02 Sejarah Pendidikan Indonesia
02 Sejarah Pendidikan Indonesia
”Engkau hai pemuda pemudi yang ada disini sekarang mengerjakan investment.
Kerjakanlah pekerjaanmu itu sebaik-baiknya.
Kerjakanlah sebaik-baiknya oleh karena apa yang kau kejar sekarang ini ialah ilmu,
dan ilmu itu bukan untukmu sendiri,
tetapi ialah untuk anak cucumu,
untuk bangsa Indonesia,
untuk rakyat Indonesia,
untuk tanah air Indonesia,
untuk negara Republik Indonesia…”
I. Pendidikan Era Kolonialisme Belanda : Usaha Mencetak Pegawai Administrasi Rendahan Kekuasaan
Kolonial Belanda
”Sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan
penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam
dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah.”
Pendidikan formal mulai hadir di Indonesia pada awal 20 (pemberlakuan Politik Etis : 1900-1942) ketika
kolonialis Belanda mengeluarkan kebijakan Politik Etis1. Hadirnya pendidikan di negeri Indonesia yang
terjajah saat itu, sebetulnya merupakan buah dari desakan perubahan politik dagang kolonial yang bersifat
monopolistik menjadi politik kapital dagang industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan
swastanisasi dari borjuis–borjuis yang sedang berkembang di negara tersebut. Pengusaha–pengusaha Belanda
yang masuk ke Indonesia tersebut mengalami problem tenaga kerja secara fundamental, yaitu lemahnya
tenaga produktif di Indonesia. Maka mulailah muncul sekolah–sekolah walaupun masih diskriminatif dalam
penerimaan siswanya. Bagi pemerintahan Belanda, Politik Etis merupakan politik balas jasa terhadap negara
jajahannya, Indonesia.
Melalui pendidikan tersebut, pihak kolonial mengharapkan terciptanya tenaga kerja–tenaga kerja terdidik
sesuai dengan keinginan laju ekspansi modal swasta dari Belanda. Pendidikan dalam Politik Etis memiliki
kepentingan untuk mencetak tenaga administrasi rendahan dari golongan pribumi yang mampu
menggantikan posisi tenaga kerja dari negeri Belanda. Dengan demikian biaya lebih murah akan menjadi
keunggulan komparatifnya.
Sejak saat itulah mulai muncul sekolah–sekolah yang memberikan sentuhan ilmu pengetahuan kepada
tenaga–tenaga kerja (pribumi), meskipun tidak sepenuhnya. Sekolah-sekolah yang bermunculan pada masa
1
Mengacu pada Pidato Pembukaan Parlemen Belanda oleh Ratu Wilhelmina (yang pada saat itu
baru naik tahta) pada 17 September 1901
Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 1
Politik Etis ini sejatinya tidak lebih dari usaha pemerintah Kolonial untuk menciptakan tenaga kerja dari
golongan pribumi yang dapat diupah murah dan mampu menggantikan posisi tenaga kerja dari bangsa
eropa,.
Tujuan dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah guna menghasilkan
tenaga birokrat (sesuai dengan jenjang pendidikannya) mengisi jabatan-jabatan teknis, pos-pos administrasi
didalam pabrik-pabrik maupun perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda sejak terjadinya sistem Tanam
Paksa.
Tahun 1900 berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa. Pada tahun 1903 mulai
didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang
kemudian dilanjutkan dengan program Vervolg School (Sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2
tahun. Sekolah semacam ini lalu dilanjutkan di tahun-tahun berikutnya, misalnya Meer Uitgebreid Leger
Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP dan Algemeene Middelbare
School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA, Eerste Klass Inlandsche (sekolah bumiputera angka
satu) untuk anak-anak priayi dan orang-orang ”berada”, serta Tweede Klass Inlandsche Scholen (sekolah
bumiputera angka dua) bagi anak-anak rakyat kebanyakan. Selain itu berdiri pula sekolah-sekolah lanjutan
seperti Hollandsche Inlandsche School (HIS), Hollandsche Burgerscholen (HBS), School Voor Inlandsche
Ambtenaren (OSVIA). Dalam prakteknya sekolah-sekolah tersebut sangatlah diskriminatif, termasuk dalam
hal penerimaan peserta didik. Selain memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, sekolah yang ada
hanya diperuntukkan bagi kalangan ningrat-bangsawan atau dari kalangan para “priyayi” (pangreh praja
atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda). Bagi rakyat biasa terpaksa tidak dapat memasukkan anak-
anaknya ke sekolah-sekolah tersebut, atau paling tidak terpaksa mengambil alternatif lain, misalnya
memasukkan anak-anaknya ke pondok pesantren.
Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga administrasi bagi kelangsungan modal jajahannya di Hindia
Belanda, sejak tahun 1864, Belanda telah meng-introduksi sebuah program ujian yang disebut Klein
Ambtenaars’Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat
diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa program untuk menciptakan
birokrat rendahan ini cukup menonjol, di tahun 1900 model serupa diperkenalkan oleh pemerintah kolonial
Belanda melalui sekolah: Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang
dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah bagi kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan
kuat bahwa kegiatan pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik pemerintah kolonial Belanda,
memuluskan berkembang-biaknya kapital di bumi Hindia-Belanda.
Belanda dengan sengaja menelantarkan pendidikan rakyat, agar rakyat tetap mau menggarap sawah dan
tetap mau bilang “nun inggih” pada tiap perintah yang diberikan padanya. Pemerintah Hindia Belanda hanya
bertindak sesuai dengan watak setiap kolonialis, yaitu membiarkan rakyat jajahannya berdegenerasi menjadi
Ketika pengetahuan dan kesadaran baru tumbuh berkembang didalam cara pikir sebagain kaum pelajar bumi
putera, kaum bumi putera mulai menyusun perlawanan terhadap penindasan pemerintah kolonial
Belanda. Hakekat pendidikan yang memiliki tujuan untuk memajukan taraf berpikir rakyat agar mampu
merubah keadaan diri dan lingkungannya, serta untuk memajukan budaya-nya, menemukan arasnya. Bibit-
bibit kesadaran untuk menjadi bangsa yang merdeka seperti bangsa lain kemudian tumbuh menjadi falsafah
bagi kemunculan sekolah-sekolah partikelir (swasta) yang didirikan oleh kaum bumi putera. Mereka
mendirikan sekolah-sekolah partikelir atau sekolah “liar” yang merupakan sekolah yang tidak diakui oleh
lembaga manapun, dan biasanya didirikan oleh para anggota idealis dari intelegensia yang tidak ingin bekerja
untuk pemerintahan kolonial3.
Keberadaan sekolah-sekolah partikelir tersebut semakin meningkat ketika ekonomi paska Perang Dunia I dan
depresi ekonomi hebat 1930 yang mengakibatkan belanja (subsidi) pemerintah terhadap sektor pendidikan.
Hal ini membuat biaya sekolah menjadi tinggi, memaksa orang-orang Hindia untuk mengalihkan minat
bersekolahnya ke sekolah-sekolah “liar” (Ingleson, 1979 : 205). Disisi yang lain, hampir tanpa kecuali dapat
dikatakan bahwa sekolah “liar” umunya bersifat nasionalistis dan antikolonial. Sekolah didirikan oleh
perkumpulan dan tokoh pergerakan yang mengutamakan jalan pendidikan pergerakan mereka. Oleh sebab
itu, banyak didirikan berbagai kursus bebas mulai dari kursus memberantas huruf, mengetik, sampai dengan
kursus politik4. Jumlah sekolah “liar” itu pada akhir 1930-an diperkirakan sekitar 2.200 dengan jumlah siswa
142.000. Sekolah-sekolah liar yang terkenal ialah yang tergabung dalam kelompok sekolah Taman Siswa yang
didirikan oleh Suwardi Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara)5
”Obor Pencerahan” itu pun tiba, kemudian lahirlah generasi yang memiliki kesadaran nasional-kebangsaan,
dan ikut ambil bagian dalam perjuangan pembebasan rakyat pribumi. Kaum muda yang telah tercerahkan,
yang mengenyam pendidikan dari sekolah-sekolah tersebut mulai melakukan penentangan terhadap penjajah
pemerintah Belanda, dan bersama rakyat diberbagai daerah melakukan aksi perlawanan rakyat. Muncullah
tokoh–tokoh perlawanan dari berbagai daerah, yang kelak akan mampu membawa Indonesia merdeka dari
penjajahan yang telah diderita selama ratusan tahun.
Kolonialisme memang selalu menggunakan keterbelakangan, kebodohan, dan mentalitas inlander guna
menjaga kelangsungan sistim penghisapannya. Kerasnya penghisapan dan penindasan kolonial pemerintah
Belanda terhadap rakyat pribumi semakin menyulut semangat perjuangan pembebasan rakyat diseluruh
Nusantara, tidak terkecuali kalangan kaum terdidik-terpelajar. Melalui pendidikan, kalangan pribumi
akhirnya mampu memahami kondisi mereka yang tertindas dan mulai menyusun perlawanan terhadap
penindas tersebut. Perlawanan rakyat indonesia yang dulunya hanya bersifat lokal, tidak terorganisir secara
modern, dan tidak berideologi telah berubah secara kualitatif dan kuantitatif dimana–mana muncul secara
massif dan menasional perlawanan rakyat serta organisasi–organisasi modern, revolusioner yang digerakkan
oleh pemuda dan pemudi Indonesia yang telah mengenyam pendidikan pemberian penjajah belanda.
Muncullah tokoh–tokoh perlawanan dari berbagai daerah yang pada akhirnya mampu membawa Indonesia
merdeka dari penjajahan yang telah diderita selama ratusan tahun.
