Anda di halaman 1dari 16

HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 (2) 2019

ISSN 2337-4713 (E-ISSN 2442-8728)

Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870: Periode Awal


Swastanisasi Perkebunan Di Pulau Jawa

Masyrullahushomad1 Sudrajat1
1
Afiliasi (Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Jalan
Colombo No. 1 Yogyakarta 55281, Indonesia)
Shomadsejarah2013@gmail.com, sudrajat@uny.ac.id

Received 25 June 2019; Received in revised form 20 July 2019; Accepted 24 August 2019

Abstrak
Perkembangan perkebunan di Indonesia terbagi menjadi dua fase. Fase pertama disebut
dengan fase perkebunan negara (1830-1870). Sedangkan, fase kedua adalah fase
perkebunan swasta yakni fase pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang
Agraria). Agrarische Wet 1870 menjadi landasan yuridis formil masuknya investasi swasta
non pemerintah dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Dampak langsung dari
diterapkannya Agrarische Wet 1870 adalah meningkatnya intensitas jumlah ekspor
komoditas perkebunan dan semakin bertambah luasnya lahan perkebunan besar di Hindia
Belanda khususnya di Pulau Jawa.
Kata Kunci:Agrarische Wet 1870, swasta, perkebunan.

Abstract
The development of plantations in Indonesia is divided into two phases. The first phase is
called the state plantation phase (1830-1870). Meanwhile, the second phase is the private
plantation phase, the phase after the implementation of the Wet Agrarische 1870
(Agrarian Law). The Wet 1870 Agrarische became the formal juridical foundation for the
entry of non-government private investment in the plantation industry in the Indies. The
direct impact of the implementation of the Wet Agrarische 1870 was the increasing
intensity of the number of plantation commodity exports and the increasing breadth of
large plantation land in the Dutch East Indies, especially in Java.
Keywords: 1870 Agrarische Wet, private, plantation.

PENDAHULUAN untuk melakukan investasi di Hindia


Pasca kerja paksa, sistem politik dan Belanda. Hasilnya keluarlah Agrarische
kebijakan pertanahan memasuki babak Wet 1870 (Undang-Undang Agraria)
baru, yakni era ekonomi liberal berlaku (Salim, 2014: 18-19).
di Hindia Belanda. Pada periode ini, Sekilas, lahirnya Agrarische Wet
perdebatan di parlemen Belanda 1870, seolah memberi kabar gembira
tentang investasi perkebunan skala luas kepada rakyat pribumi karena rakyat
kemudian menghasilkan Regering pribumi akan diberikan hak eigendom.
Reglement (Agrarische Wet 1870). Akan tetapi, Agrarische Wet 1870
Sistem monopoli pemerintah kolonial hanyalah alasan untuk memuluskan
selama ini tentang tanah didesak oleh jalan pemodal asing untuk berinvestasi
swasta agar pihak swasta diberi ruang di Indonesia. Keuntungan yang besar

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 159


Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174

hanya dinikmati oleh para pemodal perkebunan besar di Hindia Belanda


asing, sementara rakyat pribumi khususnya di Pulau Jawa adalah gula,
hidupnya semakin merana (Anggraini, kopi, tembakau, teh, kareta, kina, dan
2016: 45-46). kelapa. Sedangkan, di luar Pulau Jawa
Sejak diberlakukannya adalah karet, kelapa sawit, dan
Agrarische Wet 1870, pengusaha- tembakau merupakan produk utamanya
pengusaha perkebunan Belanda dan (khususnya di Sumatera). Dalam periode
negara Eropa lainnya mendapatkan ini, komoditi gula mulai menggantikan
jumlah keuntungan yang luar biasa kedudukan kopi sebagai primadona
dengan berlandaskan pada colonial produk unggulan yang diproduksi di
super profit. Istilah ini mengacu pada Pulau Jawa. Berdasarkan analisis
kondisi akumulasi modal luar biasa dari tersebut, maka artikel ini akan
investasi modal asing yang mendapatkan membahas sejarah lahirnya Agrarische
tenaga kerja dengan jam kerja yang Wet 1870 dan hubungannya dengan
panjang dan upah yang rendah. Di swastanisasi perkebunan di Indonesia
samping itu, pihak pemodal tidak perlu khususnya di Pulau Jawa.
menanggung beban pembangunan
infrastruktur seperti fasilitas METODE
transportasi dan komunikasi. Semuanya Kajian ini dilakukan dengan
dibiayai oleh pemerintah yang diambil menggunakan metode sejarah yang
dari pungutan pajak oleh pemerintah mencakup empat tahap, yakni: heuristik
terhadap penduduk negeri jajahan (heuristik), kritik sumber (verifikasi),
(Achdian, 2008:20). interpretasi (oufassung), dan
Pemberlakukan Agrarische Wet historiografi (darstellung)
1870 selama lebih dari 70 tahun (1870- (Abdurrahman, 2011: 104). Sumber-
1942), menjadi landasan legal-politis sumber dalam kajian ini menggunakan
pemerintah kolonial Belanda dalam data-data sekunder yang relevan dengan
memfasilitasi perusahaan-perusahaan objek pembahasan. Sumber sekunder
kapitalis Eropa dengan hakerfpachtrecht adalah dokumen yang menguraikan atau
selama 75 tahun (Rachman, 2012: 15). membicarakan sumber primer. Katagori
Selama periode antara 1870 sumber sekunder adalah monografi,
hingga 1942 perkembangan modal buku-buku pelajaran, hasil kongres,
swasta dalam sektor perkebunan pasca makalah, prasaran, dan lain-lain
pemberlakuan Agrarische Wet 1870 (Marzuki, 2014: 36). Sumber-sumber
mendominasi perekonomian di Hindia tersebut didapatkan dari beberapa
Belanda. Beberapa komoditi utama perpustakaan, google book, dan jurnal-

