen atau animal starch dibentuk oleh molekul glukosa yang
saling berhubungan. Sebagaimana kebanyakan polisakarida, glikogen
tidak larut dalam air atau cairan tubuh. Hepar dan jaringan otot
membuat dan menyimpan glikogen. Pada saat kebutuhan glukosa
meningkat, molekul glikogen dipecah, sebaliknya bila kebutuhan
berkurang, hepar dan jaringan otot menyerap glukosa dari darah dan
menyimpannya dalam bentuk glikogen.
5.2.2. Lipid
Lipid mengandung karbon, hidrogen dan oksigen. Rasio karbon ter
hadap hidrogen umumnya 1 : 2. Lipid lebih sedikit mengandung oksigen
dibanding karbohidrat. Rasio hidrogen terhadap oksigen sangat besar.
Lipid dapat mengandung sejumlah kecil fosfor, nitrogen atau sulfur.
Molekul lipid umumnya tidak larut di dalam air, termasuk fats, oils,
dan waxes; sehingga diperlukan mekanisme transportasi khusus untuk
membawa lipid di dalam sirkulasi darah. Lipid membentuk komponen
13
struktur penting dari seluruh sel dan deposit lipid berperan penting
sebagai cadangan energi.
Ada lima bentuk lipid yang penting yaitu: asam lemak (fatty acids),
eikosanoid, gliserida, steroid, fosfoslipid, dan glikolipid.
5.2.2.2. Gliserida
Asam lemak dapat menyatu dengan gliserol menghasilkan suatu
bentuk lipid yang dikenal dengan sebutan gliserida. Sintesis–dehidrasi
akan menghasilkan monogliserida, digliserida dan trigliserida. Proses
hidrolisis akan menguraikan gliserida menjadi asam lemak dan gliserol.
Monogliserida mengandung satu molekul asam lemak dengan
gliserol. Digliserida mengandung dua molekul asam lemak dengan
gliserol. Trigliserida (asam netral) mengandung tiga molekul asam lemak
dengan gliserol. Trigliserida sebagai lipid netral berperan penting sebagai
sumber energi insulasi dan proteksi. Trigliserida disimpan dalam bentuk
granul lipid di dalam sel. Lipid ini berfungsi dalam absorpsi dan akumulasi
vitamin yang larut dalam lemak, berbagai jenis obat dan toksin.
5.2.2.3. Eikosanoid
Eikosanoid adalah suatu derivat lipid yang berasal dari asam–
asam tak jenuh jamak, antara lain asam arakidonat. Terdapat dua
jenis eikosanoid, yaitu leukotrien dan prostaglandin.
14
- Leukotrien
Leukotrien terutama diproduksi oleh sel–sel yang terlibat dalam
respons tubuh pada suatu trauma atau penyakit.
- Prostaglandin
Prostaglandin merupakan suatu bentuk asam lemak rantai pendek
dalam cincin yang mengandung lima atom karbon. Prostaglandin
adalah suatu messenger kimia yang berfungsi melakukan
koordinasi aktivitas lokal. Zat ini tidak dilepaskan ke sirkulasi untuk
mencapai sel target; sehingga seringkali disebut sebagai suatu
hormon lokal. Prostaglandin bersifat sangat kuat meskipun dalam
jumlah kecil, efeknya sangat tergantung pada jenis prostaglandin
dan tempat prostaglandin itu dilepaskan. Prostaglandin yang
dilepaskan oleh jaringan yang mengalami cedera atau kerusakan
akan merangsang ujung saraf dan menimbulkan sensasi nyeri,
sedangkan prostaglandin yang dilepaskan oleh uterus akan
memicu kontraksi yang diperlukan pada proses persalinan.
Umumnya, semua jaringan mensintesis dan memberikan respons
terhadap prostaglandin melalui koordinasi aktivitas sel.
5.2.2.4. Steroid
Steroid berperan sangat penting pada membran sel. Hormon
steroid terlibat dalam pengaturan fungsi seksual, seperti testosteron
dan estrogen. Hormon ini penting dalam metabolisme jaringan dan
keseimbangan mineral kortikosteroid dan kalsitrol. Hormon seks turut
berperan dalam pengaturan aktivitas metabolisme.
Getah empedu adalah derivat steroid yang diperlukan dalam proses
digesti lemak yang terdapat di dalam diet. Getah empedu berinteraksi
dengan lipid yang terdapat di saluran cerna serta memfasilitasi proses
digesti dan absorpsi lipid.
Steroid adalah molekul berukuran besar yang memiliki rangka
karbon tertentu. Masing–masing molekul memiliki empat cincin, dan
setiap molekul yang tergabung memiliki rangka cincin yang berbeda.
Perbedaan tersebut terletak pada sisi struktur rangka yang melekat
pada cincin karbon.
5.2.2.5. Kolesterol
Sel membutuhkan kolesterol untuk mempertahankan membran sel,
khususnya dalam proses pertumbuhan dan pemisahan sel. Karena
15
seluruh membran sel mengandung kolesterol, maka kadar kolesterol
darah akan sulit dikendalikan melalui pembatasan diet saja; hal ini
disebabkan karena tubuh mensintesis kolesterol.
5.2.3. Protein
Protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen dan
se¬jumlah kecil sulfur. Protein merupakan rantai asam amino yang
terdiri dari asam amino rantai panjang. Setiap asam amino mengandung
atom karbon di sentral dan dihubungkan dengan empat gugus, yaitu
hidrogen, gugus amino (–NH2), gugus karboksilat (–COOH) dengan
variasi gugus R pada setiap rantai.
Asam amino merupakan molekul-molekul yang relatif larut dalam
air. Pada pH normal, gugus karboksilat pada asam amino akan
memberikan ion H+, sehingga merubah –COOH menjadi –COO–yang
bermuatan negatif, sedangkan gugus aminonya akan menerima ion
H+ dan merubah —NH2 menjadi —NH3+ .
16
Proses sintesis–dehidrasi dapat menghubungkan asam amino.
Proses ini membentuk ikatan kovalen di antara gugus karboksilat dan
gugus amino dari molekul lainnya. Ikatan ini dikenal dengan istilah
ikatan peptida. Protein atau polipeptida adalah suatu rangkaian linier
asam amino yang dihubungkan melalui ikatan peptida. Molekul–
molekul mengandung asam amino yang tergabung melalui ikatan ini
disebut peptida, dipeptida, tripeptida dan tetrapeptida. Polipeptida
yang mengandung lebih dari seratus macam asam amino umumnya
disebut protein. Protein akan bekerja dengan baik pada suhu dan pH
optimal; pada pH dan suhu di luar batas normal akan terjadi denaturasi
protein yang bersifat permanen.
17
ini dihasilkan oleh interaksi di antara rantai polipeptida dan
molekul air di sekitar dan interaksi antara gugus R asam amino
dengan berbagai bagian suatu molekul. Gugus R dari residu
asam amino yang bersifat hidrofobik akan menjauhi molekul air,
sedangkan gugus R yang hidrofilik akan berada di luar lipatan.
Pada struktur tersier terdapat ikatan ion, ikatan hidrogen, ikatan
hidrofob dan ikatan disulfida. Ikatan disulfida seimbang dengan
jumlah loop dari spiral pada suatu peptida. Globul–globul protein
biasanya merupakan kesatuan yang utuh, berbentuk bulat dan siap
bergabung dengan cairan (water–soluble), misalnya mioglobin.
• Struktur Kuartener
Pembentukan kompleks protein dari suatu subunit. Struktur kuartener
merupakan interaksi dari rantai polipeptida yang membentuk
kompleks protein. Setiap subunit polipeptida memiliki struktur
sekunder dan tersier masing–masing. Protein hemoglobin terdiri
atas empat subunit globular. Protein jaringan fibrosa seperti
keratin dan kolagen mengandung tiga polipeptida alfa heliks yang
bersifat lentur dan tidak larut dalam air (insoluble).
18
turunannya yang biasa dijumpai terikat pada protein antara lain
adalah glukosa, galaktosa, manosa, fukosa (6–deoksi galaktosa),
N–asetilglukosamin, N–asetilgalaktosamin, arabinosa, xilosa,
asam sialat (N–asetil Neuraminic acid = NANA)
Pada manusia glikoprotein berperan antara lain sebagai:
a) pembentuk membran sel, b) pelumas misalnya musin
(dalam saliva), c) pembentuk tulang rawan, misal kolagen, d)
pembentuk protein serat, misal elastin, e) faktor pembekuan,
misal fibrin.
• Lipoprotein
Pada hidrolisis lipoprotein dihasilkan asam–asam α–amino
dan lipid (fosfolipid dan kolesterol). Hampir semua lipid darah
mamalia diangkut dalam bentuk lipoprotein. Lipoprotein juga
terdapat dalam kuning telur, inti sel, ribosom dan dalam liposom
mielin syaraf. Sekitar 30% protein plasma terdiri dari lipoprotein
yang berikatan dengan α dan β globulin.
Berdasarkan analisis lipoprotein menggunakan cara elektroforesis
pada pH 8,6.
• Nukleoprotein
Nukleoprotein adalah protein majemuk dengan gugus prostetik
asam nukleat sedangkan proteinnya adalah histon atau
protamin. Asam nukleat merupakan polimer dari mononukleotida
(= polinukleotida). Mononukleotida merupakan ester asam
fosfat dari nukleosida. Nukleosida itu sendiri terbentuk dari gula
pentosa dengan turunan basa purin atau pirimidin.
Ada beberapa jenis protein yang penting dalam tubuh, antara lain
protein struktural, protein kontraktil dan protein transpor.
- Protein Struktural
Protein yang berfungsi sebagai cadangan energi disimpan di
otot. Protein bukan merupakan cadangan energi utama, tetapi
merupakan cadangan ketiga setelah glikogen dan trigliserida.
- Protein Kontraktil
Protein yang berfungsi pada kontraksi otot (aktin, miosin) maupun
jaringan lunak lainnya (misal kolagen).
19
- Protein Transpor
Protein yang berperan sebagai media pada transportasi dalam
suatu sistem, misalnya heme untuk transportasi oksigen; albumin
untuk transportasi beberapa jenis obat–obatan tertentu, dsb.
5.2.3.3. Enzim
Protein yang berperan dalam suatu reaksi, diperlukan agar suatu
reaksi terselenggara dalam waktu singkat (lihat reaksi enzimatik).
5.2.3.4. Antibodi
Protein yang berperan dalam sistem imun, terdiri dari empat rantai
polipeptida spesifik dengan binding site terhadap antigen tertentu; dan
memiliki binding site untuk mediator tertentu.
20
5.2.3.7. Fungsi Enzim dan Kofaktor
Kofaktor adalah suatu ion atau molekul yang harus terikat pada
suatu enzim sebelum substrat melekat pada enzim. Tanpa kofaktor,
suatu enzim tetap utuh namun tidak dapat berfungsi. Koenzim adalah
suatu molekul non protein organik yang berperan sebagai suatu
kofaktor. Tubuh manusia merubah berbagai macam vitamin menjadi
koenzim esensial.
21
5.2.6. Komponen Berenergi Tinggi
Untuk berlangsungnya fungsi vital, sel memerlukan energi yang
diperoleh dari proses katabolisme substrat organik. Energi tersebut
ditangkap oleh enzim dan dipindahkan dari molekul ke molekul atau
dari satu bagian sel ke bagian sel lainnya. Metode pemindahan energi
ini melibatkan pembentukan ikatan energi tinggi. Suatu ikatan energi
tinggi adalah ikatan kovalen dengan energi yang dilepaskan dapat
mengikat sel–sel. Ikatan energi tinggi ini biasanya menghubungkan
gugus fosfat (PO43-) ke suatu molekul organik. Kompleks yang
dihasilkan disebut komponen berenergi tinggi.
22
yang dibentuk melalui proses fosforilasi adenosin mono fosfat (AMP).
Untuk konversi AMP menjadi ADP dibutuhkan asupan energi yang
besar sehingga dapat mengikat gugus fosfat kedua. Sejumlah energi
yang lebih besar lagi diperlukan untuk mengikat gugus fosfat ketiga,
membentuk adenosin trifosfat (ATP). Dalam proses konversi ATP
menjadi ADP dibutuhkan enzim adenosin trifosfatase (ATPase).
Setiap saat secara berkesinambungan, sel menghasilkan ATP
melalui fosforilasi ADP dan memanfaatkan energi yang dihasilkan
untuk menjalankan fungsi vital seperti sintesis protein atau kontraksi
otot. Selanjutnya sel menyimpan komponen energi ini dalam bentuk
ikatan energi tinggi untuk digunakan kemudian; salah satu yang
terpenting adalah ATP.
6. Kelarutan
6.1. Larutan
Larutan (solusi) merupakan campuran homogen yang terdiri atas
dua komponen (zat) atau lebih. Komponen yang jumlahnya sedikit
dinyatakan sebagai solut (zat terlarut), sedangkan yang jumlahnya
lebih banyak dinyatakan sebagai solven (pelarut).
Baik solut maupun solven dapat berwujud padat, cair atau gas.
Solut dapat berupa atom, ion atau molekul yang mengalami dispersi.
Bila larutan berujud suatu cairan, maka pelarutnya adalah cairan. Bila
pelarutnya air, larutan cukup dinyatakan dengan larutan dan tidak perlu
dinyatakan larutan dalam air (aquaeus: describing a solution in water),
misalnya NaCl yang dilarutkan dalam air, cukup dinyatakan sebagai
larutan NaCl. Sedangkan untuk larutan dengan pelarut organik, maka
pelarutnya harus disebutkan, misalnya larutan lemak dalam alkohol.
23
Struktur kimia air memungkinkan air bertindak sebagai suatu
pelarut unik yang efektif, karena pada suatu reaksi akan terbentuk
ikatan hidrogen yang terjadi di antara molekul–molekul air. Molekul–
molekul air memiliki kutub positif dan negatif, sehingga disebut sebagai
molekul polar atau dipole. Ikatan pada molekul air menyebabkan atom
hidrogen demikian dekatnya.
Larutan dengan pelarut air dapat mempunyai solut dengan wujud
padat, cair atau gas. Pada larutan yang mengandung kation dan anion
akan terjadi proses konduksi aliran listrik. Listrik akan melintasi membran
sel dan memengaruhi aktivitas sel. Molekul anorganik terlarut yang
berperan sebagai ion dalam konduksi aliran listrik ini disebut elektrolit.
6.2. Koloid
Koloid adalah larutan yang mengandung molekul protein terdispersi
atau molekul–molekul lain berukuran besar.
6.3. Suspensi
Suspensi mengandung partikel larutan yang tidak stabil, karena
dipengaruhi oleh gravitasi. Whole blood adalah suatu bentuk suspensi
yang bersifat temporer, karena sel–sel darah merah tersuspensi di
plasma darah.
7. Konsentrasi
Konsentrasi suatu zat menjelaskan jumlah zat tersebut (solut)
dalam suatu pelarut (solven) tertentu atau dalam larutan. Solven yang
paling umum adalah air. Banyak cara untuk menyatakan konsentrasi
suatu zat dalam larutannya. Beberapa pernyataan konsentrasi
diuraikan berikut ini.
7.1. Persentase
Persentase menyatakan perbandingan antara zat terlarut dan
larutannya, dikalikan 100%. Untuk solut satuannya dalam gram,
sedangkan larutannya dapat dinyatakan dalam volume atau dalam
berat.
24
Jadi persentase dapat dinyatakan dengan:
– Persentase berat solut/volume larutannya (weight/volume, % w/v)
– Persentase berat solut/berat larutannya (weight/weight, % w/w)
Untuk konsentrasi yang kecil, berat solutnya dapat dinyatakan dengan
miligram, sehingga satuannya menjadi miligram persen (mg solut per
100 mL larutan).
25
monovalen. Unsur garam seperti NaCl dan CaCl2 mengalami disosiasi
menjadi ion positif (kation) dan ion negatif (anion). Untuk ion monovalen
seperti natrium dan klorida adalah ekivalen dengan satu gram molekul.
Untuk ion divalen seperti kalsium, magnesium dan HPO42–, satu ekuivalen
adalah setara dengan setengah GMW. Pada kondisi fisiologik, konsentrasi
demikian kecilnya diukur dalam mEq/L = 10–3 Eq/L Unit ini demikian
pentingnya pada saat menjelaskan zat yang dibutuhkan untuk memelihara
netralitas elektrik.
8. Reaksi Kimia
Pada tubuh manusia, reaksi kimia terjadi di dalam air. Molekul
air akan turut berpartisipasi dalam reaksi. Proses sintesis, hidrolisis–
dehidrasi adalah contoh dari reaksi kimia di dalam tubuh.
26
Melalui suatu reaksi kimia, sel berperan dalam memenuhi kebutuhan
energi (sel dapat menangkap, menyimpan dan menggunakan
energi) yang diperlukan untuk mempertahankan homeostasis dan
penyelenggaraan fungsi–fungsi esensial tubuh. Setiap sel merupakan
sumber produksi bahan kimia; dan setiap sel hidup akan tetap berfungsi
dalam mengendalikan berbagai reaksi kimia.
Di dalam suatu reaksi kimia akan terbentuk dan atau terurai suatu
ikatan kimia di antara atom–atom. Selanjutnya atom yang terdapat
dalam reaksi di antara beberapa substansi atau reaktan mengalami
pengaturan kembali; membentuk substansi atau produk lain yang
berbeda
.
Beberapa jenis reaksi kimia diuraikan berikut ini.
8.1. Dekomposisi
Dekomposisi adalah reaksi yang terjadi bilamana suatu molekul
berubah menjadi bentuk fragmen yang lebih kecil. Di saat suatu ikatan
kovalen (dengan energi potensial) diuraikan (dekomposisi), akan
dihasilkan energi kinetik yang diperlukan untuk melakukan suatu aktivitas.
Katabolisme merupakan suatu proses dekomposisi molekul yang
berlangsung di dalam sel; merupakan pemecahan (metabolik) molekul
yang lebih kompleks disertai pelepasan sejumlah energi. Melalui
proses katabolisme inilah sebuah sel memperoleh energi.
Hidrolisis merupakan reaksi kimia suatu senyawa dengan air.
Reaksi dekomposisi pada air sangat penting pada proses penguraian
molekul–molekul kompleks yang ada di dalam tubuh. Melalui proses
hidrolisis, ikatan kimia pada molekul kompleks akan diuraikan;
selanjutnya komponen air akan ditambahkan pada fragmen yang
dihasilkan dalam proses tersebut.
8.2. Sintesis
Sintesis adalah proses pembentukan suatu bentuk senyawa
dari senyawa–senyawa lain yang lebih sederhana. Sintesis selalu
menyebabkan terbentuknya ikatan kimia baru; baik dalam bentuk
reaktan yang diperlukan untuk suatu atom atau dalam bentuk suatu
molekul. Reaksi dehidrasi merupakan suatu reaksi pelepasan molekul
air, kebalikan dari proses hidrolisis.
27
Reaksi anabolisme adalah proses sintesis suatu molekul atau
komponen baru di dalam tubuh. Sintesis karbohidrat, protein, lemak
dan senyawa lain pada mahluk hidup, molekul–molekul atau perasat
sederhana lainnya, adalah suatu proses anabolisme.
28
8.6. Analisis
Analisis adalah suatu proses yang diperlukan untuk menentukan
jenis komponen yang terdapat dalam sampel suatu zat. Proses ini
dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif.
Daftar pustaka
1. Harper HA, Rodwell VW, Mayes PA. Review of physiological chemistry.
17th ed. Los Altos, California: Lange Medical Publications. 1979.
2. Ganong WF. Review of medical physiology. 8th ed. Los Altos, California.
Maruzen Asian Ed: Lange Medical Publications. 1977.
3. Sherwood L. Human Physiology. From cells to systems. 3rd ed. Belmont:
Wadsworth Publishing Co. 1997; p 524–538.
4. Martini FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey:
Prentice Hall. 2001; ch. 2: p.29–63, ch. 27: p.984–1015
5. Finberg L, Kravath RE, Hellerstein S. Water and electrolytes in pediatrics.
Physiology, pathology and treatment, 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders
Co. 1993.
6. Chang R. Physical chemistry with applications to biological systems. 2nd
ed. New York: Macmillan Publishing Co, Inc. 1981; p 310–342
7. Guyton CA. Textbook of medical physiology. 8th ed. New York: WB
Saunders. Co 1991; p.330–343.
29
BAB 2
Fisiologi
30
b. Dalam melakukan pengukuran jumlah air di kompartemen, perlu
dilakukan perhitungan (koreksi) zat–zat yang diekskresikan dalam
kurun waktu yang dibutuhkan oleh zat tersebut sejak diberikan
dan terdistribusi ke dalam kompartemen.
31
Jumlah cairan tubuh total kurang lebih 55–60% dari BB dan
persentase ini berhubungan dengan jumlah lemak dalam tubuh,
jenis kelamin dan umur. Pengaruh terbesar berhubungan dengan
jumlah lemak tubuh. Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah
dibandingkan kandungan air di dalam sel otot, sehingga cairan tubuh
total pada orang yang gemuk (obes) lebih rendah dari mereka yang
tidak gemuk. Pada bayi dan anak, persentase cairan tubuh total lebih
besar dibanding dengan orang dewasa dan akan menurun sesuai
dengan pertambahan usia. Pada bayi prematur jumlah cairan tubuh
total sebesar 80% dari BB, sedangkan pada bayi normal 70%–75%
dari BB, pra–pubertas 65%–70% dari BB, dan pada orang dewasa
sebesar 55–60% dari BB.
32
Perhitungan ini hanya berlaku untuk individu dalam keadaan
keseimbangan air tubuh normal. Untuk orang dewasa obes hasil
perhitungan rumus ini dikurangi 10%, sedangkan untuk orang kurus
ditambahkan 10%. .
Pada keadaan dehidrasi berat, air tubuh total berkurang sekitar
10%, maka pada keadaan dehidrasi berat air tubuh total dihitung
dengan menggunakan rumus:
Gambar 7. Jumlah air tubuh total adalah 55–60% dari BB. Air tubuh terdistribusi pada
ruang intrasel (60%) dan ekstrasel (40%). Air ekstrasel terdistribusi di ruang interstisium
(30%) dan intravaskular (10%), Air di ruang intravaskular terdiri dari plasma (7,5%),
limfe (2,2%) dan trans–sel (0,3%).
33
1.3. Distribusi air di dalam tubuh
Di dalam tubuh, air terdapat dalam dua kompartemen besar, yaitu
intrasel dan ekstrasel.
34
1.3.2. Kompartemen Ekstrasel
Cairan ekstrasel adalah cairan yang terdapat di luar sel tubuh. Cairan
ekstrasel terdiri dari:
- Cairan interstisium atau cairan antar–sel, yang berada di antara
sel–sel
- Cairan intra–vaskular, yang berada dalam pembuluh darah yang
merupakan bagian air dari plasma darah.
- Cairan trans–sel, yang berada dalam rongga–rongga khusus,
misalnya cairan otak (likuor serebrospinal), bola mata, sendi.
Jumlah cairan trans–sel relatif sedikit.
Keterangan:
* Sebagai model adalah seorang pria sehat BB = 73 kg dan cairan tubuh total
sejumlah 40 L (55%)
** Cairan serebrospinal, gastrointestinal, traktus urinarius, duct of glands, cairan
serous cavities
35
1.3.2.1. Kandungan Elektrolit Ekstrasel
Komposisi bahan yang terlarut dalam subkompartemen cairan
ekstrasel (plasma dan cairan interstisium) ternyata berbeda. Hal tersebut
disebabkan oleh pengaruh keseimbangan Gibbs–Donnan3, kecuali
untuk ion Ca2+ dan Mg2+; kadarnya lebih rendah pada cairan interstisium
karena ion ini banyak yang terikat pada protein
Perbedaan yang nyata antara cairan ekstrasel dan intrasel adalah
pada kationnya. Kation utama dalam cairan ekstrasel adalah natrium
(Na+) dan dalam cairan intrasel kalium (K+). Kation ekstrasel lainnya
adalah kalium (K+), kalsium, (Ca2+) dan magnesium (Mg2+). Untuk
menjaga netralitas listrik, di dalam cairan ekstrasel terdapat anion
klorida, bikarbonat dan albumin.
Natrium, kalium, klorida, dan bikarbonat merupakan elektrolit penting
karena kontribusinya sebagai daya osmotik untuk mempertahankan
air dalam cairan ekstrasel. Natrium dan kalium memengaruhi tekanan
osmosis kristaloid cairan ekstrasel dan intrasel serta secara langsung
berhubungan dengan fungsi sel dalam proses biolistrik. Konsentrasi
natrium merupakan kontributor utama dalam osmolalitas serum dan
penentu utama tonisitas plasma.
3
Pengertian Gibbs–Donnan: pada kondisi keseimbangan, konsentrasi pasangan kation dan anion yang
dapat berdifusi yang dihasilkan pada salah satu sisi membran akan sama dengan produksi kation dan
anion pada sisi lainnya stabil
36
Jumlah natrium di dalam cairan ekstrasel merupakan hasil kese
imbangan dua faktor, yaitu uptake natrium di saluran cerna dan ekskresi
natrium di ginjal dan tempat lain. Natrium adalah komponen utama
cairan ekstrasel karena selalu dipompa keluar sel oleh natrium–kalium
ATPase. Kandungan elektrolit dengan komposisi dan kadar yang
berbeda dalam cairan tubuh dapat dilihat pada gambar 4, sedangkan
kandungan elektrolit dan bahan terlarut lainnya dari cairan ekstrasel
dan intrasel dapat dilihat pada tabel 4
37
Gambar 9. Keseimbangn Gibbs–Donnan menjelaskan perpindahan cairan dari
intrasel ke interstisium akibat pergerakan muatan ion yang dipengaruhi oleh protein.
Hasil akhir dari keseimbangan ini adalah berpindahnya cairan dari kompartemen yang
kurang mengandung protein ke kompartemen yang lebih banyak mengandung protein.
38
1.5. Solut
Terdapat dua jenis solut, yaitu solut permeabel dan impermeabel.
39
Solut idiogenik adalah solut impermeabel intrasel yang merupakan
molekul osmoprotektif intrasel yang dibentuk pada keadaan hipertonik.
Pada keadaan hipernatremia, solut idiogeniknya adalah: natrium,
asam amino, taurin, glutamat dan sorbitol
1.6. Osmolalitas
Osmolalitas adalah jumlah solut permeabel ditambah solut
impermeabel. Istilah osmolalitas lebih disukai di bidang kimia karena
massa tidak terpengaruh oleh suhu dan tekanan. Istilah osmolaritas lebih
sering digunakan karena lebih mudah mengukur volume dibandingkan
mengukur massa atau berat.
Keterangan:
X = manitol, gliserol, sorbitol, etanol
Osmolalitas plasma = osmolalitas seluruh cairan tubuh
40
trifosfat mengatasi perbedaan ini sehingga osmolalitas intrasel sama
dengan osmolalitas ekstrasel .
Keterangan:
X = mannitol, gliserol dan sorbitol
BUN : tidak dihitung karena merupakan solut permeabel
41
1.7. Pergerakan Cairan
Pergerakan cairan tubuh (hidrodinamika) mencakup penyerapan
air di dalam usus, masuk ke pembuluh darah, dan beredar ke
seluruh tubuh. Pada pembuluh kapiler, air mengalami filtrasi ke ruang
interstisium dan selanjutnya masuk ke dalam sel melalui proses difusi,
sebaliknya air dari dalam sel keluar kembali ke ruang interstisium dan
masuk ke pembuluh darah.
Pergerakan air juga meliputi filtrasi air di ginjal (sebagian kecil dibuang
sebagai urin), ekskresi air ke saluran cerna sebagai liur pencernaan
(umumnya diserap kembali) serta pergerakan air ke kulit dan saluran
napas yang keluar sebagai keringat dan uap air. Pergerakan cairan
tersebut bergantung kepada tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik
42
Perpindahan cairan dari ruang intravaskular ke interstisium atau
sebaliknya sangat dipengaruhi oleh kadar albumin dalam plasma.
Pada keadaan normal, albumin tidak dapat keluar dari pembuluh
darah. Albumin adalah protein utama didalam plasma (80% protein
plasma). 85% tekanan onkotik plasma berasal dari albumin. Protein
plasma menghasilkan tekanan onkotik sekitar 25 mmHg. Efek osmotik
packed red blood cells adalah nol karena sel darah berada dalam
suspensi bukan di dalam solution, sehingga tidak bereaksi dengan air
43
Gambar 10. Mekanisme pompa Na+K+ATPase dalam pertukaran elektrolit melintas
membran sel.
44
kembali ke darah di kapiler bagian distal karena tarikan tekanan onkotik.
Cairan yang tertinggal, yang akan disalurkan melalui saluran limfe. Sisa
air yang ditampung melalui sistem limfatik dibawa kembali ke sistem vena.
Protein di dalam darah memberikan tekanan osmotik koloid (tekanan
onkotik) yang menarik air ke dalam kapiler, melawan tekanan filtrasi.
Filtrasi cairan di kapiler bagian proksimal disebabkan tekanan filtrasi
atau tekanan hidrostatik6 yang melebihi tekanan onkotik. Sebagian besar
cairan yang difiltrasi di kapiler bagian proksimal kembali ke darah di
kapiler bagian distal karena tarikan tekanan onkotik, namun ada sedikit
cairan yang tertinggal; yang akan disalurkan melalui saluran limfe.
Keterangan:
TD: Tekanan Darah, TH: Tekanan Hidrostatik, TO: Tekanan Onkotik, TJ: Tekanan Jaringan, TI: Tekanan
interstisium, TN: Tekanan Netto, TK: Tekanan Kendali
Gambar 11. Perbedaan tekanan hidrostatik dengan tekanan onkotik di arteriol menyebabkan
cairan keluar ke jaringan interstisium. Di venula, jaringan interstisium ditarik kembali ke ruang
intrabvaskular, sisanya diangkut oleh saluran limfatik.
