Anda di halaman 1dari 50

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tidur adalah mekanisme yang memungkinkan regenerasi emosional,
fisiologis, dan reparative. Itu semua dianggap sebagai faktor kesehatan penting
yang dapat mempengaruhi kualitas hidup dan kesejahteraan individu.
Beberapa faktor yang dapat mengganggu pola tidur tidak teratur yaitu usia,
jenis kelamin, lingkungan, keadaan psikologis, penyakit, dan penggunaan
obat. Tidur merupakan topik penting dalam pengobatan holistik karena
menyangkut pola kesehatan yang dapat mempengaruhi semua aspek fisiologis
seseorang (Örsal et al., 2014).
Lanjut usia adalah seseorang yang sudah mencapai usia diatas 60
tahun, menurut UU RI No. 13 tahun 1998 pasal 1 ayat 2 tentang kesejahteraan
lanjut usia. Batasan usia untuk kategori tinkatan lanjut usia menurut World
Health Organization (WHO) adalah usia pertengahan ( middle age ) 65 tahun,
usia lanjut ( elderly ) >65-75 tahun, usia lanjut usia ( old age ) 75-90 tahun dan
yang sangat tua ( very old ) > 90 tahun. Lanjut usia merupakan suatu keadaan
yang terjadi pada kehidupan manusia. Proses lanjut usia merupakan suatu
proses hidup manusia, dan tidak hanya di mulai dari suatu waktu tertentu,
tetapi juga sejak permulaan kehidupan (Manurung & Adriani, 2017).
Faktor usia menyebabkan lansia menghadapi banyak keterbatasan
sehingga memerlukan bantuan peningkatan kesejahteraan sosial. Kualitas
hidup yang baik akan membawa lansia tetap mampu hidup produktif dalam
keterbatasannya. Sebaliknya, jika kualitas hidup lansia kurang baik maka akan
membuat lansia menjadi manusia yang tidak produktif, bahkan tergantung
pada bantuan pihak lain. Penurunan kualitas hidup antara lain disebabkan oleh
gangguan tidur yang merupakan proses dari penuaan. Maka penanganan
gangguan tidur merupakan upaya peningkatan kualitas hidup pada lansia. Hal
ini penting mendapat penanganan karena mengingat penduduk lanjut usia
yang semakin meningkat (Sulidah et al., 2016).
Menurut ( WHO, 2011 ) lanjut usia diseluruh dunia pada tahun 2005,
diperkirakan berjumlah 1,2 milyar. Penduduk lanjut usia ( lansia ) di Indonesia
menempati urutan nomor empat terbesar di dunia, seperti halnya jumlah
penduduk secara keseluruhan setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Pada
tahun 2010 jumlah lansia sebesar 23,9 juta jiwa atau 9,77% dan diperkirakan
pada tahun 2020 mencapai 28,8 juta jiwa atau sekitar 11,34% (Dapartemen
Kesejahteraan Nasional, 2008) dalam (Manurung & Adriani, 2017).
Pertambahan lanjut usia di Indonesia dalam kurun waktu 1990 sampai 2025
mempunyai kenaikan jumlah lanjut usia sebesar 414% ( Kinesella & Tacuber,
1993 dalam Manurung & Adriani, 2017).
Menurut kutipan (Wahyuni & Riyanto, 2019), pada tahun 2017
persentase lansia di Indonesia telah mencapai 9,03% dari keseluruhan
penduduk. Diprediksi jumlah penduduk lansia tahun 2020 ( 27,08 juta), tahun
2025 ( 33,69 juta ), tahun 2030 ( 40,95 juta ) dan tahun 2035 ( 48,19 juta ).
Presentase lansia di Jawa Timut mencapai 12,64% dari keseluruhan penduduk.
Hal ini menunjukkan bahwa Jawa Timur termasuk daerah dengan struktur
penduduk menuju tua ( ageing population ) menurut (Pramono, 2018).
Keluhan sulit tidur atau masalah kualitas tidur pada lansia sering
dianggap remeh oleh masyarakat, karena merupakan proses fisiologis yang
biasa terjadi di masa tua. Walaupun waktu tidur yang digunakan berkurang
secara faali, penurunan waktu tidur seharusnya minimal. Hampir setengah dari
populasi lansia melaporkan bahwa dirinya kesulitan untuk menjaga kualitas
tidurnya (Wahyuni & Riyanto, 2019). Menurut National Sleep Foundation
( NSF ) di Indonesia diperkirakan 15%-45% lansia mengeluhkan adanya
gangguan tidur dan 25% diantaranya mengalami gangguan tidur yang cukup
serius. Prevalensi gangguan tidur pada lansia cukup tinggi yaitu sekitar 67%
(Menteri Ekonomi dan Kesehatan Masyarakat) dikutip dalam penelitian
(Wahyuni & Riyanto, 2019).
Masalah tidur yang sering dialami oleh orang lanjut usia diantaranya
yaitu sering terjaga pada malam hari, sering kali terbangun pada dini hari, sulit
untuk tertidur kembali setelah bangun pada malam hari, dan rasa lelah yang
amat sangat pada siang hari. Perubahan-perubahan seperti itu merupakan hal
yang normal selama kualitas tidur lansia baik, tetapi sebaliknya jika kualitas
tidur lansia terganggu akan menimbulkan masalah kesehatan lain (Indrawati &
Andriyani, 2018).
Berbagai dampak yang ditimbulkan dari gangguan tidur yaitu
penurunan kualitas hidup lansia, mengurangi sistem kekebalan tubuh,
gangguan kognitif, status fungsional, peningkatan resiko jatuh dan
peningkatan angka kematian yang lebih tinggi. Selain itu juga berdampak
pada kelelahan, perubahan mood, mudah marah, mengantuk di siang hari,
cemas akan tidur, kurangnya konsentrasi, perubahan memori, kualitas kinerja
atau aktivitas yang buruk, kurangnya motivasi dan energy, dan peningkatan
tekanan darah ( Amerikan Academy old Sleep Medicine, 2008 ) yang dikutip
dalam penelitian (Hardani et al., 2016). Ditemukan 21,7% lansia yang
mengalami gangguan tidur secara terus menerus akan memiliki keinginan
untuk bunuh diri dikutip dalam penelitian (Wahyuni & Riyanto, 2019).
Meskipun secara fisiologis kebutuhan kualitas tidur pada lansia
berkurang tetapi hendaknya ketidakcukupan kuantitas dapat diimbangi dengan
kualitas tidur yang cukup. Tidur yang berkualitas meskipun kuantitasnya
sedikit tetapi lebih baik dari pada waktu tidur yang panjang tetapi tidak
berkualitas. Tidur yang berkualitas adalah keadaan tidur yang dalam, tidak
mudah terbangun, dapat mencapai mimpi, dan ketika bangun tubuh menjadi
lebih segar, merasa kepuasan tidur dan bebas dari ketegangan menurut kutipan
(Sulidah et al., 2016).
Penatalaksanaan terhadap kualitas tidur yang buruk pada lansia dapat
dibagi menjadi penatalaksanaan secara farmakologi dan non farmakologi.
Namun jika menggunakan obat-obatan akan menimbulkan efek negatif yang
menyebabkan penderita gangguan tidur mengalami ketergantungan obat
sehingga kualitas tidur yang baik tidak akan tercapai atau akan mengganggu
kinerja dari ginjal. Penatalaksanaan non farmakologis saat ini sangat
dianjurkan karena tidak menimbulkan efek samping dan dapat memandirikan
lansia untuk dapat menjaga kesehatan mereka sendiri (Indrawati & Andriyani,
2018).
Salah satu pengobatan secara non farmakologi untuk mengatasi
gangguan tidur adalah teknik relaksasi otot progresif. Pengertian dari relaksasi
otot progresif adalah teknik relaksasi yang menggabungkan latihan pernafasan
dalam dan rangkaian kontraksi dan relaksasi otot tertentu (Handayani et al.,
2019). Relaksasi ini diperkenalkan oleh Edmund Jacob tahun 1929 dengan
buku Progressive Relaxation. Selain untuk memfasilitasi tidur, relaksasi otot
progresif juga bermanfaat untuk ansietas, mengurangi kelelahan, kram otot
serta nyeri leher dan punggung (Manurung & Adriani, 2017).
Latihan relaksasi otot progresif yang dilaksanakan 15-30 menit, satu
kali sehari secara teratur selama satu minggu cukup efektif dalam
meningkatkan kualitas tidur pada lansia. Karena dapat memberikan pijatan
halus pada berbagai kelenjar-kelenjar pada tubuh, menurunkan produksi
kortisol dalam darah, mengembalikan pengeluaran hormon yang secukupnya
sehingga memberikan keseimbangan emosi dan ketenangan pikiran (Indrawati
& Andriyani, 2018).
Menurut penelitian terdahulu kaitan antara teknik relaksasi otot
progresif dan pemenuhan kebutuhan istirahat tidur sangat erat, karena istirahat
dan tidur tergantung dari relaksasi otot (Djawa et al., 2017). Karena teknik
relaksasi otot progresif memberikan rasa nyaman pada seluruh tubuh maka
rasa nyaman inilah yang dibutuhkan lansia untuk meningkatkan kualitas
tidurnya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian sebagai berikut, yaitu : “Bagaimanakah latihan relaksasi otot
progresif dalam meningkatkan kualitas tidur pada lansia?”