Untuk memutus mata-rantai itu penindasan, bangsa ini membutuhkan kaum muda yang progressif, yang
sanggup menjadi ”obor” pencerahan serta pembebasan demi kemajuan bangsanya.
2
Sitisoemandari Soeroto, Kartini sebuah Biografi, Djambatan, 2001, Hal 124
3
Van Niel, 1970 : 219-220 dalam Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa : Geneologi Intelegensia Muslim
Abad Ke-20
4
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V : Zaman
Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Jakarta : Balai Pustaka, 2008
5
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa : Geneologi Intelegensia Muslim Abad Ke-20, 2005:226
Tahun 1945, dimulai lah peletakkan dasar-dasar pendidikan nasional. Walaupun segalanya masih serba
terbatas, pendidikan saat itu digratiskan. Uang SPP sama sekali ditiadakan.Bung Karno pun menekankan
bahwa dalam rangka membangun negara sosialis Indonesia, tidak dibenarkan adanya otonomi 100% untuk
perguruan tinggi-perguruan tinggi.
Untuk mendukung tujuan tersebut, pemerintah memberlakukan UU No 4 tahun 1950 jo UU No 12 tahun 1954
untuk mengatur sistem pendidikan nasional. Kemudian guna lebih meningkatkan mutu pendidikan,
pemerintah mengambil langkah langkah strategis lainnya yakni mendirikan universitas-universitas disetiap
provinsi.
Pendirian perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 1945 dimulai dengan dibentuknya Badan Perguruan
Tinggi Republik Indonesia (BPTRI) di Jakarta. Namun keberadaannya sempat berpindah sementara
(dipindahkan ke Klaten) oleh karena Agresi Militer Belanda pada akhir 1945. Akhirnya, setelah Jakarta
kembali berhasil diambil alih pada awal 1950, pemerintah mengembalikan BPTRI ke Jakarta dan
menggabungkannya dengan Unibersiteit van Indonesie, dan memberinya nama baru Universiteit Indonesia
(UI). Selain itu, pada 19 Desember 1949 pemerintah Indonesia telah mendirikan Universitas Gajah Mada
(UGM). Paska itu, pada 10 November 1954, Bung Karno melakukan nasionalisasi terhadap Nederlands
Indische Artsen School (NIAS) dan School Tot Opleeiding van Indishe Tandartsen (STOVIT), yang masing-
masing didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913 dan 1928, menjadi Universitas Airlangga
di Surabaya. Jika diteliti dari sejarahnya, kelahiran universitas di Indonesia adalah lahir dari penderitaan dan
perjuangan rakyat, dimana ”ia” lahir dari jantung perjuangan rakyat melawan penindasan kolonialisme
pemerintah Belanda, yang adalah sebagai sebuah anti-tesis pergolakan sosial-politik akibat kolonialime awal
abad ke-20 saat revolusi kemerdekaan Indonesia. (Kompas, 20 Juli 2011).
Pada masa penuntasan Revolusi Nasional, pemerintahan Soekarno berusaha membangun masyarakat sipil
yang kuat yang berdiri diatas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antar sesama warga negara, termasuk
dalam bidang pendidikan. Didalam kampus ditandai kebebasan akademis yang luar biasa dengan
fragmentasi politik yang begitu hebat dikalangan mahasiswa. Namun mahasisiwa bebas ber-organisasi sesuai
dengan pilihannya atau keinginan nya.
Disisi lain, Bung Karno di tahun 1962 juga meluncurkan program yang disebut ”Pemberantasan Buta Huruf
(PBH) atau kursus ABC”. Dalam suatu kesempatan Bung Karno mengatakan : ”Dapatkah sosialisme
diselenggarakan oleh bangsa buta huruf? Saya komandokan sekarang, supaya buta-huruf itu habis sama
sekali pada akhir tahun 1964.”
Mencermati sejumlah kebijakan yang dilahirkan pada masa Soekarno, maka pendidikan pada saat itu
mendapat ruang dan tempat yang cemerlang bagi pendidikan anak-anak bangsa di negeri ini. Tidak ada
kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadi pendidikan sebagai alat bagi kaum dominan dari elit
lapisan atas. Tidak ada politik telingkung dan menelingkung terhadap setiap hak warga negara Indonesia
untuk mendapatkan hak nya dalam pendidikan. Tidak ada tekanan politik apapun agar masyarakat Indonesia
tidak belajar. Justru terkesan bahwa masyrakat wajib dan harus mendapatkan pendidikan sebagai bagian
proses menuju kemerdekaan sesungguhnya. Bangsa Indonesia pada saat itu mengalami transisi sangat tinggi,
Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 4
baik secara politik, budaya maupun ekonomi. Ketika pendidikan dijadikan alat paling utama mengubah
bangsa, maka ini diniscayakan akan mengubah bangsa itu.
