Anda di halaman 1dari 25

MODUL EKONOMETRIKA KEUANGAN

OTOKORELASI : APA YANG TERJADI JIKA FAKTOR KESALAHAN


BERKORELASI?

KELOMPOK 3

NAMA KELOMPOK:

ALIFIA ARTHANIA 1702121862

DESI PERMATA SARI 1702114856

EVDI MUHAMMAD 1702110682

ISABELLA TAMPUBOLON 1702114751

MUTIA MEILIANI 1702114625

SISKA OKTARIANI 1702110633

VELIA YAFNI 1702110638

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS RIAU
2020
OTOKORELASI : APA YANG TERJADI JIKA FAKTOR KESALAHAN
BERKORELASI?

Dalam bab ini kita akan membahas pergeseran berikutnya dari asumsi CLRM, yakni,
bahwa tidak ada korelasi berantai atau autokorelasi di antara gangguan yang memasuki fungsi
regresi populasi (Population Regression Function, PRF). Kita akan banyak mengulasnya
dalam bab ini untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

1. Apakah sifat autokorelasi?


2. Apakah konsekuensi teoretis dan praktis dari autokorelasi?
3. Mengingat asumsi tidak ada autokorelasi tersebut berhubungan dengan yang tidak
langsung bisa dilihat, bagaimana kita mengetahui tidak adanya autokorelasi dalam
studi konkret? Pendeknya, bagaimana kita mendeteksi autokorelasi dalam praktek?
4. Bagaimana kita memperbaiki masalah autokorelasi jika konsekuensi tidak
mengkoreksinya berdampak serius?

Bab ini banyak memiliki kemiripan dengan bab sebelumnya tentang


heteroskedastisitas. Mengapa? Karena baik pada kondisi heteroskedastisitas maupun
autokorelasi, estimator kuadrat terkecil biasa, meskipun linear dan tak bias, tidak akan
efisien; yakni, bukan merupakan estimator tak bias linear terbaik (BLUE).

Karena penekanan kita dalam bab ini adalah pada otokorelasi, kita asumsikan bahwa
semua asu lain CLRM tetap tak berubah.

14.1 SIFAT AUTOKORELASI

Istilah otokorelasi bisa didefinisikan sebagai "korelasi di antara anggota observasi


yang diurut menunut waktu (seperti data deret berkala) atau ruang (seperti data lintas-
sektoral).

Kalau heteroskedastisitas secara umum dihubungkan dengan data lintas-sektoral,


autokorelasi biasanya berhubungan dengan data deret berkala (yakni, data yang diurutkan
dalam urutan kronologis), meskipun, seperti ditunjukkan definisi sebelumnya, autokorelasi
bisa pula terjadi dalam data lintas-sektoral. Dalam hal ini. korelasi seperti itu disebut korelasi
ruang (spatial correlation, vakni korelasi dalam ruang bukan dalam waktu).
Dalam konteks regresi, CLRM mengasumsikan bahwa korelasi seperti itu tidak terjadi
dalam gangguan u Secara simbolis, tidak adanya autokorelasi berarti

E (ui uj) = 0 i≠j (14.1)

Artinya, nilai hasil yang diperkirakan dari perkalian dua faktor kesalahan berbeda ui
dan uj adalah nol. Dalam bahasa sederhana, asumsi ini berarti bahwa faktor gangguan yang
berhubungan dengan suatu observasi tidak terkait dengan atau dipengaruhi oleh faktor
gangguan observasi lain. Misalnya, dalam menangani data deret berkala kuartalan yang
melibatkan regresi output terhadap tenaga kerja dan input modal (yakni, fungsi produksi),
jika, katakan, ada demonstrasi buruh yang mempengaruhi output pada suatu kuartal, maka
tidak alasan untuk mempercayai bahwa gangguan ini akan berlanjut hingga kuartal
mendatang. Dengan kata lain, jika output lebih rendah pada kuartal ini, tidak berarti bahwa
output ini akan lebih rendah pula pada kuartal depan. Demikian pula, dalam menangani data
lintas-sektoral yang melibatkan regresi pengeluaran konsumsi keluarga terhadap pendapatan
keluarga, kita tidak bisa mengatakan bahwa efek peningkatan pendapatan suatu keluarga atas
pengeluaran konsumsinya bisa mempengaruhi pengeluaran konsumsi keluarga lain.

Tapi jika ketergantungan seperti itu terjadi, berarti kita telah mengalami otokorelasi.
Secara simbolis,

E (ui uj) ≠ 0 (14.2)

Dalam situasi ini, gangguan yang disebabkan oleh demonstrasi buruh kuartal ini bisa
mempengaruhi output kuartal depan. (bisa saja naik, karena berusaha mengejar
ketertinggalan) atau peningkatan dalam pengeluaran konsumsi suatu keluarga bisa menekan
keluarga lain untuk menaikkan pengeluaran konsumsinya agar selalu terlihat kaya di mata
tetangga (inilah kasus korelasi ruang).

