Anda di halaman 1dari 38

Akuntabilitas Aparatur Pemda dalam Era Good Governance dan Otonomi

Daerah
I. New Publick Management dan Good Governance
Pada saat konferensi dua tahunan APSA (Australasian Political Science
Association) pada tahun 2004 di Adelaide, Australia seorang perintis
paradigma good governance, Rhodes, berulang kali mengucapkan istilah
“hollowing” yang ditujukan pada pencekungan fungsi pemerintah. Pemerintah
mengalami penyusustan dalam aktifitas-aktifitas langsung yang berhubungan
dengan publik. Maksudnya pemerintah berperan sebagai pengatur dan
pengontrol daripada pelaksana langsung. Si pelaksana layanan publik diberikan
kepada masyarakat terutama sektor privat. Privatisasi dan marketisasi fungsi
pemerintah merupakan pilihan strategi kebijakan dalam era “New Public
Management”. Pierre (2000) menyebutkan perspektif ini mempromosikan
marketisasi (marketization) sektor publik, maksudnya penggunaan manajemen
kontrak, privatisasi, membuka alternatif pelayanan sehingga konsumen
mempunyai pilihan.
Dalam era ini, aparatur dan birokrasi pemerintah juga mengalami
pergeseran paradigma ke masa dimana penggunaan teknik manajemen sektor
privat dipergunakan di sektor pemerintahan. Pada halaman pembuka buku
berjudul “New Public Management” karya Lane (2000) ditulis: “New public
management is a topical phare to describe from the private sector are now
being applied to public services”. Perspektif ini mereformasi pendekatan
manajemen pelayanan publik sebelumnya yang menggunakan pendekatan
birokrasi. Teknik manajemen yang biasa digunakan disektor bisnis telah mulai
terbiasa digunakan di sektor pemerintahan, seperti teknik pengukuran kinerja,
pembangunan visi dan misi untuk pemerintahan lokal dan BUMD (Badan
Uusaha Milik Daerah). Inefisiensi unsur sektor pemerintaha termasuk BUMD
menyebabkan pendekatan ini mendapatkan tempat, apalagi didukung realita
anggaran pemerintah yang mengalami defisit dan keharusan membayar hutang
luar negeri. Beberapa unit-unit pemerintahan dan badan usaha milik
pemerintah yang mengurus anggaran pemerintah diefisienkan, bahkan ada
yang telah diprivatisasi ke pihak swasta. Walaupun aspek politis dibalik
gerakan efisiensi ini juga kadang cukup kental untuk beberapa kasus, sehingga
privatisasi tidak murni lagi dalam koridor ‘New Public Management’ karena
ada beberapa badan usaha milik pemerintah yang cukup efisien dan
menguntungkan tapi juga ikut dijual.
Pada gerakan “New Public Management” diatas, yang perlu dikritisi
adalah bagaimana agar fungsi ‘serving’ dari pelayanan publik tetap melekat
walaupun pemainyya telah bergeser ke sektor swsta, karena dikuatirkan fungsi
‘serving’ tersebut telah ditingggalkan seiring dengan besarnya pemain tersebut
(baca Denhardt and Denhardt, 2003 dalam bukunya The New Public Service).
Bagaimana dalam kondisi tersebut aparatur dan birokrasi pemerintahan
melaksanakan fungsi pelayanan dengan tetap menjungjung prinsip keadilan,
pemerataan dan kepantasan terutama bagi masyarakat yang tetinggal. Strategi-
strategi dalam “New Public Management” berpotensi untuk melangggengkan
bentuk konglomerasi lokal antara pemerintah dan pelaku bisnis (penguasa dan
pengusaha), yang bertolak belakang dengan semangat menentang praktik-
praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Dominasi peran pemeritah dan
swasta perlu diimbangi dengan pemberian hak dan wewenang yang
proporsional bagi rakyat (‘citizen’) untuk melaksanakan fungsi akuntabilitas.
Urgensinya paradigma good governance dalam merespon hal-hal diatas
adalah untuk tetap mempertahankan fungsi ‘serving’ dari pelayanan publik
melalui akuntabilitas, walaupun dalam kondisi beberapa sector pelayanan
tersebut telah diberikan kepada sektor privat/bisnis. Rakyat atau
dispesifikasikan lagi menjadi masyarakat yang berhak menerima layanan
publik, perlu diberikan akses untuk memonitor dan mengevaluasi kinerja
pelayanan publik. Fungsi ‘check and balance’ dari masyarakat ke sektor
pemerintah dan bisnis dalam pelayanan publik merupakan prasyarat utama
terciptanya good government. Hal inilah yang dimaknai dengan demokrasi
dalam pelayanan sector publik dimana rakyat yang telah mempercayakan
suaranya kepada pemimpin-pemimpin politik terpilih legislatif maupun
eksekutif tetap mempunyai hak dan wewenang untuk mengevaluasi kinerja
mereka dalam memanejemeni aparatur pemerintah dalam melaksanakan
fungsi-fungsi layanan publik.

II. Akuntabilitas Publik dan Transparansi Informasi


Seorang mahasiswa S2 yang berasal dari birokrasi pemerintahan dan
anggota Dewan mengatakan bahwa sistem pengawasan dan akuntabilitas saat
ini sudah sangat baik, namun implementasinya yang tidak baik dan
menyimpang. Baik menurut mereka maksudnya sudah ada yang
melaksanakan fungsi pengawasan, seperti internal auditor dari dirjen terkait,
Badan Pengawas Daerah, BPKP. Juga sudah ada sistem Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP). Hasil informasi
tersebut juga sudah dilaporkan ke Dewan.
Namun yang perlu dipertanyakan adalah siapa-siapa yang berperan dalam
membuat, melaporkan, dan memeriksa hasil-hasil kinerja tersebut. Apakah
memepercayakan semuanya kepada anggota-anggota Dewan yang dianggap
sebagai wakil rakyat karena dipilih oleh masyarakat sudah cukup mewakili
suara masyarakat juga. Bagaimana jika terjadi KKN antara pemerintah
(sebagai pelopor) dan pemerintah (sebagai pengawas), atau antara pemerintah
dan anggota Dewan. Maka bagaimana sistem yang ada memberi ruang
kepada publik (rakyat) untuk mengawasi dan mencegah KKN tersebut terjadi.
Bagaimana dengan masyarakat umum, seperti pengamat sosial, aktifis, LSM,
dosen, mahasiswa, pers, dan lain-lain unsur masyarakat yang ingin
mengakses informasi publik termasuk untuk mengetahui kategori sensitif,
seperti laporan keuangan. Apakah ada sistem formal dan legal yang bisa
membuat para birokrat pemerintahan tersebut jika tidak secara suka rela maka
secara suka paksa mereka harus memberikan informasi tersebut terhadap
publik, baik diminta maupun tidak.
Jadi akuntabilitas publik yang merupakan faktor utama untuk mewujudkan
good governance memerlukan adanya transparansi informasi untuk
menjalankan fungsi akuntabilitas tersebut. Akuntabilitas dan transparansi
adalah norma utama untuk mewujudkan good governance. Sebagaimana
disebutkan oleh United Nation (2002) Akuntabilitas didefinisikan sebagai
sebuah norma dalam hubungan antara pengambil keputusan dan stakeholders
dan para pengambil keputusan bertanggung jawab terhadap konsekuensi yang
timbul dari keputusan mereka dalam semua sector dan tingkatan. Oleh karena
itu, dalam akuntabilitas terdapat i) pihak yang bertaggng jawab melaksanakan
akuntabilitas, ii) pihak-pihak mempunyai kewenangan dan hak menanggung
gugatkan pihak-pihak yang bertanggungjawab tersebut, iii) ukuran-ukuran
yang dijadikan patokan penilaian akuntabilitas tersebut, dan iv) norma atau
nilai yang menjadi moral spirit dari sistem akuntabilitas tersebut.
Konsepsi akuntabilitas (Koppell:2005) mengandung lima dimensi utama,
yaitu mencakup: tranparansi (sudahkah organisasi terbuka dengan fakta-fakta
kinerjanya?), liability (sudahkah organisasi memperhatikan konsekuensi dari
kinerjanya?), pengontrolan (sudahkah organisasi melaksanakan prinsip-
prinsip yang dianjurkan?), tanggungjawab (sudahkah organisasi mengikuti
aturan-aturan yang telah ditetapkan?), responsif (sudahkah organisasi
memenuhi tuntutan dan kebutuhan dari masyarakat?). Tiga sektor dalam
good governance, yaitu sektor Pemerintah, sektor Privat, dan sektor
Masyarakat seharusnya mempunyai pembagian hak dan tanggungjawab
bersama yang jelas yang diatur dalam kontrak sosial, dimana kontrak ini
merupakan hasil produk penganturan bersama yang melibatkan ketiga sektor
tersebut. Kontrak sosial berisi norma-norma yang mengatur pola hubungan
antar pelaku-pelaku dari ketiga sektor tersebut dan menjadi acuan untuk
pelaksanaan akuntabilitas (tanggung gugat) mereka.
Fungsi pemerintah sebagai pengatur regulasi dan mengamankan hasil
regulasi berdasarkan kesepakatan bersama ketiga sektor tadi seyogyanya
lebih diutamakan. Masyarakat mempunyai hak dan peran langsung, seperti
akses informasi (kebebasan informasi) dalam mengawasi kinerja lembaga
pemerintahan dan mitra kerjanya yang dijamin oleh system legal-formal.
Sistem ini yang dapat memberi implikasi yuridis apabila lembaga tersebut
melalaikan fungsinya dalam mewujudkan transparansi informasi dan
akuntabilitas publik. Keterlibatan masyarakat langsung untuk berpartisipasi
dan atau mengawasi kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan publik
merupakan salah satu fondasi terlaksananya good governance. Akuntabilitas
dalam good governance menyangkut pemberdayaan hak-hak masyarakat.
Masyarakat (secara individu dan kelompok) diberi hak untuk berpartisipasi,
khususnya dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja lembaga publik.
Sektor masyarakat berbagi tanggung jawab dan tanggung gugat
(akuntabilitas) dengan sektor pemerintah dan privat dalam fungsi pengawasan
pelayanan publik. Informasi kinerja sebagai sarana/alat utama
mengkomunikasikan kualitas pelayanan publik kepada ketiga stakeholders di
sektor pemerintahan, sektor masyarakat, dan sektor privat.