Paska Reformasi 1998, formulasi arah kebijakan pembangunan pendidikan dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) 1999-2004 serta dalam UUD 45 pasal 31 ayat 4 menegaskan supaya negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurang nya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara serta anggaran
pendapatan dan belanja daerah agar memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Berbicara soal pendidikan, tentu kita berbicara tentang hubungan antara rakyat dan negara, tentang hak dasar
rakyat dan tanggung jawab negara. Bahwa negara bertanggug jawab menyelenggarakan pendidikan yang
layak untuk rakyat. Hal ini sesuai dengan ketentuann UUD 1945 pasal 31, a).Ayat (1): Setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan. b). Ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar 9 Tahun dan,
pemerintah wajib membiayainya. c).Ayat (4): Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%
dari ABN-APBD.
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Dalam Sistem Pendidikan Nasional (SPN) pasal 11 ayat 2 tahun 2003
dinyatakan ”Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai 15 tahun”.
Jika negara menjalankan amanat UUD 1945, bisa dipastikan seluruh lapisan masyarakat Indonesia akan dapat
mengenyam pendidikan dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai tingkat SMA dan tidak ada lagi
persoalan-persoalan yang menghambat kemajuan tingkat berfikir dan majunya kebudayaan di Indonesia.
Akan tetapi, dengan pemerintah yang menganut sistem Neoliberalisme-ekonomi pasar, perspektif bangunan
sistem pendidikan sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 tentu saja bangunan sistem pendidikan yang
diabdikan untuk memenuhi kepentingan modal.
V. Persoalan Dalam Dunia Pendidikan Nasional
Sejak dihantam badai krisis akhir `97, perekonomian Indonesia mengalami penurunan drastis apalagi
ditambah dengan KKN yang terjadi di masa Orde Baru, Indonesia menjadi salah satu negara yang mayoritas
penduduknya adalah rakyat miskin. Populasi jumlah penduduk yang selalu mengalami penambahan tiap
tahunnya jika tidak segera diantisipasi dengan pembangunan insfrastruktur sosial terutama pendidikan,
hanya akan menambah jumlah pengangguran yang semakin besar di Indonesia.
Perdebatan seputar anggaran pendidikan yang dialokasikan dari APBN dan APBD, serta adanya perubahan
UUD 1945 mengenai pasal 31 tentang pendidikan. Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), merumuskan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 % dari APBN dan
APBD. Di sisi lain Depdiknas juga menawarkan program tambahan dalam mengatasi kesulitan biaya
Alokasi pendidikan bagi Perguruan Tinggi Negeri dari APBN sebesar Rp 4 triliun (Kompas,25/8/2011) tidak
cukup untuk mampu memenuhi bagi kebutuhan. Ketika pemerintah sudah mencabut subsidi Dana
Operasional Pendidikan (DOP) dan Beasiswa Kerja Mahasiswa. Negara kini memberikan dana kepada
Perguruan Tinggi tidak lagi dalam bentuk subsidi tetap, tetapi dalam bentuk Block Grant atau Blok Dana.
Artinya, dana yang diberikan akan diberikan dalam jumlah-jumlah tertentu, sesuai dengan kualitas yang
ditentukan berdasarkan, antara lain, jumlah lulusan yang mampu dihasilkan Perguruan Tinggi tersebut.
Bahwa kemudian perguruan tinggi harus mencari sumber-sumber dana lain, di sinilah kemudian MWA
sebagai wakil masyarakat (dan pemerintah) berperan. Akibatnya Perguruan Tinggi Negeri mulai menyiapkan
dana tambahan dengan membebankan pembiayaan operasionalnya pada masyarakat dalam bentuk kenaikan
biaya kuliah (SPP). Beberapa Perguruan Tinggi yang dijadikan pilot project (proyek percontohan) Otonomi
Kampus sudah meningkatkan biaya perkuliahannya secara drastis yang dimulai sejak tahun 1999. Di
Universitas Gadjah Mada (UGM), SPP meningkat dari Rp.255.000,- menjadi Rp.460.000,- (kenaikan sebesar
80%). Di Institut Teknologi Bandung (ITB), SPP meningkat sebesar 66% dari Rp.468.000,- menjadi Rp.775.000,-
dan melambung lagi menjadi 1 Juta Rupiah pada tahun berikutnya. Ini diberlakukan dengan alasan adalah
bahwa mahasiswa dari kampus-kampus tersebut berasal dari kelas menengah ke atas yang mampu
membayar biaya perkuliahan, sehingga tak perlu lagi ada subsidi untuk mereka sekalipun block grant akan
tetap diberikan oleh pemerintah.
Salah satu komponen pendidikan yang menyita banyak perhatian dari pelaksanaan sistem pendidikan
nasional adalah soal kurikulum, sebagai inti dari kegiatan pembelajaran di sekolah. Namun di sisi lain ada
beberapa faktor lain yang juga mendukung keberhasilan pelaksanaan pendidikan di Indonesia, guru yang
berkwalitas, kondisi sarana dan prasarana, manajemen sekolah, serta sistem pendidikan nasional.
