Anda di halaman 1dari 24

Akuntansi Keuangan Kontemporer

“The Power Of Accountability”

Oleh :

1. Jackson Sihotang (55515110066)


2. Yolanda Happy Putri (55515110082)
3. Yuliati (55515110059)

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS MERCU BUANA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Akuntabilitas mempunyai arti pertanggungjawaban yang merupakan salah satu
ciri dari penerapan ”Good Governance” atau pengelolaan pemerintahan yang baik.
Pemikiran tersebut bersumber dari pengelolaan administrasi publik yang merupakan
issue utama dalam pencapaian menuju ”clean government”(pemerintahan yang 
bersih). Ada beberapa pilar good governancedalam berinteraksi satu dan lainnya yang
saling terkait, yaitu: Government, Citizen, danBusiness atau State, Societydan Private
Sector. Pada dasarnya pilar tersebut mempunyai konsekuensi akuntabilitas terhadap
publik atau masyarakatnya, khususnya stakeholders yang yang melingkupi ketiga
pilar tersebut sebagai pelaku ”How to govern” atas aktivitasnya.
 Orde Baru mewariskan rendahnya instrumen pertanggungjawaban institusi
publik dan nyaris tidak meninggalkan mekanisme kelembagaan yang transparan dan
menggali nilai – nilai partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan.
Masyarakat lebih banyak berperan hanya sebagai obyek pembangunan dan bukan
bekerja dalam pola partnership dalam peningkatan kinerja dan akuntabilitasi
pemerintah. Partisipasi masyarakat yang dibanggakan dalam perencanaan
pembangunan melalui ”bottom up and top down planning” yaitu pada bagian Diskusi
Pembangunan Desa Tingkat Desa oleh LKMD dan menjadi kebanggan bentuk
partisipasi masyarakat diwaktu yang lalu, yang ada hakekatnya adalah ”mobilisasi”
atau setidak-tidaknya tipe partisipasi ”statutory”, partisipasi yang diformat oleh
pemerintah; yang pada akhirnya juga masih bersifat ”memasung” demokratisasi lokal
dalam perencanaan.
Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru.
Hampir seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep
akuntabilitas ini khususnya dalam menjalankan fungsi administratif kepemerintahan.
Fenomena ini merupakan imbas dari tuntutan masyarakat yang mulai digemborkan
kembali pada awal era reformasi di tahun 1998. Tuntutan masyarakat ini muncul
karena pada masa orde baru konsep akuntabilitas tidak mampu diterapkan secara
konsisten di setiap lini kepemerintahan yang pada akhirnya menjadi salah satu
penyebab lemahnya birokrasi dan menjadi pemicu munculnya berbagai
penyimpangan-penyimpangan dalam pengelolaan keuangan dan administrasi negara
di Indonesia. Era reformasi telah memberi harapan baru dalam implementasi
akuntabilitas di Indonesia. Apalagi kondisi tersebut didukung oleh banyaknya
tuntutan negara-negara pemberi donor dan hibah yang menekan pemerintah Indonesia
untuk membenahi sistem birokrasi agar terwujudnya good  governance.
Implementasi akuntabilitas di Indonesia pada prinsipnya telah dilaksanakan
secara bertahap dalam lingkungan pemerintahan. Dukungan peraturan-peraturan yang
berhubungan langsung dengan keharusan pernerapan akuntabilitas di setiap instansi
pemerintah menunjukan keseriusan pemerintah dalam upaya melakukan reformasi
birokrasi. Namun demikian, masih terdapat beberapa hambatan dalam implementasi
akuntabilitas seperti; masih rendahnya kesejahteraan pegawai, faktor budaya, dan
lemahnya penerapan hukum di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

Pada dasarnya konsep akuntabilitas berawal dari konsep pertanggungjawaban.


Konsep pertanggungjawaban sendiri dapat dijelasakan dari adanya wewenang.
Wewenang di sini berarti kekuasaan yang sah. Menurut Weber ada tiga macam tipe
ideal wewenang yaitu wewenang tradisional, wewenang karismatik dan wewenang
legal rational. Wewenang legal rational ini yang menjadi basis wewenang pemerintah.
Dalam perkembanganya, muncul konsep baru tentang wewenang yang dikembangkan
oleh Chester I. Barnard, yang bermuara pada prinsip bahwa penggunaan wewenang
harus dapat dipertanggungjawabkan.

Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggungjawaban atau


untuk menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan penyelenggara organisasi
kepada pihak yang memiliki hak atau memiliki wewenan untuk meminta keterangan
atau pertanggjawaban. Dicontohkan pada pertanggung jawaban penyelenggara
sekolah merupakan akumulasi dari keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas pokok dan
fungsi sekolah yang perlu disampaikan kepada publik/stakeholders. Akuntabilitas
kinerja sekolah adalah perwujudan kewajiban sekolah untuk
mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan rencana sekolah
dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui alat
pertanggungjawaban secara periodik.

Akuntabilitas dapat dikategorikan menjadi 4:

