Anda di halaman 1dari 14

Adek Cewek yang Sexy : My Last Night Here for You

By sebastian | January 5, 2009

“Van… Ayolah…”
“Nggak, Kak…”
“Malem terakhir, Van… Pliis… Udah ga bisa lagi loh abis inii…”
“Aku tau… Tapi kan waktu itu uda janji kita…”

Hari ini adalah hari terakhirku di Jakarta. Esok hari, aku sudah harus pergi ke Singapura untuk
melanjutkan pendidikanku. Aku diterima di salah satu universitas terkemuka di Negeri Singa itu
dengan beasiswa. Cukup membanggakan bagi kedua orang tuaku, dan tentunya bagi diriku
sendiri. Aku sudah siap untuk berangkat; dua koper besar telah selesai dipak, siap menemani
hidupku yang baru di sana.

“Van…”
“Nggak, Kaak… Iih maksa mulu deh…” jawab Vany dengan suara tenang.

Aku menghela nafas. Sambil menggelengkan kepala, aku berjalan ke arah ranjang Vany dan
merebahkan diriku di sana. Aku sedang berusaha membujuk Vany untuk ML lagi denganku,
mungkin untuk terakhir kalinya.

Setelah ML untuk pertama kalinya sore hari tanggal 14 Juli yang lalu, kami menghabiskan
seminggu penuh untuk terus menerus ML. Kami benar-benar melakukannya setiap hari; saat
mandi pagi, sepulang sekolah Vany, saat mandi sore, setelah makan malam, sebelum tidur.
Benar-benar terus menerus. Tubuh kami seakan tak pernah puas merasakan kenikmatannya. Aku
tak pernah puas meremas dan mengulum dadanya yang luar biasa besar itu, dan Vany tak pernah
puas menerima hujaman penisku, dilanjutkan dengan ledakan sperma berkali-kali di dalam
rahimnya. Nafsu kami tak pernah habis.

Tapi, setelah lewat seminggu, kami seolah disadarkan bahwa apa yang kami lakukan ini amat
sangat salah. Entah kenapa kami kembali sadar akan status kami sebagai saudara kandung. Kami
pun memutuskan untuk menghentikan semuanya.

Dan, hampir 2 minggu sudah lewat tanpa sekali pun kami ML. Kami masih berciuman, dan Vany
pun membolehkanku untuk meremas dadanya (yang entah kenapa aku memiliki perasaan bahwa
sepertinya sudah bertambah besar lagi ukurannya dari 34C) kapan pun aku mau, tapi hanya
sebatas dari luar bajunya. Aku harus mengakui Vany sangat hebat dalam menahan nafsunya.
Aku pun merasa cukup bangga aku dapat menahan nafsuku untuk tidak ‘memperkosa’ adikku
ini, dan hanya melampiaskan nafsuku dengan onani sambil membayangkannya.
Tapi, masih ada satu hal yang mengganjal dalam benakku. Aku belum sempat meng-anal pantat
Vany yang montok itu. Sejak pertama kali ML dengannya, sudah ada keinginan dalam hatiku
untuk menghujamkan penisku ke dalam anusnya, tapi sampai hari ini belum sekali pun aku
mencobanya. Beberapa kali sudah kami ingin mencoba dalam seminggu masa gila-gilaan itu,
tapi tak pernah berhasil (karena Vany selalu tegang dan menjadi kesakitan setiap kali aku
mencoba memasukkan penisku ke dalam anusnya. Aku pun tak tega menyakiti adikku ini). Tapi
malam ini sudah benar-benar malam terakhirku di sini, dan aku sudah sampai ke taraf amat
sangat ingin. Membayangkan semua itu saja sudah membuat penisku tegang dari tadi.

“Van… Istirahat dulu lah… Dari tadi ngerjain PR terus ga capek ya…” kataku.
“Hahaha… Kalo aku istirahat sekarang sama Kakak ntar tambah capek…” jawabnya enteng,
tanpa memalingkan kepalanya dari meja belajar. Vany sedang mengerjakan PRnya. Ia menjadi
sangat sibuk sekarang. Maklum, Vany sudah masuk kelas 3 SMP, jadi sekolah memenuhinya
dengan berbagai tugas dan ulangan untuk mempersiapkannya menghadapi ujian akhir.

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. Adikku ini benar-benar kuat dalam menahan
nafsunya.

“…. Kakak juga ga capek ya ngebujuk aku… Udah tiga hari loh…” katanya setelah beberapa
lama. Aku tertawa.
“Ya ga lah… Mengingat ini udah hari terakhir Kakak…” jawabku.
“Segitu pengennya kah?” katanya, menoleh untuk pertama kalinya. Aku mengangguk, bangkit
dari ranjang, dan duduk di belakang kursi Vany. Aku memeluk pinggangnya.
“Yup… Segitu pengennya…” bisikku di telinganya. Vany tampak tidak terpengaruh. “Udah
lama banget tau, Van…”
“Aku tau, Kak…” jawabnya lembut.
“Kamu ga pengen, apa?”
“Pengen lah… Tapi namanya waktu itu kan udah janji…”

Aku mencium bagian belakang telinganya dengan lembut. Vany bergetar sedikit.