III. Akuntabilitas dan Pengukuran Kinerja Aparatur dan Birokrasi Publik


Manajemen kinerja diartikan sebagai sebuah sistem yang terintegrasi
dengan manajemen korporasi secara keseluruhan, sistem tersebut melakukan
kegiatan yang mencakup: pelaporan dan penilaian kinerja, memonitor kinerja,
mengevaluasi kinerja dan menginformasikan kinerja. Informasi kinerja
merupakan tempat dimana para stakeholders dapat melihat dan menganalisis
kegiatan pelayanan publik. Informasi kinerja digabungkan untuk
mengevaluasi misi-misi mencakup misi ekonomi, sosial, dan lingkungan dari
pelayanan publik (result/ outcome based performance) seperti keadilan sosial
untuk masyarakat yang termarginalkan.
Perlu diingat dalam manajemen berbasis kinerja ini adalah setiap uang
yang dikeluarkan adalah untuk membiayai outcome dan dampak yang akan
dirasakan oleh publik, bukan untuk membiayai output yang mubazir dan
manfaatnya tidak berhubungan dengan publik. Informasi kinerja yang
disampaikan ke publik juga perlu dievaluasi, apakah informasi tersebut dapat
dipergunakan untuk mengevaluasi outcome dan dari suatu pelayanan publik
yang dilakukan oleh pemerintaha ataupun mitra kerjanya (BUMN/D, privat,
LSM, dll).oleh karena itu, kebebasan akses informasi publik merupakan pra
syarat untuk pelaksanaan good governance.
IV. Akuntabilitas Aparatur Pemerintah Dalam Otonomi Daerah
Otonomi daerah dimana fungsi devolusi dan desentralisasi lebih
diutamakan membutuhkan penerapan sistem akuntabilitas publik yang
transparan dan mendukung implementasi good governance. Pemimpin tanpa
sistem kepemimpinan yang baik bisa melahirkan pemimpin yang korup,
pemerintah tanpa sistem kepemimpinan yang baik juga dapat menyebabkan
penyimpangan, begitu pula sebaliknya. Pemimpin yang korup sulit untuk
bertahan dalam sistem kepemimpinan yang baik, pemerintah yang korup juga
sulit tampil kembali dalam sitem kepemerintahan yang baik (Good
Governance). Tantangan terbesar dalam sistem otonomi daerah saat ini
adalah mengimplementasikan prinsip-prinsip good governance tersebut,
termasuk transparansi, akuntabilitas, respnsifitas pelayanan publik dengan
pendekatan manajemen kinerja berbasis outcome dan stakeholder. Dalam
konteks hubungan antara pemerintah-pemerintah (pusat-daerah) ataupun
pemerintah-nonpemerintah ditandai dengan terjadinya proses
pendesentralisasian dan pendelegasian wewenang tersebut.
Dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Bab I Pasal 1
nomor 7 pengertian desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah (pusat) kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi disini lebih ditujukan pada hubungan antara pemerintah-
pemerintah (pusat-daerah). Pengertian desentralisasi tersebut belum
menyebutkan secara eksplisit desentralisasi yang terjadi dari pemerintah
daerah kepada masyarakatnya. Daerah otonom, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang undangan.
Problem utama otonomi dan desentralisasi di Indonesia saat ini adalah
pemberdayaan hak-hak masyarakat daerah. Adanya kekecewaan saat ini bahwa
desentralisasi masih berpihak kepada para penguasa daerah (elit politik, birokrat
dan partner bisnisnya) dan belum berpihak kepada masyarakat dikarenakan
adanya harapan yang terlalu berlebihan diletakkan pada desentralisasi. Kualitas
aparat pemerintahan yang masih rendah juga menjadi kendala sendiri. Budaya
senioritas, uniformitas masih mendominasi dan belum tentu kondusif untuk
budaya kerja yang didasarkan atas kinerja, kreatifitas, dan prestasi. Termasuk
system penghargaan dan promosi yang belum sepenuhnya didasarkan atas
penilaian hasil kerja. Akuntabilitas seyogyanya diarahkan pada upaya membangun
system yang transparan untuk SDM sektor publik.
Oleh karena itu, dapat dimaklumi otonomi yang ada saat ini belum
sepenuhnya mendukung terwujudnya masyarakat sipil yang kuat. Dimana
masyarakat sipil adalah salah satu pilar untuk disamping pilar pemerintah dan
bisnis dalam good governance. Akuntabilitas publik mengutamakan
keseimbangan berlangsungnya prinsip check and balance antara ketiga pilar
governance tersebut. Lemahnya salah satu pilar akan menyulitkan berlangsungnya
fungsi akuntabilitas dan juga memungkinkan tetap terjadinya keberpihakan
kepentingan pada pilar-pilar tertentu. Pengembangan sistem transparansi
informasi dan penilaian kineja merupakan fondasi dasar pembangunan sistem
akuntabilitas yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan bukan hanya
kepentingan individu dan golongan.
Deconstructing Governance Theory
Terorisme, meluasnya wabah penyakit, meningkatnya kemiskinan,
meluasnya konflik, kekerasan dan perang sipil di abad millennium ini bukanlah
hal ikhwal yang berdiri sendiri. Fenomena tersebut merupakan gejala politik
dimana negara sebagai institusi terpenting dalam masyarakat telah gagal
menjalankan perannya. Menurut Fukuyama (2005) kegagalan semacam itulah
yang menjadi ancaman terbesar bagi umat mnausia di awal abad ke-21. Lahirnya
konsep governance sangat kental di pengaruhi oleh problematika administrasi
publik yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1990-an dimana birokrasi
dianggap gagal menjalankan perannya. Institusi publik yang seharusnya
mempermudah rakyat mendapatkan layanan justru membebani karena inefisiensi
dalam wujud pelayanan yang berbelit-belit (red tape), korupsi, dan big
bureaucracy. Karena itulah gerakan perubahan terjadi secraa besar-besaran untuk
mendefinisikan birokrasi pemerintah. Sehingga pada saat itu semua politisi
maupun akademisi beramai-ramai melakukan kritik terhadap pemerintah dan
menawarkan resep baru yang disebut dnegna governance. Dari sini tampak bahwa
lahirnya konsep governance merupakan positive meaning yang oleh kalangan
akademisi maupun masyarakat umum lebih diterima, sah, dan mungkin ‘lebih
baik’ Ketika pemerintah dan birokrasi dipandang buruk, lambat, kurang kreatif,
dan penuh korupsi.
Governance sebagai administrasi publik diartikan sebagai cakupan yang
luas mengenai tipe organisasi dan institusi yang berhubungan satu dengan lainnya
dalam melakukan berbagai aktivitas publik. Sebagaimana Frederickson (1997)
menjelaskan bahwa governance merupakan konsep yang generic dalam artian
tidak hanya dipakai dalam terminology pemerintah saja. Menurutnya, governance
merupakan methapor yang diterima untuk mendeskripsikan pola interaksi antara
berbagai organisasi atau networks. Dalam khasanah administrasi publik,
governance dipahami sebagai networks antara pemerintah dalam arti state dengan
aktor-aktor lain diluarnya. Lebih lanjut, Rhodes, salah satu pemikir teori
governance menjelaskna karakteristik organisasi networks, yaitu interpendensi,
interaksi terus-menerus antar organisasi yang terlibat dalam networks dalam
rangka pertukaran sumber daya dan negoisasi dalam berbagai sumber daya,
interaksi seperti halnya permainan yang diikat dalam kepercayaan dan negoisasi
yang ditetapkan dan disetujui oleh masing-masing organisasi, dan tidak ada
kewenangan mutlak, networks mempunyai derajat yang signifikan dengan
otonomi tiap organisasi.
Menurut Bank Dunia ada tiga domain dari governance, yaitu state, private
sector, dan civil society yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya
masing-masing. Institusi pemerintahan berfungsi menciptakan lingkungan politik
dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan,
sedangkan society berperan positif dalam interaksi sosial, ekonomi, dan politik,
termasuk mengajak kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi
dalam aktivitas ekonomi, sosial, dan politik. Dalam domain tersebut governance
memiliki tiga kaki (three legs), yaitu: economic, political dan administrative.
Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-
making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan
interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Political governance adalah proses
pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan. Administrative governance
adalah sistem implementasi proses kebijakan. Karena itu, good governance
merupakan kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi,
dan keseimbangan peran, serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga
komponen yaitu pemerintah (goverment), rakyat (citizen) atau civil society, dan
usahawan (business) yang berada di sektor swasta (Taschereau dan Campos,
1997; UNDP, 1997), dan apabila yang terjadi sebaliknya maka disebut dengan
bad governance.
Kritik utama terhadap teori governance adalah pada asumsi yang dibangun
dalam distribusi otonomi kekuasaan pada state, private sector, dan civil society.
Teori ini rupanya belum menyediakan formula yang tepat untuk memecahkan
persoalan mengenai negara. Pengurangan peran negara dan pendistribusian ke
pelaku lain dan pasar tidak selalu menjamin sehatnya negara dan kesejahteraan
rakyat. Asumsinya karena pasar akan menyusutkan aturan dan kekuatan
government itu sendiri ketika domain administrasi publik menjadi sesuatu yang
penting. Bersamaan dengan itu akan terjadi penyusutan kapasitas institusi publik
secara drastis sehingga institusi ini menjadi lemah. Dengan demikian pengurangan
peran negara secara bersamaan justru telah menurunkan kapasitas negara,
mengikis kedaulatannya, dan akhirnya melemahkan negara. Fukuyama (2005),
pemikir sosial yang pro-demokrasi liberal dan kapitalisme sekalipun, dengan tegas
memberikan jawaban sudah pasti meningkatkan kekuatan negara dan membuat
pemerintah yang berdasarkan atas hukum jauh lebih penting dan lebih mampu
menjamin kesejahteraan rakyat.
Dari praktek proses pendistribuan kewenangan dalam memerintah yang
dianjurkan oleh teori governance sangat tampak bahwa entitas negara dalam
memerintah sebenarnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Memberikan kewenangan
kepada sektor swasta untuk menguasai perekonomian dibanyak hal justru akan
