Anda di halaman 1dari 106

ANALISIS NILAI PENTING DAN UPAYA PELESTARIAN BANGUNAN

PENINGGALAN JEPANG PADA MASA PERANG DUNIA II DI KELURAHAN


MUNSE KABUPATEN KONAWE KEPULAUAN

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian


Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
Pada Jurusan Arkeologi
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

OLEH
LA ODE IMRAN
N1B115068

FAKULTAS ILMU BUDAYA


UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil Alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada

Allah SWT, sang khalik sang Maha pemberi jalan kepada ummat. Yang telah

mencurahkan rahmat dan karunia-Nya begitu besar yang masih diberikan kesehatan

dan kekuatan sehingga bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini. Begitu pula Salawat

serta Salam teriring penulis kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, semoga

kita mendapat syafa’atnya di akhir kelak nanti.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan rasa terimakasih

yang tak ternilai penulis ucapkan kepada kedua orang tua saya yang tercinta,

Ayahanda La Ode Mandula dan Ibunda Wa Siiya yang telah menjadi pahlawan

hidupku yang selalu memberikan curahan dan kasih sayangnya, perhatianya, materi,

do’a serta dukunganya yang tiada terhingga selama ini, menjadi bekal dan dorongan

dalam menempuh pendidikan sampai saat ini. Semoga allah swt selalu melimpahkan

rahmat-Nya serta diberikan umur panjang, Amin. Tak lupa juga saya berterimaksi

kepada saudara saya Erniati atas segala dukungan doa, dan hiburan selama ini.

Penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi dan uluran tangan berbagai

pihak. Oleh karena itu, tidak salah kiranya jika penulis mengungkapkan rasa terima

kasih. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang

langsung maupun tidak langsung membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini,

terutama kepada :

v
1. Prof. Dr. Muhammad Zamrun. F. S.Si., M.Si. M.Sc. selaku Rektor Universitas

Halu Oleo,

2. Dr. Akhmad Marhadi, S.Sos., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Halu Oleo,

3. Dr. Syahrun, S.Pd.,M.Si selaku Dosen Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Halu Oleo dan juga menjabat sebagai Wakil Dekan II Fakultas Ilmu

Budaya, yang sudah banyak memberi nasehat dan masukan dalam penulisan

skripsi ini.

4. Dr. Abdul Alim, S.Pd., M.Sos selaku Ketua Jurusan Arkeologi, terima kasih pak

atas segala nasehat dan bimbingan dalam kepengurusan berkas-berkas selama

menempuh perkuliahan di Jurusan Arkeologi, tidak lupa juga beliau yang telah

memberikan masukan dan kritik dalam penyusunan skripsi ini.

5 Salniwati, S.Pd., M.Hum, selaku Sekretaris Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Halu Oleo, yang telah memberika nasehat dan mempermudah

administrasi lingkup jurusan.

6. ALM Drs. H. Abdul Rauf Suleiman, M.,Hum selaku Dosen Jurusan Arkeologi,

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo, yang telah memberikan ilmu

pengetahuan arkeologi, serta inspirasi dan motivasi sehingga pola pemikiran dalam

penulisan terselesai.

7. Dr. Abdul Alim, S.Pd., M.Sos selaku Ketua Jurusan Arkeologi, terima kasih

pak atas segala nasehat dan bimbingan dalam kepengurusan berkas-berkas selama

vi
menempuh perkuliahan di Jurusan Arkeologi, tidak lupa juga beliau yang telah

memberikan masukan dan kritik dalam penyusunan skripsi ini.

8. Sandy Suseno, S.S., M.A yang telah meluangkan waktunya, memberikan Ilmu

Pengetahuan, inspirasi dan motivasi selama masih duduk dibangku perkuliahan. Di

Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo.

9. Dra. Aswati M, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I dalam penulisan tugas akhir

ini. Terima kasih bu atas segala nasehat-nasehat, bimbingan, saran, dan ilmunnya

selama ini. Sehat terus Ibu.

10. Sasadara Hayunira, S.S., M.Sos Selaku Dosen pembimbing II dalam

menyelesaikan tugas akhir. Terima kasih atas waktu, ilmu, nasehat, saran dan

motifasinya bu, terima kasih sudah membimbing penulis dengan sabar dan

ikhlas.

11. Seluruh staf Administrasi/Pegawai Jurusan Arkeologi dan dalam lingkungan

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo, yang telah memberikan layanan

administrasi pada penulis.

12. Kepada teman-teman seperjuangan di himpunan, kakak-kakak angkatan nol

dan adik-adik angkatan Tormentum, Revetment, Prakolis dan Air Field.

Atas hal-hal baik yang telah diberikan kepada penulis dalam nuansa kebersamaan

selama ini, semoga dapat bernilai ibadah dan dapat dibalaskan oleh Allah SWT.

13. Teman – teman seperjuangan “Arkeologi 2015” yang tidak bisa penulis sebutkan

satu persatu terima kasih atas kebersamaan, tawa, dan semangantnya selama

dalam proses perkuliahan.

vii
14. “Team Wawonii”, Andi Adriansyah, , Margayanti, , Itong, La Ode Abdul

Arafah, La Ode Muhammad Ilham dan Ebit Vernanda, Fauziah. Terima

kasih atas bantuan dan canda tawanya selama dilapangan dan terima kasih atas 4

tahun kenangannya.

Dengan ini, penulis hanya bisa memanjatkan doa dan semoga Allah SWT

memberikan balasan yang setimpal kepada semua pihak yang telah membantu

penulis, amin. Penulis menyadari bahwa apa yang tertuang dalam Hasil Penelitian ini

masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi penulisan maupun dari segi penyajianya.

Oleh karena itu penulis menggharapkan kritik dan saran yang membangun dari

pembaca guna penyempurnaan skripsi ini. Akhir kata, semoga karya tulis ini

bermanfaat bagi pembaca dan penulis pada khususnya.

Kendari, April 2022

Penulis

viii
ABSTRAK

La Ode Imran N1B115068. “Analisis Nilai Penting Dan Upaya Pelestarian


Bangunan Peninggalan Jepang Pada Masa Perang Dunia II Di Kelurahan
Munse Kabupaten Konawe Kepulauan”. Dibimbing oleh. Dra. Aswati M,
M.Hum selaku pembimbing satu dan Sasadara Hayunira, S.S., M.Sos selaku
pembimbing dua.
Penelitian ini membahas mengenai objek arkeologi yang berada di Kelurahan
Munse Kab. Konawe Kepulauan. Fokus pembahasan penelitian ialah mengenai nilai
penting dan upaya pelestarian yang terkandung pada objek arkeologi di Kelurahan
Munse Kabupaten Konawe Kepulauan. Adapun metode yang digunakan pada
penelitian, yaitu studi pustaka, observasi,wawancara dan menggunakan analisis
morfologi serta analisis nilai penting berdasarkan pada peraturan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yakni pada Pasal 5.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Kelurahan Munse terdapat tinggalan
bangunan peninggalan Jepang pada masa Perang Dunia II seperti Terowongan,
Struktur Bangunan, Menara Pengintai, Roda Gila. Berdasarkan hasil analisis
menunjukan bahwa tinggalan tersebut memiliki kandungan nilai penting, yaitu nilai
penting sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan nilai ekonomis sehingga perlu
adanya tindakan pelestarian. Upaya pelestarian yang perlu dilakukan terhadap sumber
daya budaya yang ada di Kelurahan Munse yaitu dengan melaksanakan perlindungan
fisik seperti Konservasi/Preservasi, Restorasi, Rekonstruksi serta melakukan
perlindungan hukum. Penelitian ini menunjukan bahwa nilai penting dan upaya
pelestarian cagar budaya dapat ditingkatkan dengan adanya kordinasi antara 3
Stakeholder yaitu pemerintah, akademisi dan masyarakat.

Kata Kunci: Nilai Penting, Upaya Pelestarian, Stakeholde

ix
ABSTRACT
La Ode Imran N1B1 15 068. "Analysis of Important Values and Efforts to Preserve
Japanese Heritage Buildings During World War II in Munse Village, Konawe Islands
Regency". Guided by. Dra. Aswati M, M.Humas the first supervisor andSasadara
Hayunira, S.S., M.Sosas the second supervisor.
This study discusses archaeological objects located in the Munse Village, Kab.
Konawe Islands regency. The focus of the research discussion is ware on the important
values and conservation efforts contained in archaeological objects in Munse Village. The
methods used in the research, namely literature study, observation, and interviews. Then,
after that, data processing is carried out using morphological analysis and analysis of
important values based on the regulation of Law Number 11 of 2010 concerning Cultural
Conservation, namely Article 5.
The results showed that in Munse Village there are remains of Japanese heritage
buildings during World War II such as Tunnels, Building Structures, Surveillance Towers,
and Flywheels. Based on the results of the analysis, it shows that the remains contain
important values, namely historical, scientific, cultural, and economic values so that
conservation measures are needed. Conservation efforts that need to be carried out on
cultural resources in Munse Village are by carrying out physical protection such as
Conservation/Preservation, Restoration, Reconstruction and legal protection. This study
shows that the importance of and efforts to preserve cultural heritage can be increased by
the coordination between 3 stakeholders, namely the government, academia and the
community.

Keywords: Important Values, Preservation Efforts, Stakeholders

x
DAFTAR ISI

Halaman
SAMPUL ......................................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iii

PERNYATAAN ............................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ..................................................................................... v

ABSTRAK ....................................................................................................... ix

ABSTRACT ...................................................................................................... x

DAFTAR ISI ................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiv

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 7

1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN KONSEP, DAN

KERANGKA PEMIKIRAN ............................................................. 9

2.1 Tinjauan Pustaka ................................................................................ 9

2.2 Landasan Konsep ............................................................................... 12

2.2.1 Analisis Nilai Penting ............................................................... 12

xi
2.2.2 Upaya Pelestarian Tinggalan-Tinggalan Arkeologi ................... 14

2.3 Kerangka Pikir ................................................................................... 18

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................. 21

3.1 Jenis Penelitian ................................................................................. 21

3.2 Lokasi Penelitian ............................................................................... 21

3.3 Teknik Penentuan Informan ............................................................... 21

3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 22

3.4.1 Studi Pustaka ............................................................................ 22

3.4.2 Observasi ................................................................................. 22

3.4.3 Dokumentasi ............................................................................ 22

3.4.4 Wawancara............................................................................... 23

3.5 Teknik Analisis Data ....................................................................... 23

3.6 Interpretasi....................................................................................... 24

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................. 25

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................. 25

4.1.1 Luas Wilayah ......................................................................... 27

4.1.2 Jumlah Penduduk ................................................................... 28

4.2 Keadaan Sosial Budaya .................................................................... 28

4.2.1 Agama ................................................................................... 28

4.2.2 Pendidikan ............................................................................ 30

4.3 Sejarah Pendudukan Jepang di Wawonii .......................................... 31

xii
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................. 33

5.1. Tinggalan Arkeologi di Kelurahaan Munse ..................................... 33

5.1.1 Terowongan Jepang ............................................................... 34

5.1.2 Roda ...................................................................................... 35

5.1.3 Struktur Bangunan I ............................................................... 36

5.1.4 Struktur Bangunan II .............................................................. 37

5.1.5 Bak Air .................................................................................. 38

5.1.6 Struktur Bangunan III............................................................. 39

5.1.7 Struktur Bangunan IV ............................................................ 40

5.1.8 Struktur Bangunan V .............................................................. 41

5.1.9 Struktur Tiang Penyangga ...................................................... 42

5.2 Nilai Penting Tinggalan Bangunan Jepang di Kelurahan Munse ....... 44

5.2.1 Nilai Penting Sejarah .............................................................. 46

5.2.2 Nilai Penting Ilmu Pengetahuan ............................................. 48

5.2.3 Nilai Penting Kebudayaan ...................................................... 51

5.2.4 Nilai Penting Ekonomi ........................................................... 51

5.3 Upaya Pelestarian Tinggalan Bangunan Jepang ...................................... 53

BAB VI PENUTUP ......................................................................................... 63

6.1. Kesimpulan .......................................................................................... 63

6.2. Saran .................................................................................................... 64

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xiii
DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 4.1 Nama Desa dan Luas Wilayah ........................................................... 25

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Desa/Kelurahan Kecamataan Wawonii Timur ....... 26

Tabel 4.3 Jumlah Tempat Peribadatan Kecamatan Wawonii Timur..................... 27

Tabel 4.4 Jumlah Gedung Sekolah Berdasarkan Tingkat Pendidikan ................. 28

xiv
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1 Peta Wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan ................................. 24

Gambar 5.1 Terowongan Jepang ....................................................................... 35

Gambar 5.2 Roda .............................................................................................. 36

Gambar 5.3. Struktur Bangunan I ...................................................................... 37

Gambar 5.4Struktur Bangunan II ...................................................................... 38

Gambar 5.5 Tampak Atas Struktur Bangunan II ................................................ 38

Gambar 5.6 Bak Air .......................................................................................... 39

Gambar 5.7 Tampak Atas dan Tampak Samping Bak air ................................... 39

Gambar 5.8 Struktur Bangunan III .................................................................... 40

Gambar 5.9 Tampak Atas dan Tampak Samping Bak air ................................... 41

Gambar 5.10 Struktur Bangunan V ................................................................... 42

Gambar 5.11 Struktur Tiang Penyangga ............................................................ 43

xv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah danletaknya

yang sangat strategis membuat negara-negara dari luar banyak yangingin menguasai

Indonesia. Salah satu Negara yang pernah menduduki Indonesiadalah Jepang. Selain

ingin menguasai dan menduduki Indonesia, Jepang jugamenerapkan beberapa sistem di

Indonesia yang salah satunya adalah sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa yang

diberlakukan Jepang di Indonesia telah banyakmenimbulkan penderitaan bagi rakyat

pribumi, seperti kemiskinan, kelaparan,bahkan kematian. Kehadiran bangsa Eropa dan

Asia di Indonesia membuat Indonesia semakin tidak stabil. Ditambah lagi terjadinya

Perang Dunia II dalam kurun waktu 1939-1945 yang membuat Indonesia semakin

merasakan pahitnya penjajahan dari Negara luar (Mansyur, 2006).

Perang Dunia II merupakan perang yang didominasi oleh penggunaan taktik

perang modern menyangkut strategi, senjata dan peralatan tempur lainnya. Selain itu,

pada Perang Dunia II kekuatan politik suatu negara dalam sistem internasional berperan

penting dalam memenangkan perang. Perang Dunia II yang berlangsung antara 1939-

1945 adalah perang yang melibatkan banyak negara dan meliputi hampir seluruh

kawasan di dunia. Perang ini resmi dimulai pada 1 September 1939, yaitu saat Jerman

menginvasi Polandia. Perang ini pada mulanya berpusat di Eropa, dimana Inggris dan

sekutu-sekutunya mulai kewalahan menghadapi serangan dari Jerman dan Italia. Medan

peperangan kemudian meluas ke wilayah Pasifik sejak Jepang menyerang dan

memporakporandakan Pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor pada

1
2

tanggal 7 Desember 1941 (Hikmah, 2012).Penyerangan terhadap pangkalan Angkatan

Laut Amerika Serikat di Pasifik, dilakukan oleh Jepang dengan alasan bahwa kawasan

Asia Tenggara saat itu dikuasai oleh Negara-negara yang menjadi sekutu dari Amerika

Serikat, sehingga perlu dilindungi olehnya. Selain itu, serangan tersebut dilakukan

Jepang untuk mewujudkan ambisinya menguasai seluruh wilayah Asia (Parera, 2013).

