Anda di halaman 1dari 39

pembahasan

HUKUM
SELAMATAN
ORANG

MENINGGAL
MENURUT

MUHAMMADIYAH
Dilampiri
HASIL MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA ( N U )
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH
NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA
TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

Disarikan Oleh

Ibnu Amah

ISTIFTAH

0
I S L A M
Islam adalah agama sempurna paripurna / lengkap
dan menyeluruh meliputi segala aspek hidup dan kehidupan
Q.S. al IMaidah : 3
‫يت لَمُك ُ ا ْساَل َم ِد ًين‬
ُ ‫الْ َي ْو َم َأمْك َلْ ُت لَمُك ْ ِدينَمُك ْ َوَأتْ َم ْم ُت عَلَ ْيمُك ْ ِن ْع َميِت َو َر ِض‬
‫ِإْل‬
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu,
dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu .
Q.S. Al Baqarah ; 208
ّ ِ ‫اَي َأهُّي َا اذَّل ِ َين آ َمنُوا ا ْد ُخلُوا يِف‬
‫السمْل ِ اَك ف َّ ًة‬
‫الش ْي َط ِان ن َّ ُه لَمُك ْ عَدُ ٌّو ُمبِني‬
َّ ‫َواَل تَت َّ ِب ُعوا خ ُُط َو ِات‬
‫ِإ‬
Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Q S Al Ahzab : 21 :
‫لَقَدْ اَك َن لَمُك ْ يِف َر ُسولِ اهَّلل ِ ُأ ْس َو ٌة َح َسنَ ٌة‬
‫ِل َم ْن اَك َن يَ ْر ُجو اهَّلل َ َوالْ َي ْو َم ا َآْل ِخ َر َو َذ َك َر اهَّلل َ َك ِث ًريا‬
Sungguh pada pribadi Rasulullah SAW teladan utama bagimu
yang mengharap rahmat Allah pada hari qiyamat
dan bagi yang banyak berdzikir
Q S . Al Hasyr : 7

‫َو َما آاَت مُك ُ َّالر ُس ْو ُل فَخ ُُذ ْو ُه َو َما هَن َامُك ْ َع ْن ُه فَا ْنهَت ُوا‬
‫هللا َس ِديْدُ الْ ِع َق ِاب‬ َ ‫هللا ِا َّن‬َ ‫َوات َّ ُقوا‬
Dan segala yang dituntunkan Rasulullah SAW padamu
maka amalkanlah,
dan segala apa yang dilarang (apalagi bid'ah )
maka jauhilah.
Sungguh Allah itu sangat keras siksaNya

ISLAM
( MENURUT AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH )

1
Hadits dari Irbadl bin Syariyyah riwayat Ibnu Majah :
‫فَ َعلَ ْيمُك ْ ب ُِسنَّيِت َو ُسنَّ ِة الْ ُخلَ َفا ِء َّالر ِاش ِد َين الْ َمهْ ِدِيّ" َِّني َعضُّ وا عَلَهْي َا اِب لنَّ َواجِ ِذ‬
ٌ ‫َو اَّي مُك ْ َواُأْل ُم َور الْ ُم ْحدَ اَث ِت فَ َّن لُك َّ ِبدْ عَ ٍة ضَ اَل ةَل‬
Hendaklah kamu semua hanya berpegang pada
‫ِإ‬ ‫ ِإ‬sunnahku
dan sunnah khulafa' rasyidin, gigitlah dengan gerahammu erat erat.
Dan takutlah kamu dengan ajaran yang dibuat-buat orang ( bid'ah)
karena perbuatan bid'ah itu sesat
Hadits dari Jabir bin Abdullah riwayat Muslim :
ِ ‫اب اهَّلل‬
ُ ‫يث ِك َت‬ ِ ‫َا َّما ب َ ْعدُ فَ َّن َخرْي َ الْ َح ِد‬
‫ِإ‬
ِ ‫َو َخرْي ُ الْهُدَ ى هُدَ ى ُم َح َّم ٍد َورَش ُّ اُأْل ُم‬
ٌ ‫ور ُم ْحدَ اَث هُت َا َولُك ُّ ِبدْ عَ ٍة ضَ اَل ةَل‬
,Ada pun sebaik baik tuntunan hanyalah Al Qur'an
dan sebaik baik petunjuk hanyalah Al Hadits,
sejelek jelek amal ialah menambah / mengurangi ( bid'ah).setiap bid'ah itu sesat
Hadits dari Ghudhoif bin Al Harits , Nabi bersabda :
‫السنَ ِة‬
ُّ ‫َما َا ْحدَ َث قَ ْو ٌم بِدْ عَ ٌة ِاالَّ َرفَ َع ِمثْلُهَا ِم َن‬
Tidaklah suatu kaum melakukan satu bid'ah
kecuali akan hilang satu sunnah yang setara dengan bdi'ah tersebut
Menambah, tidak benar walau dirasakan baik atau dikira akan menambah pahala
hadits dari Abdullah bin Umar dalam Kitab Al Ibanah :
‫لُك ُّ ِبدْ عَ ٍة ضَ َالةَل ٌ َوا ِْن َر َاهَا النَّ ُاس َح َسنَ ٌة‬
Setiap bid'ah itu sesat ( tak ada bid'ah hasanah )
walaupun orang menganggapnya hasanah / baik
hadits dari Abdullah bin Mas'ud dalam Kitab Al Bida' :
ٌ ‫ِات َّ ِب ُعوا َو َال تَبْتَدَ عُوا" فَقَدْ ُك ِف ْي مُت ْ َولُك ُّ ِبدْ عَ ٍة ضَ َالةَل‬
Berittiba'lah hanya pada Rasulullah SAW dan itu sudah cukup bagimu,
Jangan menambah amalan ( bid'ah )
karena bid'ah itu sesat (tak ada bid'ah hasanah)
Dalam semua I b a d a h ( shalat, puasa, zakat, haji ) ,
dan dalam semua a m a l i y a h ( perkawinan, kelahiran, kematian )
wajib kita hanya meneladani / meniru Nabi Muhammad SAW
janganlah mengurangi / menambah bahkan membuat tuntunan baru,
mencampur ajaran Islam dengan ajaran non Islam

BERARTI HANYA MENURUT AHLUSSUNNAH WALJAMA'AH


JANGAN MENJADI ALHUSSUNNAH WAL BID'AH

2
SELAMATAN KEMATIAN

yang dimaksud dengan SELAMATAN disini ialah ucapara selamatan setelah


satu hari orang meninggal dengan membuat kenduri dan sesaji menurut Hindu.
Diteruskan selamatan 3, 7, 40 , 100 harinya,diteruskan pula setahun, dua, tahun
dan 1000 hari. Yang dalam rangka itu pula dilafalkan dzikir dan doa yang
diawali membaca kitab Al qur’an.
Yang berarti syncretisme atau mencampur adukkan ajaran yang haq dengan
ajaran yang bathil
di dalam Q S Al Baqarah ( 2) : 41 dan 42 :
ِ ‫والَ َت ْلبِسواْ احْل َّق بِالْب‬
‫اط ِل َوتَ ْكتُ ُمواْ احْلَ َّق َوأَنتُ ْم َت ْعلَ ُمو َن‬َ َ ُ َ
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan
janganlah kamu sembunyikan yang hak itu sedang kamu mengetahui.
Ayat ini menjelaskan bahwa larangan bagi orang yang beribadah secara haq
( Islam) tapi beribadah pula dengan bathil ( ajaran non Muslim)
Banyak sekali contohnya, melakukan ibadah dzikir dan baca Al Qur’an tapi
dicampur selamatan menurut Hindu, missal 4o hari kematian seorang muslim.
Atau kenduri yang jelas ajaran hidnu dimantrai dengan doa menurut Islam.

Walaupun ayat ini menjelaskan dalam sejarah bahwa orang Nasrani, terutama
orang Yahudi menyembunyikan ayat bahwa akandatang seorang Nabi yang
akhir.
Namun dijadikan dasar bahwa larangan menyembunyikan amalan yang haq,
justru mengamlkan yang bathil
Banyak sekali contoh, misal menyembunyikan sunnah aqiqah, diganti
selapanan. Atau menyembunyikan beerdoa untuk arwah keluarga, diganti tabur
bunga yang jelas tuntunan Hindu
Di dalam surat Al-Baqarah ayat 120
‫َّص َارى َحتَّى َتتَّبِ َع ِملََّت ُه ْم قُ ْل إِ َّن ُه َدى اللّ ِه ُه َو‬
َ ‫ود َوالَ الن‬
ُ ‫ك الَْي ُه‬َ ‫ض ى َعن‬ َ ‫َولَن َت ْر‬
‫ك ِم َن اللّ ِه ِمن َولِ ٍّي‬
َ َ‫اءك ِم َن ال ِْعل ِْم َم ا ل‬َ ‫اءهم َب ْع َد الَّ ِذي َج‬ َ ‫ال ُْه َدى َولَئِ ِن َّاتَب ْع‬
ُ ‫ت أ َْه َو‬
ِ َ‫والَ ن‬
‫صي ٍر‬ َ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah
3
itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan
mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu.”
Ayat diatas menjelaskan agama Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada
Islam sebelum umat Islam masuk agama Yahudi. Asal mula agama hindu
dimulai sungai lembah Hindus Peradaban, sungai di India dari kata Sanskerta.

