Anda di halaman 1dari 30

PENGANTAR APRESIASI

PROSA
Untuk Apa Kita (Belajar) Membaca Sastra?
 Adakah manfaat bagi kita melaksanakan
pembelajaran sastra?
 Jika sastra berguna bagi kita, kira-kira
apa saja kegunaan sastra itu bagi
kehidupan sehari-hari? Paling tidak, bagi
kita yang bergelut di dunia pendidikan.

 Menurut Moody (1996:15-24, Rahmanto,


1998), sastra memiliki beberapa
manfaat:
(1)Membantu Ketrampilan Berbahasa
(2)Meningkatkan Pengetahuan Budaya
(3)Mengembangkan Cipta dan Rasa
(4)Menunjang Pembentukan Watak
1. Membantu Ketrampilan Berbahasa
Sastra Jawa ternyata bermanfaat bagi kita
dalam melatih berbagai ketrampi­lan
berbahasa Jawa, seperti: menyimak :
mendengarkan suatu karya yang dibacakan
atau lewat pita rekaman. Ketrampilan wicara,
misalnya dengan ikut berperan dalam suatu
drama, baik modern maupun tradisional.
Ketrampilan membaca dengan membaca
berbagai cerita. Jika kemudian kita
mendiskusikannya dan kemudian menuliskan
hasil diskusi itu, kita akan mendapat bantuan
ketrampilan menulis.
2. Meningkatkan Pengetahuan Budaya
Sastra Jawa memang tidak menyuguhkan ilmu
pengetahuan dalam bentuk jadi. Sastra ber­
kaitan erat dengan semua aspek hubungan
manusia dan alam secara keseluru­han. Setiap
karya sastra selalu menghadirkan 'sesuatu' dan
kerap menyajikan banyak hal, yang apabila
dihayati benar-benar akan semakin menambah
pengetahuan orang yang menghayatinya.
 Yang dimaksud pengetahuan dalam hal ini,
memiliki pengertian luas. Dengan berbagai
cara, kita dapat menguraikan dan mencerap
pengetahuan semacam itu dari dalam karya
sastra. Dengan catatan, masih banyak fakta-
fakta yang harus kita gali dari sumber-sumber
lain untuk memahami situasi dan problematika
khusus, yang dihadir­kan dalam suatu karya
sastra.
3. Mengembangkan Cipta dan Rasa
 Sastra Jawa juga akan mengembangkan aspek
cipta dan rasa manusia. Aspek itu berkaitan
dengan kecakapan yang bersifat indra; yang
bersifat penala­ran; yang bersifat afektif; dan
yang bersifat sosial; serta dapat ditambahkan
lagi yang bersifat religius. Karya sastra Jawa,
sebenarnya dapat memberikan peluang-
peluang untuk mengembangkan berbagai
kecakapan semacam itu.
(a) Aspek Indrawi Manusia
 Pembelajaran sastra dapat digunakan untuk
memperluas pengung­kapan apa yang diterima
oleh panca indra seperti indra pengliha­tan,
indra pendengaran, indra pencecapan, dan
indra peraba. Pada umumnya, para penulis
karya sastra adalah orang yang peka, berbudi
halus, dan selalu berusaha menyampaikan
kepada pembaca apa yang mereka hayati.
 Dengan mengikuti semua yang mereka ungkapkan,
maka para pembaca sastra, termasuk peserta
didik, akan diantar untuk mengenali berbagai
pengertian dan mampu membedakan satu hal
dengan yang lain. Misal­nya: warna kuning dengan
keemasan, gemuruh dengan menggemparkan,
harum bunga dengan wewangian yang lain, serta
masih banyak yang lain. Dengan memahami rasa,
manusia akan berusaha memahami kegiatan fisik
yang dilakukan oleh bagian-bagian tubuh mereka
untuk mengungkapkan diri masing-masing.

