Anda di halaman 1dari 21

MATA KULIAH : EKONOMI MAKRO TTD

NAMA : WENNY RESTIKASARI


NIM : 041824453003
PRODI : S2 ILMU EKONOMI NILAI
ABSENSI : 03

1. Suatu perekonomian mempunyai kurva Phillips sebagai berikut:


a. Berapakah cyclical unemployment yang diperlukan untuk menurunkan inflasi 5 point persen?
Kemudian gunakan Okun’s Law untuk menghitung sacrifice ratio
Kurva Philips menunjukkan hubungan antara tingkat pengangguran dan inflasi
(Sumuelson, 2010). Menurut Mankiw (2006) meyatakan bahwa tingkat inflasi dalam bentuk
modern bergantung pada tiga kekuatan yaitu inflasi yang diharapkan, deviasi pengangguran dari
tingkat alamiah, dan guncangan penawaran.
𝜋 = 𝜋 𝑒 − 𝛽(𝑢 − 𝑢𝑛 ) + 𝑣
Dimana 𝛽 merupakan parameter pengukur respon inflas terhadap pengangguran siklis.
Berdasarkan kurva Phillips, untuk mengurangin inflasi harus di atas tingkata alamiahnya yaitu 6
persen untuk beberapa periode tertentu. Sehingga dapat dituliskan sebagai berikut:
𝜋 − 𝜋−1 = 0.5(𝑢 − 0.06)
Untuk menurunkan tingkan inflasi sebesar 5 point persen, sehingga dapat dituliskan sebagai
berikut 𝜋 − 𝜋−1 = −0.05. Nilai dari tingkat inflasi tersebut dimasukkan dalam persamaan
kurva Philiips:
−0.05 = 0.5(𝑢 − 0.06)
−0.05 = −(0.5𝑢 − 0.03)
−0.08 = −0.5𝑢
𝑢 = 0.16
Dibutuhkan 10 persen point –tahun pengangguran siklis di atas tingkat alami di atas tingkat
alami 6 persen.
Berdasarkan Hukum Okun’s Law, setiap dua persen penurunan GDP maka akan ada
peningkatan pengangguran sebesar satu persen (Samuelson, 2010). Sehingga peningkatan
pengangguran 10 persen akan menurunkan GDP sebesar 20 persen. Terdapat trade-off atas atas
peningkatan dua persen GDP untuk menurunkan pengangguran sebesar 1 persen, hal ini yang
disebut dengan Sacrifice ratio. Membagi penurunan 20 persen dalam GDP dengan penurunan
20 persen dalam GDP dengan penurunan persentase sebesar 5 persen, berarti 20/5=5 merupakan
sacrifice ratio.
b. Jika tingkat inflasi sekarang adalah 10 persen dan Bank Sentral ingin menurunkannya menjadi 5
persen, berikan dua skenario untuk mencapai tujuan tersebut
Berdasarkan kurva Phillips terdapat tradeoff pada jangka pendek antara inflasi dan
pengangguran.jika akan menurunkan tingkat inflasi akan meningkatkan tingkat pengangguran
(Mankiw, 2006). Sehingga terdapat scenario sebagai berikut:
 Skenario pertama. Pada jangka pendek, pembuat kebijakan dapat memanipulasi
permintaan agregat untuk memilih kombinasi inflasi dan pengangguran. Sehingga hal
yang dapat dilakukan untuk penurunkan tingkat inflasi adalah dengan memiliki
pengangguran yang sangat tinggi. Sebagai contoh memiliki tingkat pengangguran (16
persen) yang lebih tinggi dari tingkat inflasi.
 Skenario kedua. Pada jangka panjang, dapat memiliki pengangguran siklis pada jumlah
yang kecil. Misalnya, ketika pengangguran sebesar delapan persen selama lima tahun.
Maka dalam jangka panjang akan menurunkan tingkat inflasi dari 10 persen menjadi lima
persen pada waktu yang berbeda.
2. Dengan menggunakan model DAD-DAS, gambarkan dan uraikan dampak yang akan terjadi
pada perekonomian Indonesia, jika:
a. Terjadi kenaikan harga minyak dunia
Suatu perekonomian tidak lepas dengan shock, analisis ini merujuk pada permintaan
agregat pada beberapa periode. Secara khusus nilai 𝑒𝑡 = 1 selama lima periode dan kembali ke
nilai normal yaitu nol. Hal ini dapat dicontohkan sebagai goncangan postif, perang yang
meningkatkanka pembelian pemerintah atau bubble pada pasar saha yang meningkatkan
kekayaan, dan peningkatan pengeluaran konsumsi. Secara umum demand shock dapa diartikan
sebagai peristiwa yang memengaruhi permintaan untuk barang dan jasa untuk nilai yang
diberikan dari tingkat output alamiah 𝑌−𝑡 dan tingkat suku bunga riil rt (Mankiw, 2012).
Sumber: (Mankiw, 2012)
Gambar 1. Demand Shock