Pada tahun 1500 bangsa Arya menguasai bangsa Inggris. Bangsa Arya juga
disebut bangsa Simit. Bangsa Simit adalah orang Yahudi ialah Pakai Kasta.
Maka terciptalah kitab Rikwada ( reg weda ).
Itu sekilas bahwa agama hindu pecahan dari agama Yahudi.

Tantangan umat Islam saat ini adalah dari internal umat Islam belum bersatu.
Dan dari Eksternal umat Islam digoncang dan dirusak melalui aqidah, budaya,
pemikiran. Yang paling harus orang Yahudi ialah merusak Islam melalui
(Bid’ah, khurofat, dan tahayul). Berangkat kebencian yahudi agar umat islam
jauh dari syareat Islam.
Kita tak boleh meniru-niru agama orang lain karena kita punya pedoman yaitu
Al-Qur’an dan Assunnah.
Dianjurkan agar warga Muhammadiyah ;
1. melihat tayangan CD ceramah yang disampaikan oleh ustadz Abdul Aziz,
mantan pendeta Hindu.
2. Membaca buku Muallaf Menggugat karangan ustadz Abdul Aziz, mantan
pendeta Hindu.
3. Membaca buku buku tentang selamatan

Sesungguhnya Islam adalah ad-dien yang sempurna. Islam disebut ad-dien oleh
karena di dalamnya berisikan tentang aturan-aturan yang mengatur umatnya
dalam beribadah karena Allah dan mengatur dalam kaitannya sesama manusia.
Sebagaimana tersebut dalam beberapa ayat dibawah ini :
Dalam (Q.S. Al-Maidah (5) : 3) :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agamabagimu.
Dalam (Q.S. Al-Imron (3) : 19)
Karena itu tidaklah perlu umat islam mencari ad-dien (aturan-aturan) selain
Islam. Karena peringatan Allah SWT,
“Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam.
4
Dalam (Q.S Ali Imran (3) :85)
Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.

Termasuk dalam hal ini adalah cara bershadaqah yang benar sebagai upaya
pendekatan diri kepada Allah SWT. Umat Islam tidak perlu membuat aturan-
aturan baru yang sebenarnya cara bersahdaqah didalam Al-Qur’an dan as-
sunnah sudah ada. Anggapan tidak ada atau belum adanya aturan-aturan itu
hanya semata-mata karena umat ini belum mengkaji ajaran agama Islam secara
tuntas dan utuh (masih persia), bukan karena memang tidak ada.

Andaikan tidakpun, para ulama telah bersepakat untuk melakukan upaya


penggalian secara mendalam dengan penuh kehati-hatian agar tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang kemudian dikenal dengan
ijma dan qiyas.
Untuk sampai pada amalan yang benar sudah saatnya umat ini kembali
membuka dan mengkaji dua warisan Rasulullah saw, yaitu Al-Qur’an dan as-
sunnah.

Dari Malik bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Telah aku tinggalkan pada
kamu dua perkara, kalian tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada
keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah Nabinya. ‘(Imam Malik al
Muwaththa’,1395)
Dalam (Q.S. Al-Kahfi (18) : 103-107)
103. Katakanlah: “Apakah akan kami beeritahukan kepadamu tentang orang-
orang yang paling merugi perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan
mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. 105. Mereka itu
orang-orang yang Telah Kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur
terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka,
dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi amalan mereka pada hari
kiamat. 106. Demikianlah balasan mereka itu neraka jahanam, disebabkan
kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-
rasul-Ku sebagai olok-olok. 107. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
beramal shaleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.

Kelak, sangatlah besar resikonya disisi Allah, orang yang beramal hanya dengan
mengikuti kebanyakan orang dan tidak berdasar pada tuntunan Allah dan Rasul.
5
Allah mengingatkan bahaya beramal dengan tidak berdasar pada aturan Allah
dan Rasul.
Dalam (QS. Al-An’am (6) : 116-117)
116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak menyesatkanmu dari jalan
Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). 107. Sesungguhnya Tuhanmu,
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk
Di akhirat mereka akan menyesal karena pendengaran, penglihatan dan hati
serta akal fikirannya akan dimintai pertanggungjawaban.
Dalam (QS. Al-Isra’ (17) : 36)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyaipengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan dimintai pertanggungjawabannya.
Dalam b(QS. Al-Mulk (67) : 9-12)
9. Mereka menjawab: “Benar ada”, Sesungguhnya tellah datang kepada kami
seseorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan
: “Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam
kesesatan yang besar”.
10. Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka
yang menyala-nyala”.
11. Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-
penghuni neraka yang menyala-nyala.
12. Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak
nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang
besar.

Akhirnya, semoga kita termasuk golongan orang-orang yang mengikuti petunjuk


Allah dan Rasul-Nya. ( disarikan dari berbagai sumber )

Tahlilan dalam Pandangan

6
NU, Muhammadiyah, PERSIS , Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf
dan 4 Mazha
Disarikan oleh : Ibnu Amah

Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo,
4 Mahzab Tentang Bid’ahnya Tahlilan

Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi
Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh untuk
sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita yang masih
di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam sana.
Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita
menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak
dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana
seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang
membahana, maupun pesta besar-besaran.

Bila diantara saudara kita menghadapi musibah kematian, hendaklah sanak


saudara menjadi penghibur dan penguat kesabaran, sebagaimana Rasulullah
memerintahkan membuatkan makanan bagi keluarga yang sedang terkena
musibah tersebut, dalam hadits:
“Kirimkanlah makanan oleh kalian kepada keluarga Ja’far, karena mereka
sedang tertimpa masalah yang menyesakkan”.(HR Abu Dawud (Sunan Aby
Dawud, 3/195), al-Baihaqy (Sunan al-Kubra, 4/61), al-Daruquthny (Sunan al-
Daruquthny, 2/78), al-Tirmidzi (Sunan al-Tirmidzi, 3/323), al- Hakim (al-
Mustadrak, 1/527), dan Ibn Majah (Sunan Ibn Majah, 1/514)

Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk
sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena
musibah.
Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan
kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab ‘air’.
Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur yang
dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah air saja
sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan menjadi amal
jariyah yang terus mengalir.

7
Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan
untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan memberi
ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, besok dia akan
mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah
bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf,
membangun masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan
kritis), membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan
ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat.

Bilamana tidak mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan.
Seandainya dana umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa
makanan (bahkan banyak makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan
ayam; lainnya menjadi isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak
yatim atau kurang mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah
islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat
lain),atau menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan
suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya menjadi
keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.

Sebagian ulama menyatakan mengirimkan pahala tidak selamanya harus dalam


bentuk materi, Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyah berpendapat bacaan al- Qur’an
dapat sampai sebagaimana puasa, nadzar, haji, dll; sedang Imam Syafi’i dan
Imam Nawawi menyatakan bacaan al-Qur’an untuk si mayit tidak sampai karena
tidak ada dalil yang memerintahkan hal tersebut, tidak dicontohkan Rasulullah
dan para shahabat.
Berbeda dengan ibadah yang wajib atau sunnah mu’akad seperti shalat, zakat,
qurban, sholat jamaah, i’tikaf 10 akhir ramadhan, yang mana ada celaan bagi
mereka yang meninggalkannya dalam keadaan mampu.
Akan tetapi di masyarakat kita selamatan kematian/tahlilan telah dianggap
melebihi kewajiban- kewajiban agama.
Orang yang meninggalkannya dianggap lebih tercela daripada orang yang
meninggalkan sholat, zakat, atau kewajiban agama yang lain.
Sehingga banyak yang akhirnya memaksakan diri karena takut akan sanksi
sosial tersebut.

Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki,
meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah.
8
Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan
perlindungan harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim,
tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS
al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’: 6)
Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan yang
memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama
selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan
menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk menebus kesalahan-
kesalahannya.

Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun akan menganggap dengan
menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya berbakti /
mendoakan orang tuanya.
Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:
“…dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga
mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan
bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan
masih melekat.” (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279)
Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat
yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan,
beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan
perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.

Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa
yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan
Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan
semacam itu karena termasuk bid’ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti
generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan
menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan
diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar
mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus,
Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan
mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat
(kaum putihan).

Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji,
wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
9
Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di
kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai
ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan
menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan
bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)
Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga
wilayah garapan

Pembagian wilayah tersebut berdasarkan obyek dakwah yang dipengaruhi oleh


agama yang masyarakat anut pada saat itu, yaitu Hindu dan Budha.

Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima
orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu pusat
kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa Timur
sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana Ibrahim
(Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri),
Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)
Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali.
Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali
yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden
Prawoto (Sunan Muria), Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati
oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di
wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar
Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama asli sunda,
antara lain kepercayaan “Sunda Wiwitan”

Dua Pendekatan dakwah para wali.


