Anda di halaman 1dari 14

Sejarah Pendidikan Indonesia

”Engkau hai pemuda pemudi yang ada disini sekarang mengerjakan investment.
Kerjakanlah pekerjaanmu itu sebaik-baiknya.
Kerjakanlah sebaik-baiknya oleh karena apa yang kau kejar sekarang ini ialah ilmu,
dan ilmu itu bukan untukmu sendiri,
tetapi ialah untuk anak cucumu,
untuk bangsa Indonesia,
untuk rakyat Indonesia,
untuk tanah air Indonesia,
untuk negara Republik Indonesia…”

-- 'Pidato Bung Karno kepada Mahasiswa Indonesia di AS, 1956'--


Sepenggal isi pidato Bung Karno diatas memberikan perhatian dan harapan besar kepada segenap anak
bangsa agar benar-benar serius dalam usahanya menempuh ilmu pengetahuan yang pada masanya nanti
dapat menjadi obor penerang bagi masa depan bangsa Indonesia. Sebagai sebuah bangsa yang telah sekian
lama diperintah oleh kolonialisme melalui pelanggengan keterbelakangan, kebodohan dan mentalintas
inlander, Indonesia membutuhkan pemuda-pemuda cerdas dan progressif, yang sanggup menjadi pembawa
“obor” pencerahan untuk kemajuan bangsanya.

I. Pendidikan Era Kolonialisme Belanda : Usaha Mencetak Pegawai Administrasi Rendahan Kekuasaan
Kolonial Belanda

”Sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan
penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam
dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah. Maka senanglah hati pemerintah.”

(Van Deventer dalam majalah De Gids, 1908).

Pendidikan formal mulai hadir di Indonesia pada awal 20 (pemberlakuan Politik Etis : 1900-1942) ketika
kolonialis Belanda mengeluarkan kebijakan Politik Etis1. Hadirnya pendidikan di negeri Indonesia yang
terjajah saat itu, sebetulnya merupakan buah dari desakan perubahan politik dagang kolonial yang bersifat
monopolistik menjadi politik kapital dagang industri yang bersifat persaingan bebas, sebagai akibat tuntutan
swastanisasi dari borjuis–borjuis yang sedang berkembang di negara tersebut. Pengusaha–pengusaha Belanda
yang masuk ke Indonesia tersebut mengalami problem tenaga kerja secara fundamental, yaitu lemahnya 
tenaga produktif di Indonesia. Maka mulailah muncul sekolah–sekolah walaupun masih diskriminatif dalam
penerimaan siswanya.  Bagi pemerintahan Belanda, Politik Etis merupakan politik balas jasa terhadap negara
jajahannya, Indonesia.

Melalui pendidikan tersebut, pihak kolonial mengharapkan terciptanya tenaga kerja–tenaga kerja terdidik
sesuai dengan keinginan laju ekspansi modal swasta dari Belanda. Pendidikan dalam Politik Etis memiliki
kepentingan untuk mencetak tenaga administrasi rendahan dari golongan pribumi yang mampu
menggantikan posisi tenaga kerja dari negeri Belanda. Dengan demikian biaya lebih murah akan menjadi
keunggulan komparatifnya.

Sejak saat itulah mulai muncul sekolah–sekolah yang memberikan sentuhan ilmu pengetahuan kepada
tenaga–tenaga kerja (pribumi), meskipun tidak sepenuhnya. Sekolah-sekolah yang bermunculan pada masa

1
Mengacu pada Pidato Pembukaan Parlemen Belanda oleh Ratu Wilhelmina (yang pada saat itu
baru naik tahta) pada 17 September 1901
Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 1
Politik Etis ini sejatinya tidak lebih dari usaha pemerintah Kolonial untuk menciptakan tenaga kerja dari
golongan pribumi yang dapat diupah murah dan mampu menggantikan posisi tenaga kerja dari bangsa
eropa,.

Tujuan dari sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah guna menghasilkan
tenaga birokrat (sesuai dengan jenjang pendidikannya) mengisi jabatan-jabatan teknis, pos-pos administrasi
didalam pabrik-pabrik maupun perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda sejak terjadinya sistem Tanam
Paksa.

Tahun 1900 berdiri sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa. Pada tahun 1903 mulai
didirikan sekolah rendah yang dinamakan Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang
kemudian dilanjutkan dengan program Vervolg School (Sekolah Lanjutan) dengan masa belajar selama 2
tahun. Sekolah semacam ini lalu dilanjutkan di tahun-tahun berikutnya, misalnya Meer Uitgebreid Leger
Onderwijs (MULO), yakni sebuah sekolah yang jenjangnya setingkat dengan SMP dan Algemeene Middelbare
School (AMS) yang jenjangnya setingkat dengan SMA, Eerste Klass Inlandsche (sekolah bumiputera angka
satu) untuk anak-anak priayi dan orang-orang ”berada”, serta Tweede Klass Inlandsche Scholen (sekolah
bumiputera angka dua) bagi anak-anak rakyat kebanyakan. Selain itu berdiri pula sekolah-sekolah lanjutan
seperti Hollandsche Inlandsche School (HIS), Hollandsche Burgerscholen (HBS), School Voor Inlandsche
Ambtenaren (OSVIA). Dalam prakteknya sekolah-sekolah tersebut sangatlah diskriminatif, termasuk dalam
hal penerimaan peserta didik. Selain memberlakukan biaya sekolah yang cukup mahal, sekolah yang ada
hanya diperuntukkan bagi kalangan ningrat-bangsawan atau dari kalangan para “priyayi” (pangreh praja
atau pegawai dalam kantor pemerintah Belanda). Bagi rakyat biasa terpaksa tidak dapat memasukkan anak-
anaknya ke sekolah-sekolah tersebut, atau paling tidak terpaksa mengambil alternatif lain, misalnya
memasukkan anak-anaknya ke pondok pesantren.

Untuk memenuhi kebutuhan akan tenaga administrasi bagi kelangsungan modal jajahannya di Hindia
Belanda, sejak tahun 1864, Belanda telah meng-introduksi sebuah program ujian yang disebut Klein
Ambtenaars’Examen, yaitu sebuah program ujian pegawai rendah yang harus ditempuh agar seseorang dapat
diangkat sebagai pegawai pemerintah. Oleh karena itu, nampak jelas bahwa program untuk menciptakan
birokrat rendahan ini cukup menonjol, di tahun 1900 model serupa diperkenalkan oleh pemerintah kolonial
Belanda melalui sekolah: Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), yaitu sebuah sekolah yang
dipersiapkan untuk menjadi pegawai pemerintah bagi kalangan pribumi. Dengan demikian terdapat kesan
kuat bahwa kegiatan pendidikan adalah untuk kelancaran ekonomi dan politik pemerintah kolonial Belanda,
memuluskan berkembang-biaknya kapital di bumi Hindia-Belanda.

II. Obor Pencerahan Kaum Bumiputera!


Namun, bagai pisau bermata dua, pendidikan dalam Politik Etis tersebut justru menjadi bumerang bagi
kelangsungan penjajahan Belanda sendiri. Dalam perkembangannya, keberadaan (sekolah) pendidikan
tersebut membawa perubahan pada negeri jajahan. Kemajuan yang diperoleh melalui pendidikan dalam
Politik Etis di negeri jajahan akhirnya mampu membuka tabir penindasan yang dialami oleh bangsanya.
Melalui pengetahuan baru yang dimilikinya, kalangan pribumi mampu membaca dan mempelajari buku-
buku berbahasa Belanda dan Inggris. Buku-buku ini membuka kesadaran baru tentang perjuangan
pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini.

Belanda dengan sengaja menelantarkan pendidikan rakyat, agar rakyat tetap mau menggarap sawah dan
tetap mau bilang “nun inggih” pada tiap perintah yang diberikan padanya. Pemerintah Hindia Belanda hanya
bertindak sesuai dengan watak setiap kolonialis, yaitu membiarkan rakyat jajahannya berdegenerasi menjadi

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 2


bodoh dan melarat, supaya dapat dijajah selama-lamanya. Lebih baik jangan dibuat pandai! Bangsa yang
bodoh dan melarat dapat lebih mudah dikuasai daripada bangsa yang terdidik dan berpengetahuan tinggi.2.