6
Ada yang menyebutnya sebagai tekanan hidrodinamik
45
1.7.5. Pengaturan Keseimbangan (Homeostasis) Air dan Elektrolit
Perubahan volume cairan ekstrasel dalam jumlah kecil tidak akan
memberi reaksi fisiologik. Pengaturan keseimbangan elektrolit sangat
penting dalam pengatuan volume cairan ekstrasel.
Keseimbangan air adalah kondisi dimana jumlah air yang masuk ke
dalam tubuh seimbang dengan jumlah air yang keluar. Keseimbangan
elektrolit adalah suatu kondisi dimana jumlah masing–masing elektrolit
yang masuk ke dalam tubuh setara dengan jumlah masing–masing
elektrolit yang keluar. Keseimbangan cairan tubuh adalah usaha
untuk mempertahankan jumlah volume cairan yang terdapat dalam
kompartemen ekstrasel dan intrasel selalu dalam keadaan tetap. Hal
ini dipengaruhi oleh (a) jumlah cairan yang masuk dan keluar tubuh,
(b) proses difusi melalui membran sel, dan (c) tekanan osmotik yang
dihasilkan oleh elektrolit pada kedua kompartemen.
46
Keringat dihasilkan kelenjar keringat yang tersebar di sebagian besar
kulit. Bila suhu tubuh meningkat, secara refleks terjadi sekresi keringat.
Komposisi air keringat mirip dengan cairan ekstrasel, tetapi kadar garam–
garamnya lebih rendah (hipotonis). Keringat lebih berperan sebagai
pengatur suhu tubuh, bukan sebagai pengatur cairan tubuh
.
Tabel 5. Kehilangan cairan tubuh (mL)
47
• O2 yang terus dipakai dan harus selalu digantikan, CO2 yang
terus dihasilkan dan harus dikeluarkan dalam jumlah yang sesuai.
Bila kadar O2 darah arteri menurun atau kadar CO2 darah arteri
meningkat, akan terjadi perangsangan dan peningkatan ventilasi.
- Kadar sisa metabolisme. Sisa metabolisme jangan sampai menimbul
kan gangguan (toksik), dengan meningkatkan pengeluaran misal
melalui paru (CO2), ginjal dan hati.
- Keasaman (pH). Gangguan akibat perubahan pH terutama pada
elektrofisiologi. Berbagai reaksi dalam sistem homeostasis akan
segera mengatasi hal ini.
- Kadar air, garam–garam dan elektrolit lain, melalui berbagai hormon
seperti ADH, aldosteron, ANP dan rasa haus.
Suhu tubuh, yang umumnya berkisar sekitar 37oC. Berbagai reaksi tubuh
akan timbul bila ada peningkatan suhu tubuh, seperti berkeringat dan
vasodilatasi atau vasokonstriksi dan menggigil bila suhu tubuh terlalu
rendah. Volume dan tekanan, misalnya peningkatan atau penurunan
volume darah, tekanan darah, dengan berbagai respons yang sesuai.
• Homeostasis Air
Perubahan volume cairan ekstrasel dalam jumlah kecil tidak akan
memberi reaksi fisiologik. Keseimbangan cairan dipertahankan
dengan mengatur volume dan osmolaritas cairan ekstrasel. Bila terjadi
peningkatan volume dalam jumlah besar akan timbul mekanisme
koreksi yang serupa dengan pengaturan volume dan tekanan darah.
Peningkatan volume cairan ekstrasel akan meningkatkan volume dan
tekanan darah; demikan pula sebaliknya. Jadi, pengaturan volume
cairan ekstrasel penting dalam pengaturan tekanan darah. Oleh
karena itu, pemantauan jumlah cairan ekstrasel dilakukan dengan
melakukan pemantauan tekanan darah.
Bila asupan (intake) air terlalu banyak, akan segera dikeluarkan,
dengan mengurangi sekresi anti diuretic hormone (ADH) dari hipofisis
posterior, yang rnengurangi reabsorpsi air di tubulus distal dan duktus
koligentes nefron ginjal. Peningkatan volume plasma akan diikuti oleh
berkurangnya venous return. yang akan meregang dinding atrium.
Dengan adanya rangsangan pada reseptor (berupa baroreseptor
yang berada di sinus karotid, sinus aorta dan dinding atrium kanan)
48
akan merangsang pelepasan atrial natriuretic peptide (ANP) yang
menimbulkan blokade pada sekresi aldosteron dan diikuti peningkatan
pengeluaran natrium dan air melalui urin.
Pada keadaan hipovolemia baik karena kekurangan intake atau
pengeluaran berlebihan seperti pada diare dan muntah–muntah,
tubuh berusaha menghambat pengeluaran air berkelanjutan dengan
cara meningkatkan sekresi ADH, yang selanjutnya akan meningkatkan
reabsorpsi air di ginjal. Bersamaan dengan peristiwa tersebut, juga
timbul rasa haus dan dorongan untuk minum, agar kekurangan segera
teratasi.
Pada saat terjadi penurunan volume cairan ekstrasel, volume
dan tekanan darah akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan
rangsangan pada sistem renin–angiotensin sehingga timbul respons
berupa pengurangan produksi urin (restriksi pengeluaran cairan),
rangsang haus yang disertai dengan meningkatnya pemasukan
cairan yang selanjutnya akan meningkatkan volume cairan ekstrasel.
Keseimbangan cairan dipertahankan dengan mengatur volume dan
osmolaritas cairan ekstrasel.
Mekanisme homeostasis air dan elektrolit bertujuan mempertahankan
volume dan osmolaritas cairan ekstrasel dalam batas normal,
dengan mengatur keseimbangan antara absorbsi diet (makanan
dan minuman) dan ekskresi ginjal (konservasi dan ekskresi air dan
elektrolit) yang melibatkan juga sistem hormonal
• Homeostasis Elektrolit
Keseimbangan elektrolit ini sangat penting karena memengaruhi
keseimbangan cairan dan fungsi sel. Keseimbangan elektrolit ini
sangat penting karena memengaruhi keseimbangan cairan dan
fungsi sel.
Ada dua kation yang penting, yaitu natrium dan kalium. Keduanya
memengaruhi tekanan osmotik cairan ekstrasel dan intrasel dan
langsung berhubungan dengan fungsi sel. Oleh karenanya pem
bahasan kedua jenis kation ini sangat penting dalam keseimbangan
elektrolit.
Elektrolit adalah senyawa yang di dalam larutan berdisosiasi menjadi
ion bermuatan positif dan negatif. Elektrolit penting dalam mengatur
keseimbangan cairan dan fungsi sel. Dalam dua kompartemen
49
cairan tubuh terdapat beberapa kation dan anion (elektrolit) yang
penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel.
Perbedaan yang nyata antara cairan ekstrasel dan intrasel terletak
pada kation. Dua kation penting, yaitu natrium dan kalium langsung
berhubungan dengan fungsi sel. Jumlah kation sama dengan
jumlah anion pada setiap kompartemen.
• Homeostasis Natrium
Natrium merupakan kation dominan pada cairan ekstrasel. Lebih
dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel ditentukan oleh
garam yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk
natrium klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga
perubahan tekanan osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan
perubahan konsentrasi natrium.
Pemasukan natrium melalui epitel mukosa saluran cerna. Natrium
masuk melalui proses difusi dan sistem transpor media. Rasio
absorbsi sangat bervariasi tergantung pada kandungan natrium
dalam diet, ekskresi natrium di ginjal dan perspirasi di tempat lain.
Pemasukan dan pengeluaran natrium per hari mencapai 48–
144 mEq (1.1–3.3 g). Bila pemasukan natrium berlebihan (diet
mengandung tinggi garam tanpa disertai pemasukan air adekuat)
tidak terjadi perubahan konsentrasi natrium cairan ekstrasel; hal
tersebut disebabkan adanya mekanisme pengaturan pemasukan
dan pengeluaran cairan yang mempertahankan konsentrasi
natrium tetap konstan. Ginjal merupakan organ terpenting dalam
pengaturan konsentrasi natrium. Di cairan ekstrasel konsentrasi
natrium berkisar antara 136 – 142 mEq/L, sedangkan di cairan
intrasel berkisar 10 mEq/L.
Konsentrasi jumlah total di cairan ekstrasel mencerminkan
keseimbangan dua faktor, yaitu
a. Pemasukan natrium melalui epitel mukosa saluran cerna. Natrium
masuk melalui proses difusi dan sistem transpor media. Rasio
absorbsi sangat bervariasi tergantung kandungan natrium dalam
diet. Ekskresi natrium di ginjal dan perspirasi di tempat lain. Dalam
hal ini, ginjal merupakan organ terpenting dalam pengaturan.
50
b. Peningkatan konsentrasi natrium cairan ekstrasel yang diperoleh
dari pemasukan tinggi natrium menyebabkan kandungan natrium
(sodium content) di cairan ekstrasel meningkat. Peningkatan
kandungan natrium akan diikuti peningkatan konsentrasi natrium
plasma secara temporer. Selanjutnya terjadi peningkatan volume
cairan esktrasel. Terjadi perubahan osmosis yang diikuti
penarikan cairan intrasel sehingga volume cairan ekstrasel
bertambah dan konsentrasi natrium kembali normal. Sekresi
ADH meningkat dan menyebabkan restriksi pengeluaran air,
akibatnya timbul rangsang rasa haus yang akan meningkatkan
konsumsi/ pemasukan air. Dengan adanya inhibisi reseptor air
yang terletak di faring, sekresi ADH sudah dimulai meskipun
absorbsi Na+ belum berlangsung; kemudian disusul dengan
meningkatnya kecepatan sekresi setelah absorbsi Na+ karena
timbulnya rangsangan osmoreseptor. Bila pengeluaran natrium
melebihi pemasukannya (misalnya minum banyak air yang
tidak mengandung natrium), volume cairan ekstrasel berkurang
dan terjadi tanpa perubahan tekanan osmosis. Konsentrasi
dan tekanan osmotik cairan ekstrasel akan berkurang dengan
cepat. Penurunan sebesar >2% akan mengurangi sekresi ADH
diikuti peningkatan produksi urin. Saat cairan ekstrasel terbuang
bersama urin, tekanan osmotik kembali normal.
51
Sensor di hipotalamus aktivitasnya terpicu oleh pengerutan
sel SON dan OVLT karena peningkatan osmolalitas plasma; terjadi
pelepasan vasopresin dan atau ADH. ADH melalui reseptornya di
duktus koligentes (reseptor V2) akan menggeser saluran air AQP2
(aquaporin–2) dari sitoplasma ke arah membran daerah lumen sel
duktus koligentes yang memungkinkan air dari lumen masuk ke dalam
sel akibat perbedaan tekanan osmotik dan akhirnya masuk ke dalam
sirkulasi. Besaran osmolalitas plasma juga akan memengaruhi pusat
rasa haus di hipotalamus. Bila terjadi peningkatan osmolalitas plasma,
maka pusat rasa haus terpicu sehingga individu bersangkutan akan
meningkatkan asupan air.
Sensor regulasi volume di atrium dan ventrikel terpicu oleh peningkatan
volume arteri efektif; dikeluarkanlah ANP atau B–type natriuretic
peptide (BNP). Peptida–peptida natriuretik ini akan menghambat
reabsorpsi natrium di duktus koligentes, menghambat penglepasan
renin, menghambat sekresi aldosteron dari korteks adrenal dan
meningkatkan laju filtrasi glimerulus. Peptida–peptida natriuretik ini
juga menyebabkan peningkatan ekskresi natrium melalui urin.
Pada kondisi hipovolemia:
- Terjadi peningkatan aktivitas sensor regulasi volume di sinus karotis
dan arteri aferen glomerulus; berupa peningkatan aktivitas simpatis
dan peningkatan penglepasan renin. Peningkatan aktivitas simpatis
dan renin ini meningkatkan reabsorpsi natrium di duktus koligentes.
- Terjadi peningkatan sekresi ADH oleh hipotalamus; hal ini dikenal
dengan sebutan regulasi volume non–osmotik.
52
Gambar 12. Regulasi keseimbangan air dan natrium
Hasil akhir dari regulasi ini diuraikan sebagai berikut (gambar 12)::
- Regulasi osmotik: terjadi atau tidaknya reabsorpsi air (free electrolyte
water) di duktus koligentes.
- Regulasi volume: terjadi atau tidaknya ekskresi atau retensi natrium
di duktus koligentes.
Secara keseluruhan, yang diharapkan dari pengaturan ini osmolalitas
cairan tubuh dalam keadaan normal; hal ini terefleksi dari osmolalitas
plasma normal.
- Homeostasis Kalium
Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot, konduksi
saraf pengeluaran hormon, transpor cairan, perkembangan janin.
Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang sangat
besar dalam tubuh dan terbanyak berada di intrasel. Kurang lebih
98% kandungan kalium berada di cairan intrasel. Untuk menjaga
kestabilan kalium di intrasel diperlukan keseimbangan elektrokimiawi
53
yaitu keseimbangan antara kemampuan muatan negatif dalam sel
untuk mengikat kalium dan kemampuan kekuatan kimiawi yang
mendorong kalium keluar dari sel. Konsentrasi kalium di cairan
ekstrasel mencerminkan keseimbangan antara pemasukan kalium
melalui proses pompa ion di epitel mukosa saluran cerna dengan
pengeluarannya melalui urin.
Keseimbangan ini menghasilkan suatu kadar kalium yang kaku
dalam plasma antara 3,5–5 mEq/L. Pengeluaran kalium diatur oleh
aktivitas mekanisme pompa ion sepanjang bagian distal nefron dan
collecting tube. Saat berlangsung reabsorpsi natrium di tubulus
ginjal, terjadi pertukaran dengan kalium yang berada di jaringan
peritubular. Pengeluaran ini tergantung pada pemasukannya,
kurang lebih 50–150 mEq (1,9–5,8 g) dalam sehari. Pengeluaran
kalium melalui feses dapat diabaikan.
Konsentrasi kalium di cairan ekstrasel dikendalikan oleh sekresinya
di tubulus ginjal. Kecepatan sekresi tergantung pada beberapa
faktor, antara lain:
a. Perubahan konsentrasi di cairan ekstrasel.
b. Perubahan pH.
c. Menurunnya pH cairan ekstrasel akan diikuti penurunan pH di
jaringan peritubular, sekresi ion hidrogen meningkat dengan
pertukaran natrium. Akibatnya sekresi kalium berkurang.
d. Aldosteron.
e. Pompa ion sangat sensitif terhadap efek aldosteron, respons
yang timbul berupa peningkatan reabsorpsi natrium dari proses
filtrasi. Dengan meningkatnya reabsorpsi natrium atau retensi natrium,
konsentrasi kalium meningkat pula dan untuk menormalkan kembali
diperlukan peran pompa Na+,K+, ATP–ase yang diaktifkan oleh
aldosteron. Aldosteron disekresikan oleh korteks adrenal yang
diaktifkan oleh pengaruh angiotensin II.
54
• Filtrasi plasma di glomerulus
• Reabsorpsi yang selektif oleh tubulus ginjal untuk material yang
diperlukan dalam mempertahankan homeostasis, terutama millieu
interior.
• Sekresi substansi tertentu oleh tubulus yang berasal dari darah ke
lumen tubulus agar diekskresikan bersama urin
• Sekresi ion H+ dan produksi amonia yang berfungsi untuk memper
tahankan pH darah.
Untuk melaksanakan mekanisme tersebut ginjal memerlukan energi.
Energi ini digunakan untuk proses–reabsorpsi dan sekresi, dan keperluan
oksigen untuk menghasilkan energi ini meliputi 10% dari konsumsi
oksigen basal.
1.7.6.1. Filtrasi
Agar proses filtrasi berlangsung diperlukan suatu tenaga pendorong
untuk memungkinkan filtrat menyeberangi barrier kapsular. Tenaga
filtrasi itu berasal dari tekanan hidrostatik darah, akan tetapi tenaga
filtrasi itu ternyata juga mendapat perlawanan dari berbagai hal:
Berbagai faktor yang melawan tekanan hidrostatik, antara lain:
- Tekanan osmotik dari komponen–komponen plasma yang tidak
terfiltrasi a.l. protein.
- Tekanan dari jaringan interstisium renalis.
- Tekanan intertubular ginjal.
Oleh karena itu hasil neto filtrasi yang menghasilkan filtrat
diperkirakan sejumlah <25 mmHg, malah pada pengukuran pada orang
dewasa normal hanya ditemukan sebesar 15 mmHg dan ini cukup untuk
menghasilkan sekitar 120 mL/menit filtrat glomerulus yang dihasilkan di
kapsula Bowman. Dalam waktu 24 jam jumlah itu berkisar sekitar 180 L.
Penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate, GFR)
dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu:
• Penurunan tekanan darah sistemik yang bermakna.
• Adanya obstruksi parsial dari suplai arteri yang menuju ginjal/
glomerulus.
• Adanya proses inflamasi yang meningkatkan tekanan interstisium
pada ginjal.
55
• Peningkatan resistensi pada aliran yang terjadi pada tubulus dan
nefron karena obstruksi yang terdapat di daerah distal.
• Penurunan tekanan osmotik yang bermakna dari komponen–
komponen yang bersifat osmotik aktif pada plasma sehingga terjadi
peningkatan jumlah filtrasi glomerular.
• Barrier permeabilitas pada glomerulus dipengaruhi secara berlawanan
oleh penyakit–penyakit yang mengakibatkan glomerulus tidak berfungsi
sebagai organ filtrasi lagi. Pada keadaan ini sel darah merah dan protein
plasma mengalami kebocoran dan dijumpai di urin.
1.7.6.2. Reabsorpsi
• Reabsorpsi di Tubulus Proksimal
Volume total filtrat glomerulus selama 24 jam adalah 180 L.
Perubahan penting terjadi di tubulus proksimal terhadap cairan
filtrat tersebut berupa reabsorpsi air (obligatif), reabsorpsi protein
yang terfiltrasi, reabsorpsi glukosa dan asam–asam amino,
reabsorpsi elektrolit (Na+, HCO3–, PO42–, K+).
Pada umumnya proses reabsorpsi ini terjadi melalui difusi aktif
dengan menggunakan suatu pembawa (carrier) yang memiliki
keterbatasan. Bila kadar atau bahan yang akan dibawa itu melebihi
jumlah kapasitas (threshold) yang dapat diangkutnya, maka
substansi itu akan dibiarkan keluar bersama urin. Glukosa diketahui
merupakan salah satu substansi yang mempunyai threshold
tersebut. Ditemukannya glukosa dalam urin menunjukkan bahwa
kadar glukosa telah melampaui batas carrier, yang untuk glukosa
diketahui ambang (threshold)–nya berkisar pada kadar 180 mg/dL.
Jumlah atau kadar maksimum suatu substansi sampai ditemukan
di urin disebut sebagai tubular maximum (disingkat: Tm).
Dari 180 L filtrat glomerulus, sekitar 150 L akan diserap kembali
pada tubulus proksimal. Dalam keadaan normal sekitar 65%
Na+ yang difiltrasi juga direabsorpsi bersama dengan air. Klorida
direabsorpsi secara simultan untuk mempertahankan netralitas
gradien elektrokimia. Proses penyerapan ion Na+ dijalankan melalui
56
pompa Na+K+ATP–ase. Sekitar 90% HCO3– juga direabsorpsi di
sini. Sekresi ion H+ terjadi pada bagian distal tubulus proksimal
Reabsorpsi aktif juga terjadi pada asam amino, Pi, dan laktat. Re
absorpsi pada tubulus proksimal ini dapat dihambat oleh ekspansi
volume cairan tubuh dan inhibitor terhadap enzim anhidrase
karbonat. Sel–sel tubulus proksimal juga mengandung enzim
glutaminase yang akan menghasilkan glutamat dari glutamin
dengan menghasilkan NH3.
57
prostaglandin). Dilepaskannya zat ini menyebabkan arteri
aferen yang menuju glomerulus mengalami konstriksi sehingga
laju filtrasi glomerular mengalami penurunan.
• Peran dalam mengatur sekresi renin.
Renin adalah suatu enzim proteolitik yang akan mengeluarkan
angiotensin dari angiotensinogen. Selanjutnya enzim kedua
yaitu angiotensin converting enzyme (ACE) akan melakukan
katalisis suatu dipeptida dari angiotensinogen dan menghasilkan
angiotensin–II yang merupakan suatu vasokonstriktor sangat
kuat. Jadi dengan meningkatkan tekanan arteri, angiotensin
II membantu terjadinya perfusi organ–organ vital bilamana
organisme itu mengalami kekurangan cairan sebagaimana
dijumpai pada perdarahan atau hipovolemia.
1.7.6.3. Sekresi
– Pengaturan Hormonal
Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit bertujuan untuk mem
pertahankan osmolaritas. Elemen–elemen yang berperan dalam
58
mempertahankan osmolaritas pada cairan ekstrasel terdiri dari
rasa haus yang menginduksi masuknya cairan melalui mulut dan
ginjal ginjal yang berperan memekatkan atau mengencerkan urin.
Penyesuaian fisiologik fungsi ginjal terutama diatur oleh hormon
antidiuretik (ADH), aldosteron, peptida natriuretik atrial (ANP).
Hormon–hormon ini dapat juga menyebabkan perubahan perilaku,
misalnya kombinasi angiotensin II dan aldosteron menimbulkan
sensasi rasa haus yang merangsang individu untuk minum.
– Hormon Anti Diuretik
Hormon anti diuretik (anti diuretic hormone, ADH) adalah suatu
hormon yang dihasilkan di hipotalamus dan disekresikan melalui
hipofisis posterior ke dalam darah. Organ sasaran hormon ini
adalah sel–sel pada nefron distal ginjal. Hormon ini merupakan
suatu non–peptida dan berperan untuk retensi cairan, dengan
mengaktifkan reabsorpsi air secara aktif pada tubulus ginjal. ADH
berperan penting dalam pengaturan keseimbangan cairan dengan
cara mengendalikan ekskresi air oleh ginjal. Hormon ADH atau
arginin vasopresin (AVP) beperan menurunkan permeabitas sel–
sel pada nefron distal sehingga reabsorpsi air meningkat.
Peningkatan osmolaritas plasma dan cairan interstisium menimbul
kan refleks umpan balik negatif cairan ekstrasel yang disensor
oleh osmoreseptor di sistem saraf pusat. Sinyal dari osmoreseptor
ini akan merangsang kelenjar yang menghasilkan ADH di
hipotalamus sehingga hormon itu dihasilkan. Hormon ADH atau
arginin vasopresin (AVP) akan dilepas dari ujung–ujung saraf
pada kelenjar hipofisis posterior dan dikeluarkan ke sirkulasi.
Peningkatan AVP plasma akan berperan dalam mempertahankan
keseimbangan cairan tubuh dengan meningkatkan reabsorpsi air
di dujktus koligentes.
– Aldosteron
Aldosteron adalah hormon mineralokortikoid yang dihasilkan oleh
korteks adrenal. Aldosteron berperan pada sel tubulus distal untuk
menurunkan permeabilitas membran sel agar menyerap kembali
natrium sehingga terjadi retensi natrium. Sekresi aldosteron diaktif
kan oleh angiotensin II yang dihasilkan di ginjal oleh sistem renin–
59
angiotensin. Bila terjadi penurunan volume cairan ekstrasel, volume
dan tekanan darah akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan
rangsangan pada sistem renin–angiotensin sehingga timbul
respons berupa pengurangan produksi urin (restriksi pengeluaran
cairan), rangsang haus yang disertai dengan meningkatnya
pemasukan cairan yang selanjutnya akan meningkatkan volume
cairan ekstrasel.
60
Lowry secara terpisah pada tahun 1923. Asam didefinisikan sebagai
zat yang dapat memberikan ion H+ ke zat lain (disebut sebagai donor
proton), sedangkan basa adalah zat yang dapat menerima ion H+ dari
zat lain (disebut sebagai akseptor proton).
Suatu asam baru dapat melepaskan proton bila ada basa yang
dapat menerima proton yang dilepaskan. Oleh karena itu, reaksi asam
basa adalah suatu reaksi pelepasan dan penerimaan proton, misalnya:
HA H+ + A
61
Pada contoh di atas ternyata air dapat bersifat sebagai basa maupun
sebagai asam (amfolit).
62
2.1.1.4. Basa kuat
Basa kuat adalah persenyawaan yang berdisosiasi secara sempurna
dalam larutan air. NaOH dalam air akan terdissosiasi seluruhnya
menjadi ion Na+ + OH–. Ion OH– yang terbentuk akan bereaksi dengan
ion H+ dari air.
Reaksi asam lemah dan basa lemah di dalam air merupakan reaksi
keseimbangan. Banyak senyawa biokimia yang mempunyai gugus
fungsi bersifat asam lemah atau basa lemah, misalnya gugus karboksil,
gugus amino, gugus fosfat sekunder pada protein, asam nukleat, dan
ko–enzim. Baik asam dan pasangan basanya (conjugate base) tetap
berada di dalam larutan. Reaksi asam dan basa lemah berlangsung
dalam dua arah sedangkan reaksi asam dan basa lemah berlangsung
dalam satu arah.
63
yang lintasan terluarnya tidak terisi penuh merupakan atom yang tidak
stabil dan siap bereaksi dengan atom lain (reaktif) untuk memperoleh
stabilitasnya. Jadi stabilitas suatu atom diperoleh dengan memenuhi
lintasan terluar baik dengan cara menerima atau melepaskan elektron.
Atom hidrogen hanya terdiri dari satu partikel tunggal (proton) dan
satu elektron, sehingga lintasannya belum penuh, dan siap bereaksi
dengan atom hidrogen lain membentuk molekul hidrogen atau bereaksi
dengan atom lain. Jika atom hidrogen melepaskan elektronnya maka
akan terbentuk partikel ion terkecil bermuatan positif yang paling reaktif
dan sangat mudah bereaksi dengan molekul bermuatan negatif seperti
protein (H → H+ + e).
Ion hidrogen di dalam air tidak terdapat dalam bentuk proton bebas
tetapi dalam bentuk ion hidronium H3O+, namun untuk kepraktisan,
biasanya hanya ditulis sebagai ion H+ saja (H2O + H+ H3O+). Molekul
air sendiri dapat terdisosiasi (meskipun derajat disosiasinya sangat
kecil) dan menghasilkan ion H3O+ serta ion H3O+ serta ion OH (H2O
H+ + OH- ; 2H2O H3O+ + OH-)
64
Reaksi biokimia juga dipengaruhi oleh konsentrasi ion hidrogen
[H ]. Reaksi kimia di dalam tubuh dan daya angkut oksigen oleh
+
65
terbentuk sebagai hasil metabolisme karbohidrat, protein dan lemak,
ureagenesis, glikolisis anerobik, atau ketogenesis, dan dapat berbentuk
asam volatil, asam non volatil, asam anorganik, atau asam organik.
66
Asam non–volatil dari katabolisme asam amino adalah asam
sulfat dan fosfat yang diproduksi dalam jumlah kecil. Asam non–volatil
yang dihasilkan dari metabolisme karbohidrat adalah asam laktat,
sedangkan yang dihasilkan dari metabolisme lemak adalah benda
keton seperti asam asetoasetat, asam beta hidroksibutirat dan aseton.
Asam laktat dibentuk saat metabolisme anerob sedangkan asam keton
dibentuk di dalam hati.
Asam non–volatil berasal dari metabolisme protein yang mengandung
sulfur dan posfoprotein. Katabolisme protein (asam amino yang
mengandung sulfur) mengasilkan asam sulfat (H2S04). Katabolisme
posfolipid menghasilkan H3PO4. Metabolisme protein, fosfolipid dan
asam nukleat akan menghasilkan berbagai jenis asam non volatillain
(jumlah kecil; 0,2% asam tubuh atau 1 mEq/kg per hari). Meskipun
jumlah produksi asam non volatil(70 – 100 mmol per hari) jauh lebih
rendah dibanding dengan asam volatil (15.000 mmol per hari), namun
tetap asam tersebut harus dieliminasi dari tubuh
2.3. Keasaman
Keasaman suatu larutan bergantung dari konsentrasi ion hidrogen.
Molekul air dapat berdisosiasi meskipun jumlahnya sangat kecil.
Disosiasi air akan menghasilkan ion H+ dan OH–. Pada keadaan
seimbang, jumlah produk yang berdisosiasi sebanding dengan jumlah
yang tidak berdisosiasi adalah konstan.
67
Konstanta keseimbangan air (Kw) adalah:
68
2.3.2. pH
Sorenson (1909) menyatakan jumlah ion hidrogen dalam bentuk
pH (power of hydrogen), yaitu logaritma negatif konsentrasi ion H+:
69
Tabel 8. Konsentrasi ion hidrogen cairan tubuh
Persamaan Henderson-Hasselbalch
70
2.3.4. Pengaturan Keseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam–basa adalah keseimbangan ion hidrogen.
Walaupun produksi asam akan terus menghasilkan ion hidrogen
dalam jumlah sangat banyak, ternyata konsentrasi ion hidrogen
tetap dipertahan pada kadar rendah 40 ± 5 nM atau pH 7,4. Cairan
tubuh harus dilindungi dari perubahan pH karena sebagian besar
enzim sangat peka terhadap perubahan pH. Mekanisme protektif
harus berlangsung aktif dan secara terus menerus karena proses
metabolisme juga menyebabkan terbentuknya asam dan basa secara
terus menerus (asam karbonat, asam sulfat, asam fosfat, asam laktat,
asam sitrat, ion ammonium, asam asetoasetat, β-hidroksibutirat).
Pengaturan keseimbangan asam basa diselenggarakan melalui
koordinasi dari tiga sistem, yaitu: 1) sistem bufer, 2) sistem paru dan
3) sistem ginjal
Prinsip pengaturan keseimbangan asam–basa oleh sistem bufer
adalah menetralisir kelebihan ion hidrogen, bersifat temporer dan tidak
melakukan eliminasi (proses eliminasi dilakukan oleh paru dan ginjal).
