Anda di halaman 1dari 23

“Sanksi Penggunaan NAPZA”

Ditulis sebagai bahan presentasi mata kuliah Bimbingan dan Konseling NAPZA.

Dosen Pengampu:
Maliki M.Pd.I

Disusun Oleh:

Irfan Ramdhoni
180303001
Munirah
180303007
Fujiatin Aulia
180303003
Yayan Fitria Ningsih
180303015

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSLING ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI (FDIK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2020
Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya yang tak terbatas. Kedua kalinya, shalawat serta salam
selalu tercurahkan kepada Rasuallah pembimbing umat menuju jalan kebenaran. Dengan ajaran
yang dibawakan- Nyalah, saat ini kita hidup dalam damainya Islam yang rahmatallil alamin.

Adapun pembuatan makalah ini dimaksudkan untuk diajukan sebagai tugas dan bahan
diskusi bersama pada mata kuliah BK NAPZA di Universitas Islam Negeri Mataram dan atas
dasar itulah maka penulis mengharapkan semoga makalah ini sesuai dengan ketentuannya.

Mengingat isinya sangat penting sebagai bahan pembelajaran agar tercapainya tujuan
dalam memahami objek atau sasaran dari Sanksi Penggunaan Napza. Mudah-mudahan makalah
ini besar manfaatnya bagi para pembaca dan khususnya bagi penulis menjadi amal yang bisa
menghantarkan kesuksesan dalam belajar.

Sekiranya, dalam penyampaian materi maupun format penulisan dalam makalah ini
terdapat kesalahan. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca, sehingga dalam
penulisan tugas berikutnya dapat lebih baik dari sebelumnya.

Mataram, Maret 2020

Penulis

2|BK NAPZA
Daftar Isi

KATA PENGANTAR...................................................................................2

DAFTAR ISI..................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................4

A. Latar Belakang.....................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................4
C. Tujuan..................................................................................................4

BAB II Sanksi Yang Diberikan Kepada Pemakai dan Pengedar Narkoba,

dan Ketentuan Pidana...................................................................................6

BAB III Peredaran Gelap Narkoba dan Uoaya Pencegahannya.............12

BAB IV Peran dan prosedur Pelaksanaan Konseling Rehabilitasi.........17

BAB v PENUTUP.........................................................................................21

A. Kesimpulan.........................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................23

3|BK NAPZA
Bab I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan Undang-Undang Narkotika yakni Undang-Undang No. 35 Tahun 2009


tentang Narkotika merupakan suatu upaya politik hukum pemerintah Indonesia terhadap
penanggulangan tindak pidana narkotika. Pembentukan undang-undang narkotika diharapkan
dapat menanggulangi peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan menggunakan
sarana hukum pidana atau penal. Penegakan hukum mempunyai sasaran agar orang taat kepada
hukum. Ketaatan masyarakat terhadap hukum disebabkan tiga hal, yakni: (1) takut berbuat dosa
(2) takut karena kekuasaan dari pihak penguasa berkaitan dengan sifat hukum yang bersifat
imperatif (3) takut karena malu berbuat jahat. Penegakan hukum dengan sarana non penal
mempunyai sasaran dan tujuan untuk kepentingan internalisasi1.

Semua orang Indonesia tentu sudah mengetahui, bahwa Negara Indonesia adalah Negara
hukum. Negara yang didasarkan atas hukum yang berlaku, baik hukum yang tertulis maupun
hukum yang tidak tertulis, oleh karena itu semua warga Negara Indonesia tanpa ada
pengecualiannya, wajib taat kepada hukum. Tidak peduli rakyat kecil, pengusaha maupun
pejabat tinggi wajib mentaati hukum. Seluruh tindak tanduk atau perbuatan yang dilakukan
didalam Negara kita, wajib didasarkan atas hukum yang berlaku. Demikian pula apabila terjadi
pelanggaran maupun sengketa hukum diselesaikan secara hukum2.

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan3. Di satu sisi narkotika merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang
pengobatan, pelayanan kesehatan, dan pengembangan ilmu pengetahuan. Namun, di sisi lain
dapat menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa adanya

1
Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 142
2
Gatot Supramono, SH. 2004. Hukum Narkoba Indonesia. Jakarta. Djambatan. Hlm. 6.
3
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

4|BK NAPZA
pengendalian serta pengawasan yang ketat dan seksama. Pada dasarnya peredaran narkotika di
Indonesia apabila ditinjau dari aspek yuridis adalah sah keberadaannya. Undang-Undang
Narkotika hanya melarang penggunaan narkotika tanpa izin oleh undang-undang yang dimaksud.
Keadaan yang demikian ini dalam tataran empirisnya, penggunaan narkotika sering
disalahgunakan bukan untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan.