Pada gambar 1 menunjukkan demand shock. Dimana pada periode t, ketika terdapat
gunjangan permintaan agregat dinamis bergeser dari 𝐷𝐴𝐷𝑡−1 ke 𝐷𝐴𝐷𝑡 . Karena shock
permintaan dan bukan variabel dalam persamaan penawaran agregat dinamis, sehingga kura
DAS tidak berubah dari periode t-1 ke periode t. Ekonomi bergerak sepanjang kurva penawaran
agregat dinamis dari titik A ke titik B. Sehingga terjadi peningkata output dan inflasi secara
bersama. Pada period eke enam, t+5 menunjykkan hilangnya shock. Pada saat ini kurva
permintaan agregat dinamis kembali ke posisi awal. Akan tetapi perekonomian tidak segera
kembali ke ekuilibrium awal, pada titik A. periode permintaan tinggi telah meningkatkan inflasi
sesuai dengan inflasi yang diharapkan. Tingginya inflasi yang diharapkan menjaga kurva
penawaran agregat dinamis lebih tinggi dari yang semula. Sehingga ketika permintaan turun.
Ekuilibrium ekonomi bergerak ke titik G dan output menurun ke 𝑌𝑡+5 , yang berada ti bawah
tingkat alainya, kemudian secara bertahap perekonomian pulih karena memiliki inflasi yang
lebih tinggi daripada inflasi yang diharapkan (Mankiw, 2012).
Cuepers dan Semeets (2015) mengatakan bahwa ketika perubahaan harga minyak dunia
mempunyai peran pada ekonomi global, kondisi perekonomian sebuah negara dapat dipengaruhi
oleh fluktuasi harga minyak dunia. Efek yang ditimbulkan dari perubahaan harga minyak dapat
berpengaruh pada pasar saham sebuah negara tidak terkecuali pada pasar saham Indonesia.
Kebutuhan minyak mentah di Indonesia samapai saat ini masih cukup tinggi. Berdasarkan BP
Statistical Riview of World Energy (2017) konsumsi minyak mentah Indonesia pada tahun 2016
sebesar 1,6 juta barrel per hari. Angka tersebut meningkat sebesar 1,4 persen dari tahun
sebelumnya yaitu 1,5 juta berel per hari. Sedangkan di tahun 2016 produksi minyak mentah
Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan minyak mentah sebanyak 881 ribu barel per hari.
Hal tersebut mengakibatkan impor minyak mentah yang dilakukan di Indonesia masih cukup
tinggi. Impor minyak mentah yang tinggi secara tidak langsung akan mempengaruhi harga
minyak dalam negeri dan berimbas pada fluktuasi siklus bisnis beberapa sektor industri yang ada
di Indonesia.

Sumber: Investing (2017)


Gambar 2. Perubahan Harga Minyak Dunia dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)

Berdasarkan pada fenomena pasar yang ada selama sepuluh tahun terakhir, harga minyak
dunia mempunyai pengaruh pada pasar saham yang ada di Indonesia. Pada gambar 2 periode
bulan Juli 2007, Oktober 2009, dan Juli 2010, ketika harga minyak dunia mengalami kenaikan,
IHSG juga ikut mengalami kenaikan. Begitu pula sebaliknya selama antara periode April 2014
sampai Januari 2015 ketika harga minyak dunia mengalami trend penurunan harga, IHSG juga
menunjukkan adanya tren penurunan. Gambaran grafik diatas menunjukkan bahwa perubahan
harga minyak dunia mempunyai pengaruh terhadap pasar saham yang ada di Indonesia. .

Sumber : Investing, dan World Bank, Oktober (2017)


Gambar 3. Perkembangan Harga Minyak Dunia dan Indeks Sektor Konsumsi

Fenomena pasar yang terjadi selama sepuluh tahun terakhir menunjukkan adanya
perbedaan kondisi pasar dengan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Gambar 3
menunjukkan perkembangan harga minyak dunia dan indeks sektor konsumsi pada periode tahun
2006 sampai 2016. Pada periode Desember 2013 sampai Januari 2015, ketika harga minyak
dunia mengalami trend yang negatif atau penurunan harga hingga mencapai 47,27 USD/barrel,
indeks sektor konsumsi justru menunjukkan trend yang positif dengan kenaikan harga mencapai
Rp 2.297. Fenomena pasar ini bertolak belakang dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Rahmanto, dkk (2013) yang menyatakan bahwa harga minyak dunia berpengaruh positif
terhadap sembilan sektor yang ada di pasar saham Indonesia.

b. Stock market bubble


Menurut Almudhaf (2018), melakukan penelitian tentang independensi pengembaian sahan
saham Indonesia dari waktu ke waktu dan mengukur efisiensi pasar. adanya informasi yang tidak
efisien mendorong produsen untuk menggunakan strategi perdagangan aktif dalam upaya
menemukan peluang untuk mendapatkan pengembalian yang lebih. Tindakan tersebut
menciptakan peningkatan sentiment pasar, dan dengan demikian membuat investor rentan
kepada perilaku yang irasional. Munculnya Bubble price membuat investor tidak mau
berinvestasi dalam asset yang bernilai tinggi. Akan tetapi, berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan yaitu menarik minat investor yang mencari peluang arbitrasi dan ketidakefisienan
pasar dapat dirubah menjadi strategi perdagangan yang menghasilkan laba tidak noermal.
Kemusian menarik minat para pembuat kebijakan untuk memerikasa price bubble dan efisiensi
pasar saham.

3. Bank sentral memiliki dua (2) alternative kebijakan moneter, yaitu: (1) menjaga money supply
konstan dan membiarkan suku bunga berubah menyesuaikan, (2) mengubah/menyesuaikan
money supply untuk menjaga suku bunga konstan. Dengan menggunakan model IS-LM,
kebijakan mana yang lebih baik untuk diterapkan dalam mestabilkan output pada kondisi berikut
ini:
a. Seluruh shock berasal dari perubahan eksogen dalam permintaan terhadap barang dan jasa
Kurva IS-LM menggambarkan keseimbangan pasar barang dan keseimbangan pasar uang, dengan
sumbu horizontal Y (pendapatan nasional) dan sumbu vertical i (tingkat suku bunga). Kurva IS
mengganmbarkan hubungan antara tingkat bunga dan pendapatan yang ada pada pasar barang dan jasa
(Mankiw, 2006).
Sumber: (Mankiw, 2006)
Gambar 4. Keseimbangan IS-LM dengan kebijakan fiskal ekspansif
Penerapan kebijakan fiscal baik dengan cara meningkatkan pengeluaran pemerintah maupun
menurunkan pajak, sedangkan kebijakan kebijakan moneter dapat ditunjukkan pada gambar 2. Dampak
adanya kebijakan moneter adalah peningkatan output dan tingkat bunga. Pemerintah meningkatkan
pengeluaran negara untuk kebijakan fiscal sehingga dapat meningkatkan output, akan tetapi terjadi
peningkatan juga pada suku bunga. Ketika hal ini terjadi terus menerus maka memiliki dampak yang
tidak baik untuk perekonomian karena akan memengaruhi inverstasi segingga turunnya investasi akan
mempuat penurunan output. Untuk mengatasi hal tersebut yaitu dengan menetapkan kebijakan moneter
dengan cara mengubah jumlah uang beredar sehingga output kembali meningkat dan suku bunga turun
seperti keadaan semula (Yunisvita, 2013).