Mekanisme paru dan ginjal dalam menunjang kinerja sistem bufer
adalah dengan mengatur sekresi, ekskresi, absorpsi ion hidrogen dan
bikarbonat serta membentuk bufer tambahan (fosfat, amonia).
Kedua prinsip pengaturan ini bertujuan mempertahankan pH darah
pada rentang 7,35–7,45.
Mekanisme tubuh melindungi dampak perubahan pH terdiri dari
dua tahap. Pertama, jangka pendek, melalui pengaturan sistem bufer.
Kedua, jangka panjang, kelebihan asam atau basa dieliminasi melalui
ginjal dan paru.
71
Melalui reaksi yang bersifat reversibel, bufer dapat mengatasi
perubahan konsentrasi ion hidrogen. Bila H+ bertambah ion hidrogen
ini akan bergabung dengan A–. Reaksi mengarah ke kiri, mengurangi
A– dan menambah HA. Bila H+ berkurang reaksi mengarah ke
kanan, meningkatkan A– dan mengurangi HA. Bufer secara langsung
segera mengambil atau melepaskan ion H+. Bufer mampu menahan
perubahan konsentrasi ion hidrogen dalam batas normal yang sempit.
Konsentrasi bufer cepat menurun dan habis. Untuk menjaga efektivitas
sistem bufer, ion hidrogen harus dieliminasi; dikeluarkan dari tubuh.
Efektivitas bufer sangat bergantung pada konstanta disosiasi
dan konsentrasi bufer (HA H++ A–). Sistem bufer yang baik adalah
bila jumlah A– cukup untuk mengikat seluruh penambahan H+ dan
HA cukup untuk mengganti seluruh H+ yang dikeluarkan dari tubuh.
Jumlah A– dan H+ paling banyak adalah bila jumlah HA = A–.
Konstanta disosiasi:
72
cadangan bikarbonat, khususnya dalam bentuk basa lemah yaitu
natrium bikarbonat (NaHCO3–).
Gambar 13. Sistim bufer. Sistem bufer fosfat bekerja terutama pada cairan intrasel,
sementara sistim bufer asam karbonat–bikarbonat bekerja pada cairan ekstrasel.
Sistim bufer protein bekerja pada kedua jenis cairan, yaitu cairan intrasel dan ekstrasel.
Pada ketiga sistim bufer ini terjadi interaksi secara ekstensif.
73
terbentuk akan mengalami disosiasi menjadi CO2 dan air; CO2 yang
dihasilkan akan dieliminasi melalui paru seperti terlihat pada gambar
14 (b).
Gambar 14. Sistem bufer asam karbonat–bikarbonat. (a) Komponen dasar sistem
bufer asam karbonat–bikarbonat menunjukkan hubungan antara karbon dioksida
dengan cadangan bikarbonat. (b) Respons sistem bufer asam karbonat–bikarbonat
terhadap penambahan ion hidrogen oleh asam non volatil dan asam organik pada
cairan tubuh.
Sistem bufer bikarbonat merupakan sistem bufer istimewa, sistem
bufer ini tetap merupakan sistem bufer terbaik pada pH 7,4 walaupun
pKa nya 6,1; karena dapat mengeluarkan CO2 melalui paru dalam
jumlah besar. Tubuh mempertahankan sistem bufer bikarbonat dengan
dengan pengaturan kadar karbondioksida di paru dan bikarbonat di
ginjal. Asam non volatil di bufer oleh HCO3– dan bufer lain.
74
Kurva ini menggambarkan titrasi sistim bikarbonat. Sumbu vertikal
menunjukkan pH pada larutan bufer (dalam hal ini darah), sedangkan
sumbu horizontal menunjukkan komposisi bufer: di sisi kiri kurva,
sebagian besar bufer terdapat dalam bentuk asam karbonat dan
karbondioksida sedangkan di sisi kanan terdapat dalam bentuk ion
bikarbonat.
Saat ditambahkan asam, pH mengalami penurunan. Terjadi per
geseran bufer dengan peningkatan H2CO3 dan CO2. Saat ditambah
kan basa, pH mengalami peningkatan. Terjadi pergeseran bufer
dengan peningkatan kadar HCO3–.
Lengkung kurva mengalami pendataran di daerah dengan pH
setara dengan nilai pK (6,1). Di daerah ini kapasitas bufer bekerja
maksimal karena relatif konsentrasi bikarbonat dan karbondioksida
menyebabkan hanya sedikit saja perubahan pH larutan. Namun,
pada pH lebih dari 7,1 kelengkungan kurva akan jauh lebih besar.
Pada kondisi ini, perubahan relatif dari konsentrasi bikarbonat dan
karbondioksida meyebabkan perubahan pH larutan dalam jumlah
besar. Karenanya, pada pH fisiologik 7,4 diperlukan peran organ–
organ lain dalam mengendalikan jumlah HCO3– dan CO2 di dalam
darah agar pH relatif konstan, sebagai dijelaskan sebelumnya.
Persentasi bufer dalam bentuk HCO3– dihitung berdasarkan rumus
berikut:
75
Keterangan:
pI adalah pH pada keadaan isoelektrik, yaitu keadaan dimana
jumlah muatan positif sama dengan jumlah muatan negatif
(keadaan netral).
76
• Sistem Bufer Hemoglobin
Bufer hemoglobin (Hb) merupakan bufer intrasel yang bekerja di
dalam sel darah merah. Hemoglobin dapat berfungsi sebagai bufer
karena mengandung residu histidin, yaitu asam amino basa yang
dapat berikatan secara reversibel dengan ion hidrogen, menghasilkan
Hb bentuk berproton dan tidak berproton. Mekanisme pengikatan
Hb dan ion hidrogen dapat dilihat pada gambar 16.
Gambar 16. Efek Bohr. CO2 yang dihasilkan di jaringan perifer berikatan
dengan air membentuk asam karbonat yang terdisosiasi menjadi ion H+
(proton) dan ion HCO3—. Deoksihemoglobin bertindak sebagai bufer yang
mengikat proton dan membawanya ke paru. Di dalam paru hemoglobin
melepaskan proton yang bergabung dengan ion bikarbonat membentuk
asam karbonat yang akan terurai menjadi H2O dan CO2 oleh enzim karbonat
anhidrase dan CO2 akan dikeluarkan oleh paru.
77
Bufer utama cairan ekstrasel adalah sistem bikarbonat dan hemoglobin.
Hemoglobin (Hb) penting sebagai pengangkut oksigen ke jaringan,
pengangkut CO2 dan sebagai sistem bufer yang kuat. Hemoglobin
sebagai bufer cukup efektif karena di dalam molekulnya terdapat
beberapa kelompok bufer dengan pKa 6,5–7,8. Kelompok imidazol
pKa sekitar 6 merupakan bufer utama hemoglobin. Fosfat dan Hb
penting karena pKa dekat dengan kisaran normal.
Fosfat Anorganik
Bufer ini berasal dari beberapa residu histidin protein dengan pK
berbeda. Pasangan ion fosfat ini berfungsi sebagai bufer fisiologis
terutama di cairan ekstra sel dengan rentang pH lebar, namun
jumlahnya hanya 1 mM dalam cairan ektrasel, kapasitasnya jauh
lebih rendah dari sistem bikarbonat. Di dalam cairan tubulus ginjal
dan cairan intrasel bufer fosfat sangat penting. pH intrasel lebih
rendah dari cairan ekstrasel begitu juga pada urin.
78
pH: 5,3 – 8,5
Fosfat Organik
ATP, ADP, G–6–P merupakan contoh fosfat organik dengan pKa
sekitar 7. Semua sistem bufer berfungsi secara bersamaan karena
perubahan konsentrasi ion H+ akan melibatkan seluruh sistem
secara serentak. Sistem bufer saling membufer satu sama lain.
Didalam kompartemen tubuh (misalnya plasma atau cairan intrasel),
pH pada seluruh sistem asam–basa sama karena semua berada
dalam keadaan seimbang dalam satu pool ion H+. Bila rasio K x
[HA] / [A-] pada salah satu bufer diketahui, maka rasio bufer lainnya
akan diketahui pula. Bila pH dan pKa seluruh sistem diketahui, maka
komposisi seluruh sistem bufer dapat diketahui pula. Meskipun,
seluruh sistem bufer menentukan pH plasma, tetapi cukup satu
sistem saja yang dipahami untuk mengerti sistem bufer plasma
secara keseluruhan.
79
Keseimbangan asam basa respirasi bergantung pada keseimbangan
produksi dan ekskresi CO2. Jumlah CO2 yang berada di dalam darah
tergantung pada metabolic rate (laju metabolisme) sedangkan proses
ekskresi CO2 tergantung pada fungsi paru.
Kelainan ventilasi dan perfusi pada dasarnya akan mengakibatkan
ketidakseimbangan rasio ventilasi perfusi sehingga pada akhirnya
akan terjadi V/Q mismatch (ketidakseimbangan ventilasi perfusi). Ketidak
seimbangan rasio ventilasi perfusi pada akhirnya dapat menyebabkan
hipoksia maupun retensi CO2 sehingga terjadi gangguan keseimbangan
asam basa. Kendali sistem ventilasi tergantung pada dua stimulus
utama yaitu peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2 (hipoksemia).
• Stimulus CO2
Stimulus CO2 terhadap ventilasi terjadi pada daerah kemosensitif
di pusat pernapasan pada medula oblongata. Karbondioksida me
rupakan stimulus utama pernapasan yang dapat terjadi walaupun
hanya terdapat sedikit peningkatan PaCO2. Pada kebanyakan orang
normal, setiap peningkatan 1 mmHg PaCO2 terjadi peningkatan
pernapasan sebesar 1-4 L/menit. Apabila terjadi peningkatan PaCO2
arteri seperti pada kelainan paru intrinsik dan penurunan pH akan
merangsang pernapasan yang bertujuan untuk menurunkan PaCO2.
Peningkatan PaCO2 adalah akibat penurunan ventilasi alveolar seperti
yang terjadi pada kelainan paru obstruktif, bukan akibat peningkatan
produksi CO2. Kegagalan dalam mempertahankan kadar CO2 akan
mengakibatkan akumulasi CO2 dan asidosis respiratorik
• Stimulus O2
Stimulus O2 terjadi melalui perantaraan kemoreseptor di badan
karotis yang terletak di percabangan arteri karotis. Hipoksemia akan
merangsang ventilasi apabila terjadi penurunan PaO2 di bawah
50–60 mmHg sehingga meningkatkan frekuensi napas yang meng
akibatkan penurunan PaCO2 dan meningkatkan pH (alkalosis
respiratorik) seperti dapat dilihat pada gambar 26.
• Hipoksemia
Hipoksemia adalah terjadinya penurunan tekanan parsial oksigen
(PaO2) < 80 mmHg pada orang dewasa yang menghirup udara pada
80
suhu ruangan. Pada bayi baru lahir rentang normal PaO2 berkisar
antara 40–70 mmHg. Secara klinis, hipoksemia dibagi menjadi a)
hipoksemia ringan (PaO2 60–80 mmHg), b) hipoksemia sedang (PaO2
40–60 mmHg) dan c) hipoksemia berat (PaO2 < 40 mmHg).
Keterangan:
PAO2 (Tekanan parsial O2 alveoli→ diperoleh dari Alveolar Gas Equation.
PaO2 (Tekanan parsial O2 arteri) → diperoleh dari pemeriksaan analisis gas darah.
81
Alveolar gas equation:
dimana:
Keterangan:
* PiO2 : tekanan parsial O2 pada saluran nafas
* FiO2 : fraksi oksigen inspirasi → FiO2 pada suhu ruangan = 0,21
* PaCO2: : nilai diperoleh dari analisis gas darah
* PB : tekanan barometrik (760 mmHg pada permukaan air laut)
Keterangan:
* PH2O : tekanan air vaporasi (47 mm Hg pada suhu 37oC)
*R : Respiratory quotient = VCO2 / VO2 = 0,8 (umum)
(rasio produksi CO2 terhadap konsumsi oksigen)
82
2.3.4.3. Pengaturan Keseimbangan Asam–Basa oleh Ginjal
• Sistem Renal
Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa, ginjal harus
mengeluarkan anion asam nonvolatil dan mengganti HCO3–. Ginjal
mengatur keseimbangan asam–basa dengan sekresi dan reabsorpsi
ion hidrogen dan ion bikarbonat. Pada mekanisme pengaturan oleh
ginjal ini berperan tiga sistem bufer asam karbonat–bikarbonat,
bufer fosfat dan pembentukan amonia. Ion hidrogen, CO2 dan NH3
diekskresi ke dalam lumen tubulus dengan bantuan energi yang
dihasilkan oleh mekanisme pompa natrium di basolateral tubulus.
Pada proses tersebut, asam karbonat dan natrium dilepas kembali
ke sirkulasi untuk dapat berfungsi kembali. Tubulus proksimal
adalah tempat utama reabsorpsi bikarbonat dan pengeluaran asam.
• Regenerasi Bikarbonat
Bikarbonat dipertahankan dengan cara reabsorpsi di tubulus
proksimal agar konsentrasi ion bikarbonat di tubulus sama dengan
di plasma. Pembentukan HCO3– baru, merupakan hasil ekskresi H+
dengan bufer urin dan dari produksi dan ekskresi NH4+. Bikarbonat
dengan ion hidrogen membentuk asam karbonat. Asam karbonat
kemudian berdisosiasi menjadi CO2 dan air. Reaksi ini dipercepat
oleh enzim anhidrase karbonat yang terdapat pada brush border
sel tubulus ginjal. CO2 ini masuk sel tubulus dan dengan bantuan
enzim anhidrase karbonat kembali membentuk asam karbonat.
Asam karbonat berdisosasi menjadi ion bikarbonat dan hidrogen.
Bikarbonat kembali ke aliran darah dan ion H+ kembali ke cairan
tubulus untuk dipertukarkan dengan natrium. Dengan cara ini
bikarbonat di reabsorbsi kembali. Berdasarkan pH urin, ginjal dapat
mengembalikan bikarbonat ke dalam darah atau membiarkannya
keluar melalui urin.
• Sekresi Ion Hidrogen
Ekskresi ion H+ dari tubulus proksimal dan distal sangat sedikit,
hanya sekitar 0,025 mmol/L (pH 4.6) atau 0,1 mEq/L pada pH urin
83
4,0. Untuk mengeluarkan 3040 mmol ion H+ menurut perhitungan
diperlukan urin 1200 L per hari. Namun adanya aktivitas bufer di
dalam lumen tubulus tidak memerlukan volume urin sebesar itu.
Bufer utama di lumen tubulus adalah fosfat (HPO42– / H2PO4–) dan
amonia (NH3). Fosfat di dalam tubulus bergabung dengan ion H+
membentuk H2PO4–.
Kemampuan pengaturan (eliminasi) ion H+ dalam keadaan normal
sangat tergantung pada pH cairan yang berada di tubulus ginjal
(normal berada pada rerata 4,0–4,5). Ion H+ diekskresikan dengan
bufer lumen tubulus terutama fosfat. Bila terjadi perubahan pH,
maka ion H+ di ekskresi melalui lumen tubulus. Proses eliminasi
ini berlangsung di tubulus proksimal dan distal serta pada duktus
koligentes. Normalnya berkisar 100 mEq ion H+ per hari, dan ini
setara dengan ion H+ yang diabsorbsi di usus. Ion H+ disekresikan
melalui pertukaran dengan ion Na+ dengan bantuan energi yang
berasal dari pompa Na–K–ATPase yang berfungsi mempertahankan
konsentrasi ion Na+. Sekresi ion H+ melintasi concentration gradient,
40 nmol/L di plasma dan 25.000 nmol/L (25 x 103 nmol/L) di urin.
Ginjal mampu mengeluarkan ion H+ melalui pompa proton (H–K–
ATPase dan H–ATPase) sampai pH urin turun menjadi 4,5.
• Produksi dan Ekskresi NH4+
Sungguhpun pasangan amonium/amonia tidak berfungsi bufer
secara fungsional (pKa = 9,4), tetapi mempunyai peran sebagai
pengangkut utama proton ke urin. Dengan cara ini dua kali jumlah
asam dapat dikeluarkan pada pH 4,5. Amonia dibuat di sel tubulus
ginjal dari asam amino glutamin dengan bantuan enzim glutaminase.
Enzim ini berfungsi optimal pada pH rendah. Amonia tidak diionisasi
dan cepat sekali merendahkan concentration gradient. Ammonia
bergabung dengan ion H+ membentuk ion amonium yang tidak
kembali ke sel tubulus dan keluar melaui urin bersamaan dengan
ion H+. Produksi dan ekskresi NH4+ diatur ginjal sebagai respons
perubahan keseimbangan asam basa. Anion asam nonvolatil
diekskresikan dengan NH4+. Setiap ekskresi NH4+ dalam urin, HCO3–
kembali ke dalam darah. Pengaturan keseimbangan asam–basa
oleh ginjal dapat dilihat pada gambar 18.
84
Gambar 18. Tubulus ginjal dengan pengaturan pH. (a) Sistem bufer pada tubulus
ginjal berperan dalam sekresi ion hidrogen. Terjadi interaksi ketiga sistem bufer. (b)
Ion amonium dan amonia diproduksi dari pemecahan glutamin. (c) Respons ginjal
terhadap alkalosis.
Daftar pustaka
1. Sharif–Naeni R, Ciural S, Zhang Z, Bourque CW. Contribution of TRPV channels
to osmosensory transduction, thirst and vasopressin release. Kidney Int. 2008; 73:
811–15.
2. Rose BD, Post TW. Volume regulation versus osmoregulation. UpToDate version
15.3:CD–ROM; 2007.
3. Rose BD, Post TW. Water balance and regulation of plasma osmolality. UpToDate
version 15.3:CD–ROM; 2007.
4. Rose BD. The steady state. UpToDate version 15.3:CD–ROM; 2007.
5. Morgan TJ. Standard Base Excess. Australasian Anaesth. 2003. 95–104.
6. Kellum JA. Review. Determinants of blood pH in health and disease. Crit Care 2000;
4: 6–14.
7. Fenci V, Jabor A, Kadza A, Figge J. Diagnosis of Metabolic Acid–Base Disturbances
in Critically Ill Patients. Am J Respir Crit Care Med. 2000; 162: 2246–51.
8. Waters J. Using Stewart for clinical gain [online] 2000 [cited 4 Jan 2006]; Available
from URL: http://www.anaesthetist.com/icu/elec/ionz/Findex.htm.
9. Higgins C. Technology. Parameters that reflect the carbon dioxide content of
blood. [online] 2008 [cited 2 May 2008]; Available from: URL: http://www.bloodgas.
org/0FB3F47D–E6B5–4FF3–8665–9FB79A7E1F3A.
85
BAB 3
Patofisiologi
86
1.1.1. Gangguan Volume
1.1.1.1. Hipovolemia
Hipovolemia adalah suatu keadaan berkurangnya volume (jumlah)
air ekstrasel. Kondisi ini akan menyebabkan hipoperfusi jaringan.
Hipovolemia disebut juga deplesi volume.
Pada hipovolemia, berkurangnya air dan natrium terjadi dalam
jumlah yang sebanding. Misalnya hilangnya air dan natrium melalui
saluran cerna seperti muntah dan diare, perdarahan atau melalui pipa
naso–gastrik. Hilangnya air dan natrium juga dapat melalui ginjal (misalnya
penggunaaan diuretik, diuresis osmotik, salt–wasting nephropathy,
hipoaldosteronisme), melalui kulit dan saluran nafas (misalnya insensible
water losses, keringat, luka bakar), atau melalui sekuestrasi cairan
(misalnya pada obstruksi usus, trauma, fraktur, pankreatitis akut).
Bila terjadi penurunan volume cairan ekstrasel, volume dan tekanan
darah akan berkurang. Hal ini akan menimbulkan rangsangan pada
sistem renin–angiotensin sehingga timbul respons berupa penurunan
produksi urin (restriksi pengeluaran cairan), rangsang haus diikuti
meningkatnya pemasukan cairan akan meningkatkan volume cairan
ekstrasel.
1.1.1.2. Dehidrasi
Dehidrasi adalah berkurangnya volume cairan intrasel akibat
perpindahan air intrasel ke ekstrasel. Perpindahan air ini terjadi
akibat peningkatan osmolalitas efektif cairan ekstrasel. Peningkatan
osmolalitas cairan ekstrasel terjadi karena cairan ekstrasel yang
terbuang (ke luar tubuh) bersifat hipotonik; berkurangnya air jauh
melebihi berkurangnya natrium di ekstrasel. Air dari intrasel berpindah
ke ekstrasel; hal ini merupakan bentuk regulasi agar osmolalitas cairan
intrasel sama dengan osmolalitas cairan ekstrasel (homeostasis).
Secara klinik perbedaan antara hipovolemia dan dehidrasi
terletak pada kadar natrium dalam plasma. Pada dehidrasi, dijumpai
hipernatremia sedangkan pada hipovolemia kadar natrium plasma
normal. Dehidrasi dapat terjadi akibat keluarnya air melalui keringat,
penguapan dari kulit, saluran cerna, diabetes insipidus (sentral dan
87
nefrogenik), atau diuresis osmotik; yang kesemuanya disertai gangguan
rasa haus atau gangguan akses cairan. Dehidrasi dapat pula terjadi
pada keadaan masuknya cairan ekstrasel ke intrasel secara berlebihan,
kejang hebat, setelah melakukan latihan berat, atau pada pemberian
cairan natrium hipertonik berlebihan.
Hipovolemia dan dehidrasi dapat timbul secara bersamaan bila
cairan hipotonik terbuang secara berlebihan hingga menimbulkan gejala
hipovolemia berat seperti hipotensi dan gejala klinik hipernatremia.
1.1.1.4. Hipervolemia
Hipervolemia adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan
volume cairan ekstrasel khususnya intravaskular (volume overload)
melebihi kemampuan tubuh mengeluarkan air melalui ginjal, saluran
cerna, dan kulit.
• Edema
Edema adalah suatu keadaan dimana terjadi akumulasi air di
jaringan interstisium secara berlebihan akibat penambahan volume
yang melebihi kapasitas penyerapan pembuluh limfe. Keadaan
ini memberi gejala klinis pembengkakan (edema). Edema juga
merupakan refleksi dari kelebihan natrium dan hipervolemia.
88
Mengapa pada edema tidak terjadi hipernatremia dapat dijelaskan
sebagai akibat meningkatnya sekresi ADH dari hipotalamus dan adanya
rangsang rasa haus akibat kelebihan natrium (hiperosmolalitas) yang
menyebabkan retensi air sehingga tidak terjadi hipernatremia.
Menurut lokasi, edema dapat dibagi (1) edema menyeluruh
(generalisata) disebabkan oleh penurunan tekanan osmotik koloid
pada hipoproteinemia dan (2) edema lokal, disebabkan oleh
kerusakan kapiler, konstriksi sirkulasi (vena regional) atau sumbatan
drainase limfatik.
Ada dua faktor yang menentukan terjadinya edema, antara lain
(1) perubahan hemodinamik dalam kapiler yang memungkinkan
keluarnya cairan intravaskular ke jaringan interstisium dan (2)
retensi natrium di ginjal.
Hemodinamik dalam kapiler dipengaruhi oleh (1) permeabilitas
kapiler, (2) selisih tekanan hidrolik dalam kapiler dengan tekanan
hidrolik dalam interstisium, (3) Selisih tekanan onkotik dalam plasma
dengan tekanan onkotik dalam interstisium.
Retensi natrium dipengaruhi oleh
• Aktivitas sistem renin–angiotensin–aldosteron yang erat kaitan
nya dengan baroreseptor di arteri aferen glomerulus ginjal.
• Aktivitas ANP (atrial natriuretic peptide) yang erat kaitannya
dengan baroreseptor di atrium dan ventrikel jantung.
• Aktivitas saraf simpatis ADH yang erat kaitannya dengan
baroreseptor di sinus–karotikus.
• Osmoreseptor di hipotalamus
89
1.1.2. Gangguan Keseimbangan Natrium
1.1.2.1. Hiponatremia
Hiponatremia adalah suatu keadaan dimana tdijumpai kelebihan
cairan relatif. Hal ini terjadi bila (1) jumlah asupan air melebihi
kemampuan ekskresi dan (2) ketidakmampuan menekan sekresi ADH,
misalnya pada kehilangan air melalui saluran cerna, gagal jantung
dan sirosis hati atau pada SIADH (Syndrome of Inappropriate ADH–
secretion).
Gambar 19. Hiponatremia sebagai bagian dari gangguan keseimbangan air dan natrium.
90
Sekresi ADH meningkat akibat deplesi volume sirkulasi efektif
seperti pada muntah, diare, perdarahan, jumlah urin meningkat, gagal
jantung, sirosis hati, SIADH, insufisiensi adrenal, dan hipotiroid. Pada
polidipsia primer dan gagal ginjal terjadi ekskresi cairan lebih rendah
dibanding asupan cairan sehingga menimbulkan respons fisiologik
yang menekan sekresi ADH. Respons fisiologik dari hiponatremia
adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga
ekskresi urin meningkat karena saluran–air (AQP2A) di bagian apikal
duktus koligentes berkurang (osmolaritas urin rendah).
Pemberian cairan iso–osmotik yang tidak mengandung natrium
ke dalam cairan ekstrasel dapat menimbulkan hiponatremia disertai
osmolalitas plasma normal. Tingginya osmolalitas plasma pada
keadaan hiperglikemia atau pemberian manitol intravena menyebabkan
cairan intrasel keluar dari sel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel
yang menyebabkan hiponatremia.
Dalam keadaan normal, 93% dari volume plasma terdiri dari air dan
elektrolit sedang 7% sisanya terdiri dari lipid dan protein. Pada hiper
lipidemia atau hiperproteinemia berat akan terjadi penurunan volume air
plasma menjadi 80% sedang jumlah natrium plasma tetap dan osmo
lalitas plasma normal; akan tetapi karena kadar air plasma berkurang
(pseudohiponatremia) kadar natrium dalam cairan plasma total yang
terdeteksi pada pemeriksaan laboratorium lebih rendah dari normal.
• Hiponatremia Akut
Hiponatremia akut adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung
cepat (kurang dari 48 jam). Pada keadaan ini akan terjadi gejala
yang berat seperti penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi
akibat edema sel otak, karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel
yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga sebagai
hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat.
• Hiponatremia Kronik
Hiponatremia kronik adalah kejadian hiponatremia yang berlangsung
lambat (lebih dari 48 jam). Pada keadaan ini tidak terjadi gejala
yang berat seperti penurunan kesadaran atau kejang (ada proses
adaptasi), gejala yang timbul hanya ringan seperti lemas atau
mengantuk. Pada keadaan ini tidak ada urgensi melakukan koreksi
konsentrasi natrium, terapi dilakukan dalam beberapa hari dengan
memberikan larutan garam isotonik. Kelompok ini disebut juga
sebagai hiponatremia asimptomatik.
91
1.1.2.2. Isonatremia
Isonatremia adalah suatu keadaan patologis yang tidak menyebab
kan gangguan pada kadar natrium di dalam plasma (osmolalitas
plasma tetap berada dalam keadaan normal). Keadaan seperti ini
dapat dijumpai pada:
• Turunnya kadar Na tubuh total diikuti oleh berkurangnya air tubuh
total dalam jumlah seimbang. Terjadi karena pemberian diuretik
jangka panjang (kronik) atau pada beberapa kondisi seperti muntah,
diare, perdarahan dan thrid space sequestration.
• Kondisi normal (steady state)
• Peningkatan Na tubuh total diimbangi oleh peningkatan air tubuh total.
Terjadi pada pemberian natrium isotonik berlebihan (hipervolemia).
Keterangan:
Kadar natrium urin 24jam
Gambar 20. Isonatremia sebagai bagian dari gangguan keseimbangan air dan elektrolit.
92
1.1.2.3. Hipernatremia
Hipernatremia adalah suatu keadaan dimana terjadi defisit cairan
relatif. Hipernatremia jarang terjadi, umumnya disebabkan resusitasi
cairan menggunakan larutan NaCl 0.9% (kadar natrium 154 mEq/L)
dalam jumlah besar. Hipernatremia juga dijumpai pada kasus dehidrasi
dengan gangguan rasa haus (misal pada kondisi kesadaran terganggu
atau gangguan mental).
Hipernatremia terjadi bila:
• Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi
natrium atau asupan air yang kurang. Misalnya pada pengeluaran
air tanpa elektrolit melalui insensible water loss atau keringat;
osmotik diare akibat pemberian laktulosa atau sorbitol; diabetes
insipidus sentral maupun nefrogenik; diuresis osmotik akibat
glukosa atau mannitol; gangguan pusat rasa haus di hipotalamus
akibat tumor atau gangguan vaskular.
• Penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan dalam tubuh,
misalnya koreksi bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik.
• Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya pada latihan
(olahraga berat), asam laktat dalam sel meningkat sehingga
osmolalitas sel juga meningkat dan air dari ekstrasel akan masuk
ke intrasel. Biasanya kadar natrium akan kembali normal dalam
waktu 5–15 menit setelah istirahat.
93
Respons fisiologik yang timbul pada hipernatremia adalah me
ningkat
nya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga ekskresi
urin berkurang, karena saluran–air (AQP2) di bagian apikal duktus
koligentes bertambah (osmolalitas urin tinggi).
Gambar 21. Hipernatremia sebagai bagian dari gangguan keseimbangan air dan natrium.
1.1.3. Gangguan Keseimbangan Kalium
Kadar normal kalium plasma berkisar antara 3,5–5 mEq/L. Bila
kadar kalium kurang dari 3,5 mEq/L disebut sebagai hipokalemia dan
kadar kalium lebih dari 5 mEq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kedua
keadaan ini dapat menyebabkan kelainan fatal penghantaran arus
94
listrik jantung yang disebut disebut aritmia. Kelebihan ion kalium darah
akan menyebabkan gangguan berupa penurunan potensial trans–
membran sel. Pada pacemaker jantung terjadi peningkatan frekuensi
sedangkan pada otot jantung terjadi penurunan kontraktilitas bahkan
ketidakberdayaan otot (flaccid) dan dilatasi. Kekurangan ion kalium ini
menyebabkan frekuensi denyut jantung melambat.
