Akuntabilitas Aparatur Pemda Dalam Era Good Governance Dan Otonomi Daerah
Akuntabilitas Aparatur Pemda Dalam Era Good Governance Dan Otonomi Daerah
Daerah
I. New Publick Management dan Good Governance
Pada saat konferensi dua tahunan APSA (Australasian Political Science
Association) pada tahun 2004 di Adelaide, Australia seorang perintis
paradigma good governance, Rhodes, berulang kali mengucapkan istilah
“hollowing” yang ditujukan pada pencekungan fungsi pemerintah. Pemerintah
mengalami penyusustan dalam aktifitas-aktifitas langsung yang berhubungan
dengan publik. Maksudnya pemerintah berperan sebagai pengatur dan
pengontrol daripada pelaksana langsung. Si pelaksana layanan publik diberikan
kepada masyarakat terutama sektor privat. Privatisasi dan marketisasi fungsi
pemerintah merupakan pilihan strategi kebijakan dalam era “New Public
Management”. Pierre (2000) menyebutkan perspektif ini mempromosikan
marketisasi (marketization) sektor publik, maksudnya penggunaan manajemen
kontrak, privatisasi, membuka alternatif pelayanan sehingga konsumen
mempunyai pilihan.
Dalam era ini, aparatur dan birokrasi pemerintah juga mengalami
pergeseran paradigma ke masa dimana penggunaan teknik manajemen sektor
privat dipergunakan di sektor pemerintahan. Pada halaman pembuka buku
berjudul “New Public Management” karya Lane (2000) ditulis: “New public
management is a topical phare to describe from the private sector are now
being applied to public services”. Perspektif ini mereformasi pendekatan
manajemen pelayanan publik sebelumnya yang menggunakan pendekatan
birokrasi. Teknik manajemen yang biasa digunakan disektor bisnis telah mulai
terbiasa digunakan di sektor pemerintahan, seperti teknik pengukuran kinerja,
pembangunan visi dan misi untuk pemerintahan lokal dan BUMD (Badan
Uusaha Milik Daerah). Inefisiensi unsur sektor pemerintaha termasuk BUMD
menyebabkan pendekatan ini mendapatkan tempat, apalagi didukung realita
anggaran pemerintah yang mengalami defisit dan keharusan membayar hutang
luar negeri. Beberapa unit-unit pemerintahan dan badan usaha milik
pemerintah yang mengurus anggaran pemerintah diefisienkan, bahkan ada
yang telah diprivatisasi ke pihak swasta. Walaupun aspek politis dibalik
gerakan efisiensi ini juga kadang cukup kental untuk beberapa kasus, sehingga
privatisasi tidak murni lagi dalam koridor ‘New Public Management’ karena
ada beberapa badan usaha milik pemerintah yang cukup efisien dan
menguntungkan tapi juga ikut dijual.
Pada gerakan “New Public Management” diatas, yang perlu dikritisi
adalah bagaimana agar fungsi ‘serving’ dari pelayanan publik tetap melekat
walaupun pemainyya telah bergeser ke sektor swsta, karena dikuatirkan fungsi
‘serving’ tersebut telah ditingggalkan seiring dengan besarnya pemain tersebut
(baca Denhardt and Denhardt, 2003 dalam bukunya The New Public Service).
Bagaimana dalam kondisi tersebut aparatur dan birokrasi pemerintahan
melaksanakan fungsi pelayanan dengan tetap menjungjung prinsip keadilan,
pemerataan dan kepantasan terutama bagi masyarakat yang tetinggal. Strategi-
strategi dalam “New Public Management” berpotensi untuk melangggengkan
bentuk konglomerasi lokal antara pemerintah dan pelaku bisnis (penguasa dan
pengusaha), yang bertolak belakang dengan semangat menentang praktik-
praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Dominasi peran pemeritah dan
swasta perlu diimbangi dengan pemberian hak dan wewenang yang
proporsional bagi rakyat (‘citizen’) untuk melaksanakan fungsi akuntabilitas.
Urgensinya paradigma good governance dalam merespon hal-hal diatas
adalah untuk tetap mempertahankan fungsi ‘serving’ dari pelayanan publik
melalui akuntabilitas, walaupun dalam kondisi beberapa sector pelayanan
tersebut telah diberikan kepada sektor privat/bisnis. Rakyat atau
dispesifikasikan lagi menjadi masyarakat yang berhak menerima layanan
publik, perlu diberikan akses untuk memonitor dan mengevaluasi kinerja
pelayanan publik. Fungsi ‘check and balance’ dari masyarakat ke sektor
pemerintah dan bisnis dalam pelayanan publik merupakan prasyarat utama
terciptanya good government. Hal inilah yang dimaknai dengan demokrasi
dalam pelayanan sector publik dimana rakyat yang telah mempercayakan
suaranya kepada pemimpin-pemimpin politik terpilih legislatif maupun
eksekutif tetap mempunyai hak dan wewenang untuk mengevaluasi kinerja
mereka dalam memanejemeni aparatur pemerintah dalam melaksanakan
fungsi-fungsi layanan publik.