Ketika pengetahuan dan kesadaran baru tumbuh berkembang didalam cara pikir sebagain kaum pelajar bumi
putera, kaum bumi putera mulai menyusun perlawanan terhadap penindasan pemerintah kolonial
Belanda. Hakekat pendidikan yang memiliki tujuan untuk memajukan taraf berpikir rakyat agar mampu
merubah keadaan diri dan lingkungannya, serta untuk memajukan budaya-nya, menemukan arasnya. Bibit-
bibit kesadaran untuk menjadi bangsa yang merdeka seperti bangsa lain kemudian tumbuh menjadi falsafah
bagi kemunculan sekolah-sekolah partikelir (swasta) yang didirikan oleh kaum bumi putera. Mereka
mendirikan sekolah-sekolah partikelir atau sekolah “liar” yang merupakan sekolah yang tidak diakui oleh
lembaga manapun, dan biasanya didirikan oleh para anggota idealis dari intelegensia yang tidak ingin bekerja
untuk pemerintahan kolonial3.

Keberadaan sekolah-sekolah partikelir tersebut semakin meningkat ketika ekonomi paska Perang Dunia I dan
depresi ekonomi hebat 1930 yang mengakibatkan belanja (subsidi) pemerintah terhadap sektor pendidikan.
Hal ini membuat biaya sekolah menjadi tinggi, memaksa orang-orang Hindia untuk mengalihkan minat
bersekolahnya ke sekolah-sekolah “liar” (Ingleson, 1979 : 205). Disisi yang lain, hampir tanpa kecuali dapat
dikatakan bahwa sekolah “liar” umunya bersifat nasionalistis dan antikolonial. Sekolah didirikan oleh
perkumpulan dan tokoh pergerakan yang mengutamakan jalan pendidikan pergerakan mereka. Oleh sebab
itu, banyak didirikan berbagai kursus bebas mulai dari kursus memberantas huruf, mengetik, sampai dengan
kursus politik4. Jumlah sekolah “liar” itu pada akhir 1930-an diperkirakan sekitar 2.200 dengan jumlah siswa
142.000. Sekolah-sekolah liar yang terkenal ialah yang tergabung dalam kelompok sekolah Taman Siswa yang
didirikan oleh Suwardi Surjaningrat (Ki Hadjar Dewantara)5

”Obor Pencerahan” itu pun tiba, kemudian lahirlah generasi yang memiliki kesadaran nasional-kebangsaan,
dan ikut ambil bagian dalam perjuangan pembebasan rakyat pribumi. Kaum muda yang telah tercerahkan,
yang mengenyam pendidikan dari sekolah-sekolah tersebut mulai melakukan penentangan terhadap penjajah
pemerintah Belanda, dan bersama rakyat diberbagai daerah melakukan aksi perlawanan rakyat. Muncullah
tokoh–tokoh perlawanan dari berbagai daerah, yang kelak akan mampu membawa Indonesia merdeka dari
penjajahan yang telah diderita selama ratusan tahun.
Kolonialisme memang selalu menggunakan keterbelakangan, kebodohan, dan mentalitas inlander guna
menjaga kelangsungan sistim penghisapannya. Kerasnya penghisapan dan penindasan kolonial pemerintah
Belanda terhadap rakyat pribumi semakin menyulut semangat perjuangan pembebasan rakyat diseluruh
Nusantara, tidak terkecuali kalangan kaum terdidik-terpelajar. Melalui pendidikan, kalangan pribumi
akhirnya mampu memahami kondisi mereka yang tertindas dan mulai menyusun perlawanan terhadap
penindas tersebut.  Perlawanan rakyat indonesia yang dulunya hanya bersifat lokal, tidak terorganisir secara
modern, dan tidak berideologi telah berubah secara kualitatif dan kuantitatif dimana–mana muncul secara
massif dan menasional  perlawanan rakyat serta organisasi–organisasi modern, revolusioner yang digerakkan
oleh pemuda dan pemudi  Indonesia yang telah mengenyam pendidikan pemberian penjajah belanda.
Muncullah tokoh–tokoh perlawanan dari berbagai daerah yang pada akhirnya mampu membawa  Indonesia
merdeka dari penjajahan yang telah diderita selama ratusan tahun.
Untuk memutus mata-rantai itu penindasan, bangsa ini membutuhkan kaum muda yang progressif, yang
sanggup menjadi ”obor” pencerahan serta pembebasan demi kemajuan bangsanya.

2
Sitisoemandari Soeroto, Kartini sebuah Biografi, Djambatan, 2001, Hal 124
3
Van Niel, 1970 : 219-220 dalam Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa : Geneologi Intelegensia Muslim
Abad Ke-20
4
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia V : Zaman
Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, Jakarta : Balai Pustaka, 2008
5
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa : Geneologi Intelegensia Muslim Abad Ke-20, 2005:226

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 3


III. Revolusi Pembebasan Nasional 45 : Perjuangan memutus Rantai Penjajahan dan Mewujudkan Cita-
Cita Nasional untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
Paska kemerdekaan 45, dibawah kepemimpinan Soekarno-Hatta cukup memberikan ruang bebas terhadap
pendidikan. Konsep pemerintahan Soekarno yang berasaskan sosialisme manjadi prinsip acuan bagaimana
pendidikan akan dibentuk, dijalankan dan dilakukan sedemikian rupa demi pembangunan dan kemajuan
bangsa Indonesia di masa mendatang. Konsep sosialisme dalam pendidikan pada masa itu meletakkan
prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak seluruh rakyat tanpa memandang kelas sosial apapun.
Bahwa setiap mahasiswa Indonesia harus punya ”dedication of life” bagi rakyat, bagi kemakmuran dan
kesejahteraan bangsanya! (Arsip Sejarah LIPI).

Tahun 1945, dimulai lah peletakkan dasar-dasar pendidikan nasional. Walaupun segalanya masih serba
terbatas, pendidikan saat itu digratiskan. Uang SPP sama sekali ditiadakan.Bung Karno pun menekankan
bahwa dalam rangka membangun negara sosialis Indonesia, tidak dibenarkan adanya otonomi 100% untuk
perguruan tinggi-perguruan tinggi.

Untuk mendukung tujuan tersebut, pemerintah memberlakukan UU No 4 tahun 1950 jo UU No 12 tahun 1954
untuk mengatur sistem pendidikan nasional. Kemudian guna lebih meningkatkan mutu pendidikan,
pemerintah mengambil langkah langkah strategis lainnya yakni mendirikan universitas-universitas disetiap
provinsi.

Pendirian perguruan tinggi di Indonesia pada tahun 1945 dimulai dengan dibentuknya Badan Perguruan
Tinggi Republik Indonesia (BPTRI) di Jakarta. Namun keberadaannya sempat berpindah sementara
(dipindahkan ke Klaten) oleh karena Agresi Militer Belanda pada akhir 1945. Akhirnya, setelah Jakarta
kembali berhasil diambil alih pada awal 1950, pemerintah mengembalikan BPTRI ke Jakarta dan
menggabungkannya dengan Unibersiteit van Indonesie, dan memberinya nama baru Universiteit Indonesia
(UI). Selain itu, pada 19 Desember 1949 pemerintah Indonesia telah mendirikan Universitas Gajah Mada
(UGM). Paska itu, pada 10 November 1954, Bung Karno melakukan nasionalisasi terhadap Nederlands
Indische Artsen School (NIAS) dan School Tot Opleeiding van Indishe Tandartsen (STOVIT), yang masing-
masing didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913 dan 1928, menjadi Universitas Airlangga
di Surabaya. Jika diteliti dari sejarahnya, kelahiran universitas di Indonesia adalah lahir dari penderitaan dan
perjuangan rakyat, dimana ”ia” lahir dari jantung perjuangan rakyat melawan penindasan kolonialisme
pemerintah Belanda, yang adalah sebagai sebuah anti-tesis pergolakan sosial-politik akibat kolonialime awal
abad ke-20 saat revolusi kemerdekaan Indonesia. (Kompas, 20 Juli 2011).

Pada masa penuntasan Revolusi Nasional, pemerintahan Soekarno berusaha membangun masyarakat sipil
yang kuat yang berdiri diatas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antar sesama warga negara, termasuk
dalam bidang pendidikan. Didalam kampus ditandai kebebasan akademis yang luar biasa dengan
fragmentasi politik yang begitu hebat dikalangan mahasiswa. Namun mahasisiwa bebas ber-organisasi sesuai
dengan pilihannya atau keinginan nya.

Disisi lain, Bung Karno di tahun 1962 juga meluncurkan program yang disebut ”Pemberantasan Buta Huruf
(PBH) atau kursus ABC”. Dalam suatu kesempatan Bung Karno mengatakan : ”Dapatkah sosialisme
diselenggarakan oleh bangsa buta huruf? Saya komandokan sekarang, supaya buta-huruf itu habis sama
sekali pada akhir tahun 1964.”