Keterlibatan Jepang dalam Perang Dunia II dilatarbelakangi tiga alasan. Pertama

embargo atau larangan perdagangan minyak Amerika Serikat dan Inggris, Kedua ide

untuk mempersatukan negara negara Asia di bawah kekuasaan Jepang. Ketiga Jepang

beralasan untuk membebaskan kawasan Asia dari imperialisme barat atau yang lebih di

kenal dengan perang Asia Timur Raya (Mahmud & Mansyur 2006). Selain itu salah

satu tujuan pokok pendudukan Jepang di Asia Tenggara ialah untuk memperoleh

sumber-sumber ekonomi dan untuk menciptakan suatu landasan pasok ekonomi yang

penting demi kelangsungan perang. Dilihat dari alasan keterlibatan Jepang dalam

keikutsertaannya dalam Perang Dunia II memperlihatkan negara Jepang yang cukup

kuat dalam perang, terlebih lagi dalam bidang militer.

Secara resmi Jepang menguasai Indonesia pada tanggal 8 Maret 1942, ketika

panglima tertinggi pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat di Kalijati

Bandung. Pada awal kedatangannya di Indonesia, tentara Jepang disambut dengan

gembira oleh rakyat Indonesia pada umumnya, mereka menganggap Jepang sebagai

sesama bangsa Asia akan membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan.

Jepang berjanji akan membantu perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia dan

menghapuskan penjajahan Belanda di Indonesia (Mansyur, 2015). Rakyat Indonesia

yang telah lama mendambakan kemerdekaan menaruh harapan yang sangat besar
3

terhadap Jepang. Pertumbuhan dan pengaruh Jepang di Indonesia dapat dikatakan cukup

singkat yaitu tahun 1942-1945 sehingga tidak banyak meninggalkan bukti fisik.Di awal

penguasaan Jepang di Indonesia, seluruh wilayah jajahannya telah dibangun dan

dikembangkan guna keperluan hidup dan untuk keperluan perangmelawan sekutu serta

mempertahankan daerah kekuasaannya. Di daerahjajahannya, Jepang melakukan

berbagai pembangunan infrastruktur. Jepang membangun dan mendirikan bangunan

yang tentunya telah dipertimbangkan dengan baik alasan pembangunannya.

Pertimbangan tersebut meliputi fungsi bangunan itu didirikan, keletakannya pada

kawasan tempatnya didirikan, hinggafaktor yang melatarbelakangi pendirian bangunan

tersebut (Hayunira, 2013).

Pembangunan infrastruktur yang digunakan baik sebagai tempat bermukim

maupun sebagai tempat perlindungan merupakan sebuah kebudayaan materi. Dimana

kebudayaan materi merupakan bentuk peninggalan arkeologis paling jelas, walaupun

kondisinya (secara kualitas dan kuantitas) mungkin terbatas. Peninggalan-peninggalan

materi tersebut merupakan produk budaya yang dianggap mencerminkan pranata dan

gagasan yang terkandung di dalamnya. Begitu pula pembangunan sarana dan prasarana

yang dibangun oleh Jepang ketika menduduki Indonesia (Hayunira, 2013). Beberapa

daerah di Indonesia yang pernah dikuasai oleh Jepang diantaranya Maluku, Papua,

Kalimantan, Jawa dan Sulawesi Tenggara. Pusat kekuasan Jepang di Sulawesi Tenggara

terletak di Kendari. Kendari merupakan salah satu dari beberapa kota penting di

Indonesia yang menjadi tujuan utama penyerangan Jepang. Kendari pada prinsipnya

merupakan subdivisi administratif yang di dalamnya mencangkup Poleang, Rumbia dan


4

Pulau Wawonii. Masuknya Jepang di Kendari diawali dengan kekalahan Belanda

terhadap Jepang.

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang banyak ditemukan sisa-

sisa tinnggalan kolonial Jepang pada masa Perang Dunia II. Tinggalan-tinggalan ini

tersebar mulai dari Kendari, Ranomeeto, Bombana, Kolaka, Buton hingga di daerah

Wawonii (Konawe Kepulauan). Tinggalan kolonial Jepang di Sulawesi Tenggara sangat

beragam mulai dari bangunan pertahanan, sarana perumahan, hingga bangunan rumah

sakit. Sarana bangunan pertahanan Jepang di Sulawesi Tenggara, seperti bunker,

lapangan udara, gua-gua pertahanan, terowongan, gudang senjata, dan bangunan-

bangunan administrasi. Keberadaan bangunan-bangunan ini adalah bukti fisik

pertahanan Jepang pada Perang Dunia II yang masih kita jumpai sampai sekarang.

Setelah Jepang berhasil mengalahkan Belanda di Kendari, Jepang melanjutkan

seranganya di pulau-pulau kecil laiinya dan dengan mudah menguasainya. Salah satu

pulau kecil yang berhasil dikuasai oleh pasukan Jepang adalah Pulau Wawonii. Pulau

Wawonii merupakan bagian dari Kabupaten Konawe namun setelah pemekaran pada

tahun 2013 pulau ini berganti nama menjadi Konawe Kepulauan (Eriani, 2018).

Pulau Wawonii merupakan pulau yang memiliki sumber daya alam yang

melimpah juga memiliki wilayah yang sangat strategis untuk dijadikan sebagai salah

satu daerah pertahanan. Pada tahun 1942, tentara Jepang mendaratkan kapal perangnya

di salah satu daerah Wawonii yaitu Munse, kedatangan jepang mempunyai maksud

untuk menjadikan Pulau Wawonii sebagai salah satu basis pertahanan dan

menjadikanya sebagai daerah pemantau pergerakan dari tentara sekutu baik dari udara,

darat maupun laut. Setelah pasukan Jepang menguasai Wawonii, tenaga rakyat
5

dikerahkan secara besar-besaran untuk membangun berbagai fasilitas yang dibutuhkan

tentara Jepang sebagai basis pertahanan dalam persiapan menghadapi serangan dari

tentara sekutu (Hayat, 2016).

Berdasarkan data sejarah basis pertahanan Jepang di Pulau Wawoniiterletak di

Munse yang merupakan ibukota Kecamatan Wawonii Timur saat ini.Bukti penguasaan

Jepang di pulau ini ditandai dengan adanya beberapa sisabangunan aktifitas Jepang pada

masa Perang Dunia II seperti, parit-parit perlindungan, struktur bangunan, struktur bak,

pos monyet atau menara pengintai.

Jepang membuat bangunan pertahanan dengan arsitekturnya sendiri yang

dianggap kokoh bagi militer Jepang pada saat itu. Di antaranya bangunan pos monyet,

parit pertahanan, terowongan, dan menara pengintai. Bangunan kolonial Jepang ini

yang banyak dibuat di dataran Pulau Sulawesi, bangunan berfungsi agar dapat

mempertahankan daerah Jepang pada saat itu yang terjadi Perang Pasifik.Bangunan

sarana, prasarana atau infrastruktur pertahanan militer yang memiliki peranan penting

dalam mempertahankan kekuasaan suatu wilayah. Bangunan ini memiliki bentuk dan

ukuran bangunan yang berbeda-beda serta memiliki fungsi sebagai tempat

persembunyian, penyimpanan logistik atau persenjataan dan tempat pengintaian musuh.

Selain itu, bangunan ini juga memiliki keunikan dari gaya arsitekturnya yang meniru

makhluk hidup di alam yang dikenal dengan istilah zoomorphic atau arsitektur meniru

hewan, karena kebanyakan bangunan ini tersembunyi di bawah tanah (Virilio, 1998).

Keterancaman sumberdaya arkeologis bukan hanya terjadi di Kelurahan

Munse saja namun juga terjadi di beberapa daerah lain di Indonesia. Pembangunan yang

berkembang pada setiap tahunnya cukup kerap memicu kerusakan bahkan mengancam
6

hilangnya sumberdaya arkeologis. Keberadaan bangunan bunker peninggalan Jepang di

Kecamatan Ranomeeto layak mendapat perhatian, karena posisinya terancam

pembangunan yang semakin pesat setiap tahunnya di tambah lagi acuhnya pemerintah

dan masyarakat terhadap bangunan kolonial Jepang ini menambah ancaman bagi

keberadaan bangunan bersejarah ini. Keberadaan bangunan merupakan jejakj-ejak

peradaban budaya yang memiliki peradaban maju di bidang arsitektur pada masa Perang

Dunia ke-II.

Kondisi bangunan kolonial Jepang saat ini di Kelurahan Munse mengalami

kerusakan yang sangat krusial yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Kerusakan yang

disebabkan oleh faktor lingkungan sangat mempengaruhi bangunan, terutama pada letak

dan posisi bangunan itu berada. Letak dan posisi bangunan peninggalan Jepang di

Kelurahan Munse sebagian besar berada di kawasan hutan dan pemukiman masyarakat

sehingga kerusakan dan pelapukan tidak dapat terhindari. Selain itu kerusakan dan

pelapukan bangunan diperparah karena lemahnya pengawasan serta kesadaran

masyarakat dan instansi pemerintah Konawe Kepulauan terhadap bangunan peninggalan

Jepang yang memiliki nilai penting sejarah.

Berdasarkanobservasi awal, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

mendalam tentang bangunan Kolonial Jepang di Kelurahan Munse. Penelitian

mendalam yang dilakukan penulis di situs tersebut didasari oleh beberapa alasan,

diantaranya adalah: Pertama, kurangnya perhatian dan kepedulian pemerintah dan

masyarakat setempat terhadap bunker yang ada di Kecamatan Ranomeeto sehingga

keberadaan bunker ini sangat terancam dan keberadaan bunker ini sewaktu-waktu akan

hilang. Kedua, belum ada penelitian arkeologis yang dilakukan mengenai nilai penting
7

dan upaya pelestarian bangunan kolonial Jepang yang memiliki kedudukan dan peranan

yang penting pada masa perang dunia ke-II. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk

memahami dan mengetahui nilai penting dan upaya pelestarian bangunan kolonial

Jepang di Kelurahan Munse Kabupaten Konawe Kepulauan.

Berdasarkan uraian diatas, maka judul uang diangkat dalam peneliitian ini

adalah penelitian ini adalah “Nilai Penting dan Upaya Pelestarian Bangunan Kolonial

Jepang pada Masa Perang Dunia II di Kelurahan Munse Kabupaten Konawe

Kepulauan”.

1.2 Rumusan Masalah

Bedasarkan latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Apa saja jenis tinggalan arkeologi pada masa pendudukan jepang di Kelurahan

Munse Kabupaten Konawe Kepulauan?

2. Apa saja nilai penting yang terdapat pada tinggalan bangunan Jepang di Kelurahan

Munse Kabupaten Konawe Kepulauan?

3. Bagaimana upaya pelestarian yang dilakukan terhadap bangunan kolonial Jepang di

Kelurahan Munse Kabupaten Konawe Kepulauan?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah diuraikan di atas, maka

tujuan penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menjelaskan jenis tinggalan arkeologi pada masa pendudukan

Jepang di Kelurahan Munse Kabupaten Konawe Kepulauan.


8

2. Untuk menjelaskan nilai penting yang terdapat pada tinggalan bangunan Jepang di

Kelurahan Munse Kabupaten Konawe Kepulauan.

3. Untuk menjelaskan upaya pelestarian yang dilakukan terhadap bangunan Jepang di

Kelurahan Munse Kabupaten Konawe Kepulauan.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis diharapkan hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi

sumbangsih pemikiran ilmiah bagi ilmu pengetahuan dalam bidang arkeologi dan

sejarah, khususnya tentang nilai penting tinggalan dan upaya pelestarian bangunan

Jepang pada masa Perang Dunia II di Sulawesi Tenggara dan Indonesia pada umumnya.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis bagi pemerintah daerah, dapat menjadi masukan dalam

mengambil kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan tinggalan-tinggalan

arkeologis sarana militer Jepang masa Perang Dunia II di Sulawesi Tenggara.

Sedangkan bagi masyarakat, dapat menumbuhkan kedaran untuk ikut serta menjaga dan

melestarikan tinggalan-tinggalan arkeologis tersebut.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI

DAN KERANGKA PIKIR

2.1 Tinjauan Pustaka

Penelitian mengenai tinggalan-tinggalan Arkeologis pendudukan Jepang pada

masa Perang Dunia II di Indonesia telah banyak dilakukan. Tinjauan pustaka dipakai

sebagai petunjuk, pembanding, serta penunjang dalam penelitian ini. Berdasarkan

beberapa tinjauan pustaka tersebut, dapat dicari data, konsep, dan teori yang berkaitan

dengan permasalahan dalam penelitian ini. Beberapa penelitian dari segi sejarah dan

arkeologis yang relevan dengan penelitian penulis diantaranya adalah Penelitian relevan

yang dilakukan Penelitian yang dilakukan oleh Sasadara Hayunira (2013) dengan judul

“Masa Pendudukan Jepang di Kendari: Interpretasi Terhadap Tinggalan Bangunan

Jepang di Kawasan TNI AU Ranomeeto, Konawe Selatan”. Penelitian ini membahas

tentang pendudukan Jepang di Kendari, bentuk-bentuk tingalan Jepang yang ada pada

kawasan TNI AU Ranomeeto, Konawe Selatan, fungsi dari setiap tinggalan banguna

dan fungsinya dalam kawasan tersebut, pola sebaran tinggalan bangunan, dan latar

belakang keletakan tinggalan bangunan. Penelitian ini menggunakan teori Kajian

Budaya dan teori Arkeologi Ruang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tinggalan

bangunan yang ada berupa struktur jembatan dan struktur bangunan berupa dinding,

kolam, ruang bersekat, sumur, penampungan air, dan fasilitas bangunan militer berupa

bungker dan baterai. Selain itu terdapat pula temuan lepas berupa pembuka botol, botol

minuman, botol obat, pecahan keramik, porselin dan peluru. Keletakan tinggalan

cenderung berbentuk linear yaitu mengikuti jaringan jalan dan sungai. Faktor yang

9
10

melatar belakangi keletakan tinggalan bangunan di kawasan TNI AU Ranomeeto yaitu

karena adanya faktor politik, ekonomi dan lingkungan. Persamaan penelitian penilus

dengan penelitian ini sama-sama mengidentifikasikan tinggalan Jepang dan latar

belakang keletakan tinggalan bangunan pada masa Perang Dunia II. Perbedaanya

terletak pada teori yang digunakan. Adapun persamaan penelitian ini terletak pada objek

penelitiannya yakni objek sarana militer Jepang, sedangkan perbedaannya terletak pada

permasalahan yang diangkat dan lokasi penelitiannya.

Sunarto (2017) dengan judul “Analisis Nilai Penting dan Sumber Daya

Arkeologi di Kawasan Pangkalan Militer TNI AU Haluoleo di Ambeipua Kecamatan

Ranomeeto Kabupaten Konawe Selatan”. Dalam skripsi yang ditulis bertujuan untuk

mengetahui sumber daya arkeologi, nilai penting, upaya pelestarian yang ada di

pangkalan militer TNI AU HLO. Skripsi ini menguraikan mengenai tinggalan

sumberdaya arkeologi dikawasan Pangkalan Militer TNI- AU HLO berupa bungker,

revetment, gudang amunisi, dan struktur sumberdaya arkeologi di kawasan Pangkalan

Militer TNI-AU HLO yang memiliki kandungan nilai penting sejarah, ilmu

pengetahuan, kebudayaan, pendidikan dan ekonomi.

Muhammad Awal Ramadhan (2017) dengan judul “Bentuk Kerusakan dan

Upaya Penanganan Bunker Danrem dan Pilboks Ahmad Yani Di Kota Kendari

Sulawesi Tenggara” Tujuan dalam penelitian adalah mengidentifikasi bentuk kerusakan

yang ditimbulkan oleh lingkunagan abiotik dan biotik dan menjelaskan upaya

penanganan kerusakan pada bunker dan pilboks di Kota Kendari. Kesimpulan yang

dihasilkan dari penelitian ini adalah Bangunan peninggalan Jepang di Kota Kendari
11

merupakan objek arkeologi yang memiliki daya tahan dan rentan akan kerusakan dan

pelapukan terhadap bahan bakunya.