(b) Aspek Penalaran Manusia


 Kita tahu, proses berfikir logis manusia banyak
ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan
pengertian, ketepatan interpretasi kebahasan,
pemilihan dan pemilahan data, penentuan
berbagai pilihan, serta formulasi rangkaian
tindakan yang tepat. Bertolak dari itu,
peembelajaran sastra Jawa, jika diarahkan dengan
tepat akan sangat membantu pembaca, dalam hal
ini peserta didik untuk berlatih meme­cahkan
masalah-masalah berfikir logis semacam itu.
(c) Aspek Perasaan Manusia
 Pembelajaran sastra Jawa sering dikaitkan
dengan 'kepekaan rasa' dan 'emosi'. Perasaan
merupakan unsur yang rumit dalam tingkah laku
manusia. Dalam batas tertentu, masyara­kat
sering mempermasalahkan kepekaan rasa para
anggotanya. Dalam hal ini, latihan kepekaan
perasaan di dalam masyarakat dimaksud­kan agar
anggotanya memiliki kepekaan sosial, mau dan
mampu melakukan pengendalian diri dalam hidup
keseharian.
 Meskipun biasanya ada kesepakatan dalam
masya­rakat tentang norma tertentu, tetapi sulit
untuk membatasi tindakan-tindakan anggota
masyarakat itu mutlak sesuai dengan norma yang
ada. Dalam hal ini perlu disa­dari bahwa ada
tindakan tertentu yang mencerminkan komplikasi
moral bagi manusia. Sebagai contoh, disepakati
bahwa: “membunuh dan menyakiti” orang lain itu
tidak benar, tetapi apakah salah jika lembaga
berwenang melatih seorang menjadi prajurit,
yang karena tugasnya kadang harus bertempur
dan saling membunuh?
(d) Aspek Kesadaran Sosial Manusia
 Tidak mudah menjadi manusia yang
sebenarnya,. Proses perkembangan menjadi
manusia memang sangat panjang, lebih-lebih
perkembangan watak untuk mengenal dan
menghargai orang lain. Dalam hal ini, kadang
manusia mengalami proses yang tidak
menyenangkan, misalnya: bentrokan
pendapat, berebut kepentingan, dan
sebagainya. Manusia yang baik seharusnya
mempunyai penghargaan yang tinggi pada
orang lain. Kedewasaan sikap kita, selalu
terungkap dalam bentuk toleransi dan
kesetiakawanan.
 Pemahaman atas orang lain, hanya dapat
dicapai dengan pemahaman diri.
(e) Aspek Religiusitas Manusia
 Kesibukan dan dan keengganan
sering membuat kita kehilangan
rasa religiusitas. Untuk konteks
ini, kita beruntung bahwa banyak
pengarang Jawa yang mempunyai
daya imajinasi tinggi, akhirnya
berusaha untuk menghadirkan
masalah-masalah yang hakiki
dalam karya-karya mereka,
tersurat atau tersirat.
4. Menunjang Pembentukan Watak
 Sastra Jawa tidak menjamin pembacanya
menjadi orang baik. Sastra memang
berfungsi juga sebagai sarana didik yang
baik, tetapi tidak ada satupun jenis
pendidikan -termasuk sastra- yang mampu
menentukan watak manusia . Perilaku
seseorang lebih ditentukan oleh faktor-faktor
pribadinya yang paling dalam. Meski
demikian, jika disampaikan secara benar,
pembelajaran sastra mempunyai dua nilai
yang sekaligus menjadi tuntutan yang harus
dipenuhi sehubungan dengan pendidikan
manusia melalui pengembangan positif watak
ini.
 Pertama, pembelajaran sastra
seyogyanya terarah untuk membina
perasaan yang lebih tajam. Dibanding
pelajaran lain, sastra mempunyai
kemungkinan lebih banyak untuk
mengantar pembaca mengenal seluruh
rangkaian kemungkinan hidup manusia
seperti misalnya: kebahagiaan,
kebebasan, kesetiaan, kebanggaan diri
sampai pada kelemahan, kekalahan,
keputusasaan, kebencian, perceraian