Mencermati sejumlah kebijakan yang dilahirkan pada masa Soekarno, maka pendidikan pada saat itu
mendapat ruang dan tempat yang cemerlang bagi pendidikan anak-anak bangsa di negeri ini. Tidak ada
kepentingan politik sektoral tertentu untuk menjadi pendidikan sebagai alat bagi kaum dominan dari elit
lapisan atas. Tidak ada politik telingkung dan menelingkung terhadap setiap hak warga negara Indonesia
untuk mendapatkan hak nya dalam pendidikan. Tidak ada tekanan politik apapun agar masyarakat Indonesia
tidak belajar. Justru terkesan bahwa masyrakat wajib dan harus mendapatkan pendidikan sebagai bagian
proses menuju kemerdekaan sesungguhnya. Bangsa Indonesia pada saat itu mengalami transisi sangat tinggi,
Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 4
baik secara politik, budaya maupun ekonomi. Ketika pendidikan dijadikan alat paling utama mengubah
bangsa, maka ini diniscayakan akan mengubah bangsa itu.

IV. Jejak Lahirnya Neo-Liberalisme Pada Pendidikan Nasional


Situasi sekarang justru berbeda, ditengah jerat sistem kapitalis-imperialis. Paska 1965, seiring dengan
kekuasaan ekonomi-politik rejim Orde Baru-Soeharto, modal asing (AS, Kanada, Inggris, Jepang, dll) gencar
masuk ke Indonesia. Oleh karenanya modal asing tersebut membutuhkan instrument pendukung guna
mengembangankan kapital industri di Indonesia. Industrialisasi asing ini sangat membutuhkan tenaga-tenaga
terampil terdidik lulusan-lulusan perguruan-perguruan tinggi. Maka seketika itu pendidikan tinggi menjadi
lahan industri strategis yang berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi negara-negara kapitalis-imperialis,
dengan mencetak tenaga-tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan swasta. Pendidikan menjadi komoditi
utama bagi akumulasi keuntungan (modal).
Di negara-negara, seperti AS, Kanada, Inggris, atau Australia, industri pendidikan tinggi tumbuh pesat
menjadi industri jasa dan perdagangan yang lain. Bisa dilihat keberadaan sentra-sentra industri pendidikan
tinggi dari negeri-negeri industry maju, seperti di Boston, New York, California; Toronto, British Columbia;
London, Manchester, Cambridge; atau Sydney, Melbourne, Canberra. Perkembangan industri pendidikan
tinggi menuju komersialisasi pun tak terbendung, ditandai proses kapitalisasi terhadap ilmu pengetahuan
melalui institusi-institusi pendidikan, terutama ketika pertumbuhan ekonomi digerakkan oleh karena
perkembangan-maju iptek.
Dengan berbagai tekanan dari negara-negara imperialis terhadap Indonesia melalui perjanjian kesepakatan
disektor pendidikan, dan berkonsekuensi tercabutnya hakekat keberadaan pendidikan Indonesia. Mulailah
era liberalisasi pendidikan diberlakukan di Indonesia.
IV.1. Liberalisme Pendidikan Indonesia Di Era Kapitalisme-Neoliberal!
Setelah Indonesia masuk dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada tahun 1994 melalui disahkannya
UU nomor 7 tahun 1994, jasa pendidikan merupakan bagian dari jasa yang harus diliberalisasi (kurangi
subsidinya). Salah satu tujuan dari Pertemuan Tingkat Menteri dari 125 negara di Uruguay pada tahun 1993
adalah memperluas cakupan produk perdagangan internasional, termasuk perdagangan dibidang jasa,
pengaturan mengenai aspek-aspek dagang dari Hak Atas Kekayaan Intelektual, dan kebijakan investasi yang
berkaitan dengan perdagangan. Sehingga tidak heran bagi rakyat Indonesia jika paska masuknya Indonesia
menjadi anggota WTO ini, berangsur-angsur subsidi sosial dicabut dan privatisasi aset-aset vital negara mulai
dilakukan secara masif.
Dampak dari kesepakatan WTO melalui GATS (General Agreement on Trades in Services) tersebut adalah
liberalisasi dan privatisasi, serta pemotongan subsidi untuk sektor pendidikan, dan dengan memasukkan
pendidikan sebagai salah satu sektor jasa yang dapat diperjual-belikan. Melalui ratifikasi semua perjanjian
perdagangan multilateral melalui UU No. 7 tahun 1994, yang mengatur tentang tata-perdagangan barang, jasa
dan Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPS), hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan
perdagangan. Maka yang paling diuntungkan dengan adanya kebijakan tersebut tentunya adalah negara-
negara imperialis seperti AS, Inggris dan Australia; melalui ekspor jasa pendidikan dan pelatihan, termasuk
dengan program pertukaran pelajar ataupun tenaga pendidik dengan tujuan dapat mentransformasikan sistem
budaya, ekonomi dan politiknya untuk dijalankan di Indonesia guna memperkuat hegemoninya imperialis melalui
sektor Pendidikan. Rendahnya partisipasi rakyat dalam mengakses pendidikan, rendahnya anggaran negara
untuk pendidikan, serta rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia kemudian dijadikan alasan untuk
melibatkan pemerintah asing dalam sektor pendidikan.
Tahun 1999 pemerintah Indonesia mendapatkan kucuran hutang sebesar USD 400 juta dari IMF, yang
kemudian melahirkan beberapa penandatangan kesepakatan yang mengharuskan pemerintah mencabut
subsidi pendidikan. Dengan dalih untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, lahirlah PP No 61
Tahun 1999 tentang PT BHMN. Dalam kenyataannya, setelah kebijakan tersebut diuji cobakan di 8 PTN (UI,
ITB, UGM, UPI, USU, ITS, UNAIR dan UNDIP). Walaupun saat ini PP No 61 Tahun 1999 tersebut sudah
dibatalkan dan diganti dengan PP No 66 Tahun 2010, namun tetap saja masih kuat oleh karakter kapitalisme.