a. Akuntabilitas kebijakan, yaitu akuntabilitas pilihan atas kebijakan yang akan


dilaksanakan
b. Akuntabilitas kinerja (product/quality accountability), yaitu akuntabilitas yang
berhubungan dengan pencapaian tujuan
c. Akuntabilitas proses, yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan proses,
prosedur, aturan main, ketentuan, pedoman, dan sebagainya., dan
d. Akuntabilitas keuangan (kejujuran) atau sering disebut (financial accountability),
yaitu akuntabilitas yang berhubungan dengan pendapatan dan pengeluaran
uang (cash in and cash out). Sering kali istilah cost accountability juga digunakan
untuk kategori akuntabilitas ini.
Tujuan utama akuntabilitas ialah untuk mendorong terciptanya kinerja yang
bagus dan baik, sehingga kinerja tersebut dapat dipertanggung jawabkan kepada
publik. Pengukuran kinerja secara objektif didasarkan dengan indikator yang jelas.
Sistem pengawasan perlu diperkuat dan hasil evaluasi harus dipublikasikan jika
terdapat kesalahan. Suatu entitas dapat dikatakan memiliki akuntabilitas tinggi jika
proses dan hasil kinerjanya diangap benar dan sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan sebelumnya.
Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau tipe, Sadu Wasistiono
mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas yaitu ;
a. Akuntabilitas administratif/organisasi
Merupakan pertanggungjawaban antara pejabat yang berwenang dengan unit
bawahanya dalam hubungan hierarki yang jelas.
b. Akuntabilitas legal
Mengarahkan pada domain publik dikaitkan dengan proses legislatif dan yudikatif.
Bentuknya dapat berupa peninjauan kembali kebijakan yang telah diambil oleh
pejabat publik maupun pembatalan suatu peraturan oleh institusi yudikatif. Ukuran
akuntabilitas legal adalah peraturan perundang undangan yang berlaku.
c. Akuntabilitas politik
Dalam tipe ini terkait dengan adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik
untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber – sumber dana
menjamin adanya kepatuhan melaksanakan tanggungjawab administrasi dan legal .
Akuntabilitas ini memusatkan pada tekanan demokratik yang dinyatakan oleh
administrasi publik
d. Akuntabilitas profesional
Hal ini berkaitan dengan pelaksnaan kinerja dan tindakan berdasarkan tolak ukur
yang ditetapkan oleh orang profesi yang sejenis. Akuntabilitas ini lebih
menekankan pada aspek kualitas kinerja dan tindakan.
e. Akuntabilitas moral
Akunatabilitas ini berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di kalagan masyarakat .
Hal ini lebih banyak berbicara tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau
tindakan yang dilakukan oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif
berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku setempat.
Konsep dan pengertian Transparansi 

Menurut Mardiasmo, transparansi berarti keterbukaan (opennsess) pemerintah


dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan seumberdaya
publik kepada pihak – pihak yang membutuhkan informasi. Pemerintah berkewajiban
memberikan informasi keuangan dan informasi lainya yang akan digunakan untuk
pengambilan keputusan oleh pihak – pihak yang berkepentingan . 
Transparansi pada akhirnya akan menciptakan horizontal accountability antara
pemerintah daerah dengan masyarakat sehingga tercipta pemerintahan daerah yang
bersih, efektif, efisien ,akuntabel dan responsif terhadap aspirasi dan kepentingan
masyarakat. Transparansi adalah prinsip yang menjamain akses atau kebebasan bagi
setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan ,
yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya serta hasil –
hasil yang dicapai. 
Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan
yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan
pemerintah yang dapat dijangkau publik. Keterbukaan informasi diharapkan akan
menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat
beradsarkan preferensi publik. Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat dilihat dalam dua hal yaitu

1. salah satu wujud pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat, dan


2. upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme
(KKN).

Sedangkan transparansi penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam


hubungannya dengan pemerintah daerah perlu kiranya perhatian terhadap beberapa
hal berikut ; 

1. publikasi dan sosialisasi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah dalam


penyelenggaraan pemerintahan daerah,
2. publikasi dan sosialisasi regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah tentang
berbagai perizinan dan prosedurnya,
3. publikasi dan sosialisasi tentang prosedur dan tata kerja dari pemerintah daerah,
4. transparansi dalam penawaran dan penetapan tender atau kontrak proyek-proyek
pemerintah daerah kepada pihak ketiga, dan
5. kesempatan masyarakat untuk mengakses informasi yang jujur, benar dan tidak
diskriminatif dari pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah. 

Selanjutnya dalam penyusunan peraturan daerah yang menyangkut hajat hidup


orang banyak hendaknya masyarakat sebagai stakeholders dilibatkan secara
proporsional. Hal ini disamping untuk mewujudkan transparansi juga akan sangat
membantu pemerintah daerah dan DPRD dalam melahirkan Peraturan Daerah yang
accountable dan dapat menampung aspirasi masyarakat. Transparansi berarti
terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap setiap informasi
terkait --seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta kebijakan
pemerintah– dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan politik yang
andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik (biasanya
melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi dibangun
atas pijakan kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk dipahami dan
(untuk kemudian) dapat dipantau. 
Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian dalam proses
pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab, penyebarluasan
berbagai informasi yang selama ini aksesnya hanya dimiliki pemerintah dapat
memberikan kesempatan kepada berbagai komponen masyarakat untuk turut
mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini bukan
sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu, transparansi
ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di kalangan para pejabat
publik dengan “terlihatnya” segala proses pengambilan keputusan oleh masyarakat
luas.
Dalam impelmentasi di pemerintah daerah Seringkali kita terjebak dalam
“paradigma produksi” dalam hal penyebarluasan informasi ini; seakan-akan
transparansi sudah dilaksanakan dengan mencetak leaflet suatu program dan
menyebarluaskannya ke setiap kantor kepala desa, atau memasang iklan di surat kabar
yang tidak dibaca oleh sebagian besar komponen masyarakat. Pola pikir ini perlu
berubah menjadi“paradigma pemasaran”, yaitu bagaimanamasyarakat menerima
informasi dan memahaminya.
Untuk mewujudkannya dalam pelaksanaan administrasi publik sehari-hari,
terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya:. 

1. Kondisi masyarakat yang apatis terhadap program-program pembangunan selama


ini membutuhkan adanya upaya - upaya khusus untuk mendorong keingintahuan
mereka terhadap data/informasi ini. Untuk itu, dibutuhkan adanya penyebarluasan
(diseminasi) informasi secara aktif kepada seluruh komponen masyarakat, tidak
bisa hanya dengan membuka akses masyarakat terhadap informasi belaka. 
2. Pemilihan media yang digunakan untuk menyebarluaskan informasi dan
substansi/materi informasi yang disebarluaskan sangat bergantung pada segmen
sasaran yang dituju. Informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat awam sangat
berbeda dengan yang dibutuhkan oleh organisasi nonpemerintah, akademisi, dan
anggota DPRD, misalnya. Selain itu, seringkali cara-cara dan media yang sesuai
dengan budaya lokal jauh lebih efektif dalam mencapai sasaran daripada “media
modern” seperti televisi dan surat kabar. 
3. Seringkali berbagai unsur nonpemerintah –misalnya pers, lembaga keagamaan,
lembaga swadaya masyarakat (LSM)– lebih efektif untuk menyebarluaskan
informasi daripada dilakukan pemerintah sendiri. Untuk itu, penginformasian
kepada berbagai komponen strategis ini menjadi sangat penting. 