“Kak… Jangan nakal…”

Aku tersenyum. Perlahan, tangan kananku bergerak naik, meremas dada kanannya dengan
lembut. Vany mengenakan kaos biru yang agak longgar malam itu, tapi aku masih tetap dapat
melihat 2 tonjolan sangat besar menyembul dari baliknya. Aku menjulurkan lidahku, menjilat
belakang telinganya perlahan. Vany menarik nafas perlahan. Tubuhnya gemetar.

“Ka…ak…. Nakal ahh…” desahnya. Vany menggelengkan kepala, berusaha melepaskan diri,
tapi pelukanku terlalu kuat. Ciumanku turun ke lehernya perlahan. Tangan kananku semakin kuat
meremas-remas dadanya yang luar biasa empuk. Tangan kiriku menyibakkan rambut pendeknya,
memberiku ruang yang lebih lebar untuk mencium leher adikku ini. Aku tau Vany sebenarnya
sangat menikmati ini. Tanpa sadar, ia menelengkan kepalanya ke kiri sehingga aku semakin
mudah melumat lehernya.

“Plis, Van… Terakhir banget kan ini…” bisikku.


“Hmmh… Kak….” desahnya pelan, jelas-jelas menikmati. “Kakak tuh paling pinter maksa
orang…”

Vany berbalik, mencium bibirku. Lidahnya masuk, segera kubelit dengan lidahku. Vany sangat
cepat belajar dan sekarang sudah dapat mencium dengan sangat baik dan ahli. Luar biasa. Vany
mengulum lidahku, menjilat dan membelitnya.

“Mmh… Kak… Tau nggak…” katanya setelah ciuman terlepas.


“Hm?”
“Besok tuh pas 14 hari kita ga ML… Sayang tau… Rekor”
“Gapapa… Bagus donk!” ujarku sambil tersenyum. “Kamu tau kan angka favorit Kakak? Nomer
punggung Kakak di tim Futsal? Tim Bola di SMP-SMA dulu?”
“Ya… 13,” jawabnya sambil nyengir menyerah. Ia menciumku lagi.
“Jadi… Perfect day…” bisikku. Vany menggelengkan kepalanya kalah.
“Iya deeh…” jawabnya sambil tersenyum. Aku tertawa lebar.

Kugendong adikku dari kursinya dan kubawa ia ke ranjang. Vany menurut saja. Kurebahkan
diriku di atasnya, menciumnya dengan lembut. Vany membalas, menikmati. Jemariku bermain di
atas dadanya yang besar, kedua tanganku meremasnya kuat-kuat. Luar biasa, empuk dan kenyal.

“Mmh… Kak…. Mmmm…” Vany berusaha berbicara di tengah ciuman. “Pelan-pelan kali..
Mmmhh…”
“Mmm… Biarin….” jawabku tak peduli. Vany mendengus geli.
“Kak… Bentar…” katanya setelah beberapa lama. Ia mendorongku hingga aku berguling ke
sisinya. Vany naik, duduk di atas perutku. Tersenyum, ia berbalik, memunggungiku, menghadapi
penisku yang telah tegang setegang-tegangnya.

“Masih inget ini nggak?” bisiknya.

Aku tersenyum. Tak mungkin aku lupa. Ini adalah posisi yang mengawali segalanya, malam itu,
saat pertandingan Belanda vs Italia. Aku duduk, membuatnya merosot ke pangkuanku. Penisku
terjepit di antara pahanya yang mulus.

Dengan lembut, kucium belakang telinganya. Vany memejamkan mata, menggeliat menikmati.
Perlahan, ciumanku turun ke lehernya. Adikku menelengkan kepalanya lagi, memamerkan
lehernya yang kurus, yang segera kulumat dengan nafsu. Tanganku merogoh melalui bawah
ketiaknya, meremas dan memainkan kedua buah dada Vany yang luar biasa. Vany membalas
dengan merogohkan tangannya ke dalam celana pendekku, menggenggam penisku dengan
lembut, kemudian perlahan mengocoknya. Tangan mungil dan halus Vany bergerak, memijat,
mengelus penis kakaknya.

Dalam hati, aku tersenyum. Vany telah sangat banyak berubah. Aku masih ingat saat posisi ini
pertama kali kami lakukan bermalam-malam yang lalu, Vany tidak berani menyentuh penisku; ia
hanya mau meletakkan ujung jari telunjuknya. Betapa sebulan sangat cepat mengubah orang.