Akan tetapi jauh dari pada itu, dijadikan ajang bisnis yang menjanjikan dan berkembang
pesat, yang mana kegiatan ini berimbas pada rusaknya fisik maupun psikis mental pemakai
narkotika khususnya generasi muda. Tindak pidana di bidang narkotika diatur dalam pasal 78
sampai dengan pasal 100 undang-undang narkotika yang merupakan ketentuan khusus. Semua
ketentuan pidana tersebut jumlahnya 23 pasal, sedang ketentuan pidana dalam undang-undang
psikotropika berjumlah 24 pasal. Walaupun tidak disebutkan secara tegas dalam undang-undang
narkotika bahwa tindak pidana yang diatur didalamnya adalah tindak pidana kejahatan, akan
tetapi tidak perlu disangsikan lagi semua tindak pidana didalam undang-undang tersebut
merupakan kejahatan. Alasanya, kalau narkotika hanya untuk pengobatan dan kepentingan ilmu
pengetahuan, maka apabila ada perbuatan diluar kepentingan – kepentingan tersebut sudah
merupakan kejahatan, mengingat besarnya akibat yang ditimbulkan dari pemakaian narkotika
secara tidak sah sangat membahayakan bagi jiwa manusia.

B. Rumusan masalah
1) Sanksi Yang Diberikan Kepada Pemakai dan Pengedar Narkoba,
dan Ketentuan Pidana
2) Peredaran Gelap Narkoba dan Uoaya Pencegahannya
3) Peran dan prosedur Pelaksanaan Konseling Rehabilitasi
C. Tujuan
Untuk dapat memahami sanksi yang diberikan kepada pengguna maupun penyebar natkoba
serta mampu memahami penyebaran narkoba dan upaya pencegahannya seperti apa kemudian
dalam penyalagunaan narkoba peran dan prosedur dalam penyembuhan dalam rehabilitasi dapat
dimengerti.

BAB II

5|BK NAPZA
SANKSI YANG DIBERIKAN KEPADA PEMAKAI DAN PENGEDAR NARKOBA, DAN
KETENTUAN PIDANA

A. Pengertian Sanksi

Sanksi berasal dari bahasa Belanda yaitu Sancetie yang artinya ancaman hukum,
merupakan suatu alat pemaksa guna ditaati suatu kaidah, Undang-undang misalnya, sanksi
terhadap pelanggaran terhadap undang-undang.

Dalam KBBI sanksi adalah tindakan-tindakan (hukuman) untuk memaksa seseorang


menaati aturan atau ketentuan undang-undang. Sanksi merupakan alat pemaksa, dimana sanksi
memaksa menegakkan hukum atau memaksa mengindahkan norma-norma hukum. Sanksi
sebagai alat penegak hukum bisa juga terdiri atas perbuatan pelanggaran hukum.4

B. Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Dalam Lingkup Tindak Pidana Narkotika


a. Tindak Pidana Narkotika
Pelaku tindak pidana narkotika memiliki peran, kedudukan, dan sanksi yang berbeda,
baik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya maupun berdasarkan peran
dan dampak yang ditimbulkan dari berbuatannya. Penggolongan pelaku tindak pidana narkotika
dapat dilihat dari beberapa aspek sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
serta ketentuan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan tindak pidana narkotika.
Pelaku penyalahgunaan narkoba terbagi terbagi atas dua kategori yaitu pelaku sebagai
“pengedar” dan ” pemakai”, sedangkan peraturan substansi untuk menanggulangi kasus
penyalahgunaan narkotika adalah UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika . pelaku sebagai
pengedar dimungkinkan dijatuhkan sanksi pidana mati, contohnya diatur dalam pasal 114, pasal,
pasal 119 yang disesuaikan dengan kategori atau beratnya kejahatan yang dilakukan. Kejahatan
narkotika sudah masuk keseluruh sendi-sendi kehidupan, maka dari itu hukuman mati dalam
undang-undang narkotika tidak bertentangnan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh
undang-undang 1945.5
1. Sanksi yang di Berikan Kepada Pemakai

4
https://www.wikipedia.com/Pengertian-Sanksi diakses pada 24 Maret 2020 Pukul 19:41
5
Dahlan, “Penerapan Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Untuk Dirinya Sendiri”, Hakim PN Jakarta
Utara, (Vol, 4. No 1. 2016), hlm. 18.

6|BK NAPZA
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 terdapat 4 (empat) pengertian pengguna
narkotika, yaitu pecandu, penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan pasien narkotika.
Pecandu narkotika diartikan orang yang menggunakan narkotika dan dalam keadaan
ketergantungan, baik secara fisik maupun psikis. Sedangkan penyalahgunaan adalah orang yang
menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum. Korban penyalahgunaan narkotika
diartikan seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya,
ditipu, dipaksa, dan diancam menggunakan narkotika. Istilah lain pemakai narkotika yaitu
pengguna, pengguna adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman,
baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat
menimbulkan ketergantungan.6

Pengguna narkotika menurut UU Narkotika dibagi menjadi dua sebagai berikut:

1. Pecandu narkotika yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan


narkotika dan dalama keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik
maupun psikis.
2. Penyalahguna yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.
2. Sanksi yang di Berikan Kepada Pengedar

Pengertian pengedar tak diatur secara eksplisit dalam undang-undang No.35 Tahun 2009
tentang narkotika (UU Narkotika). Namun, bila merujuk ke KBBI, pengedar adalah orang yang
mengedarkan, yakni orang yang membawa (menyamapaikan) sesutau dari orang yang kepada
yang lainnya. Pda pasal 35 UU Narkotika hanya menjelaskan tentang penegrtian peredaran
narkotika yakni “meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan
narkotika, baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan maupun pemindahtanganan,
untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan penegembangan ilmu penegetahuan dan teknologi.

