HUKUM
SELAMATAN
ORANG
MENINGGAL
MENURUT
MUHAMMADIYAH
Dilampiri
HASIL MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA ( N U )
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH
NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926 DI SURABAYA
TENTANG KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
Disarikan Oleh
Ibnu Amah
ISTIFTAH
0
I S L A M
Islam adalah agama sempurna paripurna / lengkap
dan menyeluruh meliputi segala aspek hidup dan kehidupan
Q.S. al IMaidah : 3
يت لَمُك ُ ا ْساَل َم ِد ًين
ُ الْ َي ْو َم َأمْك َلْ ُت لَمُك ْ ِدينَمُك ْ َوَأتْ َم ْم ُت عَلَ ْيمُك ْ ِن ْع َميِت َو َر ِض
ِإْل
pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu,
dan telah Kuridhai Islam itu sebagai agama bagimu .
Q.S. Al Baqarah ; 208
ّ ِ اَي َأهُّي َا اذَّل ِ َين آ َمنُوا ا ْد ُخلُوا يِف
السمْل ِ اَك ف َّ ًة
الش ْي َط ِان ن َّ ُه لَمُك ْ عَدُ ٌّو ُمبِني
َّ َواَل تَت َّ ِب ُعوا خ ُُط َو ِات
ِإ
Hai orang-orang yang beriman,
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan,
dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Q S Al Ahzab : 21 :
لَقَدْ اَك َن لَمُك ْ يِف َر ُسولِ اهَّلل ِ ُأ ْس َو ٌة َح َسنَ ٌة
ِل َم ْن اَك َن يَ ْر ُجو اهَّلل َ َوالْ َي ْو َم ا َآْل ِخ َر َو َذ َك َر اهَّلل َ َك ِث ًريا
Sungguh pada pribadi Rasulullah SAW teladan utama bagimu
yang mengharap rahmat Allah pada hari qiyamat
dan bagi yang banyak berdzikir
Q S . Al Hasyr : 7
َو َما آاَت مُك ُ َّالر ُس ْو ُل فَخ ُُذ ْو ُه َو َما هَن َامُك ْ َع ْن ُه فَا ْنهَت ُوا
هللا َس ِديْدُ الْ ِع َق ِاب َ هللا ِا َّنَ َوات َّ ُقوا
Dan segala yang dituntunkan Rasulullah SAW padamu
maka amalkanlah,
dan segala apa yang dilarang (apalagi bid'ah )
maka jauhilah.
Sungguh Allah itu sangat keras siksaNya
ISLAM
( MENURUT AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH )
1
Hadits dari Irbadl bin Syariyyah riwayat Ibnu Majah :
فَ َعلَ ْيمُك ْ ب ُِسنَّيِت َو ُسنَّ ِة الْ ُخلَ َفا ِء َّالر ِاش ِد َين الْ َمهْ ِدِيّ" َِّني َعضُّ وا عَلَهْي َا اِب لنَّ َواجِ ِذ
ٌ َو اَّي مُك ْ َواُأْل ُم َور الْ ُم ْحدَ اَث ِت فَ َّن لُك َّ ِبدْ عَ ٍة ضَ اَل ةَل
Hendaklah kamu semua hanya berpegang pada
ِإ ِإsunnahku
dan sunnah khulafa' rasyidin, gigitlah dengan gerahammu erat erat.
Dan takutlah kamu dengan ajaran yang dibuat-buat orang ( bid'ah)
karena perbuatan bid'ah itu sesat
Hadits dari Jabir bin Abdullah riwayat Muslim :
ِ اب اهَّلل
ُ يث ِك َت ِ َا َّما ب َ ْعدُ فَ َّن َخرْي َ الْ َح ِد
ِإ
ِ َو َخرْي ُ الْهُدَ ى هُدَ ى ُم َح َّم ٍد َورَش ُّ اُأْل ُم
ٌ ور ُم ْحدَ اَث هُت َا َولُك ُّ ِبدْ عَ ٍة ضَ اَل ةَل
,Ada pun sebaik baik tuntunan hanyalah Al Qur'an
dan sebaik baik petunjuk hanyalah Al Hadits,
sejelek jelek amal ialah menambah / mengurangi ( bid'ah).setiap bid'ah itu sesat
Hadits dari Ghudhoif bin Al Harits , Nabi bersabda :
السنَ ِة
ُّ َما َا ْحدَ َث قَ ْو ٌم بِدْ عَ ٌة ِاالَّ َرفَ َع ِمثْلُهَا ِم َن
Tidaklah suatu kaum melakukan satu bid'ah
kecuali akan hilang satu sunnah yang setara dengan bdi'ah tersebut
Menambah, tidak benar walau dirasakan baik atau dikira akan menambah pahala
hadits dari Abdullah bin Umar dalam Kitab Al Ibanah :
لُك ُّ ِبدْ عَ ٍة ضَ َالةَل ٌ َوا ِْن َر َاهَا النَّ ُاس َح َسنَ ٌة
Setiap bid'ah itu sesat ( tak ada bid'ah hasanah )
walaupun orang menganggapnya hasanah / baik
hadits dari Abdullah bin Mas'ud dalam Kitab Al Bida' :
ٌ ِات َّ ِب ُعوا َو َال تَبْتَدَ عُوا" فَقَدْ ُك ِف ْي مُت ْ َولُك ُّ ِبدْ عَ ٍة ضَ َالةَل
Berittiba'lah hanya pada Rasulullah SAW dan itu sudah cukup bagimu,
Jangan menambah amalan ( bid'ah )
karena bid'ah itu sesat (tak ada bid'ah hasanah)
Dalam semua I b a d a h ( shalat, puasa, zakat, haji ) ,
dan dalam semua a m a l i y a h ( perkawinan, kelahiran, kematian )
wajib kita hanya meneladani / meniru Nabi Muhammad SAW
janganlah mengurangi / menambah bahkan membuat tuntunan baru,
mencampur ajaran Islam dengan ajaran non Islam
2
SELAMATAN KEMATIAN
Walaupun ayat ini menjelaskan dalam sejarah bahwa orang Nasrani, terutama
orang Yahudi menyembunyikan ayat bahwa akandatang seorang Nabi yang
akhir.