Eriani (2018) dalam skripsinya yang berjudul “Identifikasi Tinggalan Jepang

Pada Masa Perang Dunia II Di Kelurahan Munse, Kecamatan Wawonii Timur,

Kabupaten Konawe Kepulauan”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis

tinggalan masa pendudukan Jepang di Wawonii dan latar belakang keletakan tinggalan

masa pendudukan Jepang. Penelitian yang menggunakan teori arkeologi ruang dan

arkeologi medan perang dengan metode yang digunakan yaitu metode teknik

pengumpulan data berupa studi pustaka, kemudian tahap pengolahan data dan analisis

data yaitu menggunakan analisis kontekstual. Dari hasil penelitiannya Eriani

menemukan tinggalan arkeologis berupa bak, struktur tiang penyangga, lantai landasan

mesin, bak penampung, struktur dapur, gua jepang, dua struktur tidak teridentifikasi,

bekas mesin, struktur lingkaran, struktur lantai, dan struktur jalan.

Adapun persamaan dari penelitian yang dilakukan Eriani dengan penulis yaitu

sama-sama mengambil lokasi penelitian yang sama, sehingga tinggalan arkeologisnya

hamper semua memiliki kesamaan. Sedangkan perbedaan penelitian Eriani dengan yang

dilakukan penulis yaitu terletak pada judul penelitian, meskipun lokasi penelitiannya

mengalami kesamaan akan tetapi judul penelitian yang diambil memiliki perbedaan,

kemudian bagian-bagian lainya seperti teori dan analisis yang digunakan memiliki

perbedaan.

Faktor-faktor penyebab kerusakan dan pelapukan tidak akan terlepas dari faktor

lingkungan, baik faktor lingkungan biotik maupun faktor lingkungan abiotik. Faktor

lingkungan biotik meliputi organisme hidup yang ada di permukaan bumi sedangkan
12

faktor lingkungan abiotik meliputi benda mati yang ada di permukaan dan bermanfaat

bagi organisme hidup. Perbedaan yang dilakukan oleh Muhammad Awal Ramadhan dan

penulis adalah lokasi atau tempat penelitian, Muhammad Awal Ramadhan melakukan

penelitian di Kota Kendari sedangkan penulis melakukan penelitian di Kelurrahan

Munse Kabupaten Konawe Kepulauan.

Penelitian yang dilakukan oleh Hamdan Hamado (2018) dengan judul

“Tinggalan-Tinggalan Arkeologis Sarana Militer Jepang Masa Perang Dunia II Di

Situs Lapangan Udara Ambesea Kabupaten Konawe Selatan”. Permasalahan yang

diangkat dalam penelitian ini adalah apasaja tinggalan sarana militer Jepang yang

terdapat di situs Lapangan Udara Ambesea dan Apa fungsi tinggalan sarana militer

Jepang yang terdapat di situs Lapangan Udara Ambesea. Penelitian ini menggunakan

teori peperangan dan teori arkeologi medan pertempuran. Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa Lapangan Udara Ambesea merupakan salah satu kawasan situs

bekas lapangan udara militer Jepang yang dibangun pada masa Perang Dunia II.

Bedasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis di kawasan tersebut, ditemukan

tinggalan arkeologis sarana militer Jepang yang secara keseluruhan berjumlah 31

temuan yakni: temuan bangunan pilboks (pillbox), bangunan terowongan bawah tanah,

struktur bak air, struktur revetmen pesawat, fitur runtuhan bangunan, fitur tungku,

fragmen keramik, dan fragmen botol kaca.

Keberadaan seluruh tinggalan arkeologis yang ditemukan di situs Lapangan

Udara ini menjadi salah satu bukti kehadiran Jepang di wilayah tersebut. Keberadaan

seluruh sarana-sarana militer Jepang tersebut, juga merupakan salah satu bentuk

cerminan dari budaya militeristis yang diampuh oleh pasukan Jepang pada masa Perang
13

Dunia II di kawasan tersebut. Budaya militeristis tersebut tercermin dari bentuk,

teknologi, dan pola penempatan seluruh tinggalan sarana militernya yang ditemukan di

kawasan tersebut. Oleh karena itu, apabila ditelaah dengan seksama maka Lapangan

Udara Ambesea beserta seluruh tinggalan sarana militer Jepang yang terdapat di

dalamnya terintegrasi menjadi satu kesatuan kawasan militer yang dirancang dan

dibangun berdasarkan pertimbangan-pertimbangan strategis militerisitis yang sangat

baik dan telah dipikirkan secara sangat matang.

2.2 Landasan Konsep

2.2.1 Analisis Nilai Penting

Penentuan nilai penting suatu sumberdaya arkeologi merupakan tahap penting

karena pada dasarnya pelestarian Cagar Budaya adalah melestarikan nilai penting

sumberdaya budaya. Nilai penting yang kuat dan dominan akan menjadi dasar dalam

pengambilan keputusan terhadap sumberdaya budaya (Mason, 2002; Tanudirjo, 2004)

dan akan menghasilkan rekomendasi apakah suatu sumberdaya budaya akan

dikonservasi, dihancurkan, dimodifikasi atau dibiarkan begitu saja (Pearson & Sullivan,

1995).

Dalam “Burra Charter” The Australian ICOMOS Charter For Consevation of

Place of Cultural Significance, yang dimaksud dengan cultural significane adalah

estetik, sejarah, ilmu pengetahuan, nilai sosial untuk masa lalu, sekarang atau generasi

mendatang. Aturan tentang nilai penting juga telah diatur dalam Undang-Undang

Republik Indonesia No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, yakni pada pasal 5.

Dalam pasal tersebut dinyatakan, Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan
14

sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya

apabila memenuhi kriteria:

1. berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih.

2. mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun.

3. memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau

kebudayaan.

4. memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Dalam UU tersebut, secara jelas menyatakan bahwa nilai penting Cagar Budaya

adalah nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau

kebudayaan, menurut Tanudirjo (2004) dalam mengidentifikasi sebuah nilai penting

cagar budaya berfungsi sebagai landasan utama dalam menentukan langkah-langkah

atau kebijakan pengelolaan, karena pada hakikatnya pengelolaan merupakan untuk

melestarikan nilai penting sumber daya arkeologi agar tidak berkurang ataupun hilang.

berikut penjelasan kriteria-kriteria nilai penting yang terkandung dalam sumber daya

arkeologi:

1. Nilai Penting Sejarah, apabila sumberdaya budaya tersebut dapat menjadi bukti

yang berbobot dari peristiwa yang terjadi pada masa prasejarah dan sejarah,

berkaitan erat dengan tokoh-tokoh sejarah, atau menjadi bukti perkembangan

penting dalam bidang tertentu.

2. Nilai Penting Ilmu Pengetahuan, apabila sumberdaya budaya itu mempunyai

potensi untuk diteliti lebih lanjut dalam rangka menjawab masalah-masalah

dalam bidang keilmuan tertentu (Tanudirjo, 2004).


15

3. Nilai Penting Pendidikan, sumberdaya arkeologi memegang peranan yang

penting dalam pendidikan anak-anak dan remaja (Darvill, 1995).

4. Nilai Penting Kebudayaan, apabila sumberdaya budaya tersebut dapat mewakili

hasil pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya, atau

menjadi jati diri (cultural identity) bangsa atau komunitas tertentu (Tanudirjo,

2004).

2.2.2 Upaya Pelestarian Tinggalan-Tinggalan Arkeologi

Merujuk pada UU Tentang Cagar Budaya No. 11. Tahun 2010 pasal 1 dan 2

yang dimaksud benda cagar budaya adalah benda alam atau buatan manusia, baik

bergerak maupun tidak bergerak, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang

memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Dalam

hakikat pelestarian dengan tetap menjaga suatu cagar budaya, dalam proses pelestarian

yang dilestarikan bukan hanya unsur bendawi tetapi juga unsur tak bendawi (Tanudirjo,

2008). Seiring dengan perkembangan waktu, terjadi perubahan cara pandang pelestarian

Cagar Budaya, yaitu: 1. Pelestarian bukan hanya sekedar bendanya saja (object

oriented), melainkan termasuk lingkungan sekitarnya. 2. Pelestarian tidak hanya

ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akademis saja, tetapi untuk kepentingan

kesejahteraan masyarakat luas. 3. Pemanfaatan benda cagar budaya bukan semata-mata

berorientasi profit, melainkan lebih mengutamakan benefit (Soeroso, 2006). Pengertian

pelestarian menurut UU No. 11 tahun 2010 adalah upaya dinamis untuk

mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi,

mengembangkan dan memanfaatkanya.


16

2.2.2.1 Perlindungan

Pengertian perlindungan berdasarkan UU No. 11 tahun 2010 adalah upaya

mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan

cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, Konservasi, dan pemugaran cagar budaya.

Upaya perlindungan dapat dikelompokan menjadi perlindungan secara fisik dan

perlindungan hukum (Non fisik). Upaya penyelamatan dilakukan agar benda cagar

budaya dapat terhindar dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam.

Perlindungan hukum dilakukan sebagai upaya melindungi sumber daya arkeologi

tersebut sesuai dengan peraturan perundang undangan, untuk memperoleh hal tersebut

maka harus ada penetapan hokum yang menyatakan sumber daya arkeologi mempunyai

kriteria seperti yang tercantum dalam UU Nomor 5 Tahun 1992.

2.2.2.2 Konservasi

Selain itu, objek arkeologi tidak dapat dipindahkan (non moveable) dengan

pengertian bahwa konteks ruang sedapat mungkin dipertahankan, objekarkeologi pun

sangat rapuh (fragile) karena akan mengalami kemerosotan akibat masa. Maka, untuk

melestarikan serta melindungi suatu objek arkeologi tersebut memerlukan bantuan

bidang ilmu lainnya seperti bidang ilmu konservasi (Dradjat, 1995).

Dalam upaya penanganan objek arkeologi yang memiliki sifat terbatas, tidak

dapat diperbaruhi, sangat rapuh dan kemampuan bertahan pada bahan sangat rentang

akan kerusakan, maka dari itu membutuhkan penerapan ilmu bantu yaitu ilmu

konservasi. Konservasi merupakan ilmu yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan

keanekaragaman seperti makhluk hidup maupun benda mati dan memeliharanya agar

tidak punah. Istilah konservasi sendiri dikenal dengan pelestarian dan perlindungan
17

sesuai yang dikemukakan oleh Burra Charter dalam piagam ICOMOS 1964, bahwa

konservasi adalah semua proses kegiatan sedemikian rupa terhadap place untuk

melestarikan nilai penting budayanya yang diartikan dengan place yaitu situs, areal,

bangunan atau hasil karya termasuk kandungan isinya serta lingkungannya (Chawari,

2013).

Upaya pelestarian dilakukan dengan tetap menperhatikan bentuk keasliannya,

sehingga perlu diadakan studi konservasi. Untuk lebih memahami tentang konservasi

sebagai salah satu kajian studi arkeologi, maka penulis menguraikan sebagai berikut

tentang konservasi :

1. Konservasi mempunyai pengertian yang bermacam-macam tergantung dalam

pemakaian istilah tersebut.

2. Konservasi adalah semua proses kegiatan demikian rupa terhadap place untuk

melestarikan nilai penting budayanya (Tjandrasasmita 1995:3).

Konservasi dalam pengertian yang sederhana adalah kegiatan perawatan dengan

cara pengawetan terhadap Benda Cagar Budaya yang telah mengalami pelapukan dan

kerusakan baik secara mekanis, fisis, kimia, maupun biologis. Konservasi ini memiliki

peranan yang sangat penting dalam upaya perbaikan, pemeliharaan, penyusunan

kembali komponen suatu bangunan pada bentuk aslinya tanpa mengabaikan nilai

sejarah, arkeologis, arsitektur dan sebagainya (Susanti 2007:29).

Konservasi pada dasarnya merupakan kajian ilmu yang bersifat memelihara dan

melestarikan suatu objek agar tetap ada hingga di masa yang akan datang. Upaya yang

dilakukan untuk memelihara dan melestarikan sumberdaya arkeologi semaksimal

mungkin tanpa menghilangkan nilai yang ada pada objek arkeologi tersebut. Oleh
18

karena itu dalam pelaksanaannya harus melalui pedoman-pedoman yang berlaku secara

hukum. Adapun pedoman-pedoman yang sesuai dengan landasan hukum yang dipakai

sebagai acuan untuk melaksanakan konservasi arkeologi.

2.2.2.3 Restorasi

Upaya pelestarian yang ingin mengembalikan kebentuk aslinya, hal ini dapat

mencakup pergantian unsur-unsur yang telah rusak ataupun membuang elemen-elemen

baru yang merupakan tambahan sesudahnya. Cara atau teknik dapat dilakukan pada

bangunan Bunker Jepang yang secara fisik bangunan yang perlu dilestarikan dan

terdapat keunikan di dalamnya. Keunikan ini dapat dilihat elemen pada masa Kolonial

Jepang yang memiliki Arsitektur tersendiri, ciri ini dapat menjadikan ciri pembangunan

dan pembuatan bangunan tersebut.

2.2.2.4 Preservasi

Restorsi adalah tindakan atau proses penerapan langkah-langkah dalam

mendukung keberadaan bentuk asli, keutuhan material bangunan/struktur,serta bentuk

tanaman yang adadalam tapak. Tindakan ini dapat disertai dengan menambahkan

penguat-penguat padastruktur, disamping pemeliharaan material bangunan bersejarah

tersebut:

a. Upaya melindungi benda cagar budaya secara tidak langsung (pemagaran,

pencagaran) dari faktor lingkungan yang merusak.

b. Mempunyai arti yang mirip dengan konservasi perbedaannya ialah: 1). Secara teknis:

preservasi lebih menekankan pada segi pemeliharaan secara sederhana, tanpa

memberikan perlakuan secara khusus terhadap benda; 2). Secara strategis/makro:


19

preservasi mempunyai arti yang mirip dengan pelestarian, yang meliputi pekerjaan

teknis dan administratif (pembinaan, perlindungan).

2.2.2.5 Rekonstruksi

Rekonstruksi adalah sebuah upaya untuk membentuk kembali atau penyusunan

ulang untuk memulihkan suatu bangunan atau benda kebentuk semulan. Rekonstruksi

mencakup tiga pon penting yang pertama, memelihara bangunan awal, dengan tetap

menjaga bentuk asli dan karakteristiknya, kedua, memperbaiki hal-hal yang telah runtuh

dan memperkuat kembali sendi-sendi yang telah mengalami kerusakan, ketiga,

memasukan pembaharuan tanpa mengubah karakteristik asli bangunan.

2.3 Kerangka Pikir

Kelurahan Munse merupakan kawasan yang masih banyak ditemukan sejumlah

bangunan-bangunan kolonial Jepang dengan beragam variasi bentuk dan ukuran yang

berfungsi sebagai bangunan pertahanan. Oleh karena itu, tujuan penelitian ini untuk

menjelaskan nilai penting dan upaya pelestarian yang terdapat di kawasan tersebut.

Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri atas dua jenis data, yakni data

yang diperoleh dari penelusuran dokumen sejarah, serta sumber-sumber pustaka lainnya

seperti jurnal, skripsi, dan artikel dan data lapangan yang diperoleh dari survey,

pendeskripsian, pencatatan dan pendokumentasian langsung. Setelah data pustaka dan

data lapangan terkumpul, kemudian di analisa dengan analisis Nilai Penting. Hasil

analisis kemudian dikomparasikan dengan konsep nilai penting dan upaya pelestarian

yang akan digunakan dalam penelitian ini. Hasil komparasi tersebut kemudian menjadi

sebuah kesimpulan yang diharapkan akan menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam

penelitian.
20

Analisis Nilai Penting dan Upaya Pelestarian Bangunan


Peninggalan Jepang Pada Masa Perang Dunia II di
Kelurahan Munse Kabupaten Konawe Kepulauan

Apa saja jenis tinggalan arkeologi pada


masa pendudukan Jepang di Kelurahan
Munse Kabupaten Konawe Kepulauan?

