Anda di halaman 1dari 112

MELEK SASTRA

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

MELEK SASTRA

Drs. Harjito, M.Hum


Editor : Dra. Sri Suciati, M.Hum.
Kontak Media, 2006

vi, 101 / 16 X 24,5 cm

ISBN: 078 – 602 – 8477 – 04 - 8

Hak cipta, 2006

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku dengan cara apa
pun termasuk menggunakan mesin fotokopi tanpa seizin penerbit.

2006

MELEK SASTRA
Kontak Media
Prakata
Sejak rontoknya kekuasaan Presiden Suharto di tahun 1998
terjadi banyak perubahan pada perjalanan bangsa Indonesia. Perubahan
itu, misalnya, orang lebih berani dalam menyampaikan dan
mengemukakan ide, pendapat, gagasan, pikiran baik via lisan, tulisan,
bahkan tindakan. Dalam bahasa politis, masyakat menjadi lebih
demokratis.
Dalam bahasa umum, masyarakat menjadi lebih bebas. Bebas
untuk melakukan apa saja sebagaimana yang diinginkannya. Aturan
maupun tatakrama yang selama ini menjadi acuan tiba-tiba hilanng entah
ke mana. Sesuatu yang dianggap tabu justru menjadi hal yang
membanggakan. Ada yang menyebut situasi itu sebagai chaos. Ada yag
menamai sebagai periode kebablasan.
Mulai saat itu juga kehidupan media massa sangat berlimpah
dari sisi jumlah maupun warna isinya. Gambar wanita cantik dalam
busana minim adalah sesuatu yang lumrah dan lazim di tabloid —
sesuatu yang susah dicari di masa sebelumnya. Penuturan kisah-kisah
yang disampaikan dalam tabloid atau majalah itu juga lebih bervariasi
seiring dengan bergulirnya waktu. Jika sebelumnya hanya bertutur
tentang kisah hubunga antara laki-laki dengan wanita, bergeser menjadi
sesama jenis, bahkan ke sesama sekaligus berlainan jenis. Di televisi
adegan orang berciuman mulut-dengan mulut sangatlah lumrah ditonton
oleh anak-anak di bawah umur. Masa sebelumnya pastilah sudah kena
cut, tergunting oleh sensor. Hal ini juga terjadi pada tuturan yang
dikisahkan dalam novel-novel tahun 2000-an
Dalam situasi pasar bebas dan budaya pop demikianlah buku
referensi ini disusun. Hand phone bukan lagi barang mewah. Internet

iii
menjadi bagian tak terpisahkan dari dunia sehari-hari. Perancangan buku
ini pun memanfaatkan komputer.
Demikianlah, sastra baik ilmu sastra maupun karya sastra tidak
dapat dilepaskan dari dunia yang melingkupinya, dari masyarakat yang
melahirkannya. Saling memberi sekaligus mengembangkan.
Buku ini tentang teori sastra yang meliputi cerita rekaan, puisi, drama,
kritik sastra, sastra perbandingan, dan sosiologi sastra yang terbagi atas sepuluh
bab. Dengan bab-bab tersebut, diharapkan buku referensi ini dapat menjadi
rujukan dalam ilmu sastra.
Tiada gading yang tak retak. Segala kesalahan dan kekeliruan
dalam buku ini tetaplah menjadi tanggung jawab penulis.

Semarang, akhir Juli 2006


harjito

iv
Daftar Isi
Prakata ............................................................................................ iii
Daftar isi ......................................................................................... v
Bab I dari Cerita sampai Rekaan .................................................. 1
Bab II dari Marginalisasi sampai Etnik Cina................................ 13
Bab III dari Puisi sampai Drama................................................... 27
Bab IV dari Abrams sampai Sosiologi Sastra................................. 36
Bab V dari Sekolah sampai Liburan ............................................. 47
Bab VI dari Kritik sampai Perbandingan ..................................... 55
Bab VII dari Pariyem sampai Firdaus ........................................... 66
Bab VIII dari Ilmu sampai Sastra ................................................. 81
Bab IX dari Rintik sampai Hujan.................................................. 89
Bab X Penutup ............................................................................... 93
Daftar Pustaka ................................................................................ 95

v
vi
Bab I
dari Cerita sampai Rekaan
Adakah yang Belum Pernah Membaca Cerita Rekaan?

A
dalah pembohong besar manakala seseorang yang melek
huruf mengaku tidak pernah membaca cerita rekaan.
Mereka yang buta huruf pun, paling tidak, pernah mendengar
atau mendengarkan cerita rekaan. Cerita rekaan di sini untuk
menyebut segala prosa, termasuk cerpen, novel, roman, atau
sejenisnya.
Kehadiran sebuah cerita rekaan tidak dapat dilepaskan dari
dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur ekstrinsik ialah
unsur luar yang turut mempengaruhi kehadiran cerita rekaan. Unsur
luar itu misalnya: ekonomi, politik, sosial, dan lain-lain. Sejak krisis
ekonomi melanda Indonesia, yaitu mulai tahun 1997 sampai awal
1998 banyak penerbitan terganggu. Dua ratus penerbitan buku
terancam gulung tikar (Kompas, 22 Januari 1998). Majalah Sinar dan
Jakarta-Jakarta ikut tergulung. Koran berubah wujud menjadi tabloid.
Ambillah contoh Jawa Pos. Hal ini terjadi karena harga kertas koran
dan kertas membumbung tinggi. Kertas koran yang di pertengahan
1997 seharga Rp 2.2200,- per kg menjadi Rp. 6800,- per kg (Kompas,
29 januari 1998).
Kertas HVS 60; 70; dan 80 gram semula seharga 5; 6; dan 7 ribu
melonjak menjadi 26; 32; 35 ribu per rim. Kertas buram mencapai 16
ribu per rimnya. Data ini diambil pada sekitar Pebruari 1998 di
sebuah toko buku di Semarang manakala satu dolar AS berkisar

1
antara 6 ribu hingga 10 ribu. Dikatakan berkisar karena situasi per hari
masih belum stabil. Sebagai perbandingan harga beras 1 kg berkisar
1750 rupiah.
Di negara-negara Eropa kebebasan individu demikian dihargai
oleh negara. Tak mustahil lahir bentuk-bentuk kreativitas yang beraneka
ragam. Bandingkan dengan kondisi di Rusia. Karya-karya yang
berseberangan dengan suara pemerintah justru terbit di luar negeri,
bahkan mendapat penghargaan. Dikatakan terbit di luar negeri karena
di negerinya karya tadi dilarang. Kondisi demikian ikut mempengaruhi
hadir tidaknya cerita rekaan. Inilah salah satu contoh kondisi
ekstrinsik.
Faktor intrinsik ialah faktor yang membangun cerita rekaan
dari dalam, dari dirinya sendiri. Faktor intrinsik meliputi tokoh, alur,
latar, dan pusat pengisahan (Saad dalam Lukman Ali, 1967: 116-120).
Termasuk bagian unsur intrinsik adalah tema.

Tema
Tanpa disadari ketika membaca sebuah cerita kita bertanya-
tanya: apa yang menjadi inti cerita?
Secara tidak langsung kita berbicara perihal tema.
Tema merupakan gagasan, ide, atau pikiran utama di dalam
karya sastra, baik yang terungkap maupan yang tidak (Sudjiman,
1990: 78). Di sini ada istilah baik terungkap atau tidak.
Terungkap/eksplisit manakala tema tadi disebutkan secara tersurat
dalam wacana yang bersangkutan. Dinamakan tak terungkap/ implisit
manakala pembaca mesti mereka-reka terlebih dahulu tentang tema
yang dimaksud. Roberts (1973: 5) pada pokoknya menyebut bahwa
tema adalah ide pokok dalam suatu komposisi yang menjadikan
komposisi tadi suatu kesatuan yang utuh. Dari tulisan Kennedy (1979:
90) dapat disimpulkan bahwa tema ialah ide keseluruhan dari sebuah
cerita.
2
Untuk menentukan tema cerita Saad (via Esten, 1984: 92)
mengajukan tiga cara.
1. Persoalan yang paling menonjol.
2. Persoalan yang pa-ling banyak menimbulkan konflik.
3. Persoalan yang paling banyak membutuhkan waktu penceritaan.
Ketiga cara tersebut digunakan bersamaan apabila terjadi
keragu-raguan. Cara Saad tersebut memaksa kita mesti mendata semua
persoalan yang ada di dalam cerita. Dipandang dari segi kualitas
persoalan, itulah cara pertama. Dipandang dari segi kuantitas, itulah cara
kedua dan ketiga. Adalah mustahil menentukan tema tanpa mendata
persoalan yang ada. Secara garis besar Kennedy (1979: 92) juga
memberi pertimbangan dalam menetapkan tema sebuah cerita. Satu, di
dalam alur cerita, karakter sang tokoh dapat berubah karena tema. Dua,
objek yang jarang; karakter misterius; jenis-jenis binatang biasanya
mewakili simbol/gambaran tertentu, misalnya binatang ular
merupakan simbol bagi sosok penuh tipu muslihat dan licik; nama-nama
yang selalu diulang; nyanyian atau apa saja seringkali merupakan isyarat
untuk menangkap tema.
Tema ada 2 macam, yaitu tema mayor dan tema minor. Tema
mayor yaitu tema yang menguasai seluruh cerita. Tema minor
merupakan tema-tema tambahan atau sampingan dari tema mayor.
Tema dapat disampaikan secara eksplisit atau implisit. Cara Saad di atas
tepat untuk tema yang bersifat eksplisit dan berangkat dari cara berfikir
kuantitatif.
Sudjiman (1988: 57) membedakan antara tema dengan amanat.
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan yang disampaikan
pengarang di dalam karya sastra.
Permasalahannya adalah dalam mencari amanat terdapat unsur
pengarang. Dengan begitu, pembaca tidak bisa meneliti teks sastra
dengan melepaskan diri dari pengarang. Pembaca seharusnya bertemu

3
dengan pengarang, baik bertemu langsung atau via bacaan tentang
pengarang yang menyatakan visi atau ajaran moral yang disampaikan
dalam teks sastra yang diteliti. Inilah kelemahan definisi amanat. Jika
unsur pengarang dicoret dari definisi tadi, amanat bermakna ajaran
moral. Karena ajaran moral, biasanya, amanat selalu merupakan sesuatu
yang baik, meskipun dengan cara menggambarkan hal yang bersifat
buruk.

Tokoh dan Penokohan


“Sampai sekarang saya masih teringat sifat Don Corleon yang
dingin,” kata seseorang yang pernah membaca novel Godfather karya
Mario Puzo.
Tanpa sengaja kita menyebut sesuatu yang bernama tokoh cerita.
Tokoh ialah pelaku rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan
di pelbagai peristiwa. Grimes menggunakan istilah partisipan, sedang
Shahnon Ahmad dengan istilah watak (Sudjiman, 1990: 79). Tokoh
biasanya berwujud manusia. Namun, tidak menutup kemungkinan
tokoh berwujud benda (Forster, 1978: 54). Berdasar fungsinya atau
penting tidaknya kehadiran tokoh dalam cerita, dibedakan:
1. Tokoh sentral/utama, meliputi protagonis dan antagonis
2. Tokoh bawahan, mencakup tokoh andalan dan tokoh tambahan
Tokoh utama merupakan tokoh yang memegang peran
pimpinan dalam sebuah cerita (Sudjiman, 1990: 64-79). Protagonis
merupakan tokoh yang baik dan biasanya menarik simpati pembaca.
Antagonis merupakan penentang utama/tokoh lawan. Menurut Grimes
(via Sudjiman 1988: 19), tokoh bawahan adalah tokoh yang kurang
begitu penting kedudukannya dalam cerita, tapi kehadirannya
diperlukan untuk menunjang dan mendukung tokoh utama. Tokoh
andalan adalah tokoh yang dekat dengan tokoh utama. Tokoh
tambahan ialah tokoh yang tidak memegang peranan sama sekali di
dalam sebuah cerita (Sudjiman, 1990: 80). Tokoh tambahan

4
merupakan bagian dari tokoh bawahan. Dengan begitu, tokoh tambahan
merupakan tokoh bawahannya-bawahan.
Pengertian 'tokoh baik' dalam protagonis tidak selalu baik dalam
tataran umum. Boleh saja tindakannya berlawanan dari situasi
seharusnya. Tokoh Robinhood, misalnya, adalah tokoh protagonis
meskipun tingkah lakunya kurang terpuji yaitu gemar merampok.Dari
contoh ini dapatlah ditetapkan bahwa pengertian baik adalah membela
kaum lemahdan tertindas. Sang tokoh selalu berpihak kepada
kepentingan masyarakat luas serta kecil; dan bukannya kepada pihak
penguasa yang zalim.
Untuk menentukan tokoh utama ada empat cara (Saad dalam
Esten, 1984: 93).
1. Tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tema.
2. Tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain.
3. Tokoh yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.
4. Tokoh utama dapat juga dilihat dari judul cerita.
Berdasarkan karakternya terdapat:
1. Tokoh datar/ pipih.
2. Tokoh kompleks / bulat
Tokoh datar/pipih yaitu tokoh yang wataknya tetap, tidak ada
perubahan. Tokoh datar maksudnya kalau buruk ia hanya memiliki
keburukan saja. Kalau baik, ia hanya memiliki kebaikan saja. Ini dapat
dikatakan tokoh yang hitam putih. Tokoh kompleks/bulat yaitu tokoh
yang berwatak lengkap yaitu memiliki sisi baik dan sisi buruk.
Untuk menentukan nilai seorang tokoh dapat digunakan skala/
tabel derajat dan modalitas. Derajat, misalnya: sekuat besi, cukup
kuat, agak kuat, sedikit lemah, lembek. Dengan modalitas dapat
dihasilkan nuansa: pasti - rupanya begitu - mungkin juga - rupanya
tidak (Luxemburg, 1986: 139).
Cara menampilkan tokoh biasanya disebut penokohan.
Penokohan secara umum ada dua cara yaitu analitik dan dramatik.

5
Disebut analitik kalau pengarang menyebut watak dan perangai sang
tokoh secara langsung apa adanya atau secara tersurat, misalnya: tokoh
x demikian sombong. Sifat sombong yang diutarakan secara tersurat
oleh sang pengarang dinamakan cara analitik. Disebut cara dramatik
manakala pembaca mesti menyimpulkan sendiri bagaimana sifat sang
tokoh. Pembaca mesti menyimpulkan sendiri karena pengarang yang
menyebutkan secara tersirat mengenai perangai sang tokoh. Apabila
pengarang menguraikan bagaimana tokoh x berjalan dengan dagu
yangmendongak, tiap kali berbicara dengan orang lain dengan
pandangan mata nan sinis, suaranya tiap kali bertemu dengan orang
lain siapa saja seolah-olah menghadapi bawahan. Cara yang demikian
dinamakan dramatik. Pengertian dramatik tidak harus berupa
percakapan langsung, namun juga bisa berwujud lukisan.
Untuk mencirikan tokoh dapat diketahui melalui (Luxemburg,
1986: 139-140):
1. Pengulangan, dapat berbentuk tingkah, perkataan, maupun hobi.
2. Akumulasi, menggabungkan data-data tentang tokoh yang tercecer.
3. Kemiripan dan pertentangan, baik dengan dirinya sendiri maupun
dengan orang lain.
Menurut Prihatmi (1987) perwatakan/karakter/penokohan dapat
dilihat dari:
1. Cakapan.
2. Pikiran tokoh
3. Stream of consciousness
4. Lukisan perasaan tokoh
5. Perbuatan tokoh
6. Sikap tokoh
7. Pandangan tokoh satu kepada tokoh lain
8. Lukisan fisik, lukisan latar.
Menurut Oemarjati (via Prihatmi, 1987) stream of consciousness
mencakup monolog dan soliloqui. Monolog adalah cakapan batin yang

6
menjelaskan kejadian-kejadian yang sudah terjadi dan yang sedang
terjadi. Soliloqui merupakan cakapan batin yang menjelaskan hal-hal
yang akan terjadi. Berkait dengan alur, jika cerita beralur gerak balik atau
sorot balik secara otomatis sang tokoh bermonolog. Jika tokoh ber-
foreshadowing, sang tokoh melakukan soliloqui.

Alur dan Pengaluran


Barangkali kita termasuk pecandu telenovela atau serial kungfu.
Mengapa kita berela-rela diri untuk selalu mengikuti jalan
cerita? Bahkan, kita sengaja menyediakan waktu untuk menyaksikan
serial kegemaran tadi. Jawabnya tentu saja tidak tunggal. Bisa saja
lantaran jalan cerita yang berliku-liku dan sukar ditebak akhir
ceritanya. Ini berarti kita telah memasuki pembicaraan tentang alur.
Alur ialah peralihan dari satu keadaan ke keaadan yang lain
(Luxemburg, 1986 :150).Alur adalah sambung-sinambungnya peristiwa
berdasarkan hukum sebab akibat (Saad dalam Lukman Ali, 1967: 120).
Lebih lanjut Saad mengemukakan bahwa alur cerita memiliki bagian-
bagian: awal, tikaian, rumitan, puncak, leraian, dan akhir cerita.
Awal cerita ialah ketika tokoh-tokoh diperkenalkan. Hubungan
antartokoh tadi seringkali tidak sejalan sehingga terjadilah tikaian. Jika
tikaian makin memuncak disebut sebagai rumitan. Puncak cerita terjadi
ketika ketaksesuaian antartokoh mencapai titik maksimal. Satu per satu
terdapat jalan keluar atas rumitan tadi yang disebut leraian. Akhir
cerita terjadi ketika sebuah cerita berakhir, ketika konflik antartokoh tadi
dianggap selesai oleh sang pengarang.
Alur tersebut di atas oleh Prihatmi (1987) disederhana-kan
menjadi awalan, rumitan, klimaks, leraian, dan selesaian.
Akhir cerita ada dua yaitu tertutup dan terbuka. Disebut
tertutup jika keputusan terhadap sesuatu sudah ditunjukkan oleh sang
pengarang. Disebut terbuka jika akhir cerita diserahkan kepada
pembaca, terserah bagaimana imajinasi pembaca menangkap

7
kemungkinan yang ada (Sudjiman, 1988: 34). Lebih tegas lagi disebut
alur tertutup jika pengarang menyebutkan secara tersurat bagaimana
penyelesaian cerita. Disebut alur terbuka jika pengarang tidak menyebut
secara tersurat, artinya pengarang hanya menyebut secara tersirat saja,
bagaimana akhir dari cerita.
Di atas disebut secara umum karena tidak setiap cerita pasti
dimulai dari struktur itu. Boleh saja dan tetap sah cerita justru dimulai
dari klimaks. Pengaluran adalah cara menampilkan alur.

Menurut urutan waktu (Prihatmi, 1987: 79) dibedakan:


1. Alur lurus.
2. Alur tak lurus, mencakup sorot balik dan gerak balik.
Alur lurus merupakan alur yang kronologis, maksudnya
waktunya urut. Alur tak lurus yaitu alur yang urutan waktunya tak
kronologis. Dalam alur tidak lurus terdapat istilah gerak
balik/backtracking dan sorot balik/flashback. Gerak balik yaitu
pelukisan peristiwa-peristiwa secara mundur seolah-olah peristiwa
bergerak ke belakang. Karena peristiwa yang dikisahkan cukup
panjang, hal itu memotong kelangsungan jalan cerita. Disebut sorot balik
jika cerita menoleh sebentar ke masa lalu yang berupa ingatan,
kenangan, mimpi, lamunan, atau penceritaan kembali oleh tokoh. Istilah
pembayangan/foreshadowing yaitu pencerita memberikan
pembayangan sesuatu yang akan terjadi tetapi menunda penjelasan
seluruhnya.
Istilah lainnya yaitu retroversi, jika penyimpangan waktu ke
belakang. Antisipasi manakala penyimpangan waktu ke depan/
kronologis.
Dalam penyajian peristiwa ada beberapa istilah yang sebaiknya
diketahui yaitu identifikasi, ketegangan, teka-teki, ancaman, serta irama.
Identifikasi terjadi ketika pembaca menyamakan dirinya dengan si
tokoh. Ketegangan terjadi bila pertanyaan-pertanyaan dalam diri

8
pembaca tidak langsung dijawab. Teka-teki terjadi bila baik pembaca
maupun tokoh sama-sama tidak bisa menjawab pertanyaan tadi.
Ancaman terjadi bila pembaca tahu, tetapi tokoh yang bersangkutan
tidak tahu. Disebut irama pelambatan manakala sebuah peristiwa hanya
singkat tetapi bentuk penyajiannya panjang lebar. Irama dipersingkat
manakala peristiwanya panjang tetapi bentuk penyajiannya
dipersingkat. Selingan merupakan pelukisan mengenai benda mati,
alam, dan sebagainya, tatkala lamanya peristiwa tak terhingga tetapi
lebih singkat daripada waktu penyajian (Luxemburg, 1986: 145-148).

Menurut kualitasnya, alur dibedakan menjadi rapat dan


renggang/degresi. Disebut rapat jika keterkaitan jalan cerita sangat
erat. Disebut alur longgar jika terjadi percabangan cerita. Dari segi
kuantitas/jumlah, dibedakan alur tunggal dan alur ganda. Alur tunggal
jika jumlah alur hanya satu. Alur ganda jika jumlah alur lebih dari satu.
Alur rapat berkaitan dengan alur tunggal. Alur renggang berkaitan
dengan alur ganda.

Latar dan Pelataran


Aku lahir ketika matahari di ubun-ubun kepala dan orang-orang
yang berteriak kasar, “Kowe! Kowe meh ning ndi?”. Yang
kuharapkan sebuah pertanyaan santun, “Panjenengan punika
sinten?”
Latar adalah segala petunjuk, keterangan, acuan yang berkait
dengan waktu, ruang, suasana terjadinya peristiwa. Hudson (via
Sudjiman, 1990: 44, 48). membedakannya menjadi latar sosial dan latar
material.
Latar sosial ialah gambaran keadaan masyarakat, adat-
istiadat, cara hidup, termasuk bahasa. Latar material adalah wujud
suatu tempat secara fisik, misalnya bangunan atau nama daerah. Perlu
dibedakan antara waktu cerita dan waktu penceritaan. Waktu cerita

9
berhubungannya dengan latar, kapan terjadinya suatu peristiwa dalam
cerita. Waktu penceritaan berkaitan dengan waktu/halaman yang
dibutuhkan pengarang dalam menceritakan sesuatu (Sudjiman, 1988:
103-104).
Pelataran adalah cara menampilkan latar.
Jika pelukisan latar sesuai dengan kondisi psikologis tokoh,
dinamakan latar serasi. Jika pelukisan latar tidak sesuai dengan
kondisi psikologis tokoh dinamakan latar kontras (Sudjiman, 1988:
46). Jika digambarkan pagi bersinar sangat cerah sementara sang
tokoh dalam keadaan murung, hal ini merupakan latar kontras.Jika
dilukiskan sebuah malam yang pekat gelap ditingkahi hujan yang lebat
dan sang tokoh dalam keadaan duka yang dalam, hal ini merupakan
latar serasi.
Ruang dapat dicermati dengan 4 indera yaitu penglihatan,
pendengaran, perabaan, dan penciuman (Luxemburg, 1986: 142).