Kocokan Vany semakin cepat. Ia mengeluarkan penisku dari celana pendekku,


menggenggamnya dengan kedua tangannya dan mengocoknya kuat-kuat. Aku merasa tak tahan
jika dibeginikan terus.

“Van… Stop… Kakak ga mau kuar sekarang…” kataku, masih sambil mencium dan menjilat
leher dan rahangnya. Vany tertawa.
“Hahahaha… Iya ya… Simpen buat ntar ya…” katanya sambil melepas genggamannya. Aku
mengangguk. Vany beranjak dari atasku. Ia bergerak turun, menghadapi penisku dan kembali
menggenggamnya.
“Tapi, kalo diginiin masa masih gamau dikeluarin?” bisiknya menggoda. Tanpa aba-aba, tiba-
tiba Vany memasukkan penisku ke dalam mulutnya dan menyedotnya kuat-kuat. Aku terkejut.
“V.. Van!! Ngghh…”
“Mmm.. N… Naba Kak? Mmm.. Sllrrppp…” katanya dengan mulut penuh.
“Ja… Ooh… Jangan tiba-tiba… Mmmhh… Jangan tiba-tiba gitu…”

Vany hanya mendengus tertawa. Ia melanjutkan menyedot, menjilat penisku. Ia memainkan


lidahnya dengan ahli di bagian bawah penisku. Kepalanya bergerak-gerak naik-turun. Matanya
terpejam.

“Van… Nnh.. Van kamu… Udah jago banget ya… Mmhhh… ssSekarang…” kataku tergagap.
Memang enak sekali oralnya sekarang. Vany sangat cepat belajar. Tekniknya bahkan sudah
hampir sehebat Grace, hanya minus bibir tebalnya.
“Mmhh… Sejara… Selama… Mmm… Semigu… Tiab hari… Mmmm… Sllrpp… gni… tlus…
Mmmm…(Secara selama seminggu tiap hari gini terus),” jawabnya.
“Ya… Tapi.. Oohh… Van kamu cepet banget belajar… Nnnhhh… Enak banget…”
“Thanks… Sllrpp…”

Aku sudah menyerah dan akan meledak saja, tapi tiba-tiba Vany menghentikan sedotan dan
kulumannya. Ia menegakkan diri, melepas kaosnya dengan perlahan dan seksi, lalu melemparnya
ke sudut kamar. BH-nya yang putih berenda tampak sangat kesulitan menahan kedua gunungnya
yang mulus dan luar biasa besar, bahkan nampak lebih sulit dari saat terakhir aku melihatnya.
“Van… Kamu tuh beneran tambah gede ya toketnya?” tanyaku. Vany mengangguk.
“Berapa ukurannya sekarang?” tanyaku lagi. Vany tertawa jahil.
“Mau tauuuu.. Ajaa…” ujarnya nakal.
“Aaahh… Vaann.. Kasih taulaah…” pintaku.
Vany nyengir, mengangkat bahu tak peduli. Dengan cuek, perlahan ia melepas BHnya. Dadanya
jatuh berguncang bebas saat terlepas dari bekapan BH itu, menggiurkan sekali. Putingnya yang
coklat muda sangat sempurna; areolanya kecil dan bulat, sementara putingnya tegak menantang.

Vany mendekatkan dadanya ke penisku, menjepitnya di antara kelembutan dan mulai


menggosok dan memijit penisku perlahan di antara dadanya. Aku tak dapat melukiskan
kenikmatan di titf*ck oleh Vany. Sungguh luar biasa. Mengetahui kenyataan bahwa ukurannya
telah bertambah besar semakin menambah kenikmatannya.

“Ooohh… Vvaann… Ggiiilaa… Nnnhhhh…” suaraku tercekat. Enak sekali rasanya. Vany
menggerakkan dadanya naik-turun, bergantian kiri, kanan, kiri, kanan. Setiap kali ia semakin
mengencangkan jepitan dadanya. Luar biasa. Aku menunduk ke bawah, melihat kepala penisku
yang telah merah membara hilang-timbul di dari belahan dadanya yang sangat besar. Vany
menjulurkan lidahnya, menjilati kepala penisku. Aku tak tahan lagi, penisku serasa berdenyut-
denyut. Vany mengetahuinya.

“Keluarin, Kak… Yang banyak…” bisiknya sambil mempercepat gosokan dan pijatan dadanya.

Aku tak menunggu disuruh dua kali. Kuledakkan spermaku berkali-kali, menyemprot muka
adikku, melumuri leher, dada, tangannya. Vany memejamkan mata dan menahan nafas. Bulir
demi bulir cairan putih kental itu melumuri wajah imutnya, sebagian bahkan mengenai poni
rambut pendekknya.

Aku menghela nafas panjang. Enak sekali. Sudah sangat lama rasanya aku tidak merasakan
kenikmatan seperti ini; tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan onani sehebat apa pun.
Vany menjilat sisa sperma di sekitar mulutnya, menelannya. Seperti biasa, penisku
membutuhkan lebih dari sekali keluar untuk puas menikmati tubuh adikku ini. Vany merebahkan
kepalanya di pinggangku, mengelus penis kakaknya yang masih sangat tegang.