Menurut LAN RI dan BPKP (2001: 29) menjelaskan Akuntabilitas keuangan


merupakan pertanggung jawaban mengenai integritas keuangan, pengangkatan dan
ketaatan terhadap peraturan perundangan. Sasaran pertanggung jawaban ini adalah
laporan keuangan yang disajikan dan peraturan perundangan yang berlaku yang
mencakup penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang oleh instansi pemerintah.

Akuntabilitas keuangan merupakan pertanggungjawaban mengenai:


o Integritas Keuangan
o Pengungkapan
o Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan

Sasaran pertanggungjawaban ini adalah laporan keuangan yang disajikan dan


peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mencakup penerimaan,
penyimpanan, dan pengeluaran uang oleh instansi pemerintah. Dengan
dilaksanakannya ketiga komponen tersebut dengan baik akan dihasilkan suatu
informasi yang dapat diandalkan dalam pengambilan keputusan, informasi tersebut
akan tercermin didalam laporan keuangan yang merupakan media
pertanggungjawaban. Integritas keuangan, pengungkapan dan ketaatan terhadap
peraturan perundang-undangan menjadi indikator dari akuntabilitas keuangan.

       Integritas Keuangan


Menurut kamus Bahasa Indonesia, integritas adalah kejujuran, keterpaduan,
kebulatan, keutuhan. Dengan kata lain integritas keuangan mencerminkan kejujuran
penyajian. Kejujuran penyajian adalah bahwa harus ada hubungan atau kecocokan
antara angka dan deskripsi akuntansi dan sumber-sumbernya. Integritas keuangan pun
harus dapat menyajikan informasi secara terbuka mengenai laporan keuangan
daerah.Agar laporan keuangan dapat diandalkan informasi yang terkandung
didalamnya harus menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya yang
seharusnya disajikan atau yang secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan.
Penyajian secara wajar yang dimaksud diatas terdapat didalam Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2005, menyatakan:”Laporan keuangan menyajikan dengan
wajar laporan realisasi anggaran, neraca dan laporan arus kas”. Faktor
pertimbangan sehat bagi penyusunan laporan keuangan diperlukan ketika menghadapi
ketidakpastian peristiwa dan keadaan tertentu. Ketidakpastian seperti itu diakui
dengan pengungkapan hakikat serta tingkatnya dengan menggunakan pertimbangan
sehat dalam penyusunan laporan keuangan. Pertimbangan sehat mengandung unsur
kehati-hatian pada saat melakukan prakiraan dalam kondisi ketidakpastian sehingga
aset atau pendapatan tidak dinyatakan terlalu tinggi dan kewajiban tidak dinyatakan
terlalu rendah.
Namun demikian, penggunaan pertimbangan sehat tidak memperkenankan,
misalnya, pembentukan cadangan tersembunyi, sengaja menetapkan aset atau
pendapatan yang terlampau rendah, atau sengaja mencatat kewajiban atau belanja
yang terlampau tinggi, sehingga laporan keuangan menjadi tidak netral dan tidak
andal. 

·          Pengungkapan 
Konsep full disclosure (pengungkapan lengkap) mewajibkan agar laporan
keuangan didesain dan disajikan sebagai kumpulan potret dari kejadian ekonomi yang
mempengaruhi instansi pemerintah untuk suatu periode dan berisi cukup informasi.
Yang menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan
keuangan sehingga membuat pemakai laporan keuangan paham dan tidak salah tafsir
terhadap laporan keuangan tersebut. Pengungkapan lengkap merupakan bagian dari
prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan, sehingga terdapat di dalam Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 2005 pada lampiran II paragraf 50, mengatakan: ”Laporan
keuangan menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna.
Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan dapat ditempatkan
pada lembar muka laporan keuangan atau catatan atas laporan keuangan”.

·        Ketaatan terhadap Peraturan Perundang-undangan


Akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah harus menunjukkan ketaatan
terhadap peraturan perundang-undangan, antara lain: 

a. Undang-undang Dasar Republik Indonesia khususnya yang mengatur mengenai


keuangan Negara, 
b. Undang-undang Perbendaharaan Indonesia, 
c. Undang-undang APBN, 
d. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintah daerah, 
e. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perimbangan keuangan
pusat dan daerah, 
f. Ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan
APBN/APBD, 
g. Peraturan perundang-undangan lainnya yang mengatur tentang keuangan pusat
dan daerah. 

Apabila terdapat pertentangan antara standar akuntansi keuangan pemerintah


dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka yang berlaku adalah
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Kriteria Akuntabilitas keuangan 
adalah sebagai berikut.
a. Pertanggungjawaban dana publik
b. Penyajian tepat waktu
c. Adanya pemeriksaan (audit)/respon pemerintah.
Reformasi Akuntabilitas Keuangan
Reformasi atau Paradigma baru dalam Keuangan Negara adalah paradigma
yang menuntut besarnya akuntabilitas dan transparansi dari penataan keuangan negara
dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan, dengan ciri-ciri sebagai berikut:

a. Dari Vertical Accountability menjadi Horizontal Accountability.