Pusat Pengisahan
Menurut Wellek (1990: 292-294) pusat pengisahan adalah
bagaimana pengarang menyampaikan ceritanya kepada pembaca.
Menurut Sudjiman (1988: 78) antara sudut pandang (point of view)
dan pusat pengisahan berbeda. Sudut Pandang bermula dari sudut
pencerita dengan kisahannya. Pusat pengisahan bermula dari tokoh
mana yang disoroti. Harry Shaw menyarankan bahwa point of view
mencakup (via Sudjiman, 1988: 76):
1.sudut pandang fisik, yaitu bagaimana pengarang memposisikan diri;
dalam pendekatan materi cerita dari sisi waktu dan ruang.
2.sudut pandang mental, bagaimana pengarang memposisikan dalam
sisi perasan dan sikap;
3.sudut pandang pribadi, bagaimana pilihan pengarang atas cara
orang I, II, atau III;

10
Masih oleh Shaw, dalam sudut pandang pribadi dijelaskan lebih
lanjut:
1. tokoh utama (author participant);
2. tokoh bawahan (author observant);
3. impersonal (author omniscient), pengarang sebagai pencerita serba
tahu.
Fokus pengisahan, oleh Brooks (via Sudjiman, 1988: 77-78)
dikatakan sebagai hubungan pencerita dan kisahannya. Brooks merinci
lebih lanjut dan membedakannya menjadi empat jenis.
1. Tokoh utama menyampaikan kisah dirinya, tokoh utama bercerita
tentang tokoh utama.
2. Tokoh bawahan berkisah tentang tokoh utama.
3. Pengarang sebagai pengamat dan berkisah tentang tokoh utama.
4. Pengarang berlaku sebagai pencerita serba tahu dan dari segala sudut.
Dari berbagai pendapat di atas dapatlah dirangkum penggunaan
kata ganti yang digunakan para tokoh, yaitu: 1. Akuan, mencakup serba
tahu dan terbatas. 2. Diaan, mencakup serba tahu dan terbatas.
Dalam akuan, pengarang menggunakan kata ganti aku/saya,
kata ganti orang pertama. Dalam diaan, pengarang mempergunakan
kata ganti orang ketiga (ia, dia,). Pada serba tahu, pencerita seolah-olah
merupakan sosok yang tahu akan segalanya. Bahkan, sampai ke hal-
hal yang akan/belum terjadi termasuk di sini isi hati yang paling
dalam dari setiap tokoh dalam cerita. Dalam terbatas, pencerita lebih
objektif dan impersonal.
Pencerita kadang menyapa pembaca, baik langsung maupun
secara tidak langsung. Secara tidak langsung yaitu pencerita seolah-
olah tengah berbicara dengan pembaca. Pembaca bisa berwujud kita
sendiri (sebagai pembaca langsung) atau pembaca yang diandaikan (ia,
dia, atau x yang lain).
Contoh: Dengarkanlah. Aku, Joko Kendil, dari masa silam yang
berupaya menggapai kursi kekuasaan yang masih tergantung di bintang,
11
ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Ya. Kamu yang tengah membaca
cerita ini .
Contoh pencerita yang menyapa pembaca yang diandaikan: Saat
kuurai air mata ini menjadi emas, Ibu, emas dalam kondisi sebaik-
baiknya. Harganya melambung melebihi batas yang diperkirakan
orang sebagaimana dolar yang menembus batas psikologis. Sayangnya,
Ibu, air mata ini tidak sanggup menjelma menjadi emas atau dolar.

Saran Bacaan
Foster, EM. 1978. Aspects of The Novel. Ringwood: Penguin Books.
Kennedy, XJ. 1979. Literature an Introduction to Fiction, Poetry, and
Drama. Boston: Little, Brown and Company.
Luxemburg, Jan van; Mieke Ball; dan Willemb G. Westeujn. 1986.
Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia.
Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 1987. “Cerkan” dalam Lembaran Sastra.
Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.
Roberts, Edgar V. 1973. Writing Themes about Literature. New
Jersey: Preentice-Hill Inc.
Saad, M. Saleh. 1967. “Catatan Kecil Sekitar Penelitian Kesusastraan
(Penelitian Cerkan)” dalam Lukman Ali (ed). Bahasa dan
Kesusastraan Indonesia Sebagai Cermin Manusia Indonesia
Baru. Jakarta: PT. Gunung Agung.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka
Jaya.
______. (ed). 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Univeristas
Indonesia.

12
Bab II
dari Marginalisasi
sampai Etnik Cina:
Novel Bukan Cinta Sesaat Karya Mira W

T
anggal 13-14 Mei 1998 terjadi penjarahan — termasuk tindak
pelecehan seksual — besar-besaran di Jakarta. Sudah dapat
diduga, yang menjadi korban adalah etnik Cina.
Aceng, usahawan produk elektronik, menderita kerugian lebih
dari satu milyar rupiah karena tiga ruko miliknya dijarah dan dibakar
massa. Kekayaan tadi hasil kerja keras selama tiga generasi (Kompas, 4
Juni 1998). Kekayaan tersebut hasil tiga generasi, bukan satu generasi,
yang telah bekerja keras. Bandingkan dengan kekayaan mantan Presiden
Soeharto versi Winters (via Adicondro, 1998: 67) sebesar 15 juta dolar
US. Yang pertama dalam hitungan rupiah yang nilainya naik turun sesuai
kondisi sosial politik; yang lain dalam hitungan dolar yang nilainya
mantap dan cenderung naik manakala rupiah nilainya jatuh.
Setidaknya 13.000 pekerja di DKI — tidak termasuk Tangerang
dan Bekasi — kehilangan pekerjaan karena perusahaan dan toko tempat
mereka bekerja dibakar massa (Kompas, 27 Mei 1998). Anak dan cucu
dari Christianto Wibisono (1998: 319), seorang pakar ekonomi
Indonesia, terpaksa berada di Amerika Serikat untuk rehabilitasi dari
trauma teror peristiwa Mei tersebut.
Menurut Onghokham (Kompas, 13 Desember 1998) konflik
pertama kali antara keturunan Cina dengan pribumi terjadi di Kudus
tahun 1910. Star Weekly mencatat (via Tempo, 12 Oktober 1998: 60) hal
serupa yang menimpa etnik Cinta terjadi di Tangerang, Jawa Barat pada
Juni 1946.
13
Yang diharapkan tentunya hubungan harmonis antaretnik di
Indonesia. Apalagi Indonesia kaya akan etnik dan budaya.
Berkait dengan hal tersebut, masalah dalam tulisan ini adalah:
bagaimanakah gambaran marginalisasi etnik Cina dalam novel Bukan
Cinta Sesaat karya Mira Wijaya?
Buku-buku, laporan penelitian, dan makalah yang membahas
marginalisasi etnik Cina dalam karya sastra Indonesia sejauh ini belum
ditemukan.
Kajian sosiologis yang banyak dilakukan umumnya
menitikberatkan pada latar belakang budaya yang menjadi setting cerita.
Tahun 2000 terbit penelitian yang dikerjakan oleh Faruk, Bakdi
Soemanto, dan Bambang Purwanto terbit dengan judul Perlawanan atas
Diskriminasi Rasial-Etnik: Konteks Sosial Ideologis Kritik Sastra
Peranakan Tionghoa Tahun 1970-an dan Tahun 1980-an. Objek dalam
penelitian itu adalah kritik sastra Tionghoa Peranakan tahun 1970-an.
Noor (1999) dalam Perempuan Idaman Novel Indonesia: Erotik
dan Narsistik (PINIEN) salah satu bagiannya membahas karya Mira W
yang berjudul Ketika Cinta Harus Memilih. Buku ini merupakan editan
tesis (S2) Redyanto Noor di Universitas Indonesia dengan judul
“Gambaran Umum Tokoh Utama Empat Novel Terlaris 1980-1990:
Kabut Sutera Ungu, Takdir, Ketika Cinta Harus Memilih, Masih Ada
Kereta yang Akan Lewat”.
Sebagaimana terlihat dari judul asli tesis, PINIEN meneliti
empat novel Indonesia terlaris antara kurun 1980 – 1990. Dari keempat
novel tersebut tidak satu pun dipakai menjadi pustaka wajib dalam
lingkup pengajaran sastra di sekolah. Dalam Ketika Cinta Harus
Memilih (KCHM) tokoh Dytia memiliki ciri-ciri, yaitu: merupakan
wanita, berstatus sebagai istri, relatif berusia 20 – 30 tahun, berprofesi
sebagai selesgirl merangkap figuran film, berpendidikan tamat SMA,
serta berasal dari keluarga kurang mampu. Adapun ciri fisik Dytia,
yaitu: berparas cantik dan memiliki tubuh seksi, berpenampilan salesgirl

14
dan figuran film, serta cenderung banyak bicara. Dytia berciri mental
sebagai berikut: memiliki emosi labil (mudah dihanyutkan emosi),
tertutup, tak mampu mengekspresikan diri dan berkomunikasi dengan
orang lain; bersifat mandiri, percaya diri, dan berkemauan keras; sebagai
ibu memaksakan kehendak kepada anak, terlalu mengekang,
membentuk anak sesuai dengan keinginan dirinya sendiri, bahkan Dytia
pernah berusaha menggugurkan janin dalam kandungannya; dan
menunjukkan narsisme. Manifestasi berikutnya Dytia bersifat egois,
manja, mudah tersinggung, tidak mampu berkomunikasi dengan orang
lain, dan tidak mampu menjadi istri dan ibu yang baik. Dalam KCHM
sifat realistik tokoh Dytia tergambar dari ruang tidur. Kemandirian dan
pekerja keras tokoh Dytia tercermin dalam ruang kerja yang berupa
studio film. Kaca hias merupakan alat yang menegaskan narsisme Dyta.
Pengertian narsisme yaitu kepribadian tokoh yang bersikap semata-mata
mendapatkan kesenangan dan kepuasan diri sendiri tanpa
memperhitungkan pikiran dan perasaan orang di sekelilingnya. Ciri
positif tokoh lebih cenderung kepada sifat fisik. Oleh Noor hal tersebut
dinamakan erotik. Gambaran mental cenderung kepada sifat tidak
matang dan emosional, tak mampu dan tak memiliki semangat juang
dalam hidup, serta tak adanya kesesuaian niat dan perbuatan.
Sumardjo (1982: 107) pernah menyinggung novel Cinta Tak
Pernah Berhutang karya Mira W. Menurut Sumardjo kelebihan
pengarang wanita mampu dalam bercerita soal asmara tanpa
menempelinya dengan protes-protes sosial. Pengarang wanita,
termasuk Mira W, tida sok filosofis. Menurut Sumardjo, jalinan plot
karya Mira W kurang disusun secara pas.
Terdapat juga kajian sosiologis sastra peranakan Tionghoa yang
berangkat dari pengarang. Yang menjadi fokus di sini adalah karya-
karya yang dikarang oleh peranakan Tionghoa. Kajian tentang sastra
peranakan Tionghoa boleh dikata sangat minim.

15
Tio Ie Soei merupakan orang pertama yang menerbitkan buku berjudul
Lie Kim Hok 1853-1912 yang terbit tahun 1958 dan berisi tentang
riwayat dan karya Lie Kim Hok. Melalui buku ini dapat diketahui bahwa
Lie Kim Hok merupakan Bapak Bahasa Melayu-Tionghoa yang
mempengaruhi penulis peranakan di generasi berikutnya (Suryadinata,
1996: 187).
Nio Joe Lan menerbitkan Sastra Indonesia-Tionghoa di tahun
1962. Ia membuat ringkasan cerita karya peranakan Tionghoa Indonesia
sebelum perang. Selain itu, ia menggolongkan cerita-cerita tersebut
menjadi : cerita berdasar kenyataan, romantis, roman antarbangsa,
naturalisme, mistik, roman bukan Tinghoa, sajak Indonesia-Tionghoa,
sandiwara (Suryadinata, 1996: 188-197).
Berikutnya, adalah John Kwee, seorang pengajar bahasa
Indonesia di Selandia baru. Ia menyatakan bahwa karya sastra Indonesia
sebelum perang terpengaruh oleh karya sastra peranakan.
Claudine Salmon merupalan sosok yang paling tekun dalam
meneliti sastra peranakan Tionghoa. Bukunya Literature in Malay by he
Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography. Salmon
menempatkan sastra peranakan dalam kancah sejarah sastra Indonesia.
Menurut Grebstein (via Damono, 1986: 5) Karya sastra
merupakan pengaruh timbal balik yang rumit dari faktor sosial dan
kultural. Karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri, yang lepas
dari dunia sekitarnya. Karya sastra merupakan objek kultural yang rumit.
Dari pernyataan tersebut dapat diambil simpulan bahwa ada
keterkaitan antara karya sastra dan realitas. Realitas mencakup
kekuasaan.
Kekuasaan menurut Hobbes senantiasa melekat pada seseorang
atau kelompok. Kekuasaan dianggap sebagi sebuah hubungan
(relationship). Manakala kekuasaan dianggap sebagai relational, maka
kekuasan mencakup dua hal. Pertama, berkuasa mengenai hal apa atau
bidang apa. Kedua, berkuasa terhadap siapa (Budiarjo, 1991: 14).

16
Pemikiran sosiologis berkait dengan pemikiran ideologis. Ideologi itu
sendiri dikatakan sebagai suatu sistem ide mengenai doktrin politik atau
sosial yang menginspirasi pemerintah atau partai dalam bertindak.
Masyarakat adalah hasil oleh ide pemerintah yang berkuasa. Suatu
kelompok masyarakat berjalan searah dengan doktrin kelompoknya.
Ide yang diterima sukarela oleh masyarakat karena dianggap sebagai
perjanjian bersama, disebut dengan hegemoni (Gramci via Faruk, 1994:
63).
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui gambaran marginasilasi
etnik Cina dalam novel Bukan Cinta Sesaat karya Mira Wijaya.
Metode penelitian yang dipakai yaitu kepustakaan. Dengan
metode ini peneliti mengumpulkan sebanyak- banyaknya sumber
tertulis sebagai bahan informasi. Adapun metode kerja yang dipakai
adalah metode sosiologi sastra, yaitu interpretasi terhadap struktur teks
sastra dengan mempertimbangkan faktor-faktor sosial budaya atau segi-
segi kemasyarakatan yang melekat dalam teks sastra (Damono, 1986: 2).
Metode sosiologi sastra dipergunakan untuk menutup kelemahan yang
melekat dalam metode struktural sebagaimana yang dikemukakan oleh
Teeuw (1984: 140) bahwa kelemahan metode struktural yaitu
melepaskan teks dari kerangka latar belakang sejarahnya dan teks
kehilangan relevansi sosialnya.

Hanya kekasih Gelap


Cerita Bukan Cinta Sesaat (selanjutnya disebut BCS) bergulir
dengan alur gabungan, yaitu antara alur lurus dan sorot balik. Dalam
alur lurus, waktu bergerak maju, sementara dalam alur sorot balik, waktu
bergerak ke masa lalu. BCS dimulai dari waktu kini bolak-balik ke masa
lalu dan kembali ke masa kini.
Dalam BCS terdapat tiga pelaku, yaitu: Rio dengan
keluarganya, Nina dan keluarganya, serta Sri. Rio merupakan
representasi dari etnik Batak, Nina dari etnik Cina, dan Sri dari etnik
17
Jawa. Pengertian keluarga mencakup ayah, ibu, serta saudara. Pada
gilirannya representasi etnik — terutama etnik Cina dan etnik pribumi —
dapat dipilah lagi ke dalam generasi muda dan generasi tua. Rio dan Nina
mewakili generasi muda, sementara keluarga Rio dan keluarga Nina
mewakili generasi tua.
Tulisan ini lebih difokuskan kepada percintaan dan perkawinan
antara etnik Cina dengan etnik lain. Pengertian etnik lain mengacu pada
pribumi atau WNI (warga negara Indonesia). Rio dan Sri dapat disebut
merepresentasikan warna pribumi, Nina merepresentasikan
nonpribumi.
Percintaan Rio dan Nina sejak masih duduk di Sekolah Dasar.
Karena kedua keluarga tidak merestui, upaya percintaan dan
perkawinan keduanya tidak terwujud. Hal ini ditambah kekecewaan
Nina atas pembakaran mobil karena sentimen etnik yang dialaminya di
masa kemudian. Pada akhirnya, karena pernah meniduri Sri, Rio
menikahi Sri meskipun pernikahan itu tidak menghasilkan anak.
“Aku yang melamarnya. Karena aku merasa harus bertanggung
jawab. Orangtuaku tidak dapat menolak lagi. Walaupun kami
berlainan suku. Sri diberi marga ibuku oleh pamanku. Kami menikah
dengan upacara adat. Cuma maut yang dapat memisahkan kami …”
“Di mana anak itu?” Nina menggigit bibirnya menahan tangis. “Kamu
tidak pernah menyebutnya.”
“Sri tidak pernah hamil. Sampai sekarang.”
(hlm. 255)
Percintaan antara Rio dengan Nina, karena pertemuan yang tidak
disengaja di kemudian hari, berlanjut dan menghasilkan janin di tubuh
Nina. Pertemuan dan peleburan fisik itu memang disukai oleh kedua
belah pihak baik Nina maupun Rio. Pertemuan fisik tersebut
menunjukkan adanya cinta di antara dua insan dari etnik yang berbeda
(hlm. 260).

18
Cinta tidak selalu berarti sebuah pernikahan. Bahkan, ketika
diketahui bahwa Nina hamil. Bukan saja Rio tidak mau menikahi Nina,
Rio juga tidak ingin Nina melahirkan anak dari hasil hubungan tadi.
Rio menghela napas berat. Wajahnya kusut. Dia tampak sangat
bingung. Dan untuk pertama kalinya Nina merasa kecewa.
“Tidak ada jalan lain,” keluh Rio akhirnya. “Kita harus menikah.”
“Kok sepertinya terpaksa sih?” dengusnya kesal.
“Memang. Belum saatnya kita punya anak!”
“Umurku sudah tiga tujuh, Rio! Mau tunggu sampai kapan lagi?
Aku sudah hampir terlambat mempunyai anak.Kamu kan tahu, di
atas tiga lima, risiko persalinan untuk ibu dan anak menjadi jauh
lebih besar!”
“Tapi kita belum menikah, Nina! Masa kamu mau punya anak
gelap?”
“Tapi kamu sudah janji mau mengawiniku!”
“Tentu. Tapi aku masih punya istri!”
“berapa puluh kali kamu janji mau menceraikannya?'
(hlm. 272)
Meskipun Sri, istri resmi Rio, telah mengetahui hubungan tadi,
Nina dan Rio tetap tidak menikah. Cina hanyalah sebutan, panggilan
mesra, yang tidak menghina, tetapi tidak cukup ampuh untuk
menyatukan antara Nina dan Rio. Rio hanya menyebut Nina sebagai
kekasihnya — bukan istri.
Ketika Nina memperoleh kesadarannya kembali, Rio berada di
samping tempat tidurnya. Dia terus menerus menunggui kekasihnya
sambil berdoa. Seumur hidupnya, belum pernah dia merasa sedekat ini
dengan Tuhan.

“Hai, Cina” sapa Rio mesra, begitu Nina membuka matanya.
Digenggamnya tangan kekasihnya dengan penuh kasih sayang.
(hlm. 384-385)

19
Ketidakmampuan Sri memberi anak pada Rio hanyalah sebuah
usaha dari pengarang agar pertemuan dan percintaan antara Rio dengan
Nina bisa ditolerir oleh masyarakat pembaca. Hal ini pun sangat
kontradiktif dengan kenyataan bahwa hanya maut yang dapat
memisahkan Rio dengan Sri. Dengan sikap dan kondisi seperti itu posisi
Nina tetap berada dalam ketidakpastian. Sampai di bagian akhir cerita,
Rio hanya menyebut Nina sebagai bayangan dan helaan napas.
Akhir cerita BCS dibuat terbuka, terserah pada keinginan
pembaca untuk menutup cerita itu sendiri. Pengarang hanya menyebut
“Merambah ke tempat-tempat yang paling sepi dan paling gelap di
dalam sana”.

“Jangan pernah berpikir kamu bisa meninggalkanku lagi,” bisik


Rio sambil meremas tangan yang tengah digenggamnya. “Karena
aku adalah bayanganmu, helaan napasmu.”
Mata mereka bertemu dalam pertautan yang lama dan hening.
Sorot mata yang menembus sampai ke relung hati mereka yang
paling dalam. Merambah ke tempat-tempat yang paling sepi dan
paling gelap di dalam sana.
(hlm. 385)
Sampai pada akhir cerita tidak terlihat Rio menikahi Nina.
Memang benar, Nina adalah bayangan Rio. Bisa juga Rio mengakui
bahwa Nina adalah helaan napas.Namun, Nina hanyalah kekasih. Nina
tetaplah bukan istri yang sah, istri yang resmi yang dinikahi secara resmi
oleh Rio. Nina merupakan alternatif, dengan sebutan yang mengesankan
yaitu kekasih, dari istri resmi Rio yang bernama Sri.
Kondisi ini dapat dibandingkan dengan angket yang dilakukan
oleh majalah Tiara (1994) tentang perkawinan beda suku atau warna
kulit dengan responden 153 yang mengaku 3,3% berkulit putih; 0,6%

20
kulit hitam; 24,8% kulit kuning; 8,5% kulit coklat/sawo matang.
Responden 50% pria dan 50% wanita dengan usia 23-40 tahun yang
terdiri dari kaum profesional. Polling dilakukan di Indonesia (baca:
Jakarta). Terhadap perkawinan beda suku atau warna kulit ternyata yang
menyatakan sangat setuju terdapat 14,4 %; setuju 68,1%; kurang setuju
13%; tidak setuju 2,6% . Kemudian, apabila menjalin hubungan dengan
beda warna kulit, responden menjawab sebatas rekan kerja 6,5%;
menjadi bawahan dan menjadi atasan tanpa jawaban; menjadi anggota
keluarga 13% ; menjadi pasangan hidup 37,9%; menjadi sahabat 44,4%.
Kemudian, apabila menikah dengan beda warna kulit responden lebih
menyukai kulit putih dan kulit kuning 37,2%; kulit coklat 23,5%; kulit
hitam 2,6%.
Terdapat pendapat 68,1% yang setuju atas pernikahan beda
warna kulit dan terdapat 37,9% yang bersedia menjadi pasangan hidup;
serta 37,2 % yang menyukai menikah dengan warna kulit putih atau
kuning. Etnik Cina termasuk dalam kulit kuning.
Dilihat dari sisi waktu, BCS pertama kali terbit tahun 1995,
maka Mira W sebagai pengarang termasuk dalam rentang waktu sama
dengan polling yang dilakukan majalah Tiara pada tahun 1994 tersebut.
Tidak ada penyebutan istri. Dengan begitu, dapat diambil
simpulan bahwa hubungan antara Rio dan Nina mungkin masih
berlanjut. Rio tidak pernah dituliskan bercerai dengan Sri. Yang jelas,
Nina tidak pernah menjadi istri resmi dari Rio. Nina hanya sekedar
menjadi kekasih gelap di saat Rio telah mempunyai istri sah secara
hukum. Bahkan, meskipun Nina telah banyak berkorban untuk Rio.
Nina telah menyerahkan dirinya secara mutlak. Mengorbankan
segala-galanya. Hubungan dengan keluarganya. Teman-temannya.
Kariernya. Masa depannya.
Hampir lima tahun Nina menunggu dinikahi. Tetapi selama lima
tahun ini apa yang dilakukan Rio kecuali mengulur waktu?

21
Rio tidak berani menceraikan Sri. Dia bahkan tidak sampai hati
mengatakannya!
(hlm. 309-310)
Inilah marginalisasi, entah disadari atau tidak, oleh pengarang
terhadap etnik Cina.

“Satu hal orangtua kita benar. Kita berasal dari kultur yang
berbeda. Tak mungkin melebur perbedaan kita dalam satu
generasi saja. Biarlah aku pergi, Rio. Meninggalkan tanah yang
kucintai. Orang-orang yang kukasihi. Kenangan masa lalu kita
yang indah. Carilah penggantiku, Rio.Tapi jangan yang seperti
aku. Supaya kamu tidak menderita. Anak-anakmu pun tidak
menderita.”
(hlm. 161)

Sikap pasrah dari pengarang Mira W tersebut bisa dilacak


melalui pendapat Wright. Menurut Wright (Kompas, 22 Juli 2001)
terhadap masyarakat minoritas jangan ditanamkan kesadaran ras secara
berlebihan. Hal ini justru mengakibatkan mereka merasa sudah
merupakan takdir apabila diperlakukan tidak adil. Perhatikan kutipan
berikut ini.
“Betul Nina orang Cina?”
Ibu Nina menoleh. Dan melihat seriusnya tatapan anaknya, dia
tidak jadi marah.
“Kenapa tanya begitu sih?”
“Teman Nina bilang begitu.”
“Ya, kita memang orang Tionghoa.”
“Apa bedanya dengan Cina?”
“Sebetulnya sama saja. Tapi kita nggak suka disebut Cina.”
“Kenapa?”
“Nggak enak kedengarannya di kuping.”