Apa saja nilai penting yang terdapat Bagaimana upaya pelestarian


pada tinggalan bangunan Jepang di bangunan kolonial Jepang di
Kelurahan Munse Kelurahan Munse Kepulauan

Landasan Konsep

- Konsep Nilai Penting


- Peletrian Arkeologi

Analisis Data

Analisis Nilai Penting

Interpretasi

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis,

deskriptif analisis adalah penelitian yang memberikan gambaran data arkeologis yang

ditemukan baik dalam kerangka waktu, bentuk maupun keruangan serta

mengungkapkan hubungan diantara berbagai variabel penelitian (Sukendar, 1999).

Penelitian ini menggunakan bentuk penalaran induktif. Penalaran induktif merupakan

penalaran yang bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus untuk

kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris

(Tanudirjo, 1989).

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Kelurahan Munse, Kecamatan WawoniiTimur,

Kabupaten Konawe Kepulauan. Penulis memilih Kelurahan Munse,Kecamatan

Wawonii Timur, Kabupaten Konawe Kepulauan untuk dijadikansebagai lokasi

penelitian karena pertama, pada penelitian sebelumnya mengenai identifikasi tinggalan

yang yang dilakukan oleh Eriani belum disebutkan mengenai nilai penting dan upaya

pelestraian mengenai tinggalan-tinggalan kolonial Jepang.

3.3 Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan yang prinsipnya menghendaki seorang informan itu harus

paham terhadap budaya yang dibutuhkan. Informan (narasumber) penelitian adalah

narasumber yang memiliki informasi yang dibutuhkan peneliti terhadap objek

penelitian, informan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu seorang narasumber yang

dilakukan wawancara langsung. Dalam penelitian ini Purposive Sampling digunakan

21
22

untuk menentukan informan, yaitu dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu, hal

ini ditujukan kepada seseorang yang benar-benar menguasai suatu objek yang diteliti.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan

dalam mencapai tujuan penelitian. Pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai

berikut:

3.4.1 Studi Pustaka

Studi pustaka merupakan data sekunder yang digunakan sebagai acuan terdahulu

sebelum melakukan penelitian, saat melakukan penelitian, maupun setelah penelitian

selesai (pembuatan hasil). Studi pustaka diperoleh dari literatur buku, arsip daerah, arsip

negara dan juga dari suatu data piktorial berupa peta, foto-foto, maupun denah

banguann. Dengan tujuan untuk memperoleh data sekunder yang mampu

mendeskripsikan lebih lanjut mengenai nilai penting dan upaya pelestarian tinggalan

sarana milter jepang di Kelurahan Munse.

3.4.2 Observasi

Observasi dilakukan dengan pengamatan pada obyek penelitian secara mendetail

dan mencermati segala sesuatu pada obyek yang sekiranya dapat menunjang penelitian

kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana terjadi pada keadaan yang

sesungguhnya. Pada tahap ini dilakukan pengukuran pada setiap tinggalan sarana militer

Jepang di Kelurahan Munse dengan menggunakan meter 100 dan meter 5.

3.4.3 Dokumentasi

Setelah melakukan pengukuran pada tinggalan, tahap pengumpulan data

selanjutnya adalah dokumentasi. Pada penelitian ini dilakukan pemotretan pada setiap
23

tinggalan sarana militer kolonial Jepang untuk mendukung tingkat keakuratan data. Hal

ini untuk menjelaskan kondisi sesungguhnya di lapangan dan dapat disajikan dalam

laporan penelitian dalambentuk gambar atau foto. Dokumentasi dalam bentuk foto

mampu menghasilkan data dalam bentuk deskriptif yang cukup berharga dan sering

digunakan untukmenelaah segi-segi subyektif. Hasil foto sering dianalisis secara

induktif yaitu untuk menentukan kaidah umum dari sebuah penelitian. Peralatan yang

digunakan pada pada tahap dokumentasi yaitu kamera dan skala.

3.4.4 Wawancara

Wawancara digunakan untuk mencari infomasi yang berkenaan dengan tujuan

penelitian. Informan yang menjadi perioritas utama dalam wawancara ini adalah orang-

orang yang pernah menjadi pelaku sejarah atau orang-orang pernah hidup di masa

penjajahan Jepang. Data wawancara merupakan pendapat dari berbagai pihak yang

ditujukan sesuai dengan tema penelitian untuk mendapatkan informasi terkait

permasalahan dalam penelitian ini. Metode wawancara dilakukan secara bebas (free

interviews) dengan mengajukan pertanyaan yang terkait dengan kebutuhan penelitian.

Sasaran narasumber yang ditujukan kepada Pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan

maupun pihak lain yang terlibat langsung dalam proses pelestarian cagar budaya.

3.5 Teknik Analisis Data

Pengolahan data dilakukan untuk menyelesaikan data yang didapat di lapangan,

pada penelitian ini melakukan pengolahan data dengan menggunakan beberapa analisis

untuk melihat sumber daya arkeologi yang ada di Kelurahan Munse. Penelitian ini

menggunakan analisis morfologi yang bertujuan untuk mengetahui bentuk dari


24

tinggalan jepang yang dilihat dari bentuk-bentuk yaitu bentuk struktur, kondisi

tinggalan Kemudian untuk memperkirakan bentuk tersebut maka akan dilakukan

pengamatan dengan mencermati orientasi, ketebalan dan diameter (Sekunder, 1999).

Penelitian ini juga menggunakan analisis nilai penting untuk menjawab permasalahan

mengenai kriteria penentuan nilai penting seperti nilai penting sejarah, nilai penting

ilmu pengetahuan, nilai penting kebudayaan, nilai penting ekonomis dan upaya

pelestarian pada peninggalan jepang yang ada di Kelurahan Munse agar terhindar dari

ancaman kerusakan.

3.6 Interpretasi

Metode penafsiran data atau eksplanasi merupakan metode interpretasi terhadap

data yang telah dikumpulkan. Metode ini adalah tahappemecahan terhadap pertanyaan

penelitian yang diajukan. Tahap penafsiran data diperoleh dari hasil penalaran terhadap

data-data yang diperoleh dari studi literatur dengan kenyataan yang dilihat di lapangan

selama melakukan penelitian. Interpretasi merupakan tahap akhir dari proses

pengolahan data. Data yang diperoleh dari lapangan dan studi pustaka yang telah diolah

kemudian di interpretasikan dengan baik agar dapat memecahkan masalah penelitian

sehingga dapat menghasilkan sebuah kesimpulan.


BAB IV

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

4.1 Deskripi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Kelurahan Munse, Kecamatan WawoniiTimur,

Kabupaten Konawe Kepulauan. Secara astronomis lokasi penelitian terletak pada

4°9’10,” LS dan 123°16’30” BT. Pada awalnya Wawonii yangsekarang menjadi

Kabupaten Konawe Kepulauan pernah menjadi bagian dari Wilayah adminstrasi

Kendari yaitu pada tahun 1906-1962. Kemudian Wawonii menjadi Kecamatan yakni

Kecamatan Wawonii pada tahun 1963-2013. Padatahun 2004-2013 Wawonii

merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Konawe. Kabupaten Konawe Kepulauan

merupakan Daerah Otonom Baru (DOB) yang terbentuk berdasarkan Undang-Undang

No. 13 Tahun 2013 tentang pembentukan Kabupaten Konawe Kepulauan di Provinsi

Sulawesi Tenggara. Daerah Konawe Kepulauan terdiri dari 74 desa dan 7 wilayah

kecamatan yaitu Kecamatan Wawonii Barat, Wawonii Tengah, Wawonii Timur Laut,

Wawonii Timur, Wawonii Tenggara, Wawonii Selatan dan Wawonii Utara. Luas

wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan sekitar ± 1.513.98 Km terdiri dari daratan ±

867,58 Km², Luas Perairan (laut) ± 646, 40 km² dan garis pantai 178 Km²

(Fickhar,2014). Secara geografis Kabupaten Konawe Kepulauan berada pada posisi

strategis karena perairan lautnya dilalui jalur pelayaran nasional kawasan Timur dan

Barat, wilayah darat Pulau Wawonii diapit oleh Laut Banda dan Selat Buton.

Adapun batas wilayah Kabupaten Konawe Kepulauan sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda.

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda.

25
26

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Selat Wawonii

4. Sebelah Barat berbatasan dengan Selat Wawonii.

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Konawe Kepulauan


(Sumber: La Ode Imran, 2022)

Secara geografis Wawonii Timur memiliki batas-batas wilayah sebagai

berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Wawonii Timur Laut

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Wawonii Tenggara

3. Sebelah Barat berbatasan dengan Gunung Waworete

4. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda.

Luas wilayah Kecamatan Wawonii Timur 11.983 Ha atau 13,81% dari luas

daratan Kabupaten Konawe Kepulauan. Desa dengan wilayah terluas di Kecamatan

Wawonii Timur adalah Desa Lebo dengan luas 3.369 Ha atau 28.11% dengan luas
27

Kecamatan Wawonii Timur sedangkan Desa dengan luas terkecil adalah Kelurahan

Munse 1.699 Ha atau 14,18% dengan luas Kecamatan Wawonii Timur. Ibukota

Kecamatan Wawonii Timur terletak di Kelurahan Munse. Jarak Ibukota Kecamatan

terhadap Kabupaten adalah 39.0 Km dan jarak Ibukota Kecamatan terhadap Provinsi

adalah 115 Km.

4.1.1 Luas Wilayah

Luas wilayah Kecamatan Wawonii Timur 11.983 Ha atau 13,81 persen dari luas

daratan Kabupaten Konawe Kepulauan. Desa dengan wilayah terluas di Kecamatan

Wawonii Timuradalah Desa Lebo dengan luas 3.369 Ha atau 28.11 persen dari luas

Kecamatan Wawonii Timur Sedangkan desa dengan luas wilayah terkecil adalah

Kelurahan Munse. dengan luas 1.699 Ha atau 14,18 Persen dari luas Kecamatan

Wawonii Timur. Berikut tabel daftar nama desa dan luas wilayah.

Tabel 4.1 Nama Desa dan Luas Wilayah


No Desa/Kelurahan Luas Wilayah (Km ²)
1 Wakadawu 19,34
2 Tekonea 32,23
3 Lapulu -
4 Kelurahan Munse 16,99
5 Laywo Jaya -
6 Munse Indah 17,58
7 Lebo 33,69
8 Nanga -
9 Butuea -
10 Lembono -
11 Saburano -
(Sumber: BPS Kab. Konkep, Kecamatan Wawonii Timur dalam Angka 2
28

4.1.2 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk pada kecamatan Wawonii Timur terus meningkat pada setiap

tahun. Desa Wakadawu memiliki jumlah penduduk paling yang paling banyak dengan

jumlah 425 jiwa sedangkan Desa Butuea memiliki jumlah penduduk paling sedikit

diantara desa dan kelurahan di Kecamatan Wawonii Timur, jumlah penduduk di Desa

Butuea hanya berjumlah 108 jiwa saja. Berikut tabel jumlah penduduk di setiap desa

dan kelurahan di Kecamatan Wawonii Timur.

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Desa/Kelurahan Kecamataan Wawonii Timur


No Desa/Kelurahan Jumlah Penduduk
1 Wakadawu 425
2 Tokonea 455
3 Lapulu 181
4 Kelurahan Munsa 487
5 Laywo Jaya 185
6 Munse Indah 300
7 Lebo 295
8 Nanga 364
9 Butuea 108
10 Lembono 288
11 Saburano 187
Jumlah/Total 3,275
(Sumber: BPS Kab.Konkep, Kecamatan Wawonii Timur dalam Angka 2021)

4.2 Keadaan Sosial Budaya

4.2.1 Agama

Agama merupakan sebuah kepercayaan yang dianut oleh manusia. Agama

adalah sebuah ajaran atau sistem yang mengatur tata cara peribadatan kepadatuhan dan

hubungan antara manusia. Pada waktu Jepang menduduki Sulawesi Tenggara, korban

yang pertama adalah seorang Pendeta Zending yaitu Pendeta Goueloos. Pada saat itu

semua pendeta Zending adalah orang Belanda, sehingga semua ditangkap oleh Jepang.

Demikian pula Pastor Katholik di Muna. Dengan di tangkapnya pastor dan pendeta

25
29

tersebut, maka kedua agama itu mengalami kemunduran karena ketiadaan pemimpin.

Bahkan pendeta dan pastor tersebut dianggap pengikut Belanda dan cenderung untuk

selalu dicurigai oleh Jepang. Penganut-penganut Kristen mengalami intimidasi sebagai

orang Belanda. Kecurigaan Jepang terhadap orang Kristen semakin bertambah, bahkan

para penganut itu dilarang melakukan kebaktian atau sembahyang bersama

(Hayunira,2013).

Pada masa pendudukan Jepang di Wawonii, masyarakat Wawonii mayoritas

menganut agama islam. Jepang memberi kebebasan kepada rakyat untuk memeluk

agama islam. Bahkan Jepang bersikap mengambil hati terhadap pemuka-pemuka Islam.

Sampai Saat ini di Kecamatan Wawonii Timur semua penduduk beragama Islam. Hal

ini dapat dilihat dari tempat ibadah yang dapat dijumpai hanyalah masjid dan tidak ada

satupun tempat ibadah non muslim. Di bawah ini merupakan tabel tempat peribadatan

masyarakat Wawonii Timur.

Tabel 4.3 Jumlah Tempat Peribadatan Kecamatan Wawonii Timur


Jumlah Tempat Rumah Ibadah
No Desa/Kelurahan Masjid Gereja Pura
1 Wakadawu 1 - -
2 Tokonea 1 - -
3 Lapulu - - -
4 Kel. Munse - - -
5 Laywo Jaya 1 - -
6 Munse Indah - - -
7 Lebo - - -
8 Nanga - - -
9 Butuea - - -
10 Lembono 1 - -
30

11 Saburano - - -
Jumlah 4 0 0
(Sumber: BPS Kab. Konkep, Kecamatan Wawonii Timur dalam Angka 2021)

4.2.2 Pendidikan

Kecamatan Wawonii Timur banyak dibangun saranan pendidikan diantaran

Taman Kanak-Kanan (TK), Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah

Menengah Atas, pendirian sarana di Kecamatan Wawonii Timur untuk menunjang

peningkatan sumber daya manusia di Kecamatan tersebut. Berikut tabel jumlah sarana

pendidikan berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 4.4 Jumlah Gedung Sekolah Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Jumlah Gedung Sekolah Berdasarkan Tingkat Pendidkan


No Desa/Kelurahan
TK SD SMP SMA
1 Wakadawu - - - -
2 Tokonea - 1 1 -
3 Lapulu - - - -
4 Kel. Munse 1 1 - -
5 Laywo Jaya - 1 - -
6 Munse Indah - - 1 1
7 Lebo - 1 - -
8 Nanga 1 1 - -
9 Butuea - - - -
10 Lembono - - - -
11 Saburano - 1 - -
Jumlah 2 6 2 1
(Sumber: BPS Kab.Konkep, Kecamatan Wawonii Timur dalam Angka 2021)
31

4.3 Sejarah Pendudukan Jepang di Wawonii

Pendudukan Jepang di Pulau Wawonii tidak lepas dari sejarah panjang

terjadinya persitiwa perang dunia II. Pemantik lahirnya perang dunia II dapat di lihat

ketika Jerman melakukan invasi ke Polandia dalam kurun waktu tahun 1939 – 1945.

