Anda di halaman 1dari 148

TEMBIKAR PADA GUA KUYA DI DESA PONDOA

KECAMATAN WIWIRANO KABUPATEN KONAWE UTARA


PROVINSI SULAWESI TENGGARA
(Kajian Bentuk dan Ragam Hias)

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


guna memperoleh gelar Sarjana Arkeologi
Pada Jurusan Arkeologi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Oleh
Yanirsa Abigael Sendana
C1C313042

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
TEMBIKAR PADA GUA KUYA DI DESA PONDOA
KECAMATAN WIWIRANO KABUPATEN KONAWE UTARA
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
(Kajian Bentuk dan Ragam Hias)

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu syarat ujian


guna memperoleh gelar Sarjana Arkeologi
Pada Jurusan Arkeologi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Oleh
Yanirsa Abigael Sendana
C1C313042

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2017
iv
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-
Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir Skripsi dengan judul “Tembikar Pada
Gua Kuya Di Desa Pondoa Kecamatan Wiwirano Kabupaten Konawe Utara Provinsi
Sulawesi Tenggara” dalam waktu yang telah ditentukan.

Sesaat penulis merenung…


Pada awalnya, hal yang tersulit adalah mengambil keputusan untuk tetap
bertahan pada sesuatu yang bertentangan dengan hati. Hal tersebut adalah saat penulis
mengambil keputusan untuk tetap bertahan pada Arkeologi. Keputusan tersebut akan
menentukan akan seperti apa nantinya penulis pada garis akhir.
Hingga akhirnya penulis “jatuh cinta” pada sesuatu yang menjadi bagian dari
arkeologi beribu tahun yang lalu. Hal yang membuat penulis jatuh cinta adalah
tembikar yaitu wadah yang terbuat dari tanah liat yang juga merupakan penanda
berkembangnya pola pikir manusia pada masa lampau tepatnya pada masa neolitik
(masa bercocok tanam). Selain itu, yang sangat menarik menurut penulis dari tembikar
adalah saat salah satu dosen mengatakan “lekuk badan pada tembikar menggambarkan
bentuk lekuk pinnggul wanita yang menjadi penanda kesuburan seperti Venus”. Hal
tersebut menggambarkan peran yang sangat penting bagi seorang wanita sebagai
sumber kehidupan.
Berangkat dari hal-hal tersebut, penulis mulai menelusuri tempat-tempat yang
memiliki potensi tinggalan tembikar. Banyaknya tempat dan tembikar yang beragam
memunculkan ide-ide penelitian terkait benda tersebut. Salah satunya adalah tembikar
yang terdapat di Gua Kuya Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe
Utara yang merupakan objek penelitian penulis. Tembikar pada gua tersebut sangat
beragam mulai dari bentuk hingga ragam hiasnya. Bentuk dan ragam hias tersebut
memiliki persamaan dari segi karakteristik dengan tembikar tradisi tua yang sering
disebut Sa Huynh Kalanay. Keberagaman tersebutlah yang menjadi alasan utama
dalam penelitian ini.

v
Tulisan ini dipersembahkan buat kedua orang tua yang sangat berperan penting
dalam hidup penulis, Michael Sendana dan Yenni Toding. Terima kasih selalu
mendukung penulis dalam hal pengambilan keputusan dan dukungan berupa materi.
Teringat saat mereka mengatakan “neng asal kamu bisa bawa sepuluh jarimu, ko akan
hidup nak, neng kalo ada orang yang jahati ko jangan dibalas dengan hal yang sama
melainkan doakan semoga terberkati” wejangan kedua orang tua menjadi tongkat dan
pedoman penulis selama merantau di tanah Anoa. Tak lupa penulis berterima kasih
kepada kedua saudara Jemi Sendana dan Arung Sendana yang selalu mengirim pesan
rindu lewat petikan-petikan gitar sehingga menghibur dan menguatkan penulis di
perantauan. Kepada Mama Tua dan Bapak Tua serta Tante yang menjadi orang tua
wali penulis sejak penulis duduk dibangku perkuliahan hingga saat ini, penulis
mengucapkan banyak terima kasih.
Tugas Akhir ini tidak dapat terselesaikan tanpa adanya dukungan dari banyak
pihak. Pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Muhammad Zamrun F, S.Si., M.Si., M.Sc. selaku Rektor
Universitas Halu Oleo.
2. Dra.Wa Ode Sitti Hafsah., M.Si. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Halu Oleo.
3. Dra. Hj. Sitti Kasmiati M.Si. selaku Ketua Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Halu Oleo. Terima kasih ibu telah memberikan fasilitas
dan dukungan selama penulis berada dibangku perkuliahan hingga saat penulis
menyelesaikan tugas akhir ini.
4. Salniwati S.Pd., M.Hum. selaku Sekretaris Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Halu Oleo yang tak henti-hentinya membantu penulis
dalam pengurusan berkas administrasi dan memberikan semangat kepada
penulis untuk menyelesaikan tulisan ini dan terima kasih kepada staf arkeologi
yang telah membantu penulis dalam pengurusan berkas, terima kasih banyak.
5. Drs. H. Abdul Rauf Sulaeman., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik,
Pembibing I dalam penulisan Tugas Aakhir dan sekaligus menjadi orang tua
pertama penulis ssejak berada di Jurusan Arkeologi. Terima kasih terima kasih

vi
telah memperkenalkan penulis kepada tembikar dan membimbing dalam
penulisan tugas akhir ini. Be Smart and be the first adalah kalimat penyemangat
dari beliau. Sehat selalu bapak.
6. Dr. Syahrun., S.Pd., M.Si selaku Pembimbing II dalam penulisan tugas akhir
ini. Terima kasih bapak atas kesabaran, dukungan dan bimbingan sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
7. Nur Ihsan S.S., M.Hum selaku dosen arkeologi kedua (setelah bapak Drs. H.
Abdul Rauf Sulaeman). Terima kasih sudah menjadi kakak, mengajarkan
penulis banyak hal termasuk dalam kesabaran menulis dan memilah kata,
kalimat. Sekali lagi terima kasih banyak sudah memperkenalkan arkeologi lebih
luas kepada penulis. Terima kasih kepada Asyadi Mufsi S.S M.A selaku dosen
arkeologi ketiga (sudah pindah ke Jambi…hikz) yang mengajarkan penulis
etika penulisan daftar pustaka, karya ilmiah dan selalu mengingatkan penulis
untuk selalu rajin membaca karena dengan membaca kita akan mudah menulis.
Terima kasih kepada Sasadara Hayunira S.S., M.Sos dan Sandy Suseno S.S.,
M.A selaku dosen arkeologi dan kakak yang mengajarkan penulis untuk lebih
giat belajar tentang kearkeologian. Terima Kasih kepada La Ode Ali Ahmadi
S.S yang sudah memperkenalkan Pramuwisata kepada penulis. Terima Kasih
Kak.
8. Balai Arkeologi Makassar, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, BPCB
Makassar, Balai Arkeologi Manado dan Balai Arkeologi Medan yang telah
memberikan penulis kesempatan untuk bergabung dalam berbagai kegiatan/
penelitian dan memberikan pemahaman-pemahaman terkait profesionalis
seseorang dalam dunia kerja dan Terima kasih Kepada Bapak Mudjiono
selaku peneliti dari Balai Arkeologi Yogyakarta yang telah mengajar penulis
menggambar arkeologi.
9. Keluargaku Himpunan Mahasiswa Arkeologi Halu Oleo (Himaleo).
Kepada Rasia, Risma, Ersa, Amal, Sunar, Isal, Edo, Hamdan, Dodi, Fadly,
Kasmin, Liant, Fiqi, Kiki, Ocit, Safari, Idul, Ardy, Udin, Zul terima kasih
telah menjadi saudara, sahabat, kawan dan lawan penulis selama 4 tahun
lamanya. Terima kasih atas dukungan dan saran-saran yang diberikan kepada

vii
penulis baik itu tentang dunia akademik, keluarga dan percintaan. Kita akan
selalu menjadi saudara tanpa kartu keluarga.
10. Kepada adikku Rizky, Chandra, Aco dan Safrin terima kasih atas secangkir
kopi + intel nya (indomie telur) yang setiap hari disuguhkan kepada penulis
sebagai bentuk kepedulian seorang adik kepada kakak (supaya ndk ngantuk
sama lapar bede’). Dan terima kasih kepada adikku Suryanto telah
meminjamkan alat scan gambar kepada penulis dan adik-adikku angkatan 2014,
2015 dan 2016 yang tidak dapat penulis sebut satu persatu thank’s yah
dukungannya.
11. For “Someone” yang selalu memberikan dukungan dan semangat kepada
penulis untuk segera menyelesaikan Tugas Akhir. Terima kasih atas semangat,
canda, tawa, kasih sayang dan terima kasih telah banyak mengajarkan arti
kedewasaan serta kesabaran dalam menghadapi segala masalah. Semoga “kita”
dapat dipertemukan di tempat dan waktu yang tepat.

Terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu persatu,
terima kasih telah membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas Akhir ini. Sekali
lagi terima kasih atas dukungannya.
Seperti fragmen tembikar yang coba penulis rekonstruksi, seperti itu pula
bentuk tulisan yang telah penulis selesaikan. Tulisan ini tentunya masih memiliki
kekurangan-kekurangan didalamnya. Penulis sangat mengharapkan adanya kritikan
dan saran terkait tulisan ini agar dapat disempurnakan sebagaimana mestinya. Semoga
dengan adanya tulisan ini, akan menambah wawasan/ pengetahuan serta dapat menjadi
referensi bagi penelitian yang terkait dengan tulisan ini.

Kurre sumanga…

Kendari, 17 Oktober 2017

Ttd,

Penulis

viii
ABSTRAK
YANIRSA ABIGAEL SENDANA (C1C313042). Tembikar Pada Gua Kuya Di
Desa Pondoa Kecamatan Wiwirano Kabupaten Konawe Utara Sulawesi Tenggara
(Kajian Bentuk dan Ragam Hias).
Di Sulawesi Tenggara banyak tersebar gua-gua prasejarah dengan temuan
sangat beragam. Hal ini didukung dengan hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh
Balai Arkeologi Makassar. Salah satu gua tersebut adalah Gua Kuya yang terdapat di
wilayah administratif Desa Pondoa Kecamatan Wiwirano Kabupaten Konawe Utara.
Di gua tersebut banyak menyimpan tinggalan arkeologis salah satunya berupa
tembikar. Berdasarkan pernyataan dari Balai Arkeologi Makassar, belum ada
penelitian secara intensif yang dilakukan terhadap gua tersebut terkhusus pada temuan
tembikarnya. Melihat bentuk dan ragam hias tembikar tersebut sangat menarik untuk
dilakukan penelitian.
Penelitian ini terfokus pada fragmen tembikar yang terdapat di Gua Kuya yang
merupakan temuan paling dominan pada gua tersebut. Penelitian yang dilakukan lebih
intensif kepada bentuk, ragam hias serta penerapan teknik ragam hias pada tembikar
tersebut. Hal ini dilakukan dengan tujuan melihat bentuk dan ragam tembikar yang
terdapat di gua tersebut. Ada tiga metode analisis yang digunakan yaitu (1) Analisis
Morfologi, (2) Analisis Stilistik (ragam hias) dan (3) Analisis Teknologi.
Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 46. Dari jumlah
tersebut terdapat 14 fragmen tembikar yang dapat direkonstruksi 7 diantaranya berupa
mangkok, 6 diantaranya periuk dan 1 tempayan. Selain itu terdapat 2 fragmen
pegangan tutup dan 2 bagian badan berupa karinasi. 14 sisanya berupa fragmen badan
dengan berbagai bentuk ragam hias. Berdasarkan analisis ragam hias yang dilakukan
terhadap tembikar ini terdapat 7 ragam hias yaitu garis, bulatan, segitiga, empat
persegi, meander, titik dan belah ketupat. Sedangkan penerapan teknik ragam hias
terdapat 4 teknik yaitu teknik gores, teknik tekan, teknik tempel dan teknik tusuk.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut tembikar Gua Kuya memiliki karakteristik yang
sama dengan tembikar tradisi tua yaitu tembikar Sa Huynh Kalanay. Persamaan
tersebut dapat dilihat dari bentuk, ragam hias serta penerapan teknik ragam hias pada
masing-masing tembikar.
Kata Kunci: Tembikar, Bentuk, Ragam Hias

ix
ABSTRACT

YANIRSA ABIGAEL SENDANA (C1C313042). Pottery From Kuya Cave at


Pondoa Village Wiwirano Subdistrict North Konawe District Southeast Sulawesi
Province (Study: Form and Decorate Variety).
In Southeast Sulawesi have a many prehistoric caves are scattered with very
diverse findings. This is supported by the results of research conducted by the Institute
of Archeology Makassar. One of these caves is Kuya Cave located in the administrative
ward of Pondoa Village, Wiwirano Sub-district, Konawe Utara District. In the cave
there are many archaeological remains one of them in the form of pottery. Based on
statements from the Center of Archeology of Makassar, there has been no intensive
research conducted on the cave is specially on the findings of the pottery. Seeing the
form and variety of pottery is very interesting to do research.
This study focuses on the pottery fragments found in Kuya Cave which was the
most dominant finding in the cave. Research conducted more intensive to the form,
decoration and application of decorative techniques on the pottery. This was done with
the aim to see the form and variety of any pottery contained in the cave. There were
three analytical methods used were (1) Morphological Analysis, (2) Stylistic Analysis
(decoration) and (3) Technology Analysis.
The number of samples used in this study was 46. Of these there were 14
reconstructed pottery fragments 7 of which are bowls, 6 of which were stoneware and
1 jar. In addition there were 2 fragments of the handle cap and 2 of the body in the
form of karinasi. The remaining 14 were fragments of bodies with various forms of
decoration. Based on the analysis of decoration done on this pottery there are 7 kinds
of ornamental that is line, circle, triangle, four square, meander, point and rhombus.
While the application of decorative techniques there are 4 techniques such as incised
technique, press technique, applied techniques and puncture techniques. Based on the
results of these studies Kuya cave pottery has the same characteristics with the old
pottery tradition of pottery Sa Huynh Kalanay. The equation can be seen from the form,
decoration and application of decorative techniques on each pottery.
Keywords: Pottery, Form, Decorative Variety

x
DAFTAR ISI

SAMPUL........................................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN............................................................................. iv

KATA PENGANTAR...................................................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................ ix

ABSTRACT...................................................................................................... x

DAFTAR ISI .................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ............................................................................................ xvi

DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xvii

DAFTAR FOTO .............................................................................................. xxii

DAFTAR DIAGRAM...................................................................................... xxiv

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 9

1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................... 11

1.4 Manfaat Penelitian........................................................................................ 11

1.5 Ruang Lingkup Penelitian............................................................................ 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peneliti Terdahulu........................................................................................ 13

xi
2.2 Tembikar Dalam Arkeologi ......................................................................... 14

2.2.1 Tembikar Sa Hyunh Kalanay ............................................................. 15

2.2.2 Tembikar Bau-Melayu ....................................................................... 22

2.2.3 Tembikar Lapita ................................................................................. 22

2.3 Jenis-Jenis Tembikar.................................................................................... 24

2.4 Landasan Teori ............................................................................................ 28

2.5 Kerangka Berpikir........................................................................................ 31

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Sumber Data ................................................................................................. 32

3.1.1 Data Primer........................................................................................ 32

3.1.2 Data Sekunder ................................................................................... 32

3.2 Pengumpulan Data....................................................................................... 33

3.2.1 Observasi............................................................................................ 33

3.2.2 Studi Pustaka ...................................................................................... 33

3.2.3 Dokumentasi ...................................................................................... 33

3.3 Penentuan Sampel........................................................................................ 33

3.4 Teknik Analisis Data ................................................................................... 35

3.4.1 Analisis Visual ..................................................................................... 35

3.4.1.1 Analisis Morfologi ...................................................................... 35

3.4.1.2 Analisis Teknologi ...................................................................... 35

3.4.1.3 Analisis Stilistik .......................................................................... 36

3.5 Interpretasi ................................................................................................... 36

xii
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4.1 Gambaran Wilayah Penelitian....................................................................... 38

4.1.1 Letak Geografis .................................................................................... 38

4.1.2 Topografi .............................................................................................. 41

4.1.3 Iklim...................................................................................................... 42

4.1.4 Pemerintahan ........................................................................................ 43

4.1.5 Kependudukan dan Ketenaga Kerjaan ................................................. 48

4.1.6 Sosial..................................................................................................... 52

4.2 Gambaran Lokasi Penelitian ......................................................................... 53

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Gua Kuya Pondoa ........................................................................ 56

5.2 Tipologi Tembikar Gua Kuya ...................................................................... 61

5.2.1 Tepian ................................................................................................... 64

5.2.1.1Tepian Tipe A ............................................................................ 64

5.2.1.2Tepian Tipe B ............................................................................ 68

5.2.1.3Tepian Tipe C ............................................................................ 72

5.2.2 Badan .................................................................................................... 74

5.2.3 Dasar dan Kaki ..................................................................................... 76

5.2.4 Pegangan Penutup................................................................................. 78

5.2.5 Kupingan............................................................................................... 80

5.3 Ragam Hias Tembikar Gua Kuya ................................................................ 81

5.3.1 Analisis Ragam Hias Tunggal .............................................................. 83

xiii
5.3.1.1Garis........................................................................................... 83

5.3.1.2Lingkaran ................................................................................... 85

5.3.1.3Segitiga ...................................................................................... 85

5.3.1.4Persegi Empat ............................................................................ 86

5.3.1.5Belah Ketupat ............................................................................ 86

5.3.1.6Titik-titik.................................................................................... 87

5.3.1.7Meander ..................................................................................... 88

5.3.2 Analisis Ragam Hias Gabungan ........................................................... 90

5.3.2.1Titik Garis .................................................................................. 97

5.3.2.2Bulatan Garis ............................................................................. 97

5.3.2.3Bulatan Ganda Titik................................................................... 98

5.3.2.4Garis Bulatan Ganda.................................................................. 99

5.3.2.5Garis bulatan segitiga ................................................................ 99

5.3.2.6Bulatan Ganda Meander Segitiga Terbalik Empat Persegi ....... 100

5.3.2.7Titik Belah Ketupat Bulatan Ganda Garis ................................. 101

5.3.3 Teknik Pembuatan Ragam Hias ........................................................... 101

5.3.3.1Teknik Gores ............................................................................. 103

5.3.3.2Teknik Tusuk ............................................................................. 104

5.3.3.3Teknik Tekan ............................................................................. 105

5.3.3.4Teknik Tempel........................................................................... 106

xiv
BAB VI PENUTUP

6.1 Kesimpulan .................................................................................................. 108

6.2 Saran ............................................................................................................ 112

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xv
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Daftar Nama Kecamatan di Kabupaten Konawe Utara..................... 44

Tabel 4.2 Daftar Jumlah Aparat Pemerintahan di Kecamatan Wiwirano ......... 46

Tabel 4.3 Daftar Jumlah Laki-Laki dan Perempuan Di Kecamatan Wiwirano 50

Tabel 5.1 Daftar temuan Fragmen Tembikar Gua Kuya ................................... 60

Tabel 5.2 Analisis Tepian Tipe A...................................................................... 65

Tabel 5.3 Analisis Tepian Tipe B ...................................................................... 69

Tabel 5.4 Analisis Tepian Tipe C ...................................................................... 73

Tabel 5.5 Analisis Karinasi Tipe A ................................................................... 75

Tabel 5.6 Analisis Dasar dan Kaki Tipe A dan B.............................................. 77

Tabel 5.7 Analisis Ragam Hias Tunggal ........................................................... 89

Tabel 5.9 Analisis Ragam Hias Gabungan ........................................................ 91

xvi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Peta Wilayah Kabupaten Konawe Utara ....................................... 40

Gambar 4.3 Peta Lokasi Penelitian.................................................................... 53

Gambar 5.1 Gambar Gua Kuya (Tampak Atas) ................................................ 58

Gambar 5.2 Orientasi Wadah ............................................................................ 62

Gambar 5.3 Orientasi Tepian, Bentuk Tepian, Orientasi bibir dan Bentuk Ujung

Bibir ................................................................................................................... 63

Gambar 5.4 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe A-1 ....................................... 66

Gambar 5.5 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe A-1 ....................................... 66

Gambar 5.6 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe A-1 ....................................... 66

Gambar 5.7 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe A-1 ....................................... 67

Gambar 5.8 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe A-2 ....................................... 67

Gambar 5.9 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe A-2 ....................................... 67

Gambar 5.10 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe A-2 ..................................... 68

Gambar 5.11 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe B-1...................................... 70

Gambar 5.12 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe B-1...................................... 70

Gambar 5.13 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe B-1...................................... 71

Gambar 5.14 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe B-2...................................... 71

Gambar 5.15 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe B-2...................................... 71

Gambar 5.16 Rekonstruksi Fragmen Tepian Tipe C ......................................... 73

Gambar 5.17 Profil Karinasi Tipe B.................................................................. 76

Gambar 5.18 Profil Karinasi Tipe A.................................................................. 76

xvii
Gambar 5.19 Bentuk Kaki dan Dasar Tipe A.................................................... 77

Gambar 5.20 Bentuk Kaki dan Dasar Tipe B .................................................... 78

Gambar 5.21 Tipe Bentuk Penutup Tipe A ....................................................... 79

Gambar 5.22 Tipe Bentuk Penutup Tipe B ....................................................... 80

Gambar 5.23 Bentuk Kupingan ......................................................................... 81

Gambar 5.24 Bentuk Ragam Hias Garis............................................................ 84

Gambar 5.25 Bentuk Ragam Hias Lingkaran.................................................... 85

Gambar 5.26 Bentuk Ragam Hias Segitiga ....................................................... 86

Gambar 5.27 Bentuk Ragam Hias Persegi Empat ............................................. 86

Gambar 5.28 Ragam Hias Belah Ketupat.......................................................... 87