22
Jadi Pedro benar, pikir Nina murung. Aku memang Cina. Beda
dengan dia. Dengan …
(hlm. 35)
Penanaman tentang adanya perbedaan seharusnya dilakukan
bukan untuk kalangan minoritas saja, melainkan juga kepada anak-anak
dari kalangan mayoritas (Kompas, 22 Juli 2001). Dalam kasus di atas,
penanaman adanya perbedaan itu justru hanya terjadi pada kalangan
minoritas saja, yaitu pada etnik Cina, pada diri Nina.
Inilah yang terjadi pada diri Nina sehingga ia menerima begitu
saja keadaan yang menimpanya. Ia pasrah pada apa yang terjadi pada
kondisi sejarah yang ada. Meminjam bahasa Sularto (Kompas, 14 Maret
2001) Nina menjadi serbaterima. Padahal, seharusnya kelebihan
masyarakat Tionghoa jangan dilihat dari sisi akseptabilitasnya, tetapi
kapabilitasnya, bukan keserbaterimaan tetapi pada kemampuannya.
Apa yang dilakukan Nina, sebagai salah satu sosok dalam BCS,
dan Mira W, sebagai pengarang, sejalan dengan apa yang disebut
Gramsci (Simon, 2000: 27, 91-93; Bellamy, 1990: 187) sebagai common
sense, pemikiran awam. Common sense, yaitu pemahaman seseorang
yang tidak kritis dan tidak sadar terhadap dunia. Common sense berasal
dari berbagai sumber dan kejadian masa lalu yang membuat masyarakat
menerima kebiasaan, kekuasaan, ketidakadilan, dan penindasan sebagai
hal yang alamiah, produk hukum alam, kehendak Tuhan, dan tidak dapat
diubah.
Masih menurut Gramsci (Salamini, 1981: 40), manusia adalah
subjek, fakta yang mengubah sejarah, yang mengubah perjalanan hidup.
Nina dan Rio serta Mira W sebagai pengarang adalah agen, manusia,
subjek yang dapat dan mampu mengubah jalannya sejarah.
Berkaitan dengan seni, termasuk sastra, yang memiliki tugas
melakukan kritik bagi common sense dan memungkinkan masyarakat
mengembangkan inti positif, good sense, untuk menjadi pandangan
dunia yang lebih koheren (Simon, 2000: 27, 91-93; Bellamy, 1990: 187).
23
Good sense berwujud dalam sosok Nina dan Rio yang
seharusnya berani melakukan terobosan budaya dengan tetap
melangsungkan pernikahan secara resmi.
Status Nina tetap dipasung antara tidak dinikah tetapi tetap
berhubungan dengan Rio dengan sebutan mulia kekasih. Sementara itu,
Sri, istri resmi Rio, tidak diceraikan. Kondisi ini memperlihatkan secara
tidak disadari mengenai marginalisasi atas Nina, sebagai pribadi
maupun representasi etnik Cina, menjadi sesuatu yang dikorbankan atau
dikalahkan. Nina hanyalah kekasih gelap bagi Rio. Kekasih yang
dicintai tetapi tidak dinikahi oleh lelaki.
Mira W sebagai pengarang, sadar atau tidak, dengan posisi Nina
tadi telah memarginalisasikan etnik Cina pada posisi yang baur, tidak
jelas, dan dalam wilayah abu-abu.

Multikulturalisme
Dalam skala lebih luas, di luar BCS, dan dalam realitas
Indonesia, persoalan etnik dapat diselesaikan dengan alternatif
multikulturalisme (Hartiningsih, Kompas 14 Maret 2001).
Multikulturalisme mengakui berbagai potensi dan legitimasi
keragaman dan perbedaan sosiokultural tiap kelompok etnis. Dalam
multikulutralisme baik individu maupun kelompok dari berbagai etnik
dapat bergabung dalam masyarakat tanpa harus kehilangan identitas
etnis dan budaya mereka sekaligus tetap memperoleh hak untuk
berpartisipasi penuh dalam berbagai bidang kegiatan masyarakat.
Dengan pendekatan multikulturalisme tidak perlu ada gambaran
tentang penghilangan identitas sebagaimana yang dilakukan oleh
Bambang Parikesit, kakak Nina dalam novel BCS.
Dalam bahasa yang berbeda Megawangi (1998.: 21)
mengusulkan pemecahan masalah itu dengan istilah pembauran. Hanya
menurut Megawangi, pembauran berarti tumbuhnya sikap saling
menghormati antara pribumi dan nonribumi tanpa rasa saling curiga

24
atau benci dan bukannya hilangnya identitas pribumi atau nonpribumi.
Mengenai sebutan Cina atau Tionghoa, Shidarta (1998: 81)
mengusulkan istilah warga Indonesia keturunan Cina.
Dalam konteks demikian, Mira W seolah termasuk dalam posisi
generasi muda etnik Cina. Generasi yang lebih peduli pada nasionalitas
(keindonesian). Jika dilihat dari akhir cerita, maka sebetulnya Mira W
termasuk dalam golongan generasi yang lebih tua, generasi yang lebih
peduli pada keetnisan.
Dari bahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa marginalisasi
etnik Cina dalam novel Bukan Cinta Sesaat Karya Mira W, berwujud: di
akhir cerita status Nina, sebagai representasi etnik Cina, tidak jelas dan
baur yang ditunjukkan dengan status yang bukan sebagai istri resmi.
Mira W sebagai subjek manusia, fakta yang seharusnya mampu
mengubah sejarah belum berperan secara maksimal pada tugas historis
yang melekat pada dirinya.
Berkait dengan itu, kelemahan tulisan ini belum mengaitkan
semua data dengan sosok Mira W dalam aktifitas historisnya, aktifitas
kesehariannya, sebagai manusia, sebagai fakta yang mampu mengubah
sejarah.

Saran Bacaan
Adicondro, George Junus. 1998 (cetakan kedua). Dari Soeharto ke
Habibie. Jakarta: MIK dan Pijar Indonesia.
Bellamy, Richard. 1990. Teori Sosial Modern Perspektif Itali.
Terjemahan Vedi R. Hadiz. Jakarta: LP3ES.
Budiardjo, Miriam (ed.). 1991. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan
Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan
Faruk. 1988. Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra.
Yogyakarta: Lukman.
_______. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
25
Noor, Redyanto. 1999. Perempuan Idaman Novel Indonesia: Erotik
dan Narsistik. Semarang: Bendera.
Salamini, Leonardo. 1981. The Sociology of Political Praxis an
Introduction to Gramsci's Theory. London: Routledge &
Kegan Paul.
Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa
Melayu. Terjemahan Dede Oetomo. Jakarta: Balai Pustaka.
Shidarta, Amir. 1998. “Cina, Tionghoa, Chunghua, Suku Hua …”
dalam Alfian Hamzah (ed.).1998. Kapok jadi Nonpri.
Bandung: Zaman Wacana M.
Simon, Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Terjemahan
Kamdani & Imam Bahaqi. Yogyakarta: Insist & Pustaka
Pelajar.
Suryadinata, Leo. 1996. Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia.
Jakarta: Grasindo.
Wibisono, Christianto. 1998. Menelusuri Akar Krisis Indonesia.
Jakarta: Gramedia.
Wijaya, Mira. 1995. Bukan Cinta Sesaat. Jakarta: Gramedia

26
Bab III
dari Puisi sampai Drama
“Apa sih puisi itu?”

K
alau menurut Luxemburg (1986: 117) teks puisi adalah teks
monolog yang isinya bukan sebuah alur. Monolog berarti ada
satu instansi yang mengucapkan teks yang ditujukan kepada
pendengar. Instansi tadi disebut si aku-lirik atau subjek lirik atau tokoh
yang berbentuk “aku” yang ada di dalam teks puisi. Latar waktu dan
tempat di dalam puisi pelukisannya tidak mendetil, melainkan sekilas
saja. Aku-lirik harus dibedakan dengan aku-penyair. Aku-penyair adalah
sang pengarang atau sang penyair yang membuat teks puisi. Seringkali,
penyair sengaja menciptakan jarak antara aku-penyair dengan si subjek-
lirik (aku-lirik). Ini disebut stilisasi diri. Kadang subjek-lirik menyapa
seseorang, yaitu pendengar. Hal ini dapat berwujud tersurat atau tersirat.
Contoh penyapaan tersurat:
aku sungguh tidak yakin apakah kau engkau yang duduk dan
termenung di situ mau mendengarku
Untuk mengenali puisi A.W De Groot (via Pradopo, 1987: 7)
memberikan cirinya.
1. Kesatuan korespondensi puisi adalah akustis, berbeda dengan
kesatuan korespondensi dalam prosa yang disebut sintaksis).
2. Di dalam puisi korespondensi bercorak tertentu, yang terdiri atas
kesatuan-kesatuan tertentu meliputi seluruh puisi dari mulai sampai
akhir yang disebut baris/larik sajak.

27
3. Di dalam baris sajak ada periodisitas dari mula sampai akhir.
Dengan kata lain, di dalam puisi terdapat bait. Masing-masing
bait terbagi dalam baris/larik. Baris terbagi atas periodus. Periodus
adalah bagian dari baris. Pembagian baris atau hubungan antarkata
dalam larik disebut periodisitas. Korespondensi adalah pertautan
antarlarik.
Menurut Roman Ingarden (via Pradopo, 1987: 14-15), sastra
merupakan satu sistem norma yang terdiri atas:
1. lapis bunyi (sound stratum),
2. lapis arti (units of meaning),
3. lapis latar/objek,
4. lapis dunia,
5. lapis metafisis,
Oleh Wellek, lapis dunia dan lapis metafisis dapat dimasukkan ke
dalam lapis latar/objek. Dalam pandangan Roman Ingarden esensi dari
sastra adalah realitas kesadaran yang berlapis-lapis. Efek dari
kesemuanya untuk memberikan kesenangan dan berguna.
Di dalam puisi terdapat unsur keindahan bunyi yang dinamakan
lapis bunyi.
Lain ladang lain belalang
Lain orang lain belangnya.
Seperti telah diketahui bahwa kata tidak hadir sekedar hadir.
Kata memiliki arti atau makna. Inilah lapis arti. Belalang, misalnya
bisa bermakna seekor binatang. Belalang bisa juga berarti sesuatu.
Tidak harus berarti binatang. Boleh manusia atau yang lain yang gemar
meloncat-loncat. Arti tadi juga menggambarkan suatu objek, misalnya:
suasana ladang, hewan belalang, manusia, atau belang.
Ada keyakinan bahwa pengarang membuat karya karena sesuatu yang
ingin disampaikannya, yang biasanya disebut amanat. Hal tersebut
dinamakan lapis dunia. Dalam contoh di atas, kira-kira dapat
dinyatakan bahwa masing-masing manusia itu memiliki
kekurangannya sendiri-sendiri.
28
Dimensi paling dalam dinamakan lapis metafisis. Lapis
metafisis membuat pembaca menjadi introspeksi, berkontemplasi,
merenungkan akan hakikat nilai kehidupan dan arti hidup manusia.
Mengapa manusia mesti memiliki belang? Mengapa manusia tidak
dicipta dalam kesempurnaan?
Patut diingat bahwa kesemua lapis tidak berdiri sendiri-sendiri.
Lapis-lapis tersebut saling melengkapi. Lapis hanyalah sekedar anak
tangga yang makin lama semakin tinggi. Dalam puisi, semakin tinggi
makin dalam makna serta makin baiklah mutunya. Dari sini, kadang,
lahirlah puisi gelap, puisi yang sangat sukar untuk ditangkap
maknanya.

Bunyi dan Irama


Ada beberapa istilah yang selayaknya diketahui berkaitan
dengan masalah bunyi di dalam puisi: Misalnya: efoni, kakofoni,
enyabemen, sajak, asonansi, aliterasi, serta rima.
1.Efoni, yaitu kombinasi-kombinasi bunyi yang merdu.
angin mendayu bagai salju nan rindu
2. Kakofoni, yaitu kombinasi bunyi yang tidak merdu.
gedobrak kereta siang bakal pergi meninggalkan kota
3. Enyabemen, yaitu pemenggalan sintaksis dalam larik.
adakah lelaki itu bermenung tentang makan
malam yang tersuguh di tengah hutan.
4. Sajak, atau rima, yaitu kemiripan bunyi antara suku- suku kata.
5. Asonansi, yaitu rima vokal.
ke mana saja ia
merana karena cinta
6. Aliterasi, yaitu rima konsonan.
kami kalahkan karna
7. Rima awal, yaitu persamaan bunyi di awal baris
aku ke barat
29
aku ke timur
aku sendiri tiada tahu
8.Rima tengah, yaitu persamaan bunyi di tengah baris
Perempuan itu tiada tahu
Lelakinya tiada mengerti
Setelah tiada mau ke mana
9. Rima akhir, yaitu persamaan bunyi di akhir baris.
Pucuk daun bergoyang
Genting kaca bergoyang
Hati kecilku bergoyang
Irama berkait dengan suara atau bunyi yang dilisankan, mencakup:
1. Metrum, yaitu irama tetap, terlihat dalam jumlah suku kata yang sama.
2. Ritme, yaitu irama tidak tetap, terlihat dalam jumlah suku kata yang
tidak sama.
3. Melodi, seolah-olah seperti nyanyian.
Jika dilisankan, sebuah puisi memiliki 3 tekanan:
1. Tekanan dinamik, yaitu keras lemahnya (volume) suara.
2. Tekanan nada, yaitu tinggi rendahnya suara.
3. Tekanan tempo, yaitu cepat lambatnya diucapkan.

Intertekstual
Julia Kristeva (via Junus, 1985: 87-88) menyatakan bahwa
intertekstual merupakan hakikat suatu teks yang di dalamnya terdapat
teks lain. Rinciannya sebagai berikut:
1.Kehadiran secara fisik suatu teks dalam teks lain.
2.Pengertian teks mencakup cerita dan bahasa.
3.Adanya petunjuk yang memberikan hubungan, persambungan dan
pemisahan, antara suatu teks dengan teks yang telah terbit lebih dulu.
4.Proses pembacaan dapat bersandingan agar interpretasinya lebih
lengkap.

30
Menurut Riffaterre (via Teeuw, 1984: 65) sebuah teks baru
lengkap jika penelaahannya dikaitan / dipertentangkan dengan teks
lain. Teks yang menjadi latar acuan disebut hipogram.
Dari segi waktu, hipogram selalu hadir lebih dahulu. Hipogram
merupakan teks yang direaksi oleh teks lain. Contoh paling mudah dapat
diambil dari kehidupan industri musik. Ketika sebuah lagu meledak di
pasaran, timbullah lagu berikutnya yang merupakan jawaban atau
plesetan. Ingatlah fenomena kelompok musik yang selalu
memelesetkan lagu-lagu mapan. Juga, sebuah film yang sukses
kemudian menimbulkan film serupa, yang merupakan seri lanjutan.
Film Superman atau Home Alone, misalnya. Jika hendak menelaan
Home Alone 2 akan lebih komplet manaka dibandingkan dengan Home
Alone 1. Teeuw (1984: 66-69) memberi contoh prinsip intertekstual
saat membahas sajak “Penerimaan” karya Chairil Anwar. Penelahaan
sajak Chairil Anwar lebih lengkap sekiranya dikaitkan dengan
“Kusangka” karya Amir Hamzah. Dari prinsip intertekstual pembaca
menjadi tahu bagaimana sastrawan bereaksi terhadap sebuah fenomena
yang sama. Patut dicatat bahwa respon tidak selalu harus bertentangan
atau berseberangan. Apakah suatu hal direspon sama-sama x, atau justru
malah diingkari akan terlihat dengan penelahaan model intertekstual.

Drama
Drama dari kata draien, diturunkan dari draomai, yang
berarti kejadian, risalah. Drama muncul dari upacara agama, yaitu
pemujaan terhadap dewa Dionysos (dewa anggur atau dewa
kesuburan) yang diselenggarakan empat kali setahun (Boen, 1971: 14;
Soemardjo, 1986). Adapun asal mula drama:
1. Upacara agama primitif
2. Nyanyian untuk menghormati pahlawan di kuburannya. Dalam
acara ini seseorang mengisahkan riwayat hidup sang pahlawan,
yang lama kelamaan diperagakan dalam bentuk drama.

31
3. Kegemaran manusia mendengarkan cerita
Teater dari theatron, diturunkan dari theaomai, yang berarti
dengan takjub melihat, memandang. Teater mewakili 3 pengertian
(Boen, 1971: 14-15):
1.Gedung pertunjukan, yaitu sejak jaman Thucudides (471-395 SM)
dan Plato (428-348 SM).
2. Publik, audotirum, dalam jaman Herodotus (490/480- 424).
3. Karangan tonil, seperti disebut dalam kitab Perjanjian Lama.
Pembaca langsung menafsirkan teks sastra karena pembaca
langsung membaca teks tanpa melewati perantara. Karenanya, pembaca
disebut penafsir pertama. Penonton menafsirkan sesuatu yang
sebetulnya telah ditafsirkan oleh sutradara karena penonton
menyaksikan pertunjukkan yang disajikan lewat tangan seorang
sutradara. Dengan begitu, penonton merupakan penafsir kedua setelah
sutradara.
Di dalam buku ini antara pengertian drama dan teater disamakan.
Kalau pun penggunaannya bergantian, hanyalah demi variasi belaka.
Drama adalah wacana yang bersifat dialog dan isinya membentangkan
alur (Luxemburg, 1986: 158). Drama biasanya dipentaskan. Di
Indonesia, drama dalam taraf awalnya juga merupakan suatu upacara
agama. Hanya, sifatnya lebih puitis dibanding di Barat. Di Barat
dengan bercerita, di Indonesia denan membacakan mantra-mantra,
termasuk dengan dukungan tari dan musik.
Di Barat terdapat pemisahan yang tegas antara pelaku dengan
penonton. Di Indonesia penonton justru terlibat dengan pertunjukkan/
pemain. Kalau kemudian wayang orang agak berbeda dengan wayang
kulit, dalam hal sikap penonton, dikarenakan dua hal. Pertama,
hakikatnya yang beda bahwa wayang orang telah ada pelaku sebagai
individuil. Kedua, tradisi wayang orang berasal dari lingkungan kraton
Surakarta yang timbul dalam jaman penjajahan Belanda bersamaan

32
dengan meluasnya pengaruh Barat (Belanda) di Indonesia ( Boen, 1971:
17-18).
Dikenal pula istilah sandiwara, yang dicipta oleh PKG
Mangkunegoro VII, sebagai pengganti istilah toneel (Belanda) yang
berarti pertunjukan. Menurut Ki Hajar Dewantara, sandi berarti
lambang, wara artinya wewarah. Drama dapatlah diartikan sebagai
ajaran yang disampaikan secara tidak langsung atau pengajaran yang
dilakukan dengan perlambang (Harymawan, 1988:2).
Di dalam drama terdapat alur. Ada perbedaan antara Aristoteles
dengan Gustav Freytag perihal alur.
Aristoteles menyebut hukum puisi & drama. Hukum itu tentang
teori komedi, teori tragedi, hukum komposisi drama (awal, tengah,
akhir), dan trilogi aristoteles (kesatuan tempat, waktu, kejadian).
Tragedi memiliki sifat (Sumardjo, 1986):
1. Serius, khidmat, puitik dan filosofis karena timbul dari upacara agama
2. Bahasa puitik dan perwatakan yang idealis menjadikan aktor bermain
secara formal dan agung (grand style), jauh dari sifat realisme
Tokoh-tokoh di dalam tragedi bersifat:
1. Mengagumkan, tidak sempurna, selalu punya kelemahan menyolok ,
dan selalu dihadapkan pada dilema moral yang sulit
2. Tokoh utama gagal melawan musuhnya dan berakhir mati.
Masih menurut Aristoteles (via Teeuw, 1984: 121) yang penting
di dalam tragedi adalah tindakan, action, bukannya karakter. Selain
tragedi, berkembang juga satyr yang merupakan bagian dari
pertunjukkan tragedi. Satyr berarti komedi ringan dan pendek, bersifat
humor dan parodi terhadap mitologi. Pada satyr digunakan koor yang
terdiri dari satyr yaitu mahkluk dongeng yang setengah manusia
setengah binatang. Komedi berasal komoida yang berarti membuat
gembira.

33
Kesatuan waktu berarti harus berturut-turut 24 jam karena
menonton harus hadir di saat yang bersamaan. Kesatuan tempat berarti
penonton dalam satu tempat yang sama antara penonton dan pemain.
Kesatuan tempat bukanlah setting. Kesatuan kejadian/ide berarti
bahwa alur/jalan cerita tidak menyimpang dari pokok/struktur. Trilogi
Aristoteles harus dipandang sesuai zamannya. Dalam era teknologi,
kesatuan tempat tidak berlaku lagi. Penonton bisa saja di Jakarta dan
pertunjukan berlangsung di New York.
Dalam drama dikenal prolog, epilog, deus ex machina, dan teks
samping Prolog menerangkan atau membeberkan situasi. Prolog
adalah bagian awal. Epilog merupakan bagian akhir, yaitu ketika
pengarang mengakhiri cerita. Deus ex machina adalah peristiwa atau
perbuatan yang seolah-olah jatuh dari surga dan disebabkan intervensi
seorang dewa. Teks samping, yaitu petunjuk-petunjuk untuk
pementasan yang terdapat di dalam teks (Luxemburg, 1986: 165-169).
Di dalam sebuah drama alur tidak diceritakan, melainkan
dipanggungkan/divisualkan. Di Indonesia unsur drama, tari, dan puisi
dipadukan menjadi sendratari dan langendriyan. Ciri drama/teater telah
ada dalam wayang orang dan ketoprak di Jawa; topeng di Madura,
Jawa, Bali; drama gong, arja, di Bali; randai si Sumatera Barat; dermuluk
di Sumatera Selatan; makyong, mendu, di riau, Kalimantan Barat;
mamanda di Kalimatan Selatan, Kalimantan Timur; ubrug, longser,
bonjet di Jawa Barat; lenong, blantik, di Betawi, mares di Indramayu,
ludrug di Jawa Timur. Kesemua itu biasanya disebut teater daerah atau
teater rakyat (Satoto, 1990).

Saran Bacaan

Harymawan, RMS. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosdakarya


Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
34
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
_______. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Krtitik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Satoto, Sadiro. 1990. “Ikhtisar Sejarah Drama Indonesia”. Makalah
Seminar Nasional Sejarah Sastra Indonesia 1990 oleh
Undip 5 -6 Oktober 1990.