memperlemah bargaining politik negara. Sebagaimana dijelaskan Rosseau, bahwa
tanggungjawab terbesar negara adalah melayani rakyat karena ia terikat kontrak
sosial dengan rakyat. Fukuyama (2005) menjelaskan peran negara harus dipahami
dalam dua dimensi, yaitu (1) cakupan (scope) aktivitas negara maupun kekuatan
yang mengacu pada berbagai fungsi dan tujuan berbeda yang dijalankan
pemerintah (2) kekuatan atau kapasitas (strength) negara atau kemampuan negara
merencanakan dan menjalankan berbagai kebijakan dan memberlakukan undang-
undang secara bersih dan transparan. Konsep ini disebut juga sebagai kemampuan
kelembagaan. Lebih lanjut Fukuyama (2005) menjelaskan bahwa kebingungan
dalam pemahaman kita tentang negara adalah konsep kekuatan seringkali dipakai
untuk mendeskripsikan sekaligus dua dimensi tersebut.
Sebagai teori governance amat dipengaruhi oleh ide demokrasi liberal dan
kapitalisme global. Governance memiliki kelemahan mendasar karena belum
menyediakan formula yang tepat untuk memecahkan persoalan mengenai negara.
Karena itu tantangan administrasi publik kedepan adalah memperkuat negara dan
memecahkan persoalan lubang hitam adminisrasi negara, khususnya bagi negara-
negara berkembang diperlukan teori emansipatif untuk keluar dari hegemoni teori
barat. Selain itu, kajian teori struktural diperlukan pula untuk mendekonstruksi
konsep governance di tataran Internasional Public Adminstration.
Good Governance di Indonesia
Sebenarnya governance termasuk istilah lama, namun sekarang
dibangkitkan Kembali dan menjadi salah satu konsep menarik dalam ilmu sosial,
khususnya di bidang administrasi publik. Governance digunakan secara luas
sebagai konsep baru yang berarti sesuatu yang baru dan direformasi yang terkait
dengan pemerintahan.dan administrasi publik, yang diharapkan mampu
menggantikan kesan negatif mereka. Seperti kita lihat pada “local governance”,
“global governance”, “environmental governance” dan sebagainya. Governance
digunakan pada banyak kasus seakan-akan merupakan imbuhan yang berarti
reformasi. Popularitas good governance terkait dengan ketidakpercayaan terhadap
pemerintah. Banyak individu kecewa dengan kemampuan pemerintah untuk
mengatasi masalah sosial.
Ketika pertama kali diperkenalkan oleh Bank Dunia tahun 1989-1992
governance diartikan sebagai praktik kekuasaan dalam manajemen pembangunan
(ekonomi). Menurut pengertian paling luas, governance atau kepemerintahan
dapat dipandang sebagai cara dimana suatu negara dan komunitas berbagai negara
mengelola urusannya. World Bank mendefinisikan governance sebagai "the way
state power is used in managing economic and so cial resources for development
and so ciety". Dengan demikian, kepemerintahan dapat didefinisikan sebagai cara,
yaitu bagaimana kekuasaan negara (pemerintah) digunakan untuk mengelola
sumberdaya-sumberdaya ekonomi dan sosial untuk pembangunan masyarakat.
Dalam pengertian ini, penekanannya adalah pada “cara” kekuasaan digubakan,
yaitu lebih menunjukkan pada hal-hal yang bersifat teknis.
Sementara menurut United Nations Development Program (UNDP),
governance adalah “the exercise of political, economic and administrative
authority to manage a nation’s affair at all levels. It is the complex mechanism,
process, relationships and institutions through which citizens and groups
articulate their interests, exercise their rights and obligations and mediate their
differences” (UNDP, 1997). Kepemerintahan dalam pengertian ini berarti
penggunaan atau pelaksanaan, yakni penggunaan kewenangan politik, ekonomi,
dan administrative untuk mengelola masalah-masalah nasional pada semua
tingkata. Disini tekanannya pada kewenangan, kekuasaan yang sah atau
kekuasaan yang memiliki legitimasi. Berbicara kewenangan berarti menyangkut
domain sektor publik (lihat:Wasistiono, 2002). Definisi ini juga menunjukkan
bahwa kepemerintahan merupakan institusi, mekanisme, proses, dan hubungan
yang kompleks melalui warga negara (citizens) dan kelompok-kelompok yang
mengartikulasikan kepentingannya, melaksanakan hak dan kewajibannya dan
menengahi atau memfasilitasi perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Lebih lanjut, UNDP (1997) sebanyak dikutip Sedarmayanti (2004)
mengemukakan “the means by which states promote social cohesion, integration,
and ensure the well being of their population”. Artinya, kepemerintahan
merupakan instrumen kebijakan publik untuk mendorong terciptanya kondisi
kesejahteraan integritas, dan kohesivitas sosial dalam masyarakat. Sedangkan,
Kooiman (1993) memandang governance lebih merupakan "...serangkaian proses
interaksi sosial politik antara pemerintah dengan masyarakat dalam berbagai
bidang yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dan intervensi pemerintah
atas kepentingan-kepentingan tersebut".
Sementara itu, Lembaga Administrasi Negara (LAN) memberikan
pengertian governance sebagai proses penyelenggaraan kekuasaan negara dalam
melaksanakan penyediaan public goods and services (kebutuhan dan pelayanan
publik). Dengan demikian, istilah governance atau kepemerintahan tidak hanya
berarti adalah suatu cara atau metode, tindakan, kegiatan atau proses, dan sistem.
Tetapi juga berarti cara kekuasaan digunakan; penggunaan kewenangan ekonomi,
politik dan administratif; sebagai instrumen kebijakan pu blik; dan proses
interaksi sosial politik. Governance bukanlah sesuatu yang dilakukan negara pada
masyarakat, namun cara masyarakat itu sendiri dan individu di dalamnya
mengatur semua aspek kehidupan bersama mereka.
Tussman (1996) menyatakan bahwa “governance not by the best among
all of us but the best within each lot of us", maksudnya, bahwa pemerintahan itu
dilaksanakan, sebaiknya bukan oleh orang-orang terbaik diantara aparatur negara.
tetapi justru oleh kemampuan terbaik dari setiap individu aparatur negara yang
bersangkutan. Dalam teori governance, peran pemerintah cukup memberi arahan
(steering), tidak sebagai pelaku (row-ing), sebagaimana dimaksud konsep model
pemerintahan entrepreneurship dari Osborne & Ted Gach ke- (1992) dalam
Reinventing Government dari Osborne & Peter Plastri (1997) dalam Banishing
Bueraucracy. Pemerintah harus mengurangi perannya dan mampu memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk ikut berperan serta dalam pembangunan
sehingga perlu adanya pemberdayaan masyarakat. Dari beberapa konsep diatas,
pengertian governance ternyata sangat luas, sebab akar teoritikalnya sangat
bervariasi menyangkut ekonomi, Kelembagaan, hubungan internasional, ilmu
politik, administrasi negara, kemasyarakatan dan sebagainya. Oleh karena itu
Stoker (1997) menegaskan bahwa dalam perspektif governance nilainya terletak
pada kemampuan untuk menciptakan proses perubahan pemahaman dalam
memerintah.
Governance atau kepemerintahan dalam praktik terbaiknya disebut dengan
istilah good governance atau kepemerintahan yang baik. Istilah ini kemudian
menjadi popular dalam lembaga pemerintahan di Indonesia. Kepemerintahan yang
baik berorientasi pada dua hal, yaitu: Pertama, orientasi ideal negara, yang
diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Kedua, pemerintahan yang berfungsi
secara ideal, yaitu secara efektif dan efisien melakukan upaya pencapaian tujuan
nasional. Kepemerintahan yang baik itu adalah suatu kesepakatan menyangkut
pengaturan negara yang diciptakan bersama oleh pemerintah, masyarakat madani
dan sektor swasta. Karena itu, untuk terwujudnya kepemerintahan yang baik,
diperlukan dialog antara pelaku-pelaku penting dalam negara agar semua pihak
merasa memiliki tata pengaturan tersebut. Tanpa kesepakatan yang dilahirkan dari
dialog ini, kesejahteraan tidak akan tercapai karena aspirasi politik maupun
ekonomi rakyat tersumbat. Oleh karena itu, good governance mengutamakan
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas serta memperlakukan semua
sama.
Good Governance: Memahami Konsep Akuntabilitas
I. Pengertian Akuntabilitas
Akuntabilitas secara umum dapat dijelaskan sebuah proses yang dapat
menghasilkan sesuatu untuk dapat dijawab (answerable). Sebuah kebijakan dapat
accountable artinya kebijakan tersebut harus dapat menjawab sesuatu, setelah
menghasilkan kegiatan (aksi) atau reaksi atas aksi (inaksi) tersebut. Selain itu,
kebijakan tesebut sekaligus dapat dipertanggungjawabkan atas konsekuensi-
konsekuensi yang timbul. Akuntabilitas publik merupakan landasan bagi proses
penyelenggaraan pemerintahan. Praktik terbaik dalam proses penyelenggaraan
kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan layanan publik disebut good
governance. Akuntabilitas diperlukan karena aparatur pemerinta harus
mempertanggungjawabkan tindakan dan pekerjaannya seseorang/badan
hukum/pimpinan suatu organisasi kepada publik dan organisasi tempat kerjanya
yang memiliki hak atau kewenangan untuk meminta keterangan atau
pertanggungjawaban.
Akuntabilitas dapat diartikan sebagai sebuah kondisi dasar yang dapat
memberikan jawaban atas pertanyaan seseorang atatu masyarakat terhadap hasil
kinerja yang diharapkan. Pihak yang memberikan jawaban tersebut harus
memiliki legitimasi (keabsahan). Accountability dan transparency merupakan
bagian yang esensi untuk menciptakan pemerintah dan administrasi publik yang
kuat serta dapat mewujudkan perilaku yang etik dalam meningkatkan
profesionalisme dengan kekuatan kompetensi dan efisiensi. Hal tersebut juga
disampaikan oleh Azhar Kasim (2000) bahwa transparency dan accountability
merupakan prasyarat bagi terciptanya birokrasi dan pemerintah yang responsif
terhadap kehendak rakyat. Pentingnya akuntabilitas dapat dilihat di banyak
negara. Akuntabilitas diyakini mampu merubah kondisi suatu pemerintahan, dari
kondisi pemerintahan yang tidak dapat memberikan pelayanan publik secara baik
dan korup menuju suatu tatanan pemerintah yang demokratis.

