Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Praktik pencucian uang hasil dari tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
Pejabat Negara di Indonesia telah sangat memberikan dampak yang signifikan
terhadap meningkatnya tindak pidana pencucian uang, yang merupakan salah satu
upaya yang dilakukan pelaku tindak pidana menghindari dirinya dari jeratan hukum
atau pembayaran uang pengganti dengan cara menyembunyikan atau mengaburkan
hasil kejahatannya melalui pencucian uang (money laundering).1
Supremasi hukum bermakna sebagai optimalisasi peran hukum dalam
pembangunan, memberi jaminan bahwa agenda pembangunan nasional berjalan
dengan cara yang teratur, dapat diramalkan akibat dari langkah-langkah yang
diambil (predictability), yang didasarkan pada kepastian hukum (rechtszekerheid),
kemanfaatan, dan keadilan (gerechtigheid).
Hubungan yang erat antara korupsi dengan pencucian uang terungkap dalam
praktik penegakan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Hal itu tercermin dalam beberapa perkara penting yang diajukan, dibuktikan, dan
diputus oleh hakim yang berkekuatan hukum tetap maupun yang masih dalam
upaya hukum tingkat banding atau tingkat kasasi, dimana pelaku tindak pidana
korupsi tidak hanya melakukan korupsi saja tetapi juga melakukan tindak pidana
pencucian uang.2 Lord Acton pernah membuat sebuah ungkapan yang
menghubungkan antara “Korupsi” dengan “Kekuasaan”, yakni “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, bahwa “Kekuasaan cenderung
untuk korupsi dan kekuasaan yang absolute cenderung korupsi absolute”.3
Adanya ungkapan di atas disebabkan realitas saat ini menunjukkan memang
benar seperti itu. Kekuasaan yang absolut cenderung koruptif, apalagi jika tidak ada
transparansi, akuntabilitas dan check and balances. Untuk itu dalam sistem peradilan
1
Laode M. Syarif dan Didik E. Purwoleksono. Hukum Anti Korupsi, (Jakarta, The Asia
Foundation, 20l2), hal. 243
2
Yudi Kristiana, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Perspektif Hukum
Progresif, (Yogyakarta, Thafa Media, 2015), hal. 4
3
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK; Komisi Pemberantasan Korupsi;
Kajian Yuridis Normative UU Nomor 31 Tahun 1999 Junto UU Nomor 20 Tahun 2001 Versi UU
Nomor 30 Tahun 2002, (Jakarta, Sinar Grafika, 2009), hal. 1
1
pidana perkara pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan prioritas utama. Hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan bahwa “penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana
korupsi harus didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya”.
Seiring perkembangan dan kemajuan zaman, para pelaku tindak pidana
korupsi pun semakin meningkatkan cara dan modus operandinya, baik dalam proses
melakukan tindak pidana korupsi maupun dalam proses menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul dari harta kekayaannya. Salah satunya dengan cara yang
selama ini dikenal dengan istilah pencucian uang (money laundering). Pencucian
uang (Money Laundering) adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan hasil tindak pidana
melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak
seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal.4
Penempatan tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana asal (predicate
crime), merupakan pendapat dari pembentuk undang-undang yang memandang
bahwa korupsi merupakan persoalan bangsa yang paling mendesak dalam
penanganannya. Sistem peradilan pidana selama ini, pada tindak pidana pencucian
uang tidak dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya (predicate crime).
Penuntut Umum dalam mengajukan dakwaan pencucian uang lepas dari tindak
pidana asal, tidak betul-betul dibuktikan tindak pidana asalnya. Namun belakangan
ini Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi telah menggabungkan perkara
tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang. Jika pun ada terdakwa
yang lolos dari dakwaan tindak pidana korupsi bukan berarti dia dapat lolos dari
jeratan tindak pidana pencucian uang.
Penggabungan perkara merupakan salah satu bagian yang krusial dalam
penanganan tindak pidana pencucian uang. Penggabungan perkara yang
dimaksudkan di sini adalah penggabungan perkara antara tindak pidana asal,
khususnya tindak pidana korupsi dengan tindak pidana pencucian uang.
Penggabungan perkara itu bisa terjadi ditingkat penyidikan maupun
penuntutan/persidangan.
Disisi lain dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 juga
menimbulkan pemahaman yang terlanjur diyakini kebenarannya walaupun belum
4
Laode M. Syarif, Hukum Anti Korupsi, Op. Cit, hal. 236
2
tentu sepenuhnya benar,5 yaitu Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan
Korupsi dianggap baru bisa melakukan penyidikan dan penuntutan tindak pidana
pencucian uang dalam hal sedang menangani tindak pidana korupsi yang kemudian
menemukan tindak pidana pencucian uang yang predicat crime-nya tindak pidana
korupsi yang kemudian membawa konsekuensi seolah-olah Komisi Pemberantasan
Korupsi tidak bisa mengajukan tindak pidana pencucian uang secara terpisah dari
tindak pidana asalnya.
Beberapa putusan hakim terkait penggabungan perkara tindak pidana korupsi
dengan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi terkadang terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinion) oleh majelis
hakim dalam memutuskan perkara, sehingga ke depannya dikhawatirkan akan
bebasnya pelaku tindak pidana korupsi dan pelaku tindak pidana pencucian uang
dari jeratan hukum, padahal jika ditelisik lebih jauh hal ini mengindikasikan bahwa
keduanya merupakan dua tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama dalam
waktu tertentu.
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan tersebut, maka
dalam penelitian hukum ini penulis menyusun penulisan makalah dengan judul:
“PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA
PENCUCIAN UANG”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji
dalam penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tinjauan umum tindak pidana pencucian uang
2. Bagaimana dampak tindak pidana pencucian uang terhadap sektor
ekonomi dan bisnis