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan
latihan relaksasi otot progresif terhadap kualitas tidur pada lansia.
1.3.2 Tujuan khusus
a. Mengidentifikasi kualitas tidur pada lansia.
b. Mengidentifikasi kualitas tidur lansia setelah melakukan latihan
relaksasi otot progresif.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat teoriti
Dari hasil penelitian menggunakan metode Literatur Riview ini diharapkan
dapat menjadi bahan alternative atau tindakan non farmakologi teknik
relaksasi otot progresif untuk meningkatkan kualitas tidur pada lansia.
1.4.2 Manfaat praktis
a. Institusi pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh para mahasiswa
keperawatan dalam meningkatkan kemampuan memahami dan
menerapkan latihan relaksasi otot progresif terhadap kualitas tidur
pada lansia.
b. Bagi Perawat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat sebagai referensi dalam
melakukan tindakan non farmakologi dalam mengatasi kualitas tidur
pada lansia.
c. Bagi lansia
Hasil penelitian ini diharapkan para lansia mendapatkan informasi
tentang pemenuhan kualitas tidur dengan melakukan latihan relaksasi
otot progresif.
d. Bagi peneliti selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan mampu sebagai bahan atau referensi
bagi penelitian berikutnya tentang latihan melakukan relaksasi otot
progresif terhadap kualitas tidur pada lansia.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lanjut Usia (Lansia)