Berdasarkan hal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa pengedar adalah orang yang
melakukan kegiatan menyalurkan atau menyerahkan narkotika, baik dalam rangka perdagangan,
bukan perdagangan maupun pemindahtanganan, untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan
6
Lilik Mulyadi, “Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba”, Hakim PN Jakarta Utara, ( Vol 1. No.
1. 2012), hlm. 315.

7|BK NAPZA
penegembangan ilmu penegtahuan dan teknologi. Pada UU Narkotika secara eksplisit tidak
dijelaskan pengertian pengedar narkotika, akan tetapi secara implisit dan sempit dapat dikatakan
bahwa, pengedar narkotika adalah orang yang melakukan kegiatan penyaluran dan penyerahan
narkotika. Secara luas pengertian pengedar tersebut juga dapat dilakukan dan berorientasi kepada
dimensi penjual, pembeli untuk diedarkan, mengangkut, menyimpan, menguasai menyediakan
melalakukan perbuatan mengekspor dan mengimpor narkotika. 7

Dari beberapa penjelasan mengenai ketentuan pidana narkotika, “pengedar” tidak di


temukan. Namun, pengertian pengedar secara terminologi yaitu, suatu proses, siklus, kegiatan
atau serangkaian kegiatan yang menyalurkan/memindahkan sesuatu (barang, jasa, informasi, dan
lain-lain). Peredaran dapat juga diartikan sebagai impor, ekspor, jual beli didalam negeri serta
penyimpanan dan pengangkutan. Menurut kamus Tata Hukum Indonesia, pengertian peredaraan
adalah setiap kegiatan yang menyangkut penjualan serta pengangkutan penyerahan penyimpanan
dengan untuk dijual. Perbuatan-perbuatan yang dinyatakan sebagai unsur tindak pidana dalam
Undang undang Nomor 34 tahun 2009 tentang Narkotika adalah sebagai berikut:

1) Setiap orang yang tanpa hak menanam, memelihara, mempunyai dalam


persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika (dalam bentuk
tanaman atau bukan tanaman) diatur dalam (Pasal 111 dan Pasal 112)

2) Setiap orang yang tanpa hak memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau


menyalurkan narkotika golongan I (Pasal 113)

3) Setiap orang yang tanpa hak menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
narkotika golongan I (Pasal 114)

4) Setiap orang yang tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
narkotika golongan I (Pasal 115)

7
Ibid., hlm. 316.

8|BK NAPZA
5) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika
golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk
digunakan orang lain (Pasal 116)

6) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika golongan II (Pasal 117)

7) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan II (Pasal 118)

8) Setiap orang yang tanpa hak menawarkan untuk dijual, menjual, membeli,
menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan
narkotika golongan II (Pasal 119)

9) Setiap orang yang tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
narkotika golongan II (Pasal 120)

10) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika
golongan II terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk
digunakan orang lain (Pasal 21)

11) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan,
menguasai, atau menyediakan narkotika golongan III (Pasal 122)

12) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan III (Pasal 123)

13) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual,
menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau
menyerahkan narkotika dalam golongan III (Pasal 124)

14) Setiap orang yang tanpa hak membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito
narkotika golongan III (Pasal 125)

9|BK NAPZA
15) Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan, narkotika
golongan III terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan III
digunakan orang lain (Pasal 126)

16) Setiap penyalahguna (Pasal 127 ayat 1)

a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri

b. Narkotikan golongan II bagi diri sendiri

c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri

17) Pecandu narkotika yang belum cukup umur (Pasal 55 ayat 1) yang sengaja tidak
melaporkan (Pasal 128)

18) Setiap orang tanpa hak melawan hukum (Pasal 129)

a. Memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan precursor narkotika


untuk pembuat narkotika

b. Memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan prekusor


narkotika untuk pembuatan narkotika

c. Menawarkan untuk dijual, menjual, mebeli, menerima, menjadi perantara


dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan prekusor narkotika untuk
pembuatan narkotika

d. Membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito prekusor narkotika untuk


pembuatan narkotika.

Penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang


Nomor 35 tahun 2009 untuk pertama kali ditetapkan sebagaimana tercantum dalam lampiran I
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari undang-undang ini. Pengertian masing-
masing golongan narkotika sebagaimana tersebut, terdapat pada pejelasan Pasal 6 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 35 sebagai berikut:

10 | B K N A P Z A
 Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan

 Golongan II adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan sebagai


pilihan terkhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tingggi
mengakibatkan ketergantungan

 Golongan III adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan banyak


digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan ilmu serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan.

