Anda di halaman 1dari 19

1.

Gangguan Konsep Diri


Dari artikel yang saya pelajari mengenai gangguan konsep diri pada lansia, dapat
dipahami bahwa konsep diri mengalami perubahan seiring dengan peningkatan usia.
Menurut WHO konsep diri pada lansia banyak dipengaruhi oleh masalah fisik,
psikososial, spiritual dan ekonomi. Hasil penelitian Siregar (2013) mengenai perbedaan
kualitas hidup antara lansia di Kecamatan Batang Angkola yang tinggal di rumah
bersama keluarga dengan lansia yang tinggal di Panti Jompo Warga Mas Titian Ridho
Ilahi menyatakan bahwa lansia yang tinggal di rumah secara kualitas psikologi dan
sosial lebih baik dibandingkan lansia yang tinggal di panti.
Hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Panti Werdha Pangesti Lawang tanggal
11 Januari 2016 diperoleh data tidak semua lansia mau mengikuti kegiatan di panti dan
ada beberapa yang memilih menyendiri. Hasil wawancara beberapa lansia mengatakan
sedih tinggal di panti, dia ingin berkumpul dengan keluarganya namun keluarga tidak
punya waktu, ada lansia mengatakan kecewa dengan anak-anaknya yang menitipkan
mereka di panti padahal mereka merasa masih sanggup mengurus dirinya sendiri,
seorang lansia mengaku bosan dan bingung karena tidak ada pekerjaan yang bisa
dikerjakan seperti di rumah, dan lansia yang lainnya mengatakan senang tinggal di panti
karena dapat berinteraksi dengan lansia lain. Bagi lansia yang berpikiran positif
menganggap bahwa tinggal di panti werdha akan membuat dirinya memperoleh apa
yang tidak dapat diberikan oleh anaknya misalnya kegiatan sosial dengan orang sebaya
(Hutapea dalam Andini dan Supriyadi, 2013). Bagi lansia yang berpikiran negatif,
tinggal di panti membuat dirinya merasa tidak berguna, merasa disingkirkan dan tidak
dibutuhkan lagi sehingga akan memicu penurunan harga diri pada lansia tersebut
(Azizah, 2011).
Tinggal di panti juga membuat hilangnya pekerjaan dan peran sosial yang biasa
dilakukan oleh lansia di rumah. Hal ini akan membuat lansia tidak tahu perannya
selama tinggal di panti. Kehilangan peran pada lansia menyebabkan ketidakpastian
identitas lansia (Rini dalam Azizah, 2011). Penurunan konsep diri ke arah negatif akan
berdampak pada kemunduran dalam berperilaku seperti mudah marah, sifat yang
negatif, dan sifat seperti anak-anak (Hurlock, 2002). Lansia yang memiliki konsep diri
negatif cenderung menarik diri dan jarang berinteraksi dengan lingkungan (Rahayu
dalam Setyowati, 2005)
Oleh karena itu, kesehatan fisik dan mental lansia perlu mendapatkan perhatian khusus.
Dengan memperhatikan aspek konsep diri diharapkan asuhan yang diberikan telah
mencakup aspek psikososial sehingga asuhan keperawatan yang menyeluruh dapat
diwujudkan (Kelliat, 1992). Selain itu lansia perlu mendapatkan dukungan sosial dari
keluarga, teman dekat, orang-orang yang mempunyai ikatan emosi dengan lansia agar
secara emosional lansia akan merasa lega karena diperhatikan, mendapat saran atau
kesan yang menyenangkan pada dirinya (Azizah, 2011).

2. COPD

Dari artikel yang saya pelajari mengenai COPD pada lansia atau yang biasa disebut
Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan suatu penyakit paru kronis yang dapat
dicegah dan diobati, yang ditandai dengan hambatan aliran udara yang bersifat tidak
sepenuhnya reversibel. Terjadinya PPOK terutama disebabkan oleh peningkatan respons
jalan napas yang mengalami inflamasi kronis terhadap partikel atau gas yang berbahaya
dan sangat terkait dengan riwayat merokok. Namun, ada sejumlah faktor risiko lain
termasuk paparan terhadap polusi udara, paparan gas dilingkungan kerja, genetik, asma,
riwayat infeksi pernapasan berat pada masa kanakkanak dan status sosial ekonomi
rendah.
Dinyatakan PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis
ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak
dengan sesak nafas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia
pertengahan atau yang lebih tua. Terapi PPOK bersifat medika mentosa dan non-medika
mentosa. Dimana pada medika mentosa berupa pemberian bronkodilator, kortikosteroid,
mukolitik, dan lain-lain. Sedangkan terapi pada non-medika mentosa yaitu berupa
edukasi tentang penyakit tersebut kepada pasien dan keluarganya, berhenti merokok,
serta menghindari faktor yang dapat memperberat terjadinya PPOK seperti debu, asap
rokok, dan polusi udara lainnya. Pada prinsipnya, terapi pada pasien PPOK ialah
menangani keadaan eksaserbasi akut dan mencegah perburukan dari PPOK itu sendiri.
Kesadaran bahwa penyakit PPOK dapat dicegah morbiditas dan mortalitasnya
sehingga dibutuhkan peran dokter layanan primer dan internis dalam menangani penyakit
tersebut melalui pendekatan holistik. Dengan memberikan edukasi untuk mengurangi
rokok dan farmakoterapi yang tepat diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup serta
memberi dampak baik pada perjalanan penyakit dan kelangsungan hidupnya. Ada
beberapa faktor resiko PPOK antara lain:
1. Kebiasaan merokok merupakan satusatunya penyebab kausal yang terpenting, jauh
lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu
diperhatikan apakah perokok aktif, perokok pasif, atau bekas perokok.
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa
Salah satu pemeriksaan penunjang pada PPOK adalah foto thoraks PA. Hasil
pemeriksaan radiologi pada emfisema berupa, hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal
melebar, diafragma mendatar, Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye
drop appearance). Pada bronkitis kronik : normal, corakan bronkovaskuler bertambah
pada 21 %. Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
nonfarmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah mengurangi
gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi ekserbasasi dan
komplikasi, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, meningkatkan kualitas
hidup dan mengurangi angka kematian. Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan
cara menghentikan kebiasaan merokok, menghindari pajanan terhadap polusi udara,
meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan pernapasan serta memperbaiki
nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK
stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah
penyakit kronik yang bersifat irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah
menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit. Oleh
karena itu, diperlukan tatalaksana secara holistik terhadap pasien.
Sumber:

Sari, R. P., & Mayasari, D. (2020). Penatalaksanaan Holistik Penyakit Paru Obstruktif Kronik
pada Lansia dengan Riwayat Merokok dan Paparan Polusi Udara Holistic Management
of Chronic Pulmonary Obstructive Disease in The Elderly with History of Smoking and
Exposure of Air Pollution. Medula, 10(2), 257–266.