35
Bab IV
dari Abrams
sampai Sosiologi Sastra

P
ersoalan penting dalam penelitian dan analisis sastra adalah
bagaimana cara mendekatinya. Pendekatan terhadap karya
sastra oleh Abrams ada 4 yaitu (via Teeuw, 1984: 50): objektif,
mimetik, pragmatik, dan ekspresif.
Dalam pendekatan objektif karya sastra dianggap sebagai
sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, lepas dari dunia politik, ekonomi,
dan hal-hal yang berada di luar unsur instrinsik. Untuk cerpen dapat
ditelusur bagaimana tokoh atau temanya. Bagaimana keterkaitan
antarunsur itu, misalnya, kaitan antara tema dengan tokoh. Atau, kaitan
antara latar dengan tokoh. Dalam pendekatan objektif, sastra tidak
bersentuhan atau bergantung dengan realitas. Realitas di dalam karya
sastra tidak saling bersinggungan dengan realitas dalam masyarakat.
Berbeda dengan objektif, pendekatan mimetik memandang
adanya hubungan antara karya sastra dengan masyarakatnya. Di sini
perlu ada tekanan pada kata “nya” dari masyarakat, baik masyarakat
dari penghasil karya sastra tadi atau masyarakat yang diceritakan dalam
karya sastra. Pendekatan pragmatik menyadari adanya hubungan karya
dengan pembaca. Dalam konsep Horatius dulce et utile, misalnya, karya
sastra mestilah menyenangkan dan berguna bagi pembaca, termasauk
juga bagaimana pengaruh karya sastra atas pembaca.
Perlu dibedakan antara pengaruh dan tanggapan. Disebut
pengaruh manakala ditinjau lewat karya sastra. Dinamakan tanggapan

36
manakala dilihat dari segi pembaca. Bukan pekerjaan gampang
mengukur keduanya.
Pendekatan ekspresif meyakini adanya hubungan karya sastra
dengan pengarang. Ada dua data yang dibandingkan. Data yang ada di
dalam karya sastra dan data pengarang/biografi. Pembaca dapat meneliti
apakah sebuah karya merupakan cerminan dari si pengarang atau
sebaliknya, sebuah karya adalah pengingkaran dari jiwa si
pengarangnya.
Ada perbedaan antara mimetik dengan pragmatik, meskipun
kedua pendekatan ini sama-sama menyangkut masyarakat alias
pembaca. Dalam mimetik kita meneropong tentang KETERKAITAN
antara karya sastra dengan masyarakat, dalam pengertian kebudayaan
masyarakat. Dalam pragmatik diteropong B A G A I M A N A
PENGARUH karya sastra terhadap masyarakat atau pembaca atau
BAGAIMANA TANGGAPAN pembaca terhadap sebuah karya
sastra.
Pendekatan berbeda dengan metode. Pendekatan mengacu pada
teori. Metode berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara
atau jalan. Metodologi berarti pengetahuan tentang berbagai cara
kerja. Metodik bermakna kumpulan metode-metode (jamak). Metode
ialah cara kerja untuk memahami objek penelitian yang berwujud karya
sastra.
Pada pendekatan mimetik harus ada dua data yang
dibandingkan yaitu data atau keterangan yang berasal dari karya sastra
dan data yang berasal dari masyarakat sebenarnya. Kita
membandingkan antara realitas dalam teks karya sastra dan realitas
dalam masyarakat. Ambilah contoh Pengakuan Pariyem karya Linus
Suryadi AG. Prosa liris tersebut bercerita tentang seorang babu yang
dihamili oleh majikannya. Sang majikan termasuk keluarga keraton
yang tinggal di Yogyakarta. Cerita itu dapat menjadi gambaran
sementara bagaimana kira-kira tentang wanita Jawa yang sebenarnya.
37
Hal ini masih perlu ditunjang oleh data bagaimana, misalnya, kehidupan
pembantu di keraton dalam realitas masyarakat.
Dalam pragmatik diperlukan data yang berasal dari sampel
pembaca yang diteliti. Kita melakukan penelitian/ pengamatan
terhadap pembaca. Pembaca di sini bukan berarti si peneliti. Sehabis
menonton pertunjukkan Mick Jagger para penonton mengamuk dan
merusak mobil. Atau, sehabis menyaksikan kesebelasan
kebanggaannya kalah, para suporter membuat kerusuhan. Di Jepang
anak-anak mengalami kejang-kejang sehabis menonton film kartun
Pokemon/Pocket Monster (Kompas, 23 Desember 1997). Penelitian
model pragmatik dapat diperluas dengan perbandingan. Apakah sebuah
karya sastra akan menghasilkan pengaruh yang sama pada dua
masyarakat yang memiliki kebudayaan yang berbeda.
Dalam ekspresif diperlukan data yang berasal dari pengarang
yang bersangkutan/pengarang dari karya sastra yang diteliti. Untuk
penelitian model begini, kita dapat berhubungan langsung dengan si
pengarang. Namun, tidak menutup kemungkinan dicari data dari
biografi sang pengarang, rekaman, wawancara, atau yang lainnya.
Menurut Segers (via Junus, 1985: 26) ada pergeseran fokus
penelitian karya sastra.
1.Di abad 19, perhatian ditujukan ke penulis (ekspresif), sesuai
kecenderungan filsafat positivisme saat itu.
2. Selama tujuh dasawarsa abad ke-20 tekanan diberikan kepada teks.
3. Kemudian, fokus bergeser ke pembaca.
Bergesernya fokus dari pengarang ke teks karena beberapa hal
(Junus, 1985: 10, 102):
1.Pertumbuhan sastra tulis yang meniadakan tukang cerita lisan.
2. Pertumbuhan sastra baru, novel misalnya, yang memutus hubungan
rantai tukang cerita – khalayak.
3. Pertumbuhan sastra yang mendekatkan diri kepada realitas kehidupan
hingga menghindarkan diri dari filsafat dan mistik. Di dalam filsafat

38
dan mistik terdapat ruang rahasia yang mesti dipertanyakan kepada
sang penulis.
4. Perubahan dari pujangga, pemimpin dari segala bentuk
kebijaksanaan, ke seniman sebagai mahkluk yang sekedar mencipta.
Pendekatan teks (objektif) itu berasumsikan:
1. Bahwa teks memiliki satu makna dan berkaitan dengan studi filologi.
2. Apa yang ingin disampaikan pengarang sejalan dengan apa yang
tersajikan.
Selanjutnya, penelitian bergeser dari teks ke pembaca.

Perihal Pembaca
Resepsi sastra berawal pada ide bahwa sastra memiliki banyak
makna. Resepsi sastra ditokohi oleh Roman Ingarden (Cekoslowakia)
dan Vodicka (Polandia). Perlu diketahui, Cekos-lowakia dan Polandia
tersebut sebelum berubah menjadi negara komunis. Ada juga Stanley
Fish dan M. Riffaterre dari Amerika. Juga, Jausz dan Iser dari
Jerman Barat. Ada hubungan antara resepsi dengan masyarakat yang
demoktratis (Junus, 1985:104-105).
Pembaca sastra menurut Segers (via Sayuti: 90) ada tiga tipe
yaitu pembaca ideal, pembaca implisit, dan pembaca riil.
Pembaca ideal adalah konstruksi hipotetik seorang teoritikus
dalam proses penafsiran. Pembaca ideal juga merupakan kontruksi
penulis sewaktu merancang karyanya. Dalam bahasa yang mudah
pembaca ideal merupakan pembaca andaian, pembaca yang diandaikan
oleh sang pengarang.
Menurut Stanley Fish dan Segers (via Sayuti: 91; via Junus,
1985: 54) pembaca ideal memiliki tiga karakteristik.
1. Pembaca yang kompeten atas bahasa yang dipakai dalam teks.
2. Memiliki pengetahuan semantik penuh, termasuk pengetahuan dan
pengalaman mengenai perangkat leksikal, kemungkinan kolokasi,
idiom. baik sebagai produser maupun pembanding.

39
3. Memiliki kempetensi sastra.
Pembaca implisit merupakan keseluruhan susunan indikasi
tekstual yang menginstruksikan bagaimana pembaca riil membaca teks
tertentu.
Pembaca implisit adalah pembaca yang turut berperan
bagaimana suatu teks dapat hadir/dibaca oleh pembaca riil.
Pembaca riil merupakan pembaca secara nyata yang membaca
suatu teks. Para pembaca yang ahli, yang dapat dijadikan wakil dari
setiap periode adalah: para ahli sejarah sastra, ahli estetika, dan para
kritikus sastra (Vodicka via pradopo, 1995: 9-10). Pendapat Vodicka itu
agak bertentangan dengan prinsip metodologi yang berkaitan dengan
sampel dan populasi.
Perlu dibedakan antara penerimaan dan interpretasi (Junus,
1985: 69). Resepsi sastra lebih berhubungan dengan penerimaan,
bagaimana penerimaan pembaca dengan segala kemampuan linguistik
dan sastra yang dipunyainya tanpa harus memberikan sebuah
interpretasi. Pembaca hanya tertuju pada arti teks. Interpretasi berkaitan
dengan ilmu, berhubungan dengan makna teks.
Dalam resepsi sastra peneliti bukanlah pembaca. Dalam
hermenutika, peneliti adalah pembaca. Studi hermeniutika tradisional
berbeda dengan studi sastra empirik. Yang pertama memasalahkan
interpretasi individual yang merupakan hasil yang benar dari teks
ideal-objektif. Yang kedua memasalahkan susunan teoritik interpretatif
yang dapat dihasilkan dari interpretasi pembaca yang beragam (via
Sayuti: 94-104).
Lotman berpendapat bahwa teks memiliki tiga ciri yaitu
eksplisit, terbatas, dan ter-struktur. Eksplisit berarti bahwa teks
diungkapkan melalui sarana tanda yang membedakan atas struktur
tekstual ekstra yang tak diungkapkan. Terbatas berarti bahwa teks
memiliki awal dan akhir. Terstruktur berarti teks tak mempunyai
susunan yang arbiter antara dua batasnya. Sebuah teks mempunyai

40
organisasi internal yang membuat teks tersebut menjadi sebuah
keseluruhan terstruktur pada level sintagmatik.
Hubungan antara teks dan pembaca menurut Iser disebut
hubungan asimetri. Pembaca tidak dimungkinkan untuk menguji
apakah pemahaman atas teks tadi benar. Tidak ada konteks yang
teratur antara teks dan pembaca untuk menetapkan suatu maksud.
Konteks harus disusun oleh pembaca berdasar signal tekstual. Anbek
berpandangan bahwa fiksionalitas bukanlah kualitas atau teks,
melainkan hasil dari sikap pembaca terhadap teks.
Menurut Oversteegen kriteria fiksionalitas bukanlah suatu hal
yang invariabel dan secara tetap dapat diterapkan untuk
membedakan ciri suatu teks sastra secara universal. Bahkan Prat
menyebut tiga asumsi yang melatar-belakangi:
1. Batas antara fiksi dan nonfiksi kadang tidak begitu jelas.
2. Seringkali terdapat konteks yang menuntut tak tertentukannya
batas antara fiksi dan nonfiksi.
3. Terdapat kasus yang dapat membuat individu berbeda pendapat
mengenai fiksi dan nonfiksi.
Resepsi sastra menurut Albert Memmi (via Junus, 1985:85) berfokus
pada aspek penerimaan publik yang mencakup:
1. Sosiologi dari kelompok sosial, hubungan antara satu kelompok
dengan norma sastra yang dianut oleh kelompok lain.
2. Sosiologi tentang proses komunikasi karya sastra yang sukses (best
seller).
3. Sosiologi tentang kritik sastra di surat kabar dan mingguan yang
dapat dipertentangkan dengan yang ada di dalam majalah ilmu/sastra.
Menurut Segers perbedaan sosiologi sastra dan resepsi
sastra yaitu resepsi sastra memfokus pada hubungan antara teks
dengan pembaca. Sosiologi sastra memfokus pada hubungan antara
pembaca dengan latar belakang sosial mereka.

41
Secara mudah, resepsi dimengerti sebagai bagaimana sebuah
karya sastra diterima/ditangkap oleh pembaca. Bagaimana
penerimaan/ penangkapan pembaca terhadap karya sastra.
Adapun penangkapan makna tadi tergantung kepada
cakrawala harapan dan tempat terbuka (Segers via Pradopo 1995: 208).
Cakrawala harapan (horizon of expectation) merupakan bayangan atau
anganan yang ada di dalam benak pembaca sebelum membaca karya
sastra. Apabila antara harapan dan kenyataan sesuai, pembaca
menemukan kepuasan. Apabila antara harapan dan kenyataan tidak
sesuai ada kecenderungan pembaca kecewa. Namun demikian bisa
terjadi justru sebaliknya.
Menurut Segers cakrawala harapan itu bergantung pada:
1. Norma yang terpancar dari teks-teks yang telah dibaca oleh pembaca.
2. Pengetahuan dan pengalaman atas semua teks yang dibaca
sebelumnya.
3. Kemampuan pembaca dalam memahami pertentangan fiksi dan
nonfiksi.
Karya sastra merupakan sesuatu tempat yang terbuka terhadap
makna baru. Hal ini berkaitan dengan sifat sastra yang poliinterpretasi.
Menurut Jausz (via Junus, 1985: 70,74) dalam menentukan
karya sastra bermutu terdapat pertukaran di dalam horison
penerimaan. Ada 3 pendapat mengenai penentuan nilai tadi, yaitu:
immanent, relatif, dan relasional.
Immanent, melihat nilai terdapat dalam karya itu sendiri.
Relatif, melihat nilai bergantung kepada selera seseorang. Tak ada
nilai yang dapat dijadikan tolok ukur. Relasional, memandang nilai
sebagai sesuatu yang tidak konstan. Nilai ditentukan oleh struktur teks
menurut pembacanya dan sistem nilai yang ada pada pembacanya.
Dengan begitu, penelitian nilai sastra disarankan kepada:
a. Analisa struktur karya itu.
b. Sistem nilai pembaca.

42
c. Tata nilai tertentu dari pembaca terhadap teks.
d. Gabungan ketiganya.
Masih menurut Jauz, horison penerimaan dibentuk oleh tiga faktor,
yaitu: pengalaman, pengetahuan tentang norma suatu genre, serta
berbagai fungsi bahasa yang dikenal pembaca dalam suatu teks. Dengan
begitu horison penerimaan sastra berhubungan dengan sosiobudaya
dan pengalaman seseorang.
Menurut Segers horison penerimaan sosiobudaya dari seorang
pembaca adalah hasil pengalaman seorang individu dan dari
pengalaman bahasa-nya. Pengalaman individu berupa pengalaman
emosi, sosio-budaya, psikologi komunikasi. Pengalaman bahasa
berhubungan dengan penguasaan bahasa. Horison Penerimaaan sastra
melalui pengalaman pembacaan teks, terutama teks sastra. mencakup
stilistika, retorik, interpretasi, evaluasi, dan pengenalan genre.
Menurut Resepsi estetik Jausz (Teeuw, 1984: 204):
1. Sastra sebagai afirmatif-normatif, menetapkan dan memperkuat
struktur, norma, dan nilai masyarakat yang ada.
2. restoratif, memunculkan kembali kemudian mempertahankan norma
yang telah luntur/hilang/tak berlaku lagi.
3. inovatf dan revolusioner, merombak dan memberontak nilai-nilai
yang telah mapan di masyarakat.
Ada perbedaan antara pendekatan Jausz dan Iser sebagaimana
yang dinyatakan oleh Seger (via Junus, 1985: 38, 49). Jausz menekankan
pada aspek penerimaan, bagaimana seorang penulis kreatif menerima
karya sebelumnya dan memungkinkannya menciptakan sesuatu yang
baru. Atau, bagaimana seorang pembaca kreatif menerima suatu karya
sehingga karya itu mempunyai makna tertentu bagi pembaca. Pada
Jausz, peranan teks sastra tidak penting, sementara pada Iser peranan
teks masih cukup besar. Iser menekankan pada kesan yang ada pada
pembaca dalam membaca suatu teks, yang memungkinkannya
membawa ke suatu pengalaman baru.

43
Sosiologi Sastra dan Sosiologi Seni
Grebstein (via Damono, 1979: 4-5) memberi ancangan tentang
pendekatan sosiologi sastra.
1. Karya sastra tak dapat dipahami selengkap-lengkapnya jika
dipisahkan dari lingkungan/ kebudayaanya.
2. Sastra merupakan kegiatan yang sungguh-sungguh, bahwa tiada
karya besar yang lahir karena gagasan yang dangkal.
3.Karya sastra terlibat dalam realitas dan bersikap evaluatif terhadapnya.
4. Bentuk dan isi karya sastra mencerminkan perkembangan atau
perubahan dari watak kultural.
5. Kritik mesti dapat menciptakan karya besar.
6. Kritikus bertanggung jawab kepada sastra masa silam dan masa
datang.
Sosiologi sastra (Teeuw, 1984: 203) meliputi:
1. Penelitian tentang manusia, anggota masyarakat selaku pembaca
sastra, penyebarluasan sastra, sikap, jumlah, efek kemasyarakatan
sastra, serta masalah buta huruf.
2. Karya sastra berkaitan dengan realitas (mimetik).
Sosiologi sastra menurut Wellek & Warren mencakup:
1. Sosiologi pengarang, berisi bagaimana status sosial pengarang.
2. Sosiologi karya sastra, yaitu apa yang tersirat dalam karya sastra dan
tujuan karya sastra.
3. Sosiologi sastra, tentang pembaca dan pengaruh sosial karya
sastra.
Sosiologi sastra menurut Ian Watt (via Damono, 1979: 3):
1. Konteks sosial pengarang dalam masyarakat dan masyarakat
pembaca:
a. Bagaimana mata pencaharian pengarang.
b. Profesionalisma dalam kepengarangan.
c. Masyarakat yang dituju pengarang.

44
2. Sastra sebagai cermin masyarakat. Cermin ini berarti:
a. Bukan cermin objektif tentang masyarakat
b. Hal a terjadi karena imajinasi pengarang.
c. Bukan merupakan sikap suluruh masyarakat.
d. Pandangan sosial pengarang bukanlah objektif.
3. Fungsi sosial, yaitu nilai sastra dipengaruhi nilai sosial (moral):
a. Romantik, sastra sebagai pembaharu dan pendobrak, di sini karya
sastra bersifat agung.
b. Hanya sebagai penghibur.
c. Mengajarkan sesuatu.
Ada dua cara mendekati karya sastra secara sosiologi, yaitu:
1. Dari dalam ke luar, yaitu dari realitas karya sastra (imajinasi) ke
realitas masyarakat (dunia nyata). Pemahaman atas struktur karya
sastra dipergunakan utuk memahami gejala sosial di luar sastra.
2. Dari luar ke dalam, yaitu dari realitas masyarakat ke realitas karya
sastra. Sastra dianggap sebagai gejala kedua, epiphenomenon,
bukan gejala utama. Sastra hanya merupakan cermin proses sosial
budaya.
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi
sastra merupakan pendekatan terhadap sastra dengan
mempertimbangkan segi kemasyarakatan (tatanan ekonomi, budaya,
politik, dll.).
Berbeda dengan sastra, menurut Silbermann (via Junus,
1985:84) sosiologi seni mencakup lima penelitian:
1. Pengaruh seni terhadap kehidupan seorang manusia.
2. Perkembangan dan kepelbagaian sikap dan objek sosial melalui seni.
3. Pengaruhi seni atas pembentukan kelompok & konflik di dalamnya.
4. Pembentukan pertumbuhan dan hilangnya lembaga artistik sosial.
5. Faktor & bentuk tipikal organisasi sosial yang berpengaruh terhadap
seni.

45
Saran Bacaan

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar


Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Luxemburg, Jan van; Mieke Ball; dan Willemb G. Westeujn. 1986.
Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode
Krtitik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sayuti, Suminto A. 1997. “Pragmatik Sastra” dalam Widyaparwa no
49 tahun 1997. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Teeuw. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
_______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

46
Bab V
dari Sekolah
sampai Liburan
“Libur Telah Tiba
Libur telah tiba, libur telah tiba
Hore, hore,hore”

T
eks lagu merupakan lahan luas bagi lapangan penelitian
sastra. Namun, masih sedikit yang menyorot teks lagu sebagai
sebuah fenomena. Tulisan ini membahas tesk lagu “Libur
Telah Tiba” yang dibawakan oleh Tasya.
Dari survei yang dilakukan Kompas (24 Desember 2000)
setidaknya terdapat empat artis cilik (baca: penyanyi) terpopuler
pilihan pembaca, yaitu: Joshua (37,6%); Sherina (24,4%); Tasya
(16,6%); dan Meysi. Survey dilakukan terhadap 1509 responden.
Joshua terpilih karena memiliki gaya apa adanya, lugu, serta berlogat
Jawa Timur-an. Sherina dikagumi karena memiliki kemampuan vokal
di atas rata-rata. Meysi, meskipun ikut terpilih, namun dikecam karena
penampilannya mengada-ada, terlalu genit, dan tidak alamiah. Tasya,
sebenarnya, tidak memiliki kemampuan vokal luar biasa seperti
Sherina, namun ia tidak genit seperti Meysi. Tasya justru pertama
sekali masuk ke dalam dunia tarik suara melalui iklan pasta gigi. Selain
itu, dengan dana mendekati 1 milyar orang tua Tasya menerbitkan
majalah Tasya dan Tasya menjadi pemimpin umum — sebuah dunia
usaha yang tidak main-main.
Sampai sejauh ini kajian terhadap teks lagu, terutama teks lagu
anak-anak, masih jarang. Yang dapat ditemukan bahasan atas cerita
anak.
47
Bunanta (1998) melakukan penelitian tentang penulisan cerita
rakyat untuk anak di Indonesia. Kasus yang dibahasnya cerita Bawang
Merah Bawang Putih. Teori yang dipergunakan yaitu struktural,
kemudian untuk melihat tipe cerita dan motif cerita dipergunakan
klasifikasi Antti Aarne dan Stith Thompson.
Menurut Bunanta keberhasilan penulisan kembali cerita rakyat
untuk sebuah bacaan tergantung kepada tiga aspek, yaitu:
pendayagunaan kreasi sehingga penggarapan cerita tidak hanya
berkaitan dengan tema pokok, kepandaian mempertahankan sifat fantasi
sehingga kejadian dikenal oleh pembaca, dan penafsiran makna dengan
menggunakan lambang dan simbol. Selain itu, menurut Bunanta cerita
rakyat hasil kreasi pengarang sangat berkesan didaktis, moralistik, dan
sentimental. Didaktis bermakna ingin memberi sifat pendidikan.
Moralistik bermakna ingin memberikan cerita-cerita yang memiliki
moral yang baik. Karena menonjolkan ketiga kesan itu kreasi yang
muncul berupa terlalu menonjolnya penderitaan dan kebaikan, serta
kepatuhan para tokohnya sehingga terlihat kepribadaian tokoh yang
lemah, penuh kemalangan, dan sifat nrimo (menerima nasib apa adanya).
Yang penting dalam penelitian Bunanta yaitu cerita rakyat merupakan
lahan bagi penyampaian kepada anak agar anak dapat mengembangkan
pandangannya yang komprehensif tentang kehidupan.
Yang menarik dari penelitian Bunanta sebagaimana yang disebut
terakhir itu. Bahwa cerita rakyat merupakan lahan penyampaian kepada
anak untuk mengembangkan pandangan yang komprehensif tentang
kehidupan. Jika ditarik lebih luas lagi, apa pun bentuknya — cerita
rakyat, cerita modern, puisi, teks lagu, film, musik — sebaiknya
merupakan wahana yang baik untuk mengembangkan dan menanamkan
nilai-nilai kehidupan bagi anak-anak sebagai generasi penerus di masa
mendatang.
Sugihastuti (1996) menulis tentang Serba-Serbi Cerita Anak-Anak.
Sugihatuti, misalnya, menulis anak-anak dan sastra tulis, bergesernya

48
tradisi kelisanan pada anak-anak, bacaan sebagai sarana mengasuh anak,
buku humor dan anak-anak, buku permainan dan anak-anak, perlunya
ilustrasi pada cerita anak-anak, atau tentang mahalnya harga bacaan
anak-anak. Semuanya, kemudian seolah dikait-kaitkan dengan dunia
anak-anak. Tentu saja ini sah. Sayangnya, sesuai dengan apa yang
tersurat dalam judulnya, serba-serbi, tulisan Sugihastuti sangat
fragmentaris, tidak terfokus, dan tidak mendalam karena berangkat dari
artikel-artikel yang pernah ditulis di media massa.
Di bawah ini teks “Libur Telah Tiba” dianalisis dengan
pembacaan heuristik dan hermeunitik. Kemudian, dicari unsur
hegemoni yang muncul dalam teks itu. Sebelum analisis dilakukan,
disajikan terlebih dahulu teksnya.