Jika selama ini pertanggungjawaban atas penataan keuangan negara lebih
ditujukan pada pemerintah yang lebih tinggi (Provinsi atau Pusat), maka dengan
reformasi saat ini pertanggungjawaban lebih ditujukan kepada rakyat (DPR).
Laporan pertanggung jawaban keuangan negara disampaikan kepada DPR secara
periodik, tidak lagi sekedar laporan tentang APBN tetapi mencakup pula laporan
Aliran Kas dan Neraca.
b. Dari Traditional Budget menjadi Performance Budget.
Selama ini penataan keuangan negara adalah dengan sistem tradisional. Sistem
tradisional, sistem penyusunannya adalah dengan pendekatan incremental dan
“line item”  dengan penekanan pada pertanggungjawaban pada setiap input yang
dialokasikan. Melalui reformasi, anggaran harus disusun dengan pendekatan atau
sistem anggaran kinerja (performance budgeting), dengan penekanan
pertanggunganjawaban tidak sekedar pada input tetapi juga
pada output danoutcome.
c. Dari Pengendalian dan Audit Keuangan ke Pengendalian dan Audit
Keuangan, dan Kinerja.
Sebelum reformasi terdapat pengendalian dan audit keuangan negara, bahkan
juga audit kinerja. Namun, oleh karena sistem anggaran yang tidak memasukan
kinerja, maka proses audit kinerja menjadi tidak berjalan dengan baik. Dalam
reformasi ini, oleh karena sistem penganggaran yang mengunakan sistem
penganggaran kinerja (performance budgeting) maka pelaksanaan pengendalian
dan audit keuangan negara dan audit kinerja akan menjadi lebih baik
d. Lebih Menerapkan Konsep Value for Money.
Reformasi penataan keuangan negara saat ini menghendaki penerapan
konsepvalue for money atau yang lebih dikenal degan konsep 3 E (Ekonomi,
Efisien, dan Efektif). Oleh karena itu dalam reformasi ini pemerintah diminta baik
dalam mencari dana maupun menggunakan dana selalu menerapkan prinsip 3 E
tersebut. Hal ini mendorong pemerintah berusaha selalu memperhatikan tiap
sen/rupiah dan (uang) yang diperoleh dan digunakan. Perhatian tertuju pada
hubungan antara input-output-outcome.
e. Penerapan Pusat Pertanggungjawaban.
Dalam reformasi penataan keuangan negara ini konsep pusat
pertanggungjawaban (responsibility center) diterapkan. Penerapan ini akan
memudahkan pengukuran kinerja setiap unit organisasi. Pada konsep ini unit
organisasi dapat diperlakukan sebagai pusat pertanggungjawaban pendapatan
(revenue) seperti dinas pendapatan, biaya (expense) seperti bagian keuangan.
“laba” (profit), dan investasi seperti BUMD atau Perusahaan Daerah.

·     Perubahan Sistem Akuntansi Keuangan Pemerintahan.

Untuk mendukung perubahan-perubahan yang telah dikemukakan di atas


direformasi pula sistem akuntansi dipemerintahan. Jika selama ini pemerintah
menggunakan sistem pencatatan tunggal (single entry system) maka dirubah menjadi
sistem ganda (double entry system). Selain itu, selama ini digunakan pencatatan atas
dasar kas (cash-basis) maka dirubah menjadi atas dasar aktual medication (modified
accrual basis). Selain itu, perubahan dalam akuntansi dan pengelolaan negara, yang
pada gilirannya menuntut adanya neraca laporan negara, tidak lagi sekedar laporan
perhitungan keuangan negara.

Pertanggungjawaban Keuangan Negara

Menurut Mustopadidjaja (2003), Pertanggungjawaban merupakan ujung dari


siklus anggaran setelah perencanaan dan pelaksanaan. Kata-kata kunci dalam
pertanggungjawaban dalam evaluasi, evaluasi kinerja, dan akuntabilitas. Evaluasi
kinerja kebijakanpada hakikatnya dilakukan untuk mengetahui ketepatan dan
efektivitas baikkebijakan itu sendiri maupun sistem dan proses pelaksanaannya, agar
dapat dilakukan langkah-langkah tindak lanjut untuk menghindarkan “biaya”
(kemungkinan kemubaziran) yang lebih besar atau untuk mencapai “manfaat” yang
lebih baik. Essensi evaluasi kinerja adalah perbandingan yang menyangkut kinerja
dan tingkat efektivitas baik kebijakan maupun sistem dan proses pelaksanaan yang
berkembang dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi atau dalam mencapai
tujuan yang ditetapkan.
Evaluasi kinerja yang dilakukan dalam rangka pemantauan pada pokoknya
adalah menyediakan informasi bagi para pengelola kebijakan dan pembuat kebijakan
mengenai ketepatan dan efektivitas kebijakan dan sistem serta proses pelaksanaannya,
agar dapat dilakukan tindak lanjut dini apabila secara aktual ternyata ada hal-hal yang
perlu dikoreksi baik pada kebijakan atau pun pada sistem dan proses pelaksanaannya.
Langkah dan tujuan serupa juga dilakukan dalam rangkapengawasan internal, karena
sebenarnya pemantauan merupakan bagian dari kegiatan pengendalian internal  yang
diperlukan untuk peningkatan efektivitas manajemen,peningkatan efisiensi
pemanfaatan sumber-sumber, dan perbaikan-perbaikan lainnya ke depan yang dapat
meliputi kebijakan dan sistem serta proses pelaksanaannya, dengan kemungkinan
terminasi atau pun ekstensi dan modifikasi kebijakan yang dilaksanakan.

Evaluasi kinerja pada pengawasan eksternal, dilakukan dengan tujuan


memberikan gambaran obyektif mengenai ketepatan dan efektivitas kebijakan
ataupun sistem serta proses pelaksanaannya, kondisi biaya dan manfaat aktual dari
kebijakan, perkembangan berbagai unsur dan indikator kinerja yang dicapai, yang
diperlukan sebagai “pertanggungjawaban” atau pun
“pertanggunggugatan” (responsibility and or accountability) suatu organisasi dalam
melaksanakan tugas kelembagaannya. Hal terakhir itu menunjukkan maksud (motif)
dilakukannya evaluasi kinerja, yang tentu dipengaruhi pula oleh posisi dan peran
lembaga pengawasan eksternal yang melakukan evaluasi tersebut.

Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah instrumen


pertanggung jawaban yang pada pokoknya terdiri dari berbagai indikator dan
mekanisme kegiatan pengukuran, penilaian, dan pelaporan kinerja secara menyeluruh
dan terpadu untuk memenuhi kewajiban suatu instansi pemerintah dalam pertanggung
jawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi, serta misi
organisasi. LAKIP adalah media pertanggungjawaban yang bersisi informasi
mengenai kinerja instansi pemerintah, dan bermanfaat antara lain untuk: (1)
Mendorong instansi pemerintah untuk menyelenggarakan tugas umum pemerintahan
dan pembangunan secara baik dan benar (goodgovernance) yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, kebijaksanaan yang transparan dan
dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat; (2) Menjadikan instansi
pemerintah yang akuntabel sehingga dapat beroperasi secara efisien, efektif, dan
responsive terhadap aspirasi masyarakat dan lingkungannya; (3) Menjadi masukan
dan umpan balik bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam rangka meningkatkan
kinerja instansi pemerintah; dan (4) Terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah.

Akuntabilitas Keuangan Negara: Masalah yang Dihadapai

Menurut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (27/1/2009) ada lima


kebijakan pembangunan yang bertahun-tahun diterapkan di Indonesia dan kini harus
dikoreksi secara total untuk menghadapi dinamika perubahan zaman dan tantangan
global, yaitu:

1. Kebijakan yang selama ini dinilai hanya difokuskan di kota-kota besar dan kurang
memedulikan kelestarian lingkungan;

2. Kebijakan yang sektoral dan kurang memadukan sektor-sektor yang ada, seperti
lingkungan, ilmu pengetahuan alam, dan budaya;

3. Kebijakan yang cuma mengutamakan pertumbuhan tanpa memerhatikan


pemerataan atas hasil-hasilnya;

4. Kebijakan pembangunan lainnya kurang meningkatkan ketahanan dan


kemandirian bangsa; dan

5. Kebijakan pembangunan yang harus diubah adalah kurangnya mengajak semua


komponen bangsa ikut bertanggungjawab.

Sementara itu, sistem keuangan negara, masih lemah. Pencegahan korupsi,


menurut Anwar Nasution (15/5/2009) bisa dilakukan dengan memperbaiki sistem
keuangan negara (termasuk di daerah), misalnya dengan mencegah bagaimana agar
tidak terjadi pungutan di setiap instansi, bagaimana jangan terjadi rekening liar, dan
menghindari upah pungut. Pengelolaan aset pemerintah juga lemah sehingga ada
peluang korupsi dari lemahnya pengelolaan aset pemerintah ini.

Selain itu, juga muncul aturan yang simpang siur, seperti aturan pajak, upah
pungut, serta UU migas dan perminyakan. Kesimpangsiuran tersebut juga memicu
perbedaan persepsi dan berujung pada korupsi. Di samping masalah dalam kebijakan
pembangunan tersebut di atas, masalah yang dihadapi khususnya dalam keuangan
negara. Rendahnya kualitas administrasi keuangan negara:
1. Tersendat-sendatnya pengajuan anggaran;

2. Rendahnya daya serap anggaran;Kelambatan melaporkan keuangan serta tidak


sesuai standar akuntansi pemerintah;

3. Buruknya komunikasi politik antara Pemda dan DPRD menjadi penyebab


keterlambatan penetapan anggaran;

4. Dana APBN menumpuk di rekening Bank Pemda, yang selanjutnya disimpan


dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

5. Proses perencanaan di daerah juga masih lemah, sehingga program atau proyek
tidak bisa diselesaikan dalam satu tahun anggaran;

6. Pelaksanaan anggaran buruk, kesejahteraan bangsa juga merosot.

7. Hal ini terlihat dari APBN yang terus meningkat, tetapi kemiskinan dan
pengangguran tetap besar;

8. Hingga saat ini ketimpang anggaran pusat dan daerah masih sangat besar (70
persen berbanding 30 persen), dan seharusnya relatif berimbang;

9. Belanja aparatur di Provinsi ataupun Kabupaten/Kota saat ini sangat tinggi,


mencapai 71 persen dan belanja public hanya 29 persen;

10. Pembangunan tidak benar-benar berdampak langsung pada pemberantasan

KASUS

Akuntabilitas Pengelolaan Dana BOS

Penyaluran dana BOS membawa konsekuensi wajib dipenuhinya azas-azas


dalam penyelenggaraan keuangan negara.  Penanggungjawab dana BOS dituntut
memberikan laporan pertanggungjawaban yang mekanismenya tertuang dalam
peraturan terkait dengan prinsip utama transparansi dan akuntabilitas.  Ditemuinya
ketidakpatuhan dalam pelaksanaan memerlukan pendalaman lebih lanjut sebagai
upaya memastikan penyebab permasalahan, apakah karena mekanisme yang tidak
tepat, atau karena sebab lainnya. Dari sisi pendanaan, pemerintah juga
mengalokasikan dana cukup besar dan meningkat setiap tahunnya sebagaimana tabel
di bawah ini :