Menarik kiranya bila kita visualisasikan beberapa kemungkinan pola autokorelasi dan
nonotokorelasi, seperti disajikan di Peraga 14-1. Dalam peraga tersebut sumbu vertikal
memperlihatkan baik ui, (gangguan
Beberapa penyebab otokorelasi:

Inersia (Kelembaman)

Sifat khas sebagian besar deret berkala ekonomi adalah kelembaman (inersia) atau
kelesuan. Deret berkala seperti produk domestik bruto (GDP), produksi, lapangan kerja,
penawaran uang, dan indeks harga menunjukkan siklus bisnis (fluktuasi yang berkelanjutan
dan berulang-ulang dalam aktivitas ekonomi). Dimulai dari dasar resesi, ketika pemulihan
ekonomi dimulai, sebagian besar deret berkala ini mulai bergerak naik. Dalam gerakan ke
atas ini, nilai suatu deret pada satu waktu akan lebih besar daripada nilai sebelumnya. Oleh
sebab itu, ada suatu momentum yang terbangun dalam deret berkala ini dan gerakan naik ini
berlanjut hingga sesuatu terjadi (misalnya, peningkatan pajak atau tingkat bunga, atau
keduanya) yang memperlambatnya. Jadi, dalam regresi yang melibatkan data deret berkala,
observasi berikutnya cenderung saling tergantung atau berkorelasi.

Kesalahan Spesifikasi Model

Kadang pola otokorelasi seperti yang tertampil dalam Peraga 14-1(a) hingga (d) terjadi bukan
karena observasi selanjutnya berkorelasi, tapi karena model regresi tidak “dengan tepat”
dispesifikasi. Yang dimaksud dengan spesifikasi yang tidak tepat dari suatu model adalah: (1)
beberapa variabel penting yang seharusnya dimasukkan tidak dimasukkan atau (2) model itu
memiliki bentuk fungsional yang keliru. Jika terjadi kesalahan spesifikasi model seperti itu,
maka residu dari model yang tak tepat itu akan memperlihatkan suatu pola sistematis.

Fenomena Sarang Laba-Laba

Penawaran berbagai komoditas pertanian mencerminkan apa yang kita kenal dengan
fenomena sarang laba-laba, dimana penawaran bereaksi terhadap harga dengan
keterlambatan satu periode waktu karena pengimplementasian keputusan penawaran
membutuhkan waktu—yaitu periode perkembangan. Karena itu, pada perencanaan tanam
tahun ini, petani akan dipengaruhi oleh harga yang umum dimana-mana pada tahun lalu,
sehingga fungsi penawarannya:

Penawarant = B1 + B2Pt-1 + ut (14.3)

Anggap pada akhir periode t, harga Pt menjadi lebih rendah daripada Pt-1. Karena itu, dalam
periode (t+1) petani memutuskan untuk memproduksi kurang dari yang mereka lakukan pada
periode t. jelas, dalam situasi ini gangguan ut tidak diperkirakan acak, karena jika petani
mengalami kelebihan produksi di tahun t, mereka cenderung mengalami kekurangan produksi
pada tahun (t+1), dan seterusnya, yang mengakibatkan pola sarang laba-laba.

Manipulasi Data

Dalam analisis empiris, data mentah sering “dipercantik”. Misalnya, dalam regresi deret
berkala yang melibatkan data kuartalan, data itu sering diambil dari data bulanan dengan
hanya memasukkan tiga observasi bulanan dan membagi jumlah itu dengan 3. Pererataan ini
memasukkan unsur “kehalusan” ke dalam data dengan membendung fluktuasi dalam data
bulanan. Oleh sebab itu, grafik yang memplot data kuartalan terlihat jauh lebih halus daripada
data bulanan, dan kehalusan ini bisa dengan sendirinya menyebabkan pola sistematis dalam
gangguan-gangguan sehingga menyebabkan otokorelasi.

Otokorelasi bisa positif atau negatif, meskipun deret berkala ekonomi umumnya
menunjukkan otokorelasi positif karena sebagian besar bergerak ke atas atau ke bawah
selama periode waktu yang panjang (mungkin karena siklus bisnis) dan tidak memperlihatkan
gerakan naik dan turun yang konstan. Seperti terlihat di Peraga 14-2(b).
14.2 KONSEKUENSI OTOKORELASI

Anggap faktor kesalahan menunjukkan salah satu dari pola yang tertampil dalam Peraga 14-
1(a) hingga (d) atau Peraga 14-2. Konsekuensinya adalah sebagai berikut:

1. Estimator kuadrat terkecil masih linear dan tak bias


2. Tapi estimator tersebut tidak efisien; artinya, tidak memiliki varians minimum bila
dibandingkan dengan prosedur yang mempertimbangkan otokorelasi. Pendeknya,
kuadrat terkecil biasa yang umum (OLS) bukanlah estimator tak bias linear terbaik
(BLUE).
3. Varians taksiran dari estimator OLS bersifat bias. Kadang rumusan umum untuk
menghitung varians dan kesalahan standar estimator OLS secara signifikan
mengestimasi varians van sebenarnya dan kesalahan standar, terlalu rendah sehingga
menginflasi nilai t. Hal ini sepertinya membuat koefisien tertentu berbeda signifikan
secara statistik dari nol, padahal sesungguhnya belum tentu begitu.
4. Oleh sebab itu, tes t dan F yang biasa umumnya tidak andal.
5. Rumusan umum untuk menghitung varians kesalahan, yakni, σ 2 = RSS/d.f (jumlah
residu kuadrat/derajat kebebasan), merupakan estimator bias dari σ2 yang sebenarnya
dan dalam sejumlah kasus cenderung mengestimasi F terlalu rendah.
6. Konsekuensinya, R2 yang dihitung secara konvensional mungkin adalah ukuran R2
sesungguhnya yang tak bisa diandalkan.
7. Varians dan kesalahan standar peramalan yang dihitung secara konvensional mungkin
juga tidak efisien.

