Anda di halaman 1dari 3

Gangguan Sistem Muskoluskeletal pada Lansia: Osteoporosis

Oleh, Elok Dwi Oktaviana, 1806139973, Keperawatan Gerontik B

Sistem musculoskeletal diperlukan untuk pergerakan tubuh, respon terhadap


lingkungan, memelihara postur tubuh dan melakukan aktivitas sehari-hari. Sistem
musculoskeletal yang berfungsi dengan baik diperlukan untuk melakukan aktivitas sehari-
hari secara mandiri tanpa adanya keluhan. Namun seiring dengan bertambahnya usia dan
terjadinya penuaan kepadatan tulang akan berkurang.

Sepanjang hidup, tulang mengalami 3 tahap proses perubahan, yaitu tahap


pertumbuhan, pemadatan dan penurunan. Didalam tulang ada 2 jenis sel yang berperan
penting dalam ketiga tahap perubahan tersebut. Sel yang bertugas melakukan penyerapan
(perusakan) disebut osteoklast sedangkan sel yang bertugas melakukan pembentukan tulang
kembali disebut osteoblast. Sel tulang yang sudah tua dan mengalami kerusakan akan diserap
oleh osteoklast dan kemudian osteoblast akan membentuk sel tulang baru. Pada tahap
pertumbuhan, yaitu sejak bayi sampai usia 16-18 tahun untuk laki laki dan 14-16 tahun untuk
wanita, proses pembentukan tulang baru oleh osteoblast berlangsung lebih cepat dan lebih
banyak dibanding proses penyerapan tulang oleh osteoklas. Setelah proses pertumbuhan
tulang selesai, tulang mengalami proses pemadatan massa tulang (tahap kedua), sehingga
massa tulang menjadi lebih padat. Proses ini mencapai puncaknya pada usia 30 tahun,
sehingga pada massa tersebut kepadatan tulang mencapai massa tertinggi. (Mauk, 2006)

Pada usia 30-40 tahun, massa tulang berada dalam keadaan yang stabil, dalam arti
terjadi keseimbangan yang harmonis antara penyerapan (perusakan) oleh osteoklast dan
pembentukan tulang oleh osteoblast. Setelah usia 40 tahun, tulang memasuki tahap ke 3, yaitu
terjadi penurunan massa tulang ( 1-2 % pertahun). Pada tahap ini terjadi ketidak seimbangan
aktivitas osteoklast dan osteoblast, dimana proses penyerapan tulang oleh osteoklas
berlangsung lebih cepat dibanding proses pembentukan tulang oleh osteoblas. Pada tahap
inilah osteoporosis dapat terjadi apabila terdapat faktor faktor yang mendukung terjadinya
osteoporosis. (Touhy & Jett, 2016). Definisi osteoporosis itu sendiri menurut Mauk (2006),
osteoporosis ialah penyakit yang diakibatkan oleh pengurangan kuantitas dan kekuatan tulang
yang lebih besar dari pengurangan terkait usia biasanya. Osteoporosis terjadi akibat dari
hilangnya kortikal (cangkang luar) dan tukang trabekuler (jaringan spons bagian dalam) serta
adanya kerusakan mikroarsitektur secara bertahap (Touhy & Jett, 2016).
Penyakit ini terbagi menjadi dua jenis, berupa osteoporosis primer dan sekunder
(Touhy & Jett, 2016). Osteoporosis primer merupakan perubahan penuaan yang normal,
terutama pada wanita pascamenopause yang tidak menjalani terapi penggantian hormon.
Osteoporosis primer memiliki dua tipe yaitu tipe I atau postmenopausal dan tipe II atau
senile. Osteoporosis tipe I berkaitan dengan kejadian menopause pada wanita dan produksi
hormon estrogen. Pada tipe ini, tulang trabecular menjadi sangat rapuh sehingga tingkat
kerentanan untuk fraktur menjadi lebih tinggi. Sedangkan osteoporosis tipe II berkaitan
dengan kurangnya kalsium dan sel-sel perangsang pembentuk vitamin D. Berbeda dengan
osteoporosis primer, osteoporosis sekunder terjadi karena adanya gangguan kelainan hormon,
kelainan autoimun, depresi, serta penggunaan medikasi atau obat-obatan seperti
kortikosteroid dan thyroid replacement (Touhy & Jett, 2016).