Bandingkanlah jumlah total tersebut dengan biaya pembangunan jembatan


penghubung Kota Surabaya dengan Madura Suramadu yang menelan biaya 4,2
Triliun, dan pembangunan jalan tol Bali Mandara di perairan Benoa Provinsi Bali
yang menelan biaya 2,4 triliun.  Ini artinya, bila ada penyimpangan “kecil” pada
alokasi dana BOS telah mampu menghilangkan potensi pembangunan yang cukup
besar.
Tahap perencanaan, adalah dengan menggelembungkan data jumlah siswa.
Siswa yang sudah pindah atau lulus tetap dimasukkan dalam daftar penerima dana
BOS dengan harapan dana yang diperoleh sekolah bertambah.  Modus lainnya dengan
mengajukan anggaran belanja fiktif, memperbanyak anggaran tak terduga, menjalin
kolusi dengan panitia, membikin belanja barang habis pakai secara berulang-ulang,
dobel anggaran, hingga menerima program titipan.
Tahap pencairan, kebocoran dana BOS terjadi dengan modus memperlambat
pencairan hingga pemberian gratifikasi atau uang terima kasih. Modus-modusnya rapi
dan tak kasat mata. Pada tahap pembelanjaan, modus membocorkan dana BOS
dengan menurunkan kualitas spesifikasi barang. Pengelola dana BOS telah berkolusi
dengan instansi/penyedia barang.
Tahap pelaporan, bukan hanya keterlambatan pelaporan.  Tetapi juga
penyajian laporan meliputi transparansi dan akuntabilitas laporan.  Kasus-kasus
demikian banyak ditemukan di berbagai daerah ketika pemeriksa/pengawas
membandingkan dokumen rencana kerja anggaran sekolah (RKAS) dengan laporan
pertanggungjawaban (LPj). Spesifikasi barang di RKAS dengan LPj banyak yang
berbeda.  Dampaknya tak hanya kualitas yang tak sesuai standar, tapi ada alokasi dana
yang sengaja dihilangkan. 
Mulai pertengahan 2010, kemendiknas mulai menggunakan mekanisme baru
penyaluran dana BOS. Dana BOS tidak lagi langsung ditransfer dari bendahara negara
ke rekening sekolah, tetapi ditransfer ke kas APBD selanjutnya ke rekening
sekolah.Kemendiknas beralasan, mekanisme baru ini bertujuan untuk memberikan
kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah dalam penyaluran dana BOS.
Dengan cara ini, diharapkan pengelolaan menjadi lebih tepat waktu, tepat jumlah, dan
tak ada penyelewengan. Harus diakui, masalah utama dana BOS terletak pada
lambatnya penyaluran dan pengelolaan di tingkat sekolah yang tidak transparan.
Selama ini, keterlambatan transfer terjadi karena berbagai faktor, seperti
keterlambatan transfer oleh pemerintah pusat dan lamanya keluar surat pengantar
pencairan dana oleh tim manajer BOS daerah.
Akibatnya, kepala sekolah harus mencari berbagai sumber pinjaman untuk
mengatasi keterlambatan itu. Bahkan, ada yang meminjam kepada rentenir dengan
bunga tinggi. Untuk menutupi biaya ini, kepsek memanipulasi surat
pertanggungjawaban yang wajib disampaikan setiap triwulan kepada tim manajemen
BOS daerah. Ini mudah karena kuitansi kosong dan stempel toko mudah
didapat.Kepsek memiliki berbagai kuitansi kosong dan stempel dari beragam toko.
Kepsek dan bendahara sekolah dapat menyesuaikan bukti pembayaran sesuai dengan
panduan dana BOS, seakan- akan tidak melanggar prosedur.
Tidaklah mengherankan apabila praktik curang dengan mudah terungkap oleh
lembaga pemeriksa, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan. Ibarat berburu di kebun binatang, BPK dengan mudah
membidik dan menangkap buruan. BPK dengan mudah menemukan penyelewengan
dana BOS di sekolah.
BPK Perwakilan Jakarta, misalnya, menemukan indikasi penyelewengan
pengelolaan dana sekolah, terutama dana BOS tahun 2007-2009, sebesar Rp 5,7
miliar di tujuh sekolah di DKI Jakarta. Sekolah-sekolah tersebut terbukti
memanipulasi surat perintah jalan (SPJ) dengan kuitansi fiktif dan kecurangan lain
dalam SPJ.Contoh manipulasi antara lain kuitansi percetakan soal ujian sekolah di
bengkel AC mobil oleh SDN 012 RSBI Rawamangun. SPJ dana BOS sekolah ini
ternyata menggunakan meterai yang belum berlaku. Bahkan lebih parah lagi, BPK
tidak menemukan adanya SPJ dana BOS 2008 karena hilang tak tentu rimbanya.
Berdasarkan audit BPK atas pengelolaan dana BOS tahun anggaran 2007 dan
semester I 2008 pada 3.237 sekolah sampel di 33 provinsi, ditemukan nilai
penyimpangan dana BOS lebih kurang Rp 28 miliar. Penyimpangan terjadi pada
2.054 atau 63,5 persen dari total sampel sekolah itu. Rata-rata penyimpangan setiap
sekolah mencapai Rp 13,6 juta. Penyimpangan dana BOS yang terungkap antara lain
dalam bentuk pemberian bantuan transportasi ke luar negeri, biaya sumbangan PGRI,
dan insentif guru PNS.
Periode 2004-2009, kejaksaan dan kepolisian seluruh Indonesia juga berhasil
menindak 33 kasus korupsi terkait dengan dana operasional sekolah, termasuk dana
BOS. Kerugian negara dari kasus ini lebih kurang Rp 12,8 miliar. Selain itu, sebanyak
33 saksi yang terdiri dari kepsek, kepala dinas pendidikan, dan pegawai dinas
pendidikan telah ditetapkan sebagai tersangka.Perubahan mekanisme penyaluran dana
BOS sesuai dengan mekanisme APBD secara tidak langsung mengundang
keterlibatan birokrasi dan politisi lokal dalam penyaluran dana BOS. Konsekuensinya,
sekolah menanggung biaya politik dan birokrasi.
Sekolah harus rela membayar sejumlah uang muka ataupun pemotongan dana
sebagai syarat pencairan dana BOS. Kepsek dan guru juga harus loyal pada
kepentingan politisi lokal ketika musim pilkada. Dengan demikian, praktik korupsi
dana BOS akan semakin marak karena aktor yang terlibat dalam penyaluran semakin
banyak.
Penyebab dan Akibat Masalah
Penyebab timbulnya masalah-masalah dalam program BOS yaitu:
1. Pengalokasian dana tidak didasarkan pada kebutuhan sekolah tapi pada
ketersediaan anggaran. Hendaknya pengalokasian dana didasarkan pada
kebutuhan sekolah, agar tidak terjadi saling tumpang tindih antara kebutuhan
dengan anggaran yang disediakan. Adakalanya sekolah yang kebutuhannya
sedikit, dan ada sekolah yang kebutuhannya banyak. Jika anggaran semua sekolah
sama, di sekolah yang kebutuhannya sedikit akan memancing timbulnya korupsi
karena anggaran yang berlebih, sedangkan di sekolah yang kebutuhannya banyak
akan tetap mengalami kekurangan karena kebutuhannya tidak terpenuhi.
2. Alokasi dana BOS ‘dipukul rata’ untuk semua sekolah di semua daerah, pada tiap
sekolah memiliki kebutuhan dan masalah berbeda
3. Korupsi dana pada tingkat pusat (Kemendiknas) terutama berkaitan dengan dana
safe  guarding.
4. Dinas pendidikan meminta sodokan atau memaksa sekolah untuk membuat
pengadaan barang kepada perusahaan tertentu yang sudah ditunjuk dinas.
5. Kepala sekolah menggunakan dana BOS untuk kepentingan pribadi melalui
penggelapan, mark up, atau mark down.
6. Uang yang dikeluarkan oleh orang tua murid cenderung bertembah mahal
walaupun sudah ada dana BOS.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Jelas terlihat bahwa didalam


