Masyrullahushomad1 Sudrajat1
1
Afiliasi (Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Jalan
Colombo No. 1 Yogyakarta 55281, Indonesia)
Shomadsejarah2013@gmail.com, sudrajat@uny.ac.id
Received 25 June 2019; Received in revised form 20 July 2019; Accepted 24 August 2019
Abstrak
Perkembangan perkebunan di Indonesia terbagi menjadi dua fase. Fase pertama disebut
dengan fase perkebunan negara (1830-1870). Sedangkan, fase kedua adalah fase
perkebunan swasta yakni fase pasca diterapkannya Agrarische Wet 1870 (Undang-Undang
Agraria). Agrarische Wet 1870 menjadi landasan yuridis formil masuknya investasi swasta
non pemerintah dalam industri perkebunan di Hindia Belanda. Dampak langsung dari
diterapkannya Agrarische Wet 1870 adalah meningkatnya intensitas jumlah ekspor
komoditas perkebunan dan semakin bertambah luasnya lahan perkebunan besar di Hindia
Belanda khususnya di Pulau Jawa.
Kata Kunci:Agrarische Wet 1870, swasta, perkebunan.
Abstract
The development of plantations in Indonesia is divided into two phases. The first phase is
called the state plantation phase (1830-1870). Meanwhile, the second phase is the private
plantation phase, the phase after the implementation of the Wet Agrarische 1870
(Agrarian Law). The Wet 1870 Agrarische became the formal juridical foundation for the
entry of non-government private investment in the plantation industry in the Indies. The
direct impact of the implementation of the Wet Agrarische 1870 was the increasing
intensity of the number of plantation commodity exports and the increasing breadth of
large plantation land in the Dutch East Indies, especially in Java.
Keywords: 1870 Agrarische Wet, private, plantation.
jurnal resmi yang bisa diakses di yang dikatakan Pelzer bahwa karena
internet. ketergantungan pemerintah Belanda
terhadap perkebunan sebagai sumber
PEMBAHASAN devisa utama. Menyebabkan Pemerintah
LAHIRNYA AGRARISCHE WET 1870 Belanda terpaksa menyerah terhadap
Sistem perkebunan di Indonesia telah tuntutan pihak pemilik modal
hadir sejak era pendudukan kolonial perkebunan (Tim Riset Sistematis STPN,
Hindia Belanda. Keberadaan perkebunan 2010: 50).
kolonial tidak lepas dari pasang-surutnya Upaya untuk melakukan
dinamika ekonomi-politik di negeri swastanisasi perkebunan di Hindia
Belanda. Sebagai wilayah jajahan Belanda sebenarnya telah berlangsung
Belanda, di Indonesia pada waktu itu sejak masa pemerintahan Menteri
dikenal dua sistem perkebunan yang Jajahan Frans van de Putte. Pada tahun
menonjol, yaitu sistem perkebunan 1865, Menteri Jajahan Frans van de
“negara” (1830-1870) dan sistem Putte (seorang liberal) mengajukan
perkebunan swasta “liberal” (pasca sebuah Rencana Undang-Undang (RUU)
1870). Pada sistem yang pertama yang menyatakan bahwa: (1). Gubernur
pemerintah lebih banyak menggunakan Jenderal akan memberikan hal erfpacht
otoritasnya (high authority) untuk (hak guna usaha) selama 99 tahun, (2)
membeli berbagai komoditi yang Hak milik pribumi akan diakui sebagai
diperlukan dan tidak jarang dengan hak mutlak (eigendom), dan (3) Tanah
cara-cara paksa. komunal dijadikan hak milik perorangan
Selanjutnya, pada sistem sebagai hak mutlak (eigendom).
perkebunan swasta “liberal” terjadi Ternyata RUU ini ditolak oleh parleman
hubungan ketergantungan yang erat bahkan ditentang keras oleh sesama
antara pusat-pusat perkebunan dengan golongan liberal sendiri dengan tokoh
pusat-pusat metropolitan dengan pasar utamanya Thorbecke. Tidak hanya itu,
modalnya. Besarnya aliran investasi Menteri Jajahan Frans van de Putte
yang bebas dan luas menurut catatan akhirnya dijatuhkan dari jabatannya
Gordon telah menempatkan Belanda karena dianggap terlalu tergesa-gesa
sebagai negara investor terbesar nomor memberikan hak eigendom kepada
3 (tiga) di dunia yang sebagian besar pribumi. Sampai saat itu tujuan
investasinya ditanamkan di Hindia golongan swasta Belanda untuk
Belanda. Liberalisasi perkebunan ini menamkan modal di bidang pertanian di
tidak dapat dilepaskan dari tuntutan Hindia Belanda belum tercapai (Wiradi,
para pemilik modal perkebunan. Seperti 2000: 126-127).
