Pada gambar 1 menunjukkan demand shock. Dimana pada periode t, ketika terdapat
gunjangan permintaan agregat dinamis bergeser dari 𝐷𝐴𝐷𝑡−1 ke 𝐷𝐴𝐷𝑡 . Karena shock
permintaan dan bukan variabel dalam persamaan penawaran agregat dinamis, sehingga kura
DAS tidak berubah dari periode t-1 ke periode t. Ekonomi bergerak sepanjang kurva penawaran
agregat dinamis dari titik A ke titik B. Sehingga terjadi peningkata output dan inflasi secara
bersama. Pada period eke enam, t+5 menunjykkan hilangnya shock. Pada saat ini kurva
permintaan agregat dinamis kembali ke posisi awal. Akan tetapi perekonomian tidak segera
kembali ke ekuilibrium awal, pada titik A. periode permintaan tinggi telah meningkatkan inflasi
sesuai dengan inflasi yang diharapkan. Tingginya inflasi yang diharapkan menjaga kurva
penawaran agregat dinamis lebih tinggi dari yang semula. Sehingga ketika permintaan turun.
Ekuilibrium ekonomi bergerak ke titik G dan output menurun ke 𝑌𝑡+5 , yang berada ti bawah
tingkat alainya, kemudian secara bertahap perekonomian pulih karena memiliki inflasi yang
lebih tinggi daripada inflasi yang diharapkan (Mankiw, 2012).
Cuepers dan Semeets (2015) mengatakan bahwa ketika perubahaan harga minyak dunia
mempunyai peran pada ekonomi global, kondisi perekonomian sebuah negara dapat dipengaruhi
oleh fluktuasi harga minyak dunia. Efek yang ditimbulkan dari perubahaan harga minyak dapat
berpengaruh pada pasar saham sebuah negara tidak terkecuali pada pasar saham Indonesia.
Kebutuhan minyak mentah di Indonesia samapai saat ini masih cukup tinggi. Berdasarkan BP
Statistical Riview of World Energy (2017) konsumsi minyak mentah Indonesia pada tahun 2016
sebesar 1,6 juta barrel per hari. Angka tersebut meningkat sebesar 1,4 persen dari tahun
sebelumnya yaitu 1,5 juta berel per hari. Sedangkan di tahun 2016 produksi minyak mentah
Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan minyak mentah sebanyak 881 ribu barel per hari.
Hal tersebut mengakibatkan impor minyak mentah yang dilakukan di Indonesia masih cukup
tinggi. Impor minyak mentah yang tinggi secara tidak langsung akan mempengaruhi harga
minyak dalam negeri dan berimbas pada fluktuasi siklus bisnis beberapa sektor industri yang ada
di Indonesia.
Berdasarkan pada fenomena pasar yang ada selama sepuluh tahun terakhir, harga minyak
dunia mempunyai pengaruh pada pasar saham yang ada di Indonesia. Pada gambar 2 periode
bulan Juli 2007, Oktober 2009, dan Juli 2010, ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan,
IHSG juga ikut mengalami kenaikan. Begitu pula sebaliknya selama antara periode April 2014
sampai Januari 2015 ketika harga minyak dunia mengalami trend penurunan harga, IHSG juga
menunjukkan adanya tren penurunan. Gambaran grafik diatas menunjukkan bahwa perubahan
harga minyak dunia mempunyai pengaruh terhadap pasar saham yang ada di Indonesia. .
Fenomena pasar yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan adanya
perbedaan kondisi pasar dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Gambar 3
menunjukkan perkembangan harga minyak dunia dan indeks sektor konsumsi pada periode tahun
2006 sampai 2016. Pada periode Desember 2013 sampai Januari 2015, ketika harga minyak
dunia mengalami trend yang negatif atau penurunan harga hingga mencapai 47,27 USD/barrel,
indeks sektor konsumsi justru menunjukkan trend yang positif dengan kenaikan harga mencapai
Rp 2.297. Fenomena pasar ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rahmanto, dkk (2013) yang menyatakan bahwa harga minyak dunia berpengaruh positif
terhadap sembilan sektor yang ada di pasar saham Indonesia.