implementasinya, fungsi pengawasan sangat kurang. Tidak ada partisipasi,
transparansi, dan akuntabilitas dalam proses implementasi anggaran di semua tingkat
penyelenggara, Kemendiknas, dinas pendidikan, maupun sekolah. Pada tingkat pusat,
proses penganggaran pun turut dimonopoli oleh Kemendiknas, akibatnya kepentingan
Kemendiknas lah yang lebih terpenuhi, bukan mendahulukan yang perlu.
Penyebab yang lain misalnya pada tingkat penyelenggara (Sekolah dan
perguruan tinggi), tidak ada aturan mengenai mekanisme penyusunan anggaran,
warga dan stakeholder tidak memiliki akses untuk mendapat informasi mengenai
anggaran sehingga mereka tidak bisa melakukan pengawasan. Lembaga pengawasan
internal seperti Itjen, Bawasda, Bawasko, pun tidak mampu menjalankan fungsi. Serta
pada tingkat sekolah, semua kebijakan baik akademis maupun finansial direncanakan
dan dikelola kepala sekolah, dan komite sekolah dibajak oleh kepala sekolah sehingga
menjadi kepanjangan tangan kepala sekolah.
Kami berpendapat, cara penyelewengan dana BOS yang paling bisa terjadi
adalah melalui setoran awal kepada dinas sebelum dana BOS dicairkan atau didalam
sekolah itu sendiri berhubung sekolah tidak melakukan kewajiban mengumumkan
APBS (Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah) pada papan pengumuman sekolah.
Selain itu, penyusunan APBS terutama pengelolaan dana bersumber dari BOS kurang
melibatkan partisipasi orang tua murid. Akhirnya, kebocoran dana BOS di tingkat
sekolah tidak dapat dihindari. Serta dokumen SPJ (Surat Pertanggungjawaban) dana
BOS yang kurang atau bahkan tidak dapat diakses oleh publik apabila ada kebutuhan
informasi atau kejanggalan dalam pengelolaan dana BOS.