1. Pendekatan Sosial Budaya
2. Pendekatan aqidah Salaf
Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Gunung Jati dan terutama
Sunan Giri berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan ajaran Islam secara
murni, baik tentang aqidah maupun ibadah. Dan mereka menghindarkan diri dari
bentuk singkretisme ajaran Hindu dan Budha.

Tetapi sebaliknya Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Kalijaga


mencoba menerima sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha di dalam
menyampaikan ajaran Islam. Sampai saat ini budaya itu masih ada di
10
masyarakat kita, seperti sekatenan, ruwatan, shalawatan, tahlilan, upacara
tujuh bulanan dll.
Pendekatan Sosial budaya dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Tumenggung
Wilwatika, Adipati Majapahit Tuban. Pendekatan sosial budaya yang dilakukan
oleh aliran Tuban memang cukup efektif, misalnya Sunan Kalijaga
menggunakan wayang kulit untuk menarik masyarakat jawa yang waktu itu
sangat menyenangi wayang kulit.
Sebagai contoh dakwah Sunan kalijaga kepada Prabu Brawijaya V, Raja
Majapahit terakhir yang masih beragama Hindu, dapat dilihat di serat
Darmogandul, yang antara lain bunyinya;
Punika sadar sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njegat; tarekat
taren kang osteri; hakikat unggil kapti, kedah rujuk estri kakung, makripat
ngentos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben aku kaidenna yayan rina” (itulah
yang namanya sahadat syariat, artinya syariat ini, bila tidur kemaluannya tegak;
sedangkan tarekat artinya meminta kepada istrinya; hakikat artinya menyatu
padu , semua itu harus mendapat persetujuan suami istri; makrifat artinya
mengenal ; jadilah sekarang hukum itu merupakan syarat bagi mereka yang
ingin berumah tangga, sehingga bersenggama itu dapat dilaksanakan kapanpun
juga).
Dengan cara dan sikap Sunan Kalijaga seperti tergambar di muka, maka ia satu-
satunya Wali dari Sembilan Wali di Jawa yang dianggap benar-benar wali oleh
golongan kejawen (Islam Kejawen/abangan), karena Sunan Kalijaga adalah
satu-satunya wali yang berasal dari penduduk asli Jawa (pribumi).
[Sumber : Abdul Qadir Jailani , Peran Ulama dan Santri Dalam Perjuangan
Politik Islam di Indonesia, hal. 22-23, Penerbit PT. Bina Ilmu dan Muhammad
Umar Jiau al Haq, M.Ag, Syahadatain Syarat Utama Tegaknya Syariat Islam,
hal. 51-54, Kata Pengantar Muhammad Arifin Ilham (Pimpinan Majlis Adz
Zikra), Penerbit Bina Biladi Press.]
Nasehat Sunan Bonang
Salah satu catatan menarik yang terdapat dalam dokumen “Het Book van
Mbonang”[1] adalah peringatan dari sunan Mbonang kepada umat untuk selalu
bersikap saling membantu dalam suasana cinta kasih, dan mencegah diri dari
kesesatan dan bid’ah. Bunyinya sebagai berikut:
“Ee..mitraningsun! Karana sira iki apapasihana sami-saminira Islam lan
mitranira kang asih ing sira lan anyegaha sira ing dalalah lan bid’ah“.
Artinya: “Wahai saudaraku! Karena kalian semua adalah sama-sama pemeluk
Islam maka hendaklah saling mengasihi dengan saudaramu yang mengasihimu.
Kalian semua hendaklah mencegah dari perbuatan sesat dan bid’ah
11
Dokumen ini adalah sumber tentang walisongo yang dipercayai sebagai
dokumen asli dan valid, yang tersimpan di Museum Leiden, Belanda. Dari
dokumen ini telah dilakukan beberapa kajian oleh beberapa peneliti.
Diantaranya thesis Dr. Bjo Schrieke tahun 1816, dan Thesis Dr. Jgh Gunning
tahun 1881, Dr. Da Rinkers tahun 1910, dan Dr. Pj Zoetmulder Sj, tahun 1935.
Dari info Abu Yahta Arif Mustaqim, pengedit buku Mantan Kiai NU
Menggugat Tahlilan, Istighosahan dan Ziarah Para Wali hlm. 12-13.
Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober
1926. Mencantumkan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami dan menyatakan bahwa
selamatan kematian adalah bid’ah yang hina namun tidak sampai diharamkan
dan merujuk juga kepada Kitab Ianatut Thalibin.
Namun Nahdliyin generasi berikutnya menganggap
pentingnya tahlilan tersebut sejajar (bahkan melebihi) rukun
Islam / Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sekalipun seseorang telah
melakukan kewajiban-kewajiban agama, namun tidak
melakukan tahlilan, akan dianggap tercela sekali, bukan
termasuk golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah.
Bahkan sebagian berpendapat, kalau ada warga yang meninggal tidak diadakan
selamatan, dikatakan “ mengubur mayat manusia seperti mengubur bangkai
anjing. Artinya anjing dikubur kan tidak diselamati.
Di zaman akhir yang ini dimana keadaan pengikut sunnah seperti orang ‘aneh’
asing di negeri sendiri, begitu banyaknya orang Islam yang meninggalkan
kewajiban agama tanpa rasa malu, seperti meninggalkan Sholat Jum’at, puasa
Romadhon,dll.
Sebaliknya masyarakat begitu antusias melaksanakan tahlilan ini, hanya
segelintir orang yang berani meninggalkannya. Bahkan non-muslim pun akan
merasa kikuk bila tak melaksanakannya. Padahal para ulama terdahulu
senantiasa mengingatkan akan dalil-dalil yang menganggap buruk walimah
(selamatan) dalam suasana musibah tersebut.
Dari sahabat Jarir bin Abdullah al-Bajali: “Kami (para sahabat) menganggap
kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh
mereka merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)”. (Musnad Ahmad bin
Hambal (Beirut: Dar al-Fikr, 1994) juz II, hal 204 & Sunan Ibnu Majah (Beirut:
Dar al-Fikr) juz I, hal 514)

12
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH
NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
DI SURABAYA
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH

TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan
kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari
berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga
memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu
hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan
pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan
pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang
yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi
mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali
yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan
menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian
dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita.
Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa
di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur
saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN
DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN
YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI
KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti
yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah
jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan
kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya
akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka
13
melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat,
maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut
dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli
waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai
sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab,
tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti
“wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan
di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias
makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah
ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan
(rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal
“OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat
kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari
ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara
ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas.
Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan
realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast)
shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya
keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di
luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang
belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur
ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari
mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
[Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX
(yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan
Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah
Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H.
Maftuh Basuni]

14
‫‪Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I’anatut Thalibin Juz 2 hal. 165‬‬
‫‪-166 , Seperti terlampir di bawah ini :‬‬

‫وقد أرسل االمام الشافعي ‪ -‬رضي اهلل عنه ‪ -‬إلى بعض أصحابه يعزيه في ابن له قد مات‬
‫بقوله‪ :‬إني معزيك ال إني على ثقة * * من الخلود‪ ،‬ولكن سنة الدين فما المعزى بباق بعد‬
‫ميته * * وال المعزي ولو عاشا إلى حين والتعزية‪ :‬هي االمر بالصبر‪ ،‬والحمل عليه بوعد‬
‫االجر‪ ،‬والتحذير من الوزر بالجزع‪ ،‬والدعاء للميت بالمغفرة وللحي بجبر المصيبة‪ ،‬فيقال‬
‫فيها‪ :‬أعظم اهلل أجرك‪ ،‬وأحسن عزاءك‪ ،‬وغفر لميتك‪ ،‬وجبر معصيتك‪ ،‬أو أخلف عليك‪،‬‬
‫أو نحو ذلك‪.‬وهذا في تعزية المسلم بالمسلم‪.‬‬
‫وأما تعزية المسلم بالكافر فال يقال فيها‪ :‬وغفر لميتك‪ ،‬الن اهلل ال يغفر الكفر‪.‬‬
‫وهي مستحبة قبل مضي ثالثة أيام من الموت‪ ،‬وتكره بعد مضيها‪.‬ويسن أن يعم بها جميع‬
‫أه ل الميت من ص غيروكبير‪ ،‬ورج ل وام رأة‪ ،‬إال ش ابة وأم رد حس نا‪ ،‬فال يعزيهم ا إال‬
‫محارمهم ا‪ ،‬وزوجهما‪.‬ويكره ابت داء أجنبي لهم ا بالتعزية‪ ،‬بل الحرمة أقرب‪.‬ويكره الهل‬
‫الميت الجلوس للتعزية‪ ،‬وصنع طعام يجمعون الناس عليه‪ ،‬لما روى أحمد عن جرير بن‬
‫عب د اهلل البجلي‪ ،‬ق ال‪ :‬كن ا نع د االجتم اع إلى أه ل الميت وص نعهم الطع ام بع د دفن ه من‬
‫النياح ة‪ ،‬ويس تحب لج يران أه ل الميت ‪ -‬ول و أج انب ‪ -‬ومع ارفهم ‪ -‬وإن لم يكون وا‬
‫جيرانا ‪ -‬وأقاربه االباعد ‪ -‬وإن كانوا بغير بلد الميت ‪ -‬أن يصنعوا الهله طعاما يكفيهم‬
‫يوما وليلة‪ ،‬وأن يلحوا عليهم في االكل‪.‬ويحرم صنعه للنائحة‪ ،‬النه إعانة على معصية‪.‬‬
‫وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من‬
‫الطعام‪.‬وجواب منهم لذلك‪.‬‬
‫(وصورتهما)‪.‬‬