11 | B K N A P Z A
BAB III
PEREDARAN GELAP NARKOBA DAN UOAYA PENCEGAHANNYA

1. Peredaran Narkoba
Narkoba telah menjadi masalah serius bagi bangsa ini. Barang haram ini tanpa pandang
bulu menggerogoti siapa saja. Para wakil rakyat, hakim, artis, pilot, mahasiswa, buruh, bahkan
ibu rumah tangga tak luput dari jeratan narkoba. Dari sisi usia, narkoba juga tak pernah memilih
korbannya, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan sampai dengan lanjut usia. Indonesia
merupakan ‘surga’ peredaran narkoba. Betapa tidak, jika ditilik dari peringkat peredaran narkoba
di dunia, negara kita menempati peringkat ketiga sebagai pasar narkoba terbesar di dunia
Semakin canggihnya kemajuan teknologi komunikasi dan teknologi transportasi menjadikan
transaksi peredaran narkoba semakin mudah. Transaksi dapat dilakukan melalui media internet
yang berkedokan paket, sehingga penjual dan pembeli tidak perlu melakukan tatap muka yang
memiliki resiko lebih mudah diketahui oleh kepolisian. Selain itu narkoba yang diselundupkan
pun dikemas dengan berbagai macam cara agar dapat mengelabui petugas keamanan.Alasan kuat
yang menjadikan Indonesia mengalami krisis peredaran narkoba adalah pada kenyataannya, 60 –
70 persen narkotika yang beredar di Indonesia berasal dari luar negeri, hanya 30 – 40 persen
narkotika asal lokal, utamanya ganja. Ini artinya, Indonesia memang telah kehilangan batas
dimana memudahkan negara luar untuk mengekspor obat-obatan terlarang tersebut8.
Perkembangan penggunaan narkotika pada awal tahun 2000 Sebelum Masehi ialah
sebagai alat bagi upacara-upacara ritual dan disamping itu juga dipergunakan untuk pengobatan.
Jenis narkotika yang pertama digunakan pada mulanya adalah candu atau lazimnya disebut
sebagai mandat atau opium.Perdagangan candu berkembang dengan pesat di Mesir, Yunani dan
beberapa wilayah di Timur Tengah, Asia dan Afrika Selatan. Sejalan dengan perkembangan
kolonialisasi maka perdagangan candu semakin berkembang dan pemakaian candu dilakukan
besar-besaran oleh etnis Cina, terutama di negara-negara jajahan ketika itu, termasuk Indonesia,
yang berada di bawah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda9. Jumlah populasi penduduk
yang sangat besar, melebihi angka 200 juta penduduk ini tentu membuat Indonesia menjadi

8
Makbul Padmanagara, Kejahatan Internasional, Tantangan dan Upaya Pemecahan, (Indonesia: Majalah Interpol,
2007), hlm. 94
9
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, (Bandung:
Citra Aditya Bhakti, 1997), hlm 1

12 | B K N A P Z A
sasaran peredaran gelap narkoba. Padahal pada awalnya Indonesia hanya sebagai tempat
persinggahan lalu lintas perdagangan narkoba, dikarenakan lokasinya yang strategis. Namun
lambat laun para pengedar gelap narkoba ini mulai menjadikan Indonesia sebagai incaran empuk
mereka untuk mengedarkan dagangan narkoba mereka. Seiring berjalanannya waktu, Indonesia
mulai bertransformasi, tidak hanya sebagai tempat peredaran narkoba namun juga sudah menjadi
tempat menghasilkan narkoba, terbukti dengan ditemukannya beberapa laboratorium narkoba di
wilayah Indonesia. Persoalan ini tentu menjadi masalah yang sangat serius yang pada akhirnya
dapat menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban Nasional.

Dampak dari era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi,
liberalisasi perdagangan dan kemajuan industri pariwisata yang mendorong Indonesia dapat
tumbuh kembang menjadi negara penghasil narkoba. Peredaran gelap narkoba ini tidak hanya
berasal dari dalam negeri saja, namun juga datang dari luar negeri baik itu melalui jalur darat,
jalur laut ataupun jalur udara. Peredaran gelap narkoba melalui jalur darat umumnya terjadi di
sekitar wilayah perbatasan Indonesia dengan negara sekitar. Hal ini dapat terjadi karena
lemahnya sistem pengawasan dan keamanan di wilayah perbatasan. Sarana dan prasarana yang
tidak memadai serta kurangnya perhatian dari pihak pusat terhadap kebijakan di sekitar wilayah
perbatasan menjadi pemicu kesenjangan anatara masyarakat wilayah sekitar perbatasan dengan
masyarakat Indonesia di kota. Hal inilah yang mendorong masyarakat sekitar perbatasan mencari
jalan lain untuk dapat menyambung hidup mereka, meskipun itu harus melakukan hal yang
melanggar hukum. Maka terjadilah kegiatan-kegiatan penyelundupan narkoba dari negara
tetangga yang dibawa masuk secara ilegal ke dalam negeri ini melalu masyarakat sekitar
perbatasan tersebut. Imbalan besar yang dijanjikan bila dapat membawa narkoba masuk
melewati perbatasan tentu tak ingin mereka lewatkan begitu saja. Peredaran gelap narkoba
melalui laut juga kerap dilakukan. Indonesia yang merupakan kepulauan ini tentu banyak
memiliki lautan yang dapat berfungsi sebagai pintu masuk kedalam negeri ini.