Perkembangan sistem pendidikan nasional yang sekarang ini menjadi sebuah opini di masyarakat khususnya
para praktisi pendidikan adalah seputar program pendidikan nasional. Perubahan kurikulum sejak 1968,
1975, 1984, 1994, yaitu kurikulum berbasis kompetensi, tetap saja pola pendidikan yang berlaku berubah-ubah
setiap pergantian menteri (5 tahun sekali) dan di lakukan dengan transisi yang hampir tidak berarti.
Ramainya perdebatan seputar kurikulum berbasis kompetensi, dinilai belum nyata pengaruhnya terhadap
perbaikan kwalitas pendidikan. Penetapan kurikulum berbasis kompetensi hanyalah jawaban atas rendahnya
kwalitas lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang akan masuk dunia kerja. Secara implisit kurikulum
berbasis kompetensi akan mereduksi materi/subtansi tertentu yang yang tidak signifikan untuk perkembangan industri
dan hal ini akan semakin memperpendek masa studi sehingga akan semakin banyak tenaga siap pakai dan murah bagi
perusahaan-perusahaan. Kurikulum ini memberikan keleluasaan lembaga pendidikan untuk membuat
kurikulum turunan sesuai dengan kebutuhan daerah atau sekolah, dan membuka kerja sama dengan pihak
swasta/perusahaan dalam mengelola potensi sebuah lembaga pendidikan. Menurut Prof. Dr. S. Hamid, pakar
kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI): ”Secara umum, pusat kurikulum Balitbang
Depdiknas belum mau secara tegas mengatkan bahwa yang mereka inginkan adalah kurikulum berbasis
standar. Hal ini dapat di lihat dari definisi kurikulum berbasis kompetensi yang dihubungkan dengan
keahlian tertentu yang harus dicapai siswa”. Standarisasi yang dimaksudkan adalah keahlian dalam bidang
profesi tertentu yang tak lain hanyalah pemenuhan tenaga kerja yang akan masuk ke perusahaan-perusahaan
sesuai dengan keahliannya. Standarisasi keahlian dijadikan kurikulum berdasarkan kemajuan teknologi pada
Dalam sistem penyelenggaraan Pendidikan Tinggi; Perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi
Badan Hukum Milik Negara ditetapkan melalui PP. No 61 tahun 1999, sebagai manifestasi dari otonomi
kampus. Ketetapan ini di berlakukan dengan dalil laju globalisasi dan pasar bebas. Keterbukaan pasar tidak
terbatas pada komoditi tradisional saja, melainkan akan juga mencakup tenaga kerja. Menghadapi arus
globalisasi tersebut, negara membutuhkan kemampuan yang cukup untuk dapat bersaing dengan negara-
negara lain. Dan sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi menempati kelompok
satuan atau lapis yang secara langsung terlibat dan bertanggungjawab mengenai penetapan tujuan,
penyediaan sumberdaya, pelaksanaan proses, dan evaluasi kualitas hasil serta kinerja.
Keterlibatan dan pertanggungjawaban tersebut, baik secara bersama maupun oleh masing-masing lapis
dilaksanakan dalam suatu kerangka kewajiban, tugas dan wewenang, yang secara keseluruhan membentuk
Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Ke-empat lapis tersebut terkait satu dengan lainnya secara
hierarkis, yaitu : Lapis ke-1 Otoritas Pusat, Lapis ke-2 Perguruan Tinggi, Lapis ke-3 Unit Akademik Dasar,
Lapis ke-4 Sivitas Akademika. Posisi mahasiswa berada pada lapis ke-empat yang dalam proses pengambilan
kebijakan sama sekali tidak berpengaruh karena struktur organisasi Perguruan Tinggi itu sendiri yang kini
menaruh Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ yang mewakili pemerintah dan masyarakat dalam
Perguruan Tinggi. Walaupun Perguruan Tinggi merupakan BHMN yang bersifat nirlaba, tetapi ia
diperbolehkan mendirikan badan usaha yang mendukung penyelenggaraan pendidikan, untuk mengatasi
biaya operasional. Terbukalah peluang bagi Perguruan Tinggi untuk bekerja sama dengan para pemilik
modal, berarti pendidikan menjadi komersial. Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah
membentuk sebuah badan usaha bernama PT. GMUM yang memiliki 23 anak perusahaan dan siap
menerbitkan saham begitu keuntungan sudah diperoleh. Kepentingan-kepentingan pemodal ini kemudian
terwakili dalam Majelis Wali Amanat, yang selain terdiri atas unsur pemerintah (Menteri) dan Kampus (Senat
Akademik dan Rektor), juga mencakup wakil dari masyarakat. Secara nyata ”wakil dari masyarakat”
hanyalah sebuah penghalusan dari ”wakil pemilik modal.”