‫‪15‬‬
‫ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم لالنام مدى االيام‪ ،‬في العرف الخاص في‬
‫بلدة لمن بها من االشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء‪ ،‬وحضر معارفه وجيرانه‬
‫الع زاء‪ ،‬جرى الع رف ب أنهم ينتظ رون الطع ام‪ ،‬ومن غلبة الحي اء على أه ل الميت يتكلف ون‬
‫التكلف التام‪ ،‬ويهيئون لهم أطعمة عديدة‪ ،‬ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة‪.‬فهل ل و أراد‬
‫رئيس الحك ام ‪ -‬بم ا ل ه من الرف ق بالرعي ة‪ ،‬والش فقة على االه الي ‪ -‬بمن ع ه ذه القض ية‬
‫بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية‪ ،‬المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صالة‬
‫وس الما‪ ،‬حيث ق ال‪ :‬اص نعوا آلل جعف ر طعام ا يث اب على ه ذا المن ع الم ذكور ؟ أفي دوا‬
‫بالجواب بما هو منقول ومسطور‪.‬‬
‫(الحم د هلل وح ده) وص لى اهلل وس لم على س يدنا محم د وعلى آل ه وص حبه والس الكين‬
‫نهجهم بعده‪.‬اللهم أسألك الهداية للصواب‪.‬‬
‫نعم‪ ،‬ما يفعله الناس من االجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام‪ ،‬من البدع المنكرة التي‬
‫يثاب على منعها والي االمر‪ ،‬ثبت اهلل به قواعد الدين وأيد به االسالم والمسلمين‪.‬‬
‫قال العالمة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرحك المنهاج)‪ :‬ويسن لجيران أهله ‪-‬‬
‫أي الميت ‪ -‬تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم‪ ،‬للخبر الصحيح‪.‬اصنعوا آلل جعفر طعاما‬
‫فقد جاءهم ما يشغلهم‬
‫‪.‬‬
‫ويلح عليهم في االك ل ن دبا‪ ،‬النهم ق د يتركون ه حي اء‪ ،‬أو لف رط ج زع‪.‬ويح رم تهيئ ه‬
‫للنائحات النه إعانة على معصية‪ ،‬وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه‪،‬‬
‫بدعة مكروهة ‪ -‬كإجابتهم لذلك‪ ،‬لما صح عن جرير رضي اهلل عنه‪.‬كنا نعد االجتم اع إلى‬
‫أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة‪.‬‬
‫ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة االهتمام بأمر الحزن‪.‬‬
‫‪16‬‬
‫ومن ثم ك ره اجتم اع أه ل الميت ليقص دوا ب العزاء‪ ،‬ب ل ينبغي أن ينص رفوا في ح وائجهم‪،‬‬
‫فمن صادفهم عزاهم‪.‬‬
‫اه‪.‬‬
‫وفي حاش ية العالم ة الجم ل على ش رح المنهج‪ :‬ومن الب دع المنك رة والمك روه فعلها‪ :‬م ا‬
‫يفعله الناس من الوحشةوالجمع واالربعين‪ ،‬بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور‪،‬‬
‫أو من ميت عليه دين‪ ،‬أو يترتب عليه ضرر‪ ،‬أو نحو ذلك‪.‬‬
‫اه‪.‬وق د ق ال رس ول اهلل (ص) لبالل بن الح رث رض ي اهلل عنه‪ :‬ي ا بالل من أحي ا س نة من‬
‫س نتي ق د أميتت من بع دي‪ ،‬ك ان ل ه من االج ر مث ل من عم ل به ا‪ ،‬ال ينقص من أج ورهم‬
‫شيئا‪.‬‬
‫ومن ابتدع بدعة ضاللة ال يرضاها اهلل ورسوله‪ ،‬كان عليه مثل من عمل بها‪ ،‬ال ينقص من‬
‫أوزارهم شيئا‪.‬وقال (ص)‪ :‬إن هذا الخير خزائن‪ ،‬لتلك الخزائن مفاتيح‪ ،‬فطوبى لعبد جعله‬
‫اهلل مفتاحا للخير‪ ،‬مغالقا للشر‪.‬وويل لعبد جعله اهلل مفتاحا للشر‪ ،‬مغالقا للخير‪.‬‬
‫وال ش ك أن من ع الن اس من ه ذه البدع ة المنك رة في ه إحي اء للس نة‪ ،‬وإمات ه للبدع ة‪ ،‬وفتح‬
‫لكثير من أبواب الخير‪ ،‬وغلق لكثير من أبواب الشر‪ ،‬فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا‪،‬‬
‫يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما‪.‬واهلل سبحانه وتعالى أعلم‪.‬‬
‫كتبه المرتجي من ربه الغفران‪ :‬أحمد بن زيني دحالن ‪ -‬مفتي الشافعية بمكة المحمية ‪-‬‬
‫غفر اهلل له‪ ،‬ولوالديه‪ ،‬ومشايخه‪ ،‬والمسلمين‪.‬‬
‫(الحمد هلل) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون‪.‬نعم‪ ،‬يثاب والي االمر ‪ -‬ضاعف اهلل ل ه‬
‫االج ر‪ ،‬وأي ده بتأيي ده ‪ -‬على منعهم عن تل ك االم ور ال تي هي من الب دع المس تقبحة عن د‬
‫الجمهور‪.‬‬

‫‪17‬‬
‫قال في (رد المحتار تحت قول الدار المختار) ما نصه‪ :‬قال في الفتح‪ :‬ويستحب لجيران‬
‫أه ل الميت‪ ،‬واالقرب اء االباع د‪ ،‬تهيئ ة طع ام لهم يش بعهم ي ومهم وليلتهم‪ ،‬لقول ه (ص)‪:‬‬
‫اصنعوا آلل جعفر‬
‫طعاما‬
‫(ما فقد جاءهم ما يشغلهم‪.‬حسنه الترمذي‪ ،‬وصححه الحاكم‪.‬‬
‫والن ه ب ر ومع روف‪ ،‬ويلح عليهم في االك ل‪ ،‬الن الح زن يمنعهم من ذل ك‪ ،‬فيض عفون‬
‫حينئذ‪.‬وقال أيضا‪ :‬ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت‪ ،‬النه شرع في السرور‪ ،‬وهي‬
‫بدعة‪.‬روى االمام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح‪ ،‬عن جرير بن عبد اهلل‪ ،‬قال‪ :‬كنا نعد‬
‫االجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة‪.‬اه‪.‬‬
‫وفي البزاز‪ :‬ويكره اتخاذ الطعام في اليوم االول والثالث وبعد االسبوع‪ ،‬ونقل الطعام إلى‬
‫القبر في المواسم إلخ‪.‬وتمامه فيه‪ ،‬فمن شاء فليراجع‪.‬واهلل سبحانه وتعالى أعلم‪.‬كتبه خادم‬
‫الشريعة والمنهاج‪ :‬عبد الرحمن بن عبد اهلل سراج‪ ،‬الحنفي‪ ،‬مفتي مكة المكرمة ‪ -‬كان‬
‫اهلل لهما حامدا مصليا مسلما‬

‫‪Terjemahan kalimat yang telah digaris bawahi atau ditulis tebal di atas, di dalam‬‬
‫‪Kitab I’anatut Thalibin :‬‬

‫‪1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit‬‬
‫‪dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid’ah Mungkar,‬‬
‫‪yang bagi orang yang melarangnya akan diberi pahala.‬‬
‫‪2. Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk‬‬
‫‪orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid’ah yang dibenci.‬‬
‫‪3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan‬‬
‫‪Bid’ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah,‬‬
‫‪mematikan Bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu‬‬
‫‪keburukan.‬‬

‫‪18‬‬
4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah
disyari’atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah Bid’ah. Telah
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih,
dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : “Kami menganggap berkumpulnya manusia
di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan , adalah termasuk
Niyahah”
5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan
sesudah seminggu dst.