II. Model Penerapan Akuntabiliitas


a. Dimensi Kontrol
Untuk mengetahui akuntabilitas pejabat publik, beberapa pakar telah membuat
berbagai mekanisme pengukuran akuntabilitas. Simon, Thomson, dan Smithburg,
misalnya, membagi akuntabilitas menjadi dua macam, yaitu akuntabilitas formal
dan akuntabilitas informal. Akuntabilitas formal adalah akuntabilitas yang
mekanismenya ditentukan oleh lembaga-lembaga tertentu, seperti lembaga
peradilan, lembaga perwakilan (legislatif) atau lembaga eksekutif berdasarkan
mekanisme hubungan kontrol secara hirarkis. Sedangkan mekanisme akuntabilitas
informal berdasarkan atas norma-norma masyarakat yang berlaku di wilayah
tertentu, termasuk nilai filosofis politik, sosial, dan budaya yang berlaku serta
norma dan kode etik professional yang ada.
Romzek dan Ingraham menghasilkan empat jenis makanisme akuntabilitas
organisasi publik. Pertama, akuntabilitas di lingkungan birokrasi, biasa dikenal
dengan istilah akuntabilitas hirarki. Akuntabilitas jenis ini memiliki kontrol
internal tinggi dan berasal menurut urutan hirarki yang ada. Mekanisme
akuntabilitas kelompok ini berdasarkan atas pengawasan dari pimpinan organisasi
dan atas arahan visi dan misi organisasi. Aturan (rule), regulasi, arahan organi sasi
dan adanya pengawasan (supervise) adalah contoh kasus akuntabilitas tipe hirarki.
Sistem komando dalam dunia militer merupakan contoh klasik dari sistem
akuntabilitas hirarki ini.
Kedua, akuntabilitas legal, dimana kontrol eksternal lah yang menjadi
penyebab kuat terjadinya akuntabilitas. Hal ini dimantapkan dan diperkuat dalam
bentuk pembuatan kontrak hukum. Hubungan akuntabilitas legal melibatkan
penilaian dari unsur eksternal terhadap kinerja sebuah organisasi berdasarkan
struktur konstitusi atau legalitas tertentu. Contoh dari tipe ini adalah tindakan
pengadilan (court) untuk mereview prosedur di dalam jajaran kepolisian, proses
audit fiskal, atau proses dengar pendapat di lingkungan badan legislatif.
Ketiga, akuntabilitas profesional, dimana memiliki kontrol internal yang
lemah, didasarkan atas perbedaan pandangan antarpakar di dalam sebuah
kelompok, misalnya kelompok profesi tertentu. Refleksi sistem akuntabilitas
profesional di dalam sistem kerja memiliki derajat otonomi cukup tinggi kepada
seseorang yang dapat memberi kan keputusan sesuai dengan norma internal
berdasarkan praktik-praktik yang tepat.
Keempat, akuntabilitas politik, dimana memiliki kontrol eksternal yang lemah,
berdasarkan atas daya tanggap yang diberikan kepada pejabat yang dipilih melalui
Pemilu dan memiliki hubungan kepuasan terhadap pelanggan atau agen lainnya.
Hubungan akuntabilitas politik mengarahkan para manajer untuk melakukan
respon berdasarkan atas harapan para pemegang saham (stakeholder) kunci,
seperti para pejabat yang dipilih, kelompok klien tertentu, masyarakat umum dan
sebagainya dengan menekankan pada orientasi kepuasan konsumen atau
bagimana lebih dapat merespon kebutuhan klien.

b. Dimensi Nilai
Konsep Romzek dan Ingraham tentang tipe hubungan akuntabilitas, yang
membagi menjadi empat tipe akuntabilitas, yaitu berdasarkan aspek hierarki,
aspek legal, aspek profesional, dan aspek politik, menurut Jonathan G.S. Kopell
masih memiliki sejumlah kelemahan. Hal ini disebabkan karena konsep tersebut
terlalu fokus terhadap kontrol. Koppell mengkritik Romzek dan Ingraham dengan
menjelaskan bahwa untuk kasus akuntabilitas politik maka ini lebih ditentukan
oleh respon stakeholder kunci sebagai sumber control eksternal dengan tingkat
otonomi yang tinggi. Berdasarkan sintesis dengan pemikiran Behn, Kopell
menawarkan konsep lima aspek akuntabilitas, yaitu transparansi, liability,
controllability, responsibility dan responsivess. Kelima konsep ini tidak berdiri
sendiri secara ekslusif. Sebuah organisasi dapat saja bisa memiliki akuntabilitas
untuk beberapa aspek. Kendati demikian, dasar dari akuntabilitas ada pada faktor
transparansi dan liability.
Transparansi adalah instrument paling penting untuk mengukur kinerja
organisasi dan menjadi faktor kunci untuk mengetahui dimensi akuntabilitas
lainnya. Keterbukaan organisasi publik harus dapat memberikan akses kepada
publik, pers, kelompok kepentingan dan berbagai pihak lainnya yang memiliki
kepentinga atas kegiatan organisasi tersebut. Dalam tataran praktis, adanya
keterbukaan atau transparansi membuat semua langkah dan kebijakan birokrat
dapat di riview dan dipertanyakan secara regular atau berkala. Sehingga,
kesalahan kebijakan dapat diadakan penyelidikan dan harus dapat diterangkan
kepada publik.
Liabilitas adalah sesuatu yang kurang kongkrit. Namun dalam organisasi yang
dipilih melalui pemilihan perwakilan maka akuntabilitas akan menentukan bagi
pemilih untuk menghukum mereka, misalnya dengan mengeluarkannya dari
organisasi. Sedangkan untuk individu atau organisasi yang tidak melalui
pemilihan maka penghukuman dapat dilakukan dengan alternatif lainnya karena
dianggap melanggar hukum yang berlaku, misalnya karena telah melakukan
tindakan yang dianggap illegal dan kriminal.
Responsibilitas tidak harus diatur dalam hukum formal. Bernad Rosen
mengmukakan responsibilitas terkadang membutuhkan instrument hukum untuk
menjalankan dan merubah kebijakan dan program sekaligus untuk meningkatkan
kepercayaan diri institusi pemerintah dan masyarakat. Responsiveness (daya
tanggap) digunakan untuk menjelaskan konsep sampai sejauh mana perhatian
organisasi dapat mengakomodasikan kebutuhan konstituen organisasi (klien).
Konsep daya tanggap memiliki dua hal interpretasi. Pertama, terfokus kepada
permintaan masyarakat atau orang per orang untuk dilayani. Kedua, berkaitan
dengan adanya kebutuhan.