BAB II

PEMBAHASAN

5
Ibid. hal. 226
3
A. Tinjauan Umum Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang atau juga dikenal dengan money laundering adalah


perbuatan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan melalui
berbagai transaksi keuangan sehingga seolah-olah diperoleh dengan cara yang sah.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa tujuan utama dari pencucian uang adalah
menyamarkan bahwa harta kekayaan itu diperoleh dari tindak pidana, sehingga
dapat menikmati hasilnya untuk kegiatan yang sah.6
Pengertian tindak pidana pencucian uang yang lain adalah sebagaimana
dijumpai dalam Black Law Dictionary.7
“Money laundering is term applied to taking money gotten illegally and
washing or laundering it so appears to have been gotten legally.”
Artinya: “pencucian uang adalah istilah yang diterapkan untuk mengambil
uang dan mendapatkannya secara ilegal dan pencucian tersebut telah tampak dimulai
secara melawan hukum”. Berdasarkan pengertian ini terlihat bahwa money
laundering adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perolehan uang
secara tidak sah dan menggunakannya seolah-olah tampak diperoleh secara sah.
Istilah ini menggambarkan juga, bahwa pencucian uang (money laundering)
adalah penyetoran atau penanaman uang atau bentuk lain dari pemindahan atau
pengalihan uang yang berasal dari pemerasan, transaksi narkotika, dan sumber-
sumber lain yang ilegal melalui saluran legal, sehingga sumber asal uang tersebut
tidak dapat diketahui atau dilacak.8
Money Laundering merupakan suatu proses yang dengan cara itu aset,
terutama aset tunai yang diperoleh dari tindak pidana dimanipulasi sedemikian rupa
sehingga aset tersebut seolah-olah berasal dari sumber yang sah. Tindak pidana
pencucian uang merupakan tindak pidana lanjutan (predicate crime), atau yang
dikenal dengan istilah kejahatan asal. Hasil tindak pidana dimaksudkan adalah harta
kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana. Korupsi menjadi sumber utama dari
perolehan uang yang tidak sah sehingga dapat diartikan bahwa korupsi menjadi
salah satu sumber utama predicate crime dalam pencucian uang.
Asal muasal money laundering dilakukan oleh organisasi kriminal yang
sering dikenal dengan sebutan mafia. Money laundering biasanya dilakukan atas
6
Yudi Kristiana, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Op. Cit, h. 17.
7
Ibid. hal. 18
8
Juni Sjafrien Jahja, Melawan Money Laundering, (Jakarta: Visimedia, 2012), halaman 4
4
beberapa alasan, seperti karena dana yang dimiliki adalah hasil curian/korupsi, hasil
kejahatan (semisal pada sindikat kriminal), penjualan ganja, pelacuran, penggelapan
pajak, dan sebagainya. Atas hal tersebut maka uang tersebut harus “dicuci” atau
ditransaksikan ke pihak ketiga, lewat badan hukum, atau melalui negara dunia
ketiga. Sehingga uang tersebut dapat diterima kembali oleh pemilik asal uang
tersebut seolah-olah berasal dari hasil usaha yang legal. Untuk itu, perlu diperketat
mengenai pengawasan aliran dana baik asal usul sumbernya maupun tujuan dana
pemakaian dana tersebut. Tujuannya adalah tidak lain untuk memutus dan mencegah
rantai aliran dana yang tidak jelas tersebut yang akan “dicucikan” oleh pemiliknya.9
Di sisi lain, sarana hukum yang berhubungan dengan masalah keuangan dan
perbankan serta pasar modal telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
khusus diperkuat oleh ketentuan mengenai sanksi, meliputi sanksi administrative,
sanksi keperdataan sampai pada sanksi pidana,. Peraturan perundang-undangan
pidana tersebut termasuk “lex specialis systematic”.
Money laundering di Indonesia diatur dalam hukum positif yaitu sejak
lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 yang kemudian disempurnakan
dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, yang telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Memberikan definisi pada Pasal 1 Angka 1 bahwa:
“Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini”.
Pengertian pelaku tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2010 pada Pasal 3 sebagai berikut:
“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa
keluar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-
usul harta kekayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
miliar rupiah). ”