Tidak hanya terjadi diwilayah Eropa, percikan dari perang dunia II merembes sampai

kedua benua lainnya, yakni benua Asia dan Afrika. Di benua Asia sendiri salah satu

dampak dari pendudukan perang terjadi di Indoensia. Dimana pada benua ini yang

menjadi kekuatan besar adalah negara Jepang.

Jepang dianggap mampu menyamai kekuatan negara-negara di benua Eropa

dengan kekuatan militer hingga pada kemajuan peradabannya. Sehingga Jepang

dinobatkan sebagai negara pertama yang memiliki adidaya besar di benua Asia,

dibawah kekuasaan kaisar Hirohito. Akibatnya, negara Jepang ingin memperluas

wilayah kekuatannya pada wilayah Asia Tenggara dan Asia Timur. Menurut Hayunira

(2013), Motif dari pendudukan ini adalah untuk menjadikan daerah jajahan sebagai

pangkalan militer, memperoleh bahan mentah, pelampiasan harga pasar industri yang

tidak laku di wilayah Eropa, dan menjadikan negara jajahan sebagai migrasi penududuk

Jepang yang membludak di negara asal.

Pendudukan Jepang di Indonesia di sasar melalui titik-titik yang mengandung

kekayaan alam yang melimpah, seperti daerah-daerah yang dianggap memiliki

kandungan tambang yang melimpah. Misalnya daerah Kalimantan, Maluku dan

Sulawesi Tenggara. Pendudukan Jepang di wilayah Sulawesi Tenggara terutama

Kendari dimulai sejak tahun 24 Januari 1942 dengan menyasar dan menguasai

Lapangan Udara Kendari II. Hal ini dilakukan untuk kepentingan penyediaan bahan
32

baku industri di negara Jepang. Di wilayah Indonesia sasaran penting dari pendudukan

mereka berada pada dua wilayah, yakni wilayah Morotai dan wilayah Kendari. Kendari

dianggap sebagai sasaran wilayah strategis karena menurut strategi perang mereka

memiliki peran yang amat penting.

Kala itu, wilayah Indonesia termasuk Kendari menjadi kekuasaan kolonial

Belanda, akan tetapi ketika Jepang masuk ke Indonesia di Kendari mampu mengobrak

abrik pertahanan Belanda dan menguasai Indonesia sepenuhnya. Sehingga secara resmi

melalui penyerahan simbolis kekuasaan Belanda terhadap Kendari dilimpahkan kepada

Jepang yang bertempat di Lapangan Mongonsidi Kendari. Setelah wilayah kekuasaan

Kendari di dapuk oleh Jepang, dengan sekejap wilayah Kendari di rombak dan di

perbaiki sebagai pusat wilayah strategis penyimanan logistik alat tempur perang.

Kemudian setelah wilayah Kendari berhasil diperbaiki dari embel-embel pembangunan

kolonial Belanda, maka Jepang mulai melirik pulau-pulau kecil yang berada di sekitar

wilayah Kendari. Hal ini dilakukan sebagai upaya dari pertahanan pendukung yang

meliputi pulau Muna, Buton, dan juga Wawonii.

Pulau Wawonii merupakan sebuah wilayah yang berdekatan dengan Kendari.

Menurut data dari Allied Geographical Section (1945). Di sisi lain, pulau ini dianggap

sebagai jalur pelayaran nasional dan menjadi jalur pelabuhan yang mana selama musim

kemarau. Pertama kali pendudukan Jepang di pulau Wawonii di mulai dari sebuah desa

bernama Munse (Eriani, 2018). Menurut Hayat (2016), Jepang menguasai Wawonii

karena sebagai pusat pemantauan dan basis pertahanan dari gerak gerik sekutu dari jalur

laut maupun udara. Kemudian di daerah Munse, Jepang mulai membangun sarana gua

pertahanan, menara, rumah, jalan, dan lain-lain.


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Tinggalan Arkeologis di Kelurahan Munse Kabupaten Konawe Kepulauan

Lokasi penelitian penulis, berada di Kelurahan Munse Kecamatan Wawonii

Timur Kabupaten Konawe Kepulauan. Kelurahan Munse banyak menyimpan tinggalan

kolonial Jepang, pembangunan sarana dan prasarana militer Jepang bertujuan untuk

menunjang aktivitas kemiliteran seperti bak air, lubang dudukan mesin, gua Jepang,

roda mesin, menara pengintai, dan struktur bangunan. Secara umum, Letak situs ini

berada di daerah dataran tinggi dan daerah berbatu, banyak dari tinggalan tidak terawat

bahkan sebagian besar sudah rusak dan tertimbun dengan tanah, di area kawasan situs

banyak terdapat pohon tumbang dan bekas penebangan pohon pleh masyarakat

setempat.

Untuk mencapai lokasi situs dibutuhkan waktu 30-40 menit karena medan yang

cukup susah. Kelurahan Munse memiliki kekayaan kekayaan sumber daya arkeologi

masa pendudukan Jepang yang terdapat hampir diseluruh Kelurahan Munse namun

letaknya yang jauh dari perumahan warga serta medan yang berat untuk menuju situs.

Keberadaan sumber daya arkeologi sebagian besar berorientasi pada sisi utara dengan

jalur yang cukup ekstrim dengan melewati perbukutan.

Untuk sumberdaya arkeologi sendiri yang merupakan hasil peninggalan masa

Kependudukan Jepang di kawasan masih tersisa hingga saat ini adalah bangunan

pertahanan seperti menara pengintai, roda mesin, dan struktur bangunan.Selain itu

banyak temuan arkeologis yang tidak bisa teridentifikasi, karena pelapukan yang terlalu

33
34

lama yang diakibatkan oleh faktor alam sehingga membuat banyak tinggalan susah

untuk diketahui identitasnya.

Gambar 5.1 Sebaran Tinggalan Bangunan Jepang


(Sumber: Nur Achmad Hidayatulah, 2022)

Pembangunan bangunan pertahanan oleh Jepang untuk menopang mereka dalam

melakukan agresi militer serta untuk mempersiapkan diri jika ada perlawanan dari

musuh sehingga bangunan-bangunan pertahanan lebih banyak terbuat dari beton yang

sangat tebal lapisan semennya. Jenis-jenis bangunan pertahanan berupa menara

pengintai, struktur bangunan dan lain-lain. Berikut tinggalan arkeologis di Kelurahan

Munse.

5.1.1 Terowongan Jepang

Tinggalan arkeologi yang menjadi bukti fisik kependudukan jepang di pulau

wawonii tepatnya di Kelurahan Munse yaitu Terowongan dengan kondisi yang sebagian

dalam terowongan telah tertutup oleh reruntuhan tanah. Terowangan Jepang ini di
35

temukan pada titik koordinat 4° 06’ 04,0” LS dan 123° 13’ 58.8” BT berada pada

ketinggian 154 Mdpl. Dari hasil identifikasi Terowongan ini setelah dilakukan

pengukuran mempuyai ukuran pada bagian mulut terowongan memiliki tinggi 1,35

meter, panjang 6,28 meter, lebar mulut 3 meter, sedangkan pada bagian dalam

terowongan memiliki lebar 2,44 meter, serta tinggi pada bagian dalam terowongan 0,52

meter, kemudian yang menjadi panjang terowongan ini yaitu 15 meter. Tinggalan

Terowongan ini terletak dalam kawasan hutan rimbun tepatnya dibawah lereng bukit

yang berdekatan dengan kawasan perkebunan masyarakat sekitar, selanjutnya dapat

dilihat pada Gambar 5.2.

Gambar 5.2 Terowongan Jepang


(Sumber: La Ode Imran, 2020)
5.1.2 Roda

Tinggalan arkeologi berikutnya yang ditemukan yaitu Roda. Temuan Roda

tersebut terletak tidak jauh dari terowongan dan struktur bangunan lainnya, tinggalan

roda ini ditemukan pada koordinat 4° 06’ 04,2” LS dan 123° 13’ 58,1” BT dengan

kondisi yang tidak terawat. Setelah dilakukan identifikasi Roda yang ditemukan dengan

jumlah 2 buah yang masing-masing memiliki ukuran yang sama pada bagian sisi roda
36

Memiliki tebal yang berukuran 10,5 cm dengan diameter roda 1.10 meter, pada

bagian roda terdapat lubang kecil di bagian dalam tengah roda adapun lubang kecil

tersebut yang terdapat pada sisi kiri dan kanan roda memiliki ukuran 5 cm. Roda ini

terbuat dari material besi dan memiliki lubang yang tepat berada ditengah roda. Posisi

roda ini sudah tidak pada posisi awal ditemukan karena roda pernah dipindakan warga.

Sebagian roda sudah tertimbun tanah, selanjutnya dapat dilihat Gambar 5.3.

Gambar 5.3 Roda


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

5.1.3 Struktur Bangunan I

Struktur bangunan I berada koordinat 4° 05’ 58,3 LS dan 123° 13’ 59,2” BT.

Struktur bangunan ini memiliki ukuran lebar 3,03 meter dan panjang 3,49 meter, pada

struktur bangunan terdapat struktur fondasi yang terhubung dengan struktur, struktur

fondasi ini memiliki ukuran 2,25 meter. Sebagian struktur bangunan sudah teertimbun

tanah dan ditumbuhi rumput serta akar-akar pohon yang menjalar (lihat gambar 5.4) dan

sebelum melakukan pengukuran kami membersikanya telebih dahulu.


37

Gambar 5.4 Struktur Bangunan I


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

5.1.4 Struktur Bangunan II

Tinggalan arkeologi bangsa Jepang yang ditemukan yaitu Struktur bangunan

yang terletak di kawasan hutan belantara yang letaknya di atas bukit. Struktur bangunan

ini berada pada titik koodinat 4° 6’ 04,4” LS dan 123° 19’ 58,2” BT dengan ketinggian

196 Mdpl. Struktur Bangunan yang merupakan bekas dudukan/landasan dari menara

pengintai, struktur bangunan ini berbentuk persegi delapan dengan ukuran setiap sisi

2,28 meter, tinggi bangunan dari permukaan memiliki ukuran 47 cm pada bagian barat

terdapat parit yang berukuran 1,79 meter panjang dan 33 meter lebar. Di sekitaran

struktur bangunan ditemukan pelat besi dengan kondisi yang tidak terawat memiliki

karatan pada bagian-bagian permukaan besi, pelat besi ini berbentuk persegi delapan

dengan jarak antara sisi yang satu dengan sisi yang lainya yaitu 86 cm. Adapun kondisi

struktur di bagian permukaan bagian atas banyak dipenuhi dedaunan kering serta lumut

pada bagian struktur lainnya, sedangakan untuk lingkungan sekitar struktur terdapat

ranting pohon dan pohon tumbang, lihat gambar 5.5

.
38

Gambar 5.5 Struktur Bangunan II


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

Gambar 5.6 Tampak Atas Struktur Bangunan II


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

5.1.5 Bak Air

Bak ini terletak pada koordinat 4° 06’ 04,1” LS dan 123° 13’ 58’3” BT dengan

ketinggian 157 Mdpl. Bak ini memiliki ukuran panjang 5,44 meter dan lebar 5,20 meter,

dan tebal 16 cm serta tinggi dari permukaan tanah 1,25 meter. Dalam bak terdapat satu

tembok pemisah. Sisi kanan memiliki ukuran panjang 3,03 meter sedangkan untuk sisi

kanan 3,01 meter. Bak yang difungsikan untuk penampungan air pada masa

kependudukan jepang yang pada saat ditemukan kondisinya sangat tidak terawat

ditambah dengan kondisi bak yang sudah tidak lagi di manfaatkan sehingga pada bagian
39

dinding luar bak di tumbuhi lumut dan bagian dalam bak yang terdapat

genangan air yang berasal dari air hujan dan ranting pohon/pohon tumbang serta

dedaunan kering, pada bagian struktur bangunan terdapat kerusakan berupa retakan

yang disebabkan pohon tumbang dan pergeseran tanah, selanjutnya dapat dilihat gambar

5.7.

Gambar 5.7 Bak Air


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

Gambar 5.8 Tampak Atas dan Tampak Samping Bak air


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

5.1.6 Struktur Bangunan III

Struktur ini terletak pada koordinat 4° 06’ 04,0” LS dan 123°13’ 58,4” BT

dengan ketinggian 155 Mdpl. Struktur ini memiliki ukuran panjang 1,41 meter dan lebar

2,97 meter. Material struktur ini terbuat dari campuran pasir dan batu, struktur ini
40

benbentuk persegi panjang dan terdiri atas dua bagian yaitu bagian dalam dan bagian

atas, bagian atas diduga sebagai penutup ruang bagian dalam, pada struktur bangunan

ini terdapat dua lubang dengan masing-masing ukuran diameter 52 cm dan antara

lubang memiliki jarak 2.90 meter. Pada struktur juga terdapat 5 lubang yang berukuran

kecil yang terbuat dari besi dan memiliki 6 baut kecil namun 2 baut telah mengalami

kerusakan. Masing-masing lubang ini meiliki ukuran diameter 5 cm. Struktur ini

memiliki dua ruangan yang terletak dibawah tanah, kedua ruangan ini memiliki ukuran

yang sama yaitu panjang 1,27 meter dan lebar 1 meter serta tinggi 1 meter. Kondisi

bangunan ini sebagian besar masih utuh. Pada bagian atas ditumbuhi lumut dan akar-

akar pohon yang menjalar. Sedangkan di dalam ruang sebagian telah tertimbun tanah

dan terdapat banyak dedaunan kering, ranting-ranting pohon serta akar-akar pohon yang

menjalar, lihat gambar 5.9.

Gambar 5.9 Kondisi struktur bangunan tampak atas


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

5.1.7 Struktur Bangunan IV

Dari penampakan struktur bangunan diduga merupakan bekas struktur bangunan

rumah, hal ini dapat dilihat dari pembagian ruang yang tampak jelas pada struktur (lihat

foto 5.10). Struktur bangunan ini memiliki ukuran panjang 7.50 meter, tinggi struktur
41

40 cm, dan tebal 15 cm.Pada ruangan dalam terdapat ukuran panjang 7,35 meter lebar

4.30 meter. Ruangan kedua memiliki ukuran panjang 4.30 meter dan lebar 6,35 meter.

Ruangan tiga memiliki ukuran panjang 2,60 meter dan lebar 1,25 meter. Ruangan empat

memiliki ukuran panjang 2,55 meter dan lebar 3,55 meter.

Struktur sudah banyak ditumbuhi pohon dan sampah sisa aktivitas manusia di

dalam dan di luar struktur ini. Letak struktur ini tidak jauh dari pemukiman warga dan

jalan raya, pada sudut kanan bangunan terdapat tumpukan batu yang diduga merupakan

sisa bongkahan dari struktur ini, lihat gambar 5.10.

Gambar 5.10 Tampak Atas dan Tampak Samping Bak air


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

5.1.8 Struktur Bangunan V

Bangunan ini berbentuk persegi dan memiliki satu pintu masuk pada bagian

Utara. Ukuran bangunan sama dengan bangunan 1. Kondisi bangunan sebagian besar

telah rusak. Pada sisi bagian Utara, Selatan dan Timur sebagian besar dinding bangunan

telah roboh. Di dalam bangunan terdiri atas 2 bak dan 1 tungku. Ukuran bak 1 panjang

1,7 meter, lebar 83 cm dan tinggi 67 cm. Ukuran bak dua yaitu panjang 1,4 meter, lebar

1meter dan tinggi 60 cm. Pada bagian Utara dinding kedua bak telah rusak. Kondisi
42

dalam bak ditumbuhi akar pohon yang menjalar dan sebagain telah tertimbun tanah. Di

sebelah bak dua terdapat bangunan yang diduga sebagai tungku, dengan ukuran panjang

85 cm dan lebar 90 cm. Pada banguna ini terdapat 3 lubang kecil yang terletak pada sisi

Selatan, Utara dan Timur. Diameter lubang 20 cm. Pada bagian tengah terdapat benda

yang berbentuk lingkaran yang terbuat dari besi dengan ukuran tinggi benda 50 cm dan

diameter 1,6 meter. Kondisi dasar benda telah rusak. Diduga benda tersebut digunakan

sebagai wadah untuk memasak. Kondisi di sekitar bangunan telah ditumbuhi rumput

dan pepohonan serta akar-akar pohon yang menjalar, lihat gambar 5.11.