b. Dimensi Nilai
Konsep Romzek dan Ingraham tentang tipe hubungan akuntabilitas, yang
membagi menjadi empat tipe akuntabilitas, yaitu berdasarkan aspek hierarki,
aspek legal, aspek profesional, dan aspek politik, menurut Jonathan G.S. Kopell
masih memiliki sejumlah kelemahan. Hal ini disebabkan karena konsep tersebut
terlalu fokus terhadap kontrol. Koppell mengkritik Romzek dan Ingraham dengan
menjelaskan bahwa untuk kasus akuntabilitas politik maka ini lebih ditentukan
oleh respon stakeholder kunci sebagai sumber control eksternal dengan tingkat
otonomi yang tinggi. Berdasarkan sintesis dengan pemikiran Behn, Kopell
menawarkan konsep lima aspek akuntabilitas, yaitu transparansi, liability,
controllability, responsibility dan responsivess. Kelima konsep ini tidak berdiri
sendiri secara ekslusif. Sebuah organisasi dapat saja bisa memiliki akuntabilitas
untuk beberapa aspek. Kendati demikian, dasar dari akuntabilitas ada pada faktor
transparansi dan liability.
Transparansi adalah instrument paling penting untuk mengukur kinerja
organisasi dan menjadi faktor kunci untuk mengetahui dimensi akuntabilitas
lainnya. Keterbukaan organisasi publik harus dapat memberikan akses kepada
publik, pers, kelompok kepentingan dan berbagai pihak lainnya yang memiliki
kepentinga atas kegiatan organisasi tersebut. Dalam tataran praktis, adanya
keterbukaan atau transparansi membuat semua langkah dan kebijakan birokrat
dapat di riview dan dipertanyakan secara regular atau berkala. Sehingga,
kesalahan kebijakan dapat diadakan penyelidikan dan harus dapat diterangkan
kepada publik.
Liabilitas adalah sesuatu yang kurang kongkrit. Namun dalam organisasi yang
dipilih melalui pemilihan perwakilan maka akuntabilitas akan menentukan bagi
pemilih untuk menghukum mereka, misalnya dengan mengeluarkannya dari
organisasi. Sedangkan untuk individu atau organisasi yang tidak melalui
pemilihan maka penghukuman dapat dilakukan dengan alternatif lainnya karena
dianggap melanggar hukum yang berlaku, misalnya karena telah melakukan
tindakan yang dianggap illegal dan kriminal.
Responsibilitas tidak harus diatur dalam hukum formal. Bernad Rosen
mengmukakan responsibilitas terkadang membutuhkan instrument hukum untuk
menjalankan dan merubah kebijakan dan program sekaligus untuk meningkatkan
kepercayaan diri institusi pemerintah dan masyarakat. Responsiveness (daya
tanggap) digunakan untuk menjelaskan konsep sampai sejauh mana perhatian
organisasi dapat mengakomodasikan kebutuhan konstituen organisasi (klien).
Konsep daya tanggap memiliki dua hal interpretasi. Pertama, terfokus kepada
permintaan masyarakat atau orang per orang untuk dilayani. Kedua, berkaitan
dengan adanya kebutuhan.
II. Perlunya Tata Hubungan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan
Antardaerah
Sekarang ini, yang perlu dilembagakan adalah penataan hubungan
kewenangan di antara organisasi pemerintah di setiap level. Jika gubernur
merupakan wakil pemerintah maka apa saja kewenangannya dan hubungannya
dengan pemerintah daerah perlu ditegaskan dan dirinci. Sebagai wakil
Pemerintah, gubernur harus jelas hubungannya dengan para Menteri bukan hanya
dengan Presiden. Bagaimana tata hubungan antara gubernur sebagai wakil
Pemerintah dengan Para Menteri dan atau Kepala Lembaga Pemerintah Non
Departemen. Secara keseluruhan, perlu dilakukan pelembagaan hubungan di
antara lembaga-lembaga pemerintah baik secara hotizontal maupun vertical yang
didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan rasional akademis untuk menghindari
polemik.