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 160


HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 (2) 2019
ISSN 2337-4713 (E-ISSN 2442-8728)

jurnal resmi yang bisa diakses di yang dikatakan Pelzer bahwa karena
internet. ketergantungan pemerintah Belanda
terhadap perkebunan sebagai sumber
PEMBAHASAN devisa utama. Menyebabkan Pemerintah
LAHIRNYA AGRARISCHE WET 1870 Belanda terpaksa menyerah terhadap
Sistem perkebunan di Indonesia telah tuntutan pihak pemilik modal
hadir sejak era pendudukan kolonial perkebunan (Tim Riset Sistematis STPN,
Hindia Belanda. Keberadaan perkebunan 2010: 50).
kolonial tidak lepas dari pasang-surutnya Upaya untuk melakukan
dinamika ekonomi-politik di negeri swastanisasi perkebunan di Hindia
Belanda. Sebagai wilayah jajahan Belanda sebenarnya telah berlangsung
Belanda, di Indonesia pada waktu itu sejak masa pemerintahan Menteri
dikenal dua sistem perkebunan yang Jajahan Frans van de Putte. Pada tahun
menonjol, yaitu sistem perkebunan 1865, Menteri Jajahan Frans van de
“negara” (1830-1870) dan sistem Putte (seorang liberal) mengajukan
perkebunan swasta “liberal” (pasca sebuah Rencana Undang-Undang (RUU)
1870). Pada sistem yang pertama yang menyatakan bahwa: (1). Gubernur
pemerintah lebih banyak menggunakan Jenderal akan memberikan hal erfpacht
otoritasnya (high authority) untuk (hak guna usaha) selama 99 tahun, (2)
membeli berbagai komoditi yang Hak milik pribumi akan diakui sebagai
diperlukan dan tidak jarang dengan hak mutlak (eigendom), dan (3) Tanah
cara-cara paksa. komunal dijadikan hak milik perorangan
Selanjutnya, pada sistem sebagai hak mutlak (eigendom).
perkebunan swasta “liberal” terjadi Ternyata RUU ini ditolak oleh parleman
hubungan ketergantungan yang erat bahkan ditentang keras oleh sesama
antara pusat-pusat perkebunan dengan golongan liberal sendiri dengan tokoh
pusat-pusat metropolitan dengan pasar utamanya Thorbecke. Tidak hanya itu,
modalnya. Besarnya aliran investasi Menteri Jajahan Frans van de Putte
yang bebas dan luas menurut catatan akhirnya dijatuhkan dari jabatannya
Gordon telah menempatkan Belanda karena dianggap terlalu tergesa-gesa
sebagai negara investor terbesar nomor memberikan hak eigendom kepada
3 (tiga) di dunia yang sebagian besar pribumi. Sampai saat itu tujuan
investasinya ditanamkan di Hindia golongan swasta Belanda untuk
Belanda. Liberalisasi perkebunan ini menamkan modal di bidang pertanian di
tidak dapat dilepaskan dari tuntutan Hindia Belanda belum tercapai (Wiradi,
para pemilik modal perkebunan. Seperti 2000: 126-127).

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 161


Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174

Setelah jatuhnya Menteri Jajahan diundangkan dalam Staatsblad No. 118


Frans van de Putte dari tampuk tahun 1870. Pasal 1 dari Agrarisch
jabatannya sebagai Menteri Jajahan. Besluit inilah yang memuat suatu
Pada tahun 1866/1867, pemerintah pernyataan penting yang telah cukup
jajahan mengadakan penelitian tentang dikenal yaitu Domain Verklaring, yang
hak-hak penduduk Jawa atas tanah yang menyatakan bahwa “semua tanah yang
dilakukan di 808 desa di seluruh Jawa. tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada
Laporan penelitian ini terbit dalam tiga hak milik-mutlak (eigendom) adalah
jilid pada tahun 1876, 1880, dan 1890 domain negara (domain negara
dengan judul Eindresume van het maksudnya milik negara)”. Agrarisch
Onderzoek naar de Rechten van den Besluit 1870 inilah menjadi tonggak
Inlander op de Grond (biasa disingkat: penting swastanisasi perkebunan di
Eindresume). Ternyata pemerintah Hindia Belanda (Wiradi, 2000: 126-127).
Belanda tidak sabar menunggu hasil Undang-undang Agraria yang lahir
penelitian ini. Pada tahun 1870, Menteri pada 9 April 1870 yang menjadi pasal 51
Jajahan de Waal mengajukan RUU ke dari Wet op de Indische Staatsregeling,
parlemen. Isinya terdiri dari 5 ayat. isinya sebagai berikut:
Kelima ayat ini kemudian ditambah 3 1. Gubernur Jenderal tidak boleh
ayat dari pasal 62 RR tersebut di muka, menjual tanah,
sehingga menjadi 8 ayat, di mana satu 2. Larangan itu tidak mengenai tanah-
diantaranya menyebutkan bahwa tanah kecil untuk perluasan kota
Gubernur Jenderal akan memberikan dan desa untuk mendirikan
hak erfpacht selama 75 tahun (bukan perusahaan dan bangunan,
lagi 99 tahun) seperti dalam RUU van de 3. Gubernur Jenderal dapat
Putte yang sebelumnya ditolak menyewakan tanah yang diatur
Parlemen. dalam undang-undang. Dalam
Pasal 62 RR dengan 8 ayat ini peraturan ini tidak termasuk tanah
kemudian menjadi Indische yang telah dibuka oleh rakyat
Staatsregeling (IS) yang diundangkan Indonesia atau dipergunakan untuk
dalam Lembaran Negara (Staatsblad) tempat menggembala ternak bagi
No. 188 tahun 1870. Ketentuan- umum atau yang masuk dalam
ketentuan tersebut dalam lingkungan desa untuk keperluan
pelaksanaannya diatur dengan berbagai umum lainnya,
peraturan dan keputusan. Salah satu 4. Dengan undang-undang akan
keputusan penting ialah apa yang diberikan tanah-tanah dengan hak
dikenal dengan Agrarisch Besluit yang

