Anda di halaman 1dari 2

Bedil Pletokan, Terus sehat dengan bergerak bersama

Prolog
Bagi masyarakat Indonesia, bambu bukan sekadar pohon biasa, namun sarat dengan
makna dan histori. Zaman dahulu bambu runcing menjadi salah satu senjata yang digunakan
untuk mengusir dan melawan kaum penjajah. Karena mudah ditemukan di mana-mana, bambu
dibuat untuk banyak hal mulai dari membuat rumah, meja, kursi, pagar tanaman, pagar
pekarangan, anyaman hingga dibuat permainan.
Globalisasi memang punya arti dalam perkembangan zaman, simpul kemajuna zaman
pun terurai dan menjadi sebuah panutan. Sayangnya, tergerusnya tradisi pun menyertai semua
hal, termasuk dunia anak – anak. Hampir segala hal tentang anak hilang, mereka tumbuh lebih
cepat dari usianya. Anak yang dewasa sebelum waktunya, praktis kehilangan masa kecil
sebagaimana mestinya, pola hidup berubah dan sifat individualis menjadi semakin parah.
Kemajuan teknologi memenjarakan senyum dan kebahagiaan anak – anak. Diam dan duduk di
depan game atau komputer benar – benar merenggut masa keceriaan. Taka da yang kotor, tak
ada peluh keringat kebersamaan, karena semua tercapai dari aktivitas pasif dan tanpa ada timbal
balik yang lengkap dengan lingkungan sekitar. Semua dikendalikan dari algoritma yang
sederhana bahwa, “Kesenangan ada di dalam layar datar”.

Apa itu Bedil Pletokan dan kapan mulai munculnya?


Disebut dengan nama Pletokan dikarenakan bunyi yang dihasilkan dari permainan ini
berbunyi “pletok”. Pletokan adalah sebuah nama senjata mainan yang terbuat dari bambu, dan
pelurunya terbuat dari kertas yang dibasahkan, atau biji jambu atau kembang. Ada yang
menyebutkan, permainan ini merupakan permainan khas masyarakat Betawi, lahir dan
terinspirasi dari perlawanan masyarakat setempat terhadap penjajahan kompeni yang sewenang -
wenang. Pada masyarakat Sunda, mereka menyebut Pletokan atau Bebeletokan. Permainan ini
ternyata tidak hanya ditemukan di Jawa Barat saja, di Probolinggo dan Ds. Condet, Kec.
Batuampar, Madura pun beberapa lapisan masyarakat mengenal permainan ini, mereka
menyebutnya dengan Tor Cetoran. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, ada yang menyebut dengan
nama Bedil – Bedilan Pring atau Tulup Pring.
Hingga saat ini, belum ada sejarah yang mencatat dengan pasti asal mula dan kapan
permainan pletokan itu ditemukan. Namun, permainan ini sempat Booming pada era 80an di
beberapa wilayah Indonesia. Permainan ini, biasanya dimainkan oleh anak laki-laki umumnya
berumur 6 – 13 tahun. Mereka yang memainkan permainan ini, seolah-olah sedang menjadi
orang yang berada dalam pertempuran, dan terkadang, mereka memainkan permainan ini untuk
menirukan adegan film. Dengan peluru yang terbuat dari benda yang tidak berbahaya, kertas
yang dibasahi dengan air dan di sobek kecil – kecil.

Apa saja bahan pembuatan Bedil Pletokan?


Peralatan yang dibutuhkan dalam permainan ini adalah laras bedil berbentuk pipa, tolak,
dan peluru. Laras bedil dan tolak terbuat dari bambu, sedangkan peluru bisa terbuat dari kertas
yang dibasahi, kembang, atau pentil jambu air. Panjang bedil laras sekitar 30 - 40 cm dengan
diameter 1 atau 1,5 cm. Sedangkan tolak memiliki panjang yang lebih untuk pegangan dengan
panjang sekitar 10 cm. Tolak terbuat dari batangan belahan bambu yang dihaluskan. Bambu
yang dipilih adalah yang kuat dan tua agar tidak cepat pecah.

Bagaimana sih cara memainkannya?


Setelah senjata telah dibuat dan tim telah terbentuk, maka permainan siap untuk dimulai.
Tetapi, kita harus mengetahui bagaimana cara menembak dengan pletokan. Peluru dimasukan
dengan batang penolak (penyodok) sampai ke ujung laras. Peluru kedua dimasukkan dan ditolak
dengan batang penolak (penyodok). Peluru kedua ini mempunyai fungsi ganda. Fungsi pertama
sebagai klep pompa untuk menekan peluru pertama yang akan ditembakkan. Fungsi kedua
menjadi peluru yang disiapkan untuk ditembakkan berikutnya. Tembakan ini akan menimbulkan
bunyi “pletok” dan peluru terlontar ± 5 meter dan relatif lurus.

Apa saja manfaat bermain Pletokan??


1. Permainan Pletokan memerlukan pemain minimal dua orang, tapi akan lebih seru lagi
apabila dilakukan secara berkelompok (6 – 10 orang). Dengan permainan ini, kedekatan
anak dengan orang di sekitarnya bisa terjalin lebih erat. Hal itu didasari karena banyak
proses komunikasi secara langsung yang dapat terjadi. Sehingga memberikan kesempatan
kepada anak untuk dapat mengutarakan pendapatnya (Social approach).
2. Pelestarian permainan tradisional, yang saat ini banyak disayangkan adalah merosotnya
nilai tradisi oleh millennial yang sudah kurang peka dengan ciri khas Indonesia. Mereka
lebih tertarik untuk duduk berlama – lama di dalam rumah dengan gadget masing –
masing, ketimbang bermain bersama – sama dengan permainan tradisional.
3. Back to Nature, kembali menggunakan bahan yang alami, karena apabila mainan ini
rusak, maka dapat langsung terurai dengan tanah dan tidak menimbulkan penumpukan
sampah.

Apa filosofi dari Permainan Pletokan?


Bermain pletokan, tidak jauh dari makna kehidupan yang sebenarnya dapat kita tarik.
Dorongan penolak kertas basah di dalam ruas bambu, semakin kita mendorong dengan keras,
maka jarak jangkauan tembak nya pun semakin jauh, hal ini menggambarkan, semakin kita
mendorong diri kita dengan maksimal, maka kita dapat melesat lebih jauh dari orang lain yang
mendorong dirinya dengan cara yang biasa – biasa saja. Maka, selagi masih muda, bekerjalah
dengan giat agar terus melesat melampaui jangkauan kemampuan diri.

Anda mungkin juga menyukai