Anda di halaman 1dari 33

Panembrama Redaksi

A
khir-akhir ini banyak hal terjadi di luar pra-duga dan pra-kira kemampuan
manusia. Sementara manusia adalah makhluk yang rentan akan lupa, sebab
upaya mengingat itu sendiri adalah cobaan. Barangkali, itulah mengapa
manusia dianugerahi kelebihan supaya menyadari kekurangan. Karena
kekurangan merupakan pengantar kecukupan. Kecukupan itu satu dari sekian
banyak hal survive dalam gerak kebudayaan kita.

Betapapun tak terkirakan dan tak terperikannya atas nama masalah, cobaan,
persoalan, bencana, musibah yang saling silang sengkarut menyelubungi kabut
tebal kehidupan. Ditambah lagi tindak tanduk manusia dalam lelaku kehidupan
sosial, politik, ekonomi dan budaya semakin tak jelas juntrungannya. Semoga hal
demikian justru malah mampu membesarkan hati serta mendewasakan pikiran.
Mari kita ucapkan salam kepada kebudayaan masalah dan cobaan kebudayaan.
Bahwa kita lebih besar dari itu semua.

Kebesaran kita adalah menyadari kecilnya diri ini sebagai pembelajaran


rendah hati atas rasa syukur bahwasanya kita memang belum mampu berbuat apa-
apa. Satu niat bersama yang paling bisa kita lakukan hanyalah latihan menulis dan
belajar membaca. Kepada kehidupan kita belajar membaca. Kepada yang memberi
hidup kita latihan menulis gerak yang menghidupi.

Demikianlah, buletin Lintang yang lahir di tengah-tengah kita merupakan


pemberdayaan bersama menabung karya di masa depan yang silam. Untuk itu,
segala bentuk saran, komentar, kritik, tanggapan, dan lain sebagainya rasanya
wajib diadakan. Karena memang dibutuhkan lagi diperlukan sebagai sari pelajaran
kita mengolah cipta, rasa dan karsa.

Segera nantinya akan dibukakan kolom khusus terkait hal di atas, upaya
demikian tak lain untuk mengembangkan tradisi diskusi, dialog dengan metode
diskursus dan diskursif yang komprehensif. Dengan tidak mengesampingkan
kedewasaan dan keterbukaan yang lambat-laun dua nilai tersebut meminta untuk
ditanam dan ditumbuh-kembangkan kembali.

Pembaca budiman yang saling mencintai dan menyayangi, yang mengolah


daya dan mengelola kehidupan, yang siaga dalam perkembangan dan
pertumbuhan arti manusia sejatinya. Dipersilakan masuk ruang Lintang, pintu kami
selalu terbuka pada kemungkinan pembelajaraan tentang belajar bersama. (SJM)

19 Oktober 2018

Salam Redaksi
Daftar Isi :

Stepa

- Kelahiran (Lintang) Ulang Alik
4
- Lintang Panjerino
- Agama Ateis: Berbuat Baik Aja Kok Repot
- Penonton dan Panggung

Carangan

- Film Horor
12
- Dakwah Preman Kepada Ustadz

Layar

- Tengkorak: Merekonstruksi Ulang Tubuh-Purba
16
• Arena
- Nya: Pertunjukan Dialektika Kesadaran
19
• Rimba
- Hutan Lestari, Masyarakat Sejahtera
24
• mBelik
- Pada Ampas Jeruk Itu
27
- Sajak Katak
- Ode Bantal
- Ta
- Kramat
- (P)ulang?
- Kokang Ingatan
- Sebakar, Kabar Sekarat

Pengurus Buletin Lintang :


Dewan Redaktur : Mufakat Omah Puisi | Penanggung Jawab Redaksi : Musyawarah
Syahruljud Maulana dan Sobrun jamil | Editor : M. Faiz Hakim Nahzi dan Riza Hamdani | Ilustrasi
Sampul dan Desain Grafis : Faizal Hidayat dan Akhsan Baihaqi

Buletin Lintang menerima kiriman karya berupa esai, cerpen, puisi, komik strip, catatan film dan
teater. Karya dengan format .docx/.pdf dikirim ke alamat surel : buletin.lintang@gmail.com

Buletin Lintang membuka taman kreativitas bagi pertukaran ide dan gagasan perihal seni,
budaya, sosial dan politik. Diharapkan menjadi ruang pemikiran belajar bersama tentang
kesusastraan dan kebudayaan serta ikut meramaikan dinamika sastra Indonesia. Buletin Lintang
diusahakaan terbit sebulan sekali
dan kebinatangan. Padahal keduanya jelas,
sejatinya beda; di satu sisi, kenikmatan
manusia adalah kemanusiaannya, dan di
lain sisi, kebahagiaan binatang adalah
kebinatangannya.
Mungkin, memang demikian
“Lintang” kehidupan yang sedang kita jalani.
Kita seolah sedang membaca buku sebuah
novel langit, selalu tak berkesudahan. Isi
cerita tersebut mengajak
kita membayangkanapa yang kita bayang-
kan, ternyata cuma bayang-bayang yang
tak terbayang. Sudah di halaman
berapakah kita membacanya sekarang?
Kalau kita gambarkan,

Kelahiran (Lintang) seperti apa garis


kemauannya dan
keinginannya?
Bagaimana pola
Ulang Alik ketetapan dan
ketepatan kehendak-
“Lintang bukan sekadar nama buletin kita, nya dalam metode alur
setiap ceritanya?
melainkan derap langkah kebudayaan kini”
Karena itulah,
Oleh: Mas Syah upaya terkecil untuk kita belajar adalah