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 162


HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 (2) 2019
ISSN 2337-4713 (E-ISSN 2442-8728)

pakai turun-temurun untuk selama- 1. Pemberian hak erfpacht atas tanah


lamanya 75 tahun, yang berupa hutan belukar;
5. Gubernur Jenderal menjaga agar 2. Perlindungan hak rakyat Indonesia
jangan sampai pemberian tanah itu atas tanah;
melanggar hak-hak rakyat 3. Membuka kemungkinan bagi rakyat
Indonesia, Indonesia untuk mendapatkan hak
6. Gubernur Jenderal tidak boleh yang lebih kuat atas tanahnya;
mengambil tanah-tanah yang telah 4. Persewaan tanah oleh bangsa
dibuka oleh rakyat Indonesia untuk Indonesia kepada bangsa asing.
keperluan mereka sendiri, atau Maksud yang terkandung dalam
untuk keperluan lain kecuali untuk undang-undang itu menyatakan:
kepentingan umum berdasarkan 1. Menjamin kepentingan modal besar
pasal 133 I.S., dan untuk keperluan partikeliryang akan menanamkan
perkebunan yang diselenggarakan modalnya di lapangan pertanian dan
oleh pemerintah menurut perkebunan dengan memberi
peraturan-peraturan yang berlaku kesempatan kepada modal besar
untuk itu; semuanya itu dengan partikelir untuk mendapatkan tanah
pemberian ganti rugi yang layak, dengan jaminan dan perlindungan
7. Tanah-tanah yang dimiliki oleh akan perkembangannya,
rakyat Indonesia dapat diberikan 2. Melindungi hak milik rakyat atas
kepadanya dengan hak eigendom, tanah sebagai golongan yang lemah
dengan syarat-syarat dan dari akibat no. 1 di atas, dengan
pembatasan yang diatur dalam memberi kesempatan kepada rakyat
undang-undang, dan harus Indonesia untuk mendapatkan hak
tercantum dalam surat tanda agraris eigendom atas tanahnya
eigendom itu, yaitu mengenai sebagai hak yang lebih kuat, serta
kewajiban-kewajiban pemilik tanah perlindungan dengan Undang-
kepada negara dan desa, dan juga undang agar jangan sampai
tentang hak menjualnya kepada tanahnya itu gampang jatuh ke
orang yang bukan orang Indonesia, tangan orang asing. Isi dua maksud
8. Persewaan tanah oleh rakyat dari Undang-undang di atas sangat
Indonesia kepada orang asing bertentangan antara yang satu
berlaku menurut undang-undang. dengan yang lain.
Seterusnya dalam undang-undang Dari dua maksud tersebut dapat
itu termasuk juga hak-hak baru atas ditarik benang merahnya yaitu harus
tanah, di antaranya disebutkan: mengorbankan salah satu di antaranya.

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 163


Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174

Keduanya merupakan pilihan yang cukup pengertian ekonomi dualistik dan statik
sulit, ibaratnya memelihara harimau dan expansion lepas dari penilaian terhadap
kambing dalam satu kandang. Harimau pengertian-pengertian di atas
harus gemuk, kambing perlu hidup dan mengindikasikan kemandekan ekonomi
jangan mati (Tauchid, 2009: 24-26) rakyat.
Salah satu inti perundangan Demikian pun konsep involusi
tersebut, Domein Verklaring, pertanian dari Geertz mengindikasikan
merupakan langkah awal yang radikal berkurangnya tanah bagi petani dan
dalam mengusahakan sentralisasi pemiskinan. Daya jangkau dan teknologi
penguasaan tanah dan sumber daya lain saat itu tidak memungkinkan negara
ke tangan negara secara faktual. (kolonial) dan pemodal besarnya saat itu
Ekonomi Belanda saat itu telah siap cepat berekspansi keseluruh kawasan
untuk ekspansi modalnya secara Indonesia. Hanya beberapa enklave,
mendiri, tidak lagi diwakilkan pada seperti Sumatera Timur/Deli,
negara kolonial seperti sebelumnya, di menyaksikan ekspansi kapital dalam
daerah kolonial. Kawasan yang dianggap bentuk perkebunan-perkebunan
bebas kepemilikan, terutama daerah tembakau dan berakibat pada
dataran tinggi, di definisikan sebagai penggusuran tanah-tanah penduduk
tanah negara dan dapat disewakan pada diprakarsai oleh penguasa pribumi yang
swasta selama 75 tahun. Di dataran mempunyai kepentingan sama dengan
rendah swasta dapat menyewa tanah pekebun-pekebun asing. Di segi lain,
dari penduduk. Perkebunan tanaman ekspansi negara (kolonial) ini
keras bermunculan, dan kawasan tanam berdampak pada kebutuhan sistem
paksa (seperti daerah tebu) sedikit demi pemerintahan yang langsung. Terutama
sedikit beralih dari negara ke tangan di Jawa, pemerintahan desa
swasta. berkembang menjadi bagian integral
Intervensi radikal dari negara dari pemerintah pusat (kolonial),
(kolonial) ke dalam sistem penguasaan mengabdi dan loyal pada kepentingan
tanah dan produksi masyarakat sejak pemerintahan pusat (kolonial) dan
awal telah berdampak besar pada modal besar (Shohibuddin, 2012: 45-46).
kehidupan rakyat di desa maupun Vollenhoven (2013: 166-167)
kelembagaan pemerintahan pedesaan. menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang
Penelitian dari pemerintah Belanda ditetapkan dalam Agrarische Wet 1870
sendiri memperlihatkan peningkatan dituangkan rinciannya dalam keputusan-
kemiskinan di antara penduduk desa. keputusan agraria atau Agrarisch Besluit
Studi-studi dari Boeke yang melontarkan yang hanya berlaku di Jawa dan Madura.