3. BPH
Dari artikel yang saya pelajari mengenai BPH (Benigna Prostatic hyperplasia) pada
lansia atau yang biasa disebut dengan pembesaran kelenjar prostat terkait usia yang dapat
menyebabkan kesulitan buang air kecil. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH
adalah proses penuaan. Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1. Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma
dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi.
2. Perubahan keseimbangan hormon estrogen – testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan
testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3. Interaksi stroma – epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan
transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4. Berkurangnya sel yang mati Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan
lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5. Teori sel stem Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit.
Gejala pada klien dengan BPH yaitu Derajat I : penderita merasakan lemahnya
pancaran berkemih, kencing tak puas, frekuensi kencing bertambah terutama pada malam
hari, Derajat II : adanya retensi urin maka timbulah infeksi. Penderita akan mengeluh
waktu miksi terasa panas (disuria) dan kencing malam bertambah hebat, Derajat III :
timbulnya retensi total. Bila sudah sampai tahap ini maka bisa timbul aliran refluk ke atas,
timbul infeksi ascenden menjalar ke ginjal dan dapat menyebabkan pielonfritis,
hidronefrosis.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk klien dengan BPH adalah
Analisa urin, pemeriksaan darah lengkap, dan pemeriksaan radiologi. Penatalaksanaan
medis yang umum pada penderita BPH adalah melalui pembedahan (Prostatektomi).
Setelah pembedahan tersebut, klien umumnya mengalami nyeri pasca pembedahan. Untuk
mengurangi nyeri pada klien dapat digunakan terapi relaksasi otot progresif. Menurut
(Potter & Perry, 2006) teknik relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari
ketegangan dan stress. Teknik relaksasi memberikan individu kontrol diri ketika terjadi
rasa tidak nyaman atau nyeri, stress fisik dan emosi pada nyeri.Teknik relaksasi dapat
digunakan. saat individu dalam keadaan sehat atau sakit. Teknik relaksasi dan imajinasi
salah satu teknik yang digunakan dalam menurunkan nyeri pada pasien, dalam penelitian
ini khususnya pada pasien pasca bedah. Teknik relaksasi meliputi meditasi, yoga, Zen,
teknik imajinasi, dan latihan relaksasi progresif (Potter & Perry, 2006). Relaksasi progresif
pada seluruh tubuh memakan waktu sekitar 15 menit. Klien member perhatian pada tubuh,
memperlihatkan daerah ketegangan. Daerah yang tegangdigantikan dengan rasa hangat
dan relaksasi. Latihan relaksasi progresif meliputi kombinasi latihan pernafasan yang
terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot (Potter & Perry, 2006).
Penelitian yang dilakukan oleh (Aprina et al., 2017), menyatakan bahwa terjadi
penurunan skala nyeri dari 5,2 menjadi 3,6. Penurunan skala nyeri setelah dilakukan terapi
relaksasi progresif dikarenakan Latihan relaksasi progresif meliputi kombinasi latihan
pernafasan yang terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi kelompok otot. Klien
mulai latihan bernafas dengan perlahan dan menggunakan diafragma, sehingga
memungkinkan abdomen terangkat perlahan dan dada mengembang penuh. Saat klien
melakukan pola pernapasan yang teratur, perawat mengarahkan klien untuk melokalisasi
setiap daerah yang mengalami ketegangan otot, berfikir bagaimana rasanya, menegangkan
otot sepenuhnya, dan kemudian merelaksasikan otot-otot tersebut. Kegiatan ini
menciptakan sensasi melepaskan ketidaknyamanan dan stres.
Penelitian lain yang sejalan adalah penelitian yang dilakukan oleh (Bachtiar, 2019).
Hasil dari penelitian ini adalah penurunan skala nyeri pada klien BPH. Sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan, terdapat pengaruh pada penurunan intensitas nyeri setelah
dilakukan terapi relaksasi progresif hal ini dikarenakan terapi relaksasi progresif
merupakan gabungan antara relaksasi pernafasan dan latihan otot yang dapat menimbulkan
relaksasi pada pasien sehingga pasien merasa nyaman dan nyeri yang dirasakan berkurang.
Sumber:

Aprina, Yowanda, N. I., & Sunarsih. (2017). Relaksasi Progresif terhadap Intensitas Nyeri
Post Operasi BPH. Jurnal Kesehatan, 8(3), 289–295.
https://jurnal.unimus.ac.id/index.php/MKI/article/download/4509/pdf
Bachtiar, S. M. (2019). Pengaruh Pmr (Progressive Muscle Relaxation) Terhadap Penurunan
Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Op Bph (Benign Prostate Hiperplasia). Media
Keperawatan: Politeknik Kesehatan Makassar, 10(2), 92.
https://doi.org/10.32382/jmk.v10i2.1320