1.1.3.1. Hipokalemia
Hipokalemia merupakan kejadian yang sering dijumpai di klinik.
Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut:
• Asupan kalium kurang
• Pengeluaran kalium berlebihan
• Kalium masuk ke dalam sel
95
• Asupan Kalium Kurang
Kalium yang masuk ke dalam tubuh dalam keadaan fungsi ginjal yang
normal, akan di ekskresikan melalui ginjal. Makin tinggi asupan kalium,
makin tinggi ekskresi melalui ginjal, demikian sebaliknya bila asupan
kalium rendah. Asupan kalium normal berkisar antara 40–120 mEq per
hari. Dalam keadaan normal ekskresi kalium melalui ginjal dapat minimal
sampai 5 mEq per hari untuk mempertahankan kadar kalium normal
dalam darah, sejalan dengan rendahnya asupan kalium. Hipokalemia
akibat asupan kalium rendah saja, jarang terjadi dalam klinik. Biasanya
disertai oleh masalah lain misalnya pada pemberian diuretikum atau
pemberian diet rendah kalori pada program menurunkan BB.
96
(sindroma Bartter atau Gitelman, hiperkalsemia). Pengeluaran kalium
berlebihan melalui keringat dapat terjadi bila dilakukan latihan berat pada
lingkungan yang panas sehingga produksi keringat mencapai 10 L.
1.1.3.2. Hiperkalemia
Istilah hiperkalemia digunakan bila kadar kalium dalam plasma
lebih dari 5 mEq/L. Dalam keadaan normal jarang terjadi hiperkalemia
oleh karena adanya mekanisme adaptasi oleh tubuh. Hiperkalemia
dapat disebabkan oleh (1) keluarnya kalium dari intrasel ke ekstrasel
dan (2) berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal.
97
Gambar 23. Skema pendekatan diagnostik hiperkalemia
98
• Berkurangnya Ekskresi Kalium Melalui Ginjal
Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal terjadi pada keadaan
hipoaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif,
pemakaian siklosporin. Hiperkalemia juga timbul akibat koreksi ion kalium
berlebihan dan pada kasus–kasus yang mendapat terapi angiotensin–
converting enzyme inhibitor dan potassium sparing dieuretics.
Meskipun banyak faktor yang memengaruhi ekskresi kalium, regulasi
keseimbangan K+ sangat dipengaruhi oleh kondisi replesi dan deplesi
K+.
Tabel 8. Faktor yang berperan pada ekskresi kalium
99
2. Gangguan Keseimbangan Asam-Basa
2.1. Aspek Klinik dan Klasifikasi
Gangguan keseimbangan asam–basa disebabkan oleh faktor–
faktor yang memengaruhi mekanisme pengaturan keseimbangan
antara lain sistem bufer, sistem respirasi, fungsi ginjal, gangguan
sistem kardiovaskular maupun gangguan fungsi susunan saraf pusat.
Gangguan keseimbangan asam–basa serius biasanya menunjukkan
fase akut, ditandai dengan pergeseran pH menjauhi batas nilai normal.
Nilai pH abnormal meskipun salah satu nilai komponen gas darah
lainnya (PCO2, HCO3–) masih berada dalam batas normal. Bila kondisi
tersebut berlanjut, terjadi reaksi penyesuaian yang bersifat fisiologik
dan pada kondisi ini disebut fase kompensasi. Jika kondisi penyebab
tidak diatasi, maka mekanisme kompensasi tidak mampu mengatasi
perubahan yang terjadi, hal ini disebut fase tidak terkompensasi.
Klasifikasi yang umum digunakan umumnya menggambarkan
masalah dan kelainan yang terjadi, sesuai dengan namanya.
• Gangguan keseimbangan asam–basa respiratorik
Terjadi karena ketidakseimbangan antara pembentukan CO2 di
jaringan perifer dengan ekskresinya di paru; ditandai oleh peningkatan
atau penurunan konsentrasi CO2
• Gangguan keseimbangan asam–basa metabolik
Terjadi karena pembentukan CO2 oleh asam fixed dan asam organik
yang menyebabkan peningkatan ion bikarbonat di jaringan perifer
atau cairan ekstrasel.
100
Kemoreseptor yang terletak pada medula dan badan karotis akan
memberi respons terhadap perubahan PCO2. Pada beberapa keadaan
respons kemoreseptor di medula akan menyebabkan peningkatan
ventilasi paru.
Pada keadaan normal perubahan PCO2 dikendalikan oleh kemo
reseptor pusat (medula). Bila terdapat hipoksia atau hiperkapnia
kronik, maka kemungkinan terjadi supresi kemoreseptor pusat seperti
dijumpai pada penderita penyakit paru obstruksi kronik (PPOK). Pada
keadaan tersebut, ventilasi akan dipertahankan oleh kemoreseptor
pada badan karotis sebagai respons terhadap perubahan PO2 dan
perubahan pH. Bila keadaan berlanjut dan kemoreseptor gagal
memberikan respons atau pada keadaan dimana sirkulasi paru
inadekuat, maka pH akan turun dan timbul asidosis respiratorik akut.
Keterangan:
lss = likuor serebrospinalis
101
Etiologi
Beberapa faktor di bawah ini dapat menimbulkan asidosis respiratorik,
antara lain:
a. Inhibisi pusat pernapasan
- Obat yang menimbulkan depresi pusat pernapasan: sedatif,
anastetikum
- Central sleep apnea
- Kelebihan O2 pada hiperkapnia atau hipoksemia kronik
b. Penyakit neuromuskular
- Neurologik: poliomielitis, sindrom Guilain Barré
- Muskular: hipokalemia, muscular distrophy
c. Obstruksi jalan napas
- Asma bronkial
- Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK)
- Spasme laring
- Aspirasi
- Obstructive sleep apnea
d. Kelainan restriktif:
- Penyakit pleura: efusi pleura, empiema, pneumotoraks, fibrotoraks
- Kelainan dinding dada: kifoskoliosis, obesitas
- Kelainan restriktif paru : fibrosis pulmoner, pneumonia, edema paru
e. Mechanical under ventilation
f. Overfeeding
Hiperkapnia disebabkan oleh karena produksi CO2 yang berlebihan
pada overfeeding. Proses oksidasi karbohidrat, lemak dan protein
dalam menghasilkan energi membutuhkan oksigen (O2) dan meng
hasilkan CO2 dan H2O yang dapat digambarkan dengan respiratory
quotient (RQ). RQ merupakan perbandingan antara CO2 yang dihasil
kan dengan kebutuhan O2 dari masing–masing substrat. RQ untuk
karbohidrat adalah 1, protein 0,8 dan lemak 0,7. Lipogenesis akan
menghasilkan RQ lebih besar dari 1. Pemberian diet tinggi karbohidrat
dapat meningkatkan produksi CO2, sementara diet tinggi lemak dapat
menyebabkan peningkatan oksidasi asam lemak yang berakibat
konsumsi O2 dan produksi CO2 meningkat. Hal ini menjelaskan bahwa
pemberian kalori secara berlebihan, baik yang berasal dari karbohidrat
maupun lemak, akan meningkatkan konsumsi O2 dan produksi CO2.
102
• Asidosis Respiratorik Akut
Pada asidosis respiratorik akut terjadi gangguan eliminasi CO2
secara akut dan umumnya disertai dengan hipoksemia sehingga terjadi
stimulasi ventilasi yang bertujuan untuk meningkatkan eliminasi CO2 dan
meningkatkan O2, misalnya pada eksaserbasi akut asma, pneumonia,
pengaruh obat sedatif yang berlebihan, pneumotoraks, henti jantung atau
tenggelam. Respons bufer HCO3– oleh ginjal dalam plasma terjadi dalam
beberapa menit namun kompensasi ini belum sempurna.
Kompensasi secara sempurna terjadi dalam beberapa hari.
Respons ginjal dapat berupa peningkatan ekskresi ion H+, peningkatan
reabsorpsi HCO3– di tubulus proksimal dan peningkatan produksi
HCO3– di tubulus distal. Manifestasi klinis asidosis respiratorik bervariasi
tergantung derajat keparahannya dan penyakit dasar yang menyertainya.
Peningkatan PaCO2 secara akut akan mengakibatkan penurunan
kesadaran (confusion sampai somnolen) bahkan dapat terjadi narkose
CO2. Gas CO2 merupakan vasodilator serebral maka pembuluh darah di
fundus optikus akan dilatasi bahkan dapat terjadi edema papil.
Prinsip dasar terapi asidosis respiratorik adalah mengobati penyakit
dasarnya dan dukungan ventilasi (ventilation support). Hiperkapnia
akut merupakan keadaan kegawatan medis karena respons ginjal
berlangsung lambat dan biasanya disertai hipoksemia, sehingga, bila
terapi yang ditujukan untuk penyakit dasar maupun terapi oksigen
sebagai suplemen tidak memberikan respons baik, maka mungkin
diperlukan bantuan ventilasi mekanik; baik invasif maupun non invasif.
• Asidosis respiratorik kronik
Asidosis respiratorik kronik dapat terjadi oleh berbagai keadaan
antara lain PPOK, sleep apnea, obesitas, kelainan dinding dada dan
lain sebagainya. Pada gagal napas kronik terjadi retensi CO2 secara
kronik dan hipoksemia kronik. Tubuh telah beradaptasi pada keadaan
ini sehingga dorongan untuk bernapas bukan lagi disebabkan oleh
peningkatan CO2 akut namun oleh hipoksemia kronik. Oleh karena itu
tindakan koreksi gagal napas akut pada penderita gagal napas kronik
perlu berhati-hati karena dapat menyebabkan hilangnya dorongan
untuk bernapas.
103
2.2.2. Alkalosis respiratorik
Pada alkalosis respiratorik terjadi hiperventilasi alveolar sehingga
terjadi penurunan PaCO2 (hipokapnia) yang dapat menyebabkan
peningkatan pH.
Hiperventilasi alveolar timbul karena adanya stimulus baik langsung
maupun tidak langsung pada pusat pernapasan, penyakit paru akut
dan kronik, overventilasi iatrogenik (penggunaan ventilasi mekanik).
Hiperventilasi kronik umumnya bersifat asimptomatik sedangkan
hiperventilasi akut ditandai dengan rasa ringan di kepala (pusing),
parestesia, circumoral numbness dan kesemutan.
Etiologi
Beberapa faktor berikut ini dapat menimbulkan alkalosis respiratorik:
a. Rangsang hipoksemia
- Penyakit paru dengan kelainan gradien A – a
- Penyakit jantung dengan right to left shunt
- Penyakit jantung dengan edema paru
- Anemia gravis
b. Stimulasi pusat pernapasan di medula
- Kelainan neurologik
- Psikogenik misalnya serangan panik, nyeri
- Gagal hati dengan ensefalopati
- Kehamilan
c. Mechanical over ventilation
d. Sepsis
e. Pengaruh obat: salisilat, hormon progesteron
104
Gambar 26. Pengaturan keseimbangan asam–basa respiratorik: Alkalosis respiratorik
yang disebabkan aktivitas pernapasan berlebihan dan inadekuat. Pada pasien
normal, respons respiratorik yang dikombinasi dengan respons ginjal umumnya
mampu mengembalikan keseimbangan ke tingkat normal
• Alkalosis Respiratorik
Pada alkalosis respiratorik terjadi hiperventilasi alveolar sehingga
terjadi penurunan PaCO2 (hipokapnia) yang dapat menyebabkan
peningkatan pH.
Hiperventilasi alveolar timbul karena adanya stimulus baik langsung
maupun tidak langsung pada pusat pernapasan, penyakit paru akut
dan kronik, overventilasi iatrogenik (penggunaan ventilasi mekanik).
105
Hiperventilasi kronik umumnya bersifat asimptomatik sedangkan hiper
ventilasi akut ditandai dengan rasa ringan di kepala (pusing), parestesia,
circumoral numbness dan kesemutan.
Etiologi
Beberapa faktor berikut ini dapat menimbulkan alkalosis respiratorik:
a. Rangsang hipoksemia
- Penyakit paru dengan kelainan gradien A–a
- Penyakit jantung dengan right to left shunt
- Penyakit jantung dengan edema paru
- Anemia gravis
b. Stimulasi pusat pernapasan di medula
- Kelainan neurologis
- Psikogenik misalnya serangan panik, nyeri
- Gagal hati dengan ensefalopati
- Kehamilan
c. Mechanical over ventilation
d. Sepsis
e. Pengaruh obat : salisilat, hormon progesteron
106
a. Pembentukan asam yang berlebihan (asam non volatil dan asam
organik) di dalam tubuh. Ion hidrogen dibebaskan oleh sistem bufer
asam karbonat–bikarbonat, sehingga terjadi penurunan pH. Dalam
klinik ditemukan keadaan ini seperti pada:
• Asidosis laktat. Timbul karena hipoksia jaringan berkepanjangan,
mengakibatkan berlangsungnya proses metabolisme anaerob.
• Ketoasidosis. Timbul karena produksi badan keton dalam jumlah
sangat tinggi pada metabolisme fase pasca absortif. Ketoasidosis
merupakan akibat dari starvasi dan komplikasi diabetes mellitus
yang tidak terkendali, jaringan tidak dapat memanfaatkan
glukosa dari sirkulasi, sehingga mengandalkan metabolisme
lipid dan keton.
• Intoksikasi salisilat.
• Intoksikasi etanol.
b. Berkurangnya kadar ion HCO3– di dalam tubuh.
Sistem bufer asam karbonat–bikarbonat yang mengatur kese
imbangan ion hidrogen dan memengaruhi keseimbangan pH.
Penurunan konsentrasi HCO3– di cairan ekstrasel menyebabkan
penurunan efektivitas sistem bufer dan asidosis timbul. Penyebab
penurunan konsentrasi HCO3– antara lain adalah diare, renal tubular
acidosis (RTA) proksimal (RTA–2), pemakaian obat inhibitor enzim
anhidrase karbonat atau pada penyakit ginjal kronik stadium III–IV.
c. Adanya retensi ion hidrogen di dalam tubuh.
Jaringan tidak mampu mengupayakan ekskresi ion hidrogen melalui
ginjal. Kondisi ini dijumpai pada penyakit ginjal kronik stadium IV–V,
RTA–1 atau RTA–4.
107
Gambar 27. Respons terhadap asidosis metabolik. Asidosis metabolik dapat disebabkan (a)
peningkatan produksi asam atau penurunan sekresi asam yang mengakibatkan akumulasi
ion H+ pada cairan tubuh, atau (b) kehilangan ion bikarbonat yang mengakibatkan sistem
bufer asam karbonat–bikarbonat tidak mampu mencegah penurunan pH. Kompensasi
respiratorik dan ginjal dapat mempertahankan stabilitas pH, namun aspek kimia darah
tetap abnormal sampai produksi atau sekresi asam dan ion bikarbonat kembali normal.
108
Pada prinsipnya, penyebab gangguan harus diketahui sebelum
melakukan pengobatan. Penyebab potensial demikian bervariasi
sehingga seorang klinikus harus menegakkan diagnosis. Pada
beberapa keadaan, diagnosis sangat jelas. Sebagai contoh misalnya
kasus asidosis metabolik yang terjadi pada seorang setelah melakukan
aktivitas fisik, tentunya jenis asidosis laktat. Kasus lainnya harus
ditelusuri lebih lanjut.
Untuk mengetahui etiologi dari tiap tiap kelompok penyebab
asidosis metabolik tersebut perlu diketahui besarnya anion gap.
Anion gap
Dalam keadaan normal, jumlah anion dan jumlah kation di dalam
tubuh adalah sama besar. Ada anion dan kation yang dapat dihitung
(Cl–, HCO3– dan Na+) dan ada anion dan kation yang tak dapat dihitung
(anion atau kation lain dari zat organik). Selisih antara Na dengan
HCO3– dan Cl– atau selisih dari anion lain dan kation lain disebut
sebagai anion gap.
109
ion hidrogen sebagai penyebab asidosis metabolik, besar anion gap
meningkat, misalnya pada penyakit ginjal kronik stadium IV–V, dan
besar anion gap normal misalnya pada renal tubular acidosis (RTA–1
atau RTA–4).
110
kadar HCO3– di arteri berubah. Usaha tubuh untuk memperbaiki rasio
ini dilakukan oleh paru dengan menurunkan ventilasi (hipoventilasi)
sehingga PCO2 meningkat dalam arteri dan meningkatnya konsentrasi
HCO3– dalam urin (lihat gambar 28). Pada alkalosis metabolik yang
sederhana, kenaikan kadar HCO3– 1 mEq/L akan menyebabkan
kenaikan PCO2 sebesar 0,7 mmHg.
Etiologi
Penyebab alkalosis metabolik dapat antara lain:
a. Terbuangnya ion H+ melalui saluran cerna atau melalui ginjal dan
berpindahnya (shift) ion H+ masuk ke dalam sel.
b. Terbuangnya cairan bebas–bikarbonat dari dalam tubuh (contraction
alkalosis).
c. Pemberian bikarbonat berlebihan.
Dalam keadaan normal, sekresi ion H+ oleh gaster akan merangsang
ekskresi bikarbonat oleh pankreas dan penyanggaan ini berlangsung
adekuat (tidak terjadi gangguan keseimbangan asam–basa). Terbuangnya
ion H+ akibat muntah muntah maupun pemakaian pipa nasogastrik yang
terbuka, ion bikarbonat tidak diekskresi oleh pankreas karena hilangnya
stimulus oleh ion H+ di duodenum. Akibatnya hilangnya ion H+ yang tidak
diimbangi oleh berkurangnya bikarbonat akan menimbulkan alkalosis.
Sekresi ion H+ melalui ginjal, akan meningkat pada keadaan
keadaan hiperal–dosteronisme primer, penggunaan diuretic loop dan
tiazid, pasca hiperkapnia, hiperkalsemia. Penggunaan diuretic loop dan
tiazid akan meningkatkan kadar aldosteron, sekunder dari pengurangan
volume plasma. Deplesi volume plasma akan merangsang sistem renin–
aldosteron–angiotensin. Semua keadaan keadaan ini akan merangsang
peningkatan sekresi ion H+ dan reabsorbsi bikarbonat dalam tubulus.
Sekresi ion H+ melalui tubulus juga meningkat pada keadaan
asidosis dalam sel akibat masuknya ion H+ ke dalam sel. Keadaan
hipokalemia akan merangsang keluarnya kalium dalam sel masuk ke
dalam plasma. Untuk menjaga keadaan keseimbangan elektrik, ion H+
masuk ke dalam sel sehingga terjadi asidosis intrasel. Asidosis intrasel
merangsang sekresi ion H+ meningkat ke lumen tubulus mengakibatkan
peningkatan reabsorbsi ion–bikarbonat.
111
Terbuangnya cairan bebas–bikarbonat dalam jumlah besar misalnya
pada pemberian diuretic loop dalam dosis yang tinggi, akan me
ningkatkan kadar bikarbonat per liter plasma akibat volume plasma
yang berkurang. Pemberian bikarbonat tanpa kendali pada keadaan
ketoasidosis diabetik atau asidosis laktat dapat mengakibatkan
alkalosis metabolik. Pemberian insulin pada ketoasidosis diabetikum
atau perbaikan oksigenisasi jaringan pada asidosis laktat akan dengan
cepat meningkatkan kadar bikarbonat plasma.
Alkalosis metabolik juga ditemukan pada Sindroma Bartter dan
Sindroma Gitelman suatu keadaan terjadinya mutasi genetik pada
transporter Na–K–Cl di bagian asending loop–Henle (Bartter) dan di
tubulus distal (Gitelman). Keadaan ini menyerupai alkalosis metabolik
akibat diuretic loop atau tiazid.
Gambaran umum pengaturan keseimbangan asam basa oleh
sistem respirasi dan ginjal dapat dilihat pada gambar 28.
112
Definisi gangguan keseimbangan asam basa dapat dilihat pada tabel 9.
Daftar pustaka
1. Sherwood L. Human Physiology. From cells to systems. 3rd ed. Belmont:
Wadsworth Publishing Co. 1997; p 524–538.
2. Martini FH. Fundamentals of anatomy and physiology, 5th ed. New Jersey: Prentice
Hall; 2001. ch: 2 p.29–63, ch: 27 p.984–1015
3. Marik PE, Handbook of Evidence–Based Critical Care. New York: Springer; 2001;
ch:29 p.241–250, ch: 30 p.251–262.
4. Finberg L, Kravath RE, Hellerstein S. Water and electrolytes in pediatrics.
Physiology, pathology and treatment, 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders Co.1993.
5. Markum AH, Ismael S, Alatas H, Akib A, Firmansyah A, Sastroasmoro S. Ilmu
kesehatan anak. Buku ajar, jilid 1. Jakarta: Bagian ilmu kesehatan anak FKUI
Jakarta. FKUI. 1999; hal.80–113.
6. Sunaryo. Obat yang mempengaruhi metabolisme elektrolit dan konservasi air,
diuretik dan antidiuretik. Dalam: Ganiswarna, SG, Setiabudy R, Suyatna FD,
Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi, edisi ke empat. Jakarta: Bagian
Farmakologi FKUI. 1995; hal. 380–399.
7. Davenport HW. The ABC of acid–base chemistry. 6th ed. Chicago & London: The
University Chicago Press: 1974; p.37–53.
8. Chang R. Physical chemistry with applications to biological systems. 2nd ed. New
York: Macmillan Publishing Co, Inc: 1981. p 310–342
9. Guyton CA. Textbook of medical physiology. 8th ed. New York: WB Saunders. Co
1991; p.330 – 343.
10. Burton, David, Rose. Clinical Physiology of acid–base and electrolyte disorders,
4th ed. New York: McGraw Hill. 2000; p.353–355.
113
11. Isselbacher KJ, Adams, RD, Braunwald, E, Petersdorf, RG, Wilson, JD. Harrison’s
principles of internal medicine, 9th ed. Auckland: McGraw–Hill International Book
Co. 1982.
12. Braunwald E, Fauci A, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s
principles of internal medicine, 15th ed. Auckland: McGraw–Hill International Book
Co.1999; vol2.
13. Newton LE, Morgan SLM. Pulmonary disease. Dalam: Heimburger DC, Ard JD,
editor. Handbook of Clinical Nutrition 4th ed. Philadephia: Mosby Elsevier. 2006;
503–9.
14. Vanek VW. Assessment and management of acid–base abnormalities. Dalam:
Shikora SA, Martindale RG, Schwaitzberg SD, editor. Nutritional Considerations in
the Intensive Care Unit. Dubuque: Kendall/Hunt Publishing Co. 2002; 101–9.
15. Morgan TJ. Standard Base Excess. Australasian Anaesth. 2003; 95–104.
16. Kellum JA. Review. Determinants of blood pH in health and disease. Crit Care
2000; 4: 6–14
17. Fenci V, Jabor A, Kadza A, Figge J. Diagnosis of Metabolic Acid–Base Disturbances
in Critically Ill Patients. Am J Respir Crit Care Med. 2000; 162: 2246–51.
18. Kellum JA, Puyana JC. Acid–base disorders. In: Souba WW, Fink MP, Jurkovitch
GJ, Kaiser LP, Pearce WH, Pemberton JH, et al., editors. ACS Surgery: Principles
and Practice: WebMD Professional Publishing. 2006; 1–13.
114
BAB 4
Diagnosis dan Tatalaksana
1. Diagnosis
1.1.1.1. Hipovolemia
Umumnya kehilangan cairan sampai dengan 10–20% tidak
menimbulkan gejala klinik. Istilah hipovolemia ringan digunakan bila
terdapat kehilangan kurang dari atau sama dengan 20% volume
plasma dengan gejala klinis takikardia. Hipovolemia sedang bila
terdapat kehilangan 20%–40%.8 volume plasma dengan gejala klinik
takikardia dan hipotensi ortostatik. Hipovolemia berat bila terjadi
kehilangan lebih dari atau sama dengan 40% volume plasma dengan
gejala klinik penurunan tekanan darah, takikardia, oliguria, agitasi, dan
kekacauan berpikir. Perfusi terganggu, hal ini dapat dinilai secara klinik
dengan melakukan pemeriksaan fisik, kulit, bibir dan pangkal kuku
pucat, capillary refill berkurang, disamping timbulnya rasa haus
1.1.1.2. Dehidrasi
Dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intra dan ekstrasel
secara bersamaan dimana 40% dari cairan yang hilang berasal dari
ekstrasel dan 60% dari intrasel. Hipernatremia merupakan tanda klinik
dari dehidrasi.
8
Volume plasma jumlahnya 7.5% dari BB orang dewasa. Bila terdapat deplesi volume ringan (20%) pada
orang dewasa dengan BB 60 kg, volume cairan yang hilang besarnya 20% dari 3,6 liter atau 0,72 liter
(720 mL).
115
Defisit cairan tubuh total ini dapat dihitung dengan rumus:
1.1.1.3. Euvolemia
Volume air tubuh total tidak berubah namun terjadi perpindahan air
karena perubahan kadar elektrolit khususnya natrium.
1.1.1.4. Hipervolemia
• Edema
Akumulasi cairan di jaringan interstisium dapat dideteksi secara
klinis sebagai suatu pembengkakan. Tergantung penyebabnya,
pembengkakan akibat akumulasi cairan ini disertai atau tanpa terjadi
penurunan volume intravaskular (sirkulasi). Penyebabnya antara lain
adalah kegagalan jantung dalam menjalankan fungsinya, kegagalan
ginjal dalam menjalankan fungsi ekskresi, kegagalan atau kelainan
sistem pembuluh limfatik, dan gangguan permeabilitas kapiler (syok
luka bakar, dengue shock syndrome) dan hipoproteinemia berat yang
menyebabkan gangguan tekanan osmotik koloid.
1.1.2.2. Isonatremia
Keadaan seperti ini dapat dijumpai pada penurunan kadar Na tubuh
total diikuti oleh berkurangnya air tubuh total dalam jumlah seimbang;
terjadi karena pemberian diuretik jangka panjang (kronik) atau pada
116
beberapa kondisi seperti muntah, diare, perdarahan dan thrid space
sequestration. Selain itu, dapat juga dijumpai pada Peningkatan Na
tubuh total diimbangi oleh peningkatan air tubuh total; terjadi pada
pemberian natrium isotonik berlebihan (hipervolemia). Keadaan ini
juga dijumpai pada kondisi normal (steady state).
1.1.2.3. Hiponatremia
Di klinik bila ditemukan kasus hiponatremia dengan gejala yang
berat (kesadaran menurun, kejang) maka hiponatremia digolongkan
dalam kategori akut. Hiponatremia tanpa gejala berat (lemas,
mengantuk) digolongkan dalam kategori kronik. Hal ini penting untuk
diketahui sehubungan dengan tindakan yang akan dilakukan bila
terjadi keadaan hiponatremia.
117
1.1.3.2. Hiperkalemia
Hiperkalemia dapat meningkatkan kepekaan membran sel sehingga
dengan sedikit perubahan depolarisasi, potensial aksi lebih mudah terjadi.
Di klinik, hiperkalemia ditemukan gejala akibat gangguan konduksi
listrik jantung, kelemahan otot sampai dengan paralisis sehingga
pasien merasa sesak napas. Gejala ini timbul bila kadar kalium
melebihi 7 mEq/L atau peningkatan yang terjadi dalam waktu cepat.
Asidosis metabolik disertai hipokalsemia mempermudah timbulnya
gejala klinik hiperkalemia.
118
Kelainan–kelainan tersebut di atas umumnya terjadi secara bertahap,
namun dapat terjadi secara mendadak terutama bila disebabkan oleh
obat sedatif, infeksi paru yang berat, atau henti napas yang terjadi
akibat pemberian oksigen dengan FiO2 yang tinggi pada penderita
asidosis respiratorik kronik.
Pada asidosis respiratorik akut, pH yang rendah disebabkan
oleh peningkatan PCO2 secara akut. Kadar HCO3– mungkin normal
atau dapat sedikit meningkat. Peningkatan PCO2 secara mendadak
mungkin dapat diikuti oleh peningkatan HCO3– plasma sebanyak 3–4
mEq/L sebagai efek bufer. Pada asidosis respiratorik kronik, adaptasi
oleh ginjal umumnya sudah terjadi sehingga penurunan pH tidak terjadi
akibat retensi HCO3– dan peningkatan HCO3– plasma kurang lebih 3–4
mEq/L setiap kenaikan 10 mm Hg PCO2.
119
terjadi. Metabolisme otak menurun secara progresif. Pada pH lebih dari
7,1 terjadi fatigue (rasa lelah), sesak napas (pernafasan Kussmaull),
nyeri perut, nyeri tulang, dan mual/muntah. Pada pH kurang dari atau
sama dengan 7,1 akan tampak gejala seperti pada pH >7,1; efek
inotropik negatif, aritmia, konstriksi vena perifer, dilatasi arteri perifer
(penurunan resistensi perifer), penurunan tekanan darah, penurunan
aliran darah ke hati, konstriksi pembuluh darah paru (pertukaran
oksigen terganggu).
120
dan fungsi metabolik. Curah jantung menurun, depresi ventilasi
sentral, kurva saturasi oksi–hemoglobin bergeser ke kiri, hipokalemia
dan hipofosfatemia yang terjadi semakin buruk, serta penurunan
kemampuan pasien menerima ventilasi mekanik. Peningkatan pH
serum menunjukkan korelasi dengan angka mortalitas. Koreksi
alkalosis metabolik bertujuan meningkatkan minute ventilation,
meningkatkan tekanan oksigen arterial dan mixed venous oxygen
tension, serta menurunkan konsumsi oksigen. Oleh karena itu sangat
penting melakukan koreksi pada pasien kritis.
Pada alkalosis metabolik, disebut letal bila pH darah lebih dari 7,7.