Kegiatan pencucian uang mempunyai dampak yang serius, baik terhadap


stabilitas sistem keuangan maupun perekonomian secara keseluruhan. Tindak pidana
pencucian uang merupakan tindak pidana multidimensi dan bersifat transnasional
9
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Malang, Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 1.
5
yang sering kali melibatkan jumlah uang yang cukup besar. Tindak pidana
pencucian uang (Money Laundering) merupakan organized crime sehingga
penangulangannya merupakan tanggung jawab negara setiap negara yang
diwujudkan dalam kerjasama regional atau internasional melalui forum bilateral dan
multilateral.
Untuk melaksanakan tindak pidana pencucian uang, para pelaku memiliki
metode tersendiri dalam melakukan tindak pidana tersebut. Walaupun setiap pelaku
sering melakukan dengan metode yang bervariasi tetapi secara garis besar metode
pencucian uang dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu placement, layering, dan
integration. Walaupun ketiga metode tersebut dapat berdiri sendiri atau mandiri
terkadang dan tidak menutup kemungkinan ketiga metode tersebut dilakukan secara
bersamaan. Tahap-tahap yang dimaksud yaitu:10
1. Tahap placement yaitu upaya untuk menempatkan harta kekayaan yang
dihasilkan dari kejahatan atau diperoleh secara tidak sah ke dalam sistem
keuangan, misal dengan menempatkan di bank, menyetorkan sebagai
pembayaran kredit, menyeludupkan dalam bentuk tunai, membiayai
kegiatan atau usaha yang sah, membeli barang-barang yang berharga dan
sebagainya.
2. Tahap layering yaitu upaya untuk memisahkan hasil tindak pidana dari
sumbernya yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi
keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta
kekayaan. Hal ini dilakukan misalnya dengan mentransfer dari satu bank
ke bank lain termasuk antar wilayah atau negara menggunakan simpanan
tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah,
memindahkan uang tunai lintas negara, dan lain- lain.
3. Tahap integration yaitu upaya pada harta yang telah tampak sah, baik
untuk dinikmati secara langsung maupun secara tidak langsung,
diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun
keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah,
ataupun untuk membiayai kembali tindak pidana. Dalam melakukan
pencucian uang pelaku tidak mempertimbangkan hasil yang akan
diperoleh, dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan karena tujuan