Muhammadiyah, PERSIS dan Al Irsyad, sepakat mengatakan bahwa Tahlilan


(Selamatan Kematian) adalah perkara bid’ah, dan harus ditinggalkan

Dari Thalhah: “Sahabat Jarir mendatangi sahabat Umar, Umar berkata:


Apakah kamu sekalian suka meratapi mayat? Jarir menjawab: Tidak, Umar
berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di
rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, Umar
berkata: Hal itu sama dengan meratap”. (al-Mashnaf ibn Aby Syaibah (Riyad:
Maktabah al-Rasyad, 1409), juz II hal 487)

Dari Sa’ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula
oleh Abd al-Razaq: “Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah ,
hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah
keluarga mayit”. (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan’any (Beirut: al-Maktab al-
Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan
lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa’ied bin
Jabbier)

Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa
dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz
melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian
akan mendapat bencana dan akan merugi”.

Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepada kami, Waki’ bin
Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata:
Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari
perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah”.

19
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar-
Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih
berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu.
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah
dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari
lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara
orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap
hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau
keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun
dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya makruh.

Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan


bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa
disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumhukumnya biayanya berasal dari
harta anak yatim”. (an-Nawawy al-Bantani, Nihayah al-Zein fi Irsyad al-
Mubtadi’ien (Beirut: Dar al-Fikr) hal 281).

Pernyataan senada juga diungkapkan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam


Sabiel al-Muhtadien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 87, serta Nurudin al-
Raniry dalam Shirath al-Mustaqim (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 50)

Dari majalah al-Mawa’idz yang diterbitkan oleh NU pada tahun 30-an,


menyitir pernyataan Imam al-Khara’ithy yang dilansir oleh kitab al-Aqrimany
disebutkan: “al-Khara’ithy mendapat keterangan dari Hilal bin Hibban r.a,
beliau berkata: ‘Penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan
bagian dari perbuatan orang-orang jahiliyah’. kebiasaan tersebut oleh
masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti
bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan’.
(al-Aqrimany dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286).

Dan para ulama berkata: “Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan
orang Kafir, oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang keluarganya
dari menghadiri acara semacam itu”. (al-Aqrimany hal 315 dalam al-
Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18,
hal.285)

20
Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya I’anah at- Thalibien
menghukumi makruh berkumpul bersama di tempat keluarga mayat, walaupun
hanya sebatas untuk berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan dengan proses
perjamuan tahlilan.
Beliau justru menganjurkan untuk segera meninggalkan keluarga tersebut,
setelah selesai menyampaikan ta’ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-
Dimyati, I’anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)

Ibnu Taimiyah ketika menjawab pertanyaan tentang hukum dari al-Ma’tam:


“Tidak diterima keterangan mengenai perbuatan tersebut apakah itu hadits
shahih dari Nabi, tidak pula dari sahabat-sahabatnya, dan tidak ada
seorangpun dari imam-imam muslimin serta dari imam madzhab yang empat
(Imam Hanafy, Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Ahmad) juga dari imam-imam
yang lainnya, demikian pula tidak terdapat keterangan dari ahli kitab yang
dapat dipakai pegangan, tidak pula dari Nabi, sahabat, tabi’ien, baik shahih
maupun dlaif, serta tidak terdapat baik dalam kitab-kitab shahih, sunan-sunan
ataupun musnad-musnad, serta tidak diketahui pula satupun dalam hadits-
hadits dari zaman nabi dan sahabat.

” Menurut pendapat Mufty Makkah al-Musyarafah, Ahmad bin Zainy Dahlan


yang dilansir dalam kitab I’anah at-Thalibien: “Tidak diragukan lagi bahwa
mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut adalah
mengandung arti menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah, sekaligus
berarti menbuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan”.
(al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien juz II, hal 166)

Memang seolah-olah terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu, namun
bila dikembalikan ke dalam hukum agama dimana Hadits ke-5 Arba’in an-
Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang
mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami,
maka dia tertolak”. (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)

Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian Islam ini
meskipun sampai akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik
larangan bid’ah terkandung hikmah yang sangat besar, membentengi
perubahan- perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat istiadat
dari luar Islam.
21
Bila pada umat-umat terdahulu telah menyeleweng agamanya, Allah mengutus
Rasul baru, maka pada umat Muhammad ini Allah tidak akan mengutus Rasul
lagi sampai kiamat, namun membangkitkan orang yang memperbarui
agamanya seiring penyelewengan yang terjadi.

Ibadah yang disunnahkan dibandingkan dengan yang diada-adakan hakikatnya


sangat berbeda, bagaikan uang/ijazah asli dengan uang/ijazah palsu, meskipun
keduanya tampak sejenis.

Yang membedakan 72 golongan ahli neraka dengan 1 golongan ahli surga


adalah sunnah dan bid’ah. Umat ini tidak berpecah belah sehebat perpecahan
yang diakibatkan oleh bid’ah.
Perpecahan umat akibat perjudian, pencurian, pornografi, dan kemaksiatan
lain akan menjadi jelas siapa yang berada di pihak Islam dan sebaliknya.

Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa lebih rumit, kedua belah pihak
yang bertikai kelihatannya sama-sama alim.

Ibn Abbas r.a berkata: “Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia,
kecuali pada zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan
bid’ah, hingga matilah sunnah dan hiduplah bid’ah. tidak akan ada orang yang
berusaha mengamalkan sunnah dan mengingkari bid’ah, kecuali orang tersebut
diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia
yang diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan
mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah
dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka
Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam Akhirat”.(al-
Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)

Sehingga disimpulkan oleh Majalah al-Mawa’idz bahwa mengadakan


perjamuan di rumah keluarga mayit berarti telah melanggar tiga hal:
1. Membebani keluarga mayit, walaupun tidak meminta untuk menyuguhkan
makanan, namun apabila sudah menjadi kebiasaan, maka keluarga mayit akan
menjadi malu apabila tidak menyuguhkan makanan.
2. Merepotkan keluarga mayit, sudah kehilangan anggota keluarga yang
dicintai, ditambah pula bebannya.
22
3. Bertolak belakang dengan hadits. Menurut hadits, justeru kita (tetangga)
yang harus mengirimkan makanan kepada keluarga mayit yang sedang berduka
cita, bukan sebaliknya. (al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama
Tasikmalaya, hal 200)

Kemudian, berdasarkan keterangan Sayid Bakr di dalam kitab ‘Ianah, ternyata


para ulama dari empat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga
mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah nyusur tanah,
tiluna, tujuhna, dst merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai agama (hal
285).
Melalui kutipan-kutipan tersebut, diketahuilah bahwa sebenarnya yang
menghukumi bid’ah munkarah itu ternyata ulama-ulama Ahl as-Sunnah wa al-
Jamaah, bukan hanya (majalah) Attobib, al-moemin, al-Mawa’idz. tidak tau
siapa yang menghukumi sunat, apakah Ahl as-Sunnah wa al-Jamaah atau
bukan (hal 286).
Dan dapat dipahami dari dalil-dalil terdahulu, bahwa hukum dari
menghidangkan makanan oleh keluarga mayit adalah bid’ah yang dimakruhkan
dengan makruh tahrim (makruh yang identik dengan haram). Demikian
dikarenakan hukum dari niyahah adalah haram, dan apa yang dihubungkan
dengan haram, maka hukumnya adalah haram”. (al-Aqrimany hal 315 dalam
al- Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No.
18, hal.286)

Kita tidaklah akan lepas dari kesalahan, termasuk kesalahan akibat


ketidaktahuan, ketidaksengajaan, maupun ketidakmampuan. Namun jangan
sampai kesalahan yang kita lakukan menjadi sebuah kebanggaan. Baik yang
menghukumi haram maupun makruh, sebagaimana halnya rokok, tahlilan, dll
selayaknya diusahakan untuk ditinggalkan, bukan dibela-bela dan dilestarikan.

23
FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN

I. MADZHAB HANAFI

HASYIYAH IBN ABIDIEN


Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena
hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen
musibah, hukumnya buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan
Ibnu Majah meriwayatkan hadits dengan sanad yang shahih dari sahabat Jarir
bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan
berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka
merupakan bagian dari niyahah”. Dan dalam kitab al-Bazaziyah dinyatakan
bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu
setelah kematian makruh hukumnya. (Muhammad Amin, Hasyiyah Radd al-
Muhtar ‘ala al-Dar al-Muhtar (Beirut: Dar al-Fikr, 1386) juz II, hal 240)

AL-THAHTHAWY
Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al-
Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA,
KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH
HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-
Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
IBN ABDUL WAHID SIEWASY
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena
hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen
musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam
Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih
dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan
makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid
Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)

II.MADZHAB MALIKI

AL-DASUQY

24
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan
makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy,
Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan
mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak
didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen
tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga
mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang-
orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut
tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak
boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-
Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)

III.MADZHAB SYAFI’I

AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan.
(Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr)
juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan
berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak
disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny
(Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)

AL-QALYUBY
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam
kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan
bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa
dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk
mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l-
Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)

AN-NAWAWY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut
merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’
25
(Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh
keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah
munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat
Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-
Fikr) juz I, hal 577)

AL-SAYYID AL-BAKRY ABU BAKR AL-DIMYATI


Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan
oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya
bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut,
berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat Jarir bin Abdullah. (al-Sayyid
al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati, I’anah at-Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr) juz II,
hal 146)

AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga,
keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan
sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit,
hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah
yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan
bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama
berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang
biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya
menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz;
Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
RAUDLAH AL-THALIBIEN an makanan oleh keluarga mayit dan
pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya,
bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah
al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)
Adapun penghidang

IV. MADZHAB HAMBALI

IBN QUDAMAH AL-MUQADDASY


Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh
keluarga mayit, hukumnya makruh. karena dengan demikian berarti telah
menambahkan musibah kepada keluarga mayit, serta menambah beban,
26
sekaligus berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang
jahiliyah. dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar
berkata: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang
kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal
tersebut termasuk meratapi mayat”. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan,
maka diperbolehkan, seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang
jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan
mendapat makanan kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayit.
(Ibn Qudamah al-Muqaddasy, al-Mughny (Beirut: Dar al-Fikr, 1405) juz II, hal
214)

ABU ABDULLAH IBN MUFLAH AL-MUQADDASY


Sesungguhnya disunahkan mengirimkan makanan apabila tujuannya untuk
(menyantuni) keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi
orang-orang yang sedang berkumpul di sana, maka hukumnya makruh, karena
berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh; demikian pula makruh
hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit) kecuali
apabila ada hajat, tambah sang guru [Ibn Qudamah] dan ulama lainnya).(A bu
Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy, al-Furu’ wa Tashhih al-Furu’ (Beirut: Dar
al-Kutab, 1418) juz II, hal 230-231)

ABU ISHAQ BIN MAFLAH AL-HANBALY


Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari
niyahah, menurut sebagian pendapat haram, kecuali apabila ada hajat,
(tambahan dari al-Mughny). Sanad hadits tentang masalah tersebut tsiqat
(terpercaya). (Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly, al-Mabda’ fi Syarh al-Miqna’
(Beirut: al-Maktab al-Islamy, 1400) juz II, hal 283)

MANSHUR BIN IDRIS AL-BAHUTY


Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada
para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Shahabat Jarir.
(Manshur bin Idris al-Bahuty, al-Raudl al-Marbi’ (Riyadl: Maktabah al-Riyadl
al-Hadietsah, 1390) juz I, hal 355)

KASYF AL-QANA’
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan
keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang
jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit
27
menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di
rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut
terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat
keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut
diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut.
Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit,
sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah
pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram
hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-
Fikr, 1402) juz II, hal 149)

IBN TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan)
mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut
bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan
makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub
wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24,
hal 316)

Bagaimana dengan niat sedekah dalam acara tahlilan kematian?


Dari Jabir bin Abdullah Al Bajali dengan sanad yang shohih: "Adalah kami
(para sahabat) menganggap bahwa berkumpul di rumah ahli mayyitdan mereka
menyediakan makanan sesudah mayyit dimakamkan adalah termasuk perbuatan
meratap". (HR Ahmad)
Berkumpul dan menyediakan makanan dirumah ahli mayyit adalah termasuk
perbuatan meratap. Dan seperti yang kita ketahui meratapi orang mati adalah
termasuk perbuatan haram, ini berarti berkumpul dan menyediakan makanan
dirumah ahli mayyit adalah haram hukumnya. Niat bersedekah dalam acara
seperti ini tentunya menyalahi sunnah nabi. Beramal haruslah dengan ilmu, yaitu
mengikuti apa yang dicontohkan Nabi, dan tidak melanggar apa yang dilarang
oleh Nabi saw.

MENGIRIM PAHALA TAHLIL


BERTAHLIL merupakan satu perbuatan bacaan yang dilakukan untuk
dikirimkan kepada seseorang yang meninggal dunia atau roh mayat. Ia
merupakan satu tradisi tetap yang diamalkan di kalangan masyarakat kita pada
hari ini. Lazimnya, bacaan yang diucapkan sewaktu bertahlil diambil dari ayat-
28
ayat al-Qur'an tertentu, seperti kalimat La Ilaha Illa Allah atau Subhanaallah
atau lain-lain dengan niat bacaan-bacaan tersebut dapat dihadiahkan atau
dikirimkan kepada orang yang meninggal dunia atau roh mayat di kalangan
orang Islam.
Terdapat perkara yang belum diketahui oleh banyak orang di kalangan umat
Islam bahwa sesungguhnya amalan bertahlil yang pahalanya dikirimkan untuk
seseorang yang mati sebenarnya bertentangan dengan banyak pendapat di
kalangan ulama-ulama yang bermazhab imam Syafi'i.
Termasuk imam Syafi'i sendiri yang tidak sependapat atau tidak setuju dengan
amalan tahlil ini. Namun memang ada juga ulama-ulama yang berpendapat
amalan tersebut boleh dilakukan, namun pandangan tersebut adalah sangat
lemah dan bertentangan dengan ajaran al-Qur'an (pada surah an-Najm ayat 39)
dan sunnah nabi serta para sahabatnya. Di bawah ini adalah sebagian daripada
pendapat ulama Safi'iyah yang berkaitan dengan amalan tersebut. Pendapat-
pendapat ini diambil dari kitab-kitab tafsir, kitab-kitab fiqh dan kitab-kitab
syarah hadits.
1. Pendapat Imam Syafi'i rahimahullah.
Imam Nawawi menyebutkan di dalam kitabnya, Syarah Muslim:
"Adalah, bacaan al-Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayat),
maka pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafie ialah amalan
tersebut tidak akan sampai kepada mayat. Sebagai dalilnya, imam Syafie
dan para pengikutnya mengambil daripada firman Allah SWT (yang
artinya), "Dan seseorang itu tidak akan memperoleh melainkan pahala
daripada daya usahanya sendiri." Serta dalam sebuah sabda Nabi
Sallallahu `alaihi wasallam yang bermaksud, "Apabila manusia telah
meninggal dunia, maka terputuslah segala amal usahanya kecuali tiga
daripada amalnya, sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak
(lelaki atau perempuan) soleh yang berdoa untuk simati"(an-Nawawi,
Syarah Muslim : juz 1 hal; 9) Kemudian imam Nawawi di dalam kitab
Taklimatul Majmu', Syarah Muhazzab juga mengatakan: "Adalah
membaca al-Qur'an dan mengirimkannya sebagai pahala untuk seseorang
yang mati dan menggantikan sembahyang untuk seseorang yang mati
atau sebagainya adalah tidak sampai kepada mayat yang dikirimkan
menurut Jumhurul Ulama dan imam Syafie." Keterangan ini telah
diulang beberapa kali oleh imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah
Muslim. (as-Subuki, Taklimatul Majmu', Syarah Muhazzab: juz 10, hal;
426) Menggantikan sembahyang untuk si mati maksudnya adalah

29
menggantikan sembahyang yang telah ditinggalkan oleh si mati semasa
hidupnya.
2. Al-Haitami
di dalam kitabnya, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, berkata: "Bagi
seseorang mayat, tidak boleh dibacakan kepadanya apa-apa pun
berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama Mutaqaddimin
(terdahulu) yaitu bacaan-bacaan yang disedekahkan kepada si mati
adalah tidak akan sampai kepadanya karena pahala bacaan tersebut
hanya pembacanya saja yang menerima. Pahala yang diperoleh dari hasil
suatu amalan yang telah dibuat oleh amil (orang yang beramal) tidak
boleh dipindahkan kepada orang lain berdasarkan sebuah firman Allah
yang berbunyi, "Dan manusia tidak memperolehi kecuali pahala dari
hasil usahanya sendiri."(Al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al- Fiqhiyah :
juz 2, hal; 9)
3. Imam Muzani (Murid Imam Syafi'i),
di dalam Hamisy al-Umm, juga berkata: "Rasulullah Sallallahu `alaihi
wasallam telah memberitahu sebagaimana yang telah diberitakan dari
Allah bahawa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti
halnya sesuatu amal yang telah dikerjakan adalah hanya untuk dirinya
sendiri bukan untuk orang lain dan ia tidak dapat dikirimkan kepada
orang lain."(Catatan kaki al-Umm as-Syafie : juz 7, hal ; 269)
4. Imam al-Khazin
di dalam tafsirnya mengatakan, "Dan yang masyhur di dalam mazhab
Syafie adalah bahwa bacaan al-Qur'an (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayat) adalah tidak dapat sampai kepada mayat yang
dikirimkan" (Al-Khazin, al-Jamal : Juz 4, hal ; 236)
5. Tafsir Jalalain
Di dalam tafsir Jalalain telah disebutkan seperti berikut, "Maka
seseorang tidak akan memperolehi pahala sedikit pun dari hasil usaha
orang lain." (Tafsir Jalalain : juz 2, hal ; 197)
6. Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, Tafsirul Qur'anil Azim telah
menafsirkan surah an-Najm ayat 39 sebagai berikut: "Yaitu
sebagaimana dosa seseorang tidak boleh menimpa atas orang lain begitu
juga halnya seseorang manusia juga tidak bisa memperoleh pahala
melainkan dari hasil usaha amalannya sendiri. Dan daripada surah an-
najm ayat 39 ini, Imam Syafie r.a dan para ulama yang mengikutnya
telah mengambil kesimpulan bahwa, pahala bacaan yang dikirimkan
30
kepada mayat adalah tidak akan sampai kepadanya karena amalan
tersebut bukan daripada hasil usahanya sendiri. Oleh sebab itu,
Rasulullah Sallallahu `alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan
umatnya agar mengamalkan pengiriman tahlil. Baginda juga tidak
pernah memberikan bimbingan tersebut dalam nas atau berupa isyarat di
dalam hal tersebut. Tidak juga di kalangan para sahabat ada yang
melakukan amalan tersebut, dan sekiranya amalan tersebut memang satu
amalan yang digalakkan, tentunya mereka telah mengamalkannya
terlebih dahulu, karena amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ada
batasan-batasan nas yang terdapat di dalam al-Qur'an dan sunnah Rasul
Sallallahu `alaihi wasallam dan tidak boleh dipalingkan dengan qias-qias
atau pendapat-pendapat ulama." Demikianlah beberapa pendapat ulama
Safi'iyah yang berkaitan dengan amalan bertahlil dan pengiriman pahala
bacaan kepada si mati. Dari situ bisa dilihat, bahwa ternyata pendapat-
pendapat tersebut telah bersepakat dan mempunyai satu pandangan yang
teguh yaitu mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an kepada si mati adalah
tidak akan sampai kepada si mati atau roh yang dikirimkan. Dasar
hukum yang telah para ulama tersebut ambil adalah dari firman Allah
SWT di dalam surah an-Najm ayat 39 dan melalui hadits nabi Sallallahu
`alaihi wasallam yang menerangkan bahwa apabila seseorang manusia
itu mati, segala amalannya di dunia telah terputus kecuali tiga hal yaitu,
sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan doa anak-anak yang soleh
untuk kedua ibu bapanya.