Seperti yang bisa Anda lihat, konsekuensi ini mirip dengan heteroskedastisitas, dan
sama seriusnya dalam praktek. Oleh sebab itu, seperti dalam heteroskedastisitas, kita harus
mengetahui apakah kita mengalami masalah otokorelasi dalam suatu penerapan tertentu.

14.3 MENDETEKSI OTOKORELASI

Ketika kita harus mendeteksi otokorelasi, kita menghadapi dilema yang sama seperti
dalam kasus heteroskedastisitas. Di sana, kita tidak tahu varians kesalahan σ 2 sebenarnya
karena µi sebenarnya tak bisa diobservasi. Di sini kita tidak hanya tak tahu berapa µ i
sebenarnya, tapi jika berkorelasi, kita pun tak tahu apa mekanisme sebenarnya yang
menimbulkannya dalam situasi konkret. Kita hanya punya proksinya e i. Oleh sebab itu,
seperti dalam heteroskedastisitas, kita harus mengandalkan ei, yang diperoleh dari prosedur
OLS standar untuk mempelajari ada-tiadanya otokorelasi. Dengan ketentuan ini, sekarang
kita akan membahas beberapa les diagnostik otokorelasi, yang akan kita ilustrasikan dengan
sebuah contoh

Contoh 14.1. Hubungan antara upah riil dengan produktivitas, Sektor Bisnis AS,
1959-2002

Berdasarkan ilmu ekonomi mikro dasar, kita akan memperkirakan hubungan positif
antara upah riil dan produktivitas (tenaga kerja) - ceteris paribus, semakin tinggi
tingkat produktivitas tenaga kerja, semakin tinggi apab mul Untuk memberikan
pemahaman tentang hal ini, pada Tabel II kita tampilkan data tentang upah mil
(kompensasi riil per jam) dan produktivitas tenaga kerja output per jam semua orang
untuk sektor bisnis dalam perekonomian AS untuk periode waktu 1959 hingga 2002

Dengan meregresikan upah ril terhadap produktivitas, kita dapatkan hasil berikut ini:
untuk tujuan pembahasan ini kita akan menyebutnya regresi upah produktivitas.

Upah riil = 29.5749 + 0,7005 Produktivitas


se = (1.4605) (0,0171)

t = (20.2496) (+0,9181)

r2= 0,9755; d = 0,2136 (14.4)

Caratan: d adalah statistik Durbin-Watson yang dibahas di bawah ini.

Dengan mempertimbangkan kriteria umum, hasil ini terlihat baik. Seperti


diperkirakan, ada hubungan positif antara upah riil dan produktivitas. Rasio t taksiran
kelihatannya tinggi dan nilai R2 sangat tingii. Sebelum kita menerima hasil ini, kita harus
mencegah kemungkinan otokorelasi, karena jika seperti kita tahu, hasilnya mungkin tidak
meyakinkan.

TABEL 14-1 INDEKS UPAH RILL DAN PRODUKTIVITAS DALAM SEKTOR


BISNIS AS 1959-2001. (1992 = 100)
Untuk menguji otokorelasi, kita akan pertimbangkan tiga metode : (1) metode grafis,
yang paling sederhana, (2) statistic d Durbin-Watson yang sudah dikenal luas, dan (3) uji run,
yang dibahas dalam Lampiran 14A.

Metode Grafis

Seperti dalam kasus heteroskedastisitas, pengujian visual sederhana residu OLS, e, bisa
memberika wawasan berharga bagi kita tentang kemungkinan keberadaan otokorelasi di
antara faktor-faktor kesalahan u. Ada berbagai cara untuk menguji residu. Kita bisa
memplotnya terhadap waktu, seperti tertampil di Peraga 14-3, yang menggambarkan residu
yang diperoleh dari regresi (14.4) dan ditampilkan pada Tabel 14-2. Terlepas dari itu, plot
tersebut kita namai plot urutan waktu (time sequence plot).
Pengujian Peraga 14-3 memperlihatkan bahwa residu et, tampaknya tidak terdistribusi
acak, seperti dalam Peraga 14-1(e). Tapi rupanya residu itu menggambarkan suatu perilaku
khas. Awalnya residu itu negatif, lalu menjadi positif, lalu negatif, lalu positif, dan negatif
lagi. Ini bisa dilihat lebih jelas lagi jika kita memetakan et, yang diketahui di kolom 1 dari
Tabel 14-2 terhadap et-1 yang diketahui dari kolom 2, seperti dalam Peraga 14-4.

Kesan umum peraga ini adalah bahwa rangkaian residu-residu tersebut terkorelasi
positif, yang menunjukkan otokorelasi positif, sebagian besar residu terkelompok dalam
kuadran pertama (timur laut) dan ketiga (barat daya).