Namun dijadikan dasar bahwa larangan menyembunyikan amalan yang haq,
justru mengamlkan yang bathil
Banyak sekali contoh, misal menyembunyikan sunnah aqiqah, diganti
selapanan. Atau menyembunyikan beerdoa untuk arwah keluarga, diganti tabur
bunga yang jelas tuntunan Hindu
Di dalam surat Al-Baqarah ayat 120
َّص َارى َحتَّى َتتَّبِ َع ِملََّت ُه ْم قُ ْل إِ َّن ُه َدى اللّ ِه ُه َو
َ ود َوالَ الن
ُ ك الَْي ُهَ ض ى َعن َ َولَن َت ْر
ك ِم َن اللّ ِه ِمن َولِ ٍّي
َ َاءك ِم َن ال ِْعل ِْم َم ا لَ اءهم َب ْع َد الَّ ِذي َج َ ال ُْه َدى َولَئِ ِن َّاتَب ْع
ُ ت أ َْه َو
ِ َوالَ ن
صي ٍر َ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga
kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah
3
itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan
mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu.”
Ayat diatas menjelaskan agama Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada
Islam sebelum umat Islam masuk agama Yahudi. Asal mula agama hindu
dimulai sungai lembah Hindus Peradaban, sungai di India dari kata Sanskerta.
Pada tahun 1500 bangsa Arya menguasai bangsa Inggris. Bangsa Arya juga
disebut bangsa Simit. Bangsa Simit adalah orang Yahudi ialah Pakai Kasta.
Maka terciptalah kitab Rikwada ( reg weda ).
Itu sekilas bahwa agama hindu pecahan dari agama Yahudi.
Tantangan umat Islam saat ini adalah dari internal umat Islam belum bersatu.
Dan dari Eksternal umat Islam digoncang dan dirusak melalui aqidah, budaya,
pemikiran. Yang paling harus orang Yahudi ialah merusak Islam melalui
(Bid’ah, khurofat, dan tahayul). Berangkat kebencian yahudi agar umat islam
jauh dari syareat Islam.
Kita tak boleh meniru-niru agama orang lain karena kita punya pedoman yaitu
Al-Qur’an dan Assunnah.
Dianjurkan agar warga Muhammadiyah ;
1. melihat tayangan CD ceramah yang disampaikan oleh ustadz Abdul Aziz,
mantan pendeta Hindu.
2. Membaca buku Muallaf Menggugat karangan ustadz Abdul Aziz, mantan
pendeta Hindu.
3. Membaca buku buku tentang selamatan
Sesungguhnya Islam adalah ad-dien yang sempurna. Islam disebut ad-dien oleh
karena di dalamnya berisikan tentang aturan-aturan yang mengatur umatnya
dalam beribadah karena Allah dan mengatur dalam kaitannya sesama manusia.
Sebagaimana tersebut dalam beberapa ayat dibawah ini :
Dalam (Q.S. Al-Maidah (5) : 3) :
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi
agamabagimu.
Dalam (Q.S. Al-Imron (3) : 19)
Karena itu tidaklah perlu umat islam mencari ad-dien (aturan-aturan) selain
Islam. Karena peringatan Allah SWT,
“Sesungguhnya agama yang diridhai disisi Allah hanyalah Islam.
4
Dalam (Q.S Ali Imran (3) :85)
Barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang
yang rugi.
Termasuk dalam hal ini adalah cara bershadaqah yang benar sebagai upaya
pendekatan diri kepada Allah SWT. Umat Islam tidak perlu membuat aturan-
aturan baru yang sebenarnya cara bersahdaqah didalam Al-Qur’an dan as-
sunnah sudah ada. Anggapan tidak ada atau belum adanya aturan-aturan itu
hanya semata-mata karena umat ini belum mengkaji ajaran agama Islam secara
tuntas dan utuh (masih persia), bukan karena memang tidak ada.
Dari Malik bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Telah aku tinggalkan pada
kamu dua perkara, kalian tidak akan sesat selama kamu berpegang kepada
keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnah Nabinya. ‘(Imam Malik al
Muwaththa’,1395)
Dalam (Q.S. Al-Kahfi (18) : 103-107)
103. Katakanlah: “Apakah akan kami beeritahukan kepadamu tentang orang-
orang yang paling merugi perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan
mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. 105. Mereka itu
orang-orang yang Telah Kufur terhadap ayat-ayat Tuhan mereka dan (kufur
terhadap) perjumpaan dengan Dia, maka hapuslah amalan-amalan mereka,
dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi amalan mereka pada hari
kiamat. 106. Demikianlah balasan mereka itu neraka jahanam, disebabkan
kekafiran mereka dan disebabkan mereka menjadikan ayat-ayat-Ku dan rasul-
rasul-Ku sebagai olok-olok. 107. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan
beramal shaleh, bagi mereka adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal.
Kelak, sangatlah besar resikonya disisi Allah, orang yang beramal hanya dengan
mengikuti kebanyakan orang dan tidak berdasar pada tuntunan Allah dan Rasul.
5
Allah mengingatkan bahaya beramal dengan tidak berdasar pada aturan Allah
dan Rasul.
Dalam (QS. Al-An’am (6) : 116-117)
116. Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini,
niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak menyesatkanmu dari jalan
Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka
tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). 107. Sesungguhnya Tuhanmu,
Dia-lah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk
Di akhirat mereka akan menyesal karena pendengaran, penglihatan dan hati
serta akal fikirannya akan dimintai pertanggungjawaban.
Dalam (QS. Al-Isra’ (17) : 36)
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyaipengetahuan
tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu
akan dimintai pertanggungjawabannya.
Dalam b(QS. Al-Mulk (67) : 9-12)
9. Mereka menjawab: “Benar ada”, Sesungguhnya tellah datang kepada kami
seseorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan
: “Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam
kesesatan yang besar”.
10. Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan
(peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka
yang menyala-nyala”.
11. Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah bagi penghuni-
penghuni neraka yang menyala-nyala.
12. Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak
nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang
besar.
6
NU, Muhammadiyah, PERSIS , Al Irsyad, Wali Songo, Ulama Salaf
dan 4 Mazha
Disarikan oleh : Ibnu Amah
Penjelasan Dari Nahdalatul Ulama (NU), Para Ulama Salafus salih, WaliSongo,
4 Mahzab Tentang Bid’ahnya Tahlilan
Segala puji bagi Allah, sholawat serta salam kita haturkan kepada Nabi
Muhammad beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya. Do’a dan shodaqoh untuk
sesama muslim yang telah meninggal menjadi ladang amal bagi kita yang masih
di dunia ini sekaligus tambahan amal bagi yang telah berada di alam sana.
Sebagai agama yang mencerahkan dan mencerdaskan, Islam membimbing kita
menyikapi sebuah kematian sesuai dengan hakekatnya yaitu amal shalih, tidak
dengan hal-hal duniawi yang tidak berhubungan sama sekali dengan alam sana
seperti kuburan yang megah, bekal kubur yang berharga, tangisan yang
membahana, maupun pesta besar-besaran.
Namun ironisnya kini, justru uang jutaan rupiah dihabiskan tiap malam untuk
sebuah selamatan kematian yang harus ditanggung keluarga yang terkena
musibah.
Padahal ketika Rasulullah ditanya shodaqoh terbaik yang akan dikirimkan
kepada sang ibu yang telah meninggal, Beliau menjawab ‘air’.
Bayangkan betapa banyak orang yang mengambil manfaat dari sumur yang
dibuat itu (menyediakan air bagi masyarakat indonesia yang melimpah air saja
sangat berharga, apalagi di Arab yang beriklim gurun), awet dan menjadi amal
jariyah yang terus mengalir.
7
Rasulullah telah mengisyaratkan amal jariyah kita sebisa mungkin diprioritaskan
untuk hal-hal yang produktif, bukan konsumtif; memberi kail, bukan memberi
ikan; seandainya seorang pengemis diberi uang atau makanan, besok dia akan
mengemis lagi; namun jika diberi kampak untuk mencari kayu, besok dia sudah
bisa mandiri. Juga amal jariyah yang manfaatnya awet seperti menulis mushaf,
membangun masjid, menanam pohon yang berbuah (reboisasi; reklamasi lahan
kritis), membuat sumur/mengalirkan air (fasilitas umum, irigasi), mengajarkan
ilmu, yang memang benar-benar sedang dibutuhkan masyarakat.
Bilamana tidak mampu secara pribadi, toh bisa dilakukan secara patungan.
Seandainya dana umat Islam yang demikian besar untuk selamatan berupa
makanan (bahkan banyak makanan yang akhirnya dibuang sia-sia; dimakan
ayam; lainnya menjadi isyrof) dialihkan untuk memberi beasiswa kepada anak
yatim atau kurang mampu agar bisa sekolah, membenahi madrasah/sekolah
islam agar kualitasnya sebaik sekolah faforit (yang umumnya milik umat
lain),atau menciptakan lapangan kerja dan memberi bekal ketrampilan bagi
pengangguran, niscaya akan lebih bermanfaat. Namun shodaqoh tersebut bukan
suatu keharusan, apalagi bila memang tidak mampu. Melakukannya menjadi
keutamaan, bila tidak mau pun tidak boleh ada celaan.
Mulai dari berhutang, menjual tanah, ternak atau barang berharga yang dimiliki,
meskipun di antara keluarga terdapat anak yatim atau orang lemah.
8
Padahal di dalam al-Qur’an telah jelas terdapat arahan untuk memberikan
perlindungan harta anak yatim; tidak memakan harta anak yatim secara dzalim,
tetapi menjaga sampai ia dewasa (QS an-Nisa’: 2, 5, 10, QS al- An’am: 152, QS
al-Isra’: 34) serta tidak membelanjakannya secara boros (QS an- Nisa’: 6)
Dibalik selamatan kematian tersebut sesungguhnya juga terkandung tipuan yang
memperdayakan. Seorang yang tidak beribadah/menunaikan kewajiban agama
selama hidupnya, dengan besarnya prosesi selamatan setelah kematiannya akan
menganggap sudah cukup amalnya, bahkan untuk menebus kesalahan-
kesalahannya.
Juga seorang anak yang tidak taat beribadahpun akan menganggap dengan
menyelenggarakan selamatan, telah menunaikan kewajibannya berbakti /
mendoakan orang tuanya.
Imam Syafi’i rahimahullah dalam kitab al-Umm berkata:
“…dan aku membenci al-ma’tam, yaitu proses berkumpul (di tempat keluarga
mayat) walaupun tanpa tangisan, karena hal tersebut hanya akan menimbulkan
bertambahnya kesedihan dan membutuhkan biaya, padahal beban kesedihan
masih melekat.” (al-Umm (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393) juz I, hal 279)
Namun ketika Islam datang ke tanah Jawa ini, menghadapi kuatnya adat istiadat
yang telah mengakar. Masuk Islam tapi kehilangan selamatan-selamatan,
beratnya seperti masyarakat Romawi disuruh masuk Nasrani tapi kehilangan
perayaan kelahiran anak Dewa Matahari 25 Desember.
Dalam buku yang ditulis H Machrus Ali, mengutip naskah kuno tentang jawa
yang tersimpan di musium Leiden, Sunan Ampel memperingatkan Sunan
Kalijogo yang masih melestarikan selamatan tersebut:“Jangan ditiru perbuatan
semacam itu karena termasuk bid’ah”. Sunan Kalijogo menjawab: “Biarlah nanti
generasi setelah kita ketika Islam telah tertanam di hati masyarakat yang akan
menghilangkan budaya tahlilan itu”.