Masalahnya tidak semua wilayah laut yang ada di Indonesia ini mendapatkan perhatian
dan pengawalan yang optimal dari pemerintah. Luasnya lautan yang dimiliki Indoensia tidak
diimbangi dengan jumlah personel yang mencukupi akibatnya beberapa wilayah perbatasan laut
indonesia menjadi tidak terjaga. Celah inilah yang banyak diincar oleh pengedar narkoba luar
untuk dapat membawa masuk barang dagangan mereka ke Indonesia melalui jalur laut. Tak

13 | B K N A P Z A
hanya itu jumlah personil yang sedikit dan gaji yang dirasa tidak sebanding sering membuat para
penjaga perbatasan tersebut tergoda untuk meloloskan para pengedar gelap narkoba tersebut
dengan imbalan alias menerima suap. Peredaran gelap narkoba melalui jalur udara juga
mengkhawatirkan. Berkali- kali dinas bea dan cukai bandara menggagalkan penyelundupan
narkoba membuktikan kalau penyelundupan narkoba melalui jalur bandara sangatlah sering
dilakukan. Ketersediaan alat pendeteksi yang canggih mutlak diperlukan agar penyelundupan
narkoba melalui bandara tersebut tidak dapat lolos dari pemeriksaan, karena cara dan modus
yang dilakukan untuk menyelundupkan narkoba melalu jalur udara ini semakin hari semakin
beragam saja dan perlu pengamatan yang jeli dari petugas agar mereka dapat menghentikannya.

2. Upaya Pencegahan
Pencegahan atau penanggulangan penyalahgunaan narkoba merupakan suatu upaya yang
ditempuh dalam rangka penegakan baik terhadap pemakaian, produksi maupun peredaran gelap
narkotika yang dapat dilakukan oleh setiap orang baik individu, masyarakat dan negara. Pola
kebijakan kriminal sebagai upaya penanggulangan kejahatan menurut Arief mengatakan bahwa,
dapat ditempuh melalui 3 (tiga) elemen pokok yaitu: penerapan hukum pidana (criminal law
application), pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) dan mempengaruhi
pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing
views of society on crime)10. Untuk mengatasi peredaran narkoba di dalam negeri, Pemerintah
Indonesia telah mengaturnya melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Melalui Undang-Undang ini, pemerintah bertujuan antara lain untuk menjamin ketersediaan
narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi mencegah, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan
narkotika memberantas peredaran gelap narkotika; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi
medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika.
Selain menerapkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
pemerintahj uga memperkuat aturan hukum tersebut melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25
Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Tidak hanya itu, pemerintah
juga mengeluarkan Instruksi Presiden No 12 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan
10
Ira Helviza, Zulihar Mukmin dan Amirullah, “Kendala-Kendala Badan Narkotika Nasional (BNN) Dalam
Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di Kota Banda Aceh, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan
Kewarganegaraan Unsyiah Volume1, Nomor 1 (2016), url:https://media.neliti.com/media/publications/187604 hal.
138.

14 | B K N A P Z A
Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap
Narkoba tahun 2011-2015 sebagai bentuk komitmen bersama seluruh komponen masyarakat,
bangsa dan negara. Terakhir adalah Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 21
Tahun 2013 tentang Fasilitasi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkotika, yang didalamnya
melibatkan peran serta dari gubernur/bupati/walikota.

Dalam rangka melakukan upaya pencegahan, pemberantasan dan penanggulangan


penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika lintas negara, perlu digunakan pendekatan multi
dimensional dengan memanfaatkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dari penerapan teknologi.
Sebagaimana diungkapkan oleh Wijaya mengatakan bahwa, penanggulangan terhadap peredaran
gelap dan penyalahgunaan narkotika dapat di tempuh melalui berbagai strategi dan kebijakan
pemerintah yang kemudian dilaksanakan secara menyeluruh dan simultan oleh aparat terkait
bekerjasama dengan komponen masyarakat anti narkoba. Adapun strategi penanggulangan
terhadap peredaran gelap dan penyalahgunaan narkoba adalah sebagai berikut11:

1. Strategi Pengurangan Permintaan (Demand Reduction) Narkoba

Strategi pengurangan permintaan meliputi pencegahan penyalahgunaan narkoba. Upaya ini

meliputi :

a. Primer atau pencegahan dini.

Yaitu ditujukkan kepada individu, keluarga atau komunitas dan masyarakat yang belum
tersentuh oleh permasalahan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba, dengan tujuan
membuat individu, keluarga, dan kelompok untuk menolak dan melawan narkoba.

b. Pencegahan sekunder atau pencegahan kerawanan.

Yaitu ditujukan kepada kelompok atau komunitas yang rawan terhadap penyalahgunaan narkoba.
Pencegahan ini dilakukan melalui jalur pendidikan, konseling, dan pelatihan agar mereka
berhenti, kemudian melakukan kegiatan positif dan menjaga agar mereka tetap lebih
mengutamakan kesehatan.

11
Yusuf Apandi, Katakan tidak pada narkoba, Bandung: Simbiosa Rekatama Mebia, 2010, hal 22.

15 | B K N A P Z A
c. Pencegahan tertier

Yaitu pencegahan terhadap para pengguna/pecandu kambuhan yang telah mengikuti program
teraphi dan rehabilitas, agar tidak kambuh lagi.

