Anda di halaman 1dari 12

TUGAS INDIVIDUAL DISKUSI KELOMPOK

PEMICU 1: HIDUNG BERAIR MEMBUAT SAKIT


BLOK 13 (KOMPROMIS MEDIS)

KLARISSA ANJANI JULIUS


190600077
KELAS B

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Infeksi saluran pernapasan diklasifikasikan menjadi dua yaitu infeksi saluran pernapasan
atas dan infeksi saluran pernapasan bawah. Salah satu infeksi saluran pernapasan atas adalah
Rhinitis. Rhinitis merupakan suatu jenis penyakit yang banyak dijumpai di masyarakat dengan
distribusi yang luas. Rhinitis merupakan suatu peradangan yang terjadi pada membrana mukosa
hidung. Sinusitis merupakan suatu proses peradangan pada mukosa atau selaput lendir sinus
paranasal. Akibat peradangan ini dapat menyebabkan pembentukan cairan atau kerusakan tulang
di bawahnya. Rhinitis dan sinusitis saling berkaitan karena rhinitis akan menyebabkan sumbatan
pada hidung dan selanjutnya akan menghambat/memblok sinus.
Di Indonesia ternyata pravelensi penyakit ini tidak bisa dibilang rendah. Malah
cenderung menunjukkn peningkatan. Beberapa etiologi dan faktor predisposisi berperan dlam
penyakit ini. Namun 25% disebabkan oleh infeksi, selebihnya 75% disebabkan oleh alergi dan
ketidakseimbangan pada sistem saraf otonom yang menimbulkan perubahan pada mukosa sinus.1

1.2 DESKRIPSI TOPIK


Penyusun : Pocut Astari, drg., M.Biomed; Armia Syahputra, drg., Sp. Perio; Dr. Trelia
Boel, drg., M. Kes., Sp. RKG (K)
Hari/Tanggal : Jumat/26 Maret 2021
Jam : 07.30 – 09.30 WIB
Seorang perempuan 26 tahun datang ke praktek dokter gigi dengan keluhan nyeri pada
daerah gigi-gigi kanan rahang atas sejak 3 bulan yang lalu. Rasa nyeri menyebar hingga daerah
bawah mata sebelah kanan dan terasa semakin nyeri jika pasien menunduk dan mengunyah.
Pasien memiliki riwayat rhinitis alergi sejak kecil dengan gejala hidung berair, batuk dan sulit
bernafas menyebabkan pasien sering bernafas lewat mulut. Pada pemeriksaan ekstra oral pada
daerah ocular inferior terasa sakit pada palpasi. Pada pemeriksaan intra oral, fetid odor: (+);
OHIS: 3,7; tidak ada kehilangan perlekatan; terdapat pocket gingiva; gingiva RB BOP: (+).

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 DIAGNOSIS KASUS


Berdasarkan skenario, pasien datang ke dokter gigi dengn keluhan nyeri pada daerah
gigi-gigi rahang atas sejak 3 bulan yang lalu. Rasa nyeri yang dirasa pasien menyebar hingga ke
bagian bawah mata sebelah kanan dan semakin terasa jika pasien menunduk atau mengunyah.
Merujuk pada hasil anamnesis tersebut maka pasien di diagnose sinusitis maksilaris kronis.
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa pada sinus paranasal. Sinus pranasal
adalah rongga didalam tulang tengkorak yang merupakan hasil pneumatisasi dari tulang-tulang
tengkorak. Terdapat empat sinus pada manusia yang semuanya bermuara ke rongga hidung dan
merupakan bagian dari sistem pernafasan. Kuman penyebabnya meliputi bakteri, virus dan
jamur.
Sinus maksilaris merupakan sinus paranasal terbesar dan yang paling sering terkena
infeksi karena ostium sinus maksilaris terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase
hanya tergantung dari gerak silia, drainase juga terjadi melalui infundibulum yang sempit. Pada
sinusitis maksilaris, terdapat gejala subyektif terdiri dari gejala sistemik dan gejala lokal.Gejala
sistemik ialah demam dan rasa lesu.Gejala lokal pada hidung terdapat ingus kental yang kadang-
kadang berbau dan dirasakan mengalir ke nasofaring. Dirasakan hidung tersumbat, seringkali
terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri di tempat lain karena nyeri alih
(referred pain). Pada pemeriksaan fisik sinusitis maksilaris dapat dilakukan dengan inspeksi dan
palpasi.Pada inspeksi,pemeriksaan yang diperhatikan ialah adanya pembengkakan pada muka.
Palpasi didapatkan nyeri tekan pada pipi yang sakit.
Pada kasus, sinusitis berkaitn dengan adanya riwayat rhinitis alergi pada pasien tersebut.
Rhinitis dan sinusitis saling berkaitan karena rhinitis akan menyebabkan sumbatan pada hidung
dan selanjutnya akan menghambat/memblock sinus. 1,2