10
Sutan Remi Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan
Terorisme, (Jakarta, PT. Pustaka Utama Gravity, 2007), halaman 60
6
utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal-usul uang
sehingga hasil tindak pidana akhirnya dapat dinikmati atau digunakan
secara aman.
Ketiga kegiatan tersebut di atas dapat terjadi secara terpisah atau stimulan,
namun secara umum dilakukan secara tumpang tindih. Modus operandi pencucian
uang dari waktu ke waktu semakin kompleks dengan menggunakan technology dan
rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahapan placement,
layering, maupun integration sehingga penanganannya pun menjadi semakin sulit
dan membutuhkan peningkatan kemampuan (capacity building) secara sistematis
dan berkesinambungan. Pemilihan modus operandi pencucian uang bergantung pada
kebutuhan pelaku tindak pidana.
Keberhasilan PPATK sejak didirikannya pada Tahun 2003 memang belum
cukup menyakinkan terutama dari kacamata internasional di mana data statistik
perkara TPPU sampai Tahun 2010 hanya mencapai 30 (tiga puluh) perkara yang
dijatuhi putusan pengadilan PPATK mengemukakan bahwa ada 7 (tujuh) kelemahan
dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pencucian uang, yaitu sebagai
berikut :11
a) Kriminilalisasi perbuatan pencucian uang yang multi interpretative,
banyaknya unsure yang harus dipenuhi atau dibuktikan sehingga
menyulitkan dalam hal pembuktian.
b) Kurang sistematis dan tidak jelasnya klasifikasi perbuatan yang
perbuatan yang dapat dijatuhi sanksi berikut bentuk-bentuk sanksinya;
c) masih terbatasnya pihak pelapor (reporting parties) yang harus
menyampaikan laporan kepada PPATK termasuk jenis laporannya;
d) Tidak adanya landasan hukum mengenai perlunya penerapan prinsip
mengenali penggunaan jasa (costumer due diligence) oleh pihak pelapor;
yang ada hanya “know your costumer (KYC)”.
e) Terbatasnya instrument formal untuk melakukan deteksi dan penafsiran
serta penyitaan asset hasil kejahatan; dan
f) Terbatasnya kewenangan PPATK
Tujuh kelemahan di atas membuktikan bahwa PPATK menyadari
sepenuhnya masih terdapat celah hukum (loopholes) yang menghambat

11
Romli, Atmasasmita. Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana. Fikahati
Aneska, . 2013, hal 67
7
implementasi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 yang telah diubanh dengan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang. Diantara ke-
tujuh kelemahan tersebut, maka dua kelemahan dari sisi perundangan-undangan
(legilasi), satu mengenai landasan ketentuan dalam penyelidikan dan penyidikan
pencucian uang (d dan e) serta dua kelemahan bersifat teknis (c dan f).12
Pembahasan mengenai politik hukum mengenai tindak pidana pencucian berkaitan
dengan kelemahan dari sisi perundang- undangan.

B. Dampak Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Sektor Ekonomi dan Bisnis

Pada dasarnya tindak pidana pencucian uang tidak merugikan seorang atau
perusahaan tertentu secara langsung. Sepintas lalu tampaknya tindak pidana
pencucian uang tidak ada korbannya. Pencucian uang tidak seperti halnya dengan
perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan yang
menimbulkan kerugian bagi korbannya. Pencucian uang, menurut Billy Steel,
merupakan “it seem to be a victimless crime”.13 Tetapi betulkah tindak pidana
pencucian uang (money laundering) tidak berdampak sama sekali terhadap
perekonomian atau menimbulkan kerugian di sektor bisnis? Berkenaan dengan hal
ini, IMF melalui kertas kerja berjudul Money Laundering and The International
Financial System yang disusun oleh Vito Tanzi pada tahun 1996
mengemukakan sebagai berikut: 14
“The international laundering of money has the potential to impose
significant cost on the world economy by (a) harming the effective
operations of the national economies and by promoting poorer economic
policies, especially in some countries; (b) slowly corrupting the financial
market and reducing the public’s confidence in the international financial
system, thus increasing risk and the instability of that system; and (c) as a
consequence (…reducing the rate of growth of the world economic)”.
Dari uraian yang disampaikan dalam kertas kerja IMF ini terlihat
bahwa pencucian uang (money loundering) dapat membahayakan kinrja
ekonomi nasional dan sistem keuangan internasional serta lebih jauh lagi