III. Akuntabilitas Berdasarkan Karakteristik Organisasi


Masing-masing model penerapan akuntabilitas bisa diterapkan secara berbeda.
Hal ini tergantung pada karakteristik organisasinya. Berikut ini ada tiga tipe
organisasi publik akan didiskusikan untuk memperluas gambaran mengenai
penerapan akuntabilitas pada organisasi yang berbeda.
a. Tipe Gabungan antar Organisasi (Lembaga)
Kebijakan publik dewasa ini, baik yang bertujuan untuk melayani kesejahteraan
masyarakat, perlindungan lingkungan, atau untuk pertahanan nasional, biasanya
dilakukan secara bersama-sama antara lembaga publik dengan lembaga
nonpemerintah. Langkah ini merupakan terobosan inovatif karena hal ini dapat
memecahkan persoalan publik dengan cara-cara kreatif, misalnya dapat saling
tukar menukar informasi kritis atau dapat menggunakan sumberdaya secara
bersama-sama. Jadi hubungan akuntabilitas dalam organisasi atau lembaga hasil
kolaborasi beberapa pihak pun mau tidak mau memiliki karakteristik khusus.
Adanya kerjasama, membuat sifat organisasi tersebut harus lebih tanggap untuk
menghadapi berbagai kondisi yang berbeda dan terus berubah. Jenis hubungan
hirarki atau hubungan kontrol legal yang terlalu kuat tidak cocok untuk tipe
organisasi seperti ini. Sebaliknya hubungan akuntabilitas yang sesuai dengan tipe
organisasi ini adalah akuntabilitas hubungan otoritas profesional atau tanggap atas
ke entingan politik seperti model yang dikembangkan oleh Romzek. Kendati
demikian, untuk tugas-tugas publik tertentu, terkadang juga masih tetap di
perlukan adanya hubungan akuntabilitas hirarki.
b. Tipe Lembaga Semi Pemerintah (Quasi Government)
Ada kecenderungan yang tumbuh di tengah pemerintahan modern untuk
mendelegasikan kewenangan pelayanan publik kepada pihak swasta melalui
mekanisme hukum tertentu. Organisasi gabungan (hybrid organization) tersebut
terkenal dengan istilah organisasi semi pemerintah (quasi government). Jika
pertumbuhan organisasi semi pemerintah ini tidak dicermati dengan benar, tidak
menutup kemungkinan praktik organisasi tersebut tidak hanya sulit menjadi
accountabnle berdasarkan atas prinsip-prinsip menajerial, tetapi lebih mendasar
lagi, organisasi ini dapat merusak sendi dan nilai fundamental pemerintahan yang
demokratis.
c. Tipe Privatisasi
Akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk mendorong pengurangan kebijakan
pemerintah pusat dalam melaksanakan fungsi pelayanan publik. Sebaliknya ada
kecenderungan arus kuat untuk lebih memberikan wewenang luas ke pemerintah
lokal. Sejalan dengan meluasnya reformasi pemerintahan, biasanya juga diikuti
dengan gencarnya kebijakan privatisasi dan pemnuatan kontrak kegiatan
pelayanan publik oleh perusahaan atau institusi swasta. Adanya praktik privatisasi
menyebabkan akuntabilitas kepada masyarakat menjadi berkurang dan sekaligus
mengancam kontrak sosial yang telah dibuat.
Peran akuntabilitas dalam organisasi publik sangat penting, baik dalam
organisasi gabungan, quasi government, maupun privatisasi. Jika organisasi
publik dibiarkan dikelola oleh para aparat birokrasi pemerintahan yang tidak dapat
dikontrol akuntabilitasnya dan hanya mementingkan kepentingan pribadi dan
kelompoknya maka akan memunculkan apatisme, sisisme, yang akhirnya dapat
meledak menjadi konflik sosial dan anarkisme. Jika tiga kondisi tersebut yang
justru berkembang di tengah masyarakat, lambat laut akan terjadi ksrisis
kepercayaan terhadap pengelolaan organisasi publik.

Tata Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah


Beranjak dari pasal 1 dan pasal 18 (A), (B), (C), (D) UUD 1945, Indo
nesia lazim disebut sebagai negara kesatuan yang terdesentralisasi (decentralized
unitary state; gedecentraliseer de eenheidsstaat). Menurut Profesor Bhenyamin
Hoessein, Guru Besar FISIP-UI bidang Pemerintahan daerah, juga dikatakan
bahwa secara implisit perancang konstitusi Indonesia mengakui keberadaan
sentralisasi dan desentralisasi tidak dipandang sebagai dikotomi, melainkan
sebagai kontinum. Penyelenggaraan pemerintahan secara sentralisasi
dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya aspirasi dan ke pentingan nasional,
sedangkan penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi dimaksudkan
untuk mengakomodasi dan menyalurkan aspirasi kemajemukan masyarakat.
Dengan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan dua asas tersebut secara
bersamaan akan terwujud "unity within diversity" dan "diversity in unity".
Dalam sebuah negara kesatuan, pelaksanaan desentralisasi sesungguhnya
dapat merupakan pengalihan atau pelimpahan wewenang pemerintah secara
teritorial atau fungsional. Desentralisasi teritorial atau kewilayahan berarti
pelimpahan kewenangan pemerintahan atau wewenang dari pemerintah pusat
kepada wilayah di dalam negara. Desentralisasi fungsional berarti pelimpahan
wewenang kepada organisasi yang secara langsung berhubungan dengan
masyarakat mengenai fungsi tertentu yang dibutuhkan dengan kelembagaan
otonom bersifat terbatas. Namun, di Indonesia praktek pemerintahan yang dianut
baru menyerap desentralisasi teritorial sehingga wewenang pemerintahan dibagi
habis antara Pemerintah Pusat dan elemen elemenya serta pemerintah daerah dan
elemen-elemennya.

I. Penyelenggaraan Desentralisasi (Teritorial)


Dalam berbagai pendapat pakar, termasuk pendapat Profesor Bhenyamin
Hoessein, diketahui bahwa penyelenggaraan desentralisasi senantiasa terdapat dua
elemen pokok, yaitu pembentukan daerah otonom dan penyerahan kewenangan
secara hukum dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk mengatur dan
mengurus dan/atau bagian dari kewenangan pemerintahan tertentu. Oleh karena
itu, pelaksanaan asas desentralisasi dalam negara kesatuan berarti memberikan
hak untuk mengatur dan mengurus ke pentingan dan aspirasi masyarakat
setempat. Pembentukan daerah otonom tidak semata-mata berdasarkan
pertimbangan politik, tetapi juga harus berdasarkan pertimbangan kemampuan
daerah, yang dapat diukur melalui kemampuan ekonomi, potensi daerah. sosial
budaya, sosial politik, jumlah penduduk, dan luas daerah untuk menyelenggarakan
otonomi daerah.
Desentralisasi dalam konsep negara kesatuan merupakan instrumen atau
alat dalam mencapai tujuan negara sehingga keseimbangan antara kebutuhan
penyelenggaraan desentralisasi dengan kebutuhan kesatuan bangsa merupakan
variabel yang harus tetap menjadi prioritas. Pembagian kewenangan peme
rintahan dalam konteks desentralisasi merupakan persebaran kewenangan
pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah-daerah otonom. Kewenangan
pemerintah yang didistribusikan kepada Daerah hanyalah merupakan kewenangan
pemerintahan saja (eksekutif), jadi tidak termasuk kewenangan legislatif
(pembuatan undang-undang) dan kewenangan yudikatif (peradilan).

II. Perlunya Tata Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan
Antardaerah
Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan
kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur
merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan hubungannya
dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci. Sebagai wakil
Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para Menteri bukan hanya
dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara gubernur sebagai wakil
Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala Lembaga Pemerintah Non
Departemen. Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di
antara lembaga-lembaga pemerintah baik secara hotizontal maupun vertical yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk menghindari
polemik.
Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan asas
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan subsistem dari
pemerintahan nasional (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya
hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen pemerintahan dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (c) tuntutan globalisasi
menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling
bersinergi (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki karakter
budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemerintahan yang mampu
menjadi pendorong inisiatif lokal, pendorong berbagai perubahan ke arah
kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan masyarakat dengan
kompleksitas sistem yang ada.
Disamping itu, yang tidak dapat dielakkan adalah amanat UUD. Pasal 1,
18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; khusunya ayat (1) pasal
18 A menyatakan: “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah.”
Frasa diatur dengan “Undang-Undang” menandakan bahwa materi tata
hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk
hukum lain tetapi justru secara khusus harus disusun sebuah UU akan hal
itu. Sandaran legalitas dari pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita meyusun
sebuah UU.

III. Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan Anatar Daerah
Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah
mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan
berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan yang ada
mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat kata, tata hubungan
adalah mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam
pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Unsur dalam
pemerintahan adalah elemen-elemen yang membentuk sistem pemerintahan yang
meliputi: wewenang, jabatan, dan wilayah. Tata hubungan wewenang adalah
mekanisme dan proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan
wewenang atas dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata hubungan wilayah
adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas
dasar prinsip kepemerin tahan yang baik. Tata hubungan jabatan adalah
mekanisme dan proses tim antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah mekanisme
dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat dan unsur Pemerintah
daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan Antara
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah mekanisme dan
proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah
Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerin tahan yang baik. Pola hubungan yang
tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal, hori zontal dan diagonal.
Hubungan-hu bungan tersebut dapat terjadi baik da lam area dekonsentral,
desentralisasi, dan medebewind maupun dalam antar ketiga area tersebut.
Tinjauan Buku: Optimalisasi Kebijakan Publik Melalui Enterpreneurial
Management
Semenjak rejim Clinton-Gore di AS meluncurkan agenda reinventing
government (Osborn & Gaebler, 1991), maka yang kemudian terjadi adalah
sebuah transformasi besar pada manajemen publik. Antara lain ditandai suatu
keperluan adanya; jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) yang diinjeksikan ke
dalam sektor manajemen publik, penyakit di birokrasi publik seperti red tape dan
maladministrasi harus disikat habis, akuntabilitas kepada aturan-aturan (rules)
digantikan akuntabilitas kepada hasil (result), kepentingan pelanggan (customer)
diletakkan pada urutan pertama (put first) dengan mengadopsi tipe kompetisi
pasar, serta kewenangan (authority) di desentralisasikan dengan memberdayakan
pegawai.