4. Demensia

Dari artikel yang saya pelajari mengenai kausu Dimensia pada lansia merupakan
Penyakit kronis yang banyak ditemukan pada lansia di komunitas akibat faktor penuaan
semua fungsi dan sistem tubuh adalah seperti diabetes mellitus, artritis, gangguan
pendengaran, demensia, masalah jantung dan hipertensi (Anderson, 2011 dan Anderson,
2007). Hal inilah sangat perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan terutama oleh perawat
komunitas dalam mengatasi masalah risiko depresi pada lansia. Demensia adalah sindrom
terjadinya penurunan memori, berpikir, perilaku, dan kemampuan melakukan kegiatan
seharihari pada seseorang. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
demensia merupakan kumpulan gejala yang berlangsung secara progresif yang ditandai
dengan perubahan perilaku, penurunan memori, orientasi, kesulitan dalam berkomunikasi
dan mengambil keputusan sehingga mengakibatkan kegiatan sehari- harinya terganggu.
Demensia akan dimulai secara perlahan dan makin lama makin parah, sehingga kondisi ini
pada awalnya tidak di sadari. Terjadi penurunan dalam ingatan, kemampuan untuk
mengingat waktu, mengenali orang, tempat dan benda.
Gejala awal biasanya adalah kemunduran fungsi kognitif ringan, kemunduran dalam
mempelajari hal-hal baru, ingatan terhadap peristiwa jangka pendek menurun, dan
kesulitan menemukan kata-kata yang tepat (Pieter, Janiwarti, & Saragih, 2011). Penyebab
demensia yaitu kematian sel sel saraf atau hilangnya komunikasi antar sel sel yang ada di
otak. Otak manusia layaknya mesin yang sangat kompleks dan rumit sehingga banyak
faktor kompleks yang mengganggu komunikasi antar sel sel saraf satu dengan sel lainnya.
Hasil penelitian telah ditemukan bahwa faktor yang mempengaruhi demensia yaitu
karena penyalahgunaan zat adiktif yang banyak. Perjalanan penyakit demensia dapat
mempengaruhi psikologisnya, orang yang mengalami demensia cenderung akan
mengalami stress dan gejala ansietas karena hal tersebut lansia akan merasa tidak bisa
melakukan aktivitas apapun dan merasa selalu dianggap sebagai orang yang menyusahkan
untuk orang lain khususnya keluarga. Depresi pada lansia adalah proses patologis, bukan
merupakan proses normal dalam kehidupan. Umumnya orang-orang akan
menanggulanginya dengan mencari dan memenuhi rasa kebahagiaan. Bagaimanapun
lansia cenderung menyangkal bahwa dirinya mengalami depresi. Gejala umumnya banyak
diantara mereka muncul dengan menunjukkan sikap rendah diri dan biasanya sulit untuk di
diagnosis (Iskandar, 2012). Menurut Depkes RI (2007), gejala depresi berbedabeda dari
satu orang ke orang lainnya hal tersebut dipengaruhi oleh beratnya gejala. Depresi
mempengaruhi fisik, perasaan, pikiran dan kebiasaan sehari-hari (perilaku).
Sumber:
Sopyanti, Y. D., Sari, C. W. M., & Sumarni, N. (2019). Gambaran Status Demensia Dan
Depresi Pada Lansia Di Wilayah Kerja Puskesmas Guntur Kelurahan Sukamentri
Garut. Jurnal Keperawatan Komprehensif, 5(1), 26.
https://doi.org/10.33755/jkk.v5i1.125

5. Dekompesasi cordis
Dari artikel yang saya pelajari mengenai kasus Dekompensasi kordis pada lansia
merupakan ketidakmampuan jantung memompa darah dalam jumlah yang cukupuntuk
memenuhi kebutuhan jaringan terhadap oksigen dan nutrisi. Penurunan curah jantung
adalah ketidak adekuatan pompa darah oleh jantung untuk memebuhi kebutuhan
metabolisme tubuh. Penyebabnya antara lain : Penyakit jantung koroner, di mana
pembuluh darah yang memberi pasokan darah ke jantung terhambat oleh lemak yang
menumpuk di dalam pembuluh darah tersebut (aterosklerosis), yang dapat menyebabkan
terjadinya serangan jantung, tekanan darah tinggi, yang meningkatkan upaya jantung serta
dapat menyebabkan gagal jantung seiring dengan berjalannya waktu, kardiomiopati, suatu
kondisi yang memengaruhi otot jantung, gangguan irama jantung (aritmia), di mana irama
jantung tidak regular, kerusakan pada katup jantung atau kondisi lain yang memengaruhi
fungsi dari katup jantung, penyakit jantung bawaan, yang dapat terjadi sejak lahir dan
memengaruhi fungsi normal dari jantung. Penatalaksanaan penyakit dekompensasi kordis
karena penyakit gagal jantung kongestif adalah menurunkan kerja jantung, untuk
meningkatkan curah jantung dan kontraktilitas miokard dan untuk menurunkan retensi
garam dan air (Hudak dan Gallo, 1997). Tirah baring merupakan salah satu cara untuk
menurunkan aktifitas seluruh kebutuhan kerja jantung, volume intravaskuler melalui
induksi deuresis berbaring (Hudak & Gallo, 2002).

Sumber:
Widodo, W. (2016). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Perawat
Tentang Penatalaksanaan Asuhan Keperawatan Pasien Dekompensasi Kordis Di Ruang
ICVCU RSUD Dr.MOEWARDI. (Jkg) Jurnal Keperawatan Global, 1(2), 55–63.
https://doi.org/10.37341/jkg.v1i2.18
6. Depresi