b. Seluruh shock berasal dari perubahan eksogen dalam permintaan terhadap uang
kurva LM menunjukkan hubunan antara tingkat bunga dan tingkat pendapatan yang muncul di
pasar uang. Teori preferensi likuiditas menyatakan bagaimana penentuan tingkat bunga pada jangka
pendek, hal ini dilakukan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan untuk aset perekonomian
yang paling likuid, yaitu uang. Jika M menyatakan penawaran uang dan P menyatakan tingkat harga,
maka M/P adalah penawaran dari keseimbangan uang riil. Teori preferensi likuiditas menunjukkan tingkat
bunga merupakan determinan dari berapa banyak uang yang akan dipegang orang. Karena tingkat bunga
merupakan oportunity cost dari pemegang uang. Ketika ada peningkatan bunga, maka kecenderungan
untuk memegang uang sedikit. Adapun diformulasikan sebagai berikut:
(M/P)d=L(r)
Ketika terjadi shock yang berasal dari perubahan tingkat harga, maka;
P ↑  (Ms/P) ↓ = (Md/P) ↓  Kurva LM bergeser ke kiri atas
2
1

Sumber: Mankiw (2006)


Gambar 5. Keseimbangan IS-LM dengan kebijakan moneter ekspansif
Ketika terjadi kenaikan harga, maka ada pergeseran ekuilibrium dari titik 1 (i1,Y1) menjadi titik 2
(i2, Y2). Hal tersebut mengakibatkan penurunan terhadap pendapatan nasional dan kenaikan inflasi
(Karim, 2012). Menurut teori preferensi likuiditas, penawaran dan permintaan akan keseimbangan uang
riil menentukan tingkat bunga yang akan muncul di perekonomian. Yaitu sesuai dengan menjaga money
konstan dan membiarkan suku bunga (i) berubah menyesuaikan (kebijakan 1) untuk menyeimbangan
pasar uang (Mankiw, 2012).

4. Stabilisasi ekonomi akan menjadi lebih mudah dicapai jika efek kebijakan dapat dirasakan
segera. Pada kenyataannya, pengambil kebijakan ekonomi dihadapkan pada problem panjangnya
jeda/lag, sehingga menyulitkan dalam melakukan prediksi.
a. Apakah yang dimaksud dengan inside lag dan outside lag?
Menurut Warjiyo (2013), terdapat dua lag atau jarak waktu dalam stabilitas ekonomi, yaitu
inside lag dan outside lag. Insise lag merupaka lag yang terjadi dari munculnya permasalahan di
salam perekonomian sampai dimulainya tindakan kebijakan stabilitas ekonomi untuk mengatasi
shock yang terjadi. Terdapat tiga macam Inside lag yang berurutan yaitu recognition lag,
decision lag, dan action lag. Sedangkan outside lag merupakan lag antara saat mulai
dilaksanakannya langkah kebijakan stabilitas ekonomi dan saat timbulnya akibat dari shock yang
terjadi pada perekonomian.

b. Terkait hal ini, bandingkan kelebihan dan kelemahan antara kebijakan moneter dan fiscal serta
konsekuensinya terhadap prioritas pilihan kebijakan yang lebih diambil otoritas kebijakan dalam
menstabilkan perekonomian?
Secara umum kedua kebijakan tersebut memiliki kelebihan dan kelemahan. Kebijakan
fiscal memiliki dampak lebih lambat pada perekonomian dibandingkan kebijakan moneter.
Selain itu, kebijakan moneter cenderung lebih efektif dalam mengatasi inflasi. Kedua kebijakan
tersebut memiliki peran yang sama pentingnya, tergantung pada permasalahan apa yang akan
diselesaikan untuk mencapai stabilitas ekonomi negara. Dalam penerapannya, perlu adanya
kombinasi antara kebijakan fiscal dan moneter (policy mix). Karena sektor rill dan moneter saling
berkaitan erat sehingga dibutuhkan dua kebijakan fiscal dan moneter. Sehingga dibutuhkan
koordinasi yang baik antara Kementerian Keuangan sebagai penanggun jawab kebijakan fiscal
dan Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter.

c. Apa yang Saudara ketahui tentang “time inconsistency” dalam kebijakan ekonomi? Berikan
contoh (jika ada) yang terjadi di Indonesia serta dampak yang bisa ditimbulkannya.
Time inconsistenci merupakan kondisi dimana dimana pembuat kebijakan cenderung untuk
mengumumkan, memajukan kebijakan yang akan mereka ikuti untuk memengaruhi ekspektasi
pribadi pembuat keputusan. Akan tetapi, setelah para pembuat keputusan swasta bertindak
berdasarkan harapan mereka, para pembuat kebijakan ini mungkin tergoda untuk mengingkari
mereka pengumuman. Memahami bahwa pembuat kebijakan mungkin tidak konsisten dari waktu
ke waktu, pembuat keputusan swasta diarahkan untuk tidak mempercayai pengumuman
kebijakan (Mankiw, 2016).
Adapun ilustrasi dari time inconsistency adalah bank sentral telah mengumumkan janji
untuk mencapai target inflasi tertentu, dan masyarakat mempercayainya, kemudian membentuk
ekspektasi inflasi berdasarkan pengumuman tersebut (Rahmahdian, 2013). Target inflasi di
Indonesia yang ditetapkan oleh Bank Indonesia seringkali tidak dicapai, karena tingkat inflasi
masih sulit untuk konvergen menuju target inflasi yang diumumkan oleh otoritas moneter. Hel
tersebut membuat adanya deviasi inflasi actual dari target dan menandakan onflasi tidak optimal
karena akan menyababkan kerugian sosial pada masyarakat (Warjiyo, 2010).