“Ayo Kak… Giliranku sekarang…” bisiknya.

Aku menurut, beranjak ke bagian bawahnya. Vany merangkak menaiki ranjang, kemudian
berbaring terlentang, mengangkang lebar untuk kakaknya. Perlahan, kulepas celana pendeknya,
menampakkan celana dalam… G-string!

“Heh! Sejak kapan kamu pake G-string?” tanyaku terkejut.


“Hehehe… Kakak suka, kan?” godanya sambil nyengir.
Aku menggeleng-gelengkan kepala sambil nyengir. Luar biasa. Vany sudah benar-benar berubah
dari gadis kecil imut yang sangat polos menjadi cewek luar biasa seksi dan cenderung nakal.
Kubuka simpul tali tipis yang mengikat celana dalam adikku di tempatnya, melepasnya. Vagina
Vany masih sama mulus dan tembemnya, dengan bulu sangat tipis yang membuatnya semakin
seksi. Cairan bening mengalir dari dalam vagina adikku, sudah basah.

“Kakk… Jangan diliatin teruss… Ayo donk…” pintanya. Aku nyengir, segera membenamkan
wajahku di selangkangannya, menyedot dan menikmati vagina adikku. Aroma segarnya segera
memelukku. Vany menggrunjal, mengejang, menggeliat menikmati.

“Aaah… Kakk… Koq sekarang rasanya…. Aaahh… Lebih enak sih??” desahnya.
“Mmm… Mungkin karena udah lama nggak…” jawabku.
“Ooh… Kakk…”
“Kalo… Diginiin lebih enak ga?” aku menjulurkan lidahku, memasukkannya ke dalam vagina
adikku. Vany mengejang.
“AaaHhh… EnaaAAKK… Oohh… Kaakk…”

Aku tersenyum, memasukkan lidahku semakin ke dalam. Kugerakkan dan kumainkan di dalam
vaginanya. Tiba-tiba lidahku seakan tersedot ke dalam, dan sambil menjerit kencang, Vany
squirting sekuat-kuatnya, menyemprot mukaku dengan cairan dingin bening.

“Ooh… OooOoh… Udah lama banget ga squirting sekenceng ituu…. Mmmhh..” katanya lemas.
Tubuhnya mengigil. Aku merangkak ke atasnya, penisku yang tegang sudah tak sabar, menunjuk
tepat ke arah vaginanya yang basah kuyup. Kutatap mata adikku dalam-dalam.

“Siap? Langsung aja?” tanyaku lembut. Dengan keyakinan penuh, walaupun masih lemas, Vany
mengangguk.

Aku menempelkan kepala penisku di mulut vaginanya. Sambil menatap matanya adikku, aku
menghujamkan penisku ke dalam vaginanya dengan lembut. Vany mengerang, mengejang.
Walaupun Vany sangat tenang kali ini, tidak seperti saat pertama kali aku ML dengannya, tapi
sempitnya vagina adikku masih sama. Seolah seperti tidak ada pengaruhnya seminggu penuh
ditusuk-tusuk penisku setiap hari. Tiba-tiba cengkeraman Vany di seprei mengencang; Vany
squirting lagi. Terkejut, aku mencabut penisku. Aku tahu ia sendiri terkejut karena squirting tiba-
tiba, padahal baru saja dimasuki.

“Ke… Kenapa koq tau-tau squirting lagi? Kakak bahkan belon mulai loh…” kataku terperangah.
Vany terengah-engah.
“Nggak… Nggak tau… Tadi… Hhh… Tadi tau-tau kayak ada yang dorong dari dalem rasanya
pengen keluar lagi… Gila…” jawabnya, kebingungan.
Kukecup bibir adikku, menenangkannya. Kembali aku memasukkan penisku ke dalam
vaginanya. Perlahan, kutusukkan lebih dalam. Vany memjamkan matanya, merasakan penis
kakaknya memenuhi vaginanya. Saat akhirnya kepala penisku menyentuh mulut rahimnya, Vany
memeluk leherku erat, menarik wajahku kedekat wajahnya, mencium bibirku dengan nafsu. Aku
menarik dan menghujamkan penisku, semakin lama semakin cepat. Kepala penisku
menghantam-hantam mulut rahim Vany setiap kali kutusukkan penisku kuat-kuat.

“Aaahhh… YEESS… Oohh… Y… Aaahh… Kaakkk… Yeess… Mmmm!!!” desahan Vany


memenuhi ruangan.
“Mmmhh.. Vaan… Kenapa kamu masih sesempit ini sii… Mmmhh….”