12
Ibid. hal. 68
13
Billy Steel, Money Laundering-What is Money Laundering, Billy’s Money Laundering
Information Website, http://www.laundryman.u-net.com, diakses 07 April 2020
14
Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit. hal. 17
8
akan berdampak terhadap penurunan angka pertumbuhan ekonomi dunia. Secara
makro, money laundering dapat mempersulit pengendalian moneter,
mengurangi pendapatan negara dan meningkatnya country risk, sementara
secara mikro akan menimbulkan high cost economy dan menimbulkan
persaingan usaha yang tidak sehat.15
Berbagai dampak tindak pidana pencucian uang terhadap sektor
perekonomian dan bisnis. Dampak-dampak tindak pidana pencucian uang itu
sebagai berikut :16
a. Merongrong sektor bisnis swasta yang sah (undermining the legitimate private
bussines sector)
Salah satu dampak mikro ekonomi dari tindak pidana pencucian uang terasa di
sektor swasta. Para pencuci uang sering menggunakan perusahaan- perusahaan
(front companies) untuk mencampur uang haram dengan uang yang sah, dengan
maksud untuk menyembunyikan uang hasil kegiatan kejahatannya. Misalnya
saja di AS, kejahatan terorganisasi (organized crime) menggunakan took-toko
pizza untuk menyembunyikan uang hasil perdagangan heroin.Perusahaan-
perusahaan front companies tersebut mempunyai akses kepada dana-dana haram
yang besar jumlahnya, yang memungkinkan mereka mensubsidi barang-barang
dan jasa yang dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut sehingga barang-
barang dan jasa itu bisa dijual jauh dibawah harga pasar. Hal ini dapat
mengakibatkan terpukulnya bisnis yang sah karena tidak dapat bersaing dengan
perusahaan-perusahaan tersebut dan pada akhirnya dapat mengakibatkan
perusahaan-perusahaan yang sah tersebut gulung tikar.
b. Merongrong integritas pasar-pasar keuangan (undermining the integrity of
financial market)
Lembaga-lembaga keuangan yang mengandalkan kegiatannya pada dana yang
bersumber dari hasil kejahatan dapat menghadapi bahaya likuiditas.Uang dalam
jumlah besar yang dicuci dan baru saja ditempatkan pada sebuah bank dapat
tiba-tiba menghilang dari bank tersebut tanpa pemberitahuan terlebih dahulu
karena dengan tiba-tiba dipindahkan oleh pemiliknya melalui internet transfer.
Hal ini tentu saja dapat menimbulkan masalah likuiditas yang serius bagi

