Laporan keberlanjutan di indonesia dimulai sejak tahun 2003. Lembaga pertama yang menggagas adanya laporan keberlajutan di indonesia adalah National Center For Sustainability Reporting (NCSR) yang saat ini juga menyelenggarakan award Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA). Adanya lembaga dan kegiatan award tersebut secara perlahan mendorong adanya laporan keberlanjutan. Mulai tahun 2013, keberadaan laporan keberlanjutan mulai diperhitungkan. KPMG sebagai kantor akuntan publik telah melakukan sebuah survei respon investor terhadap laporan keberlanjutan perusahaan di asia pasifik. Peningkatan tertinggi terjadi di India sebanyak 53%, Chilli 46%, singapura 37%, australia 25%, taiwan 19%, cina 16%. Di sisi lain, dari 250 perusahaan di dunia, 95%nya telah menyajikan informasi kinerja keberlanjutan. Perkembangan laporan keberlanjutan juga dicatat dalam perusahaan yang terdaftar dalam indeks S &P 500 juga mengalami peningkatan di setiap tahunnya. Sedangkan, jika dilihat dari perkembangan laporan keberlanjutan di Indonesia, Menurut informasi yang diperoleh dari NCSR, setiap tahunnya laporan keberlanjutan di Indonesia meningkat 6% hingga 10%. Hingga tahun 2014, laporan keberlanjutan di indonesia di sajikan oleh 50 perusahaan. Dari keseluruhan jumlah perusahaan yang melakukan pelaporan keberlanjutan, seluruh perusahaan tersebut menggunakan panduan GRI. Laporan Keberlanjutan sebagai praktik bisnis Laporan keberlanjutan pada dasarnya dapat diposisikan sebagai sebuah laporan strategis dalam mendukung kinerja perusahaan. Tidak hanya sebagai pemenuhan syarat yang memang telah diajukan oleh pemangku kepentingan. Namun kembali lagi pada konsep dasar pelaporan, yaitu sebagai satu alat mengevaluasi dan mengawasi kinerja yang telah ditargetkan. Laporan juga berguna untuk mengelola perubahan yang terjadi, baik internal maupun eksternal. Hambatan dalam melakukan pelaporan keberlanjutan Hasil survey KPMG 2013 menyebutkan bahwa terdapat dua kendala besar dalam pembuatan laporan keberlanjutan perusahaan yaitu ketersediaan kompetensi SDM serta biaya. Jika dilihat dari sisi ketersediaan kompetensi SDM, masih sedikit SDM yang memahami secara detail dalam pelaporan keberlanjutan perusahaan yang baik dan benar. Akibatnya, waktu yang diperlukan untuk menyajikan laporan keuangan menjadi lebih lama dan tidak efisien. Peraturan dan Undang-Undang Terkait penerapan Laporan Keberlanjutan di Indonesia Kantor akuntan publik KPMG (2012) secara rutin mengeluarkan hasil kajiannya, dan menghasilkan bukti banyaknya peraturan di indonesia terkait dengan keharusan publikasi informasi lingkungan perusahaan dalam laporan tahunannya. Peraturan tersebut antara lain: 1. Undang-undang perseroan terbatas No. 40/ 2007 2. Peraturan kementerian keuangan RI dan Bapepam dan Lembaga Keuangan No. KEP- 431/BL/2012 3. POJK Nomor 51/POJK.03/2017 Undang-undang perseroan terbatas No. 40/ 2007 Pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi yang berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peraturan kementerian keuangan RI dan Bapepam dan Lembaga Keuangan No. KEP- 431/BL/2012 Emiten atau Perusahaan Publik dapat mengungkapkan informasi sebagaimana dimaksud dalam angka 1) pada laporan tahunan atau laporan tersendiri yang disampaikan bersamaan dengan laporan tahunan kepada Bapepam dan LK, seperti laporan keberlanjutan (sustainability report) atau laporan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility report). Namun demikian, belum ada peraturan yang dengan jelas menyebutkan bahwa setiap organisasi wajib membuat laporan keberlanjutan tersendiri yang disajikan diluar dari laporan tahunan. Hal tersebut yang menyebabkan perusahaan di indonesia merasa cukup untuk melaporkan kinerja lingkungan dan sosial dalam sebuah laporan tahunan tanpa perlu membuat laporan keberlanjutannya sendiri. Syarat yang tertuang dalam POJK Nomor 51/POJK.03/2017 adalah sebagai berikut: Pasal 2 LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik wajib menerapkan Keuangan Berkelanjutan dalam kegiatan usaha LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik. Pasal 3 Lembaga Keuangan yang diwajibkan: a. bagi LJK berupa Bank Umum yang termasuk dalam kelompok Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU) 3, BUKU 4, dan bank asing, mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2019; b. bagi LJK berupa BUKU 1 dan BUKU 2, perusahaan pembiayaan, perusahaan pembiayaan syariah, perusahaan modal ventura, perusahaan modal ventura syariah, perusahaan pembiayaan infrastruktur, perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Emiten selain Emiten dengan aset skala kecil dan Emiten dengan aset skala menengah, serta Perusahaan Publik mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020; c. bagi LJK berupa BPR berdasarkan Kegiatan Usaha (BPRKU) 3 termasuk BPRS yang memiliki modal inti yang setara dengan BPRKU 3, perusahaan efek yang mengadministrasikan rekening efek nasabah, dan Emiten dengan aset skala menengah mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2022; d. bagi LJK berupa BPRKU 1 dan BPRKU 2 serta BPRS yang memiliki modal inti yang setara dengan BPRKU 1 atau BPRKU 2, Emiten dengan aset skala kecil, perusahaan efek yang tidak mengadministrasikan rekening efek nasabah, perusahaan pergadaian, perusahaan penjaminan, dan perusahaan penjaminan syariah mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2024; dan e. bagi LJK berupa dana pensiun dengan total aset paling sedikit Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2025.
Ekonomi makro menjadi sederhana, berinvestasi dengan menafsirkan pasar keuangan: Cara membaca dan memahami pasar keuangan agar dapat berinvestasi secara sadar berkat data yang disediakan oleh ekonomi makro