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 5


Dan ternyata 8 Perguruan Tinggi yang sebelumnya telah di-BHMN-kan tersebut hanya mendapat peringkat
300-an ditingkat Perguruan Tinggi se-Asia Pasifik. Dan dari pelaksanaan BHMN tersebut hanya menyisakan
biaya pendidikan yang begitu tinggi dengan fasilitas yang sangat minim. Penyelenggaraan pendidikan
nasional, terutama di perguruan tinggi, mulai mengarah pada otonomi. Sebagai konsekuensi dari otonomi ini
adalah dalam penggalian dana. Universitas akhirnya harus mencari sendiri sumber-sumber pembiayaannya
sendiri. Sementara dalam mencari sumber pembiayaan, pihak universitas biasanya hanya punya dua jalan:
membuka pintu kepada pihak swasta dan menjual (komoditi) pendidikan itu lebih mahal kepada peserta didik.
Pada bulan Juli tahun 2005, pemerintah Indonesia juga mendapatkan kucurun utang dari Bank Dunia sebesar
USD 114,54 juta guna membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And
Efficiency (IMHERE) dan akan berakhir pada Juni 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi
Perguruan Tinggi dan dengan tujuan Efisiensi dan relevansi Perguruan Tinggi sebagai mesin pencetak tenaga
kerja murah yang sesuai dengan kebutuhan imperialis. Selain telah melahirkan UU BHP, program kerjasama
dari Bank Dunia (Word Bank) ini juga memaksa pemerintah Indonesia untuk melakukan pemangkasan
anggaran pendidikan dari APBN, dengan alasan bahwa pendidikan menyedot anggaran hingga 45% dari total
APBN yang didalamnya termasuk anggaran gaji guru dan dosen.  
Dalam kerjasama konprehensif AS-Indo untuk pendidikan, AS kembali akan menginvestasikan U$D 165 juta
selama lima tahun. Program tersebut meliputi pentingnya pertukaran pengalaman kepemimpinan dan
manajemen, keahlian ilmiah dan teknis, serta pemahaman budaya. Secara terperinci kerjasama tersebut berisi
program Pengembangan Program Fulbright, Community College Initiative, layanan konsultasi mahasiswa
dan pertukaran lainnya yang disponsori oleh Departemen Luar Negeri AS, memperbaiki mutu pendidikan
tinggi di Indonesia melalui program Kemitraan Perguruan Tinggi yang akan mendukung kerjasama lembaga-
lembaga pendidikan tinggi Indonesia dan Amerika Serikat. Pemerintah AS juga akan mengundang Menteri
Pendidikan Nasional ke AS untuk menghadiri KTT Pendidikan Tinggi AS-Indonesia untuk memajukan
kerjasama ini.
Dari bentuk-bentuk kerjasama yang akan ditandatangani, AS begitu berkepentingan untuk memastikan agar
haluan sistem pendidikan Indonesia berada dalam garis yang diinginkan. Setelah AS melalui lembaga
multilateral, seperti WTO dan World Bank; telah berhasil memaksa seluruh anggotanya untuk menjalankan
program privatisasi pendidikan, kerjasama bilateral kali ini digunakan untuk mempercepat serta memastikan
seluruh skema sektor ini agar relevan dengan kepentingan imperialis dibawah kontrol Amerika.
Paska dari Konferensi Program Fulbright; setahap-demi setahap merubah sistim pendidikan Indonesia.
sementara program pertukaran pelajar secara terus menerus berusaha ditingkatkan, yang pada puncaknya
sebesar 13,000 mahasiswa Indonesia belajar di AS. Kepentingan AS terhadap pertukaran pelajar cukup jelas,
karena AS ingin menciptakan ”tentara-tentara dan tenaga intelektual” yang akan melegitimasi seluruh
kebijakan imperialis di negeri ini. Selanjutnya AS sangat berkepentingan agar kurikulum pendidikan
Indonesia berada di bawah kebudayaan imperialis, dijauhkan dari realitas penghidupan rakyat, serta
mengubah aspirasi sejati rakyat dengan teori-teori usang yang dimilikinya. Imperialisme menghilangkan
nilai-nilai sosialnya terhadap rakyat Indonesia dengan berupaya merubah sistem dan orientasi pendidikan
Indonesia setahap demi tahap.
Jelaslah sudah bahwa keberadaan pendidikan ala imperialis-neoliberal ini sangat jauh dari jangkaun rakyat
Indonesia. Inilah bukti ketidak mampuan (kegagalan!) pemerintah Indonesia dalam memenuhi Amanat pasal
31 ayat 1 dan 2 UUD 45. Hak setiap warga negara dan kewajiban pemerintah dalam pendidikan menjadi
bertentangan ketika pendidikan nasional diserahkan kepada mekanisme pasar.
IV.2. Bagaimana dengan nasib dunia pendidikan sebagai ujung tombak dari kemajuan sebuah bangsa?
Pendidikan di Indonesia tidak lagi menjadi salah satu sektor yang dapat menjamin perkembangan dan
perubahan budaya masyarakat secara mendasar guna menjadi lebih maju, bahkan perspektif dan orientasi
dari pendidikan kini hanya sebagai proyek untuk mencetak tenaga kerja murah dengan skill pengetahuan
serta pengalaman yang terbatas. Kenyataan pendidikan saat ini hanya sebagai alat dari budaya yang
dilahirkan dan dikembangkan untuk mempertahankan struktur penindasan; ibarat sebuah rumah, maka
pendidikan sebagai atap rumah, hubungan produksi atau sistem ekonomi yang eksis dan berkembang didalam suatu

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 6


masyarakat sebagai pondasinya, sementara struktur kekuasaan yang menjalankan dengan berbagai kebijakan demi tetap
berdominannya sistem ekonomi tersebut adalah dindingnya.
Jika kita lihat perkembangan pendidikan Indonesia saat ini, hubungan produksi yang berdominan adalah
hubungan produksi pertanian (agraria), yang menggunakan alat-alat kerja yang sederhana. Jumlah total
penduduk Indonesia saat ini sebesar 238 juta jiwa, sementara 65% dari total penduduk tersebut adalah kaum
tani yang menggantungkan hidup dan matinya disektor pertanian, serta dengan persebaran sebagian besar
(70%) berada diwilayah pelosok pedesaan.
Berdasarkan data yang dirilis UNESCO-PBB tahun 2011 sbb: 527.850 orang siswa SD atau sama dengan 1,7%
dari 31,05 juta siswa SD putus sekolah setiap tahunnya. Dan untuk perguruan tinggi sendiri dari total jumlah
penduduk Indonesia dengan hitungan usia kuliah (18-25 Tahun) sebesar 25 juta jiwa, sementara yang terserap
dalam PT hanya mencapai 4,6 juta jiwa, hanya meningkat 3 (tiga ribu) dari tahun sebelumnya sebesar 4,3 juta
jiwa. Sementara angka tersebut terus berkurang dengan angka putus kuliah (DO) mencapai 150.000 orang
setiap tahun. Selain itu, angka pengangguran dan angka buta huruf pun terus meningkat berbanding lurus
dengan angka kemiskinan di Indonesia yang mencapai  37.168.300 jiwa (16,58%) dari total penduduk
Indonesia (238) juta jiwa dengan persebaran 13.559.000 jiwa (12,52%) diperkotaan dan 23.609.000 jiwa (20,37%)
dipedesaan, maka akibat rendahnya anggaran serta mahalnya biaya pendidikan, menyebabkan semakin tidak
terjangkaunya pendidikan bagi rakyat.
IV.3. Hak dasar setiap warga negara untuk mendapat pendidikan sesuai Undang-undang Dasar 1945 pasal
31 kian sulit dipenuhi!

Paska Reformasi 1998, formulasi arah kebijakan pembangunan pendidikan dalam Garis-Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) 1999-2004 serta dalam UUD 45 pasal 31 ayat 4 menegaskan supaya negara memprioritaskan
anggaran pendidikan sekurang-kurang nya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara serta anggaran
pendapatan dan belanja daerah agar memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Berbicara soal pendidikan, tentu kita berbicara tentang hubungan antara rakyat dan negara, tentang hak dasar
rakyat dan tanggung jawab negara. Bahwa negara bertanggug jawab menyelenggarakan pendidikan yang
layak untuk rakyat. Hal ini sesuai dengan ketentuann UUD 1945 pasal 31, a).Ayat (1): Setiap warga negara
berhak mendapatkan pendidikan. b). Ayat (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar 9 Tahun dan,
pemerintah wajib membiayainya. c).Ayat (4): Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20%
dari ABN-APBD. 
UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003. Dalam Sistem Pendidikan Nasional (SPN) pasal 11 ayat 2 tahun 2003
dinyatakan ”Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya
pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7 sampai 15 tahun”.
Jika negara menjalankan amanat UUD 1945, bisa dipastikan seluruh lapisan masyarakat Indonesia akan dapat
mengenyam pendidikan dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai tingkat SMA dan tidak ada lagi
persoalan-persoalan yang menghambat kemajuan tingkat berfikir dan majunya kebudayaan di Indonesia.
Akan tetapi, dengan pemerintah yang menganut sistem Neoliberalisme-ekonomi pasar, perspektif bangunan
sistem pendidikan sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 tentu saja bangunan sistem pendidikan yang
diabdikan untuk memenuhi kepentingan modal.
V. Persoalan Dalam Dunia Pendidikan Nasional
Sejak dihantam badai krisis akhir `97, perekonomian Indonesia mengalami penurunan drastis apalagi
ditambah dengan KKN yang terjadi di masa Orde Baru, Indonesia menjadi salah satu negara yang mayoritas
penduduknya adalah rakyat miskin. Populasi jumlah penduduk yang selalu mengalami penambahan tiap
tahunnya jika tidak segera diantisipasi dengan pembangunan insfrastruktur sosial terutama pendidikan,
hanya akan menambah jumlah pengangguran yang semakin besar di Indonesia.

Perdebatan seputar anggaran pendidikan yang dialokasikan dari APBN dan APBD, serta adanya perubahan
UUD 1945 mengenai pasal 31 tentang pendidikan. Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja Majelis
Permusyawaratan Rakyat (BP-MPR), merumuskan anggaran untuk pendidikan sebesar 20 % dari APBN dan
APBD. Di sisi lain Depdiknas juga menawarkan program tambahan dalam mengatasi kesulitan biaya

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 7


operasional pendidikan bagi sekolah Dasar dan Menengah dalam bentuk proposal program dan pendanaan
proyek Broad Based Education (BBE), suatu bentuk pendidikan yang memiliki keterkaitan dengan
masyarakat, ini bagian dari upaya merealisasikan gagasan perlunya pendidikan life skills. Program kerja sama
antara lembaga pendidikan dan perusahaan-perusahaan swasta, tentunya dengan jaminan matapelajaran
yang diberikan sesuai dengan keahlian yang dibutuhkan pada perusahaan tersebut. Suatu bentuk otonomi
pendidikan yang dengan gencarnya dijalankan oleh pemerintah demi menjawab kebutuhan kapitalis-industri.