Uji d Durbin-Watsons5

Uji yang paling terkenal untuk pendeteksian otokorelasi adalah uji yang
dikembangkan oleh Durbin dan Watson, yang populer dikenal sebagai statistik d Durbin-
Watson, yang didefinisikan sebagai

n n
d=∑ (e t−et−1)/ ∑ e 2 t (14.5)
t =2 t =1

yang sederhananya adalah rasio jumlah selisih kuadrat dalam residu berurutan terhadap RSS.
Perhatikan dalam pembilang d statistik ukuran sampel adalah (n - 1) karena salah satu
observasi hilang ketika kita mengambil selisih berurutnya. Kelebihan d statistik adalah
kesederhanaannya; dasarnya adalah residu-residu OLS yang sudah hitung oleh sebagian besar
software regresi. Saat ini sudah menjadi praktek umum bagi ahli ekonometri untuk
melaporkan d Durbin-Watson bersama sama dengan statistik ikhtisar, seperti R 2, R2 yang
disesuaikan, ¿), rasio , t dan lain lain (lihat persamaan 14.4).

Untuk ilustrasi regresi, kita bisa dengan mudah menghitung statistik d dari data yang
disajikan pada Tabel 14.2. Pertama kurangkan e keterlambatan tahun sebelumnya yang
disajikan pada kolom 2 tabel itu dari e yang sitapilkan pada kolom 1, kuadratkan selisihnya,
jumlahkan dan bagi jumlah itu dengan junlah kuadrad e yang ditampilkan pada kolom 5. Data
mentah yang diperlukan untuk menghitung d ditampilkna pada tabel 14.2. Prosedur ini sudah
biasa dilakukan oleh komputer.untuk contoh tadi, nilai d hitung adalah 0,2136.

Asumsi asumsi yang mendasari statistik d:

1. Model regresi meliputi faktor titik potong. Oleh sebab itu, tidak bisa digunakna untuk
menentukan otokorelasi dalam model model regresi melalui titik asal.
2. Variabel variabel X bersifat nonstokhastik; artinya, nilainya tetap dalam pengambilan
sampel berulang.
3. Gangguan ut dihasilkan dengan mekanisme berikut ini
ut = ρ ut-1 + vt -1≤ ρ ≤ 1 (14.6)

yang menyatakan bahwa nilai faktor gangguan, atau kesalahan pada saat t tergantung
pada nilainya saat periode waktu (t – 1) dan faktor yang murni acak (vt ), taraf
ketergantugan pada nilai masa lalu, yang diukur dengan ρ. Ini disebut dengan
koefisien korelasi, yang terletak antara -1 dan 1. (Catatan: suatu koefisien korelasi
selalu terletak antara -1 dan 1). Mekanisme ini, Persamaan (14.6), dikenal sebagai
skema otoregresif pertama. Makrov, atau cukup disebut skema otoregresif urutran
pertama, yang biasa dinyatakan sebagai skema AR(1). Nama otoregresi ini cocok
karena Persamaan (14.6) bisa ditafsirkan sebagai regresi ut terhadap dirinya sendiri
pada peride yang lalu. Skema ini merupakan urutan pertama karena ut dan nilai masa
lalu langsungnya terliba; artinya keterlambatan maksimumnya dalah sebanyak satu
periode.

4. Regresi tidak mengandung nilai (-nilai) masa lalu variabel tak bebas sebagai salah
satu variabel penjelas. Dengan kata lain, tes tidak bisa diterapkan pada model model
seperti
Yt = B1 +B2Xt +B3Yt-1 +ut (14.7)
dimana Yt-1 adalah nilai keterlambatan satu periode yang lalu dari variabel tak bebas
Y. Model model seperti regresi (14.7) dikenal sebagai model otoregresi. Regresi
suatu variabel atas dirinya sendiri dimasa lalu sebagai salah satu variabel penjelasnya.

Dengan mengasumsikan bahwa semua kondisi ini terpenuhi, apa yang bisa kita katakan
tentang otokorelasi dalam regresi upah-produktivitas dengan d 0,2136. Sebelum kita
menjawab pertanyaan ini, kita bisa perlihatkan bahwa untuk ukuran sampel besar, Persamaan
(14.5) kurang lebih bisa diungkapkan sebagai (lihat soal 14.20)

d≈ 2 (1 - ρ^ ) (14.8)

di mana ≈ berarti kira kira dan dimana

∑ e t et −1
t =2
^ρ = n (14.9)
∑ et 2

t−1

Yang merupakan estimstor koefisien otokorelasi ρ skema AR (1) yang ditampilkan pada
Persamaan (14.6). Tapi karena -1 ≤ ^ρ ≤ 1, Persamaan (14.8) menyiratkan hal berikut ini:

Nilai ^ρ Nilai d (perkiraan)


ρ^ = -1 d=4
(korelasi negatif sempurna)
^ρ = 0 d=2
(tak ada korelasi)
^ρ = 1 D=0
(korelasi positif sempurna)
Pendeknya,

0 ≤d ≤ 4 (14.10)

Yakni, nilai d hitung terletak antara 0 dan 4.

