Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN DENGAN KASUS PENURUNAN

FUNGSI PENGLIHATAN PADA NY R DI PANTI SOSIAL


TRESNA WERDHA ”GAUMA BAJI GOWA”
SULAWESI SELATAN

DISUSUN OLEH:

Nama: Alfian, S.Kep


Nim : 17.04.053

CI LAHAN CI INSTITUSI

( ) ( )

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


STIKES PANAKUKANG MAKASSAR
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
TAHUN 2017/2018
LAPORAN PENDAHULUAN UMUM

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Menua atau menjadi tua adalah suatu proses alami yang terjadi dalam
kehidupan manusia, yang dimulai dari anak, dewasa, hingga akhirnya
menjadi tua, dan merupakan sesuatu yang harus terjadi dan tidak dapat
dihindari oleh siapapun. Menua menyebabkan beberapa perubahan dalam
diri seseorang, baik dari segi anatomis, fisiologis, dan psikologis, dan hal
tersebut mempengaruhi fungsi dan kehidupan seseorang secara
keseluruhan. Dalam penuaan terjadi kemunduran, misalnya kemunduran
fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur dan keriput, rambut
memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan
memburuk, gerakan lambat dan bentuk tubuh yang tidak lagi proposional.
Gangguan sistem penglihatan pada lansia merupakan salah satu masalah
penting yang dihadapi oleh lansia. Terjadinya penurunan fungsi
penglihatan pada lansia membuat kepercayaan diri lansia berkurang dan
mempengaruhi dalam pemenuhan aktivitas sehari- hari. Perubahan sistem
penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan
termasuk penurunan kemampuan untuk melakukan akomodasi, konstriksi
pupil akibat penuaan, dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata
(katarak).
Mata adalah organ sensorik yang mentransmisikan rangsang melalui
jaras pada otak ke lobus oksipitalis dimana rasa penglihatan ini diterima.
Sesuai dengan proses penuaan yang terjadi, tentunya banyak perubahan
yang terjadi, diantaranya alis berubah kelabu, dapat menjadi kasar pada
pria, dan menjadi tipis pada sisi temporalis baik pada pria maupun wanita.
Konjungtiva menipis dan berwarna kekuningan, produksi air mata oleh
kalenjar lakrimalis yang berfungsi untuk melembabkan dan melumasi
konjungtiva akan menurun dan cenderung cepat menguap, sehingga
mengakibatkan konjungtiva lebih kering.
Pada mata bagian dalam, perubahan yang terjadi adalah ukuran pupil
menurun dan reaksi terhadap cahaya berkurang dan juga terhadap
akomodasi. Lensa menguning dan berangsur-angsur menjadi lebih buram
mengakibatkan katarak, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk
menerima dan membedakan warna-warna. Kadang warna gelap seperti
coklat, hitam dan marun tampak sama, pandangan dalam area yang suram
dan adaptasi terhadap kegelapan berkurang (sulit melihat dalam cahaya
gelap) menempatkan lansia pada resiko cedera. Sementara cahaya
menyilaukan dapat menyebabkan nyeri dan membatasi kemampuan untuk
membedakan objek-objek dengan jelas. Semua hal diatas dapat
mempengaruhi kemampuan fungsional para lansia.