3. Bank sentral memiliki dua (2) alternative kebijakan moneter, yaitu: (1) menjaga money supply
konstan dan membiarkan suku bunga berubah menyesuaikan, (2) mengubah/menyesuaikan
money supply untuk menjaga suku bunga konstan. Dengan menggunakan model IS-LM,
kebijakan mana yang lebih baik untuk diterapkan dalam mestabilkan output pada kondisi berikut
ini:
a. Seluruh shock berasal dari perubahan eksogen dalam permintaan terhadap barang dan jasa
Kurva IS-LM menggambarkan keseimbangan pasar barang dan keseimbangan pasar uang, dengan
sumbu horizontal Y (pendapatan nasional) dan sumbu vertical i (tingkat suku bunga). Kurva IS
mengganmbarkan hubungan antara tingkat bunga dan pendapatan yang ada pada pasar barang dan jasa
(Mankiw, 2006).
Sumber: (Mankiw, 2006)
Gambar 4. Keseimbangan IS-LM dengan kebijakan fiskal ekspansif
Penerapan kebijakan fiscal baik dengan cara meningkatkan pengeluaran pemerintah maupun
menurunkan pajak, sedangkan kebijakan kebijakan moneter dapat ditunjukkan pada gambar 2. Dampak
adanya kebijakan moneter adalah peningkatan output dan tingkat bunga. Pemerintah meningkatkan
pengeluaran negara untuk kebijakan fiscal sehingga dapat meningkatkan output, akan tetapi terjadi
peningkatan juga pada suku bunga. Ketika hal ini terjadi terus menerus maka memiliki dampak yang
tidak baik untuk perekonomian karena akan memengaruhi inverstasi segingga turunnya investasi akan
mempuat penurunan output. Untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan menetapkan kebijakan moneter
dengan cara mengubah jumlah uang beredar sehingga output kembali meningkat dan suku bunga turun
seperti keadaan semula (Yunisvita, 2013).
b. Seluruh shock berasal dari perubahan eksogen dalam permintaan terhadap uang
kurva LM menunjukkan hubunan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di
pasar uang. Teori preferensi likuiditas menyatakan bagaimana penentuan tingkat bunga pada jangka
pendek, hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan untuk aset perekonomian
yang paling likuid, yaitu uang. Jika M menyatakan penawaran uang dan P menyatakan tingkat harga,
maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori preferensi likuiditas menunjukkan tingkat
bunga merupakan determinan dari berapa banyak uang yang akan dipegang orang. Karena tingkat bunga
merupakan oportunity cost dari pemegang uang. Ketika ada peningkatan bunga, maka kecenderungan
untuk memegang uang sedikit. Adapun diformulasikan sebagai berikut:
(M/P)d=L(r)
Ketika terjadi shock yang berasal dari perubahan tingkat harga, maka;
P ↑ (Ms/P) ↓ = (Md/P) ↓ Kurva LM bergeser ke kiri atas
2
1
4. Stabilisasi ekonomi akan menjadi lebih mudah dicapai jika efek kebijakan dapat dirasakan
segera. Pada kenyataannya, pengambil kebijakan ekonomi dihadapkan pada problem panjangnya
jeda/lag, sehingga menyulitkan dalam melakukan prediksi.
a. Apakah yang dimaksud dengan inside lag dan outside lag?
Menurut Warjiyo (2013), terdapat dua lag atau jarak waktu dalam stabilitas ekonomi, yaitu
inside lag dan outside lag. Insise lag merupaka lag yang terjadi dari munculnya permasalahan di
salam perekonomian sampai dimulainya tindakan kebijakan stabilitas ekonomi untuk mengatasi
shock yang terjadi. Terdapat tiga macam Inside lag yang berurutan yaitu recognition lag,
decision lag, dan action lag. Sedangkan outside lag merupakan lag antara saat mulai
dilaksanakannya langkah kebijakan stabilitas ekonomi dan saat timbulnya akibat dari shock yang
terjadi pada perekonomian.
b. Terkait hal ini, bandingkan kelebihan dan kelemahan antara kebijakan moneter dan fiscal serta
konsekuensinya terhadap prioritas pilihan kebijakan yang lebih diambil otoritas kebijakan dalam
menstabilkan perekonomian?
Secara umum kedua kebijakan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Kebijakan
fiscal memiliki dampak lebih lambat pada perekonomian dibandingkan kebijakan moneter.