Dari pembahasan sebelumnya, kita bisa menyatakan bahwa jika nilai d hitung lebih
dekat dengan nol, berarti terdapat bukti adanya korelasi positif, tetapi jika lebih dekat dengan
4, ada bukti koralasi negatif. Dan makin dekat nilai d dengan 2, erarti makin banyak bukti
yang menunjukkan otokorealsi. Tentu, hal ini merupakan batasan yang luas dan kita
memerlukan pedoman pasti tentang kapan kita bisa menyebut nilai d positif, negatif, atau
tidak ada otokorelasi. Dengan kata lain, adakah nilai d “kritis” seperti dalam kasus distribusi t
dan F, yang akan memberi kita petunjuk pasti tentnag otokorelasi?
Sayangnya, tak seperti distribusi t dan F tidak hanya satu melainkan ada dua nilai d
kritis. Durbin dan Watson menawarkan dL dan du batas atas sedemikian hingga jika nilai d
yang dihitung dari persamaan (14.5) berada diluar batasan batasan ini, kita bisa mengambil
keputusan menyangkut adanya korelasi serial negatif dan positif. Batas atas dann bawah ini,
atau nilai kritis atas dan bawah ini, tergantung pada jumlah observasi, n, dan jumlah variabel
penjelas, k. Batas batas untuk n ini, datri 6 hingga 200 observasi, dan untuk k, hingga 20
variabel penjelas, sudah ditabulasikan oleh Durbin dan Watson untuk tingakt signifikasnsi
1% dan 5% dan disajikan lagi dalam lampiran A. Tabel A-5. Untuk penjelasan mekanisme
aktual tes Durbin-Watson, sebaiknya anda lihat peraga 14-5.

Langkah langkah yang diperlukan dalam tes ini adalah sebagai berikut:

1. Lakukan regresi OLS sehingga mendapatkan residu er


2. Hitung d Persamaan (14.5) (sebagianbesar program komputer sekarang sudah biasa
melakukan ini)
3. Cari du dan dL kritis dari tabel tabel Durbin-Watson untuk ukuran sampel yang
diketahui dan jumlah variabel penjelas yang dialami
4. Sekarang ikuti aturan keputusan yang ditampilkan pada tabek 14-3, yang untuk
memudahkan referensi juga sudah ditampilkan pada peraga 14-5

Kembali kecontoh 14.1 kita punya d = 0,2136. Dari tabel tabel Durbin Watson kita
melihat bahwa untuk n = 45 (yang paling dekat dengan ukuran sampel kita 44) dan satu
variabel penjelas dL = 1,475 dan du = 1,566 pada tingakat signifikansi 5%. Karena d hitung
0,2136 jauh dari nilai batas bawah 1,475, mengikuti aturan keputusan yang disebutkan pada
tabel 14-3 kita bisa simpulkan bahwa ada Otokorelasi positif dalam residu regresi upah-
produktivitas tadi. Kita mencapai kesimpulan yang sama dari dasar inspeksi visual residu
yang disajikan dalam peraga 14-3 dan 14-4.
Tabel 14-3 UJI d DURBIN-WATSON; ATURAN KEPUTUSAN

Hipotesisi nol keputusan Jika


Tidak ada otokorelasi positif Tolak 0 < d < dL
Tidak ada otokorelasi positif Tidak ada keputusan dL ≤ d ≤ dU
Tidak ada otokorelasi negative Tolak 4 – dL < d < 4
Tidak ada otokorelasi negative Tidak ada keputusan 4 – dU ≤ d ≤ 4 - dL
Tidak ada otokorelasi positif atau negatif Jangan tolak dU < d < 4 - dU

Meskipun popular digunakan, salah satu kekurangan uji d adalah bahwa jika uji ini
jatuh kedalam daerah meragukan (indecisive zone) atau daerah ketidaktahuan (region of
ignorance), (lihat praga 14-5) kita dapat menyimpulkan apakah otokorelasi atau tidak. Untuk
memecahkan masalah ini, beberapa penulis mengusulkan modivikasi uji d, tapi prosedur
modivikasi tersebut kompleks dan berada diluar cakupan buku ini. Program computer
SHAZAM melakukana tes d yang pasti (yakni, nilai kritis sebenarnya) dan jika anda dapat
menggunakan program ini, kita dapat mengandalkan jika d statistic terletak didaerah
meragukan. Karena konsekuensi otokorelasi dapat sangat serius, seperti sudah kita lihat jika d
statistic tertelak didaerah meragukan, akan bijaksana jika mengasumsikan bahwa otokorelasi
sudah terjadi, lalu melanjutkannya dengan koreksi atas kondisi tersebut. Jelas, uji run
nonparameter dan grafik visualnya seharusnya juga dimanfaatkan dalam kasus ini.

Dapat disimpulkan bahwa uji d, harus ditekankan lagi bahwa uji ini seharusnya tidak
diterapkan jika asumsi-asumsi yang mendasari uji ini, yang sudah dibahas sebelumnya tidak
berlaku. Secara khusus, seharusnya uji ini tidak digunakan untuk menguji korelasi serial
dalam model otokorelasi seperti regresi (14.7). jika salah diterapkan dalam kasus-kasus
seperti ini, nilai d dihitung sering diperoleh di sekitar 2, yang merupakan nilai perkiraan d
ketika AR(1) tidak ada. Dengan demikian, ada bias yang sudah “terkandung” menyangkut
pertemuan korelasi serial dalam model-model seperti itu. Tapi jika model semacam itu
digunakan dalam analisis empiris, untuk menguji otokorelasi dalam model-model seperti itu.
Durbin sudah mengembangkan apa yang disebut sebagai statistic h, yang dibahas dalam soal
14.16.