Gambar 5.29 Ragam Hias Titik ......................................................................... 87

Gambar 5.30 Ragam Hias Meander................................................................... 88

Gambar 5.31 Ragam Hias Garis ........................................................................ 89

Gambar 5.32 Ragam Hias Bulatan Ganda ......................................................... 89

Gambar 5.33 Ragam Hias Garis ........................................................................ 89

Gambar 5.34 Ragam Hias Bulatan .................................................................... 89

Gambar 5.35 Ragam Hias Garis ........................................................................ 89

Gambar 5.36 Ragam Hias Garis ........................................................................ 89

Gambar 5.37 Ragam Hias Garis ........................................................................ 90

Gambar 5.38 Ragam Hias Garis ........................................................................ 90

Gambar 5.39 Ragam Hias Garis ........................................................................ 90

Gambar 5.40 Ragam Hias Garis ........................................................................ 90

xviii
Gambar 5.41 Ragam Hias Bulatan ................................................................... 90

Gambar 5.42 Ragam Hias Bulatan Ganda ......................................................... 90

Gambar 5.43 Ragam Hias Bulatan Ganda Garis Vertikal ................................. 93

Gambar 5.44 Ragam Hias Bulatan Ganda Garis Horizontal ............................. 93

Gambar 5.45 Ragam Hias Titik Garis ............................................................... 93

Gambar 5.46 Ragam Hias Bulatan Garis Miring............................................... 93

Gambar 5.47 Ragam Hias Bulatan Ganda Garis Horizontal Garis Menyilang . 94

Gambar 5.48 Ragam Hias Bulatan Ganda Garis Vertikal Horizontal............... 94

Gambar 5.49 Ragam Hias Titik Bulatan ........................................................... 94

Gambar 5.50 Ragam Hias Garis Horizontal Bulatan Garis Miring................... 94

Gambar 5.51 Ragam Hias Titik dan Bulatan Ganda ......................................... 94

Gambar 5.52 Ragam Hias Titik Garis miring Saling Berhadapan .................... 94

Gambar 5.53 Ragam Hias Titik Garis Miring Saling Berhadapan Garis Vertika

............................................................................................................................ 94

Gambar 5.54 Ragam Hias Bulatan Ganda (Menyerupai Ujung Mata Panah)... 95

Gambar 5.55 Ragam Hias Garis Saling Berhadapan Bulatan Ganda Di Tengah

Garis Miring yang berhadapan .......................................................................... 95

Gambar 5.56 Ragam Hias Titik Garis Vertikal Garis Miring Saling Bertolak

Belakang ............................................................................................................ 95

Gambar 5.57 Ragam Hias Bulatan Ganda Garis Horizontal Garis Miring Saling

Berhadapan ....................................................................................................... 95

xix
Gambar 5.58 Ragam Ragam Hias Bulatan Ganda Garis Horizontal Garis Miring

............................................................................................................................ 95

Gambar 5.59 Ragam Hias Bulatan Bulatan Ganda Garis Lekung Garis Zigzag

............................................................................................................................ 95

Gambar 5.51 Ragam Hias Garis Miring Bulatan Ganda ................................... 96

Gambar 5.61 Ragam Hias Titik Garis Miring ................................................... 96

Gambar 5.62 Ragam Hias Bulatan Ganda Garis Miring ................................... 96

Gambar 5.63 Ragam Hias Bulatan Ganda Meander Empat Persegi Segitiga

Terbalik .............................................................................................................. 96

Gambar 5.64 Ragam Hias Garis Vertikal Bulatan Ganda ................................. 96

Gambar 5.65 Ragam Hias Tititk Belah Ketupat Garis Horizontal Garis Miring

dan Bulatan Ganda............................................................................................. 96

Gambar 5.66 Ragam Hias Bulatan Ganda Garis Bulatan Segitiga ................... 96

Gambar 5.67 Ragam Hias Hias Titik Garis ....................................................... 97

Gambar 5.68 Ragam Hias Bulatan Garis........................................................... 98

Gambar 5.69 Ragam Hias Bulatan Ganda Titik ................................................ 98

Gambar 5.70 Ragam Hias Bulatan Ganda Garis ............................................... 99

Gambar 5.71 Ragam Hias Garis Bulatan Segitiga ............................................ 100

Gambar 5.72 Ragam Hias Bulatan Ganda Meander Empat Persegi Segitiga

Terbalik .............................................................................................................. 100

Gambar 5.73 Ragam Hias Titik Belah Ketupat Bulatan Ganda Garis ............. 101

Gambar 5.74 Teknik Gores ............................................................................... 104

xx
Gambar 5.75 Teknik Tusuk .............................................................................. 105

Gambar 5.76 Teknik Tekan .............................................................................. 106

Gambar 5.77 Teknik Tempel ............................................................................ 107

xxi
DAFTAR FOTO

Foto 4.1 Desa Pondoa ........................................................................................ 54

Foto 5.1 Lokasi Titik Pertama (Tempat Parkir Motor) ..................................... 57

Foto 5.2 Akses Menuju Gua Kuya .................................................................... 57

Foto 5.3 Akses Masuk Hutan............................................................................. 57

Foto 5.4 Mulut Gua Hingga Permukaan............................................................ 58

Foto 5.5 Mulut Gua............................................................................................ 58

Foto 5.6 Tepian Tipe A-1 (1)............................................................................. 66

Foto 5.7 Tepian Tipe A-1 (2)............................................................................. 66

Foto 5.8 Tepian Tipe A-1 (3)............................................................................. 66

Foto 5.9 Tepian Tipe A-1 (4)............................................................................. 67

Foto 5.10 Tepian Tipe A-2 (5)........................................................................... 67

Foto 5.11 Tepian Tipe A-2 (6)........................................................................... 67

Foto 5.12 Tepian Tipe A-2 (7)........................................................................... 68

Foto 5.13 Tepian Tipe B-1 (8) ........................................................................... 70

Foto 5.14 Tepian Tipe B-1 (9) ........................................................................... 70

Foto 5.15 Tepian Tipe B-1 (10) ......................................................................... 71

Foto 5.16 Tepian Tipe B-2 (11) ......................................................................... 71

Foto 5.17 Tepian Tipe B-2 (12) ......................................................................... 71

Foto 5.18 Tepian Tipe C (13) ............................................................................ 75

Foto 5.19 Karinasi Tipe A (14).......................................................................... 76

Foto 5.20 Karinasi Tipe B (15).......................................................................... 76

xxii
Foto 5.21 Kaki dan Dasar Tipe A (16) .............................................................. 77

Foto 5.22 Kaki dan Dasar Tipe B (17) .............................................................. 78

Foto 5.23 Pegangan Penutup Tipe A ................................................................. 79

Foto 5.24 Pegangan Penutup Tipe B ................................................................. 79

Foto 5.25 Kupingan ........................................................................................... 81

Foto 5.26 Teknik Gores Zigzag dan Garis Vertikal (tegak) .............................. 104

Foto 5.27 Teknik Gores Garis Miring dan Garis Horizontal (mendatar) .......... 104

Foto 5.28 Teknik Tusuk..................................................................................... 105

Foto 5.29 Teknik Tekan Bulatan Ganda............................................................ 106

Foto 5.30 Teknik Tekan Empat Persegi ............................................................ 106

Foto 5.31 Teknik Teknik Tekan Belah Ketupat ................................................ 106

Foto 5.32 Teknik Tempel Segitiga Bersambung ............................................... 107

Foto 5.33 Teknik Tempel Segitiga Bersambung (Kecil)................................... 107

xxiii
DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1 Persentase Luas Wilayah Menurut Jenis Tanah .......................... 42

Diagram 4.2 Persentase Penduduk Menurut Jenis Kelamin............................. 48

xxiv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Neolitikum atau zaman batu muda merupakan revolusi dalam kehidupan

manusia prasejarah. Pada zaman ini manusia sudah mulai menetap pada satu

tempat dan melangsungkan kehidupan secara berkelompok. Zaman ini sering

juga disebut dengan zaman bercocok tanam dimana manusia sudah mulai

mengelolah hasil kekayaan alam di sekitar mereka. Selain bercocok tanam,

manusia juga sudah mulai beternak. Pola hidup menetap yang mereka jalani

menghasilkan kebudayaan yang lebih maju karena mereka memiliki waktu

luang untuk memikirkan kehidupanya. Tidak seperti pada saat mereka harus

berpindah dari satu tempat ketempat lain dan terus memikirkan tempat

perhentian berikutnya yang utamannya memiliki sumber daya alam yang bisa

menghidupi mereka dalam jangka waktu yang panjang. Salah satu bukti

kebudayaan yang lebih maju pada zaman ini ditunjukkan dengan keahlian

mereka menghasilkan tembikar. Tembikar pada zaman ini berperan sebagai

wadah atau alat-alat rumah tangga.

1
2

Tembikar adalah benda/wadah yang terbuat dari tanah liat yang dibakar

pada suhu pembakaran 350C-1000C. Bahan yang digunakan untuk membuat

tembikar tidak hanya tanah liat, melainkan banyak campuran lainnya. Bahan

dasar tembikar biasanya dicampur dengan bahan lain sebagai temper, seperti

pasir, pecahan kerang, potongan sekam padi, dan remah tembikar yang tidak

dipakai (grog). Tembikar bersifat menyerap dan dapat ditembus oleh air karena

memiliki permeabilitas yang relatif sedang sampai tinggi, dan berpori banyak

(McKinnon, 1991: 2).

Bukti-bukti arkeologis yang telah ditemukan pada beberapa situs

prasejarah di Indonesia menunjukkan bahwa tembikar pertama kali muncul di

tengah-tengah masyarakat yang tidak lagi nomaden atau berpindah-pindah

(Prijono, 2002: 35). Tembikar tersebut terdapat di beberapa daerah seperti di

Banyuwangi (Situs Kendenglembu), Bogor (Situs Klapadua), Tangerang (Situs

Serpong) dan di Sulawesi Barat (Situs Kalumpang dan Minanga Sipakko)

(Notosusanto & Poesponegoro, 2010: 231).

Tembikar yang ditemukan pada setiap daerah tersebut dibuat dengan cara/

teknik yang masih sangat sederhana yaitu dengan menggunakan teknik tatap

landas. Teknik ini dilakukan dengan cara memukul-mukul dinding bagian luar

dengan menggunakan kayu dan menahannya dengan sebuah batu bulat pipih

pada bagian dalamnya. Tidak hanya teknik pembentukkan yang masih

sederhana. Proses penggarapan permukaan serta proses pembakaran pun masih

sangat sederhana. Teknologi pengerjaan tembikar yang ada di Indonesia berbeda


3

dengan tembikar yang dikenal di Daratan Asia Tenggara misalnya Malaysia,

Muang Thai, Cina, Taiwan, dan Jepang. Di daerah-daerah tersebut, pada masa

yang sama sudah dikenal dengan penggunaan roda putar pada pembentukkan

tembikar.

Pada masa selanjutnya yaitu masa perundagian. Perundagian diambil dari

kata dasar undagi dari bahasa Bali. Undagi ialah seorang atau sekelompok atau

golongan masyarakat yang mempunyai kepandaian atau keterampilan jenis

usaha tertentu, misalnya pembuatan gerabah, perhiasan kayu, sampan dan batu

((Notosusanto & Poesponegoro, 2010: 189). Pembuatan tembikar pada masa

tersebut telah masuk pada tingkat yang lebih maju dari pada masa sebelumnnya

baik dari aspek teknologi maupun aspek sosialnya. Aspek teknologi

memperlihatkan bahwa pengerjaan tembikar mulai kompleks dengan

penggunaan alat tatap-batu dan roda putar. Selain itu motif hias yang dihasilkan

juga beragam yang dulunya hanya berupa garis-garis sekarang berkembang

menjadi kombinasi beberapa ragam hias geometris (lingkaran kombinasi garis,

garis kombinasi empat persegi panjang, dan sebagainya). Dari aspek sosial,

tembikar khusus dibuat untuk tujuan yang bersifat sakral yang dipakai untuk

aktivitas yang berkaitan dengan upacara penguburan. Penyertaan tembikar

sebagai perlengkapan penguburan (bekal kubur dan wadah kubur) erat kaitannya

dengan alam kepercayaan yang menyebutkan bahwa kematian merupakan

perpindahan kehidupan dari dunia nyata ke dunia arwah sehingga orang yang
4

telah meninggal tetap membutuhkan perlengkapan-perlengkapan yang dipakai

semasa hidupnya (Prasetyo dalam Simanjuntak, 2009:3).

Di Indonesia tembikar masa perundagian dibagi atas beberapa kompleks

yaitu kompleks tembikar Buni, kompleks tembikar Gilimanuk dan komplek

tembikar Kalumpang yang semuanya mendapat pengaruh dari tradisi yang

berkembang di Asia Tenggara. Tembikar yang berkembang pada masa

perundagian tersebut mendapat pengaruh dari dua tradisi tembikar yang

berkembang di Asia Tenggara yaitu Sa-Huynh-Kalanay dan Tembikar Bau-

Melayu (Solheim II, 1972: 17- 21). Kedua tradisi terus sama-sama memiliki

teknik ‘tatap dan batu’. Sa Huynh Kalanay adalah tradisi tembikar yang

berkembang di Asia Tenggara. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari bentuk

tembikar serta ragam hias yang terdapat pada tembikar. Bentuk seperti

tempayan, kendi, ceret dan lain-lain, sedangkan ragam hiasnya berupa ragam

hias geometris (garis lurus, bulat, lekukan, empat persegi panjang dan kombinasi

dari beberapa ragam hias). Tembikar Bau-Malayu menghasilkan keramik

dengan jenis dan ragam hias yang tidak banyak bervariasi. Jenis keramiknya

terdiri dari cawan, dan periuk dalam bentuk-bentuk sederhana. Pola hias yang

dikenalpun sederhana. Teknik menghias yang dikenal adalah ‘teknik tera’.

Tidak tampak adanya tanda-tanda dikenalnya ‘teknik Upam dan teknik Slip’

dalam penyelesaian permukaan. Hal-hal tersebut menimbulkan dugaan bahwa

teknik pembuatan keramik Bau-Melayu masih belum maju (Solheim, 1967: 16

– 19; Soejono, 1976: 246 – 247 dalam Soegondho, 1993: 88).


5

Salah satu kompleks tembikar di Indonesia adalah kompleks Tembikar

Kalumpang di Sulawesi Barat. Nama kompleks ini berasal dari sebuah tempat

bernama Kalumpang, sebuah desa yang terletak di tepi Sungai Karama, kira-

kira 93 km dari muara sungai. Penyelidikan terhadap tempat ini dilakukan oleh

Stein Callenfels pada tahun 1933 dan Heekeren pada tahun 1949. Kedua ahli

tersebut berpendapat bahwa di Kalumpang, terdapat tiga lapisan kebudayaan

atau lebih yang telah bercampur aduk satu dengan yang lain akibat kegiatan

pertanian. Callenfels mengadakan penggalian di Bukit Kamassi mengatakan

bahwa diantara tembikar yang ditemukan itu ada yang berasal dari protoneolitik,

jadi menjelang masa bercocok tanam. (Notosusanto & Poesponegoro, 2010:

231). Ia memperkenalkan Situs Kamassi dengan nama Kalumpang berdasarkan

keletakan desa Situs Kamassi berada. Namun seiring perkembangan penelitian

yang dilakukan saat ini Kalumpang mengacu pada sebuah kawasan situs yang

terdiri dari beberapa situs Kamassi dan Minanga Sipakko (Simanjuntak, 2009:

4). Pada tahun 1949 penelitian terkait situs tersebut kemudian dilanjutkan oleh

Heekeren. Dalam penelitiannya ia mencatat sebanyak 955 tembikar Kalumpang

tanpa hiasan yang diperkirakan berasal dari masa bercocok tanam. Di dalamnya

termasuk pula tembikar yang memperlihatkan hiasan gores sederhana,

sedangkan sisanya tergolong tembikar dari masa selanjutnya, yaitu masa

perundagian yang ditandai dengan hiasan pola geometris seperti tumpal,

meander, segi empat, pilin dan lingkaran-lingkaran kecil. Selain itu, ada pola

hias yang dihasilkan dengan menekankan pinggiran kulit kerang. Hias geometris
6

tersebut sering kali dibatasi dengan garis horizontal mengelilingi badan

tembikar (Notosusanto & Poesponegoro, 2010: 391).

Terkait dengan fungsi, tembikar merupakan benda yang memiliki fungsi

serta arti penting dalam kehidupan manusia, baik dalam kehidupan sosial

ekonomi maupun kehidupan religius (Soegondo, 1995:1). Dalam kehidupan

sosial masyarakat, tembikar sering digunakan untuk keperluan sehari-hari

misalnya, sebagai wadah penyimpanan air, dan untuk wadah penyediaan

makanan. Sedangkan di dalam kehidupan religius suatu masyarakat, tembikar

sering digunakan sebagai perlengkapan upacara. Dalam upacara penguburan

pada masyarakat prasejarah, tembikar sering dipakai sebagai bekal kubur atau

wadah kubur. Tembikar dianggap penting dan dapat dipakai sebagai bekal

perjalanan maupun bekal kehidupan almarhum di alam yang lain.

Hingga saat ini, tembikar masih digunakan sebagai objek penelitian yang

dikaji dengan berbagai metode analisis. Metode analisis yang umum diterapkan

pada tembikar adalah analisis morfologi, ragam hias dan teknik pembuatan

(Hariri, 2007; Citraningtias, 2011). Tembikar yang dianalisis akan bercerita

tentang ragam bentuk, ragam hias dan teknologi tembikar serta dapat menjadi

perbandingan dengan situs-situs yang semasa dengan artefak (tembikar). Seiring

berkembangnya zaman dan kebutuhan serta pengetahuan yang semakin

bertambah, tembikar pun dianalisis lebih dalam lagi yaitu menggunakan analisis

laboratoris (Prijono, 2012; Kasnowiharjo, 2012). Tembikar yang dianalisis di


7

laboratorium akan lebih dalam menceritakan seputar teknologi, terkhusus pada

bahan yang digunakan dalam pembuatan tembikar.

Di Sulawesi Tenggara banyak tersebar gua-gua prasejarah dengan temuan

yang beragam. Salah satunya gua yang terdapat di Desa Pondoa, Kecamatan

Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara. Di gua tersebut terdapat temuan

arkeologis yang sangat beragam seperti tulang, gigi, keramik stoneware,

porcelain dan tembikar. Lokasi tersebut ditemukan oleh masyarakat sekitar

yang kemudian diinformasikan kepada mahasiswa Arkeologi UHO (2016) yang

pada saat itu melakukan survei gua prasejarah di Desa Pondoa, Kecamatan

Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara. Masyarakat sekitar memberi nama situs

tersebut dengan nama Gua Kuya. Berdasarkan informasi dari masyarakat

setempat, belum pernah ada peneliti yang datang ke lokasi tersebut termasuk

peneliti dari Balai Arkeologi Makassar. Keterangan tersebut dibenarkan oleh

pihak Balai Arkeologi Makassar bahwa mereka belum pernah melakukan

penelitian di situs tersebut. Terkait dengan temuan arkeologisnya, populasi

fragmen tembikar sangat banyak sehingga tembikar yang terdapat di situs

tersebut sangat menarik untuk menjadi fokus dalam penelitian. Tembikar yang

terdapat pada situs tersebut sangat beragam mulai dari bentuk hingga ragam

hiasnya.

Balai Arkeologi Makassar telah melakukan penelitian pada gua-gua

prasejarah yang terdapat di Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara

sejak tahun 2009, 2010, 2011 hingga 2015. Penelitian tersebut berada di tiga
8

desa yaitu Desa Tetewatu (Gua Terowongan), Desa Lampanga (Gua Wacu

Pinodo) dan Desa Wawontoaho (Gua Tengkorak). Penelitian yang mereka

lakukan telah membuktikan bahwa gua-gua di wilayah tersebut telah

dimanfaatkan oleh manusia masa prasejarah hingga sejarah. Gua-gua tersebut

dimanfaatkan sebagai hunian, tempat ritual hingga tempat penguburan. Bukti

tersebut didukung dengan tespit yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Makassar

pada Gua Tengkorak di Desa Wawontoaho, Kecamatan Wiwirano, Kabupaten

Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Bukti Arkeologis tersebut berupa alat-alat

batu yang berasosiasi dengan pecahan-pecahan tembikar, sisa pembakaran,

pecahan tulang, oker dan pecahan kerang.

Selain tiga desa tersebut, masih banyak gua-gua di wilayah tersebut yang

belum terjamah oleh peneliti. Salah satunya di Desa Pondoa, Kecamatan

Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara Sulawesi Tenggara. Survei yang

dilakukan oleh mahasiswa Arkeologi Universitas Halu Oleo telah menemukan

7 gua di desa tersebut diantaranya yaitu Gua Pondoa I, II, III, IV, V, Ceruk

Pondoa dan Gua Kuya. Pada setiap gua terdapat tulang, fragmen tembikar

hingga gigi. Pemberian nama gua tersebut didasarkan atas lokasi/desa dimana

gua tersebut ditemukan. Terkait dengan tinggalan arkeologisnya, Gua Kuya

menyimpan banyak tinggalan/ artefak seperti, gigi, tulang, tembikar, keramik

stoneware dan keramik porcelain. Terkhusus temuan tembikar, sangat menarik

untuk ditindak lanjuti dengan melihat keragaman bentuk dan ragam hiasnya.
9

1.2 Rumusan Masalah

Keanekaragaman temuan arkeologis yang terdapat pada Situs Gua Kuya,

Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi

Tenggara, menjadi bukti adanya aktivitas manusia di tempat tersebut. Tinggalan

tersebut mencerminkan kebudayaan neolitik dan paleometalik yang terdapat di

Sulawesi. Secara geografis, Sulawesi sangat berperan penting dalam persebaran

manusia penutur bahasa Austronesia di Indonesia karena letaknya yang berada

dipersilangan jalur pelayaran Asia Bagian Tenggara sehingga menjadi titik

persilangan kebudayaan baik dari arah Barat maupun Timur. Dalam perspektif

arkeologis beberapa Situs Neolitik di Sulawesi adalah kunci untuk menjelaskan

sifat alami penyebaran dan asal usul manusia penutur Austronesia di Indonesia

(Simanjuntak, 2009: 223-224 dalam Simanjuntak, 2009:9).