15
Yunus Husein, Pembangunan Rezim Anti Pencucian Uang Di Indonesia Dan
Implikasinya Terhadap Profesi Akuntan, (Padang, FIESTA, 2006), hlm. 1-2
16
Ibid. hal. 18-20
9
lembaga keuangan yang bersangkutan.
c. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya
(Loss of control of economic policy)
Tindak pidana pencucian uang dapat pula menimbulkan dampak yang tidak
diharapkan terhadap nilai mata uang dan tingkat suku bunga. Hal itu terjadi
karena setelah pencucian uang, para pencuci lebih suka menanamkan dana- dana
tersebut di negara-negara dimana kegiatan mereka itu kecil sekali
kemungkinannya untuk dapat dideteksi. Karena preferensi para pencuci uang
yang demikian itu, maka pencucian uang dapat meningkatkan ancaman
ketidakstabilan moneter. Singkatnya, tindak pidana pencucian uang dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan terhadap jumlah permintaan
uang (money demand) dan meningkatkan volatilitas dari arus modal
internasional, bunga dan nilai tukar mata uang yang tidak dapat dijelaskan apa
penyebabnya. Kejadian-kejadian seperti ini berakibat lebih lanjut kepada
lepasnya kendali pemerintah terhadap kebijakan perekonomian negara.
d. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (Economic distortion and
instability)
Para pencuci uang tidak tertarik untuk memperoleh keuntungan dari investasi-
investasi mereka, tetapi mereka lebih tertarik untuk melindungi hasil kejahatan
yang mereka lakukan. Hal tersebut karena hasil keuntungan yang mereka peroleh
dari kegiatan kriminal sudah luar biasa besarnya. Mereka tidak lagi
mengharapkan keuntungan tambahan dengan menanamkan hasil kejahatan itu di
investasi-investasi yang memberikan return yang tinggi. Mereka lebih tertarik
untuk “menginvestasikan” dana- dana mereka di kegiatan-kegiatan yang aman
bagi mereka dari kejaran otoritas penegak hukum sekalipun secara ekonomis
tidak menghasilkan return of investment yang tinggi. Akibat sikap mereka yang
demikian itu, pertumbuhan ekonomi dari negara di mana investasi mereka itu
dilakukan dapat terganggu.
Salah satunya tindak pidana yang berdampak dalam perekonomian ada
di pasar modal. Pengertian tindak pidana pencucian uang di pasar modal
mengandung makna bahwa, pencucian uang dapat dilakukan atas harta
kekayaan yang berasal dari hasil tindak pidana pasar modal yang merupakan
tindak pidana asal berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU TPPU. Selain itu, tindak

10
pidana asalnya dapat pula berupa tindak pidana lainnya di luar tindak pidana
pasar modal, sehingga dengan demikian, diperoleh pemahaman bahwa
pencucian uang di pasar modal dapat bermakna:
(1) Pencucian uang di pasar modal atas hasil tindak Pidana pasar modal;
atau
(2) Pencucian uang di pasar modal atas tindak pidana lainnya seperti
korupsi, pembalakan liar, penipuan, bisnis narkoba, dan lain-lain.
Jika mengacu pada UU TPPU Pasal 2 ayat 1 yaitu semua harta kekayaan
yang berasal dari tindak pidana korupsi, penyuapan, penyelundupan barang,
penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan imigran, di bidang perbankan, di
bidang asuransi, narkotika, psikotropika, perdagangan manusia, perdagangan senjata
gelap, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang,
perjudian prostitusi, di bidang perpajakan, dibidang kehutanan, di bidang lingkungan
hidup, dibidang kelautan dan tindak pidana lainnya dapat dicuci di pasar modal.
Pasar modal memang dianggap tempat potensial untuk terjadinya pencucian
uang sepertia yang dinyatakan oleh Financial Action Task Force (FATF) bahwa
sektor pasar modal pada skala global ditandai dengan keragaman, kemudahan
perdagangan yang dapat dilakukan melalui perdagangan elektronik, misalnya, dan
kemampuan untuk bertransaksi di pasar tanpa mempedulikan batas negara.
Karakteristik ini membuat pasar modal menarik bagi investor biasa yang mencari
pendapatan yang bagus. Karakteristik yang sama, bersamaan dengan volume
transaksi di banyak pasar, juga membuat pasar modal secara potensial mengundang
terjadinya pencucian dana yang berasal dari sumber-sumber kejahatan.
Seseorang itu melakukan tindak pidana pencucian uang dalam pasar modal.
Pertama adalah perdagangan di pasar saham/modal itu sifatnya internasional, itu
mendasari seseorang bisa membeli saham di mana pun (artinya seseorang bisa
melakukan, membeli saham di mana saja). Ada kemungkinan jika koruptor yang
dari Indonesia bisa membeli saham di negara yang sistem keuangannya lemah dan
sebaliknya. Kedua instrument yg diperdagangkan dalam pasar modal antara lain
seperti saham, reksa dana, yg sifatnya liquid (mudah diuangkan,dicairkan, dibeli
atau mudah dijual). Ketiga, kompetisi pelaku dalam pasar modal itu sangat
kompetitif, maksudnya pelaku industri dalam pasar modal seperti bursa efek,
majemen infestasi (broker), dan infestor yang punya banyak uang, dikatakan sangat