dan bahkan kematian.
PERTANYAANNYA?
 Sehubungan dengan itu, perlu juga kita
pertanyakan: apakah semua (karya) sastra
bernilai bagi kita? Apakah dengan itu, sastra
menjadi penting untuk kita pelajari? Apa pula
yang dipahami dengan nilai sastra?
 Untuk menjawab pertanyaan serupa itu, ada
baiknya kita kembali merenungkan
pandangan yang mengungkapkan, mutu
karya sastra ditentukan oleh kemampuannya
membuat orang merasakan kenikmatan
tertentu, dan bagaimana pembaca
menemukan manfaat darinya. “Dulce et utile’
kata Horace. Jadi secara teoretik, setiap
karya sastra (yang baik) sangat berarti bagi
para pembacanya. Dengan kata lain,
sewajarnyalah jika karya sastra memiliki
kemampuan yang jika dibaca dengan baik,
akan sangat bermanfaat bagi kehidupan
manusia.
BAGAIMANA DENGAN SASTRA JAWA ?
 Sastra Jawa telah mengalami sejarah
perjalananannya yang sangat panjang, semenjak
kemunculannya pada abad 9. Sebagai hasil
kebudayaan yang sudah sangat tua, tentu banyak hal
yang dapat diperoleh darinya. Tentu saja
menggeneralisir keberadaan sastra Jawa dari awal
kelahirannya hingga perkembangannya yang
terakhir, bukanlah merupakan langkah yang benar.
 Secara sederhana, perkembangan sastra Jawa yang
dimaksud, dapat dikelompokkan menjadi:
1) sastra jawa kuna (termasuk di dalamnya: sastra Jawa
pertengahan, yang berkembang di Jawa dan Bali);
2) sastra Jawa baru (termasuk di dalamnya jenis sastra
jawa klasik dan pesisiran); dan
3) sastra Jawa modern. Masing-masing kelompok itu
menampilkan berbagai karya dalam bentuk prosa dan
puisi. Bentuk puisi yang masing-masing memiliki
sistem puitikanya sendiri itu, dinamai dengan:
kakawin untuk puisi Jawa kuna, kidung untuk puisi
Jawa pertengahan, macapat untuk sastra Jawa baru,
dan geguritan untuk puisi Jawa modern.
KARYA SASTRA JAWA
 Karya-karya sastra Jawa demikian berlimpahnya,
namun bagaimana pun juga, yang dipandang
sebagai puncak perkembangan sastra Jawa Kuno
ialah kakawin, seperti: Arjuna Wiwaha (Mpu
Kanwa), Hariwangsa (Mpu Sedah), Bharatayudha
(Mpu Sedah dan Mpu Panuluh), Gatotkacasraya
(Mpu Panuluh), Smaradahana (Mpu Dharmaja),
Sumanasantaka (Mpu Monaguna), Kresnayana
(Mpu Triguna), Arjunawijaya (Mpu Tantular),
Lubdhaka (Mpu Tanakung); atau karya-karya
yang ditulis lebih kemudian seperti
Negarakertagama (Mpu Prapanca),
Kunjarakarna, Pararaton, Kidung Ranggalawe,
Kidung Sorandaka, Sastra Parwa (serial kisah-
kisah dari Mahabharata) dan lain-lain
(Zoetmulder 1983: 80-478).
APRESIASI SASTRA
 Apresiasi sastra adalah suatu kegiatan
mengakrabi karya sastra untuk
mendapatkan pemahaman, penghayatan,
dan penikmatan terhadap karya itu hingga
diperoleh kekayaan wawasan dan
pengetahuan, kepekaan pikir, dan rasa
terhadap berbagai segi kehidupan.
 Dari kegiatan tersebut akhirnya pula
timbul kecintaan dan penghargaan
terhadap cipta sastra. Demikian pula
dengan apresiasi karya prosa-fiksi.
 Istilah apresiasi berasal dari
bahasa Latin apreciatio yang
berarti ‘mengindahkan’ atau
‘menghargai’.
 Secara terminologi, apresiasi
sastra dapat diartikan sebagai
penghargaan, penilaian, dan
pengertian terhadap karya sastra,
baik yang berupa prosa fiksi, 
drama, maupun puisi (Dola, 2007).
APRESIASI KARYA SASTRA
SEBAGAI KEGIATAN MEMBACA
Kegiatan apresiasi karya sastra
melibatkan beberapa ragam
membaca, misalnya:
(1) Membaca dalam hati