Gambar 5.11 Struktur Bangunan V


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

5.1.9 Struktur Tiang Penyangga

Tinggalan arkeologi bangsa Jepang yang ada di Kelurahan Munse yaitu Struktur

tiang penyangga. Struktur ini terletak di bukit sekitaran kebun warga yang berada pada

titik koordinat 04° 06’ 01,7” LS dan 123°13’ 57,2” BT dengan ketinggian 140 Mdpl.
43

Struktur bangunan yang memiliki panjang 16,70 meter dan juga lebar 14 meter serta

tinggi 1,10 meter. Struktur ini mempunyai dinding beton pada setiap sisi yang

berbentuk L, adapun panjang dinding beton yang berada di sebelah utara yaitu 2,25

meter sedangkan dinding beton yang tepatnya berada di sebelah barat memiliki panjang

1,57 meter dengan setiap dinding beton memiliki tebal 15 cm. pada setiap sisi di

hubungkan dengan tiang penyangga berjumlah 73 tiang, setiap panjang struktur terdapat

tiap penyangga yang berjumlah 7 tiang sedangkan bagian lebar struktur terdapat tiang

penyangga dengan jumlah 5 tiang. Kondisi tiang penyangga banyak mengalami

kerusakan seperti mengalami keratakan. Pada bagian tengah dan sekitar struktur telah

ditumbuhi pohon kelapa, pala, pohon bambu dan rumput-rumput lainya, lihat gambar

5.12.

Gambar 5.12 Struktur Tiang Penyangga


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

Sumber daya arkeologi yang terdapat di Kawasan Kelurahan Munse terhitung

sejak semenjak penelitian awal yang dilakukan oleh Eriani S.Sos. tahun 2018.

Tinggalan Jepang yang paling dominan ditemukan adalah struktur bangunan dengan 10

temuan di Kelurahan Munse. Selain struktur bangunan tinggalan lain yang ditemukan

adalah roda besi dan sisa bangunan yang bermaterial besi.


44

5.2 Nilai Penting Tinggalan Bangunan Jepang di Kelurahan Munse Kabupaten

Konawe Kepulauan

Sumber Daya Budaya bangunan peninggalan perang dunia II memiliki potensi

dalam konteks penelitian dan pengembangan ilmu arkeologi, selain itu juga dapat

dilakukan pemanfaatan dan pengembangan cagar budaya. Pada alur pengelolaan

tinggalan cagar budaya tentunya melewati tahapan penentuan nilai penting, pembuatan

kebijakan pengelolaan, pembuatan strategi pengelolaan dan membuat sistim evaluasi

(Pearson dan Sullivan 1995).

Analisis nilai penting sumberdaya arkeologi di Kelurahan Munse berlandaskan

pada ketentuan Undang-Undang No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Undang-

Undang No.11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya merupakan landasan hukum dalam

menentukan nilai penting terhadap sumberdaya arkeologi. Penentuan nilai penting bagi

sumberdaya arkeologi ada beberapa kategori yaitu nilai penting sejarah, kebudayaan,

ilmu pengetahuan, pendidikan dan agama.

Dalam penelitian ini penulis tidak mencamtumkan nilai penting agama karena

menurut penulis tinggalan arkeologis yang ada di Kelurahan Munse tidak terkait dengan

penyebaran agama atau agama tertentu yang berkembang pada masa pendudukan jepang

di Kelurahan Munse, untuk menggati nilai penting agama yang tidak dicatumkan dalam

penelitian ini, penulis berinisiatif untuk menambahkan nilai penting ekonomis, hal ini

dilatar belakangi dari lokasi tinggalan yang berada di perbukitan dalam memiliki

pemandangan yang sangat indah apabila kita memandang dari atas bukit, dari itulah

tinggalan ini bisa dimanfaatakan sebagai tempat wisata oleh pemerintah setempat.
45

Dari uraian diatas, maka dalam penelitian ini kriteria nilai penting yang

digunakan adalah nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan pendidikan

dan ekonomi hal ini merujuk pada UU Nomor 11 Tahun 2010 terdapat pasal 5. Nilai

penting sejarah apabila sumberdaya arkeologi tersebut dapat menjadi bukti peristiwa

yang terjadi pada masa Prasejarah dan sejarah, berkaitan erat dengan tokoh-tokoh

sejarah. Nilai penting ilmu pengetahuan apabila sumberdaya arkeologi tersebut

memiliki potensi untuk diteliti dalam menjawab permasalahan bidang keilmuan

tertentu.Dalam hal ini, bukan hanya ilmu arkeologi saja, tetapi juga mencangkup

disiplin ilmu yang terkait di dalamnya seperti sejarah, antropologi, arsitektur, dan lain-

lain. Nilai penting kebudayaan apabila sumberdaya arkeologi mendorong proses

penciptaan budaya, atau menjadi jati diri (cultural identity) bangsa atau komunitas

tertentu. Misalnya saja nilai etnik yang memberikan pemahaman latar belakang

kehidupan sosial yang merupakan jati diri suatu bangsa atau komunitas tertentu.Nilai

estetik, mempunyai kandungan unsur-unsur keindahan baik yang terkait dengan seni

rupa, seni hias, seni bangun, seni suara maupun bentuk-bentuk kesenian lain, termasuk

juga keserasian antara bentang alam dan karya budaya. Nilai penting pendidikan,

ketika keberadaan sumberdaya arkeologi tersebut dapat berpartisipasi memberikan

edukasi, yang dapat berperan memberikan sarana pendidikan terhadap masyarakat

tentang masa lampau serta berperan dalam membangun jati diri bangsa dan kesadaran

masyarakat terhadap sumberdaya arkeologi. Nilai penting ekonomi, ketika sumberdaya

arkeologi tersebut memiliki potensi yang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi

pemerintah dan masyarakat.


46

Adapun penjelasan tentang penentuan nilai penting yang terkandung dalam

sumber daya arkeologi di Kelurahan Munse Kecamatan Wawonii Timur Kabupaten

Konawe Kepulauan adalah sebagai berikut:

5.3.1 Nilai Penting Sejarah

Kawasan sumber daya arkeologi yang terletak di Kelurahan Munse, Kecamatan

Wawonii Timur, Kabupaten Konawe Kepulauan yang memiliki muatan nilai penting

sejarah. Hal ini tidak pernah terlepaas dengan masuknya bangsa kolonial di daratan

Kendari pada masa perang dunia ke II. Penyerangan terhadap Kendari di lakukan

setelah jepang menguasai Manado secara intensif pada tanggal 12 januari 1942,

kemudian pada tanggal 21 januari 1942, gabungan pasukan militer Angkatan Darat dan

Laut bertolak dari pelabuhan Bangka menuju kendari yang dipimpin oleh Laksaman

Kubo Kyuji. Pada tanggal 24 januari 1942 jepang berhasil menaklukan Belanda dan

wilayah kendari menjadi daerah kekuasaan jepang, setelah membenahi kota kendari

kemudian jepang melirik pulau-pulau kecil yang ada di Sulawesi Tenggara dan

kemudian memanfaatkan pulau-pulau kecil tersebut sebagai basis pertahanan

diantaranya Pulau Muna, Buton, Pulau Wawonii.

Pada masa kependudukan, Tentara Jepang berhasil mendaratkan kapal

perangnya pertama kali di pulau Wawonii pada tahun 1942 dengan mendaratkan kapal

tersebut di salah satu desa yang bernama Munse dikarenakan letaknya yang sangat dekat

dengan Teluk Kendari dan Staring Baii Ditambah lagi Perairan laut kawasan Timur dan

Barat Pulau Wawonii dilalui jalur pelayaran nasional dan merupakan satu-satunya

tempat berlabuh yang direkomendasikan cukup aman selama musim kemarau terutama

kawasan bagian Timur (Allied Geographical Section 1945). Pasukan jepang sampai ke
47

pulau Wawonii menggunakan kapal laut, Jepang sendiri menguasai Wawonii dengan

tujuan menjadikan wawonii sebagai salah satu basis pertahanan dan menjadikanya

sebagai daerah pemantau pergerakan dari tentara sekutu dari udara dan laut (Hayat,

2016). Hal yang menjadi ketertarikan jepang dalam memilih pulau Wawonii sebagai

tempat untuk mendirikan sistim pertahanan karena lokasinya yang strategis sehingga

mendukung untuk dijadikan sebagi salah satu daerah pertahanan dan daerah pendukung

pemantau pergerakan kapal laut di Area Staring Baii Teluk Kendari dan area jalur

pelayaran nasional.

Jepang dalam menyusun strategi pertahanan sudah menyiapkan berbagai cara,

salah satunya dengan membangun sebuah bangunan pertahanan di kawasan hutan

Munse berupa gua pertahanan, menara, rumah, jalan, dll. Dalam melakukan

pembangunan tentara jepang mengandalkan tenaga rakyat untuk kepentingan perang

jepang. bangunan bersejarah akan memiliki nilai penting sejarah apabila bangunan

tersebut merupakan bangunan awal pada tempat tersebut kemudian memiliki keterkaitan

pada suatu peristiwa.

Dari hasil pemaparan sejarah masuknya jepang di wilayah Kepulauan Wawonii

serta dibuktikan dengan adanya tinggalan arkeologis pada masa kependudukan Jepang

seperti terowongan sebagai tempat berlindung dari serangan musuh kemudian beberapa

temuan struktur bangunan yang digunakan bangsa jepang, sehinggahal tersebut dapat

menjelaskan bahwa pulau Wawonii tepatnya di KelurahanMunse mempunyai nilai

sejarah yang mewakili suatu peristiwa serta sebagai bukti bahwa tentara Jepang pernah

melakukan kegiatan kemiliteran dengan membangun basis pertahanan di Kelurahan

Munse, hal tersebut kemudian diperkuat dengan pendapat para ahli mengenai
48

pentingnya bangunan bersejarah apabila bangunan yang memiliki nilai penting sejarah

merupakan bangunan awal yang berdiri di kawasan tersebut dan mempunyai alur

peristiwa. selain itu Munse memiliki sumber daya arkeologi yang menjadi bukti sejarah

panjang pasukan Jepang dalam menguasai wilayah tersebut dengan membangun sistim

pertahanan untuk berlindung dari serangan musuh, tinggalan bangunan Jepang yang ada

di Kelurahan Munse merupakan sebuah warisan budaya yang dapat dilindungi dan

dilestarikan, adapun tinggalan arkeologis yang terkandung di wilayah tersebut berupa

struktur bangunan, menara pengintai, terowongan, sebagai bukti sejarah masuknya

Jepang di Kelurahan Munse.

5.3.2 Nilai Penting Ilmu Pengetahuan

Tanudirjo mengungkapkan nilai ilmu pengetahuan dapat terpenuhi apabila

sumber daya budaya tersebut memiliki potensi untuk di teliti lebih lanjut dalam rangka

menjawab masalah-masalah dalam bidang keilmuan tertentu (Tanudirjo,2004).suatu

tinggalan cagar budaya harus memiliki Nilai penting ilmu pengetahuan. salah satunya

tinggalan cagar budaya yang ada di Kelurahan Munse yang mempunyai Nilai ilmu

pengetahuan, berangkat dari hal tersebut tinggalan arkeologis yang ada di wilayah

Kelurahan Munse dapat dijadikan sebagai media pembelajaran serta objek penelitian

yang bisa dilakukan secara berkala sesuai dengan kebutuhan pada suatu penelitian,

terbukti dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 2018, hal

ini dapat membuktikan bahwa tinggalan cagar budaya yang ada di Kelurahan Munse

mengandung nilai ilmu pengetahuan kemudian dapat dilihat dari segi ilmu lain seperti

segi ilmu arkeologi, sejarah, teknik sipil.


49

Tinggalan arkeologis yang ada di Kelurahan Munse dapat menjadi suatu

pembelajaran dalam dunia pendidikan, pada kaum pelajar yang bisa menjadi tambahan

dalam mengenai ilmu pengetahuan terutama mengenai sejarah masuknya penjajahan

jepang di kepulauan Wawonii tepatnya di Kelurahan Munse dengan adanya beberapa

bukti fisik yang dapat menjadi sarana pendidikan, sehingga pelajar dapat memberikan

pemahaman terhadap masyarakat mengenai sejarah masuknya penjajah jepang di

Kepulauan Wawonii dan pentingnya menjaga tinggalan budaya sebagai identitas dan

jati diri bangsa. Pada tinggalan arkeologis seperti terowongan dan struktur bangunan

lainya

Apabila dilihat dari ranahkeilmuan arkeologi, tinggalan-tingalan arkeologi yang

di wilayah Munse memiliki tinggalan arkeologis yang sangat beragam seperti

terowongan, struktur bangunan, menara pengintai yang merupakan peninggalan bangsa

jepang. Berdasarkan sumber data pada tinggalan arkeologi tersebut, bahwa dapat

menjadikan tinggalan arkeologis yang ada di Kelurahan Munse dapat dijadikan sebagai

salah satu objek kajian dalam bidang ilmu arkeologi, hal ini dibuktikan dengan adanya

penelitian Skripsi sebagai salah satu syarat tugas akhir oleh Mahasiswa pada Jurusan

Arkeologidi Universitas Halu Oleo (UHO) pada tahun 2018 yang memanfaatkan

kawasan tinggalan Jepang tersebut sebagai lokasi penelitian.

Pada ranahkeilmuan Teknik Sipil, tinggalan arkeologis seperti sturktur

bangunan, fondasi, bak air dapat diteliti lebih lanjut mengenai sturktur sebuah

bangunan. Ilmu Teknik sipil yang merupakan salah satu cabang ilmu Teknik yang

mempelajari bagaimana caranya merancang, membangun dan memelihara, dalam

Teknik Sipil terdapat beberapa cabang ilmu seperti Teknik Struktur yang mempelajari
50

masalah struktural bangunan, jalan, jembatan, terowongan, kemudian Geoteknik yang

mempelajari struktur dan sifat tanah sebagai penopang bangunan (fondasi) ataupun

material bangunan.Apabila dipandang dari segi ilmu tersebut bahwa kawasan tinggalan

jepang tersebut dapat menjadi tempat perbandingan kemajuan ilmu pengetahuan

manusia masa lalu mengenai ilmu Teknik Sipil dengan melihat keberagaman struktur

bangunan yang dibangun dengan memperhatikan lokasi pembangunan, kekuatan

struktur bangunan yang berkaitan dengan pemilihan bahan baku untuk pembangunan

sistim pertahanan.

Pada ranah keilmuan sejarah, tinggalan arkeologis yang ada di kecamatan munse

seperti terowongan, roda gila, menara pengintai dapat menjadi bukti fisik sehingga

mampu memberikan penjelasan mengenai kegiatan yang dilakukan oleh bangsa jepang

di daerah tersebut. Tinggalan-tinggalan tersebut juga mampu menjelaskan masuknya

bangsa jepang di wilayah Sulawesi Tenggara khususnya daerah Wawonii yang

membawa pasukan untuk membangun sistim pertahanan di Kelurahan Munse,

Sedangkan dalam segi ilmu perang (Battle) keberadaan tinggalan arkeologis tersebut

yang merupakan bangunan pertahanan pasukan tentara jepang pada masa kependudukan

jepang di Wawonii, hal tersebut dapat memberikan gambaran mengenai pembangunan

sistim pertahanan yang digunakan tentara jepang dalam menghadapi musuhseperti

pembangunan menara pengintai yang mampu di fungsikan sebagai tempat untuk

melakukan pengintaian terhadap pergerakan musuh, terowongan sebagai tempat untuk

melakukan perlindungan terhadap penyerangan, pembangunan atau pembuatan sistim

pertahanan tersebut sebagai strategi dalam peperangan.