Malam itu AC berhembus dingin di kamar Vany, tapi kami sungguh tak merasa kedinginan
walaupun bugil. Hawa panas seperti menguar dari tubuh kami. Aku dan Vany bergulat di
ranjang. Kami berciuman dengan sangat panas; lidah kami saling membelit. Decak lidah kami
terdengar seksi di kamar yang sepi. Keringat mengucur, menetes, membasahi tubuh kami.
Pinggulku seakan tak mau berhenti bergerak, mengayun menghujam vagina adikku kuat-kuat.
Vaginanya seakan semakin sempit setiap kali kumasukkan penisku ke dalam.

“Mmmhhh…. NnnnHHH!!! Kaakk… Ka… K… Kakak… Nabrak-nabrak rahimku.. Oohh….


oh… Ooh… Kerasa sampe… Perutt… Nnnyhh…” jerit dan desah Vany seirama hujaman
penisku. Nafasnya tak karuan.

Kedua tanganku meremas-remas dada adikku yang montok dengan nafsu. Jari tangan kiriku
memainkan putingnya kanannya yang tegang, sementara aku menyedot dan menjilat puting kiri
Vany yang luar biasa sensitif. Aku menyedotnya kuat-kuat, masih dengan harapan kosong akan
merasakan susu yang manis menyemprot dari dadanya yang empuk dan besar ke dalam mulutku.

“Kaak… Jangan… Aaahh… Kakak tambah gedeeeEE di dalem… aaahhh…” desahnya.


“Ka… Kamu yang tambah sempit ya… Mmmhhh….”
“Nnaah… Kaaak… aaa… Kaakk… Keluarr… lagggiiIII…”

Vany, tak kuasa menahan rangsangan yang begitu hebat, orgasme untuk ketiga kalinya. Tapi
yang keempat segera menyusul bahkan hampir bersamaan. Vany squirting banyak-banyak untuk
multiple orgasme nya… Luar biasa. Vaginanya seakan menyempit setiap kali ia menyemprotkan
cairan keluar, membasahi penisku. Aku tak peduli, semakin mempercepat tusukkanku. Aku tahu
sebentar lagi aku akan keluar.

“Van… Vaann… Yang ituu… J.. Jurus… Kammuu… Mmmhh…” pintaku.

‘Jurus’ Vany adalah kemampuan adikku yang luar biasa untuk memainkan otot-otot vaginanya
sedemikian rupa sehingga menjepit penisku erat-erat, dan menimbulkan sensasi menyedot dan
memijit bergelombang (baca episode 3). Aku tak pernah tahan untuk tidak meledakkan spermaku
jika merasakannya. Sisi buruknya adalah karena saking tidak kuatnya aku, aku tak pernah sempat
untuk menarik penisku keluar dan mengeluarkannya di luar; pasti selalu keluar di dalam tubuh
adikku. Tapi aku sudah mulai tak peduli.

Vany menurut. Wajahnya berkonsentrasi. Sesaat kemudian, sensasi itu datang; penisku seperti
disedot kuat-kuat ke dalam vaginanya yang sempit, disertai gelombang yang menyengatku. Aku
tak pernah tahan.

“Vann… Mmhh… vaAAAANNNYYY!!!!”


“Di.. DI dalem Kakk.. NNnnHHH!!!”

Aku meledakkan spermaku tanpa berusaha menariknya keluar. Berkali-kali penisku


menyemprotkan sperma ke dalam rahim adikku, seolah tak mau berhenti.

“Aahhh… Hhh… Kaak… Banyak bangett… Anget banget…” desah Vany.

Semprotanku berhenti. Aku dapat merasakan cairan hangat kental itu mengalir keluar dari dalam
vagina Vany, melumuri bahkan penisku sendiri yang masih belum puas. Aku masih belum
mencabut penisku dari dalam vaginanya.

Aku membenamkan kepalaku dalam empuk dan lembutnya dada Vany. Nyaman sekali rasanya.
Vany membelai rambutku. Kami terdiam, terengah-engah, mengatur nafas. Keringat membanjiri
tubuh kami.

“Belum puas ya Kak…” bisik Vany. Aku mengangguk, masih dalam dekapan dadanya.
Kuangkat wajahku sedikit, kutatap mata adikku.
“Van…”
“Hm?”
“Mau coba lagi nggak?”
“Apa… Anal?” tebaknya dengan tepat. Aku mengangguk.

Vany terlihat ragu.

“Hmm… Waktu itu sakit kan, Kak…”


“Ya… Makanya kamu rileks aja… Pasti bisa lah…” kataku.