2. Pengawasan Sediaan (Supply Control) Narkoba

a. Pengawasan Jalur Legal Narkoba

Narkoba dan prekusor untuk keperluan medis dan ilmu pengetahuan serta untuk keperluan
industri diawasi oleh pemerintah.Pengawasan jalur legal ini meliputi pengawasan penanaman,
produksi, importasi, eksportasi, transportasi penggudangan, distribusi dan penyampaian oleh
instansi terkait, dalam hal ini departemen kehutanan.

b. Pengawasan Jalur Ilegal Narkoba

Pengawasan jalur ilegal narkoba meliputi pencegahan di darat, di laut dan di udara. Badan
narkotika nasional telah membentuk Airport dan seaport interdiction task force (satuan tugas
pencegahan pada kawasan pelabuhan udara dan pelabuhan laut).

3. Pengurangan Dampak Buruk (Harm Reduction) Penyalahgunaan Narkoba.

Sampai saat ini pemerintah secara resmi hanya mengakui dan menjalankan dua strategi yaitu
pengurangan permintaan dan pengawasan sediaan narkoba. Namun menghadapi tingginya
prevalensi OHD (orang dengan HIV/AIDS) dikalangan penyalahgunaan narkoba dengan jarum
suntik secara bergantian, maka pada 8 Desember 2003 BNN telah mengadakan nota
kesepahaman dengan KPA (komisi penanggulangan HIV/AIDS), nomor 21
kep/menko/kesra/XII/BNN, yang bertujuan untuk membangin kerjasama antara komisi
penganggulangan AIDS (KPA) dengan BNN dalam rangka pencegahan penyebaran HIV/AIDS
dalam pemberantasan penyalahgunaan narkotika12 .

BAB IV
Peran dan prosedur Pelaksanaan Konseling Rehabilitasi

12
Wagimin Wira Wijaya, Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen volume II/ Agustus 2005 No.07. url:
https://media.neliti.com/media/publications/187604-ID , hal. 133.

16 | B K N A P Z A
1) Peran Konseling Rehabilitasi
Konseling rehabilitasi adalah pendekatan yang dibatasi waktu dan berorientasi pada
outcome untuk membantu individu penyandang kecacatan fisik, mental, dan emosional guna
memperoleh keterampilan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk hidup, belajar, dan bekerja
dalam masyarakat (Fabian & MacDonald-Wilson - dalam Parker et al, 2004). Dalam berbagai
macam setting, konselor rehabilitasi berkolaborasi dengan klien dalam mengidentifikasi tujuan
karir dan vokasionalnya, sumber daya yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut, dan
mengidentifikasi dukungan dan layanan yang tersedia di masyarakat untuk itu.

Selama sejarah perkembanganya, konseling rehabilitasi telah memperluas ruang lingkup


prakteknya, memasukkan sejumlah seting baru, bekerja dengan bermacam-macam profesional,
dan mengangkat isu pemberdayaan dan pilihan dalam proses rehabilitasi. Namun demikian,
bidang ini tetap berakar pada filosofi yang mendukung kesempatan dan integrasi bagi individu
penyandang cacat. Dalam hal ini, konselor rehabilitasi diharapkan selalu bekerjasama dengan
klien dan asosiasi profesi lain dalam mengadvokasi untuk hak-hak individu penyandang cacat.

Secara umum, ruang lingkup praktek konselor rehabilitasi adalah membantu individu
penyandang cacat mencapai tujuan personal, karir dan kemandirian hidupnya dalam setting yang
seintegrasi mungkin. Untuk itu, konselor rehabilitasi menggunakan berbagai metode dan teknik.
Secara spesifik, CRCC mendaftar ruang lingkup praktek konselor rehabilitasi itu sebagai berikut:

a. asesmen dan pengukuran;


b. diagnosis dan perencanaan treatment;
c. konseling karir/vokasional;
d. intervensi konseling individual dan kelompok yang difokuskan untuk
memfasilitasi penyesuaian diri klien pada dampak medis dan psikososial
kecacatan;
e. manajemen kasus, referral, dan koordinasi pelayanan;
f. evaluasi program dan penelitian;
g. intervensi untuk menghilangkan hambatan lingkungan fisik dan sosial yang dapat
mencegah penyandang cacat memperoleh pekerjaan;
h. memberikan layanan konsultasi kepada para pembuat kebijakan;

17 | B K N A P Z A
i. analisis dan pengembangan jabatan, termasuk mengakomodasi individu untuk
memenuhi tuntutan pekerjaan; dan
j. memberikan konsultasi tentang teknologi rehabilitasi.