51

5.3.3 Nilai Penting Kebudayaan

Kandungan Nilai penting kebudayaan pada sumber daya budaya tersebut mampu

mewakili pencapaian budaya tertentu, mendorong proses penciptaan budaya atau

menjadi jati diri (Cultural Identity) bangsa atau komunitas tertentu, terdapat tiga aspek

yang menjadi tolak ukur pada Nilai penting kebudayaan yaitu Etnik, Estetika, Publik.

Sumber daya budaya yang ada di Kelurahan Munse mempunyai nilai penting

kebudayaan yang mengandung Estetika sebagai unsur keindahan baik yang terkait

dengan seni rupa, seni hias, seni bangun, seni suara maupun bentuk-bentuk kesenian

lain, termasuk juga keserasian antara bentang alam dan karya budaya. Nilai Estetika

pada tinggalan Jepang yang ada di Kelurahan Munse dapat dilihat dari seni bangunan

yang digunakan sebagai sistim pertahanan, adanya keindahan yang tercipta pada

bangunan terlihat dari struktur bangunan yang tidak memiliki aspek seni yang cukup

banyak namun dapat memperlihatkan suatu keindahan dalam pembangunan sistim

pertahanan.

Kemudian dari aspek Teknologi, Sumber Daya Budaya dapat memperlihatkan

sebuah karya Teknologi yang tercipta di masa kependudukan Jepang (Perang Dunia II).

Hal tersebut dapat dilihat dari tinggalan arkeologis berupa temuan Roda gila dan

dynamo sehingga temuan tersebut dapat mencerminkan Teknologi yang tercipta pada

masa itu sebagai hasil pencapaian teknologi.

5.3.4 Nilai Penting Ekonomi

Pada konsep (Cultural Resources Management CRM) di artikan terbatas pada

upaya pelestarian seperti yang terjadi pada masa sekarang, dalam kajian CRM
52

merupakan suatu kajian yang mampu memberikan pehaman terhadap semua pihak yang

memiliki kepentingan dalam pengelolaan sumber daya budaya, namun dalam bidang

arkeologi sumber daya budaya tidak hanya sebatas pelestarian dan penelitian akan tetapi

bisa dilakukan pemanfaatan dan pengembangan (Tanudirjo, 1998).

Benda cagar budaya yang ada di Kelurahan Munse tidak hanya memiliki Nilai

penting Ilmu pengetahuan, namun tinggalan cagar budaya ini mampu memberikan

manfaat bagi khalayak masyarakat yang akan berdampak pada proses perputaran

ekonomi yang ada di sekitaran kawasan cagar budaya, meskipun tinggalan cagar budaya

yang ada di Kelurahan Munse belum ada sentuhan langsung dari pemerintah yang ada

di Konawe Kepulauan, akan tetapi bila di pandang dari nilai penting ekonomis tinggalan

arkeologis ini mampu memberikan nilai jual apabila mampu dimanfaatkan menjadi

tempat wisata budaya agar mampu mendongkrak jumlah pendapatan daerah dari aspek

kepariwisataan sehingga mampu menimbulkan efek yang cukup signifikan terhadap

perputaran ekonomi yang ada di masyarakat terutama yang berada langsung di sekitaran

situs cagar budaya.

Dalam proses pemanfaatan dan pengembangan sumber daya budaya tentu hal

yang mampu mendongkrak dan meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat, hal

ini dapat dilakukan dengan melibatkan masyarak secara langsung dalam perlindungan,

pelestarian, pemanfaatan dan pengembangan dengan menjadikan sumber daya budaya

yang ada di Kelurahan Munse sebagai objek wisata budaya.


53

5.4 Upaya Pelestarian Tinggalan Bangunan Jepang di Kelurahan Munse

Kabupaten Konawe Kepulauan

Masalah pelestarian merupakan fenomena fisik yang bersifat budaya, berkaitan

dengan budaya material dan lingkungan binaan yang masih berlangsung atau berfungsi

sampai sekarang, maka conservation archaeology lebih cenderung dilakukan terhadap

budaya bendawi dan lingkungan binaan yang telah mati (Yuwono, 1982). Pada

tinggalan arkeologis yang ada di Kelurahan Munse yaitu bangunan peninggalan Jepang

belum dilakukan kegiatan pelestarian baik itu yang dilakukan oleh pemerintah maupun

masyarakat.

Dalam upaya pelestarian tinggalan Jepang yang ada di Kelurahan Munse perlu

dilakukan untuk tetap menghindarkan sumberdaya arkeologi tersebut dari kerusakan

baik dari pengaruh alam maupun manusia itu sendiri. sumberdaya budaya yang ada di

Kelurahan Munse harus butuh perhatian penuh serta mengoptimalkan kegiatan

pelestarian, dikarenakan sumber daya tersebut telah mampu menunjukan nilai-nilai

penting yang terkandung di dalamnya sebagai salah satu prosedur dalam upaya

pelestarian.

Sehubungan dengan itu maka penulis memberikan penawaran terhadap upaya

pelestarian yang akan dilakukan di Kelurahan Munse sebagai refleksi terhadap semua

pihak yang terkait dengan Warisan Budaya, adapun langkah kongkrit yang perlu

dilakukan dalam upaya tersebut maka tinggalan Jepang yang ada di Kelurahan Munse

sesuai dengan pengertian pelestarian berdasarkan UU No. 11 tahun 2010 yaitu dengan

melakukan kegiatan perlindungan baik itu perlindungan fisik dan perlindungan hukum

terhadap benda cagar budaya sesuai dengan Hakikat pelestarian sebagai upaya agar
54

suatu cagar budaya tetap kembali pada konteks budaya yang masih hidup, perlindungan

fisik dilakukan dengan kegiatan konservasi dan perlindungan hukum dilakukan dengan

cara penetapan secara hukum. Adapun tahapan pelestarian yang dilakukan pada

tinggalan sumberdaya arkeologi yang ada di Kelurahan Munse adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum pada sumber daya arkeologi yang akan diterapakan pada

Tinggalan Bangunan Jepang yang ada di Kelurahaan Munse harus sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan tujuan agar sumber daya arkeologi

tersebut dapat terhindar dari kerusakan yang diakibatkan oleh tindakan atau perbuatan

manusia.

Bila mengacu pada UU No 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya menjelaskan

cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa, dalam hal ini untuk melestarikan

cagar budaya, Negara bertanggung jawab dalam pengaturan perlindungan,

pengembangan dan pemanfaatan. Sehubungan dengan itu beberapa Stakeholder dapat

berperan penting dalam segala tindakan atau upaya pelesterian pada tinggalan cagar

budaya yang ada di Kelurahan Munse, pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab.

Konawe Kepulauan mempunyai tugas dan peran sebagai salah satu Stakeholder yang

memiliki kaitanya dengan upaya pelestarian.

Berdasarkan penjelasan dari Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan, dari

hasil wawancara mengenai upaya yang akan dilakukan Dinas dalam pelestarian cagar

budaya, Kadis menjelaskan bahwa sejauh ini langkah yang dilakukan dalam upaya

pelestariaan tinggalan budaya yang ada di Konawe Kepulauan, bahwa dengan adanya

beberapa tinggalan budaya yang belum dinyatakan sebagai Situs Cagar Budaya
55

termasuk tinggalan Kolonial Jepang yang ada di Kelurahan Munse, saat ditemui kepala

Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan bapak Drs. Muhammad Yani memberikan

penjelasan kepada penulis, adapun hasil wawancara beliau menyampaikan :

“Pemerintah Kab. Konawe Kepulauan telah memberikan arahan kepada kami untuk
melakukan pendataan terhadap tinggalan budaya yang ada di beberapa kecamatan di
Kab. Konawe Kepulauan termaksud yang ada di Kelurahan Munse, kami sudah
melakukan pendataan pada tahun 2015, yang kemudian bagaimana tinggalan Kolonial
Jepang ini bisa di masukan sebagai situs cagar budaya nasional, ini merupakan salah
satu langkah awal yang kami lakukan dalam upaya menjaga situs budaya tersebut agar
tidak rusak”.(Hasil Wawancara Kadis Pendidikan Dan Kebudayaan, Tahun 2020).

Dari hasil wawancara bersama kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab.

Konawe Kepulauan mengenai tinggalan bangunan Jepang yang ada di Kelurahan

Munse, bahwa sebagai langkah dalam mengupayakan pelestarian maka pihak

Stakeholder ini telah melakukan pendataan agar sumber daya budaya tersebut dapat di

upayakan sebagai situs cagar budaya sebagai langkah pelestarian melalui perlindungan

hukum. Data Hasil wawancara tersebut dapat memberikan gambaran mengenai peran

Stakeholder dalam upaya pelestarian tinggalan cagar budaya, pada dasarnya Stakeholder

terkait telah berupaya dalam melakukan perlindungan dan pemanfaatan terhadap

tinggalan cagar budaya yang kemudian pemerintah akan melakukan langkah selanjutnya

agar pemerintah dan masyarakat dapat merasakan manfaat adanya tinggalan cagar

budaya yang ada di Kelurahan Munse. Dengan adanya keterkaitan antara Stackholder

terkait dengan memperhatikan asas manfaat yang akan ditimbulkan pada situs tinggalan

Jepang di Kelurahan Munse bagi masyarakat setempat, apabila hal tersebut sudah

terpenuhi maka selanjutnya kerjasama dengan berbagai Stackholder dapat terjalin baik.

Tinggalan Cagar Budaya dapat dilakukan tahap pelestarian dan pengelolaan

dengan mengacu pada Undang Undang Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010 mengenai
56

benda cagar dalam upaya pelestarian menjelaskan pada bagian ke-satu BAB III pasal 35

bahwa:

1. Pelestarian cagar budaya dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan yang dapat

dipertanggung jawabkan secara akademis, teknis dan administratif.

2. kegiatan pelestarian harus dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh tenaga ahli

pelestarian dengan memperhatikan etika pelestarian.

3. tata cara pelestarian cagar budaya harus mempertimbangkan kemungkinan

dilakukanya pengembalian kondisi awal seperti sebelum kegiatan pelestarian.

4. pelestarian cagar budaya harus didukung oleh kegiatan yang dapat menyebabkan

terjadinya perubahan keaslianya.

Sehubungan dengan penjelasan UU No.11 Tahun 2010 di atas mengenai

kegiatan pelestarian benda cagar budaya yang harus memperhatikan aspek-aspek yang

dapat mengkoordinir semua pihak. Dengan adanya aturan yang telah dicantumkan

dalam Undang-Undang maka segala kemungkinan hambatan maupun prosedur atau

tahapan dalam melaksanakan kegiatan pelestarian tinggalan cagar budaya sudah

memiliki perlindungan Hukum sehingga semua pihak baik Stackholder, masyarakat,

akademisi dapat melakukan kegiatan pelestarian terhadap tinggalan cagar budaya

utamanya tinggalan Jepang yang ada di Kelurahan Munse.

2. Perlindungan Fisik

Bangunan tinggalan cagar budaya berupa struktur bangunan, Terowongan, dan

Roda yang menjadi bukti peninggalan jepang yang ada di Kelurahaan Munse, tinggalan

Cagar Budaya yang terletak di kawasan perkebunan warga dalam kondisi yang tidak

terawat (kotor) banyak ditumbuhi semak belukar serta lumut yang ada di struktur
57

bangunan,struktur bangunan yang sudah tidak utuh ada beberapa bongkahan struktur

yang terlepas, Roda besi yang sudah berkarat dan berserakan. Hal ini tentu dapat

menjadikan tinggalan Cagar Budaya yang ada di Kelurahan Munse mengalami

keterancaman sehingga perlu adanya tindakan pelestarian dengan menerapkan beberapa

bentuk perlindungan fisik.

Upaya pelestarian melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan

terus melakukan inventarisasi akan potensi kekayaan cagar budaya yang ada di wilayah

kerjanya, pada program kerja tahunan 2021 tahun ini, salah satunya dilakukan di pulau

Wawonii Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara, melalui kegiatan survey

penyelamatan tinggalan budaya di wilayah tersebut pada tanggal 22 Januari - 2 Februari

2020, hal ini bertujuan untuk memperoleh data terkait potensi, kondisi dan upaya

pelestarian yang akan dilakukan pada setiap tinggalan arkeologi yang ditemukan.

Sehubungan dengan itu dalam upaya pelestarian tinggalan Kolonial Jepang yang

ada Kelurahan Munse, pemerintah melalui BPCB mulai melakukan pendataan sehingga

melalui data tersebut dapat ditentukan langkah selanjutnya dalam upaya pelestarian,

pemanfaatan serta pengelolaan tinggalan bangunan Jepang yang ada di Kelurahan

Munse dan dapat diperoleh manfaatnya oleh masyarakat utamanya yang ada di

Kelurahan Munse.

Sama halnya dengan BPCB, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pendidkan

Kebudayaan dan Pendidikan serta Dinas Pariwisata Kabupaten Konawe Kepulauan,

telah melakukan upaya inventarisasi tinggala budaya bendawi sebagai bentuk dari

penyelenggaraan program. Kegiatan perlindungan fisik sebagai tindakan dalam

pemeliharaan dan perlindungan terhadap gangguan, kemusnahan dan keausan, tindakan


58

perlindungan tersebut akan diterapkan pada tinggalan arkeologis yang ada di Kelurahan

Munse. Adapun kegiatan perlindungan fisik yang dilakukan pada Tinggalan Cagar

Budaya yang ada di Kelurahan Munse yaitu:

Gambar 5.13. Tinggalan Cagar Budaya


(Sumber: La Ode Imran, 2020)

a. Konservasi

yaitu tindakan perlindungan fisik dalam mempertahankan bahan dan tempat

dalam kondisi eksisting dan memperlambat pelapukan, hal ini dilakukan dengan tetap

menjaga bentuk asli tinggalan cagar budaya. Dari hasil observasi ditemukan struktur

bangunan yang mengalami keterancaman diakibatkan oleh faktor alam maupun manusia

tanaman perkebunan warga ditambah dengan rumput liar yang merambat diatas

permukaan struktur. Pada tinggalan arkeologi di Kelurahan Munse sama sekali belum

dilakukan tindakan konservasi baik itu yang dilakukan oleh pemerintah terkait maupun

masyarakat sekitar bahkan yang menjadi penyebab besarnya kerusakan pada tinggalan

diakibatkan oleh perilaku masyarakat, kerusakan manusia yang dimaksud seperti

penjarahan dan perluasan lahan perkebunan. Sehingga penulis memberikan

rekomendasi yang sekiranya dapat diterapkan pada tinggalan cagar budaya yang ada di
59

Kelurahan Munse sebagai upaya pelestarian seperti dengan melakukan pembersihan

pada tinggalan cagar budaya, pembersihan area situs, dan pemagaran terhadap tinggalan

sebagai langkah perlindungan fisik.

b. Restorasi

yaitu suatu proses pelestarian dengan mengembalikan suatu tempat pada

keadaan semula dengan menghilangkan tambahan-tambahan dan memasang komponen

semula tanpa menggunakan bahan baru, hal ini dilakukan untuk memperoleh bentuk

yang sebenarnya. Pada situs bangunan peninggalan Jepang yang ada di Kelurahan

Munse belum dilakukan tindakan Restorasi sebagai langkah untuk melakukan tindakan

perlindungan fisik, sehingga penulis memberikan rekomendasi terkait hal tersebut

seperti mengembalikan beberapa bagian tinggalan cagar budaya yang hancur atau rubuh

agar bisa diketahui kondisi awal bangunan tersebut karena adanya beberapa bagian

tinggalan yang terlepas, kegiatan konsevasi ini dapat dilakukan dengan mencari bukti

pendukung sehingga dapat dikembalikan ke bentuk aslinya.

c. Rekonstruksi

Dimana tahapan ini merupakan suatu upaya pelestarian dengan membangun

kembali suatu tempat sedekat mungkin dengan wujud yang semula, tahap ini biasanya

dilakukan untuk mengadakan kembali tempat-tempat yang telah rusak, upaya ini

dilakukan dengan mengetahui bukti fisik dengan didukung sumber tertulis. hal ini

dilakukan untuk mengembalikan beberapa bagian struktur bangunan atau tinggalan

arkeologi yang hilang atau rusak tanpa menghilangkan bentuk aslinya dikarenakan

banyaknya struktur bangunan yang sudah terpisah dengan bangunan aslinya.