D
i tengah meluapnya arus media bertanya sekaligus menjawab dengan
sosial kini, informasi seperti banjir pertanyaan. Hidup memang berisi
bandang. Namun siapa mampu bimbingan pertanyaan, sementara jawaban
menghentikan nyanyian sumbang dari lagu- adalah pintu masuk keabadian ke yang
lagu bimbang semacam itu? Dengan daya sejati. Berkat panduan pertanyaan-
upaya apalagi kita mesti membendung pertanyaan yang menjadi arsenal
orkestra lintas suara? kehidupan. Pelan-pelan kita mampu
Jawaban yang paling mungkin dari mengerahkan kebudayaan dan
segala kemungkinan adalah tidak mungkin. menyongsong peradaban yang gilang-
Cuma ketidakmungkinan itulah pegangan gemilang. Akan tetapi, limitasi pengetahuan
akal dan bekal hati hidup manusia, untuk kita ihwal tersebut amatlah terbatas. Maka,
senantiasa teguh mendaya-gunakan suatu kita perlu menyangsikan segala sesuatu;
kemungkinan sampai ketemu mungkin. seperti bertanya tentang masa kini itu?
Artinya, yang paling mungkin dari segala Lalu, di hadapan cermin, kita juga bertanya
kemungkinan adalah ketidakmungkinan. tentang masa depan itu? Kitapun tak luput
Meskipun tanah tempat tinggal kita, dari pertanyaan tentang masa lalu itu?
tidak terlalu kecil bagi pertumbuhan rasa Pertanyaan adalah latihan dasar
cemas. Desa dan lingkungan sekitar kita, mengolah kehidupan. Sebab, gerak
juga tidak luas untuk menampung prihatin. kehidupan selalu diliputi paradoksial.
Sementara di kota, tidak pernah cukup kita Seperti halnya kebudayaan, mesti ada
menumpuk-numpuk perasaan ndak tega. polemik. Itulah motor kesadaran alamiah,
Oleh sebab kehidupan kita terlampau lumrah dan wajar supaya gerak kehidupan
dipenuhi oleh tiga hal: ciut, cekak, dan tidak lamban dan kebudayaan tidak macet.
cetek. Karena itulah, manusia perlu gelisah,
Akibatnya, kita cenderung membikin kemudian mau berpikir. Setelah berpikir, ia
persoalan-persoalan yang di-nyata-kan dan tergerak lagi.
sangat antusias tatkala meng-ada-kan Dengan rasa khawatir, saya
persoalan demikian sebagai laboratorium menemani kelahiran Lintang ke jagat baca
masalah kehidupan. Melalui eksperimen dan tulis. Sebermula dari proses kausalitas
percobaan pembiasan antara kemanusiaan yang berlaku menjalin-mengurai benang
kehidupan, maka buletin “Lintang” berupaya pandangan alternatif, dan jangan sampai
menawarkan ruang bagi pertukaran ide dan tergoda arus perusakan supaya tidak
gagasan yang tidak lazim dari pengamatan takabur juga terhadap perbaikan. Pokoknya,
orang-orang tidak biasa. Dengan niat, tidak menambah masalah dan penyakit
menabung karya untuk anak-cucu kelak. yang telah tersedia, melainkan bersedia
Pada dasarnya, menulis adalah sepenuh jiwa-raga dan segenap ketulusan
gerak yang menghidupi, kalau boleh hati mendekonstruksi historisnya adalah
dikatakan, berarti pula perang diri sendiri keberpihakan terhadap kesucian manusia.
antara kesialan dan kesia-siaan. Kita sama Yang senantiasa segar idenya dan
tidak tahu, mesti apa menyambut kelahiran gagasannya.
Lintang ini. Yang paling bisa kita lakukan Sejujurnya, Lintang hadir bukan
sekarang adalah senang ketika sedih, dan diantar oleh tulisan yang mengandung
bersedih meskipun senang. Karena setiap ketidak-jelasan ini dan yang syarat kesia-
hari mungkin terbuang dan berulang siaan kalaupun dipahami. Inilah doa mohon
kebahagiaan saat kecewa, serta suka-duka kita semua. Inilah panembrama
kekecewaan waktu bahagia. sederhana orang-orang biasa. Inilah kidung
Sejalan pandangan Lintang di atas, yang mengalun mengikuti arah, sifat,
mula-mula diniatkan menggali filosofi, karakter dan kepribadian kebudayaan esok
paradigma, intuisi, pemahaman dan hari.
pemikiran yang terkandung dalam Yang perlu kita ketahui bersama
pengetahuan di dalam diri manusia. Artinya, adalah, Lintang merupakan hasil pergulatan
kita bersama-sama memufakatkan dan di abad-abad lalu sejak nenek moyang kita
musyawarah tentang perumusan nilai-nilai merumuskan kebudayaan sendiri sesuai
dari segala lini lapangan bidang kehidupan. mode, pola dan corak kedaerahan. Itulah
Karena sejauh yang ditawarkan pola resistensi perlawanan terhadap “bentuk”
kebudayaan sekarang ini adalah meniru. kebudayaan piramida.
Peradaban kita ditentukan oleh imitasi dan Akhir kalam, inilah nyanyian syukur
replika. Hal itu disebabkan, karena corak dan pemaafan atas kekhilafan apapun yang
pendidikan sangat menekankan unsur menyebabkan mata Anda merasa sakit
kognitif. Baru pada tataran menghafal dan karena telah sudi membacanya. Salam
mengingat semua kumpulan data sekalian padamu, saudaraku.
fakta, untuk dijadikan kesimpulan iya atau
tidak. Dengan mengesampingkan metode 20 Oktober 2018
merunut fetakompli permasalahan, kritis
terhadap banyak hal, dan seterusnya;
meliputi bidang analisis, hipotesis, sampai
ketemu kesimpulan. Padahal, dalam
beberapa hal kita perlu kritik. Dalam
beberapa hal lain boleh sependapat.
Rasanya, tidak hanya pendidikan
yang mengalami dekadensi dan degradasi.
Baik itu secara moral, akhlak, budi pekerti
dan karakter. Memang dalam hal apapun,
kita terikat dengan pendidikan dan ketat
pembelajaran. Yang menjadi dasar sifat
kedewasaan yakni tentang keterbukaan
terhadap penerimaan dan menerima. Persis
semacam tirakat, melakukan apa yang tidak
kamu senangi, tidak melakukan apa yang
kamu senangi.
Semoga Lintang, anak rohani Omah
Puisi serta kerabat-kerabat lainnya, bersiap
untuk menyangsikan segala sesuatu, berani
mengatasi keadaan, menawarkan
Oleh: Sobrun Jamil
AGAMA ATEIS: BERBUAT BAIK AJA akan percuma, tak ada nilainya, kalau pada
KOK REPOT praktiknya kita menipu, memeras, korupsi,
Oleh: Denis Malhotra pelit, zalim terhadap orang miskin dan anak
yatim, menghardik orang lemah, berlaku
Tokoh sosiologi Auguste Comte menindas, arogan, egois, dan lain
pernah bilang bahwa orang beragama itu sebagainya.
berarti orang yang lemah karena
bergantung pada Tuhan.Maka bisa Nah ada salah satu yang menarik
dikatakan sebaliknya, orang yang tidak pada mereka yang mengaku ateis, bisa
beragama adalah orang yang kuat, dibilang sisi positifnya-lah.Bahwa orang
sehingga tak membutuhkan Tuhan untuk yang mengaku ateis adalah mereka yang
bergantung. terbebas dari atribut sosial dan
kelembagaan. Sehingga apa pun yang
Tapi pertanyaannya, adakah mereka lakukan, tak mengorbankan
manusia yang benar-benar kuat dalam arti agama, lembaga, institusi, dan sebagainya.
ad infinitum, tidak terbatas, tidak Karena mereka hadir di lapangan sosial
bergantung, tidak membutuhkan bantuan mewakili dirinya sendiri, sebagai pribadi.
apa pun dari luar dirinya? Beda dengan orang yang mengaku
beragama, ketika ia celaka atau berbuat
Hmmm, rasanya sesuper-supernya keburukan, yang dihakimi justru agamanya,
manusia, selama ia bernaung di alam lembaganya, institusinya, orangtuanya,
semesta yang diliputi ruang dan waktu ini bahkan rupa penampilan khas
maka selama itu pula ia bergantung, kelompoknya. Singkat kata, orang ateis
membutuhkan bantuan, punya kelemahan, mewakili dirinya sendiri, sedang orang
dan punya "sesuatu" yang kepadanya ia beragama selalu mewakili identitas yang
berserah diri. selalu tersemat pada dirinya.