Dari artikel yang saya pelajari mengenai kasus depresi adalah gangguan alam
perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang mendalam dan
berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup. Berbagai masalah yang timbul pada
lanjut usia,
baik masalah fisik dan psikososial. Masalah psikososial yang sering menyertai adalah
depresi. Depresi sering disebut suatu perasaan sedih dan pesimis yang berhubungan
dengan suatu penderitaan. Dapat berupa serangan yang ditujukan pada diri sendiri atau
perasaan marah yang dalam (Nugroho, 2000, dalam Aspiani, 2014, hlm.8). Lanjut usia
yang mengalami depresi tentu akan mengurangi produktifitas dan peran serta dalam
pembangunan bangsa, selain depresi pada lanjut usia adalah menurunnya harapan dan
kualitas hidup pada lanjut usia itu sendiri, serta meningkatkan ratio ketergantungan usia
lanjut (old age ratio dependency). Sehingga diperlukan penanganan serius terhadap
masalah psikologis yang dialami lanjut usia khususnya depresi (Mensos, 2012, dalam
Khana & Kasra, 2012, hlm.67).
Ada beberapa faktor yang menyebabkan lanjut usia mengalami depresi seiring dengan
meningkatnya usia harapan hidup seperti factor fisik yang berhubungan dengan adanya
penyakit, factor psikologis ditandai dengan adanya faktor yang tidak terselesaikan dan
faktor sosial pada usia lanjut yang disebabkan kehilangan orang-orang yang dicintai dan
bahkan kehilangan pekerjaan (Erita, 2014). Tindakan keperawatan melalui asuhan
keperawatan pada lanjut usia dengan depresi diantaranya dengan menggunakan terapi
komplementer. Terapi humor merupakan metode terapi dengan menggunakan humor tawa
untuk membantu individu menyelesaikan masalah, baik dalam bentuk gangguan fisik
maupun gangguan psikologis. Humor dikenal dalam keperawatan sebagai membantu klien
menerima, menghargai, dan mengungkapkan sesuatu yang lucu, dapat ditertawakan, atau
menggelikan dalam upaya membina hubungan, meredakan ketegangan, melepaskan
kemarahan, atau mengatasi perasaan yang menyakitkan. Hal tersebut dapat mengurangi
tingkat stress dan depresi pada individu. Secara psikologis, dapat meredakan kecemasan
dan depresi dengan menghambat impuls yang tidak diterima secara social atau secara
pribadi, dengan memfokuskan pada unsur menggelikan dari sebuah situasi (McCloskey &
Bulecheck, 2000, dalam Kozier, Erb, Berman & Snyder, 2010, hlm.319).
Humor akan menghasilkan tawa yang secara fisiologis dan psikologis akan
berdampak positif. Secara fisiologis dapat membantu memberikan stimulasi dan relaksasi
terbentuk setelah tertawa, yang mengakibatkan otot pernapasan berkembang secara baik,
menurunkan ketegangan otot. Pemberian terapi humor ini dapat diberikan dalam berbagai
bentuk media seperti tayangan humor, cerita lucu, atau meragakan sesuatu yang
menggelikan (Ariana, 2006, dalam Fahruliana, 2011).
Penelitian dengan judul Pengaruh Terapi Humor Terhadap Penurunan Kecemasan
Pada Pasien Pre Operasi dengan General Anestesi di RS Telogorejo Semarang.
Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan tentang efektifitas terapi humor
terhadap penurunan tingkat depresi pada lanjut usia di Panti Wredha Pucang Gading
Semarang. Besarnya efektifitas terapi humor terhadap penurunan tingkat depresi, itu
artinya terapi humor efektifitas terhadap penurunan tingkat depresi pada lanjut usia dan
tingkat depresi mempengaruhi kualitas terapi humor pada lanjut usia di Panti Wredha
Pucang Gading Semarang.
Sumber:
Puspitasari, N., Hartati, E., & Supriyono, M. (2016). Efektifitas Terapi Humor Terhadap
Penurunan Tingkat Depresi pada Lanjut Usia di Panti Wredha Pucang Gading
Semarang. Jurnal Ilmu Keperawatan Dan Kebidanan (JIKK), 1–11. Retrieved from
http://ejournal.stikestelogorejo.ac.id/index.php/ilmukeperawatan/article/view/496/495

7. Fraktur

Dari artikel yang saya pelajari mengenai kasus Fraktur adalah merupakan terputusnya
kontinuitas tulang. Salah satu cara untuk mengembalikan fragmen tulang yang terputus
pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka dengan pendekatan bedah. Menurut
Potter dan Perry (2005), pembedahan atau operasi merupakan pengobatan yang
menggunakan cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh yang akan
ditangani dan pada umumnya dilakukan dengan membuat sayatan serta diakhiri dengan
penutupan dan penjahitan luka. Sayatan atau luka yang dihasilkan merupakan suatu trauma
bagi penderita dan ini bisa menimbulkan berbagai keluhan dan gejala. Akibat dari prosedur
pembedahan pasien akan mengalami gangguan rasa nyaman nyeri (Rampengan, 2014).
Pembedahan dan trauma menyebabkan nyeri yang dapat menimbulkan komplikasi serius
(Kneale & Davis, 2011).
Menurut Prilliana (2014), rasa nyeri menyebabkan perubahan keadaan umum, wajah,
denyut nadi, pernafasan, suhu badan, dan sikap badan. Salah satu metode nonfarmakologi
untuk mengatasi nyeri akut adalah dengan distraksi pendengaran melalui mendengarkan
musik klasik. Musik klasik yang efektif dapat digunakan pada saat distraksi, salah satunya
adalah musik Mozart dari sekian banyak karya musik klasik paling dianjurkan.
Dibandingkan dengan musik klasik yang lain, Mozart mampu merangsang dan
memberdayakan daerah kreatif dan motivatif di otak yang tak kalah penting adalah
kemurnian dan kesederhanaan musik Mozart itu sendiri (Zakiyah, 2015). Apabila nyeri ini
tidak segera diatasi, maka akan menyebabkan ketidaknyamanan, hambatan mobilitas fisik
dan gangguan pola tidur (Nurarif & Kusuma, 2016). Nyeri juga memberikan dampak dapat
meningkatkan kecemasan atau menimbulkan rasa takut, selain itu juga dapat menyebabkan
terjadinya perubahan gaya hidup seperi tidur, nutrisi dan sebagainya (Zakiyah, 2015).
Nyeri menyebabkan perubahan pernafasan dan apabila nafas makin berat dapat
menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan syok, menghambat penyembuhan, respon yang
lebih parah akan mengarah pada ancaman merusak diri sendiri (Fathuddin, 2017).
Musik sebagai pengalihan perhatian terhadap persepsi nyeri melibatkan mekanisme
pendengaran dan mekanisme nyeri. Berdasarkan penelitian 7 orang responden mengalami
penurunan nyeri (negative rank) disebabkan karena dengan terapi musik Mozart, maka
responden akan membuat pasien merasa nyaman, mengalihkan konsentrasinya dari nyeri
post operasi. Kondisi rileks tubuh akan merangsang hormon enkefalin dan endorfin yang
akan menghambat kerja nosiseptor sebagai reseptor nyeri sehingga nyeri tidak distimulus
ke otak. Selain itu, dengan konsentrasi pada music yang didengarkan, tanpa ada gangguan
suara lain, maka korteks serebri akan bekerja pada kegiatan mendengarkan musik agar
sampai ke otak sehingga kerja nosiseptor terganggu oleh kegiatan mendengarkan musik.
Berdasarkan penelitian 6 orang responden yang tidak mengalami penurunan tingkatan
nyeri atau disebut ties (tetap) disebabkan kurangnya fokus dalam terapi musik Mozart,
sehingga tidak dapat menyebabkan tubuh menjadi rileks, masih ada gangguan suara dari
pengunjung rumah sakit sehingga korteks serebri harus bekerja terbagibagi mendengarkan
berbagai macam suara sehingga hambatan nosiseptor tidak berlangsung dengan baik yang
pada akhirnya nyeri tidak dapat dialihkan secara maksimal sehingga skala nyeri pasien
hanya menurun 1 angka akan tetapi tidak dapat mengubah tingkatan nyeri. Jadi, tidak
terjadinya penurunan tingkat nyeri disini bukan berarti terapi musik Mozart tidak
memberikan pengaruh sama sekali pada responden, akan tetapi penurunan skala nyeri
tidak terlalu signifikan sehingga masih berada dalam tingkatan nyeri yang sama, misalnya
yang sebelum terapi skala 5, setelah terapi skala 4, secara skala terdapat penurunan namun
secara tingkatan tetap nyeri sedang. Dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh terapi musik
Mozart pada pasien post operasi fraktur di RSI Sakinah Kabupaten Mojokerto