Solusi Permasalahan
Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan dana BOS memang sudah
banyak disinyalir di beberapa tempat, namun tentunya juga hal ini tidak bisa
digeneralisasikan di semua tempat dan kondisi penyalahgunaan wewenang tersebut
terjadi, namun jika dilihat dari segi peluang atau kesempatan, banyak sekali peluang
yang bisa digunakan oleh oknum untuk bisa melakukan penyelewengan. Oleh karena
itu hal yang paling penting adalah meminimalisir kesempatan dan peluang supaya
tidak bisa terjadi dan tidak ada kesempatan oknum untuk keluar dari aturan yang
sudah berlaku.
Menghapuskan kebijakan pendidikan yang bersubsidi jelas bukan menjadi
solusi, karena memang pada intinya pendidikan adalah kebutuhan primer yang harus
terpenuhi, dan juga Undang-Undang kita telah mengamanatkan untuk memberikan
layanan gratis untuk pendidikan dasar. Oleh karena itu, penghapusan sama sekali
kebijakan BOS bukan merupakan solusi bagi kemelut pengelolaan dana BOS.Namun,
setidaknya ada beberapa langkah yang kemungkinan bisa diambil oleh pemerintah
untuk menanggulangi permasalahan ini diantaranya :
1. Peninjauan Kembali Kebijakan
UUD 1945 menyatakan bahwa pendidkan adalah hak bagi semua warga,
terlebih pendidikan dasar untuk wajib belajar Sembilan tahun menjadi hak utama
bagi warga Negara dan Negara wajib mengusahakan pembiayaannya. Ini menjadi
amanat besar dan latar belakang utama kenapa dana BOS hadir dalam proses
pendidikan wajib belajar 9 tahun. Namun pada kenyataannya tidak semua sekolah
dan tidak semua warga Negara membutuhkan dan harus diberi subsidi untuk
pendidikan dasar ini, hal ini terbukti dengan beberapa sekolah yang tidak
menerima dana BOS,  tapi tetap menjual kualitas kepada customernya.
Peninjauan kembali bukan berarti penghapusan program, tapi
pembaharuan design program BOS bisa menjadi solusi. Bisa saja pemerintah
mengatur kembali pendanaan untuk sekolah yang sudah maju secara financial dan
juga aturan yang khusus untuk warga Negara yang sudah tidak layak untuk
mendapatkan subsidi.
2. Dana Berkeadilan
Adil bukan berarti sama rata, bisa saja besaran antara yang satu dengan
yang lainnya berbeda, tapi secara teknis dan hakikatnya besaran itu bisa
mencukupi serta bisa digunakan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu dana
yang berkeadilan sudah saatnya diberlakukan untuk pengelolaan subsidi
pendidikan. Tidak sepantasnya peserta didik yang orang tuanya mampu secara
financial, tapi masuk dan bersekolah di sekolah yang mendapatkan subsidi dari
pemerintah, sehingga disini dibutuhkan peran serta dari sekolah untuk benar-
benar mendata peserta didik yang layak disubsidi.
Jika dana berkeadilan ini benar-benar diterapkan dalam system
pengelolaan dana subsidi pendidikan, bisa saja kedepan orang tua akan
beranggapan jika dia tergolong kedalam warga yang layak mendapatkan subsidi
maka dia harus menyekolahkan anaknya pada sekolah bersubsidi, sedangkan
untuk warga yang tidak masuk kedalam kategori layak subsidi menyekolahkan
anaknya ke sekolah yang tidak bersubsidi. Sehingga konsentrasi dana akan benar-
benar terarahkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, dan tidak ada
kesenjangangn kualitas antara sekolah yang bersubsidi dengan sekolah yang tidak
bersubsidi. Namun tentunya dana berkeadilan ini dibutuhkan sifat manusia
Indonesia yang baik, tidak mendahulukan ego dalam bertindak dan sadar akan
kepentingan umum atau social.
3. Pengwasan yang Efektif dan Efisien
Pengawasan merupakan salah satu fungsi manajemen atau administrasi.
Pengawasan merupakan tindakan yang berfungsi untuk memperhatikan kondisi
yang terjadi di lapangan dengan kondisi yang diharapkan dari pembuat kebijakan.
Kebijakan subsidi pendidikan yang tertuang dalam program BOS sudah
seharusnya mendapatkan pengawasan yang baik dari pemerintah, karena ini
merupakan program atau kebijakan pemerintah, sehingga perhatian untuk proses
pengawasan pun harus diperhatikan. Selama ini pengawasan yang terjadi pada
pengelolaan dana BOS cukup pada tataran pelaporan saja, sedangkan
implementasi kenyataan di lapangan masih kurang, pihak pengawas, kantor dinas
atau pemerintah, merasa cukup dengan laporan yang ada diatas kertas saja,
padahal jika dilihat di lapangan, belum tentu sesuai dengan apa yang ada dalam
laporan, sehingga disini benar-benar dibutuhkan pengawasan yang efektif dan
efisien untuk menanggulangi penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan dana
BOS. Pengawsan melekat dan pengefektifan tenaga pengawasan yang ada bisa
jadi menjadi solusi bagi pengawasan yang efektif.
4. Pendampingan Dari Ahli Yang Kompeten
Tidak sedikit juga sekolah yang melakukan kesalahan dan penyelewengan
tidak dengan sengaja, ada juga factor ketidaktahuan, atau ketidaksengajaan,
sehingga oleh oknum-oknum pendidikan diperdaya dan disalahgunakan. Oleh
karena itu, pendampingan dari ahli yang kompeten bisa menjadi solusi untuk
masalah ini. Ahli yang dimaksud bukan hanya professor atau dosen dari ahli
keuangan, tapi minimal orang atau lembaga social yang faham pengelolaan
pendidikan, sehingga pemahaman terhadap pengelolaan pendidikan akan menajdi
dasar yang kuat bagi teknis pelaksanaan pengelolaan dana BOS. Hal ini
dikarenakan di sekolah belum ada tenaga professional yang menangani
manajemen sekolah, tenaga yang ada hanyalah lulusan SMA atau bahakan SMP,
sedangkan untuk mengelola dana sebesar ini dibutuhkan beberapa kompetensi
yang utama, disamping tentunya kompetensi manajerial.
Pendampingan bisa saja dari mahasiswa Administrasi Pendidikan, atau
lembaga social lainnya yang bisa ikut mengawal dan menjadi mitra pendamping
bagi sekolah. Hal ini bisa saja menekan penyalahgunaan dan ketidak tepatan
penggunaan dana BOS di sekolah, terlebih lagi di daerah yang kemampuan guru
dan tenaga kependidikan lainnya relatif berbeda dengan sekolah yang sudah lain.
BAB III

PENUTUP

Akuntabilitas dapat diartikan sebagai kewajiban-kewajiban dari individu-


individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya
publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang
menyangkut pertanggungjawabannya. Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen
untuk kegiatan kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan
publik dan menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat.

Akuntabilitas dapat dikategorikan menjadi 4 antara lain : akuntabilitas


kebijakan, akuntabilitas kinerja, akuntabilitas proses, dan akuntabilitas keuangan.
Akuntabilitas dibedakan dalam beberapa macam atau tipe, Sadu Wasistiono
mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas yaitu akuntabilitas
administratif atau organisasi, akuntabilitas legal, akuntabilitas politik,
akuntabilitas profesional dan akuntabilitas moral.

Reformasi akuntabilias keuangan yang disebut sebagai paradigma baru


dalam keuangan negara adalah paradigma yang menuntut besarnya akuntabilitas
dan transparansi dari penataan keuangan negara dengan memperhatikan asas
keadilan dan kepatutan dengan ciri-ciri antara lain : dari vertical accountability
menjadi horizontal accountability, dari traditional budget menjadi performance
budget, dari pengendalian dan audit keuangan ke pengendalian dan audit
keuangan dan kinerja, lebih menerapkan konsep value for money, penerapan
pusat pertangung jawaban.
Daftar pustaka

Abdul Hafiz Tanjung, 2008, Penatausahaan dan Akuntansi Keuangan Daerah, Cetakan


pertama, Alfabeta Bandung.

Permendagri 13 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah

Abdul Hakim. 2006. Reformasi Penglolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.


Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM.

Suparmoko. 2003. Keuangan Negara: Dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta: BPFE.

Musgrave, Richard A. & Peggy B. Musgrave. 1989. Public Finance in Theory and


Practice.Singapore: Mc Graw – Hill, Inc.

http://hypersteps09.blogspot.co.id/2016/05/makalah-akuntabilitas-keuangan.html

http://kabupatensidrap.blogspot.co.id/2014/05/makalah-konsep-akuntabilitas-dan.html

Hasan,H. 2008. Evaluasi Kurikulum. Bandung: Rosdakarya.

Pidarta,M. 2005. Perencanaan Pendidikan Partisipatori dengan Pendekatan Sistem.


Jakarta:Asri Mahasatya.

http://nawarsyarif.blogspot.co.id/2015/10/makalah-akuntabilitas.html

http://arifin-kumpulanmakalah.blogspot.co.id/2012/03/makalah-permasalahan-pengeloloan-
dana.html

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-anggaran-dan-
perbendaharaan/20982-akuntabilitas-pengelolaan-dana-bos

Anda mungkin juga menyukai