Dalam buku Kisah dan Ajaran Wali Songo yang ditulis H. Lawrens Rasyidi dan
diterbitkan Penerbit Terbit Terang Surabaya juga mengupas panjang lebar
mengenai masalah ini. Dimana Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus,
Sunan Gunungjati dan Sunan Muria (kaum abangan) berbeda pandangan
mengenai adat istiadat dengan Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat
(kaum putihan).
Sunan Kalijaga mengusulkan agar adat istiadat lama seperti selamatan, bersaji,
wayang dan gamelan dimasuki rasa keislaman.
9
Sunan Ampel berpandangan lain: “Apakah tidak mengkhawatirkannya di
kemudian hari bahwa adat istiadat dan upacara lama itu nanti dianggap sebagai
ajaran yang berasal dari agama Islam? Jika hal ini dibiarkan nantinya akan
menjadi bid’ah?” Sunan kudus menjawabnya bahwa ia mempunyai keyakinan
bahwa di belakang hari akan ada yang menyempurnakannya. (hal 41, 64)
Dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, para Wali dibagi menjadi tiga
wilayah garapan
Pertama: Wilayah Timur. Di wilayah bagian timur ini ditempati oleh lima
orang wali, karena pengaruh hindu sangat dominan. Disamping itu pusat
kekuasaan Hindu berada di wilayah Jawa bagian timur ini (Jawa Timur
sekarang) Wilayah ini ditempati oleh lima wali, yaitu Syaikh Maulana Ibrahim
(Sunan Demak), Raden Rahmat (Sunan Ampel), Raden Paku (Sunan Giri),
Makdum Ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kasim (Sunan Drajat)
Kedua : Wilayah Tengah. Di wilayah Tengah ditempati oleh tiga orang Wali.
Pengaruh Hindu tidak begitu dominan. Namun budaya Hindu sudah kuat. Wali
yang ditugaskan di sini adalah : Raden Syahid (Sunan Kali Jaga), Raden
Prawoto (Sunan Muria), Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
Ketiga : Wilayah Barat. Di wilayah ini meliputi Jawa bagian barat, ditempati
oleh seorang wali, yaitu Sunan Gunung Jati alias Syarief Hidayatullah. Di
wilayah barat pengaruh Hindu-Budha tidak dominan, karena di wilayah Tatar
Sunda (Pasundan) penduduknya telah menjadi penganut agama asli sunda,
antara lain kepercayaan “Sunda Wiwitan”
12
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH
NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
DI SURABAYA
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan
kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari
berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga
memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu
hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan
pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan
pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang
yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi
mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali
yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan
menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian
dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita.
Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa
di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur
saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN
DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN
YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI
KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti
yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah
jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan
kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya
akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka
13
melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat,
maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak?
Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut
dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli
waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai
sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab,
tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti
“wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan
di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias
makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah
ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan
(rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal
“OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat
kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari
ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara
ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas.
Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan
realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast)
shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya
keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di
luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang
belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur
ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari
mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
[Buku "Masalah Keagamaan" Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX
(yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan
Pusat Rabithah Ma'ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah
Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H.
Maftuh Basuni]
14
Keterangan lebih lengkapnya lihat dalam Kitab I’anatut Thalibin Juz 2 hal. 165
-166 , Seperti terlampir di bawah ini :
وقد أرسل االمام الشافعي -رضي اهلل عنه -إلى بعض أصحابه يعزيه في ابن له قد مات
بقوله :إني معزيك ال إني على ثقة * * من الخلود ،ولكن سنة الدين فما المعزى بباق بعد
ميته * * وال المعزي ولو عاشا إلى حين والتعزية :هي االمر بالصبر ،والحمل عليه بوعد
االجر ،والتحذير من الوزر بالجزع ،والدعاء للميت بالمغفرة وللحي بجبر المصيبة ،فيقال
فيها :أعظم اهلل أجرك ،وأحسن عزاءك ،وغفر لميتك ،وجبر معصيتك ،أو أخلف عليك،
أو نحو ذلك.وهذا في تعزية المسلم بالمسلم.
وأما تعزية المسلم بالكافر فال يقال فيها :وغفر لميتك ،الن اهلل ال يغفر الكفر.
وهي مستحبة قبل مضي ثالثة أيام من الموت ،وتكره بعد مضيها.ويسن أن يعم بها جميع
أه ل الميت من ص غيروكبير ،ورج ل وام رأة ،إال ش ابة وأم رد حس نا ،فال يعزيهم ا إال
محارمهم ا ،وزوجهما.ويكره ابت داء أجنبي لهم ا بالتعزية ،بل الحرمة أقرب.ويكره الهل
الميت الجلوس للتعزية ،وصنع طعام يجمعون الناس عليه ،لما روى أحمد عن جرير بن
عب د اهلل البجلي ،ق ال :كن ا نع د االجتم اع إلى أه ل الميت وص نعهم الطع ام بع د دفن ه من
النياح ة ،ويس تحب لج يران أه ل الميت -ول و أج انب -ومع ارفهم -وإن لم يكون وا
جيرانا -وأقاربه االباعد -وإن كانوا بغير بلد الميت -أن يصنعوا الهله طعاما يكفيهم
يوما وليلة ،وأن يلحوا عليهم في االكل.ويحرم صنعه للنائحة ،النه إعانة على معصية.
وقد اطلعت على سؤال رفع لمفاتي مكة المشرفة فيما يفعله أهل الميت من
الطعام.وجواب منهم لذلك.
(وصورتهما).