Sumber:
Rina Wahyu Ningtias, Hj Lilik Ma’rifatul Azizah, S.Kep.Ns., M.Kes, Etik Kusniyati, SST.,
M. K. (2018). 済無 No Title No Title. Pengaruh Terapi Musik Mozart Terhadap Tingkat
Nyeri Pada Pasien Post Operasi Fraktur Di Rsi Sakinah Kabupaten Mojokerto. The
Effect of Mozart’s Music Therapy on Pain Level In Patients Post Fracture Operation at
RSI Sakinah Mojokerto District.
8. Masalah spiritual

Dari artikel yang saya pelajari mengenai kasus masalah spiritual pada lansia dapat
dikatakan Dalam kehidupan lansia, tentunya tidak lepas dari hubungan dengan lingkungan
sekitarnya. Hubungan dengan orang lain juga diperlukan oleh lansia untuk menjaga
keharmonisan. Tidak hanya itu, lansia juga membina relasinya dengan Tuhan Yang Maha
Esa. Semua hubungan itu termasuk dalam lingkup spiritual lansia. Spiritual merupakan
konsep dua dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal
adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha Tinggi yang menuntun kehidupan
seseorang. Dimensi horizontal adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, orang lain
dan dengan lingkungan. Dengan demikian, spiritual merupakan bagian esensial dari
keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang (Tamami, 2011 : 19). Terdapat
hubungan yang signifikan antara status spiritual lansia dengan gaya hidup lansia. Hal ini
menunjukkan bahwa status spiritual yang sehat akan memiliki gaya hidup yang sehat pula.
Aspek spiritual juga memungkinkan para lansia untuk mendekatkan dirinya kepada Tuhan
sebagai wujud kepasrahan akan keadaannya sekarang. Kehidupan keagamaan yang matang
juga dapat disebut sebagai jembatan untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Syam (2010) melakukan penelitian berjudul “Hubungan Antara Kesehatan Spiritual


Dengan Kesehatan Jiwa Pada Lansia Muslim Di Sasana Tresna Werdha KBRP
JakartaTimur”. Penelitian tersebut menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
antara kesehatan spiritual dan kesehatan jiwa pada lansia. Amun disisi lain, kesehatan jiwa
lansia menjadi salah satu hal yang perlu diperhatikan terutama terkait perawatan dalam
menghadapi suatu penyakit kronis misalnya. Keterbatasan kemampuan yang dimiliki
lansia menyebabkan lansia membutuhkan seseorang khususnya keluarga untuk membantu
dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhannya. Kebutuhan rohani merupakan salah satu
kebutuhan penting lansia. Kebutuhan rohani dapat diwujudkan dalam bentuk kegiatan
keagamaan seperti pengkajian. Kegiatan keagamaan merupakan salah satu bagian – bagian
dari agama yang masuk dalan aspek spiritual. Permasalahan yang dihadapi lansia
bermacam-macam terutama ketika ditinjau dari lingkungan yang berbeda. Lingkungan
yang dimaksud adalah lingkungan panti dan juga lingkungan rumah.

Berdasarkan hasil penelitian Destarina, Agrina, Dewi (2014). Peneliti ini


mendeskripsikan kesehatan spiritual lansia berdasarkan tempat tinggal mereka yaitu di
lingkungan panti dan di lingkungan rumah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua
partisipan memiliki harapan terkait dengan kehidupannya. Ketiga partisipan yang tinggal
di rumah memiliki kesamaan dalam salah satu harapan mereka, yaitu agar diberikan
kesehatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Diterangkan bahwa kesehatan itu lebih penting
daripada harta benda. Salah satu alasan mengapa kesehatan menjadi prioritas utama adalah
agar lansia tetap dapat melakukan aktivitasnya sehari-hari seperti bekerja sebagai petani
dan pergi ke ladang. Partisipan yang tinggi di panti memaknai hidup itu dengan
berpendapat masih adanya roh yang bersemayam didalam tubuh manusia, kemudian yang
lain menjelaskan bahwa hidupnya itu tidak selalu puas karena masih merasakan keluhan,
seperti ketika sedang sakit, lalu terdapat pula yang mengaitkan hidupnya dengan doa dan
pengharapan kepada Tuhan. Doa dan harapannya adalah supaya diberikan umur panjang
dan tidak diberi sakit penyakit.

Sumber:
Britani, C. W., Ranimpi, Y. Y., & Nusawakan, A. W. (2018). Kesehatan Spiritual Lanjut
Usia Di Getasan Dan Panti Wredha Salib Putih Salatiga. Link, 13(2), 12.
https://doi.org/10.31983/link.v13i2.2841
9. KEP