(2) Membaca cepat

(3) Membaca estetis

(4) Membaca kritis

(5) Membaca kreatif, dll


LANGKAH-LANGKAH APRESIASI
PROSA
 Tujuan apresiasi prosa di atas akan diperoleh
pembaca apabila ia melakukakan langkah-
langkah:
1) membaca karya prosa tersebut hingga ia dapat
merasakan keterlibatan jiwa dengan apa yang
disampaikan dan diceritakan pengarang;
2) menilai dan melihat hubungan antara gagasan
pengalaman yang ingin disampaikan pengarang
dengan kemampuan teknis penggarang itu
mengolah unsur-unsur prosa, seperti tokoh
(penokohan), alur (pengaluran), latar, gaya
bahasa, penceritaan dan tema; dan
3) menemukan relevansi karya itu dengan
pengalaman pribadi dan kehidupan pada
umumnya.
BENTUK APRESIASI
Mengapresiasi sastra, dalam hal ini karya prosa-
fiksi, dapat dilakukan dengan berbagai cara,
yaitu:
1) menyimak/menonton pembacaan atau
dramatisasi cerpen/novel cerita rakyat, atau
bentuk lainnya seperti monolog, yang dilakukan
secara langsung atau lewat media elektronik;
2) mendengarkan dongeng, baik secara langsung,
maupun melalui rekaman; dan
3) membaca cerpen/novel/cerita rakyat secara
langsung dari teks-nya. Dari cara-cara tersebut,
apresiator kemudian memberikan tanggapan
(hasil apresiasinya) yang meliputi langkah-
langkah apresiasi, baik secara lisan, maupun
tulisan.
TAHAP APRESIASI :
 Suatu apresiasi sastra, menurut Maidar Arsjad dkk
dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan. Tahap-
tahap itu adalah.
1. Tahap penikmatan atau menyenangi. Tindakan
operasionalnya pada tahap ini adalah misahiya
membaca karya sastra (puisi maupun novel},
menghadiri acara deklamasi, dan sebagainya.
2. Tahap penghargaan. Tindakan operasionalnya,
antara lain, melihat kebaikan, nilai, atau manfaat
suatu karya sastra, dan merasakan pengaruh suatu
karya ke dalam jiwa, dan sebagainya.
3. Tahap pemahaman. Tindakan opersionalnya adalah
meneliti dan menganalisis unsur intrinsik dan unsur
ektrinsik suatu karya: astra, serta berusaha
menyimpulkannya.
LANJUTAN
4. Tahap penghayatan. Tindakan
operasionalnya adalah rnenganalisis lebih
lanjut akan suatu karya, mencari hakikat atau
makna suatu karya beserta argumentasinya;
membuat tafsiran dan menyusun pendapat
berdasarkan analisis yang telah dibuat.
5.  Tahap penerapan. Tindakan operasionalnya
adalah mclahirkan ide baru, mengamalkan
penemuan, atau mendayagunakan hasil
operasi dalam mencapai material, moral, dan
struktural untuk kepentingan sosial, politik,
dan budaya.
PERTANYAAN?
 Pendekatan apresiasi yang digunakan
pembaca pada waktu mengapresiasi
sastera lebih banyak ditentukan
oleh :
1) Tujuan dan apa yang akan diapresiasi
lewat teks sastera yang dibacanya,
2) Kelangsungan apresiasi itu terproses
lewat kegiatan bagaimana, dan
3) Landasan teori yang digunakan
dalam kegiatan apresiasi.
PENDEKATAN DALAM APRESIASI
SASTRA
 Bertolak dari tujuan dan apa yang
akan diapresiasi, dapat digunakan
beberapa pendekatan, yakni:
o Pendekatan parafratis,
o Pendekatan emotif,
o Pendekatan analitis,
o Pendekatan historis,
o Pendekatan sosiopsikologis, dan
o Pendekatan didaktis.
 Pendekatan parafratis adalah strategi pemahaman
kandungan karya sastera dengan jalan
mengungkapkan kembali gagasan yang dismpaikan
pengarang dengan menggunakan kata-kata maupun
kalimat yang berbeda digunakan pengarangnya.
 Pendekatan emotif dalam mengapresiasi sastera
adalah suatu pendekatan yang berusaha menemukan
unsure-unsur yang merangsang emosi atau perasaan
pembaca. Rangsangan emosi itu dapat berupa
keindahan bentuk maupun emosi yang berhubungan