Buku yang disusun Johnston (editor) ini nampaknya adalah salah satu
buku yang "bersikeras" pada satu keyakinan di atas. Bahwa untuk dapat
menciptakan pemerintahan yang bercita rasa good governance bisa dicapai
melalui jargon-jargon seperti; entrepreneurial quality, privatization, competition
dll. Hal mana sudah sangat jelas dipaparkan dalam tiga bagian pokok buku ini.
Pada bagian I, terdiri dari lima bab yang membahas privatization, competition,
deregulation, dan entre preneurial management. Pada bagian II, terdiri lima bab
yang membahas entrepreneurship, reinventin government, franchising dan
contracting out. Sedangkan bagian III terdiri dari tiga bab yang membahas
masalah entrepreneurial quality, ethics dan governance. Dari tiga bagian pokok
kumpulan tulisan tersebut setidaknya ada tiga hal penting yang perlu dicatat dan
sangat relevan untuk dikritisi dari diterbitkan nya buku ini, yaitu privatisasi,
kompetisi, dan governance. Pertama, Privatisasi (privatization) merupakan salah
satu pilihan pertama yang harus dipilih pemerintah apabila ingin bekerja lebih
efisien. Argumen perlunya privatisasi k didasarkan pada alasan; dapat mengurangi
biaya (cost can be reduced) proyek-proyek jangka pendek diharap kan bisa lebih
ekonomis (short-term projects can be optimized economi cally); pelayanan dapat
diberikan secara lebih hemat (service can be provide more frugally); sumber daya
yang terbatas dapat dikompensasikan (limited resources can be compensated for);
dan pekerjaan-pekerjaan pemerintah tertentu dapat diperbaiki (government
operations typically are improved) (hal.7).

Meskipun demikian, privatisasi juga disinyalir mengandung sejumlah


kerugian. Alasan yang menolak privatisasi karena adanya kekhawatiran
terjadinya; penggelapan (fraud), korupsi (corruption), minimnya akuntabilitas
terhadap warga negara (less account ability to citizens), kerugian akan faedah
investasi kapital (loss of ben efits of capital investment), kurangnya kompetisi bisa
meningkatkan biaya (lack of competition leading to increase cost), masalah-
masalah kontrol kualitas (quality control problems), meningkatnya biaya
pelayanan karena pajak dan jaminan asuransi (service cost increases due to taxes
and liabili ty insurance) dan energi yang dihabis kan untuk pertimbangan politis
yang menyertai setiap privatisasi (the politi cal considerations involved in privati
zation) (Palumbo & Maupin, 1989; O'Brien, 1989).

Kedua, Kompetisi (competition). Secara tradisional, kompetisi bisa dilihat


sebagai fungsi persaingan atas pelaku pasar/swasta dengan pelaku monopoli
publik (public mono-polies). Manakala kompetisi itu sehat, maka efisiensi dan
ekonomi bisa dinilai dan dirasakan baik (Kettl, 1993). Ketika kompetisi tidak
nampak lagi, maka perilaku organisasi-organisasi dan pemerintah dapat terlihat
menjadi malas, inefisien, atau bahkan tidak lagi berbuat lebih selain ingin
memperkuat dan menggunakan monopolinya layaknya sebuah kekuasaan.
Kompetisi juga semakin menguatkan interaksi antara pemerintah dengan sektor
privat dalam jalur kontrak kerjasama yang semakin luas dan membutuhkan
banyak keahlian. Sehingga pengembangan skill dalam arena kompetisi ini bisa
menjadi jembatan pertemuan antara ilmuwan dan praktisi.

Ketiga, Governance. Tata pemerintahan secara signifikan perlu menjadi


perhatian seiring meningkatnya kesadaran citizens yang merasakan dirinya makin
dilayani dan disikapi layaknya sebagai customer daripada sebagai citizen (warga
negara). Banyak yang masih percaya dan mendukung jika pemerintah harus
memiliki kepentingan publik (citizen) sebagai prioritas, sebagaimana yang
dipromosikan oleh penganjurnya, seperti Denhardt (2003) dalam New Public
Service. Karena di dalam kepentingan warga negara atau publik terkandung
aspek-aspek penghargaan terhadap proses-proses, keadilan, partisipasi,
responsibility, accountability, dan berlakunya kaidah-kaidah yang jelas di antara
berbagai nilai-nilai yang ada. (Nagel, 1989; Goohsell, 1993).

Secara umum buku ini cukup komprehensif dalam menjelaskan setiap


konsekuensi dari adanya alternatif kebijakan manajemen. Sehingga argumentasi
yang disampaikan dalam buku ini mungkin akan positif bagi dua pemikiran yang
berbeda, terutama bagi pendukung perspektif new public management atau bagi
yang lebih percaya pada perspektif new public service. Yakni agar menjadi hati-
hati dan tidak terlalu berlebihan bagi pendukung ke pentingan customer, dan agar
menjadi tidak terlalu gamang bagi pemikiran yang menjunjung nilai citizenship.
Tujuan studi-studi yang ada dalam buku ini adalah berusaha menunjukkan
bagaimana kekuatan entrepreneurship bisa menjembatani kelemahan-kelemahan
sektor publik dengan cara yang aman dan dapat dijalankan seimbang. Namun
bukan semata mendasarkan logika pada kekuatan pasar dalam menguraikan cara
memperbaiki manajemen publik, bahkan sebaliknya mengupayakan persoalan
ethics, governance, dan citizen values harus bisa didiktekan dalam lingkungan
manajemen entrepreneurial.

Jenis buku transformatif seperti ini disamping memiliki kelebihan juga


akan menampakkan kelemahannya apabila argumen-argumen yang sering dipakai
ber-setting negara industri maju. Kita ambil contoh, misalnya kearifan seorang
manajer yang kaya (mewakili negara maju) akan berbeda dengan kearifan seorang
manajer yang miskin (mewakili negara berkembang). Misalnya, di negara maju
seseorang harus kaya dulu bahkan menanggalkan karir bisnisnya yang gemilang
sebelum terjun ke sektor publik, hal mana mungkin terjadi sebaliknya di negara
berkembang. Sehingga untuk mencapai suatu ethics dan citizen values dalam
proses manajemen entrepreneur mungkin akan membutuhkan perjuangan dan
penyesuaian kultural yang berbeda. Terlepas dari kritik yang ada dalam karya
ilmiah, buku ini dapat selalu menjadi bahan referensi yang amat berarti bagi para
pakar, peneliti, atau bagi yang ingin mengetahui arus pemikiran yang muncul dan
berkembang dalam pemikiran-pemikiran administratif kontemporer, dan
khususnya bagi yang sedang berada dalam kemacetan ide bagaimana menentukan
orientasi strategi kebijakan organisasi dan manajemen.

Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah

Tuntutan akan perlunya pelaksanaan reformasi pengelolaan keuangan


Daerah di Indonesia terakomodasi melalui Peraturan Pemerintah No. 105 tahun
2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah yang
kemudian disusul dengan penerbitan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 tentang
Pedoman, Pertanggung jawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata
Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan
Penyusunan Perhitungan APBD sebagai peraturan pelaksanaannya. Kedua
peraturan ini merupakan pengganti peraturan-peraturan keuangan Daerah
terdahulu yang berinduk pada Undang-undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Pemerintaha di Daerah, yakni Peraturan Pemerintah No.5 Tahun 1975
tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah; PP
No. 6 Tahun 1975 tentang Cara Penyususnan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha
Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD; serta Perendagri No. 2
Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Melalui kedua peraturan tersebut, reformasi pengelolaan keuangan Daerah


(financial management reform) dalam bidang penyusunan anggaran/penganggaran
(budgeting) mengalami perubahan yang cukup mendasar, baik struktur maupun
mekanisme penyusunan. Perubahan struktur anggaran (budget structure reform)
dilakukan untuk mengubah struktur anggaran tradisional yang ber sifat line-item.
Perubahan struktur anggaran tersebut dimaksudkan untuk menciptakan
transparansi dan meningkatkan akuntabilitas publik (public ac countability).
Dengan struktur anggaran yang baru, akan tampak secara jelas besarnya surplus
dan defisit anggaran serta strategi pembiayaan apabila terjadi defisit fiskal. Selain
itu, struktur anggaran yang baru memungkinkan Pemerintah Daerah untuk
membentuk dana cadangan. Dengan demikian, anggaran tidak harus dihabiskan
selama tahun anggaran bersangkutan, namun bisa ditransfer ke dalam dana
cadangan.

Dengan dikeluarkannya Permendagri No 13 Tahun 2006 Tentang


Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, membawa konsekuensi dalam
penyusunan anggaran sebagai berikut:

1. Mengatur secara jelas dan penyusunan dan pembahasan KUA dan


PPAS

2. Rancangan KUA dan PPAS disusun oleh Kepala Daerah, berdasarkan


pengajuan masing-masing satuan kerja

3. Memperjelas keterkaitan dan hu bungan antara dokumen perenca naan


dan penyusunan rancangan KUA, PPAS untuk disepakati dengan DPRD

4. Penyusunan RKA-SKPD dengan pendekatan kerangka pengeluaran


jangka menengah dan prestasi kerja yang dilakukan berdasarkan capaian kerja,
standard satuan harga, dan standard pelayanan minimal

5. Pejabat Pengelola Keuangan Dae rah (PPKD) dalam menyusun draf


Perda APBD, mendasarkan pada berbagai dokumen RKA-SKPD yang telah
ditelaah oleh Tim Ang garan Pemerintah Daerah

6. Pelaksanaan PP 58/2005 dan Per men 13/2006 dilakukan secara


bertahap mulai tahun 2006, yaitu :

a. Status bendaharawan SKPD sebagai pejabat fungsional yang diangkat


oleh Kepala Daerah

b. Penyusunan/penentuan anggaran SKPD didasarkan pada capaian kerja

c. Laporan keuangan disusun dan disajiikan sesuai standard akuntansi


pemerintah
7. Pelaksanaan PP 58/2005 dan Per men 13/2006 pada tahun 2007 antara
lain:

a. Berdasarkan KUA yang telah disepakati, pemerintah daerah dan DPRD


membahas rancangan PPAS yang disampaikan oleh Kepala Daerah

b. Penetapan Raperda APBD dan Raper KDH tentang Penjabaran APBD,


setelah dievaluasi Gubernur, paling lambat 31 Desember Tahun Anggaran
sebelumnya

Untuk itu dalam Permandagri No 13 Tahun 2006 secara jelas mengatur


tentang penyusunan anggaran pada setiap SKPD sebagai kerangka anggaran
daerah sebagai berikut:

1. Berdasarkan dokumen RPJP/RPJMD, pemerintah daerah menyusun


rencana kerja yang berisi kegiatan dan program, yang akan dilakukan selama satu
tahun, dikenal sebagai rancangan draf RKPD.