d. Terkait poin 1.c. di atas, apa saran Saudara terhadap pilihan strategi kebijakan stabilisasi yang
tepat di Indonesia, by rule or by discretion? Mengapa?
Strategi kebijakan ekonomi di dasarkan pertimbangan inplikasi yang terjadi pasa saat ini
dan masa yang akan datang dari tindakan yang dilakukan saat ini ataupun dimasa yang akan
datang. Negara yang sedang melaksanakan pembangunan ekonomi membutuhkan kebijakan
yang tepat untuk mencapai tujuan tersebut. Salah satu kebijakannya yaitu kebijakan moneter,
yang dibedakan menjadi dua yaitu rule policy dan discrection policy. Rule Policy merupakan
kebijakan yang ditetapkan pada suatu kondisi tertentu untuk diberlakukan secara terus-menerus
dan tidak mengalami perubahan, sedangkan dicrection Policy merupakan kebijakan yang
ditetapkan dari waktu ke waktuatau kebijakan yang senantiasa berubah pada setiap periodenya
(Rahutami, 1994).
Kebijakan moneter yang diterapkan di Indonesia berdasarkan definisinya yaitu Discrection
Policy. Hal ini disebabkan penerapan Rule Policy dibutuhkan desain yang tepat untuk dapat
diterapkan pada jangka panjang, hal tersebut kurang sesuai dengan kondisi perekonomian yang
cenderung fluktuatif setiap tahunnya. Sehingga kebijakan yang tepat pada sisi moneter yaitu
Discrection Policy karena berdasarkan periode kondisi atau periode tertentu. Sebagai contoh
penerapan kebijakan tersebut pada penekanan tingkat inflasi karena sifat dari inflasi yang bersifat
fluktuatif.

5. Terdapat perbedaan cara pandang tentang eksistensi dan peranan utang pemerintah terhadap
perekonomian nasional.
a. Jelaskan bagaimana utang pemerintah terjadi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
(2004) utang negara merupakan jumlah uang yang wajib dibayar pemerintah puasat dan
kewajiban pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, perjanjian atau berdasarkan sebab lainnya yang sah. Utang negara
diperuntukkan untuk kegiatan produktif dalam rangka pembangunan seperti membangun
infrastruktur, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Utang negara dilakukan untuk mengatasi adanya defisit anggaran suatu negara tersebut.
Kemungkinan yang akan terjadi jika Negara tidak berhutang adalah banyaknya program-program
kesejahteraan masyarakat yang akhirnya ditunda atau bahkan bisa dibatalkan karena kurangnya
anggaran yang dimiliki, dan akhirnya Indonesia akan sangat lambat perkembangannya. Jika
Negara tidak berhutang, maka RAPBN harus disesuaikan dengan mepasukan pajak, bukan pajak
dan dana hibah. Pembayaran pajak harus sangat diperketat pembayarannya, karena nyatanya
adalah menurut Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat rasio kepatuhan pelaporan Surat
Pemberitahuan Tahunan (SPT) sepanjang 2018 sebesar 71 persen. Rasio tersebut turun dibanding
tahun 2017 yaitu sebesar 72,60 persen atau 96,8 persen dari target yang sebesar 75persen (DPJ,
2019).

b. Sesuai dengan traditional views of government debt dan Ricardian view of government debt,
bagaimana dampak dari debt-financed tax cut terhadap public saving, private saving dan national
saving?
Traditional Views of Government Debt: memandang terdapat adanya trade off antara
utang pemerintah dan pemotongan atau pengurangan pajak. Pemerintah mengurangi beban pajak
kepada masyarakat sehingga menyebabkan anggaran pemerintah menjadi defisit (yang kemudian
didanai oleh utang). Public Saving merupakan selisih antara pajak dan pengeluaran pemerintah.
Sehingga jika ada penurunan pajak maka pendapatan negara juga akan menurun, rendahnya
pendapatan negara dapat diatasi dengan adatnya utang, menyebabkan public saving menurun
sebesar penurunan pajak (Mankiw, 2006).
Ricardian View of Government Debt: menaganggap adanya pemotongan pajak, yang
kemudian APBN didanai utang tidak mempengaruhi konsumsi karena masyarakat berfikir secara
rasional dan jauh kedepan. Sedangkan menurut konsumen hal tersebut tidak meningkatkan
pendapatan secara permanen, dengan asumsi bahwasannya pinjaman pemerintah saat ini berarti
pajak akan lebih tinggi atau penundaan dari beban pajak di masa depan (Mankiw, 2016).
Sehingga yang terjadi pada public saving adalah tentunya akan menurun karena pajak
dipotong. Penurunan public saving sama dengan jumlah perubahan penurunan pajak yang
diberlakukan. Sedangkan dalam Pandangan Ricardian, karena pemotongan pajak tidak mengubah
konsumsi, maka rumah tangga akan menabung pendapatan tambahan mereka untuk membayar
pajak yang lebih tinggi di masa depan yang disebabkan oleh pemotongan pajak tersebut. Maka
private saving akan meningkat sebesar dengan peningkatan potongan pajak Pada akhirnya,
secara logika, peningkatan dalam private saving sama besarnya dengan menurunnya public
saving terkait dengan pemotongan pajak. Oleh karena itu, pemotongan pajak tidak memiliki
pengaruh terhadap national saving (Kemenkeu, 2012).
c. Diantara kedua pandangan tersebut, mana yang menurut Saudara lebih bisa mencerminkan
kondisi dan arah kebijakan utang yang terjadi di Indonesia? Mengapa? Gunakanlah data
perkembangan utang pemerintah dan argumentasi lain yang relevan untuk mendukung jawaban
Saudara.
Utang luar negeri merupakan bentuk hubungan kerjasama antara negara debitur
dengan negara kreditur dan merupakan cara yang efektif dalam menutupi defisit anggaran
pemerintah dimana risiko kebangkrutan ekonomi yang ditimbulkan dari utang luar negeri
relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan pencetakan uang (seignorage) yang dapat
menimbulkan inflasi (Mulyani, 1994).
Kebijakan utang pemerintah yang terjadi di pemerintah yaitu Ricardian View of
Government Debt. Hal ini dikarekan utang pemerintah ekuivalen dengan pajak masa depan,
sehingga dapat diartikan pajak masa depan ekuivalen dengan pajak saat ini (Mankiw, 2006).
Penerimaan pajak berpengaruh terhadap utang luar negeri pemerintah melalui pengeluaran
pembangunan (Whidarma, 2011). Hal ini sesuai dengan kondisi Indonesia pada saat ini yaitu,
peningkatan utang tidak memberikan dampak terhadap konsumsi masyarakat, akan tetapi untuk
pembangunan yang meliputi infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
Sumber : APBN (2019)
Gambar 6. Jumlah dan Rasio Utang Pemerintah Terhadap PDB (1998-2019)