B. PERUBAHAN TERKAIT USIA PADA FUNGSI PENGLIHATAN


1. Perubahan Anatomi mata
a. Perubahan sistem lakrimalis
Pada usia lanjut seringkali dijumpai keluhan nrocos. Kegagalan
fungsi pompa pada system kanalis lakrimalis disebabkan oleh
karena kelemahan palpebra, eversi punctum atau malposisi
palpebra sehingga akan menimbulkan keluhan epifora. Namun
sumbatan system kanalis lakrimalis yang sebenarnya atau
dacryostenosis sering dijumpai pada usia lanjut, diman dikatakan
bahwa dacryostenosis akuisita tersebut lebih banyak dijumpai pada
wanita dibanding pria. Adapun patogenesia yang pasti terjadinya
sumbatan ductus nasolakrimalis masih belum jelas, namun diduga
oleh karena terjadi proses jaringan mukosa dan berakibat terjadinya
sumbatan.
Setelah usia 40 tahun khususnya wanita pasca menopause
sekresi basal kelenjar lakrimal secara progesif berkurang. Sehingga
seringkali pasien dengan sumbatan pada duktus nasolakrimalis tak
menunjukkan gejala epifora oleh karena volume air matanya
sedikit. Akan tetapi bilamana sumbatan sistim lakrimalis tak nyata
akan memberi keluhan mata kering yaitu adanya rasa tidak enak
seperti terdapat benda asing atau seperti ada pasir, mata tersa leleh
dan kering bahkan kabur. Sedangkan gejala obyektif yang
didapatkan diantaranya konjungtiva bulbi kusam dan menebal
kadang hiperaemi, pada kornea didapatkan erosi dan filamen.
Periksa yang perlu dilakukan adalah Schirmer, Rose Bengal, “Tear
film break up time
b. Perubahan refraksi
Pada orang muda, hipermetrop dapat diatasi dengan kontraksi
muskulus silisris. Dengan bertambahnya usia hipermetrop laten
menjadi lebih manifest karena hilangnya cadangan akomodasi.
Namun bila terjadi sclerosis nucleus pada lensa, hipermetrop
menjadi berkurang atau terjadi miopisasi karena proses kekeruhan
di lensa dan lensa cenderung lebih cenbung.
Perubahan astigmat mulai terlihat pada umur 10-20 tahun
dengan astigmat with the rule 75,5% dan astigmat against the
rule 6,8%. Pada umur 70-80 tahun didapatkan keadaan
astigmat with the rule 37,2% dan against the rule 35%. Factor-
faktor yang mempengaruhi perubahan astigmat antara lain kornea
yang mengkerut oleh karena perubahan hidrasi pada kornea, proses
penuaan pada kornea.
Penurunan daya akomodasi dengan manifestasi presbiopia
dimana seseorang akan kesulitan untuk melihat dekat dipengaruhi
oleh berkurangnya elastisitas lensa dan perubahan pada muskulus
silisris oleh karena proses penuaan.
c. Produksi humor aqueous
Pada mata sehat dengan pemeriksaan Fluorofotometer
diperkirkan produksi H.Aqueous 2.4 + 0,06 micro liter/menit.
Beberapa factor berpengaruh pada produksi H.Aqueous. dengan
pemeriksaan fluorofotometer menunjukkan bahwa dengan
bertambahnya usia terjadi penurunan produksi H.Aqueous 2%
(0,06 mikro liter/menit) tiap decade. Penurunan ini tidsak sebanyak
yang diperkirakan, oleh karena dengan bertambahnya usia
sebenarnya produksi H.Aqueous lebih stabil disbanding perubahan
tekanan intra okuler atau volume COA.
d. Perubahan struktur kelopak mata
Dengan bertambahnya usia akan menyebabkan kekendoran seluruh
jaringan kelopak mata. Perubahan ini yang juga disebut dengan
perubahan involusional terjadi pada :
a) M.orbicular
Perubahan pada m.orbicularis bias menyebabkan perubahan
kedudukan palpebra yaitu terjadi entropion atau ektropion.
Entropion/ektropion yang terjadi pada usia lanjut disebut
entropion/ekropion senilis/ involusional. Adapun proses
terjadinya mirip, namun yang membedakan adalah perubahan
pada m.orbicularis preseptal dimana enteropion muskulus
tersebut relative stabil.
Pada ektropion, bila margo palpebra mulai eversi, konjungtiva
tarsalis menjadi terpapar (ekspose), ini menyebabkan inflamasi
sekunder dan tartus akan menebal sehingga secara mekanik
akan memperberat ektropionnya.
b) Retractor palpebra inferior
Kekendoran retractor palpebra inferior mengakibatkan tepi
bawah tarsus rotasi/ berputar kearah luar sehingga
memperberat terjadinya entropion.
c) Tartus
Bilaman tartus kurang kaku oleh karena proses atropi akan
menyebabkan tepi atas lebih melengkung ke dalam sehingga
entropion lebih nyata.
d) Tendo kantus medial/lateral
Perubahan involusional pada usia lanjut juga mengenai tendon
kartus medial/ lateral sehingga secar horizontal kekencangan
palpebra berkurang.
Perubahan-perubahan pada jaringan palpebra juga diperberat
dengan keadaan dimana bola mata pada usia lanjut lebih
enoftalmus karena proses atropi lemak orbita. Akibatnya
kekencangan palpebra secara horizontal relative lebih nyata.
Jadi apakah proses involusional tersebut menyebabkan margo
palpebra menjadi inverse atau eversi tergantung perubahan-
perubahan yang terjadi pada m.orbikularis oculi, retractor
palpebra inferior dan tarsus.
e) Aponeurosis muskulus levator palpebra
Dengan bertambahnya usia maka aponeurosis m.levator
palpebra mengalami disinsersi dan terjadi penipisan, akibatnya
terjadi blefaroptosis akuisita. Meskipun terjadi perubahan pada
aponeurosis m.levator palpebra namun m.levatornya sendiri