Lantas bagaimana dengan mereka Sebagai bahan introspeksi, saya jadi


yang mendaku diri ateis? teringat Mahatma Gandhi, saat ditanya soal
pakaiannya yang kuyuh, Gandhi menjawab,
Bagi saya, ateis itu sendiri beragam. "Aku tak butuh pakaian bagus jika itu malah
Tak semua ateis punya konsep berpikir mendatangkan penindasan."Dalam
yang sama. Tapi prinsipnya, ateis itu juga spektrum yang lebih luas, saya bisa tiba
bertuhan, dalam artian ada sesuatu yang pada suatu kesimpulan bahwa percuma
padanya mereka bergantung.Hanya saja berlebih-lebihan mendaku diri beragama,
konsep Tuhan mereka berbeda dengan saleh, alim, ahli ibadah, tapi perilakunya
konsep Tuhannya orang beragama seringkali menimbulkan mudarat bagi
umumnya (yang diakui negara).Tapi intinya kehidupan alih-alih bermanfaat bagi
mereka punya keyakinan, meskipun manusia lainnya.
mereka mengatakan bahwa mereka tidak
berkeyakinan.Sebab bukankah untuk Maka hendaknya dalam beragama,
sekadar mengatakan "aku tidak yakin" pun bersikaplah biasa-biasa saja, tak perlu
seseorang butuh keyakinan, bukan? sesumbar, yang penting tunjukkan lewat
tindakan nyata bisa memberikan
Namun agaknya soal-soal seperti ini ketenteraman dan keharmonisan bagi
takkan selesai bila dibicarakan.Karena kehidupan, minimal lingkungan sekitar. Toh,
saya percaya argumen saya sendiri ini bisa seperti yang dibilang Gus Dur, kalau kau
dibantah.Dan saya sendiri tidak terlalu berbuat baik, orang takkan bertanya,
tertarik menyoal panjang lebar hal-hal apalagi mempermasalahkan, apa
seperti ini.Karena bagi saya tak penting agamamu.... Gitu aja kok repot!
seseorang mendaku diri beragama atau
tidak. Yang utama, bagi saya, dalam hidup November 2018
adalah bagaimana seseorang mengolah
hidupnya sendiri, terutama bagaimana ia
memperlakukan manusia, alam, dan
seluruh makhluk yang ada di bumi.
Beragama atau tidak beragama, semuanya
Oleh: Dhandi Rj Sam
Penonton
P
ada zaman dahulu, panggung adalah
pilihan pas untuk melaksanakan
ibadat dan ritual lainnya, mulai masa
awalnya Teater di abad 6 S.M hingga
sampai ke rumah panggung yang cukup
Panggung &
"We think too much, and feel too little."
beragam di Utara Kuru sampai Nusantara - Charles Chaplin
Raya. Entah sudah berapa milyar kali
manusia mendirikan sebuah panggung dari Mungkin keagungan panggung telah
awal hingga kini, tak pernah ada yang banyak kehilangan porsinya. Dikaji dari segi
menghitungnya. Bahkan saya menduga obrolan warkop, panggung isadibilang mati
lebih banyak panggung yang tak rasa. Tidak ada hal yang tidak bisa diduga
terdokumentasi oleh sejarah. seperti dulu, semua sudah sedia
susunannya. Semua akan berjalan sesuai
Dan ketika sudah ada kata alurnya, alhasil sang penghibur telah
"panggung", lantas semua hal merujuk menyiapkan setiap gerak-gerik sampai
lebih dekat kepada Teater, Musik dan dengan segala macam ekspresinya. Semua
hiburan atas nama kesenian lainnya. jadi serba palsu, serba sandiwara. Toh,
Khusus di Teater, panggung adalah satu kalaupun ada improvisasi mungkin hanya
kesatuan yang mungkin tidak bisa ala kadarnya. Untuk mengisi ruang
dipisahkan. Tidak seperti musik, yang gerak/mengganti gerak yang terlupa.
mengalami perubahan drastis, Teater
seperti manusia, tidak dapat berevolusi Padahal, penonton seperti saya
dengan cepat. Musik telah kehilangan adalah mahluk yang jenisnya tidak bisa
pamornya dalam dunia panggung, hanya dibohongi. Di bibir mungkin kita berkata
segelintir musisi yang benar-benar taat dan lain, dalam pikiran dan hati kita merasa
mengabdi untuk panggung. Sisanya? Ya tontonan ini sukar dimengerti. Ini dia
cukup mp3 saja. Meski televisi dan kanal saatnya saya bilang: mati rasa.
berbasis online telah banyak
mempengaruhi dunia pasar, yang awalnya Dalam tiap panggung yang pernah
menonton langsung lebih memilih saya ngopiin (datang untuk nonton, tapi
menonoton di dua pilihan tersebut, tetap ndak ngerti, wis yang penting ngopi),
tidak mampu mengurangi kemacetan ide sekitar 80% saya tidak mendapat feel yang
tim produksi Teater untuk tetap di awal Charles Chaplin katakan. Padahal
melaksanakan ibadat panggung. persiapan saya sebagai penonton sudah
cukup matang. Mulai dari minyak wangi,
Untuk seseorang yang terlanjur rokok, korek, celana jeans sweater dan
basah oleh kedua jenis kesenian(hiburan) suara untuk bersorak. Juga obrolan yang
tersebut, saya sedikit bingung ketika terlalu menguras pikiran sudah saya coba
muncul pertanyaan: hindari jika ada di depan panggung. Tetapi,
tetap saja jarang mendapat feel, (bahasa
Apakah semua sepadan? Apakah Indonesianya apa ya, perasaan?
panggung memang tempatnya sandiwara? penghayatan? merinding? pas?) alhasil
Tadi kan situ ngomong panggung tempat penonton seperti saya memilih untuk
ibadat? Lah gimana ini saya tambah mencari kopi dan teman untuk bercanda.
bingung.
Padahal saya ingat betul, ketika
Santai, santai.. ini saya ngayal dulu berada diatas panggung (disaksikan orang,
sebentar kalau saya adalah musisi beken (ala kadarnya)), hal pertama yang
macam Iwan Fals, dan aktor kelas nyata mengambil hati saya adalah enerji. Yaaa,
macam Heath Ledger. ada enerji listrik yang pasti, dan enerji
(Tarik nafas dalem-dalem) penonton yang tidak pasti. Enerji listrik
... adalah kunci untuk mendapat enerji
penonton. Di panggung yang minus enerji Slash tidak bisa bermain da-mi-la-ti-na-da,
listrik, lebih sulit dan hanya orang-orang sol-mi-fa-sol, flamenco, mesir, dan daerah
tertentu saja yang mampu membahasnya. lainnya. Ini hanya soal cocok-cocokan
Enerji penonton sulit untuk menjelaskannya. antara getaran nada dan getaran
Tetapi saya sebagai penonton yang baik pendengar. Jika posisi lead tidak menjadi
dan pasti benar, maka saya coba tuturkan pendengar yang baik bagi penonton,
kesini: mungkin tetap menghibur, tetapi akan ada
unsur dalam pikiran penonton yang
Dalam penampilan yang ciamik dan mengganjal. Dan mungkin, "getaran" itu
enak didengar, syarat utamanya adalah berkurang, sampai-sampai kehilangan
bulu kuduk berdiri. Jika anda membaca momentum untuk membuat penonton
puisi di sebuah panggung dan mendapat seperti saya untuk merinding.
penuturan seorang penonton/teman yang
menonton mengiyakan bulu kuduknya Syahdan, apakah kita sebagai
berdiri ketika anda membaca sajak, berarti penonton akan menganggap panggung
anda telah tampil luar biasa. Tidak perlu adalah tempat sandiwara? Atau tempat
ditelisik lebih jauh, karena telah saya ibadat?
pastikan dari segi agraris, melankolis,
atheis, theis, dan krisis akademis, patokan Baiklah, saya pilih sandiwara. Namun
hiburan atau kesenian sampai hingga ke jika saya mendapat kesempatan di
dasar hati saya adalah ketika saya panggung, mari kita beribadat.
merinding menyaksikannya. Entah karena
sedih, senang, takjub, takut atau karakter Karena, aku merasa, maka Aku ada.
lainnya, jika saya belum merinding, maka
saya merasa gagal sebagai penonton. Aku berpikir, maka Aku ngga ketemu
Meski faktor merinding ada banyak, tetapi dimana-Nya.
saya alfakan merinding karena setan yang
ada disekitar atau menahan mulas yang November 2018
telah singgah diujung jalan, mari kita
kerucutkan tulisan ini kearah merinding
sebagai suatu patokan yang cukup
meyakinkan.