Selain itu, kebijakan moneter cenderung lebih efektif dalam mengatasi inflasi. Kedua kebijakan
tersebut memiliki peran yang sama pentingnya, tergantung pada permasalahan apa yang akan
diselesaikan untuk mencapai stabilitas ekonomi negara. Dalam penerapannya, perlu adanya
kombinasi antara kebijakan fiscal dan moneter (policy mix). Karena sektor rill dan moneter saling
berkaitan erat sehingga dibutuhkan dua kebijakan fiscal dan moneter. Sehingga dibutuhkan
koordinasi yang baik antara Kementerian Keuangan sebagai penanggun jawab kebijakan fiscal
dan Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter.
c. Apa yang Saudara ketahui tentang “time inconsistency” dalam kebijakan ekonomi? Berikan
contoh (jika ada) yang terjadi di Indonesia serta dampak yang bisa ditimbulkannya.
Time inconsistenci merupakan kondisi dimana dimana pembuat kebijakan cenderung untuk
mengumumkan, memajukan kebijakan yang akan mereka ikuti untuk memengaruhi ekspektasi
pribadi pembuat keputusan. Akan tetapi, setelah para pembuat keputusan swasta bertindak
berdasarkan harapan mereka, para pembuat kebijakan ini mungkin tergoda untuk mengingkari
mereka pengumuman. Memahami bahwa pembuat kebijakan mungkin tidak konsisten dari waktu
ke waktu, pembuat keputusan swasta diarahkan untuk tidak mempercayai pengumuman
kebijakan (Mankiw, 2016).
Adapun ilustrasi dari time inconsistency adalah bank sentral telah mengumumkan janji
untuk mencapai target inflasi tertentu, dan masyarakat mempercayainya, kemudian membentuk
ekspektasi inflasi berdasarkan pengumuman tersebut (Rahmahdian, 2013). Target inflasi di
Indonesia yang ditetapkan oleh Bank Indonesia seringkali tidak dicapai, karena tingkat inflasi
masih sulit untuk konvergen menuju target inflasi yang diumumkan oleh otoritas moneter. Hel
tersebut membuat adanya deviasi inflasi actual dari target dan menandakan onflasi tidak optimal
karena akan menyababkan kerugian sosial pada masyarakat (Warjiyo, 2010).
d. Terkait poin 1.c. di atas, apa saran Saudara terhadap pilihan strategi kebijakan stabilisasi yang
tepat di Indonesia, by rule or by discretion? Mengapa?
Strategi kebijakan ekonomi di dasarkan pertimbangan inplikasi yang terjadi pasa saat ini
dan masa yang akan datang dari tindakan yang dilakukan saat ini ataupun dimasa yang akan
datang. Negara yang sedang melaksanakan pembangunan ekonomi membutuhkan kebijakan
yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu kebijakannya yaitu kebijakan moneter,
yang dibedakan menjadi dua yaitu rule policy dan discrection policy. Rule Policy merupakan
kebijakan yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu untuk diberlakukan secara terus-menerus
dan tidak mengalami perubahan, sedangkan dicrection Policy merupakan kebijakan yang
ditetapkan dari waktu ke waktuatau kebijakan yang senantiasa berubah pada setiap periodenya
(Rahutami, 1994).
Kebijakan moneter yang diterapkan di Indonesia berdasarkan definisinya yaitu Discrection
Policy. Hal ini disebabkan penerapan Rule Policy dibutuhkan desain yang tepat untuk dapat
diterapkan pada jangka panjang, hal tersebut kurang sesuai dengan kondisi perekonomian yang
cenderung fluktuatif setiap tahunnya. Sehingga kebijakan yang tepat pada sisi moneter yaitu
Discrection Policy karena berdasarkan periode kondisi atau periode tertentu. Sebagai contoh
penerapan kebijakan tersebut pada penekanan tingkat inflasi karena sifat dari inflasi yang bersifat
fluktuatif.
5. Terdapat perbedaan cara pandang tentang eksistensi dan peranan utang pemerintah terhadap
perekonomian nasional.
a. Jelaskan bagaimana utang pemerintah terjadi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(2004) utang negara merupakan jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah puasat dan
kewajiban pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, perjanjian atau berdasarkan sebab lainnya yang sah. Utang negara
diperuntukkan untuk kegiatan produktif dalam rangka pembangunan seperti membangun
infrastruktur, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Utang negara dilakukan untuk mengatasi adanya defisit anggaran suatu negara tersebut.