Libur Telah Tiba


Libur telah tiba, libur telah tiba
Hore, hore,hore
Simpanlah tas dan bukumu
Lupakanlah keluh kesahmu
Libur telah tiba, libur telah tiba
Hatiku gembira

'Libur telah tiba'. Libur adalah hari di luar hari-hari biasa yang
penuh kebiasaan. Libur adalah hari bebas, hari yang tidak perlu masuk ke
kantor, sekolah, pekerjaan. Karenanya, libur sangat istimewa. Tiba
bermakna juga datang Hari yang bebas itu datang. Telah bermakna
sesuatu yang sudah terjadi, sesuatu yang pasti terjadi. Hari yang penuh
kebebasan itu sudah pasti terjadi kedatangannya. Frasa ini diulang dua
kali.
'Hore, hore,hore'.Hore merupakan teriakan. Biasanya teriakan
yang menandakan kegembiraan. Kata ini senada dengan libur yang
menandakan kebebasan dari jadwal yang sudah rutin itu. Libur adalah

49
kebebasan yang sangat menggemberikan karena terlepas dari beban
kegiatan rutin, dari keseharian yang berlangsung terus menerus.
'Simpanlah tas dan bukumu'. Simpan berarti tidak
menggunakan, memperistirahatkan. Lah adalah perintah atau ajakan.
Ada ajakan untuk tidak menggunakan, untuk memperistirahatkan
barang sejenak. Tas adalah tempat, wadah bagi apa saja. Tas di sini tidak
berdiri sendiri karena ada rangkaian kata dan. Buku adalah kumpulan
kertas yang dijilid, dijalin. Ada ajakan atau perintah untuk tidak
menggunakan lagi tempat dari kumpulan kertas atau tempat dan
sekumpulan kertas. Mu berarti kata ganti milik orang kedua. Ajakan tadi
ditujukan kepada orang kedua yang tidak diketahu siapa dia, bisa lelaki
bisa wanita. Yang jelas, dialah yang memiliki tas dan buku. Ada ajakan
untuk memperistirahatkan tas dan buku dari kepunyaan seseorang.
Seseorang itu adalah orang kedua.
'Lupakanlah keluh kesahmu'. Lupa adalah kata kerja yang
bermakna tidak ingat. Kan bermakna menyuruh, memerintah. Ada
perintah untuk tidak mengingat, yang kemudian masih diperjelas dengan
lah. Sebuah ajakan atau perintah untuk betul-betul tidak mengingat.
Keluh kesah bermakna ungkapan yang menandakan ada sebuah
ketidakpuasan terhadap sesuatu, sebuah pertanda kesedihan, ada sesuatu
yang dipaksakan selama ini. Pemaksaan, kesedihan, penderitaan itu
ternyata milik dari orang kedua, orang kedua yang bisa sama dengan tadi
bisa saja berbeda. Ada ajakan untuk tidak mengingat penderitaan,
kesusahan, pemaksaan yang telah terjadi kepada orang kedua, selain
orang pertama yang tidak pernah disebutkan sampai saat ini. Kesusahan,
penderitaan, keterpaksaan itu berkaitan dengan tas dan buku. Berarti tas
dan buku identik dengan penderitaan, kesedihan, dan keterpaksaan.
Kesedihan dan keterpaksaan ini bertentangan dengan teriakan pada baris
kedua, hore, yang menandakan sebuah kegembiraan. Tas dan buku
adalah sesuatu yang menderitakan karena ia berlangsung setiap hari,

50
tanpa ada waktu luang, sebuah keterpaksaan yang harus dijalani karena
berlangsung rutin.
'Libur telah tiba, libur telah tiba'. Semua kesesahan itu kemudian
di timpali kembali dengan ungkapan ;libur telah tiba' lagi. Bahwa
kebebasan dari segala bentuk kerutinan yang berlangsung setiap hari itu
sudah datang, sudah terjadi.
'Hatiku gembira'. Hati adalah organ tubuh manusia yang
mengacu kepada perasaan manusia. Manusia itu adalah aku, orang
pertama, yang berbeda dengan orang kedua, mu, seperti yang telah
disampaikan tadi. Ternyata,yang mengajak atau memerintah orang
kedua adalah aku, orang pertama, yang tidak diketahu siapa dia, tetapi
jelas ada. Entah itu lelaki atau perempuan, besar atau kecil. Yang jelas dia
memiliki perasaan gembira, bahagia, suka cita. Kata ini senada dengan
ungkapan hore, ungkapan kegembiraan yang telah dilontarkan mungkin
oleh aku atau oleh mu. Suka cita ini melawan benar apa yang telah
disampaikan tentang buku dan tas yang membawa penderitaan dan
kesusahan karena selalu hadir setiap hari.
Tas dan buku pastilah menandakan sesuatu. Apabila kata 'tas'
saja maka ia dapat bermakna pekerjaan, sekolah, kegiatan belanja,
kegiatan berbisnis. Ketika tas dikaitkan dengan kata dan, yang bermakna
merangkaikan, dengan buku, maka tas dan buku mengacu kepada dunia
sekolah, dunia akademisi, yang memang berlangsung setiap hari,
kecuali hari Minggu. Pengertian libur di sini bukanlah mengacu pada
hari Minggu.
Ada dua model . Model di sini dalam pengertian Riffaterre yaitu
tanda yang berwujud kata atau kalimat yang apabila dikembangkan
menjadi puisi. Model adalah aktualisasi dari matriks, sesuatu yang tidak
hadir dalam puisi, yang merupakan pusat makna dari puisi. 'Libur tiba'
dan 'hatiku gembira' yang terdapat dalam teks itu. Hubungannya bersifat
kausalitas. Bahwa yang kedua hanya akan terjadi manakala yang
pertama hadir. Dengan demikian, kalimat yang pertama 'libur tiba'
51
membosankan, maka menyusahkan, maka menderitakan, dan penuh
keterpaksaan bagi subjek aku dan kamu. Kedua, kalau bukan karena sifat
rutin itu, tentulah ada sebab lain yang membuat bahwa sekolah, dunia
akademisi, memang menyusahkan, menderitakan, menyiksa.
Di Indonesia, sekolah memang sebuah dunia yang
membosankan. Bukan saja karena sifat rutin yang melekat padanya,
tetapi juga karena sekolah tidak memungkinkan manusia-manusia
kreatif hidup di dalamnya. Dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi —
bahkan beberapa perguruan tinggi atau jurusan pascasarjana — penuh
dengan mata pelajaran hapalan. Anak didik atau mahasiswa hanya
dijejali dengan kemampuan menghafal dan bukannya kemampuan
berimajinasi dan analitis. Bagi mereka yang termasuk anak-anak kreatif,
tentulah sangat membosankan model pendidikan yang demikian itu.
Keseragaman menjadi sesuatu yang diwajibkan di sekolah — mulai dari
taman kanak-kanak hingga Sekolah Lanjutan Tingkat Atas.
Perhatikanlah hal yang paling sederhana: seragam sekolah. Dari enam
hari belajar, mungkin hanya satu hari saja mereka boleh memakai
pakaian yang tidak seragam. Pakaian seragam itu dimasyarakatkan,
sebutlah dipaksakan dan diwajibkan, dengan alasan untuk mengurangi
kesenjangan antara kaya dan miskin. Apabila aturan seragam tidak
diberlakukan dikhawatirkan akan memicu kesenjangan antara si kaya
dan si miskin yang diekspresikan melalui pakaiannya. Rupanya, pakaian
merupakan sesuatu yang sangat penting. Jauh lebih penting misalnya
ketika para siswa berangkat dan pulang sekolah memakai mobil,
perangkat tubuh yang lain, seperti sepatu, kaus kaki, bolpoint, buku yang
sebenarnya — dengan melihat merknya — bisa mencerminkan berapa
harga yang dibutuhkan.
Dengan kondisi seperti itu, baik karena sifat kerutinannya
maupun kondisi yang melingkupinya, wajar manakala aku begitu
gembira ketika dapat terbebas dari segala apa yang berbau sekolah.
Karena aku gembira, maka aku mengajakmu juga bergembira dengan

52
melupakan dan tidak mengingat akan hari-hari penuh siksa di sekolah.
Untuk mengantisipasi liburan, misalnya, beberapa gedung
bioskopmenyiapkan beberapa film animasi, yaitu: Titan AE, Dinosaur,
dan The Road to El Dorado, termasuk film musikal anak-anak
Petualangan Sherina (Kompas, 11 Juni 2000).
Masih dalam rangka menghadapi liburan sekolah beberapa
kegiatan disiapkan oleh berbagai lembaga baik yang bersifat profit
maupun noprofit. Musium Tekstil menyediakan kursus membatik. Ada
juga sanggar kesenian yang menawarkan kursus melukis dengan
menggunakan pastel,krayon,atau cat minyak untukanak-
anak,remaja,bahkan orang dewasa. Majalah anak-anak Bobo
mengadakan acara yang disebut “Berlibur Kreatif”. Acara mengisi
liburan ini dengan berkemah di alam terbuka selamatiga hari. Peserta
diajak bermain kano,membuat rakit,menangkap udang, menuruni bukin
dengan tali, meniti batang pohon, main tarzan-tarzanan dengan ban atau
meniti tali (Kompas, 17 Juni 2001).
Dari polling yang pernah dilakukan koran harian Kompas (1 Mei
2001) dapat diketahui bahwa secara umum masyarakat tidak puas atas
upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Polling
bulan Januari 2000 dilakukan terhadap 1773 responden, dengan hasil
51,4 % menyatakan tidak puas sementara 46,9 menyatakan puas. Polling
bulan April 2000 dilakukan atas 1657 responden dengan hasil 56,6 %
menyatakan puas sementara 41,5 % menyatakan tidakpuas. Polling
bulan Juli 2000 dilakukan atas 1569 responden dengan hasil 56,8 % puas
sementara 41,3 % tidak puas. Polling bulan Oktober 2000 yang
dilakukan atas 1143 responden menghasilkan 53,5 % puas sementara
45,0% tidak puas. Polling bulan Januari 2001 atas 1649 menghasilkan
54,2% puas dan 43,4% tidak puas. Polling yang sama bulan April 2001
dilakukan atas 1684 responden menghasilkan 56,9% puas dan 41,2%
tidak puas. Adapun keluhan para orang tua yaitu; kurikulum yang sangat

53
membebani murid, mutu yang tidak membanggakan dari model yang
diterapkan, termasuk kebijakan gonta-ganti kurikulum. Sebagian besar
orang tua, sekitar 80%, menyatakan bahwa anak mereka baik yang
duduk di bangku SD, SMP, maupun SMA mengeluh tentang bebab
pelajaran.
Dengan kondisi yang demikian itu, baik karena sifat utinnya
maupun bebab yang ada padanya, sangat wajar manakala hari libur
memang saat-saat paling menyenangkan — bahkan sangat dinantikan
— dalam kehidupan pelajar / siswa Indonesia.
Hegemoni yang dapat muncul dalam teks ini adalah bahwa
sekolah adalah sebuah dunia yang membosankan dan menyiksa.
Membosankan karena sifat kerutinannya sekaligus tidak
mengembangkan nilai-nilai kreatifitas. Menyiksa karena berisi hal-hal
yang jauh dari sifat menyenangkan, misalnya sekedar menghafalkan
saja.

Saran Bacaan
Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Raykat untuk
Anak di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sugihastuti. 1996. Serba-Serbi Cerita Anak-Anak. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

54
Bab VI
dari Kritik
sampai Perbandingan
“Apakah Anda alergi terhadap kritik?
Jangan buru-buru menjawab “tidak”

D
alam realitas, masyarakat masih belum bisa menerima
“binatang jalang” yang bernama kritik. Berbeda pendapat
saja masyarakat masih belum terbiasa. Berbeda pendapat
seolah dianggap memusuhi dan anti. Mereka yang acap melontarkan
kritik seringkali dicap sebagai antikemapanan, keluar dari sistem, juga
cap-cap negatif lain. Karenanya, wajarlah kehidupan kritik di Indonesia
demikian gersang.
Hal tersebut tidak hanya dalam kehidupan sosial. Dalam dunia
sastra pun terjadi. Itulah sebabnya J.E. Tatengkeng lebih menyukai
istilah penyelidikan daripada kritik kesusastraan karena istilah kritik
masih bermakna “tajam sekali bunyi perkataan itu” atau “selalu
merusakkan, mematikan” (Hardjana, 1994: 7).
Di dalam filsafat Timur Jauh ada istilah yin-yang. Inti dari filsafat
ini adalah: di dalam kegelapan pasti ada setitik sinar terang dan di
dalam sinar terang yang paling terang pasti ada setitik kegelapan.
Filsafat yin yang mengajarkan perlunya peran keseimbangan. Dapat
disebut atas karena ada bawah. Boleh dinamakan kaya pastilah karena
ada yang miskin. Keseimbangan perlu sebagai bagian kehidupan agar
kesemuanya memiliki kontrol terhadap sesuatu. Dalam kaitannya
dengan sastra, kritik berguna untuk meluruskan atau mengontrol hasil
karya sastra.

55
Kritik sastra berguna untuk perkembangan (Pradopo: 1995: 93):
1. ilmu sastra
2. kesusastraan (aspek kreatifitas atau karya sastra)
3. sebagai penerangan kepada masyarakat

Asal-Muasal
Lima ratus tahun SM Xenophanes dan Heraclitus mengecam
Hoeros yang suka mengisahkan cerita tidak senonoh dan bohong
tentang dewa-dewi. Pada 405 SM penyair Aristophanes mengecam
penyair tragedi Euripides yang terlalu menjunjung nilai kesenian
tetapi mengabaikan nilai sosial (Hardjana, 1994: 1). Keduanya
berangkat dari hal yang berbeda. Xenophanes dan Heraclitus berangkat
dari moral sementara Aristophanes lewat aspek kema-syarakatan.Buku
kritik tentang sastra yang pertama berjudul Criticus yang ditulis Julius
Caesal Scaliger (1484-1558).
Istilah kritik berasal dari krites yang berarti hakim. Kata itu
bermula dari krinein yang berarti menghakimi dan merupakan pangkal
dari kriterion yang berarti dasar penghakiman. Kemudian muncullah
kritikos yang berarti hakim karya sastra. Pengertian itu terdapat pada
abad IV sebelum Masehi. Dalam sastra Latin klasik istilah criticus
jarang dipakai. Criticus bermakna 'arti yang lebih tinggi” atau “penafsir
naskah dan asal-usul berbagai kata”. Dalam sasta Inggris istilah
criticism (kritik sastra, kritik sebagai ilmu) dimulai oleh penyair John
Dryden di tahun 1677. Kemudian sejak abad XVIII istilah criticism
menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari pendidikan dan
pengajaran sastra. Kritik sastra didefinisikan sebagai hasil yang
didapatkan pembaca dari penentuan nilai hakiki karya sastra melalui
pemahaman dan penafsiran yang disampaikan dalam bentuk tertulis
(Hardjana, 1994: xi, 2, 5-6).

56
Kritik sastra dapat diartikan sebagai:
1. Kritik atas (teks) sastra.
2. Kritik sastra sebagai bagian dari ilmu sastra.
Keduanya sering dirancukan. Namun, biasanya istilah kritik sastra
bermakna untuk kritik atas teks sastra.

Lintasan Sejarah
Secara sederhana kritik sastra merupakan suatu batasan
terhadap karya sastra. Melihat sejarah sastra Indonesia, Nota Rinkes
dapat disebut sabagai patokan di dalam kritik sastra. Isi Nota Rinkes
yang dikeluarkan oleh Belanda dengan penerbit Balai Pustaka: yaitu
tidak berpolitik, tidak menyinggung masalah agama, tidak
menyinggung kesusilaan masyarakat, bersifat mendidik. Patut diketahui
tentang pengubahan Salah Asuhan karya Abdul Muis karena Nota
Rinkes. Karena Nota Rinskes juga sehingga Belenggu karya Armin
Pane ditolak sama sekali oleh Balai pustaka (Pradopo, 1995: 97).
.Perintis kritik sastra Indonesia adalah Sutan Takdir Alishahbana dan
Armijn Pane, yaitu dengan sejak terbitnya majalah Pujangga Baru
(Yudiono KS, 1990: 36).
Menurut Pradopo (1995: 96) kritik sastra Indonesia pertama
ditulis oleh Mohammad Yamin berjudul “Sejarah Melayu” (Jong
Sumatra, no. 2-3 Th. 1920: 26-28) dan “Syair Bidasari” (Jong Sumatra,
no. 6 Th. 1921: 7-10). Sedangkan kritik sastra Indonesia sebagai
bagaian dari ilmu, pertama kali di dalam majalah Panji Pustaka tahun
1932.
Kritik sastra Indonesia baru muncul tiga aliran, yaitu: kritik
sastra Lekra di tahun 1959-1965; kritik sastra Rawamangun; dan kritik
sastra Ganzheit di tahun 1968 (Yudiono KS, 1990: 43). Masih ada dua
yang belum tercakup, yaitu: seni untuk seni versus seni untuk
masyarakat dan kritik sastra kontekstual yang marak di tahun 1985-an.

57
Dengan demikian, dapat dirangkum sebagai berikut.
1. Kritik seni untuk seni lawan seni untuk masyarakat.
2. Kritik Manifes Kebudayaana lawan kritik Lekra.
3. Kritik Rawamangun lawan kritik Ganzheit.
4. Kritik kontekstual lawan universal.
Pada masa Pujangga Baru terjadi polemik antara Sutan Takdir
Alisjahbana dengan Sanusi Pane dkk. Polemik itu sebetulnya dapat
dibagi atas tiga bagian, yaitu:
1. Agustus-September 1935 di majalah Pujangga Baru dan Suara Umum,
antara Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, dan Dr. Poerbatjaraka.
2. Oktober 1935-April 1936 di Pujangga Baru, Suara Umum, Pewarta
Deli, Wasita; antara Sutan Takdir Alisjahbana, Dr.Sutomo,
Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan Ki Hadjar Dewantara.
3. Juni 1939 di Pujangga Baru dan Pewarta Deli; antara Sutan Takdir
Alisjahbana dan Dr. M. Amir.
Polemik itu berisi arah kebudayaan Indonesia. Pihak satu
beranggapan kebudayaan Indonesia harus meniru kebudayaan Barat.
Pihak lain beranggapan kebudayaan Indonesia harus tetap berakar di
Timur. Sutan Takdir Alisjahbana (STA) mewakili Barat dan Sanusi
Pane (STA) mewakili pendapat tentang Timur. STA beranggapan seni
harus berguna bagi masyarakat, SP berpandangan bahwa seni melulu
untuk dirinya sendiri.
Menurut Subagya Sastrowardoyo (Horizon, 1986: 16) sikap
Alisjahbana dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Kecenderungan kurang menghargai budaya tradisional.
2. Beroreantasi pada kebudayaan Barat daripada kebudayaan sendiri.
3. Ada keterasingan dari rakyat & lingkungan kebudayaan pribumi.
4. Mengandung pandangan yang melebihi rata-rata pengetahuan
masyarakan sekelilingnya karena bacaan barat dan pergaulan yang
bersifat elistis.

58
5. Kurang kritis dan realistis terhadap kebudayaan Barat karenanya
cenderung memuja dengan membabi buta.
6. Budaya Barat merupakan model ideal bagi kebudayaan Indonesia.
7. Kegelisahaan antara kebudayaan Barat dan Timur.
8.Pengutamaan unsur individualisme, rasionalisme, positivisme,
intelektualisme, materialisme.
9. Semangat berapi-api untuk menyamai posisi Barat.
10.Penekanan dunia kini daripada soal akhirat.
Penamaan manifes Kebudayaan mewadahi konsep HB Jassin,
Wiratmo Soekita dkk yang menolak politik sebagai panglima. Kritik
Lekra menyatakan politik sebagai panglima, termasuk panglima untuk
sastra. Dalam kritik Lekra, sastra merupakan wahana bagi
penyebarluasan paham komunisme.
Tahun 1968 terjadi perdebatan kritik sastra antara aliran
Struktural dan Gestald. Aliran struktural, disebut juga Rawamangun,
dimotori MS Hutagalung, Saleh Saad, dan S. Efendi. Gestald
digelorakan Arif Budiman dan Gunawan Mohammad. Aliran
Rawamangun berangkat dari kritik akademik. Intinya bahwa karya
sastra dapat dianalisis bagian per bagian. Aliran Gestald justru menolak
cara itu. Aliran Gestald berpandangan bahwa kritik harus berangkat dari
keutuhan (keseluruhan) dan bukan dari bagian per bagian. Kritik
Ganzheit memandang teks sastra sebagai sebuah organisme yang
hidup.
Tahun 1985 terjadi perdebatan tentang sastra kontekstual.
Sastra kontekstual dipelopori Arif Budiman dan Ariel Heryanto.
Kontekstual berarti sesuai dengan tempat dan waktu. Hal ini berangkat
dari asumsi bahwa pemahaman terhadap sastra terikat oleh waktu dan
tempat. Tidak ada teks sastra yang bebas waktu dan tempat.
Kontekstual merupakan lawan dari universal. Memang diakui
bahwa kontekstual berangkat dari pertanyaan: apakah segala sesuatu

59
selalu bersifat universial, misalnya, keindahan? Apakah keindahan
menurut orang Jawa akan sesuai dengan keindahan menurut orang
Eskimo. Kontekstual menolak anggapan tentang keuniversalan karya
sastra.
Yang utama adalah faktor tempat dan waktu. Waktu diperlukan
untuk dapat mengubah segalanya. Arus globalisasi, teknologi, dan
informasi membuat bata-batas wilayah fisik menjadi semakin tidak ada
artinya. Patut diingat bahwa hal ini berangkat dari asumi bahwa karya
sastra merupakan cerminan dari keadaan masyarakat. Dalam istilah
Abrams bahwa karya sastra itu bersifat mimetik. Jika asumi ini
ditanggalkan, kontekstual tadi menjadi sirna.
Sebenarnya persoalan berkisar perihal budaya yang bersifat
tempat dan waktu. Karenanya, tidak bersifat universal. Ayam
sebagai binatang bisa saja sama antara satu tempat dengan tempat
lainnya. Namum, makna dari bergantung kepada masyarakatnya,
misalnya.
Aspek kritik sastra meliputi: analisis, interpretasi, dan evaluasi.
Berdasarkan metodenya terdapat tiga jenis kritik sastra.
1. Kritik judisial, yaitu kritik yang berusaha menganalisa dan
menerangkan efek karya sastra berdasarkan pokok, organisasi,
teknik dan gaya. Kritik ini berdasarkan pertimbangan individual
kritikus atas dasar standar umum tentang kehebatan dan
keluarbiasaan sastra. (mimetik)
2. Kritik induktif ialah kritik yang menguraikan bagian-bagian atau
unsur karya sastra berdasarkan fenomena yang ada secara objektif.
(struktural)
3. Kritik impresionistik ialah kritik yang mengambarkan sifat yang
terasa dalam bagian khusus pada sebuah karya sastra, dan
mengekspresikan tanggapan-tanggapan kritikus yang ditimbulkan
secara langsung oleh karya sastra tersebut, yaitu kesan kritikus yang
baik terhadap teks.
60
Ada 3 perbedaan pokok antara kritik judisial dan induktif.
Pertama, kritik judisial mengakui adanya perbedaan tingkat
karya sastra yang dikarenakan susunan norma yang berbeda; kritik
induktif tidak mengakuinya. Dalam kritik judisial ada karya baik/
tinggi mutunya dan karya kurang baik/ jelek mutunya. Kedua, Kritik
judisial mengakui adanya hukum-hukum di luar sastra, seperti hukum
moral dan negara; kritik induktif tidak mengakuinya. Kritik judisial
barangkat dari sosiologis dan kritik induktif otonomon struktural.
Ketiga, kritik judisial berangkat dari ukuran yang baku dan tetap; kritik
induktif berangkat atas pertimbangan tak ada kriteria yang permanen
dan abadi (Pradopo, 1994: 29-30, 93-96).
Kritik judisial dan induktif dikemukakan oleh W.H. Hudson.
Sedangkan Abrams mengemukakan kritik judisial dan impresionistik.
Berdasarkan isinya terdapat 3 kritik sastra (Hardjana, 1994:
26-28).
1. Kritik historis, yaitu kritik yang mencari dan menentukan hakekat &
ketajaman pengungkapan karya di dalam jalinan historisnya.
Termasuk di sini menyangkut keaslian teks dan dokumen. Kritik
historis berkait dengan studi filologi. Teks dikaitkan dengan atau
berdasarkan atas hasrat, minat, serta latar belakang pengarangnya
2. kritik rekreatif, berisi kesan artistik dari sang kritikus.
3. kritik penghakiman, berisi penentuan nilai dari teks yang
bersangkutan. Kriteria penilaian berdasar atas: estetik, epistemis,
dan normatif. Estetik berkaitan dengan pencapaian segi seni.
Epistemis berkaitan dengan kebenaran-kebenaran dalam ukuran
semesta. Normatif berkaitan dengan kepentingan, keagungan, dan
kedalaman sikap jiwa dari sang pengarang yang tersaji lewat teks.
Ada 3 paham penilaian (Pradopo, 1994: 49-50), yaitu:
1. Relativisme, penilaian yang menghendaki “tidak adanya penilaian
lagi”. Sekali dinilai bagus/buruk, maka berlaku sepanjang masa.