Lalu, ketika seorang berdiri/duduk/


tiduran diatas panggung, saya sebagai
penonton kadang mengharapkan sang
penghibur siap mendengar bisikan hati
saya. Jika dalam musik, kita mengemal
ritem dan lead, nah lead ini yang bikin lagu
jadi enak. Seorang gitaris mungkin lebih
sering merasakannya, terutama yang
bermain lead/melody. Sebab dia tahu ketika
penonton mendengar licks yang diulang-
ulang ternyata lebih bagus ketimbang
menuruti egonya untuk terus melakukan
hantaman melody luar biasa sulit dan
sangat beragam.. Contoh: Slash GnR dari
dulu sampai sekarang permainan gitarnya
diatas panggung tergolong mudah untuk
ditiru. Sebab hanya mengandalkan skala
pentatonis, minor, akromatis dan blues.
Tetapi, ternyata memang itu yang
dibutuhkan telinga penonton. Bukan berarti
Film Horor Oleh: Sobrun Jamil

G
adisku ini memang seorang menjadi imam sholat. Tidak pernah
pendiam. Sekali waktu aku menjadi ketua kelas barang satu semester
menyangka ia pendiam karena ketika sekolah, tidak pernah jadi ketua
kematangan jiwanya, tapi di lain waktu aku organisasi, tidak pernah jadi ketua regu
lebih percaya bahwa ia adalah seorang pramuka, aku tidak pernah memimpin apa-
manusia yang baru saja menyelesaikan apa. Bahkan pun sebatas memimpin doa
operasi tumor otak. Ibunya pernah bilang, ketika makan malam bersama keluarga.
"Kalau aku boleh menebak, anakku yang Aku hanya merasa jadi pemimpin ketika
nomer tiga ini pastilah jadi yang pertama mobil berhak kuatur-atur untuk mundur,
menjemput ajal jikalau ibunya yang sudah maju, belok kiri, atau belok kanan sewaktu
tua ini lupa mematikan kompor sewaktu menjadi tukang parkir di pelataran sebuah
memasak". Aku jadi percaya dengan mini market. Tapi sayangnya tukang parkir
kalimat itu, pasalnya malam ini aku bukanlah seorang pemimpin dalam
membuktikannya sendiri. Malam minggu pemahaman orang banyak. Ya sudah, aku
kami adalah kucing liar yang hanya tetap bukan seorang pemimpin.
berjalan dan berjalan tanpa kepastian
tujuan. Sebabnya jelas, tiap kuberi ia Kami meneruskan perjalanan tanpa
pertanyaan, "Mau ke mana?", ia selalu tujuan ini. Membabat angin malam dengan
menjawab "....". Ya ampun mahal betul motor butut keluaran tahun 70-an yang
harga emas. terakhir kali dicuci ketika Uni Soviet dan
Yugoslavia masih eksis sebagai negara.
Malam ini kami benar-benar jadi Sampai ketika melewati sebuah gedung
kucing liar. Aku pun tidak bisa mengambil bioskop, gadisku ini akhirnya mengeluarkan
keputusan akan ke mana kami malam ini. suaranya, "Aku ingin nonton lm". Tanpa
Karena aku bukan seorang lelaki berjiwa basa-basi kupatahkan stir motor ke kiri
ing ngarsa sung tuladha meskipun orang- tanpa sign, seperti reaksi kebanyakan orang
orang lawas selalu berkata bahwa lelaki yang melihat ada cegatan polisi di ujung
adalah calon imam. Tapi aku berhak jalan.
membantah karena aku tidak pernah
Di dalam gedung bioskop, tanpa
membuka diskusi ia langsung memilih lm
yang akan kami tonton. Sikapnya membuat-
ku sedikit senang, karena kebanyakan
pendiam akan cepat mengambil keputusan
hanya ketika ia mengalami gelora kebungahan yang kuat. Pilihannya kali ini
adalah lm horor. Film yang baru dirilis minggu lalu. Baiklah, belum terlalu
ketinggalan untuk ikut berteriak dan pamer foto tiket di media sosial.

Gadisku tetap dengan tingkat excited yang menggebu-gebu ketika


memasuki pintu teater. Rasa bungahnya tidak berkurang meskipun kami
hanya kebagian duduk di baris kedua dari layar, dan itu tandanya kami
merelakan tulang leher kami untuk disiksa selama seratus dua puluh menit
lebih. Hmm.

Film horor ini perlahan-lahan mulai memasuki paruh akhir. Benar


saja dugaanku. Ada yang lebih menyiksa ketimbang posisi tulang leher yang
dipaku enam puluh derajat ke arah layar. Ialah isi lmnya. Lebih membuat
kepala pegal dibanding kursi nomor 11F ini. Pengambilan gambar, akting
para tokohnya, lemparan jokes-jokesnya, dialog-dialognya, pokoknya
keseluruhan lm ini sangat layak untuk diberi nilai merah. Film remedial
untuk kategori horor lokal. "Aku bisa saksikan tontonan yang seperti ini di
rumah tiap sore tanpa merogoh kocek dan mengalami sakit leher," gerutuku
dalam hati.

Tetapi tetap saja, gadisku itu merasa bungah oleh lm yang baru saja
kelar ia tonton. Di sepanjang jalan menuju indekosnya ia terus mengoceh
tentang isi lm horor berbahasa sunda itu. Mengesankan, untuk sementara
ia berada bersamaku tidak sebagai seseorang yang baru menyelesaikan
operasi tumor otak. Walaupun jika bukan karena teringat oleh qoute si
produser di bagian post-credit scene yang mengatakan "dunia ini bukan soal
kebenaran, tapi kebijaksanaan" sudah pasti tidak akan kubalas celotehannya
dengan senyuman dan tawa yang penuh dramatisasi. Lumayan, aku bisa
sedikit berakting setelah mengunyah lm sampah itu, pikirku.

Namun ketika gadisku menutup malam minggu kali ini dengan seutas
senyum yang tergantung di daun pintu gerbang indekosnya, aku ingat kisah
si pedagang buah. Tentang para pedagang buah yang menagih
kebijaksanaan bila pembeli datang kembali untuk memprotes rasa buah
yang tidak sesuai omongan.

Di perjalanan pulang, dalam hati aku menggugat lagi "Sial, berarti


aku tetap tertipu oleh lm sampah itu". Namun tiba-tiba ada suara yang
memecah renunganku dari arah jok belakang.Suara yang sama persis
dengan tokoh utama di lm horor tadi:

"Tak usah banyak keluhan, tong kitu a'! Andalkan saja kebijaksanaan
di hadapan seorang perempuan. Perempuan teh bagian benar, lelakina
bagian bijak. Toh kamu juga bukan seorang sineas kan. Mau dikeukeup
supados teu tiis? Hihihi."