2.2 KLASIFIKASI DIAGNOSIS BERDASAR LAMA PENYAKIT


Klasfikasi sinusitis berdasarkan lama penyakitnya terbagi 3 yakni akut, subakut dan
kronis. Berdasarkan skenario diketahui bahwa pasien telah menderita keluhan tersebut sejak 3
bulan yang lalu. Maka dari itu, dapat ditegakkan sinusitis yang diterima pasien yakni sinusitis
kronis. Sinusitis kronis adalah suatu inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang dapat

2
ditegakkan berdasarkan riwayat gejala gejala kradial selama 12 minggu berturut-turut, yang
ditambah dengan bukti objektif dan pemeriksaan fisik atau penunjang.

Ada setidaknya 2 gejala kradial selama 12 minggu berturut-turut :


- Obstruksi nasal
- Drainase nasal
- Nyeri atau rasa tertekan pada wajah
- Hiposmia atau anosmia
Bukti Objektif pada Pemeriksaan
Pada pemeriksaan fisik : drainase mukopurulen, edema, atau polip pada meatus medius
Pada pemeriksaan radiologi L bukti sinusitis pada foto polos atau CT scan
Tabel I. Kriteria diagnosis Sinusitis Kronis3

2.3 PATOFISIOLOGI KASUS NYERI


Gejala nyeri yang terjadi pada sinunsitis tergantung dari letak sinus yang mengalami
peradangan. Pada skenario, pasien mengeluhkan rasa nyeri pada daerh gigi kanan rahang atas
dan menyebar hingg daerh bawah mata sebelah kanan.Hal ini menandakan bahwa sinus yang
mengalami peradangan adalah sinus maksilaris. Selain itu, nyeri telah terjadi kurang lebih selama
3 bulan, yang mana hal tersebut berarti pasien mengalami sinusitis kronik.
Nyeri yang terjadi pada sinusitis kronik di akibatkan oleh adanya penyumbatan
sinus.Dimana ketika sinus yang sehat tersumbat oleh faktor anatomis, genetik ataupun
lingkungan. Maka lendir akan mengalir balik dan sinus pun akan tersumbat. Silia berhenti
bergerak secara efektif, dan drainase dari sinus terhenti atau sangat terhambat.Hal ini
menimbulkan tekanan negatif didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi
atau penghambatan drainase sinus.
Kelenjar-kelenjar di dalam sinus terus mengalir menghasilkan lender, yang tidak dapat di
keluarkan. Tidak berapa lama sinus yang tersumbat akan di penuhi oleh lendir. Pada lendir ini
terdapat bakteri dengan jumlah yang sangat besar sehingga menyebabkan infeksi dan akan terjadi
pembengkakan atau peradangan jaringan pada ujung-ujung saraf di dinding dalam sinus yang
menekan dinding sinus yang bertulang sehingga menimbulkan rasa nyeri.4
Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa apabila aliran hidung terhambat maka
sekresinya menumpuk dan terperangkap bersama udara didalam sinus dan menekan di dinding
sinus yang berulang sehingga menimbulkan rasa nyeri. Dimana ostium yang membengkak akan

3
tertutup, membrane mukosa pada sinus tidak menyerap oksigen dan menghasilkan tekanan
negatif (atau vakum), yang dapat menimbulkan sensasi penyumbatan wajah atau bahkan nyeri.4,5