Vany masih tampak ragu, tapi ia tetap mengangguk perlahan. Ia berbalik hingga telungkup di
ranjang. Dadanya yang besar tampak sangat menggiurkan menempel di ranjangnya. Tanpa
kusuruh, ia mengangkat pantatnya, nungging. Spermaku masih menetes keluar dari vaginanya.
Seksi sekali. Aku berlutut di belakangnya. Kuletakkan penisku di atas pantat Vany, sementara
kedua tanganku membelai pantatnya.
“Tau nggak… Pantat kamu tuh hampir semontok pantat Cherry…”
“Aaa… Bohoongg… Cherry kan pantatnya hampir kayak pantatnya Kim Kardashian,” ujarnya.
Aku tertawa. Kuremas pantat adikku dengan gemas.
“Tapi kamu juga montok, tau…”

Aku mulai dengan membuka belahan pantatnya menggunakan kedua jempolku. Anusnya tampak
merah dan sempit. Aku tahu ini akan sulit, dan tentunya akan cukup sakit bagi Vany. Tapi aku
benar-benar sangat ingin meng-anal adikku ini. Kuletakkan penisku di anusnya dan mulai
mendorongnya. Sulit sekali, sangat keras.

“Van… Rileks ya.. Kalo kamu tegang jadi semakin sakit,” kataku lembut.
“Iya, Kak…” jawabnya. Tapi aku dapat menangkap nada tegang dalam suaranya.

Aku berusaha lebih kuat menusukkan penisku. Vany mengejang. Aku sadar bahwa butuh
pelumas agar lebih mudah memasukkannya. Kutusukkan penisku ke dalam vaginanya. Vany
terkejut.

“NnhhH?! Kak.. Aahh… Katanya mau anal?”


“Iya… Kakak butuh ngelicinin penis kakak dulu biar gampang…” jawabku. Vany mengangguk.
Kuhujam-hujamkan penisku di dalam vaginanya yang sangat becek. Setelah aku merasa cukup
basah, kutarik penisku keluar dan kembali aku berusaha menusukkannya ke dalam anus Vany.
Jempolku berusaha menarik anusnya melebar lebih kuat. Masih belum bisa. Aku kembali
memasukkan penisku ke dalam vaginanya, melumasinya dengan cairan adikku, kemudian
menariknya keluar dan kembali menusukkannya.

Sekitar lima kali aku melakukan ini saat aku merasakan anus Vany mulai mengendur. Aku rasa
lama kelamaan Vany sudah dapat rileks dan tidak terlalu merasakan sakitnya. Kepala penisku
mulai dapat masuk sedikit.

“Aah… Kak… Kak… Kayaknya udah bisa… Nnhh…” desah Vany.


“Ya… Siap-siap ya… Ini bakal sakit…” kataku mempersiapkannya.

Tiba-tiba, lebih cepat dari yang aku harapkan, kepala penisku menghujam masuk ke dalam
anusnya. Seperti ada barikade yang runtuh.

“MMMMMHHHHHHHHH!!!!!!! MMMMHHHHH!!!!!” Vany menjerit-jerit tertahan dari balik


bantal. Aku tahu seperti apa sakitnya pertama kali di-anal.
“Vann.. Van… Sshh… Tenang dulu, sayang… Bentar lagi sakitnya ilang…” bujukku. Aku
mendekatkan wajahku ke kepalanya, kucium pipi adikku. Wajah Vany merah padam menahan
sakit. Air mata meleleh dari matanya.
“Ooh… Kak… Kak itu bener-bener sakit… Hhh…” bisiknya. Aku mengangguk. Kukecup lagi
pipinya, berusaha menenangkannya. Saat itu, perlahan-lahan aku mendorong penisku lebih
dalam lagi ke dalam anusnya. Ini bahkan lebih sempit dari vagina Vany.

“Van… Pantat kamu… Sempit banget gila…” bisikku di telinganya. Vany tersenyum lemah di
balik kesakitannya. Tapi sekarang wajahnya mulai tidak semerah tadi, dan sepertinya sakitnya
sudah mulai menghilang.

“Kak… Ayo lanjut…” pinta Vany akhirnya. Aku mengangguk.

Perlahan, aku mulai menggerakkan penisku; menariknya setengah jalan keluar dari anus Vany,
kemudian menghujamkannya lagi, semakin lama semakin cepat. Sempitnya luar biasa. Vany
sepertinya semakin lama juga semakin menikmati.

“Nnhh… Nnn… Mmmhhh.. Kak… Enak juga… Loh… aAahh..” desahnya.


“Iyakan… Mmmhh… Mmh.. Oh Van ini bener-bener sempit…”
“Iya… Aahh… Punya Kakak.. Aahh… Jadi kerasa lebih gede lagi…”

Aku sangat menikmati meng-anal Vany, akhirnya. Sensasi pantatnya yang empuk yang
menepuk-nepuk pinggangku melengkapi sempit anusnya yang luar biasa membungkus penisku.
Aku menghujamkan penisku semakin kuat. Suara ‘plek-plek-plek-plek’ pantatnya yang
menepuk-nepuk pinggangku terdengar semakin keras memenuhi kamar Vany malam itu. Vany
mulai mengencangkan jepitan anusnya (menurutku tanpa sadar).

“Kaak… Kakk… Kayaknya… Aaahhh.. Aku mau… Aahh.. aku mau keluarr…” desahnya
setelah beberapa lama.
“Keluarin aja… Aaahh… Kakak terus masukin.. Aaahh… kan tetep… Mmmhh… Bisa…
Nnhh…”

Vany tak menunggu lama. Sesaat kemudian ia semakin mengencangkan jepitannya. Ini luar
biasa. Aku merasa hampir keluar juga.

“Vann… Van tunggu.. Mmhh… Tunggu jangan keluar dulu… Kakak bentar lagi kuar juga..
Tungg… Tunggu… Nnnhh… Aaahh…”
“Okkee.. Oke cepetan kak….aAaahhh… Aku udah… KAK AKU… Ga… GA TAHANN…”
desahannya semakin cepat. Nafasnya semakin tak karuan.
“Ya… Yaa.. OKE… Vann.. VANNN… Tahan dikit lagii…” pintaku.
“Ga bisaa… Aaahh… Ga… TahaaaaaNNNNNN!!!!! AAAHHH!!!!”
“Oooh… VAAANNNN!!!!”

Kami mencapai orgasme di saat yang sama. Vany menyembur-nyemburkan cairannya kuat-kuat
di saat yang sama aku meledakkan spermaku berkali-kali di dalam anusnya yang luar biasa
sempit. Saat Vany squirting anusnya menjadi lebih sempit lagi, sehingga penisku seperti diperas
untuk mengeluarkan sperma sebanyak-banyaknya.

“Vvvv… vvvaann… Mmmhh… Kakak… Ga bissa.. berenti kuaarr… Ooohh…” desahku dengan
suara tercekat. Ini enak sekali. Aku mencabut penisku yang masih mengeluarkan sperma, dan
menhujamkannya ke dalam vagina adikku. Vany tiba-tiba mengeluarkan jurus andalannya itu
tanpa peringatan.

“VAANN!! UOOHH!!! VAANN… VV… VAN… Kakak… Keluar lagii…”


“KELUARIN KAAK… YANG BANYAK… Aaah… Yang banyaakkk… Buat terakhir
kalinyaa….”

Aku meledakkan lagi spermaku berkali-kali ke dalam rahimnya bahkan sebelum ledakan
sebelumnya berhenti. Benar-benar luar biasa. Gelombang demi gelombang melanda penisku.
Vany seolah tak mau berhenti membuat kakaknya mengeluarkan spermanya hingga tetes terakhir
di dalam tubuhnya.

Vany roboh, tertelungkup di ranjang. Spermaku mengalir keluar perlahan dari vagina dan
anusnya, melumuri seprei ranjangnya. Aku beringsut ke sisinya, tergeletak lemas, terengah.

“Hh… Kak… Udah kan… Kesampean…. Hhh..” katanya lemas.


“Hh.. Iya.. Hh… Thank you…” aku tak dapat berkata banyak.

Selama beberapa lama, hanya desah nafas kami yang terdengar di ruangan itu. Aku menatap
langit-langit kamar dengan puas. Sekarang aku dapat pergi tanpa beban.

“Kak…” kata Vany pelan setelah beberapa lama.


“Hm?”
“Aku pasti hamil kali ini…”

Aku tak dapat menjawab. Aku pun berpikir begitu. Sudah terlalu banyak aku mengeluarkan
spermaku di dalam tubuhnya.

“… Kalo emang ternyata gitu gimana?” tanyaku setelah beberapa lama.


“Ya… Mau gimana lagi…”
“Kamu ikut Kakak pindah ke Singapore aja…”

Vany mendengus geli.

“… Mau deh…” jawabnya. Suaranya bergetar. Ia beringsut mendekatiku, memelukku erat. Vany
mengecup pipi kakaknya dengan sayang. Aku menoleh, melumat bibirnya yang mungil. Saat
ciuman kami terlepas, aku melihat air mata mengalir di pipinya. Mata Vany berkaca-kaca.
“Ke… Kenapa nangis, sayang?” tanyaku lembut.
“Aku… Hk… Aku… Aku bakal kangen Kakak…” jawabnya tersendat.
“Iya… Kakak juga bakal kangen kamu… Banget…”

Vany menangis di sisiku. Kata-kata seperti menghilang dari mulutku. Aku hanya dapat
memeluknya, membelai rambut pendeknya.

“Aku… Hk… Kayaknya… Kayak… Ngerasa Kakak… Terlalu cepet… Hks.. Pergi…” bisik
Vany dalam isaknya.
“Halah… Terlalu cepet apa… Udah hampir 15 taon barengan juga…” jawabku bercanda sambil
tersenyum menatapnya.
“Aku.. Aku ga mau kehilangan Kakak… Aku… Kakak udah kayak cowokku…”
“Iya…” Kupeluk adikku erat. Air matanya mengalir membasahi pundakku.

Kami terdiam. Saat itu sebuah lagu mengalun dalam benakku. Kunyanyikan lagu itu perlahan
kepada Vany, untuk terakhir kalinya.

I could stay awake just to hear you breathing


Watch you smile while you are sleeping
While you’re far away and dreaming

I can spend my life in this sweet surrender


I could stay lost in this moment forever
For every moment spent with you
Is a moment I treasure

I don’t wanna close my eyes


I don’t wanna fall asleep
Coz I’ll miss you babe
And I don’t wanna miss a thing

Coz even when I dream of you


The sweetest dream will never do
I’d still miss you babe
And I don’t wanna miss a thing

Lying close to you, feeling your heart beating


And I’m wondering what you’re dreaming
Wondering if it’s me you’re seeing

And then I kiss your eyes, and thank God we’re together
I just wanna stay with you
In this moment forever
Forever and ever…

Saat aku selesai menyanyikan lagu ini, Vany telah tertidur dalam pelukanku. Kukecup kening
adikku dengan sayang. Tanpa sadar, air mataku mengalir. Aku pun tak ingin kehilangan dia. Aku
sudah terlalu sayang padanya, bahkan melebihi sayangku pada Grace pacarku. Aku tak ingin
berpisah dengannya…

Aku…

Aku mencintainya.

***

“Vany lucu ya kalo tidur…”


“Hahaha kamu parah ya Kak baru nyadar sekarang…”

Pagi itu kami sedang dalam perjalanan ke airport. Ayahku menyetir di depan, ibuku duduk di
sebelahnya, sementara aku dan Vany duduk di kursi belakang. Vany terlelap, kepalanya terkulai
di bahuku.

“Vany koq daritadi duduknya aneh ya…” kata ibuku.


“Hm? Aneh kenapa?” ayahku menimpali.
“Miring gitu…”
“Ya namanya tidur…”

Aku tersenyum, tapi diam saja. Vany memang duduknya aneh karena berusaha agar anusnya
tidak menyentuh jok mobil. Pastinya masih sakit karena baru di anal untuk pertama kalinya
malam sebelumnya.

Bandara Soekarno-Hatta cukup ramai hari Minggu pagi itu. Setelah check-in dan memasukkan
bagasi, kami menunggu di sebuah restoran sambil mengecek apa-apa yang akan aku bawa,
jangan sampai ada yang tertinggal. Ibuku menjadi cukup panik pagi itu, mungkin karena tegang
anak sulungnya akan segera pergi.

Akhirnya, saat keberangkatan tiba. Aku berjalan ke arah pintu keberangkatan, bersiap untuk
berpisah untuk waktu yang cukup lama dengan keluargaku. Perpisahan kami cukup emosional.
Ayahku memelukku untuk waktu yang lama. Aku sungguh-sungguh berterima kasih atas semua
didikan dan kebijaksanaannya selama ini. Setelah itu kupeluk dan kucium ibuku dengan sayang,
yang dengan air mata bercucuran menyampaikan pesan-pesan dan wejangan bagi anak
sulungnya yang akan hidup di negeri orang. Aku tak kuasa menahan haru. Saat itu aku merasa
sangat berdosa di depan mereka, melakukan sesuatu yang⎯jika mereka tahu⎯pasti akan sangat
memalukan mereka. Kupeluk kedua orang tuaku.

“Pah… Mah.. Maafin aku ya…” bisikku di telinga mereka. Aku tahu mungkin mereka tak paham
untuk apa aku meminta maaf, tapi aku tak peduli. Aku menangis dalam pelukan mereka cukup
lama.

Dan, tiba saatnya berpisah dengan Stevany, adikku. Kami bertatapan sangat lama. Vany benar-
benar menangis saat memelukku.

“I love you so much, Hunny…”

Aku tersenyum. Vany memanggilku ‘Hunny’.

“I love you too, Van…” kataku sungguh-sungguh.

Kami berpelukan sangat erat. Aku benar-benar tak ingin melepas adikku.
“Jaga diri ya, kamu…” pesanku padanya.
“Ya… Kakak juga…” bisik Vany. “Jangan kebanyakan ML sama Cherry…”

Aku tertawa.

“Kamu tuh… Masih sempet-sempetnya mikir itu…”


“Hehehe… Tapi bener kan…”
“Iya… Kamu juga… Jangan ML sama cowok sembarangan…”
“Nggak…” jawabnya mantap. “Aku mau nunggu Kakak pulang…”
“Kuat apa?”
“Kuat… Kakak itu yang ga bakal kuat… Hehehe…”

Aku nyengir, mengecup pipinya. Sesaat sebelum melepas pelukan, Vany berbisik sangat
perlahan di telingaku.

“Oya… Kakak masih pengen tau ukuran BHku yang sekarang?”


“Hahaha… Masih… Berapa?”
“32D…”

Aku merasa celana jeansku menyempit.

Anda mungkin juga menyukai