Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang
terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar
higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. . Gambaran klinis demam tifoid
seringkali tidak spesifik sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi
pemeriksaan laboratorium.

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena
penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World
Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di negara
berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih
besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di
seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per
tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91%
kasus.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
 Nama : Ny. M. A
 Umur : 21 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Jenis Kelamin : Menikah
 Alamat : Jln. Pasifik Indah Pasir II
 Agama : Kristen Protestan
 Pendidikan : SMA
 Pekerjaan : IRT
 Tanggal MRS : 20 April 2017
 Waktu MRS : 22.15 WIT

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama : Pasien mencret > 10x.
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang diantar oleh suaminya ke IGD dengan keluhan mencret lebih
dari 10x sehari. BAB cair tanpa darah didahului rasa sakit perut. Pasien mengaku
BAB cair berisi ampas. Sebelum mengalami keluhan ini pasien juga bercerita
bahwa dia sempat makan di pinggir jalan, tapi biasanya tidak apa-apa.
Pasien juga mengeluh demam sejak ± 3 yang lalu dan lebih sering timbul pada
malam hari. Demam awalnya tidak terlalu dirasa tinggi namun semakin lama
semakin panas pada hari berikutnya. Menurut pasien demam yang dirasakan
sempat tinggi hingga menggigil namun tidak diukur.
Selain itu, pasien juga mengalami mual dan muntah. Muntah lebih dari 10x
dan berisi ampas. Pasien juga sekarang mengalami penurunan nafsu makan dan
merasa lemah. Buang air kecil tidak mengalami gangguan. Pasien merasa adanya
rasa pegal-pegal pada hampir seluruh bagian tubuh. Pada anggota keluarga tidak
didapati keluhan yang sama seperti pasien. Pasien tidak berpergian ke daerah-
daerah tertentu sebelumnya.

2
3. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat penyakit jantung, diabetes mellitus,
hipertensi, asma, dan alergi disangkal oleh pasien.

Diagnosa kerja: Syok hipovolemik ec gastroenteritis akut


4. Riwayat Penyakit Keluarga : Pada anggota keluarga tidak didapati keluhan yang
sama seperti pasien. Sepengetahuan pasien, di keluarganya tidak ada riwayat
asma, diabetes mellitus, hipertensi, ataupun alergi.
5. Riwayat Psikososial : pasien sehari-harinya adalah seorang IRT.

C. Pemeriksaan Fisik (20/04/2017)


 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tekanan Darah : 90/60 mmHg
 Denyut Nadi : 124 kali / menit
 Pernapasan : 25 kali / menit
 Suhu Tubuh : 37,8oC
 SpO2 : 98%
 Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala : normochepal
Rambut : warna hitam, tidak rontok
 Pemeriksaan Mata
Konjungtiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
Mata : Cowong (+)
 Pemeriksaan Hidung
Serumen (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-), perdarahan (-/-)

 Pemeriksaan Mulut
Bibir tampak normal, bibir sianosis (-), oral candidiasis (-), tonsil T1/T1, faring
hiperemis (-)

3
 Pemeriksaan Leher
Kelenjar tiroid : Tidak Membesar
KGB : Tidak Membesar, Nyeri (-).
Trakea : Deviasi (-)
 Pemeriksaan Thorax
Paru
Inspeksi : Simetris, ikut gerak napas, retraksi (-)
Palpasi : vocal premitus kanan kiri normal
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara napas vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tak tampak
Palpasi : Iktus cordis tak teraba, thrill (-)
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi Jantung I – II murni reguler, suara jantung tambahan
(-), mur-mur (-), gallop (-).
 Abdomen
 Inspeksi : Datar
 Palpasi : Shifting dullnes (-), nyeri tekan (+), hepar dan lien tidak
teraba
 Perkusi : Timpani
 Auskultasi : Bising usus (+) normal
 Ekstremitas
 Superior : Akral Hangat, Edema (-/-), CRT < 2 detik
 Inferior : Akral Hangat, Edema (-/-), CRT < 2 detik
 Genitalia
 Tidak dilakukan

D. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan darah (20/04/2017 ) :
- HGB :11,3 g/dl
- WBC : 14,9
- RBC : 5,39

4
- HCT : 35,1%
- MCV : 65,1 fl
- MCH : 21,0 pg
- MCHC : 32,2 g/dl
- PLT : 195
- GDS : 117 mg/dl
- DDR : Negatif

Berdasarkan hasil anamnesa dan pemeriksaan penunjang di UGD maka pasien


ini dirawat dengan diagnosa:
Syok Hipovolemik ec Gastroenteritis Akut

 Analisa Feses (22/04/2017)

Uji Makroskopik Uji Mikroskopik


Warna - Leukosit 0 – 1 sel/ LPB
Konsistensi - Eritrosit 0 – 1 sel / LPB
Bau - Epitel 0 – 1 sel/ LPB
Lendir - Telur cacing:
Darah - Ascariasis Lumbricoides 0 - 1 sel/ LPB
Cacing tambang 0
Strongiloides stercoralis 0
Oxyuris vermicularis 0
Trichuris triciura 0
Amuba 0

 Hasil uji imunologi (22/04/2017)


Widal:

Titer O Titer H Metode


S. Typhosa Negatif Negatif Aglutinasi Direk
S. Paratyphosa A Negatif Negatif Aglutinasi Direk
S. Paratyphosa B Negatif Negatif Aglutinasi Direk
S. Paratyphosa C Negatif Negatif Aglutinasi Direk

E. Daftar Masalah
 BAB cair > 10 kali sehari
 Demam ± 3 hari sering pada malam hari dan kadang disertai menggigil
 Mual-muntah >10 kali sehari

5
 Nafsu makan berkurang
 Mialgia
 Lemas
 Nyeri tekan epigastrium

F. Diagnosa
Berdasarkan gejala, tanda, masalah yang ditemukan, serta pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, disimpulkan pasien ini menderita :
 Demam Tifoid Sedang

G. Terapi
 IVFD RL 30 tpm
 Levofloxacin 1x500 mg (IV)
 PCT 3x500 mg
 Diet lemak rendah serat

H. Prognosis
 Quo vitam dubia ad bonam
 Quo functionam dubia ad bonam
 Quo sanationam dubia ad bonam

I. Follow up

Tangga S O A P
l
21/04/ Demam KU: TSS Typhoid • IVFD RL 30 tpm
2017 (+), Kesadaran : CM Fever • Levofloxacin 1x500
Mual (-), TD:100/60mmHg mg IV
Muntah N : 86x/menit • PCT 3x500 mg
(-), R : 20x/menit • Diet lemak rendah
Mencret S : 37,5 oC serat
(-), K/L: Ca(-/-), SI (-/-), OC(-), P • Cek Feses Lengkap
Pusing >KGB(-) • Widal Test
(-) Thorax : Pulmo
simetris (+), ikut gerak napas
(+), retraksi (-), NT (-), vocal
fremitus ka = ki, sonor, SN :
vesikuler, rhonki (-/-),

6
wheezing (-/-),
Cor: ictus cordis (-), BJ I-II
murni reguler, murmur(-),
gallop (-)
Abdomen : datar, NT (+) H/L :
tidak teraba membesar, BU (+)
normal
Ekstermitas : akral hangat,
edema (+), CRT < 2”, ulkus
(-/-)
Vegetatif: Ma/Mi (-/+);
BAB/BAK (-/+)
22/04/ Demam KU: TSS Demam • Up Infus
2017 (+), Kesadaran : CM tifoid • Levofloxacin 1x500g
Mual (-), TD:100/60mmHg sedang • PCT 3x500 mg
Muntah N : 68x/menit • BPL
(-), R : 20x/menit
Mencret SB : 36,6 oC
(-), SpO2: 99%
Pusing K/L: Ca(-/-), SI (-/-), OC(-), P
(-) >KGB(-)
Thorax : Pulmo
simetris (+), ikut gerak napas
(+), retraksi (-), NT (-), vocal
fremitus ka = ki, sonor, SN :
vesikuler, rhonki (-/-),
wheezing (-/-),
Cor: ictus cordis (-), BJ I-II
murni reguler, murmur(-),
gallop (-)
Abdomen : datar, NT (+) H/L :
tidak teraba membesar, BU (+)
normal
Ekstermitas : akral hangat,
edema (+), CRT < 2”, ulkus
(-/-)
Vegetatif: Ma/Mi (+/+);
BAB/BAK (+/+)