Pamulang, Oktober 2018


S
uatu hari Cak Rohmat yang dikenal sebagai ustadz di Desa Jatiringin
dilapori seorang warga desa, dari hasil rapat semalam di rumah Pak RT,
yang pada intinya warga sependapat agar Cak Rohmat segera menasehati
Badrun yang dianggap bajingan oleh warga setempat. Badrun yang memang
kian hari kian parah kelakuannya. Hampir setiap malam Badrun selalu mabuk-
mabukan dan membawa seorang perempuan, yang konon kabarnya bayaran.
Dengan rasa bangga dan merasa mempunyai kemampuan menanggulanginya
Cak Rohmat tersenyum dan menyanggupinya.

Dakwah Preman
kepada Ustadz
Oleh: Lutfy Azhar
Pada hari berikutnya, seusai menjawab: "Sudahlah, kau tak usah
sholat subuh Cak Rohmat yang akan menasihatiku. Aku tahu keinginanmu
kembali pulang setelah mengimami agar aku selalu mengikuti kata dan
sholat subuh. Cak Rohmat berpapasan perintahmu, lalu orang-orang akan
dengan Badrun. Karena sudah mengatakan bahwa kau pendakwah
menjadi kebiasaanya kalau pergi mutakhir yang bisa menginsafkan
menuju langgar dengan jalan kaki. seorang bajingan sepertiku, lalu kau
Maka, ia pun pulang dengan jalan akan bangga dengan label yang
kaki dan dibarengi beberapa warga disematkanwarga kepadamu, bukan?"
setempat, yang kebetulan arah Kata si Badrun kepada Cak Rohmat.
rumahnya searah dengannya.
Sontak, kaget dan tersadarlah
Setelah Cak Rohmat berpapas- Cak Rohmat akan perkataan Badrun.
an dengan Badrun yang baru pulang Kemudian, tanpa berpikir panjang Cak
entah dari mana. Namun, tampaknya Rohmat mengucap salam dan pamit
Badrun telah menghabiskan berkrat- kepadanya. Lalu berjalanlah Cak
krat arak, karena tampak dari gaya Rohmat, sambil mengucap
berjalannya yang sempoyongan. "astaghrullahal’adzim". Dan warga
Namun, Cak Rohmat dan wargapun yang menyaksikan peristiwa tersebut
tidak tahu pasti apa penyebab ia bisa saling tengok dan bertanya-tanya, apa
berjalan seperti itu. Tanpa berpikir yang sebenarnya terjadi dengan Cak
panjang Cak Rohmat pun segera Rohmat?
beraksi menasehati Badrun dengan
dalil-dalil, agar tak usah lagi Kudus, Juli 2017
bermabuk-mabuk dan main
perempuan. Namun, Badrun yang bak
seorang dewa mabuk. Meski berjalan
sempoyongan tapi tetap mengerti
gerak-gerik lawan tandingnya dan
TENGKORAK: MEREKONSTRUKSI ULANG
TUBUH-PURBA
Oleh: M. Dandy

K
ita dapat menyebut film sebagai penjelasan tentang ritual. Mereka
sebuah produk budaya ketika ia disebarkan untuk menyampaikan
dapat dipergunakan untuk berucap pengalaman religius atau ideal, untuk
dan dikembangkan sebagai fenomena- membentuk model sifat-sifat tertentu, dan
fenomena yang dapat memperkaya budaya sebagai bahan ajaran dalam suatu
itu sendiri. Hal ini sejalan dengan ide cerita komunitas (masyarakat).
awal hingga pengeksekusian kedalam Sebagai masyarakat Indonesia,
bentuk film oleh Yusron Fuadi menjadi film kita telah hidup di dalam ruang lingkup
yang ia katakan sebagai film berjenis mitos yang terus berkelindan dan jurang
science fiction ini. yang membatasi antar dunia realita s dan
Film Tengkorak bercerita tentang dunia mitos hampir tak terlihat lagi. Seraya
umat manusia yang telah waktu berjalan, mitos terus berkembang
berhasilmenemukan sebuah fosil dari tradisi lisan masyarakat dengan atau
tengkorak. Fosil tersebut setinggi 1.850 tanpa tendensi, sehingga hal tersebut bisa
meter yang telah berumur 170 ribu tahun di memuncul kan sebuah kepercayaan baru.
pulau Jawa ketika terjadi gempa di Bantul Melihat perkembangan proses
pada tahun 2006. Hal ini membuat bingung melalui Instagram, Film Tengkorak sangat
pemuka agama dan para ilmuan atas ambisius dengan keterbatasan budget
temuan ini. Begitu pula dunia sedang untuk menampilkan warna baru dalam
berdebat antara melakukan penelitian atas perfilman alternatif Indonesia. Dengan
temuan fosil tengkorak tersebut atau gaya indie, Tengkorak hadir sebagai film
menyembunyikannya dari masyarakat atas science fiction yang mencoba
dasar kemanusiaan. Di sisi lain, terdapat merekonstruksi ulang tubuh-purba yang
seorang gadis yang bertekad mengungkap ditemukan setelah kejadian gempa bumi di
misteri di balik penemuan fosil tengkorak Bantul pada tahun 2006. Pada puncaknya,
tersebut dan memberitakannya ke dunia. mitos sebagai upaya satire ketika
Secara sederhana, ide cerita ini penonton mengonsumsi film tersebut
diangkat dari tradisi lisan masyarakat dengan tenang dan cermat melalui
lokal mengenai keberadaan Bukit narasi, dialog, maupun simbol yang hadir
Tengkorak dan cerita-cerita (mistis, pun di dalam Tengkorak.
dapat dikatakan tidak) yang memperkuat Mitos merupakan salah satu
keberadaannya tersebut. Tradisi lisan alternatif yang bisa dilakukan untuk
diwariskan secara turun temurun—dari menjaga tradisi atau kepercayaan yang
mulut ke telinga, dari rumah ke desa, telah ada dalam suatu komunitas
dari desa hingga berakhir ke kota, dan (masyarakat) di daerah tertentu. Melalui
dari hasil pendengaran tersebut beralih Tengkorak, penonton ditarik untuk
menjadi sebuah bentuk teks atau medium memercayai mitos yang telah berkembang
lainnya sebagai upaya penyalur sikap, dengan teknik pengambilan gambar
pandangan atawa refleksi dari angan- dokumenter, potongan-potongan gambar
angan sebuah kelompok (masyarakat) dan dalam bentuk media (berita televisi
berakhir sebagai wasiat untuk generasi nasional dan internasional) dan hamparan
selanjutnya. Hal inilah yang memantik fakta -fakta ilmiah dari beberapa ilmuwan
Yusron Fuadi untuk mengangkatnya maupun koresponden yang hadir di
sebagai sebuah film. Menurut dalam film. Pun, persoalan mengenai
pengakuannya, ide cerita ini telah muncul saling silang pendapat antara masyarakat
dan membayanginya sejak berumur 12 terhadap keberadaan Bukit Tengkorak
tahun. dan upaya pemerintah menutup rahasia
Mitos dapat timbul sebagai catatan tersebut dari jangkauan internasional
peristiwa sejarah yang terlalu dilebih- yang menjadi pemicu konflik dalam
lebihkan, sebagai alegori atau personifikasi Tengkorak.
bagi fenomena alam, atau sebagai suatu
Jika kita mencoba melakukan yang tidak bisa dijelaskan dengan hukum-
pemetaan atas film-film Indonesia hukum semesta yang telah diformulasi oleh
—secara serampangan maupun tidak—kita pemikiran -pemikiran empiris Barat, seperti
masih bisa menghitung jari film yang logika, pengetahuan umu m atau
menyentuh ruang lingkup science fiction. keyakinan yang dianut. Untuk
Tengkorak hadir dalam ruang lingkup menghindari sebagai karya fantasi yang
tersebut, walau dengan keterbatasan meninggalkan alam realita, realisme magis
budget, kita patut mengapresiasinya—tentu mengadopsi dunia ini demi menjadi
bukan lantaran penghargaan yang telah kerealisan sebuah karya. Misalnya, di
didapatkan, namun melalui kacamata Indonesia, kita mengenal istilah pamali
penonton. Namun, ada beberapa hal yang terus berkembang di dalam tradisi
yang tentu saja masih menjadi lisan di tiap daerah di Indonesia.
kekurangan dari Tengkorak. Katakan, Realisme magis dalam narasi
semisal, cut to cut yang begitu cepat dan Tengkorak memiliki struktur yang
scoring yang sepertinya terlalu berlebihan. menghadirkan ketakutan ketakukan dalam
Cut to cut yang begitu cepat ini dapat benak masyarakat sehingga menimbulkan
membuat penonton letih untuk chaos lantaran silang pendapat dan
mengumpulkan lalu mengolah informasi timbulnya praktik kepercayaan baru
melalui visual yang ia tangkap. Tempo atau dalam sebuah sekte yang lahir dari
ketukan yang cepat ini tentu dapat komunitas (masyarakat). Penonton bisa
membuat penonton bisa letih tanpa jeda yakin ketika menyimak dengan cermat
berpikir. Hal ini saya rasa cukup hamparan fakta ilmiah yang tersaji di dalam
mengganggu ketika penyampaian informasi narasi film tersebut atau mengalami
dalam bentuk audio dan visual ini terlalu keraguan dan merasakan hal yang
serampangan. Akan tetapi, terlepas dari kontradiktif, jika penonton tersebut akrab
itu semua, film Tengkorak memang tak dengan budaya mistis atau klenik, ia tak
menawarkan hasil yang cinematic akan merasakan kejanggalan. Sebaliknya,
(secara umum) tetapi pengambilan jika penonton tersebut lebih akrab
gambar dari jauh, montase rekaman, serta dengan budaya empirik, ia tak bisa
suguhan drone yang bisa memanjakan langsung memercayai narasi mitos (walau
mata dan menjadikan film ini sebagai disertai pendekatan fakta ilmiah) di dalam
hiburan yang kritis. film tersebut.
Teknik yang digunakan di dalam film Tengkorak sebagai film science
Tengkorak sebenarnya telah lama populer fiction bergaya indie menawarkan
di beberapa aliran film seperti gerakan alternatif menarik dan melengkapi lokalitas
sinema neorealisme di Italia serta New mitos yang telah hadir sejak lama dan terus
Wave dari Prancis yang mengusung berkembang melalui tradisi lisan. Melalui
cinema verite. Keramat (2008) bisa mitos dalam narasinya, Tengkorak
dijadikan bahan perbandingan baik menjadikannya sebagai satire tentang dua
secara teknik maupun narasi mistis dalam sisi koin di dalam alam raya ini,
film tersebut—yang tentu saja berkaitan kausalitas dari sebuah sikap atas alam
pula dengan gempa Bantul pada tahun raya, dan kesimpulan mengenai laku hidup
2006. di alam raya.
Mari kita coba beralih sedikit ke Namun, sebagai catatan akhir
dalam ranah sastra. Di dalam sebuah teks sebelum menutup tulisan ini, hal yang kerap
sastra, kita mengenal sebuah istilah magical berulang di dalam sebuah karya
realism atau realisme magis, semisal dalam yang—entah itu teks sastra maupun
karya-karya Gabriel Garcia Marquez, Jorge film—realisme magis ialah tidak kokohnya
Luis Borges, Isabel Allende, Salman bangun-jembatan yang menghubungkan
Rushdie, Toni Morrison, Danarto, Eka magis dan realis tersebut, sehingga Tuhan
Kurniawan, dan lain sebagainya. pun muncul dari dalam mesin. (baca: des ex
Menurut David Young dan Keith machina—meminjam istilah teater era
Hollaman unsur yang tereduksi—yang Yunani kuno). Wah!
membentuk realisme magis—ialah sesuatu
Nya: Pertunjukan Dialektika Kesadaran
Oleh Mas Syah