relative stabil sepanjang usia. Bial blefaroptosis tersebut
mengganggu penglihatan atau secara kosmetik menjadi keluhan
bias diatasi dengan tindakan operasi.
f) Kulit
Pada usia lanjut kulit palpebra mengalami atropi dan
kehilangan elastisitasnya sehingga menimbulkan kerutan dan
lipatan-lipatan kulit yang berlebihan. Keadaan ini biasanya
diperberat dengan terjadinya peregangan septum orbita dan
migrasi lemak preaponeurotik ke arterior. Keadaan ini bisa
terjadi pada palpebra superior maupun inferior dan disebut
sebagai dermatokalis.
C. FAKTOR-FAKTOR RESIKO
Ada berbagai faktor yang menyebabkan kelainan penglihatan
(ketunanetraan) seperti kelainan struktur mata atau penyakit yang
menyerang cornea, lensa, retina, saraf mata dan lain sebagainya. Di
samping itu kelainan penglihatan juga dapat diperoleh karena faktor
keturunan misalnya perkawinan antar saudara dekat dapat meningkatkan
kemungkinan diturunkannya kondisi kelainan penglihatan. Secara garis
besar kelainan penglihatan dapat disebabkan karena beberapa hal yaitu:
a) Kelainan Refraksi
Bagi seseorang yang mengalami kelainan refraksi (pembiasan
cahaya) tanpa disertai gangguan lain, biasanya dapat diperbaiki
penglihatannya hingga menjadi normal dengan menggunakan kaca
mata atau lensa kontak. Bagi penyandang kelainan refraksi yang
telah dikoreksi dengan kaca mata biasanya tidak ada masalah
dengan penglihatannya kecuali jika kaca mata atau lensa kontak
yang diresepkan baginya tidak dipakai. Beberapa kelainan refraksi
meliputi:
b) Myopia dan Hyperopia
Dalam penglihatan normal, berkas cahaya paralel yang datang
dari jauh akan terfokus pada retina. Jika bola mata terlalu panjang
dari depan ke belakang, maka berkas cahaya itu terfokus di depan
retina dan hal ini mengakibatkan penglihatan menjadi kabur atau
buram.
Seseorang yang mengalami myopia sering dikatakan memiliki
penglihatan dekat (nearsightedness) karena ketajaman
penglihatannya bagus pada jarak dekat tetapi mengalami masalah
pada jarak jauh. Pada penderita myopia image obyek yang dilihat
tidak jelas, masalah ini terjadi selain karena bola mata lebih besar
dari pada yang normal juga dapat terjadi pada bola mata yang
normal tetapi elastisitas lensanya kurang baik dan kekuatan refraksi
lensa dan cornea menguat.
Dalam kebanyakan kasus myopia, pemanjangan bola mata itu
hanya sedikit dan tidak terus memanjang, dan koreksi dapat
dilakukan dengan pemakaian kaca mata. Akan tetapi, dalam
sejumlah kecil kasus myopia, bola mata memanjang terus. Kondisi
ini dikenal dengan istilah progressive myopia atau high myopia,
dan ketajaman penglihatan yang normal tidak akan dapat dicapai
dengan pemakaian kaca mata ataupun lensa kontak. .
Sebaliknya jika bola mata lebih kecil dari yang normal atau
lensa dalam keadaan tidak dapat berakomodasi dengan baik
sehingga bentuknya cenderung cekung, akibatnya image obyek
yang sedang dilihat difokuskan di belakang retina dan pada kondisi
seperti ini penderita merasakan penglihatannya menjadi kabur.
Kelainan seperti ini disebut hyperopia atau penglihatan jauh
(farsightedness). Penderita hyperopia mengalami penurunan
ketajaman penglihatan dan mengalami gangguan penglihatan pada
jarak dekat tetapi normal pada jarak jauh.
Dalam kasus hyperopia yang parah penglihatan menjadi tidak
efektif. Hyperopia sederhana dapat dikoreksi hingga ke penglihatan
normal dengan mengunakan lensa cembung (lensa plus) sehingga
berkas cahaya terfokus pada retina. Permasalahan biasanya timbul
hanya apabila kondisi ini disertai kondisi penglihatan lain seperti
katarak. Dalam kasus seperti ini, meskipun kaca mata akan
diresepkan, tetapi ketajaman penglihatan tetap akan berkurang dan
kondisi ini dapat disertai dengan keadaan juling.
c) Presbyopia
Dengan meningkatnya usia, seseorang pada umumnya
mengalami penurunan fungsi akomodasi sehubungan dengan
lemahnya elastisitas lensa dan cairan lensa yang mengeras. Oleh
karena gangguan penglihatan ini umumnya berkaitan dengan
meningkatnya usia maka, keadaan ini disebut presbyopia.
Presbyopia biasanya terjadi pada usia 40-an dan penderita
mengalami penurunan ketajaman penglihatan dan mengalami
gangguan untuk membaca. Seseorang yang mengalami presbyopia
dapat dibantu dengan sepasang kaca mata yang memiliki dua lensa.
Lensa semacam ini disebut lensa bifocals, satu lensa untuk
membantu menyebarkan (diverge) cahaya dan yang lain untuk
memfokuskan (converge) cahaya.
d) Astigmatism
Penyebab utama astigmatism adalah bervariasinya daya
refraksi cornea atau lensa akibat kelainan dalam bentuknya
permukaannya. Hal ini mengakibatkan distorsi pada image yang
terbentuk pada macula. Bila kasusnya sederhana, kondisi ini dapat
dikoreksi dengan memakai kaca mata dengan lensa silindris, tetapi
permasalahan menjadi lebih berat bila kondisi ini disertai myopia
dan hypermetropia. Bila disertai dengan jenis gangguan
penglihatan lain, koreksinya akan menjadi sulit dan dapat 
mengakibatkan berkurangnya ketajaman penglihatan bahkan
kebutaan.