Kemungkinan yang akan terjadi jika Negara tidak berhutang adalah banyaknya program-program
kesejahteraan masyarakat yang akhirnya ditunda atau bahkan bisa dibatalkan karena kurangnya
anggaran yang dimiliki, dan akhirnya Indonesia akan sangat lambat perkembangannya. Jika
Negara tidak berhutang, maka RAPBN harus disesuaikan dengan mepasukan pajak, bukan pajak
dan dana hibah. Pembayaran pajak harus sangat diperketat pembayarannya, karena nyatanya
adalah menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat rasio kepatuhan pelaporan Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) sepanjang 2018 sebesar 71 persen. Rasio tersebut turun dibanding
tahun 2017 yaitu sebesar 72,60 persen atau 96,8 persen dari target yang sebesar 75persen (DPJ,
2019).
b. Sesuai dengan traditional views of government debt dan Ricardian view of government debt,
bagaimana dampak dari debt-financed tax cut terhadap public saving, private saving dan national
saving?
Traditional Views of Government Debt: memandang terdapat adanya trade off antara
utang pemerintah dan pemotongan atau pengurangan pajak. Pemerintah mengurangi beban pajak
kepada masyarakat sehingga menyebabkan anggaran pemerintah menjadi defisit (yang kemudian
didanai oleh utang). Public Saving merupakan selisih antara pajak dan pengeluaran pemerintah.
Sehingga jika ada penurunan pajak maka pendapatan negara juga akan menurun, rendahnya
pendapatan negara dapat diatasi dengan adatnya utang, menyebabkan public saving menurun
sebesar penurunan pajak (Mankiw, 2006).
Ricardian View of Government Debt: menaganggap adanya pemotongan pajak, yang
kemudian APBN didanai utang tidak mempengaruhi konsumsi karena masyarakat berfikir secara
rasional dan jauh kedepan. Sedangkan menurut konsumen hal tersebut tidak meningkatkan
pendapatan secara permanen, dengan asumsi bahwasannya pinjaman pemerintah saat ini berarti
pajak akan lebih tinggi atau penundaan dari beban pajak di masa depan (Mankiw, 2016).
Sehingga yang terjadi pada public saving adalah tentunya akan menurun karena pajak
dipotong. Penurunan public saving sama dengan jumlah perubahan penurunan pajak yang
diberlakukan. Sedangkan dalam Pandangan Ricardian, karena pemotongan pajak tidak mengubah
konsumsi, maka rumah tangga akan menabung pendapatan tambahan mereka untuk membayar
pajak yang lebih tinggi di masa depan yang disebabkan oleh pemotongan pajak tersebut. Maka
private saving akan meningkat sebesar dengan peningkatan potongan pajak Pada akhirnya,
secara logika, peningkatan dalam private saving sama besarnya dengan menurunnya public
saving terkait dengan pemotongan pajak. Oleh karena itu, pemotongan pajak tidak memiliki
pengaruh terhadap national saving (Kemenkeu, 2012).
c. Diantara kedua pandangan tersebut, mana yang menurut Saudara lebih bisa mencerminkan
kondisi dan arah kebijakan utang yang terjadi di Indonesia? Mengapa? Gunakanlah data
perkembangan utang pemerintah dan argumentasi lain yang relevan untuk mendukung jawaban
Saudara.
Utang luar negeri merupakan bentuk hubungan kerjasama antara negara debitur
dengan negara kreditur dan merupakan cara yang efektif dalam menutupi defisit anggaran
pemerintah dimana risiko kebangkrutan ekonomi yang ditimbulkan dari utang luar negeri
relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pencetakan uang (seignorage) yang dapat
menimbulkan inflasi (Mulyani, 1994).
Kebijakan utang pemerintah yang terjadi di pemerintah yaitu Ricardian View of
Government Debt. Hal ini dikarekan utang pemerintah ekuivalen dengan pajak masa depan,
sehingga dapat diartikan pajak masa depan ekuivalen dengan pajak saat ini (Mankiw, 2006).
Penerimaan pajak berpengaruh terhadap utang luar negeri pemerintah melalui pengeluaran
pembangunan (Whidarma, 2011). Hal ini sesuai dengan kondisi Indonesia pada saat ini yaitu,
peningkatan utang tidak memberikan dampak terhadap konsumsi masyarakat, akan tetapi untuk
pembangunan yang meliputi infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Sumber : APBN (2019)
Gambar 6. Jumlah dan Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB (1998-2019)