Bila ada deplesi volume cairan tubuh, upayakan agar volume plasma
kembali normal dengan pemberian NaCl isotonik. Bila penyebabnya
hipokalemia, lakukan koreksi kalium plasma. Bila penyebabnya
hipokloremia, lakukan koreksi klorida dengan pemberian NaCl isotonik.
Bila penyebabnya adalah pemberian bikarbonat berlebihan, hentikan
pemberian bikarbonat. Pada keadaan fungsi ginjal yang menurun atau
edema akibat gagal jantung, kor pulmonal atau sirosis hati, koreksi
dengan NaCl isotonik tidak dapat dilakukan karena dikhawatirkan dapat
terjadi retensi natrium disertai kelebihan cairan (edema bertambah).
Pada keadaan ini dapat diberikan antagonis enzim anhidrase karbonat
sehingga reabsorpsi bikarbonat terhambat. Asetazolamid merupakan
suatu penghambat anhidrase karbonat yang sangat efektif dalam
mengatasi alkalosis metabolik. Dosis tunggal 500 mg (dewasa)
dianjurkan untuk mengatasi kondisi alkalosis metabolik. Onset of
action dicapai dalam waktu 1,5 jam dengan lama kerja berkisar 24 jam.
Dosis ini dapat diulang bila diperlukan. Bila dengan antagonis enzim
anhidrase karbonat tidak berhasil, dapat diberikan HCl dalam larutan
isotonik selama 8–24 jam, atau larutan ammonium klorida, atau larutan
arginin hidroklorida.
Kebutuhan HCl dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
121
1.3. Pemeriksaan Laboratorium Pada Gangguan Keseimbangan
Air–Elektrolit dan Asam–Basa
1.3.1. Persiapan Pra Analisis
1.3.1.1. Persyaratan Umum
Beberapa persyaratan umum yang perlu diperhatikan untuk mem
peroleh hasil pemeriksaan yang akurat:
• Pasien diusahakan dalam keadaan tenang dengan posisi
berbaring (pasien dalam keadaan takut/gelisah akan menyebabkan
hiperventilasi).
• Pengambilan darah pada pasien yang sedang mendapat terapi
oksigen dilakukan minimal 20 menit setelah pemberian oksigen dan
perlu dicantumkan kadar oksigen yang diberikan.
• Perlu diwaspadai adanya perdarahan dan hematoma akibat
pengambilan darah terutama pada pasien yang sedang mendapat
terapi antikoagulan.
• Suhu tubuh pasien dan waktu pengambilan darah harus dicantumkan
dalam formulir permohonan pemeriksaan
• Pengambilan Darah
a) Pengambilan darah arteri radialis
Sebelum pengambilan darah arteri radialis, sebaiknya dilakukan
uji Allen untuk pemeriksaan sistem kolateral pembuluh darah.
122
Gambar 30. Prosedur uji Allen untuk memperoleh informasi mengenai sistem kolateral
arteri radialis; uji ini dilakukan sebelum melakukan pengambilan bahan pemeriksaan
(analisis gas darah) dari arteri radialis.
123
Gambar 31. Modifikasi uji Allen, pemeriksa berhadapan dengan penderita,
menggunakan kedua tangan untuk menraba denyut arteri radialis dan ulnaris
Gambar 32. Pengambilan darah dari arteri radialis. Arah tusukan membentuk
sudut 30o dengan permukaan. Torak semprit akan terdorong oleh tekanan darah.
124
b) Pengambilan darah arteri brakialis
Arteri brakialis letaknya lebih dalam dari arteri radialis yaitu di
fossa antekubiti. Pengambilan dari arteri brakialis harus dilakukan
dengan memperhatikan letak saraf, jangan sampai mencederai nervus
medianus yang letaknya berdampingan dengan arteri brakialis. Lengan
pasien dalam posisi ekstensi maksimal, raba denyut arteri brakialis
dengan jari, dan lakukan tindakan asepsis/antisepsis. Tusukkan jarum
dengan sudut 450 dan lubang jarum menghadap ke atas, 5–10 mm
distal dari jari pemeriksa yang menekan pembuluh darah. Setelah
pengambilan, tekan daerah tusukan selama lima menit atau lebih
hingga perdarahan berhenti.
c) Pengambilan darah kapiler
Bila dijumpai kesulitan pada pengambilan darah arteri, darah kapiler
dapat digunakan sebagai bahan untuk pemeriksaan keseimbangan
asam–basa. Sepotong logam dimasukkan ke dalam tabung kapiler,
selanjutnya gerakkan sepotong magnit pada dinding luar tabung
kapiler agar antikoagulan tercampur dengan baik.
Beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pemeriksaan dengan
menggunakan darah kapiler:
• Sebelum pengambilan darah dilakukan pemijatan (massage) dan
penghangatan pada daerah yang akan ditusuk (umumnya tumit).
Penghangatan dilakukan dengan suhu 35–40oC selama sepuluh
menit.
• Tusukan harus cukup dalam sehingga darah keluar dengan sendirinya
(tanpa pijatan). Alat penusuk yang digunakan adalah lanset ukuran
2,5 X 1.5 mm. Setelah penusukan, daerah tusukan tidak dipijat lagi.
• Darah ditampung dalam dua tabung kapiler berisi heparin tanpa
gelembung udara. Setelah tabung terisi darah, masukkan pengaduk
ke dalam tabung kapiler. Tutup tabung kapiler dengan sumbat
penutupnya, sehingga dapat dengan mudah diaduk dengan magnit
dari luar.
• Setelah pengambilan darah selesai, daerah tusukan jarum ditekan
selama lima menit, kemudian tutup menggunakan plaster.
125
d) Pengambilan darah vena
Darah vena kurang baik untuk penentuan keseimbangan asam–
basa, walaupun demikian masih dapat digunakan untuk penentuan
elektrolit, nilai pH, dan PCO2. Pengambilan darah vena dilakukan
melalui vena kubiti. Bila menggunakan vacutainer, tabung dilepaskan
sebelum mencabut jarum.
• Antikoagulan
• Antikoagulan yang umum digunakan untuk pemeriksaan kese
imbangan asam–basa adalah garam heparin. Heparin adalah
antikoagulan yang normal ada pada semua mamalia, diberi nama
heparin karena pada mulanya (tahun 1916) ditemukan dalam
jaringan hati. Disintesis dalam sel mast dan basofil dan disimpan
dalam granul sel. Heparin komersial berasal dari mukosa intima
usus babi.
• Heparin termasuk keluarga karbohidrat kompleks, glycosamino
glycan atau mucopolysaccharida. Heparin mencegah pembekuan
darah karena memiliki gugus penta saccharida yang mampu
mengikat antitrombin III. Antitrombin III adalah protein plasma
yang mencegah pembekuan darah dengan menghambat reaksi
enzimatik faktor pembekuan aktif seperti XIa, Xa, IXa dan IIa
(trombin). Ikatan heparin pada antitrombin III, meningkatkan
aktivitas antitrombin III hingga 1000 kali.
• Penggunaan heparin sebagai antikoagulan pada pemeriksaan
kimia darah sudah digunakan lebih dari 50 tahun. Pada tahun
1960 Siggaard–Andersen menggunakan Na heparin 200 IU/mL
darah untuk pemeriksaan kesimbangan asam–basa, karena
tidak memengaruhi pH dan PaCO2. Bila Na heparin digunakan
berlebih maka pH akan rendah palsu dan PaCO2 tinggi palsu.
Dalam perkembangan, untuk peningkatan mutu hasil pemeriksaan
keseimbangan asam–basa digunakan lithium heparin. Cukup
dengan 0,2 mL (1000 IU/mL), lithium heparin sudah dapat
mencegah beku 5 mL darah atau konsentrasi lithium heparin
sebesar 40 IU/mL darah.
• – Penggunaan heparin cair memiliki potensi kesalahan pada
hasil pemeriksaan selain karena terjadinya pengenceran bahan,
126
terdapat perbedaan pH, PaCO2 dan PaO2 antara darah dengan
cairan heparin. Heparin cair memiliki pH 6,4 PaCO2 27,5 mmHg,
dan PaO2 160 mmHg. Pengaruh ini dapat dihilangkan dengan peng
gunaan semprit/tabung vakum berisi heparin kering (lyophilized).
• Pemeriksaan keseimbangan asam–basa biasanya disertai peme
riksaan elektrolit, seperti K+, Na+, Cl–, kalsium ion. Kesalahan dapat
terjadi pada pengukuran kadar ion kalsium. Kesalahan ini akibat
kemampuan heparin untuk mengikat kalsium ion, hingga kadar ion
kalsium akan rendah palsu.
• Calcium balanced heparin, suatu campuran lithium–sodium heparin
yang ditambah dengan kalsium klorida sedemikian hingga kadar ion
kalsium 1,25 mmol/L (rerata kadar ion kalsium pada orang dewasa
sehat). Kadar ion kalsium pada 90–95% pasien berkisar antara
0,9–1,8 mmol/L, bias yang terjadi kurang dari 2% dan klinis dapat
diabaikan.
9
AgCl tidak menghantarkan listrik
127
sampel darah oleh suatu membran semipermeabel untuk CO2.
CO2 yang berdifusi ke dalam bufer mengakibatkan perubahan pH
dan nilai ini yang diukur oleh elektroda.
• Pengukuran PO2 dilakukan dengan elektroda O2.
Saat ini pengukuran pH darah dilakukan bersamaan dengan parameter
lain seperti PCO2, HCO3–, K+, Na+, Cl–, glukosa, aseton, ureum, kreatinin
dan osmolaritas. Penetapan HCO3 dilakukan melalui perhitungan pH
dan PCO2 berdasarkan persamaan Henderson–Hasselbalch. Nilai CO2
total adalah sesuai dengan jumlah asam karbonat ditambah bikarbonat.
Pengukuran CO2 total umumnya sesuai dengan kadar HCO3–.
128
Gambar 33. Hubungan antara PCO2 dengan pH. Pada asidosis, terjadi peningkatan
PCO2 diikuti penurunan pH, sedangkan pada alkalosis terjadi hal sebaliknya yaitu
penurunan PCO2 diikuti peningkatan pH.
Normal 12 + 3 mEq/L
1.3.2.5. Osmolar Gap
Osmolar gap dihitung pada keadaan asidosis metabolik yang tidak
dapat diterangkan penyebabnya dengan pemeriksaan anion gap.
129
Normal < 10
Osmolar gap dapat meningkat akibat beberapa hal, antara lain
etanol, metanol, isopropil alkohol, etilen glikol, manitol, sorbitol,
paraldehid, dan aseton.
Tabel 9. Osmolar gap dan intoksikasi letal
130
Figge dkk memperhitungkan pengaruh asam lemah dalam
keseimbangan muatan listrik plasma. Perbedaan yang terjadi
dinyatakan sebagai perbedaan ion kuat efektif (SIDe). membuat
persamaan:
2. Tatalaksana
2.1. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Air–Elektrolit dan
Asam–Basa
2.1.1. Tatalaksana Gangguan Volume
2.1.1.1. Hipovolemia
Ada dua hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi gangguan volume,
yaitu menanggulangi penyakit yang mendasari10 dan menggantikan cairan
yang hilang. Untuk mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan perlu
dilakukan prediksi cairan yang hilang dari tubuh. Pada hipovolemia, cairan
yang hilang berasal dari cairan ekstrasel (intravaskular dan intersisium),
karena cairan yang hilang merupakan cairan yang isotonik. Pada keadaan
normal, osmolaritas cairan interstisium sama dengan cairan intravaskular
maka penghitungan cairan yang hilang dilakukan berdasarkan persentase
berkurangnya plasma (cairan intravaskular).
Penyebab hipovolemia antara lain: dehidrasi, perdarahan, luka bakar kritis, penggunaan diuretikum
10
131
Jenis cairan yang diberikan tergantung dari cairan yang keluar.
Bila perdarahan, sebaiknya diganti dengan darah juga. Bila persediaan
darah tidak ada, dapat diberikan cairan koloid atau cairan kristaloid
seperti NaCl isotonik atau ringer–laktat. Cairan koloid tetap tertahan di
dalam cairan intravaskular sedangkan 2/3 cairan kristaloid akan masuk
ke cairan intersisium. Cairan yang keluar dari saluran cerna (diare atau
muntah) dapat digantikan dengan NaCl isotonik atau ringer–laktat.
Pada diare lebih dianjurkan pemberian ringer–laktat karena diare
berpotensi menyebabkan asidosis metabolik. Kecepatan pemberian
cairan tergantung pada keadaan klinik yang terjadi.
2.1.1.2. Dehidrasi
Koreksi air (rehidrasi). Jenis air yang diberikan adalah cairan
isotonikmengandung dekstrosa. Volume air yang dibutuhkan sesuai
dengan perhitungan rumus (10%) ditambah dengan insensible water
losses + volume urin 24 jam + volume air yang keluar melalui saluran
cerna. Insensible water losses banyaknya kira-kira 40 mL/jam. Cairan
diberikan secara intravena atau melalui oral bila pasien sadar. Kecepatan
pemberian air tidak boleh menyebabkan penurunan kadar natrium
plasma >0,5 mEq/jam.
Sebagai contoh, bila kadar Na+ plasma akan diturunkan dari 160
menjadi 140 maka lamanya pemberian air adalah 40 jam (20 dibagi 0,5).
Misalnya berat pasien 60 kg maka defisit air 0,4 x 60 (160/140 – 1) =
3,43 liter. Bila insensible loss 960 mL dan volume urin 1500 mL/24 jam
maka volume air yang dibutuhkan besarnya 3,43 + 0,96 + 1,5 = 5,89
liter. Jumlah air ini diberikan dalam waktu 40 jam atau 0,15 liter/jam.
Tindakan lain adalah mengatasi penyebab terjadinya dehidrasi.
3.1.1.3. Euvolemia
Bila kondisi ini disebabkan oleh penurunan kadar natrium, sangat
dimungkinkan karena natrium masuk ke dalam sel (edema sel); diatasi
dengan pemberian larutan hipertonik untuk menarik natrium ke luar
dari sel yang akan diikuti oleh keluarnya air dari dalam sel. Bila kondisi
ini disebabkan oleh tingginya kadar natrium, maka diberikan air tanpa
elektrolit secara perlahan.
132
2.1.1.4. Hipervolemia
• Edema
Penanggulangan edema yang dilakukan meliputi: (1) memperbaiki
penyakit dasar bila mungkin, (2) restriksi asupan natrium untuk
meminimalisasi retensi air, dan (3) pemberian diuretik. Hal–
hal yang harus diperhatikan dalam pemberian diuretik untuk
penanggulangan edema adalah (1) saat yang tepat, (2) risiko
yang akan dihadapi bila edema dikurangi, dan (3) waktu yang
dibutuhkan untuk menanggulangi edema, cepat atau lambat.
Indikasi dan saat yang paling tepat untuk menanggulangi edema
adalah bila terdapat edema paru, yang merupakan satu–satunya
indikasi pemberian diuretik yang paling tepat untuk menanggulangi
edema dibandingkan dengan penanggulangan jenis edema yang
lain. Retensi natrium sekunder (kompensasi) yang terjadi pada gagal
jantung atau sirosis hati adalah untuk memenuhi volume sirkulasi efektif
menjadi normal kembali guna optimalisasi perfusi jaringan. Pemberian
diuretik yang terlalu banyak pada keadaan ini akan menimbulkan risiko
penurunan perfusi jaringan. Berkurangnya perfusi jaringan, dapat
dinilai dari peningkatan kadar ureum dan kratinin darah.
Pada retensi natrium primer seperti pada penyakit ginjal, akibat obat–
obatan (minoksidil, obat antiinflamasi non steroid, dan estrogen), dan
refeeding edema, tidak ada pengurangan volume sirkulasi efektif.
Pada keadaan ini yang terjadi adalah ekspansi cairan ekstrasel.
Pemberian diuretik tidak akan mengurangi volume sirkulasi efektif
sehingga tidak mengurangi perfusi jaringan.
Pada edema umum akibat gagal jantung, sindrom nefrotik dan retensi
natrium primer, bila dilakukan pemberian diuretik maka mobilisasi
cairan edema dapat berlangsung cepat sehingga pengeluaran cairan
edema sebanyak 2–3 liter dalam 24 jam tidak akan mengurangi perfusi
jaringan. Berbeda dengan pengeluaran cairan asites, mobilisasi cairan
asites masuk ke intravaskular berlangsung lambat sehingga bila
diberikan diuretik kuat untuk mengurangi asites dengan cepat, akan
terjadi penurunan perfusi jaringan yang akan menimbulkan pening
katan kadar ureum atau sindrom hepato–renal dan dapat menjadi
penyebab ensefalopati hepatik.
133
Asupan air yang dianjurkan hanya sebanyak insensible water
losses yaitu kira–kira 40 mL/jam. Pasien dengan gagal ginjal akut
atau gagal ginjal terminal dengan edema/hipervolemia memerlukan
dialisis untuk penanggulangannya. Pasien dengan polidipsia
primer, asupan air yang melebihi kemampuan pengeluaran melalui
ginjal dan kulit, akan menimbulkan gejala akibat hiponatremia.
Penanggulangan keadaan ini adalah dengan restriksi asupan air
dan mengatasi gejala akibat hiponatremia akut.
134
natrium darah mencapai 130 mEq/L. Rumus yang dipakai
untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium
hipertonik yang diberikan adalah 0,5 x BB (kg) x delta natrium.
Delta natrium merupakan selisih antara kadar natrium yang
diinginkan dengan kadar natrium awal.
• Pada hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan
yaitu sebesar 0,5 mEq/L setiap 1 jam, maksimal 10 mEq/L
dalam 24 jam. Bila delta Na besarnya 8 mEq/L, dibutuhkan
waktu pemberian selama 16 jam. Rumus yang dipakai sama
seperti di atas. Natrium yang diberikan dapat dalam bentuk
natrium hipertonik intravena atau natrium per oral.
2.1.2.2. Isonatremia
Tidak ada yang perlu dilakukan dalam hal ini selain mengatasi
penyebab.
2.1.2.3. Hipernatremia
Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi
hipernatremia. Sebagian besar penyebab hipernatremia adalah defisit
cairan tanpa elektrolit akibat koreksi air yang tidak cukup yang akan
menyebabkan kehilangan cairan tanpa elektrolit melalui saluran cerna,
urin, atau saluran nafas.
Setelah etiologi ditentukan, langkah berikutnya adalah berusaha
menurunkan kadar natrium plasma ke arah normal. Pada diabetes
insipidus, sasaran pengobatan adalah mengurangi volume urin
(desmopressin pada diabetes insipidus sentral, atau diuretik tiazid
dan mengurangi asupan garam atau protein pada diabetes insipidus
nefrogenik). Bila penyebabnya adalah asupan natrium berlebihan
maka pemberian natrium dihentikan.
Penyebab tersering adalah defisit cairan tanpa elektrolit dan
pengobatan yang dilakukan dengan melakukan koreksi cairan
berdasarkan penghitungan jumlah defisit cairan (lihat penanggulangan
dehidrasi).
135
2.1.3. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Kalium
2.1.3.1. Hipokalemia
Dalam melakukan koreksi kalium, perlu diperhatikan indikasinya.
Indikasi koreksi kalium dapat dibagi dalam:
• Indikasi mutlak, pemberian kalium mutlak segera diberikan yaitu pada
keadaan (1) pasien sedang dalam pengobatan digitalis, (2) pasien
dengan ketoasidosis diabetik, (3) pasien dengan kelemahan otot
pernapasan, dan (4) pasien dengan hipokalemia berat ( K< 2 mEq/L )
• Indikasi kuat, kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama
yaitu pada keadaan (1) insufisiensi koroner/iskemia otot jantung,
(2) ensefalopati hepatik, dan (3) pasien menggunakan obat yang
dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra ke intrasel.
• Indikasi sedang, pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada
(1) hipokalemia ringan (K antara 3–3,5 mEq/L).
2.1.3.2. Hiperkalemia
Prinsip pengobatan hiperkalemia:
– • Mengatasi pengaruh hiperkalemia pada membran sel, dengan
cara memberikan kalsium intravena. Dalam beberapa menit kalsium
langsung melindungi membran akibat hiperkalemia ini. Pada
keadaan hiperkalemia yang berat sambil menunggu efek insulin
atau bikarbonat yang diberikan (baru bekerja setelah 30–60 menit),
kalsium dapat diberikan melalui tetesan infus kalsium intravena.
136
Sebanyak 10 mL kalsium glukonat diberikan intravena dalam waktu
2–3 menit dengan monitor elektrokardiografi (EKG). Bila masih
terdapat perubahan EKG akibat hiperkalemia, pemberian kalsium
glukonas dapat diulangi setelah 5 menit.
– Memacu masuknya kembali kalium dari ekstra ke intrasel, dengan
cara:
• Pemberian insulin 10 unit dalam glukosa 40%, 50 mL bolus
intravena, kemudian diikuti dengan infus dekstrosa 5% untuk
mencegah terjadinya hipoglikemia.
• Insulin akan memicu pompa NaK–ATPase memasukkan kalium
ke dalam sel, dan glukosa/dekstrosa akan memicu pengeluaran
insulin endogen
• Pemberian natrium bikarbonat yang akan meningkatkan pH
sistemik
• Peningkatan pH akan merangsang ion H+ keluar dari dalam
sel yang kemudian menyebabkan ion K+ masuk ke dalam sel.
Pada keadaan tanpa asidosis metabolik, natrium bikarbonat
diberikan 50 mEq intravena selama 10 menit. Bila terdapat
asidosis metabolik maka disesuaikan dengan keadaan
asidosis metabolik yang ada
• Pemberian β2–agonis, baik secara inhalasi maupun tetesan
intravena. Obat ini akan merangsang pompa NaK–ATPase dan
kalium masuk ke dalam sel. Albuterol® diberikan 10–20 mg
– Mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh dapat dilakukan dengan
cara:
• Pemberian diuretic-loop (furosemid) dan tiazid. Sifatnya hanya
sementara
• Pemberian resin-penukar. Dapat diberikan per oral dan supositoria
• Hemodialisis
137
mekanik baik invasif maupun noninvasif. Pemberian oksigen pada
pasien dengan retensi CO2 kronik dan hipoksia harus berhati–hari karena
pemberikan oksigen dengan FiO2 yang tinggi dapat mengakibatkan
penurunan minute volume dan semakin meningkatkan PCO2. Pasien
dengan retensi CO2 kronik umumnya sudah beradaptasi dengan
hiperkapnia kronik dan stimulus pernapasannya adalah hipoksemia
sehingga pemberian oksigen harus dilakukan secara hati–hati dan
ditujukan dengan target kadar PaO2 >50 mm Hg dengan FiO2 yang
rendah. Pada pasien asidosis respiratorik kronik, penurunan PCO2
harus berhati–hati untuk menghindari alkalosis yang berat mengingat
umumnya sudah ada kompensasi ginjal. Pada asidosis respiratorik yang
terjadi bersamaan dengan alkalosis metabolik atau asidosis metabolik
primer, tatalaksana terutama ditujukan untuk kelainan primernya.
138
2.2.2. Tatalaksana Gangguan Keseimbangan Asam-Basa
Metabolik
2.2.2.1. Asidosis Metabolik
Asidosis metabolik pada kasus–kasus kritis merupakan pertanda
dari kondisi serius yang memerlukan tindakan agresif untuk memperoleh
diagnosis dan tatalaksana penyebab. Tata laksana asidosis metabolik
ditujukan terhadap penyebabnya. Peran bikarbonat pada asidosis
metabolik akut bersifat kontroversial tanpa didasari data yang rasional.
Bagaimanapun, pada banyak kasus, pemberian bikarbonat lebih
banyak menunjukkan bahaya dibandingkan keuntungannya. Kecuali
pada kasus–kasus disebutkan pada indikasi terapi berikut, tidak ada
data ilmiah penunjang pengobatan asidosis metabolik atau respiratorik
menggunakan natrium bikarbonat. Lebih lanjut, pH intrasel memiliki nilai
sangat penting dalam menentukan fungsi seluler. Sistem bufer intrasel
cukup efektif dalam mempertahankan pH ke nilai normal dibandingkan
dengan sistem bufer ekstrasel. Sebagai konsekuensinya, pasien dapat
bertoleransi terhadap pH di bawah 7,0 selama fase hiperkapnia tanpa
efek yang membahayakan.
Pemberian infus bikarbonat menimbulkan problem pada pasien–
pasien dengan asidosis, antara lain kelebihan pemberian cairan, alkalosis
metabolik, dan hipernatremia. Selain itu, penelitian yang dilakukan
pada hewan maupun manusia memperlihatkan bahwa alkali hanya
menimbulkan efek sesaat (kadar bikarbonat plasma meningkat sesaat).
Hal ini tampaknya memiliki korelasi dengan CO2 yang dihasilkan pada
pemberian bikarbonat sebagai ekses bufer pada ion hidrogen. CO2 ini
secara normal dibuang melalui paru. Namun, pada pasien–pasien kritis
seringkali dijumpai penurunan sirkulasi ke pulmonar sehingga PCO2
vena terus meningkat melebihi nilai normal dan CO2 yang diproduksi
tidak dapat dieliminasi. Meskipun minute ventilation ditingkatkan (pada
pasien dengan ventilator), eliminasi CO2 tidak dapat ditingkatkan.
Pada kasus asidosis hiperkloremik dapat tidak terjadi regenerasi
endogen bikarbonat karena yang berlangsung pada keadaan tersebut
adalah kehilangan bikarbonat bukan aktivasi sistem bufer. Oleh
karena itu, walaupun asidosis metabolik bersifat reversibel, pemberian
bikarbonat eksogen hanya diperlukan bila pH <7,2. Keadaan tersebut
dapat terjadi pada diare berat, fistula high–output, atau RTA.
139
Bikarbonat diperlukan pada kasus asidosis metabolik dengan ke
mampuan melakukan kompensasi yang menurun, misalnya pada
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dengan keterbatasan melakukan
eliminasi CO2. Pada kasus ini, sejumlah kecil bikarbonat diperlukan
untuk mencegah terjadinya gagal napas dan mengurangi kebutuhan
intubasi serta penggunaan ventilator mekanik.
Indikasi koreksi asidosis metabolik perlu diketahui dengan baik
agar koreksi dapat dilakukan dengan tepat tanpa menimbulkan hal–hal
yang membahayakan pasien.
Langkah koreksi asidosis metabolik:
1. Langkah pertama. Tetapkan berat ringannya gangguan asidosis.
Gangguan disebut letal bila pH darah kurang dari 7 atau kadar ion
H+ lebih dari 100 nmol/L. Gangguan yang perlu mendapat perhatian
bila pH darah 7,1–7,3 atau kadar ion H antara 50–80 nmol/L.
2. Langkah kedua. Tetapkan anion–gap atau bila perlu anion–gap
urin untuk mengetahui dugaan etiologi asidosis metabolik. Dengan
bantuan gejala klinis lain dapat dengan mudah ditetapkan etiologinya.
3. Langkah ketiga. Bila dicurigai kemungkinan asidosis laktat, hitung
rasio delta anion gap dengan delta HCO3– (delta anion gap: anion
gap pada saat pasien diperiksa dikurangi dengan median anion
gap normal, delta HCO3– : kadar HCO3– normal dikurangi dengan
kadar HCO3– pada saat pasien diperiksa). Bila rasio lebih dari 1
(dalam beberapa literatur lain disebutkan 1,6), asidosis disebabkan
oleh asidosis laktat. Langkah ketiga ini menetapkan sampai sejauh
mana koreksi dapat dilakukan.
Prosedur koreksi
1. Secara umum koreksi dilakukan hingga tercapai pH 7,2 atau kadar
ion HCO3 12 mEq/L
2. Pada keadaan khusus:
- Pada penurunan fungsi ginjal, koreksi dapat dilakukan secara penuh
hingga mencapai kadar ion HCO3– 20–22 mEq/L. Pertimbangan
dilakukan hal tersebut adalah mencegah hiperkalemia, mengurangi
kemungkinan malnutrisi, dan mengurangi percepatan gangguan
tulang (osteodistrofi ginjal).
140
- Pada ketoasidosis diabetik atau asidosis laktat tipe A, koreksi
dilakukan bila kadar ion HCO3– dalam darah kurang atau sama
dengan 5 mEq/L, terdapat hiperkalemia berat, setelah koreksi
insulin pada diabetes melitus, koreksi oksigen pada asidosis
laktat, atau pada asidosis belum terkendali. Koreksi dilakukan
sampai kadar ion HCO3– 10 mEq/L
- Pada asidosis metabolik yang terjadi bersamaan dengan asidosis
respiratorik dan tidak menggunakan ventilator, koreksi harus dilaku
kan secara hati–hati atas pertimbangan depresi pernapasan.
141
Tabel 11.Ruang bikarbonat pada keadaan bikarbonat plasma tertentu
142
hati, koreksi dengan NaCl isotonik tidak dapat dilakukan karena
dikhawatirkan dapat terjadi retensi natrium disertai kelebihan cairan
(edema bertambah). Pada keadaan ini dapat diberikan antagonis
enzim anhidrase karbonat sehingga reabsorpsi bikarbonat terhambat.
Asetazolamid merupakan suatu penghambat anhidrase karbonat yang
sangat efektif dalam mengatasi alkalosis metabolik. Dosis tunggal 500
mg (dewasa) dianjurkan untuk mengatasi kondisi alkalosis metabolik.
Onset of action dicapai dalam waktu 1.5 jam dengan lama kerja
berkisar 24 jam. Dosis ini dapat diulang bila diperlukan. Bila dengan
antagonis enzim anhidrase karbonat tidak berhasil, dapat diberikan
HCl dalam larutan isotonik selama 8–24 jam, atau larutan ammonium
klorida, atau larutan arginin hidroklorida.
Kebutuhan HCl dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
:
143
dibutuhkan duapuluh tiga molekul O2 dan dihasilkan enambelas molekul
CO2 sedangkan oksidasi satu molekul glukosa (C6H12O6) hanya
membutuhkan enam molekul O2 dan memproduksi enam molekul CO2.