Salah satu ciri artefak budaya neolitik adalah tembikar. Ditinjau dari

bentuk dan ragam hias, tembikar Gua Kuya memiliki kemiripan dengan

tembikar tradisi Sa Huynh Kalanay yang merupakan budaya neolitik yang

dibawa oleh manusia penutur bahasa Austronesia. Austronesia

(australis=south;nesos=island), pertama kali diperkenalkan oleh W.Schmidt

(1899) untuk mneyebut rumpun bahasa yang dituturkan oleh penduduk yang

mendiami kepulauan Nusantara dan Pasifik. Austronesia mengacu pada bahasa,

namun dalam arti luas mengacu pada penutur dan budayanya secara keseluruhan

(Simanjuntak, 2011: 1). Kesamaan yang dimaksudkan yaitu dari segi bentuk

dan ragam hias yang terdapat pada tembikar. Pengamatan bentuk dan ragam hias
10

menjadi penting dengan pertimbangan bahwa dari segi bentuk dan ragam hias

dapat menjelaskan teknologi pembuatan tembikar tak lepas dari unsur-unsur

kesamaan dengan bentuk dan ragam hias dari situs-situs di Indonesia maupun

diluar Indonesia.

Segi bentuk dan ragam hias yang terdapat pada tembikar Gua Kuya dan gua-

gua lainnya yang berpontesi menjadi acuan dalam mengungkap sebaran tradisi

Sa Huynh Kalanay. Tradisi tembikar Sa Huynh Kalanay merupakan tradisi tua

yang dibawa oleh manusia pentur bahasa Austronesia (Vietnam-Filipina). Jika

kedua tembikar menampakan kesamaan dalam segi bentuk dan ragam hias,

maka dapat dikatakan bahwa Sulawesi Tenggara juga mendapat pengaruh dari

tradisi tembikar Sa Huynh Kalanay yang dilihat dari tinggalan arkeologisnya

yaitu tembikar.

Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian terkait tembikar

Gua Kuya dengan judul “Tembikar Gua Kuya di Desa Pondoa, Kecamatan

Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara: Kajian

Bentuk dan Ragam Hias”.

Berdasarkan uraian di atas maka masalah yang akan dikaji dalam

penelitian ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk tipologi tembikar Gua Kuya di Desa Pondoa,

Kecamatan Wiwirano Kabupaten, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara?


11

2. Bagaimanakah bentuk ragam hias dan penerapan teknik ragam hias pada

tembikar Gua Kuya di Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano Kabupaten,

Konawe Utara, Sulawesi Tenggara?

1.3 Tujuan Penelitian

Dari permasalahan yang diajukan, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui bentuk tipologi dan ragam hias tembikar Gua Kuya

di Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara,

Sulawesi Tenggara.

2. Untuk mengetahui mengetahui bentuk ragam hias dan penerapan teknik

ragam hias pada tembikar Gua Kuya di Desa Pondoa, Kecamatan

Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Akademik

Penelitian ini bermnfaat agar menjadi tambahan ilmu terkait

dengan kebudayaan yang terdapat pada Gua Kuya, Desa Pondoa,

Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi

Tenggara serta menjadi literatur bagi penelitian selanjutnya.

1.4.2 Bagi Masyarakat

Menjadi kebanggaan bagi masyarakat setempat terhadap potensi

tinggalan arkeologis yang terdapat di Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano

Kabupaten Konawe Utara. Serta menjadikan desa tersebut dikenal oleh


12

banyak orang, baik dalam maupun luar negeri yang nantinya dapat

menjadi pusat penelitian arkeologi yang sekaligus akan melibatkan

masyarakat lokal dalam penelitian maupun menjadikan salah satu

masyarakat sebagai juru pelihara situs.

1.4.3 Pemerintah

Dalam hal ini, pemerintah setempat menjadi penunjang terjaga dan

terlindunginya sebuah situs. Pemerintah bertugas untuk mengurus segala

administrasi dan aturan terkait wilayah cakupan situs Gua Kuya. Dengan

adanya aturan yang dibuat oleh pemerintah, dapat membantu

pemeliharaan situs. Hal ini menjadi prospek yang baik serta kebanggaan

dan nilai tambah bagi pemerintah setempat terhadap potensi tinggalan

arkeologis yang terdapat di Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano

Kabupaten Konawe Utara.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini secara spasial dilaksanakan di situs Gua

Kuya yang terdapat di Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe

Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara dengan objek penelitian yaitu tembikar.

Penelitian yang dilakukan lebih menitik beratkan pada kajian bentuk dan ragam

hias yang terdapat pada tembikar Gua Kuya. Setelah mengetahui bentuk dan

ragam hiasnya, akan dilakukan perbandingan antara tembikar yang terdapat di

Gua Kuya dengan tembikar di Asia Tenggara yang tidak lepas dari tradisi

tembikar Sa Hyunh Kalanay.


13
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini dapat dijadikan

bahan perbandingan yaitu penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Hariri

(2007) dengan judul “Tipologi Tembikar Candi Plaosan, Candi Hijau dan

Ratu Boko dalam perbandingan (Kajian Terhadap Atribut Bentuk)”.

Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada variabel yang digunakan

peneliti yaitu dimana ia hanya menggunakan satu variabel yaitu bentuk yang

nantinya digunakan sebagai pembanding dari setiap sampel yang digunakan

pada setiap situs. Sedangkan penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu

bentuk dan ragam hias.

Penelitian yang dilakukan oleh Ricky Meinson Binsar Simanjuntak

(2009) dengan judul “Ragam Hias Sa Huynh-Kalanay pada Tembikar Situs

Minanga Sipakko, Kecamatan Kalumpang, Kabupaten Mamuju, Provinsi

Sulawesi Barat” dapat dijadikan sebagai pembanding dari tulisan ini.

Perbedaan dengan penelitian ini terletak pada tujuan. Dalam penelitiannya,

Ricky membahas secara keseluruhan terkait ragam hias yang terdapat pada

setiap tembikar

13
14

membandingkannya di seluruh situs prasejarah di Indonesia serta

membandingkan dengan ragam hias pada tembikar tradisi Sa Huynh- Kalanay.

Persamaannya yaitu variabel yang digunakan yaitu sama-sama meneliti ragam

hias.

Penelitian yang dilakukan oleh Arundina Citraningtyas (2011) dengan

Judul “Gerabah Jambu Hulu (Tinjauan Bentuk dan Motif Hias)”, dapat dijadikan

sebagai bahan utama dan pembanding dari tulisan ini. Perbedaan dengan tulisan

ini lebih mengarah pada wilayah perbandingan penelitian dimana Arundina

melakukan perbandingan tem bikar Jambu Hulu dengan Tembikar Asia

Tenggara, sedangkan tulisan ini melakukan perbandingan pada tembikar di

Minanga Sipakko, Desa Kalumpang Sulawesi Barat. Adapun persamaan kedua

penelitian ini adalah dua variabel yang digunakan yaitu bentuk dan ragam hias.

Penelitian yang dilakukan oleh Rusyanti (2013) dengan judul “Tembikar-

tembikar di Situs Hujung Langit Lampung barat”, dapat dijadikan sebagai

perbandingan dalam penelitian ini. Perbedaannya terletak pada tujuan yaitu

Rusyanti ingin lebih membawa kepada fungsi gua melalui tembikar yang

menjadi objeknya. Persamaannya yaitu terletak pada variabel bentuk yang

dijadikan sebagai dasar dalam penelitian ini.

2.2 Tembikar Dalam Arkeologi

Studi tentang keramik (tembikar) hampir setua studi arkeologi. Sebelum

akhir abad ke sembilan belas, tembikar dan artefak lainnya dikumpulkan oleh

antiquarians sebagai koleksi barang antik. Pada masa itu meningkat pula minat
15

dalam arkeologi terkait teknik, pengembangan pendekatan metodologis serta

kajian artefak seperti tembikar (Gibson & Woods, 1990: 6).

Tembikar adalah keramik yang dibakar dengan suhu pembakaran 350°

sampai 1000°C (McKinnon, 1991: 1). Bahan dasar tanah liat yang banyak

mengandung banyak campuran lain. Benda jenis ini menyerap air dan dapat

ditembus oleh air karena memiliki permabilitas yang relatif sedang sampai

tinggi dan berpori banyak. Bahan campurannya seperti pasir, pecahan kerang,

potongan-potongan kecil sekam padi, dan pecahan tembikar yang sudah tidak

terpakai lagi.

Di dalam dunia arkeologi, tembikar terbagi atas 3 (tiga) tradisi tembikar

berdasarkan masa dimana tembikar tersebut diperoleh yaitu tradisi tembikar Sa

Huynh Kalanay, tembikar Bau-Melayu dan tembikar Lapita. Tradisi tembikar

yang mewakili masanya memiliki bentuk yang berbeda-beda. Perbedaan dapat

dilihat dari permukaan serta ragam hias pada setiap tembikar. Berikut

pemaparan dari ketiga tradisi tembikar tersebut.

2.2.1 Tradisi Tembikar Sa Huynh Kalanay

Tradisi tembikar tertua dan paling terkenal di Asia Tenggara adalah

tradisi tembikar Sa Huynh Kalanay. Sa Hyunh Kalanay terdiri dari dua

kata yaitu Sa Huynh yang berarti tembikar dari Vietnam dan Kalanay yang

berarti tembikar dari Filipina. Jadi, tradisi Sa Huynh Kalanay merupakan

tradisi yang turun temurun dilakukan oleh masyarakat (Vietnam dan

Filipina) dalam memberi penghargaan kepada nenek moyang dan sebagai


16

warisan. Tradisi tersebut dihasilkan oleh penduduk asli Indo-Malaysia

yang berbahasa Austronesia. Bahasa Austronesia adalah bentuk satu

keluarga dan relatif erat, mirip di derajat keragaman internal dan

kedalaman waktu untuk keluarga bahasa utama lainnya seperti

Austroasiatic, Uto-Aztecan dan Indo-Eropa. Sebelum AD 1500 bahasa

Austronesia berasal dari keluarga bahasa yang paling luas di dunia dengan

distribusi memperluas lebih dari setengah jalan di seluruh dunia dari

Madagaskar ke Pulau Paskah (Tryon dkk, 2006:1).

Semua bahasa Austronesia saat ini dianggap berasal dari satu bahasa

induk, mungkin diucapkan di Taiwan sekitar lebih dari 5000 tahun yang

lalu. (Tryon dkk, 2006: 4). Dalam Tulisannya, Bellwood berpendapat

bahwa orang-orang Austronesia menyebar dari Taiwan Hingga Ke

Filipina hingga mencapai Sulawesi Utara, Kalimantan Utara 4000 BP

kemudian berlanjut pada kawasan lainnya yaitu Indo-Malaysia dan

Kepulauan Indonesia (Simanjuntak, 2009: 25).

Fase-fase awal migrasi Austronesia sering kali dikaitkan dengan

munculnya tembikar berslip merah dan hiasan bercap berbentuk lingkaran

(Ardika, dalam Simanjuntak, 2009: 25). Penelitian secara arkeologis

pertama dilakukan oleh W.G Solheim dimana ia mempelajarai sebaran

budaya Austronesia di Asia Tenggara melalui kajian objek tembikar. W.G

Solheim adalah seorang ahli Antropologi dari Amerika yang sering kali

melakukan penelitian melalui pendekatan Arkeologis. Solheim


17

mengajukan teorinya berdasarkan kebudayaan material serta mempelajari

pola tingkah laku masyarakat pendukung material tersebut. Teorinya di

kenal dengan Nusantao Maritime Trading and Communication Network

(NMTC) (Flessen 2006: 6 dalam Simanjuntak, 2009: 26). Solheim

kemudian berhasil mengidentifikasi bentuk dan ragam hias yang umum

dijumpai pada tembikar Vietnam dan Filipina yang sering disebut dengan

trade tembikar Sa Huynh (Vietnam), Kalanay (Filipina).

Tradisi ini pun menyebar luas hingga ke kawasan Asia Tenggara

sehingga memunculkan kesamaan karakteristik. Tembikar Sa Hyunh

Kalanay yang ditemukan umunya berfungsi seremonial. Bentuknya

berupa tempayan kubur, periuk dan mangkok berkaki. Hiasannya dibuat

dengan menggunakan teknik tatap balut, tatap ukir, teknik tekan serta

gores (Soejono, 1993: 269-270).

Tembikar Sa Huynh terdiri dari beberapa tipe bentuk yaitu tempayan

yang pada bagian dasarnya bulat, belanga bulat tanpa kaki, mangkuk

berkarinasi dan non-karinasi, serta wadah berkaki. Berdasarkan warna,

tembikar Sa Huynh dibagi menjadi dua kelompok yaitu slip merah dan slip

kecoklat-coklatan. Tembikar berslip kecoklat-coklatan lebih tipis

dibanding dengan tembikar slip merah. Teknik pembentukan dilakukan

dengan teknik tatap pelandas. Teknik pembuatan ragam hias dilakukan

dengan teknik gores, lukis dan tekan. Ragam hias yang terdapat pada
18

tembikar ini adalah segitiga, meander, empat persegi panjang, segitiga

terbuka, dan garis tegak dan pita horizontal (Simanjuntak, 2009: 28-29).

Kompleks tembikar tipe Kalanay pertama kali ditemukan di Gua

Batungan, Kalanay, Pulau Masbate, Filipina. Ekskavasi pertama kali

dilakukan oleh Solheim pada tahun 1951. Kompleks tembikar tipe

Kalanay diperkirakan berkembang mulai periode Neolitik akhir hingga

masuknya keramik Cina dari Dinasti Tang akhir atau awal Dinasty Sung

(Simanjuntak, 2009: 299).

Tembikar Kalanay terdiri dari beberapa bentuk yaitu tempayan,

cawan, periuk, kendi, buyung dan tutup. Teknik pengerjaan bentuk

menggunakan teknik roda putar lambat. Ragam hias yang terdapat pada

tembikar ini terdiri dari empat persegi panjang, meander dan variasi motif

segitiga. Teknik pembuatan ragam hias dilakukan dengan teknik gores.

Kepulauan Indoensia termasuk ke dalam rute pelayaran penutur

Austronesia di Asia Tenggara. Budaya Austrronnesia dapat dijumpai

hampir di seluruh kawasan Indonesia, terutama Indonesia bagian Timur

(Simanjuntak 2009: 46). Situs-situs yang diperkirakan mendapat

pengaruh dari tradisi Sa Huynh Kalanay dapat dijumpai pada beberapa

tempat di Indonesia seperti di Bidang Atas, Gua Babi, Anyer, Buni,

Gunung Wingko, Plawangan, Gilimanuk, Melolo, Loweleba, dan kawasan

Kalumpang, Sulawesi Barat (Simanjuntak, 2009: 46). Penelitian yang

dilakukan di situs-situs tersebut telah membuktikan bahwa tembikar dari


19

situs tersebut mendapat pengaruh dari tradisi Sa Huynh Kalanay. Paparan

tradisi Sa Huynh Kalanay menjadi bukti bahwa pada masa lampau orang-

orang Austronesia bermigrasi dan membawa kebudayaan tembikar pada

setiap tempat persinggahan termasuk Sulawesi.

Banyaknya temuan tembikar disetiap situs menandakan adanya

aktivitas pada situs tersebut serta. Dalam kehidupan suatu masyarakat,

fungsi dan arti tembikar tidak kalah penting. Tembikar sering menjadi

perlengkapan berbagai macam upacara yang berhubungan dengan

kepercayaan masyarakat tersebut. Tembikar dianggap memiliki nilai religi

yang sangat tinggi. Dalam upacara penguburan pada masyarakat

prasejarah, tembikar sering dipakai sebagai bekal-kubur (burial-gift) atau

sebagai wadah kubur yang sering disebut sebagai kubur-tempayan (jar

burial) yang dikenal di seluruh dunia. Tembikar dianggap penting dan

dapat dipakai sebagai bekal perjalanan maupun bekal kehidupan

almarhum di alam lain (Soegondho, 1995:1).

Di Indonesia tembikar juga sudah dikenal sejak masa bercocok

tanam (Neolithic). Bukti-buktinya antara lain ditemukan di Kendeng

Lembu (Jawa Timur), di Kelapa Dua (DKI), di Serpong (Jawa Barat) dan

lain sebagainya. Selain tembikar dari masa bercocok tanam, ditemukan

pula tradisi-tradisi tembikar dari masa perundagian (paleometalic) di

Indonesia yaitu di Anyer, Pejaten, Pasir Angin, Buni, Plawangan,

Gilimanuk, Melolo (Soegondho, 1995:6).


20

Dalam perkembangan selanjutnya mulai dibuat jenis-jenis tembikar

yang lebih baik dalam bentuk wadah yang berongga lebih luas, seperti

periuk dan tempayan. Sebagian dari wadah-wadah tersebut bebagian ada

yang polos dan sebagian lagi berhias pola tali atau pola sisir. Hampir tidak

ada yang ditemukan dalam hubungan dengan penguburan, sehingga

diduga merupakan alat-alat untuk keperluan sehari-hari terutama untuk

memasak makanan. Bukti-bukti ditemukan tersebar di sekitar Guangdong,

Taiwan, Fujian, Jingsu, Zheijang, Hunan, dan Hubei pada akhir masa

neolitik di Cina (Zhiyan & Wen, 1984: 14-15 dalam Soegondho, 1995: 6).

Di Indonesia, tembikar semacam ini ditemukan di beberapa situs

neolitik, seperti di Kendeng Lembu (Jawa Tmur), Kelapa Dua (DKI Jaya)

dan Kalumpang (Sulawesi Selatan) (Soegondho, 1995: 6). Tembikar

Paleometalik di Indonesia ditemukan di situs-situs penguburan seperti:

situs Plawangan (Jawa Tengah), situs Gilimanuk di Bali dan situs kubur

lain (Anyer, Melolo, Cipari dan lain-lain). Pertanggalan (dating) antara

1500 S.M.-400 M. Jenis-jenis tembikarnya terdiri dari jenis piring, cawan,

periuk, kendi berceret dan tidak berceret serta tempayan (Soegondho,

1995: 6-7).

Pada masa manusia sudah mengenal tulisan, tembikar masih terus

bertahan bahkan semakin berkembang, baik jenis maupun teknologi

ataupun fungsinya. Tembikar masa-masa ini terdiri dari jenis-jenis lain

seperti: anglo, keren, lampu minyak kelapa (bahasa Jawa = cuplak), dan
21

jenis-jenis bukan wadah seperti patung terakota, dinding sumur, batu bata

dan unsur-unsur bangunan lainnya. Kualitas tembikar pada masa tersebut

juga makin meningkat, biasanya keadaan permukaannya halus, bentuknya

simetris, kebanyakan dibuat dengan roda putar, bahkan sebagian sudah

diglasir. Gerabah semacam ini berkembang sekitar awal Masehi hingga

abad 14 Masehi. Di Indonesia tembikar ini berkembang pada masa-masa

perkembangannya pengaruh Hindu Buddha sekitar 400 M sampai 1600 M,

seperti yang ditemukan di situs bekas kerajaan Majapahit di Desa

Trowulan, Mojokerto (Jawa Timur) dan situs-situs arkeologi klasik

lainnya (Soegondho, 1995:7).

Tradisi tembikar terus berlangsung hingga masa kini, diberbagai

penjuru dunia khususnya Asia dan di Indonesia. Hasil pembuatan tembikar

dari sentra produksi masa kini kualitasnya beraneka ragam dari yang masih

sederhana seperti tembikar neolitik dan tembikar paleolitik, sampai yang

berkualitas maju seperti tembikar di Indonesia masa klasik dan masa

Islam. Sentra-sentra industry tembikar di Indonesia masa kini tersebar

dimana-mana diantaranya: Desa Balong Mulyo dan Narukan (Kabupaten

Rembang, Jawa Tengah ), Desa Mayong (Kabupaten Jepara, Jawa

Tengah), Desa Sadang Gentong (Kabupaten Garut, Jawa Barat) Desa

Plered (Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat), Desa Galo Gandang

(Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat), Desa Pulutan (Kabupaten

Minahasa, Sulawesi Utara), Desa Piw (Kabupaten Maluku Tengah,


22

Maluku), Desa Blahbatu (Kabupaten Gianyar, Bali) dan masih banyak

tempat lain (Soegondho, 1995: 8).

2.2.2 Tembikar Bau-Melayu

Tembikar Bau-Malayu menghasilkan keramik dengan jenis dan

ragam hias yang tidak banyak bervariasi. Jenis keramiknya terdiri dari

cawan, dan periuk dalam bentuk-bentuk sederhana. Pola hias yang

dikenalpun sederhana. Teknik menghias yang dikenal adalah ‘teknik tera’.

Tidak tampak adanya tanda-tanda dikenalnya ‘teknik Upam dan teknik

Slip’ dalam penyelesaian permukaan. Hal-hal tersebut menimbulkan

dugaan bahwa teknik pembuatan keramik Bau-Melayu masih belum maju

(Solheim, Soejono dalam Soegondho, 1993: 88).

2.2.3 Tembikar Lapita

Pada dasarnya, kebudayaan Lapita ditandai dengan kompleks atau

seri tembikar (atau keramik) yang memiliki ciri unik, terutama pada

bentuk dan ornament yang terdapat pada tembikar tersebut (Kirch, 1996:

58). Tembikar lapita terbuat dari tanah dengan pembakaran yang tidak

terlalu tinggi, mencakup teko, piring, mangkuk, serta semacam kendi-

kendian. Dari jenis tersebut, kebanyakan tidak didekorasi, tetapi antara 5-

15% nya didekorasi dengan motif-motif antropomorfis, bentuk geomentris

serta transformasi wajah manusia. Teknik pendekorasianpun berbeda-

beda, ada yang diukirkan dengan teknik dentate stamp atau berupa pita

merah dileher kendi.