6. Terdapat beberapa pandangan yang berbeda diantara para ahli dalam menjelaskan konsumsi.
a. Jelaskan bagaimana Keynes, Fisher, F Modigliani, Milton Friedman, Robert Hall dan David
Libson
Keynes (1936) mencetuskan teori konsumsi Absolute Income Hypothesis. Keynes
beranggapak perhitugan fluktuasi ekonomi dapat dihitung berdasarkan besaran konsumsi dan
pendapatan belanja rumah tangga. Karena pada kondisi rumah tangga tidak memiliki
pendapatan teap melakukan konsumsi (autonomus consumption). Menurut Keynes besarnya
konsumsi rumah tangga bergantung pada pendapatan yang dihasilkan, yang disebut dengan
marginal prosperity to consume (MPC). MPC digunakan untuk mengukur besaran konsumsi
rumah tangga akibat peningkatan pendapatan. Dapat diformulakan sebagai berikut:
∆𝐶
𝐶 = 𝐶𝑜 = 𝑐𝑌𝑑 , 0 < <1
∆𝑌
∆𝐶
Dimana Co adalah autonomus consumption, Yd pendapatan setelah pajak, dan adalah
∆𝑌
MPC. APC memiliki beberapa keistimewaan (Alimi, 2013): pertama, pengeluaran konsumsi
akan meningkat atau menurun seiringan dengan peningkatan dan penurunan pendapatan
walaupun tidak proporsional, dalam jangka pendek APC > MPC karena autonomous
consumption tidak berubah ketika pendapatan berubah. tetapi dalam jangka panjang, ketika
kekayaan dan pendapatan naik, maka konsumsi juga akan naik sehingga APC = MPC . Kedua,
∆𝐴𝑃𝐶
ketika pendapatan naik, maka proporsi < 0, kemudian elastisitas pendapatan konsumsi
∆𝑌
𝑀𝑃𝐶
adalah akan lebih sedikit dari unity. Ketiga, fungsi konsumsi adalah stabil di short run
𝐴𝑃𝐶
7. Sistem keuangan yang berkembang pesat dapat menimbulkan peluang dan bahaya bagi
perekonomian. Negara berkembang
a. Jelaskan perbedaan antara debt finance dan equity finance
Dept financing merupakan keadaan dimana perusahaan mengumpulkan uang untik model
dengan menjual instrument kepada investor. Sebagai imbalan uang untuk meminjamkan uang,
individu atau lembaga kreditor menerima janji bahwa pokok bunga akan dilunasi dengan jadwal
yang telah ditetapkan. Sedangkan Equity financing merupakan proses meningkatkan modal
melalui penjualan saham di suatu perusahaan (Mankiw, 2012). Dengan equity financing muncul
minat kepemilikan bagi pemegang saham. Pembiayaan ekuitas dapat berkisar dari beberapa ribu
dolar yang dihimpun oleh seorang pengusaha dari investor swasta ke initial public offering (IPO)
di bursa saham yang valuenya bisa mencapai miliaran
c. Jelaskan bagaimana krisis keuangan dapat menurunkan aggregate demand terhadap barang dan
jasa?
Menurut Bappenas (2009) adanya krisis keuangan global mengubah tatanan perekonomian
dunia. krisis tersebut berawal tahun 2007 di Amerika serikat dan dampaknya dirasakan oleh
semua negara termasuk negara berkembang pada tahun 2008. Kondisi di Amerika serikat sebagai
episentrum krisis, dan negara industry lainyya, kebijakan untuk mengatasi krisis menjadi faktor
positif yang dapat mengurasi prsimisme akan resesi secara berkepanjangan dan risiko terjadinya
depresi. Akan tetapi proses terssebut menyababkan adanya umpan balik sektor riil ke soktor
keuangan, sehingga menyebabkan risiko ketidakpastian di pasar keuangan global cukup tinggi.
Krisis ekonomi dunia yang semakin dalam memberikan tekanan pada kinerja neraca
perdagangan sebuah negara. Pada sisi transaksi berjalan, nilai ekspor lebih rendah dibandingkan
impor. Sedangan pada sisi neraca transaksi modal dan financial, minat investor terhadap asset di
pasar keuangan domestik menurun. Aliran modal keluar oleh investor asing terjadi seiring
dengan upaya flght to quality, yang diperparah oleh fenomena memperbaiki struktur neraca
berbagai lembaga keuangan (deleveraging) sejalan dengan meningkatnya intensitas krisis global.
Selain itu Krisis telah memicu ketatnya likuiditas global dan meningkatkan persepsi risiko
terhadap emerging market termasuk Indonesia serta menimbulkan sentien negati di pasar
keuangan. Hal itu menyebabkan terjadinya pelepasan aset rupiah oleh investor asing dalam
jumlah yang signifikan.
