Anda di halaman 1dari 3

ERA MOBIL LISTRIK, INDONESIA BANJIR INVESTOR ASING

Oleh : Ndonisa Juana Lubis

Mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) mulai meramaikan


pasar otomotif dalam negeri. Keinginan Indonesia sebagai salah satu pegembang
mobil listrik tidak bisa hanya mengandalkan kekayaan alam saja, melainkan harus
disertai dengan kesiapan sumber daya alam yang kompeten dan handal.

Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, yang merupakan salah satu
bahan baku pembuatan baterai untuk mobil listrik. Jumlahnya kurang lebih 21 juta
ton atau 25% cadangan nikel dunia. Dengan itu, Indonesia memiliki daya tarik
yang tinggi bagi produsen sel baterai dan mobil listrik global.

Pemerintah berencana membuat Indonesia menjadi negara pertama


dengan industri hulu sampai hilir untuk baterai mobil listrik. Jadi mulai dari
penambangan bahan baku untuk baterai sampai ke pembuatan baterai mobil listrik
itu terjadi di Indonesia.

Keseriusan pemerintah terhadap pembentukan industri kendaraan listrik pun telah


dituangkan melalui Perpres Nomor 55 tahun 2019 tentang Percepatan Program
Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan.

Pemerintah yang terus mendorong percepatan Kendaraan Bermotor Listrik


Berbasis Baterai (KBLBB) membentuk holding BUMN Indonesia Battery.

Tak hanya itu, pemerintah juga memberikan insentif super deductible tax yakni


pengurangan pajak 200-300% bagi perusahaan atau investor yang menggelar
pendidikan vokasi dan research and development (R&D) terkait mobil listrik.

Salah satu langkah strategis pemerintah dalam pemulihan ekonomi di tengah


pandemi yaitu investasi kendaraan listrik.

Kedatangan investor-investor ini seolah menjawab keinginan Indonesia untuk


melakukan transformasi ekonomi melalui investasi asing dan peningkatan nilai
ekspor. Dorongan untuk meningkatkan nilai ekspor dari nikel ke sel baterai dan
bahkan mobil listrik, akan membantu mengamankan nilai tukar rupiah dan neraca
pembayaran atau transaksi antar negara.

Sebuah laporan menyatakan LG Energy Solution tengah bekerja sama dengan


Hyundai untuk menjadi pemasok utama baterai listrik untuk mobil buatan
Hyundai.

Saat ini, Hyundai Motor sedang membangun pabrik mobil senilai Rp 21 triliun di


kawasan Deltamas, Bekasi, Jawa Barat dengan kapasitas produksi hingga 250.000
mobil per tahun, termasuk kendaraan listrik yang akan mulai beroperasi secara
komersial pada akhir 2021 dan menjadi pabrik Hyundai terbesar di kawasan
ASEAN.

Investasi dari hulu ke hilir ini akan memiliki dampak yang sangat positif bagi
perekonomian Indonesia. Pabrik Hyundai Motor saja akan mempekerjakan 23.000
orang untuk pabrik barunya.

Kemudian, LG Chem Ltd asal Korea Selatan akan menanamkan uangnya sekitar
US$ 13 miliar hingga US$ 17 miliar (Rp 187,5 triliun sampai Rp 245 triliun).

Selain itu produsen baterai asal Tiongkok, Contemporary Amperex Technology


Co Ltd atau CATL akan menginvestasikan uangnya sebesar US$ 5 miliar atau
sekitar Rp 72 triliun.

Mitsubishi hingga akhir 2025 berkomitmen menambah investasi sebesar Rp11,2


triliun, di mana akan terjadi peningkatan kapasitas, dari 220 ribu unit, naik
menjadi 250 ribu unit.

Toyota juga menyiapkan investasi hingga US$2 miliar atau setara dengan
Rp28,29 triliun untuk mengembangkan 10 jenis kendaraan listrik di Indonesia.

Namun, Indonesia masih memiliki sejumlah hambatan untuk menjadi pasar mobil
listrik. Khususnya dari sisi infrastruktur penunjang.  Sepanjang 2020 menurut
catatan GAIKINDO (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia), 125
unit mobil listrik berhasil laku di pasar dalam negeri  dengan hampir 65% di
antaranya berjenis Hyundai IONIQ electric.  Namun, angka penjualan tersebut
masih jauh dari target pemerintah.

Adaptasi terhadap penggunaan mobil listrik di Indonesia memiliki sejumlah


kendala. Pertama, harga mobil listrik lebih mahal dari mobil berbahan bakar
minyak. Seperti Hyundai IONIQ Electric dibanderol mulai Rp 637 juta,
sedangkan merek mobil lain seperti Honda Civic dijual di kisaran Rp 500 juta.
Harga jual BEV milik BMW dan Lexus bahkan lebih dari Rp 1 miliar.
Sementara mayoritas daya beli masyarakat untuk mobil di bawah Rp 250 juta.

Kedua, ketersediaan stasiun pengisian atau charging station masih minim.


Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat jumlah stasiun
pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) sebanyak 93 unit di 66 lokasi hingga
Desember 2020. Sementara itu, jumlah stasiun penukaran baterai kendaraan listrik
umum (SPBKLU) baru sembilan unit per awal November kemarin. Rinciannya,
enam unit di Jakarta Selatan, dua unit di Tangerang Selatan, dan satu unit di
Tangerang.

Ketiga, tipe mobil listrik terbatas. Pada tahun lalu, hanya ada empat jenis mobil
listrik yang beredar di Indonesia. Pada tahun ini, Toyota berencana meluncurkan
COMS untuk ecotourism di Bali, namun belum diketahui apakah akan dijual
untuk umum.

Untuk mengatasi seluruh kendala tersebut dan memaksimalkan peluang yang ada,
Indonesia perlu belajar dari Tiongkok, pasar mobil listrik terbesar di dunia saat
ini. Serta Indonesia harus menyajikan mobil listrik dengan harga yang lebih
terjangkau ditengah semakin menipisnya produksi bahan bakar fosil di Indonesia,
memperbanyak SPKLU dan SPBKLU agar memudahkan masyarakat dalam
penggunaan kendaraan listrik.

Karena dengan beralihnya ke era mobil listrik, maka diperkirakan bakal


mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sebesar 0,44 juta kilo liter (kl)
per tahun.

Anda mungkin juga menyukai