dengan isi gagasan, alur, atau penokohan.
 Pendekatan analitis adalah pendekatan yang
berusaha memahami gagasan, cara pengarang
menampilkan gagasan dan mengimajinasikan ide-
idenya, sikap pengarang, elemen intringsik dan
mekanisme hubungan dari setiap elemen instringsik
itu sehingga mampu membangunn adanya
keselarasan dan kesatuan dalam membangun
totalitas bentuk dan totalitas makna.
 Pendekatan historis adalah pendekatan yang
menekankan pada pemahaman tentang biography
pengarang, latar belakang, peristiwa kesejarahan
yang melatarbelakangi masa-masa terwujudnya karya
sastera yang dibaca, serta tentang bagaimana
perkembangan kehidupan penciptaan maupun
kehidupan sastera sendiri pada umumnya dari zaman
ke zaman.
 Pendekatan sosiopsikologis adalah pendekatan yang
berusaha memahami latar belakang kehidupan social
budaya, kehidupan masyarakat, maupun tanggapan
kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan
kehidupannya atau zamannya pada saat cipta sastera
diwujudkan.
 Pendekatan didaktis adalah pendekatan yang
berusahaa menemukan dan memahami gagasan,
tanggapan evaluative maupun sikap pengarang
terhadaap kehidupan. Gagasan, tanggapan maupun
sikap itu akan mampu terwujud dalam suatu
pandangan etis, filosofis, maupun agamis sehingga
akan mengandung nilai-nilai moral yang mampu
memperkaya kehidupan rohaniah pembaca.*
BENTUK KEGIATAN APRESIASI
 Agar keterlibatan dan pemahaman
pembaca/apresiator dengan karya tersebut
lebih dalam, apresiator dapat mengekspresikan
karya tersebut, misalnya dengan:
(1)pembacaan cerpen/novel/dongeng,
(2)dramatisasi,
(3)monolog,
(4)dramatic reading,
(5)mendongeng, menulis kembali
cerpen/novel/dongeng yang dibaca dengan
karangan sendiri,
(6)membuat cerpen/novel/dongeng,
(7)mengadaptasi cerpen/novel/dongeng menjadi
naskah drama, puisi, dan lain-lain.
APRESIASI
MELALUI PEMBACAAN CERPEN
 Untuk melakukan pembelajaran ini, tahap-tahapnya
dapat mengacu pada model pembelajaran yang
dikemukakan H.L.B. Moody, yang terdiri atas
pelacakan pendahuluan, penentuan sikap praktis,
introduksi, penyajian, diskusi, dan pengukuhan,
sementara metode dan tekniknya bisa dikembangkan
sendiri.
 Pelacakan pendahuluan dan penentuan sikap praktis
merupakan tahap persiapan (perencanaan) sebelum
guru melaksanakan pembelajaran di kelas. Dalam hal
ini guru memilih bahan yang akan diapresiasikan.
Pemilihan bahan, dalam hal ini karya cerpen,
tentunya mengacu pada kesesuaiannya dengan siswa.
Guru memutuskan cerpen apa yang akan disajikan.
Oleh karena metode penyajian serpen itu akan
dilakukan lewat pembacaan cerpen, guru hendaknya
memilih cerpen yang lebih banyak unsur dialog
daripada narasi agar menarik siswa.
MENDENGARKAN DONGENG
 Pembelajaran ini dapat dilakukan
dengan cara, misalnya, guru
mendongeng menggunakan alat
peraga.
 Apabila siswa telah menyimak
ceritanya, guru meminta siswa
bermain peran tentang cerita yang
didongengkan guru, lalu
mengungkapkan hal-hal menarik
dari dongeng tersebut.
MENULIS CERPEN/ DONGENG
Menulis Cerpen /Dongeng
Pembelajaran ini dapat dilakukan melalui
serangkaian metode, seperti:
 copy the master. Caranya, guru memenggal
sebuah cerpen, lalu menyuruh siswa untuk
melanjutkannya dengan imajinasi masing-
masing;
 guru mengajak siswa bermain peran yang
permainan ini melahirkan cerita. Cerita tersebut
sudah terbentuk unsur-unsurnya, namun akhir
cerita dibiarkan menggantung. Siswa diminta
untuk mengembangkannya dengan menulis
cerpen/dongeng
DAYA PIKIR
 MANGGA KITA PIRSANI KTSP MULOK
BAHASA JAWA

Anda mungkin juga menyukai