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 164


HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 (2) 2019
ISSN 2337-4713 (E-ISSN 2442-8728)

Inti dari Agrarisch Besluit dijabarkan DAMPAK DARI DIBERLAKUKANNYA


dalam Staatsblad 1870 No. 118, dan AGRARISCHE WET 1870
produk-produk selanjutnya berisi Pada era ini, semua tanah tak bertuan
perubahan berbagai pasal dari atau tanah kosong dikuasai oleh negara,
Staatsblad 1870 No. 118 itu. Yang sehingga negara bertindak sebagai
termasuk keputusan agrarian adalah: dominum (pemilik tanah). Hal ini
Statasblad 1870 No. 118 dimungkinkan supaya negara dapat
Staatsblad 1872 No. 116 menjual hak penguasaan tanah kepada
Staatsblad 1874 No. 78 swasta. Ketentuan ini dituangkan di
Staatsblad 1877 No. 196 dan 270 dalam Pasal 1 Agrarische Besluid tahun
Statasblad 1888 No. 78 1870 yang mengatur mengenai asas
Staatsblad 1893 No. 151 domein verklaring, dengan ketentuan
Staatsblad 1893 No. 199 bahwa semua tanah yang tidak
Staatsblad 1896 No. 140 dapatdibuktikan dengan hak eigendom-
Staatsblad 1904 No. 325 nya adalah domein negara (Wodowati,
Staatsblad 1910 No. 185 2014 15).
Staatsblad 1912 No. 235 Bertolak dari kepentingan politik
Staatsblad 1916 No. 647 dan 683 keagrariaan Belanda di Hindia Belanda,
Staatsblad 1926 No. 321 maka negara harus dijadikan pemilik
Staatsblad 1935 No. 118 jo tanah tertinggi. Dasar pemikirannya
Staatsblad1937 No. 339 adalah karena daerah jajahan telah
ditaklukkan secara militer sehingga
Domeinverklaring dinyatakan
menjadi ‘daerah taklukkan’
dalam Agrarische Besluit Staatsblad
(gekongcuesteert gebied) maka
1870 No. 118 dan berlaku untuk Jawa
tanahnya pun menjadi ‘tanah taklukkan’
dan Madura. Untuk wilayah di luar Jawa
(agri limitati-Lat.). Berdasarkan
dan Madura secara umum,
kenyataan itu, negara bisa menjadi
domeinverklaring dinyatakan dalam
pemilik tanah tertinggi atas ‘tanah
Staatsblad 1875 No. 199a. Dan untuk
taklukkan’. Dasar hukumnya untuk
wilayah-wilayah khusus, adalah sebagai
daerah jajahan, kemudian dirumuskan
berikut:
dalam Pasal 1 Agrarische Besluit 1870
Sumatra: Staatsblad 1874 No. 94f
yang merupakan penjelasannya
Manado: Staatsblad 1877 No. 55
Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang
Kalimantan Selatan/Timur:
Agraria 1870). Dalam Pasal 1 Agrarische
Staatsblad 1888 No. 58
Wet 1870 itu ditegaskan bahwa seluruh
tanah adalah milik negara

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 165


Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174

(landsdomein), kecuali dapat dibuktikan hukum pemegang hak milik ‘eigendom’


dengan bukti hak milik ‘eigendom’ atas tanah yaitu negara dan orang
berdasarkan Pasal 570 KUHPInd. Dengan sebagai pribadi hukum, seperti tampak
demikian, struktur kepemilikan tanah di dalam Diagram No. 3 berikut.
daerah jajahan yang diteruskan oleh
pemerintahan negara Hindia Belanda
adalah hanya mengenal dua subjek

Diagram Struktur pemilikan hak milik ‘eigendom’ di Hindia Belanda

Sumber: Abstraksi Herman Soesangobeng dari BW/KUHPInd. dan Agrarische Wet 1870.

Diagram no. 3 ini menjelaskan untuk keperluan negara maupun untuk


bahwa hak milik tanah yang sah secara diberikan kepada pengusaha swasta
hukum hanyalah hak eigendom yang Belanda bagi pengembangan usaha
diatur dalam asal 570 BW/KUHPdt. pertanian atau perkebunan.
Demikian pula subjek pemegang haknya Karena sebelum VOC sampai
pun hanya warga negara Belanda dan terbentuknya pemerintahan Negara
orang Eropa yang tunduk pada hukum Belanda sudah ada penduduk-penduduk
sipil Belanda (BW/KUHPdt.). Negara Indonesia yang menduduki dan
sebagai subjek hukum baik dalam arti menguasai tanah berdasarkan Hukum
‘corpus comitatus’ maupun ‘corpus Adat mereka. Maka konsep tanah milik
corporatum’ adalah ‘pemilik tertinggi’ negara itupun lalu dibedakan antara
(het hoogste eigenar) atas seluruh tanah tanah milik negara yang bebas (vrij
dalam wilayah Negara. Konsep landsdomein) dan tanah negara yang
kepemilikan tertinggi ini pada sistem tidak bebas (onvrij landsdomein). Tanah
hukum komon (common law system) di milik negara bebas adalah tanah-tanah
Amerika disebut ‘right of eminent milik negara yang tidak dilekati oleh
domein’. Dengan ketentuan ini maka hak-hak orang Bumiputra dengan hukum
pemerintah Hindia Belanda berhak adatnya. Sebaliknya tanah negara tidak
dengan bebas mengambil kembali tanah bebas adalah tanah milik negara yang
miliknya yang dikuasai penduduk diduduki dan dikuasai oleh orang
Bumiputra. Bila diperlukannya baik Bumiputra berdasarkan hukum adat