Beberapa hal yang mendorong secara utuh perlunya tata hubungan tersebut
antara lain: (a) bahwa Filosofis dasar keberadaan pemerintahan daerah dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan asas
desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan, merupakan subsistem dari
pemerintahan nasional (b) pelaksanaan pemerintahan yang baik menuntut adanya
hubungan saling ketergantungan antar berbagai elemen pemerintahan dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (c) tuntutan globalisasi
menghendaki pemerintahan yang kuat dalam berbagai jenjang yang saling
bersinergi (d) Bahwa keadaan kemajuan bangsa Indonesia yang memiliki karakter
budaya yang tinggi dan majemuk memerlukan pemerintahan yang mampu
menjadi pendorong inisiatif lokal, pendorong berbagai perubahan ke arah
kemajuan bangsa dan penyeimbang bagi setiap lapisan masyarakat dengan
kompleksitas sistem yang ada.
Disamping itu, yang tidak dapat dielakkan adalah amanat UUD. Pasal 1,
18, 18 A dan 18 B, 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945; khusunya ayat (1) pasal
18 A menyatakan: “Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah
daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota,
diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman
daerah.”
Frasa diatur dengan “Undang-Undang” menandakan bahwa materi tata
hubungan kewenangan yang dimaksud bukan berada di dalam sebuah produk
hukum lain tetapi justru secara khusus harus disusun sebuah UU akan hal
itu. Sandaran legalitas dari pasal tersebut sangatlah kuat untuk kita meyusun
sebuah UU.
III. Area Tata Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dan Anatar Daerah
Konsepsi untuk mewujudkan kehendak filosofis di atas berupa sebuah
mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam pemerintahan
berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Untuk itu, tata hubungan yang ada
mengharuskan operasionalisasi dari konsepsi tersebut. Singkat kata, tata hubungan
adalah mekanisme dan proses timbal balik antar berbagai unsur dalam
pemerintahan berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Unsur dalam
pemerintahan adalah elemen-elemen yang membentuk sistem pemerintahan yang
meliputi: wewenang, jabatan, dan wilayah. Tata hubungan wewenang adalah
mekanisme dan proses timbal balik dalam hal pembagian dan penyerahan
wewenang atas dasar prinsip kepemerintahan yang baik. Tata hubungan wilayah
adalah mekanisme dan proses timbal balik dalam hal wilayah pemerintahan atas
dasar prinsip kepemerin tahan yang baik. Tata hubungan jabatan adalah
mekanisme dan proses tim antara Pemerintah Pusat dan Daerah adalah mekanisme
dan proses timbal balik antara unsur Pemerintah Pusat dan unsur Pemerintah
daerah berdasarkan prinsip kepemerintahan yang baik. Tata Hubungan Antara
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah mekanisme dan
proses timbal balik antara unsur Pemerintah Provinsi dan unsur pemerintah
Kabupaten/ Kota berdasarkan kepemerin tahan yang baik. Pola hubungan yang
tercipta dapat beranjak pada hubungan vertikal, hori zontal dan diagonal.
Hubungan-hu bungan tersebut dapat terjadi baik da lam area dekonsentral,
desentralisasi, dan medebewind maupun dalam antar ketiga area tersebut.
Tinjauan Buku: Optimalisasi Kebijakan Publik Melalui Enterpreneurial
Management
Semenjak rejim Clinton-Gore di AS meluncurkan agenda reinventing
government (Osborn & Gaebler, 1991), maka yang kemudian terjadi adalah
sebuah transformasi besar pada manajemen publik. Antara lain ditandai suatu
keperluan adanya; jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) yang diinjeksikan ke
dalam sektor manajemen publik, penyakit di birokrasi publik seperti red tape dan
maladministrasi harus disikat habis, akuntabilitas kepada aturan-aturan (rules)
digantikan akuntabilitas kepada hasil (result), kepentingan pelanggan (customer)
diletakkan pada urutan pertama (put first) dengan mengadopsi tipe kompetisi
pasar, serta kewenangan (authority) di desentralisasikan dengan memberdayakan
pegawai.
Buku yang disusun Johnston (editor) ini nampaknya adalah salah satu
buku yang "bersikeras" pada satu keyakinan di atas. Bahwa untuk dapat
menciptakan pemerintahan yang bercita rasa good governance bisa dicapai
melalui jargon-jargon seperti; entrepreneurial quality, privatization, competition
dll. Hal mana sudah sangat jelas dipaparkan dalam tiga bagian pokok buku ini.