The Virginia Commonwealth University Department of Rehabilitation Counseling (2005)


menggariskan bahwa peran konselor rehabilitasi mencakup:

a. Mengevaluasi potensi individu untuk hidup mandiri dan bekerja;

a. Mengatur pelaksanaan perawatan medis dan psikologis, asesmen vokasional, pelatihan dan
penempatan kerja;

b. Mewawancarai dan mengadvis individu, menggunakan prosedur asesmen, mengevaluasi


laporan medis dan psikologis, dan berkonsultasi dengan anggota keluarga;

c. Berunding dengan dokter, psikolog dan profesional lain tentang jenis-jenis pekerjaan yang
dapat dilakukan individu;

d. Merekomendasikan layanan rehabilitasi yang tepat termasuk pelatihan khusus untuk


membantu individu penyandang cacat menjadi lebih mandiri dan lebih siap kerja;

e. Bekerjasama dengan pengusaha untuk mengidentifikasi dan/atau memodifikasi kesempatan


kerja dan jenis pelatihan yang memungkinkan; dan

f. Bekerjasama dengan individu, organisasi profesi dan kelompokkelompok advokasi untuk


membahas berbagai hambatan lingkungan dan sosial yang menciptakan halangan bagi para
penyandang cacat.

Kecacatan merupakan bagian alami dari eksistensi manusia, dan jumlahnya terus
meningkat. Berkat kemajuan ilmu kedokteran dan teknologi, ketersediaan asuransi kesehatan
yang lebih luas, dan standar kehidupan yang pada umumnya lebih tinggi yang memberikan lebih
banyak pelayanan dan dukungan, orang yang di masa lampau akan meninggal, kini dapat
bertahan hidup dengan kecacatan. Perserikatan Bangsa-bangsa memperkirakan terdapat 500 juta
penyandang cacat di seluruh dunia. Di kebanyakan Negara, sekurang-kurangnya satu dari setiap
sepuluh orang penduduk menyandang kecacatan fisik, mental atau sensori, dan dalam semua

18 | B K N A P Z A
segmen populasi, sekurang-kurangnya 25 persen terpengaruh oleh adanya kecacatan. Oleh
karena itu, peranan konseling rehabilitasi menjadi semakin penting.

2) Prosedur Konseling Rehabilitasi

Menurut Peraturan Pemerintah No. 36/1980, tentang usaha kesejahteraan Sosial Bagi
penderita Cacat, rehabilitasi didefinisikan sebagai suatu proses fungsionalisasi dan
pengembangan untuk memungkinkan penderita cacat mampu melaksanakan fungsi
sosialnyasecara wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan menurut PP No. 72/1991
tentangPLB dan SK Mendikbud No. 0126/U/1994 pada lampiran 1 tentang landasan, Program,
dan Pengembangan Kurikulum Pendidikan Luar Biasa disebutkan bahwa rehabilitasi
merupakanupaya bantuan medik, sosial. Dan keterampilan yang diberikan kepada peserta didik
agar mampu mengikuti pendidikan. Dari definisi tentang rehabilitasi tersebut, ada beberapa hal
penting yang dapat dibahas secara singkat yaitu:

1. Usaha rehabilitasi merupakan proses rangkaian kegiatan yang dilaksanakanoleh petugas


rehabilitasi secara bertahap, berkelanjutan dan terus menerus sesuaidengan kebutuhan.
2. Sifat kegiatan yang dilakukan oleh petugas rehabilitasi berupa bantuan.Dengan
pengertian setiap usaha rehabilitasi harus selalu berorientasi pada pemberiankesempatan
kepada peserta didik yang dibantu untuk mencoba melakukan danmemecahkan sendiri
masalah-masalah yang disandangnya (clien centered). Jadi bukan berorientasi pada
kemampuan pelaksana atau tim rehabilitasi (privider centered)
3. Arah kegiatan rehabilitasi adalah refungsionalisasi dan pengembangan.Refungsionalisasi
dimaksudkan bahwa rehabilitasi lebih diarahkan pada pengembalian fungsi dari
kernampuan peserta didik, sedangkan pengembangandiarahkan untuk
menggali/menemukan dan memanfaatkan kemampuan siswa yangmasih ada serta potensi
yang dimiliki untuk memenuhi fungi dari dan fungsi sosialdimana ia hidup dan berada.
Baik yang bersifat kekinian maupun yang akan datang.
a) Usaha rehabilitasi di bidang medik, meliputi aspek medik pada umumnya(sama seperti
peserta didik normal) maupun aspek medik yang berkaitan dengankecacatan yang
disandang, agar menjadi berfungsi dan / atau mencegahkemungkinan terjadinya
akumulasi kecacatan yang lebih berat.

19 | B K N A P Z A
b) Usaha rehabilitasi di bidang siosial, mencakup eksistensi diri sebagai pribadidan sebagai
warga masyarakat. Usaha rehabilitasi, dimaksudkan sebagai upaya pengembangan bakat,
daya inisiatif dan kreativitas, kemampuan bercita-cita.berkarsa dan berkarya. Usaha
rehabilitasi juga dimaksudkan sebagai sarana pendekatan diri, penyesuaian diri dengan
lingkungan, suasana kerjasama. jiwagotong. royong, sikap tenggang rasa, sikap
menghargai orang lain kenal berbagaicorak hubungan antar personal, ketahanan terhadap
keadaan, dansebagainya
c) Usaha rehabilitasi di bidang keterampilan meliputi usaha menanamkanmemupuk, dan
mengembangkan keterampilan peserta didik melalui latihanketerampilan tertentu yang
memiliki nilai ekonomis dan produktif
4. Bidang layanan rehabilitasi adalah pada aspek medik, sosial. dan keterampilanBahwa
impacts dari seluruh kegiatan rehabilitasi agar mereka mampu melaksanakanfungsi:
sosial secara wajar dalam kehidupan bermasyarakat dan mampu mengikuti - pendidikan
dengan baik.