61
2. Paham absolutisme, penilaian yang berdasarkan atas paham-paham,
aliran, politik, moral tertentu, misal L'art poer l'art yang berlawanan
dengan hakikat objek karya sastra yang bersangkutan. Ada dua
pengertian di sini. Pertama, karya sastra diukur lewat hal-hal yang
bersifat ekstrinsik, yang berada di luar karya sastra. Kedua, karya
sastra dinilai berdasarkan tolok ukur yang keliru. Teater tradisional
Indonesia diukur dinilai dengan kaca mata teater Yunani, misalnya.
3. Paham persepektivisme, penilaian dari berbagai sudut pandangan.
Berdasarkan penulis/coraknya terdapat 2 jenis kritik sastra
yaitu: kritik sastrawan dan kritik akademik.

Perbandingan
Menurut Remak sastra bandingan memiliki arti.
1. Kajian sastra yang melampui batas negara.
2. Membandingkan sastra dengan seni lain.
Kedua definisi tersebut merupakan mashab Amerika dan Perancis.
Untuk definisi yang pertama Amerika dan Perancis sependapat. Untuk
definisi yang kedua, mashab Perancis menyebutnya bukan sebagai
sastra bandingan tetapi seni bandingan. Menurut Holman (1984), sastra
bandingan harus memiliki perbedaan bahasa dan negara. Menurut
Pichais dan Rousseau (1972) sastra bandingan berupaya mencari
kemiripan dan pengaruh. Teks yang dibandingkan boleh berjauhan
dalam ruang dan waktu, boleh juga tidak.
Untuk membandingkan menurut Prower ada 3 faktor yang perlu
diperhatikan:
1. Sosial, yaitu adanya kemiripan antar dua masyarakat, daerah atau
negara.
2. Literer, yaitu adanya pengaruh dari satu daerah ke daerah lain.
3. psikologis, yaitu adanya kemiripan reaksi/tanggapan sastrawan
terhadap suatu hal.

62
Menurut Clements pendekatan dalam sastra bandingan dapat
berupa adanya persamaan:
1. Genre/bentuk.
2. Periode, aliran, zaman dan pengaruh.
3. Tema/mitos.
4. Hubungan sastra dengan seni lain.
5. Keterkaitan sastra untuk menjelaskan perkembangan teori sastra
dan kritik.
Menurut Ikram, dalam membadingkan harus berdasar adanya
unsur persamaan. Menurut Damono batasan Remak tadi berangkat
dari anggapan bahwa satu bangsa berasal dari satu kebudayaan yang
padu.
Bagaimana dengan sastra Indonesia, Jawa, dan Sunda ?
Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan. Dalam sastra
bandingan selain mengandung perbedaan negara, kebudayaan, juga
perbedaan bahasa. Rupaya, Damono berangkat dari situ, hingga
Damono setuju bahwa sastra bandingan juga mencakup perbedaan 2
bahasa tanpa harus ada perbedaan negara.
Menurut Mahayana di dalam membandingkan harus ada tiga
perbedaan, yaitu bahasa, wilayah, dan politik.
Dalam buku ini, membandingkan sastra perlu adanya
persamaan. Persamaan dapat berupa:
1. Pengarang (nama, aliran, angkatan, zaman), a t a u
2. Teks (tema, tokoh, judul, latar, sudut pandang).
Berkaitan dengan perbandingan, ada beberapa istilah yang perlu
dijelaskan lebih lanjut sebagaimana tersebut di bawah ini.
Sastra Indonesia merupakan sastra yang berbahasa Indonesia
dan ditulis oleh orang Indonesia. Sastra Nusantara merupakan sastra
yang ada di wilayah Indonesia (bukan wilayah Nusantara) —
masalah wilayahnya. Bandingkan dengan pendapat Rosidi. Jika yang
dimaksud adalah wilayah Nusantara yang lebih luas dari wilayah

63
Indonesia, maka bukan sastra Nusantara, tetapi sastra Melayu). Sastra
Daerah yaitu sastra dengan menggunakan bahasa yang ada di
wilayah Indonesia — masalah bahasanya. Sastra dunia yaitu sastra
di dunia yang sudah dianggap bernilai klasik, misalnya: Don Quisote,
atau karya-karya Faulkner, Camus, Goethe (Remak). Sastra umum
yaitu sastra yang melampui batas negara/bangsa, misalnya: sastra
terjemahan. Sastra mancanegara yaitu sastra di luar sastra Indonesia.
Sastra nasional yaitu sastra suatu negara.
Sastra klasik dipandang dari masalah waktu. Sastra besar :
dipandang dari masalah nilai, yaitu menjunjung atau mengingatkan
kembali akan nilai harkat kemanusiaan. Ingat kembali dengan istilah
membuat manusia menjadi berkontemplasi (merenung). Sastra best
seller: dilihat dari jumlah pembacanya (oplah yang terjual)
Terjemahan yaitu alih bahasa dengan sumber asli disebutkan.
Hal ini berbeda dengan alih huruf. Jiplakan/plagiat terjadi manakala tak
disebutkan sumber asli. Saduran yaitu penulisan kembali sesuatu
dengan sumber asli disebut, bisa ditambah bisa dikurangi. Adaptasi
yaitu penulisan kembali dengan sumber asli disebut, disesuaikan
dengan kondisi masyarakat setempat. Versi/varian yaitu penulisan
kembali dengan memandang dari sudut lain, misalnya sebuah lagu
versi Indonesia, versi Jawa, atau versi daerah lain.
Disebut pengaruh manakala adanya kesamaan konsep, pikiran
meliputi teknik, komposisi, ide, pikiran, sikap hidup. Pengaruh, jika
dilihat dari kualitas, dapat dibedakan dicerna dan tidak dicerna. Jika
dilihat dari kuantitasnya, dapat dibedakan individu dan kelompok
Epigon adalah mereka yang ikut-ikutan tanpa adanya pengolahan /
kepribadian.
Dalam membandingkan karya sastra, ada istilah.
1. Sinkronik, membandingkan karya sastra di satu kurun waktu (jaman,
angkatan, periode)

64
2. Diakronik, membandingkan karya sastra dalam kurun waktu yang
beda
Dalam telaah diakronik perlu adanya 3 hal, yaitu sastra sebagai :
1. mitos, yaitu boleh dipercaya boleh tidak
a. pembebasan, gambaran yang berlawanan dengan kenyataan,
misalnya guru yang mewah
b.pengukuhan, gambaran yang sama dengan kenyataan,
misalnya: guru yang sederhana
2. dicipta tidak dalam kekosongan, yaitu selalu berkaitan dengan
masyarakat
a. pikiran (bukan langsung bisa tetapi dari proses belajar)
b. merupakan kelanjutan dari tradisi sastra jaman sebelumnya
c. budaya (selalu ada kaitannya dengan masyarakat)

3. proses Kreatif , yaitu setiap karya selalu berbeda dengan karya yang
lain. (Contoh Roro Mendut versi Mangunwijaya dan Ayip Rosidi)
a. pengukuhan (konvensi) cerita sesuai pakem
b. pembebasan (inovasi)

Saran Bacaan

Hardjana, Andre. 1994. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta:


Gramedia.
Mihardja, Achdiat K. 1998. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai
Pustaka.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode
Krtitik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stallknecht, Newton P. dan Horst Frenz. 1990. Sastra Perbandingan,
Kaedah dan Perspektif. Terjemahan Sahlan Modh. Saman.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pendidikan Malaysia.
65
Bab VII
dari Pariyem
sampai Firdaus
Banyak remaja putri mengosumsi ekstasi dan telah kehilangan
keperawanan.(Kompas, 29 September 1996: 13)

H
al tersebut bukan barang baru di Indonesia. Setiap manusia
pasti menghadapi persoalan. Lari dari persoalan bukanlah
penyelesaian yang baik. Langkah yang tepat adalah
menyelesaikan persoalan tadi. Kehilangan keperawanan merupakan
salah satu persoalan. Namun, mengosumsi ekstasi bukanlah
penyelesaian. Langkah tersebut merupakan awal memerosokkan diri.
Kecenderungan berekstasi merupakan indikasi bahwa wanita Indonesia
kurang bahagia. Guna mencari kebahagian itu mereka menyalurkannya
lewat cara yang keliru.
Pembangunan di segala bidang di Indonesia berupaya
membangun manusia Indonesia seutuhnya, baik lahir maupun batin.
Dalam bahasa sederhana, pembangunan hendak menjadikan manusia
Indonesia menjadi bahagia. Pembangunan tidak hanya mengeksploitir
perihal lahir. Jika demikian halnya, dapat mengakibatkan secara
ekonomi tinggi, tetapi secara batiniah kosong alias tidak bahagia. Akibat
selanjutnya, ketidakbahagian dibeli lewat jalan apa saja.
Masalah dalam tulisan ini adalah sebagai berikut. Satu,
bagaimanakah kepribadian Firdaus dalam novel Perempuan Di Titik Nol
karya Nawal el-Saadawi. Dua, bagaimanakah kepribadian Pariyem
dalam novel Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa
karya Linus Suryadi AG. Tiga, nilai apakah yang dapat membuat
Pariyem bahagia?
Kajian perbandingan pernah ditulis Lestari. Lestari (1990)
membandingkan latar dongeng Jaka Tarub (Jawa) dengan dongeng
66
Hagorono (Jepang). Mahayana (1990) menyandingkan cerpen “Godlob”
karya Danarto dengan cerpen “Dajjal” karya Mana Sikana. Savina
(1990) meneliti novel The Woman Warrior: Memoirs of a Girlhood
among Ghosts karya Maxine Hong Kingston dan Birds of Passage karya
Brian Castro. Dermawan (1990) menganalisis novel Khotbah di Atas
Bukit karya Kuntowijoyo dengan Rumah Perawan karya Yasunari
Kawabata.
Wahyudi (1990) membandingkan cerpen Putu Wijaya dan
Pamusuk Eneste. Hamidi (1990) meneliti unsur mistik dalam Atheis
karya Achdiat Kartamihardja. dan The Bridge of San Luis Rey karangan
Thornton Wilder. Wasono (1990) menyandingkan Pulang karya Toha
Mohtar (Indonesia) dan Senja Belum Berakhir karya Azizi Haji Abdullah
(Malaysia).
Utomo (1990) membandingkan Un Coeur Simple karya Gustave
Flaubert dan Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG. Utomo
memfokuskan perbandingannya pada tema. Baik karya Flaubert
maupun Linus Suryadi memiliki kesejajaran perihal sikap tanggapan
pembantu terhadap majikannya. Tanggapan tersebut berupa sikap
menerima apa pun perlakuan yang diberikan oleh sang majikan, sikap
siap memafkan kekurangan dan kesalahan majikan, sikap siap membalas
kebaikan sekecil apapun dengan balasan yang berlipat-lipat.
Pengakuan Pariyem pernah diteliti Soemanto (1999).
Pengakuan Pariyem merupakan manifestasi kemanusiawian yang
menyejarah. Pandangan hidup yang mengalir dari tokoh Pariyem
menampak dalam pengakuan Pariyem kepada Paiman. Soemanto juga
menyatakakan bahwa priyayi dan wong cilik hanya dapat hidup
berdampingan mesra, tanpa penindasan manakala ada syarat tertentu.
Syarat tersebut beruwujud keagungbinataraan. Pengakuan Pariyem
merupakan karya sastra yang longgar. Kelonggarannya tercermin dari
sifat jiwa pengakuan yang lisan dan santai.

67
Kajian ini berangkat dari pendapat Clements, Pichais dan
Rousseau, yaitu membandingkan karya sastra yang berangkat dari
adanya persamaan. Persamaan yang ada dalam tulisan ini adalah
masalah tokoh, adanya persamaan tokoh yang berwujud manusia yang
berjenis kelamin wanita.
Spranger (via Suryabrata, 1982: 103) menggolongkan sifat
manusia menjadi enam tipe, yaitu manusia: teori, ekonomi, estetis,
agamis, sosial, kuasa.
Penggolongan tipe kepribadian itu dapat dilacak atas lima
kriteria. Satu, gaya hidup tokoh. Dua, orentasi pada unsur apa. Tiga,
pengutamaan pada nilai apa. Empat, pola hidup tokoh. Lima,
kecenderungan tokoh bekerja dengan kemampuan apa.
Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut.
Satu, kepribadian Firdaus dalam Perempuan Di Titik Nol karya Nawal
el-Saadawi. Dua, kepribadian Pariyem dalam Pengakuan Pariyem:
Dunia Batin Seorang Wanita Jawa karya Linus Suryadi AG. Tiga, nilai
yang dapat Paeiyem dan wanita Indonesia bahagia.
Metode yang dipakai adalah analisis dan perbandingan. Untuk
menganalisis kepribadian tokoh dipergunakan ilmu bantu psikologi.
Alat ukur yang digunakan adalah angket dengan teknik introspeksi.
Maksudnya, bahwa yang menjawab angket adalah peneliti yang telah
mendapatkan data/informasi tokoh dari teks sastra.

Antara Pariyem dan Firdaus


Tokoh utama Perempuan di Titik Nol (PdTN) ialah Firdaus.
Firdaus memiliki ciri kepribadian gabungan antara manusia teori,
ekonomis, dan kuasa. Secara lebih rinci Firdaus berciri: berpendidikan
sekolah menengah, gemar membaca buku, cerdas, penuh percaya diri,
senang berkuasa dan memerintah orang lain, serta Firdaus benci
sekaligus dendam kepada lelaki.

68
Tokoh utama Pengakuan Pariyem (PP) adalah Pariyem. Pariyem
memiliki ciri: seorang pembantu rumah tangga yang berasal dari desa,
pernah bersekolah sampai tingkat sekolah dasar, agamis, berperangai
halus, dan pasrah.
Bahagia didefinisikan sebagai sebuah situasi yang tanpa konflik
kejiwaan. Manakala terdapat konflik, konflik tersebut tidak membuat
sang tokoh menjadi stress.
Dalam perjalanan hidupnya tokoh Firdaus menghadapi
berbagai pengalaman dan konflik dengan lingkungannya. Ketika masih
kecil Firdaus telah mendapatkan pengalaman seksual. Pada saat itu
Firdaus dapat merasakan kenikmatan seksual.
tidur tumpukan jerami di bawah teratak yang terbuka. Bau jerami
menggeltik hidung saya, dan sentuhan jarinya bergerak menelusuri
tubuh saya. Seluruh tubuh saya gemetar karena rasa nikmat yang tak
asing lagi jauh di masa lalu, yang timbul dari sumber yang tidak
diketahui, dari titik di luar diri saya yang sulit ditentukan.
(Saadawi, 1992: 37)
Seperti Firdaus, Pariyem pernah mendapatkan pengalaman
seksual, tetapi Pariyem dapat mencapai kebahagian dalam berhubungan
seksual (klimaks). Pariyem menikmati hubungan tersebut.
Paha saya dirabanya
rabaan pertama dari seorang pria
Pinggul saya diremetnya
remetan pertama dari seorang pria
Dan pusar saya dijilatinya
jilatan pertama dari seorang pria
O, Allah, jagad gelap gulita!
(Suryadi AG, 1999: 82)

Antara Pariyem dan Firdaus sama-sama sudah tidak perawan.


Maksudnya, bahwa hubungan seksual yang pertama kali tidak dilakukan

69
dengan sang suami. Di belakang hari, berlawanan dengan Pariyem,
Firdaus justru tidak lagi dapat menikmati kehidupan seksual. Padahal,
Firdaus sendiri mengakui bahwa dirinya masih muda dan bertenaga.
Di atas tempat tidur mewah yang lembut, saya menutup mata dan
membiarkan tubuh saya melepaskan diri dari saya. Tubuh itu masih
muda dan bersemangat, cukup kuat untuk bertahan, cukup bertenaga
untuk melawan.
(Saadawi, 1992: 142)

Firdaus dan Pariyem sama-sama menghadapi masalah dengan


lingkungannya.
Karena sering berhubungan seksual dengan Bagus Ario Atmojo,
Pariyem pun hamil. Kehamilan inilah yang menjadi konflik Pariyem.
Konflik batin Pariyem mengalir, apakah Pariyem akan dinikahi oleh
Bagus Ario Atmojo atau Pariyem akan diusir pergi.
Jenis konflik yang menimpa Pariyem adalah pribadi, yaitu
konflik yang ada di dalam batin Pariyem sendiri (intra-personal). Hal
tersebut masih diperkuat oleh judul novel ini: Dunia Batin Seorang
Wanita Jawa.
Meski hamil Pariyem tetap tenang dan ikhlas. Sikap ikhlas
membuat Pariyem menghargai lelaki dan tetap dapat menikmati
kehidupan seksualnya.
Bahkan kalau saya sudah gatal
Den Baguse saya bujuk, saya goda
Dia pun menyambut penuh kegairahan
O, Allah, bikin saya ketagihan!
(Suryadi AG, 1999: 181)
Akhirnya, Pariyem dinikahi oleh Bagus Ario Atmojo.
Sebenarnya ini hanya tindakan formalitas saja, sebab pernikahan
dilakukan di desa Wonosari dan Pariyem diminta keluarga Cokro
Sentono untuk tinggal di Wonosari guna membesarkan bayinya (Suryadi

70
Meskipun dinikahi, dapat dilihat bahwa status Pariyem tetap
sebagai pembantu rumah tangga, bukan istri Bagus Ario Atmojo.
Mas, Paiman, O, mas Paiman
Saya tetap tinggal sebagai sediakala
saya tetaplah sebagai babu yang setia
Sebagai babu Ndoro Kanjeng Cokro Sentono
di ndalem Suryamentaraman Ngayogyakarta
Tapi kurang suatu apa saya sudah bahagia
(Suryadi AG, 1999: 132)

Status Pariyem mendua, istri sekaligus pembantu rumah tangga,


Pariyem tetap pasrah dan nrimo — menerima diri. Hal inilah yang
dinamakan penyebab konflik. Istilah penyebab konflik sebenarnya
kurang tepat. Akan lebih tepat jika disebut peredam konflik. Sikap
pasrah membuat Pariyem tidak memberontak terhadap sang majikan.
Jadilah, Pariyem tetap dapat menikmati kehidupan seksualnya.
Dalam bahasa Freud, sikap menerima diri dan pasrah disebut
memiliki superego tinggi. Pengertian superego mencakup keselarasan
individu dengan lingkungan atau orang lain (menerima diri) dan
keselarasan individu dengan Tuhan (pasrah). Meskipun mendapatkan
konflik berat Pariyem tetap menghargai lelaki dan dapat menikmati
kehidupan seksualnya. Pariyem tetap menjadi perempuan yang bahagia.
Di lain pihak, Firdaus justru tidak dapat menikmati kehidupan
seksual sebagaimana Pariyem. Ketika masih kecil Firdaus mendapatkan
perlakuan seksual dari pamannya. Paman Firdaus melakukan tindak
pelecehan seksual terhadap Firdaus.
Gemetar sekujur tubuh saya, dicekam oleh sebuah perasaan yang tak
dapat saya jelaskan, bahwa jemari Paman saya yang besar dan
panjang-panjang itu bergerak ke arah saya tak lama kemudian, dan
secara hati-hati mengangkat selimut di atas tubuh saya. Kemudian

71
bibirnya menyentuh muka dan menekan mulut saya, dan jari-jarinya
yang gemetar akan menelusur perlahan-lahan ke atas sepanjang paha
saya.
(Saadawi, 1992: 31-32)

Sebagai perempuan, Firdaus melihat bahwa ada perbedaan


perlakuan terhadap perempuan dan lelaki, termasuk perhatian yang
berlebih dari pihak ibu kepada ayah dibandingkan kepada Firdaus,
sebagai anak perempuan. Seorang ayah, sebagai lelaki, mendapatkan
perlakuan yang istimewa. Seorang ayah tega menyantap makanan,
sementara anak-anaknya termasuk yang berjenis kelamin perempuan,
perutnya kelaparan karena kosong tanpa isi.
Perlakuan yang berbeda menunjukkan konflik Firdaus. Konflik
terjadi dalam diri Firdaus. Dengan begitu, konflik Firdaus termasuk
jenis konflik pribadi atau intra-personal. Karena mendapatkan
perlakuan yang berbeda, secara tidak sadar membuat Firdaus membenci
dirinya sendiri. Lambat laun Firdaus menjadi benci kepada lelaki.
Setelah lulus sekolah menengah Firdaus dinikahkan oleh
pamannya dengan Syeikh Mahmoud, seseorang yang sudah tua dan
tidak dicintai Firdaus. Dalam pernikahan, Firdaus tidak dapat
menikmati kehidupan seksualnya. Karena tidak tahan, Firdaus lari dari
Syeikh Mahmoud. Firdaus bertemu dengan Bayaoumi, yang semula
tampak lemah lembut dan baik hati. Ternyata kemudian Bayoumi adalah
lelaki yang menjijikkan. Bayoumi secara bergantian bahkan mengajak
teman-temannya untuk berhubungan seks dengan Firdaus.
... Kemudian pada suatu malam, tubuhnya seakan-akan lebih berat
dari biasa, dan napasnya berbau lain, maka saya buka mata saya.
Ternyata wajah di atas saya bukan wajah Bayoumi.
“Siapa kau?” kata saya.
“Bayoumi,” jawabnya

72
Saya mendesak, “Kau bukan Bayoumi. Siapa kau?”
“Apa sih bedanya? Bayoumi dan aku adalah sama.”
(Saadawi, 1992: 72-73)

Perlakuan tersebut menyebabkan munculnya bibit pelacur dalam


diri Firdaus. Karena tak tahan, akhirnya Firdaus pun melarikan diri dari
Bayoumi. Firdaus bertemu dengan Sharifa, seorang germo yang
mengajarkan soal nilai-nilai otoritas.
... Lelaki tidak tahu nilai seorang perempuan, Firdaus. Perempuan
itulah yang menentukan nilai dirinya. Semakin tinggi kau menaruh
harga bagi dirimu semakin dia menyadari hargamu itu yang
sebenarnya, dan dia akan bersiap untuk membayar dengan apa yang
dimiliknya. Dan bila dia tidak memilikinya, dia akan mencuri dari
orang lain untuk memberimu apa yang kau minta.”
(Saadawi, 1992: 79)
Suatu hari Di'aa, seseorang yang telah dianggap kawan oleh
Firdaus mengatakan bahwa pekerjaan Firdaus sebagai pelacur adalah
tidak terhormat (Saadawi, 1992: 102). Sejak kejadian itu Firdaus beralih
profesi menjadi karyawan di sebuah pabrik. Di sini Firdaus bertemu
dengan Ibrahim. Firdaus belajar mencintai lelaki. Firdaus jatuh cinta
kepada Ibrahim. Ibrahim pun pada awalnya juga jatuh cinta kepada
Firdaus, tetapi kemudian cinta Firdaus bertepuk sebelah tangan. Firdaus
patah hati. Kekecewaan dengan Ibrahim sungguh-sungguh memukul
hati dan perasaan Firdaus.
Pengalaman-pengalaman tersebut menjadikan Firdaus tidak lagi
dapat mempercayai lelaki.
Suatu perasaan cinta, menurut Freud (1983: 114), menginginkan
kepuasaan emosional dan sensual. Perasaan cinta adalah rasa keterkaitan
dan hubungan emosional. Jika harapan kepuasaan tak terpenuhi, maka
akan mengakibatkan hal yang berkebalikan dengan cinta, yaitu
kecenderungan untuk bermusuhan dan membalas dendam.