SELAMATAN UNTUK KEMATIAN (KENDURI)


Selamatan untuk kematian biasanya digambarkan dengan berkumpul bersama-
sama (keluarga dan masyarakat sekampung atau lain-lain) dengan dihidangkan
makanan oleh keluarga yang mengalami kematian. Hal ini dilakukan di rumah
keluarga yang mengalami kematian pada hari kematian atau hari kedua, ketiga,
ketujuh, keempat puluh, keseratus atau sebagainya. Sebenarnya, apabila
diperiksa dan diperhatikan satu persatu di dalam kitab-kitab Syafi'yah seperti
halnya yang ada pada kitab Fiqh, tafsir maupun syarah-syarah hadits, amalan
selamatan telah ditemui di situ bahwa hal tersebut adalah amalan yang dilarang
atau dengan kata lain ialah haram.
Hal ini sebenarnya belum diketahui oleh banyak pengikut mazhab Syafi'i di
kalangan kita sendiri. Jika ada yang tahu, tentu jumlahnya hanya segelintir saja.
Oleh karena itu, mari kita ikuti bersama bagaimana pandangan ulama-ulama
mazhab Syafi'i di dalam hal ini.
31
1. Di dalam kitab Fiqh I'anatut Talibin telah menyatakan, "Ya, apa-apa
yang dilakukan oleh orang yaitu berkumpul di rumah keluarga mayat dan
dihidangkan makanan untuk perkumpulan itu, ia adalah termasuk bid'ah
mungkarat (bid'ah yang diingkari agama). Bagi orang yang memberantasnya
akan diberi pahala." (I'anatut Talibin, syarah Fathul Mu'in : juz 2, hal 145)
2. Imam Syafie sendiri tidak menyukai amalan berkumpul di rumah
kematian sepertimana yang telah dikemukakan di dalam kitab al-Umm
(Kitab Karangan Imam Syafi'I yang masyhur) : "Aku tidak suka akan
mat'am yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayat) meskipun di situ tiada
tangisan kerana hal tersebut malah akan menimbulkan kesedihan." (As-Syafie
al-Umm : juz 1; hal 24)
3. Selanjutnya di dalam kitab I'anatut Talibin juga disebutkan lagi, "Dan
perkara yang sudah menjadi kebiasaan yaitu keluarga mayat menghidangkan
makanan untuk para undangan yang berkumpul, adalah satu perkara bid'ah
yang tidak disukai agama (Islam). Hal ini samalah seperti berkumpul di
rumah keluarga kematian itu sendiri karena terdapat hadits sahih yang telah
diriwayatkan oleh Jarir r.a yang berkata, "Kami menganggap bahwa
berkumpul di rumah keluarga kematian yang menghidangkan makanan untuk
jamuan para hadirin adalah sama dengan hukum niyahah (meratapi mayat)
yaitu haram." (I'anatut Talibin, juz 2, hal 146)
4. Pengarang kitab I'anatut Talibin juga mengambil keterangan sahih di
dalam kitab Bazzaziyah yaitu, "Dan hal itu dibenci, menyelenggarakan
makanan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu dan
juga memindahkan makanan ke tanah kubur secara bermusim-musim."
(I'anatut Talibin, juz 2, hal 146)
5. Di dalam kitab Fiqh Mughnil Muhtaj disebutkan: "Adalah, keluarga
kematian yang menyediakan makanan dan orang ramai berkumpul di
rumahnya untuk menjamu, merupakan bid'ah yang tidak disunatkan, dan di
dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits yang sahih daripada
Jarir bin Abdullah, berkata, "Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah
keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk
menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi
mayat) yaitu haram." (Mughnil Muhtaj, juz1, hal 26)
6. Di dalam kitab Fiqh Hasyiyatul Qalyubi dinyatakan, "Syeikh ar-Ramli
berkata, "Di antara bid'ah yang mungkarat (yang tidak dibenarkan agama),
yang dibenci apabila diamalkan sebagaimana yang telah diterangkan di dalam
kitab ar-Raudhah, yaitu apa-apa yang telah dilakukan oleh orang yang
dinamakan "kifarah" dan hidangan makanan yang disediakan oleh tuan rumah
32
kematian untuk jamuan orang yang berkumpul di rumahnya sesudah
kematian, serta penyembelihan di tanah kubur." (Hasyiyatul Qalyubi, juz 1,
hal 353)
7. Di dalam kitab Fiqh karangan imam Nawawi yaitu kitab al-Majmu'
syarah Muhazab, menyebutkan, "Penyedian makanan yang dilakukan oleh
keluarga kematian dan berkumpulnya orang yang ramai di rumahnya, adalah
tidak ada nasnya sama sekali, yang jelasnya semua itu adalah bid'ah yang
tidak disunatkan." (an-Nawawi, al-Majmu' syarah Muhazab, juz 5, hal 286)
8. Pengarang kitab I'anatut Talibin juga turut mengambil keterangan di
dalam kitab al-Jamal syarah al-Minhaj yang berbunyi seperti berikut,
"Dan di antara bid'ah mungkarat yang tidak disukai ialah sesuatu perkara
yang sangat biasa diamalkan oleh individu yaitu majlis menyampaikan rasa
duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majlis untuk
kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram."(I'anatut
Talibin, juz 2, hal 145-146)
9. Selanjutnya, pengarang kitab tersebut juga mengambil lagi keterangan
daripada kitab Tuhfatul Muhtaj syarah al-Minhaj yang berbunyi,
"Sesuatu yang sangat dibiasakan oleh seseorang dengan menghidangkan
makanan untuk mengundang orang ramai ke rumah keluarga kematian
merupakan bid'ah yang dibenci sebab ada hadits yang telah diriwayatkan oleh
Jarir yang berkata, "Kami (para sahabat nabi Sallallahu `alaihi wasallam)
menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga
tersebut menghidangkan makanan untuk majlis itu adalah sama dengan
hukum niyahah yaitu haram." (I'anatut Talibin, juz 2, hal 145-146)
10. Pengarang kitab tersebut mengambil lagi fatwa dari mufti mazhab
Syafie, Ahmad Zaini bin Dahlan, "Dan tidak ada keraguan sedikit pun
bahwa mencegah umat daripada perkara bid'ah mungkarat ini sama seperti
halnya menghidupkan sunnah nabi Sallallahu `alaihi wasallam. Mematikan
bid'ah seolah-olah membuka pintu kebaikan seluas-luasnya dan menutup
pintu keburukan serapat-rapatnya karena orang lebih suka memaksa-maksa
diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada sesuatu yang
haram." (I'anatut Talibin, juz 2, hal 145-146)
11. Dan di dalam kitab Fiqh Ala Mazahibil Arba'ah menyatakan, "Dan di
antara bid'ah yang dibenci agama ialah sesuatu yang dibuat oleh individu
yaitu menyembelih hewan-hewan di tanah kubur tempat mayat di tanam dan
menyediakan hidangan makanan yang diperuntukkan bagi mereka yang
datang bertakziah." (Abdurrahman al-Jaza'iri, al-Fiqhu Ala Mazahibil
Arba'ah, juz 1, hal 539) Demikianlah di antara pendapat-pendapat para ulama
33
Syafi'iyah berkenaan selamatan atau kenduri arwah. Mereka telah bersepakat
bahwa amalan tersebut adalah bid'ah mungkarat atau bid'ah yang dibenci.
Dasar hukum yang mereka ambil (mengikut kata sepakat atau ijma' para sahabat
nabi Sallallahu `alaihi wasallam) ialah haram hukumnya mengamalkan amalan
tersebut.
Bukankah lebih baik jika tuan rumah kematian menggantikan kenduri arwah
kepada satu amalan bersedekah kepada ahli faqir dan miskin? Sebabnya ialah,
jika kenduri tersebut diniatkan untuk bersedekah makanan kepada orang yang
menjamu hidangannya, kebanyakan orang yang hadir di dalam jamuan tersebut
tentunya di kalangan orang yang berkemampuan dan sudah tentu sedekah
tersebut kurang berarti bagi mereka atau tidak berarti sama sekali.
Tambahan pula, jika amalan tersebut diniatkan sebagai amalan bersedekah,
maka akan terjadilah satu amalan yang mencampuradukkan antara yang hak
dan yang batil . Karena amalan tersebut melibatkan dalam dua hal yaitu, ia
diniatkan sebagai bersedekah yaitu amalan yang disukai agama ( yanga HAQ ),
dan dan dalam waktu yang sama berkumpul di dalam satu majlis jamuan yang
telah diadakan di rumah kematian adalah satu perkara yang amat dilarang oleh
agama atau disebut haram ( suatu yang BATHIL ).