7
BAB III
PEMBAHASAN

1. DEMAM TIFOID
1.1. Definisi
Demam tifoid ( enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat
pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, khususnya sore hingga
malam hari yang disebabkan oleh Salmonella typhi atau Salmonella paratyphi.1
1.2. Epidemiologi Demam Tifoid
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit menular. Demam tifoid pada umumnya menyerang penderita kelompok umur 5 – 30
tahun, laki – laki sama dengan wanita resikonya terinfeksi. Jarang pada umur dibawah 2
tahun maupun diatas 60. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang
mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah.2,3
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering
bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu
kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularannya biasanya tidak dapat ditemukan.2,3
Ada dua sumber penularan S. Typhi yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih
sering adalah pasien karier (pasien karier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan
masih terus mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun). Di
daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Di derah nonendemik penyebaran
terjadi melalui tinja.2,3

1.3. Etiologi Demam Tifoid

8
Demam tifoid merupakan infeksi akut usus halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi,
atau jenis yang virulensinya lebih rendah yaitu Salmonella paratyphi. Salmonella adalah
kuman gram negatif yang berflagela, tidak membentuk spora, dan merupakan bakteri anaerob
fakultatif yang memfermentasikan glukosa dan mereduksi nitrat menjadi nitrit. S.typhi
memiliki antigen H yang terletak pada flagela, O yang terletak pada badan, dan K yang
terletak pada envelope, serta komponen endotoksin yang membentuk bagian luar dari dinding
sel.2

Gambar 1. Bakteri Salmonella Typhi

9
Gambar 2. Daur hidup Salmonella Typhi dalam menginfeksi tubuh manusia4

1.4. Patogenesis Demam Tifoid


Masuknya kuman Salmonella typhi (S.Typhi) dan Salmonella parathypi (S.Parathypi) ke
dalam tubuh manusia terjadi melalui mekanisme makanan yang terkontaminasi kuman.
Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik,
maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina
propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama
oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya
dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.3

10
Gambar 2. Patogenesis Demam Tifoid

Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat pada makrofag ini masuk ke
dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimptomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikulo endothelial tubuh terutama di hati dan limfa. Di organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid
dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi sehingga mengakibatkan bakterimia
kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.3

11
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama
cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan
melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses
yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat
fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise,
mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi.3
Di dalam plak Peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasia jaringan.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plak Peyeri yang
sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding
usus. Proses patologi jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot, serosa
usus, dan dapat menghasilkan perforasi. Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel
kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik,
kardiovaskular, pernafasan, dan gangguan organ lainnya.3

1.5. Diagnosis Demam Tifoid

Penegakan diagnosis sedini mungkin sangat bermanfaat agar bias diberikan terapi yang
tepat dan meminimalkan komplikasi. Pengetahuan gambaran klinis penyakit ini sangat
penting untuk membantu mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu dibutuhkan
pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan diagnosis. 4,5

Diagnosis tifoid karier dapat ditegakkan berdasarkan ditemukannya kuman S.typhi pada
biakan feses ataupun urin pada seseorang tanpa tanda klinis infeksi atau pada seseorang yang
telah satu tahun paska demam tifoid. Saat ini, kultur darah langsung yang diikuti
dengan identifikasi mikrobiologi adalah standar emas untuk mendiagnosa demam tifoid. 4,5

1.6. Manifestasi klinis Demam Tifoid

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-gejala klinis yang timbul
sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari asimptomatik hingga gambaran
penyakit yang khas dengan komplikasi hingga kematian.3,5
Secara umum gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama ditemukan keluhan dan
gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya, yaitu demam, nyeri kepala,
pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di
perut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat.