73
Saya menyadari kenyataan bahwa sebenarnya saya membenci lelaki,
tetapi bertahun-tahun lamanya telah menyembunyikan rahasia ini
dengan sangat hati-hati. Lelaki yang paling saya benci ialah mereka
yang berusaha menasihati atau yang berkata kepada saya bahwa
mereka ingin menyelamatkan saya dari kehidupan yang saya jalani.
...
Hidup perempuan selalu sengsara. Seorang pelacur, dalam pada itu,
nasibnya lebih baik. Saya telah sanggup meyakinkan diri-sendiri
bahwa saya telah memilih kehidupan ini atas kemauan sendiri.
(Saadawi, 1992: 129-129)

Firdaus akhirnya menjadi pelacur kembali dan semakin memiliki


keyakinan tentang profesi pelacur (Saadawi, 1992: 125-126). Perlakuan
yang diskriminatif dan kasar, dendam, masih ditambah sikap melawan
alias memberontak mendorong semua perangai Firdaus. Hal ini
dinamakan penyebab konflik. Situasi ini diperparah ego Firdaus yang
tinggi. Harga diri dan kepercayaan diri yang kuat membuat Firdaus
berani menolak seorang pejabat.

Pada kesempatan yang ketiga kalinya, ia menjelaskan kepada saya


bahwa menolak seorang Kepala Negara dapat dipandang sebagai
suatu penghinaan pada tokoh yang penting dan dapat menjurus pada
ketegangan hubungan antara dua negara.
(Saadawi, 1992: 131)

Harga diri, kepercayaan diri, kekecewaan, dan dendam bercampur


aduk jadi satu di hati Firdaus. Demikian dendam dan bencinya Firdaus
kepada lelaki. Di sini konflik pribadi telah berubah menjadi konflik
sosial.
.

74
.. Saya tahu bahwa profesi saya telah diciptakan oleh lelaki, dan bahwa
lelaki menguasai dua dunia kita, yang di bumi ini dan yang di alam
baka. Bahwa lelaki memaksa perempuan menjual tubuh mereka
dengan harga tertentu, dan bahwa tubuh yang paling murah dibayar
adalah tubuh sang isteri. Semua perempuan adalah pelacur dalam satu
atau lain bentuk. Karena saya seorang yang cerdas, saya lebih
menyukai menjadi seorang pelacur yang bebas daripada menjadi
seorang isteri yang diperbudak.
(Saadawi, 1992: 132-133)

Sebagai seorang pelacur tentu saja selalu berhubungan kelamin


dengan lelaki. Namun, Firdaus tidak pernah dapat merasakannya.
Pada suatu hari saya bertanya kepada Sharifa: “Mengapa saya tak
merasa apa-apa?”
“Kita bekerja, Firdaus, hanya bekerja. Jangan mencampuradukkan
perasaan dengan pekerjaan.”
(Saadawi, 1992: 81)

Firdaus menjadi perempuan yang tidak dapat lagi merasakan


kehidupan seksual.
Firdaus dan Pariyem sama-sama telah berhubungan seksual.
Mereka sama-sama miskin dan berpendidikan rendah. Hanya saja,
Firdaus lebih senang membaca buku, sementara Pariyem tidak. Pada
masa kemudian terjadi perbedaan. Pariyem sebagai pembantu rumah
tangga, sementara Firdaus sebagai pelacur kelas atas. Hal ini
menimbulkan akibat bahwa secara ekonomi Pariyem tidak kaya
sementara Firdaus sangat berkecukupan. Dampak dari sisi batiniahnya
adalah bahwa secara khusus Pariyem dapat menikmati kehidupan
seksnya, dan secara umum Pariyem menjadi wanita yang bahagia.
Firdaus dari sisi batiniah tidak bahagia karena tidak dapat menikmati

75
kehidupan seksnya. Seorang pelacur masih punya hak untuk dapat
menikmati kehidupan seks jadi hal ini bukan karena proefesi dia sebagai
pelacur.
Dalam diri Pariyem ditemukan konsep pasrah dan nrimo
(menerima diri). Dalam diri Firdaus ditemukan konsep melawan dan
memberontak. Firdaus memberontak karena perlakuan yang berbeda
antara lelaki dan wanita. Pariyem pun mengalami perlakuan yang
berbeda sebagai wanita. Hal ini dapat dilihat dari istilah atau teklek dan
lemek. Wanita dalam budaya Jawa, siang hari dijadikan lemek, alas kaki,
dan malam hari sebagai lemek, alas tidur (Hesri, 1981: 15).
Firdaus menderita karena perlakuan kasar yang diterimanya,
ditambah dengan egonya yang tinggi. Apalagi, saat Firdaus memiliki
kekayaan. Ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Harapan
Firdaus adalah perlakuan yang baik terhadap lelaki-laki dan wanita.
Situasi ini membuat Firdaus melawan dan memberontak lingkungannya.
Firdaus tidak bahagia karena tidak memiliki keselarasan antara harapan
dan kenyataan.
Pariyem tidak memberontak, tetapi menyelaraskan diri. Pariyem
mampu menyelaraskan antara harapan dan kenyataan (pasrah) serta
menyelaraskan antara kenyataan dan harapan (nrimo – menerima diri).
Harap dibedakan antara pasrah dan menerima diri. Pasrah berkaitanan
Tuhan, yaitu hubungan vertikal. Pengertian Tuhan agak kurang tepat
karena terlalu sempit. Akan lebih tepat manakala disebut berketuhanan.
Berketuhanan mencakup kepercayaan kepada sesuatu yang menguasai
jagad raya yang mengendalikan manusia — termasuk paham kejawen.
Menerima diri berkaitaan dengan masyarakat, yaitu hubungan
horisontal. Masyarakat di sini mencakup kemampuan ekonomi dan
hubungan sosial.
Dalam diri Pariyem, antara hubungan horisontal dan vertikal,
berkaitan atau berhubungan. Dalam diri Firdaus antara hubungan

76
vertikal dan horisontal tidak berhubungan alias terputus. Yang ideal
antara hubungan vertikal dan horisontal merupakan suatu yang
berkesinambungan. Dalam siklus ideal tersebut bukan berarti tanpa
konflik batin. Justru di sini timbul perjuangan untuk menyelaraskan
antara harapan dengan kenyataan, dan juga sebaliknya.
Kemampuan menyelaraskan diri, meminjam istilah Goleman
(1996; 1999), merupakan Emotional Intelegensia (EI) — kecerdasan
emosional. Salah satu dari kecerdasan emosional yaitu kecakapan
sosial atau kemampuan bergaul yang mencakup empati, memahami
perasaan dan menerima sudut pandang orang lain, serta menghargai
perbedaan.
Pariyem memiliki EI tinggi,. Dari sisi IQ (kecerdasan akademik)
Pariyem rendah karen berpendidikan rendah yang semakin ditunjang
kekurang-mampuan bidang ekonomi Pariyem dari pradewasa hingga
dewasa.
Dari sisi IQ Firdaus dapatlah disebut tinggi. Hal ini ditilik dari
kesukaan Firdaus membaca buku. Juga, dari rasa percaya diri dan otoritas
kuas yang dimilik Firdaus. Dilihat dari pemberontakannya terhadap
lingkungan, Firdaus memiliki EI yang rendah.

Menyelaraskan Diri
Kemampuan menyelaraskan diri jika memakai bahasa Ki Ageng
Suryomentaram (via Jatman, 1997: 11) dinamakan sabutuhe, saperlune,
sacukupe, sakepenake, samestine, sabenere. Sabutuhe berarti sesuai
dengan kebutuhan. Saperlune berarti sesuai dengan keperluan. Sacukupe
berarti yang pas-pas saja atau yang wajar-wajar saja. Sakepenake berarti
sesuai dengan rasa, sesuai dengan feeling atau hati nurani. Samestine
berarti sesuai dengan kaidah benar tidaknya. Sabenere berarti sesuai
dengan kaidah baik dan buruk.
Sabutuhe, saperlune, sacukupe berada dalam tataran ekonomi dan
masuk dalam penggolongan manusia ekonomi model Spranger.
77
Sakepenake masuk dalam tataran wilayah keindahan dan agama,
termasuk penggolongan manusia estetis dan agamis. Samestinye masuk
dalam tataran sosial sehinggga digolongkan ke dalam manusia sosial.
Sabenere masuk dalam tataran agama, sehingga tergolong manusia
agamis.
Yang utama adalah model manusia ekonomis, termasuk manusia
kuasa (dengan ciri ego tinggi), memang harus disingkirkan dan
dikalahkan oleh tipe manusia sosial, agamis, dan estetis jikalau manusia
hendak mencapai taraf kebahagiaan.
Kunci kebahagiaan Pariyem adalah kebahagiaan batin, bukan
kebahagiaan materi. Firdaus menitikberatkan pada kebahagiaan materi
atau kebahagiaan ego. Kemampuan menyelaraskan diri bukanlah sebuah
pekerjaan yang sekali jadi, tetapi merupakan proses yang terus menerus
sepanjang kehidupan manusia masih berlangsung.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tipe Firdaus banyak
mendominasi alias menjadi model utama. Tipe Pariyem banyak
ditinggalkan — malah dilecehkan sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dari bahasan di depan dapat disimpulkan beberapa hal. Satu,
Firdaus berkepribadian gabungan manusia kuasa, ekonomis, teori
dengan dominasi manusia kuasa yang diperkuat dengan ego tinggi.
Dua, Pariyem berkepribadian gabungan manusia sosial, agamis, dan
estetis dengan dominasi manusia sosial yang diperkuat dengan superego
tinggi. Tiga, nilai yang dapat membuat wanita Indonesia bahagia adalah
tipe manusia Pariyem yang memiliki kemampuan menerima diri/nrimo
dan pasrah diri. Kedua istilah ini ini dapat disederhanakan dengan
kemampuan menyelaraskan diri. Menyelaraskan antara harapan dengan
kenyataan serta menyelaraskan antara kenyataan dan harapan.
Beranjak dari sisi filosofis, ada beberapa hal yang patut menjadi
pemikiran bersama. Satu, kemampuan menyelaraskan diri sebenarnya
tidak hanya berlaku pada sosok wanita, namun juga dapat diterapkan
pada sosok lelaki. Dua, tulisan ini tidak bermaksud untuk mendukung

78
konsep bahwa wanita harus pasrah dan menerima dalam berkehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Tulisan ini justru hendak
mengingatkan kaum wanita, terutama kaum feminis yang hendak
memperjuangkan kaum wanita, bahwa sebenarnya perjuangan kaum
feminis adalah bagaimana membuat wanita menjadi sosok bahagia baik
lahir maupun batin. Perjuangan kaum feminis bukanlah menjauhkan
wanita dari kebahagiaan. Tiga, kelemahan tulisan ini baru memberikan
alternatif bagaimana menjadikan sosok wanita Indonesia bahagia secara
batin. Empat, persoalan berikutnya adalah bagaimana menjadikan sosok
wanita Indonesia bahagia lahir maupun batin. Akan tetapi, hal yang
terakhir tersebut sudah bukan menjadi kewajiban dari tulisan ini.

Saran Bacaan
Dermawan, Taufik. 1990. “Novel Khotbah di Atas Bukit dan Rumah
Perawan (Telaah Bandingan Tema Cerita)”. Makalah Seminar
Sastra Bandingan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
19-20 Januari 1990.
Goleman, Daniel. 1996. Kecerdasan Emosional. Terjemahan T.
Hermaya. Jakarta: Gramedia.
_______. 1999. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi.
Terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Gramedia.
Hamidi, Muhammad. 1990. “Unsur Mistik dalam Atheis dan The
Bridge of San Luis Rey”. Makalah Seminar Sastra Bandingan
oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20 Januari
1990
Hasan, Tjiptaningroem F. 1990. “Suatu Usulan untuk Memahami dan
Menilai Wiracarita Mahabarata”. Makalah Seminar Sastra
Bandingan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20
Januari 1990.

79
Hesri, S. 1981. “Wanita: Alas Kaki di Siang Hari, Alas Tidur di Waktu
Malam”. dalam Prisma No.7.
Ikram, Achadiati. 1990. “Sastra Bandingan Nusantara”. Makalah
Seminar Sastra Bandingan oleh Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, 19-20 Januari 1990.
Jatman, Darmanto. 1997. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
Lestari, Nanny Sri. 1990. “Sebuah Perbandingan Latar dari Dongeng
JakaTarub (Jawa) dengan Dongeng Hagorono (dari Jepang)”.
Makalah dalam Seminar Sastra Bandingan yang
diselengarakan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20
Januari 1990
Mahayana, Maman S. 1990. “Antara 'Godlob' Danarto dan 'Dajjal'
Manasikana”. Makalah Seminar Sastra Bandingan oleh
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20 Januari 1990
Saadawi, Nawal el. 1992. Perempuan di Titik Nol. Terjemahan Amir
Sutaarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suryadi AG, Linus. 1999. Pengakuan Pariyem. Cetakan keenam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

80
Bab VIII
dari Ilmu sampai Sastra?

S
astra itu makhluk apa? Apakah ia termasuk mamalia, tumbuhan
melata, atau jenis batu-batuan? Apakah ciri-cirinya?
Bagaimanakah cara meneliti-nya? Masih banyak daftar
pertanyaan yang dapat dibuat. Persoalan tersebut mendasar dan
sederhana. Namun, menjawabnya tidak sesederhana yang diperkirakan.
Dalam wilayah filsafat perihal pendiskripsian ciri-ciri disebut
ontologi. Pertanyaan yang berkait tentang cara-cara menelitinya
dinamakan epistemologi. Hal-hal yang berkait dengan nilai/kegunaan
disebut aksiologi. Di bawah ini dijelaskan perihal sastra berkait dengan
ketiga hal tersebut.
Secara mudahnya, pengetahuan adalah segala macam informasi
yang dapat dibedakan menjadi pengetahuan ilmiah dan pengetahuan
umum.
Pengetahuan ilmiah disebut ilmu, pengetahuan umum disebut
common sense. Pembedanya adalah dalam cara pemerolehan. Dalam
pengetahuan umum tidak butuh kejelasan, bersifat bercampur, berubah,
cair, tidak ada kontrol. Dalam pengetahuan ilmiah menuntut kejelasan,
perumusannya eksplisit, dan dapat dikontrol (Faruk, 1988). Ilmu
mempunyai lima fungsi. Satu, memerikan (deskripsi), yaitu
menggambarkan secara cermat dan jelas hal-hal yang dipersoalkan.
Dua, menerangkan (eksplanasi), yaitu menerangkan kondisi-kondisi
yang mendasari terjadinya peristiwa. Tiga, menyusun teori, yaitu
mencari dan merumuskan hukum-hukum atau tataaturan mengenai
hubungan antara kondisi satu dengan kondisi lain atau hubungan antara
81
satu peristiwa dengan peristiwa lain. Empat, prediksi, yaitu meramalkan
peristiwa yang bakal terjadi. Lima, pengendalian, yaitu mengendalikan
peristiwa atau gejala
Teori merupakan seperangkat konsep, batasan, dan proposisi
yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena.
Konsep itu merinci hubungan yang menjelaskan dan memprediksi suatu
gejala (Kerlinger, 1992: 16). Teeuw (1984: 318) menyatakan bahwa teori
sastra berbicara tentang kompetensi sastra, yaitu keseluruhan konvensi
yang memungkinkan pembacaan dan pemahaman atas karya sastra.
Konvensi meliputi berbagai hal dari yang umum sampai ke hal yang
khusus, misalnya: konvensi yang membedakan teks sastra dengan teks
bukan sastra, konvesi yang membedakan puisi dengan prosa, atau
konvensi yang membedakan novel pupuler dengan novel detektif.
Mengkait teori sastra yang bersifat Indonesia, Sastrowardoyo (via
Esten, 1988: 23- 24) memberi beberapa alternatif pemikiran.
1. Sastra merupakan sebuah proses religius. Otonomi sastra terletak pada
proses penciptaan, bukan pada otonomi karya sastra itu sendiri,
resepsi pembaca, atau niatan sang pengarang.
2.Tak ada perbedaan antara estetik dan etik (moral).
3.Antara pengarang dan karya merupakan satu kesatuan yang identik.
4. Adanya unsur keseimbangan (baik-buruk, hitam-putih) yang selaras.
Untuk hal pertama patut dipertanyakan lagi: apakah masih relevan
manakala pengarang telah serta banyak dipengaruhi oleh faktor sosial
ekonomi seperti sekarang? Ambilah contoh fenomena novel populer
atau karya pesana. Untuk hal ketiga: bagaimana jika pengarang telah
meninggal dunia. Apakah karya sastranya tak lengkap lagi untuk.
Ataukah karya sastranya menjadi sirna? Apakah pendekatan harus
dengan model ekspresif Abrams? Masih relevankah membicarakan
teori sastra khas Indonesia di era globalisasi dan teknologi ini?
Pertanyaan tersebut kiranya bisa menggugah pemikiran lebih lanjut.

82
Hakikat Sastra atau Objek Formal
Kata sastra dapat berarti macam-macam. Mari kita simak 3
contoh kalimat ini. Satu, kita harus gemar membaca sastra. Sastra
merupakan bagian dari seni atau sebagai hasil kerja, yaitu karya
sastra. Dua, buku itu tidak bernilai sastra. Sastra bermakna kualitas
yang lalu menimbulkan istilah susastra, yang artinya karya sastra
indah dan bermutu. Tiga, Siti kuliah di jurusan pendidikan bahasa dan
sastra. Sastra berarti ilmu.
Sastra berasal dari bahasa Sansekerta: sas yang berarti
mengarah-kan, mengajar, memberi petunjuk; serta akhiran tra yang
bermakna menunjukkan alat atau sarana. Sastra berarti alat untuk
mengajar. Masih menurut Teeuw dalam kebudayaan Barat terdapat
literatur (Inggris), literatur (Jerman), litterature (Perancis).
Kesemuanya berasal dari bahasa Latin, litteratura. Litteratura
merupakan terjemahan dari grammatika (Yunani). Litteratura dan
grammatika berdasarkan kata littera dan gramma yang berarti huruf
atau tulisan. Litteratura diperguna-kan untuk tatabahasa dan puisi.
Kesemua kata dalam bahasa Barat tersebut berarti segala sesuatu
yang tertulis. Dalam bahasa Jerman terdapat istilah schrifftum dan
dichtung. Schrifftum berarti segala suatu yang tertulis. Dichtung berarti
tulisan yang bersifat rekaan dan memiliki nilai estetik. Dalam bahasa
Belanda terdapat istilah letterkunde (dari litteratura) dan literatuur.
Literatuur mencakup kepustakaan atau acuan buku ilmiah. Leterkunde
berarti sastra (Teeuw, 1984: 22-23). Tampak bahwa gejala sastra di atas
hanya berbicara tentang segala sesuatu yang tertulis saja.
Bagaimana dengan sastra yang tidak tertulis atau lisan?
Apakah sastra lisan tidak dianggap sebagai sastra? Hardjana
(1994:25) menyaran-kan bahwa karya sastra merupakan wacana yang
mengekploitir kemungkinan bahasa hingga ke batas yang setinggi-
tingginya. Dengan begitu, sastra dapat berwujud lisan atau tulisan.

83
Untuk Indonesia, Teeuw menambahkan satu bentuk lagi,
yaitu sastra antara lisan dan tulis. Dalam sastra lisan penyebarannya
murni lisan. Teks hanya berfungsi sebagai pengawet ide. Sastra tulis
menggunakan media tulisan sebagai sarana penyebarannya. Pembaca
terbentuk dalam sebuah dunia yang sunyi sendiri, dunia individual.
Sastra antara lisan dan tulis menjembatani keduanya. Teks dituliskan
untuk pengawetan. Cara penyebarannya tetap dengan cara lisan. Teks
dibaca untuk didengarkan dan dibahas secara bersama. Hal ini hanya
dimungkinkan dalam sebuah masyarakat yang masih menghormati
kebersamaan. Bukti ini dapat dilihat pada tradisi mabasan di Bali atau
masasakan di Lombok (Teeuw, 1994).
Berkait dengan teks tulis, terdapat ciri sastra tulis (Uhlenbeck via
Teeuw, 1984: 30-38) sebagai berikut.
1. Tak ada unsur suprasegmental (tekanan, aksen, nada, volume).
2. Tak ada pertemuan fisik antara pengarang dengan pembaca.
3. Gambaran pengarang lenyap, apalagi yang bersifat anonim. Pembaca
tidak peduli siapakah sang pengarang. Pembaca lebih peduli kepada
isi/teks cerita.
4. Teks tulis lepas dari situasi kondisi sewaktu pengarang menulis.
5. Pembaca dapat mengulang bacaannya.
6. Teks dapat diproduksi dalam berbagai bentuk: fotokopi, stensilan,
buku sehingga penyebarannya jauh lebih luas
7. Terbebas dari jarak, ruang, dan waktu.
Khusus untuk nomor 3 patut dipertimbangkan pertanyaan berikut.
Bagaimana dengan pendekatan model ekspresif Abrams?
Sebagai teks tulis, menurut Zoest (1990: 12), petunjuk dapat
berupa stempel, gambar, mutu kertas, nama penerbit, seri penerbitan.
Penerbit pun punya cara sendiri dengan memberi cap atau stempel
sastra dan bukan sastra, misalnya.
Sebagai fakta semiotik, sastra dapat dicirikan sebagai berikut.
Pertama, karya sastra berbeda dari karya seni lainnya berdasar atas ciri

84
intrinsiknya. Kedua, Ciri instrinsik pembeda adalah bermateri bahasa
yang bersifat simbolik; penanda bahsa dapat menjadi penanda visual,
auditori, dan sebagainya yang kesemuanya bersifat simbolik. Ketiga,
dilain pihak, perbedaan karya sastra dengan wacana lain tidak dapat
ditentukan secara intrinsik, melainkan secara kontekstual. Keempat,
konteks tersebut berupa situasi tutur sastra yang terbangun atas tiga
faktor, yaitu: audiens yang harus menjadi partisipan pasif dalam
komunikasi sastra; kepasifan tersebut karena kelayakan cerita yang
disampaikan karya sastra; kepasifan terseut karena kepercayaan audiens
pada proses persiapan dan seleksi yang dialami karya sastra (Faruk,
1988: 4
Ciri pertama dan ketiga tampak korntradiktif. Penentuan apakah
sesuatu termasuk sastra atau bukan sesungguhnya tidaklah sesederhana
sebagaimana tersebut di atas. Objek, dalam hal ini karya sastra,
berhadapan dengan pembaca. Dalam istilah Teeuw, penentuan sastra
atau bukan terletak pada tujuan pembaca membaca.
Namun, patut disadari bahwa penentuan label sastra tidaklah
berlaku sepanjang waktu dan tempat. Pengertian dan batasan itu
dapat berubah sesuai dengan periode waktu dan tempat di mana karya
sastra itu berada. Hal ini berdasarkan pemikiran bahwa manusia
(pembaca/ masyarakat) selalu berkembang, bukan sekedar dalam arti
fisik namun juga dalam arti fikiran. Sebuah batasan tentang sastra yang
sifatnya mutlak universal justru patut dipertanyakan lagi.
Patut digarisbawahi bahwa ilmu dan teori harus bisa diuji di dunia
pengalaman. Objek pengetahuan harus dapat diindra alias bersifat
material. Sesuatu yang tak dapat diindra tidak dapat dijadikan objek
ilmiah.
Pertanyaannya adalah: apakah sastra dapat diindra?
Ada 2 jenis objek, yaitu objek formal dan objek material. Objek
formal adalah bentuk, seperangkat informasi yang bersistem. Objek

85
material adalah bahan atau materi. Objek formal ilmu sastra berupa:
makna, estetika, bentuk. Kemuanya itu tak terindra. Hal ini berkaitan
dengan pertanyaan penting berikutnya: apakah objek ilmu sastra dapat
diukur? Karena berkait dengan makna, estetika, bentuk yang tak terindra
maka agak berlebihan jika kajian dan analisis atas sastra harus dengan
cara kuantitatif sebagaimana yang berlaku dalam kaidah ilmu-ilmu alam.
Dalam istilah Dilthey di sinilah letak keberadaan ilmu
humaniora, termasuk sastra, yang membutuhkan pemahaman
(verstehen/ interpretation). Memahami berarti berusaha mengetahui
ekspresi dari sudut pikiran subjek yang telah diwujudkan menjadi
ekspresi tadi (Faruk, 1988: 18).
Objek material ilmu sastra sastra dapat berwujud lisan, tulisan,
ataupun lainnya. Dengan begitu, objek material ilmu sastra sangat kaya ,
bukan hanya terpenjara dalam genre sastra sebagaimana yang masih
dianut secara umum selama ini. Objek itu, misalnya: lagu, komik,
sinetron, film, skenario, dan masih banyak lainnya.