14.4 LANGKAH PERBAIKAN

Karena konsekuensi korelasi serial bisa sangat serius, dan biaya penagujian
selanjutnya bisa tinggi, dan jika atas dasar salah satu tes diagnostic atau lebih yang dibahas
sebelumnya ditemukan bahwa kita mengalami otokorelasi, maka kita perlu memperlakukan
langkah perbaikan. Tetapi perbaikan itu akan tergantung pada pengetahuan apa yang kita
miliki atau bisa asumsikan tentang sifat ketergantungan dalam factor kesalahan μt. untuk
membuat pembahasan kita sesederhana mungkin, mari kita kembali pada model dua variabel
terlebih dahulu;

Yt = B1 + B2Xt + μt (14.11)

Dan asumsikan bahwa factor kesalahan mengikuti skema AR(1):

μt = p μt-1 + vt -1 ≤ p ≤ 1 (14.6)

dimana v memenuhi asumsi OLS biasa dan p diketahui.

Sekarang jika kita bisa mentrasformasikan model (14.11) sehingga dalam model yang
telah ditransformasi tersebut factor kesalahan manjadi mandiiri secara serial, maka
menerapkan OLS pada model ini akan memberi kita sebuah estimator BLUE biasa, dengan
mengansumsikan tentu saja asumsi-asumsi CLRM lain terpenuhi. Ingat bahwa kita
menggunakan filosofi yang sama dalam kasus heteroskedastisitas, dimana tujuan kita adalah
mentransformasikan model tersebut sehingga dalam model itu factor kesalahan menjadi
homoskedastis. Untuk melihat bagaimana kita bisa mentrasformasikan regresi (14.11)
sehingga dalam model transformasi itu factor kesalahan tidak lagi mengalami otokorelasi,
tulislah regresi (14.11) dengan keterlambatan 1 periode sebagai

Yt-1 = B1 + B2Xt + μt-1 (14.12)

kalikan regresi (14.14) dengan p pada kedua sisi untuk memperoleh

p Yt-1 = p B1 + p B2Xt + p μt-1 (14.13)

sekarang kurangkan persamaan (14.13) dari persamaan (14.11) untuk mendapatkan

(Yt – p Yt-1) = B1 (1 - p) + B2 (Xt – p Xt-1) + vt (14.14)

Dimana yang akan kita gunakan adalah persamaan (14.6).

Karena factor kesalahan vt dalam persamaan (14.14) memenuhi asumsi OLS standar,
berarti persamaan (14.14) menghasilkan jenis transformasi yang kita cari akan memberikan
kita model yang bebas dari korelasi serial. Jika kita tuliskan persamaan (14.14) sebagai

Y*t = B*t + B2X*t + vt (14.15)

Dimana Y* = (Yt – p Yt-1)

X* = (Xt – p Xt-1)

B1 = B1 (1-p)

Dan kita terapkan OLS pada variabel-variabel yang telah ditransformasikan, Y“dan
X”, estimator-estimator yang diperoleh dengan demikian akan memberikan sifat BLUE.
Terlepas dari itu, perhatikan bahwa ketika kita menerapkan OLS pada model-model yang
sudah ditransformasi, estimator yang kita peroleh itu disebut sebagai estimator kuadrat
terkecil tergeneralisasi (GLS, generalized least squares). Dalam bab sebelumnya tentang
heteroskedastisitas kita juga menggunakan GLS, kecuali bahwa di sana kita menyebutnya
WLS (kuadrat terkecil tertimbang). Terlepas dari itu, perhatikan bahwa ketika kita menyebut
Persamaan (14.14) dan (14.15) persamaan selisih tergeneralisasi (generalized difference
equation); kasus-kasus persamaan selisih tergeneralisasi di mana ρ memiliki nilai tertentu
akan kita bahas nanti. Kasus ini melibatkan peregresian Y atas X, bukan dalam bentuk asal,
tapi dalam bentuk selisih, yang diperoleh dengan mengurangkan suatu bagian (= p) nilai
suatu variabel pada periode sebelumnya dari nilainya pada periode waktu saat ini. Oleh sebab
itu, jika ρ = 0,5, kita 0,5 kali nilai variabel dalam periode waktu sebelumnya dari nilainya
dalam periode waktu saat ini. Dalam prosedur penentuan selisih ini kita kehilangan salah satu
observasi karena observasi sampel pertama tidak punya pendahulu. Untuk menghindari
hilangnya salah satu observasi ini, observasi pertama Y dan X ditransformasikan sebagai
berikut:

Y 1¿ =√ 1−ρ2 ( Y 1 )

X 1¿ =√ 1−ρ2 ( Y 1 ) (14.16)

Transformasi ini dikenal sebagai transformasi Prais-Winsten. Namun dalam


prakteknya, bila ukuran sampel sangat besar, transformasi ini tidak umum dilakukan,
sehingga kita menggunakan Persamaan (14.14) dengan observasi (n–1). Akan tetapi, dalam
sampel-sampel kecil kadang hasilnya bisa sensitif jika kita mengeluarkan observasi pertama.

