Oleh :
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Akuntabilitas mempunyai arti pertanggungjawaban yang merupakan salah satu
ciri dari penerapan ”Good Governance” atau pengelolaan pemerintahan yang baik.
Pemikiran tersebut bersumber dari pengelolaan administrasi publik yang merupakan
issue utama dalam pencapaian menuju ”clean government”(pemerintahan yang
bersih). Ada beberapa pilar good governancedalam berinteraksi satu dan lainnya yang
saling terkait, yaitu: Government, Citizen, danBusiness atau State, Societydan Private
Sector. Pada dasarnya pilar tersebut mempunyai konsekuensi akuntabilitas terhadap
publik atau masyarakatnya, khususnya stakeholders yang yang melingkupi ketiga
pilar tersebut sebagai pelaku ”How to govern” atas aktivitasnya.
Orde Baru mewariskan rendahnya instrumen pertanggungjawaban institusi
publik dan nyaris tidak meninggalkan mekanisme kelembagaan yang transparan dan
menggali nilai – nilai partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan.
Masyarakat lebih banyak berperan hanya sebagai obyek pembangunan dan bukan
bekerja dalam pola partnership dalam peningkatan kinerja dan akuntabilitasi
pemerintah. Partisipasi masyarakat yang dibanggakan dalam perencanaan
pembangunan melalui ”bottom up and top down planning” yaitu pada bagian Diskusi
Pembangunan Desa Tingkat Desa oleh LKMD dan menjadi kebanggan bentuk
partisipasi masyarakat diwaktu yang lalu, yang ada hakekatnya adalah ”mobilisasi”
atau setidak-tidaknya tipe partisipasi ”statutory”, partisipasi yang diformat oleh
pemerintah; yang pada akhirnya juga masih bersifat ”memasung” demokratisasi lokal
dalam perencanaan.
Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru.
Hampir seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep
akuntabilitas ini khususnya dalam menjalankan fungsi administratif kepemerintahan.
Fenomena ini merupakan imbas dari tuntutan masyarakat yang mulai digemborkan
kembali pada awal era reformasi di tahun 1998. Tuntutan masyarakat ini muncul
karena pada masa orde baru konsep akuntabilitas tidak mampu diterapkan secara
konsisten di setiap lini kepemerintahan yang pada akhirnya menjadi salah satu
penyebab lemahnya birokrasi dan menjadi pemicu munculnya berbagai
penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan administrasi negara
di Indonesia. Era reformasi telah memberi harapan baru dalam implementasi
akuntabilitas di Indonesia. Apalagi kondisi tersebut didukung oleh banyaknya
tuntutan negara-negara pemberi donor dan hibah yang menekan pemerintah Indonesia
untuk membenahi sistem birokrasi agar terwujudnya good governance.
Implementasi akuntabilitas di Indonesia pada prinsipnya telah dilaksanakan
secara bertahap dalam lingkungan pemerintahan. Dukungan peraturan-peraturan yang
berhubungan langsung dengan keharusan pernerapan akuntabilitas di setiap instansi
pemerintah menunjukan keseriusan pemerintah dalam upaya melakukan reformasi
birokrasi. Namun demikian, masih terdapat beberapa hambatan dalam implementasi
akuntabilitas seperti; masih rendahnya kesejahteraan pegawai, faktor budaya, dan
lemahnya penerapan hukum di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
· Pengungkapan
Konsep full disclosure (pengungkapan lengkap) mewajibkan agar laporan
keuangan didesain dan disajikan sebagai kumpulan potret dari kejadian ekonomi yang
mempengaruhi instansi pemerintah untuk suatu periode dan berisi cukup informasi.
Yang menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan
keuangan sehingga membuat pemakai laporan keuangan paham dan tidak salah tafsir
terhadap laporan keuangan tersebut. Pengungkapan lengkap merupakan bagian dari
prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan, sehingga terdapat di dalam Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2005 pada lampiran II paragraf 50, mengatakan: ”Laporan
keuangan menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna.
Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan dapat ditempatkan
pada lembar muka laporan keuangan atau catatan atas laporan keuangan”.