Genre dan Fungsi Sastra


Pembagian jenis sastra menurut Aristoteles (via Teeuw, 1984: 108)
berupa:
1. Sarana perwujudan (tak dibedakan antara sastra atau nonsastra),
mencakup:
a. Prosa
b. Puisi:
1). memanfaatkan satu matra/metrum, misalnya epik atau syair.
2). memanfaatkan lebih dari satu matra, misalnya tragedi, kakawin.
2. Objek perwujudan, dengan objeknya adalah manusia, meliputi:
a. Manusia reakaan lebih agung dari manusia nyata: tragedi, epik,
cerita panji
b. Manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi, lenong
c. Manusia rekaan sama dengan manusia nyata: roman

86
3. Ragam perwujudan:
a. Teks sebagian terdiri atas cerita dan sebagian lagi berupa dia
log, disebut epik.
b. Teks dengan ciri yang berbicara si aku-lirik penyair, disebut lirik
c. Teks dengan ciri yang berbicara para tokoh, disebut drama
Di Indonesia genre/jenis sastra dibedakan menjadi 3.
1. Prosa, berintikan pada penjabaran.
2. Puisi, berintikan pemadatan atau konsentrasi.
3. Drama, berupa dialog dan biasanya untuk dipentaskan.
Penggolongan di atas merupakan gabungan dari sarana
perwujudan dan ragam perwujudan dari Aristoteles, hanya
penyebutannya yang berbeda.
Mengenai fungsi sastra (Dananjaya,1991: 19) antara lain:
1. Merupakan proyeksi keinginan tersembunyi.
2. Alat pendidikan.
3. Alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan.
4. Alat pemaksa dan pengawas agar norma masyarakat dipatuhi
anggota kolektifnya.
Tentunya tidak hanya itu fungsi sastra. Sebagai penghibur,
penyalur ketegangan, kendali masyarakat, atau protes sosial boleh-
boleh saja merupakan bagian dari fungsi sastra. Jika dikaitkan
dengan arti makna sastra dalam bahasa Indonesia, sastra mestilah
mengajarkan sesuatu. Itulah sebabnya, pembaca Indonesia
berkecenderungan mencari suatu hikmah atau amanat yang positif
dalam sebuah karya sastra. Hal ini sangat mengherankan Teeuw
(1983: 38-40) ketika meminta para dosen sastra Nusantara

87
Saran Bacaan
Faruk. 1988. Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra.
Yogyakarta: Lukman.
Kerlinger, Fred N. 1992. Asas-Asas Peneltian Behavioral. Terjemahan
Landung R Simatupang. Ygoyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Teeuw. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
_______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
_______. 1994. Indonesia, antara Kelisanan dan Keberasksaraan.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Zoest, Aart van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik.
Terjemahan Manoekmi Sardjoe. Jakarta: Intermasa.
_______. 1993. Semiotika. Terjemahan Ani Soekowati. Jakarta:
Yayasan Sumber Agung.

88
Bab IX

dari Rintik sampai Hujan

Berikut ini adalah contoh analisis teks lagu. Teks lagu dapat disamakan
dengan puisi karena memiliki tipografi yang sama.

Hujan Rintik Rintik


Hujan rintik-rintik, turun rintik-rintik
Di halaman di jalan, hujan rintik-rintik
Ambilkan payung untuk berlindung
Hujan turun, hujan rintik-rintik

Hujan rintik-rintik
Turun takberhenti
Di tengah rintik hujan
Payung warna warni
Seperti jamur
Yang tumbuh subur
Disirami hujan
Rintik-rintik

'Hujan Rintik Rintik'. Kalimat ini mengindikasikan suasana


alam, saat hujan yang turun tidak deras. Kecil-kecil saja.

89
'Hujan rintik-rintik, turun rintik-rintik'. Kalimat itu diulang
sampai dua kali. Untuk menandaskan dengan tambahan 'turun', hadir
'Di halaman di jalan, hujan rintik-rintik'. Hujan hadir di halaman,
di jalan. Masih dalam situasi kecil-kecil saja.
'Ambilkan payung untuk berlindung'. Ada subjek lain yang
menyuruh, memerintahkan kepada yang lain untuk mengambil payung
guna berlindung. Berlindung dari hujan.
'Hujan turun, hujan rintik-rintik'. Berlindung dari hujan yang
masih rintik-rintik juga.
'Hujan rintik-rintik'. Situasi hadirnya hujan diulangi lagi.
'Turun tak berhenti'. Meski kecil-kecil saja tetapi lama sekali
keber-langsungannya,
'Di tengah rintik hujan'. Dalam situasi seperti itu.
'Payung warna warni'. Payung yang tadi diminta oleh subjek
yang tidak diketahui digambarkan berwarna-warni. Dengan demikian
ada payung yang jumlahnya lebih dari satu buah.
'Seperti jamur '. Karena berjumlah lebih dari satu dan berwarna-
warni ia tampak laksana jamur.
'Yang tumbuh subur'. Jamur itu tumbuh subur terindikasi dari
jumlahnya yang lebih dari satu.
'Disirami hujan'. Kesuburan jamur lantaran disiram oleh hujan.
'Rintik-rintik'. Hujan yang masih kecil-kecil saja.
Hujan yang rintik-rintik kemudian ternyata menghadirkan
payung, pasangannya. Payung kemudian oleh bentuknya dikaitkan
dengan jamur.
Ada dua model, yaitu hujan rintik-rintik dan jamur yang subur.
Yang pertama lebih dominan dibanding yang kedua karena yang kedua
hanya dapat hadir kalau yang pertama ada.

90
Hujan! Hujan!
Hujan!,Hujan!
Dimana-mana
Di jalan, di halaman
Semua basah
Hujan!, Hujan!, tak henti-henti
Hujan!, hujan! Lebat sekali

Hujan!,hujan!, bukan kepalang


Disana dan di sini, air tergenang
Hujan!,hujan!,belum berhenti
Hujan!,hujan!, sepanjang hari
'Hujan! Hujan!'. Hujan adalah fenomena alam. Hal ini diulang
dua kali, ditandaskan dua kali.Bisa hujan yang tadi, bisa juga hujan
yang lain, hujan di lain waktu. 'Hujan!, Hujan!'.
'Dimana-mana'. Menunjuk kepada tempat. Tempat terjadinya
hujan.
'Di jalan, di halaman'. Tempat ini dirinci lagi yaitu di jalan, di
halaman.
'Semua basah'. Karena hujan, semua kemudian menjadi basah
lantaran sifat air memang membasahkan.
'Hujan!, Hujan!, tak henti-henti'. Hujan masih yang tadi ternyata
tak berhenti-henti juga.
'Hujan!, hujan! Lebat sekali'. Kalimat ini mengindikasikan
bahwa hujan turun justru dalam kondisi besar, lebat.
'Hujan!,hujan!, bukan kepalang'. Bukan kepalang menandaskan
bahwa hujan memang lebat.
'Disana dan di sini, air tergenang'. Di sana maupun di sini, karena
lebatnya, menjadi tergenang.

91
'Hujan!,hujan!, belum berhenti'. Hujan masih belum berhenti.
'Hujan!,hujan!, sepanjang hari'. Dalam hitungan hari hujan
berlangsung sepanjang hari.
Teks ini berlainan dengan hujan yang sebelumnya yang hanya
digambarkan rintik-rintik saja. Meskipun sama-sama tak berhenti juga,
hujan ini digambarkan lebat, besar, yang menyebabkan di mana-mana
menjadi tergenang.
Ada satu model saja di sini yaitu hujan lebat.
Hegemoni ideologi yang muncul yaitu kedakatan manusia
dengan alam, dalam hal ini hujan yang mengandung dan berindikasi
kepada air, entah itu membasahkan atau menggenangkan.

Saran Bacaan
Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Raykat untuk
Anak di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Sugihastuti. 1996. Serba-Serbi Cerita Anak-Anak. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

92
Bab X

Penutup

A
da kesedihan yang mendalam manakala kita berhenti
bertanya. Bertanya tentang apa saja dan di mana saja. Terlebih
lagi manakala kita tidak bertanya lagi tentang sastra. Tiadanya
pertanyaan berarti tiadanya kreatifitas. Ini jugaberarti mandegnya ilmu
yang tengah dipelajari.
Banyak yang masih luput dari buku ini. Perihal menentukan teks
puisi, misalnya. Teori di depan hanya tepat untuk membahas puisi lama.
Untuk puisi baru/modern tampaknya sudah tidak sesuai lagi. Secara
mudahnya, ciri yang paling terlihat di dalam puisi adalah penampilan
tipografi (larik).

pagi
ini
aku makan pagi sendiri
tanpa mandi mau
apa lagi

Secara tipografi contoh di atas merupakan puisi. Dilihat dari segi


isi, contoh tersebut belum bisa disebut puisi. Disebut belum bisa karena
merupakan pandangan umum, yaitu pandangan generasi semacam
Sapardi Djoko Damono atau Sutardji Coulzoum Bachri. Generasi
tersebut menyatakan bahwa puisi merupakan pengungkapan tidak

93
langsung, harus mendidik, memiliki nilai-nilai filosofi, serta bercerita
tentang alam semesta.
Secara mudahnya dikatakan bahwa pembuatan puisi merupakan
proses yang serius. Menurut generasi “puisi mbeling”, seperti Remy
Silado atau Yudhistira, bait-bait di atas sah-sah saja kalau dinamakan
puisi. Puisi mbeling beranggapan bahwa pembuatan puisi tidak harus
selalu serius atau berkerut kening. Puisi boleh-boleh saja berangkat dari
main-main.
Puisi tidak lazim ditelaah dengan kaidah bahasa yang ketat. Di
dalam puisi terdapat licensia poetica, yaitu kebebasan penyair untuk
tidak mematuhi norma ketatabahasaan.
aku makansiang bersama cicakyangkuci
ncang tadi malamalam
Secara ketatabahasaan, kata makan dan siang mestilah dipisah. Hal
itu wajar-wajar saja dalam dunia puisi. Inilah licencia poetica.
Juga, masih banyak teori canggih lainnya yang belum tersentuh buku
ini. Ambillah contoh: teori feminisme, semiotika, atau persoalan-
persoalan yang berkain dengan perkembangan teknologi. Sastra
internet, misalnya. Jawaban untuk yang terakhir itu sudah bukan lagi
kewajiban dari buku ini.
Kehadiran buku ini dilandasi pemikiran untuk sekedar memberi
gambaran, sebutlah sebagai pengantar memasuk wilayah sastra
sehingga kita menjadi melek sastra. Jikalau itu dapat tercapai, penulis
sungguh berbesar hati. Apabila kemudian mampu meletikkan pemikiran
dan pengembangan ilmu sastra, begitulah yang sangat diharapkan dari
penulisan buku ini.

94
Daftar Pustaka
Adicondro, George Junus. 1998 (cetakan kedua). Dari Soeharto ke
Habibie. Jakarta: MIK dan Pijar Indonesia.
Bellamy, Richard. 1990. Teori Sosial Modern Perspektif Itali.
Terjemahan Vedi R. Hadiz. Jakarta: LP3ES.
Budiardjo, Miriam (ed.). 1991. Aneka Pemikiran tentang Kuasa dan
Wibawa. Jakarta: Sinar Harapan.
Bunanta, Murti. 1998. Problematika Penulisan Cerita Raykat untuk
Anak di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar
Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
_______. 1990. “Sastra Bandingan di Indonesia: ...”. Makalah
Seminar Sastra Bandingan oleh Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, 19-20 Januari 1990.
Dananjaya, James. 1991. Foklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng,
dan lain-lain. Jakarta: Grafiti.
Dermawan, Taufik. 1990. “Novel Khotbah di Atas Bukit dan Rumah
Perawan (Telaah Bandingan Tema Cerita)”. Makalah Seminar
Sastra Bandingan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia,
19-20 Januari 1990.
Eneste, Pamusuk. 1993. Tuan Gendrik. Jakarta: Puspa Swara.
Esten, Mursal. 1984. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur.
Bandung: Angkasa
_______. (ed). 1988. Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia
yang Relevan. Bandung: Agkasa.
Faruk. 1988. Strukturalisme Genetik dan Epistemologi Sastra.
Yogyakarta: Lukman.
_______. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

95
Faruk, Bakdi Soemanto, dan Bambang Purwanto. 2000. Perlawanan
atas Diskriminasi Rasial-Etnik: Konteks Sosial-Ideologis
Kritik Sastra
Peranakan Tionghoa. Magelang: Indonesia Tera.
Foster, EM. 1978. Aspects of The Novel. Ringwood: Penguin Books.
Freud, Sigmund. 1983. Sekelumit Sejarah Psikoanalisa. Terjemahan
K. Bertens. Jakarta: Gramedia.
Goleman, Daniel. 1996. Kecerdasan Emosional. Terjemahan T.
Hermaya. Jakarta: Gramedia.
_______. 1999. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi.
Terjemahan Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Gramedia.
Hamidi, Muhammad. 1990. “Unsur Mistik dalam Atheis dan The
Bridge of San Luis Rey”. Makalah Seminar Sastra Bandingan
oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20 Januari
1990
Hardjana, Andre. 1994. Kritik Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Hartiningsih, Maria. “Asimilasi vs Multikulturalisme”. Kompas 14
Maret 2001.
Harymawan, RMS. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosdakarya.
Hasan, Tjiptaningroem F. 1990. “Suatu Usulan untuk Memahami dan
Menilai Wiracarita Mahabarata”. Makalah Seminar Sastra
Bandingan oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20
Januari 1990.
Hesri, S. 1981. “Wanita: Alas Kaki di Siang Hari, Alas Tidur di Waktu
Malam”. dalam Prisma No.7.
Ikram, Achadiati. 1990. “Sastra Bandingan Nusantara”. Makalah
Seminar Sastra Bandingan oleh Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, 19-20 Januari 1990.

96
Jatman, Darmanto. 1997. Psikologi Jawa. Yogyakarta: Yayasan
Bentang Budaya.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta:
Gramedia.
Kennedy, XJ. 1979. Literature an Introduction to Fiction, Poetry, and
Drama. Boston: Little, Brown and Company.
Kerlinger, Fred N. 1992. Asas-Asas Peneltian Behavioral. Terjemahan
Landung R Simatupang. Ygoyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Kompas. 29 September 1996.
_______ , 23 Desember 1997.
_______. 22 Januari 1998.
_______. 29 Januari 1998.
_______. 27 Mei 1998.
_______. 4 Juni 1998.
_______. 13 Desember 1998. “Dr. Ongholham”.
_______ , 11 Juni 2000.
_______ , 20 Desember 2000.
_______ , 1 Mei 2001.
_______ , 17 Juni 2001.
_______. 22 Juli 2001. “Jujur pada Anak tentang Suku dan Ras”.
Lestari, Nanny Sri. 1990. “Sebuah Perbandingan Latar dari Dongeng
JakaTarub (Jawa) dengan Dongeng Hagorono (dari Jepang)”.
Makalah dalam Seminar Sastra Bandingan yang
diselengarakan Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20
Januari 1990
Luxemburg, Jan van; Mieke Ball; dan Willemb G. Westeujn. 1986.
Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta:
Gramedia.

97
Mahayana, Maman S. 1990. “Antara 'Godlob' Danarto dan 'Dajjal'
Manasikana”. Makalah Seminar Sastra Bandingan oleh
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20 Januari 1990
Megawangi, Ratna. 1998. “Sebuah Refleksi Kejadian Bulan Mei”
dalam Alfian Hamzah (ed.).1998. Kapok jadi Nonpri.
Bandung: Zaman Wacana M
Mihardja, Achdiat K. 1998. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Balai
Pustaka.
Noor, Redyanto. 1999. Perempuan Idaman Novel Indonesia: Erotik
dan Narsistik. Semarang: Bendera.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
_______. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Krtitik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 1987. “Cerkan” dalam Lembaran Sastra.
Semarang: Fakultas Sastra Universitas Diponegoro.
Roberts, Edgar V. 1973. Writing Themes about Literature. New Jersey:
Preentice-Hill Inc.
Saad, M. Saleh. 1967. “Catatan Kecil Sekitar Penelitian Kesusastraan
(Penelitian Cerkan)” dalam Lukman Ali (ed). Bahasa dan
Kesusastraan Indonesia Sebagai Cermin Manusia Indonesia
Baru. Jakarta: PT. Gunung Agung.
Saadawi, Nawal el. 1992. Perempuan di Titik Nol. Terjemahan Amir
Sutaarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Salamini, Leonardo. 1981. The Sociology of Political Praxis an
Introduction to Gramsci's Theory. London: Routledge &
Kegan Paul.
Salmon, Claudine. 1985. Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa
Melayu. Terjemahan Dede Oetomo. Jakarta: Balai Pustaka.
Samsuri, Ahmad dan Asrowi. 1987. Diktat Psikologi Sosial.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
98
Satoto, Sadiro. 1990. “Ikhtisar Sejarah Drama Indonesia”. Makalah
Seminar Nasional Sejarah Sastra Indonesia 1990 oleh
Undip 5 -6 Oktober 1990.
Savina. 1990. “Dilema Pencarian Identitas Diri Pada Novel Amerika
dan Australia: Suatu Perbandingan Pengungkapan”. Makalah
Seminar Sastra Bandingan oleh Fakultas Sastra Universitas
Indonesia, 19-20 Januari 1990
Sayuti, Suminto A. 1997. “Pragmatik Sastra” dalam Widyaparwa no
49 tahun 1997. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Shidarta, Amir. 1998. “Cina, Tionghoa, Chunghua, Suku Hua …”
dalam Alfian Hamzah (ed.).1998. Kapok jadi Nonpri.
Bandung: Zaman Wacana M.
Soemanto, Bakdi. 1999. Angan-Angan Budaya Jawa. Analisis
Semiotik Pengakuan Pariyem. Yogyakarta: Yayasan untuk
Indonesia.
Simon, Roger. 1999. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci. Terjemahan
Kamdani & Imam Bahaqi. Yogyakarta: Insist & Pustaka
Pelajar.
Stallknecht, Newton P. dan Horst Frenz. 1990. Sastra Perbandingan,
Kaedah dan Perspektif. Terjemahan Sahlan Modh. Saman.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pendidikan Malaysia.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka
Jaya.
______. (ed). 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Univeristas
Indonesia.
Sugihastuti. 1996. Serba-Serbi Cerita Anak-Anak. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Jakob. 1982. Novel Pupuler Indonesia. Yogyakarta: Nur
Cahaya.
_______. 1986. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. Bandung: Angkasa.
99
Sularto, ST. “Masyarakat Keturunan Tionghoa di Indonesia: Menjadi
Indonesia yang Belum Selesai” dalam Kompas 14 Maret
2001.
Suryabrata, Sumadi. 1982. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali.
Suryadi AG, Linus. 1999. Pengakuan Pariyem. Cetakan keenam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suryadinata, Leo. 1996. Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia.
Jakarta: Grasindo.
Tiara 1994. no 110, 31 Juli-13 Agustus 1994. “Kawin Campur? OK”.
Teeuw. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
_______. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
_______. 1994. Indonesia, antara Kelisanan dan Keberasksaraan.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Tempo. No. 01/XXVII. 6-12 Oktober 1998.
Utomo, Nurul K. 1990. “Un Coueur Simple oleh Gustave Flaubert dan
Pengakuan Pariyem oleh Linus Suryadi AG Sebuah Telaah
Bandingan dalam Tema”. Makalah Seminar Sastra Bandingan
oleh Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20 Januari
1990
Wahyudi, Ibnu. 1990. “Ekspresi Ketakpahaman pada Sejumlah
Cerpen Putu Wijaya dan Pamusuk Eneste: Bandingan Konsep
Pengungkapan”. Makalah Seminar Sastra Bandingan oleh
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20 Januari 1990
Wasono, Sunu. 1990. “Pulang dan Senja Belum Berakhir: Sebuah
Perbandingan”. Makalah Seminar Sastra Bandingan oleh
Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 19-20 Januari 1990
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan.
Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Wibisono, Christianto. 1998. Menelusuri Akar Krisis Indonesia.
Jakarta: Gramedia.

100
Wijaya, Mira. 1995. Bukan Cinta Sesaat. Jakarta: Gramedia
Zoest, Aart van. 1990. Fiksi dan Nonfiksi dalam Kajian Semiotik.
Terjemahan Manoekmi Sardjoe. Jakarta: Intermasa.
_______. 1993. Semiotika. Terjemahan Ani Soekowati. Jakarta:
Yayasan Sumber Agung.

101
HARJITO Adalah seorang peng ajar
sekaligus penulis. Lahir di Semarang pada 30
Oktober. Menempuh pendidikan terrendah
sampai SMA 3 Semarang hingga kuliah ke
Universitas Diponegoro Semarang, semua
dirampung-kan di Semarang. Untuk
mengambil gelar S2 dia selesaikan di UGM
Yogyakarta, pada Program Studi Sastra.
Dedikasinya kepada ilmu sastra
diaktualisasikan dengan menjadi dosen di IKIP PGRI Semarang yang
beralamat Jl. Lontar no.1 Semarang 50125 telp. (024) 8316377 dengan
mengampu mata kuliah Sastra Perbandingan, Sejarah Sastra, Teori
Sastra, Kritik Sastra, Seminar Sastra.
Tulisan ilmiah populernya termuat di media cetak diantaranya;
Alternatif Pengajar-an Puisi di SD, Sebuah Komposisi Rintihan, Seni
Mengendalikan Diri Sebuah Kecerdasan, Lagu Rhoma Irama,
Kepadatan dan Pendidikan, Informasi dan Masyarakat yang Cerdas,
Kreativitas dalam Pendidikan Kita, Jurus Sakti Hadapi Globalisasi,
Kecerdasan Berwicara, Bahasa Indonesia dan Era Globalisasi,
Berkenalan dengan Skenario, Kentrung di Belantara Globalisasi,
Reformasi Pendidikan, dan lain-lain.
Dengan mengunakan nama Djito Okuru dia menulis cerita fiksi
dan diantara karya tersebut adalah; Cerita buat Adam (cerpen, majalah
Nona, 1988). Gen Asmara (cerber, majalah Nona 1989). Jitet (cerber,
majalah Nona, 1989). Lala (novelet, majalah Aneka Ria,1991). Sarung
Cinta (cerpen, majalah Aneka Ria, 1992). Namanya Astrid (cerpen,
majalah Aneka Ria,1992)
Saat ini dia berkutat sebagai Sekretaris jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia IKIP PGRI Semarang, Editor IKIP PGRI
Semarang press, Editor Jurnal Ilmiah Dimensi Pendidikan, Pimred Suara
Kampus.
Anda yang ingin bertegur sapa dengan nya silahkan kontak
08122519899, atau hubungi harjito96@yahoo.co.id.

Anda mungkin juga menyukai