Beberapa hal penting tentang transformasi selisih tergeneralisasi Persamaan (14.14)


harus ditekankan di sini. Pertama, meskipun kita hanya membahas model dua variabel,
transformasi bisa digeneralisasikan hingga lebih dari satu variabel penjelas (lihat Soal 14.19).
Kedua, sejauh ini kita hanya mengasumsikan skema AR(1), seperti dalam Persamaan (14.6).
Tapi transformasi bisa digeneralisasi dengan mudah pada skema peringkat lebih tinggi,
seperti AR(2), AR(3), dan lain-lain; tidak ada prinsip baru yang digunakan dalam
transformasi ini kecuali sejumlah aljabar yang membosankan.

Kelihatannya kita memiliki “solusi" untuk masalah otokorelasi dalam persamaan


selisih tergeneralisasi (14.14). Sayang, kita mendapatkan masalah. Untuk penerapan skema
yang sukses, kita harus tahu parameter otokorelasi sebenarnya, ρ. Tentu saja, kita tidak
mengetahuinya, dan untuk menggunakan Persamaan (14.14), kita harus menemukan cara
untuk mengestimasi ρ yang tak diketahui. Situasi di sini mirip dengan dalam kasus
heteroskedastisitas. Di sana, kita tak mengetahui σ i2, sebenarnya sehingga harus melakukan
beberapa asumsi logis tentang apa yang mungkin terjadi. Tentu saja, andai kita
mengetahuinya, kita bisa menggunakan kuadrat terkecil tertimbang (WLS) dengan mudah.

14.5 BAGAIMANA MENGESTIMASI ρ

Tidak ada metode yang khusus untuk mengestimasi ρ. Tapi sebaliknya, ada beberapa
pendekatan, yang beberapa di antaranya akan kita bahas di sini.
ρ = 1; Metode Selisih Pertama

Karena ρ terletak antara 0 dan ±1, kita bisa mengasumsikan segala nilai untuk ρ
dalam rentang -1 hingga I dan menggunakan persamaan selisih tergeneralisasi (14.14).
Sebenarnya, Hildreth dan Lu12 sudah mengusulkan skema seperti itu. Tapi nilai khusus ρ
yang mana? Karena bahkan dalam batasan rentang –1 hingga +1 pun secara harfiah ada
ratusan nilai ρ yang bisa dipilih. Dalam ilmu ekonometrika terapan, salah satu asumsi yang
sudah digunakan secara luas adalah bahwa ρ = 1; artinya, faktor kesalahan secara sempurna
berkorelasi positif, yang mungkin berlaku untuk beberapa deret berkala ekonomi. Jika asumsi
ini bisa diterima, persamaan selisih tergeneralisasi (14.14) akan tereduksi hingga persamaan
selisih pertama (first difference equation) sebagai:

Y t −Y t −1=B2 ( X t −X t−1 ) + vt

∆ Y t =B2 ∆ X t + v t (14.17)

dimana ∆ yang disebut delta, merupakan operator selisih pertama dan merupakan
simbol atau operator (seperti operator E untuk nilai ekspektasi) untuk selisih berurut dari dua
nilai. Dalam mengestimasi Persamaan (14.17) kita cukup melakukan pembentukan selisih
pertama dari variabel tak bebas maupun variabel(-variabel) penjelas dan melakukan regresi
atas variabel(-variabel) yang ditransformasikan itu.

Perhatikan fitur penting model selisih pertama (14.17): Model ini tidak memiliki titik
potong. Dengan demikjan, untuk menaksir Persamaan (14.17), kita harus menggunakan
operasi rutin regresi melalui titik asal dalam software komputer. Biasanya, kita tidak akan
bisa mengestimasi faktor titik potong dalam kasus ini secara langsung. (Tapi perhatikan
bahwa b 1=Ý −b 2 X́ ¿

ρ yang Diestimasi dari d Statistik Durbin-Watson

Ingat sebelumnya kita sudah membangun hubungan perkiraan berikut antara d statistik dan ρ:

d ≈ 2(1− ρ̈) (14.8)

dari sana bisa kita dapatkan

d
d^ ≈ 1− (14.18)
2
karena d statistik sekarang sudah biasa dihitung oleh sebagian besar software regresi, kita
bisa dengan mudah mendapatkan estimasi perkiraan ρ dari Persamaan (14.18).

Setelah ρ diestimasi dari d seperti tertampil dalam Persamaan (14.18), maka kita bisa
menggunakannya untuk menjaiankan persamaan selisih tergeneralisasi (14.14) untuk contoh
upah-produktivitas d = 0,2136. Oleh sebab itu,

0,2136
^p=1 =0,8932 (14.19)
2

Nilai ρ ini jelas berbeda dengan ρ = 1 yang diasumsikan untuk transformasi selisih
pertama. Kita bisa menggunakan nilai p ini untuk mentransformasikan data seperti dalam
Persamaan (14.14).

