Disusun Oleh :
IKM 6 Semester 3
T.A 2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Faktor Genetik
Pada seorang manusia, tingkat kejadian akan lebih mudah terkena pada seorang
yang memiliki faktor genetik atau adanya riwayat keluarga. Genetic epilepsy syndrome
merupakan epilepsi yang dipicu oleh adanya kelainan genetik sehingga kejang sebagai
serangan utamanya. Structural/metabolic syndrome merupakan kelainan struktural atau
metabolik yang dapat memicu sesorang terkena epilepsi. Biasanya seseorang yang terkena
epilepsi yang ditimbulkan dari faktor genetik akan mengalami jenis kejang absans.
Epilepsi yang dipicu yang diturunkan melalui faktor genetik disebut epilepsi
idiopatik. Menurut penelitian 18,5% anak-anak dan remaja yang terkena epilepsi didapat
dari riwayat keluarga yang sebelumnya sudah positif terkena epilepsi. Adapun kelainan
genetik dapat yang dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu kelainan kromosom dan
penyakit infeksi yang menyerang otak. Kelainan metabolik yang dapat memicu terjadinya
epilepsi, yaitu adanya kelainan neurokutan adalah kelainan yang didapat dari bawaan
dengan ditandai adanya tumor yang perkembangan pada sel saraf. Terjadinya
perkembangan dan gangguan otak yang bersifat tidak normal. Terjadinya hipoglikemia,
hipokalsemia, hipertremia ini bisa terjadi karena adanya penurunan glukosa.
Pada otak yang normal rangsangan penghambat di daerah sub korteks akan
mengendalikan neurotransmitter yang berfungsi sebagai perangsang diantara daerah korteks
dan daerah otak lainnya, selain itu juga berfungsi sebagai yang membatasi agar tidak
meluasnya sinyal listrik yang tidak normal. Pemusatan terhadap kegiatan inhibisi dan
eksitasi di daerah korteks dan daerah otak lainnya, pada penderita epilepsi akan mengalami
keadaan yang memudahkan penyebaran dan menimbulkan serangan epilepsi idiopatik atau
primer.
2.2 Faktor Pendukung Penyakit Epilepsi
Selain faktor genetik ada beberapa faktor pendukung terjadinya epilepsi, menurut
model determinasi modern/modifikasi, hubungan kausal tidak selalu tunggal dan
murni.Melainkan multiple causation yang merupakan kumpulan dari beberapa faktor
lainnya. Adapun faktor penduukung lainnya yang dapat memicu terjadinya epilepsi, antara
lain :
Faktor Usia
Penyebab epilepsi apabila diihat dari faktor usia, epilepsi lebih sering terkena pada
bayi yang terjadi asfiksia perinatal yang merupakan kondisi bayi yang lahir di 28 hari
pertama kehidupan, mengalami kekurangan oksigen atau hipoksia dan terjadinya penurunan
sirkulasi darah di berbagai organ. Kondisi inilah yang dapat menimbulkan ganguuan fungsi
pada bayi sehingga menunjukkan keadaan neurologis pada waktu 22 minggu pada
kehidupan pertama dengan gejala kejang. Epilepsi pada bayi bisa ditimbulkan dengan
kondisi kenaikan suhu tubuh diatas 38° yang bisa menyebabkan kejang demam, hal ini
biasa terjadi pada bayi yang terlahir imatur atau bayi yang lahir pada usia kehamilan 24
minggu. Hal ini bisa terjadi karena adanya fungsi otak yang belum mencapai kematangan
sehingga mengakibatkan gangguan terhadap membran sel yang tidak bisa menerima
rangsangan. Selain itu juga bisa dipicu oleh adanya gangguan metabolik dan infeksi.
Epilepsi juga bisa dialami oleh usia tahun pertama yaitu pada bayi dan anak-anak, seperti
bayi yang mengalami berat badan lahir rendah. Menurut penelitian 2015 34,5% kasus yang
terjadi di Indonesia.
Kejadian tersebut sesuai dengan kasus yang tercatat, angka kasus epilepsi tertinggi
diketahui terdapat pada bayi usia tahun pertama hidup, kemudian akan menurun pada usia
dewasa lebih kurang usia 17 tahun ada sekitar dan angka epilepsi akan naik pada lanjut
usia. Pada usia lebih kurang 17 sampai 60 tahun menurut kasus yang pernah terjadi,
epilepsi terjadi karena adanya pemicu cedera otak. Penderita penyakit epilepsi pada lansia
dengan usia 75 tahun ada sekitar 15% kasus epilepsi, ada beberapa kodisi yang dapat
memicu terjadinya epilepsi pada lansia, terjadinya gangguan neurodegeneratif yaitu
gangguan kehilangan fungsi sel neuron. Terjadinya trauma kepala yang bisa disebabkan
oleh pukulan atau terjatuh bisa terjadi karena lanjut usia memiliki tubuh yang sudah tidak
bugar lagi. Selain itu ada kondisi yang dapat memicu terjadinya epilepsi, yaitu: stroke,
serangan jantung yang dapat membuat oksigen ke otak menjadi berkurang sehingga dapat
menimbulkan epilepsi.
Epilepsi merupakan penyakit yang membawa dampak lebih kurang 70 juta orang
diseluruh dunia. Penderita epilepsi pada umumnya terkena di negera berpenghasilan
ekonomi rendah dan menengah. Menurut data penelitian kenaikan kasus epilepsi di negera
berpenghasilan tinggi sekitar 5,8 per 1000, akan tetapi berabanding tebalik dengan negara
berpenghasilan ekonomi rendah sekitar 15,4 per 1000. Kenaikan kasus di negara
berpenghasilan rendah dikarenakan adanya beberapa faktor seperti infeksi sistem saraf dan
kerusakan fungsi otak sejak bayi. Hal ini tidak dapat dicegah karena negara berpenghasilan
rendah memilik perawatan pemeriksaan saat persalinan yang kurang memadai serta
buruknya pembangunan serta saran transportasi di beberapa wilayah negara berpenghasilan
rendah. Seperti Tazmania dan India Selatan. Selain itu terjadinya perbedaan sistem
pelayanan kesehatan di negara berpenghasilan rendah, adanya ketidakseimbangan
penyebaran pelayanan publik yang selalu bertempat di wilayah perkotaan dan berbanding
terbalik di wilayah perdesaan. Menurut data ahli perawatan dan sistem pelayanan kesehatan
epilepsi hanya sekitar 55% di negara berpenghasilan rendah dan berbanding terbalik
dengan negara berpenghasilan tinggi dengan 88%.
Selain itu negara berpenghasilan rendah masih memiliki keyakinan terhadap
pengobatan tradisional, contoh apabila ada penderita epilepsi yang mengalami serangan,
orang-orang disekitanya tidak memberikan obat anti epilepsi akan tetepi mencari bantua
dengan pengobatan alternatif. Sehingga dari kejadian ini dapat menimbulkan kejadian fatal
terhadap penderita epilepsi. Dan pada umumnya di negara berpenghasilan ekonomi rendah
memiliki keterbatasan alat medis untuk mendiagnosis dan mengecek penyakit dan jenis
epilepsi yang terjadi pada penderita serta langkanya jumlah ahli saraf di negara
berpenghasilan rendah.
2.3 Tahap-Tahap Penyakit Epilepsi
Penyakit epilepsi ditandai dengan adanya terjadi serangan, jenis serangan yang
terjadi adalah kejang dari serangan-serangan ini dimulai dari dua per tiga serangan yang
disebut serangan kejang fokal atau serangan yang ditimbulkan dari bagian otak. Kemudian
sepertiganya dimulai dengan serangan kejang umum, sisanya 40% yang ditandai dengan
mengalami serangan non kejang. Contohnya dari kejadian ini adalah serangan absans,
serangan ini menunjukkan kejadian kejang dan penurunan level kesadaran yang terjadi
sekitar 10 detik. Jenis-jenis epilepsi hampir semuanya menimbulkan kejang ynag iringi
dengan hilangnya kesadaran, salah satunya serangan kejang tonik-klonik yang terjadi
dengan reaksi anggota tubuh serta diikuti dengan punggung yang melengkung ke belakang.
Serangan kejang ini berlangsung hingga 10-30 detik, dalam serangan ini penderita epilepsi
membutuhkan waktu 10-30 menit untuk kembali normal.
Status epileptikus merupakan serangan kejang dengan bangkitan waktu ynag lebih dari 0-
30 menit, keadaan ini merupakan keadaan gawat darurat dan perlu adanya penanganan
medis. Adapun tingkatan waktunya terjadinya lama serangan, yaitu:
a). Stadium 1 (0-10 menit) keadaan ini dinamakan status epilepsi dini.
Kondisi ini penderita mengnalama sulit pernafasan sehingga harus
memepertahankan jalannya nafas dan diperlukannya tindakan CPR untuk penderita
yang berhenti bernafas.
a). Stadium 2 (0-30 menit) keadaan ini dinamakan statu epilepsi dini.
Kondisi memerlukan pemantauan fisiologis, melihat bahwa adanya kemungkinan
kondisi non epilepsi atau disebabkan oleh adanya faktor lain.
b). Stadium 3 (0-60 menit) keadaan ini dinamakan status epilepsi menetap.
Dengan adanya kondisi ini bisa memastikan penyebab awal dengan melakukan
pemeriksaan skrining dan bisa saja kondisi ini terjadi karena komplikasi berat.
c). Stadium 4 (30-90 menit) keadaan ini dinamakan status epilepsi menetap.
Dengan adanya kondisi ini harus melakukan penangan secara intensif serta
melakukan monotoring EEG.
Faktor penyebab terjadinya status epileptikus adalah penghentian obat antikonvulsan secara
tiba-tiba, adanya gangguan metabolik, adanya infeksi SSP, dan lainnya.
Serangan Mengonsumsi I
kejang alkohol,
Negara
makanan
berpenghasilan tinggi gula,
ekonomi makanan
rendah mengandung
MSG
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kausalitas merupakan hubungan sebab akibat yang dapat ditimbulkan dari suatu
penyakit pada tubuh seseorang. Hubungan kausal berkaitan dengan hubungan sebab akibat
yang dilakukan untuk membenarkan bagaimana kejadian yang berbeda akan berhubungan
satu dengan lainnya. Epilepsi merupakan penyakit dengan gangguan neurologis yang kronis
dengan gejala kejang yang berkelanjutan. Adanya kejadian ini dipicu oleh lepasnya muatan
listrik yang berlebihan dan tidak beraturan memiliki sifat sementara. Terjadinya epilepsi
pada umunya pasti memliki faktor pemicu, salah satu faktor pemicu adalah genetik.
Menurut penelitian penderita epilepsi memiliki riwayat keluarga yang sudah positif terkena
epilepsi sebelumnya, adanya kelainan genetik dapat memicu terjadinya epilepsi seperti
kelainan kromosom dan infeksi.
Faktor pendukung lainnya, faktor usia penderita epilepsii pada umunya sering
mengenai usia 28 minggu kehidupan pertama pada bayi. Adanya bayi BBLR yang bisa
menyebabkan gangguan metabolik, dan adanya bayi imatur yang rentan mengalami
kenaikan suhu tubuh hal ini dapat memicu terjadinya serangan kejang. Selain itu ada faktor
presipitasi seperti adanya bunyi-bunyi, penderita epilepsi cenderung memiliki kondisi
emosional yang tidak stabil dan penderita epilepsi tidak bisa terpapar panas matahari terlalu
lama karena semua kondisi itu dapat menimbulkan serangan kejang. Ada faktor pendukung
selanjutnya faktor makanan dan gaya hidup, penderita epilepsi tidak bisa mengonsumsi
makanan yang mengandung MSG dan gula yang terlalu tinggi serta ngonsumsi alkohol
dalam jumlah karena dapat memicu terjadinya serangan. Dan adanya faktor sosial ekonomi
dimana negara berpenghasilan rendah pada umumnya memliki keterbatasan alat medis dan
ahli saraf, hal ini membuat keterlambatan penanganan terhadap penderita.
3.2 Saran
Penyakit epilepsi dapat menyerang siapa pun, apabila ada faktor riwayat keluarga
yang sudah terkena epilepsi maka disarankan untuuk memerikannya ke tenaga medis agar
bisa mengantisipasi terhadap serangan kejang. Selain itu menjaga pola makan dan gaya
hidup yang lebih sehat serta tidak memicu faktor yang dapat menimbulkan serangan.
DAFTAR PUSTAKA
Referensi jurnal internasional
Bonello, M., Michael, BD, & Solomon, T. (2015, June). Causes of epilepsy infection. In a
Seminar on Neurology (Vol. 35, No. 03, pp. 235-244). Thieme Medical Publishers.
Pandolfo, M. (2011, November). Epilepsy genetics. In a Seminar in Neurology (Vol. 31,
No. 05, pp. 506-518). Thieme Medical Publishers.
Shorvon, SD (2011). The etiological classification of epilepsy. Epilepsy, 52 (6), 1052-1057.
Christensen, J. (2015, June). Epidemiology of posttraumatic epilepsy. In Seminars in
neurology (Vol. 35, No. 03, pp. 218-222). Thieme Medical Publishers.
Mukherjee, S., Arisi, GM, Mims, K., Hollingsworth, G., O'Neil, K., & Shapiro, LA (2020).
Nerve inflammation mechanisms of posttraumatic epilepsy. Journal of nerve inflammation,
17 (1), 1-11.
Karnati, HK, Panigrahi, MK, Gutti, RK, Greig, NH, & Tamargo, IA (2015). miRNAs: key
players in neurodegenerative disorders and epilepsy. Journal of Alzheimer's Disease, 48
(3), 563-580.
Liu, S., Yu, W., & Lü, Y. (2016). Causes of new-onset epilepsy and seizures in the elderly.
Neuropsychiatric Diseases and Medicine, 12, 1425.
Beghi, E. (2019). Social functioning and socioeconomic vulnerability in epilepsy. Epilepsy
& Behavior, 100, 106-363.
Jovel, Camilo Espinosa., Toledano, Rafael., Semano, Angel Aledo., Morales, Irene Garcia.,
Nogel, Antonio. (2018). "Epilepsy in low income populations epidemiological profile".
Elsevier Journal, Vol 56, 67-72.
Sadr, SS, Javanbakht, J., Javidan, AN, Ghaffarpour, M., Khamse, S., & Naghshband, Z.
(2018). Descriptive epidemiology: prevalence, incidence, sociodemographic factors,
socioeconomic domain, and quality of life of epilepsy: systematic review and review.
Archives of medical science: AMS, 14 (4), 717.
Carmassi, C., Corsi, M., Bertelloni, CA, Pedrinelli, V., Massimetti, G., Peroni, D., ... &
Dell'Osso, L. (2020). Symptoms of the post-traumatic stress spectrum in parents of children
with epilepsy: Gender differences. Seizures, 80, 169-174.
Referensi jurnal nasional
Suwarba, I. G. N. M. (2016). Insidens dan karakteristik klinis epilepsi pada anak. Sari
Pediatri, 13(2), 123-8.
Mithayayi, P. A. P., & Mahalini, D. S. KARAKTERISTIK FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN EPILEPSI PADA ANAK DI DEPARTEMEN ILMU
KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA/RSUP
SANGLAH DENPASAR. E-Jurnal Medika Udayana, 9(7), 80-85.
Muzayyanah, N. L., Hapsara, S., & Wibowo, T. (2016). Kejang Berulang dan Status
Epileptikus pada Ensefalitis sebagai Faktor Risiko Epilepsi Pascaensefalitis. Sari
Pediatri, 15(3), 150-5.
Lukas, A., Harsono, H., & Astuti, A. (2016). Gangguan kognitif pada epilepsi. Berkala
Ilmiah Kedokteran Duta Wacana, 1(2), 144-152.
Priastana, I. K. A., & Nurmalisyah, F. F. (2020). Faktor Risiko Kejadian Demensia
Berdasarkan Studi Literatur. Jurnal Ilmiah PANNMED (Pharmacist, Analyst, Nurse,
Nutrition, Midwivery, Environment, Dentist), 15(2), 279-282.
Maryanti, N. C. W. (2016). Epilepsi dan budaya. Buletin Psikologi, 24(1), 23-32.