Adanya capital outflow, kemudian diikuti oleh aksi beli dollar penduduk domestik yang
membuat nilai rupiah semakin terpuruk (Yudanto & Santoso, 1998). Pada sisi kurs, melemahnya
nilai rupiah melalui berbagai transmisi menimbulkan dampak yang merugikan pada sektor
ekonomi. Sementara itu fluktuasi nilai tukar tampaknya semakin sulit diprediksi dan cenderung
overshoot, sehingga untuk mengerem laju spekulasi dilakukan pengetatan moneter dengan
konsekuensi suku bunga tinggi. Sementara itu, melemahnya nilai tukar rupiah telah menurunkan
daya beli masyarakat karena naiknya inflasi yang tertransmisi melalui kenaikan harga-harga
barang konsumsi yang sarat kandungan impor. Menurunnya atau tertundanya konsumsi
masyarakat secara luas memberi tekanan balik kepada sektor riil berupa berkurangnya tingkat
keuntungan usaha yang sebelumnya sudah menurun karena bertambah besarnya biaya produksi.
Tekanan karena kenaikan biaya produksi dan menurunnya daya serap pasar telah menjepit sektor
usaha yang berakibat dengan pengurangan skala aktivitas usaha yang tampak secara riil pada
pengurangan jumlah tenaga kerja.
Daftar Pustaka
Alimi, R. S. (2013). Keynes’ Absolute Income Hyp othesis and Kuznet's Paradox. Munich Personal
RePEc Archive (MPRA) (49310), 1-15.
Almudhaf, F. (2018). Predictability, Price Bubbles, and Efficiency in the Indonesian Stock-
Market. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(1), 113-124.
Arsyad L, 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi ketiga, p. 130-138, Bagian Penerbit STIE YKPN,
Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2019. Perkembangan Inflasi di Indonesia, (Online), (www.bps.go.id diakses
pada 15 Juni 2019).
Bofinger, Peter., 2001. Monetary Policy: Goals, Institution, Strategies and Instrument. Oxford
University Press.
Cuepers, L., & Smeets, D. (2015). How Do Oil Changes Affect German Stock Returns? International
Journal of Energy Economics and Policy, 321-334.
Karim, A. 2012. Ekonomi Makro Islam (2th Ed). Jakarta: Rajawali Press.
Kemenkeu. 2012. Kebijakan Pengelolaan Utang Negara. Media Edukasi dan Informasi Keuangan.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2019. Apa Kabar Utang Luar Negeri, (online),
(www.kemenkeu.go.id diakses pada 15 Juni 2019).
Keynes, J. M. 1936. The General Theory of Employment, Interest, and Money. New York: Harcourt
Brace.
Kydland, F dan Prescott E., 1977, Rules Rather Than Discretion: The Inconsistency of Optimal Plans.
Journal of Political Economy
Mankiw, N. G. 2006. Macroeconomics (6th ed.). Boston: Mass McGraw-Hill Companies.
Mankiw, N. G. 2012. Macroeconomics (8th ed.). USA: Worth Publisher.
Mankiw, N. G. 2016. Macroeconomics (9th ed.).. USA: Worth Publisher.
Rahmahdian, R. Warijo P. 2013. Mengukur Time Inconsistency Kebijakan Moneter Di Indonesia.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan , 335-366.
Rahutami, Anggelina Ika. 1994. Kebijakan Moneter Rule atau Discretion. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia. 9, 1-13.
Samuelson, P., & Nordhaus, W. 2001. Macroeconomics (17th ed.). Boston: Mass McGraw-Hill
Companies.
Samuelson, P., & Nordhaus, W. 2010. Macroeconomics (19th ed.). Boston: Mass McGraw-Hill
Companies.
Suparmoko, M. 2001. Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, BPFE.
Warjiyo, P. Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia (Seri 6). Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia
Warjiyo, Perry. 2011. Modul Kuliah Ekonomi Moneter dan Perbankan. Program Pascasarjana Ilmu
Ekonomi. FEUI
Widharma, I. W. G., Budhi, I. M. K. S., & Marhaeni, A. A. I. N. (2011). Utang Luar Negeri
Pemerintah Indonesia: Kajian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh. E-Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Universitas Udayana.
Yudanto, N., & Santoso, S. (1998). Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan , 131-158.
Yunisvita. 2013. Instrumen Kebijakan Makroekonomi Dalam Mempengaruhi Output: Suatu Analisis
Aplikasi ST. Louis Equation Di Indonesia. Journal of Economic and Development. 11(2), 111-
128.