Dari artikel yang saya pelajari mengenai kasus KEP pada lansia dapat disebabkan
karena penurunan daya tahan tubuh lansia yang mudah terserang penyakit dan
menyebabkan kualitas hidup lansia menjadi rendah. Masalah gizi dan penyakit yang
dipengaruhi oleh makanan yang sering kali menimpa lansia adalah berkaitan dengan
masalah kekurangan dan kelebihan gizi (Maryam dkk, 2008). Perubahan kebutuhan dan
asupan gizi harus diantisipasi dengan pemberian nutrisi secara tepat sehingga tidak
menimbulkan masalah gizi atau memperburuk kondisi fisik lansia. Faktor-faktor yang
menyebabkan kurang gizi pada lansia adalah keterbatasan ekonomi keluarga, penyakit-
penyakit kronis, hilangnya gigi, kesalahan dalam pola makan, kurangnya pengetahuan
tentang gizi dan cara pengolahannya, serta menurunnya energi (Maryam dkk, 2008).
Kondisi gizi kurang tanpa disadari karena gejala yang muncul hampir tak terlihat sampai
usia lanjut tersebut jatuh dalam kondisi gizi buruk (Depkes, 2003).
Kemunduran biologis, adaptasi mental yang menyertai proses penuaan seringkali
menjadi hambatan bagi para usia lanjut. Masalah fisiologis seperti terjadi gangguan
pencernaan penurunan sensitivitas indera perasa dan penciuman, malabsorpsi nutrisi serta
beberapa kemunduran fisik lainya dapat menyebabkan rendahnya asupan zat gizi.
Kecukupan zat gizi pada lansia lebih rendah dari dewasa, hal ini disesuaikan dengan
perubahan fisiologis yang terjadi seiring dengan bertambahnya usia, berkurangnya nafsu
makan berujung pada penurunan asupan makanan (Arisman, 2009). Kondisi kesehatan
pada tahap usia lanjut sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas asupan gizi. Gizi yang
baik akan berperan dalam upaya penurunan prosentase timbulnya penyakit dan angka
kematian di usia lanjut (Sumiyati, 2007).
Ketidakselektifan dalam memilih makanan yang dikombinasi dengan melemahnya
daya serap saluran pencernaan, memicu kekurangan vitamin dan mineral yang akan
berpengaruh terhadap kondisi kesehatan dan status gizi mereka (Arisman, 2009). Pada saat
sekarang ini lansia kurang sekali mendapat perhatian yang kurang serius di tengah
masyarakat terutama mengenai kecukupan gizi pada mereka. Apabila hal ini dibiarkan
terus menerus, lansia dapat menjadi beban bagi keluarganya, masyarakat, bahkan bagi
negara (Sativa, 2010). Asupan makanan yang memengaruhi lansia adalah proses
degeneratif pada saluran cerna di mana saluran ceran mengalami perubahan mulai dari
rongga mulut sampai ke usus. Berkurangnya asupan zat gizi terjadi akibat sedikitnya
jumlah makan yang dimakan serta berkurangnya daya cerna, daya serap, dan distribusi zat
gizi dalam tubuh lansia. Karena kebutuhan lansia terhadap energi menurun, maka bila
disertai dengan kelebihan asupan energi dari makanan dapat pula timbul masalah gizi lebih
berupa obesitas (Depkes, 2003). Keadaan ini disebabkan karena pola konsumsi yang
berlebihan terutama makanan yang banyak mengandung lemak, protein, dan karbohidrat
yang tidak sesuai dengan kebutuhan, juga disebabkan karena berkurangnya aktivitas fisik
(Almatsier dkk, 2011).
Lansia yang memiliki status gizi normal dengan sendirinya akan memiliki derajat
kesehatan yang baik pula. Seseorang berhasil mencapai usia lanjut, maka salah satu upaya
utama adalah mempertahankan atau membawa status gizi yang bersangkutan tetap baik.
Status gizi seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain tingkat pendapatan,
pengetahuan gizi yang dimiliki, serta budaya setempat. Pola kebudayaan mempengaruhi
orang dalam memilih pangan dalam hal pangan apa yang harus diproduksi, bagaimana
pangan tersebut diolah, disalurkannya, disiapkan dan disajikan (Suhardjo, 1986). Untuk
mencapai kondisi tersebut diperlukan makanan yang mengandung nilai gizi cukup dan
seimbang serta mengikuti pola hidup sehat (Depkes, 2003). Perubahan status gizi pada
lansia disebabkan perubahan lingkungan maupun status kesehatan lansia.

Sumber:
Mainake, M. B. (2012). Hubungan Antara Tingkat Asupan Energi Dengan Status Gizi Lansia
Di Kelurahan Mapanget Barat Kecamatan Mapanget Kota Manado. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado.
10. Pneumonia

Dari artikel yang saya pelajari mengenai kasus pneumonia hipostatik disebabkan
karena terus-menerus berada dalam posisi yang sama. Gaya tarik bumi menyebabkan
darah tertimbun pada bagian bawah paru-paru, dan infeksi membantu
timbulnya pneumonia. Pneumonia adalah radang paru-paru yang dapat disebabkan oleh
bermacam faktor seperti bakteri, virus, jamur atau benda asing yang masuk ke saluran
atau parenkim paru. Sebagai contoh, benda asing seperti makanan atau cairan lambung
yang masuk ke paru-paru pada saat tersedak dapat menyebabkan infeksi paru yang kita
sebut dengan pneumonia aspirasi. Terjadinya pneumonia pada usia lanjut dipengaruhi
oleh faktor bakteri atau virus atau protozoa yang menginvasi. Selain itu, munculnya
pneumonia juga dipengaruhi oleh penurunan daya tahan tubuh dan penurunan mekanisme
pertahanan saluran napas. Hal ini berlanjut pada terbentuknya secret yang mengandung
banyak bakteri atau virus atau parasit yang kemudian turun sampai ke organ terkecil paru
dan menyebabkan peradangan dan infeksi saluran nafas bagian bawah.
Gejala pneumonia yang paling utama adalah demam tinggi yang menyerang. Namun,
jarang ditemukan demam pada pneumonia pada usia lanjut. Gejala pneumonia pada usia
lanjut lainnya dapat dilihat dari pola makan. Penurunan nafsu makan drastis dalam
beberapa hari belakangan mungkin merupakan pertanda pneumonia. Gejala lain adalah
batuk berdahak (dahak biasa berwarna kekuningan atau kehijauan) disertai sesak napas,
pernapasan cuping hidung, dan penggunaan otot-otot pernapasan dada berlebihan.
Kondisi pneumonia yang lebih lanjut dapat menyebabkan perubahan kesadaran.
Penderita dapat menjadi cenderung tidur atau meracau dan gelisah. Kewaspadaan care
giver (seseorang yang merawat usia lanjut) di rumah sangatlah penting. Pengetahuan
idetifikasi dini adanya perubahan pola pada orang usia lanjut yang dirawat akan dapat
membantu pengobatan lebih dini. Bila pada orang usia lanjut menemukan gejala-gejala
seperti di atas, maka segeralah periksakan ke dokter. Pneumonia pada usia lanjut juga
cenderung mengalami penurunan aktivitas gerak fisik dan asupan makan yang tidak
lengkap. Oleh sebab itu, kelompok usia ini sangat rentan terhadap berbagai penyakit. 
Pneumonia atau infeksi paru merupakan salah satu penyebab terbanyak infeksi berat pada
usia lanjut yang dapat mengakibatkan kematian. Pengobatan diberikan berdasarkan
penyebab terjadinya infeksi berupa antibiotik, cairan yang cukup, serta kadar asupan
nutrisi yang cukup.
Pengenalan adanya infeksi pada populasi usia lanjut berbeda dari usia muda. Hal ini
dikarenakan gejala klasik yang ditimbulkan oleh infeksi seperti demam kadang tidak
muncul pada populasi usia ini. Bagaimana pneumonia pada usia lanjut ini dicegah?
Udara adalah faktor yang potensial dalam menyebarkan penyakit Pneumonia. Oleh sebab
itu, yang paling utama adalah menghindari paparan rokok, polusi udara, dan tempat
keramaian. Lokasi-lokasi tersebut berpotensi menyebabkan penularan bakteri atau virus
atau parasit melalui udara. Penderita Pneumonia dan ISPA.
Jika kontak dengan penderita Infeksi Saluran Nafas Atas (ISPA), maka orang-orang
usia lanjut harus lebih hati-hati dan menggunakan masker. Orang yang menderita ISPA 
sebaiknya memperhatikan etika batuk yang baik pada saat batuk atau bersin sehingga
tidak menular kan ke orang lain. Membiasakan konsumsi nutrisi yang cukup tentu
dibutuhkan untuk menjaga stabilisasi daya tahan tubuh. Pencegahan Pneumonia
dengan vaksinasi. Populasi usia lanjut saat ini telah disarankan untuk mendapatkan
vaksinasi atau imunisasi Pneumonia. Pemberian vaksin atau imunisasi adalah 1 kali
seumur hidup pada usia ≥ 60 tahun dan diberikan 2 kali seumur hidup pada pasien
dengan usia < 60 tahun. Vaksinasi atau imunisasi ini mencegah terjadinya infeksi yang
berat sehingga menurunkan tingkat mortalitas (kematian) pada pasien usia lanjut yang
terkena pneumonia.
Sumber:

http://awalbros.com/penyakit-dalam/pneumonia-pada-usia-lanjut/

Narasumber: dr.Irma Wahyuni, SpPD. Dokter Spesialis Penyakit Dalam Rumah Sakit


Awal Bros Pekanbaru

11. Artritis

Reumatoid Arthritis merupakan salah satu penyakit auto imun yang berupa inflamasi
arthritis pada pasien dewasa, seseorang yang menderita penyakit Reumatoid Arthritis
akan mengalami gejala berupa rasa nyeri pada bagian synovial sendi, sarung tendon, dan
akan mengalami penebalan akibat radang yang diikuti oleh erosi tulang dan destruksi
tulang disekitar sendi (Singh et al.,2016 dalam Nurfatimah et al., 2019). Masalah utama
yang muncul adalah Nyeri pada lutut kaki sebelah kanan dan kiri. Sehingga dapat diambil
diagnose keperawatan Nyeri akut. Dengan demikian sebagai praktikan yang berdasar
teori keperawatan dan buku referensi, saya memberikan pengetahuan mengenai
intervensi manajemen nyeri non farmakologi dengan terapi kompres hangat jahe. Dalam
melakukan intervensi tersebut kemungkinan masalah dapat muncul yaitu
ketidakmampuan lansia untuk mengingat apa yang telah diajarkan sehingga tidak bisa
mengulangi apa yang telah diajarkan secara mandiri. Apabila masalah tersebut muncul
saya akan melakukan intervensi lain yaitu dengan cara memberikan pendidikan dan
demonstrasi kepada keluarga dengan pasien dalam melakukan terapi kompres hangat
jahe, selain itu bisa juga kolaborasi dengan tenaga medis lain untuk memberikan obat
analgetik.
Tindakan pertama yang saya lakukan adalah mengajarkan pasien untuk mengatasi
nyeri dengan manajemen nyeri non farmakologi yaitu dengan melakukan kompres hangat
jahe. Pasien dapat memahami apa yang sudah diajarkan dan dapat mempraktekannya.
Kompres jahe merupakan pengobatan tradisional atau terapi alternative untuk
mengurangi nyeri Reumatoid Arthritis. Kandungan enzim siklo oksigenasi pada kompres
jahe hangat dapat mengurangi peradangan pada penderita Reumatoid Arthritis. Jahe juga
memiliki efek farmakologis yaitu rasa panas dan pedas yang dapat meredakan rasa nyeri,
kaku, dan spasme otot atau terjadinya vasodilatasi pembuluh darah, manfaat yang baik
akan tercapai dalam waktu 30 menit sesudah pengopresan. Pengompresan dengan jahe ini
dapat dilakukan selama 15 menit dengan 3 kali pemberian selama 1 minggu (Nurfatimah
et al., 2019). Setelah meminta pasien untuk mengulangi prosedur tersebut, saya
melakukan evaluasi keefektifan control nyeri dengan menggunakan manajemen nyeri
terapi kompres hangat jahe. Berdasarkan apa yang disampaikan oleh pasien, cara tersebut
dirasa cukup memberikan efek terhadap penurunan skala nyeri dan memberikan efek
nyaman serta rileks.
Sumber :
Nurfatimah, Audina, & Ramadhan, K. (2019). Penerapan Teknik Kompres Hangat Jahe
terhadap Pengendalian Level Nyeri dengan Kasus Rheumatoid Artritis. Jurnal
Kesehatan, 12(1), 151–159. http://ejournal.poltekkesternate.ac.id/ojs
12. Diabetes melitus