2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG YANG DAPAT DILAKUKAN


1. Pemeriksaan Radiografi, ada begitu banyak pemeriksaan untuk mendiagnosis sinusitis
maksilaris. Anamnesis dan pemeriksaan fisik sudah dapat mencurigai adanya sinusitis
maksilaris, tapi untuk memberikan diagnosis yang lebih dini, maka diperlukan
pemeriksaan radiologis.
- CT ( Computed Tomography), penggunaan CT scan untuk diagnosis sinusitis sangat
membantu, terutama sinusitis kronis. Hasil yang didapat menggambarkan keadaan
sinus dan kompleks osteomeatal
- MRI ( Magnetic Resonance Imaging), P\Penggunaan MRI sangat baik untuk
mengetahui kelainan soft tissue dari sinus paranasal, namun terbatas dalam pencitraan
kelainan tulang, sehingga MRI tidak dapat mengevaluasi sinusitis akut maupun kronis
- Foto polos sinus paranasalis, merupakan pemeriksaan standar utama sinusitis.
Kekurangannya adalah sering ditemukan hasil positif dan negatif palsu. Tiga jenis
proyeksi yang digunakan untuk diagnosis sinusitis dengan pemeriksaan foto polos
yaitu (1) Waters position untuk evaluasi sinus maksila dan frontal, (2) Caldwell
position untuk evaluasi sinus etmoidalis, dan (3) Proyeksi lateral untuk evaluasi
ukuran adenoid, masa di nasofaring dan kelainan di sfenoid. Pemeriksaan Foto
Waters merupakan pemeriksaan yang paling baik untuk mengevaluasi sinus
maksilaris. Pemeriksaan ini dari sudut biaya cukup ekonomis dan pasien hanya
mendapat radiasi yang minimal. Sensitifitas dan spesifisitasnya yaitu 85% dan 80%.
Berdasarkan gambaran radiologis dengan Foto Waters dapat menilai kondisi sinus
maksilaris yang memperlihatkan perselubungan, air fluid level, dan penebalan
mukosa. Sinusitis ditandai dengan gambaran opak difus pada rongga sinus, penebalan
mukosa (>4 mm), atau adanya air fluid level.
- Ultrasonography, digunakan hanya untuk mengevaluasi sinus maksila, namun hasil
minimal dalam menegakkan diagnosis5
2. Rhinoscopy  visualisasi sinus ostia
3. Kultur Kuman, kultur umumnya tidak diperlukan untuk mendiagnosis sinusitis kronis.
Namun, ketika pengobatan yang diberikan gagal merespons sehingga kondisi memburuk,
4
maka pengambilan kultur jaringan dapat membantu menentukan penyebabnya. Apakah
dikarenakan bakteri atau jamur.
4. Pemeriksaan alergi, jika dokter mencurigai bahwa kondisi tersebut mungkin dipicu oleh
alergi maka besar kemungkinan akan dilakukan tes kulit alergi. Tes kulit aman, cepat,
dan dapat membantu menentukan alergen yang bertanggung jawab terhadap infeksi
hidungmu.
5. Transiluminasi, pemeriksaan transiluminasi hanya dapat digunakan untuk pemeriksaan
sinus maksila dan frontal. Pemeriksaan dilakukan bila pemeriksaan penunjang radiologi
tidak tersedia. Pemeriksaan transiluminasi dilakukan pada ruangan yang gelap atau
cahaya minimal. Untuk pemeriksaan sinus maksila, pasien diminta untuk duduk dan
mendongakkan kepalanya ke belakang sambil membuka mulut. Pemeriksa
menempelkan penlight/ otoskop/ transiluminator pada bagian pipi di area sinus maksila.
Cahaya yang tembus dan terang pada bagian palatum merupakan pemeriksaan yang
normal. Bila cahaya redup atau tidak tampak sama sekali dapat dicurigai adanya cairan
yang kental (pus), penebalan mukosa, atau bisa juga massa yang mengisi rongga sinus.
Bandingkan hasil pemeriksaan sinus maksila kanan dan kiri.
6. Pemeriksaan laboratorium darah, pemeriksaan laboratorium darah tidak memiliki
gambaran spesifik untuk sinusitis. Pemeriksaan darah dapat berguna pada sinusitis yang
berhubungan dengan rhinitis alergi, fibrosis kistik, atau imunodefisiensi. Pemeriksaan
darah lengkap bisa dalam batas normal atau terjadi leukositosis pada sinusitis bakterial
akut. Hasil pemeriksaan laju endap darah dan C-reactive protein dapat meningkat pada
sinusitis, namun tidak spesifik.5,6

2.5 DIAGNOSIS KEADAAN GINGIVA


Berdasarkan skenario, hasil pemeriksaan intraoral menunjukkan pasien fetid odor: (+);
OHIS: 3,7; tidak ada kehilangan perlekatan; terdapat pocket gingiva; gingiva RB BOP: (+).
Sehingga dapat ditegakkan diagnosis yakni gingivitis. Gingivitis merupakan suatu inflamasi
yang melibatkan jaringan lunak di sekitar gigi yaitu jaringan gingiva. Gambaran klinis gingivitis
adalah munculnya warna kemerahan pada margin gingiva, pembesaran pembuluh darah di
jaringan ikat subepitel, hilangnya keratinisasi pada permukaan gingiva, terdapat poket gingiva,
dan pendarahan yang terjadi pada saat dilakukan probing. Hal ini sesuai dengan skenario tersebut

