Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, yang merupakan salah satu
bahan baku pembuatan baterai untuk mobil listrik. Jumlahnya kurang lebih 21 juta
ton atau 25% cadangan nikel dunia. Dengan itu, Indonesia memiliki daya tarik
yang tinggi bagi produsen sel baterai dan mobil listrik global.
Investasi dari hulu ke hilir ini akan memiliki dampak yang sangat positif bagi
perekonomian Indonesia. Pabrik Hyundai Motor saja akan mempekerjakan 23.000
orang untuk pabrik barunya.
Kemudian, LG Chem Ltd asal Korea Selatan akan menanamkan uangnya sekitar
US$ 13 miliar hingga US$ 17 miliar (Rp 187,5 triliun sampai Rp 245 triliun).
Toyota juga menyiapkan investasi hingga US$2 miliar atau setara dengan
Rp28,29 triliun untuk mengembangkan 10 jenis kendaraan listrik di Indonesia.
Namun, Indonesia masih memiliki sejumlah hambatan untuk menjadi pasar mobil
listrik. Khususnya dari sisi infrastruktur penunjang. Sepanjang 2020 menurut
catatan GAIKINDO (Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia), 125
unit mobil listrik berhasil laku di pasar dalam negeri dengan hampir 65% di
antaranya berjenis Hyundai IONIQ electric. Namun, angka penjualan tersebut
masih jauh dari target pemerintah.
Ketiga, tipe mobil listrik terbatas. Pada tahun lalu, hanya ada empat jenis mobil
listrik yang beredar di Indonesia. Pada tahun ini, Toyota berencana meluncurkan
COMS untuk ecotourism di Bali, namun belum diketahui apakah akan dijual
untuk umum.
Untuk mengatasi seluruh kendala tersebut dan memaksimalkan peluang yang ada,
Indonesia perlu belajar dari Tiongkok, pasar mobil listrik terbesar di dunia saat
ini. Serta Indonesia harus menyajikan mobil listrik dengan harga yang lebih
terjangkau ditengah semakin menipisnya produksi bahan bakar fosil di Indonesia,
memperbanyak SPKLU dan SPBKLU agar memudahkan masyarakat dalam
penggunaan kendaraan listrik.