15
ما قول المفاتي الكرام بالبلد الحرام دام نفعهم لالنام مدى االيام ،في العرف الخاص في
بلدة لمن بها من االشخاص أن الشخص إذا انتقل إلى دار الجزاء ،وحضر معارفه وجيرانه
الع زاء ،جرى الع رف ب أنهم ينتظ رون الطع ام ،ومن غلبة الحي اء على أه ل الميت يتكلف ون
التكلف التام ،ويهيئون لهم أطعمة عديدة ،ويحضرونها لهم بالمشقة الشديدة.فهل ل و أراد
رئيس الحك ام -بم ا ل ه من الرف ق بالرعي ة ،والش فقة على االه الي -بمن ع ه ذه القض ية
بالكلية ليعودوا إلى التمسك بالسنة السنية ،المأثورة عن خير البرية وإلى عليه ربه صالة
وس الما ،حيث ق ال :اص نعوا آلل جعف ر طعام ا يث اب على ه ذا المن ع الم ذكور ؟ أفي دوا
بالجواب بما هو منقول ومسطور.
(الحم د هلل وح ده) وص لى اهلل وس لم على س يدنا محم د وعلى آل ه وص حبه والس الكين
نهجهم بعده.اللهم أسألك الهداية للصواب.
نعم ،ما يفعله الناس من االجتماع عند أهل الميت وصنع الطعام ،من البدع المنكرة التي
يثاب على منعها والي االمر ،ثبت اهلل به قواعد الدين وأيد به االسالم والمسلمين.
قال العالمة أحمد بن حجر في (تحفة المحتاج لشرحك المنهاج) :ويسن لجيران أهله -
أي الميت -تهيئة طعام يشبعهم يومهم وليلتهم ،للخبر الصحيح.اصنعوا آلل جعفر طعاما
فقد جاءهم ما يشغلهم
.
ويلح عليهم في االك ل ن دبا ،النهم ق د يتركون ه حي اء ،أو لف رط ج زع.ويح رم تهيئ ه
للنائحات النه إعانة على معصية ،وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه،
بدعة مكروهة -كإجابتهم لذلك ،لما صح عن جرير رضي اهلل عنه.كنا نعد االجتم اع إلى
أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة.
ووجه عده من النياحة ما فيه من شدة االهتمام بأمر الحزن.
16
ومن ثم ك ره اجتم اع أه ل الميت ليقص دوا ب العزاء ،ب ل ينبغي أن ينص رفوا في ح وائجهم،
فمن صادفهم عزاهم.
اه.
وفي حاش ية العالم ة الجم ل على ش رح المنهج :ومن الب دع المنك رة والمك روه فعلها :م ا
يفعله الناس من الوحشةوالجمع واالربعين ،بل كل ذلك حرام إن كان من مال محجور،
أو من ميت عليه دين ،أو يترتب عليه ضرر ،أو نحو ذلك.
اه.وق د ق ال رس ول اهلل (ص) لبالل بن الح رث رض ي اهلل عنه :ي ا بالل من أحي ا س نة من
س نتي ق د أميتت من بع دي ،ك ان ل ه من االج ر مث ل من عم ل به ا ،ال ينقص من أج ورهم
شيئا.
ومن ابتدع بدعة ضاللة ال يرضاها اهلل ورسوله ،كان عليه مثل من عمل بها ،ال ينقص من
أوزارهم شيئا.وقال (ص) :إن هذا الخير خزائن ،لتلك الخزائن مفاتيح ،فطوبى لعبد جعله
اهلل مفتاحا للخير ،مغالقا للشر.وويل لعبد جعله اهلل مفتاحا للشر ،مغالقا للخير.
وال ش ك أن من ع الن اس من ه ذه البدع ة المنك رة في ه إحي اء للس نة ،وإمات ه للبدع ة ،وفتح
لكثير من أبواب الخير ،وغلق لكثير من أبواب الشر ،فإن الناس يتكلفون تكلفا كثيرا،
يؤدي إلى أن يكون ذلك الصنع محرما.واهلل سبحانه وتعالى أعلم.
كتبه المرتجي من ربه الغفران :أحمد بن زيني دحالن -مفتي الشافعية بمكة المحمية -
غفر اهلل له ،ولوالديه ،ومشايخه ،والمسلمين.
(الحمد هلل) من ممد الكون أستمد التوفيق والعون.نعم ،يثاب والي االمر -ضاعف اهلل ل ه
االج ر ،وأي ده بتأيي ده -على منعهم عن تل ك االم ور ال تي هي من الب دع المس تقبحة عن د
الجمهور.
17
قال في (رد المحتار تحت قول الدار المختار) ما نصه :قال في الفتح :ويستحب لجيران
أه ل الميت ،واالقرب اء االباع د ،تهيئ ة طع ام لهم يش بعهم ي ومهم وليلتهم ،لقول ه (ص):
اصنعوا آلل جعفر
طعاما
(ما فقد جاءهم ما يشغلهم.حسنه الترمذي ،وصححه الحاكم.
والن ه ب ر ومع روف ،ويلح عليهم في االك ل ،الن الح زن يمنعهم من ذل ك ،فيض عفون
حينئذ.وقال أيضا :ويكره الضيافة من الطعام من أهل الميت ،النه شرع في السرور ،وهي
بدعة.روى االمام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح ،عن جرير بن عبد اهلل ،قال :كنا نعد
االجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام من النياحة.اه.
وفي البزاز :ويكره اتخاذ الطعام في اليوم االول والثالث وبعد االسبوع ،ونقل الطعام إلى
القبر في المواسم إلخ.وتمامه فيه ،فمن شاء فليراجع.واهلل سبحانه وتعالى أعلم.كتبه خادم
الشريعة والمنهاج :عبد الرحمن بن عبد اهلل سراج ،الحنفي ،مفتي مكة المكرمة -كان
اهلل لهما حامدا مصليا مسلما
Terjemahan kalimat yang telah digaris bawahi atau ditulis tebal di atas, di dalam
Kitab I’anatut Thalibin :
1. Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit
dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk Bid’ah Mungkar,
yang bagi orang yang melarangnya akan diberi pahala.
2. Dan apa yang telah menjadi kebiasaan, ahli mayit membuat makanan untuk
orang-orang yang diundang datang padanya, adalah Bid’ah yang dibenci.
3. Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang orang-orang untuk melakukan
Bid’ah Mungkarah itu (Haulan/Tahlilan : red) adalah menghidupkan Sunnah,
mematikan Bid’ah, membuka banyak pintu kebaikan, dan menutup banyak pintu
keburukan.