Selain itu diet tinggi lemak juga dapat menyebabkan gangguan respon
imun dan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Oleh karena itu
saat ini diet tinggi lemak tidak lagi diberikan pada penderita dengan
hiperkapnia.
Pada tatalaksana gizi, perlu diperhitungkan jumlah energi total
yang sesuai dengan kebutuhan. Kebutuhan energi total merupakan
penjumlahan dari kebutuhan energi basal, aktivitas fisik, dan faktor stres:
Kebutuhan energi basal dihitung dengan menggunakan ekuasi
Harris–Benedict sebagai berikut:
Keterangan:
BB = berat badan (kg), TB = tinggi badan (cm), U = usia (tahun)
BB yang digunakan adalah BB aktual.
Kebutuhan energi
Keterangan:
KEB = kebutuhan energi basal, AF = aktivitas fisik, FS = faktor stres
144
Pada penderita yang mendapat nutritional support (dukungan
nutrisi), penting dilakukan penilaian adanya kemungkinan overfeeding.
Kondisi ini sangat penting terutama pada pasien–pasien kritis dalam
perawatan intensif dan berakhir fatal. Dengan pemberian jumlah kalori
total yang dihitung berdasarkan rumus Harris–Benedict kerap terjadi
kelebihan kalori diikuti overfeeding. Untuk mencegah dan menghindarinya,
perhitungan kebutuhan kebutuhan energi menggunakan rule of Thumb
(disebut juga quick method) menjadi pilihan.
Rule of Thumb:
145
7. Davenport HW. The ABC of acid–base chemistry. 6th ed. Chicago & London: The University
Chicago Press. 1974; p.37–53.
8. Chang R. Physical chemistry with applications to biological systems. 2nd ed. New York:
Macmillan Publishing Co, Inc. 1981; p 310–342
9. Burton, David, Rose. Clinical Physiology of acid–base and electrolyte disorders, 4th ed. New
York: McGraw Hill; p.353–355.
10. Isselbacher KJ, Adams, RD, Braunwald, E, Petersdorf, RG, Wilson, JD. Harrison’s principles
of internal medicine, 9th ed. Auckland: McGraw–Hill International Book Co. 1982.
11. Braunwald E, Fauci A, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison’s principles
of internal medicine, 15th ed. Auckland: McGraw–Hill International Book Co.1999; vol2.
12. Rose BD, Post TW. Volume regulation versus osmoregulation. UpToDate version 15.3:CD–
ROM; 2007.
13. Rose BD, Post TW. Water balance and regulation of plasma osmolality. UpToDate version
15.3:CD–ROM; 2007.
14. Rose BD. The steady state. UpToDate version 15.3:CD–ROM; 2007.
15. Newton LE, Morgan SLM. Pulmonary disease. Dalam: Heimburger DC, Ard JD, editor.
Handbook of Clinical Nutrition 4th ed. Philadephia: Mosby Elsevier. 2006: 503–9.
16. Vanek VW. Assessment and management of acid–base abnormalities. Dalam: Shikora SA,
Martindale RG, Schwaitzberg SD, editor. Nutritional Considerations in the Intensive Care
Unit. Dubuque: Kendall/Hunt Publishing Company, 2002: 101–9.
17. Story DA, Bellomo R. Henderson Hasselbalch vs Stewart: another acid–bace controversy.
Crit Care & Shock. 2002; 2: 59–63.
18. Grogono AW. Acid–Base Tutorial: Anion gap. Available in website: http://www.acid–base.com/
aniongap.php
19. Grogono AW. Acid–Base Tutorial: Stewart’s strong ion difference. Available in website: http://
www.acid–base.com/strongion.php
20. Stewart PA. How to understand acid–base. A quantitative acid–base primer for biology and
medicine. New York. Elsevier. 1981
21. Grogorno AW. Stewart strong ion difference [online] 2006 [cited 31 May 2006]; Available from:
URL: http://www.acid–base.com/strongion.php.
22. Morgan TJ. Standard Base Excess. Australasian Anaesth. 2003; 95–104.
23. Waters J. Using Stewart for clinical gain [online] 2000 [cited 4 Jan 2006]; Available from URL:
http://www.anaesthetist.com/icu/elec/ionz/Findex.htm.
24. Higgins C. Technology. Parameters that reflect the carbon dioxide content of blood. [online]
2008 [cited 2 May 2008]; Available from: URL: http://www.bloodgas.org/0FB3F47D–E6B5–
4FF3–8665–9FB79A7E1F3A.
25. Kellum JA. Commentary. Closing the gap on unmeasured anions. Crit Care. 2003; 7: 219–20.
26. Kellum JA, Puyana JC. Acid–base disorders. In: Souba WW, Fink MP, Jurkovitch GJ, Kaiser
LP, Pearce WH, Pemberton JH, et al., editors. ACS Surgery: Principles and Practice: WebMD
Professional Publishing. 2006; 1–13.
27. Newton LE, Morgan SLM. Pulmonary disease. Dalam: Heimburger DC, Ard JD, editor.
Handbook of Clinical Nutrition 4th ed. Philadephia: Mosby Elsevier. 2006; 503–9.
28. Vanek VW. Assessment and management of acid–base abnormalities. Dalam: Shikora SA,
Martindale RG, Schwaitzberg SD, editor. Nutritional Considerations in the Intensive Care
Unit. Dubuque: Kendall/Hunt Publishing Co. 2002;101–9.
29. Haitz U, Horne MM. Pocket giude to fluid, electrolyte and acid base balance, 5th ed. Missouri:
Elsevier Mostby. 2005; pp 272–304.
30. Vermeeren MAP, Wouters EF, Nelissen LH, van Lier A, Hofman Z, Schols AM. Acute effects of
different nutritional supplements on symptoms and functional capacity in patients with chronic
obstructive pulmonary disease. Am J Clin Nutr. 2001; 73: 295–301.
31. Lochs H, Allison SP, Meier R, et al. Introductory to the ESPEN guidelines on enteral nutrition:
Terminology, definitions and general topics. Clin Nutr. 2006; 25: 180–6.
146
BAB 5
Pendekatan Keseimbangan Asam-Basa
Menurut Metode Stewart
Pendahuluan
Gangguan asam–basa tubuh sering dijumpai dalam klinik, tapi
sering terlewatkan. Banyak kasus biasanya ringan dan self–limiting, tapi
beberapa dapat membahayakan. Gangguan asam–basa berat adalah
kritis, terutama bila gangguan ini berkembang cepat. Abnormalitas berat
dapat menjadi penyebab langsung terjadinya disfungsi organ. Gejala
klinik dapat meliputi edema serebral, kejang–kejang, penurunan kontraksi
miokardium, vasokonstriksi pulmoner, dan vasodilatasi sistemik.1
Gangguan kurang hebat pun dapat menimbulkan bahaya karena respons
pasien terhadap abnormalitas tersebut. Contohnya, pasien bernapas
spontan dengan asidosis metabolik akan berusaha mengkompensasi
dengan meningkatkan ventilasi semenit. Kerja napas menjadi meningkat
dan dapat menimbulkan kelelahan otot napas dengan gagal napas atau
terjadi pengalihan aliran darah dari organ–organ vital ke otot napas
yang mengakibatkan cedera organ. Asidemia dihubungkan dengan
peningkatan tonus adrenergik1 dan dapat menimbulkan disritmia jantung
pada pasien sakit kritis atau peningkatan permintaan oksigen miokardium
pada pasien–pasien dengan iskemia miokardium. Juga diketahui dari
beberapa bukti yang muncul bahwa perubahan variabel–variabel asam–
basa memengaruhi fungsi sel efektor imun.2,3
Oleh karena itu gangguan keseimbangan asam–basa perlu
dipahami benar agar tidak terlewatkan sampai terjadi disfungsi organ
yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien.
Menurut Peter Stewart (akhir 1970), pendekatan konvensional
mengenai keseimbangan asam–basa menggunakan persamaan
Henderson–Hasselbalch gagal mempertimbangkan semua faktor
yang memengaruhi konsentrasi ion hidrogen dan kurang menjelaskan
147
abnormalitas metabolik yang kompleks dari fisiologi asam–basa. Bikar
bonat (HCO3–) pada pendekatan Henderson–Hasselbalch dianggap
sebagai suatu variabel independen yang konsentrasinya menentukan
komponen metabolik keseimbangan pH. Konsep ini diragukan kebenaran
nya oleh Stewart.4
Stewart mendekati fisiologi asam–basa dengan matematika
yaitu memperlakukan cairan tubuh sebagai sistem fisika–kimia, yang
ditentukan oleh prinsip–prinsip fisika–kimia modern: kenetralan muatan
listrik elektrokimia, konservasi massa, dan ekilibrium disosiasi.
Fisika–Kimia Air
Tubuh manusia terutama terdiri dari air. Air adalah suatu molekul tiga
atom sederhana dengan suatu distribusi muatan yang tidak sama yang
mengakibatkan suatu ikatan H–O–H bersudut 105°. Ini menimbulkan
polaritas, agregasi, suatu tekanan permukaan yang tinggi, tekanan
uap rendah, kapasitas panas spesifik tinggi, penguapan panas tinggi
dan titik didih tinggi.
Air adalah suatu yang berionisasi tinggi. Air sendiri sedikit terionisasi
menjadi suatu ion hidroksil yang bermuatan negatif (OH–) dan suatu
ion protonasi bermuatan positif (HnO+). Secara konvensional, ionisasi
air itu sendiri ditulis sebagai berikut:
Dengan kata lain, jika [H+] meningkat, maka [OH–] menurun dengan
besaran yang sama.
148
Ionisasi air kecil sekali. Dalam air murni pada 25°C, [H+] dan [OH–]
adalah 1,0 x 10–7 mEq/L.
Dengan suatu elektroda yang ditemukan oleh Hasselbalch,
kosentrasi ion H yang kecil itu dapat diukur. Untuk mempermudah
perhitungan konsentrasi ion H digunakan skala Sorensen yaitu pH, pH
logaritma negatif dari air murni ini adalah pH 7,0.
Notasi pH diciptakan oleh seorang ahli kimia dari Denmark yaitu
Soren Peter Sorensen pada thn 1909, yang berarti log negatif dari
konsentrasi ion hidrogen. Dalam bahasa Jerman disebut Wasserstoff
ionen exponent (eksponen ion hidrogen) dan diberi simbol pH yang
berarti: ‘potency’ (power) of Hydrogen.
Air menjadi alkali dengan penurunan suhu (pada 0°C, pH adalah
7,5) dan menjadi asam dengan peningkatan suhu (pada 100°C, pH
= 6,1). pH fisiologi, dimana tubuh terletak, berbeda antara intrasel
(pH 6,9), kompartemen (pH 7,4) dan antara darah vena (pH 7,5) dan
arteri (pH 7,4). Secara konvensional, keseimbangan asam–basa
menunjukkan perubahan–perubahan dalam konsentrasi ion hidrogen
dalam darah arteri, yang merefleksikan cairan ekstrasel (CES), dari
7,4. Ini beralasan karena sel–sel secara relatif tak dapat ditembus oleh
material ion, sehingga perubahan–perubahan pada cairan–cairan,
elektrolit–elektrolit dan tekanan CO2 mengubah dengan mudah CES.
Oleh karena itu asidosis (suatu peningkatan konsentrasi ion hidrogen)
terjadi ketika pH kurang dari 7,3, dan alkalosis (suatu penurunan
konsentrasi ion hidrogen) terjadi ketika pH lebih besar dari pada 7,5.
Suatu asam adalah suatu substansi yang meningkatkan konsentrasi
ion hidrogen ketika ditambahkan ke suatu larutan. Suatu basa adalah
suatu substansi yang menurunkan konsentrasi ion hidrogen (dan
meningkatkan ion hidroksil) ketika ditambahkan ke suatu larutan.
Semua ion hidrogen dan hidroksil diperoleh dari disosiasi air.
Cairan ekstrasel adalah suatu sop ionik yang mengandung sel–sel
dan partikel–partikel tidak bermuatan, gas–gas terlarut (oksigen dan
karbondioksida), dan ion–ion yang berdisosiasi penuh dan berdisosiasi
sebagian. Banyak dari faktor–faktor ini memengaruhi disosiasi air
yang bergantung pada muatan kimia, kuantitas dan derajat disosiasi.
Partikel–partikel yang terionisasi, terutama Na dan Cl memberikan
suatu efek osmotik bermakna. Partikel–partikel yang terlarut dalam
CES mengikuti tiga prinsip fisika–kimia yang disebutkan di atas.
149
Sesuai Stewart, konsentrasi H+ dalam suatu larutan bergantung
pada derajat disosiasi air menjadi H+ dan OH–. Hanya tiga variabel yang
memengaruhi disosiasi air, walau dalam suatu larutan yang kompleks
seperti plasma. Variabel–variabel independen ini adalah pCO2, total
konsentrasi asam lemah [ATOT] dan perbedaan ion–ion kuat (strong ion
difference [SID]). Walau ada beberapa variabel lain yang berhubungan
dengan disosiasi air dan [H+], mereka tidak memengaruhi langsung,
dan disebut variabel dependen. Mereka termasuk [H+], [OH–], [HA], [A–],
[HCO3–] dan [CO32–], dimana tanda kurung segi empat menunjukkan
konsentrasi. Variabel dependen tidak dapat langsung memengaruhi
variabel lain. Karena itu, hanya perubahan variabel independen
yang dapat bertanggung jawab atas perubahan [H+] atau pH dalam
suatu larutan biologis. Sedangkan bikarbonat, adalah suatu variabel
dependen, tidak dapat memengaruhi langsung [H+] (atau pH).
Sebenarnya semua larutan dalam biologi manusia mengandung air
dan larutan–larutan berair yang menyediakan sumber H+ yang benar–
benar tidak habis–habisnya. Dalam larutan–larutan ini, konsentrasi
H+ ditentukan oleh disosiasi air menjadi ion–ion H+ dan OH–. Dengan
kata lain, perubahan–perubahan dalam konsentrasi H+ terjadi tidak
sebagai suatu akibat dari berapa banyak H+ ditambahkan atau diambil
tapi sebagai suatu konsekuensi dari disosiasi air. Faktor–faktor
yang menentukan disosiasi air adalah hukum fisika kimia. Dua yang
terutama digunakan disini, electroneutrality (kenetralan elektrik) (yang
menyatakan bahwa dalam larutan–larutan berair, jumlah semua ion
bermuatan positif harus sama dengan jumlah semua ion bermuatan
negatif) dan conservation of mass (konservasi massa) (yang berarti
bahwa jumlah suatu substansi tetap konstan kecuali ia ditambah atau
dibentuk, atau diambil atau dihancurkan). Dalam air murni, sesuai
dengan prinsip kenetralan elektrik, konsentrasi H+ harus selalu sama
dengan konsentrasi OH–. Dalam larutan yang lebih kompleks, kita
harus mempertimbangkan determinan–determinan lain dari disosiasi
air, tapi masih, sumber H+ tetap air. Untungnya, walau dalam suatu
larutan serumit plasma darah, determinan–determinan konsentrasi
H+ dapat dikurangi menjadi tiga. Jika kita mengetahui nilai dari tiga
determinan ini, konsentrasi H+ dapat diprediksi dalam keadaan apapun.
Tiga determinan ini adalah strong ion difference (SID), pCO2, dan total
konsentrasi asam–asam lemah (ATOT).
150
Berbeda dengan pendekatan Henderson–Hasselbach, menurut
Stewart konsentrasi dari [H+] hanya ditentukan oleh nilai dari
perbedaan konsentrasi elektrolit kuat (SID), jumlah total asam lemah
yang terdisosiasi (ATOT) dan pCO2.1,2 Analisis secara matematika
menunjukkan bahwa bukannya konsentrasi absolut dari ion–ion kuat
tersebut yang menentukan [H+], namun perbedaan dari aktivitas ion–
ion kuat tersebut yang berperan, yang disebut sebagai strong ions
difference. Untuk mempermudah pemahaman, berikut ini adalah
sketsa hubungan antara SID terhadap konsentrasi [H+] dan [OH–]
menurut Jonathan Waters4 (gambar 34).
151
Gambar 35. Diagram ion–ion kuat
pCO2
Manipulasi pCO2 dengan menyesuaikan ventilasi alveolar menye
babkan perubahan cepat [H+] dalam larutan berair karena disosiasi
reversibel asam karbonat. Ukurannya yang kecil dan kelarutannya yang
tinggi memungkinkan CO2 lewat dengan cepat antar kompartemen dan
memengaruhi [H+] dalam semua cairan tubuh.
152
pada disosiasi air, dan karena itu juga [H+]. Konsentrasi ion kuat dalam
tubuh ditentukan oleh absorpsi usus dan ekskresi ginjal sehingga
perubahan dalam SID hanya dapat terjadi selama berjam–jam. Nilai
kalkulasi untuk SID ini, dinamakan SID apparent (SIDa), yaitu SID dari
ion–ion kuat yang biasa dapat diukur dengan mudah (Gambar 36).
Gambar 36. Grafik menunjukkan konsentrasi muatan kation dan anion dalam plasma.
A–: disosiasi asam–asam lemah (terutama albumin dan fosfat). Perbedaan antara
strong ion difference apparent dan effective (SIDa–SIDe) adalah strong ion gap (SIG)
yang menunjukkan unmeasured anions. Unmeasured anion dan laktat dalam keadaan
normal tidak bermakna.
Cara lain untuk menghitung SID yaitu dengan cara tidak meng
asumsikan ion kuat mana yang membentuk SID dalam plasma. SID
yang dihitung dengan cara ini dikenal sebagai SID effective (SIDe) dan
didasarkan pada konsentrasi bikarbonat dan kontribusi fosfat inorganik
serta albumin ([A–]) dalam plasma. Dalam keadaan normal SIDa dan
SIDe harus sama. Setiap perbedaan antara SIDa dan SIDe dinamakan
strong ion gap (SIG) dan menunjukkan ada ion kuat lain, tak terukur,
seperti asam keto, sulfat, dan urat. SIG serupa dengan anion gap
yang digunakan untuk menghitung anion tak terukur dalam analisis
tradisional asidosis metabolik. Tidak seperti anion gap, SIG tidak
dipengaruhi oleh variasi konsentrasi albumin atau laktat. Karena itu
SIG dapat memberikan gambaran yang lebih tepat tentang mekanisme
yang mendasari suatu asidosis metabolik. SIG normal adalah nol,
menunjukkan bahwa dalam plasma sehat biasanya sangat sedikit
ion kuat selain dari natrium, kalium, kalsium, magnesium, klorida dan
laktat.
153
Pendekatan Stewart Dalam Tindakan
Suatu prinsip penting teori ini adalah bahwa variabel–variabel
dependen hanya berubah dalam merespons perubahan–perubahan
satu atau lebih variabel independen. Karena itu, untuk menjelaskan
variasi [H+] atau pH, kita hanya membutuhkan mempertimbangkan
pCO2, [ATOT] dan SID. Dengan SID meningkat (menjadi lebih positif),
disosiasi air berkurang dan konsentrasi ion hidrogen menurun (pH
meningkat), untuk mempertahankan kenetralan elektrik. Sebaliknya
dengan SID menurun (menjadi kurang positif) konsentrasi H+ meningkat
(pH menurun).
Beberapa contoh klinik menggambarkan efek perubahan [SID]
pada keseimbangan asam–basa.6 Muntah–muntah dengan kehilangan
asam hidrokhlorik (HCl) lambung mengurangi konsentrasi klorida
plasma relatif terhadap natrium. Konsekuensinya, SID meningkat dan
mengakibatkan alkalosis. Sesuai dengan hipotesis Stewart, alkalosis
tidak disebabkan oleh kehilangan H+ karena disosiasi air memberikan
suatu suplai H+ yang tidak habis–habisnya. Perubahan dalam SID
juga menjelaskan asidosis metabolik yang terjadi karena pemberian
“normal salin” jumlah besar. Hiperkloremia berkembang karena
konsentrasi klorida dalam salin relatif tinggi (154 mmol/L) dibandingkan
dengan konsentrasi klorida plasma normal (100 mmol/L). Akibat
pengurangan SID meningkatkan disosiasi air dan [H+]. Pemberian
natrium bikarbonat untuk mengobati asidosis dapat juga dijelaskan
dalam istilah fisikokimia. Muatan natrium yang menyertai pemberian
natrium bikarbonat meningkatkan [Na+] plasma dan meningkatkan
SID. Disosiasi air plasma menurun agar kenetralan elektrik dapat
dipertahankan dan konsentrasi H+ bebas berkurang. Karena itu
bikarbonat tampak bekerja sebagai suatu buffer. Walau demikian,
HCO3– dalam natrium bikarbonat tidak dapat memengaruhi pH plasma
karena [HCO3–] adalah suatu variabel dependen.
Model Stewart menjelaskan peran ginjal, hati dan usus dalam
pengendalian asam–basa. Pengendalian elektrolit plasma oleh ginjal,
terutama klorida, memungkinkan memanipulasi SID dan pH plasma.
Hati dan usus berfungsi memengaruhi [ATOT]. Alkalosis metabolik
akibat dari hipoalbuminemia kronik pada pasien–pasien sakit kritis
dapat diterangkan dengan adanya suatu [ATOT] yang rendah.
154
Cairan tubuh atau kompartemen tubuh yang berbeda tidak mem
punyai pH yang sama. Perbedaan pH antar kompartemen berdekatan
ditimbulkan oleh manipulasi SID. Ini lebih disebabkan karena pergerakan
ion–ion kuat melalui membran, dari pada pergerakan H+ atau HCO3–, yang
merubah pH. CO2 lewat begitu bebas melalui membran lipid yang tekanan
parsialnya sesungguhnya sama dalam kompartemen berdekatan. Karena
itu perubahan dalam pCO2 memungkinkan perubahan cepat tapi serupa
dalam [H+] di semua kompartemen. Protein secara praktis terikat oleh
membran karena ukuran molekularnya sehingga tidak dapat digunakan
meregulasi pH antar kompartemen, walaupun menimbulkan suatu
pengaruh kuat pada [H+] di dalam suatu kompartemen.
Pendekatan Stewart–Fencl
Refleksi yang lebih akurat dari status asam–basa murni dapat
diperoleh menggunakan pendekatan Stewart–Fencl.6,14 Ini, seperti
anion gap, berdasarkan pada konsep kenetralan elektrik. Dalam
plasma ada suatu strong ion difference (SID).
155
Penting untuk mengamati bahwa, walaupun SIDe tampaknya
identik dengan buffer base, namun sebetulnya bukan.
Pendekatan BDE dan SIG adalah konsisten satu dengan yang lain
dan dapat diperoleh dari suatu persamaan utama.
Pendekatan Stewart5, diperbaiki oleh Figge, Fencl13,14 dan lainnya,
yang mengukur kontribusi muatan asam lemah lebih secara akurat,
yang berubah dengan suhu dan pH.
Kelemahan dari sistem ini adalah bahwa SIG tidak selalu me
nunjukkan unmeasured strong anion tapi agak semua unmeasured
anion. Selanjutnya, SID berubah secara kuantitatif dalam istilah
absolut dan relatif bila ada perubahan–perubahan dalam konsentrasi
air plasma. Fencl13 telah menunjukkan ini dengan mengoreksi [Cl–]
untuk air bebas ([Cl–]corr) menggunakan persamaan berikut:
156
Perhitungan di bawah ini menyederhanakan struktur perhitungan
dengan mengamati sepintas konsentrasi Na, Cl dan albumin dari suatu
seri kimia:
BDENaCl = ([Na+] – [Cl–]) – 38
BDE Alb = 0,25 (42 – albumin g/dL)
BDENaCl – BDEAlb = BDEcalc
BDE – BDEcalc = BDEgap = efek anion atau kation tak terukur.
157
Tabel 12. Base Deficit Excess penyesuaian serum albumin.10
158
Dua hari kemudian, setelah elektrolit dikoreksi dengan pemberian
salin hipotonik, kesadaran pasien menurun dan terjadi hipotensi.
Pemeriksaan darah selanjutnya menunjukkan:
Na+ 140 mEq/L, Cl– 103 mEq/L, K+ 4,6 mEq/L, TCO2 24 mEq, Urea
19 mEq/L Creat 2,1, Albumin 6 g/L, pH 7,38, PO2 121 mmHg, PCO2 38
mmHg, HCO3– 23, BDE –0,3.
BDENaCl = (140 – 103) – 38 = –1
BDEAlb = 0,25 (42 – 6) = +9
BDEcalc = BDENaCl – BDEAlb = (–1) – (+9) = –8
BDEgap = BDE – BDEcalc = (–0,3) – (–8) = – 7,7
Base deficit gap pasien –7,7 menunjukkan ada unmeasured
anion. Sebagian berasal dari laktat, laktat serum diukur 4,5 mEq/L.
Unmeasured anion sisanya sebesar 2,2 mEq/L dianggap dari asam–
asam ginjal tetap. Jadi pasien mempunyai asidosis laktat dan asidosis
ginjal walau dengan suatu gas darah tampak normal. Penting diketahui,
dengan menghitung anion gap yang dikoreksi untuk albumin didapat
nilai 22, menunjukkan luasnya asidosis.
159
Penting untuk merealisasikan bahwa tubuh menggunakan mekanisme
kompensatori spesifik untuk mengembalikan pH secara agresif ke
posisi istirahatnya. Ini diselesaikan melalui buffer yang berbeda–beda,
perubahan ventilasi dan perubahan dalam penanganan sejumlah ion–
ion oleh ginjal. Sehingga pH mungkin “dalam batas normal” walaupun
abnormalitas asam basa bermakna. Pengecualian adalah asidosis
respiratorik akut.
Asidosis respiratorik akut akibat hipoventilasi. Ini dapat akibat dari
kehilangan dorongan respiratorik, kelainan neuromuskular atau dinding
dada atau rapid shallow breathing, yang meningkatkan ruang rugi ventilasi.
Alkalosis respiratorik akut disebabkan oleh hiperventilasi. Penyebab
kelainan ini adalah ansietas, stimulasi pusat respirasi (seperti terjadi
pada keracunan salisilat) atau ventilasi buatan yang berlebihan.
Alkalosis respiratorik akut sering menyertai asidosis metabolik akut.
Pada kasus–kasus ini, pengurangan PCO2 dari baseline (biasanya
40 mmHg) sama dengan besarnya base deficit. Contohnya, pada
seorang pasien dengan asidosis laktat akut dengan laktat 10 mEq/L
akan mempunyai base deficit –10, dan PaCO2 30 mmHg. Suatu PCO2
yang lebih tinggi dari yang diharapkan menyebabkan suatu masalah
aparatus respiratorik. Suatu keadaan seperti itu dapat timbul, contohnya,
pada seorang pasien trauma dengan asidosis laktat sekunder akibat
kehilangan banyak darah dan dada tergirik (flail chest), menyebabkan
asidosis respiratorik.
Asidosis metabolik akut akibat dari suatu perubahan SID atau ATOT.
SID berubah ketika jumlah relatif anion–anion kuat terhadap kation–
kation kuat berubah. Ini dapat disebabkan oleh kelebihan anion,
seperti terjadi dengan asidosis laktat, asidosis ginjal, ketoasidosis
dan asidosis hiperkloremik, atau kehilangan kation, seperti terjadi
dengan diare berat atau renal tubular asidosis. Asidosis juga akibat
dari peningkatan free water relatif terhadap ion–ion kuat–asidosis
dilusional, yang terjadi dengan pasokan cairan hipotonik berlebihan,
intoksikasi tertentu – metanol, etilen glikol atau isopropil alkohol atau
hiperglikemia. Hiperfosfatemia, yang meningkatkan ATOT, paling umum
dihubungkan dengan asidosis gagal ginjal. Hiperalbuminemia adalah
sangat luar biasa; namun pada kholera, bila berhubungan dengan
hemokonsentrasi, ini dikaitkan dengan asidosis.
160
Pada asidosis metabolik akut, tiga diagnosis harus diselidiki segera–
asidosis laktat (kirim pemeriksaan laktat serum – ia akan mencerminkan
besarnya base deficit), ketoasidosis karena diabetes (pasien
seharusnya hiperglikemia dan keton urin positif) dan gagal ginjal akut
dibuktikan dengan ureum dan kreatinin tinggi dan total CO2 rendah.
Yang terakhir adalah suatu diagnosis eksklusi. Adanya suatu
natrium serum rendah (<135 mEq/L) harus menyadarkan klinikus
terhadap kemungkinan suatu asidosis dilusional disebabkan oleh
intoksikasi alkohol. Alkohol seperti etanol, metanol, isopropil alkohol
dan etilen glikol adalah molekul–molekul yang aktif secara osmotik
yang mengekspansi air ekstrasel.
Glukosa dan manitol mempunyai efek yang sama tapi juga
mendorong diuresis karena molekul–molekul cukup kecil untuk
difilter oleh ginjal. Intoksikasi alkohol harus diduga dengan adanya
suatu osmolar gap. Ini didefinisikan sebagai suatu perbedaan antara
osmolalitas serum yang terukur dan yang dihitung lebih besar dari 12
mOsm, menunjukkan adanya unmeasured osmolar.
Asidosis ginjal disebabkan oleh akumulasi ion–ion kuat hasil
metabolisme yang diekskresikan secara eksklusif oleh ginjal. Ini termasuk
sulfat dan format. Tambahan lagi, ada kumulasi suatu asam lemah, fosfat.
Pemberian cairan intravena kepada pasien–pasien mempunyai
dampak yang signifikan pada keseimbangan asam–basa (Tabel 13).
Ada perubahan–perubahan dalam volume free water, SID dan ATOT
(secara prinsip albumin).
‘Asidosis dilusional’ akibat dari pemberian air murni ke cairan ekstra
sel (yang adalah alkalin). Ini dapat terjadi dengan pemberian volume
besar cairan yang mempunyai SID = 0 : Dekstrosa 5%, Salin 0,9%
(keduanya Na+ dan Cl– mengandung 154 mEq), atau salin hipertonik.