Hal inilah yang kemudian menelanjangi keberadaan sistem pendidikan pada perguruan tinggi di Indonesia,
bahwa pendidikan adalah komoditi bagi kapitalisme, menjadikan perguruan tinggi sebagai badan usaha yang
menghasilkan modal dan menjadi alat pemilik modal untuk mencetak tenaga-tenaga kerja terampil yang
sesuai dengan standar kapitalisme. Pendidikan direduksi tidak lagi berdasarkan minat tetapi didasarkan atas
kebutuhan sistem kapitalisme. Matakuliah yang ada dipecah-pecah dan direduksi proses ilmiahnya menjadi
lebih pragmatis, dan jelas yang tak sesuai dengan kepentingan pemilik modal akan dibuang dan disampaikan
dalam potongan-potongan ilmu yang dinamakan Satuan Kredit Semester (SKS). Terjadi pula pemangkasan
masa studi menjadi lebih singkat guna menjamin pasokan tenaga kerja terdidik cepat untuk disalurkan
kepada pemilik modal. Mekanisme pasar kemudian berlaku dalam pasar tenaga kerja. Apabila kemudian
jumlah tenaga kerja yang tersedia membludak dan melebihi kemampuan serap, maka daya tawar pemilik
modal meningkat dan melemahkan posisi tawar calon-calon pekerja yang baru lulus tersebut. Daripada
menjadi pengangguran, mau tak mau mereka kemudian menerima saja bekerja dengan gaji rendah atau
standar kerja yang minim.
Dengan terbatasnya anggaran untuk pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kepada lembaga pendidikan
(dasar, menengah ataupun tinggi) telah membuka kesempatan bagi lembaga pendidikan untuk mengutip
uang dari peserta didik, selain itu lembaga pendidikan (terutama perguruan tinggi) kemudian berlomba-
lomba untuk menjaring peserta didik sebanyak-banyaknya dengan berbagai jenis jalur masuk serta kutipan
uang masuk yang berbeda-beda yang mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
VII. Legislasi Produk Neokolim Dalam Pendidikan Nasional: Dari UU BHP Ke RUU Perguruan Tinggi!
Pengaruh kekuatan Neoliberal jelas-jelas tampak dalam RUU Perguruan Tinggi ini, yang secara eksplisit
melegitimasi keberadaan kaum imperialis-kapitalis asing ke dalam sistem pendidikan nasional. Dari RUU
Perguruan Tinggi tersebut, Bab V tentang Perguruan Tinggi Asing dan Kerjasama Internasional. Pasal 73 ayat
1 disebutkan bahwa perguruan tinggi asing dapat membuka program studi di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 74 ayat 2: (1) Perguruan Tinggi dapat melaksanakan kerja sama
Internasional. (2) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan antara
lain: a. pertukaran dosen dan mahasiswa b. pengembangan kurikulum c. pelaksanaan kerjasama program
studi d. pengembangan organisasi dan/atau e. penelitian. (SuaraMerdeka, 10/7/2011)
Secara substansial semangat liberalisasi-kapitalistik pendidikan dari RUU Perguruan Tinggi begitu kuat. RUU
Perguruan Tinggi ini sepenuh-penuhnya mereduksi habis-habisan hal-ikhwal tujuan pendidikan nasional,
yang mana pendidikan hanya berfungsi menciptakan buruh-buruh di pasar global.
RUU ini hanya untuk mengakomodasi struktur kepentingan kaum pemodal dan institusi dengan
dibatalkanya UU BHP. Sebab ada begitu kuatnya kepentingan imperialis-asing melalui RUU PT guna
menjadikan pendidikan tinggi Indonesia sebagai komoditas.
Pada kenyataannya, di perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ditunjukkan dengan naiknya biaya
pendidikan pada periode tahun ini adalah sebagai bukti komersialisasi pendidikan. Dengan membuka
berbagai kerjasama serta berbagai program study, PT semakin leluasa untuk tetap menaikkan biaya
pendidikan, salah satunya adalah dengan membuka kelas internasional dengan uang pangkal dan uang
semester yang berkalilipat dengan kelas reguler. Universitas Indonesia misalnya, yang membuka kelas
internasional, difakultas kedokteran uang pangkalnya mencapai 70 juta dengan biaya semester 35 juta,
fakultas teknik uang pangkal 25 juta dengn biaya semester 15 juta, dan fakultas ekonomi yang uang
pangkalnya 26 juta dan biaya semesternya 25 juta, dan hal ini juga terjadi dibeberapa kampus lainnya, sperti
UNS menetapkan biaya pembangunan institusi mencapai Rp. 100 juta untuk fakultas kedoktaran, dan di
UNHAS mempunyai Jalur Non-Subsidi (JNS) dengn biya rata-rata Rp. 20 juta per-semester.
Kenyataan ini diperkuat dari akses orang miskin di Perguruan Tinggi Negeri pada tahun 2011 ini, akses orang
miskin ke PTN sebesar 4,19%. Sedangkan orang kaya mencapai 32,4%, angka perbandingn ini sangat jauh
mencapai 10%. Dan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas
Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan
ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.
Untuk kemajuan nasional melalui pendidikan, ada dua masalah yang dihadapi; pertama, biaya pendidikan
perguruan tinggi yang semakin mahal, menyebabkan ”bangku” universitas hanya dapat diakses segelintir orang. Kedua,
kurikulum pendidikan hanya mengarahkan mahasiswa untuk menjadi tenaga kerja murah, misalnya dengan kurikulum
ilmu terapan dan sekolah kejuruan.
Tidak salah kemudian, jika pendidikan Indonesia saat ini sangat mirip dengan jaman kolonial, yaitu mendidik
pribumi untuk sekolah rendahan, sekedar bisa baca dan tulis, untuk dilepas ke industri-industri mereka.
Lihatlah kebijakan politik etis, dimana anak-anak pribumi hanya diberi kesempatan pada sekolah-sekolah
rendahan, yang tujuannya sekedar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah dan tenaga administrasi
rendahan.
Dengan berbagai kenyataan itu, semakin jelaslah bahwa salah satu tujuan nasional kita, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa, masih sangat jauh dari harapan. Pendidikan nasional menjadi alat penopang struktur
kekuatan Neoliberalisme.
’matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papan tulis-papan tulis para
pendidik yang terlepas dari persoalan hidup’
W.S Rendra
Dari pemaparan sebelumnya, jelas bahwa karakter sistem pendidikan Nasional kita tidak mampu menjawab
persoalan rakyat, artinya pendidikan telah jauh dari hakekat yang sebenarnya. Tidak mampu meningkatkan
mutu pendidikan, kurikulum yang tidak ilmiah yang hanya membentuk cara berpikir peserta didik jauh dari
persoalan dan kenyataan sosial atau kondisis kongkrit yang dihadapi rakyat. Rakyat Indonesia sangat
berkepentingan atas pendidikan dan lapangan pekerjaan. Pendidikan dan lapangan pekerjaan adalah jaminan
untuk masa depan peningkatan kualitas hidup serta demi kemajuan nasional. Hak atas pendidikan dan
lapangan pekerjaan di Indonesia, dalam kenyataannya masih jauh dari harapan. Biaya pendidikan di
Indonesia terbilang sangat mahal. Akibat tidak dipenuhinya anggaran pendidikan 20 % sesuai amanat UUD
1945 dan kebijakan pencabutan subsidi pendidikan untuk rakyat. Biaya pendidikan di perguruan tinggi pada
periode 2010-2011 menunjukkan angka yang tinggi dengan rata-rata disetiap perguruan tinggi mencpai
minimal Rp. 600.000 hingga puluhan juta Rupiah, bahkan dibeberapa perguruan tinggi dengan jurusan
tertentu seperti fakultas kedokteran atau kelas Internasional mencapai ratusan juta rupiah.
Selain itu juga, sistem pendidikan nasional kita tidak demokratis, hal ini bisa dibuktikan dengan tingginya
diskriminasi dalam akses pendidikan, penyaluran bantuan atau subsidi, pengadaan anggaran serta tidak
Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 12
adanya jaminan kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat dimuka umum. Padahal dalam UUD
1945 pasal 28 (e) telah diatur tentang jaminan mengeluarkan pendapat, akan tetapi dalam berbagai kebijakan
disektor pendidikan tidak memberikan jaminan kebebasan dan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat
bagi pelajar/mahasiswa. Dalam pengambilan kebijakan pelajar/mahasiswa tidak dilibatkan.
Hal ini dilakukan untuk mencegah berkembang dan majunya pelajar/mahasiswa yang kritis-progresif yang
mengabdi pada kepentingan rakyatnya. Budaya pasif menghilangkan budaya gotong-royong, siswa menjadi
individualis, dan konsumtif semakin berkembang pada peserta didik. Faktanya, banyak pelajar/mahasiswa
yang tidak peduli lagi dengn kondisi sosial, terhadap penderitaan buruh, kaum tani dan rakyat miskin
lainnya bahkan tidak sedikit peserta didik yang juga tidak menyadari kepentingannya. Tidak bertanggung
jawabnya negara atas rakyatnya juga semakin dibuktikan dengan tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang
luas bagi rakyat.
Kondisi pendidikan seperti ini tidak terlepas dari sistem pendidikan yang tidak ilmiah, tidak demokratis dan
tidak mengabdi pada rakyat, sebaliknya sistem pendidikan di Indonesia hanya berorientasikan sebagai ajang
bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Hal ini dilakukan sebagai ajang liberalisasi
ekonomi, mempercepat konsep komersialisasi pendidikan.
Dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang diselimuti dengan kegelapan dan keterbelakangan budaya dan
kesadaran politik yang rendah serta keadaan ekonomi yang terus merosot, maka Sistem Pendidikan yang
tepat bagi Masyarakat Indonesia adalah Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat.
Pendidikan Gratis
Pendidikan adalah hak semua umat manusia, ia menjadi dasar dari maju atau tidaknya ilmu pengetahuan
manusia secara menyeluruh, maka pendidikan dibawah kontrol negara harus memihak pada rakyat.
Kenapa pendidikan harus digratiskan? Jawabnya adalah bahwa pendidikan sudah menjadi kebutuhan massa
rakyat, guna memajukan dan mengetahui apa yang seharusnya rakyat ketahui. Dan pendidikan adalah
kebutuhan segenap rakyat Indonesia, pemerintah harus bertanggung jawab menjamin akses pendidikan bagi
rakyat tanpa beban biaya. Dan dengan banyaknya siswa yang putus sekolah gara-gara pendidikan mahal
sehingga pendidikan sulit dijangkau oleh rakyat.
Pendidikan Ilmiah
Pendidikan bukan hanya gratis saja, tetapi bagaimana pendidikan ini bisa menjadi spirit untuk memajukan
kesadaran rakyat, dapat memanusiakan-manusia, pendidikan yang bersentuhan langsung dengan keinginan
rakyat seluruhnya.
Apa yang dibutuhkan rakyat harus dipelajari dalam ruang pendidikan yang ada. Dan pendidikan sekarang
sangat jauh dari realita kehidupan rakyat, menemukan akar persoalan dari kesengsaraan hidup rakyat serta
solusi jawaban atas persoalan rakyat.
Bahwa pendidikan harus menjadi alat pembebasan, diabdikan sepenuh-penuhnya bagi rakyat. Pendidikan
harus menjadi solusi atas persoalan-persoalan yang terjadi pada rakyat, memajukan budaya kepribadian
bangsa menuju Indoensia yang adil, sejahtera, mandiri dan berdaulat.
Konsep inilah kemudian yang membawa pendidikan mampu menjawab persoalan rakyat. Selain itu, adapun
beberapa kekhususan yang harus menjadi landasan pelajar, pemuda, mahasiswa, dan kalangan intelektual
lainnya untuk terlibat aktif dalam perjuangan rakyat, terutama klas buruh atau pekerja lainnya dan kaum tani
serta rakyat lainnya. Yang paling pokok adalah menyadari bahwa segala persoalan yang muncul disektor
pendidikan dan dihadapi oleh rakyat hari ini tidak terlepas dari persoalan pokok rakyat akibat dari sistem
Hakekat utama pendidikan adalah membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat proses humanisaasi
atau memanusiakan manusia. Dengan paparan diatas kita akan teringat pada masa penjajahan belanda
dimana kondisi kaum pribumi yang miskin dan melarat tidak dapat mengenyam yang namanya pendidikan,
hanya dari kalangan anak priyai yang bisa sekolah karena disamping bayak duit mereka juga dekat dengan
pemerintahan hindia belanda pada waktu itu. Dan dari kalangan pribumi yang melarat kehidupannya,
dibiarkan terus-terusan bodoh dan patuh terhadap kemauan pemerintah kolonial hindia belanda, dan
menggunakan tenaga mereka secara gratis. Van Hoof & Van Wieringen (1986) mengatakan dalam suatu
konferensi pendidikan tinggi Eropa, "Jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan
pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi negara tersebut akan
terhambat."
Maka Liga Mahasiswa Nasional untu Demokrasi (LMND) sebagai organisasi mahasiswa progresif-
revolusioner dalam perjuangan bersama dengan massa rakyat guna menghapuskan sistem yang menindas
hak-hak rakyat, serta mewujudkan tatanan masyarakat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi
dan berkepribadian dalam bidang ekonomi menyerukan kepada seluruh rakyat-kaum muda terpelajar-
terdidik serta juga mengajak kaum terpelajar-terdidik dari kampus-kampus diseluruh Indonesia untuk
mengamalkan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi yang sejati dalam kehidupaan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sebagai wujud pengabdian kaum muda (mahasiswa) pada ibu pertiwi, ibu yang
sudah melahirkan kaum terdidik-terpelajar. Perjuangan perubahan kehidupan rakyat serta kemajuan
Indonesia menjadi tugas sejarah; karena kaum terdidik-terpelajar merupakan bagian tak terpisah dari sejarah
perjuangan rakyat Indonesia, sebagaimana yang tercatat dalam kronik revolusi pembebasan nasional
Indonesia.
Sudah menjadi keharusan bahwa kaum pemuda, pelajar, mahasiswa, intelektual-akademisi serta seluruh
rakyat Indonesia lainnya mengambil bagian terlibat dalam perjuangan untuk pendidikan bagi seluruh rakyat,
dengan menuntut pemerintah supaya menjalankan tanggungjawabnya atas pendidikan, dan
menyelenggarakan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat sebagai jaminan untuk
dapat mewujudkan kehidupan rakyat yang adil, sejahtera, mandiri dan berdaulat sekaligus mengajak untuk
mendukung dan terlibat aktif dalam perjuangan rakyat disektor lainnya untuk kepentingan nasional demi
mewujudkan Indonesia yang mandiri, berdaulat, dan berkepribadian dalam kobaran semangat Pancasila dan
UUD 1945.
WS Rendra