23

Secara geografis, kebudayaan Lapita terbentang dari kepulauan

Bismarck di Barat, melalui pulau-pulau utama Melanesia (Solomon,

Vanuatu, New Caledonia) ke Fiji, mencapai kepulauan Polinesia Tonga

dan Samoa, menempuh jarak sekitar 4.000 km. Dari penggalian situs-situs

di daerah tersebut diketahui bahwa pertanggalan sekitar 1.500 sampai 500

tahun SM. Situs paling awal ditemukan di Kepulauan Bismarck dengan

pertanggalan sekitar 3.500 tahun lalu dan situs di Samoa dan Tonga

datingnya sekitar 3.200 sampai 3.000 tahun lalu (Kirch, 1996: 58).

Awalnya kebudayaan Lapita didefinisikan berdasarkan tembikar

yang sangat khas, dihiasi oleh cetakan geligi (cap geligi). Dengan

pengecualian pada tembikar Sepik-Ramu (Sawadling, Araho dan Ivuyo

1991), itu awal tradisi tembikar di Melanesia. Dekorasi mirip Lapita tidak

ditemukan dalam kumpulan sebelumnya di Pulau Asia Tenggara (hal itu

menjadi kemudian setelahnya Spriggs 1989: 607), tetapi berbagai bentuk

kapal dan penggunaan slip merah dekorasi dibagi antara kedua daerah

(Spriggs, 2010: 123).

Sekarang ada tiga sub-gaya Lapita diakui, yang memiliki arti

geografis dan kronologis:

a) Lapita terbatas pada Kepulauan Bismarck dan penanggalan

sekitar 1600-1200 SM. Sub-gaya ini telah mengahasilkan

bentuk kapal paling kompleks dan motif dekoratif yang paling

rumit, sering memakai cap religi yang sangat halus.


24

b) Lapita Barat ditemukan setelah tahun 1200 SM di Bismarcks

dan menunjukan awal dari tembikar Lapita di Solomon,

Vanuatu dan Kaledonia Baru. Tembikar tersebut mempunyai

dekorasi yang tidak rumit, beberapa bentuk bejana dan

penggunan cap yang lebih kasar. Gaya tersebut berlangsung

kira-kira pada masa sesudah Masehi dibeberapa daerah

sementara di sisi lain cap geligi sebagai teknik dekoratif telah

berhenti sejak 500 sebelum Masehi.

c) Lapita Barat di temukan di Fiji dan Polinesia Barat pada sekitar

tahun 100 SM. Motif yang ada lebih sederhana dan terdapat

beberapa bentuk bejana. Sebuah cap geligi kasar sering

digunakan. Di Tonga gaya ini terus digunakan sampai sekitar

2000 tahun yang lalu, sementara di Samoa tampaknya telah

berhenti lebih awal sekitar 800 SM. Gaya ini berhubungan erat

dengan sekumpulan gaya Barat Lapita Malo di Vanuatu Utara

(Sprigss, 2010: 123).

2.3 Jenis – Jenis Tembikar

Menurut Soegondho (1995), ada beberapa jenis-jenis tembikar yang

terkenal di Indonesia terdiri dari jenis-jenis wadah (Vessel) dan jenis-jenis yang

bukan wadah. Jenis-jenis yang dikenal sebagai wadah adalah periuk, cawan,

mangkuk, piring, kendi dan tempayan. Sedangkan yang non-wadah antara lain
25

berupa patung-patung terakota, saluran-saluran aur, dinding sumur, bandul jala,

manik-manik, tablet-tablet tanah liat dan lain-lain.

Periuk merupakan jenis yang paling dominan di antara macam-macam

jenis tembikar. Periuk-periuk tersebut terdiri dari berbagai macam ukuran,

secara garis besar dapat dibedakan ke dalam tiga kategori yaitu periuk kecil,

periuk sedang dan periuk besar. Umumnya, periuk-periuk tersebut dibedakan

menjadi dua golongan, menurut bentuknya, yakni bulan dan berpundak tajam,

atau dikenal dengan berkarinasi. Wadah ini sering digunakan untuk alat

keperluan umum sehari-hari seperti memasak dan untuk tempat penyimpanan

makanan. Wadah ini sangat praktis untuk memasak makanan yang

menggunakan campuran air, sebab memiliki rongga wadah yang cukup dalam,

dan mulut yang tidak terlalu lebar. Oleh sebab itu jenis periuk sering dipakai

untuk memasak nasi dan ikan (Freenan, 1957: 172; Solheim, 1965: 255-257

dalam Soegondho, 1995: 3-5).

Cawan secara umum dapat dibedakan ke dalam dua golongan. Wadah-

wadah tanah liat yang termasuk jenis cawan ialah golongan cawan bulat dan

golongan cawan berkarinasi. Wadah termasuk jenis cawan biasanya berukuran

tinggi, badannya lebih kecil dan tidak berleher. Sedangkan cawan bulat adalah

sejenis wadah tanah liat yang memiliki badan pendek mebulat setengah bola

atau setengah lingkaran. Wadah jenis cawan biasanya digunakan untuk

keperluan upacara. Wadah ini biasanya digunakan untuk pedupaan, seperti yang

ditemukan pada kebudayaan Wessex di Inggris sekitar 1400 SM (Bray &


26

Trump, 1976:112 dalam Soegondho, 1995: 5). Selain itu, jenis cawan yang

sering sering dipakai dalam upacara, yaitu untuk tempat makanan bagi bekal

orang-orang yang dikuburkan. Bukti tentang hal ini dijumpai pada kubur-kubur

masa perunggu di Britania dan Irlanda, dengan pertanggalan 1600-1300 SM

(Bray & Trump, 1976: 89 dalam Soegondho, 1995: 5).

Kendi, tempayan dan piring adalah jenis wadah tanah liat yang agak

khusus. Kendi ialah jenis wadah tanah liat yang memiliki badan bulat dan

berkarinasi, berleher panjang dan bermulut sempit. Kendi adalah wadah yang

difungsikan atau sering berhubungan dengan minum (wadah penyimpanan air).

Tempayan adalah jenis tembikar ysng berukuran paling besar dibandingkan

dengan jenis tembikar yang lainnya. Wadah-wadah tanah liat dari jenis ini ada

yang berbadan bulat dengan alas bulat atau rata. Umumnya berbadan tinggi dan

melebar sehingga rongga badannya cukup dalam, dan memiliki mulut dengan

orientasi menutup atau menyempit. Jens tempayan merupakan jenis wadah

tembikar yang relative berdaya muat cukup besar. Wadah ini biasanya

digunakan untuk keperluan penyimpanan (Storage), seperti untuk menyimpan

beras atau air, tetapi seringkali juga dipakai untuk wadah penyimpanan abu

jenazah yang telah dikremasi, atau sebagai wadah untuk mengubur tulang-

tulang bahkan mayat manusia (Bray & Trump, 1976 dalam Soegondho, 1995:

5). Tempayan seringkali digunakan untuk wadah bahan-bahan makanan atau

minuman hasil produksi local yang dijajakan dan diperdagangkan ataupun yang
27

akann disimpan untuk beberapa waktu lamanya (Solheim,1965 dalam

Soegondho, 1995: 5).

Penggunaan tembikar sebagai alat upacara penguburan, sangat terkenal di

Asia Tenggara paling tidak sejak 2000 tahun yang lalu. Bukti-Bukti untuk lain

ditemukan pada kebudayan Tembikar Kalanay di Filipina yang memiliki angka

tahun 750 SM abad 4 M (Solheim, 1965: 271 dalam Soegondho, 1995: 5) dan

beberapa tempat di Indonesia, seperti di Anyer, Melolo, Gilimanuk, Plawangan.

Pasir Angin, Cipari dan lain-lain dengan pertanggalan antara 1500 SM – 400 M

(Soegondho, 1995: 5).

Penggunaan tembikar sebagai alat upacara penguburan, sangat terkenal di

Asia Tenggara paling tidak sejak 2000 tahun yang lalu. Bukti-bukti untuk itu

antara lain ditemukan pada kebudayaan tembikar Kalanay di Filipina yang

memiliki angka tahun 750 S.M abad 4 M (Solheim, 1965: 271 dalam Soegondho

1995:5), dan beberapa tempat di Indonesia, seperti di Anyer, Melolo,

Gilimanuk, Pasir Angin, Cipari dalam lain-lain dengan pertanggalan antara 1500

S,M 400 M (Soegondho, 1995: 5).

Menurut Orton dkk (1993), masalah fungsi dapat didekati dengan melihat

tiga sudut pandang: pertama pada tingkat fungsi pakai individu; kedua informasi

fungsi yang didapatkan dari kumpulan data arkeologi (hubungan antar data

arkeologi); Ketiga orientasi keseluruhan dari industri/ penghasil tertentu. Untuk

mengatasi semua aspek ini secara memadai perlu untuk menarik bersama-sama
28

informasi pada setiap informasi, nomenklatur, teknologi, perdagangan,

distribusi dan proses informasi situs serta referensi sejarah, etnografi dan sastra.

Dalam mengetahui sebuah teknik yang diaplikasikan pada tembikar dapat

diketahui dari tekstur bagian dalam tembikar. Ada macam-macam teknik yang

digunakan namun dalam pengerjaan tidak menutup kemungkinan adanya

kombinasi teknik yang digunakan dalam pengerjaan tembikar. Seperti Arkeolog

dan ahli teknologi keramik di Inggris menyadari bahwa kombinasi teknik

mungkin telah digunakan dan harus berada pada porsinya untuk bukti dari

sebuah aktivitas masyarakat tertentu. Sebuah pecahan tunggal yang

menunjukkan bukti mungkin tidak berarti bahwa seluruh body dibentuk oleh

yang metode tertentu seperti, metode roda putar. Hal tersebut dapat dilihat pada

bagian dalam dari tembikar. Tidak menutup kemungkinan ada kombinasi teknik

yang digunakan dalam satu pengertjaan tembikar prasejarah di Inggris yang

pada saat ini masih digunakan (Gibson & Woods, 1990: 42).

2.4 Landasan Teori

Peter Bellwood (2000) adalah seorang arkeolog yang mencetuskan teori

Out Of Taiwan. Teori tersebut menjelaskan tentang persebaran penutur

Austronesia dari Taiwan ke Filipina hingga mencapai Sulawesi Utara dan

Kalimantan Utara sekitar 4.000 BP, kemudian masuk ke kawasan lain yaitu,

Indo-Malaysia dan Kepulauan Indonesia. Di Filipina, budaya Austronessia

masuk sekitar 4.500 BP, sedangkan Malaysia sekitar 3.500 – 3000 BP

(Bellwood, 1997: 119; Arifin, 2006: 146 dalam Simannjuntak, 2009: 25).
29

Persebaran penutur Austronesia di Asia Tenggara disebabkan oleh

beberapa faktor, salah satunya Sistem Teknologi Pelayaran (Maritim). Dalam

hal ini Sulawesi Tenggara adalah salah satu wilayah maritim yang terbilang

memiliki kekayaan alam bahari di Indonesia bagian Timur. Terlebih Bellwood

meyakinkan bahwa Asia Tenggara Kepulauan merupakan wilayah yang terlebih

dahulu didatangi oleh penutur Austronesia sebelum menyebar luar ke wilayah

lainnya (Simanjuntak, 2009:25).

Ada banyak pendekatan yang digunakan dalam mengkaji persebaran

Austronesia diantaranya studi tentang Linguistik, Arkeologi dan Genetik.

Penelitian secara arkeologis pertama kali dilakukan oleh W.G Solheim. Ia

mempelajari persebaran kebudayaan Austronesia melalui kajian Tembikar.

Solheim berhasil mengidentifikasi dan mengenal bentuk-bentuk maupun hiasan

tembikar yang terdapat di Asia Tenggara yang dikenal sebagai tembikar tipe Sa

Huynh (Vietnam) dan Kalanay (Filipina). Karena kemiripan keduanya

kemudian dikenal dengan tembikar tradisi Sa Hyunh Kalanay.

Selain dua teori yang telah dipaparkan pada paragraf sebelumnya, Teori

Sejarah Budaya juga digunakan dalam penelitian ini. Salah satu tokoh dalam

teori ini adalah Lewis Binford (1972). Binford lebih mengarah kepada sejarah

budaya yang didukung oleh Arkeologi tradisional yang menggunakan

pandangan normatif. Teori ini mengandung dua asumsi yaitu artefak sebagai

perwujudan dari norma budaya dan norma budaya tersebut yang akan

menentukan batas-batas kebudayaan. Teori ini digunakan dalam penelitian ini


30

karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan (budaya yang sama)

antara tembikar tradisi Sa Huynh Kalanay, Asia Tenggara dengan tembikar Gua

Kuya melalui proses pengerjaan tembikar. Penelitian ini beranjak dari variasi

bentuk dan ragam hias tembikar Gua Kuya yang jika dilihat sepintas memiliki

kemiripan dengan tembikara tradisi Sa Huynh Kalanay. Tidak menutup

kemungkinan bahwa tembikar Gua Kuya, Konawe Utara mendapat pengaruh

dari tradisi tersebut. Sehingga budaya terkait tembikar di Gua Kuya yang

terdapat di Konawe Utara dapat bercerita tentang kebudayaan yang sama seperti

kebudayaan tembikar di Kalumpang, Sulawesi Barat yang juga mendapat

pengaruh dari tembikar tradisi Sa Huynh Kalanay.

2.5 Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir menjelaskan proses pencapaian tujuan yang digunakan

oleh penulis. Kerangka tersebut dibuat sedemikian rupa agar penulisan proses

penelitian nampak jelas bagi pembaca. Lokasi penelitian bertempat di situ Gua

Kuya, Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi

Tenggara. Objek pada penelitian ini adalah fragmen tembikar yang terdapat

pada situs tersebut. Analisis yang digunakan adalah analisis visual yang terdiri

dari analisis morfologi, teknologi (bahan, teknik pembentukkan tembikar dan

ragam hias) dan Stilistik. Setelah analisis dilakukan, maka hasil dari analisis

tersebut dikaitkan dengan kajian pustaka. Dari kaitan keduannya, akan menarik

kesimpulan yang akan menjawab permasalahan yang terkait dengan bentuk dan
31

ragam hias, serta hubungan tembikar Gua Kuya dengan tradisi tembikar Sa

Hyunh Kalanay, Asia Tenggara.

Berikut kerangka berpikir:

Tembikar Gua Kuya , Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano,


Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara

Analisis Visual
(Morfologi, Teknologi, Stilistik)

Bentuk dan Ragam Hias Tembikar


Tradisi Sa Huyn h Kalanay
W.G Solheim

1. Variasi Bentuk Tembikar Gua Kuya,


Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano,
Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi
Tenggara.
2. Ragam Hias dan Penerapan Teknik
Ragam Hias Pada Tembikar Gua Kuya,
Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano,
Kabupaten Konawe Utara, Provinsi
Sulawesi Tenggara.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Sumber Data

Sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.

Terdapat dua jenis sumber data dalam penelitian, yaitu sebagai berikut:

3.1.1 Data Primer

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer. Data

primer diperoleh dari pengamatan langsung dilapangan yaitu dengan

mengumpulkan data, baik itu berupa pencatatan, pendokumentasian,

penggambaran, dan pengukuran. Data primer tersebut berupa tembikar yang

terdapat pada Gua Kuya. Tembikar yang dipilih adalah tembikar-tembikar yang

akan dijadikan sebagai sampel untuk analisis lebih lanjut.

3.1.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari laporan-laporan yang

terkait dengan apa yang dikaji seperti laporan Penelitian Balai Arkeologi

Makassar. Selain itu, pengumpulan data sekunder dilakukan melalui kajian

buku-buku, laporan, artikel yang menunjang.

32
33

3.2 Pengumpulan Data

3.2.1 Observasi

Pengamatan secara langsung terhadap fenomena yang akan

diselidiki, untuk mendapatkan gambaran tentang potensi arkeologis yang

terdapat di Gua Kuya. Pengamatan data penelitian ini adalah pengamatan

yang difokuskan pada bentuk dan ragam hias tembikar yang berada di

permukaan.

3.2.2 Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh teori-teori yang

terkait dengan tembikar. Selain itu, referensi tentang tembikar Asia

Tenggara terkhusus tembikar tradisi Sa Huynh Kalanay yang berupa

artikel, buku, laporan serta skripsi-skripsi terdahulu.

3.2.3 Dokumentasi

Teknik pendokumentasian dalam penelitian ini antara lain

penggambaran dan pemotretan. Penggambaran meliputi pembuatan peta

dan gambar temuan. Gambar temuan berupa dari bentuk, profil serta

ragam hiasnya. Sedangkan pemotretan dilakukan terhadapap setiap

temuan yang disertai dengan skala. Selain temuan pendokumentasian

juga dilakukan terdapat bentuk gua serta tahapan kegiatan yang

dilakukan selama penelitian. Untuk mengetahui bentuk dan diameter dari

tembikar ada beberapa peralatan yang digunakan yaitu; Kawat TH0

(biasa digunakan sebagai bahan solder atau kawat lunak). Kawat tersebut
34

kemudian dilekatkan menurut bentuk tembikar (mengikuti body

tembikar). Setelah mendapatkan bentuk tembikar, maka hasil

pembentukkan tersebut kemudian diletakkan pada bidang datar kertas

millimeter blok dan kemudian digambar mengikuti bentuk kawat.

Sedangkan fragmen berbentuk tepian dapat ditentukan diameternya

dengan cara meletakkan tepian pada bidang datar (kertas) dengan posisi

terbalik (menempelkan bibir tembikar pada permukaan datar). Kemudian

digambar mengikuti lekukan tepian dengan melakukannya berulang kali

mengikuti ujung garis lekukan sehingga membentuk lingkaran sempurna

dan dapat diukur diameternya. Setelah mengetahui diameternya,

selanjutnya adalah menjiblak profil tembikar yang telah digambar

dengan bantuan kawat lunak. Gambar dijiblak menggunakan kertas

kalkir (kertas transparan). Setelah dijiblak menggunakan kalkir maka

kertas tersebut dibalik dan ditempelkan sejajar dengan gambar profil tadi

sesuai ukuran diameter sehingga dapat membentuk gambar utuh. Untuk

menjiblak gambar tersebut harus menggunakan bantuan kertas karbon

agar gambar yang dijiblak bisa terlihat jelas.

3.3 Penentuan Sampel

Dalam proses pengambilan sampel untuk kegiatan analisis, tembikar

dipilih langsung di lokasi penelitian. Proses pemilihan menggunakan teknik

purposive sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan

tertentu. (Soendari 2013: 38). Sampel diplilih atas dasar pertimbangan peneliti
35

dimana sampel dipilih dengan melihat populasi serta ragam dari sampel. Sampel

dipilih dengan melihat variasi bentuk dan ragam hias pada Gua Kuya.

3.4 Teknik Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis visual.

Analisis visual meliputi analisis morfologi, analisis teknologi, dan analisis

stilistik. Berikut ini ulasan teknik analisis yang digunakan.

3.4.1 Analisis Visual

3.4.1.1 Analisis Morfologi

Analisis yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui bentuk dari

fragmen tembikar yaitu wadah dan non-wadah yang dilihat dari bagian-

bagian yaitu tepian dan dasar (Sukendar, 1999: 60). Untuk

memperkirakan bentuk, pengamatan dilakukan dengan mencermati

orientasi, ketebalan dan diameternya. Selain itu, perkiraan bentuk wadah

juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode curve fitting, yaitu

dengan cara mengamati lekung garis bagian tepian dan dasar.

3.4.1.2 Analisis Teknologi

Variabel-variabel yang diperhatikan dalam menganalisis

teknologi meliputi bahan, teknik pembuatan, penyelesaian permukaan

dan teknik hias (Sukendar, 1999: 60). Analisis bahan meliputi, bahan

utama (tanah liat) dan bahan lain (campuran). Analisis teknik pembuatan

dapat dilakukan dengan melihat bagian permukaan bagian luar dan

dalam fragmen tembikar. Pengamatan terhadap teknik hias dilakukan


36

dengan melihat jejak-jejak yang ditinggalkan yaitu tekanan-tekanan yang

berada di permukaan tembikar.

3.4.1.3 Analisis Stilistik

Pengamatan yang dilakukan pada analisis stilistik adalah melihat

dekorasi-dekorasi yang terdapat pada permukaan tembikar. Dekorasi-

dekorasi atau ragam hias tersebut akan difoto kemudian untuk

memperjelas dekorasi tersebut dilakukan sketsa/ penggambaran pada

tiap ragam hias/ dekorasi. Dalam membentuk sebuah gambar dekorasi

maka hal yang perlu dilakukan yaitu menjiplak gambar menggunakan

kertas karbon. Setelah itu, hasil dari jiplak kemudian digambar sesuai

pola pada kertas kalkir kemudian di gambar pada kertas millimeter blok

sebagai langkah terakhir. Teknik ini diterapkan jika bentuk ragam hias

sulit untuk dibentuk pada kertas milimeter blok (tidak jelas).

3.5 Interpretasi

Dalam tahap ini, data yang telah dideskripsi (hasil pengolahan data)

dianalisis lagi dalam tingkat penafsiran. Inti dari langkah ini adalah memberikan

penjelasan tentang tembikar setelah pengindentifikasian dilakukan. Setelah data

di analisis, data kemudian akan dihubungkan dengan teori yang digunakan yaitu

Sejarah Budaya. Seperti yang telah dijelaskan bahwa teori ini lebih membawa

kepada penjelasan tentang artefak sebagai norma budaya yang dimana norma

tersebut yang akan menentukan batas-batas budaya. Norma budaya yang

dimaksudkan adalah ide. Jika seseorang memiliki ide yang sama, maka ia berada
37

dikebudayaan yang sama. Seperti tembikar Gua Kuya yang akan dihubungkan

dengan tradisi tembikar Sa Huynh Kalanay yang dilihat dari segi bentuk dan

ragam hiasnya. Pada tahap lebih kepada penarikan kesimpulan yang sesuai

dengan data dan literatur yang digunakan.