Pada hari senin, 30 November 2020 saya melakukan pengkajian pada lansia dengan hasil
Klien megeluh sering buang air kecil, penurunan berat badan, mudah lapar dan haus, dan
sering cepat lelah dan lemas. BAB sering kali susah. Klien mengatakan mengatasi keluhan
yang muncul dengan beristirahat saja dan tidak mengkonsumsi obat – obatan. Klien belum
mengetahui tentang keadaan atau penyakit yang dialami.
Diabetes Melitus Type 2 merupakan tipe diabetes yang paling sering ditemukan
didunia. DM tipe 2 meliputi 90% hingga 95% dari semua populasi DM1. DM Tipe 2
Disebut juga DM tidak tergantung insulin yang terjadi akibat penurunan sensitivitas
terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin2.
Pengelolaan terapeutik yang teratur melalui perubahan gaya hidup pasien yang tepat,
tegas dan permanen sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi DM Tipe 2.
Pengelolaan DM Tipe 2 di antaranya adalah pembatasan diet, peningkatan aktivitas fisik,
regimen pengobatan yang tepat, kontrol medis teratur dan pengontrolan metabolik secara
teratur melalui pemeriksaan labor3 . Lebih lanjut menyatakan bahwa kepatuhan pasien
DM terhadap terapi yang telah diindikasikan akan memberikan efek terapeutik yang positif
(therapeutic compliance), dan sebaliknya, pasien DM yang tidak mengikuti regimen
terapeutik yang telah diindikasikan dapat menimbulkan kegagalan pelaksanaan terapi
(noncompliance) seperti keterlambatan terapi, menghentikan terapi dan tidak mengikuti
terapi dengan tepat.
Sejalan dengan penelitian di atas, penelitian Rahmawati, Setiowati, dan Solehati
(2015) juga membuktikan bahwa dukungan keluarga yang digambarkan dalam empat
dimensi yaitu dimensi empati, dorongan, fasilitatif dan partisipasi secara signifikan
memberikan pengaruh sebesar 40,3% terhadap kualitas hidup pasien DM Tipe 2 di wilayah
kerja Puskesmas Situ Kabupaten Sumedang Utara Kabupaten Sumedang. Oleh karena itu,
pemahaman tentang pelaksanaan terapi DM Tipe 2 perlu ditingkatkan tidak hanya bagi
penderita saja, namun juga bagi keluarga terdekat yang manjadi care taker dari penderita
DM Tipe 2 (Rahwamati, 2015).

Rahmawati, F., Indriansari, A., & Muharyani, P. W. (2018). Upaya Meningkatkan Dukungan
Keluarga Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 Dalam Menjalankan Terapi Melalui
Telenursing Fuji Rahmawati , 2 Antarini Idriansari , 3 Putri Widita Muharyani Abstrak
PENDAHULUAN Diabetes Mellitus ( DM ) Tipe 2 merupakan tipe diabe. Artikel
Penelitian, 5(2355), 1–8.
https://ejournal.unsri.ac.id/index.php/jk_sriwijaya/article/view/7186

13. Hipertensi

Pada hari Senin, 7 Desember 2020 saya melakukan pengakajian terhadap lansia
dengan hipertensi dengan hasil lansia jika sakit hanya membeli obat di warung, lansia
jarang pergi ke pelayanan kesehatan, memiliki riwayat hipertensi, lansia susah untuk tidur
di malam hari.
Hipertensi adalah salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas di Indonesia,
sehingga tatalaksana penyakit ini merupakan intervensi yang sangat umum dilakukan di
berbagai tingkat fasilitas kesehatan. Pedoman Praktis klinis ini disusun untuk memudahkan
para tenaga kesehatan di Indonesia dalam menangani hipertensi terutama yang berkaitan
dengan kelainan jantung dan pembuluh darah.
Menurut data WHO, di seluruh dunia sekitar 972 juta orang atau 26,4% orang di
seluruh dunia mengidap hipertensi, angka ini kemungkinan akan meningkat menjadi
29,2% di tahun 2025. Dari 972 juta pengidap hipertensi, 333 juta berada di negara maju
dan 639 sisanya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia (Yonata, 2016).
Penyakit terbanyak pada usia lanjut berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 adalah
hipertensi. dengan prevalensi 45,9% pada usia 55-64 tahun, 57,6% pada usia 65,74% dan
63,8% pada usia ≥ 75 tahun (Infodatin Kemenkes RI, 2016).
Menurut data Riskesdas Provinsi Jawa Timur prevalensi penyakit hipertensi mencapai
26,2%. Prevalensi penyakit hipertensi tertinggi terdapat pada kelompok usia ≥ 75 tahun
yaitu 62,4%. Prevalensi hipertensi di kota Surabaya mencapai 22,0% (BPPK Kemenkes,
2013).
Peningkatan tekanan darah yang berlangsung dalam jangka waktu lama (persisten)
dapat menimbulkan kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (penyakit jantung
koroner) dan otak (menyebabkan stroke) bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat
pengobatan yang memadai. Penyakit hipertensi dapat menyebabkan berbagai komplikasi.
Hipertensi mencetuskan timbulnya plak aterosklerotik di arteri serebral dan arteriol, yang
dapat menyebabkan oklusi arteri, cedera iskemik dan stroke sebagai komplikasi jangka
panjang (Yonata, 2016).
Komplikasi hipertensi menyebabkan sekitar 9,4 kematian di seluruh dunia setiap
tahunnya. Hipertensi menyebabkan setidaknya 45% kematian karena penyakit jantung dan
51% kematian karena penyakit stroke. Kematian yang disebabkan oleh penyakit
kardiovaskuler, terutama penyakit jantung koroner dan stroke diperkirakan akan terus
meningkat mencapai 23,3 juta kematian pada tahun 2030 (Infodatin Jantung, 2014).
Kelompok lansia atau dikenal juga dengan sebutan Pos Pelayanan Terpadu
(Posyandu) Lanjut Usia atau Pos Pembinaan Terpadu (Posbindu) adalah suatu wadah
pelayanan kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM) untuk melayani penduduk
lansia dengan menitikberatkan pelayanan kesehatan pada upaya promotif dan preventif.
Jumlah Posyandu Lansia terbanyak berada di Provinsi Jawa Timur yaitu berjumlah 54.522
Posyandu Lansia (Direktorat BUKD, Kemenkes RI, 2015).
Tatalaksana hipertensi dapat dilakukan dalam dua kategori yaitu non farmakologi dan
secara farmakologis. Upaya non farmakologis adalah dengan menjalani pola hidup sehat
seperti menjaga berat badan, mengurangi asupan garam, melakukan olahraga, mengurangi
konsumsi alkohol dan tidak merokok. Terapi farmakologis adalah tatalaksana hipertensi
menggunakan obat (Ann et al, 2015).
Zaenurrohmah, D. H., & Rachmayanti, R. D. (2017). Relationship Between Knowledge
and Hypertension History with Blood Pressure Control in Elderly. Jurnal Berkala
Epidemiologi, 5(2), 174. https://doi.org/10.20473/jbe.v5i22017.174-184

Anda mungkin juga menyukai