Menurut Kemenkeu (2018) menunjukkan utang pemerintah pusat mencapai Rp.4.429


trilliun, terjadi peningkatan dibandingkan realisasi pada 2017. Pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara tahun 2019 utang pemerintah diprediksi akan meningkat 18,9 persen menjadi
Rp.5.269 trilliun atau sebesar 32,6 persen terhadap Produk Domesrik Bruto (PDB) Nasional.
Berdasarkan Gambar di atas, secara nominal utang pemerintah mengalami kenaikan setiap
yahunnya, akan tetapi menurut indikator rasio total untang terhadap PDB pada kisaran 30 persen.
Hal ini masih di ambang batas yang diperbolehkan oleh undang-undang sebesar 60 persen dari
PBD. Rasio utang pemerintah Indonesia lebih rendah dibandingkan negara-negara berkembang
lainnya seperti Thailand (41,8 persen), Vietnam (61,5 persen), Malaysia (50,9 persen), Argentina
(51 persen), Brasil (74 persen). Terbatasnya pendapatan negara serta ekspansi yang dilakukan
pemerintah dalam membiayai pembangunan membuat anggaran pemerintah mengalami defisit.
Sehingga untuk menutupi defisit tersebut, pemerintah menerbitkan surat utang atau mengajukan
pinjaman kepada kreditor.

6. Terdapat beberapa pandangan yang berbeda diantara para ahli dalam menjelaskan konsumsi.
a. Jelaskan bagaimana Keynes, Fisher, F Modigliani, Milton Friedman, Robert Hall dan David
Libson
Keynes (1936) mencetuskan teori konsumsi Absolute Income Hypothesis. Keynes
beranggapak perhitugan fluktuasi ekonomi dapat dihitung berdasarkan besaran konsumsi dan
pendapatan belanja rumah tangga. Karena pada kondisi rumah tangga tidak memiliki
pendapatan teap melakukan konsumsi (autonomus consumption). Menurut Keynes besarnya
konsumsi rumah tangga bergantung pada pendapatan yang dihasilkan, yang disebut dengan
marginal prosperity to consume (MPC). MPC digunakan untuk mengukur besaran konsumsi
rumah tangga akibat peningkatan pendapatan. Dapat diformulakan sebagai berikut:
∆𝐶
𝐶 = 𝐶𝑜 = 𝑐𝑌𝑑 , 0 < <1
∆𝑌
∆𝐶
Dimana Co adalah autonomus consumption, Yd pendapatan setelah pajak, dan adalah
∆𝑌

MPC. APC memiliki beberapa keistimewaan (Alimi, 2013): pertama, pengeluaran konsumsi
akan meningkat atau menurun seiringan dengan peningkatan dan penurunan pendapatan
walaupun tidak proporsional, dalam jangka pendek APC > MPC karena autonomous
consumption tidak berubah ketika pendapatan berubah. tetapi dalam jangka panjang, ketika
kekayaan dan pendapatan naik, maka konsumsi juga akan naik sehingga APC = MPC . Kedua,
∆𝐴𝑃𝐶
ketika pendapatan naik, maka proporsi < 0, kemudian elastisitas pendapatan konsumsi
∆𝑌
𝑀𝑃𝐶
adalah akan lebih sedikit dari unity. Ketiga, fungsi konsumsi adalah stabil di short run
𝐴𝑃𝐶

maupun long run.


Irving Fisher mengembangkan model yang digunakan para ekonom untuk
menganalisis perilaku konsumen yang berpandangan kedepan dan rasional dalam membuat
pilihan antar waktu atau periode yang berbeda. Dalam model Fisher ini menghilangkan
hambatan yang dihadapi oleh konsumen, preferensu yang mereka miliki, dan bagaimana
hambatan serta preferensi tersebut secara bersama menentukan pilihan terhadap konsumsi dan
tabungan. Hambatan yang dimaksud disini adalah batas anggaran antarwaktu. Kondisi ini
menuntut konsumen untuk menentukan berapa banyak yang akan dikonsumsi hari ini versus
berapa banyak yang akan ditabungkan pada masa depan. Dengan kata lain konsumen
menghadapi batasan atas berapa banyak harus membelanjakan yang disebut dengan garis
kendala anggaran (Mankiw, 2012).
Franco Modigliani memberikan istilah dalam perilaku konsumsi yaitu sikul hidup.
menurur Modigliani pola pengeluaran konsumsi masyarakat berdasarkan pola penerimaan dan
pengeluaran konsumsi seseorang yang dipengaruhi oleh masa dalam siklus hidupnya. Karena
orang cenderung menerima penghasilan/pendapatan yang rendah pada usia muda, tinggi pada
usia menengah dan rendah pada usia tua, maka rasio tabungan akan berfluktuasi sejalan dengan
perkembangan umur mereka yaitu orang muda akan mempunyai tabungan negatif (dissaving),
orang berumur menengah menabung dan membayar kembali pinjaman pada masa muda
mereka, dan orang usia tua akan mengambil tabungan yang dibuatnya di masa usia menengah
(Mankiw, 2012).
Dari pembagian tahapan usia tersebut di atas, kemudian diperjelas dengan
menggunakan pendekatan kurva sebagai berikut:

Sumber: Mankiw (2012)


Gambar 7. Siklus Hidup
Grafik diatas menjelaskan bahwa pada tahap I pada usia 0 tahun hingga t0
tahun seseorang melakukan pengeluaran konsumsinya dalam kondisi dissaving. Pada
usia t0 tahun hingga usia t1 tahun digambarkan bahwa pada usia tersebut sebenarnya
seseorang sudah dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi kondisinya masih
ada ketergantungan dengan orang lain. Tahap II, pada usia t1 tahun hingga usia t2
tahun menunjukkan orang berkonsumsi sepenuhnya dalam kondisi saving artinya
pengeluaran konsumsinya sudah tidak lagi tergantung pada orang lain. Dan pada
tahap III, ketika seseorang pada usia tua (sudah tidak produktif) di mana orang
tersebut tidak mampu lagi bekerja menghasilkan pendapatan sendiri, sehingga seseorang
tersebut dapat dikatakan bahwa orang berkonsumsi kembali dalam kondisi
dissaving.
Menurut Supardjoko (2014), Modigliani menganggap penting peranan asset sebagai
penentu perilaku konsumsi. Konsumsi akan peningkat serinng peningkatan aset. Sebagai
contoh adanya inflasi sehingga nilai rumah, dan tanah meningkat karenan adanya kenaikan
harga surat berharga, atau peningkatan jumlah uang beredar. Ketika terjadi keniakan asset,
maka konsumsi akan meningkat atau dapat dipertahankan lebih lama. Adapun hipotesis dalam
dikulis kehidupan ono akan menekan keinginan konsumsi, menekan koefisien pengganda, dan
melindungi perekonomian dari perubahan-perubahan yang tidak diharapkan seperti perubahan
investas, ekspor, ataupun pengeluaran lainnya.
Milton Friedman
menjelaskan perilaku konsumsi dengan menggunakan hipotesis pendapatan permanen.
Dalam hipotesisnya, pendapatan masyarakat dapat dibedakan menjadi dua yaitu pendapatan
permanen dan pendapatan sementara. Pendapatan permanen adalah pendapatan yang
diharapkan orang untuk terus bertahan dimasa depan. Pendapatan sementara (pendapatan
transitoris) adalah bagian pendapatan yang tidak diharapkan terus bertahan. Nilai pendapatan
ini kadang positif dan kadang negatif (Mankiw, 2012).
Ukuran pendapatan sendiri merupakan penjumlahan dan pendapatan permanen dan
pendapatan sementara atau secara matematis ditulis:
Y = Yp + Yt
Dimana Y adalah pendapatan yang terukur, Yp adalah pendapatan permanen, dan Yt
adalah pendapatan sementara. Untuk itu, Friedman beralasan bahwa konsumsi seharusnya
tergantung pada pendapatan permanen karena konsumen menggunakan tabungan dan pinjaman
untuk melancarkan konsumsi dalam menanggapi perubahan pendapatan sementara. Jadi fungsi
konsumsi menurut Friedman adalah sebagai berikut:
C=αYP
Dimana α adalah konstanta yang mengukur bagian pendapatan permanen yang
dikonsumsi.
Robert Hall dan Random Walk membuat sebuah hipotesis pendapatan–permanen
yang didasarkan pada model pilihan antarwaktu Fisher (Fisher’s model of intertemporal
choice). Hipotesis itu membangun gagasan bahwa konsumen yang berpandangan ke depan
mendasarkan keputusan konsumsinya tidak hanya pada pendapatan sekarang, tetapi juga pada
pendapatan yang mereka harapkan di masa depan. Jadi, hipotesis pendapatan-permanen
menyatakan bahwa konsumsi bergantung pada ekspektasi seseorang di masa depan (Mankiw,
2012).
David Laibson merupakan salah satu ekonom yang beraloh ke psikologi untuk
menjelaskan lebih lanjut definisi perilaku konsumen. Menurut Labison keputusan konsumsi
tidak dibuat seutuhnya rasional. Bagian baru yang memasukkan psikologi ke dalam ekonomi
merupakan definisi dari perilaku ekonomi. Laibson mencatat banyak konsumen menganggap
dirinya memuat keputusan yang tidak sembpurna. Preferensi konsumsi tidak konsisten dengan
waktu (time-inconsistent) akan menjadikan konsumen lebih mudah mengubah keputusan
karena perubahan waktu (Mankiw, 2012).
b. Jelaskan mengapa perubahan dalam konsumsi tidak dapat diprediksikan ketika konsumen
mendasarkan pada permanent income hypothesis dan memiliki ekspektasi rasional?
Permanent income hypothesis menunjukkan bahwa konsumen berusaha memperlancar
konsumsi dari setiap periode. Hal tersebut dilakukan oleh konsumen berdasarkan pada ekspektasi
konsumen ketika melakukan konsumsi pada saat ini serta pendapatan yang akan diperoleh di
masa yang akan datang. Sehingga, perubahan dalam konsumsi mencerminkan shock terhadap
pendapatan yang diterima. Jika konsumen memiliki ekspektasi yang rasional dalam konsumsi
yang dilakukan pada saat ini, maka shock ini tidak dapat dipredikasi karena perubahan pola
konsumsi tidak dapat diprediksi. Karena setiap konsumen memiliki utilitas yang berbeda.
Arsyad (1999) menyatakan bahwa tabungan masyarakat ditentukan oleh perilaku tabungan
perusahaan dan perilaku tabungan rumah tangga. Di negara berkembang, tabungan perusahaan
relatif kecil sebab sektor perusahaan kecil. Pada perusahaan milik keluarga, tabungan perusahaan
bukan merupakan bagian penting dalam perusahaan karena merupakan bagian dari pendapatan
keluarga.
c. Belum optimalnya capaian pertumbuhan ekonoomi selama 5 tahun terakhir banyak diduga
disebabkan oleh karena adanya gejala penurunan dalam daya beli masyarakat. Dengan
menggunakan teori konsumsi yang relevan, apa yang dapat Saudara jelaskan terkait polemik
penurunan konsumsi rumah tangga akhir-akhir ini? Apakah benar telah terjadi penurunan dalam
daya beli masyarakat? Jika benar, pada pada segmen konsumen yang mana hal tersebut terjadi?
Mengapa? (Jika dipandang perlu, gunakan data untuk memperkuat argumentasi Saudara)
Adanya gejala tentang penurunan dalam daya beli masyarakat karena tidak seimbangan
antara pendapatan antara konsumsi. Kondisi ini desebabkan karena adanya kenaikan kebutuhan-
kebutuhan pokok. Salah satu contohnya adalah peningkatan harga listrik untuk setiap kwh.
Akibatnya semua biaya pengeluaran konsumen meningkat. Hal ini menjadi faktor menurunnya
daya beli masyarakat. Kondisi ini sesuai dengan kondisi perilaku konsumsi yang telah
dikemukakan oleh para ahli.
18.00%
17.11%
16.00%
14.00%
12.00%
Persentase 11.06%
10.00%
8.00% 8.38%
8.36%
6.40% 6.60%
6 .59% 6.96%
6.00%
5.16%
4.00% 4.30%
3.79% 3.61%
2.78% 3.35%
3.02% 3.13%
2.00%
0.00%