1. Kebijakan yang selama ini dinilai hanya difokuskan di kota-kota besar dan kurang
memedulikan kelestarian lingkungan;
2. Kebijakan yang sektoral dan kurang memadukan sektor-sektor yang ada, seperti
lingkungan, ilmu pengetahuan alam, dan budaya;
Selain itu, juga muncul aturan yang simpang siur, seperti aturan pajak, upah
pungut, serta UU migas dan perminyakan. Kesimpangsiuran tersebut juga memicu
perbedaan persepsi dan berujung pada korupsi. Di samping masalah dalam kebijakan
pembangunan tersebut di atas, masalah yang dihadapi khususnya dalam keuangan
negara. Rendahnya kualitas administrasi keuangan negara:
1. Tersendat-sendatnya pengajuan anggaran;
5. Proses perencanaan di daerah juga masih lemah, sehingga program atau proyek
tidak bisa diselesaikan dalam satu tahun anggaran;
7. Hal ini terlihat dari APBN yang terus meningkat, tetapi kemiskinan dan
pengangguran tetap besar;
8. Hingga saat ini ketimpang anggaran pusat dan daerah masih sangat besar (70
persen berbanding 30 persen), dan seharusnya relatif berimbang;
KASUS
Solusi Permasalahan
Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dana BOS memang sudah
banyak disinyalir di beberapa tempat, namun tentunya juga hal ini tidak bisa
digeneralisasikan di semua tempat dan kondisi penyalahgunaan wewenang tersebut
terjadi, namun jika dilihat dari segi peluang atau kesempatan, banyak sekali peluang
yang bisa digunakan oleh oknum untuk bisa melakukan penyelewengan. Oleh karena
itu hal yang paling penting adalah meminimalisir kesempatan dan peluang supaya
tidak bisa terjadi dan tidak ada kesempatan oknum untuk keluar dari aturan yang
sudah berlaku.
Menghapuskan kebijakan pendidikan yang bersubsidi jelas bukan menjadi
solusi, karena memang pada intinya pendidikan adalah kebutuhan primer yang harus
terpenuhi, dan juga Undang-Undang kita telah mengamanatkan untuk memberikan
layanan gratis untuk pendidikan dasar. Oleh karena itu, penghapusan sama sekali
kebijakan BOS bukan merupakan solusi bagi kemelut pengelolaan dana BOS.Namun,
setidaknya ada beberapa langkah yang kemungkinan bisa diambil oleh pemerintah
untuk menanggulangi permasalahan ini diantaranya :
1. Peninjauan Kembali Kebijakan
UUD 1945 menyatakan bahwa pendidkan adalah hak bagi semua warga,
terlebih pendidikan dasar untuk wajib belajar Sembilan tahun menjadi hak utama
bagi warga Negara dan Negara wajib mengusahakan pembiayaannya. Ini menjadi
amanat besar dan latar belakang utama kenapa dana BOS hadir dalam proses
pendidikan wajib belajar 9 tahun. Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah
dan tidak semua warga Negara membutuhkan dan harus diberi subsidi untuk
pendidikan dasar ini, hal ini terbukti dengan beberapa sekolah yang tidak
menerima dana BOS, tapi tetap menjual kualitas kepada customernya.
Peninjauan kembali bukan berarti penghapusan program, tapi
pembaharuan design program BOS bisa menjadi solusi. Bisa saja pemerintah
mengatur kembali pendanaan untuk sekolah yang sudah maju secara financial dan
juga aturan yang khusus untuk warga Negara yang sudah tidak layak untuk
mendapatkan subsidi.
2. Dana Berkeadilan
Adil bukan berarti sama rata, bisa saja besaran antara yang satu dengan
yang lainnya berbeda, tapi secara teknis dan hakikatnya besaran itu bisa
mencukupi serta bisa digunakan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu dana
yang berkeadilan sudah saatnya diberlakukan untuk pengelolaan subsidi
pendidikan. Tidak sepantasnya peserta didik yang orang tuanya mampu secara
financial, tapi masuk dan bersekolah di sekolah yang mendapatkan subsidi dari
pemerintah, sehingga disini dibutuhkan peran serta dari sekolah untuk benar-
benar mendata peserta didik yang layak disubsidi.