5
yang mana diketahui terdapat poket gingiva serta BOP+. Selain itu, tidak terjadi kehilangan
perlekatan menujukkan bahwa gingivitis belum berlanjut menjadi periodontitis.7
Jika dikaitkan dengan kasus, gingivitis kemungkinan terjadi akibat kebiasaan pasien
bernafas melalui mulut lalu disertai dengan kebersihan mulut pasien yang buruk. Kebersihan
mulut pasien yang buruk ditandai dengan skor OHIS pasien yakni 3,7. Kebiasaan bernafas lewat
mulut pasien dikarenakan rhinitis alergi. Hal ini terkait obstruksi pada saluran napas atas.
Kebiasaan bernapas melalui mulut dapat menyebabkan udara yang masuk ke mulut
menyebabkan vasokonstriksi dari pembuluh kapiler di mukosa oral sehingga memudahkan
terkena infeksi, gingivitis, bau mulut karena adanya plak yang melekat pada gigi dan lidah.8,9

2.6 RENCANA PERAWATAN


Berdasarkan skenario, pasien mengalami gingivitis maka perawatan yang akan diberikan
kepada pasien dengan keadaan rongga mulut pasien adalah perawatan untuk kasus gingivitis.
Rencana perawatan periodontal diarahkan untuk suatu perawatan yang komprehensif, yang
mengkoordinasikan semua prosedur perawatan guna menciptakan gigi geligi yang berfungsi baik
dalam lingkungan periodonsium yang sehat. Tujuan utama dari perawatan yang komprehensif
adalah penyingkiran inflamasi gingiva dan koreksi kondisi yang menyebabkan atau
memperparah inflamasi tersebut.

Fase I
Fase I disebut juga sebagai fase etiotropik atau fase non bedah. Tujuan dari fase ini yaitu
menghilangkan ataupun mengurangi peradangan, dan mencegah penjalaran penyakit
periodontal yang lebih dalam. Fase ini dilakukan dengan cara membuang semua iritan lokal
penyebab radang yaitu (1) Kontrol plak (2) Kontrol diet (bagi pasien dengan karies rampan)
(3) Penskeleran dan penyerutan akar (4) Koreksi restorasi dan protesa yang mengiritasi (5)
Ekskavasi karies dan restorasi (sementara atau permanen, tergantung apakah prognosis
ginginya sudah final, dan lokasi karies) (6) Terapi antimikrobial (lokal atau sistemik) (7)
Terapi oklusal (penyelarasan oklusal) (8) Penggerakan gigi secara ortodontik (9) Pensplinan
provisional (9) Evaluasi respons terhadap fase I yaitu pengecekan kembali kedalaman poket
dan inflamasi gingiva serta plak, kalkulus dan karies.
Fase II
Fase II disebut juga sebagai fase bedah dan perawatan saluran akar.

6
Fase III
Fase III disebut juga sebagai fase restorative.
Fase IV
Fase IV disebut juga sebagai fase pemeliharaan. Fase ini merupakan fase yang meliputi
kegiatan pengecekan kembali secara periodik di akhir setiap fase yang bertujuan untuk
mencegah kambuhnya gingivitis. Fase ini meliputi (1) Kunjungan berkala (2) Plak dan
kalkulus (3) Kondisi gingiva (poket dan inflamasi) (4) Oklusi, mobiliti gigi (5) Perubahan
patologis lainnya. 10
Jika dikaitkan dengan skenario, maka dapat dilakukan perawatan fase I dan fase IV. Pada
perawatan fase I/fase etiotropik atau fase non bedah, dilakukan penyingkiran iritan lokal
penyebab radang seperti kontrol plak, kontrol diet, penskeleran, serta motivasi, edukasi, instruksi
(MEI). Jika pemberian fase I sudah dilakukan dokter gigi harus melakukan evaluasi terhadap
perawatan fase I yang diberikan seperti pengecekan kembali keadaan rongga mulut pasien
berupa pengecekan kedalaman poket gingiva pasien, oral hyigiene pasien sudah membaik atau
belum dengan mengecek plak dan kalkulus serta mengecek apakah masih terjadi inflamasi
gingiva pasien. Lalu dapat dilanjutkan dengan fase IV/fase pemeliharaan. Dokter gigi sangat
perlu memberikan fase IV dalam perawatan gingivitis pasien. Pasien harus melakukan kunjugan
berkala yang teratur dengan interval kunjungan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
Dalam kunjungan berkala ini dilakukan kontrol plak oleh dokter gigi dan mengevaluasi keadaan
gingiva yaitu adanya poket dan inflamasi. Pasien juga dapat melakukan oral hyigiene dirumah
dengan menyikat gigi secara benar dan teratur, pemakaian obat kumur sesuai kebutuhan dan
penggunaan dental floss jika dibutuhkan.