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 166


HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 (2) 2019
ISSN 2337-4713 (E-ISSN 2442-8728)

mereka, sehingga hak adat orang sebagai eigendom dan agrarische


Bumiputra masih melekat pada tanah eigendom”. Domein Verklaring
milik negara (Soesangobeng, 2012: 87- mengakibatkan tersubordinasinya sistem
89). hukum asli Indonesia. Kata eigendom
Politik hukum pemerintah dalam Pasal 1 AB 1870 tersebut
kolonial Belanda yang mempunyai menimbulkan 3 (tiga) interpretasi:
pengaruh besar pada eksistensi tanah Pertama, tanah eigendom dapat
ulayat adalah diundangkannya Agrarisch diartikan menjadi tanah yang dalam
Wet 1870 (Stb. 1870 No. 155)27, dengan hukum perdata disebut sebagai hak
peraturan pelaksanaannya Agrarisch kepemilikan eigendom dan agrarisch
Besluit 1870, yang memberlakukan asas eigendom. Kedua, karena eigendom
domein dalam sistem penguasaan tanah. dapat diterjemahkan sebagai
Pasal 1 AB 1870 berbunyi: “Behoundens kepemilikan, ini dapat berarti tanah
opvolging van de tweede en derde dalam segala bentuk kepemilikan
bepaling der voormelde wet, blijft het pribadi, termasuk hak-hak adat yang
beginsel gehandhaafd, dat alle grond, setara dengan kepemilikan, tetapi tidak
waaropniet door anderen recht van termasuk hak (kepemilikan komunal)
eigendom wordt bewezen, domein van masyarakat adat yang disebut hak
de Staat is (“Dengan tidak mengurangi ulayat. Ketiga, ini dapat mencakup hak
berlakunya ketentuan dalam Pasal 2 dan kepemilikan dalam hukum perdata dan
3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan hak-hak adat yang setara dengan
asas, bahwa semua tanah yang pihak kepemilikan termasuk hak ulayat. Pada
lain tidak dapat membuktikan sebagai praktiknya, interpretasi pertama yang
hak eigendomnya, adalah domein (milik) dipakai (Sembiring, 2018: 88-90).
negara.
Pemberlakuan asas domein KAKAKTERISTIK PERKEBUNAN SWASTA
merupakan ide kaum kapitalis Belanda BERDASARKAN AGRARISCHE WET 1870
untuk mempermudah perolehan Sistem perkebunan besar mulai
erfpacht dan opstal, sebab, menurut hadir di Indonesia sebagai akibat politik
KUH Perdata, hanya pemilik (eigneaar) liberal pemerintah kolonial Belanda
yang dapat memberikan hak-hak atas melalui Agrarische Wet 1870. Dengan
tanah kepada pihak lain. Dalam diberlakukannya Agrarische Wet 1870
Agrarisch Wet, pemerintah bukan (Undang-Undang Agraria) dan Undang-
pemilik tanah sehingga berdasarkan asas Undang Gula (Suiker Wet) 1870 menjadi
domein, negara adalah pemilik semua landasan mulai dibukanya perkebunan
tanah kecuali yang bisa dibuktikan swasta di Pulau Jawa. Dibukanya

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 167


Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174

perkebunan swasta menandai di dalam masyarakat; dan keempat,


dimulainya kebijakan kolonial yakni tumbuh budaya tertentu yang
dimulainya periode liberal (1870-1900). memperkuat hubungan-hubungan sosial
Sebelumnya monopoli pemerintah yang terbentuk itu (Wiradi, 2009: 60).
terhadap tanaman ekspor secara Selain itu, berbeda dari
bertahap dihapuskan sejak 1860-an. kebijakan cultuurstelsel yang bertumpu
Pertama kebijakan ini diberlakukan pada dan memanfaatkan sistem desa.
terhadap tanaman yang tidak Agrarische Wet 1870 sebaliknya hendak
menguntungkan dan terakhir tebu melepaskan tanah dari ikatan-ikatan
(akhirnya berakhir pada 1890) serta kopi komunalnya pada desa dan
(daerah terakhir yang menerapkan membebaskan warga dari kerja wajib
tanam paksa kopi baru ditutup pada kepada desa. Pemerintah kolonial juga
1919). Periode liberal bertepatan mengakui hak milik warga atas tanahnya
dengan ekspansi kekuasaan Belanda di dan melarang perpindahan hak milik itu
luar Jawa. Eksploitasi perdagangan di kepada orang-orang asing. Namun,
pulau-pulau lainnya berlangsung selama tujuan yang lain di balik itu sebenarnya
abad ke-20. Akan tetapi, pada akhir adalah untuk memungkinkan pengusaha
abad ke-19 produk-produk dari pulau- partikelir dapat menguasai tanah-tanah
pulau di luar Pulau Jawa sudah masuk di luar tanah negara, yakni tanah-tanah
dalam kalkulasi perdagangan Belanda garapan penduduk karena sekaligus akan
(Ricklefs dkk, 2013: 335-336 ; Kahin, dapat menguasai tenaga kerjanya. Hal
2013: 16-17). ini dilakukan melalui kontrak sewa
Karakteristik sistem produksi tanah kepada para petani pemiliknya
perkebunan swasta pada masa ini dan merekrut mereka sebagai tenaga
umumnya mempunyai empat atribut kerja perkebunan melalui sistem upahan
yang melekat padanya, yaitu: pertama, (Shohibuddin, 2010: 36-37).
berorientasi ekspor dalam skala besar;
kedua, kebutuhan tenaga kerja sangat PERKEMBANGAN PERKEBUNAN SWASTA
besar dibanding dengan yang dapat DI JAWA
tersedia oleh pasar (tenaga kerja) Agrarische Wet 1870 (Undang-
domestik yang bebas; ketiga, diperlukan Undang Agraria) memberikan kebebasan
mekanisme ekstra-pasar (pemaksaan dan jaminan keamanan kepada para
oleh aparatur pemerintah) guna pengusaha (investor). Undang-undang ini
memenuhi kebutuhan tersebut dan menekankan pribumilah yang dapat
mekanisme ini sangat dominan dalam memiliki tanah. Namun, orang-orang
menentukan hubungan-hubungan sosial asing diperkenankan menyewanya dari