Jika dana berkeadilan ini benar-benar diterapkan dalam system
pengelolaan dana subsidi pendidikan, bisa saja kedepan orang tua akan
beranggapan jika dia tergolong kedalam warga yang layak mendapatkan subsidi
maka dia harus menyekolahkan anaknya pada sekolah bersubsidi, sedangkan
untuk warga yang tidak masuk kedalam kategori layak subsidi menyekolahkan
anaknya ke sekolah yang tidak bersubsidi. Sehingga konsentrasi dana akan benar-
benar terarahkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, dan tidak ada
kesenjangangn kualitas antara sekolah yang bersubsidi dengan sekolah yang tidak
bersubsidi. Namun tentunya dana berkeadilan ini dibutuhkan sifat manusia
Indonesia yang baik, tidak mendahulukan ego dalam bertindak dan sadar akan
kepentingan umum atau social.
3. Pengwasan yang Efektif dan Efisien
Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen atau administrasi.
Pengawasan merupakan tindakan yang berfungsi untuk memperhatikan kondisi
yang terjadi di lapangan dengan kondisi yang diharapkan dari pembuat kebijakan.
Kebijakan subsidi pendidikan yang tertuang dalam program BOS sudah
seharusnya mendapatkan pengawasan yang baik dari pemerintah, karena ini
merupakan program atau kebijakan pemerintah, sehingga perhatian untuk proses
pengawasan pun harus diperhatikan. Selama ini pengawasan yang terjadi pada
pengelolaan dana BOS cukup pada tataran pelaporan saja, sedangkan
implementasi kenyataan di lapangan masih kurang, pihak pengawas, kantor dinas
atau pemerintah, merasa cukup dengan laporan yang ada diatas kertas saja,
padahal jika dilihat di lapangan, belum tentu sesuai dengan apa yang ada dalam
laporan, sehingga disini benar-benar dibutuhkan pengawasan yang efektif dan
efisien untuk menanggulangi penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan dana
BOS. Pengawsan melekat dan pengefektifan tenaga pengawasan yang ada bisa
jadi menjadi solusi bagi pengawasan yang efektif.
4. Pendampingan Dari Ahli Yang Kompeten
Tidak sedikit juga sekolah yang melakukan kesalahan dan penyelewengan
tidak dengan sengaja, ada juga factor ketidaktahuan, atau ketidaksengajaan,
sehingga oleh oknum-oknum pendidikan diperdaya dan disalahgunakan. Oleh
karena itu, pendampingan dari ahli yang kompeten bisa menjadi solusi untuk
masalah ini. Ahli yang dimaksud bukan hanya professor atau dosen dari ahli
keuangan, tapi minimal orang atau lembaga social yang faham pengelolaan
pendidikan, sehingga pemahaman terhadap pengelolaan pendidikan akan menajdi
dasar yang kuat bagi teknis pelaksanaan pengelolaan dana BOS. Hal ini
dikarenakan di sekolah belum ada tenaga professional yang menangani
manajemen sekolah, tenaga yang ada hanyalah lulusan SMA atau bahakan SMP,
sedangkan untuk mengelola dana sebesar ini dibutuhkan beberapa kompetensi
yang utama, disamping tentunya kompetensi manajerial.
Pendampingan bisa saja dari mahasiswa Administrasi Pendidikan, atau
lembaga social lainnya yang bisa ikut mengawal dan menjadi mitra pendamping
bagi sekolah. Hal ini bisa saja menekan penyalahgunaan dan ketidak tepatan
penggunaan dana BOS di sekolah, terlebih lagi di daerah yang kemampuan guru
dan tenaga kependidikan lainnya relatif berbeda dengan sekolah yang sudah lain.
BAB III
PENUTUP
http://hypersteps09.blogspot.co.id/2016/05/makalah-akuntabilitas-keuangan.html
http://kabupatensidrap.blogspot.co.id/2014/05/makalah-konsep-akuntabilitas-dan.html
http://nawarsyarif.blogspot.co.id/2015/10/makalah-akuntabilitas.html
http://arifin-kumpulanmakalah.blogspot.co.id/2012/03/makalah-permasalahan-pengeloloan-
dana.html
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-anggaran-dan-
perbendaharaan/20982-akuntabilitas-pengelolaan-dana-bos