Lakon “Nya”
Karya Said Riyadi Abdi
Dipentaskan di Hall Student Center
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8 November 2018

S
ebagai pengantar catatan, bahwa ruang dan waktu tertentu di hadapan
pertunjukan telat sekitar 15 menit dari penonton.Dalam hal ini, pertunjukan Nya
jadwal yang telah disepakati dan berupaya melekatkan teori pada praktik,
ditetapkan. Tentu bukan tanpa sebab, tapi yang memungkinkanterjadinyasuatu
yang jelas tanpa penjelasan. Kedua, perihal eksperimen di atas panggung. Yang
penjelasan sekadarnya mengenai dimaksud eksperimen adalah pengolahan
pandangan naskah Nya di awal sebelum dan percobaan proses determinasi. Hal
pertunjukan dimulai, begini katanya: hidup tersebut mendaya-gunakan serangkaian
mulai berpusat pada dikotomisasi antara yang bertentangan, situasi resepsi saling
dunia dan akhirat, antara materialisme dan tumpang tindih dan meniadakan satu sama
idealisme. lain secara menyeluruh.

Upaya mereduplikasi realitas Awal pertunjukan berangkat dari


demikian, disebabkan oleh ilmu audio visual—yang saling berirama,
pengetahuan telah memberikan kita suatu bersahutan dan bertabrakan. Kalau boleh
ilham kesimpulan yang diam-diam malah dibilang personifikasi, upaya menghidupkan
mengecam dan mengancam kita. Pasalnya, benda-benda mati sebagai sistem
dikotomisasi yang disebut di atas, justru penandaan pluralitas, tetapi belum
dikhawatirkan menyempitkan pandangan dianggap sebagai suatu sistem makna jika
penonton ke wilayah gambaran yang lebih belum terhubung ke suatu wilayah
luas dan konkret objeknya. Ke suatu sistem penanggapan penonton; melalui
tata nilai yang utuh.Sehingga proses penerimaan dan rekonstruksi.Interpretasi
resepsi sistem makna dari aktivitas berpikir tersebut merupakan pembacaan sistem
antara persepsi dan perspektif pertunjukan struktur yang diproduksi oleh artistik
atas peristiwa teater tidak berujung pertunjukan teatrikal.Yang mengantarkan
menjemukkan. Bahwa yang berlaku itu indera penglihatan dan pendengaran
bukan dikotomisasi, melainkan suatu entitas penonton ke wilayah kemungkinan
tunggal; yang saling tarik- pemaknaan dari membayangkan kenyataan
tambang—kekuatan. sehari-hari. Bukan tidak mungkin malah
Memang, kehidupan ini mesti berjalan tebersit pikiran kita, karena terbiasa berpikir
seiring dengan polemik, pertentangan dan formal, normatif dan kognitif. Itulah
serba-serbi paradoksial. Di mana mengapa ilmu pengetahuan lebih
dikotomisasi hanyalah fiksi, ia ada dalam menggoda ketimbang perasaan dan
khayalan semata yang tak jelas penjiwaan terhadap peran dan fungsi. Jadi
juntrungannya. Begitulah pertunjukan Nya setengah bermimpi kita ketika memilah
berjalan, bukan untuk penyadaran, beda antara software dan hardware, input
melainkan memancing kesadaran dan output, apa dan siapa. Lebih penting
pengetahuan penonton untuk belajar mana, apa atau siapa? Yang penting itu
bersama tentang keseimbangan. apa(mu)? Atau siapa(mu)?