Sumbe: BPS (2019)


Gambar 8. Inflasi di Indonesia
Grafik di atas menunjukkan tingkat inflasi pada tahun 2003 hingga 2018 cenderung
mengalami fluktuaso. Inflasi pada tahun 2015 cenderung mengalami penurunan. Melambatnya
konsumsi ini terjadi karena kelas menengah ke atas melakukan perubahan gaya belanja dan
mengalihkan banyak uang ke tabungan atau investasi. Sehingga perilaku konsumtif hanya
dilakukan oleh masyarakat menengah ke bawah. Hal inilah yang membuat masyarakat menegat
ke bawah tertekan. Pendapatan mereka tidak bertambah, namun harga kebutuhan-kebutuhan
pokok mengalami peningkatan.

7. Sistem keuangan yang berkembang pesat dapat menimbulkan peluang dan bahaya bagi
perekonomian. Negara berkembang
a. Jelaskan perbedaan antara debt finance dan equity finance
Dept financing merupakan keadaan dimana perusahaan mengumpulkan uang untik model
dengan menjual instrument kepada investor. Sebagai imbalan uang untuk meminjamkan uang,
individu atau lembaga kreditor menerima janji bahwa pokok bunga akan dilunasi dengan jadwal
yang telah ditetapkan. Sedangkan Equity financing merupakan proses meningkatkan modal
melalui penjualan saham di suatu perusahaan (Mankiw, 2012). Dengan equity financing muncul
minat kepemilikan bagi pemegang saham. Pembiayaan ekuitas dapat berkisar dari beberapa ribu
dolar yang dihimpun oleh seorang pengusaha dari investor swasta ke initial public offering (IPO)
di bursa saham yang valuenya bisa mencapai miliaran

b. Jelaskan bagaimana lembaga keuangan (bank) melakukan mitigasi terhadap asymmetric


information problem?
Asymmetric information problem merupakan masalah yang sering terjadi pada lembaga
keuangan (bank) yang terdiri atas moral hazard dan adverse selection. Moral hazard dapat
dicegah melalui penerapan menejemen resiko perbankan. Dalam penerapannya dibutuhkan
transparasi resiko yang terjadi, Assesment yang akurat, adanya informasi yang berkualitas,
adanya diversifikasi, independensi, pola keputusan yang disiplin, perlu ada penetapan limit serta
toleransi di perbankan, dan implementasi internal control pada setiap transaksi.
Menurut Taswan (2011) cara yang dilakukan untuk adverse selection yaitu melakui
melalui cross monitoring maupun loan covenant. Cross monitoring dilakukan ketika debitur
memiliki sekuritas yang diterbitkan di pasar modal. Akan tetapi pengawasan ini sering dilai
kurang efektif karena bank dianggap memilik indormasi yang lebih falid dibandingkan informasi
berdasarkan data sekunder. Bank juga dapat menerapkan loan covenant, yang berarti kreditur
akan melihat karakteristik debitur lebih lanjut. Ketika debitur dipandang berkualitas buruk atau
mempunyai infomrasi asimatris tinggi maka bank dapat menetapkan kontrak kredit jangka
pendek. Menurut teori informasi asimetris bahwa semakin panjang jangka waktu kredit
mencerminkan semakin baik kualitas informasi (semakin rendah asimetri informasi, semakin
rendah risikonya) sehingga semakin rendah tingkat bunga kredit yang ditetapkan. Sebaliknya,
bila semakin pendek jangka waktunya maka mencerminkan semakin tinggi asimetri
informasinya sehingga tingkat bunga menjadi lebih mahal. Dalam menggunakan loan covenant,
selain menggunakan jangka waktu kredit, adalah menggunakan term loan untuk debitur-debitur
yang memiliki informasi asimetris tinggi.