34
RENUNGKAN, DALAM LUBUK HATI YANG PALING
DALAM :

Termasuk kategori hukum yang manakah Tahlilan [selamatan


Kematian] ?
Apakah Tahlilan [ yang dimaksud :Selamatan Kematian ] di
dalamnya terkandung ibadah ?

Termasuk dalam hukum yang mana Tahlilan tersebut ?


Untuk menjawab pertanyan itu, terlebih dahulu kita tahu Klasifikasi
hukum dalam Islam secara umum ada 5 (lima) :

1. Wajib : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan berdosa.


2. Sunnah/Mandub : Apabila dikerjakan berpahala, ditinggalkan
tidak apa-apa, tapi rugi.
3. Mubah : Tidak bernilai, dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak
mempunyai nilai.
4. Makruh : apabila dikerjakan dibenci Allah, apabila ditinggalkan
berpahala.
5. Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.

Maka didapat Jawaban jawaban sebagai berikut :

1. Karena didalamnya ada pembacaan do’a, baca Yasin, baca


sholawat, baca Al Fatikhah, maka ia termasuk ibadah.
Hukum asal ibadah adalah “haram” dan “terlarang”. Kalau
Allah dan Rasulullah tidak memerintahkan, maka siapa yang
memerintahkan ? Apakah yang memerintahkan lebih hebat
daripada Allah dan Rasulullah ? terlebih dari itu siapa nama

35
ulama yang menuntunkan selamatan dicampur tahlilan. Tak
ada satu kitab pun yang menjelaskan
2. Jika hukumnya “wajib”, maka bila dikerjakan berpahala, bila
tidak dikerjakan maka berdosa. Maka bagi negara lain
( kurang lebih 170 negara yang ada penduduknya beragama
Islam ), berarti terhukumi berdosa karena tidak mengerjakan.
Sebab ternyata tahlilan, hanya di lakukan di sebagian negara
di Asia Tenggara ( Indonesia,Malaysia, Brunei ? )
Wajibkah Tahlilan ? Ternyata tidak, karena tidak ada perintah
Allah dan Rasul untuk melakukan ritual tahlilan ( Selamatan
Kematian )
3. Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab
Rasulullah sendiri belum pernah mentahlili istri beliau, anak
beliau dan para syuhada.
Nah…..berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukan Sunnah.
4. Kalau seandainya hukumnya Mubah, maka untuk apa
dikerjakan, sebab ia tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala
dan dosa, kalau dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah buang-
buang uang dan buang-buang tenaga, tetapi tidak ada nilainya.
5. Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa, yaitu Makruh dan
Haram.
Makruh apabila dikerjakan dibenci Allkah , apabila
ditinggalkan berpahala.
Jika Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.
Nah, sekarang pilih yang mana dari ke lima hokum itu
Masih mau melakukan ? atau tidak melakukan ?

Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat, bila ada kesalahan mohon


maaf dan koreksinya. Sampaikanlah kepada saudara-saudara kita
sebagai upaya untuk memperbaiki umat Islam ini

36
HANYA UNTUK KALANGAN SENDIRI
‫الر ِح ْي ِم‬
َّ ‫الر ْح َم ِن‬ ِ ‫بِس ِم‬
َّ ‫اهلل‬ ْ
SURAT WASIYAT

WAHAI ANAK CUCUKU


JIKA AKU MENINGGAL
RAWATLAH HANYA DENGAN TUNTUNAN ISLAM SAJA
JANGAN DICAMPURI TUNTUNAN / AJARAN / TRADISI DI LUAR ISLAM
KARENA FIRMAN ALLAH SWT DALAM Q S AL BAQARAH (2) : 208 :
WAHAI ORANG YANG BERIMAN AMALKANLAH AJARAN ISLAM SECARA KESELURUHAN
JANGAN ENGKAU CAMPURI AJARAN SETAN ( TRADISI TRADISI ) SEBAB SETAN ITU MUSUH NYATA
BAGIMU

BESUK SAAT AKU SAKAROTIL MAUT , TUNTUNLAH AKU DENGAN LAFAL TAHLIL
JANGAN DIBACAKAN SURAT YASIN KARENA TIDAK ADA TUNTUNAN DARI NABI.
TAK ADA HADITS YANG MENERANGKAN
NABI SAAT MENINGGAL DIBACAKAN SURAT YASIN

SETELAH DIKAFANI, DISHALATKAN, KETIKA ACARA PAMITAN


JANGANLAH ADA UPACARA : BROBOSAN, TABURAN BUNGA, BAKAR KEMENYAN, DISAPU ARAH
JALANKU KE KUBURAN
KARENA RASULULLAH SAW WAFAT JUGA TIDAK ADA UPACARA DEMIKIAN

KETIKA DIUSUNG KE KUBUR CUKUPLAH KERANDA DENGAN KAIN HIJAU JANGANLAH DIBERI
UNTAIAN BUNGA JANGAN DIPAYUNGI,
JANGAN DIIRINGI TABUR BUNGA / UANG , BAKARAN KEMENYAN DAN JANGAN DIBACAKAN TAHLIL
KARENA SEMUA ITU TIDAK ADA TUNTUNAN DARI NABI
MENGANTAR JANAZAH CUKUPLAH DENGAN DIAM
SAAT PENGUBURAN, MULAI AKAN DIURUG TANAH,
JANGAN DISUARAKAN ADZAN DAN IQAMAH.
KARENA NABI WAFAT JUGA TIDAK DISUARAKAN ADZAN DAN IQOMAT.

SESUDAH DIKUBUR, JANGANLAH MENGADAKAN PERJAMUAN TETANGGA


UNTUK DUDUK DAN BERKUMPUL DI MALAM HARINYA
WALAU DIISI DENGAN PENGAJIAN ATAU MEMBACA AL QUR’AN SEKALIPUN .
KARENA SABDA RASULULLAH SAW
DUDUK-DUDUK DAN MAKAN MINUM SESUDAH JANAZAH DIKUBUR ADALAH ( NIYAKHAH ) HARAM

SEPENINGGALKU JANGANLAH AKU DIDOAKAN SECARA HINDU


YAITU SELAMATAN SAAT KEMATIANKU, 3 ,7,40, 100 HARI, TAHUN PERTAMA DAN KEDUA, 1000 HARI
YANG BERARTI HANYA MENDOAKAN SEBATAS 7 KALI SAJA, DAN ENGKAU ANGGAP SUDAH CUKUP
SETELAH ITU SELAMA HIDUPMU TAK ADA LAGI WAKTU MENDOAKAN AKU

SESUAI TUNTUNAN NABI DOAKANLAH AKU SELALU DAN SELAMA HAYATMU


TERUTAMA SETIAP SESUDAH SHALAT FARDLU

JUGA TIDAK PERLU ENGKAU MELAKUKAN ULANG TAHUN KEMATIAN ( KHAUL ) UNTUKKU
KARENA SEPENINGGAL NABI JUGA TIDAK ADA ULANG TAHUN UNTUK BELIAU

SESUDAH AKU DIKUBUR


JANGANLAH MEMBUAT BANGUNAN TEMBOK DIATAS KUBURKU,
KARENA KUBUR NABI HANYA GUNDUKAN TANAH SAJA

JANAZAH AKAN MENDAPAT SIKSA

37
KARENA DIATASNYA ADA BANGUNAN ( KIJING / CUNGKUP / UBIN )

SAYA YANG BERWASIYAT


AYAH-IBU / KAKEK-NENEK / MOYANG
Foto dan tanda tangan
( …………………………………………………………………….. )

38

Anda mungkin juga menyukai