2.1.1 Definisi Lanjut Usia
Pengertian lanjut usia (lansia) menurut Undang-Undang No. 13
tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pasal 1 ayat 1 adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Lansia merupakan
periode akhir dari siklus kehidupan manusia. Melewati masa ini, lansia
memiliki kesempatan untuk berkembang untuk mencapai pribadi yang
lebih baik lagi dan semakin matang. Lansia adalah periode dimana
organisme telah mencapai masa keemasan atau kejayaannya dalam ukuran,
fungsi dan juga beberapa telah menunjukkan kemundurannya sejalan
dengan berjalannya waktu menurut Suardiman (2011) dalam (Triningtyas
& Muhayati, 2018).
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi didalam
kehidupan setiap manusia. Proses menua merupakan proses sepanjang
hidup, tidak hanya dimulai pada waktu tertentu, tetapi dimulai sejak awal
kehidupan. Proses menua merupakan kombinasi dari berbagai faktor yang
saling berhubungan. Sampai saat ini banyak definisi dan teori yang
menjelaskan proses penuaan yang tidak seragam. Secara umum, proses
menua didefinisikan sebagai perubahan yang terkait waktu, bersifat
universal, intrinsik, prosesif dan detrimental. Keadaan tersebut dapat
menyebabkan kurangnya kemampuan dalam beradaptasi dengan
lingkungan untuk bertahan hidup (Dewi, 2014).
Usia tua adalah periode penutup dalam rentang kehidupan
manusia, yaitu suatu periode dimana seseorang telah “beranjak jauh” dari
periode terdahulu yang lebih menyenangkan atau beranjak dari waktu yang
lebih bermanfaat. Usia 60 tahun biasanya dianggap sebagai garis pemisah
antara usia madya dan usia lanjut. Selain itu, usia 60 tahun digunakan
sebagai usia pensiun dan sebagai tanda dimulainya usia lanjut (Triningtyas
& Muhayati, 2018).
2.1.2 Ciri-Ciri Lanjut Usia
Seperti halnya periode dalam rentang kehidupan seseorang, usia
lanjut ditandai dengan adanya perubahan fisik dan psikologis tertentu.
Menurut Hurlock (1980) dalam (Triningtyas & Muhayati, 2018) ciri-ciri
lanjut usia (lansia) dapat menentukan sejauh mana pria atau wanita dapat
menyesuaikan diri dengan baik maupun buruk. Berikut diuraikan ciri-ciri
lanjut usia :
1. Usia lanjut merupakan periode kemunduran
Periode selama usia lanjut, ketika kemunduran fisik dan mental
terjadi secara perlahan dan bertahap. Kemunduran itu sebagian datang
dari kemunduran fisik dan sebagian besar dari faktor psikologis.
Penyebab kemunduran dari faktor itu merupakan suatu perubahan pada
sel-sel bukan karena penyakit khusus. Kemunduran tersebut juga dapat
disebabkan oleh faktor psikologis.
2. Perbedaan individual pada efek menua
Orang menjadi tua secara berbeda karena mereka mempunyai sifat
bawaan yang berbeda, sosio-ekonomi dan latar pendidikan yang
berbeda serta pola hidup yang berbeda.
3. Usia tua dinilai dengan kriteria yang berbeda
Pada waktu usia anak mencapai remaja, menilai usia lanjut dalam
cara yang sama dengan cara penilaian orang dewasa, yaitu dalam hal
penampilan diri dan apa yang dapat dan tidak dapat mereka lakukan.
4. Berbagai stereotipe orang lanjut usia
Terdapat banyak stereotipe orang lanjut usia dan banyak
kepercayaan tradisional tentang kemampuan fisik dan mental.
Stereotipe yang paling umum yaitu : pertama, cenderung melukis usia
lanjut sebagai usia yang tidak menyenangkan. Kedua, orang yang
berusia lanjut sering diberi tanda dan diartikan sebagai orang yang
tidak menyenangkan.
5. Sikap sosial terhadap lanjut usia
Pendapat klise tentang usia lanjut mempunyai pengaruh besar terhadap
sikap sosial. Arti penting tentang sikap terhadap usia lanjut
mempengaruhi cara memperlakukan orang lanjut usia.
6. Orang lanjut usia mempunyai status kelompok minoritas
Walaupun banyak fakta yang menyebutkan lanjut usia bertambah
banyak, tetapi status mereka termasuk dalam kelompok minoritas,
yaitu karena suatu status yang dalam beberapa hal mengecualikan
mereka untuk berinteraksi dan memberikan kekuasaan atau tidak sama
sekali.
7. Menua membutuhkan perubahan peran
Sama seperti orang dewasa madya harus belajar memainkan peran
baru, demikian juga bagi lanjut usia. Karena perubahan kekuatan,
kecepatan dan kemenarikan bentuk fisik, para orang lanjut usia
bersaing dengan orang-orang yang lebih muda dalam berbagai bidang
tertentu.
8. Penyesuaian yang buruk merupakan ciri-ciri lanjut usia
Orang usia lanjut cenderung sebagai kelompok yang lebih banyak
menyesuaikan diri secara buruk ketimbang orang yang lebih muda.
Butler (dalam Hurlock, 1980) mengemukakan sebagai berikut:
semakin hilangnya status karena kegiatan sosial didominasi oleh yang
lebih muda, keinginan untuk melindungi keuangan mereka untuk
istrinya dan keinginan untuk menghindari beberapa rasa sakit atau
keadaan yang tak berdaya.
2.1.3 Batasan Lanjut Usia
Menurut pendapat para ahli dalam Efendi (2009), batasan-batasan
umur yang mencakup batasan umur lansia sebagai berikut :
a. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1
ayat 2 yang berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai
usia 60 tahun ke atas”.
b. Menurut World Health Organization (WHO), usia lanjut dibagi
menjadi empat kriteria sebagai berikut :
1. Usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun
2. Lanjut usia (elderly) ialah 60-74 tahun
3. Lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun
c. Menurut Dra. Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase, yaitu :
1. Pertama (fase inventus) ialah 25-40 tahun
2. Kedua (fase virilities) ialah 40-55 tahun
3. Ketiga (fase presenium) ialah 55-65 tahun
4. Keempat (fase senium) ialah 65 hingga tutup usia
d. Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro masa lanjut usia
(geriatric age) : > 65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (geriatric
age) itu sendiri dibagi menjadi tiga batasan umur yaitu :
1. Young old (70-75 tahun)
2. Old (75-80 tahun)
3. Very old ( > 80 tahun ) (Efendi, 2009) dalam (Sunaryo et al.,
2015).
Sedangkan menurut Depkes RI (2003) dalam (Dewi, 2014)
mengklasifikasikan lansia dalam kategori sebagai berikut :
1. Pralansia (prasenilis), seseorang yang berusia antara 45-59 tahun
2. Lansia, seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih
3. Lansia resiko tinggi, seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih/
seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan
4. Lansia potensial, lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/
atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang/ jasa
5. Lansia tidak potensial, lansia yang tidak berdaya mencari nafkah
sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap akhir perkembangan pada daur
kehidupan manusia. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (2), (3), (4) UU No.
13 tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah
seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahum (Maryam dkk,
2008) dalam (Sunaryo et al., 2015).
2.1.4 Proses Penuaan
Proses penuaan merupakan suatu proses menghilangnya
kemampuan jaringan secara perlahan untuk memperbaiki diri atau dapat
mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga dapat
menjaga agar lebih rentan terhadap infeksi dan bisa untuk memperbaiki
kerusakan yang dideritanya. Proses menua merupakan proses sepanjang
hidup, proses yang ilmiah yang terjadi terus- menerus dalam kehidupan
manusia (Nugroho, 2008).
Proses penuaan merupakan proses yang berhubungan dengan umur
seseorang. Manusia mengalami perubahan sesuai dengan bertambahnya
umur tersebut. Semakin bertambahnya umur semakin berkurang fungsi-
fungsi organ tubuh. Hal ini dapat kita lihat dari perbandingan struktur dan
fungsi organ antara manusia yang berusia 70 tahun dengan mereka yang
berumur 30 tahun, yaitu berat otak pada lansia 56%, aliran darah ke otak
80%, cardiac output 70%, jumlah glomelurus 56%, glomerular filtration
rate 69%, vital capacity 56%, asupan O 2 selama olah raga 40%, jumlah
dari axon pada saraf spinal 63%, kecepatan pengantar impuls saraf 90%,
dan berat badan 88%. Banyak faktor yang mempengaruhi proses penuaan
tersebut, sehingga munculah teori-teori yang menjelaskan mengenai faktor
penyebab penuaan ini. Diantara teori yang terkenal adalah teori Telomere
dan teori radikal bebas, yang dikemukakan oleh J.M. McCord dan I.
Fridovich dan Denham Harman (1956) dalam (Sunaryo et al., 2015).
Proses penuan terdiri atas teori-teori tentang penuaan, aspek
biologis pada proses menua, proses penuaan pada tingkat sel, proses
penuaan menurut sistem tubuh, dan aspek psikologis pada proses penuaan
(Padila, 2013). Adapun faktor yang mempengaruhi proses penuaan
tersebut dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama faktor genetik
melibatkan perbaikan DNA, respon terhadap stress, dan pertahanan
terhadap antioksidan. Kedua faktor lingkungan, yang dapat meliputi
masuknya kalori, berbagai macam penyakit, dan stress dari luar. Misalnya
radiasi atau bahan-bahan kimia. Dari kedua faktor tersebut dapat
mempengaruhi aktivitas metabolisme sel yang akan menyebabkan
terjadinya stress oksigen sehingga akan terjadi kerusakan pada sel yang
bisa mengakibatkan proses penuaan tersebut (Sunaryo et al., 2015).
2.1.5 Teori-Teori Proses Penuaan
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu
teori biologis, teori psikologis, dan teori sosiologi (Dewi, 2014)
A. Teori Biologi
1. Teori genetik
Teori genetik ini menyebutkan bahwa manusia dan hewan terlahir
dengan program genetik yang mengatur proses manua selama rentang
hidupnya. Setiap spesies di dalam inti selnya memiliki suatu jam
genetik/jam biologis sendiri dan setiap spesies mempunyai batasan
umur yang berbeda-beda yang telah diputar menurut replikasi tertentu
sehingga bila jam ini berhenti berputar maka ia akan mati.
2. Wear and tear theory
Menurut teori “pemakaian dan perusakan” (wear and tear theory)
disebutkan bahwa proses menua terjadi akibat kelebihan usaha dan
stress yang menyebabkan sel tubuh menjadi lelah dan tidak mampu
meremajakan fungsinya. Proses menua merupakan suatu proses
psikologis.
3. Teori nutrisi
Teori nutrisi menyatakan bahwa proses menua dan kualitas proses
menua dipengaruhi intake nutrisi seseorang sepanjang hidupnya.
Intake nutrisi yang baik pada setiap tahap perkembangan akan
membantu meningkatkan kualitas kesehatan sesorang. Semakin lama
seseorang mengkonsumsi makanan bergizi dalam rentang hidupnya,
maka ia akan hidup lebih lama dengan sehat.
4. Teori mutasi somatik
Menurut teori ini, penuaan terjadi karena adanya mutasi somatik akibat
pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi kesalahan dalam proses
transkripsi DNA dan RNA dan dalam proses translasi RNA protein/
enzim. Kesalahan ini terjadi terus-menerus sehingga akhirnya akan
terjadi penurunan fungsi organ atau perubahan sel normal menjadi sel
kanker atau penyakit.
5. Teori stress
Teori stress mengungkapkan bahwa proses menua terjadi akibat
hilangnya sel-sel yang bisa digunakan tubuh. Regenerasi jaringan tidak
dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan
usaha, dan sel yang menyebabkan sel tubuh lelah terpakai.
6. Slow immunology theory
Menurut teori ini, system imun menjadi efektif dengan bertambahnya
usia dan masuknya virus kedalam tubuh yang dapat menyebabkan
kerusakan organ tubuh.
7. Teori radikal bebas
Radikal bebas terbentuk di alam bebas, tidak stabilnya radikal bebas
mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti
karbohidrat dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat
melakukan regenerasi.
8. Teori rantai silang
Pada teori rantai silang diungkapkan bahwa reaksi kimia sel-sel yang
tua dan using menyebabkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan
kolagen. Ikatan ini menyebabkan penurunan elastisitas, kekacauan, dan
hilangnya fungsi sel.
B. Teori Psikologis
1. Teori kebutuhan dasar manusia
Menurut hierarki Maslow tentang kebutuhan dasar manusia, setiap
manusia memiliki kebutuhan dan berusaha untuk memenuhi
kebutuhannya itu. Dalam pemenuhan kebutuhannya, setiap individu
memiliki prioritas. Seorang individu akan berusaha memenuhi
kebutuhan di piramida lebih atas ketika kebutuhan ditingkat piramida
dibawahnya sudah terpenuhi. Kebutuhan pada piramida tertinggi
adalah aktualisasi diri. Ketika individu mengalami proses menua, ia
akan berusaha memenuhi kebutuhan dipiramida tertinggi yaitu
aktualisasi diri.
2. Teori individualism Jung
Menurut teori ini, kepribadian seseorang tidak hanya berorientasi pada
dunia luar namun juga pengalaman pribadi. Keseimbangan merupakan
faktor yang sangat penting untuk menjaga kesehatan mental. Menurut
teori ini proses menua dikatakan berhasil apabila sesorang individu
melihat ke dalam dan nilai dirinya lebih dari sekedar kehilangan atau
pembatasan fisiknya.
3. Teori pusat kehidupan manusia
Teori ini berfokus pada identitas dan pencapaian tujuan kehidupan
seseorang menurut lima fase perkembangan, yaitu :
a. Masa anak-anak : belum mempunyai tujuan hidup yang realistik
b. Remaja dan dewasa muda : mulai memiliki konsep tujuan hidup
yang spesifik
c. Dewasa tengah : mulai memiliki tujuan hidup yang lebih kongkrit
dan berusaha untuk mewujudkannya
d. Usia pertengahan : melihat kebelakang, mengevaluasi tujuan yang
dicapai
e. Lansia : saatnya berhenti untuk melakukan pencapaian tujuan
hidup.
4. Teori tugas perkembangan
Menurut tugas tahap perkembangan ego Ericksoon, tugas
perkembangan lansia adalah integrity versus despair. Jika lansia dapat
menemukan arti dari hidup yang dijalaninya, maka lansia akan
memiliki integritas ego untuk menyesuaikan dan mengatur proses
menua yang dialaminya. Jika lansia tidak memiliki integritas maka ia
akan marah, depresi dan merasa tidak adekuat, dengan kata lain
mengalami keputusasaan.
C. Teori Sosiologi
1. Teori interaksi sosial (social exchange theory)
Menurut teori ini pada lansia terjadi penurunan kekuasaan dan prestise
sehingga interaksi sosial mereka juga berkurang, yang tersisa hanyalah
harga diri dan kemampuan mereka untuk mengikuti perintah.
2. Teori penarikan diri (disengagement theory)
Kemiskinan yang diderita lansia dan menurunnya derajat kesehatan
mengakibatkan seseorang lansia secara perlahan-lahan menarik diri
dari pergaulan di sekitarnya. Lansia mengalami kehilangan ganda,
yang meliputi :
a. Kehilangan peran
b. Hambatan kontak sosial
c. Berkurangnya komitmen
Pokok-pokok teori menarik diri adalah :
a. Pada pria, terjadi kehilangan peran hidup terutama terjadi pada
masa pensiun. Sedangkan pada wanita terjadi pada masa ketika
peran keluarga berkurang, misalnya saat anak beranjak dewasa
serta meninggalkan rumah untuk belajar dan menikah.
b. Lansia dan masyarakat mampu mengambil manfaat dari hal ini,
karena lansia dapat merasakan bahwa tekanan sosial berkurang,
sedangkan kaum muda memperoleh kesempatan kerja yang lebih
luas.
c. Aspek utama dalam teori ini adalah proses menarik diri yang
terjadi sepanjang hidup. Proses ini tidak dapat dihindari serta harus
diterima oleh lansia dan masyarakat.
3. Teori aktivitas (activity theory)
Teori ini menyatakan bahwa penuaan yang sukses bergantung pada
bagaimana seorang lansia merasakan kepuasan dalam melakukan
aktivitas serta mempertahankan aktivitas tersebut lebih penting
dibandingkan kuantitas dan aktivitas yang dilakukan.
Dari pihak lansia sendiri terdapat anggapan bahwa proses penuaan
merupakan suatu perjuangan untuk tetap muda dan berusaha untuk
mempertahankan perilaku mereka semasa hidupnya
4. Teori berkesinambungan (continuity theory)
Menurut teori ini, setiap orang pasti berubah menjadi tua namun
kepribadian dasar dan pola perilaku individu tidak akan mengalami
perubahan. Pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan
gambarannya kelak pada saat menjadi lansia.
5. Subculture theory
Menurut teori ini lansia dipandang sebagai bagian dari sub kultur.
Secara antropologis, berarti lansia memiliki norma dan standar budaya
sendiri. Standar dan norma budaya ini meliputi perilaku, keyakinan,
dan harapan yang membedakan lansia dari kelompok lainnya.
2.1.6 Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lanjut Usia
Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan
secara degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan pada
diri manusia, tidak hanya perubahan fisik, tetapi juga kognitif, perasaan,
sosial dan sexual (Azizah, 2011).
1. Perubahan Fisik
a. Sistem indra
Sistem pendengaran, Prebiakusis (gangguan pada pendengaran) oleh
karena hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam,
terutama terhadap bunyi suara atau nada-nada yang tinggi, suara yang
tidak jelas, sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60
tahun.
b. Sistem integumen
Pada lansia kulit mengalami atropi, kendur, tidak elastis kering dan
berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atropi glandula sebasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada kulit dikenal
dengan liverspot.
c. Sistem muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain sebagai
berikut : Jaringan penghubung (kolagen danelastin). Kolagen sebagai
pendukung utama kulit, tendon, tulang, kartilago dan jaringan pengikat
mengalami perubahan menjadi bentangan yang tidak teratur.
d. Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian lunak dan mengalami granulasi dan
akhirnya permukaan sendi menjadi rata, kemudian kemampuan
kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi
cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago pada
persendiaan menjadi rentan terhadap gesekan.
e. Tulang
Berkurangnya kepadatan tulang setelah diobservasi adalah bagian dari
penuaan fisiologi akan mengakibatkan osteoporosis lebih lanjut
mengakibatkan nyeri, deformitas dan fraktur.
f. Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi, penurunan
jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan penghubung dan
jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek negatif.
g. Sendi
Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament dan
fasia mengalami penuaan elastisitas.
2. Sistem kardiovaskuler
Perubahan sistem kardiovaskuler dan respirasi mencakup
a. Sistem kardiovaskuler
Massa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertropi dan
kemampuan peregangan jantung berkurang karena perubahan pada
jaringan ikat dan penumpukan lipofusin dan klasifikasi Sa nudedan
jaringan konduksi berubah menjadi jaringan ikat.
b. Sistem respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas total paru
tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah untuk mengompensasi
kenaikan ruang rugi paru, udara yang mengalir ke paru berkurang.
Perubahan pada otot, kartilago dan sendi torak mengakibatkan gerakan
pernapasan terganggu dan kemampuan peregangan toraks berkurang.
c. Pencernaan dan metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti penurunan
produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata :
1. Kehilangan gigi.
2. Indra pengecap menurun.
3. Rasa lapar menurun (sensitifitas lapar menurun).
4. Liver (hati) makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan,
berkurangnya aliran darah.
5. Sistem perkemihan : Pada sistem perkemihan terjadi perubahan
yang signifikan. Banyak fungsi yang mengalami kemunduran,
contohnya laju filtrasi, ekskresi, dan reabsorpsi oleh ginjal.
6. Sistem saraf : Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi
dan atropi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia
mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari.
7. Sistem reproduksi : Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai
dengan menciutnya ovary dan uterus. Terjadi atropi payudara. Pada
laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatozoa, meskipun
adanya penurunan secara berangsur-angsur.
3. Perubahan Kognitif
a. Memory (Daya ingat, Ingatan).
b. IQ (Intellegent Quocient).
c. Kemampuan Belajar (Learning).
d. Kemampuan Pemahaman (Comprehension).
e. Pemecahan Masalah (Problem Solving).
f. Pengambilan Keputusan (Decission Making).
g. Kebijaksanaan (Wisdom).
h. Kinerja (Performance).
i. Motivasi.
4. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang menpengaruhi perubahan mental:
1) Pertama-tama perubahan fisik, khususnya organ perasa.
2) Kesehatan umum.
3) Tingkat pendidikan.
4) Keturunan (hereditas).
5) Lingkungan.
6) Gangguan syaraf panca indera, timbul kebutaan dan ketulian.
7) Gangguan konsep diri akibat kehilangan jabatan.
8) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan
teman dan family.
9) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik, perubahan terhadap
gambaran diri,perubahan kensep diri.
5. Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupannya.
Lansia semakin matang (mature) dalam kehidupan keagamaan, hal ini
terlihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari.
6. Perubahan Psikososial
Pada umumnya setelah seorang lansia mengalami penurunan fungsi
kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif meliputi proses belajar,
persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian dan lain-lain sehingga
menyebabkan reaksi dan perilaku lansia menjadi makin lambat.
Sementara fungsi psikomotorik (konatif) meliputi hal-hal yang
berhubungan dengan dorongan kehendak seperti gerakan, tindakan,
koordinasi, yang berakibat bahwa lansia menjadi kurang cekatan.
Penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga mengalami perubahan
aspek psikososial yang berkaitan dengan keadaan kepribadian lansia.
2.1.7 Tipe Lanjut Usia
Tipe pada lansia tergantung oleh karakter masing-masing, dari
pengalaman hidup. Faktor lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan
ekonomi (Padila, 2013):
1. Tipe arif bijaksana
Tipe ini bisa menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai
pengalaman, mencari kesibukan sendiri, bersikap ramah,rendah hati,
sederhana, dan bisa menjadi panutan.
2. Tipe mandiri
Dapat mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan yang baru,
semangat untuk mencari pekerjaan, bergaul dalam berteman.
3. Tipe tidak puas
Menimbulkan konflik lahir batin dapat mengakibatkan seseorang
menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, dan banyak
menuntut.
4. Tipe pasrah
Dapat menerima dan menunggu nasib yang baik, mengikuti ajaran
agama, dan mampu melakukan pekerjaan apa saja.
5. Tipe bingung
Mudah kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,
menyesal, dan acuh tak acuh.
Tipe lain dari lansia adalah tipe optimis, konstruktif, dependen
(tergantung), defensif (bertahan), militan dan serius, tipe pemarah/frustasi
(kecewa akibat kegagalan dalam melakukan sesuatu), tipe bermusuhan,
serta tipe putus asa (benci pada diri sendiri).
Berdasarkan tingkat kemandirian yang dinilai berdasarkan
kemampuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Indek Katz), lansia
dikelompokkan menjadi beberapa tipe, yaitu lansia mandiri sepenuhnya,
lansia mandiri dengan bantuan langsung dari keluarga, lansia mandiri
dengan bantuan tidak langsung, lansia dengan bantuan badan sosial, lansia
di panti wreda, lansia yang dirawat di RS, dan lansia dengan gangguan
mental (Dewi, 2014).
2.1.8 Masalah Yang Muncul Pada Lansia
Lanjut usia mengalami masalah kesehatan. Masalah ini berawal
dari kemunduran sel-sel tubuh, sehingga fungsi dan daya tahan tubuh
menurun serta faktor resiko terhadap penyakit pun meningkat. Masalah
kesehatan yang sering dialami lanjut usia adalah malnutrisi, gangguan
keseimbangan, kebingungan mendadak, gangguan tidur dan lain-lain.
Selain itu, beberapa penyakit yang sering terjadi pada lanjut usia antara
lain hipertensi, gangguan pendengaran dan penglihatan, demensia,
osteoporosis, dsb.
Gangguan tidur merupakan salah satu masalah kesehatan yang
sering dihadapi oleh lansia. Pravelensi gangguan tidur pada lansia cukup
tinggi yaitu sekitar 67% secara umum. Di Indonesia sendiri masalah
gangguan tidur diperkirakan setiap tahun 20-50% dan 17% mengalami
gangguan tidur yang serius pada penduduk lansia. Jika gangguan tidur ini
berkelanjutan tanpa ada intervensi maka akan berakibat pada kualitas tidur
yang buruk sehingga dapat menyebabkan gangguan-gangguan pada tubuh
seperti penyakit diabetes melitus, jantung, stoke, depresi, confius, pelupa,
disorientasi, dan menurunnya kekebalan tubuh. Dan salah satu faktor dari
gangguan tidur pada lansia adalah kecemasan (Siregar, 2018).

2.2 Konsep Kualitas Tidur


2.2.1 Definisi Kualitas Tidur
Kualitas tidur merupakan kepuasan seseorang terhadap tidur,
sehingga seseorang tersebut tidak memperlihatkan perasaan lelah, mudah
terangsang dan gelisah, lesu dan apatis, kehitaman di sekitar mata, kelopak
mata bengkak, konjungtiva merah, mata perih, perhatian terpecah-pecah,
sakit kepala dan sering menguap atau mengantuk (Hidayat & Uliyah,
2005).
Kualitas tidur merupakan suatu keadaan tidur yang dijalani seorang
individu menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun. Kualitas
tidur mencakup aspek kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, latensi
tidur, serta aspek subjektif dari tidur (Khasanah, 2012).
2.2.2 Etiologi Tidur
Kebanyakan gangguan perubahan pola tidur pada lansia seiring
bertambahnya usia (Rafknowledge, 2004):
1. Perubahan tidur seiring usia.
2. Orang yang lebih tua cenderung mengalami kondisi yang berlawanan
dengan mutu dan durasi tidurnya.
3. Tidur malam lebih mudah terganggu.
4. Orang yang lebih tua cenderung mempunyai keinginan untuk tidur
siang yang lebih besar dibandingkan orang muda.
Insomnia primer adalah kesulitan untuk masuk, mempertahankan,
dan memperoleh manfaat tidur, tidak berhubungan dengan medis maupun
psikologis. Gangguan tidur primer terdiri atas :
1. Gangguan tidur karena gangguan pernafasan.
2. Sindrom kaki kurang tenang.
Insomnia kronis lebih kompleks lagi dan seiring kali diakibatkan
faktor gabungan, termasuk yang mendasari fisik atau penyakit mental.
Bagaimanapun insomnia tidak karena faktor perilaku, termasuk
penyalahgunaan kafein, alkohol atau obat-obatan berbahaya lainnya.
Insomnia ideopati merupakan insomnia yang sudah terjadi sejak
dikehidupan dini. Terkadang gangguan tidur ini sudah ada sejak lahir dan
berlangsung sampai lansia. Penyebabnya tidak di ketahui, ada dugaan
yang mengatakan ada ketidak seimbangan neurokimia otak di formasia
retikulari batang otak atau disfungsi ferebrain.
2.2.3 Fisiologi Tidur
Fisiologi tidur adalah suatu mekanisme kegiatan yang diakibatkan
karena adanya mekanisme serebral yang aktif secara bergantian dan
menekan saraf pusat otak agar memberi perintah pada tubuh untuk bangun
dan tidur. Pusat pengaturan aktifitas kewaspadaan dan tidur terletak dalam
mensensefalon dan bagian atas pons menurut (Aspiani, 2014). Tidur
adalah irama biologis yang kompleks. Tidur ditandai dengan aktifitas fisik
yang minimal, perubahan proses fisiologi tubuh dan penurunan respon
terhadap rangsangan eksternal.
Perkiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi
hormon, kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung pada
pemeliharaan siklus sirkadian 24 jam. Siklus sirkadian dipengaruhi oleh
cahaya dan suhu. Selain faktor eksternal seperti aktifitas sosial dan
rutinitas pekerjaan, perubahan dalam suhu tubuh juga berhubungan dengan
pola tidur individu, termasuk lansia. Individu akan bangun ketika
mencapai suhu tubuh tertinggi dan akan tertidur ketika mencapai suhu
tubuh rendah (Saryono & Widiani, 2011).
2.2.4 Pengaturan Tidur
Pengaturan dan kontrol tidur tergantung dari hubungan antara dua
mekanisme serebral yang secara bergantian mengaktifkan dan menekan
pusat otak untuk tidur dan bangun. Reticular activating sistem (RAS) di
bagian batang otak atas diyakini mempunyai sel-sel khusus dalam
mempertahankan kewaspadaan dan kesadaran, RAS memberikan stimulus
visual, auditori, nyeri, dan sensorik raba, juga menerima stimulus dari
korteks serebri (emosi dan proses pikir).
Pada keadaan sadar mengakibatkan neuron- neuron dalam RAS
melepaskan katekolamin, misalnya norepinefrin. Saat tidur mungkin
disebabkan oleh pelepasan serum serotinin dari sel-sel spesifik di pons dan
batang otak tengah yaitu bulbar synchronizing regional (BSR). Bangun
dan tidurnya seseorang tergantung dari keseimbangan impuls yang
diterima dari pusat otak, reseptor sensorik perifer misalnya bunyi, stimulus
cahaya, dan sistem limbik seperti emosi. Seseorang yang mencoba untuk
tidur, mereka menutup matanya dan berusaha dalam posisi rileks. Jika
ruangan gelap dan tenang aktivitas RAS menurun, pada saat itu BSR
mengeluarkan serum serotonin.
2.2.5 Tahapan Tidur
Normalnya tidur dibagi menjadi 2 yaitu nonrapid eye movement
(NREM) dan rapid eye movement (REM). Selama masa NREM seseorang
terbagi menjadi 4 tahapan dan memerlukan kira-kira 90 menit selama
siklus tidur. Sedangkan tahapan REM adalah tahapan terakhir kira-kira 90
menit sebelum tidur berakhir.
1. Tahapan tidur NREM
a. NREM tahap I
1) Tingkat trausisi
2) Merespon cahaya
3) Berlangsung beberapa menit
4) Mudah terbangun dengan rangsangan
5) Aktivitas fisik, tanda vital, dan metabolisme menurun
6) Bila terbangun terasa sedang mimpi
b. NREM tahap II
1) Periode suara tidur
2) Mulai relaksasi otot
3) Berlangsung 10-20 menit
4) Fungsi tubuh berlangsung lambat
5) Dapat dibangunkan dengan mudah
c. NREM tahap III
1) Awal tahap dari keadaan tidur nyenyak
2) Sulit dibangunkan
3) Relaksasi otot menyeluruh
4) Tekanan darah menurun
5) Berlangsung 15-30 menit
d. NREM tahap IV
1) Tidur nyeyak
2) Sulit untuk dibangunkan, butuh stimulus intensif
3) Untuk restorasi dan istirahat, tonus otot menurun
4) Sekresi lambung menurun
5) Gerak bola mata cepat
2. Tahapan tidur REM
a. Lebih sulit dibangunkan dibandingkan dengan tidur NREM
b. Pada orang dewasa normal REM yaitu 20-25% dari tidur
malamnya
c. Jika individu terbangun pada tidur REM, maka biasanya terjadi
mimpi
d. Tidur REM penting untuk keseimbangan mental, emosi juga
berperan dalam belajar, memori, adaptasi
3. Karakteristik tidur REM
a. Mata : cepat tertutup dan terbuka
b. Otot-oto : kejang otot kecil, otot besar imobilisasi
c. Pernafasan : tidak teratur, kadang dengan apnea
d. Nadi : cepat dan ireguler
e. Tekanan darah : meningkat atau fluktuasi
f. Sekresi gaster : meningkat
g. Metabolisme : meningkat, temperatur tubuh naik
h. Gelombang otak : EEG aktif
i. Siklus tidur : sulit dibandingkan
2.2.6 Fungsi Tidur
Tidur dipercaya mengkontribusi pemulihan fisiologis dan
psikologis. Menurut teori, tidur adalah waktu perbaikan dan persiapan
untuk periode terjaga berikutnya. Selama tidur NREM, fungsi biologis
menurun. Laju denyut jantung normal pada orang dewasa sehat sepanjang
hari rata-rata 70 hingga 80 denyut per menit atau lebih rendah jika
individu berada pada kondisi fisik yang sempurna. Akan tetapi selama
tidur laju denyut jantung turun sampai 60 denyut per menit atau lebih
rendah. Hal ini berarti bahwa denyut jantung 10 hingga 20 kali lebih
sedikit dalam setiap menit selama tidur atau 60 hingga 120 kali lebih
sedikit dalam setiap jam. Secara jelas, tidur yang nyenyak bermanfaat
dalam memelihara fungsi jantung.
2.2.7 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tidur
1. Penyakit
Seseorang yang mengalami sakit memerlukan waktu tidur lebih
banyak dari normal. Namun demikian, keadaan sakit menjadikan
pasien kurang tidur atau tidak dapat tidur. Misalnya pada pasien
dengan gangguan pernapasan seperti asma, bronkitis, penyakit
kardiovaskular, dan penyakit persarafan.
2. Lingkungan
Pasien yang biasa tidur pada lingkungan yang tenang dan nyaman,
kemudian terjadi perubahan suasana seperti gaduh maka akan
menghambat tidurnya.
3. Motivasi
Motivasi dapat mempengaruhi tidur dan dapat menimbulkan keinginan
untuk tetap bangun dan waspada menahan kantuk.
4. Kelelahan
Kelelahan dapat memperpendek periode pertama dari tahap REM
5. Kecemasan
Pada keadaan cemas seseorang mungkin meningkatkan saraf simpatis
sehingga mengganggu tidurnya.
6. Alkohol
Alkohol menekan REM secara normal, seseorang yang tahan minum
alkohol dapat mengakibatkan insomnia dan lekas marah
7. Obat-obatan
Beberapa jenis obat yang dapat menimbulkan gangguan tidur antara
lain :
a. Diuretik : menyebabkan insomnia
b. Antidepresan : menyupresi REM
c. Kafein : meningkatkan saraf simpatis
d. Beta bloker : menimbulkan insomnia
e. Narkotika : menyupresi REM
2.2.8 Gangguan Tidur
1. Insomnia
Adalah ketidakmampuan memperoleh secara cukup kulitas dan
kuantitas tidur. Penyebab insomnia adalah ketidakmampuan fisik,
kecemasan, dan kebiasaan minum alkohol dalam jumlah banyak.
2. Hipersomnia
Berlebihan jam tidur pada malam hari, lebih dari 9 jam, biasanya
disebabkan oleh depresi, kerusakan saraf tepi, beberapa penyakit
ginjal, liver, dan metabolisme.
3. Parasomnia
Merupakan sekumpulan penyakit yang mengganggu tidur seperti
samnohebalisme (tidur sambil berjalan).
4. Narkolepsi
Suatu keadaan atau kondisi yang ditandai oleh keinginan yang tidak
terkendali untuk tidur. Gelombang otak penderita pada saat tidur sama
dengan orang yang sedang tidur normal, juga tidak terdapat gas darah
atau endoktrin.
5. Apnea tidur dan mendengkur
Mendengkur bukan dianggap sebagai gangguan tidur, namun bila
disertai apnea maka bisa menjadi masalah. Mendengkur disebabkan
oleh adanya rintangan pengeluaran udara di hidung dan mulut,
misalnya amandel, adenoid, otot-otot di belakang mulut mengendor
dan bergetar. Periode apnea berlangsung selama 10 detik sampai 3
menit.
6. Mengigau
Hampir semua orang pernah mengigau, hal itu terjadi sebelum tidur
REM
2.2.9 Alat Ukur Kualitas Tidur
Alat Ukur Kualitas Tidur Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)
adalah instrument efektif yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur
dan pola tidur orang dewasa. PSQI dikembangkan untuk mengukur dan
membedakan individu dengan kualitas tidur yang baik dan kualitas tidur
yang buruk. Kualitas tidur merupakan fenomena yang kompleks dan
melibatkan beberapa dimensi yang seluruhnya dapat tercakup dalam
PSQI.Dimensi tersebut antara lain kualitas tidur subyektif, latensi tidur
(kesulitan memulai tidur), durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan ketika
tidur, penggunaan obat tidur, terganggunya aktifitas di siang hari. Dimensi
tersebut dinilai dalam bentuk pertanyaan dan memiliki bobot penilaian
masing-masing sesuai dengan standar baku.
Validitas penelitian PSQI sudah teruji. Instrumen ini menghasilkan
7 skor yang sesuai dengan domain atau area yang disebutkan sebelumnya.
Tiap domain nilainya berkisar antara 0 (tidak ada masalah) sampai 3
(masalah berat). Nilai setiap komponen kemudian dijumlahkan menjadi
skor global antara 0-21.Skor ≤5= baik, >5-21 = buruk. PSQI memiliki
konsistensi internal dan koefisien reliabilitas (Cronbach’s Alpha) 0,83
untuk 7 komponen tersebut.

2.3 Konsep Relaksasi Otot Progresif


2.3.1 Definisi Relaksasi Otot Progresif
Relaksasi otot progresif adalah salah satu teknik relaksasi
sederhana yang melalui dua proses yaitu menegangkan dan
merelaksasikan otot tubuh pada satu bagian tubuh pada satu waktu
sehingga dapat memberikan perasaan rileks secara fisik. Dimana teknik
relaksasi otot progresif terdiri dari gerakan mengencangkan dan
melemaskan otot secara progresif yang dilakukan secara berturut-turut.
Latihan relaksasi otot progresif meliputi kombinasi latihan pernapasan
yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot.
Latihan relaksasi otot progresif pada seluruh tubuh memerlukan waktu 20
menit. Latihan relaksasi otot progresif ini bisa dilakukan secara mandiri,
sehingga seseorang akan lebih mudah untuk melakukan latihan tanpa perlu
bantuan dari orang lain. Disamping itu teknik latihan dari relaksasi otot
progresif juga dapat dilakukan dalam posisi tidur maupun dalam posisi
duduk sehingga dapat diaplikasikan dimana saja. Relaksasi otot progresif
merupakan teknik relaksasi yang sederhana dan efektif untuk mengurangi
ketegangan otot, menurunkan stes, menurunkan tekanan darah, dan dapat
pula meningkatkan kualitas tidur (Kumutha, 2014). Relaksasi otot
progresif dapat digunakan untuk merelaksasikan otot secara alami. Karena
teknik ini sangat efektif dalam mencapai respon relaksasi, mengurangi
kelelahan dan menenangkan pikiran.
Adapun hal-hal yang diperhatikan saat latihan relaksasi otot progresif
adalah (Hamarno, 2010):
a. Latihan ditempat yang tenang tanpa gangguan elektronik maupun
musik- musik latar belakang untuk membantu berkonsentrasi pada saat
otot-otot dikontraksikan,
b. Pilihlah tempat dengan suhu ruangan yang nyaman,
c. Kenakan pakaian longgar, lepaskan asesoris yang digunakan seperti
kacamata, jam tangan, dan alas kaki, yang dapat mengganggu proses
latihan,
d. Hindari makan, merokok dan minum-minuman keras sesaat sebelum
latihan, yang terbaik untuk berlatih sebelum makan daripada setelah
makan demi proses pencernaan,
e. Latihan dilakukan dengan posisi duduk atau tidur dalam keadaan yang
paling nyaman, lalu posisikan tubuh secara nyaman yaitu berbaring
dengan mata tertutup menggunakan bantal di bawah kepala dan lutut
atau duduk di kursi dengan kepala ditopang, serta hindari posisi
berdiri,
f. Gunakan interval waktu yang sama untuk semua kelompok otot,
g. Jangan menegangkan otot secara berlebihan karena dapat melukai otot
tersebut, biarkan semua otot-otot lain dalam tubuh untuk tetap santai.
2.3.2 Indikasi Relaksasi Otot Progresif
Teknik latihan relaksasi otot progresif sebagai salah satu teknik
relaksasi otot yang dapat diterapkan untuk mengatasi ansietas, insomnia,
kelelahan, kram otot, nyeri leher dan pinggang, tekanan darah tinggi,
phobia ringan dan gagap (Djawa et al., 2017). Teknik relaksasi otot
progresif pada kualitas tidur telah dikatakan memiliki efek positif yang
telah dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh (Sulidah et al., 2016)
bahwa teknik relaksasi oror progresif menimbulkan respon tenang,
nyaman dan rilkes sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur pada lansia.
2.3.3 Kontraindikasi Relaksasi Otot Progresif
Seseorang dengan gangguan muskuloskeletal seperti cedera akut,
peningkatan tekanan intrakranial, penyakit arteri koronaria yang berat,
adanya gangguan waham dan tidak mengerti instruksi serta seseorang yang
memiliki riwayat cedera serius seharusnya tidak melakukan teknik
relaksasi otot progresif (Hamarno, 2010).
2.3.4 Prosedur Relaksasi Otot Progresif
Teknik relaksasi otot progresif (Afrisandi, 2018) :
1. Persiapan
Persiapan alat dan lingkungan: kursi, bantal, serta lingkungan yang
tenang dan sunyi.
a. Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur, dan pengisian lembar
persetujuan terapi pada lansia.
b. Posisikan tubuh lansia secara nyaman yaitu berbaring dengan mata
tertutup menggunakan bantal dibawah kepala dan lutut atau duduk
dikursi dengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri.
c. Lepaskan asesoris yang digunakan seperti kacamata, jam, dan
sepatu.
d. Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal lain yang sifatnya
mengikat ketat.
2. Prosedur kerja
Gerakan 1 : Ditujukan untuk melatih otot tangan.
1. Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
2. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan
yang terjadi.
3. Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk merasakan rileks
selama 10 detik.
4. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali sehingga klien
dapat membedakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan
relaks yang dialami.
5. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.

Gerakan 2 : Ditujukan untuk melatih otot tangan bagian belakang.


Tekuk kedua lengan ke belakang pada pergelangan tangan sehingga
otot di tangan bagian belakang dan lengan bawah menegang, jari-jari
menghadap ke langit-langit.

Gambar 2.1 untuk gerakan ke 1 dan 2


Gerakan 3 : Ditujukan untuk melatih otot biseps (otot besar pada
bagian atas pangkal lengan).
1. Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
2. Kemudian membawa kedua kepalan ke pundak sehingga otot
biseps akan menjadi tegang.

Gerakan 4 : Ditujukan untuk melatih otot bahu supaya mengendur.


1. Angkat kedua bahu setinggi- tingginya seakan-akan hingga
menyantuh kedua telinga.
2. Fokuskan perhatian gerekan pada kontrak ketegangan yang terjadi
di bahu punggung atas, dan leher

Gambar 2.2 untuk gerakan ke 3 dan 4

Gerakan 5 dan 6 : Ditujukan untuk melemaskan otot-otot wajah


(seperti otot dahi, mata, rahang, dan mulut).
1. Gerakkan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi dan alis sampai
otot terasa dan kulitnya keriput.
2. Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan disekitar mata
dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata.
Gambar 2.3 untuk gerakan ke 5 dan 6

Gerakan 7 :
Ditujukan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami oleh otot
rahang. Katupkan rahang, diikuti dengan menggigit gigi sehingga
terjadi ketegangan disekitar otot rahang.

Gambar 2.4 untuk gerakan ke 7

Gerakan 8 :
Ditujukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut. Bibir
dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di
sekitar mulut.
Gambar 2.5 untuk gerakan ke 8

Gerakan 9: Ditujukan untuk merilekskan otot leher bagian depan


maupun belakang.
1. Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang baru kemudian
otot leher bagian depan.
2. Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.
3. Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi sedemikian rupa
sehingga dapat merasakan ketegangan dibagian belakang leher dan
punggung atas.

Gambar 2.6 untuk gerakan ke 9

Gerakan 10: Ditujukan untuk melatih otot leher begian depan.


1. Gerakan membawa kepala ke muka.
2. Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan ketegangan
di daerah leher bagian muka.
Gerakan 2.7 untuk gerakan ke 10

Gerakan 11: Ditujukan untuk melatih otot punggung.


1. Angkat tubuh dari sandaran kursi.
2. Punggung dilengkungkan.
3. Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10 detik, kemudian
relaks.
4. Saat relaks letakkan tubuh kembali ke kursisambil membiarkan otot
menjadi lemas.

Gambar 2.8 untuk gerakan ke 11

Gerakan 12: Ditujukan untuk melemaskan otot dada.


1. Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara
sebanyak-banyaknya.
2. Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di
bagian dada sampai turun ke perut, kemudian dilepas.
3. Saat ketegangan dilepas, lakukan napas normal dengan lega.
4. Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan perbedaan antara
kondisi tegang dan relaks

Gambar 2.9 untuk gerakan ke 12

Gerakan 13: Ditujukan untuk melatih otot perut.


1. Tarik dengan kuat perut kedalam.
2. Tahan sampai menjadi kencang dan keras selama 10 detik, lalu
dilepaskan bebas.
3. Ulangi kembali seperti gerakan awal perut ini.

Gambar 1.10 untuk gerakan ke 13

Gerakan 14: Ditujukan untuk melatih otot- otot kaki (seperti paha dan
betis).
1. Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang.
2. Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa sehingga
ketegangan pindah ke otot betis.
3. Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.
4. Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.

Gambar 2.11 untuk gerakan ke 14

3. Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Berpamitan dengan lansia
3. Mancatat kegiatan dalam lembar observasi
2.3.5 Mekanisme Relaksasi Otot Progresif Dalam Meningkatkan Kualitas
Tidur
Lansia merupakan sekelompok umur yang beresiko tinggi
mengalami gangguan tidur akibat beberapa faktor, proses patologis terkait
usia dapat menyebabkan perubahan pola tidur (Manurung & Adriani,
2017). Faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan tidur yaitu respon
terhadap penyakit, stres emosi, depresi, pengaruh lingkungan dan
penggunaan obat-obatan (Sulidah et al., 2016).
Terapi relaksasi otot progresif, akan memunculkan stres fisik pada
tubuh seseorang sehingga merangsang hipotalamus untuk melepaskan
Corticotropic Releasing Factor (CRF) (faktor pelepas kortikotropin) yang
selanjutnya merangsang sekresi Adrenocorticotropic Hormonone (ACTH).
Sewaktu terjadi sekresi ACTH dalam jumlah yang tinggi, beberapa
hormon yang memiliki sifat kimiawi yang sama, juga akan disekresikan
secara bersamaan. Sintesis ACTH mengakibatkan terjadinya pembentukan
suatu molekul protein yang lebih besar disebut POMC
(Proopimelanokortin) yang salah satunya termasuk endorfin. Adanya
sekresi endorfin inilah yang akan mengakibatkan tubuh menjadi rileks. Hal
tersebut menimbulkan perasaan tenang sehingga ketegangan berkurang.
Selain itu terjadi juga penurunan produksi hormon kortisol sehingga
memudahkan untuk istirahat tidur. Dengan adanya perasaan rileks dan
tenang individu akan lebih mudah untuk memperoleh tidur yang lelap dan
berkualitas (Guyton & Hall, 2007).
2.4 Hasil Penelitian Terdahulu
Masalah kesehatan yang sering dihadapi oleh lansia yaitu gangguan
tidur. Dan faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan tidur yaitu usia,
penyakit, lingkungan, motivasi, kelelahan, kecemasan, alkohol dan obat-
obatan. Salah satu pengobatan atau terapi secara non farmakologi untuk
mengatasi gangguan tidur adalah teknik relaksasi otot progresif. Berikut tabel
hasil dari jurnal penelitian terdahulu tentang relaksasi otot progresif terhadap
kualitas tidur pada lansia :
Tabel 2.1 Hasil Penelitian Terdahulu
No Judul Hasil Jurnal
1. Penelitian dilakukan Pengambilan data berlang Volume 4 Nomor
oleh Sulidah, Ahmad sung selama 40 hari. Terdapat 1 April 2016
Yamin, Raini Diah 51 responden, 26 kelompok
Susanti perlakuan dan 25 responden
Dengan judul : kelompok kontrol. Kelompok
Pengaruh Latihan intervensi diberikan pelatian
Relaksasi Otot ROP selama 3 hari dan 2 hari
Progresif terhadap masih uji coba selanjutnya
Kualitas Tidur lansia melakukan latihan
Lansia mandiri selama 4 minggu
dilakukan rutin menjelang
tidur. Kualitas tidur
responden diukur sebelum
dan sesudah latihan ROP.
Frekuensi responden dengan
kualitas tidur baik setelah
relaksasi otot progresif
menunjukkan kecenderungan
meningkat, sedang responden
dengan kualitas tidur buruk
cenderung berkurang. Hasil
penelitian didapatkan nilai t
hitung lebih besar dari t tabel
dan p<0,05. Oleh karena itu
dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan yang
bermakna dari kualitas tidur
lansia sebelum dan sesudah
latihan relaksasi otot
progresif.
2. Penelitian dilakukan Rata-rata skor kualitas tidur Jurnal Mutiara
oleh Rinco Siregar lansia sebelum diberikan Ners, 109-113
Dengan judul : terapi ROP 8,59 ( 1,938) dan Juli 2018, Vol.1
Pengaruh Terapi No.2
Relaksasi Otot setelah dilakukan terapi ROP
Progresive Terhadap selama 4 minggu setiap hari
Kualitas Tidur dengan durasi 15 menit, maka
Lansia di UPT rata-rata skor kualitas tidur
Pelayanan Sosial lansia menjadi 4,35 ( 1,272).
Lanjut Usia Binjai Artinya terdapat penurunan
tahun 2017 rata-rata skor kualitas tidur
sesudah dilakukan terapi
ROP. Hasil t-tes
menunjukkan ada perbedaan
skor kualitas tidur sebelum
dan sesudah di beri terapi
ROP. Pada lansia di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia
(p=0,001>0,05). Dari hasil
penelitian ini didapatkan
bahwa terapi ROP dapat
meningkatkan kualitas tidur
lansia, dimana sebelum
dilakukan terapi kualitas tidur
lansia buruk (tinggi) dan
setelah dilakukan terapi ROP
skor kualitas tidur jadi
menurun (artinya kualitas
tidur baik).
3. Penelitian dilakukan Dari penelitian yang Jurnal Ilmiah
oleh Kiki Anggini, dilakukan di Panti Jompo Pannmed
Muliani Daeli, Guna Budi Bakti dengan (Pharmacyst,
Srimawarni Zai responden berjenis kelamin Analyst, Nurse,
Dengan judul : laki-laki 10 orang dan Nutrition,
Hubungan Latihan perempuan 15 orang, jadi Midwivery,
Relaksasi Otot total keseluruhan 25 Environment,
Progresif Dengan responden. Dengan usia Dental Hygiene)
Kualitas Tidur Pada lansia dari 60-90 tahun. Vol. 15 N0. 2
Lansia Latihan ROP dilakukan Mei-Agustus 2020
selama seminggu secara rutin
dimulai dari pukul 15.00 
15-30 menit. Dan Terdapat
hasil setelah dilakukan latihan
ROP ada perubahan tingkat
kualitas tidur pada lansia
dengan durasi tidur
meningkat menjadi 7 jam
dimana hasil dari perhitungan
wilcoxon signedrank didapat
nilai Z=4.256 dengan P Value
0.000 jadi Ha diterima dan
Ho ditolak. Sehingga hal ini
terbukti adanya latihan ROP
terhadap perubahan kualitas
tidur. Tetapi jika dilihat dari
usia kualitas tidur pada lansia
dengan usia 60-79 setelah
dilakukan latihan ROP
mendapatkan hasil kualitas
tidur baik, sedangkan usia 80-
89 kualitas tidur baik sangat
kecil karena faktor fisik yang
sudah melemah.
4. Penelitian dilakukan Berdasarkan hasil penelitian Jurnal Ilmiah
oleh Rostinah yang dilakukan di Panti Keperawatan
Manurung, Tri Jompo Yayasan Guna Budi Imelda
Utami Adriani Bakti Medan Tahun 2017, Vol. 3 No. 2,
Dengan Judul : mayoritas responden memi September 2017
Pengaruh Terapi liki kualitas tidur buruk e-ISSN 2597-7172
relaksasi otot sebelum dilakukan ROP p-ISSN 2442-8108
progresif Terhadap sebanyak 66,7% dan setelah
Kualitas Tidur Pada di lakukan ROP mayoritas
Lansia di Panti responden memiliki kualitas
Jompo Yayasan tidur baik sebanyak 70,0%.
Guna Bukti Bakti Peneliti melakukan terapi
Medan Tahun 2017 ROP dengan posisi duduk di
kursi dengan kepala ditopang
dengan bantal dimana setiap
kelompok otot ditegangkan
selama 4-10 detik dan
direlaksasikan selama 10-20
detik. Terapi ini dilakukan
selama 4 minggu setiap
minggu dilakukan sebanyak 3
kali selama 15 menit. Dari
hasil uji statistik
menggunakan uji Mc. Nemar
didapatkan p value = 0,003
(P<0,05) menunjukkan bahwa
ada pengaruh terapi relaksasi
otot progresif terhadap
kualitas tidur pada lansia
yang tinggal dipanti jompo
Yayasan Guna Budi Bakti.
5. Penelitian dilakukan Penelitian dilakukan di Nursing News
oleh Yohanes Daud Posyandu Lansia Permadi Volume 2, Nomor
Djawa, Tanto RW.02 Tlogomas, Malang. 2, 2017
Hariyanto, Vita Data-data yang telah
Maryah Ardiyai dikumpulkan dianalisis
Dengan judul : dengan menggunakan uji
Perbedaan Kualitas statistik pairent t-test dengan
Tidur Sebelum dan derajat kemaknaan 0,05.
Sesudah Melakukan Berdasarkan hasil uji statistik
Relaksasi Otot paried t-test diperoleh hasil
Progresif Pada mean total sebelum
Lansia melakukan relaksasi otot
progresif adalah 12,80 dengan
SD=2,45 dan mean total
sesudah melakukan relaksasi
otot progresif adalah 4,53
dengan SD=0,99. Hasil uji
paired t-test didapatkan nilai t
adalah 10,805 mean
differences 8,266 dan nilai
signifikan yaitu 0,000. Hasil
ini menunjukkan bahwa nilai
0,000<0,05 yang berarti
terdapat perbedaan yang
signifikan dan bermakna
terhadap latihan relaksasi otot
progresif terhadap kualitas
tidur pada lansia.
6. Penelitian dilkukan Hasil analisa bivariat dengan Jurnal Ilmu
oleh Lina Indrawati, menggunakan uji komparasi Kesehatan Vol. 6
Denny Andriyani pairent t-test tentang tingkat No. 2, Mei 2018
Dengan judul : insomnia lansia sebelum dan ISSN Cetak 2303-
Pengaruh Relaksasi sesudah dilakukan ROP di 1433
Otot Progresif PSTW Budhi Dharma Bekasi ISSN Online:
Terhadap Insomnia dengan jumlah sample 2579-7301
Pada Lansia di sebanyak 33 responden
PSTW Budi Dharma (n=33) didapatkan data
Bekasi 2014 bahwa T hitung (16,142) > T
table (2,03951) dan nilai P
(0,000) < nilai alpha (0,05)
yang berarti ada perbedaan
tingkat insomnia lansia
sebelum dan setelah diberikan
latihan ROP, dimana tingkat
insomnia lansia setelah
diberikan latihan ROP
menurun (m=21,15) dan
sebelum diberikan latihan
ROP (m=29,73).
7. Penelitian dilakukan Penelitian dilakukan di BPLU ejournal
oleh : Yuliana R. Senja Cerah Paniki Keperawatan (e-
Kanender, Henry Kecamatan Mapengat Kep) Volume 3.
Palandeng, Vandri Manado dan Panti werdha Nomor 1. Maret
D. Kallo Manado dengan responden 36 2015
Dengan judul : orang. Peneliti melakukan
Pengaruh Terapi terapi ROP sebanyak 1 kali
Relaksasi Otot sehari selama 7 hari untuk
Progresif Terhadap mengukur tingkat insomnia
Perubahan Tingkat responden. Hasil analisa nilai
Insomnia Pada rata-rata tingkat insomnia
Lansia di Panti sebelum dan sesudah terapi
Werdha Manado ROP menunjukkan bahwa
terjadi penurunan nilai rata-
rata pada tingkat insomnia
sesusah ROP yaitu menjadi
1,25 dari rata-rata sebelum
terapi ROP yaitu 2,42. Dari
hasil uji Wilxocon Signed
Ranks Test menunjukkan
bahwa hasil analisa statistik
diperoleh Pvalue= 0,000 < ∝
= 0,05, maka Ha diterima,
artinya terdapat pengaruh
terapi relaksasi otot prpgresif
terhadap perubahan tingkat
insomnia pada lansia di Panti
Werdha Manado.
2.5 Kerangka Konsep

Faktor yang Relaksasi


Mempengaruhi tidur : Otot Progresif
1. Usia
2. Penyakit
Penurunan aktivitas RAS
3. Lingkungan
(Reticular Activating System) dan
4. Motivasi
noreepineprine
5. Kelelahan
6. Kecemasan
Respon relaksasi
7. Alkohol
8. Obat-obatan

Terangsangnya aktifitas system


saraf otonom parasimpatis nuclei
rafe dalam otak

Penurunan fungsi oksigen,


frekuensi nafas, denyut nadi,
ketegangan otot, tekanan darah,
serta gelombang alfa dalam otak

Mudah untuk tidur

Lansia dengan gangguan tidur

Keterangan :
Kualitas tidur baik/ peningkatan = Diteliti
kualitas tidur
= Tidak diteliti

= Berpengaruh

Gambar 2.12 Kerangka Konsep


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Strategi Pencarian Literatur


3.1.1 Protokol dan Registrasi
Rangkuman menyeluruh dalam bentuk literatur review ini yaitu
mengenai faktor yang mempengaruhi kualitas tidur pada lansia yang
melakukan terapi relaksasi otot progresif. Evaluasi dari literatur review
akan menggunakan PRISMA checklist untuk menentukan penyeleksian
studi yang telah ditemukan dan disesuaikan dengan tujuan literatur
review.
3.1.2 Database Pencarian
Literatur review yang merupakan rangkuman menyeluruh beberapa
studi penelitian yang ditentukan berdasarkan tema tertentu. Pencarian
literatur review dilakukan pada bulan September-Desember 2020. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
bukan dari pengamatan langsung, akan tetapi diperoleh dari hasil
penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Sumber
data sekunder yang didapat berupa artikel jurnal bereputasi baik Nasional
maupun Internasiona dengan tema yang sudah ditentukan. Pencarian
dalam literatur review ini menggunakan empat database dengan kriteria
kualitas tinggi dan sedang, yaitu ProQuest, Pudmed, Science Direct dan
Google Scholar.
3.1.3 Kata Kunci
Pencarian artikel atau jurnal menggunakan keyword dan boolean
operator (AND, OR NOT or AND NOT) yang digunakan untuk
memperluas atau menspesifikkan pencarian, sehingga mempermudah
dalam penentuan artikel atau jurnal yang digunakan. Kata kunci dalam
literatur review ini disesuaikan dengan Medical Subject Heading (MeSH)
dan terdiri dari sebagai berikut :
Tabel 3.1 Kata Kunci Literatur Review
Relaksasi Otot Progresif Kualitas Tidur Lansia
OR OR OR
Progresive Muscle Sleep Quality Elderly
Relaxation
OR OR
PMR Aged

3.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


Strategi yang digunakan untuk mencari artikel menggunakan PICOS
framework, yang terdiri dari :
1. Population/problem yaitu populasi atau masalah yang akan dianalisis
sesuai dengan tema yang sudah ditentukan dalam literatur review.
2. Intervention yaitu suatu tindakan penatalaksanaan terhadap kasus
perorangan atau masyarakat serta pemaparan tentang penatalaksanaan
studi sesuai dengan tema yang sudah ditentukan dalam literatur review.
3. Comparation yaitu intervensi atau penatalaksanaan lain yang digunakan
sebagai pembanding, jika tidak ada bisa menggunakan kelompok kontrol
dalam studi yang dipilih.
4. Outcome yaitu hasil atau luaran yang diperoleh pada studi terdahulu yang
sesuai dengan tema yang sudah ditentukan dalam literatur review.
5. Study design yaitu desain penelitian yang digunakan dalam artikel yang
akan di review.
Tabel. 3.2 Tabel Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria Inklusi Eksklusi
Population Lansia yang Lansia yang tidak
mengalami gangguan mengalami gangguan tidur
tidur
Intervention Intervensi diberikan Intervensi tidak diberikan
relaksasi otot progresif relaksasi otot progresif
Comparators Tidak ada pembanding
Outcomes Relaksasi otot progresif Tidak dijelaskan relaksasi
terhadap kualitas tidur otot progresif terhadap
pada lansia kualitas tidur pada lansia
Study Design Menggunakan desain Tidak menggunakan
studi Quasi desain studi Quasi
Experimental, Pra Experimental, Pra
Eksperimental, Eksperimental,
Komparatif Komparatif
Tahun Publikasi Rentang waktu Rentang waktu penerbitan
penerbitan jurnal jurnal sebelum tahun
setelah tahun 2014, full 2014, tidak full teks
teks
Bahasa Bahasa Indonesia dan Selain Bahasa Indonesia
Bahasa Inggris dan Bahasa Inggris

3.3 Seleksi Studi dan Penilaian Kualitas


3.3.1 Hasil Pencarian dan Penilaian Studi
Berdasarkan hasil pencarian literature melalui publikasi di empat
database dan menggunakan kata kunci yang sudah sesuai dengan MeSH
yaitu relaksasi otot progresif, kualitas tidur, lansia ((progresive muscle
relaxation) AND sleep quality) AND elderly peneliti mendapat 1.061
artikel yang sesuai dengan kata kunci tersebut. Hasil pencarian yang sudah
didapat kemudian diperiksa duplikasi ditemukan terdapat 212 artikel yang
sama sehingga dikeluarkan dan tersisa 849. Peneliti kemudian melakukan
skiring berdasarkan judul (n=60), abstrak (n=41), full teks (n=8) yang
sesuai dengan tema literatur review. Assessment yang dilakukan
berdasarkan kelayakan terhadap kriteria inkusi dan eksklusi didapat
sebanyak 8 artikel yang bisa dipergunakan dalam literatur review. Hasil
seleksi artikel studi digambarkan pada diagran flow di bawah ini :

Penelitian identifikasi
melalui database, ProQuest,
Pudmed, Science Direct Eksklusi (n=788)
dan Google Scholar Partisipan
(n=1.061)
Tidak fokus pada kualitas tidur
pada lansia (n=30)
Intervensi
Catatan setelah duplikasi
dihapus (n=849)

Penyaringan dan
mengidentifikasi judul
(n=60)

Penyaringan dan
mengidentifikasi abstrak
n=41
Eksklusi (n=19)
Partisipan

Full teks diambil dan dinilai Tidak fokus pada kualitas tidur
kelayakannya (n=8) pada lansia (n=3)
Intervensi
Tidak fokus pada terapi relaksasi
Studi yang termasuk dalam otot progresif (n=13)
sintesis (n=8)
Hasil
Tidak membahas terapi relaksasi
otot progresif terhadap kualitas
tidur pada lansia (n=3)

Gambar 3.1 Diagram Flow Literature Review Berdasarkan PRISMA 2009

3.3.2 Penilaian Kualitas


The Joanna Briggs Institute (JBI) Critical Appraisal untuk
beberapa jenis studi Quasi-Experimental, Pra-Eksperimental dan
Komparatif digunakan untuk menganalisis kualitas metodologi dalam
setiap studi (n=8). Checklist daftar penilaian berdasarkan The JBI Critical
Appraisal telah tersedia beberapa pertanyaan untuk menilai kualitas dan
studi. Penilaian kriteria diberi nilai ‘ya’, ‘tidak’, ‘tidak jelas’, ‘tidak
berlaku’, dan setiap kriteria dengan skor ‘ya’ diberi satu poin dan nilai
lainnya adalah nol, setiap skor studi kemudian dihitung dan dijumlahkan.
Dalam penelitian, peneliti mengecualikan studi yang berkualitas rendah
untuk menghindari bias dalam validitas hasil dan rekomendasi ulasan.
Dalam skrining terakhir, sebelas studi mencapai skor lebih tinggi dari 50%
dan siap untuk melakukan sintesis data, akan tetapi karena penilaian
terhadap resiko bias, tiga studi dikeluarkan dan artikel yang digunakan
dalan literatur review terdapat 8 buah.
Resiko bias dalam literatur review ini menggunakan asesment pada
metode penelitian masing-masing studi, yang terdiri dari :
1) Teori : Teori yang tidak sesuai, sudah kadaluwarsa, dan
kredibilitas yang kurang
2) Desain : Desain kurang sesuai dengan tujuan penelitian
3) Sample : Ada 4 hal yang harus diperhatikan yaitu populasi, sampel,
sampling, dan besar sampel yang tidak sesuai dengan kaidah
pengambilan sampel
4) Variabel : Variabel yang ditetapkan kurang sesuai dari segi jumlah,
pengontrolan variabel perancu, dan variabel lainnya
5) Instrumen : Instrumen yang digunakan tidak memiliki sesitivitas,
spesivikasi dan validitas-reliabilitas
6) Analisis Data : Analisis data tidak sesuai dengan kaidah analisis yang
sesuai dengan standar.

JBI Critical Appraisal Checklist for Systematic Reviews and Research


Syntheses
Reviewe Date

Author Year Record Number

Not
Yes No Unclear
applicable

1. Is the review question clearly and explicitly stated?


2. Were the inclusion criteria appropriate for the review
question?
3. Was the search strategy appropriate?
4. Were the sources and resources used to search for
Studies adequate?
5. Were the criteria for appraising studies appropriate?
6. Was critical appraisal conducted by two or more
reviewers independently?
7. Were there methods to minimize errors in data
extraction?
8. Were the methods used to combine studies
appropriate?
9. Was the likelihood of publication bias assessed?
10. Were recommendations for policy and/or practice
supported by the reported data?
11. Were the specific directives for new research
appropriate?

Overall appraisal : include Exclude Seek further info

Comments (Including reason for exclusion)

Daftar Pustaka

Afrisandi, Y. (2018). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Perubahan


Gangguan Tidur (Insomnia) Pada Lansia Di Posyandu Mawar Desa
Kledokan Kecamantan Bendo Kabupaten Magetan. Stikes Bhakti Husada
Mulia Madiun.
Aspiani, R. (2014). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik Aplikasi Nanda Nic
dan Noc Jilid 1. TIM.
Azizah, L. (2011). Keperawatan Lanjut Usia (Cet. 1). Graha Ilmu.
Dewi, S. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik (E. Supriyanto (ed.); 1st ed.).
CV BUDI UTAMA.
Djawa, Y. D., Hariyanto, T., & Ardiyani, V. M. (2017). Perbedaan Kualitas Tidur
Sebelum Dan Sesudah Melakukan Relaksasi Otot Progresif Pada Lansia.
Nursing News, 2(2), 595–606. https:// publikasi. unitri. ac.id /index. php/
fikes/article/view/450/368
Guyton, A., & Hall, J. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC.
Hamarno, R. (2010). Setyosni & Kushariyadi, 2011 [Universitas Indonesia].
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20285357-T Rudi Harmono.pdf
Handayani, S., Swasana, A. E., Purnomo, R. T., & Agustina, N. W. (2019). The
Improvement of Sleep Quality through the Combination of Progressive
Muscle Relaxation and Murottal Therapy among Elderly. Journal of
Physics: Conference Series, 1179(1). https://doi.org/10.1088/1742-
6596/1179/1/012127
Hardani, P. T., Susanti, Y., & Putri, E. (2016). Relaksasi Otot Progresif Dalam
Mengatasi Insomnia. Jurnal Keperawatan Jiwa, 4(1), 40–44.
Hidayat, A. A. A., & Uliyah, M. (2005). Kabutuhan Dasar Manusia (M. Ester
(ed.); 1st ed.). Buku Kedokteran EGC.
Indrawati, Li., & Andriyani, D. (2018). Pengaruh Relaksasi Otot Progresif
terhadap Insomnia pada Lansia di PSTW Budhi Dharma Bekasi 2014.
Jurnal Ilmu Kesehatan, 6 No. 2, 140–146.
Khasanah, K. (2012). Kualitas Tidur Lansia Balai Rehabilitasi Sosial
“MANDIRI.” Jurnal Nursing Studies, 1, Nomor 1.
Kumutha. (2014). Effectiveness of Progressive Muscle Relaxation Technique on
Stress and Blood Pressure among Elderly with Hypertension. IOSR
Journal of Nursing and Health Science (IOSR-JNHS), 3(4), 1–6.
Manurung, R., & Adriani, T. U. (2017). Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progresif
Terhadap Kualitas Tidur pada Lansia di Panti Jompo Yayasan Guna Budi
Bakti Medan Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Keperawatan IMELDA, 3(2),
294–306.
Nugroho, W. (2008). Keperawatan Gerontik dan Geriatrik (3rd ed.). EGC.
Örsal, Ö., Alparslan, G. B., Özkaraman, A., & Sönmez, N. (2014). The effect of
relaxation exercises on quality of sleep among the elderly: Holistic nursing
practice review copy. Holistic Nursing Practice, 28(4), 265–274.
https://doi.org/10.1097/HNP.0000000000000032
Padila. (2013). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Nuha Medika.
Pramono, T. (2018). Profil Penduduk Lanjut Usia Provinsi Jawa Timur 2018 (V.
Paramita (ed.)). © Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur.
https://doi.org/978-623-7521-08-2
Rafknowledge. (2004). Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya.
Saryono, & Widiani, A. (2011). Catatan Kuliah Kebutuhan Dasar Manusia
(KDM). Nuha Medika.
Siregar, R. (2018). Pengaruh Terapi Relaksasi Otot Progressive Terhadap Kualitas
Tidur Lansia di UPT Pelayanan Sosial Lanjut Usia Binjai tahun 2017.
Jurnal Mutiara Ners, 1, 109–113.
Sulidah, S., Yamin, A., & Diah Susanti, R. (2016). Pengaruh Latihan Relaksasi
Otot Progresif terhadap Kualitas Tidur Lansia. Jurnal Keperawatan
Padjadjaran, v4(n1), 11–20. https://doi.org/10.24198/jkp.v4n1.2
Sunaryo, Wijayanti, R., Kuhu, M., Sumedi, T., Widayanti, E., Sukrillah, U.,
Riyadi, S., & Kuswati, A. (2015). Asuhan Keperawatan Gerontik (P.
Christin (ed.)). CV. ANDI OFFSET.
Triningtyas, D., & Muhayati, S. (2018). MENGENAL LEBIH DEKAT TENTANG
LANJUT USIA (E. Riyanto (ed.); Ke-1). CV. AE MEDIA GRAFIKA.
Wahyuni, D., & Riyanto, A. (2019). PERBEDAAN PENGARUH SENAM LANSIA
DAN LATIHAN RELAKSASI OTOT PROGRESIF TERHADAP
KUALITAS TIDUR LANSIA DI POSYANDU EDI YUSWO WIROTOMO.

Anda mungkin juga menyukai