2. Selanjutnya usulan masing-masing unit organisasi pemerintah daerah


yang didasarkan pada Renstra SKPD disusunlah draf RKA-SKPD untuk acuan
dalam mengajukan anggaran.

3. Berdasarkan usulan anggaran masing-masing SKPD, yaitu berupa


kumpulan draf RKA-SKPD, dibuatlah KUA dan PPAS yang akan diajukan
berupa nota kesepakatan dengar DPRD.

4. Setelah ada kesepakatan Pemerintah Daerah (TAPD) dengan DPRD


(Panja DPRD), dibuat surat edaran Kepala Daerah tentang pedoman penyusunan
RKA-SKPD sebagai acuan bagi Kepala SKPD dalam menyusun RKA-SKPD
disetiap unit organisasi baik Badan/Kantor/ Dinas/Sekertariat/ Bagian yang di
pimpinnya sesuai kesepakatan dalam surat edaran.

5. Indikator kinerja adalah ukuran keberhasilan yang akan dicapai dari


program dan kegiatan yang direncanakan oleh masing-masing SKPD
6. Capaian kinerja merupakan prestasi kerja yang akan dicapai yang
berwujud kualitas, kuantitas, efisiensi dan efektifitas pelaksanaan dari setiap
program dan kegiatan

7. Analisis standar belanja merupakan penilaian kewajaran atas beban


kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan

8. Standar satuan harga merupakan harga satuan setiap unit barang-


barang/jasa yang berlaku di suatu daerah yang ditetapkan dengan keputusan
Kepala Daerah

9. Standar pelayanan minimal merupakan tolok ukur kinerja dalam


menentukan capaian jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan
wajib daerah.

I. AGENDA REFORMASI KEUANGAN DAERAH

Konsep reformasi dalam konteks administrasi negara dapat dimengerti


sebagai suatu usaha untuk menerapkan ide-ide baru kepada suatu sistem
administratif secara sadar untuk memperbaiki sistem tersebut dalam rangka
pencapaian tujuan pembangunan nasional secara positif.

1. Reformasi Pembiayaan (financing k reform)

Reformasi pengelolaan keuangan Daerah berhubungan dengan perubah an


sumber-sumber pembiayaan Peme rintah Daerah yang meliputi perubahan
sumber-sumber penerimaan keuangan Daerah. Dimensi reformasi keuangan
Daerah tersebut adalah :

a. Perubahan kewenangan Daerah da lam pemanfaatan dana perimbangan


keuangan.
b. Perubahan prinsip pengelolaan anggaran.
c. Perubahan prinsip penggunaan dana pinjaman dan deficit spending.
d. Perubahan strategi pembiayaan.
Dalam paket kebijakan otonomi Daerah tahun 1999, pendekatan
yang digunakan Pemerintah dalam perimbangan keuangan Pusat Daerah
masih menekankan segi pembagian sumber-sumber pendapatan. Namun
diformulasikan secara lebih jelas dan memberi peluang Daerah untuk
mengembangkan Pendapatan Asli Daerah melalui, misalnya, pajak dan
retribusi serta perusahaan Daerah. Selain kedua sumber pembiayaan
tersebut, reformasi pembiayaan lebih memungkinkan Daerah untuk
melaku kan pinjaman sesuai dengan kemam puan keuangannya. Daerah
juga dapat mengelola keuangannya dengan mem bentuk dana cadangan.
Keleluasaan demikian sejalan dengan struktur APBD yang tidak lagi
menggunakan prinsip anggaran berimbang.
Pembiayaan keuangan Daerah se lain diatur dalam UU No. 33
tahun 2004 juga diatur dalam beberapa per aturan yaitu Peraturan
Pemerintah No mor 54 Tahun 2005 tentang Pinjaman Daerah; Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perim bangan, Peraturan
Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang Hibah Kepada Daerah.

2. Reformasi Akuntansi (accounting reform)

Sebagaimana diketahui, Undang undang No. 17 tahun 2004 tentang Keuangan


Negara, Undang-undang No. 1 tahun 2004 Tentang Perbenda haraan Negara, dan
Undang-undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerin tahan Daerah
mengamanatkan peng gunaan Standar Akuntansi Pemerintah an (SAP) sebagai
pedoman dan rujukan Pemerintah/Daerah dalam menyusun laporan keuangan.
Sebelumnya, di se butkan pula dalam Peraturan Pemerin tah No. 105 tahun 2000
pasal 35 bah wa penatausahaan dan pertanggung jawaban keuangan Daerah
dilaksana kan berdasarkan Standar Akuntansi Pe merintah (SAP).

Reformasi akuntansi Daerah ini merupakan penggantian sistem Manual


Administrasi Daerah (Makuda) yang selama ini digunakan sebagai panduan dan
pedoman kerja untuk pengelolaan keuangan Daerah yang mengacu pada
Kepmendagri No. 900-099 tahun 1980 yang penyusunannya merujuk pada UU
No. 5 tahun 1974, PP No. 5 tahun 1975 dan PP No. 6 tahun 1975.

Dalam Makuda terdapat beberapa karakteristik, antara lain:

a) Sistem pembukuan tunggal (single entry)

b) Sistem akuntansi berbasis kas

c) Belum menyediakan media pencatatan untuk kategori pengeluaran modal.

d) Laporan pertanggungjawaban lebih fokus pada pertanggungjawaban


administratif.

e) Laporan pertanggungjawaban belum melibatkan auditor eksternal.

Bila dilihat dari aspek sistem pengendalian intern, sistem akuntansi di atas
mengharuskan pelimpahan wewenang otorisasi pada kebijakan Kepala Daerah.
Sistem tersebut telah memiliki deskripsi mengenai pendapatan dan belanja, namun
belum memiliki deskripsi neraca. Jenis laporan yang di susun hanya laporan
APBD yang berisi anggaran/target dan realisasinya. Adapun penyajiannya dalam
format laporan penetapan APBD, laporan perubahan APBD dan laporan
perhitungan APBD. Penyusunan formulir, dokumentasi, buku besar, dan buku
pembantu belum baik dan terkesan tumpang tindih. Prosedur-prosedur akuntansi
atau flow chart belum disusun dengan baik. Prosedur yang ada lebih menekankan
pada tata pembukuan tentang petunjuk pengisian dokumen buku dan catatan.
Bentuk dan susunan kode rekening untuk pendapatan, belanja, dan neraca juga
belum ada (Mardiasmo dalam Hamid & Malian, 79:2002).

Penggunaan pembukuan dengan dasar Single entry pada awalnya digunakan


dengan alasan utama demi kemudahan dan kepraktisan. Seiring dengan semakin
tingginya tuntutan diciptakannya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan
keuangan organisasi sektor publik, perubahan dari sistem single entry menjadi
double entry dipandang sebagai solusi yang mendesak untuk diterapkan. Hal
tersebut dikarenakan penggunaan single entry tidak dapat memberikan informasi
yang komprehensif dan mencerminkan kinerja yang sesungguhnya.
Pengaplikasian pencatatan transaksi dengan sistem double entry ditujukan untuk
menghasilkan laporan keuangan yang auditable dan traceable. Hal ini merupakan
factor utama untuk menghasilkan infomasi keuangan yang dapat
dipertangungjawabkan kepada publik.

Sedangkan akuntansi berbasis kas (cash basis) adalah sistem akuntansi yang
mencerminkan pengeluaran yang aktual, riil dan obyektif. Namun kekurangannya
adalah tidak dapat mencerminkan kinerja yang sesungguhnya karena dengan cash
basis tidak dapat diukur tingkat efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan, program,
atau aktivitas dengan baik. Teknik akuntansi berbasis akrual (acrual basis) dinilai
dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, lebih akurat,
komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan
politik

Pengaplikasian accrual basis dalam akuntansi sektor publik pada dasarnya


adalah untuk menentukan cost of service dan charging for service, yaitu untuk
mengetahui besarnya biaya yang dibutuhkan untuk menghasilkan pelayanan bagi
publik serta menentukan harga pelayanan yang dibebankan kepada publik. Hal ini
berbeda dengan tujuan utama pengaplikasian accrual basis dalam sektor swasta
yang digunakan untuk mengetahui dan membandingkan besarnya biaya terhadap
pendapatan (proper matching cost gainst revenue). Perbedaan ini disebabkan
karena pada sektor swasta orientasi lebih difokuskan pada usaha untuk
memaksimumkan laba (profit oriented), sedangkan dalam sektor publik orientasi
difokuskan pada optimalisasi pelayanan publik (service oriented).

Dalam reformasi akuntansi, telah dihasilkan sistem double entry dan basis kas
modifikasian (basis kas dan akrual). Sistem double entry merupakan sistem
pembukuan berpasangan, dimana dalam setiap pencatatan transaksi maka kita
akan mencatat dua hal yang terpengaruh dengan adanya transaksi tersebut.
Pencatatan ini dikenal dengan sistem debit-kredit. Sistem double entry digunakan
sebab memiliki keuntungan:
1. Sistem double entry dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih
mudah diaudit dan penelusuran antara bukti transaksi, catatan, dan keberadaan
kekayaan, utang, dan ekuitas organisasi

2. Pengukuran kinerja dapat dilakukan secara lebih komprehensif.

Sedangkan basis kas modifikasian berarti pencatatan hanya dilakukan hanya


terhadap transaksi yang melibatkan kas, sedangkan transaksi yang tidak ada
penerimaan atau pengeluaran kas dicatat diakhir periode dalam jurnal
penyesuaian. Dengan basis kas modifikasian, pencatatan anggaran menggunakan
basis kas, sedangkan untuk menghasilkan laporan neraca di akhir periode
akuntansi digunakan basis akrual.