20 | B K N A P Z A
Bab II
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sanksi berasal dari bahasa Belanda yaitu Sancetie yang artinya ancaman hukum,
merupakan suatu alat pemaksa guna ditaati suatu kaidah, Undang-undang misalnya, sanksi
terhadap pelanggaran terhadap undang-undang. Peraturan substansi untuk menanggulangi kasus
penyalahgunaan narkotika adalah UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika . pelaku sebagai
pengedar dimungkinkan dijatuhkan sanksi pidana mati, contohnya diatur dalam pasal 114, pasal,
pasal 119 yang disesuaikan dengan kategori atau beratnya kejahatan yang dilakukan.

Pengguna narkotika menurut UU Narkotika dibagi menjadi dua sebagai berikut:

1. Pecandu narkotika yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan


narkotika dan dalama keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik
maupun psikis.
2. Penyalahguna yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan
hukum.

Peredaran gelap narkoba ini tidak hanya berasal dari dalam negeri saja, namun juga
datang dari luar negeri baik itu melalui jalur darat, jalur laut ataupun jalur udara. Peredaran gelap
narkoba melalui jalur darat umumnya terjadi di sekitar wilayah perbatasan Indonesia dengan
negara sekitar.

Peran konselor rehabilitasi mencakup:

a. Mengevaluasi potensi individu untuk hidup mandiri dan bekerja.

a. Mengatur pelaksanaan perawatan medis dan psikologis, asesmen vokasional, pelatihan dan
penempatan kerja.

b. Mewawancarai dan mengadvis individu, menggunakan prosedur asesmen, mengevaluasi


laporan medis dan psikologis, dan berkonsultasi dengan anggota keluarga.

21 | B K N A P Z A
c. Berunding dengan dokter, psikolog dan profesional lain tentang jenis-jenis pekerjaan yang
dapat dilakukan individu.

d. Merekomendasikan layanan rehabilitasi yang tepat termasuk pelatihan khusus untuk


membantu individu penyandang cacat menjadi lebih mandiri dan lebih siap kerja.

e. Bekerjasama dengan pengusaha untuk mengidentifikasi dan/atau memodifikasi kesempatan


kerja dan jenis pelatihan yang memungkinkan dan

f. Bekerjasama dengan individu, organisasi profesi dan kelompokkelompok advokasi untuk


membahas berbagai hambatan lingkungan dan sosial yang menciptakan halangan bagi para
penyandang cacat.

Peraturan Pemerintah No. 36/1980, tentang usaha kesejahteraan Sosial Bagi penderita
Cacat, rehabilitasi didefinisikan sebagai suatu proses fungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan penderita cacat mampu melaksanakan fungsi sosialnyasecara wajar dalam
kehidupan bermasyarakat. Sedangkan menurut PP No. 72/1991 tentangPLB dan SK Mendikbud
No. 0126/U/1994 pada lampiran 1 tentang landasan, Program, dan Pengembangan Kurikulum
Pendidikan Luar Biasa disebutkan bahwa rehabilitasi merupakanupaya bantuan medik, sosial.
Dan keterampilan yang diberikan kepada peserta didik agar mampu mengikuti pendidikan.

22 | B K N A P Z A
Daftar Pustaka
Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Dalam Kajian sosiologis, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2004),
Gatot Supramono, SH. Hukum Narkoba Indonesia. (Jakarta. Djambatan 2004).
Lihat Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
https://www.wikipedia.com/Pengertian-Sanksi diakses pada 24 Maret 2020 Pukul 19:41
Dahlan, “Penerapan Pidana Terhadap Penyalahgunaan Narkotika Untuk Dirinya Sendiri”,
Hakim PN Jakarta Utara, (Vol, 4. No 1. 2016),
Lilik Mulyadi, “Pemidanaan Terhadap Pengedar dan Pengguna Narkoba”, Hakim PN Jakarta
Utara, ( Vol 1. No. 1. 2012),.
Makbul Padmanagara, Kejahatan Internasional, Tantangan dan Upaya Pemecahan, (Indonesia:
Majalah Interpol, 2007),
Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana
Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1997),
Ira Helviza, Zulihar Mukmin dan Amirullah, “Kendala-Kendala Badan Narkotika Nasional
(BNN) Dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika di Kota Banda Aceh, Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Kewarganegaraan Unsyiah Volume1, Nomor 1 (2016),
url:https://media.neliti.com/media/publications/ 187604
Yusuf Apandi, Katakan tidak pada narkoba, (Bandung: Simbiosa Rekatama Mebia, 2010),
Wagimin Wira Wijaya, Jurnal Intelijen & Kontra Intelijen volume II/ Agustus 2005 No.07. url:
https://media.neliti.com/media/publications/ 187604-ID ,

23 | B K N A P Z A

Anda mungkin juga menyukai