Alokasi pendidikan bagi Perguruan Tinggi Negeri dari APBN sebesar Rp 4 triliun (Kompas,25/8/2011) tidak
cukup untuk mampu memenuhi bagi kebutuhan. Ketika pemerintah sudah mencabut subsidi Dana
Operasional Pendidikan (DOP) dan Beasiswa Kerja Mahasiswa. Negara kini memberikan dana kepada
Perguruan Tinggi tidak lagi dalam bentuk subsidi tetap, tetapi dalam bentuk Block Grant atau Blok Dana.
Artinya, dana yang diberikan akan diberikan dalam jumlah-jumlah tertentu, sesuai dengan kualitas yang
ditentukan berdasarkan, antara lain, jumlah lulusan yang mampu dihasilkan Perguruan Tinggi tersebut.
Bahwa kemudian perguruan tinggi harus mencari sumber-sumber dana lain, di sinilah kemudian MWA
sebagai wakil masyarakat (dan pemerintah) berperan. Akibatnya Perguruan Tinggi Negeri mulai menyiapkan
dana tambahan dengan membebankan pembiayaan operasionalnya pada masyarakat dalam bentuk kenaikan
biaya kuliah (SPP). Beberapa Perguruan Tinggi yang dijadikan pilot project (proyek percontohan) Otonomi
Kampus sudah meningkatkan biaya perkuliahannya secara drastis yang dimulai sejak tahun 1999. Di
Universitas Gadjah Mada (UGM), SPP meningkat dari Rp.255.000,- menjadi Rp.460.000,- (kenaikan sebesar
80%). Di Institut Teknologi Bandung (ITB), SPP meningkat sebesar 66% dari Rp.468.000,- menjadi Rp.775.000,-
dan melambung lagi menjadi 1 Juta Rupiah pada tahun berikutnya. Ini diberlakukan dengan alasan adalah
bahwa mahasiswa dari kampus-kampus tersebut berasal dari kelas menengah ke atas yang mampu
membayar biaya perkuliahan, sehingga tak perlu lagi ada subsidi untuk mereka sekalipun block grant akan
tetap diberikan oleh pemerintah.

VI. Perubahan Sistem Pendidikan dan Pola Kebijakan Yang Di Terapkan

Salah satu komponen pendidikan yang menyita banyak perhatian dari pelaksanaan sistem pendidikan
nasional adalah soal kurikulum, sebagai inti dari kegiatan pembelajaran di sekolah. Namun di sisi lain ada
beberapa faktor lain yang juga mendukung keberhasilan pelaksanaan pendidikan di Indonesia, guru yang
berkwalitas, kondisi sarana dan prasarana, manajemen sekolah, serta sistem pendidikan nasional.
Perkembangan sistem pendidikan nasional yang sekarang ini menjadi sebuah opini di masyarakat khususnya
para praktisi pendidikan adalah seputar program pendidikan nasional. Perubahan kurikulum sejak 1968,
1975, 1984, 1994, yaitu kurikulum berbasis kompetensi, tetap saja pola pendidikan yang berlaku berubah-ubah
setiap pergantian menteri (5 tahun sekali) dan di lakukan dengan transisi yang hampir tidak berarti.
Ramainya perdebatan seputar kurikulum berbasis kompetensi, dinilai belum nyata pengaruhnya terhadap
perbaikan kwalitas pendidikan. Penetapan kurikulum berbasis kompetensi hanyalah jawaban atas rendahnya
kwalitas lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang akan masuk dunia kerja. Secara implisit kurikulum
berbasis kompetensi akan mereduksi materi/subtansi tertentu yang yang tidak signifikan untuk perkembangan industri
dan hal ini akan semakin memperpendek masa studi sehingga akan semakin banyak tenaga siap pakai dan murah bagi
perusahaan-perusahaan. Kurikulum ini memberikan keleluasaan lembaga pendidikan untuk membuat
kurikulum turunan sesuai dengan kebutuhan daerah atau sekolah, dan membuka kerja sama dengan pihak
swasta/perusahaan dalam mengelola potensi sebuah lembaga pendidikan. Menurut Prof. Dr. S. Hamid, pakar
kurikulum dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI): ”Secara umum, pusat kurikulum Balitbang
Depdiknas belum mau secara tegas mengatkan bahwa yang mereka inginkan adalah kurikulum berbasis
standar. Hal ini dapat di lihat dari definisi kurikulum berbasis kompetensi yang dihubungkan dengan
keahlian tertentu yang harus dicapai siswa”. Standarisasi yang dimaksudkan adalah keahlian dalam bidang
profesi tertentu yang tak lain hanyalah pemenuhan tenaga kerja yang akan masuk ke perusahaan-perusahaan
sesuai dengan keahliannya. Standarisasi keahlian dijadikan kurikulum berdasarkan kemajuan teknologi pada

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 8


perusahaan-perusahaan yang akan membutuhkan tenaga-tenaga terampil yang dapat mengoperasikan mesin-
mesin produksi untuk menghasilkan modal dalam jumlah besar.

Dalam sistem penyelenggaraan Pendidikan Tinggi; Perubahan status perguruan tinggi negeri menjadi
Badan Hukum Milik Negara ditetapkan melalui PP. No 61 tahun 1999, sebagai manifestasi dari otonomi
kampus. Ketetapan ini di berlakukan dengan dalil laju globalisasi dan pasar bebas. Keterbukaan pasar tidak
terbatas pada komoditi tradisional saja, melainkan akan juga mencakup tenaga kerja. Menghadapi arus
globalisasi tersebut, negara membutuhkan kemampuan yang cukup untuk dapat bersaing dengan negara-
negara lain. Dan sistem yang diterapkan dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi menempati kelompok
satuan atau lapis yang secara langsung terlibat dan bertanggungjawab mengenai penetapan tujuan,
penyediaan sumberdaya, pelaksanaan proses, dan evaluasi kualitas hasil serta kinerja.

Keterlibatan dan pertanggungjawaban tersebut, baik secara bersama maupun oleh masing-masing lapis
dilaksanakan dalam suatu kerangka kewajiban, tugas dan wewenang, yang secara keseluruhan membentuk
Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi. Ke-empat lapis tersebut terkait satu dengan lainnya secara
hierarkis, yaitu : Lapis ke-1 Otoritas Pusat, Lapis ke-2 Perguruan Tinggi, Lapis ke-3 Unit Akademik Dasar,
Lapis ke-4 Sivitas Akademika. Posisi mahasiswa berada pada lapis ke-empat yang dalam proses pengambilan
kebijakan sama sekali tidak berpengaruh karena struktur organisasi Perguruan Tinggi itu sendiri yang kini
menaruh Majelis Wali Amanat (MWA) sebagai organ yang mewakili pemerintah dan masyarakat dalam
Perguruan Tinggi. Walaupun Perguruan Tinggi merupakan BHMN yang bersifat nirlaba, tetapi ia
diperbolehkan mendirikan badan usaha yang mendukung penyelenggaraan pendidikan, untuk mengatasi
biaya operasional. Terbukalah peluang bagi Perguruan Tinggi untuk bekerja sama dengan para pemilik
modal, berarti pendidikan menjadi komersial. Sebagai contoh, Universitas Gadjah Mada (UGM) telah
membentuk sebuah badan usaha bernama PT. GMUM yang memiliki 23 anak perusahaan dan siap
menerbitkan saham begitu keuntungan sudah diperoleh. Kepentingan-kepentingan pemodal ini kemudian
terwakili dalam Majelis Wali Amanat, yang selain terdiri atas unsur pemerintah (Menteri) dan Kampus (Senat
Akademik dan Rektor), juga mencakup wakil dari masyarakat. Secara nyata ”wakil dari masyarakat”
hanyalah sebuah penghalusan dari ”wakil pemilik modal.”

Hal inilah yang kemudian menelanjangi keberadaan sistem pendidikan pada perguruan tinggi di Indonesia,
bahwa pendidikan adalah komoditi bagi kapitalisme, menjadikan perguruan tinggi sebagai badan usaha yang
menghasilkan modal dan menjadi alat pemilik modal untuk mencetak tenaga-tenaga kerja terampil yang
sesuai dengan standar kapitalisme. Pendidikan direduksi tidak lagi berdasarkan minat tetapi didasarkan atas
kebutuhan sistem kapitalisme. Matakuliah yang ada dipecah-pecah dan direduksi proses ilmiahnya menjadi
lebih pragmatis, dan jelas yang tak sesuai dengan kepentingan pemilik modal akan dibuang dan disampaikan
dalam potongan-potongan ilmu yang dinamakan Satuan Kredit Semester (SKS). Terjadi pula pemangkasan
masa studi menjadi lebih singkat guna menjamin pasokan tenaga kerja terdidik cepat untuk disalurkan
kepada pemilik modal. Mekanisme pasar kemudian berlaku dalam pasar tenaga kerja. Apabila kemudian
jumlah tenaga kerja yang tersedia membludak dan melebihi kemampuan serap, maka daya tawar pemilik
modal meningkat dan melemahkan posisi tawar calon-calon pekerja yang baru lulus tersebut. Daripada
menjadi pengangguran, mau tak mau mereka kemudian menerima saja bekerja dengan gaji rendah atau
standar kerja yang minim.

Dengan terbatasnya anggaran untuk pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kepada lembaga pendidikan
(dasar, menengah ataupun tinggi) telah membuka kesempatan bagi lembaga pendidikan untuk mengutip
uang dari peserta didik, selain itu lembaga pendidikan (terutama perguruan tinggi) kemudian berlomba-
lomba untuk menjaring peserta didik sebanyak-banyaknya dengan berbagai jenis jalur masuk serta kutipan
uang masuk yang berbeda-beda yang mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
VII. Legislasi Produk Neokolim Dalam Pendidikan Nasional: Dari UU BHP Ke RUU Perguruan Tinggi!

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 9


Masih hangat, saat pencabutan Undang-Undang No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP)
pada tanggal 30 Maret 2010 oleh Mahkamah konstitusi (MK) karena desakan dari berbagai kalangan secara
intensif mulai dari jalur Hukum (Yudisial Review) hingga dengan jalan yang lebih maju dengan berbagai aksi
protes diberbagai daerah, juga karena UU tersebut bertentangn dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD
1945). Pada kenyataannya, Pencabutan UU Tersebut sama sekali tidak merubah kenyataan penyelenggaraan
pendidikan menjadi lebih demokratis untuk dapat diakses secara luas dan terbuka bagi seluruh Rakyat,
bahkan PP No. 17 tahun 2010 sebagai pengganti UU BHP tersebut secara esensial tidak jauh berbeda dengan
UU BHP yaitu kebijakan yang mengatur sistem pendidikan yang menekankan pada otonomi kampus,
sehingga praktek komersialisasi didunia pendidikan tetap dapat dijalankan. Meskipun UU BHP telah dicabut
pada awal tahun 2010 lalu, dalam prakteknya tidak sama sekali mengubah esensi liberalisasi dan
komersialisasi pendidikan, hingga saat ini penyelenggaraan pendidikan masih sangat menekankan sistem
otonomi baik dalam pembiayaan maupun sistem pengelolaan lainnya serta anggaran dan subsidi dari
pemerintah untuk sektor Pendidikan masih menunjukkan angka yang sangat rendah.
Namun masih saja kekuatan kapitalis di negeri ini berusaha untuk terus-menerus menjadikan pendidikan
Indonesia sebagai alat akumulasi modal, RUU Perguruan Tinggi merupakan bukti nyata upaya dari
kepentingan imperialis asing untuk semakin menghacurkan tatanan pendidikan nasional. Tampak jelas
cengkraman ekonomi liberal dalam kehidupan rakyat Indonesia, hal ini dapat ditemukan dari keberadaan
produk legislasi Neokolim tersebut; dimana sebelumnya produk itu adalah UU BHP (dicabut MK 30 Maret
2010) kini akan ditukar dengan produk legislasi RUU Perguruan Tinggi.

Pengaruh kekuatan Neoliberal jelas-jelas tampak dalam RUU Perguruan Tinggi ini, yang secara eksplisit
melegitimasi keberadaan kaum imperialis-kapitalis asing ke dalam sistem pendidikan nasional. Dari RUU
Perguruan Tinggi tersebut, Bab V tentang Perguruan Tinggi Asing dan Kerjasama Internasional. Pasal 73 ayat
1 disebutkan bahwa perguruan tinggi asing dapat membuka program studi di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sedangkan Pasal 74 ayat 2: (1) Perguruan Tinggi dapat melaksanakan kerja sama
Internasional. (2) Kerja sama internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup kegiatan antara
lain: a. pertukaran dosen dan mahasiswa b. pengembangan kurikulum c. pelaksanaan kerjasama program
studi d. pengembangan organisasi dan/atau e. penelitian. (SuaraMerdeka, 10/7/2011)
Secara substansial semangat liberalisasi-kapitalistik pendidikan dari RUU Perguruan Tinggi begitu kuat. RUU
Perguruan Tinggi ini sepenuh-penuhnya mereduksi habis-habisan hal-ikhwal tujuan pendidikan nasional,
yang mana pendidikan hanya berfungsi menciptakan buruh-buruh di pasar global.

RUU ini hanya untuk mengakomodasi struktur kepentingan kaum pemodal dan institusi dengan
dibatalkanya UU BHP. Sebab ada begitu kuatnya kepentingan imperialis-asing melalui RUU PT guna
menjadikan pendidikan tinggi Indonesia sebagai komoditas.
Pada kenyataannya, di perguruan tinggi-perguruan tinggi yang ditunjukkan dengan naiknya biaya
pendidikan pada periode tahun ini adalah sebagai bukti komersialisasi pendidikan. Dengan membuka
berbagai kerjasama serta berbagai program study, PT semakin leluasa untuk tetap menaikkan biaya
pendidikan, salah satunya adalah dengan membuka kelas internasional dengan uang pangkal dan uang
semester yang berkalilipat dengan kelas reguler. Universitas Indonesia misalnya, yang membuka kelas
internasional, difakultas kedokteran uang pangkalnya mencapai 70 juta dengan biaya semester 35 juta,
fakultas teknik uang pangkal 25 juta dengn biaya semester 15 juta, dan fakultas ekonomi yang uang
pangkalnya 26 juta dan biaya semesternya 25 juta, dan hal ini juga terjadi dibeberapa kampus lainnya, sperti
UNS menetapkan biaya pembangunan institusi mencapai Rp. 100 juta untuk fakultas kedoktaran, dan di
UNHAS mempunyai Jalur Non-Subsidi (JNS) dengn biya rata-rata Rp. 20 juta per-semester.
Kenyataan ini diperkuat dari akses orang miskin di Perguruan Tinggi Negeri pada tahun 2011 ini, akses orang
miskin ke PTN sebesar 4,19%. Sedangkan orang kaya mencapai 32,4%, angka perbandingn ini sangat jauh
mencapai 10%. Dan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, anggarannya jauh di atas
Indonesia. Di Malaysia, anggaran untuk mahasiswa mencapai 114 juta rupiah per mahasiswa per tahun. Dan
ini belum termasuk soal pengembangan sumber daya manusia yang juga membutuhkan biaya besar.

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 10


Berbagai macam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak berbanding lurus dengan
kepentingan/kebutuhan rakyat Indonesia. Pemerintah selalu mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya
untuk memajukan kualitas pendidikan. Dalam kondisis seperti ini pemerintah sama sekali tidak memiliki niat
baik untuk menopang kualitas pendidikan, baik yang meliputi sarana dan prasarana, ataupun aspek
penunjang lainnya demi berjalannya proses belajar mengajar degan baik dan efektif seperti: Fasilitas yang
memadai dan merata, tenaga pengajar dengan kualitas dengan kesejahteraan yang terjamin dan lain
sebagainya.
Sementara anggaran pendidikan yang diamanatkan dalam UUD 1945 minimal 20% dari APBN-APBD masih
belum sepenuh terealisasi. Anggaran pendidikan 20% yang dikampanyekan oleh Pemerintah, bahkan oleh
SBY sendiri yang katanya lebih dari standar yaitu telah mencapai 20,2% ternyata bukan sepenuhnya untuk
pendidikan riil, akan tetapi dalam pendistribusiannya angka tersebut termasuk alokasi untuk gaji Guru dan
Dosen, dan belum lagi dibagi dalam anggaran pendidikan kedinasan dan lembaga lainnya. Pada tahun 2011
ini, anggaran pendidikan masih menggunakan pola yang sama. Bahkan jika dihitung anggaran untuk
pendidikan murni hanya mencapai 10% dari APBN, dan itu artinya, setiap tahunnya tingkat partisipasi rakyat
akan terus berkuran akibatnya, jumlah putus sekolah dan penyandang buta aksara akan meningkat seiring
dengan konsep liberalisasi dan privatisasi didunia pendidikan.
Bahwa dari total anggaran pendidikan yang 20% bukanlah sepenuhnya untuk pendidikan riil, akan tetapi
telah dibagi kedalam beberapa lembaga seperti ke Depertemen Agama, yang semestinya Depertemen Agama
memiliki anggaran sendiri, dan diluar dari anggaran pendidikan itu sendiri, dan konsep pendanaan inilah
yang dibanggakan oleh pemerintahan SBY, yang dalam pidatonya mengatakan anggaran pendidikan untuk
tahun 2011 melebihi dari amanat Konstitusi, padahal kenyataannya SBY melakukan pembohongan publik,
kepada seluruh rakyat Indonesia.
Dalam sepuluh tahun terakhir, peranan swasta semakin terasa kehadirannya di dalam kehidupan universitas:
supermarket mulai berdiri di kampus (menggantikan koperasi mahasiswa), pusat kegiatan mahasiswa mulai
disewakan, kehadiran pengusaha di majelis wali amanat, dan lain-lain.
Biaya pendidikan terus meroket naik, bahkan sejumlah kampus favorit berlomba-lomba menaikkan biaya
kuliah untuk menunjukkan gengsinya. Menyadari tingginya biaya itu, seorang rekan dosen menjadi ragu
apakah ia bisa menyekolahkan anaknya di perguruan tinggi. Kalau seorang dosen saja mengeluh, apalagi
mereka yang berpenghasilan lebih rendah. Apakah pendidikan tinggi peduli kepada yang miskin? Biaya
tinggi itu apakah akan menghasilkan orang-orang yang peduli kepada yang miskin? Bukankah pertama-tama
investasi itu harus kembali? 
Karena ulah kapitalisme ini pula lah, maka pembukaan jurusan dan mata-kuliah disesuaikan dengan
kebutuhan modal akan pasar tenaga kerja. Jika pasar tenaga kerja memerlukan banyak tenaga elektro, maka
dibukalah sebanyak-banyaknya jurusan elektro, atau informatika computer, dengan masa studi yang
dipersingkat. Ataupun jurusan-jurusan yang, seperti Jurusan Ekonomi Management serta Akutansi. Tinggi-
rendahnya ”bargain” tenaga kerja di pasar tenaga kerja juga mempengaruhi persaingan di sekolah-sekolah
tinggi atau Universitas. Sesuai dengan program US untuk Negara-negara anggota ASEAN, khususnya
Indonesia yaitu Labor Market Flexibelity (LMF) dan Relevancy and Efisiency sesuai program IMHERE dalam
perjanjian kerjasama dengan Bank Dunia (WB). Dalam aspek ini, orientasi sistem pendidikan Indonesia adalah
memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja, dimana pemerintah selalu latah dan tidak pernah serius dalam
mengkoreksi persoalan pendidikan.
Akan tetapi, akibat dari penerapan pasar tenaga kerja yang fleksibel dan juga proses de-industrialisasi akibat
neoliberalisme, maka barisan penganggur dari berbagai Universitas pun makin bertambah besar. Tahun 2010,
BKKBN (Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional) memperkirakan 13 juta anak Indonesia
terancam putus sekolah. Sebuah laporan menyebutkan bahwa 59,8% lulusan Sekolah Menengah Atas
(SMA/SMU) tidak dapat melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi atau yang sederajat. Di Indonesia 4,1
juta mahasiswa tahun 2010. Data dari Universitas Brawijaya Malang memperkirakan jumlah sarjana
menganggur di Indonesia mencapai 2,6 juta orang. Sementara data resmi pemerintah menyebutkan angka
yang lebih kecil dari itu. Ada yang mengatakan, jumlah keluaran Universitas yang menganggur setiap

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 11


tahunnya mencapai 60%, sedangkan yang terserap lapangan kerja hanya 37%. Data resmi mengungkapkan
bahwa masih ada sekitar 9,7 juta atau 5,97% rakyat Indonesia yang buta-huruf.
Dengan barisan panjang ”kaum terpelajar yang menganggur”, orang-orang pun bertanya: Jika nantinya kita
tetap menganggur, lantas untuk apa kita bersekolah tinggi-tinggi? Bersekolah atau belajar bukan lagi
dipandang sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa, tetapi hanya dianggap sebagai ”tahap untuk mencari
pekerjaan”. Ada persoalan besar di sini, bahwa perguruan tinggi di Indonesia ”terlalu mahal” untuk anak-
anak petani, buruh, rakyat miskin kota, dan lain sebagainya. Sebagai akibatnya, karena terlalu banyak yang
tertolak oleh Universitas/perguruan tinggi, maka para pemuda-pemuda potensial ini terlempar ke dalam
pasar tenaga kerja murah, masuk ke industri-industri ber-upah murah. Ini situasi yang sangat berbahaya.
Tanpa kemajuan teknik dan berpikir, suatu bangsa akan sulit untuk mengejar kemajuan, apalagi kesejahteraan
sosial. Dengan jumlah 4,5 juta mahasiswa pada tahun 2010, jumlahnya menjadi sangat minimum untuk
menjadi ”obor kemajuan” bagi 200 juta lebih rakyat Indonesia saat itu.

Untuk kemajuan nasional melalui pendidikan, ada dua masalah yang dihadapi; pertama, biaya pendidikan
perguruan tinggi yang semakin mahal, menyebabkan ”bangku” universitas hanya dapat diakses segelintir orang. Kedua,
kurikulum pendidikan hanya mengarahkan mahasiswa untuk menjadi tenaga kerja murah, misalnya dengan kurikulum
ilmu terapan dan sekolah kejuruan.

Tidak salah kemudian, jika pendidikan Indonesia saat ini sangat mirip dengan jaman kolonial, yaitu mendidik
pribumi untuk sekolah rendahan, sekedar bisa baca dan tulis, untuk dilepas ke industri-industri mereka.
Lihatlah kebijakan politik etis, dimana anak-anak pribumi hanya diberi kesempatan pada sekolah-sekolah
rendahan, yang tujuannya sekedar untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja murah dan tenaga administrasi
rendahan.

Dengan berbagai kenyataan itu, semakin jelaslah bahwa salah satu tujuan nasional kita, yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa, masih sangat jauh dari harapan. Pendidikan nasional menjadi alat penopang struktur
kekuatan Neoliberalisme.

’matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papan tulis-papan tulis para
pendidik yang terlepas dari persoalan hidup’

W.S Rendra

Dari pemaparan sebelumnya, jelas bahwa karakter sistem pendidikan Nasional kita tidak mampu menjawab
persoalan rakyat, artinya pendidikan telah jauh dari hakekat yang sebenarnya. Tidak mampu meningkatkan
mutu pendidikan, kurikulum yang tidak ilmiah yang hanya membentuk cara berpikir peserta didik jauh dari
persoalan dan kenyataan sosial atau kondisis kongkrit yang dihadapi rakyat. Rakyat Indonesia sangat
berkepentingan atas pendidikan dan lapangan pekerjaan. Pendidikan dan lapangan pekerjaan adalah jaminan
untuk masa depan peningkatan kualitas hidup serta demi kemajuan nasional. Hak atas pendidikan dan
lapangan pekerjaan di Indonesia, dalam kenyataannya masih jauh dari harapan. Biaya pendidikan di
Indonesia terbilang sangat mahal. Akibat tidak dipenuhinya anggaran pendidikan 20 % sesuai amanat UUD
1945 dan kebijakan pencabutan subsidi pendidikan untuk rakyat. Biaya pendidikan di perguruan tinggi pada
periode 2010-2011 menunjukkan angka yang tinggi dengan rata-rata disetiap perguruan tinggi mencpai
minimal Rp. 600.000 hingga puluhan juta Rupiah, bahkan dibeberapa perguruan tinggi dengan jurusan
tertentu seperti fakultas kedokteran atau kelas Internasional mencapai ratusan juta rupiah.

Selain itu juga, sistem pendidikan nasional kita tidak demokratis, hal ini bisa dibuktikan dengan tingginya
diskriminasi dalam akses pendidikan, penyaluran bantuan atau subsidi, pengadaan anggaran serta tidak
Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 12
adanya jaminan kebebasan berorganisasi dan menyampaikan pendapat dimuka umum. Padahal dalam UUD
1945 pasal 28 (e) telah diatur tentang jaminan mengeluarkan pendapat, akan tetapi dalam berbagai kebijakan
disektor pendidikan tidak memberikan jaminan kebebasan dan berorganisasi dan mengeluarkan pendapat
bagi pelajar/mahasiswa. Dalam pengambilan kebijakan pelajar/mahasiswa tidak dilibatkan.
Hal ini dilakukan untuk mencegah berkembang dan majunya pelajar/mahasiswa yang kritis-progresif yang
mengabdi pada kepentingan rakyatnya. Budaya pasif menghilangkan budaya gotong-royong, siswa menjadi
individualis, dan konsumtif semakin berkembang pada peserta didik. Faktanya, banyak pelajar/mahasiswa
yang tidak peduli lagi dengn kondisi sosial, terhadap penderitaan buruh, kaum tani dan rakyat miskin
lainnya bahkan tidak sedikit peserta didik yang juga tidak menyadari kepentingannya. Tidak bertanggung
jawabnya negara atas rakyatnya juga semakin dibuktikan dengan tidak tersedianya lapangan pekerjaan yang
luas bagi rakyat.
Kondisi pendidikan seperti ini tidak terlepas dari sistem pendidikan yang tidak ilmiah, tidak demokratis dan
tidak mengabdi pada rakyat, sebaliknya sistem pendidikan di Indonesia hanya berorientasikan sebagai ajang
bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda. Hal ini dilakukan sebagai ajang liberalisasi
ekonomi, mempercepat konsep komersialisasi pendidikan.
Dengan kenyataan masyarakat Indonesia yang diselimuti dengan kegelapan dan keterbelakangan budaya dan
kesadaran politik yang rendah serta keadaan ekonomi yang terus merosot, maka Sistem Pendidikan yang
tepat bagi Masyarakat Indonesia adalah Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Pada Rakyat.
Pendidikan Gratis
Pendidikan adalah hak semua umat manusia, ia menjadi dasar dari maju atau tidaknya ilmu pengetahuan
manusia secara menyeluruh, maka pendidikan dibawah kontrol negara harus memihak pada rakyat.
Kenapa pendidikan harus digratiskan? Jawabnya adalah bahwa pendidikan sudah menjadi kebutuhan massa
rakyat, guna memajukan dan mengetahui apa yang seharusnya rakyat ketahui. Dan pendidikan adalah
kebutuhan segenap rakyat Indonesia, pemerintah harus bertanggung jawab menjamin akses pendidikan bagi
rakyat tanpa beban biaya. Dan dengan banyaknya siswa yang putus sekolah gara-gara pendidikan mahal
sehingga pendidikan sulit dijangkau oleh rakyat.

Pendidikan Ilmiah
Pendidikan bukan hanya gratis saja, tetapi bagaimana pendidikan ini bisa menjadi spirit untuk memajukan
kesadaran rakyat, dapat memanusiakan-manusia, pendidikan yang bersentuhan langsung dengan keinginan
rakyat seluruhnya.

Apa yang dibutuhkan rakyat harus dipelajari dalam ruang pendidikan yang ada. Dan pendidikan sekarang
sangat jauh dari realita kehidupan rakyat, menemukan akar persoalan dari kesengsaraan hidup rakyat serta
solusi jawaban atas persoalan rakyat.

Pendidikan yang Demokratis


Praktek nilai-nilai demokratis dalam (pendidikan) sangatlah penting dan dibutuhkan, dimana rakyat sebagai
subjek dari pendidikan mempunyai hak untuk juga ikut menentukan proses pendidikan, termasuk kebijakan-
kebijakan terkait dengan pendidikan. Seluruh rakyat, tanpa terkecuali! berhak memperoleh pendidikan
seluas-luasnya dan setinggi-tingginya tanpa dibeda-bedakan.

Bahwa pendidikan harus menjadi alat pembebasan, diabdikan sepenuh-penuhnya bagi rakyat. Pendidikan
harus menjadi solusi atas persoalan-persoalan yang terjadi pada rakyat, memajukan budaya kepribadian
bangsa menuju Indoensia yang adil, sejahtera, mandiri dan berdaulat. 
Konsep inilah kemudian yang membawa pendidikan mampu menjawab persoalan rakyat. Selain itu, adapun
beberapa kekhususan yang harus menjadi landasan pelajar, pemuda, mahasiswa, dan kalangan intelektual
lainnya  untuk terlibat aktif dalam perjuangan rakyat, terutama klas buruh atau pekerja lainnya dan kaum tani
serta rakyat lainnya. Yang paling pokok adalah menyadari bahwa segala persoalan yang muncul disektor
pendidikan dan dihadapi oleh rakyat hari ini tidak terlepas dari persoalan pokok rakyat akibat dari sistem

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 13


ekonomi Neoliberalisme yang dijalankan secara sistematis oleh pemerintah SBY, yang menciptakan
pengangguran sebesar-besarnya sebagai cadangan tenaga kerja murah.
Bahwa pendidikan untuk kepentingan nasional, sejatinya merupakan dukungan akan gerakan dan
pergerakan paradigma yang berbasis kekuatan berpikir antikemapanan karena yang diharapkan dalam
konsep pendidikan adalah adanya produk-produk pendidikan yang bisa melawan tirani yang dominan dan
dominasi status quo yang tidak menghendaki status perubahan masyarakat.

Hakekat utama pendidikan adalah membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat proses humanisaasi
atau memanusiakan manusia. Dengan paparan diatas kita akan teringat pada masa penjajahan belanda
dimana kondisi kaum pribumi yang miskin dan melarat tidak dapat mengenyam yang namanya pendidikan,
hanya dari kalangan anak priyai yang bisa sekolah karena disamping bayak duit mereka juga dekat dengan
pemerintahan hindia belanda pada waktu itu. Dan dari kalangan pribumi yang melarat kehidupannya,
dibiarkan terus-terusan bodoh dan patuh terhadap kemauan pemerintah kolonial hindia belanda, dan
menggunakan tenaga mereka secara gratis. Van Hoof & Van Wieringen (1986) mengatakan dalam suatu
konferensi pendidikan tinggi Eropa, "Jika pemerintah suatu negara tidak secara serius memerhatikan arah dan
pengelolaan pendidikan tinggi di negaranya, dapat dipastikan pembangunan ekonomi negara tersebut akan
terhambat."

Maka Liga Mahasiswa Nasional untu Demokrasi (LMND) sebagai organisasi mahasiswa progresif-
revolusioner dalam perjuangan bersama dengan massa rakyat guna menghapuskan sistem yang menindas
hak-hak rakyat, serta mewujudkan tatanan masyarakat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi
dan berkepribadian dalam bidang ekonomi menyerukan kepada seluruh rakyat-kaum muda terpelajar-
terdidik serta juga mengajak kaum terpelajar-terdidik dari kampus-kampus diseluruh Indonesia untuk
mengamalkan nilai-nilai Tri Dharma Perguruan Tinggi yang sejati dalam kehidupaan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sebagai wujud pengabdian kaum muda (mahasiswa) pada ibu pertiwi, ibu yang
sudah melahirkan kaum terdidik-terpelajar. Perjuangan perubahan kehidupan rakyat serta kemajuan
Indonesia menjadi tugas sejarah; karena kaum terdidik-terpelajar merupakan bagian tak terpisah dari sejarah
perjuangan rakyat Indonesia, sebagaimana yang tercatat dalam kronik revolusi pembebasan nasional
Indonesia.

Sudah menjadi keharusan bahwa kaum pemuda, pelajar, mahasiswa, intelektual-akademisi serta seluruh
rakyat Indonesia lainnya mengambil bagian terlibat dalam perjuangan untuk pendidikan bagi seluruh rakyat,
dengan menuntut pemerintah supaya menjalankan tanggungjawabnya atas pendidikan, dan
menyelenggarakan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat sebagai jaminan untuk
dapat mewujudkan kehidupan rakyat yang adil, sejahtera, mandiri dan berdaulat sekaligus mengajak untuk
mendukung dan terlibat aktif dalam perjuangan rakyat disektor lainnya untuk kepentingan nasional demi
mewujudkan Indonesia yang mandiri, berdaulat, dan berkepribadian dalam kobaran semangat Pancasila dan
UUD 1945.

”Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya:


Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?”

WS Rendra

Materi Pendidikan Dasar Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi Page 14

Anda mungkin juga menyukai