Metode transformasi ini mudah digunakan umumnya memberikan estimasi yang baik
atas p bila ukuran sampel cukup besar. Untuk sampel-sampel kecil, penaksir p lain yang
didasarkan pada d telah diusulkan oleh Theil dan Nagar, yang dibahas di Soal 14.21.

ρ yang Diestimasi dari Residu OLS, et

Ingat skema otoregresi urutan pertama

ut =ρut −1 + v t (14.6)

karena u tidak langsung bisa diobservasi, kita bisa menggunakan pasangan sampel ini, e, dan
menjalankan regresi berikut ini:

e t =^p et −1 + v t (14.20)

di mana ^p adalah estimatorρ. Teori statistik menunjukkan bahwa meskipun dalam sampel-
sampel kecil, ^p adalah estimator bias ρ yang sesungguhnya, karena saat ukuran sampel naik,
bias cenderung lenyap." Karena itu, jika ukuran sampel cukup besar, kita bisa menggunakan
^p yang didapatkan dari Persamaan (14.20) dan menggunakannya untuk mentransformasikan
data yang tertampil dalam Persamaan (14.14).

Kelebihan persamaan (14.20) adalah kesederhanaannyaa, karena kita menggunakan


metode OLS biasa untuk mendapatkan residun. Data yang diperlukan untuk menjalankan
regresi disajikan 14-2 untuk hasil regresi (14-20) adalah sebagai berikut:
e^t = 0,8713et-1

Se = (0,0110) r2 = 0,7812

Oleh sebab itu, ρ yang diestimasi bernilai sekitar 0,87. (lihat tabel 14-4).

Metode Estiamsi ρ yang lain

Disamping metode yang sudah dibahas, ada cara cara lain mengestimasi ρ yakni sebagai
berikut:

1. Prosedur berulang Cochrane-Orcutt


2. Metode dua langkah Cochrane-Orcutt
3. Metode dua langkah durbin
4. Prosedur pencarian Hildreth-Lu
5. Metode kemiripan maximum

Pembahasan semua metode ini akan membawa kita terlalu jauh melangkah sehingga
akan kita ketinggalan dulu bahsannya.mana pun metode yang digunakan kita menggunakan ρ
yang diperoleh dari metode itu untuk mentransformasikan data sebagaimana diperlihatkan di
persamaan (14.14) dan menjalankan regresi OLS yang biasa. Meskipun sebagian besar paket
software komputer bisa melakukan ini, mari kita lihat tabel 14.4 sebagaimana penampilan
data tranformasi tersebut.

Sebelum menyimpulkan, mari kita perhatikan hasil hasil penerapan (1) tgransformasi
selisih pertama, dan (2) transpormasi yang didasarkan pada persamaan (14.21) pada regresi
upah-produktivitas. Hasil hasilnya di ikhtisarkan pada tabel 14-5. Lihar peraga 14-6 dan 14-7.
Beberapa observasi bisa dilakukan tentang hasil hasil ini.
1. Regresi awal dipenuhi oleh otokorelasi, tapi berbagai regresi transformasi
kelihatannya bebas dari otokorelasi atas dasar uji run.
2. Meskipun  yang ditaksir dari transformasi selisih pertama dan yang siestimasi dari
persamaan (14.21) tidak sama, koefisien kemiringan taksiran tidak berbeda secara
berarti satu sama lain jika kita tidak memasukkan observasi pertama dalam analisis.
Tapi estimasi titik potong dan nilai-nilai kemiringan berbeda secara substansial dari
regresi OLS asal.
3. Tetapi situasi ini berubah secara signifikan, jika kita memasukkan observasi pertama
via transformasi Prais-Winsten. Sekarang koefisien kemiringan dalam regresi
transformasi sangat dekat dengan kemiringan OLS asal dan titik potong dalam model
tranformasi jauh lebih dekat dengan titik potong asal. Seperti diperhatikan, dalam
sampel-sampel kecil penting untuk memasukkan observasi pertama dalam analisis.
Jika tidak, estimasi koefisien dalam model transfoemasi akan kurang efisien (yakni
memiliki kesalahan standar lebih tinggi) daripada dalam model yang menyertakan
observasi pertama.
4. Nilai-nilai r2 yang dilaporkan dalam berbagai regresi tidak langsung bisa
dibandingkan karena variable-variable tak bebas dalam semua model itu tidak sama.
Di samping itu, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk model selisih
pertama yang tak memiliki faktor kesalahan, r2 tidak ada artinya.

Jika kita menerima hasil-hasil yang didasarkan pada transformasi Prais-Winsten untuk
contoh upah-produktivitas, dan membandingkannya dengan regresi asal yang diganggu oleh
masalah otokorelasi, kita akan melihat bahwa rasio t asal koefisien kemiringan, dalam nilai
mutlaknya, akan menurun dalam regresi transformasi. Inilah cara lain untuk mengatakan
bahwa model asal mengalami underestimation kesalahan standar. Tapi hasil ini tidak
mengejutkan mengingat pengetahuan kita tentang onsekuensi teoritis otokorelasi. Untunglah,
dalam contoh ini bahkan setelah mengkoreksi otokorelasi, hasil estimasi rasio t signifikan
secara statistik. Tapi hal ini mungkin tidak selalu terjadi.

Anda mungkin juga menyukai