BAB IV
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

Bab ini akan membahas seputar gambaran umum penelitian menyangkut

wilayah seperti Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara

secara umum. Hal-hal yang akan dibahas meliputi letak geografis, batas

wilayah, topografi dan iklim, kependudukan dan tenaga kerja, sosial dan

budaya. Selain Wilayah administratif penelitian, bab ini juga memaparkan

gambaran lokasi/objek penelitian.

4.1 Gambaran Wilayah Penelitian

4.1.1 Letak Geografis


Secara garis besar Kabupaten Konawe Utara dengan ibu kota

Wanggudu merupakan pemekaran dari Kabupaten Konawe, yang terbentuk

berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2007 tentang pembentukan

Kabupaten Daerah Tingkat II di Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara

gerografis Kabupaten Konawe Utara terletak di bagian Utara Khatulistiwa,

melintang dari Utara ke Selatan antara 02˚97’ dan 03˚86’ lintang Selatan,

membujur dari Barat ke Timur 121˚49’ dan 122˚49’ bujur Timur.

Batas wilayah administrasi Kabupaten Konawe Utara sebagai berikut:

38
39

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Morowali (Provinsi

Sulawesi Tengah) dan Kecamatan Routa (Kabupaten Konawe).

- Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Morowali (Provinsi

Sulawesi Tengah) dan Laut Banda.

- Sebelah Selatan berbatasan dengan beberapa kecamatan di Kabupaten

Konawe.

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Konawe.

Luas wilayah Konawe Utara yaitu 500 339 Ha atau 13,38 persen dari

luas wilayah Sulawesi Tenggara. Sedangkan luas wilayah perairan laut

(termasuk perairan Kabupaten Konawe). ±11960 Km² atau 10,87 persen dari

luas perairan Sulawesi Tenggara. Kabupaten Konawe Utara terdiri dari 13

(tiga belas) kecamatan yaitu Kecamatan Sawa, Kecamatan Motui, Kecamatan

Lembo, Kecamatan Lasolo, Kecamatan Wowolesea, Kecamatan Lasolo

Kepulauan, Kecamatan Molawe, Kecamatan Aseram, Kecamatan Andowia,

Kecmatan Oheo, Kecamatan Langgikima, Kecamatan Wiwirano dan

Kecamatan Landewe.

Selain Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, terdapat juga pulau-pulau

kecil yaitu Pulau Karama, Pulau Meo, Pulau Sisik Utara, Pulau Labenggi,

Pulau Sijempi Utara, Pulau Sijempi Selatan, Pulau Pampara, Pulau Tukokula,

Pulau Burung dan Pulau Labenggi Kecil. Tidak semua pulau berpenghuni,

biasanya pulau-pulau besar seperti Labenggi dan Pulau Bawulu yang dipilih

sebagai tempat untuk dihuni (BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017: 3-6).
40

Luas wilayah menurut kecamatan sangat beragam. Kecamatan

Wiwirano merupakan wilayah kecamatan yang terluas yaitu: 1 505,02 km²

sementara Kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Motui luasnya

26,02 km² atau masing-masing 30,08 persen dan 0,52 persen terhadap luas

wilayah Kabupaten Konawe Utara (BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017: 3-

6).

Gambar 4.1 Peta Wilayah Kabupaten Konawe Utara


Sumber: BP4K Kabupaten Konawe Utara (Kabupaten Konawe
Utara dalam Angka, 2017)

Penelitian ini berada di wilayah admistratif Kecamatan Wiwirano

salah satu kecamatan di Kabupaten Konawe Utara. Kecamatan Wiwirano

terdiri dari 24 desa definitif dan satu UPT antara lain Desa Hialu Utama, Mata

Benua, Wawoheo, Kuratao, Lamonae, Padalere, Culambatu, Lamparinga,

Tetewatu, Landawe Utama, Polo-polora, Kalosua, Wacu Melewe, Lamanae

Utama, Mata Osole, Wawonsangi, Pondoa, Wawontoaho, Tambakua,


41

Padalere Utama, Laumoso, Landiwo, Larompana, Wacu Pinodo dan UPT

Padalere Utama. Batas wilayah Kecamatan Wiwirano di sebelah Utara

berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tengah (Kab. Morowali), ssebelah

Timur berbatasan dengan Kecamatan Langgikima, sebelah Selatan

berbatasan dengan wilayah Kabupaten Konawe (Kecamatan Routa)

(Wiwirano Dalam Angka, 2016: 2).

4.1.2 Topografi

Seperti halnya dengan kondisi topografi Kabupaten lainnya di

Sulawesi Tenggara, Kabupaten Konawe Utara memiliki topografi permukaan

tanah yang pada umumnya bergunung, bergelombang dan berbukit yang

mengelilingi dataran rendah yang sangat potensial untuk pengembangan sector

pertanian. Jenis tanah meliputi Latasol 116 829 Ha atau 23,35%, Padzolik 140

845 Ha atau 28,15%, Organosol 23 566 Ha atau 4,71%, Mediteran 16 961 Ha

atau 3,39%, Aluvia; 24 067 Ha atau 4,80% dan tanah Campuran 178 071Ha

atau 35, 59% (BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017: 7).

Kecamatan Wiwirano merupakan daerah dengan Topografi Pegunung

dan perbukitan serta diapit oleh dataran rendah yang dibelah oleh aliran

sungai besar Sungai Lalindu dan Sungai Ladawe serta dilalui beberapa aliran

sungai-sungai kecil.
42

Diagram 4.1. Persentase luas wilayah menurut jenis tanah


Sumber: BP4K Kabupaten Konawe Utara (Kabupaten
Konawe Utara dalam Angka, 2017)

4.1.3 Iklim

Seperti daerah-daerah lain di Indonesia, di Kabupaten Konawe Utara

dikenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Keadaan

musim banyak dipengaruhi oleh arus angin yang bertiup di atas wilayahnya.

Pada bulan Desember sampai Mei, angin banyak mengandung uap air yang

berasal dari Benua Asia dan Samudera Pasifik, setelah sebelumnya

melewati beberapa lautan. Pada bulan-bulan terjadi musim penghujan.

Sekitar bualn September, arus angin selalu tidak menentu dengan curah

hujan kadang-kadang kurang dan kadang-kadang lebih. Musim ini oleh para

pelaut setempat dikenal sebagai musim Pancaroba (BPS Kabupaten

Konawe Utara, 2017: 10 ).


43

Sedangkan pada bulan Juni sampai dengan November, angin bertiup

dari arah Timur yang berasal dari Benua Australia kurang mengandung uap

air. Hal tersebut mengakibatkan minimnya curah hujan di daerah ini. Pada

bulan Agustus sampai dengan Oktober terjadi musim kemarau. Sebgai

akibat perubahan kondisi alam yang sering tidak menentu, keadaan musim

juga sering menyimpang dari kebiasaan (BPS Kabupaten Konawe Utara,

2017: 10 ).

Curah hujan Kecamatan Wiwirano cukup tinggi, rata-rata tiap tahun

lebih dari 3.962 mm. Pada tahun 2015 curah hujan mencapai 1945 mm

dengan hari hujan sebanyak 113 HH. Curah hujan pada bulan Januari

sampai Juli cukup tinggi, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Juni yang

mencapai 448 mm dengan 16 hari hujan, sedangkan hari hujan terbanyak

terjadi pada bulan Desember yaitu 20 HH (Kecamatan Wiwirano dalam

angka, 2016: 3).

4.1.4 Pemerintahan

Kabupaten Konawe Utara merupakan kabupaten yang berada di

bawah pemerintahan Provini Sulawesi Tenggara. Ibukota Kabupaten

Konawe Utara adalah Wanggudu yang merupakan pusat pemerintahan

Kabupaten Konawe Utara. Kabupaten Konawe Utara terdiri dari 10

kecamatan (akhir tahun 2016 mekar menjadi 13 Kecamatan dan 170 Desa)

yang terbagi lagi menjadi 133 desa, 11 kelurahan, dan 2 Unit Pemukiman

Transmigrasi (UPT). Masing-masing kecamatan mempunyai ibukota


44

kecamatan yang merupakan pemerintahan dari kecamatan tersebut (BPS

Kabupaten Konawe Utara, 2017: 21 ).

Jumlah
No Kecamatan Ibu Kota Total
Desa Kelurahan UPT
1 Sawa Sawa 12 1 - 14
2 Motui Bende 14 1 - 15
3 Lembo Lembo 11 1 - 12
4 Lasolo Tinobu 16 1 - 17
5 Wawolesea Wawolesea 8 - - 8
6 Lasolo
Boenaga 6 - - 6
Kepulauan
7 Molawe Molawe 8 1 - 9
8 Asera Asera 17 2 - 19
9 Andowia Andowia 14 1 - 15
10 Oheo Oheo 16 1 - 17
11 Langgikima Langgikima 11 1 - 12
12 Wiwirano Wiwirano 14 1 1 16
13 Landawe Hialu 10 - - 10

Tabel 4.1 Daftar Nama Kecamatan di Kabupaten Konawe Utara


Sumber: BPS Kabupatten Konawe Utara, 2017

Tabel di atas memaparkan nama Kecamatan yang terdapat di

Kabupaten Konawe Utara. Tabel berikut juga memaparkan nama Ibu Kota

serta jumlah Desa dan Kelurahan yang terdapat di Kabupaten Konawe

Utara. Kecamatan Wiwirano adalah salah satu kecamatan yang berada di

bawah pemerintahan Kabupaten Konawe Utara. Wilayah administrasi

Kecamatan Wiwirano tahun 2016 dibagi menjadi 23 desa dan 1 kelurahan.

Ibukotanya adalah Kelurahan Lamonae (BPS Kabaupaten Konawe Utara,

2017: 25). Wilayah administrasi pemerintahan Kecamatan Wiwirano

dengan ibukota Kelurahan Lamonae terdiri dari 23 desa dan 1 kelurahan dan
45

1 UPT. Untuk meberikan pelayanan administrasi pada masyarakat, maka

selanjutnya dibentuk satua pemerintahan yang lebih kecil lagi yakni Dusun

dan RT. Pada setiap desa/ kelurahan di Kecamatan Wiwirano terlah

terbentuk Dusun dan RT dengan jumlah Dusun dan RT masing-masing

desa/ klurahan sejumlah 3 Dusun dan 6 RT, sehingga total 76 dusun dan

1522 RT di Kecamatan Wiwirano (BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017:

21 ).

Di setiap desa/ kelurahan di kecamatan Wiwirano telah dilengkapi

dengan prasarana dan aparat pemerintahan guna memperlancar jalannya

administrasi penduduk dan pemerintahan desa/ kelurahan. Pada setiap desa/

kelurahan terdapat prasarana pemerintahan berupa 1 (satu) kantor desa/

lurah, 1 (satu) bali desa dan 1 (satu) sanggar PKK. Di setiap desa/ kelurahan

telah dilengkapi dengan aparat desa, mulai dari Pamong Desa/Kpala Urusan

(Kaur), petugas dusun dan petugas RT. Pada setiap desa/ kelurahan, terdapat

aparat desa berupa 5 (lima) Pamong Desa/ Kepala Urusan (Kaur), 3 (tiga)

petugas dusun dan 6 (enam)petugas RT (Kecamatan Wiwirano dalam

angka, 2016: 11).

Guna mengamankan desa/ kelurahan, setiap desa/ kelurahan

dilengkapi dengan pasarana dan aparat pertahanan sipil pada setiap

dea/kelurahanm yaitu berupa 1 (satu) pos Kamling dan aparat pertahanan

sipil (Hansip) sejumlah 4 (empat) orang. Untuk menjalankan pemerintahan

desa/kelurahan, tentunya diperlukan pegawai pemerintahan. Di Kecamatan


46

Wiwirano, terdapat 30 pegawai pemerintahan desa. Sejumlah 23 orang

merupakan Sekdes bergolongan II, 4 orang pegawai daerah yang

diantaranya bergolongan II, 1 orang bergolongan IV dan 3 orang pegawai

harian non golongan (Kecamatan Wiwirano Dalam Angka, 2016: 11).

Pamong Petuga Petugas Petugas


No Desa/Kelurahan
Desa/Kelurahan s Desa RW RT
1 Hialu Utama 2 3 - 6
2 Mata Benua 5 3 - 6
3 Wawoheo 5 3 - 6
4 Kuratao 5 3 - 6
5 Lamonae 5 - 4 8
6 Padalere 5 3 - 6
7 Culambatu 5 3 - 6
8 Lamparinga 5 3 - 8
9 Tetewatu 5 3 - 6
10 Landawe Utama 5 3 - 6
11 Polo-Polora 5 3 - 6
12 Kolosua 5 3 - 6
13 Wacu Melewe 5 3 - 6
14 Lamonae Utama 5 3 - 6
15 Mata Osele 5 3 - 6
16 Wawonsangi 5 3 - 6
17 Pondoa 5 3 - 6
18 Wawontoaho 5 3 - 6
19 Tambakua 5 3 - 6
20 Padalere Utama 5 3 - 6
21 Laumoso 5 3 - 6
22 Landiwo 5 3 - 6
23 Larompana 5 3 - 6
24 Wacu Pinodo 5 3 - 6
25 UPT Padalere 5 3 - 6
Utama
Jumalah 125 75 4 152
Tabel 4.2 Daftar Jumlah Aparat Pemerintahan di Kecamatan Wiwirano
Sumber: BPS Kabupaten Konawe Utara
47

Tabel di atas adalah pemaparan jumlah-jumlah aparat

pemerintahan Desa/Kelurahan yang terdapat di Kecamatan Wiwirano,

Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara. Kecamatan

Wiwirano terdiri dari 25 Desa yaitu Hialu, Mata Benua, Wawoheo, Kuratao,

Lamonae, Padalere, Culambatu, Lamparinga, Tetewatu, Landawe Utama,

Polo-Polora, Kolosua, Wacu Melewe, Lamonae Utama, Mata Osele,

Wawonsangi, Pondoa, Wawontoaho, Tambakua, Padalere Utama,

Laumoso, Landiwo, Larompana, Wacu Pinodo dan UPT Padalere Utama.

Terdapat 24 Desa/Kelurahan yang memiliki jumlah Pamong Desa, Petugas

Desa, Pertugas RW dan Petugas RT yaitu terdiri dari 5 Pamong Desa Pada

setiap Desa/ Kelurahan, 5 Petugas Desa, tidak ada petugas RW dan 6

Petugas RT. Sedangkan satu desa sisanya yaitu Desa Lamonae memiliki 5

Pamong Desa, tidak memiliki Petugas Desa, 4 Petugas RW dan 8 Petugas

RT. Jumlah keseluruhan Pamong Desa 125, jumlah Petugas Desa 75,

jumlah RW 4 dan jumlah RT 152.

Desa Pondoa merupakan salah satu desa yang berada dibawah

pemerintahan Kecamatan Wiwirano. Menurut pembagian wilayah

administrasi desa/ kelurahan tahun 2015 jumlah dusun di Desa Pondoa

berjumlah 3 dengan jumlah RT 6, aparat pemerintahan desa yang terdiri dari

Pamong Desa berjumlah 5, Petugas Dusun berjumlah 3 dan RT berjumlah

6. Pemerintahan desa Pondoa dilengkapi dengan 1 (satu) Kantor Desa, 1

(satu) Bali Desa dan 1 (satu) Sanggar PKK. Selain itu prasarana yang
48

dijelaskan diatas, Desa Pondoa memiliki 1 (satu) Pos Kamling dilengkapi 4

personil penjaga keamanan (hansip) (Kecamatan Wiwirano dalam angka,

2016: 11).

4.1.5 Kependudukan dan Ketenagakerjaan

Sumber utama data kependudukan adalah Sensus Penduduk yang

dilaksanakan setiap sepuluh tahun sekali. Sensus yang dilakukan terakhir

dilaksanan pada tahun 2010. Penduduk adalah semua orang yang

berdomisili di wilayah teritorial Republik Indonesia selama 6 bulan atau

lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan

menetap. Rata-rata pertumbuhan penduduk adalah angka yang

menunjukkan tingkat pertambahan penduduk pertahun dalam jangka waktu

tertentu. Kepadatan penduduk adalah banyaknya penduduk per km persegi

(BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017: 21 57-58).

Diagram 4.2. Persentase penduduk menurut jenis kelamin


Sumber: BPS Kabupaten Konawe Utara (Kabupaten
Konawe Utara dalam Angka, 2017)
49

Diagram di atas menunjukkan persentase jenis kelamin di

Kabupaten Konawe Utara dari tahun 2013 hingga tahun 2016. Data tersebut

menunjukkan jumlah perempuan dan laki-laki dalam persen (%). Jumlah

perempuan dari tahun 2013 hingga 2014 menurun namun pada tahun

berikutnya jumlahnya naik dari 47,65% hingga 47, 74%. Sedangkan jumlah

laki-laki dari tahun 2013 hingga 2014 mengalami penurunan namun pada

tahun berikutnya jumlahnya naik. Hingga pada tahun 2016 mengalami

penurunan yang tadi nya 52,35% menjadi 52,26%. Jumlah keseluruhan

penduduk Kabupaten Konawe Utara 59.673 penduduk, 28.487 diantaranya

berjenis kelamin perempuan dan 31.186 sisanya berjenis kelamin laki-laki.

Secara khusus, jumlah penduduk kecamatan Wiwirano tahun 2015

adalah 7.207 jiwa yang terdiri dari 3.814 penduduk berjenis kelamin

perempuan dan 3.393 berjenis kelamin perempuan, terdapat pada 1.797

rumah tangga dengan rata-rata jumlah anggota rumahtangga sebesar 3-4

jiwa per rumahtangga dan seluruhnya merupakan Warga Negara Indonesia

(WNI). Data jumlah penduduk tersebut merupakan estimasi data penduduk

tahun 2015 serta dengan jumlah kelahiran dan kematian serta migrasi pada

kurun waktu 2015 sampai 2016 dari tiap-tiap desa/ kelurahan (Kecamatan

Wiwirano Dalam Angka, 2016: 21).


50

Rasio
Peremp
No Desa/Kelurahan Laki-Laki Jumlah Jenis
uan
Kelamin
1 Hialu Utama 215 231 446 933
2 Mata Benua 140 110 250 127
3 Wawoheo 125 131 256 95
4 Kuratao 124 102 226 122
5 Lamonae 368 369 737 100
6 Padalere 143 140 283 102
7 Culambatu 245 137 382 179
8 Lamparinga 119 63 182 189
9 Tetewatu 267 112 379 238
10 Landawe Utama 148 122 270 121
11 Polo-Polora 114 176 290 65
12 Kolosua 155 142 297 109
13 Wacu Melewe 109 126 235 87
14 Lamonae Utama 110 96 206 115
15 Mata Osele 136 128 264 106
16 Wawonsangi 69 62 131 111
17 Pondoa 73 61 134 120
18 Wawontoaho 163 141 304 116
19 Tambakua 103 96 199 107
20 Padalere Utama 74 61 135 121
21 Laumoso 123 107 230 115
22 Landiwo 98 88 186 111
23 Larompana 193 114 307 169
24 Wacu Pinodo 176 200 376 88
25 UPT Padalere 224 278 502 81
Utama
Jumlah 3.814 3.393 7.207 112
Tabel 4.3 Daftar Jumlah Laki-Laki dan Perempuan di Kecamatan Wiwirano
Sumber: Kecamatan Wiwirano Dalam Angka, 2016

Rasio jenis kelamin penduduk Kecamatan Wiwirano sebesar 113,

yang berarti bahwa setiap 100 penduduk perempuan terdapat 113 penduduk

laki-laki. Kepadatan penduduk tidak merata, hal tersebut disebabkan

perbedaan luas wilayah desa, tetapi untuk wilayah pemukiman tiap desa
51

terkonsentrasi pada titik-titik tertentu. Kepadatan tertinggi di Kelurahan

Lamonae mencapai 3,04 jiwa/ KM², karena jumlah penduduk yang lebih

besar dan wilayah relative kecil, sedangkan kepadatan terkecil pada Desa

Pondoa karena wilayah yang sangat bagus (Kecamatan Wiwirano dalam

angka, 2016: 21).

Sebagian besar penduduk Kecamatan Wiwirano bekerja di sektor

pertanian yang mencapai 50,40%. Sektor pertanian utama adalah sub sektor

tanaman perkebunan, karena sebagian besar lahan pertanian masyarakat

ditanami tanaman perkebunan seperti Kelapa Sawit, Kakao dan tanaman

perkebunan lainnya. Selain itu terdapat banyak penduduk yang bekerja

sebagai buruh di perusahaan perkebunan tersebut. Sektor pertanian yang

lain yang cukup banyak menjadi sumber mata pencaharian utama adala

sektor pertanian tanaman padi dan palawija karena pada beberapa desa

terdapat lokasi persawahan dan lading yang ditanami tanaman palawija

seperti kacang tanah, jagung, kedelai dan lain-lain. Selain sector pertanian,

masyarakat Kecamatan Wiwirano juga banyak yang bekerja pad sector jasa

kemasyarakatan, pemerintahan dan jasa perorangan termasuk jasa

pendidikan, serta sektor perdagangan (Kecamatan Wiwirano Dalam Angka,

2016: 22).

Terkhusus Desa Pondoa yang merupakan lokasi penelitian, jumlah

penduduk adalah 134, 73 diantaranya berjenis kelamin perempuan dan 61


52

berjenis kelamin laki-laki. Luas wilayah Desa Pondoa 16.411 dengan

kepadatan 122,47.