Faktor resiko terjadinya osteoporosis dibagi menjadi dua yaitu faktor yang tidak dapat
diubah dan dapat diubah. Faktor yang tidak dapat diubah yaitu jenis kelamin, usia, genetic
dan riwayat. Perempuan lebih beresiko mengalami osteoporosis dibandingkan dengan laki-
laki. Ketika wanita mengalami menopause, terjadi penurunan hormon estrogen yang
menyebabkan aktivitas sel osteoblas menurun sehingga wanita lebih berisiko mengalami
osteoporosis. Semakin bertambahnya usia, fungsi organ semakin menurun dan peluang untuk
kehilangan massa tulang semakin meningkat. Sel osteoblast juga lebih cepat mati seiring
bertambahnya umur dan sel osteoklas menjadi lebih aktif, sehingga tulang tidak dapat
digantikan dengan baik dan terus terjadi penurunan massa tulang. Faktor genetic dan riwayat
keluarga dengan osteoporosis mempengaruhi ukuran dan Densitas Mineral Tulang (DMT)
seseorang. Faktor genetik memiliki peranan penting dalam penentuan massa tulang puncak.
Apabila terdapat salah satu anggota keluarga yang memiliki DMT tidak normal, maka
keturunannya memiliki 80% kemungkinan mengalami osteoporosis (Cosman, 2009). Faktor
yang dapat diubah yaitu Asupan kalsium dan vitamin D yang tidak adekuat, aktivitas yang
kurang, merokok, konsumsi alcohol, konsumsi obat-obatan, kadar hormon estrogen yang
rendah.

Osteoporosis biasanya tidak bergejala dan tidak dapat didiagnosis sampai terjadinya
faktur. Beberapa tanda yang tidak terlihat yang menunjukan DMT adalah cedera
nontraumatik (fraktur rapuh) dan hilangnya tinggi badan lebih dari 3 cm akibat kifosis
(perkembangan bentuk C ke vertebra serviks. (Touhy & Jett, 2016). Pemeriksaan Diagnostik
pada osteoporosis diantaranya terdapat Dual energy X-Ray AbsorptiometryI (DXA),
Quantitative Ultrasonometry of Bone (QUS) dan Quantitative Computed
Tomography (QCT). Dual energy X-Ray AbsorptiometryI (DXA) digunakan untuk diagnosis
osteoporosis dan penilaian risiko patah tulang. Quantitative Ultrasonometry of Bone (QUS)
digunakan untuk penilaian struktur tulang, kualitas tulang, dan risiko patah tulang. QUS
menggunakan frekuensi gelombang ultrasonik yang berkisar antara 200 kHz dan 1,5 MHz.
QUS mengevaluasi tidak hanya kepadatan tulang, tetapi juga karakteristik struktural yang
memungkinkan diferensiasi antara tulang muda dan tua, serta osteoporosis dari tulang
osteomalacic. Teknik QCT digunakan untuk mengukur DMT di tulang belakang lumbar dan
femur proksimal (QCT aksial), dan mengukur DMT pada radius distal dan tibia (QCT
perifer). (Touhy & Jett, 2016).

Perawat perlu melakukan pengkajian secara detail dan menyeluruh terkait kepadatan
tulang terutama pada lansia, karena osteoporosis tidak memiliki gejala yang terlihat. Perawat
dapat mengidentifikasi perubahan pada tulang belakang atau menyadari bahwa orang tersebut
mengalami patah tulang atau nyeri punggung yang tidak dapat dijelaskan tetapi belum
menerima diagnosis medis. Maka dari itu perlu dilakukannya pemeriksaan diagnostic untuk
memvalidasi penyakit ini. Seseorang dapat mencegah osteoporosis dengan meminimalisisr
faktor resiko yang dapat diubah seperti konsumsi vitamin C dan kalsium yang adekuat dan
olahraga secara teratur.

Daftar Pustaka

Cosman, F. (2009). Osteoporosis: Panduan Lengkap agar Tulang Anda Tetap Sehat.
Yogyakarta: Penerbit B-First.

Miller, C. A. (2012). Nursing for Wellness in Older Adults 6th ed. China: Wolters Kluwers
Health.

Mauk, K. L. (2006). Gerontological Nursing Competencies for Care. Canada: Jones and
Bartlett Publishers, Inc

Touhy,T.A., Jett, K. (2016). Ebersole & Hess’ Toward Healthy Aging 9th Edition .St Louis,
Missouri: Elsevier

Anda mungkin juga menyukai