3. Reformasi Penganggaran (budget in reform)

Reformasi penganggaran dapat dijelaskan sebagai usaha-usaha secara sadar


yang dilakukan dalam rangka memperbaiki sistem penganggaran. Di Indonesia,
reformasi penganggaran ditandai dengan keluarnya paket undang undang otonomi
Daerah yaitu Undang undang No. 22 tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan UU
No. 32 tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25
Tahun 1999 (saat ini telah diganti dengan UU No. 33 tahun 2004) tentang Perim
bangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Selanjutnya, reformasi penganggaran benar-benar menemukan formatnya


dengan terbitnya PP 105 tahun 2000 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (yang kini telah diganti dengan PP No. 58
Tahun 2005). Kemudian disusul dengan Kepmendagri No. 29 tahun 2002 (yang
telah mengalami revisi pada tahun 2005 dan diganti dengan Permendagri No. 13
Tahun 2006) tentang Pedoman, Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan
Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah dan Penyusunan Perhitungan PDB.
Reformasi penganggaran (budgeting reform) hanya meliputi perubahan
struktur anggaran (budget structure reform) dan perubahan mekanisme
penyusunan APBD (budget mechanism reform). Perubahan struktur anggaran
dilakukan untuk mengubah struktur anggaran tradisional yang berstruktur sifat
line-item. Dengan garam yang baru tersebut akan tampak secara jelas besarnya
surplus dan defisit anggaran serta strategi pembiayaan apabila terjadi defisit fiskal.
Format baru APBD tersebut akan memudahkan dalam membuat perhitungan dana
perimbangan yang menjadi bagian Daerah. Hal tersebut juga memudahkan bagi
publik untuk melakukan analisis, evaluasi, dan pengawasan atas pelaksanaan dan
pengelolaan APBD. Pemerintah Daerah juga dimungkinkan untuk membentuk
dana cadangan. Dengan demikian, anggaran tidak harus dihabiskan selama tahun
anggaran bersangkutan, namun bisa ditransfer ke dalam dana cadangan.

Reformasi penganggaran tidak hanya pada aspek perubahan struktur APBD,


namun juga diikuti dengan perubahan proses penyusunan anggaran. Beberapa
tahapan dalam penyusunan APBD dibuat berbeda dari mekanisme lama untuk
lebih mengefektifkan perencanaan dan keseimbangan peran antara Pemda, DPRD,
dan Masyarakat. Selain itu, anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dalam era
otonomi Daerah disusun dengan pendekatan kinerja. Anggaran dengan
pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada
upaya pencapaian hasil kinerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau
input yang ditetapkan.

4. Reformasi Manajemen Keuangan Daerah (finance management reform)

Sebelum dimulai reformasi pengelolaan keuangan Daerah melalui keluarnya


paket kebijakan otonomi Daerah pada awal 1999, pengelolaan keuangan Daerah
mengacu pada PP No. S tahun 1975 tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan
Pengawasan Keuangan Daerah dan PP No. 6 tahun 1975 tentang Cara Penyusunan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelak sanaan Tata Usaha Keuangan
Daerah, dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Selain itu terdapat pula Permendagri No. 2 tahun 1994 tentang Pelaksanaan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang mengatur secara detail
pelaksanaan anggaran. Setelah dimulai reformasi, pelak sanaan keuangan Daerah
(APBD) di atur dalam satu peraturan pengelolaan keuangan yaitu PP No. 105
tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggung jawaban Keuangan Daerah
beserta Kepmendagri 29 tahun 2002 tentang Pedoman, Pertanggungjawaban, dan
Pengawasan Keuangan Daerah serta ata Cara Penyusunan APBD, Pelak anaan
Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan APBD. Selanjutnya,
kedua peraturan tersebut diganti dengan PP No. 58 tahun 2005 dan Permendagri
No. 13 tahun 2006.

5. Reformasi Pemeriksaan (auditing reform)

Terdapat tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan otonom Daerah,


yaitu pengawasan (monitoring), pengendalian (controling), dan pemeriksaan
(auditing). Ketiga hal tersebut pada dasarnya berbeda, baik konsepsi maupun
aplikasinya. Pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan
oleh pihak di luar Pemda (yaitu masyarakat dan DPRD); pengendalian adalah
mekanisme yang dilaksanakan oleh Pemda untuk menjamin dilaksanakannya
sistem dan kebijakan manajemen. Sedangkan audit merupakan proses identifikasi
masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan
profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran,
kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara (UU No. 15 tahun 2004). Dalam hal aplikasi
pada APBD, pengawasan biasanya dilakukan pada setiap tahap, pengendalian
dilakukan pada tahap pelaksanaan, dan pemeriksaan pada tahap pelaporan dan
hal-hal khusus yang memerlukan tindak lanjut penyelidikan.

Pemberian otonomi dan desentra lisasi yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada Daerah Kabupaten/Kota akan membawa konsekuensi perubahan
pada pola dan sistem pemeriksaan. Sejalan dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor X/ MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehi dupan Nasional
sebagai Haluan Negara, dan Ketetapan No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
maka peran dan pengawasan dan pemeriksaan menjadi sangat strategis. Kedua
ketetapan MPR tersebut menggariskan bahwa dipandang perlu untuk
memberdayakan pengawasan oleh lembaga negara, lembaga politik dan
kemasyarakatan dan meningkatkan keterbukaan Pemerintah dalam pengelolaan
keuangan nega ra untuk menghilangkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)".

Sebagai upaya untuk meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan dalam


rangka memberantas praktik KKN, Pemerintah bersama DPR kemudian
mengesahkan UU No. 28 Ta hun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU No. 28 Tahun 1999 tersebut
kemudian menjadi landasan hukum dibentuknya Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN). Dengan demikian, untuk mengawasi jalannya
Pemerintahan saat ini terdapat lembaga lembaga pengawas dan pemeriksa yang
sifatnya independen yang memiliki tugas yang berbeda-beda, di antaranya
terdapat badan ombudsmen, KPKPN, dan BPK.

Harus disadari bahwa selama ini terdapat beberapa kelemahan dalam


melakukan audit Pemerintahan di Indonesia. Kelemahan pertama bersifat
inherent, sedangkan kelemahan kedua lebih bersifat struktural. Pertama adalah
tidak tersedianya performance in dicator yang memadai sebagai dasar untuk
mengukur kinerja Pemerintah Daerah. Hal tersebut umum dialami organisasi
publik karena output yang dihasilkan oleh organisasi publik ada ah berupa
pelayanan publik yang tidak mudah diukur. Pengauditan terhadap kinerja
Pemerintah Daerah akan lebih mudah bila telah ditetapkan kriteria kinerja
(performance indicator) yang harus dicapai Pemerintah Daerah. Selain tidak
adanya kriteria kinerja yang memadai, permasalahan lainnya adalah belum adanya
Standar Akuntansi Keuangan Pemerintah yang baku. Pada dasarnya pengauditan
terhadap Pemerintah Daerah adalah membandingkan output result dengan standar
dan kriteria yang telah ditetapkan. Pemerintah

Kedua, terkait dengan masalah struktur lembaga audit terhadap Pemerintah


pusat dan Daerah di Indonesia. Permasalahan yang ada adalah banyaknya lembaga
pemeriksa fungsional yang overlapping satu dengan lainnya yang menyebabkan
pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak efektif. Saat ini, pemeriksaan
yang dilakukan oleh aparat pemeriksa fungsional terhadap pembiayaan
desentralisasi dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektur Jenderal
Pembangunan (Irjenbang), Inspektorat Jenderal Dalam Negeri, Inspektorat
Wilayah Propinsi, dan Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota. Lembaga pemeriksa
fungsional tersebut terkadang overlapping dan kurang terkoordinasi dengan baik.

Untuk menciptakan lembaga audit yang efisien dan efektif, maka diperlukan
reposisi terhadap lembaga audit yang ada. Reposisi yang dimaksud berupa
pemisahan tugas dan fungsi yang jelas dari lembaga-lembaga pemeriksa
Pemerintah tersebut, apakah sebagai auditor internal atau auditor eksternal. Audit
internal adalah audit yang dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian
dari organisasi yang diawasi. Yang termasuk audit internal adalah audit yang
dilakukan oleh Inspektur Jenderal Departemen, Satuan Pengawasan Intern (SPI),
Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilprop), Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota
(Itwilkab/Itwilkab), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Sedangkan audit eksternal adalah audit yang dilakukan oleh unit pemeriksa
yang berada di luar organisasi yang diperiksa. Lembaga pemeriksa

tang Keuangan Negara (Daerah); Per aturan Pemerintah Nomor : 58 Tentang


Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri No: 13 Tahun 2006 Ten tang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, telah membawa implikasi po sitip dalam
upaya mewujudkan penge lolaan keuangan daerah yang lebih ter tib, disiplin,
efisien dan efektif guna mewujudkan good government and clean governance
sebagaimana yang diamanatkan konstitusi.
Penyusunan Rencana Kerja Ang garan Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-
SKPD) dan Dokumen Pelaksa naan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
(DPA-SKPD) yang mengacu pada RPJP, RPJMD, RKPD dan KUA serat Program
Prioritas, akan menye laraskan pencapaian tujuan peme rintah daerah dalam
mewujudkan Visi, Misi dan agenda utama yang dicita citakan seluruh masyarakat
di daerah.

Anda mungkin juga menyukai