D. KONSEKUENSI FUNSIONAL
Konsekuensi fungsional negative akibat dari resiko kerusakan fungsi
karediovaskuler adalah Kornea lebih berbentuk skeris, Sfingter pupil
timbul sklerosis dan hilangnya respon, Lensa lebih suram (kekeruhan pada
lensa), Meningkatnya ambang pengamatan sinar : daya adaptasi terhadap
kegelapan lebih lambat, susah melihat dalam cahaya gelap, Hilangnya
daya akomodasi, Menurunnya lapang pandang & berkurangnya luas
pandang.
BAB II
KONSEP KEPERAWATAN
A. PENKAJIAN
1. Identitas / Data Biografi
Berisi nama, usia, jenis kelamin, alamat, dan keterangan lain mengenai
identitas pasien.
2. Riwayat penyakit sekarang
3. Merupakan penjelasan dari keluhan utama. Misalnya yang sering
terjadi pada pasien dengan katarak adalah penurunan ketajaman
penglihatan.
4. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit sistemik yang di miliki oleh pasien seperti
DM, hipertensi, pembedahan mata sebelumnya, dan penyakit
metabolic lainnya memicu resiko katarak.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga
6. Pada pengkajian klien dengan gangguan mata ( katarak ) kaji riwayat
keluarga apakah ada riwayat diabetes atau gangguan sistem vaskuler,
kaji riwayat stress, alergi, gangguan vasomotor seperti peningkatan
tekanan vena, ketidakseimbangan endokrin dan diabetes, serta riwayat
terpajan pada radiasi, steroid / toksisitas fenotiazin.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri b.d peningkatan tekanan intra okuler (TIO) yang ditandai dengan
mual dan muntah.
2. Gangguan persepsi sensori: penglihatan b.d gangguan penerimaan;
gangguan status organ ditandai dengan kehilangan lapang pandang
progresif.
3. Ansietas b.d faktor fisilogis, perubahan status kesehatan, adanya nyeri,
kemungkinan/kenyataan kehilangan penglihatan ditandai dengan
ketakutan, ragu-ragu, menyatakan masalah tentang perubahan kejadian
hidup.
4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis,
dan pengobatan b.d kurang terpajan/tak mengenal sumber, kurang
mengingat, salah interpretasi, ditandai dengan ;pertanyaan, pernyataan
salah persepsi, tak akurat mengikuti instruksi, terjadi komplikasi yang
dapat dicegah.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri b.d peningkatan tekanan intra okuler (TIO) yang ditandai dengan
mual dan muntah.
Tujuan: Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil:
a) Pasien mendemonstrasikan pengetahuan akan penilaian
pengontrolan nyeri
b) Pasien mengatakan nyeri berkurang/hilang
c) Ekspresi wajah rileks
Intervensi:
a) Kaji tipe intensitas dan lokasi nyeri
b) Kaji tingkatan skala nyeri untuk menentukan dosis analgesic
c) Anjurkan istirahat ditempat tidur dalam ruangan yang tenang
d) Atur sikap fowler 300 atau dalam posisi nyaman.
e) Hindari mual, muntah karena ini akan meningkatkan tio
f) Alihkan perhatian pada hal-hal yang menyenangkan
g) Berikan analgesik sesuai anjuran