Sehubungan dengan penjelasan mengenai tahapan Rekonstruksi, tindakan


60

Rekonstrukasi belum dilakukan pada situs peninggalan Jepang yang ada di Kelurahan

Munse. Maka dari itu sebagai upaya dalam melaksanakan pelestarian penulis

memberikan Rekomendasi seperti apa yang telah di jelaskan di atas.

Stakeholder yang menjadi pemengku kebijakan dalam upaya pelestarian

tinggalan kolonial Jepang yang ada di kelurahan munse yaitu Dinas Pariwisata.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan bersama kepala dinas pariwisata Kab.

Konawe kepulauan menjelaskan bahwa untuk saat ini pariwisata dari sektor wisata

budaya belum sepenuhnya menjadi prioritas, akan tetapi Dinas Pariwisata akan

berupaya untuk bisa menarik wisatawan melalui sektor wisata budaya.

Penulis melakukan wawancara langsung dengan Kepala Dinas Pariwisata bapak

Armin S.Pd yang ditemui di kantornya, adapun hasil wawancaranya beliau

menyampaikan:

“Kami dari pihak Dinas Pariwisata Kab.Konawe kepulauan belum melakukan langkah-
langkah dalam meningkatkan wisata budaya, yang masih menjadi prioritas kami masih
untuk wisata alam, tetapi hal itu tidak akan kami lepas begitu saja mengenai wisata
budaya karena untuk saat ini masih dalam tahap pendataan dan kemudian kami akan
langsung koordinasikan dengan pusat untuk tahap selanjutnya”. (Hasil wawancara
kepala Dinas Pariwisata Kab. Konawe Kepulauan, Tahun 2020).

Sehubungan dengan itu Dinas Pariwisata belum melakukan kegiatan konservasi

dalam bentuk apapun hal disebabkan pihak Dinas Pariwisata belum menjadikan wisata

budaya sebagai prioritas dalam pengembangan sektor pariwisata Kabupaten Konawe

Kepulauan. Dinas Pariwisata yang bertugas sebagai penyedia sarana prasarana, di dalam

mengembangkan wisata budaya di Kelurahan Munse harus dilakukan secara

menyeluruh sehingga dapat diperoleh manfaat yang optimal bagi masyarakat, baik dari

segi ekonomi, sosial dan kultural. Hal yang paling signifikan yang menjadi kendala
61

pada tinggalan cagar budaya yang ada di Kelurahan Munse mengenai kurangnya

fasilitas pendukung yang di area tersebut, kondisi jalan menuju tinggalan cagar budaya

masih rusak, belum adanya perawatan tehadap tinggalan Jepang tersebut. Maka dari itu

pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dapat mengalokasikan anggaran untuk

pelestarian tinggalan Jepang di Kelurahan Munse. Adapun Stackholder lain yang

berperan dalam segala upaya pelestarian tinggalan bangunan jepang yang ada di

Kelurahan Munse antara lain:

5.4.1 Upaya pelestarian yang telah dilakukan

Sejatinya, sebuah warisan budaya merupakan aset budaya yang bersifat tak

dapat diperbaharui dan langka keberadaannya. Maka untuk menjaga eksistensi dari

keberadaan warisan budaya tersebut, diperlukan langkah-langkah pengelolaan maupun

pelestarian untuk dirasakan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Tinggalan

warisan budaya di Kelurahan Munse mengindikasikan bahwa warisan budaya yang

bernilai penting yang mesti dijaga dan dirawat dengan bijak. Mengingat tinggalan

pendudukan Jepang ini memiliki kepentingan dengan beberapa Stakeholder atau

pemangku kepentingan terkait. Stakeholder tersebut berupa Balai Pelestarian Cagar

Budaya (BPCB SULSEL), akademisi dan masyarakat.

Tinggalan kolonial Jepang di Kelurahan Munse adalah merupakan hasil dari

peristiwa sejarah masa kependudukan Jepang di pulau Wawonii. Hal ini merupakan

sebuah kebanggan apabila bangunan-bangunannya masih ada, meski sudah tidak

sempurna seperti bangunan semula. Kebanggaan ini dapat dilihat dari keberadaan

warisan kolonial tersebut, yang tidak dihancurkan secara total oleh masyarakat sekitar.

Mengingat Pulau Wawonii merupakan daerah yang sarat akan kandungan nikel yang
62

melimpah. Tidak menutup kemungkinan di Kelurahan Munse memiliki kandungan

nikel untuk dikelola demi kepentingan industri. Sehingga dengan keberadaan beberapa

bangunan, walaupun memang tidak utuh lagi tetapi masih ada itikad baik dari

Stakeholder terkait akan tinggalan ini.


BAB VI

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan mengenai ‘‘Analisis Nilai Penting Dan Upaya

PelestarianBangunan Peninggalan Jepang Pada Masa Perang Dunia II di Kelurahan

Munse Kab. Konawe Kepulauan”, maka kesimpulan dari penelitian ini antara lain:

1. Tinggalan arkeologisdi Kelurahan Munse Kab. Konawe Kepulauan terdapat

sumberdaya budaya bangunan peninggalan jepang pada masa perang dunia II

seperti Terowongan, struktur bangunan, roda gila, struktur bak/penampungan

air, bekas menara pengintai.

2. Nilai penting yang terdapat di Kelurahan Munse memenuhi unsur atau kriteria

yang terkandung yaitu nilai penting sejarah, nilai penting ilmu pengetahuan,

nilai penting kebudayaan dan nilai penting ekonomi.

3. Dalam Upaya pelestarian bangunan peninggalan Jepang yang ada di Kelurahan

Munse sesuai dengan UU No.11 Tahun 2010, penelitian ini mengupayakan

perlindungan fisik terhadap tinggalan Jepang tersebut seperti

Konservasi/Preservasi sebagai upaya pelestarian dengan mencegah kehancuran

suatu tinggalan cagar budaya dengan melakukan pemugaran, Restorasi sebagai

suatu proses pelestarian dengan mengembalikan suatu tempat ke keadaan

semula, Rekonstruksi sebagai suatu upaya pelestarian dengan membangun

kembali suatu tempat sedekat mungkin dengan wujud yang semula, kemudian

dilakukan perlindungan hukum agar dapat mengkordinir semua pihak dalam

pelaksanaan pelestarian, penelitian ini juga melibatkan beberapa Stackholder.

63
64

6.2 Saran

Adapun saran yang diberikan ketiga Stakeholder adalah sebagai berikut:

1) Pemerintah dalam hal, pemerintah Kabupaten Konawe Kepulauan sebagai

pemangku kebijakan yang perannya sangat sentral dalam melakukan sebuah

tindakan pelestarian ataupun pengelolaan terhadap sumberdaya arkeologi.

Harapan penulis, supaya ada tindakan cepat serta keseriusan dalam pelestarian

sumberdaya arkeologi untuk menghindari dari kerusakan dan kepunahan apalagi

Pulau Wawonii sedang di hantui dengan masuknya aktivitas pertambangan.

Kemudian pemerintah harus secepatnya menetapkan sumberdaya arkeologi yang

berada di Kecamatan Wawonii Timur, Kelurahaan Munse sebagai situs Cagar

Budaya untuk memperjelas statusnya secara hukum. Pihak pemerintah melalui

Dinas Pariwisata juga harus mampu mempublikasikan secara terus menerus

tinggalan Jepang yang ada di Kelurahan Munse sebagai langkah awal untuk

memperkenalkan situs tersebut.

2) Akademisi diharapkan dapat ikut berperan serta dalam memberikan sumbangsi

pemikiran dengan selalu melakukan Riset/Penelitian pada setiap tinggalan cagar

budaya dan pergerakan karena pihak akademisi lebih berkompeten dan jauh

lebih tahu persoalan yang dimiliki oleh sumberdaya arkeologi di Kelurahan

Munse. Selain itu akademisi mempu melahirkan pemikiran dan ide gagasan baru

terhadap situs yang ada di Kelurahan Munse.

3) Masyarakat pada umumnya dan khususnya masyarakat Kelurahan Munse

diharapkan dapat berkontribusi dalam upaya pelestarian sumberdaya arkeologi

di Kelurahan Munse dan tidak melakukan eksploitasi pada tinggalan bangunan


65

4) jepang. Masyarakat juga sebagai pihak yang berperan besar dalam upaya

pelestarian tinggalan arkeologis yang ada di Kelurahan Munse harus dapat

mendukung segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah.

5) Dalam upaya pelestarian yang akan dilakukan pada situs bangunan peninggalan

Jepang yaitu perlu adanya perhatian khusus dari pemerintah seperti dengan

mengupayakan tinggalan tersebut sebagai situs cagar budaya sebagai upaya

perlindungan hukum, sehingga dapat dilakukan kegiatan pelestarian selanjutnya

seperti tindakan konservasi sebagai upaya perlindungan fisik serta pemanfaatan

situs. Dengan adanya hal tersebut maka berbagai fasilitas penunjang lainya dapat

terlaksana seperti kondisi jalan yang perlu diperbaiki.


DAFTAR PUSTAKA

BPS Konawe Kepulauan. 2019. Kecamatan Wawonii Timur dalam Angka 2019.
Kendari: BPS Konawe Kepulauan

Chawari, M. 2013. Sistem Pertahanan Jepang di Jawa. Studi Berdasarkan Tinggalan


Gua Jepang di Banyumas, Jawa Tengah. Berkala Arkeologi.

Dradjat, H. U. (1995). Manajemen Sumberdaya Budaya Mati. Jurusan Arkeologi


Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok.
Darvill, T. 1995. Value Systems in Archaeology. Dalam Malcolm, A. Cooper et
al.(eds.), Managing Archaeology. London: Routledge. Hlm. 38--48.

Hayat, Nuim. 2016. Pendudukan Jepang di Wawonii Tahun 1942-1945. Skripsi.


Kendari: FKIP Universitas Halu Oleo.
Hamado, Hamdan. 2018. Tinggalan-Tinggalan Arkeologis Sarana Militer Jepang,Masa
Perang Dunia II di Situs Lapangan Udara Ambesea, Kabupaten Konawe
Selatan. Skripsi. Jurusan Arkeologi Universitas Halu Oleo: Kendari. Tidak
terbit.
Hayunira, S. 2013. Masa Pendudukan Jepang di Kendari: Interpretasi Terhadap
Tinggalan Bangunan Jepang di Kawasan TNI AU Ranomeeto, Konawe
Selatan. Skripsi. Makassar: Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin.
Hikmah, Wardatul. (2012). Kamikaze: Strategi Militer Jepang di Akhir Perang Dunia II
(1944-1945). Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas
Indonesia.
Mansyur, Syahrudin. 2006. Studi Keruangan Dalam Arkeologi (Prospek Penelitianya di
Maluku dan Maluku Utara). Kapata Arkeologi. Vol.2 No.2: 106-125.
Pearson, Michael dan Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places: The Basic
of Heritage Planning for Managers, Landowners and Adiministrators.
Melbourne: Melbourne University Press.
Parera, Ana. 2013. M. F, dkk. Sausapor: Saksi Sejarah Perang Dunia II di Kabupaten
Tambrauw Provinsi Papua Barat. Yogyakarta: Kepel Press.
Ramadhan. A. M. 2017. Bentuk Kerusakan dan Penanganan Bunker Danrem dan
Pilboks Ahmad Yani di Kota Kendari Sulawesi Tenggara. Skripsi. Jurusan
Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Hasanuddin, Tidak Diterbitkan.
Sukendar, Haris. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian
Arkeologi Nasional.
Sunarto.2017.Analisis Nilai Penting Sumberdaya Arkeologi DiKawasan Pangkalan
Militer Tni AuHaluoleoDesaAmbaipuaKecamatan Ranomeeto Kabupaten
Konawe Selatan. Skripsi. Kendari: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu
Oleo. Tidak Terbit.

Susanti, D. (2007). Kerusakan Pada Bahan Baku Makam Dan UpayaPenanganannya


Pada Kompleks Makam Raja-raja Lamuru. Makassar.

Soeroso. (2006). Prinsip-prinsip Pelestarian Kawasan BCB. Materi Diklat Konservasi


dan Pemugaran Tingkat Menengah. Yogyakarta: Balai Konservasi
Peninggalan Borobudur.
Tanjung, Wiyan Ari. 2008. Latar Belakang Penempatan dan Fungsi Benteng Pendem
Kalimaro Bagelen Purworejo, Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada.
Tanudirjo, Daud Aris. (1989). Ragam Metoda Penelitian dalam Arkeologi dalam
Skripsi Karya Mahasiswa Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Laporan
Penelitian. Yogyakarta: Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, UGM.
...............2004. Penetapan Nilai Penting dalam Pengelolaan Benda Cagar
Budaya. Makalah disampaikan pada Rapat Penyusunan Standardisasi Kritetia
(Pembobotan) Bangunan Benda Cagar Budaya. Jakarta: Ciputat, tanggal 26-
28 Mei 2004.
Tjandrasasmita, u. (1995). Strategi Pelestarian Benda Cagar Budaya Hubungannya
Dengan Arkeologi. Universitas Indonesia, Depok.
UU RI No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Virillio, P. (1994). Bunker Archeology. Princeton Arcitectural Press, New York.

Yuwono, Martono, (1982). “Masalah Pelestarian Lingkungan Hidup Manusia Suatu


Pendekatan”, Pemugaran. Analisis Kebudayaan. Tahun III/1. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
LAMPIRAN I

Wawancara dilakukan dengan memberikan pertanyaan yang dapat menjawab

semua upaya yang akan dilakukan dalam pelestarian kawasan situs peninggalan jepang

yang ada di Kelurahan Munse kecamatan Wawonii timur kabupaten konawe kepulauan.

Adapun beberapa pertanyaan mengikat yang diberikan antara lain sebagai berikut:

1. Apa tanggapan Stackeholder mengenai tinggalan Jepang yang ada di Kelurahan

Munse?

2. Apa upaya yang dilakukan Pemerintah dalam pelestarian tinggalan Jepang yang ada

di Keluarahan Munse?

3. Kendala apa yang menghambat dalam upaya pelestarian tinggalan Jepang tersebut?

4. Mengapa tinggalan Jepang yang ada di Kelurahan Munse perlu dilakukan

pelestarian?

5. Bagaimana tanggapan Pemerintah mengenai pelestarian tinggalan Jepang yang ada di

Kelurahan Munse?
PEDOMAN WAWANCARA

Data Informan :

1. Nama : Drs. Muhammad Yani

Usia : -

Pekerjaan : Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Kabupaten Konawe

Kepulauan

Alamat : Langara

2. Nama : Armin S.Pd

Usia : -

Pekerjaan : Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Konawe Kepulauan

Alamat : Langara

3. Nama : H. Mohamad Jawas

Usia : 53 tahun

Pekerjaan : Kepala Lurah Munse

Alamat : Kelurahan Munse Kecamatan Wawonii Timur

4. Nama : Aspin S.Sos.,M.Hum

Usia : -

Pekerjaan : Dosen Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Alamat : Kendari

63
63
63

Anda mungkin juga menyukai