Sebuah Tawaran Mise En Scene Berkat permulaan orkestrasi audio


visual, seolah hendak mengukuhkanwacana
Kemunculan teori mise en scene, pemanggungan dan konsep tontonan
seperti yang dipaparkan Patrice asosiasi sebagai penanda entitas struktural.
Pavis,sebagai sistem penandaanyang hadir Hal ini memunculkan terjadinya interaksi
secara bersamaan atau berlawanan dalam keberagaman sudut pandang, variasi aktor
yang tak terbatas dan tak terkait satu harapkan di sini. Setiappenonton punya
dengan yang lain. Sebermula aktor cakrawala yang berbeda, limitasi
membangun kesatuan, di sisi lain, tubuh- pengetahuan dan parameter ilmunya tidak
aktor juga merencanakan ketidakberaturan sama. Masing-masing dari kita cuma
dan kekacauan blocking, fead in dan fead mengambil pelajaran secukupnya dan
out semau-maunya.Sebagaireaksi dari semampunya. Hasil memetik buah dari
realitas sosial dan aksi sesuai konteks pohon budaya pertunjukan Nya.
sosialnya. Kemudian memicu tubuh-aktor
spontanitas tergerak oleh bunyi musik latar Sari buah tersebut menjadi sari pati
(pengiring) dan irama personifikasi (benda- pembacaan saya; tentang perlunya saran
benda dan alat-alat bangunan), serta kepada siaga, waspada dan mawas diri.
paham situasi lighting bagaimana mesti Semisal, pada keburukan orang lain, kita
menanggapi. Begitulah produksi suatu menyelami kebaikannya. Jadi bukan siapa
sistemrepresentasi tata kombinasi, yang benar dan siapa yang salah,
elaborasi dan kolaborasi dari kerja melainkan apa yang benar. Alangkah lebih
kreativitas, refleksi empiris dan aktivitas baik jika tidak menilai akhirat (/surga)
menggambarkan kenyataan dengan seribu dengan parameter dunia, tidak memandang
pandangan. Yang mana bisa berupa cerita, dunia dengan tata sistem nilai akhirat. Yang
saksi, tutur, gerak, dan lain sebagainya. kita butuhkan tidak semata-mata idealis
saja, materialis juga perlu.Kita tidak boleh
Menonton pertunjukan Nya, kita menolak satu dengan memilih yang lainnya.
dihadapkan pada situasi konstruksi (benda Kita tidak mungkin menampik sesuatu yang
mati; secara fisik, jasad, materi) semestinya dan seharusnya begitu, dengan
—kesemuanya itu seolah berbicara dan keinginan dan kemauan begini dari kita.
menyatakan sesuatu dengan bahasa Yang kita gali dari pergolakan dan
masing-masing. Benda-benda menggugat. pergulatan yang banyak melahirkan sistem,
Alat-alat bangunan saling memberi aksi- aliran, kepercayaan, ideologi, mazhab,
reaksi. Keberadaannya mengantar kabar isme-isme, dan seterusnya, bukanlah
kondisi peradaban kita dan pikiran kita jebakan perangkap buatan sendiri),
terangsang oleh gejala, dinamika dan melainkan sebuah jembatan untuk belajar
gejolak sosial-budaya-politik-ekonomi- tentang keseimbangan. Apapun saja mesti
hukum yang timbul di tengah-tengah kita kelola dan daya-gunakan untuk kita
dekadensisuatu masyarakat.Apa kembangkan implikasi etiknya dalam laku-
pertunjukan Nya menawarkan konklusi? lampah sehari-hari.
Solusi? Atau semacam formulasi? Paling
tidak kiat jadi manusia? Mungkin iya, Tragedi Ironi dan Parodi
kemungkinan terbesarnya tidak. Nya cuma
meneror penonton. Menggoda kesadaran Di luar gedung pertunjukan, kita
penonton. Memancing pengetahuan menyebut pemilik jiwa dan raga ini dengan
penonton.Karena kebanyakanorientasi dan banyak macam sebutannya, seperti: Sang
ekspektasi dalam pertunjukan malah sering Maha Pencipta, Sang Hyang Wenang, Gusti
berujung kenes. Bisa jadi naif karena Pangeran Agung, atau yang umumnya
terlampau hal-halmuluk atau mungkin dikenalyakni Tuhan dan Allah. Mana yang
jugadaif sebab cenderung merasa tak salah dan benar? Ya, tidak salah, juga tidak
berdaya benar. Tapi mendekati benar, pun
. mengakrabi salah. Sebutan atau panggilan
Pada tahap inilah, pertunjukan Nya semacamnya merupakan suatu tindakan
sekadar pemberitahuan kritik dan himbauan kemesraan, lambang keharmonisan dan
bising—yang bergema di lingkungan dan keserasian budaya.
wilayahnya sendiri. Belum terdengar sampai
ke luar dirinya, belum merasuk ke lubuk Namun, kali ini, Sang Maha
keheningan paling dalam, paling intim Sutradara atas kehidupan sedang memain-
penjiwaan penonton dan menyentuh pusat kan dirinya malih menjadi Nya. Nya, saya
rasanya penonton sebagai seorang rasa, selain sebagai kata ganti Tuhan atau
manusia. Itu semua baru mungkin akan Allah, ia juga mewakili keresahan dan
terjadi, tanpa perlu saya tuliskan dan kegelisahan para pendoa bahwa betapapun
kayanya bahasa manusia ternyata tidak tegaskan, rumusan itu sengaja dipakai
cukup menampung isyarat dan firasatnya, karena memori ingatan manusia memang
apalagi mampu menjangkaunya. Dengan sedemikian pendek dan terbatas. Pada taraf
Nya, begitu panggilan sayang kita itulah, tragedi kehidupan terjadi. Ironi
kepadanya, adalah ungkapan bahasa jiwa, hanyalah sebuah fase menghibur diri dalam
bahasa badan, bahasa hati, dan bahasa- kemabukkan dan kegelisahan, begitu kesan
bahasa cermin dalam diri kita. Nya, dengan saya sebagai penonton. Selain dengan
kesederhanaan katanya mampu memberi mengatakan bahwa ini filsafat pertunjukan
kesan magis dan efek sakral dalam sekalian pertunjukan filsafat. Betapa tidak,
gelombang arus energi gedung pertunjukan. saat masuk adegan dialog antar (aktor) aku
Betapapun, Nyamerupakan eksplorasi dan kamu yang syarat monoton tersebut.
suatu abstraksi bahasa manusia. Ungkapan Penonton diajak menyelami
seorang pencinta yang meluruhkan dirinya ketidaktahuannya dalam tubuh-aktor kalian
sepenuh luapan kasih, seluas bentang (ragam entitas) yang terjebak heterogenitas.
sayang dan sedalam paling cinta manusia Di mana, aktor aku berpegang teguh pada
kepada yang memberi kehidupan. pendiriannya bahwa kita butuh Nya, kita
Begitulah, puncak tragedi paling dahsyat, harus mencari Nya, hanya dengan Nya dan
ketika sedih tidak terlalu dan ketika senang kalau bukan karena kehendak Nya, kita tak
tidak terlalu. mungkin mengalami ambivalensi di antara
ambiguitas dan kompleksitas kehidupan.
Upaya demikian merupakan proses Peran aku selain individu, ia juga sebagai,
konkretisasi yang tidak hanya ditentukan katakanlah mandor. Sedang kamu,
oleh alim-ulama, tokohdan pahlawan di disimbolkan sebagai, sebut saja capres