2.7 PROGNOSIS KASUS


Prognosis gingivitis dibagi berdasar peranan inflamasi dalam pathogenesis yakni (1)
inflamasi merupakan perubahan patologis satu-satunya/gingivitis simple (2) perubahan
inflamatori dikomplikasi oleh perubahan jaringan yang disebabkan faktor sistemik/gingivitis
terkomplikasi. Untuk kasus pada skenario, kita tau bahwa tidak terdapat faktor sistemik, maka
dapat disimpulkan gingivitis pada pasien tersebut adalah gingivitis simple yang mana prognosis
nya ditegakkan berdasarkan:
1. Penyingkiran iritan lokal
Penilaian: apakah iritan lokal dapat diungkapkan dan disingkirkan.
7
2. Kontur gingiva yang kondusif bagi kesehatan
a) Perubahan kontur berkaitan dengan perubahan gingiva Penilaian: dapat atau tidak
pembesaran gingiva disingkirkan
 Oedematous
Pembesaran menyusut dengan penskeleran dan penyerutan akar.
 Fibrous
Penilaian: apakah gingivektomi/flep dapat dilakukan
b) Hubungan mukosa-gingiva Diperiksa dengan tes regangan/tension test
 Tes regangan negative bila gingiva cekat adekuat
 Tes regangan positif bila gingiva cekat inadekuat.
Maka penilaiannya adalah dapat/tidak prosedur bedah mukogingiva dilakukan
3. Kooperatif pasien penilaian berdasarkan
 Kemauan dan kemampuan pasien untuk melakukan program kontrol plak.
 Kemampuan pasien menjalankan fase pemeliharaan secara teratur.11
Jika dikaitkan dengan kasus, maka prognosis akan baik apabila penyingkiran iritan lokal
dapat disingkirkan, kondisi kontur gingiva dapat diperbaiki, serta pasien kooperatif dalam
menjalankan terapi.11
Prognosis sinusitis sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan dan
komplikasi penyakitnya. Jika, drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi
operatif maka pasien mempunyai prognosis yang baik. Penanganan yang tepat dapat membuat
penyakit ini sembuh sempurna. Tetapi faktor alergi dapat mempengaruhi prognosisnya. Penyakit
ini biasanya bisa bertahan selama beberapa tahun tapi dapat sembuh spontan pada usia
pertengahan Selain itu, prognosis untuk sinusitis kronis tergantung pula pada penyebabnya
1. Viral sinusitis, biasanya sembuh tanpa pengobatan khusus
2. Bakteri sinusitis
a. Akut bakteri sinusitis: Sampai dengan 10% dari pasien tidak menanggapi
terapi antimikroba awal
b. Bakteri sinusitis kronis: Kekambuhan adalah umum. Kesembuhan klinis sangat
sulit, meskipun kursus berulang agen antibakteri dan operasi sinus.
3. Jamur sinusitis, akut sinusitis jamur (misalnya, mucormycosis). Pasien biasanya datang
dengan penyakit lanjut. Prognosis buruk, terutama dalam kasus-kasus otak, sinus

8
kavernosus, atau keterlibatan karotis. Angka kematian keseluruhan dari mucormycosis
rhinocerebral adalah 25-50%. Sinusitis jamur kronis sering berulang.12