Keduanya merupakan pilihan yang cukup pengertian ekonomi dualistik dan statik
sulit, ibaratnya memelihara harimau dan expansion lepas dari penilaian terhadap
kambing dalam satu kandang. Harimau pengertian-pengertian di atas
harus gemuk, kambing perlu hidup dan mengindikasikan kemandekan ekonomi
jangan mati (Tauchid, 2009: 24-26) rakyat.
Salah satu inti perundangan Demikian pun konsep involusi
tersebut, Domein Verklaring, pertanian dari Geertz mengindikasikan
merupakan langkah awal yang radikal berkurangnya tanah bagi petani dan
dalam mengusahakan sentralisasi pemiskinan. Daya jangkau dan teknologi
penguasaan tanah dan sumber daya lain saat itu tidak memungkinkan negara
ke tangan negara secara faktual. (kolonial) dan pemodal besarnya saat itu
Ekonomi Belanda saat itu telah siap cepat berekspansi keseluruh kawasan
untuk ekspansi modalnya secara Indonesia. Hanya beberapa enklave,
mendiri, tidak lagi diwakilkan pada seperti Sumatera Timur/Deli,
negara kolonial seperti sebelumnya, di menyaksikan ekspansi kapital dalam
daerah kolonial. Kawasan yang dianggap bentuk perkebunan-perkebunan
bebas kepemilikan, terutama daerah tembakau dan berakibat pada
dataran tinggi, di definisikan sebagai penggusuran tanah-tanah penduduk
tanah negara dan dapat disewakan pada diprakarsai oleh penguasa pribumi yang
swasta selama 75 tahun. Di dataran mempunyai kepentingan sama dengan
rendah swasta dapat menyewa tanah pekebun-pekebun asing. Di segi lain,
dari penduduk. Perkebunan tanaman ekspansi negara (kolonial) ini
keras bermunculan, dan kawasan tanam berdampak pada kebutuhan sistem
paksa (seperti daerah tebu) sedikit demi pemerintahan yang langsung. Terutama
sedikit beralih dari negara ke tangan di Jawa, pemerintahan desa
swasta. berkembang menjadi bagian integral
Intervensi radikal dari negara dari pemerintah pusat (kolonial),
(kolonial) ke dalam sistem penguasaan mengabdi dan loyal pada kepentingan
tanah dan produksi masyarakat sejak pemerintahan pusat (kolonial) dan
awal telah berdampak besar pada modal besar (Shohibuddin, 2012: 45-46).
kehidupan rakyat di desa maupun Vollenhoven (2013: 166-167)
kelembagaan pemerintahan pedesaan. menyatakan bahwa prinsip-prinsip yang
Penelitian dari pemerintah Belanda ditetapkan dalam Agrarische Wet 1870
sendiri memperlihatkan peningkatan dituangkan rinciannya dalam keputusan-
kemiskinan di antara penduduk desa. keputusan agraria atau Agrarisch Besluit
Studi-studi dari Boeke yang melontarkan yang hanya berlaku di Jawa dan Madura.
Sumber: Abstraksi Herman Soesangobeng dari BW/KUHPInd. dan Agrarische Wet 1870.
perkebunan-perkebunan tembakau di
Deli, Sumatera Timur.
Krisis perdagangan tahun 1885 dipilih dan diangkat oleh pemilik saham.
juga ikut memukul bank-bank Begitu juga dengan bank perkebunan
perkebunan (cultur banken) yang (cultur banken) juga tetap melanjutkan
meminjamkan uang ke berbagai usahanya sebagai pemberi kredit kepada
perusahaan perkebunan. Akibat perkebunan-perkebunan. Namun,
jatuhnya usaha perkebunan, maka setelah krisis 1885 mereka pun juga
secara otomatis ikut jatuh pula bank- mengadakan pengawasan atas operasi
bank perkebunan. Selain itu, krisis perkebunan-perkebunan besar tersebut.
perdagangan pada tahun 1885 Pada akhir abad ke-21 terjadi
mengakibatkan terjadinya reorganisasi perkembangan baru dalam kehidupan
dalam kehidupan ekonomi Hindia ekonomi di Hindia Belanda. Sistem
Belanda. Perkebunan-perkebunan besar liberal murni dengan persaingan bebas
tidak lagi sebagai usaha milik mulai ditinggalkan dan digantikan
perseorangan. Akan tetapi, dengan suatu tata ekonomi yang lebih
direorganisasi menjadi perseroan- terpimpin. Kehidupan sosial-ekonomi
perseroan terbatas. Hindia Belanda khususnya di Jawa mulai
Pemimpin perkebunan bukan lagi dikendalikan oleh kepentingan-
pemiliknya secara langung tetapi oleh kepentingan finansial dan industrial di
seorang manajer. Artinya seorang yang negeri Belanda. Kewenangan-
digaji dan langsung bertanggungjawab kewenangan tidak lagi diberikan kepada
kepada direksi perkebunan yang biasa pemimpin perkebunan-perkebunan besar