4.1.6 Sosial

Dalam pelaksanaan pembangunan sosial, pemerintah telah

mengupayakan berbagai usaha guna terciptanya kesejahtraan masyarakat

dibidang sosial yang lebih baik. Usaha tersebut meliputi kegiatan di bidang

pendidikan, agama, kesehatan, keluarga berencana dan ketertiban

masyarakat. Pelaksanaan pembangunan pendidikan di Kabupaten Konawe

Utara mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Indikator yang dapat

mengukur tingkat perkembangan pembangunan pendidikan di Kabupaten

Konawe Utara seperti banyaknya sekolah dan guru, perkembangan berbagai

rasio dan sebagainya. Di tahun 2016 sesuai sensus, jumlah SD/MI sebanyak

101 sekolah, SMP/MTs sebanyak 35 sekolah dan SMA/MA sebanyak 17

sekolah (BPS Kabupaten Konawe Utara, 2017: 95).

Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah

Atas (SMA) sudah tersedia, namun belum cukup, karena baru terdapat 1

SMP dan 3 SMP satu Atap (SATAP) dan 1 SMA. Hal tersebut masih cukup

menyulitkan masyarakat pada beberapa desa yang jaraknya cukup jauh

karena tidak tersedia transportasi regular di wilayah kecamatan terutama

Desa Padalere Utara yang melewati sungai Lalindu (BPS Kabupaten

Konawe Utara, 2017: 105).


53

Sosial lainnya yaitu Agama. Pembinaan agama dan kepercayaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa diarahkan untuk menciptakan keselarasan

hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan penciptanya

serta manusia dengan alam sekitarnya. Lebih dari 80% masyarakat

Kecamatan Wiwirano beragama Islam, sehingga Masjid sebagai sarana

ibadah tersedia disetiap desa kecuali di Desa Landiwo (tahap

pembangunan). Masjid di Desa Laromppana dan Desa Pondoa masih sangat

sederhana dan mayoritas muslim, dan pembangunannya sebagian besar

merupakan swadaya masyarakat. Di Desa Lahumoso tidak terdapat Masjid

sebab masyarakatnya mayoritas menganut agama Hindu (Kecamatan

Wiwirano Dalam Angka, 2016: 42).

4.2 Gambaran Lokasi Penelitian

Gua Kuya

Gambar 4.2 Peta Lokasi Penelitian, Desa Pondoa, Kecamatan Wiwiwrano,


Kabupaten. Konawe Utara
Sumber: Penulis
54

Peta di atas merupakan gambaran lokasi penelitian. Lokasi penelitian

terdapat di Desa Pondoa. Desa Pondoa merupakn salah satu desa yang berada di

Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara. Desa ini berada tepat di

perbatasan antara Sulawesi Tenggara dengan Sulawesi Tengah. Desa ini baru

saja dimekarkan sekitar tahun 2004. Akses jalan menuju desa ini belum diaspal,

masih menggunakan tanah bercampur dengan batu-batu. Walaupun sudah 13

tahun dimekarkan, desa ini belum berkembang. Terlihat dari akses menuju ke

desa, penerangan (listrik) hingga jaringan Telkom yang belum sampai. Namun

dengan keterbatasan tersebut, desa ini menyajikan pemandangan yang indah

dikarenakan letak desa ini dikelilingi oleh gugusan karts serta udara yang segar

dan asri. Seperti tampak pada gambar berikut.

Foto 4.1 Desa Pondoa


Dokumentasi: Penulis

Foto di atas merupakan gambaran mengenai lokasi penelitian yakni Desa

Pondoa, Kecamatan Wiwwirano, Kaupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi

Tenggara dimana Desa dikelilingi dengan beberapa bukit. Foto tersebut diambil
55

tepat di rumah depan rumah Kepala Desa Pondoa yang juga merupakan

basecame.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Deskripsi Gua Kuya Pondoa

Gua Kuya berada di wilayah administratif Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano,

Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Akses menuju ke Gua Kuya

terbilang ekstrim melihat medan yang harus dilalui. Untuk dapat mencapai gua,

jarak yang harus ditempuh dari desa sampai di titik pertama (tempat menyimpan

motor) ±2 km. Akses menuju ke titik pertama harus melewati beberapa tanjakan

(pendakian) dan perkebunan merica. Jalan tersebut dapat dilewati kendaraan roda

dua maupun roda empat (dalam hal ini kami menggunakan kendaraan roda dua/

motor). Jalan yang dilalui masih bertekstur tanah berwarna merah dan lembab

(pada saat itu cuaca tidak stabil/kadang hujan kadang panas terik).

Jarak dari tempat menyimpan kendaraan menuju ke Gua Kuya ± 1 km. Akses

menuju ke gua melewewati jalan setapak penurunan dengan kemiringan ±50˚.

Setelah melalui penurunan maka selanjutnya menembak kearah selatan masuk ke

dalam hutan. Posisi Gua Kuya berada di gugusan karts yang terdapat di dalam

hutan. Foto dibawah ini merupakan gambaran perjalanan menuju lokasi itu Gua

Kuya yang merupakan lokasi penelitian.

56
57

1 2

Foto 5.1, 5.2 dan 5.3 (Kiri) Lokasi titik pertama (parkir motor). (Kanan) akses menuju
Gua Kuya (penurunan), (bawah) akses masuk hutan setelah penutrunan
Dokumentasi. Ersa Dwi R

Gua kuya berorientasi ke arah Utara-Selatan dengan titik koodrinat 3˚3’50’’

LS 122˚0’9,3’’ BT dengan ketinggian 283 mdpl. Lebar mulut gua 4,40 meter,

tinggi meter dan kedalaman 11 meter. Adapun batas-batas Gua Kuya secara

keseluruhan dikelilingi oleh hutan. Letak gua ini berada di atas tebing dengan

ketiggian 7 meter dari permukaan tanah. Di bawah gua (permukaan tanah)

terdapat banyak temuan seperti fragmen tembikar, porselin, tulang, gigi dan

gelang yang terbuat dari kerang.


58

4 5

Foto 5.4 dan 5.5 (Atas) Mulut gua hingga permukaan sebaran fragmen tembikar. (Bawah)
Mulut Gua
Dokumentasi. Ersa Dwi R

Sebaran Fragmen
Tembikar

Gambar 5.1 Gua Kuya (Tampak Atas)


Digambar Oleh: Mando Maskuri

Foto dan gambar di atas merupakan gambar

an situs Gua Kuya serta letak sebaran fragmen tembikar. Penelitian ini lebih

terfokus pada temuan fragmen tembikar yang terdapat di Gua Kuya baik itu di

dalam gua maupun di bawah gua (permukaan tanah). Hal ini disebabkan
59

banyaknya sebaran temuan fragmen tembikar yang terdapat di permukaan tanah,

maka sebelumnya penulis membuat grid 10 meter x 10 meter (timur dan barat)

dengan bantuan titik tengah yang terdapat di bawah gua sebagai titik acuan

untuk mengukur (menarik meteran). Grid ini berfungsi untuk mengetahui

dimana saja temuan fragmen tembikar tersebar (sebaran temuan).

Terdapat 46 jumlah sampel tembikar yang digunakan dalam penelitian ini.

Dari jumlah sampel tersebut terdapat 15 fragmen tepian, 2 fragmen karinasi, 2

fragmen pegangan penutup, 2 fragmen dasar dan 25 sisanya merupakan fragmen

badan yang memiliki ragam hias yang berbeda-beda. Fragmen tepian ialah

fragmen yang dapat direkonstruksi sehingga dapat mengetahui jenis dari

fragmen tersebut. 15 fragmen tepian tersebut terdiri dari 7 jenis mangkok, 6

periuk dan 2 tempayan. Temuan fragmen tembikar Gua Kuya berasosiasi

dengan beberapa temuan seperti gigi, tulang dan keramik. Temuan-temuan

tersebut sudah tidak insitu lagi karena melihat keletakan-keletakan temuan yang

berhamburan. Melihat asosiasi temuan fragmen tembikar dengan temuan

lainnya, Gua Kuya difungsikan sebagai tempat. Hal ini diperkuat dengan tulisan

Soegondho (1995) yang mengatakan bahwa tembikar dianggap memiliki nilai

religi yang sangat tinggi. Dalam upacara penguburan pada masyarakat

prasejarah, tembikar sering dipakai sebagai bekal-kubur (burial-gift) atau

sebagai wadah kubur yang sering disebut sebagai kubur-tempayan (jar burial).
60
61

Tabel di atas merupakan pemaparan dari jumlah, jenis, matriks, ragam hias

hingga teknik pembentukan dan pembuatan ragam hias tembikar. Secara

keseluruhan, fragmen tembikar didominasi dengan ragam hias geometris (garis,

bulatan dan sebagainya), didominasi dengan teknik pembentukkan

menggunakan teknik tatap landas dan menggunakan teknik tekan, gores dan

tempel pada pembuatan/ penerapan ragam hias atau kombinasi dari ketiga teknik

tersebut. Tembikar yang terdapat di Gua Kuya memiliki kemiripan dengan

tembikar Minanga Sipakko, Kalumpang, Sulawesi Barat yang merupaka

tembikar yang mendapat pengaruh dari tradisi tembikar tua yaitu Sa Huynh

Kalanay. Hal ini dapat dilihat dari ragam hias serta penerapan teknik yang

digunakan terhadap tembikar. Soegondho (1993) mengatakan bahwa tradisi Sa

Huynh Kalanay menyebar sampai ke Asia Tenggara dan umumnya berfungsi

seremonial. Tidak hanya fungsi, bentuk dari tembikar tradisi tua tersebut

berjenis tempatan, mangkok berkaki dan periuk. Teknik yang digunakan pun

menggunakan tatap landas dan roda putar dalam pembentukkan wadah, teknik

gores, ukir serta tekan digunakan dalam penerapan ragam hias.

5.1 Tipologi Tembikar Gua Kuya Pondoa

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap tembikar Gua Kuya,

diketahui bahwa jenisnya merupakan tembikar wadah. Fragmen tembikar yang

terdapat di Gua Kuya kemudian digambar dan direkonstruksi sehingga dapat

diketahui bentuk dari tembikar tersebut. Bentuk-bentuk yang dapat

direkonstruksi adalah periuk, mangkok dan tempayan. Berikut gambaran dan


62

penjelasan dari fragmen tembikar Gua Kuya yang dapat direkonstruksi oleh

penulis.

A B C

Gambar 5.2
Orientasi Wadah
Digambar oleh penulis

Gambar di atas menujukan gambar orientasi tembikar wadah. Gambar

tersebut menjadi patokan dalam menentukan sebuah fragmen tepian.

A: Menunjukkan orientasi bentuk wadah yang terbuka. Orientasi tersebut dapat

diketahui dengan melihat orientasi tepian. Wadah terbuka biasanya terdiri dari

mangkok, piring dll.

B: Menunjukkan orientasi wadah yang tegak. Orientasi tersebut dapat diketahui

dengan melihat orientasi tepian. Wadah terbuka biasanya terdiri dari

tempayan,cawan dll.
63

C: Menunjukkan orientasi wadah yang tertutup. Orientasi tersebut dapat

diketahui dengan melihat orientasi tepian. Wadah terbuka biasanya terdiri dari

periuk dengan berbagai ukuran.

Gambar di bawah digunakan sebagai landasan untuk melihat orientasi temuan

tepian, bentuk tepian, orientasi bibir dan bentuk ujung bibir.

Gambar 5.3
Orientasi tepian, bentuk tepian, Orientasi bibir dan Bentuk Ujung bibir
Digambar oleh Arudina, 2011 (dimodifikasi oleh penulis)
64

5.1.1 Tepian

Secara umum bentuk, variasi dan ketebalan tepian wadah keramik

tanah liat dapat dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: tepian sederhana, tepian

biasa dan tepian rumit. Tepian wadah yang tergolong ke dalam tepian wadah

sederhana ialah tepian wadah yang memilikik bentuk dan ketebalan sangata

sederhana, yang kadang-kadang hampir sama dengan dinding badan

keramik, sehingga adakalanya tidak tampak akan adanya bibir tepian.

Golongan tepian yang termasuk kategori biasa terdiri dari tepian wadah

yang pada umumnya memiliki bentuk dan ketebalan tidak terlalu mencolok

tetapi juga tidak terlalu sederhana. Tepian wadah yang termasuk kategori

rumit umumnya berupa tepian wadah yang memiliki bentuk indah, tebal

atau panjang mencolok (Soegondho, 1993: 117-118).

Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap tepian tembikar

Gua Kuya terdapat tiga tipe tepian yaitu, mangkuk (tipe A), periuk (tipe B)

dan tempayan (tipe C). Keseluruhan jumlah dari wadah tersebut adalah 7, 5

diantaranya periuk dan 1 tempayan. Dari setiap tipe tersebut melahirkan

beberapa sub tipe lagi yang akan dijelaskan pada paragraph selanjutnya.

5.1.1.1 Tepian Tipe A

Tepian tipe ini merupakan mangkuk. Mangkuk adalah wadah

terbuka dan sederhana. Tipe ini mengahsilkan dua sub tipe yaitu tipe A-

1 dan A-2. Kedua tipe tersebut dibedakan berdasarkan orientasi tepian,

bentuk tepian dan orientasi bibir tepian. Dari perbedaan-perbedaan


65

tersebut akan menjelaskan profil dari tepian. Berikut tabel, gambar dan

penjelasan mengenai tepian yang dianalisis dan direkonstruksi.

Deskripsi Tipe A-1 Tipe A-2

Jenis Wadah Mangkuk Mangkuk

Orientasi tepian Terbuka Tegak

Bentuk tepian Sederhana Tegak

Orientasi bibir Mengarah keluar Lurus


tepian

Diameter 18 – 29 cm 18 – 29 meter

Tebal 1 – 3 cm 1 – 3 cm

Permukaan Kasar Kasar

Tabel 5.2 Analisis Tepian Tipe A

Tabel di atas menjelaskan analisis yang dilakukan pada tepian

tipe A. Ada dua sub tipe yaitu tipe A-1 dan A-2. Deskripsi dimulai dari

jenis wadah, orientasi tepian, bentuk tepian, orientasi bibir tepian,

diameter, tebal dan permukaan tepian. Perbedaan dari kedua tipe tersebut

berada pada orientasi tepian, bentuk tepian dan orientasi bibir tepian.

Tipe A-1 memiliki orientasi tepian terbuka, bentuk tepian sederhana dan

orientasi bibir tepian mengarah keluar sedangkan tipe A-2 memiliki

orientasi tepian tegak, bentuk tepian tegak dan orientasi bibir tepian

lurus.
66

Foto 5.6 Tepian Tipe A-1 (1) Gambar 5.4 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe A-1
Digambar oleh penulis

Foto 5.7 Tepian Tipe A-1 (2) Gambar 5.5 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe A-1
Digambar oleh penulis

Foto 5.8 Tepian Tipe A-1 (3) Gambar 5.6 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe A-1
Digambar oleh penulis
67

Foto 5.9 Tepian Tipe A-1 (4) Gambar 5.7 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe A-1
Digambar oleh penulis

Foto 5.10 Tepian Tipe A-2 (5) Gambar 5.8 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe A-2
Digambar oleh penulis

Foto 5.11 Tepian Tipe A-2 (6) Gambar 5.9 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe A-2
Digambar oleh penulis
68

Foto 5.12 Tepian Tipe A-2 (7) Gambar 5.10 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe A-2
Digambar oleh penulis

Diameter rata-rata tepian tipe I berkisar antara 18 – 29 cm.

Bahan yang digunakan adalah tanah liat dicampur dengan pasir kuarsa

halus dan pasir kuarsa kasar. Bahan pasir tersebutlah yang menyebabkan

adanya porositas kecil pada tembikar. Teknik pembentukkan dari

termbikar tersebut menggunakan teknik tatap landas yaitu peembentukan

yang dilakukan dengan memukul dinding tembikar secara perlahan

dengan pemukul panjang berbentuk pipih (paddle), sementara dibagian

dalamnya ditahan oleh pelandas (anvil) yang biasanya berbentuk bulat.

Sehingga benda yang dibentuk dengan teknik ini meninggalkan jejak

berupa cekungan-cekungan bekas pelandas dibagian dalamnya.

5.1.1.2 Tepian Tipe B

Tipe tepian ini merupakan periuk. Periuk merupakan jenis tembikar

yang paling dominan diantara macam-macam jenis tembikar. Periuk-

periuk tersebut terdiri dari berbagai ukuran yaitu kecil, sedang dan besar.
69

Umumnya periuk dibedakan menjadi dua golongan menurut bentuknya,

yakni bulat dan berpundak tajam atau dikenal dengan karinasi. Tembikar

yang digolongkan ke dalam periuk bulat ialah wadah yang bagian

badannya membulat serta berongga dalam, dengan mulut menutup

menyempit. Badannya biasa berukuran lebih tinggi dari ukuran

diameternya, sedangkan diameter mulut lebih kecil dari diameter badan

(Soegondho, 1995: 3).

Berikut tabel, gambar dan penjelasan mengenai tepian yang

dianalisis dan yang dapat direkonstruksi.

Deskripsi Tipe B-1 Tipe B-2

Jenis Wadah Periuk Periuk

Orientasi tepian Terbuka Tegak

Bentuk tepian Melengkung Sederhana

Orientasi bibir
tepian Menebal keluar Lurus

Diameter 8 – 26 cm 8 – 26 meter

Tebal 1 – 2 cm 1 – 2 cm

Permukaan Kasar Kasar

Tabel 5.3 Analisis Tepian Tipe B

Tabel di atas menjelaskan analisis yang dilakukan pada tepian tipe

B. Ada dua sub tipe yang dihasilkan pada tipe ini yaitu tipe B-1 dan B-2.

Deskripsi dimulai dari jenis wadah, orientasi tepian, bentuk tepian,

orientasi bibir tepian, diameter, tebal dan permukaan tepian. Perbedaan


70

dari kedua tipe tersebut berada pada orientasi tepian, bentuk tepian dan

orientasi bibir tepian. Tipe B-1 memiliki orientasi tepian terbuka, bentuk

tepian melengkung dan orientasi bibir tepian menebal keluar sedangkan

tipe B-2 memiliki orientasi tepian tegak, bentuk tepian sederhana dan

orientasi bibir tepian lurus.

Foto 5.13 Tepian Tipe B-1 (8) Gambar 5.11 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe B-1
Digambar oleh penulis

Foto 5.14 Tepian Tipe B-1 (9) Gambar 5.12 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe B-1
Digambar oleh penulis
71

Foto 5.15 Tepian Tipe B-1 (10) Gambar 5.13 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe B-1
Digambar oleh penulis

Foto 5.16 Tepian Tipe B-2 (11) Gambar 5.14 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe B-2
Digambar oleh penulis

Foto 5.17 Tepian Tipe B-2 (12) Gambar 5.15 Rekonstruksi fragmen
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe B-2
Digambar oleh penulis
72

Diameter rata-rata tepian tipe B berkisar antara 8 – 26 cm. Bahan

yang digunakan adalah tanah liat dicampur dengan pasir kuarsa halus dan

pasir kuarsa kasar. Bahan pasir tersebutlah yang menyebabkan adanya

porositas kecil pada tembikar. Teknik pembentukkan dari termbikar

tersebut menggunakan teknik tatap landas yaitu peembentukan yang

dilakukan dengan memukul dinding tembikar secara perlahan dengan

pemukul panjang berbentuk pipih (paddle), sementara dibagian dalamnya

ditahan oleh pelandas (anvil) yang biasanya berbentuk bulat. Sehingga

benda yang dibentuk dengan teknik ini meninggalkan jejak berupa

cekungan-cekungan bekas pelandas dibagian dalamnya.

5.1.1.3 Tepian Tipe C

Tepian tepian ini merupakan tempayan. Tempayan adalah jenis

temikar yang berukuran paling besar dibandingkan dengan jenis

tembikar lainnya. Wadah-wadah dari tanah liat jenis ini ada yang

berbadan bulat dengan alas bulat atau ada juga yang datar/ rata.

Umumnya berbadan tinggi dan melebar sehingga rongga badannya

cukup dalam, dan memiliku mulut dengan orientasi menutup atau

penyempit. Jenis ini kebanyakan berdinding tebal sesuai dengan ukuran

da rongga badanya (Soegondho, 1995: 4).

Berikut tabel, gambar dan penjelasan mengenai tepian yang

dianalisis dan yang dapat direkonstruksi.


73

Deskripsi Tipe C

Jenis Wadah Tempayan

Orientasi tepian Tegak

Bentuk tepian Sederhana

Orientasi bibir tepian Lurus

Diameter 23,3 cm

Tebal 4 cm

Permukaan Kasar

Tabel 5.4 Analisis Tepian Tipe C

Tabel di atas menjelaskan analisis yang dilakukan pada tepian tipe

C. Deskripsi dimulai dari jenis wadah, orientasi tepian, bentuk tepian,

orientasi bibir tepian, diameter, tebal dan permukaan tepian. Tipe C

memiliki orientasi tepian tegak, bentuk tepian sederhana dan orientasi

bibir tepian lurus.

Foto 5.18 Tepian Tipe C (13) Gambar 5.16 Rekonstruksi fragmen


Dokumentasi: Ersa Dwi R. tepian tipe C
Digambar oleh penulis
74

Pada umumnya diameter tembikar pada tipe C berkisar antara 23 –

90 cm. Bahan yang digunakan adalah tanah liat dicampur dengan pasir

kuarsa halus dan pasir kuarsa kasar. Bahan pasir tersebutlah yang

menyebabkan adanya porositas kecil pada tembikar. Teknik

pembentukkan dari termbikar tersebut menggunakan teknik tatap landas

yaitu peembentukan yang dilakukan dengan memukul dinding tembikar

secara perlahan dengan pemukul panjang berbentuk pipih (paddle),

sementara dibagian dalamnya ditahan oleh pelandas (anvil) yang biasanya

berbentuk bulat. Sehingga benda yang dibentuk dengan teknik ini

meninggalkan jejak berupa cekungan-cekungan bekas pelandas dibagian

dalamnya. Tembikar tipe ini kebanyakan tidak menggunakan ragam hias

(polos) dan berbentuk lebih sederhana dari tembikar lainnya.