c. Jelaskan bagaimana krisis keuangan dapat menurunkan aggregate demand terhadap barang dan
jasa?
Menurut Bappenas (2009) adanya krisis keuangan global mengubah tatanan perekonomian
dunia. krisis tersebut berawal tahun 2007 di Amerika serikat dan dampaknya dirasakan oleh
semua negara termasuk negara berkembang pada tahun 2008. Kondisi di Amerika serikat sebagai
episentrum krisis, dan negara industry lainyya, kebijakan untuk mengatasi krisis menjadi faktor
positif yang dapat mengurasi prsimisme akan resesi secara berkepanjangan dan risiko terjadinya
depresi. Akan tetapi proses terssebut menyababkan adanya umpan balik sektor riil ke soktor
keuangan, sehingga menyebabkan risiko ketidakpastian di pasar keuangan global cukup tinggi.
Krisis ekonomi dunia yang semakin dalam memberikan tekanan pada kinerja neraca
perdagangan sebuah negara. Pada sisi transaksi berjalan, nilai ekspor lebih rendah dibandingkan
impor. Sedangan pada sisi neraca transaksi modal dan financial, minat investor terhadap asset di
pasar keuangan domestik menurun. Aliran modal keluar oleh investor asing terjadi seiring
dengan upaya flght to quality, yang diperparah oleh fenomena memperbaiki struktur neraca
berbagai lembaga keuangan (deleveraging) sejalan dengan meningkatnya intensitas krisis global.
Selain itu Krisis telah memicu ketatnya likuiditas global dan meningkatkan persepsi risiko
terhadap emerging market termasuk Indonesia serta menimbulkan sentien negati di pasar
keuangan. Hal itu menyebabkan terjadinya pelepasan aset rupiah oleh investor asing dalam
jumlah yang signifikan.
Adanya capital outflow, kemudian diikuti oleh aksi beli dollar penduduk domestik yang
membuat nilai rupiah semakin terpuruk (Yudanto & Santoso, 1998). Pada sisi kurs, melemahnya
nilai rupiah melalui berbagai transmisi menimbulkan dampak yang merugikan pada sektor
ekonomi. Sementara itu fluktuasi nilai tukar tampaknya semakin sulit diprediksi dan cenderung
overshoot, sehingga untuk mengerem laju spekulasi dilakukan pengetatan moneter dengan
konsekuensi suku bunga tinggi. Sementara itu, melemahnya nilai tukar rupiah telah menurunkan
daya beli masyarakat karena naiknya inflasi yang tertransmisi melalui kenaikan harga-harga
barang konsumsi yang sarat kandungan impor. Menurunnya atau tertundanya konsumsi
masyarakat secara luas memberi tekanan balik kepada sektor riil berupa berkurangnya tingkat
keuntungan usaha yang sebelumnya sudah menurun karena bertambah besarnya biaya produksi.
Tekanan karena kenaikan biaya produksi dan menurunnya daya serap pasar telah menjepit sektor
usaha yang berakibat dengan pengurangan skala aktivitas usaha yang tampak secara riil pada
pengurangan jumlah tenaga kerja.
Daftar Pustaka

Alimi, R. S. (2013). Keynes’ Absolute Income Hyp othesis and Kuznet's Paradox. Munich Personal
RePEc Archive (MPRA) (49310), 1-15.
Almudhaf, F. (2018). Predictability, Price Bubbles, and Efficiency in the Indonesian Stock-
Market. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 54(1), 113-124.
Arsyad L, 1999. Ekonomi Pembangunan. Edisi ketiga, p. 130-138, Bagian Penerbit STIE YKPN,
Yogyakarta.
Badan Pusat Statistik. 2019. Perkembangan Inflasi di Indonesia, (Online), (www.bps.go.id diakses
pada 15 Juni 2019).
Bofinger, Peter., 2001. Monetary Policy: Goals, Institution, Strategies and Instrument. Oxford
University Press.
Cuepers, L., & Smeets, D. (2015). How Do Oil Changes Affect German Stock Returns? International
Journal of Energy Economics and Policy, 321-334.
Karim, A. 2012. Ekonomi Makro Islam (2th Ed). Jakarta: Rajawali Press.
Kemenkeu. 2012. Kebijakan Pengelolaan Utang Negara. Media Edukasi dan Informasi Keuangan.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. 2019. Apa Kabar Utang Luar Negeri, (online),
(www.kemenkeu.go.id diakses pada 15 Juni 2019).
Keynes, J. M. 1936. The General Theory of Employment, Interest, and Money. New York: Harcourt
Brace.
Kydland, F dan Prescott E., 1977, Rules Rather Than Discretion: The Inconsistency of Optimal Plans.
Journal of Political Economy
Mankiw, N. G. 2006. Macroeconomics (6th ed.). Boston: Mass McGraw-Hill Companies.
Mankiw, N. G. 2012. Macroeconomics (8th ed.). USA: Worth Publisher.
Mankiw, N. G. 2016. Macroeconomics (9th ed.).. USA: Worth Publisher.
Rahmahdian, R. Warijo P. 2013. Mengukur Time Inconsistency Kebijakan Moneter Di Indonesia.
Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan , 335-366.
Rahutami, Anggelina Ika. 1994. Kebijakan Moneter Rule atau Discretion. Jurnal Ekonomi dan Bisnis
Indonesia. 9, 1-13.
Samuelson, P., & Nordhaus, W. 2001. Macroeconomics (17th ed.). Boston: Mass McGraw-Hill
Companies.
Samuelson, P., & Nordhaus, W. 2010. Macroeconomics (19th ed.). Boston: Mass McGraw-Hill
Companies.
Suparmoko, M. 2001. Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, BPFE.
Warjiyo, P. Solikin. 2003. Kebijakan Moneter di Indonesia (Seri 6). Pusat Pendidikan dan Studi
Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia
Warjiyo, Perry. 2011. Modul Kuliah Ekonomi Moneter dan Perbankan. Program Pascasarjana Ilmu
Ekonomi. FEUI
Widharma, I. W. G., Budhi, I. M. K. S., & Marhaeni, A. A. I. N. (2011). Utang Luar Negeri
Pemerintah Indonesia: Kajian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh. E-Jurnal Ekonomi dan
Bisnis Universitas Udayana.
Yudanto, N., & Santoso, S. (1998). Dampak Krisis Moneter terhadap Sektor Riil. Buletin Ekonomi
Moneter dan Perbankan , 131-158.
Yunisvita. 2013. Instrumen Kebijakan Makroekonomi Dalam Mempengaruhi Output: Suatu Analisis
Aplikasi ST. Louis Equation Di Indonesia. Journal of Economic and Development. 11(2), 111-
128.

Anda mungkin juga menyukai