Asidosis dilusional karena itu akibat dari suatu pengurangan natrium
serum atau suatu peningkatan klorida relatif terhadap natrium. “Asidosis
hiperkloremik” ini sering kali terlihat dalam kamar bedah setelah pemberian
dalam jumlah besar larutan salin 0,9%, albumin 5%, atau hetastarch 6%
(keduanya diformulasikan dalam salin). Kellum10 telah memperlihatkan
bahwa seekor anjing sepsis yang diobati dengan larutan ringer laktat dan
hydroxyethylstarch 5% yang dilarutkan dalam ringer laktat (keduanya
dengan suatu SID 20) mengalami asidosis lebih sedikit dan bertahan
hidup lebih lama dibandingkan dengan yang diobati dengan larutan salin
normal.
161
Apa relevansinya asidosis hiperkloremik? Brill dkk menjumpai
bahwa asidosis karena hiperkloremia dihubungkan dengan hasil–akhir
yang lebih baik daripada yang disebabkan oleh asidosis laktat atau
ketoasidosis.10
Ini mendukung anggapan bahwa masalah yang mendasari meningkat
kan risiko pasien. Namun, asidosis metabolik, tanpa memandang asalnya,
dapat menyebabkan depresi kontraktilitas miokardium, mengurangi
curah jantung, membatasi perfusi jaringan. Asidosis menyebabkan
inaktivasi kanal–kanal kalsium membran dan menghambat peng
lepasan norepinefrin dari serabut–serabut saraf simpatik. Ini meng
akibatkan vasodilatasi dan maldistribusi aliran darah. Lebih lanjut,
asidosis metabolik berhubungan dengan peningkatan insiden mual
dan muntah pasca bedah. Tingkat klorida plasma memengaruhi
tonus arteriolar afferen melalui kanal–kanal kalsium yang diaktifkan
oleh klorida dan memodulasi penglepasan renin. Hiperkloremia
dapat mengurangi aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus.
Hiperkloremia mengurangi aliran darah splangnikus.44 Dalam suatu
penelitian relawan sehat, larutan salin normal berhubungan dengan
pengurangan luaran urin dibandingkan dengan ringer laktat. Akhirnya,
dalam suatu penelitian prahidrasi cairan untuk mencegah nefropati
kontras, penggunaan natrium bikarbonat dihubungkan dengan suatu
pengurangan absolut 11,9% risiko cedera ginjal (didefinisikan dengan
suatu peningkatkan 25% kreatinin).
Alkalosis metabolik prebedah biasanya asal iatrogenik. Pasien
hiperventilasi dengan gagal respiratori kronik mengakibatkan alkalosis
metabolik akut karena alkalosis kompensatorik kronik dengan kehilangan
klorida dalam urin. Lebih sering, alkalosis dihubungkan dengan
peningkatan SID karena kelebihan natrium. Akibat dari pemberian cairan
dimana natrium di bufer oleh ion–ion lemah, sitrat (dalam produk darah),
asetat (dalam nutrisi parenteral) dan tentunya, bikarbonat.
Gangguan tunggal paling penting dalam kimia asam–basa pada
pasien sakit kritis adalah hipoalbuminemia. Ini adalah ubiquetious
(ada dimana–mana) dan menyebabkan suatu alkalosis metabolik yang
tidak dapat diperkirakan. Ini dapat menutupi perubahan–perubahan
signifikan dalam SID, seperti asidemia laktat. Pasien–pasien sakit kritis
rentan terhadap perubahan–perubahan signifikan SID dan free water.
162
Pengisapan nasogastrik menyebabkan kehilangan klorida, sementara
diare menimbulkan kehilangan natrium dan kalium. Drain bedah dapat
mengeluarkan cairan–cairan dengan bermacam konsentrasi elektrolit
(pankreas, contohnya, mensekresikan cairan kaya natrium). Demam,
banyak keringat, oozing jaringan dan sirkuit ventilator dengan
humidifikasi tak adekuat semua menimbulkan kehilangan volume
cairan insensible yang besar dan alkalosis kontraksi.
Diuretika loop dan gagal ginjal poliuria dapat dihubungkan dengan
alkalosis kontraksi yang signifikan karena kehilangan klorida dan free
water.
Pemberian infus kepada pasien–pasien sakit kritis mungkin
bertanggung jawab atas perubahan–perubahan kimia serum yang
tidak diketahui. Banyak antibiotika, seperti piperazillin – tazobactam,
dilarutkan dalam larutan kaya natrium. Yang lain seperti vancomycin,
diberikan dalam jumlah besar free water (Dekstrosa 5%). Lorazepam
dilarutkan dalam propilin glikol, volume besar larutan ini akan
menyebabkan asidosis metabolik serupa dengan yang terlihat dengan
etilen glikol.
Continuous renal replacement therapy (CRRT) digunakan pada
sakit kritis untuk melakukan hemofiltrasi dan hemodialisis pasien–
pasien yang secara hemodinamik tak stabil. Rocktaschel10 dkk telah
menunjukkan bahwa CRRT memecahkan asidosis gagal ginjal akut
dengan mengambil ion–ion kuat dan fosfat. Tapi, alkalosis metabolik
terjadi karena terbukanya alkalosis metabolik karena hipoalbuminemia.
163
akan mendorong peningkatan konsentrasi H+ dari disosiasi air. Ringer
laktat mengandung natrium, klorida, kalium, kalsium dan laktat dalam
konsentrasi relatif sama dengan yang di plasma. Sesungguhnya, SID
ringer laktat adalah 28 mmol/L, jauh lebih dekat ke SID plasma darah
manusia. Karena itu, Ringer laktat tampak sebagai suatu cairan yang
lebih tepat untuk resusitasi masif. Tapi, pada ada dehidrasi karena
muntah yang eksesif dan kehilangan klorida, cairan pengganti dengan
NaCl 0,9 % akan lebih tepat. Karena itu, pemilihan cairan untuk resusitasi
harus memperhitungkan keseimbangan asam–basa yang mendasarinya
dan tipe proses dehidrasinya. Ketika suatu imbalans terjadi, biasanya
tidak ada pengobatan spesifik yang diperlukan. Tapi, faktor–faktor
yang dapat meningkatkan asidosis harus dihindarkan. Asidosis yang
diinduksi hiperkloremik akan mengoreksi perlahan dan secara spontan;
konsentrasi klorida akan normal umumnya setelah eliminasi ginjal.
Larutan mengandung dekstrose tidak mempunyai efek langsung
pada keseimbangan asam–basa; tapi, produksi laktat mungkin meningkat,
dan walaupun kekhawatiran meningkat, terutama pada ada cedera otak,
tidak ada bukti jelas dari hasil akhir yang merugikan. Tapi, karena
penelitian oleh van den Berghe dkk menganjurkan dengan kuat bahwa
suatu pengendalian ketat glukosa (pada atau di bawah 6,1 mmol/L
atau 110 mg/dL) mengurangi morbiditas dan mortalitas diantara
pasien–pasien sakit kritis di ICU, suatu peningkatan glukosa serum
harus ditangani dengan tepat.
Tabel 13. Kandungan elektrolit (mmol/L) dan strong ion difference beberapa cairan
kristaloid dan koloid17
SID = strong ion difference (dianggap bahwa laktat, asetat dan glukonat dikonversikan menjadi
HCO3– dengan cepat
164
Substitusi plasma koloid menggunakan pelarut salin dapat juga
menginduksi suatu asidosis metabolik hiperkloremik bila diberikan
dalam jumlah besar. Hal serupa, juga demikian dengan koloid,
pemberian infus klorida berlebihan adalah suatu faktor utama dalam
asidosis metabolik hiperkloremik yang disebabkan salin atau dilusional.
Dalam hal keseimbangan asam–basa, koloid baru yang menggunakan
suatu larutan kristaloid seimbang sebagai pelarut (Hextend) mungkin
menguntungkan. Suatu uji klinik prospektif acak terbaru pada pasien–
pasien bedah usia lanjut memperlihatkan bahwa penggunaan larutan
seimbang (dari pada dengan NaCl 0,9%0) dalam istilah SID dapat
mencegah perkembangan asidosis metabolik hiperkloremik dan
memberikan perfusi mukosa gaster lebih baik seperti dinilai dengan
tonometri gaster. Human albumin tersedia dalam larutan 5% dan 25%.
Larutan 5% menyebabkan suatu peningkatan volume intravaskular
sama dengan volume yang diinfuskan, sedangkan larutan 25%,
yang mempunyai tekanan osmotik sangat tinggi (70 mmHg), dapat
memperluas volume intravaskular sampai dengan 5 kali volume yang
diinfuskan. Albumin adalah suatu koloid dengan suatu SID lebih dekat
dengan plasma darah normal, walaupun ia dapat bervariasi bergantung
pada supplier.
165
Hanya yang pertama mungkin berguna pada keadaan kekurangan
volume yang banyak menyertai bentuk asidosis. Sementara banyak
diskusi terfokus pada bikarbonat yang menginduksi asidosis intrasel,
hal ini secara klinis menunjukkan tidak signifikan. Hiperkloremik atau
asidosis dilusional (disebabkan oleh infus cairan intravena yang tidak
tepat), diobati dengan meningkatkan SID cairan infus, contohnya
dengan menginfuskan natrium tanpa klorida. Walaupun tidak ada
cairan seperti itu yang tersedia di pasaran, orang dapat membuat secara
mudah dengan melarutkan 3 ampul 7,5% natrium bikarbonat ke dalam
1 liter dekstrosa 5% atau air murni. Alternatif lain adalah menggunakan
natrium asetat. Ini dijalankan sebagai cairan pemeliharaan (SID = 144)
sampai base deficit kembali ke zero. Penambahan natrium adalah
alkalosis “sensitif–klorida”, diobati dengan pemberian muatan bersih
klorida – NaCl 0,9%, kalium klorida, kalsium klorida dan kadang–kadang
hidrogen klorida. Penting untuk mengoreksi alkalosis sensitif klorida,
karena tindakan kompensasi normal adalah hipoventilasi meningkatkan
PaCO2, yang dapat menimbulkan CO2 narkosis, atau kegagalan
melepas ventilasi mekanik.
Tidak ada pengobatan spesifik alkalosis hipoalbuminemia. Alkalosis
kontraksi diobati dengan mengoreksi kekurangan free water meng
gunakan formula:
166
THAM adalah suatu proton reseptor yang menghasilkan NH3+/
HCO3– tanpa membentuk CO2. Protonasi R–NH3+ bersamaan dengan
klorida, dieliminasi oleh ginjal. THAM mempunyai keuntungan yang
signifikan mem–bufer asidosis tanpa meningkatkan natrium serum
atau pembentukan CO2 lebih banyak.
Semua larutan harus memenuhi paksaan ekilibrium, konservasi
massa dan netralitas elektrik. Karena itu, beberapa persamaan yang
menggambarkan prinsip–prinsip ini harus dipenuhi secara simultan
untuk larutan biologik kompleks apa saja. Menghitung nilai suatu variabel
dependen, seperti [H+], klinisi memerlukan menyelesaikan perhitungan
aljabar polinomial urutan ke–empat. Ini mungkin yang menjelaskan
mengapa pendekatan Stewart lambat menjadi popular dalam praktik
klinik dan mengapa penggunaan pendekatan tradisional tetap digunakan.
Walau demikian, pendekatan Stewart terutama berguna untuk analisis
gangguan asam–basa metabolik, yaitu yang disebabkan oleh perubahan
baik [SID] atau [ATOT], atau keduanya. Anion tak terukur seperti asam
laktat dan asam keto, terjadi dalam keadaan patologik, dapat diditeksi dan
dihitung. Penggolongan kelainan asam–basa sesuai dengan kekacauan
variabel–variabel independen memberikan suatu pemahaman yang jelas
tentang masalah klinik primer agar terapi korektif terarah.
Kesimpulan
1. Gangguan asam–basa penting diketahui karena bila berat dapat
menimbulkan disfungsi organ serebral, kardio–respirasi dan malah
menganggu sistem imun.
2. Stewart memperlakukan cairan tubuh sebagai suatu sistem fisika–
kimia yang ditentukan berdasarkan prinsip kenetralan elektrik,
konservasi massa dan ekilibrium disosiasi.
3. Berbeda dengan Henderson–Hasselbalch yang menyatakan pH di
tentu
kan oleh bikarbonat, menurut Stewart perubahan pH cairan
tubuh ditentukan oleh derajat disosiasi air menjadi ion hidrogen dan
hidroksil, yang derajat disosiasinya ditentukan oleh variabel–variabel
independen: strong ion difference (SID), asam–asam lemah (ATOT),
dan pCO2.
167
4. Perhitungan Anion Gap (AG) digunakan untuk memperbaiki
kekurangan perhitungan tradisional dengan menambahkan buffer
non–bikarbonat atau buffer non–volatil. Diperbaiki lebih jauh dengan
mengoreksi AG (AG corr) dengan memperhitungkan albumin.
5. Buffer Base (BB) digunakan untuk memperhitungkan semua
komponen metabolik (bufer bikarbonat dan non–bikarbonat/non–
volatil).
6. Base Deficit Excess (BDE) digunakan untuk menyingkirkan faktor
respirasi (CO2) dengan pengukuran dilakukan pada pCO2 40
mmHg dan suhu 38oC. Sedangkan standard base excess (SBE)
dengan cara yang sama tapi yang diukur adalah serum.
7. Story menyederhanakan metode Stewart, menilai gangguan
asam–basa metabolik dengan memperhitungkan efek free water/
NaCl dan efek albumin pada standard base excess, yang dapat
menentukan efek ion tak terukur.
8. Asidemia metabolik akibat dari suatu penurunan SID plasma
biasanya ditimbulkan oleh penambahan anion kuat (laktat, Cl, anion
kuat lain yang “unmeasured”). Sebaliknya, alkalemia metabolik
terjadi bila SID plasma meningkat baik karena akibat penambahan
kation kuat tanpa disertai anion kuat (misal NaHCO3) atau oleh
pembuangan anion kuat tanpa kation kuat (misal pengisapan
cairan lambung).
9. Perubahan ATOT dapat menyebabkan gangguan asam basa metabolik.
Albumin merupakan variabel tambahan utama dari analisis
asam–basa yang dipertimbangkan Stewart (Hipoalbuminemia
dapat menyebabkan alkalosis metabolik dan hiperalbuminemia
menyebabkan asidosis metabolik).
10. Menghindari pemberian cairan yang mengandung salin dalam jumlah
besar dapat membantu mencegah insiden asidosis hiperkloremik
Daftar Pustaka
1. Arieff AJ, Gertz EW, Park R, et al. Lactic acidosis and the cardiovascular system
in the dog. Clin Sci. 1983; 64: 573–580
2. Kellum JA, Song M, Li J. Lactic and hydrochloric acids induce different patterns of
inflammatory response in LPS–stimulated RAW 264.7 cells. Am J Physiol Regul
Intergr Comp Physiol. 2004; 286: R686–R692
168
3. Kellum JA, Song M, Almasri E. Hyperchloremic acidosis increases circulating
inflammatory molecules in experimental sepsis. Chest. 2006; 130: 962–967.
4. Waters J. Using Stewart for Clinical Gain 2001. Available in website: http://www.
anaesthetist.com/icu/elec/ionz
5. Stewart PA. Independent and dependent variables of acid–base control. Respir
Physiol. 1978; 33(1): 9–26.
6. Stewart PA. Modern quantitative acid–base chemistry. Can J Physiol Pharmacol.
1983; 61(12): 1444–61.
7. Sirker AA, Rhodes A, Grounds RM, Bennett EDE. Acid–base physiology: the
‘traditional’ and the ‘modern’ approaches. Anaesthesia. 2002; 57(4): 348–56.
8. Kellum J. Welcome to Acid Base pHorum. Acid Base pHorum. http://www.ccm.
upmc.edu/education/resources/phorum.html/ 2005.
9. Watkinson P. The Stewart hypothesis of acid–base balance. AnesthesiaUK: Acid
base: Stewart hypothesis and hyperchloremic acidosis. 10/10/2007 http://www.
frca.co.uk
10. Neligan PJ, Deutschman CS. Acid base balance in critical care medicine.
Department of Anesthesia University of Pennsylvania 2005.
11. Mustafa I, Geoge Y. Keseimbangan asam basa: Bagian II: Patofisiologi, diagnosis
dan terapi. RS Jantung Harapan Kita. 2006
12. Figge J, Jabor A, Kazda A, Fencl V. Anion gap and hypoalbuminemia. Crit Care
Med. 1998; 26:1807–10.
13. Fencl V, Jabor A, Kazda A, Figge J. Diagnosis of metabolic acid–base disturbances
in critically ill patients. Am J Respir Crit Care Med. 2000; 162: 2246–51.
14. Fencl V, Leith DE. Stewart’s quantitative acid–base chemistry: Applications in
biology and medicine. Respir Physiol. 1993; 91:1–16.
15. Gilfix BM, Bique M, Magder S. A physical chemical approach to the analysis of
acid–base balance in the clinical setting. J Crit Care. 1993; 8:187–97.
16. Story DA, Morimatsu H, Bellomo R. Strong ions, weak acids and base excess: a
simplified Fencl–Stewart approach to clinical acid–base disorders. Br J Anaesth.
2004; 92: 54–60.
17. Leblanc M. Acid–base balance in acute renal failure and renal replacement
therapy. Best Practice & Research Clinical Anaesthesiology 2004, 18(1):113–127
18. Rastegar A. Clinical utiliy of Stewart’s method in diagnosis and management of
acid–base disorders. Clin J Am Soc Nephrol. 2009; 4:1267–1274.
169
BAB 6
Aplikasi Klinik Pendekatan Pada
Gangguan Keseimbangan Asam-Basa
170
Hal ini didasari pada konsep, bahwa respons kompensasi
tidak pernah lengkap di setiap saat. Bila jenis gangguannya adalah
asidosis dan pH turun hingga 7,35 maka repons kompensasi akan
membawa pH kembali ke nilai terendah pada rentang normal. Hal
yang sama terjadi pada alkalosis. Bagaimanapun, perlu disadari
bahwa nilai pH normal dapat disebabkan oleh adanya gangguan
gabungan kedua jenis (mixed acid–base disturbance, dua jenis
gangguan keseimbangan asam–basa; campuran asidosis dan
alkalosis).
4) Setelah diperoleh klasifikasi gangguan asam–basa secara seder
hana, yaitu asidosis (pH < 7,35) dan atau alkalosis (pH > 7,45),
rentang normal rendah (7,35–7,40) dan rentang normal tinggi (7,40–
7,45) maka langkah berikut adalah memperhatikan parameter
ventilasi (PaCO2) dan indeks metabolik (HCO3– atau BE).
Berdasarkan ini, gangguan keseimbangan asam–basa sederhana
dapat dibedakan atas 12 kelainan.
(a) pH < 7,35 (asidosis)
(i) Asidosis respiratorik akut (Acute ventilatory failure):
– PaCO2 > 45 mm Hg, HCO3–/BE normal.
(ii) Asidosis respiratorik jenis partially compensated:
– PaCO2 > 45 mm Hg, HCO3–/BE meningkat.
(iii) Asidosis metabolik akut (Uncompensated) :
– PaCO2 35–45 mm Hg, HCO3–/BE menurun.
(iv) Asidosis metabolik jenis partially compensated:
– PaCO2 < 35 mm Hg, HCO3–/BE menurun.
(b) pH > 7,45 (alkalosis)
(v) Alkalosis metabolik jenis partially compensated:
– PaCO2 > 45 mm Hg, HCO3–/BE meningkat.
Pada penderita sadar dengan sistim saraf baik, jarang di
jumpai PaCO2 > 60 mmHg sebagai respons terhadap
alkalosis metabolik. Namun pada penderita–penderita dengan
penurunan kesadaran, PaCO2 dapat meningkat lebih tinggi.
(vi) Alkalosis metabolik (Uncompensated):
– PaCO2 = 35–45 mm Hg, HCO3–/BE meningkat.
171
(vii) Alkaslosis respiratorik akut alkalosis (Acute alveolar
ventilation):
– PaCO2 < 35 mm Hg, HCO3–/BE normal.
(viii) Alkalosis respiratorik jenis partially compensated:
– PaCO2 < 35 mm Hg, HCO3–/BE menurun.
(c) pH 7,35–7,40 (rentang normal rendah)
(ix) Asidosis repiratorik jenis compensated (Chronic ventilatory
failure):
– PaCO2 > 45 mm Hg, HCO3–/BE meningkat
(x) Asidosis metabolik compensated :
– PaCO2 < 35 mm Hg, HCO3–/BE menurun
(d) pH 7,40–7,45 (rentang normal tinggi)
(xi) Alkalosis respiratorik jenis compensated (Chronic alveolar
hyperventilation):
– PaCO2 < 35 mm Hg, HCO3–/BE menurun
(xii) Alkalosis metabolik jenis compensated:
– PaCO2 > 45 mm Hg, HCO3–/BE meningkat
5) Selanjutnya, lakukan penilaian adanya respons kompensasi
untuk status gangguan keseimbangan (akut/kronik) dan adanya
inappropriate compensation untuk deteksi gangguan kese
imbangan campuran (mixed) yang terselubung.
6) Lakukan perhitungan anion gap (AG):
Pada asidosis, tentukan adanya asidosis dengan AG tinggi
(normal 12 ± 2 mEq/L) atau asidosis dengan AG rendah.
7) Lakukan penilaian status hipoksemia:
– PaO2 harus dinilai bersama dengan FiO2
– Usia dan rasio oksigenasi harus dihitung untuk menentukan
derajat shunting.
b. Gabungan (campuran) gangguan keseimbangan asam–basa.
Mixed acid–base disorders ditandai oleh adanya kedua jenis
gangguan asam–basa yang berlangsung pada saat bersamaan.
Kondisi ini sering dijumpai di klinik. Identifikasi sangat penting untuk
menentukan terapi.
Beberapa petunjuk menuju suatu bentuk gangguan keseimbangan
gabungan (campuran) antara lain:
172
(a) Acute PaCO2 – pH relationship:
Pada asidosis respiratorik, pH turun 0,06 setiap peningkatan
PaCO2 10 mm dan pH naik 0.1 setiap penurunan PaCO2 10 mm
dimulai dari level PaCO2 40 mm Hg dengan faktor koreksi 0,03.
Bila pH aktual melebihi nilai pH diperkirakan ± 0.03, maka kondisi
ini disertai adanya alkalosis metabolik. Bila pH aktual kurang nilai
pH diperkirakan ± 0,03, maka kondisi ini disertai adanya asidosis
metabolik. Adanya abnormalitas metabolik dapat dikonfirmasi
dengan adanya perubahan pada indeks metabolik (HCO3– atau
base excess). Bila terjadinya kedua kondisi tidak dapat dinilai
pada prosedur konfirmasi ini, maka hal tersebut menunjukkan
telah terjadi kesalahan teknik pada pemeriksaan.
(b) Inappropriate Compensation:
Proses kompensasi tidak pernah tercapai lengkap dan dengan adanya
inappropriate compensation memungkinkan adanya mixed disorder
terdeteksi. Lakukan penilaian PaCO2 pada asidosis metabolik dan
alkalosis metabolik untuk identifikasi adanya gangguan kesimbangan
asam–basa respiratorik. Pada asidosis metabolik, bila PaCO2 lebih
tinggi dari yang diperkirakan, maka kondisi ini menunjukkan adanya
asidosis respiratorik. Bila PaCO2 lebih rendah, maka kondisi ini
menunjukkan adanya asidosis metabolik.
Sebaliknya pada alkalosis respiratorik, bila dijumpai HCO3– lebih
rendah dari nilai yang diperkirakan, maka kondisi ini menunjukkan
adanya asidosis metabolik (additional). Bila HCO3– lebih tinggi, maka
kondisi ini menunjukkan adanya alkalosis metabolik (additional).
(c) Bandingkan peningkatan anion gap dengan turunnya HCO3– plasma:
Pada tipe asidosis metabolik disertai peningkatan anion gap,
penurunan HCO3– biasanya sebanding dengan peningkatan anion
gap. Bila peningkatan anion gap plasma melebihi penurunan
HCO3– maka dijumpai alkalosis metabolik (additional).
Bila penurunan HCO3– jauh lebih besar dibandingkan peningkatan
anion gap, baik anion gap normal maupun meningkat, maka
dijumpai asidosis metabolik (additional).
(d) Temporal inconsistencies :
Kompensasi renal maksimal berlangsung sampai dengan
2–3 hari. Bila kompensasi maksimal renal ini berkelanjutan, maka
173
kondisi ini menunjukkan adanya gabungan kedua jenis gangguan
keseimbangan asam–basa.
(e) Riwayat klinik, tanda vital dan penilaian analisis gas darah serial
merupakan metode paling penting dalam menentukan adanya
mixed acid–base disorders.
Beberapa kondisi (penyakit) yang kerap menunjukkan adanya kedua
jenis gangguan asam–basa di klinik, antara lain:
1. Asidosis metabolik/Asidosis respiratorik edema pulmoner berat,
cardiopulmonary arrest.
2. Asidosis metabolik/Alkalosis respiratorik: gagal ginjal dengan muntah,
penyakit hati berat.
3. Asidosis metabolik/Alkalosis metabolik: gagal ginjal dengan muntah,
ketoasidosis alkohol dengan muntah.
4. Alkalosis metabolik/Asidosis respiratorik: PPOK dengan muntah
atau pemberian diuretik.
174
CONTOH KASUS
GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM-BASA
PADA PREEKLAMPSIA BERAT
175
Diberi diet cair melalui NGT sebesar 1.500 kkal, dan cairan intra vena Ringers’
Lactate 1500 mL/24 jam.
176
Hari I
Analisis gas darah: pH 7,416, PO2 58,0 mmHg, PaCO2 26,7 mmHg, SaO2 91,1%, HCO3– 16,7 mEq/L, CO2
total 17,6 mEq/L, BE –6,0 mEq/L,
Elektrolit: Na 136 mEq/L, K 4,6 mEq/L, Cl 112 mEq/L
177
Hari II
Analisis gas darah: pH 7,473, PCO2 23.5 mmHg, PaO2 69,5 mmHg, HCO3– 18,8 mEq/L,
CO2 total 18 mEq/L, BE –4,6 mEq/L, SaO2 95,3%.
Elektrolit: Na 137 mEq/L, K 3,6 mEq/L, Cl 112 mEq/L.
Albumin 2,4 g/dL
178
Hari III
Analisis gas darah:
pH 7,473, PCO2 33,9 mmHg, PaO2 67,7 mmHg, HCO3– 16,9 mEq/L, CO2 total 18 mEq/L,
BE –9,2 mEq/L, SaO2 92,3 %.
Elektrolit: Na 135 mEq/L, K 4,1 mEq/L, Cl 113 mEq/L.
Metode Henderson–Hasselbalch Metode Stewart
1. pH menunjukkan alkalosis Analisis
2. PaCO2 (↓ <35 mmHg) menunjukkan • Strong ion difference (SID)
jenis gangguan asidosis metabolik. (Na+ + K+ + Ca2+ + Mg+) – (Cl–) = (HCO3– +
Kadar HCO3– (↓) menunjukkan jenis Laktat + Albumin + fosfat)
gangguan asidosis metabolik partially Tidak ada data Ca, Mg dan laktat, meski
compensated. diperoleh data albumin.
3. Terlihat pH berada pada batas atas
rentang normal (7,473), menunjukkan
alkalosis
4. Dari 12 jenis kelainan, dijumpai alkalosis
respiratorik partially compensated.
5. Terlihat adanya inappropriate
compensation
6. Anion gap
AG = ([Na+] + [K+]) – ([CI–] + [HCO3–])
= (135 + 4,1) – (113 + 16,9)
= 141,1 – 129,9
= 9,2 (rendah)
7. Hipoksemia ditunjukkan oleh nilai PaO2,
67,7 namun disayangkan tidak ada data
FiO2.
179
Hari XII
Analisis gas darah: pH 7,213, PCO2 44,5 mmHg, PaO2 108,3 mmHg, HCO3– 17,5 mEq/L,
CO2 total 18,9 mEq/L, BE –10,3 mEq/L, SaO2 92,9% (FiO2 100 %).
Elektrolit: Na 140 mEq/L, K 5,2 mEq/L, Cl 116 mEq/L.
Albumin 3,2 g/dL.
180
Pada hari ketiga, perhitungan anion gap, menunjukkan hasil sebagai
berikut:
AG = ([Na+] + [K+]) – ([CI–] + [HCO3–])
= (135 + 4,1) – (113 + 16,9)
= 139,1 – 129,9
= 9,2
kembali, pada hari ketiga ini nilai tersebut menunjukan AG masih
sedikit di bawah batas normal (Normal AG = 12 ± 2 mEq/L).
Penilaian berdasarkan nilai–nilai pH, BE dan AG tidak memberikan
informasi adanya gangguan keseimbangan karena berdasarkan nilai–
nilai tersebut di atas:
1) Pada hari pertama dan ketiga, pH dalam rentang 7,35–7,45
2) Pada hari pertama dan ketiga BE–6 dan –4,6
3) Tanda–tanda vital umum (TD, N, S dan P) dalam batas relatif normal.
Pada hari pertama dan kedua, terlihat adanya mixed acid–base
disturbance (gabungan atau campuran dari kedua jenis gangguan
keseimbangan asam–basa); mencerminkan bertanya gangguan
keseimbangan yang terjadi. Sangat disayangkan SID dan SIG tidak
dapat dihitung karena tidak ada data. SID dan SIG sebagai konfirmasi
gangguan keseimbangan yang terjadi.
Dalam menafsirkan penilaian, beberapa faktor harus diperhitungkan
secara seksama. Salah satunya adalah perhitungan sederhana kerangka–
kerja untuk eyeballing kimia sebagaimana diuraikan berikut ini.