buku-buku sejarah, tetapi merupakan percik yang mencalonkan diri, dan bukan yang
permenungan serta penghayatan individual langsung dipilih rakyatnya. Ini satu gejala
(atau personal) terhadap gerak variabel masalah bahwa kita belum paham cara dan
kehidupan-kebudayaan-peradabanoleh kerja sistem demokrasi.
siapapun saja. Tentu dengan kapasitas,
kadar dan taraf kemampuan masing-masing Antara aku dan kamu dikisahkan
yang dianugerahinya kepada manusia. sedang terlibat proyek pembangunan
Penanggap di sini, katakanlah aktor, antara (dengan latar-belakang kota). Mungkin
aku, kamu, dia, seseorang dan kalian. begitu maksud sutradara pertunjukan Nya.
Dengan bentuk penokohan pronomina, atau Kalau kita omong pembangunan, pasti
tepatnya pronomina persona, maka disebutnya kota. Padahal, sejatinya kota, ya
bayangan penonton bukanlah tentang desa itu. Maka, orientasi pembangunan
siapa, melainkanapa dan bagaimana mestinya mengarah ke desa. Sayangnya,
pengalaman empirisnya sendiri. kita belum kenal rasionalisasi pedesaan.
Pertunjukan Nya sedemikian menarik, Tapi ya sudahlah, itu bukansoal atau topik
bukan karena penggambaran tipologi bahasan ini. Jadi kembali ke peran aku,
manusia, tetapi sikap moral pengarang representasi sosok—yang pada dirinya
yang disajikan sutradara dengan jelas dan tertanam religiositas.Kehidupan aku
hidup. Begitu mungkin kenyataan diselimuti harap cemas akhirat-duniawi,
kehidupan yang dihadapi penonton dalam angan dan ingin selalu mengarah ke akhirat
kehidupan mereka. Sehingga gerak dengan membebaskan diri keduniawiannya.
pertunjukan Nya merupakan hasil Sementara kamu, sebagai alter ego, sosok
penanggapan kolektif yang memungkinkan yang menggambarkan nafsu akan hal-hal
relevansi (kaitan) masalah atau tema yang sangat bersifat duniawi. Bagi kamu,
naskah dengan aktual. praktek politik machiavelisme dan
politikdivide et impera, kata lainnya adu
Itu semua berdasar apriori domba (—yang telah usang di masalampau
pembacaan dan pengamatan saya yang namun kini terulang lagii) mesti
kotor dan tak bersih ini atas pertunjukan, dilanggengkan dan dihidupkan kembali.
padahal sebenarnya ada banyak mode
selain dugaan dan prasangka saya Artinya, aku—orientasinya akhirat,
terhadap tesa semacam tragedi, antitesa dan kamu—orientasinya dunia. Dan peran
ironi, dan sintesa parodi. Perlu saya kalian, mungkin juga penonton termasuk
seperti saya, mesti ikut memilih dan ambil Menumbuh-kembangkan Dialektika
bagian yang mana. Posisi seperti inilah Kesadaran
yang dinamakan ironi, memilih sesuatu di
antara bukan pilihan. Seperti yang telah Semoga, pertunjukan Nya
disinggung di atas, baik naskah dan berikutnya, mampu menempatkan dirinya
garapan pertunjukan agaknya belum dalam posisi bergaining position. Sehingga
jangkep, klop, dan seimbang dalam spektakel yang jadi tontonan serta tuntunan
mengantar eksperimen. Pasalnya, tersebut menyajikan kearifan melalui
penggambaran tipologi aktor semacam itu, visualisasi pertunjukan dan kesadaran
bisa berarti dua kemungkinan yaitu, sebagai motor penggerak kehidupan
menjebak pikiran kita kearah stagnan-statis- pertunjukan juga dalam pertunjukan
lamban-macet, tapi juga mungkin kehidupan. Karena kehidupan selalu
mengantar pikiran penonton untuk membimbing siapapun untuk sedikit saja
memahami dan mengerti arti sesekali memberi perhatian pada ide dan
keseimbangan. Secara gagasan gagasan tentang rumusan penyelesaian
pertunjukan, ironi itu berhasil dibawakan suatu dinamika masyarakat dan gejolak
dan disajikan kepada penonton. Ironi sosial. Salah satunya Nya, seperti yang
menjadi akrobat keragaman entitas gerak terkandung mise en scene, bahwa
badan dan irama langkah. Ironi suatu konkretisasi adalah suatu hal menghadirkan
pengantar prinsip dan estetik tentang mise isi dalam kekosongan dengan pola
en scene.Pada batas dan kadar tertentu, modifikasi dan corak rekonstruksinya,
ironi masih terbilang wajar, seperti spektakel melalui totalitas konteks dari berbagai
tubuh-aktor kalian yangmenampilkan suatu fenomena sosial, politik, budaya, ekonomi,
sikap keniscayaan hidup bahwa dan semacamnya.Lebih jauh lagi, mampu
ketidakberesan mesti dilawan dengan mengatasi situasi dan tidak kompromi
hujatan dan cacian sekalian makian. dengan keadaan di mana manusia
Padahal, penanggapan kalian mestinya nantinyamampu memilah antara ambiguitas
tidak mengatakan apa yang dikatakan, dan kompleksitas dalam kehidupan. Itupun
melainkan bagaimana kesiapan aktor-kalian dengan catatan setiap karakter, moral dan
membuat tindakan dari persepsi-persepsi kepribadian manusia, terutama manusia
diskursus melalui irama gerak dan alunan Indonesia mestilah sehat. Artinya, belajar
lelaku. Yang demikian dinamakanlah tehnik jadi manusia biasa, itupun amat susah. Ya,
mise en scene. PR kita bersama tak lain, tak bukan, mesti
mengadakan gagasan pertunjukan sebagai
Setiap produksi pertunjukan upaya membangun citra ideal tentang
penanggapan mise en scene memang manusia.Yang menitik-beratkan tentang
selalu membuka kemungkinan terhadap manusianya. Semoga ini bukanlah harapan
pembaharuan sekaligus tantangan untuk muluk, meskipun sangat berkemungkinan
diperbaharui. Dengan demikian, penonton utopis atau awang-awang. Inilah nyanyian
mampu mengkonkretisasikan proses syukur dan doa suka-duka bagi Teater
determinasi dan indeterminasi Syahid yang menapaki tahun ke-30 kerja
penanggapannya. Melalui penerimaan dan kreativitas dan dedikasinya di bidang sastra,
rekonstruksi secara berulang-ulang dan khususnya teater. Matur sembah nuwun
terus menerus. Sampai yang timbul atas garapan pertunjukan Nya. Salam
kemudian mestinya adalah suatu bentuk padamu, saudaraku.
gaya parodi yang nyeleneh, bernas dan
atraktif akan slengean. Mungkin alternatif ini Mas Syah
dikemudian hari, bisa dikembangkan 12 Oktober 2018
dengan formulasi dan komposisi yang khas.
Lantas, kenapa parodi? Parodi adalah suatu
metedologi untuk menertawakan diri kita
sendiri dan tergerak segera
memperbaikinya. Dalam pertunjukan,
ataupun kehidupan, tertawa itu perlu.
Tertawa itulah salah satu hal survive dalam
laku gerak kebudayaan kita.

Anda mungkin juga menyukai