BAB III
PENUTUP

Sesuai skenario, hasil anamnesis dan pemeriksaan intraoral dan ekstraoral yang dilakukan
dokter gigi terhadap pasien dapat ditegakkan diagnosis bahwa pasien menderita sinusitis maksila
kronis untuk keluhan nyeri. Nyeri yang terjadi pada pasien di akibatkan oleh adanya
penyumbatan sinus. Apabila aliran hidung terhambat maka sekresinya menumpuk dan
terperangkap bersama udara didalam sinus dan menekan di dinding sinus yang berulang sehingga
menimbulkan rasa nyeri. Dimana ostium yang membengkak akan tertutup, membrane mukosa
pada sinus tidak menyerap oksigen dan menghasilkan tekanan negatif (atau vakum), yang dapat
menimbulkan sensasi penyumbatan wajah atau bahkan nyeri Sinusitis pada pasien tersebut
Disebut kronis karena diderita sudah lebih dari 12 minggu. Untuk perawatan sinusitis tersebut,
dokter gigi perlu merujuk pasien ke dokter spesial yang menangani sinusitis. Prognosis sinusitis
sangat tergantung kepada tindakan pengobatan yang dilakukan dan komplikasi penyakitnya. Jika,
drainase sinus membaik dengan terapi antibiotik atau terapi operatif maka pasien mempunyai
prognosis yang baik. Tetapi faktor alergi dapat mempengaruhi prognosisnya.
Selain itu, terjadi gingivitis pada rongga mulut pasien. Gingivitis merupakan suatu
inflamasi yang melibatkan jaringan lunak di sekitar gigi yaitu jaringan gingiva.Pada kasus
pasien, perawatan yang dapat dilakukan pada pasien adalah perawatan fase I dan fase IV.
Prognosis untuk kasus gingivitis pasien adalah baik. Pasien belum mengalami kehilangan tulang
alveolar dan perlekatan, iritan lokal bisa diatasi dan pasien mau kooperatif menjaga oral hyigiene
serta pasien tidak mempunyai penyakit sistemik yang memperburuk keadaan gingivitis.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Nurmalasari Y, Nuryanti D. Faktor Faktor Prognostik Kesembuhan Pengobatan


Medikamentosa Rinosinusitis Kronis di Poli HTHT RSUD A. Ddi Tjokrodipo Bandar
Lampung. Jurnal Ilmu Kedoktern dan Kesehatan2017; 3(4):188-97..
2. Wardani NK. Hubungan Gambaran Foto Waters dan Gejala Klinik Pada Penderita
Dengan Dugaan Sinusitis Maksilaris Di RSUP Prof Dr. RD Kandou Manado Periode 1
Oktober 2012–30 September 2013. e-CliniC. 2014; 2(1): 1-3.
3. William JW, Simel DL, Roberts L, Samsa GP. 1992. Clinical evaluation for sinusitis.
Making the diagnosis by histoy and physical examination. Ann. Intern. Med. 117 (9):
705-10.
4. Kasim M, Buchori RM. Hubungan Rinosinusitis Kronik Dengan Rinitis Alergi. Jurnal
Ilmiah Kesehatan Sandi Husada. 2020; 11(1): 275.
5. Rinaldi R, Lubis HM, Daulay RM, Panggabean G. Sinusitis pada Anak. Sari Pediatri.
2016; 7(4): 245- 246.
6. Posumah AH, Ali RH, Loho E. Gambaran Foto Waters pada Penderita dengan Dugaan
Klinis Sinusitis Maksilaris di Bagian Radiologi FK UNSRAT/SMF Radiologi BLU
RSUP PROF. Dr. RD Kandou Manado Periode 1 Januari 2011–31 Desember 2011.
eBiomedik. 2013; 1(1): 130.
7. Diah D, Widodorini T, Nugraheni NE. Perbedaan angka kejadian gingivitis antara usia
pra-pubertas dan pubertas di Kota Malang. E-Prodenta Journal of Dentistry. 2018; 2(1):
109.
8. Pawinru AS. Etiology and treatment of mouth breathing habit. MDJ (Makassar Dental
Journal). 2020; 9(3): 244-245.
9. Sasea A, Lampus BS, Supit A. Gambaran status kebersihan rongga mulut dan status
gingiva pada mahasiswa dengan gigi berjejal. e-GiGi. 2013;1(1): 53-57.
10. Carranza FA, Jr. The treatment plan, in: Carranza FA Jr & Newman MG (eds), Clinical
Periodontology, 8th edition, Philadelphia, WB Saunders Co., 1996, p: 399-401.

10
11. Susanto I. Prognosis Penyakit Gingiva dan Periodontal. 2018.
https://docplayer.info/47052607Prognosis-penyakit-gingiva-dan-periodontal.html . 21
Maret 2021.
12. Amanda S, Battisti, Modi P, Pangia J. Sinusitis. 20 November 2020.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470383/. 25 Maret 2020.

11

Anda mungkin juga menyukai