― Untuk kenaikan 1 mEq/L Na+ di atas 140 mEq/L, BE meningkat +1,
dan
― Untuk penurunan 1 mEq/L Na+di bawah 140 mEq/L BE menurun−1
Pada kasus ini: Na+ = 136 mEq/L, maka terjadi penurunan BE sebesar
4 angka, atau BE = –4 mEq/L
― Untuk kenaikan 1 mEq/L Cl di atas 102 mEq/L, BE menurun –1, dan
― Untuk penurunan 1 mEq/L CI– di bawah 102 mEq/L, BE meningkat +1
Pada kasus ini: CI– = 112 mEq/L, maka terjadi penurunan BE sebesar
10 angka, atau BE = –10 mEq/L
― Untuk penurunan kadar albumin 0,4 g/dL di bawah 4,0 g/dL, BE
meningkat +1
Pada kasus ini: Albumin pada hari kedua 2,4 g/dL, terjadi penurunan
sebanyak 1,6 angka, atau BE meningkat sebesar = 1,6/0,4 = +4 angka
181
Hasil perhitungan BE dari mesin di hari pertama –6,0 mEq/L
Berdasarkan perhitungan eyeballing, maka nilai BE yang seharusnya
adalah:
(–6) – {(–4) + (–10)} – (+4) = –16 mEq/L
Hari kedua belas
Na+ 140 mEq/L Normal
Cl 116 mEq/L Hiperkloremia.
Kenaikan: 116–102 mEq/L = 14 mEq/L, artinya
terjadi penurunan BE sebesar 14 angka atau
BE = –14 mEq/L
Albumin 3.2 g/dL Terdapat penurunan albumin dari 4.0 – 3,2 g/
dL atau 0,8 angka. Artinya BE mengalami
peningkatan sebesar 0,8/0,4 atau +2 mEq/L
Diperberat adanya hiperkloremik, terjadi perubahan nilai BE. Perubahan
ini mengaburkan nilai BE yang sesungguhnya.
Dengan demikian, nilai BE sesungguhnya adalah:
BE berdasarkan perhitungan mesin gas darah + (–14) – (+2)
= (–10,3) + (–14) – (+2)
= –22 mEq/L
dan ini menunjukan kondisi asidosis metabolik berat.
Perbandingan PCO2/ HCO3– normal berkisar 40. Pada kasus ini
dijumpai 58/16,7 X 24 atau sama dengan 83. Hal ini menunjukan
kekacauan sistem pengaturan keseimbangan.
Karena nilai HCO3– serum di bawah 19 mEq/L dihubungkan dengan
efek detrimental (merusak), dianjurkan untuk mempertahankan HCO3–
serum di atas 22 mEq/L.
Asidosis metabolik memiliki konsekuensi detrimental, terutama bila
berlangsung lama. Asidosis metabolik diikuti peningkatan katabolisme
jaringan dan pemecahan protein oleh aktivasi ATP–dependent ubiquitin
proteasome dan branched–chain ketoacid dehydrogenase degradative
pathways. Asidosis metabolik tempak terlibat dalam denutrition dan
muscle wasting process dari pasien–pasien gagal ginjal stadium
akhir. Asidosis metabolik juga merupakan suatu faktor dalam
resistensi insulin. Asidosis menyebabkan tumpulnya respons ter
hadap katekolamin/vasopressor, menimbulkan depresi kontraktilitas
miokardium, dan predisposisi terjadinya aritmia. Karenanya,untuk
menghindari timbulnya konsekuensi yang tidak diinginkan tersebut,
asidosis metabolik harus segera diatasi.
182
SIG (strong ion gap) atau SID (strong ion difference) serupa dengan
AG yang digunakan untuk menghitung anion tak terukur pada analisis
asidosis metabolik tradisional. Tidak seperti AG, SIG tidak dipengaruhi
oleh variasi konsentrasi albumin atau asam laktat; karenanya lebih
menggambarkan mekanisme yang mendasari terjadinya suatu asidosis
metabolik secara tepat.
SIG normal adalah nol yang menunjukkan bahwa pada keadaan normal
(sehat), sangat sedikit dijumpai ion–ion kuat dalam plasma selain dari
sodium, potassium, kalsium, magnesium, klorida, dan asam laktat.
Merupakan pilihan lain sebagai pengganti AG. SIG adalah suatu
parameter yang bersumber dari [SID]. Berdasarkan definisi, [SID]
harus sesuai dan sama jumlah muatan positif dan negatif (electrically
neutral). Muatan negatif diwakili oleh A dan CO2 total.
[ATOT] adalah konsentrasi total dari asam lemah non volatil, fosfat anorganik,
[A ] adalah konsentrasi total dari asam lemah non volatil, fosfat
albumin
TOT
dan protein serum.
anorganik, albumin dan protein serum.
[ATOT] adalah konsentrasi total dari asam lemah non volatil, fosfat anorganik,
albumin dan protein serum.
Keterangan:AATOT
Keterangan: TOT== asamlemah
asam lemahnon
nonvolatil,
volatil, Pi=
Pi= fosfat
fosfat inorganik
inorganik PrTOT
PrTOT = protein
= protein total)
total)
Pada kasus ini sulit untuk menghitung SIG (SID) karena nilai–nilai Ca2+,
PadaMgkasus
2+
, POini
Keterangan: sulit diketahui
tidak untuk menghitung SIG (SID)
(tidak diperiksa), karenaadanya
sehingga nilai–nilai Ca2+, Mg2+,
asidosis
4 ATOT = asam lemah non volatil, Pi= fosfat inorganik PrTOT = protein total)
PO tidak
tidakterdeteksi.
4 diketahui (tidak diperiksa), sehingga adanya asidosis tidak terdeteksi.
kasus ini sulit untuk menghitung SIG (SID) karena nilai–nilai Ca2+, Mg2+,
PadaRangkuman
1. Melalui
PO4 tidak pendekatan
diketahui metodesehingga
(tidak diperiksa), Henderson–Hasselbalch sajaterdeteksi.
adanya asidosis tidak sulit
atau tidak terdeteksi adanya gangguan keseimbangan asam basa
Rangkuman
berat pada kasus ini, yaitu asidosis metabolik disertai alkalosis
yang terjadi secara bersamaan. Nilai pH menunjukan dalam batas
normal karena dijumpai hipoalbuminemia yang menyebabkan
Rangkuman
reabsorpsi bikarbonat meningkat.
1. Melalui pendekatan
2. Dengan metode
pengembangan Henderson–Hasselbalch
metode sajaselanjutnya
Henderson–Hasselbalch sulit atau tidak
yang memperhitungkan
terdeteksi albumin sebagai
adanya gangguan keseimbangan faktor
asam basayang
beratberperan
pada kasus ini,
yaitu asidosis
1. Melalui metabolik
pendekatan disertai
metode alkalosis yang terjadi
Henderson–Hasselbalch sajasecara bersamaan.
sulit atau tidak
Nilai pH menunjukan
terdeteksi dalamkeseimbangan
adanya gangguan batas normal karena dijumpai
asam basa berathipoalbuminemia
pada 183
kasus ini,
yang asidosis
yaitu menyebabkan reabsorpsi
metabolik bikarbonat
disertai alkalosismeningkat.
yang terjadi secara bersamaan.
2. Nilai
Dengan pengembangan
pH menunjukan metode
dalam Henderson–Hasselbalch
batas normal selanjutnya yang
karena dijumpai hipoalbuminemia
memengaruhi keseimbangan asam basa, diperoleh nilai AG –
koreksi. Perhitungan anion gap koreksi (dengan memperhitungkan
faktor albumin) juga menunjukkan nilai dalam batas normal.
3. Dari data yang diperoleh, dapat ditelusuri kondisi yang mendasari
kelainan ini, antara lain:
• Adanya hipervolemia disertai gangguan sirkulasi, meski secara
klinik hemodinamik stabil.
• Adanya perubahan tekanan hidrostatik dan onkotik menyebabkan
terganggunya GFR yang berlanjut dengan gagal ginjal akut.
• Ekskresi ion H+ meningkat mengakibatkan reabsopsi bikarbonat
meningkat; diikuti peningkatan pH.
• Asidosis hiperkloremik bersifat fatal tidak terdeteksi dan tidak
diatasi.
• Nilai Cl yang tinggi dan HCO3– yang rendah menyebabkan nilai
AG berada dalam rentang normal.
4. Melalui perhitungan eyeballing dan pendekatan menggunakan
metode Stewart seyogyanya asidosis metabolik dan respiratorik
yang berlangsung pada kasus ini dapat terdeteksi. Sangat
disayangkan nilai–nilai yang diperlukan tidak diperoleh karena
tidak dilakukan pemeriksaan.
184
Contoh Kasus 2
Luka Bakar Kritis
Seorang pria berusia 42 tahun dengan luka bakar 52% derajat 2–3
terkena api letupan tiner (pengencer cat) 12 jam sebelum masuk rumah
sakit; dirujuk dari RS A. Pada surat rujukan, tercantum cairan yang
telah diberikan sebanyak 6L Ringers’ Lactate dalam 8 jam pertama.
Tidak ada keterangan lain.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai paenderita gelisah dengan LB
mengenai muka, disertai edema seluruh muka terutama kedua palpebra
superior, dan kedua bibir disertai hipersekresi (drooling). Laju pernapasan
sulit dihitung dan dijumpai bunyi napas. Dilakukan penilaian jalan napas
melalui pemeriksaan laringoskopik, dijumpai edema jalan napas atas.
Segera dilakukan intubasi, penghisapan sekret jalan napas (dijumpai
deposit karbon) dan pemberian oksigen. Pasca intubasi, pernapasan
24 kali/menit dan penderita lebih tenang.
Selanjutnya dilakukan pemasangan jalur intravena menggantikan
jalur yang telah terpasang sebelumnya di tungkai bawah, dan dilakukan
pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium. Suhu
rektal menunjukan 36,1oC
Dilakukan pemasangan kateter vena sentral, setelah pengukuran
dijumpai (–4) cm H2O atau sama dengan (–5,04) mmHg. Setelah
pemasangan pipa nasogastrik, dilakukan tes retensi dengan pemberian
larutan NaCl isotonik 50 mL. Setelah satu jam, melalui pipa nasogastrik
terpantau cairan produksi lambung bewarna coklat gelap 120mL.
Melalui kateter urin terlihat urin bewarna gelap 50mL. Pengukuran
mean arterial pressure (MAP) pada monitor menunjukan 62 mmHg.
Pada pemeriksaan laboratorium diperoleh hasil sebagai berikut.
Kadar hemoglobin (Hb) 21 g/dL dengan hematokrit (Ht) 56 vol%,
leukosit 19.000 /uL dan trombosit 256.000 /uL. Glukosa darah sewaktu
316 g/dL, kadar asam laktat 6,8 mmol/L. SGOT 471 U/L, SGPT 72
U/L, ureum 52 mg/dL kreatinin 1,2 mg/dL. Kadar albumin 2,1 g/dL. PTT
93,2 detik dan aPTT 49,1 detik.
Analisis gas darah (AGD) menunjukan pH 7,32, PO2 86 mmHg,
PCO2 31,4 mmHg, HCO3– 18,5 mEq/L, BE –21 mEq/L dan saturasi O2
96,1%. Kadar elektrolit: Na 136 mEq/L, K 3,4 mEq/L dan Cl 112 mEq/L.
Ca serum 2,6 mmol/L, Ca ion 0,7 mmol/L.
185
Metode Henderson–Hasselbalch Metode Stewart
1. pH menunjukkan asidosis Analisis
• Strong ion difference (SID)
2. PaCO2 (↓ <35 mmHg) menunjukkan
jenis gangguan asidosis metabolik (Na+ + K+ + Ca2+ + Mg+) – (Cl–)
akut. Kadar HCO3– (↓) dan BE ( –21) = (HCO3– + Laktat + Albumin +
menunjukkan jenis gangguan asidosis fosfat)
metabolik. SID (tanpa data Mg) =
3. Terlihat pH turun (7,32), menunjukkan (136 + 3,4) – (112) = 18,5+ 6,8
asidosis + 2,1)
4. Dari 12 jenis kelainan, dijumpai asidosis 3, atau lebih besar dari 0.
metabolik partially compensated. Hal ini menunjukkan kekacauan
anion.
5. Terlihat adanya inappropriate
compensation
6. Anion gap
AG = ([Na+] + [K+]) – ([CI–] + [HCO3–])
= (136 + 3,4) – (112 + 18,5)
= 139,4 – 130,5
= 8,9 (rendah)
7. Hipoksemia PO2 menunjukkan tren
penurunan (86 mmHg).
Kesimpulan dari data di atas adalah
asidosis metabolik dengan AG rendah.
Pembahasan
Kasus ini memenuhi kriteria luka bakar kritis berdasarkan luas luka
bakar (>25% TBSA), dengan cedera inhalasi dan syok luka bakar yang
ditegakkan berdasarkan nilai CVP rendah (–5.04 mmHg) ditunjang
hemokonsentrasi (Hb 21 g/dL dan Ht >40 vol%) dan MAP < 65 mmHg.
Pemeriksaan lain yang menunjang syok secara klinik/laboratorik adalah:
1) cairan produksi lambung bewarna gelap, 120 mL dalam 1 jam, 2)
SGOT dan SGPT mengalami peningkatan; 1 dan 2 menunjukan adanya
hipoperfusi splangnikus, 3) anuria ditunjang peningkatan kadar ureum
menunjukan adanya acute kidney injury (AKI), 4) gangguan perfusi
ditunjukkan oleh penurunan PO2 (86 mmHg), PCO2 (31,4 mmHg), HCO3–
(18,5 mEq/L), dan penurunan BE (–21 mEq/) disertai peningkatan kadar
glukosa darah sewaktu (316 g/dL) dan kadar asam laktat (6,8 mmol/L).
186
Ada dua hal yang menyebabkan terganggunya perfusi–oksigenasi
pada kasus ini, yaitu 1) cedera inhalasi (gangguan asupan oksigen)
dan 2) hipovolemia yang nyata menyebabkan gangguan sirkulasi.
Keduanya menyebabkan gangguan keseimbangan asam–basa (asidosis
metabolik dan asidosis respiratorik) pada saat bersamaan.
Bila dilihat dari pH (7.32) seseorang tidak akan menyadari bahwa
seseimbangan asam–basa terganggu demikian berat; menganggap
asidosis terkompensasi (normal, 7,35–7,45).
Informasi adanya gangguan terlihat dari perubahan nilai–nilai PO2
(86 mmHg), PCO2 (31.4 mmHg), HCO3– (18.5 mEq/L), dan penurunan
BE (–21 mEq/L). Sebagai pengujian kebenaran nilai AGD, terlihat nilai
PCO2 / HCO3– : 31,4/18,5 x 24 = 40,73.
187
Pada kasus ini: Na+ = 136 mEq/L, maka terjadi penurunan BE
sebesar 4 angka, atau BE = –4 mEq/L.
b. Memperhitungkan peran klorida
- Untuk kenaikan 1 mEq/L Cl– di atas 102 mEq/L, BE menurun
–1, dan
- Untuk penurunan 1 mEq/L CI– di bawah 102 mEq/L, BE
meningkat +1
Pada kasus ini: CI– = 112 mEq/L, maka terjadi penurunan BE
sebesar 10 angka, atau BE = –10 mEq/L
c. Memperhitungkan peran albumin
- Untuk penurunan kadar albumin 0,4 g/dL di bawah 4,0 g/dL,
BE meningkat +1
Pada kasus ini: Albumin 2,1 g/dL, terjadi penurunan sebanyak 1,9
angka, atau BE meningkat sebesar = 1,9/0,4 = + 4,75 angka
Hasil perhitungan BE dari mesin –21,0
d. Memperhitungkan peran klorida
- Untuk kenaikan klorida di atas 102 terjadi penurunan BE sebesar
1 angka
Pada kasus ini: 112 – 102 mEq/L = 10 mEq/L, artinya terjadi
penurunan BE sebesar 10 angka atau BE = –10 mEq/L
Rangkuman
Dalam interpretasi hasil pemeriksaan analisis gas darah (AGD)
dan elektrolit diperlukan pemahaman mengenai makna dari setiap nilai
dan perlu dilakukan pengkajian.
Pada kasus ini, hasil AGD menghadirkan nilai–nilai yang menunjukan
adanya gangguan keseimbangan asam–basa (asidosis metabolik)
berat yang dialami penderita dan memberi informasi beratnya masalah
188
yang terjadi. Pengkajian dalam hal ini pengujian beberapa nilai
menurut dua konsep yang ada (metode Henderson–Hasselbalch dan
metode Stewart) ternyata bermanfaat dalam menghadirkan kebenaran
informasi mengenai keadaan yang sesungguhnya terjadi.
Kesalahan yang kerap terjadi di klinik adalah terlalu cepat
mengambil kesimpulan berdasarkan interpretasi terhadap satu nilai
semata, dalam hal ini pH. Padahal, demikian banyak faktor yang
berperan dan saling terkait hingga menghasilkan suatu resultan pH
dalam tanda petik terkompensasi, atau bahkan kerap menunjukan
rentang normal.
189
Contoh Kasus 3
Penyakit Ginjal Kronik
Kasus I
Laki–laki 34 tahun dengan keluhan utama mual muntah yang
semakin berat sejak 5 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada riwayat
penyakit sekarang, diperoleh informasi bahwa pasien mengeluh nyeri
perut kanan atas, terasa berdenyut–denyut hilang timbul, terutama jika
tangan/badan digerakkan. Keluhan ini dialami sejak 2 minggu yang
lalu. Lebih lanjut, diperoleh informasi riwayat SIDA sejak 1 tahun yang
lalu. Pada riwayat penyakit terdahulu, diperoleh informasi mengenai
penyakit TB paru enam tahun yang lalu dan mendapat obat anti
tuberkulosis selama enam bulan; telah dinyatakan sembuh.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai kesadaran kompos mentis. Tekanan
darah 100/60 mmHg, frekuensi nadi 80 kali/menit, isi cukup, frekuensi
napas 18 kali/menit, suhu 37,8°C. Berat badan 45 Kg tinggi badan 161 cm,
indeks massa tubuh 16,5. Pada pemeriksaan rongga mulut didapatkan
oral trush dengan higiene mulut buruk, mukosa bibir basah.
Paru simetris dalam keadaan statis dan dinamis, sela iga tidak
melebar, sonor di kedua lapang paru, vesikuler, dijumpai ronki basah
kasar +/+. Abdomen lemas, tak ada nyeri tekan epigastrium, hepar teraba
tiga jari di bawah arkus kosta, kenyal, tepi tumpul, permukaan licin. Limpa
tidak teraba, tidak teraba massa. Tak ditemukan asites.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb 11,7 ,
leukosit 8800 sel/mm3, trombosit 115.000 sel/mm3, ureum 122 mg/dL,
kreatinin 5,8 mg/dL, SGOT 38 U/L, SGPT 14 U/L, kadar albumin 3,1 g/dL,
globulin 5,4 g/dL, glukosa darah sewaktu 132 mg/dL, Na 124 mEq/L,
K 3,5 mEq/L, 105 mEq/L, anion gap 10,3, osmolalitas plasma 275,66
mOsm/kg. Analisis gas darah pH 7,156, PCO2 24,6 mmHg, PO2 126,6
mmHg, Saturasi oksigen 98,2%, HCO3 8,7 mEq/L.
190
Pembahasan
1. Menurut metode Henderson–Haselbalch
pH < normal, HCO3 rendah (delta dari normal : 24–8,7 = 15,3 mEq/L),
pCO2 turun (delta dari normal: 40–24,6 = 15,4 mmHg).
HCO3 turun menunjukkan pasien mengalami asidosis metabolik. Setiap
penurunan HCO3 1 mEq/L, akan diikuti penurunan pCO2 sebesar 1,2 mmHg.
Pada kasus ini HCO3 turun sebesar 15,3 mEq/L, jadi seharusnya PCO2
turun sebesar 18,36 mmHg. PCO2 diharapkan menjadi 21,64 mmHg,
akan tetapi kenyataannya pada kasus adalah 24, 6 mmHg.
Kesimpulan: Asidosis metabolik dan asidosis respiratorik.
Anion gap: 124–(105+8,7) = 10,3 mEq/L. Kadar albumin pasien adalah
3,1 g/dL, anion gap terkoreksi adalah sebesar 10,3 – {(4,4–3,1) x 2,5}
= 7,05. Setiap penurunan albumin sebesar 1 g/dL dari nilai albumin 4,4
g/dL, anion gap turun sebesar 2,5 mEq/L.
Kesimpulan akhir gangguan keseimbangan asam basa menurut
metode Henderson–Haselbalch adalah gabungan asidosis metabolik
non anion gap dengan asidosis respiratorik.
Asidosis metabolik
Anion gap yang normal pada kasus ini menunjukkan bahwa asidosis
metabolik disebabkan terbuangnya bikarbonat. Terbuangnya bikarbonat
dapat terjadi melalui ginjal atau melalui saluran cerna. Terbuangnya
bikarbonat melalui ginjal disebabkan oleh karena gangguan reabsorpsi
bikarbonat di tubulus proksimal pada kasus RTA (Renal Tubular Acidosis)
tipe–2 oleh karena defek reabsorpsi bikarbonat yang menyebabkan
ambang reabsorpsi bikarbonat turun sampai sebatas kadar bikarbonat
darah mencapai kadar 15 mEq/L, atau kegagalan ekskresi ion–H
atau NH4 di duktus koligentes pada kasus RTA tipe–1. Terbuangnya
bikarbonat melalui saluran cerna dapat terjadi pada kasus enteritis.
Untuk membedakan keduanya ini, harus dilakukan penghitungan
anion gap urin. Anion gap dalam urin dapat dihitung dengan rumus:
(Na+ + K+ – Cl–) urin. Bila hasilnya minus, artinya terjadi pembuangan
bikarbonat melalui saluran cerna; bila hasilnya positif, artinya terjadi
pembuangan bikarbonat melalui ginjal. Pada kasus ini, tidak dilakukan
pemeriksaan Na, K, dan Cl dalam urin. Pada kasus ini juga tidak
191
ada riwayat gangguan saluran cerna, jadi dapat dikatakan bahwa
bikarbonat terbuang melalui urin.
Pada kasus dengan SIDA sangat dimungkinkan terjadi gangguan pada
tubulus ginjal, sehingga etiologi asidosis metabolik pada kasus ini adalah
suatu RTA. Kadar bikarbonat darah pada kasus ini adalah 8,7 mEq/L,
sehingga sangat mungkin etiologi asidosis metabolik pada kasus ini
adalah RTA tipe–1. Pada RTA tipe–2, kadar bikarbonat darah adalah
antara 12–20 mEq/L.
Asidosis respiratorik
Asidosis respiratorik pada kasus ini sangat dimungkinkan karena pada
pemeriksaan fisik ditemukan ronki basah kasar di kedua lapangan
paru sehingga menimbulkan gangguan ventilasi di alveoli paru.
192
Kesimpulan akhir gangguan keseimbangan asam basa menurut
metode Stewart adalah asidosis metabolik dengan anion gap normal.
Penetapan gangguan keseimbangan yang ideal adalah dengan
melengkapi data yang diperlukan.
Data yang diperlukan pada penetapan adanya gangguan kese
imbangan asam basa menurut metode Stewart antara lain adalah Na+,
K+, Ca2+, Mg2+, Cl–, laktat–, PO4–, pH, PCO2, dan kadar albumin darah.
Kasus II
Laki–laki 72 tahun dengan keluhan utama luka di kaki kanan
yang semakin berat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit. Riwayat
penyakit sekarang, timbul luka di kaki kanan, melenting sejak tiga
minggu sebelum dirawat. Pasien sudah berobat ke puskesmas. Di
puskesmas, luka digunting, namun luka tidak menunjukkan perbaikan
malahan setelah itu muncul 3 luka di punggung kaki yang semakin
membesar. Pasien sebelumnya dirawat di RS A selama 6 hari karena
keluhan sesak. Dari keterangan yang diperoleh, dikatakan terjadi
radang paru. Pasien pulang dengan keadaan umum baik, namun luka
tidak menunjukkan perbaikan.
Empat hari sebelum masuk perawatan, luka mulai bernanah. Pasien
mengalami demam dengan suhu naik–turun disertai mual dan penurunan
nafsu makan. Pasien berobat ke RSCM karena saran anaknya. Keluhan
lain yang dialami antara lain penglihatan kabur seperti berkabut, buang
air kecil berbusa, rasa kesemutan dan baal di kaki.
Sepuluh tahun yang lalu, pasien dinyatakan menderita diabetes
melitus oleh dokter. Pengobatan di puskesmas diberikan glibenklamid
2 kali sehari 1 tablet; pasien berobat secara teratur.
Pada riwayat penyakit terdahulu, diketahui pasien mengalami TB
paru sejak 3 tahun yang lalu, berobat selama 8 bulan dan dinyatakan
sembuh. Pada riwayat penyakit keluarga, tidak dijumpai keluarga yang
menderita penyakit diabetes mellitus. Tidak ada riwayat hipertensi,
penyakit jantung, asma, alergi, penyakit kuning dan penyakit ginjal.
Pada penelusuran riwayat sosial ekonomi dan kebiasaan, diketahui
pasien tidak bekerja; pensiun sebagai supir 15 tahun yang lalu. Berobat
selalu dilakukan dengan pembayaran tunai. Pasien memiliki kebiasaan
193
merokok sejak > 20 tahun, 1 bungkus/hari, namun sudah berhenti
merokok selama 10 tahun terakhir. Tidak ada riwayat kebiasaan minum
jamu. Kadang pasien mengonsumsi pil rheumacyl.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai kesadaran somnolen dan tampak
sakit berat. Tekanan darah 110/80 mmHg, frekuensi nadi 96 kali/menit,
regular dan suhu 37,4oC. Frekuensi napas 24 kali/menit. Berat badan
72 kg, tinggi badan 170 cm, BMI 24,9. Turgor kulit cukup. Konjungtiva
pucat. Pemeriksaan funduskopi tidak menunjukkan perdarahan dan
eksudat +/+.
Pada pemeriksaan paru gerakan napas dada simetris dalam kondisi
statis dan dinamis, dijumpai ronki basah kasar di kedua lapangan paru.
Pada pemeriksaan jantung batas kiri jantung melebar. Bunyi jantung I
dan II regular, tak ada murmur.
Pada pemeriksaan abdomen tak ditemukan kelainan. Pada pemeriksaan
ekstremitas, ankle brachial index 0,7.
Pemeriksan laboratorium menunjukkan kadar Hb 8,9 g/dL, leukosit
23.200 sel/mm3, Trombosit 356.000 sel/mm3. Ureum 308 mg/dL,
kreatinin 7,7 mg/dL, glukosa darah sewaktu 548 mg/dL. Na 138 mEq/L,
K 4,6 mEq/L, Cl 104 mEq/L. Albumin 2,8 g/dL dan keton darah 4,1 .
Pada pemeriksaan analisis gas`darah dijumpai pH 7,346, PCO2 18,9
mmHg, PO2 138,5 mmHg, HCO3 10,4 mEq/L, Saturasi O2 99,1%.
Pembahasan
1. Menurut metode Henderson–Haselbalch
pH < 7,4; pCO2 < 40 mmHg (delta = 21,1); HCO3 < 24 mEq/L (delta
= 13,6). pH yang rendah dengan HCO3 yang rendah menunjukkan
suatu proses asidosis metabolik. Dengan delta HCO3 sebesar 13,6
mEq/L, maka seharusnya delta PCO2 adalah (13,6x1,2) = 16,32 dan
PCO2 seharusnya sebesar 23,68 mmHg, akan tetapi pada kasus ini
dijumpai PCO2 18,9 mmHg.
Pada kasus ini dijumpai kompensasi paru berlebihan mengarah
pada alkalosis respiratorik sehingga pH darah mendekati normal,
walau terdapat asidosis metabolik. Anion gap pada kasus ini (Na+ +
K+ – Cl–), 38,6 mEq/L. Kadar albumin serum 2,8 mg/dL; sehingga anion
gap koreksi adalah 38,6 – {(4,4–2,8) x 2,5} = 34,6. Adanya peningkatan
anion gap menunjukkan adanya anion tak terukur pada kasus ini.
194
Kesimpulan akhir gangguan keseimbangan asam basa menurut
metode Henderson–Haselbalch pada kasus ini adalah asidosis metabolik
disertai peningkatan anion gap dan ganbungan dengan alkalosis respiratorik.
Asidosis metabolik
Adanya peningkatan keton darah disertai riwayat diabetes mellitus
dengan peningkatan anion gap, menunjukkan bahwa pada kasus ini
penyebab asidosis metabolik adalah akibat peningkatan asam hidroksi
butirat atau suatu ketoasidosis diabetikum.
Daftar Pustaka
1. Barthwal MS. Analysis of Arterial Blood Gases — A Comprehensive Approach.
Review article. JAPI 2004; 52573–577.
2. Magder S. Assessment of acid – base balance: A physical – chemical approach. In
Meakins – Christie Physiologic basis of respiratory disease. 699 – 708.
3. Watkinson P. The Stewart hypothesis of acid–base balance. Acid Base:
Stewart Hypothesis and Hyperchloraemic acidosis. Available in website: www.
anaesthesiauk.com
4. Kellum JA. Disorders of acid–base balance. Concise Definitive Review – Dellinger
RP, Section Editor. Crit Care Med 2007; 35(11): 2630–2636.
5. Kaplan LJ, Frangos S. Clinical review: Acid–base abnormalities in the intensive
care unit. Critical Care 2005, 9:198–203.
6. Rastegar A. Clinical Utility of Stewart’s Method in Diagnosis and Management of
Acid–Base Disorders. Clin J Am Soc Nephrol 2009; 4: 1267–1274,
7. Story DA, Morimatsu H, Bellomo R. Strong ions, weak acids and base excess: a
simplified Fencl–Stewart approach to clinical acid–base disorders. Br J Anaesth.
2004; 92 (1): 54–60.
8. Fencl, Jabor A, Kazda A, Figge J. Diagnosis of metabolic acid – base disturbances
in critically ill patient. Am J Respir Care Med 2000; 162: 2246–2251.
195
196