Pada bagian I, terdiri dari lima bab yang membahas privatization, competition,
deregulation, dan entre preneurial management. Pada bagian II, terdiri lima bab
yang membahas entrepreneurship, reinventin government, franchising dan
contracting out. Sedangkan bagian III terdiri dari tiga bab yang membahas
masalah entrepreneurial quality, ethics dan governance. Dari tiga bagian pokok
kumpulan tulisan tersebut setidaknya ada tiga hal penting yang perlu dicatat dan
sangat relevan untuk dikritisi dari diterbitkan nya buku ini, yaitu privatisasi,
kompetisi, dan governance. Pertama, Privatisasi (privatization) merupakan salah
satu pilihan pertama yang harus dipilih pemerintah apabila ingin bekerja lebih
efisien. Argumen perlunya privatisasi k didasarkan pada alasan; dapat mengurangi
biaya (cost can be reduced) proyek-proyek jangka pendek diharap kan bisa lebih
ekonomis (short-term projects can be optimized economi cally); pelayanan dapat
diberikan secara lebih hemat (service can be provide more frugally); sumber daya
yang terbatas dapat dikompensasikan (limited resources can be compensated for);
dan pekerjaan-pekerjaan pemerintah tertentu dapat diperbaiki (government
operations typically are improved) (hal.7).
Bila dilihat dari aspek sistem pengendalian intern, sistem akuntansi di atas
mengharuskan pelimpahan wewenang otorisasi pada kebijakan Kepala Daerah.
Sistem tersebut telah memiliki deskripsi mengenai pendapatan dan belanja, namun
belum memiliki deskripsi neraca. Jenis laporan yang di susun hanya laporan
APBD yang berisi anggaran/target dan realisasinya. Adapun penyajiannya dalam
format laporan penetapan APBD, laporan perubahan APBD dan laporan
perhitungan APBD. Penyusunan formulir, dokumentasi, buku besar, dan buku
pembantu belum baik dan terkesan tumpang tindih. Prosedur-prosedur akuntansi
atau flow chart belum disusun dengan baik. Prosedur yang ada lebih menekankan
pada tata pembukuan tentang petunjuk pengisian dokumen buku dan catatan.
Bentuk dan susunan kode rekening untuk pendapatan, belanja, dan neraca juga
belum ada (Mardiasmo dalam Hamid & Malian, 79:2002).
Sedangkan akuntansi berbasis kas (cash basis) adalah sistem akuntansi yang
mencerminkan pengeluaran yang aktual, riil dan obyektif. Namun kekurangannya
adalah tidak dapat mencerminkan kinerja yang sesungguhnya karena dengan cash
basis tidak dapat diukur tingkat efisiensi dan efektivitas suatu kegiatan, program,
atau aktivitas dengan baik. Teknik akuntansi berbasis akrual (acrual basis) dinilai
dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih dapat dipercaya, lebih akurat,
komprehensif, dan relevan untuk pengambilan keputusan ekonomi, sosial, dan
politik
Dalam reformasi akuntansi, telah dihasilkan sistem double entry dan basis kas
modifikasian (basis kas dan akrual). Sistem double entry merupakan sistem
pembukuan berpasangan, dimana dalam setiap pencatatan transaksi maka kita
akan mencatat dua hal yang terpengaruh dengan adanya transaksi tersebut.
Pencatatan ini dikenal dengan sistem debit-kredit. Sistem double entry digunakan
sebab memiliki keuntungan:
1. Sistem double entry dapat menghasilkan laporan keuangan yang lebih
mudah diaudit dan penelusuran antara bukti transaksi, catatan, dan keberadaan
kekayaan, utang, dan ekuitas organisasi
Pemberian otonomi dan desentra lisasi yang luas, nyata, dan bertanggung
jawab kepada Daerah Kabupaten/Kota akan membawa konsekuensi perubahan
pada pola dan sistem pemeriksaan. Sejalan dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor X/ MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi
Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehi dupan Nasional
sebagai Haluan Negara, dan Ketetapan No. XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme,
maka peran dan pengawasan dan pemeriksaan menjadi sangat strategis. Kedua
ketetapan MPR tersebut menggariskan bahwa dipandang perlu untuk
memberdayakan pengawasan oleh lembaga negara, lembaga politik dan
kemasyarakatan dan meningkatkan keterbukaan Pemerintah dalam pengelolaan
keuangan nega ra untuk menghilangkan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)".
Untuk menciptakan lembaga audit yang efisien dan efektif, maka diperlukan
reposisi terhadap lembaga audit yang ada. Reposisi yang dimaksud berupa
pemisahan tugas dan fungsi yang jelas dari lembaga-lembaga pemeriksa
Pemerintah tersebut, apakah sebagai auditor internal atau auditor eksternal. Audit
internal adalah audit yang dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian
dari organisasi yang diawasi. Yang termasuk audit internal adalah audit yang
dilakukan oleh Inspektur Jenderal Departemen, Satuan Pengawasan Intern (SPI),
Inspektorat Wilayah Propinsi (Itwilprop), Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kota
(Itwilkab/Itwilkab), dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Sedangkan audit eksternal adalah audit yang dilakukan oleh unit pemeriksa
yang berada di luar organisasi yang diperiksa. Lembaga pemeriksa