18
4. Dan dibenci bagi para tamu memakan makanan keluarga mayit, karena telah
disyari’atkan tentang keburukannya, dan perkara itu adalah Bid’ah. Telah
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang Shahih,
dari Jarir ibnu Abdullah, berkata : “Kami menganggap berkumpulnya manusia
di rumah keluarga mayit dan dihidangkan makanan , adalah termasuk
Niyahah”
5. Dan dibenci menyelenggarakan makanan pada hari pertama, ketiga, dan
sesudah seminggu dst.
Dari Sa’ied bin Jabir dan dari Khaban al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan pula
oleh Abd al-Razaq: “Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyyah niyahah ,
hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah
keluarga mayit”. (al-Mashnaf Abd al-Razaq al-Shan’any (Beirut: al-Maktab al-
Islamy, 1403) juz III, hal 550. dikeluarkan pula oleh Ibn Abi Syaibah dengan
lafazh berbeda melalui sanad Fudhalah bin Hashien, Abd al-Kariem, Sa’ied bin
Jabbier)
Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa
dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: saya melihat Umar bin Abdul Aziz
melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: kalian
akan mendapat bencana dan akan merugi”.
Dari Ibn Aby Syaibah al-Kufy: “Telah berbicara kepada kami, Waki’ bin
Jarrah dari Sufyan dari Hilal bin Khabab al Bukhtary, beliau berkata:
Makanan yang dihidangkan keluarga mayat adalah merupakan bagian dari
perbuatan Jahiliyah dan meratap merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah”.
19
Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Arsyad al-Banjary dan Syekh Nuruddin ar-
Raniry yang merupakan peletak dasar-dasar pesantren di Indonesia pun masih
berpegang kuat dalam menganggap buruknya selamatan kematian itu.
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah
dianjurkan, namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ke tujuh atau hari- hari
lainnya, sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan di antara
orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap
hari ketiga dari kematiannya, atau hari ke tujuh, atau keduapuluh, atau
keempatpuluh, atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun
dari kematiannya, padahal hal tersebut hukumnya makruh.
Dan para ulama berkata: “Tidak pantas orang Islam mengikuti kebiasaan
orang Kafir, oleh karena itu setiap orang seharusnya melarang keluarganya
dari menghadiri acara semacam itu”. (al-Aqrimany hal 315 dalam al-
Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18,
hal.285)
20
Al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-Dimyati dalam kitabnya I’anah at- Thalibien
menghukumi makruh berkumpul bersama di tempat keluarga mayat, walaupun
hanya sebatas untuk berbelasungkawa, tanpa dilanjutkan dengan proses
perjamuan tahlilan.
Beliau justru menganjurkan untuk segera meninggalkan keluarga tersebut,
setelah selesai menyampaikan ta’ziyah. (al-Sayyid al-Bakry Abu Bakr al-
Dimyati, I’anah at- Thalibien (Beirut: Dar al-Fikr, 1414) juz II, hal 146)
Memang seolah-olah terdapat banyak unsur kebaikan dalam tahlilan itu, namun
bila dikembalikan ke dalam hukum agama dimana Hadits ke-5 Arba’in an-
Nawawiyah disebutkan: “Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah
radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang
mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami ini yang bukan dari kami,
maka dia tertolak”. (Bukhari no. 2697, Muslim no. 1718)
Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah instrumen untuk menjaga kemurnian Islam ini
meskipun sampai akhir zaman Allah tidak mengutus Rasul lagi. Dibalik
larangan bid’ah terkandung hikmah yang sangat besar, membentengi
perubahan- perubahan dalam agama akibat arus pemikiran dan adat istiadat
dari luar Islam.
21
Bila pada umat-umat terdahulu telah menyeleweng agamanya, Allah mengutus
Rasul baru, maka pada umat Muhammad ini Allah tidak akan mengutus Rasul
lagi sampai kiamat, namun membangkitkan orang yang memperbarui
agamanya seiring penyelewengan yang terjadi.
Sedang perpecahan akibat bid’ah senantiasa lebih rumit, kedua belah pihak
yang bertikai kelihatannya sama-sama alim.
Ibn Abbas r.a berkata: “Tidak akan datang suatu zaman kepada manusia,
kecuali pada zaman itu semua orang mematikan sunnah dan menghidupkan
bid’ah, hingga matilah sunnah dan hiduplah bid’ah. tidak akan ada orang yang
berusaha mengamalkan sunnah dan mengingkari bid’ah, kecuali orang tersebut
diberi kemudahan oleh Allah di dalam menghadapi segala kecaman manusia
yang diakibatkan karena perbuatannya yang tidak sesuai dengan keinginan
mereka serta karena ia berusaha melarang mereka melakukan apa yang sudah
dibiasakan oleh mereka, dan barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka
Allah akan membalasnya dengan berlipat kebaikan di alam Akhirat”.(al-
Aqriman y hal 315 dalam al-Mawa’idz; Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama
Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.286)
23
FATWA-FATWA DARI ULAMA 4 MADZHAB MENGENAI SELAMATAN KEMATIAN
I. MADZHAB HANAFI
AL-THAHTHAWY
Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab al-
Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan PADA HARI PERTAMA,
KETIGA, SERTA SEMINGGU SETELAH KEMATIAN MAKRUH
HUKUMNYa. (Ahmad bin Ismain al-Thahthawy, Hasyiyah ‘ala Muraqy al-
Falah (Mesir: Maktabah al-Baby al-Halaby, 1318), juz I hal 409).