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 168


HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 (2) 2019
ISSN 2337-4713 (E-ISSN 2442-8728)

pemerintah selama 75 tahun atau dari lahan dimaksimalkan dengan sebaik


para pemilik pribumi selama 5 sampai mungkin. Daerah dengan demografi
20 tahun (tergantung persyaratan pada dataran tinggi digunakan untuk
hak pemilikan tanah). Perkebunan menanam kopi, teh, kina, dan ketela
swasta pasca diberlakukannya pohon di ladang-ladang. Sedangkan, di
Agrarische Wet 1870 dapat berkembang dataran rendah, perusahaan perkebunan
di Pulau Jawa maupun di daerah-daerah menanam tebu, kakao, dan tembakau
luar Pulau Jawa. Pembukaan Terusan (Oudejans, 1999: 25-26). Perkembangan
Suez pada tahun 1869 dan paling mencolok dari swastanisasi
perkembangan pelayaran dengan kapal perkebunan di Pulau Jawa adalah
uap (sebagian berada di tangan orang- perkembangan dalam industri gula
orang Inggris) dalam waktu yang kira- (barang dagangan penting dari Hindia
kira sama mendorong lebih lanjut Belanda pada waktu itu). Dengan
perkembangan swasta dengan semakin tersedianya modal swasta dalam jumlah
membaiknya sistem perhubungan besar. Perkebunan-perkebunan gula dan
dengan Eropa (Ricklefs, 2008: 271). beberapa perkebunan lainnya dapat
Ekspansi besar-besaran mengimpor mesin dan berbagai
perusahaan perkebunan dan peralatan yang dapat meningkatkan
pengusahaan tanaman perdagangan di produktifitas produksinya. Misalnya
Hindia Belanda terjadi antara 1870 dan dalam hal perkebunan gula, perluasan
1920, terutama gula dan tebu di Jawa lahan produksi dan kemajuan teknik
(termasuk juga teh dan kopi) dan produksi yang diintroduksi dalam
kemudian karet dan kelapa sawit di industri ini menyebabkan kenaikan
Sumatera. Dalam kurun waktu ini, produksi yang pesat.
industri pertanian atau perkebunan di Dalam tahun 1870 luas tanah di
Hindia Belanda mengalami Pulau Jawa yang ditanami gula
perkembangan yang sangat pesat. berjumlah 54.176 bahu. Sedangkan
Meskipun di sisi lain terjadi penurunan dalam tahun 1900 jumlah itu meningkat
setelah resesi 1884-1885, dengan menjadi 128.301 bahu. Di pihak lain,
perbaikan yang terjadi secara lambat produksi gula meningkat lebih pesat
pada dasawarsa 1890-an. Perkembangan lagi, yaitu dari 2.440.000 pikul dalam
prosfek perkebunan di Hindia Belanda tahun 1870 meningkat menjadi
terus berlangsung hingga meletusnya 12.050.544 pikul dalam tahun 1900.
Perang Dunia I (Padmo, 1991:27). Demikian pula perkebunan-perkebunan
Pasca diterapkannya Agrarische teh mengalami perkembangan yang
Wet 1870 di Pulau Jawa pemanfaatan pesat, terutama setelah perusahaan-

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 169


Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174

perusahaan perkebunan mulai ditanam Daerah-daerah utama penghasil gula di


dengan teh Assam. Tanaman ekspor lain Pulau Jawa ada di Pantai Utara Jawa
yang mengalami kenaikan dalam yang memiliki sistem pengairan sawah
produksi adalah tembakau. Jauh yang sangat baik, yaitu antara
sebelumnya tembakau telah ditanam di Keresidenan Cirebon sampai Semarang,
daerah Yogyakarta dan Surakarta. kemudian di Selatan Gunung Muria
Selama zaman liberalisme, pengusaha- hingga Juwana. Kemudian daerah
pengusaha Belanda mendirikan pula kesultanan (varstenlanden) termasuk
perkebunan-perkebunan tembakaudi produsen gula yang baik pula. Menyusul
sekitar Basuki Jawa Timur yang setelah itu keresidenan Madiun, Kediri,
kemudian mengalami perkembangan dan Basuki di Jawa Timur. Selain itu,
pesat. wilayah Probolinggo, Pasuruan, Malang,
Perkebunan-perkebunan di dan daerah-daerah Surabaya hingga
Basuki tersebut bekerja sama erat Jombang di Pantai Utara Jawa juga
dengan penduduk sekitar yang juga termasuk produsen gula utama Jawa
menanam tembakau yang kemudian (Leirissa, 2012: 65). Adapun
disortir dan diolah selanjutnya di perkembangan ekspor Hindia Belanda
perkebunan-perkebunan besar. Di tahun 1874-1914 dapat dilihat pada
samping itu modal dan usaha Belanda Tabel 1.1. Berdasarkan Tabel 1.1. di
mendirikan perkebunan-perkebunan atas terlihat bahwa terjadi
tembakau yang besar di sekitar Deli perkembangan luar biasa ekspor Hindia
Sumatera Timur. Tanaman-tanaman Belanda pada periode tahun 1874-1914.
dagang lainnya yang dihasilkan Sebagai suatu catatan, perlu diingat
perkebunan-perkebunan besar yang juga bahwa setelah 1885 perkembangan
mengalami perkembangan pesat adalah tanaman perdagangan mulai berjalan
kopi dan kina. Selama masa ini Hindia seret diakibatkan jatuhnya harga gula
Belanda menjadi penghasil kina paling dan kopi di pasaran internasional.
terkemuka di dunia karena hampir 90% Jatuhnya harga gula di pasar dunia
kina yang digunakan di dunia pada diakibatkan di Eropa mulai dilakukan
waktu itu berasal dari perkebunan- penanaman gula bit (beet sugar)
perkebunan kina di Jawa. Di pihak lain, sehingga mereka tidak perlu lagi
kopi tidak mengalami perkembangan mengimpor dari Hindia Belanda. Pada
begitu pesat selama seperti selama tahun 1891 harga tembakau di pasar
sistem tanam paksa berlaku internasional juga jatuh sehingga
(Poesponegoro, 2008: 377). mengancam kelangsungan hidup