11
kompetitif contonya ketika ada seorang agen sebagai perusahaan efek ingin membeli
efek itu sendiri tanpa memperhatikan keabsahan/legalitas uang dari investor, yang
terpenting ialah keuntungan dari membeli saham lebih diutamakan sebelum dibeli
oleh infestor lain, itulah yang mendorong orang untuk melakukan tindak pidana
pencucian uang tanpa ada yang memperhatikan dari mana asal-usul uang tersebut.
Keempat, dalam pembelian produk-produk dalam pasar modal antara lain seperti
saham, itu biasanya menggunakan nama orang lain, memakai nama orang lain, atau
menyuruh orang lain menggunakan namanya tanpa mesti bertanya-tanya asal usul
uangnya.
Pelaku tindak pidana pencucian uang yang bermain dalam pasar modal
biasanya tidaklah mencari keuntungan dari pasar modal tersebut melainkan
tujuannya iyalah untuk menyamarkan/menyembunyikan asal-usul uangnya.
Sehingga ketika penegak hukum/orang pajak menanyakan dari mana hasil uangnya
pelaku tersebut bisa berdalih uangnya hasil dari permainan saham. Dan ketika
penegak hukum tidak percaya, pelaku mengelak dengan menjawab silahkan
bertanya kepada managemen investasi, akan tetapi polisi tidak dapat menerima
informasi tersebut dari managemen investasi sebab tidak ada kasus yang sedang
diperiksa.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pencucian uang atau juga dikenal dengan money laundering adalah perbuatan
menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan melalui berbagai
transaksi keuangan sehingga seolah-olah diperoleh dengan cara yang sah. Lebih
lanjut dikemukakan bahwa tujuan utama dari pencucian uang adalah
menyamarkan bahwa harta kekayaan itu diperoleh dari tindak pidana, sehingga
dapat menikmati hasilnya untuk kegiatan yang sah.

12
2. Tindak pidana pencucian uang ini telah menimbulkan dampak atau pengaruh
yang negatif terhadap bidang perekonomian dan bisnis yaitu,
merongrong sektor bisnis swasta yang sah, merongrong integritas pasar-
pasar keuangan, mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap
kebijakan ekonominya, dan timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi.
B. Saran

1. Perlunya Penguatan peraturan terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (Anti Money

Laundering) untuk mencegah tumpang tindihnya antar peraturan terkait

penegakan tindak pidana pencucian uang (Anti Money Laundering)

2. Perlu dilakukan kerjasama yang kooperatif terhadap setiap lembaga dalam


ligkup penegakan hukum di bidang tindak pidana pencucian uang dan pasar
modal. Kurangnya pemahaman mekanisme pasar modal dari berbagai pihak
menyebabkan tindak pidana pencucian uang menjadi sangat rentan dilakukan,
khususnya di dalam pasar modal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Djaja, Ermansjah, Memberantas Korupsi Bersama KPK; Komisi Pemberantasan


Korupsi;Kajian Yuridis Normative UU Nomor 31 Tahun 1999 Junto UU Nomor 20
Tahun 2001 Versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.
Husein, Yunus, Pembangunan Rezim Anti Pencucian Uang Di Indonesia Dan
Implikasinya Terhadap Profesi Akuntan, Padang, FIESTA, 2006

13
Kristiana, Yudi, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Perspektif Hukum
Progresif. Yogyakarta, Thafa Media, 2015.
Romli, Atmasasmita. 2013. Kapita Selekta Kejahatan Bisnis dan Hukum Pidana.
Jakarta: Fikahati Aneska
Sjahdeini, Sutan Remy Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang Dan
Pembiayaan Terorisme, Jakarta, PT Pustaka Utama Gravity, 2007
Sutedi, Adrian, Tindak Pidana Pencucian Uang, Malang, Citra Aditya Bakti, 2008
Syarif, Laode M dan Didik E. Purwoleksono, Hukum Anti Korupsi, Jakarta, The
Asia Foundation, 2012.
2. Undang-undang

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang

3. Internet

Billy Steel, Money Laundering-What is Money Laundering, Billy’s Money


Laundering Information Website, http://www.laundryman.u-net.com

14

Anda mungkin juga menyukai