5.1.2 Badan

Bagian badan adalah bagian yang paling penting pada keramik,

karena bagian inilah yang menentukan terbentukknya bangunan (struktur)

wadah (Gardin, 1958 dalam Soegondho, 1993: 117). Badan keramik ada

yang berbentuk bulat ada pula yang berkarinasi. Bentuk bulat pada badan

keramik biasanya terdiri dari berbagai pola bulat, seperti bulat telur, (oval),

bulat bola (sphere), bulat lonjong (ellipsoid), ada pula bulat silinder

(cylindric) (Ericson & Stichel, 1973 dalam Soegondho, 1993: 117).

Pada bagian badan terdapat pula istilah karinasi. Bentuk badan ini

lah yang dapat teridentifikasi pada Gua Kuya. Karinasi adalah bagian
75

badan yang berbentuk menyuut pada sebuah tembikar. Karinasi yang

ditemukan di Gua Kuya terdiri dari dua tipe yaitu tipe A (lancip) dan tipe

B (tumpul). Perbedaan dari kedua tipe ini berada pada bagian ujung sudut

dimana tipe A pada bagian sudutnya lancip sedangkan bagian B sudut nya

tumpul (tidak lancip). Pada masing-masing tipe terdapat ragam hias yaitu

ragam hias geometris (bulatan, dan titik-titik (kombinasi kedua nya

terdapat pada tipe A) menggunakan teknik tekan dan tusuk. Bahan yang

digunakan adalah campuran pasir kuarsa halus. Hal ini dapat dilihat dari

porositasnya yang rendah. Teknik pembentukan menggunakan teknik roda

putar terlihat dari striasi terputus yang terdapat pada bagian dalam

tembikar.

Deskripsi Tipe A Tipe B

Jenis Wadah Tidak diketahui Tidak diketahui

Bentuk Karinasi Lancip Tumpul

Sudut Karinasi 110˚ 115˚

Tebal 1 cm 1 cm

Tebal Karinasi 1 cm 1 cm
Kombinasi bulatan dan
Ragam Hias titik-titik Bulatan-bulatan
Tabel 5.5 Tabel Karinasi tipe A dan B
76

Foto 5.19 Karinasi Tipe A (14) Gambar 5.17 Profil fragmen karinasi
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tipe A
Digambar oleh penulis

Foto 5.20 Karinasi Tipe B (15) Gambar 5.18 Profil fragmen karinasi
Dokumentasi: Ersa Dwi R. tipe B
Digambar oleh penulis

5.1.3 Dasar dan Kaki

Kaki pada keramik merupakan bagian yang tidak terdapat pada

semua keramik, kecuali pada keramik-keramik tertentu atau kadang hanya

merupakan tambahan maupun pelengkap guna guna maksud-maksud yang

tertentu. Kaki keramik (pada tembikar) tidak memiliki pola bentuk yang

tertentu, ada yang bebrbentuk cincin (ring foot), ada pula yang seperti

moncong atau ujung terompet dan lain-lainnya (Soegondho, 1993: 119).

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan pada tembikar bagian

kaki tembikar Gua Kuya, berbentuk cincin (ring foot) dan juga
77

merupakan dasar dari tembikar wadah tersebut. Ada dua tipe pada kaki

tembikar tersebut yaitu tipe A (dasarnya melengkung) dan tipe B

(dasarnya rata). Perbedaan dari kedua tipe ini adalah pada bagian

dasarnya. Sebagaimana pada tabel di bawah.

Deskripsi Tipe A Tipe B

Jenis Wadah Tidak diketahui Tidak diketahui


Ring foot/
Bentuk Kaki Ring foot/ cincin cincin

Bentuk Dasar Datar Melengkung

Tebal 2 cm 3 cm

Tabel 5.6 Analisis Dasar dan Kaki tipe A dan B

Foto 5.21 Kaki dan Dasar A (16) Gambar 5.19 Bentuk Kaki dan dasar
Dokumentasi: Ersa Dwi R. Tipe A
Digambar oleh penulis
78

Foto 5.22 Kaki dan Dasar B (17)


Dokumentasi: Ersa Dwi R.

Gambar 5.20 Bentuk Kaki dan dasar


Tipe B
Digambar oleh penulis

5.1.4 Pegangan penutup

Pegangan penutup merupakan bagian umum pada keramik dan

hanya dimiliki oleh keramik-keramik tertentu saja. Pegangan penutup

merupakan bagian dari pegangan yang biasanya terdapat pada wadah

periuk bertutup. Namun kadang juga terdapat pada jenis wadah lainnya

(Soegondho, 1993: 119). Berdasarkan analisis yang dilakukan pada bagian

pegangan penutup tembikar Gua Kuya terdapat dua tipe yaitu tipe A

(bagian leher panjang dan melengkung ke dalam) dan B (bagian leher

pendek dan lekukan tidak terlalu nampak. Bahan yang digunakan yaitu

campuran pasir kuarsa kasar.

Kedua pegangan penutup tersebut masing-masing memiliki

ragam hias pada bagian atas pegangan dan ragam hias pada bagian leher
79

(tipe B). Ragam hias yang dimiliki adalah ragam hias geometris (bulat-

bulatan pada tipe A dan titik-titik pada tipe B). Ragam hias bulat-bulatan

dihasilkan dengan teknik tekan sedangkan titik-titik dihasilkan dengan

teknik tusuk.

Foto 5.23 Pegangan Penutup Tipe A, (kiri) bagian depan, kanan bagian atas)
Dokumentasi: Ersa Dwi R.

Gambar 5.21 Bentuk Penutup


Tipe A
Digambar oleh penulis

Foto 5.24 Pegangan Penutup Tipe B, (kiri) bagian depan, kanan bagian atas)
Dokumentasi: Ersa Dwi R.
80

Gambar 5.22 Bentuk Penutup


Tipe B
Digambar oleh penulis

5.1.5 Kupingan

Kupingan adalah bagian dari tembikar yang biasanya terdapat

pada bagian samping atas. Kupingan selain berfungsi sebagai pegangan

pada sebuah wadah, difungsikan pula sebagai hiasan (dalam bentuk yang

khusus dan pada wadah tertentu). Berdasarkan analisis yang dilakukan

pada bagian kupingan tembikar Gua Kuya, kupingan berbentuk pipih dan

tedapat lubang kecil pada baguan ujung atas. Selain itu, terdapat pula

ragam hias geometris pada kupingan (kombinasi bulatan dan garis

vertikal yang diterapkan dengan menggunakan teknik tekan dan gores).

Bahan yang digunakan yaitu campuran tanah liat dengan pasir kuarsa

kasar, terlihat dari porositasnyanya yang tinggi. Sebagaimana tampak

pada foto dan gambar berikut.


81

Foto 5.25 Kupingan Gambar 5.23 Bentuk Kupingan


Dokumentasi: Ersa Dwi R. Digambar oleh penulis

5.2 Ragam Hias Tembikar Gua Kuya

Menurut Soegeng Toekio (1987: 10 dalam Sabatari: 5) ragam hias

dikelompokkan menjadi empat, yaitu: (1) kelompok bentuk geometris, (2)

kelompok bentuk penggayakan dari tumbuhan, (3) kelompok bentuk

penggambaran makhluk hidup dan (4) kelompok ragam hias dekoratif yang

merupakan kelompok gabungan dari beberapa jenis ragam hias diatas. Kedua

pendapat tersebut diatas secara garis besar tidak ada perbedaan yang berarti

hanya pengungkapannya saja yang berbeda.

Berdasarkan penelitian beberapa ahli antropologi dan arkeologi

menyimpulkan bahwa ragam hias geometris merupakan ragam hias yang cukup

tua usianya. Kebenaran ini dibuktikan dengan temuan-temuan masa lampau,

yaitu adanya karya-karya indah seperti benda-benda purbakala dan benda-benda

pakai yang terlihat di museum. Contohnya pada tembikar Kalumpang (Ricky

Meinson Binsar Simanjuntak, 2009; Anggraeni, 2012) di Sulawesi Barat yang

banyak mengadopsi ragam hias geometris. Pemberian nama motif ada yang
82

diambil dari cara mengerjakannya, misalnya ragam hias pola bolak balik yaitu

ragam hias yang dikerjakan dengan cara mengayan sekali ke atas dan sekali ke

bawah (Sabatari halaman 5-6).

Ragam hias yang terdapat pada tembikar Gua Kuya masuk pada kategori

ragam hias Geometris yang dilihat dari bentuknya. Untuk mempermudah dalam

melakukan analisis ragam hias, ragam hias kemudian dikelompokkan ke dalam

dua jenis analisis yaitu analisis pola hias tunggal dan analisis pola gabungan atau

kombinasi. Pada setiap ragam hias dilakukan pengelompokkan berdasarkan

bentuk atau ciri-ciri masing-masing. Dalam penyebutan nama bentuk ragam hias

penulis mengikuti beberapa hasil penelitian terkait penyebutan ragam hias

karena belum adanya penamaan baku pada ragam hias tembikar di Indonesia

(Simanjuntak, 2009:62).

Menurut Sabatari (halaman 5), sebagai inti atau bentuk utama dari bentuk

geometris dibagi dalam empat kelompok bentuk dasar, yaitu: (1) kaki silang,

berupa bentuk persilangan garis yang bertumpu pada satu titil yang dapat

dibentuk tegak atau melengkung, (2) pilin, berupa relung-relung yang saling

bertumpuk membentuk ulir yang mirip hurud S atau sebaliknya, (3) kincir,

berupa bentuk yang bertolak dari mata angina yang mempunyai gerak ke kanan

dan ke kanan, dan (4) bidang, berbentuk segi tiga, lingkaran, segi empat atai

gumpalan yang tak teratur.


83

5.2.1 Analisis Ragam Hias Tunggal

Ragam hias tunggal (single decorated motif) adalah ragam hias

yang hanya terdiri dari satu bentuk. Ragam hias ini kemudian

dikelompokkan satu persatu . Analisis ini dilakukan untuk memaparkan

secara jelas ragam hias yang terdapat pada setiap fragmen tembikar di

Gua Kuya.

Berdsarkan analisis yang dilakukan pada ragam hias yang

terdapat pada frgmen tembikar Gua Kuya, ragam hias tersebut secara

keselurahan berbentuk geometris seperti (1) garis, (2) lingkaran, (3)

segitiga, (4) empat persegi, (5) belah ketupat dan (6) titik-titik.

5.2.1.1 Garis

Garis adalah coretan panjang pada sebuah bidang datar

(papan, kertas, dll). Pada dasarnya bentuk garis berdasarkan

orientasinya dan bentuknya yaitu horizontal (mendatar), vertikal

(tegak), diagonal (miring/ serong), zigzag, menyilang dan lengkung.

Berdasar analisis yang dilakukan, ragam hias yang terdapat pada

tembikar Gua Kuya masuk pada kategori bentuk yang telah

disebutkan. Sebagaimana pada gambar berikut.


84

Gambar 5.24 Bentuk Ragam Hias Garis Tembikar Gua Kuya


Digambar oleh penulus
85

5.2.1.2 Lingkaran

Lingkaran adalah himpunan semua titik pada bidang dalam

jarak tertentu, yang disebut dengan jari-jari, dari suatu titik tertentu,

yang disebut pusat. Lingkaran juga merupakan suatu garis yang

melingkar, tidak memiliki sudut, garisnya tidak memiliki ujung

(menyambung) serta bagian dalamnya membentuk rongga berbentuk

seperti huruf “O”. Berdasarkan hasil analisis pada ragam hias

lingkaran pada tembikar Gua Kuya, terdapat dua yaitu lingkaran

berlapis (ganda) dan lingkaran biasa.

Gambar 5.25. Bentuk Ragam Hias


Lingkaran Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis

5.2.1.3 Segitiga

Segitiga adalah bagunan datar yang dibatasi oleh tiga sisi dan

mempunyai tiga titik sudut 180˚. Berdasarkan hasil analisis ragam

hias segitiga pada tembikar Gua Kuya, terdapat dua bentuk ragam

hias segitiga sama sisi. Perbedaan kedua ragam hias tersebut terdapat

pada posisi yaitu posisi normal dengan satu lancipan di atas dan

posisi terbalik dengan satu lancipan di bawah (segitiga terbalik).


86

Gambar 5.26 Bentuk Ragam Hias Segitiga Tembikar


Gua Kuya
Digambar oleh penulis

5.2.1.4 Persegi Empat

Persegi empat adalah bagunan datar yang memiliki empat

jumlah sisi, empat sudut siku-siku sama panjang. Berdasarkan

analisis yang dilakukan pada ragam hias ini, terdapat satu buah

ragam hias yang menyerupai bentuk persegi empat (namun terlihat

seperti persegi empat ganda).

Gambar 5.27 Bentuk Ragam Hias empat persegi


Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis

5.2.1.5 Belah Ketupat

Belah ketupat adalah bagunan yang memiliki dua sudut sama

besar yang saling berhadapan dan memiliki sisi yang sama panjang.
87

Posisi sudut saling berhadapan yang dimaksud adalah satu sudut

berada di atas dan satu sudutnya berada dibawah.

Gambar 5.28 Bentuk Ragam Hias belah ketupat


Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis

5.2.1.6 Titik-titik

Titik-titik adalah ragam hias yang banyak di kombinasikan

dengan ragam hias geometris lainnya. Ragam hias ini biasanya

terletak dibagian dalam ragam hias lainnya seperti segitiga, buatan,

garis dan lain-lain. Selain berada pada bagian dalam bidang, ragam

hias ini juga biasa berada di bagian pertengahan antara ragam hias

lainnya.

Gambar 5.29 Bentuk Ragam Hias belah ketupat


Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis
88

5.2.1.7 Meander

Meander merupakan ragam hias yang memiliki bentuk dassar

huruf T. Dalam perkembangannya ragam hias ini membentuk ragam

hias swastika. Bentuknya lurus dan pada bagian pertengahan

membentuk lekukan setengah serta terdapat tajaman pada bagian

ujungnya. Berdasarkan analisis yang dilakukan pada ragam hias ini,

terdapat bentuk ragam hias menyerupai meander yang dikombinasi

dengan beberapa ragam geometris lainnya. Bentuk dari ragam hias

ini tidak melengkung pada bagian tengahnya melainkan

menggunakan garis lurus dengan beberapa sudut (terlihat seperti

bentuk empat persegi yang tidak sempurna/ membentuk huruf “U”

dengan dua sudut siku-siku di bagian bawah).

Gambar 5.30 Bentuk Ragam Hias Meander


Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis

Berdasarkan hasil analisis ragam hias tunggal yang dilakukan

pada tembikar Gua Kuya, terdapat 12 buah jumlah fragmen tembikar

yang memiliki ragam hias tersebut (ragam hias tunggal). Ragam hias

tembikar yaitu garis, bulatan (bulatan ganda) dan titik.


89

Keterangan:
No.
Desakripsi
Gambar
5.31 Garis
5.32 Bulatan Ganda
5.33 Garis
5.34 Bulatan
5.35 Garis
5.36 Garis
5.37 Garis
5.38 Garis
5.39 Garis
5.40 Garis
5.41 Bulatan
5.42 Bulatan Ganda
Tabel 5.7 Analisis Ragam Hias Tunggal
Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis

5.31 5.32

5.33 5.34

5.35 5.36
90

5.37 5.38

5.39 5.40

5.41 5.42

5.2.2 Analisis Ragam Hias Gabungan

Ragam hias gabungan (combination decorated motif) adalah

ragam hias yang diterapkan pada sebuah benda lebih dari satu bentuk.

Seperti pada beberapa tembikar di Kalumpang, Sulawesi Barat (Ricky

Meinson Binsar Simanjuntak, 2009) yang dimana banyak menggunakan

ragam hias gabungan. Ragam hias tersebut digabungkan sesuai dengan

tujuan dan maksud dari pencipta/ produksi. Selain dengan maksud dan

tujuan tertentu ragam hias gabungan juga memiliki nilai tambah estetis.
91

Berdasarkan analisis ragam hias gabungan yang dilakukan pada

tembikar Gua Kuya terdapat terdapat 9 jumlah ragam hias gabungan.

Gabungan ragam hias yang diterapkan pada tembikar ini terdapat tiga

bentuk gabungan yaitu: (1) gabungan dua rgam hias yaitu (2) gabungan

tiga ragam hias dan (3) gabungan empat ragam hias.

Berikut uraian dari setiap bentuk gabungan ragam hias Gua Kua:

1) Gabungan dua ragam hias: Bulatan ganda-garis tegak,

Bulatan-garis horizontal (mendatar), Bulatan-garis miring

(kiri-kanan), garis-bulatan ganda, Bulatan ganda-titik, dan

garis- tiitik.

2) Gabungan tiga ragam hias: Bulatan ganda-garis menyilang-

garis horizontal (mendatar).

3) Gabungan empat ragam hias: Titik-belah ketupat-bulatan

ganda kecil-garis, bulatan ganda kecil-kail (menyerupai mata

kail)-segitiga terbalik-empat persegi.

Keterangan:

No.
Ragam hias Gabungan Desakripsi
Gambar
Bulatan ganda-garis
5.43 Gabungan dua ragam hias
vertikal (tegak)
Bulatan ganda-garis
5.44 Gabungan dua ragam hias
horizontal (mendtar)
5.45 Gabungan dua ragam hias Titik-garis
5.46 Gabungan dua ragam hias Bulatan-garis miring
Bulatan ganda-garis
5.47 Gabungan dua ragam hias horizontal (mendatar)-
garis menyilang (x)
92

Bulatan ganda, garis


5.48 Gabungan dua ragam hias vertikal (tegak)-horizontal
(mendatar)
5.49 Gabungan dua ragam hias Titik dan bulatan
Garis horizontal
(mendatar)-bulatan ganda-
5.50 Gabungan dua ragam hias
garis miring (saling
bertolak belakang)
5.51 Gabungan dua ragam hias Titik dan bulatan ganda
Titik-garis miring (posisi
titik berada diantara garis
5.52 Gabungan dua ragam hias
miring yang saling
berhadapan
Titik-garis miring saling
5.53 Gabungan dua ragam hias berhadapan-garis vertikal
(tegak)
Bulatan ganda-garis
5.54 Gabungan dua ragam hias (menyerupai ujung mata
panah (>)
Garis saling berhadapan-
bulatan ganda-ditengah
5.55 Gabungan dua ragam hias
garis miring yang
berhadapan
Titik-garis vertikal
5.56 Gabungan dua ragam hias (tegak)-garis miring saling
bertolak belakang
Bulatan ganda-garis
horizontal (mendatar)-
5.57 Gabungan dua ragam hias
garis miring saling
berhadapan
Bulatan ganda-garis
5.58 Gabungan dua ragam hias horizontal (mendatar)-
garis miring
Bulatan ganda-garis
5.59 Gabungan dua ragam hias
lekung-garis zikzak
Garis miring-bulatan
5.60 Gabungan dua ragam hias
ganda
5.61 Gabungan dua ragam hias Titik-garis miring
Bulatan ganda-garis
5.62 Gabungan dua ragam hias
miring
Bulatan ganda-meander-
5.63 Gabungan empat ragam hias empat persegi-segtiga
terbalik
93

Garis vertikal (tegak)-


5.64 Gabungan dua ragam hias
bulatan ganda
Titik-belah ketupat-garis
5.65 Gabungan empat ragam hias horizontal (mendatar)-
garis miring-bulatan ganda
Bulatan ganda-garis-
5.66 Gabungan tiga ragam hias
bulatan-segitiga
Tabel 5.8 Analisis Ragam Hias Gabungan Tembikar
Gua Kuya
Digambar oleh penulis

5.43 5.44

5.45 5.46
94

5.47 5.48

5.49

5.50 5.51

5.52 5.53
95

5.54 5.55

5.56 5.57

5.58 5.59
96

5.60 5.61

5.62 5.63

5.64 5.65

5.66
97

5.2.2.1 Titik – Garis

Ragam hias titik garis merupakan gabungan dari dua ragam

hias yaitu ragam hias titik dan ragam hias garis. Ada beberapa bentuk

garis yang dikombinasikan dengan ragam hias titik yaitu garis

vertikal (tegak) dan garis diagonal (miring). Terdapat 2 buah

fragmen tembikar Gua Kuya yang menggunakan dua kombinasi

ragam hias terebut. Ragam hias ini dibentuk dengan teknik tusuk

(titik) dan teknik gores (garis)

Gambar 5.67 Ragam Hias Titik-garis Tembikar Gua


Kuya
Digambar oleh penulis

5.2.2.2 Bulatan – Garis

Ragam hias bulatan garis merupakan gabungan dari ragam

hias bulatan dan ragam hias garis. Bentuk garis yang digunakan

dalam gabungan ragam hias ini yaitu garis diagonal (miring).

Terdapat 2 buah fragmen tembikar yang menggunakan kombinasi

ragam hias ini.Ragam hias ini dibentuk dengan teknik tekan

(bulatan) dan teknik gores (garis).


98

Gambar 5.68 Ragam Hias Bulatan-Garis Tembikar


Gua Kuya
Digambar oleh penulis

5.2.2.3 Bulatan anda – Titik

Ragam hias bulatan ganda titik merupakan gabungan antara

ragam hias bulatan ganda dan ragam hias titik. Terdapat satu buah

fragmen tembkar yang menggunakan ragam hias gabungan ini.

Ragam hias ini dibentuk dengan teknik tekan (bulatan ganda) dan

teknik tusuk (titik).

Gambar 5.69 Ragam Hias Bulatan ganda titik


Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis
99

5.2.2.4 Garis – Bulatan Ganda

Ragam hias garis bulatan ganda merupakan ragam hias

gabungan antara dua ragam hias yaitu ragam hias garis dan bulatan.

Bentuk garis yang digunakan dalam penggabungan ragam hias ini

yaitu garis vertikal (tegak), horizontal (mendatar), diagonal (miring)

dan zigzag. Terdapat 14 fragmen tembikar yang menggunakan

gabungan ragam hias ini. Ragam hias ini dibentuk dengan teknik

gores (garis) dan teknik tekan (bulatan ganda).