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 170


HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 (2) 2019
ISSN 2337-4713 (E-ISSN 2442-8728)

perkebunan-perkebunan tembakau di
Deli, Sumatera Timur.

Tabel 1.1. Ekspor Hindia Belanda, 1874-1914 (dalam jutaan Gulden)


Komoditi 1874 1914 Perubahan (%)
Gula 50 183 +266
Kopi 68 23 -66
Teh 3 27 +800
Rempah-Rempah 6 14 +133
Tembakau 11 64 +482
Kopra 0 61 +
Timah 5 41 720
Minyak Bumi 0 137 ++
Karet 0 27 ++
Asal:
Jawa+Madura 144 360 +150
Luar Jawa 25 324 +1.196
Hindia Belanda 169 685 +305
Sumber: Van Zanden & Marks (2012), h. 85 dalam Boediono (2016: 53)

Krisis perdagangan tahun 1885 dipilih dan diangkat oleh pemilik saham.
juga ikut memukul bank-bank Begitu juga dengan bank perkebunan
perkebunan (cultur banken) yang (cultur banken) juga tetap melanjutkan
meminjamkan uang ke berbagai usahanya sebagai pemberi kredit kepada
perusahaan perkebunan. Akibat perkebunan-perkebunan. Namun,
jatuhnya usaha perkebunan, maka setelah krisis 1885 mereka pun juga
secara otomatis ikut jatuh pula bank- mengadakan pengawasan atas operasi
bank perkebunan. Selain itu, krisis perkebunan-perkebunan besar tersebut.
perdagangan pada tahun 1885 Pada akhir abad ke-21 terjadi
mengakibatkan terjadinya reorganisasi perkembangan baru dalam kehidupan
dalam kehidupan ekonomi Hindia ekonomi di Hindia Belanda. Sistem
Belanda. Perkebunan-perkebunan besar liberal murni dengan persaingan bebas
tidak lagi sebagai usaha milik mulai ditinggalkan dan digantikan
perseorangan. Akan tetapi, dengan suatu tata ekonomi yang lebih
direorganisasi menjadi perseroan- terpimpin. Kehidupan sosial-ekonomi
perseroan terbatas. Hindia Belanda khususnya di Jawa mulai
Pemimpin perkebunan bukan lagi dikendalikan oleh kepentingan-
pemiliknya secara langung tetapi oleh kepentingan finansial dan industrial di
seorang manajer. Artinya seorang yang negeri Belanda. Kewenangan-
digaji dan langsung bertanggungjawab kewenangan tidak lagi diberikan kepada
kepada direksi perkebunan yang biasa pemimpin perkebunan-perkebunan besar

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 171


Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174

yang berkedudukan di Jawa (Daliman, Belanda pada waktu itu). Dengan


2012: 52-53). tersedianya modal swasta dalam jumlah
PENUTUP besar. Perkebunan-perkebunan gula dan
Simpulan beberapa perkebunan lainnya dapat
Perkembangan sistem perkebunan mengimpor mesin dan berbagai
di Hindia Belanda tidak lepas dari peralatan yang dapat meningkatkan
pasang-surutnya dinamika ekonomi- produktifitas produksinya. Misalnya
politik di negeri Belanda. Sebagai dalam hal perkebunan gula, perluasan
wilayah jajahan Belanda, di Hindia lahan produksi dan kemajuan teknik
Belanda pada waktu itu dikenal dua produksi yang diintroduksi dalam
sistem perkebunan yang menonjol, yaitu industri ini menyebabkan kenaikan
sistem perkebunan “negara” (1830- produksi yang pesat. Meskipun di sisi
1870) dan sistem perkebunan swasta lain terjadi penurunan setelah resesi
“liberal” (pasca diterapkannya 1884-1885, dengan perbaikan yang
Agrarische Wet 1870). Perkembangan terjadi secara lambat pada dasawarsa
swastanisasi perkebunan di Hindia 1890-an. Perkembangan prosfek
Belanda mendapatkan momennya sejak perkebunan di Hindia Belanda terus
diberlakukannya Agrarische Wet berlangsung hingga meletusnya Perang
1870.Agrarische Wet 1870 menjadi Dunia I.
landasan yuridis-formil masuknya
investasi asing dalam industri Saran
perkebunan di Hindia Belanda. Pemodal Penelitian mengenai sejarah sosial
swasta diberikan hak erfpacht (hak guna ekonomi di Indonesia sangat menarik.
usaha)selama 75 tahun oleh pemerintah Banyak sekali objek kajian yang bisa
Belanda untuk membuka lahan dikaji, terutama mengenai kondisi sosial
perkebunan baru di Hindia Belanda. ekonomi Indonesia pada masa
Selama periode antara 1870 hingga 1942 penjajahan Hindia Belanda. Salah
perkembangan modal swasta dalam satunya ialah penelitian ini yang
sektor perkebunanpasca pemberlakuan membahas konsep dan dampak
Agrarische Wet 1870 mendominasi penerapan Agrarische Wet 1870
perekonomian di Hindia Belanda. terhadap perkembangan perkebunan di
Khusus di Pulau Jawa, Indonesia khususnya di Pulau Jawa.
perkembangan paling mencolok dari Agrarische Wet 1870 inilah yang
swastanisasi perkebunan adalah kemudian menjadi pintu gerbang utama
perkembangan pesat industri gula swastanisasi perkebunan di Indonesia
(barang dagangan penting dari Hindia jelas berpengaruh besar terhadap