2. Gangguan persepsi sensori: penglihatan b.d gangguan penerimaan;


gangguan status organ ditandai dengan kehilangan lapang pandang
progresif.
Tujuan: Penggunaan penglihatan yang optimal
Kriteria Hasil:
a) Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan.
b) Pasien akan mempertahankan lapang ketajaman penglihatan tanpa
kehilangan lebih lanjut.
Intervensi:
a) Pastikan derajat/tipe kehilangan penglihatan.
Rasional: Sementara intervensi dini mencegah kebutaan, pasien
menghadapi kemungkinan/mengalami pengalaman kehilangan
penglihatan sebagian atau total.
b) Dorong mengekspresikan perasaan tentang kehilangan/
kemungkinan kehilangan penglihatan.
Rasional: Mempengaruhi harapan masa depan pasien dan pilihan
intervensi.
c) Tunjukkan pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan,
menikuti jadwal, tidak salah dosis.
Rasional: Mengontrol TIO, mencegah kehilangan penglihatan
lanjut.
d) Lakukan tindakan untuk membantu pasien yang mengalami
keterbatasan penglihatan, contoh, kurangi kekacauan,atur perabot,
ingatkan memutar kepala ke subjek yang terlihat; perbaiki sinar
suram dan masalah penglihatan malam.
Rasional: Menurunkan bahaya keamanan b/d perubahan lapang
pandang atau kehilangan penglihatan dan akomodasi pupil thd
sinar lingkungan
e) Kolaborasi obat sesuai dengan indikasi.
Rasional: Memisahkan badan siliar dr sclera untuk memudahkan
aliran keluar akueus humor.

3. Ansietas b.d faktor fisilogis, perubahan status kesehatan, adanya nyeri,


kemungkinan/kenyataan kehilangan penglihatan ditandai dengan
ketakutan, ragu-ragu, menyatakan masalah tentang perubahan kejadian
hidup.
Tujuan: Cemas hilang atau berkurang
Kriteria Hasil:
a) Pasien tampak rileks dan melaporkan ansitas menurun sampai
tingkat  dapat diatasi
b) Pasien menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah.
c) Pasien menggunakan sumber secara efektif.
Intervensi:
a) Kaji tingkat ansitas, derajat pengalaman nyeri/timbul nya gejala
tiba-tiba dan pengetahuan kondisi saat ini.
Rasional: Faktor ini mempengaruhi persepsi pasien terhadap
ancaman diri, potensial siklus insietas, dan dapat mempengaruhi
upaya medik untuk mengontrol TIO.
b) Berikan informasi yang akurat dan jujur.
Rasional: Menurunkan ansiets b/d ketidak tahuan / harapan yang
akan datang dan memberikan dasar fakta untuk membuat pilihan
info ttg pengobatan.
c) Dorong pasien untuk mengakui masalah dan mengekspresikan
perasaan.
Rasional: Memberi kesempatan pasien menerima situasi nyata,
mengklarifikasi salah konsepsi dan pemecahan masalah.
d) Identifikasi sumber/orang yang menolong.
Rasional: Memberikan keyakinan bhw pasien tdk sendiri dlm
menghadapi masalah.
4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis,
dan pengobatan b.d kurang terpajan/tak mengenal sumber, kurang
mengingat, salah interpretasi, ditandai dengan ;pertanyaan, pernyataan
salah persepsi, tak akurat mengikuti instruksi, terjadi komplikasi yang
dapat dicegah.
Tujuan: Klien mengetahui tentang kondisi,prognosis dan
pengobatannya.
Kriteria Hasil:
a) Pasien menyatakan pemahaman kondisi, prognosis,
dan pengobatan.
b) Mengidentifikasi hubungan antar gejala/tanda dengan proses
penyakit.
c) Melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan alasan
tindakan.