12
Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pada sore hari hingga malam
hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardia
relatif (bradikardi realtif adalah peningkatan suhu 1◦C tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8
kali permenit), lidah yang berselaput (kotor ditengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, atau psikosis.3,5,6
Sekitar 10-15% pasien menjadi demam tifoid berat. Faktor yang mempengaruhi
keparahan meliputi durasi penyakit sebelum terapi, pilihan terapi antimikroba, tingkat
virulensi, ukuran inokulum, paparan sebelumnya atau vaksinasi, dan factor host lain seperti
jenis HLA, AIDS atau penekanan kekebalan lain, atau konsumsi antasida.7
Pada pengidap tifoid (karier) tidak menimbulkan gejala klinis dan 25% kasus
menyangkal bahwa pernah ada riwayat sakit demam tifoid. Pada beberapa penelitian
menyebutkan bahwa tifoid karier disertai dengan infeksi kronik traktus urinarius serta
terdapat peningkatan terjadinya karsinoma kandung empedu, karsinoma kolorektal dan lain-
lain. Sedangkan patofisiologi tifoid karier belum sepenuhnya diketahui.3

Pada pasien didapatkan manifestasi klinis berupa demam sekitar 3 hari yang
lalu sebelum masuk rumah sakit yang lebih sering timbul pada malam hari. Demam
awalnya tidak terlalu dirasa tinggi namun semakin lama semakin panas pada hari-hari
berikutnya. Pasien juga mengalami mual disertai muntah, nyeri perut, serta diare lebih
dari 10 kali sehari. Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan. Demam tifoid juga
dapat memiliki gejala diare khususnya diare sekretorik akibat endotoksin Salmonella
typhi. Bahkan pada beberapa kasus juga ditemukan demam tifoid dengan gejala diare
terlebih dahulu disusul oleh konstipasi beberapa hari kemudian. Pada pemeriksaan
fisik didapatkan mata cowong, nyeri tekan pada kuadran epigastrium.
Dari gejala-gejala tersebut yang dapat dipikirkan adalah demam tifoid dan
malaria karena sama-sama memiliki gejala seperti demam disertai menggigil, mual,
muntah, serta nyeri perut, diare dan anoreksia.

1.7. Pemeriksaan Labortorium

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dibagi


dalam empat kelompok, yaitu : (1) pemeriksaan darah perifer; (2) pemeriksaan bakteriologis

13
dengan isolasi dan biakan kuman; (3) uji serologis; dan (4) pemeriksaan kuman secara
molekuler.

1.7.1. Pemeriksaan darah perifer


Walaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap dapat ditemukan leukopenia, dapat
pula terjadi kadar leukosit normal atau leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun
tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan
trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia
maupun limfepenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat. Pemeriksaan
SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali menjadi normal setelah
sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.3

Pada hasil pemeriksaan hematologi pasien ditemukan leukositosis (leukosit:


14,3x103/uL dan anemia ringan (Hb: 11,3 g/dL).

1.7.2. Pemeriksaan bakteriologis


a. Kultur darah
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots.
Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan
dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium
berikutnya di dalam urine dan feses.3
Hasil biakan darah yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal sebagai
berikut:3
 Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur darah
telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan terhambat
dan hasil mungkin negatif.
 Volume darah yang kurang ( diperlukan kurang lebih 5 cc darah ), bila darah
yang dibiak terlalu sedikit hasil biakan bisa negatif. Darah yang diambil
sebaiknya secara bedside langsung dimasukkan ke dalam media cair empedu
( oxgall ) untuk pertumbuhan kuman.
 Riwayat vaksinasi. Vaksinasi dimasa lampau menimbulkan antibody dalam darah
pasien. Antibodi ( agluinin ) ini dapat menekan bakteremia hingga biakan darah

14
dapat negatif. Saat pengambilan darah setelah minggu pertama, dimana pada saat
itu agglutinin semakin meningkat.

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang


digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal
dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan
spesimen yang tidak tepat.7
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang
rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta
peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan
tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.7

1.7.3. Uji serologi


a. Uji Widal

Uji widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap kuman S.typhi. Pada uji widal
terjadi suatu reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang
disebut aglutinin.Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella
yang sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Maksud uji widal adalah
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka demam tifoid.
Akibat infeksi oleh S.typhi, pasien membuat antibodi ( aglutinin ) yaitu:3
• Aglutinin O, yaitu dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh
kuman)
• Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (berasal dari flagela kuman )
• Aglutinin Vi, karena rangsangan antigen Vi (berasal dari simpai kuman)

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang digunakan untuk
diagnosis demam tifoid. Makin tinggi titernya makin besar kemungkinan menderita
demam tifoid. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama
demam kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke
empat dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O, kemudian diikuti dengan aglutinin H. Pada orang yang telah sembuh
aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H
menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena itu uji widal bukanlah
pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit. 3

15
Faktor-faktor yang mempengaruhi uji widal, yaitu:

• Pengobatan dini dengan antibiotik, pemberian kortikosteroid


• Gangguan pembentukan antibodi. Saat pengambilan darah
• Daerah endemik atau non-endemik
• Riwayat vaksinasi
• Reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada infeksi bukan
demamtifoid akibat infeksi demam tifoid masa lalu atau vaksinasi.
• Faktor teknik ,akibat aglutinasi silang, strain salmonella yang digunakan untuk
suspensi antigen

Jika dilihat pola demam pasien yang cenderung meningkat pada malam
hari dan peningkatan suhu yang semakin tinggi, mialgia, ditambah dengan
adanya diare dengan konsistensi cair tanpa darah maka diagnosis sementara
adalah suspek demam tifoid. Namun hal ini masih perlu dibuktikan dengan
beberapa pemeriksaan. Untuk menegakkan diagnosis demam tifoid harus
terbukti ditemukannya kuman Salmonella typhi pada kultur dengan spesimen
darah, spesimen urin, atau spesimen feses. Pada pasien telah diperiksa uji Widal
namun sekarang sudah kurang dipakai karena Indonesia merupakan negara
yang endemik demam tifoid. Pada pasien dilakukan uji widal pada tanggal
22/04/2017. Hasil uji widal pasien adalah negatif, tapi tidak mengubah
diagnosis demam tifoid pada pasien. Hasil uji widal yang negatif pada pasien
bisa dikarenakan pengobatan dini dengan antibiotik yaitu telah diberikan
Levofloxacin selama 2 hari sebelum dilakukan pengambilan sampel darah
untuk uji widal.

b. TES TUBEX®

Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen
O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D.
Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya
antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.8

c. METODE ENZYME IMMUNOASSAY (EIA) DOT

16
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan
IgG terhadap antigen OMP (outer membrane protein) S. typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap
IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah
endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus
akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M® yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot® telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen
terhadap Ig M spesifik.7,14

Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila
dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal,
sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa Typhidot-M® ini dapat
menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan
diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.7,14

d. METODE ENZYME-LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA)

Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak


antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen
flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering
dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA.2

e. PEMERIKSAAN DIPSTIK

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana


dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan
menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita
pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan
alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas
laboratorium yang lengkap. Pemeriksaan ini juga sangat dipengaruhi hasilnya oleh
penggunaan antibiotik. 7,9

17
1.7.4. Pemeriksaan Kuman Secara Molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA
(asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam
nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui
identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. 7
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko
kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak
dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat
proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam
empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit.
Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang
memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium
penelitian.7

1.7.5. Tifoid Karier

Pemantauan bakteri di dalam feses adalah salah satu pilihan untuk mendeteksi


adanya kuman S.Typhi. Selanjutnya, pengambilan sampel tinja secara rutin pasti akan
memakan biaya yang besar, memakan waktu yang lama, walaupun perkembangan
bakteri di dalam feses dapat menjadi salah satu cara pemantauan pemulihan demam
tifoid. Namun, salah studi mengatakan bahwa pada tifoid karier akan menghasilkan
antibody Vi yang lebih tinggi dalam waktu lama dibandingkan pasien demam tifoid akut.
4

1.8. Diagnosis Banding Demam Tifoid


Paratifoid A, B, dan C, Infeksi virus dengue, malaria, influenza. 10,11

1.9. Komplikasi Demam tifoid


Komplikasi intestinal

 Perdarahan intestinal
 Perforasi usus
 Ileus paralitik
 Pankreatitis

18
Komplikasi ekstra-intestinal
 Kardiovaskular : miokarditis
 Hepatitis tifosa
 Tifoid toksik

1.10. Tatalaksana Demam Tifoid

Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid yaitu: 3
• Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat
penyembuhan.
• Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan pasien secara optimal.
• Pemberian antimikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.
a. Istirahat dan perawatan
Tirah baring dan perawatan profesional bertujuan untuk mencegah komplikasi.
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi,
buang air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa
penyembuhan.
Dalam perawatan perlu sekali di jaga kebersihan tempat tidur,pakaian, dan perlengkapan
yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia
ortostatik serta higiene  perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga.
b. Diet dan terapi penunjang

Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam
tifoid, karena makanan yang kurang akan menyebabkan menurunnya keadaan umum dan
gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.3

c. Pemberian antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah : 3,12
1. Kloramfenikol
Dosis diberikan 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara per oral atau intravena.
Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuskular tidak di
anjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan
terasa nyeri.
2. Tiamfenikol

19
Dosis dan efektifitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol,akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya 
anemia aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol
adalah 4 x 500 mg, demamrata-rata menurun pada hari ke 5 sampai hari ke 6.
3. Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa adalah 2 x 2 tablet ( 1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan 80
mg trimetoprin ) diberikan selama 2 minggu.
4. Ampisilin dan amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan  demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan antara 50- 150 mg/KgBB dan digunakan selama
2 minggu.
5. Sefalosporin generasi ketiga
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ke 3 yang tebukti efektif untuk demam
tifoida dalah seftriakson, dosis yang dianjurkan antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100
cc diberikan selama ½ jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.
6. Golongan fluorokuinolon
 Norfloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
 Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
 Ofloksasin dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
 Pefloksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
 Fleroksasin dosis 400 mg/hari selama 7 hari
 Levofloksasin dosis 1x500 mg/hari selama 5 hari

Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ke 3 atau menjelang hari ke 4.
Hasil penurunan demam sedikit lambat pada penggunaan norfloksasin yang
merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik
fluorokuinolon yang dikembangkan kemudian.

7. Kombinasi obat antimikroba

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja
antara laintoksik tifoid, peritonitis atau perforasi, septik syok, dimana pernah terbukti
ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman salmonella.

8. Kortikosteroid

20
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.

Pemberian antimikroba menurut sumber lain :


Tabel 1. Tatalaksana Demam tifoid 13

Pada pasien diberikan perawatan istirahat total (bed rest), dan diet lemak
rendah serat. Pada pasien ini dapat diberikan obat pilihan utama saat ini yaitu
golongan Fluoroquinolone selama 5-7 hari seperti Levofloksasin 1x500 mg/hari
selama 5 hari. Namun, jika resistensi terjadi terhadap golongan Fluoroquinolone,
maka pasien dapat diberikan golongan Sefalosporin generasi ketiga seperti
Seftriakson dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam dekstrosa 100cc
diberikan selama ½ jam perinfus sekali sehari, diberikan selama 3 hingga 5 hari.

1.11. Pencegahan Demam Tifoid


a. Preventif dan kontrol penularan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid : 3

1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi pada pasien asimptomatik, karier


atupun akut.

21
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun
karier yang dapat dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S.Typhi
3. Proteksi pada orang yang beresiko tinggi terinfeksi dengan cara vaksinasi

b. Vaksinasi
Indikasi vaksinasi : 3

• Hendak mengunjungi daerah endemik, resiko terserang demam tifoid


semakin tinggiuntuk daerah berkembang ( amerika latin, asia, afrika )
• Orang yang terpapar dengan penderita karier tifoid
• Petugas laboratorium / mikrobiologi kesehatan

Jenis vaksin :

• Vaksin oral Ty21a ( vivotif Berna ), belum beredar di Indonesia


• Vaksin parenteral VICPS ( Typhim Vi / Pasteur Merieux ), vaksin kapsul
polisakarida

Kontraindikasi :
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran alergi
atau reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena sedikitnya
data). Bila diberikan bersamaan dengan obat antimalarial dianjurkan minimal setelah
24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan tidak memberikan
vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamide atau antimikroba lainnya.
Efeksamping :
Pada vaksin oral Ty21a : demam dan sakit kepala. Pada vaksin parenteral
ViCPS : demam, malaise, sakit kepala, rush , nyeri lokal. Efek samping terbesar
pada parenteral adalah heatphenol inactivated, yaitu demam, nyeri kepala, dan reaksi
local nyeri dan edema bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok.
Efektivitas :
Serokonversi ( peningkatan titer antibodi 4 kali ) setelah vaksinasi dengan
ViCPS terjadi secara cepat yaitu sekitar 15 hari – 3 minggu dan 90 % bertahan selama
3 tahun. Kemampuan proteksi sebesar 77% pada daerah endemik ( Nepal ) dan
sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.

1.12. Prognosis

22
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan
tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka
kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.
Pada penderita ini prognosisnya baik, karena penderita cepat mencari pengobatan,
dan penatalaksanaan pemberian cairan yang adekuat, dan pemberian terapi demam
tifoid yang mencegah terjadinya komplikasi dari demam tifoid.

BAB IV
KESIMPULAN

23
Seorang laki-laki Ny. M. A, usia 21 tahun datang ke RS dengan keluhan utama
BAB cair tanpa darah lebih dari 10x perhari. Demam teruatama pada malam hari
disertai menggigil sekitar 3 hari. Penderita didapatkan sempat makan di pinggir jalan,
tapi biasanya tidak apa-apa. Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
laboratorium maka penderita di diagnosa demam tifoid sedang. Dengan pemberian
terapi suportif didapatkan perbaikan dan untuk pengobatan demam tifoid penderita
diberikan levofloksasin 1x500mg selama 5 hari.

DAFTAR PUSTAKA

24
1. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &
Penyakit Tropis, edisi 1. 2002. Jakarta : BP FKUI.

2. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002 ; 347(22): 1770-82


3. Widodo, Djoko. Demam Tifoid dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. 2014.
Jakarta : Interna Publishing

4. Baker et al. Searching For The Elusive Typhoid Diagnostic. BMC Infectious Diseases
2010, 10:45

5. Lifshitz, Edward I. Travel trouble: Typhoid fever--a case presentation and review. 


Journal of American College Health, 07448481, Vol. 45, Issue 3

6. Antony S.Fauci t al. Harrison’s Manual of Medicine 17 th


Edition. 2008. McGraw Hill

7. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment


and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18

8. Frankie, et al. The TUBEX test detects not only typhoid-specific antibodies but also
soluble antigens and whole bacteria. Journal of Medical Microbiology (2008), 57,
316–323

9. Gasem MH, Smits HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of a simple and
rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol
2002;51:173-7

10. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. 2000. Jakarta :
Media Aesculapius FKUI

11. Sastroasmoro, Sudigdo, dkk. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu


Penyakit Dalam RSCM. 2007 . Jakarta : RSUP.Nasional Dr.Cipto Mangunkusumo

12. Setiabudy, R dkk. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. 2007. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI

13. MK Bhan,et al. Typhoid and paratyphoid fever . All India Institute of Medical
Sciences, New Delhi 110029, India. Lancet 2005; 366: 749–62

14. Begum Zohra, et al. Evaluation of Typhidot (IgM) for Early


Diagnosis of Typhoid Fever. Bangladesh J Med Microbiol 2009; 03 (01): 10-13

25

Anda mungkin juga menyukai