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 172


HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah Volume 7 (2) 2019
ISSN 2337-4713 (E-ISSN 2442-8728)

perubahan sosial dan ekonomi Padmo, Soegijanto., dan Djatmiko,


Edhie. (1991). Tembakau Kajian
masyarakat Indonesia khususnya Pulau
Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya
Jawa pada saat itu dan masa sekarang. Media.

Poesponegoro, Marwati Djoened., dan


DAFTAR PUSTAKA
Notosoesanto, Nugroho. (2008).
Sejarah Nasional Indonesia IV.
Abdurrahman, Dudung. (2011).
Jakarta: Balai Pustaka.
Metodelogi Penelitian Sejarah
Islam. Yogyakarta: Ombak.
Rachman, Noer Fauzi.(2012). Land
Reform Dari Masa Ke Masa.
Achdian, Andi. (2008). Tanah Bagi yang
Yogyakarta: Tanah Air Beta dan
Tak Bertanah: Landreform Pada
Konsorsium Pembaruan Agraria
Masa Demokrasi Terpimpin. Bogor:
(KPA).
Kekal Press.
Ricklefs, Merle Calvin. (1981). A History
Anggraini, Gita. (2016). Islam dan
of Modern Since c. 1200 Fourth
Agraria Telaah Normatif dan
Edition. 2008. Tim Penerjemah
Historis Perjuangan Islam dalam
Serambi. Jakarta: Serambi Ilmu
Merombak Ketidak Adilan Agraria.
Semesta.
Yogyakarta: STPN Press.
Ricklefs, Merle Calvin dkk. (2013).
Boediono. (2016). Ekonomi Indonesia:
Sejarah Asia Tenggara Dari Masa
Dalam Lintasan Sejarah. Bandung:
Prasejarah Sampai Kontemporer.
Mizan.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Daliman, A. (2012). Sejarah Indonesia
Salim, M. Nazir dkk. (2014). Dari Dirjen
Abad XIX-Awal Abad XX: Sistem
Agraria Menuju Kementrian
Politik Kolonial dan Administrasi
Agraria: Perjalanan Kelembagaan
Pemerintahan Hindia Belanda.
Agraria, 1948-1965. Yogyakarta:
Yogyakarta: Ombak.
STPN Press.
Kahin, George McTuran. (1952).
Sembiring, Julius. (2018). Dinamika
Nationalism and Revolutin in
Pengaturan dan Permasalahan
Indonesia. 2013. Terjemahan oleh
Tanah Ulayat. Yogyakarta: STPN
Tim Komunitas Bambu. Jakarta:
Press.
Komunitas Bambu.
Shohibuddin, Mohamad (Ed.). (2012).
Leirissa, R.Z dkk. (2012). Sejarah
Pembentukan Kebijakan Reformasi
Perekonomian Indonesia.
Agraria, 2006-2007 Bunga Rampai
Yogyakarta: Ombak.
Perdebatan. Yogyakarta: STPN
Press.
Marzuki, A.B Yas. (2004). Metodelogi
Penelitian Sejarah dan
Shohibuddin, Mohamad., dan Luthfi,
Historiografi. Palembang: Fakultas
Ahmad Nashih. (2010). Land
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Reform Lokal A La Ngandagan:
Universitas Sriwijaya.
Inovasi Sistem Tenurial Adat
Oudejans, Jan H.M. (1999).
Sebuah Desa Jawa, 1947-1964.
Development of Agriculture in
Yogyakarta: STPN Press.
Indonesia. 2006. Terjemahan oleh
Edhi Martono. Yogyakarta: Gadjah
Soesangobeng, Herman. (2012). Filosofi,
Mada University Press.
Asas, Ajaran, Teori, dan Agraria.
Yogyakarta: STPN Press.

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 173


Penerapan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraia) 1870…, Masyrullahushomad, dkk., 159-174

Tauchid, Muchammad. (2009). Masalah


Agraria Sebagai Masalah
Penghidupan dan Kemakmuran
Rakyat Indonesia. Yogyakarta:
STPN Press.

Vollenhoven, Cornelis van. (1923). De


Indonesier en Zijn Ground. 2013.
Terjemahan oleh Soewargono.
Yogyakarta: STPN Press.

Wiradi, Gunawan. (2000). Reformasi


Agraria Perjalanan yang Belum
Berakhir. Yogyakarta: INSIST Press.

Wiradi, Gunawan. (2009). Seluk Beluk


Masalah Agraria, Reforma Agraria
dan Penelitian Agraria.
Yogyakarta: STPN Press.

Wodowati, Dyah Ayu dkk. (2014).


Pengakuan dan Perlindungan Hak
Atas Tanah Masyarakat Hukum
Adat di Kawasan Hutan.
Yogyakarta: STPN Press.

Tim Riset Sistematis STPN. (2010).


Pengembangan Kebijakan Agraria
untuk Keadialan Sosial,
Kesejahteraan Masyarakat, dan
Keberlanjutan Ekologis.
Yogyakarta: STPN Press.

DOI : 10.24127/hj.v7i2.2045 174

Anda mungkin juga menyukai