Intervensi:
a) Diskusikan perlunya menggunakan identifikasi,                     
b) Tunjukkan tehnik yang benar pemberian tetes mata.
Rasional: Meningkatkan keefektifan pengobatan. Memberikan
kesempatan pasien menunjukan kompetensi dan menanyakan
pertanyaan.
c) Izinkan pasien mengulang tindakan.
d) Kaji pentingnya mempertahankan jadwal obat, contoh tetes mata.
Diskusikan obat yang harus dihindari, contoh midriatik, kelebihan
pemakaian steroid topikal.
Rasional: Penyakit ini dapat di control dan mempertahankan
konsistensi program obat adalah control vital. Beberapa obat
menyebabkan dilatasi pupil, peningkatan TIO dan potensial
kehilangan penglihatan tambahan
e) Identifikasi efek samping/reaksi merugikan dari pengobatan 
(penurunan nafsu makan, mual/muntah, kelemahan, jantung tak
teratur, dll).
Rasional: Dapat mempengaruhi rentang dari ketidak nyamanan
sampai ancaman kesehatan berat.
f) Dorong pasien membuat perubahan yang perlu untuk pola hidup.
Rasional: Pola hidup tenang menurunkan respon emosi thd stres,
mencegah perubahan okuler yang mendorong iris kedepan, yang
dpt mencetuskan serangan akut.
g) Dorong menghindari aktivitas,seperti mengangkat
berat/mendorong, menggunakan baju ketat dan sempit.
Rasional: Dapat meningkatkan TIO yang mencetuskan serangan
akut.
h) Diskusikan pertimbangan diet, cairan adekuat dan makanan  
berserat.
Rasional: Mempertahankan konsistensi feses untuk menghindari
konstipasi.
i) Tekankan pemeriksaan rutin.
Rasional: Untuk mengawasi kemajuan penyakit dan
memungkinkan intervensi dini dan mencegah kehilangan
penglihatan lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, Marilyan E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Alih bahasa: I Made


Kariasa. Jakarta . EGC

Long, C Barbara. 1996.Perawatan Medikal Bedah : 2.Bandung. Yayasan Ikatan


Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran

Luckman&Sorensen.1980.Medical-Surgical Nursing a Psychophysiologic


Approach.United States of America: W.B. Sunders Company (1986-1990)

Herman.2010.Prevalensi kebutaan akibat glaukoma di kabupaten tapanuli


selatan (hal 2).Available from

http:repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6399/1/10E00177.pdf (diakses 10
oktober 2010)

Barbara,dkk.1999.Medical-Surgical Nursing.United States of America:


Lippincott(642-645)

Marilynn, dkk.1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.Jakarta : EGC

Ilyas, sidarta. 2009. Dasar-dasar pemeriksaan dalam ilmu penyakit mata. Edisi 3.
Jakarta:Balai Pustaka.

Ilyas, sidarta. 2009. Ilmu penyakit mata. Jakarta : Balai penerbit FKUI
Model Promosi Kesehatan Fungsi penurunan penglihatan

(Resiko Kerusakan Fungsi penglihatan)

Perubahan Terkait Usia Faktor Risiko

(Faktor Internal) (Faktor Eksternal)

 Perubahan pada jaringan palpebra  Penurunnan kemampuan


Etiologi
penglihatan
 kegagalan fungsi pompa sistem
 gangguan pemusatan
kanalis lakrimalis
 Arkus Senilis penglihatan
 Muskulus siliaris menjadi tebal  Glaucoma
 Katarak

Masalah

 Glaucoma
 Katarak
 Gangguan presepsi sensori

Intervensi

 Memberikan pendidikan kesehatan


terkait dengan gangguan
penglihatan
 Mengontrol pemberian obat tetes
mata untuk mencegah kehilangan
penglihatan lebih lanjut
 Perhatikan keluhan penglihatan
kabur
 Monitoring aktvitas ( aktivitas
dikurangi)

Anda mungkin juga menyukai