IBN ABDUL WAHID SIEWASY
Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena
hidangan hanya pantas disajikan dalam momen bahagia, bukan dalam momen
musibah. hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam
Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih
dari sahabat Jarir bin Abdullah, beliau berkata: “Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan
makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Abdul Wahid
Siewasy, Syarh Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr) juz II, hal 142)
II.MADZHAB MALIKI
AL-DASUQY
24
Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan
makanan hukumnya bid’ah yang dimakruhkan. (Muhammad al-Dasuqy,
Hasyiyah al- Dasuqy ‘ala al-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr) juz I, hal 419)
ABU ABDULLAH AL-MAGHRABY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan
mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak
didapatkannya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan momen
tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)… adapun apabila keluarga
mayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang-
orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit diperbolehkan selama hal tersebut
tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak
boleh mengumpulkan masyarakat. (Abu Abdullah al-Maghraby, Mawahib al-
Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil (Beirut: Dar al-Fikr, 1398) juz II, hal 228)
III.MADZHAB SYAFI’I
AL-SYARBINY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan.
(Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, Mughny al-Muhtaj (Beirut: Dar al-Fikr)
juz I, hal 386) Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan
berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya bid’ah yang tidak
disunnahkan. (Muhammad al-Khathib al-Syarbiny, al-Iqna’ li al-Syarbiny
(Beirut: Dar al-Fikr, 1415) juz I, hal 210)
AL-QALYUBY
Guru kita al-Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam
kitab al-Raudl (an-Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan
bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa
dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk
mengumpulkan tetangga, baik sebelum maupun sesudah hari kematian.(a l-
Qalyuby, Hasyiyah al-Qalyuby (Indonesia: Maktabah Dar Ihya;’) juz I, hal 353)
AN-NAWAWY
Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya
masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut
merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan. (an-Nawawy, al-Majmu’
25
(Beirut: Dar al-Fikr, 1417) juz V, hal 186) IBN HAJAR AL-HAETAMY Dan
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh
keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya bid’ah
munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan yang shahih dari sahabat
Jarir bin Abdullah. (Ibn Hajar al-Haetamy, Tuhfah al-Muhtaj (Beirut: Dar al-
Fikr) juz I, hal 577)
AL-AQRIMANY
Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga,
keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan
sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit,
hukumnya bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah
yang tidak pernah muncul pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan
bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian oleh para ulama. justeru para ulama
berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang
biasa dilakukan oleh orang kafir. seharusnya setiap orang melarang keluarganya
menghadiri acara-acara tersebut. ((al-Aqrimany hal 314 dalam al-Mawa’idz;
Pangrodjong Nahdlatoel ‘Oelama Tasikmalaya, Th. 1933, No. 18, hal.285)
RAUDLAH AL-THALIBIEN an makanan oleh keluarga mayit dan
pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut, tidak ada dalil naqlinya,
bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan. (Raudlah
al-Thalibien (Beirut: al- Maktab al-Islamy, 1405) juz II, hal 145)
Adapun penghidang
KASYF AL-QANA’
Menurut pendapat Imam Ahmad yang disitir oleh al-Marwadzi, perbuatan
keluarga mayit yang menghidangkan makanan merupakan kebiasaan orang
jahiliyah, dan beliau sangat mengingkarinya…dan dimakruhkan keluarga mayit
27
menghidangkan makanan (bagi orang-orang yang sedang berkumpul di
rumahnya kecuali apabila ada hajat, seperti karena di antara para tamu tersebut
terdapat orang-orang yang tempat tinggalnya jauh, mereka menginap di tempat
keluarga mayit, serta secara adat tidak memungkinkan kecuali orang tersebut
diberi makan), demikian pula dimakruhkan mencicipi makanan tersebut.
Apabila biaya hidangan makanan tersebut berasal dari peninggalan mayit,
sedang di antara ahli warisnya terdapat orang (lemah) yang berada di bawah
pengampuan, atau terdapat ahli waris yang tidak memberi izin, maka haram
hukumnya melakukan penghidangan tersebut. (Kasyf al-Qina’ (Beirut: Dar al-
Fikr, 1402) juz II, hal 149)
IBN TAIMIYAH
Adapun penghidangan makanan yang dilakukan keluarga mayit (dengan tujuan)
mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan tersebut
bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir bin Abdillah: “Kami (para sahabat)
menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan
makanan oleh mereka merupakan bagian dari niyahah”. (Ibn Taimiyah, Kutub
wa Rasail wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (Maktabah Ibn Taimiyah) juz 24,
hal 316)
29
menggantikan sembahyang yang telah ditinggalkan oleh si mati semasa
hidupnya.
2. Al-Haitami
di dalam kitabnya, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, berkata: "Bagi
seseorang mayat, tidak boleh dibacakan kepadanya apa-apa pun
berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama Mutaqaddimin
(terdahulu) yaitu bacaan-bacaan yang disedekahkan kepada si mati
adalah tidak akan sampai kepadanya karena pahala bacaan tersebut
hanya pembacanya saja yang menerima. Pahala yang diperoleh dari hasil
suatu amalan yang telah dibuat oleh amil (orang yang beramal) tidak
boleh dipindahkan kepada orang lain berdasarkan sebuah firman Allah
yang berbunyi, "Dan manusia tidak memperolehi kecuali pahala dari
hasil usahanya sendiri."(Al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al- Fiqhiyah :
juz 2, hal; 9)
3. Imam Muzani (Murid Imam Syafi'i),
di dalam Hamisy al-Umm, juga berkata: "Rasulullah Sallallahu `alaihi
wasallam telah memberitahu sebagaimana yang telah diberitakan dari
Allah bahawa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti
halnya sesuatu amal yang telah dikerjakan adalah hanya untuk dirinya
sendiri bukan untuk orang lain dan ia tidak dapat dikirimkan kepada
orang lain."(Catatan kaki al-Umm as-Syafie : juz 7, hal ; 269)
4. Imam al-Khazin
di dalam tafsirnya mengatakan, "Dan yang masyhur di dalam mazhab
Syafie adalah bahwa bacaan al-Qur'an (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayat) adalah tidak dapat sampai kepada mayat yang
dikirimkan" (Al-Khazin, al-Jamal : Juz 4, hal ; 236)
5. Tafsir Jalalain
Di dalam tafsir Jalalain telah disebutkan seperti berikut, "Maka
seseorang tidak akan memperolehi pahala sedikit pun dari hasil usaha
orang lain." (Tafsir Jalalain : juz 2, hal ; 197)
6. Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, Tafsirul Qur'anil Azim telah
menafsirkan surah an-Najm ayat 39 sebagai berikut: "Yaitu
sebagaimana dosa seseorang tidak boleh menimpa atas orang lain begitu
juga halnya seseorang manusia juga tidak bisa memperoleh pahala
melainkan dari hasil usaha amalannya sendiri. Dan daripada surah an-
najm ayat 39 ini, Imam Syafie r.a dan para ulama yang mengikutnya
telah mengambil kesimpulan bahwa, pahala bacaan yang dikirimkan
30
kepada mayat adalah tidak akan sampai kepadanya karena amalan
tersebut bukan daripada hasil usahanya sendiri. Oleh sebab itu,
Rasulullah Sallallahu `alaihi wasallam tidak pernah menganjurkan
umatnya agar mengamalkan pengiriman tahlil. Baginda juga tidak
pernah memberikan bimbingan tersebut dalam nas atau berupa isyarat di
dalam hal tersebut. Tidak juga di kalangan para sahabat ada yang
melakukan amalan tersebut, dan sekiranya amalan tersebut memang satu
amalan yang digalakkan, tentunya mereka telah mengamalkannya
terlebih dahulu, karena amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ada
batasan-batasan nas yang terdapat di dalam al-Qur'an dan sunnah Rasul
Sallallahu `alaihi wasallam dan tidak boleh dipalingkan dengan qias-qias
atau pendapat-pendapat ulama." Demikianlah beberapa pendapat ulama
Safi'iyah yang berkaitan dengan amalan bertahlil dan pengiriman pahala
bacaan kepada si mati. Dari situ bisa dilihat, bahwa ternyata pendapat-
pendapat tersebut telah bersepakat dan mempunyai satu pandangan yang
teguh yaitu mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an kepada si mati adalah
tidak akan sampai kepada si mati atau roh yang dikirimkan. Dasar
hukum yang telah para ulama tersebut ambil adalah dari firman Allah
SWT di dalam surah an-Najm ayat 39 dan melalui hadits nabi Sallallahu
`alaihi wasallam yang menerangkan bahwa apabila seseorang manusia
itu mati, segala amalannya di dunia telah terputus kecuali tiga hal yaitu,
sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan doa anak-anak yang soleh
untuk kedua ibu bapanya.
34
RENUNGKAN, DALAM LUBUK HATI YANG PALING
DALAM :
35
ulama yang menuntunkan selamatan dicampur tahlilan. Tak
ada satu kitab pun yang menjelaskan
2. Jika hukumnya “wajib”, maka bila dikerjakan berpahala, bila
tidak dikerjakan maka berdosa. Maka bagi negara lain
( kurang lebih 170 negara yang ada penduduknya beragama
Islam ), berarti terhukumi berdosa karena tidak mengerjakan.
Sebab ternyata tahlilan, hanya di lakukan di sebagian negara
di Asia Tenggara ( Indonesia,Malaysia, Brunei ? )
Wajibkah Tahlilan ? Ternyata tidak, karena tidak ada perintah
Allah dan Rasul untuk melakukan ritual tahlilan ( Selamatan
Kematian )
3. Sunnahkah Tahlilan ? Ternyata ia bukan sunnah Rasul, sebab
Rasulullah sendiri belum pernah mentahlili istri beliau, anak
beliau dan para syuhada.
Nah…..berarti hukumnya bukan Wajib, juga bukan Sunnah.
4. Kalau seandainya hukumnya Mubah, maka untuk apa
dikerjakan, sebab ia tidak mempunyai nilai (tidak ada pahala
dan dosa, kalau dikerjakan atau ditinggalkan). Sudah buang-
buang uang dan buang-buang tenaga, tetapi tidak ada nilainya.
5. Jadi, tinggal 2 (dua) hukum yang tersisa, yaitu Makruh dan
Haram.
Makruh apabila dikerjakan dibenci Allkah , apabila
ditinggalkan berpahala.
Jika Haram : Dikerjakan berdosa, ditinggalkan berpahala.
Nah, sekarang pilih yang mana dari ke lima hokum itu
Masih mau melakukan ? atau tidak melakukan ?
36
HANYA UNTUK KALANGAN SENDIRI
الر ِح ْي ِم
َّ الر ْح َم ِن ِ بِس ِم
َّ اهلل ْ
SURAT WASIYAT
BESUK SAAT AKU SAKAROTIL MAUT , TUNTUNLAH AKU DENGAN LAFAL TAHLIL
JANGAN DIBACAKAN SURAT YASIN KARENA TIDAK ADA TUNTUNAN DARI NABI.
TAK ADA HADITS YANG MENERANGKAN
NABI SAAT MENINGGAL DIBACAKAN SURAT YASIN
KETIKA DIUSUNG KE KUBUR CUKUPLAH KERANDA DENGAN KAIN HIJAU JANGANLAH DIBERI
UNTAIAN BUNGA JANGAN DIPAYUNGI,
JANGAN DIIRINGI TABUR BUNGA / UANG , BAKARAN KEMENYAN DAN JANGAN DIBACAKAN TAHLIL
KARENA SEMUA ITU TIDAK ADA TUNTUNAN DARI NABI
MENGANTAR JANAZAH CUKUPLAH DENGAN DIAM
SAAT PENGUBURAN, MULAI AKAN DIURUG TANAH,
JANGAN DISUARAKAN ADZAN DAN IQAMAH.
KARENA NABI WAFAT JUGA TIDAK DISUARAKAN ADZAN DAN IQOMAT.
JUGA TIDAK PERLU ENGKAU MELAKUKAN ULANG TAHUN KEMATIAN ( KHAUL ) UNTUKKU
KARENA SEPENINGGAL NABI JUGA TIDAK ADA ULANG TAHUN UNTUK BELIAU
37
KARENA DIATASNYA ADA BANGUNAN ( KIJING / CUNGKUP / UBIN )
38