Gambar 5.70 Ragam Hias Bulatan ganda garis


Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis

5.2.2.5 Garis – Bulatan – Segitiga

Ragam hias garis bulatan segitiga merupakan gabungan dari

tiga ragam hias yang berbeda yaitu ragam hias garis, ragam hias

bulatan dan ragam hias segitiga. Bentu k ragam hias garis yang

digunakan dalam penggabungan ragam hias ini adalah garis miring.


100

Terdapat satu buah fragmen tembikar yang menggunakan ragam hias

gabungan ini. Ragam hias ini dibentuk dengan teknik gores (garis)

dan tekan (bulat dan segitiga).

Gambar 5.71 Ragam Hias garis bulatan segitiga


Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis

5.2.2.6 Bulatan Ganda – Meander – Segitiga Terbalik – Empat

Persegi

Ragam hias bulatan ganda matakail segitiga terbalik empat

persegi merupakan gabungan empat ragam hiias yang berbeda yaitu

ragam hias bulatan ganda, ragam hias meander, ragam hias segitiga

terbalik dan ragam hias empat persegi. Terdapat satu buah fragmen

tembikar yang menggunakan gabungan ragam hias ini. Seluruh

ragam hias ini dibentuk dengan teknik tekan dan teknik garis.

Gambar 5.72 Ragam Hias Bulatan Ganda Meander


Segitiga Terbalik Empat Persegi Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis
101

5.2.2.7 Titik – Belah Ketupat – Bulatan Ganda – Garis

Ragam hias titik belah ketupat bulatan ganda dan garis

merupakan gabungan dari empat ragam hias berbeda yaitu ragam

hias titik, ragam hias belah ketupat, ragam hias bulatan ganda dan

raga, hias garis. Bentuk garis yang digunakan dalam penggabungan

ragam hias ini adalah garis diagonal (miring). Terdapat satu buah

ragam hias yang menggunakan ragam hias gabungan ini. Ragam hias

ini dibentuk dengan teknik tusuk (titik), tekan (bulatan ganda, belah

ketupat) dan teknik gores.

Gambar 5.73 Ragam Hias Titik Belah Ketupat Bulatan Ganda Garis
Tembikar Gua Kuya
Digambar oleh penulis

5.2.3 Teknik Pembuatan Ragam Hias

Pada umumnya, terdapat beberapa teknik pembuatan ragam hias

pada tembikar yaitu teknik lukis (painting), teknik tekan (impressed),

teknik gores (inseced), teknik cungkil (exiced), teknik tempel (applied

applique) dan teknik tusuk. Teknis lukis bisa diterapkan pada tembikar

yang belum atau sudah dibakar, sedangkan teknik hias lainnya hanya
102

dapat diterapkan pada tembikar yang belum dibakar (McKinnon, 1996:

16) mengingat pada saat belum dibakar permukaan tembikar masih lunak

dan dapat dengan mudah untuk membentuk ragam hias nya.

Penerapan ragam hias tergantung dari setiap bentuk ragam hias

yang diinginkan sang pencipta/ produkasi. Tidak jarang didapati adanya

kolaborasi/ gabungan antara beberapa teknik ragam hias yang diterapkan

pada sebuah tembikar seperti gabungan antara teknik tekan dengan gores,

teknik tusuk dengan gores, teknik tempel dengan teknik tekan hingga

gabungan lebih dari dua seperti teknik tusuk, teknik gores dan teknik

tekan. Selain memiliki maksud dan tujuan yang bersifat khusus dalam

pemberian ragam hias, tujuan laninnya yaitu menambah nilai estetis dari

tembikar tersebut. Dengan banyaknya teknik ragam hias yang

digabungkan, maka akan banyak pula bentuk yang dihasilkan dan

ditampilkan pada tembikar.

Berdasarkan analisis teknik ragam hias pada tembikar Gua Kuya

terdapat empat teknik ragam hias yaitu: teknik tusuk, teknik gores, teknik

tekan dan teknik tempel. Penerepan teknik ragam hias pada tembikar Gua

Kuya tidak hanya menggunakan satu teknik saja melainkan

menggunakan beberapa gabungan antara lain:

1. Teknik tusuk dan teknik gores

2. Teknik Gores dan teknik tekan

3. Teknik tempel dan teknik gores


103

4. Teknik tusuk dan teknik tekan

Dari gabungan tersebut bisa menciptakan beragam bentuk pada sebuah

tembikar.

5.2.3.1 Teknik Gores (incised)

Teknik gores merupakan teknik ragam hias yang

diterapkan pada bagian permukaan tembikar. Teknik ini

diterapkan dengan menggunakan benda yang runcing dan

digoreskan pada permukaan tembikar sesuai dengan keinginan.

Goresan-goresan tersbut yang nantinya akan membentuk sebuah

ragam hias baik itu garis lurus, miring, maupun membentuk

sebuah segitiga atau empat persegi. Ragam hias ini diterapkan

pada tembikar yang belum dibakar (dalam kondisi lunak). Hal ini

membantu agar hasil goresan lebih mudah diterapkan.

Berdasarkan hasil analisis teknik ragam hias pada

tembikar Gua Kuya, teknik garis menghasilkan raagam hias garis

horizontal (mendatar), garis vertikal (tegak), garis diagonal

(miring), garis zigzag dan segitiga.


104

Gambar 5.74 Teknik Gores


Sumber: McKnnon, 1996:19

Foto 5.26 Teknik Gores zigzag (kiri), vertikal


(kanan)
Dokumentasi: Ersa Dwi R

Foto 5.27 Teknik Gores garis miring (kiri),


horizontal (kanan)
Dokumentasi: Ersa Dwi R

5.2.3.2 Teknik Tusuk

Teknik tusuk merupakan teknik yang diterapkan

dengan cara menusukkan sebuah benda runcing pada

permukaan tembikar dengan kedalaman tertentu (sesuai


105

keinginan). Teknik ini diterapkan pada tembikar yang

belum dibakar atau dalam kondosi lunak. Ragam hias yang

dihasilkan teknik ini adalah ragam hias titik/ lubang.

Gambar 5.75 Teknik Gores


Sumber: McKnnon, 1996:19

Foto 5.28 Teknik Tusuk


Dokumentasi: Ersa Dwi R

5.2.3.3 Teknik Tekan

Teknik tekan adalah teknik yang diterapkan pada fragmen

tembikar dengan cara menenkan sesuatu benda baik itu berbentuk

bulat, belah ketupat atau empat persegi. Ragam hias yang dihasilkan

dari teknik ini adalah empat persegi, belah ketupat dan bulatan

ganda.
106

Gambar 5.76 Teknik Tekan


Sumber: McKnnon, 1996:18

Foto 5.29 Teknik Tekan Bulatan Foto 5.30 Teknik Tekan Empat
Ganda Persegi
Dokumentasi: Ersa Dwi R Dokumentasi: Ersa Dwi R

Foto 5.31 Teknik Tekan Belah


Ketupat
Dokumentasi: Ersa Dwi R

5.2.3.4 Teknik Tempel

Teknik tempel merupakan teknik penerapan ragam hias

dengan menambahkan sesuatu pada permukaan tembikar. Sesuatu

yang ditambahkan tersebut biasa berupa bahan/ tanah liat yang


107

dicetak maupun tidak dicetak. Ragam hias yang dihasilkan dari

teknik ini adalah bentuk zigzag yang menempel pada bagian tepian

tembikar.

Gambar 5.77 Teknik Tempel


Sumber: McKnnon, 1996:18

Foto 5.32 Teknik Tempel Segitiga Foto 5.33 Teknik Tempel Segitiga
Bersambung Bersambung (Kecil)
Dokumentasi: Ersa Dwi R Dokumentasi: Ersa Dwi R
BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Tembikar memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat masa lalu

maupun masa kini. Tidak jarang tembikar masih ditemukan pada era modern

sekarang. Peran yang tidak tergantikan membuat tembikar memiliki nilai

penting bagi masyarakat. Tembikar sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu

dimana pada saat itu tembikar menjadi salah satu bentuk tinggalan budaya yang

merupakan bukti berkembangnya pola pikir manusia pada masa itu. Masa ini

sering di sebut masa Neolitik, dimana pada saat itu manusia sudah hidup

menetap (tidak berpindah-pindah) dan mulai mengelolah (bertani dan beternak)

hasil kekayaan alam disekitarnya. Selain itu kerajinan-kerajinan seperti bentuk

dan pola hias tembikar merupakan bukti bahwa teknologi pada masa itu sudah

mulai maju dan berkembang.

Tembikar merupakan salah satu kebudayaan penutur bahasa Austronesia. Dalam

tulisannya, Bellwood menjelaskana bahwa penutur bahasa Austronesia berasal

dari Taiwan menuju Filipina, Sulawesi Utara dan Kalimantan Utara sekitar

4000 BP. Salah satu faktor persebaran penutur bahasa Austronesia adalah

Sistem Teknologi Pelayaran (Maritim). Melihat lingkup geografis persebaran

penutur Austronesia yang didasarkan pada

108
109

system pelayaran, Sulawesi Tenggara termasuk wilayah maritime yang

terbiilang memiliki kekayaan bahari. Tidak menutup kemungkinan budaya-

budaya yang dibawa oleh penutur Austronesia pernah berkembang di daerah

maritime ini.

Selain faktor maritim, salah satu ciri dari penutur Austronesia adalah

sistem penguburan pada gua. Penguburan dilakukan pada gua-gua/ gugusan gua

karts. Konawe Utara, tepatnya di Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano

merupakan salah satu daerah yang berpontensi dan memiliki banyak gua

digugusan kartsnya di Sulawesi Tenggara. Terdapat sekitar 10 gua yang telah

disurvey mahasiswa arkeologi UHO dan memiliki tinggalan arkeologis. Salah

satu gua yang berpotensi adalah Gua Pondoa. Terkhusus tinggalan

arkeologisnya, tembikar sangat mendominasi. Penelitian yang intens pada

tembikar di gua ini adalah penelitian pertama sehingga penulis tertarik untuk

mengungkap bentuk dan ragam hias pada tembikar di gua ini seperti kesimpulan

isi pada paragraf berikut ini.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan terhadap tembikar Gua Kuya,

terdapat 46 fragmen tembikar yang ditemukan. 14 fragmen tembikar yang dapat

di rekostruksi bentuknya dan 32 fragmen tembikar yang tidak dapat

direkonstruksi. Bahan dasar yang digunakan adalah tanah liat dan bahan

campuran lainnya adalah pasir kuasa kasar dan halus. Alasan mengapa pasir

kuarsa menjadi bahan campuran adalah agar mengurangi retakan yang terjadi

pada tembikar pada saat di keringkan atau dibakar. Teknik analisis yang
110

digunakan pada tembikar Gua Kuya yaitu teknik analisis morfologi, analisis

stilistik (gaya) dan analisis teknologi.

1. Analisis morfologi yang dilakukan yaitu analisis bentuk pada tembikar Gua

Kuya. Analisis yang dilakukan yaitu dengan melihat atribut kuat yang

dimiliki pada setiap fragmen. Terdapat tiga bentuk atribut yang diketahui

pada fragmen tembikar Gua Kuya yaitu tepian, bada, kuping dan kaki/ dasar.

Atribut paling kuat pada fragmen tembikar Gua Kuya yang dapat

direkonsruksi yaitu pada bagian tepian. Dari tepian dapat diketahui bentuk/

profil fragmen sehingga dapat diketahui jenis wadah yang terbentuk dari

fragmen tersebut. Selain itu, dari fragmen tepian tersebut dapat diketahui pula

diameternya. Diameter rata-rata wadah yang dapat direkonstruksi adalah

sekitar 18-29 cm. Dari 46 fragmen tembikar yng digunakan sebagai sampel,

ada 14 fragmen tembikar yang dapat direkonstruksi yaitu 7 diantaranya

berupa mangkok, 6 diantaranya berupa periuk dan 1 tempayan. Hasil analisis

bentuk orientasi dari wadah terdapat 3 bentuk wadah yaitu wadah terbuka,

wadah tegak dan wadah tertutup. Pada orientasi bentuk tepian terdapat bentuk

tepian sederhana, melengkung dan menebal, orientasi bibir terdapat bentuk

orientasi mengarah keluar, menebal keluar, lurus dan mendatar. Sedangkan

bagian kaki berbentuk lingkar (ringfoot) dan dasar bentuk dasar melengkung

dan datar.

2. Analisis stilisistik yang dilakukan yaitu melihat bentuk-bentuk ragam hias

serta kombinasi-kombinasi yang diterapkan pada fragmen tembikar Gua

Kuya. Secara garis besar, ragam hias pada tembikar Gua Kuya berbentuk
111

geometris. Terdapat 7 ragam hias yang dapat diketahui yaitu, garis, bulatan,

segitiga, titik, belah ketupat, matakail dan empat persegi. Sedangkan pada

kombinasinya, terdapat 3 jumah kombinasi bentuk ragam hias yang

diterapkan yaitu, 2 kombinasi ragam hias berbeda(garis bulatan, garis titi,

titik bulatan), 3 kombinasi ragam hias (garis, bualatan, segitiga), berbeda dan

4 kombinasi (bulatan ganda, meander, segitiga terbalik, empat persegi, dan

titik, belah ketupat, bulatan ganda, garis).

3. Analisis teknologi yang dilakukan ada dua yaitu teknik pengerjaan/

pembentukan tembikar dan teknik pembentukan ragam hias. Berdasarkan

analisis teknik pembentukan, terdapat dua teknik pada pengerjaan tembikar

Gua Kuya yaitu teknik tatap landas dan teknik pijit dan gabungan antara

kedua teknik tersebut. Teknik tatap landas ditandai dengan bekas-bekas batu

pelandas pada bagian dalam tembikar sedangkan teknik pijit ditandai dengan

adanya bekas-bekas pijitan jari pada bagian dalam tembikar. Sedangkan pada

teknik pembuatan ragam hias, terdapat 4 teknik yaitu teknik tekan dengan

menekankan benda yang berbentuk/ berpola pada bagian permukaan, teknik

tusuk dengan menusukkan benda tajam/ tumpul pada bagian permukaan

tembikar, teknik teknik gores dengan menggoreskan sesuatu yang tajam

ataupun tidak pada permukaan tembikar dan teknik tempel dengan

menempelkan sesuatu (biasanya bahan yang berupa tanah liat yang telah

dibentuk) pada permukaan tembikar.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan W.G Solheim terhadap salah satu

tinggalan kebudayaan penutur Austronesia yaitu tembikar atau yang sering


112

disebut tembikar tradisi Sa Huynh Kalanay, terdapat beberapa kesamaan yang

dapat dilihat dari segi bentuk, ragam hias, teknik pembentukkan. Bentuk yang

sama yaitu periuk dan tempayan, bentuk ragam hias yang sama yaitu garis,

bulatan, segitiga, titik dan belah ketupat. Serta teknik teknik pembuatan yaitu

teknik tatap landas dalam pembentukan dan teknik tusuk, tekan, gores dalam

pembentukan ragam hias. Kemungkinan, kebudayaan penutur bahasa

Austronesia tersebut juga berkembang di Sulawesi Tenggara wilayah Konawe

Utara yang merupakan daerah dengan kekayaan gunung karts yang juga menjadi

tempat penguburan yang didukung dengan tinggalan arkeologisnya.

Demikian yang dapat penulis sajikan terkait tembikar Gua Kuya. Kiranya

bermanfaat bagi penelitian selanjutnya dan memperluas wawasan mengenai

seputar tembikar Gua Kuya, Desa Pondoa, Kecamatan Wiwirano, Kabupaten

Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis memiliki saran-saran terkait

Gua Kuya di Desa Pondoa Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara

Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai berikut:

1. Melihat kekayaan tinggalan arkeologis di Gua Kuya, perlu adanya tindak

lanjut. Penelitian yang dilakukan di gua tersebut terbilang minim dan belum

sama sekali tersentuh oleh tangan-tangan profesional seperti Balai Arkeologi.

Terkhusus pada tinggalan tembikar, perlu adanya pendekatan yang intensif

agar dapat memperkuat data awal yang telah penulis selesaikan serta
113

memperkuat ada nya tradisi tembikar tua yang juga berkembang di Sulawesi

Tenggara.

2. Tulisan ini kiranya memberi pemahaman awal kepada masyarakat tentang

pentingnya Gua Karts yang terdapat di Desa Pondoa Kecamatan Wiwirano

Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulwesi Tenggara. Masyarakat perlu

diberi pemahaman agar bisa turut menjaga dan tidak merusak (melakukan

penggalian/pencarian barang antik) tinggalan-tinggalan arkeologis yang

terdapat di gua tersebut. Serta masyarakat dapat segera melaporkan kepada

pemerintah setempat sekiranya terdapat gua yang berpotensi seperti Gua

Kuya yang tersebar di Desa Pondoa agar segera ditangani oleh yang

berwenang seperti Balai Arkeologi Makassar.

3. Sekiranya pemerintah dapat memberikan perhatian lebih kepada gua-gua di

wilayah administratif Konawe Utara terkhusus Kecamatan Wiwirano.

Perhatian-perhatian tersebut dapat berupa pembuatan papan nama pada setiap

lokasi menuju ke gua serta mengamanahkan kepada penduduk sekitar untuk

menjadi juru pelihara pada setiap Lokasi yang memiliki potensi arkeologis.

Selain itu pemerintah juga dapat bekerja sama dengan pihak Balai Pelestarian

Cagar Budaya Makassar (BPCB) dalam perancangan pembuatan zonasi

wilayah yang berpotensi arkeologis agar penebang-penebang pohon/ pencari

rotan tidak sampai merusak situs.


DAFTAR PUSTAKA

Ardika, I Wayan. 2006. Austronesian Prehistory and Ethnogeneses of


Indonesian People: A Cross Disciplinary Austronesian Diaspora
and The Ethnogenesis of Peopole In Indonesia Achipelago.
Procceding of The International Symposium. Indonesia Institute of
Scienses Jakarta: LIPI Press.
Badry, Fachry. 2015. Tembikar dari Situs Mahmud Badaruddin Palembang
(Sebuah kajian Teknologi). Skripsi. Depok: Universitas Indonesia
Binford, Lewi. 1972. An Archaeological Perspective. London: Seminaar
Press
Citraningtias, Arudina Ardhanari. 2011. Gerabah Jambu (Tinjauan Betuk
dan Motif Hias). Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Gibson & Woods. 1990. Prehistoric Pottery For Archaeologist. London:
Leicester
Hariri, Ahmad. 2007. Tipologi Tembikar Canfi Plaosan, Candi Ijo dan Ratu
Boko dalam Perbandingan (Kajian Terhadap Atribut
Bentuk).Skripsi. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Haron, Dr. Hamdzun. Teknologi Pembuatan Tembikar Warisan Melayu
Tradisional Malaysia. Malaysia: University Kebebasan Malaysia.

Kasnowihardjo, Gunandi. 2012. Teknologi Gerabah Situs Ranu Bethok dan


Ranu Grati: Sebuah Kajian Analisis Petrografi. Laporan
Penelitian. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.
McKinnon, Edwards. 1991. Buku Panduan Analisis Keramik. Jakarta: Pusat
Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Nugroho Notosusanto & Poesponegoro. 2010. Sejarah Nasional Indonesia
I: Zaman Prasejarah di Indonesia. Edisi Pemutakhiran. Jakarta:
Balai Pustaka
Orton & Vince. 1993. Pottery In Archaeology. Britain: University Of
Cambridge.
Prijono, Sudarti. 2012. Jejak Masa Lalu: Analisi Gerabah Gua Malawang;
Suatu Sumbang Data Penelitian Aktivitas Budaya Masa Lalu.
Jurnal. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.
-------------2012. Kajian Komposisi Tembikar: Suatu Strategi Adaptasi
Masyarakat di Walur, dan Tambah Hulur. Jurnal. Bandung: Balai
Arkologi Bandung
Quetcho, dkk. 2002. Asian Perspectives: Site LPO023 OF Kurin:
Characteristics of Lapita Settlement in The Loyality Island (New
Calendonia). Hawai: University of Hawai’I Press.
Soegondho, Santoso. 1993. Wadah Keramik Tanah Liat dari Gilimanuk dan
Plawangan:Sebuah Kajian Teknologi dan Fungsi. Tesis Jakarta:
Universitas Indonesia.
------------1995. Tradisi Gerabah Di Indonesia dan Masa Prasejarah Hingga
Masa Kini. Himpunan Keramik Indonesia. Jakarta: PT. Dian
Rakyat

Soejono, R.P. 1993. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka


Solheim II, Wilhelm G. 1972. Two Pottery Traditions Of Late Prehistoric
Times In South-East Asia.
-----------1990. Earthenware Pottery, the T’ai and the Malay. Asian
Perspectives.

Sukendar, Haris. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat


Penelitian Arkeologi Nasional.
Simanjuntak, Ricky M.B. 2009. Ragam Hias Sa Huynh-Kalanay Pada
TembikarSitus Minanga Sipakko, Kecamatan Kalumpang,
Kabupaten Minanga, Provinsi Sulawesi Barat. Skripsi. Depok:
Universitas Indonesia.
Simanjuntak, Truman. 1994 – 1995. Kalumpang: Hunian Sungai Bercorak
Neolitik- paleometalik di Pedalaman Sulawesi Selatan. Aspek-
Aspek Arkeologi Indonesia N0. 17. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Spriggs, Matthew. 2010 The Austronesians: Historical and Comparative
Perspectives: The Lapita Culture and Austronesia Prehistory in
Ocean.
Tryon Darrell dkk. 1995. The Austronesians “ Histrorical and Comparative
Perspectives”. ANUE Press: Australian National University

Internet:
Kirch, 1996: 58. Tersedia di:
http://gunungtoba2014.blogspot.co.id/2015/05/arkeologi-prasejarah
kebudayaan lapita.html. Diakses 04 April 2017.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai