Anda di halaman 1dari 8

Pasraman for Pokemon : Sebuah Upaya dalam Mengembangkan Nilai Moral

Generasi Millenial berlandaskan Tri Kaya Parisudha


I Gusti Agung Gede Bayu Banyuning – Universitas Udayana

Pada era digital seperti saat ini perkembangan informasi tersebar luas dan
dapat diakses dengan sangat mudah. Hal ini menyebabkan berbagai nilai dari luar
yang negatif sulit untuk dapat disaring sehingga dengan mudah mempengaruhi
pemikiran dan karakter generasi millennial, serta menimbulkan kekhawatiran
terhadap pengikisan jati diri yang terkait merosotnya penghayatan nilai-nilai
keagamaan, nasionalisme, nilai sosial budaya bangsa dan perkembangan moralitas
individu.
Moral seseorang dapat dilihat dari cara berpikir, perkataan dan perbuatan dari
orang itu sendiri. Secara etimologis, kata moral berasal dari kata mos dalam bahasa
Latin, bentuk jamaknya mores, yang artinya adalah tata-cara atau adat-istiadat. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:592), moral diartikan sebagai akhlak, budi
pekerti, atau susila. Di sekolah siswa memerlukan institusi dan sesi formal untuk
mendapatkan pengetahuan moral (moral knowing), untuk menghargai nilai-nilai
murni (moral feeling) dan untuk melaksanakan moral (moral action) yang baik.
Sebab perilaku dan moralitas tidak terbentuk begitu saja atau membiarkan seorang
anak berkembang apa adanya (Hambali, 2015). Namun demikian, masih banyak
terdapat kasus tentang merosotnya nilai moral anak (generasi muda). Contohnya
masih banyak terjadi aksi perudungan antar anak, terdapat anak yang melawan
perkataan orang tua, dan masih ada anak yang suka berbohong.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang dilansir dari
Tempo.co, jumlah kasus pendidikan di Indonesia per tanggal 30 Mei 2018 adalah
beberapa kasus, dengan rincian; anak korban tawuran sebanyak 23 kasus atau 14,3
persen, anak pelaku tawuran sebanyak 31 kasus atau 19,3 persen, anak korban
kekerasan dan bullying sebanyak 36 kasus atau 22,4 persen, dan anak pelaku
kekerasan dan bullying sebanyak 41 kasus atau 25,5 persen. Hal ini memperlihatkan
bahwa masih banyak generasi muda masih belum bisa menerapkan fungsi berpikir,
berucap dan bersikap yang baik kepada orang lain.
Dalam ajaran Agama Hindu, fungsi berpikir, berucap dan bersikap tersebut
dikenal dengan sebutan Tri Kaya Parisudha. Tri Kaya Parisudha memiliki
pengertian yaitu Tri artinya tiga, Kaya artinya gerak atau perbuatan dan Parisudha
artinya suci. Tri Kaya Parisudha berarti tiga perbuatan yang disucikan merupakan
salah satu kearifan lokal sosial yang dimiliki masyarakat Bali. Berpikir yang benar
(manacika), berkata yang benar (wacika) dan berbuat yang benar (kayika) adalah inti
dari konsep Tri Kaya Parisudha. Mengutip Mahatma Gandhi, “Happiness in when
what you think, what you say, and what you do are in harmony”, dapat diterjemahkan
bahwa pikiran, perkataan dan perbuatan haruslah sejalan. Kepribadian yang terdiri
dari lima nilai yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri dan integritas erat
kaitannya dengan konsep Tri Kaya Parisudha.

Eksistensi Penerapan Nilai Tri Kaya Parisudha Masa Kini (Era Millenial)

Bangsa ini sudah tidak dijajah dengan senjata, melainkan dengan teknologi.
Gempuran teknologi yang dahsyat telah memberikan kemudahan bagi kehidupan kita.
Salah satunya yaitu kemudahan dalam bidang informasi dan teknologi (IT). Namun,
generasi millenial yang belum paham betul bagaimana memilih dan memilah
informasi ataupun menggunakan teknologi dengan bijak, maka mereka akan
cenderung terjerumus dalam hiruk pikuk dampak negatif IT. Dampak negatif IT yang
sering terjadi belakangan ini salah satu contohnya adalah berita hoax. Ini
mencerminkan bahwa masih ada beberapa oknum yang tidak memiliki etika yang
baik dalam bidang redaksional (memberikan informasi).
Menurut survei yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia
(MASTEL) pada tahun 2019, sebesar 88% masyarakat memilih bahwa mereka sering
mendapatkan berita bohong yang disengaja, 61% memilih menerima berita yang tidak
akurat, dan 31% memilih mendapatkan berita tentang menjelekkan orang lain.
Berdasarkan data ini, kita dapat menilai bahwa penyebar berita palsu (hoax) tersebut
masih belum bisa menggunakan potensi dasar alamiah yang mereka miliki dengan
bijak.
Setiap manusia memiliki tiga potensi dasar alamiah yang disebut dengan
istilah Tri Premana, yakni bayu (kemampuan bergerak), sabda (kemampuan
berbicara) dan idep (kemampuan berpikir). Ketiga potensi dasar alamiah ini perlu
dibangkitkan dan diseimbangkan agar membentuk kepribadian manusia yang
berkualitas. Dalam penyebaran berita hoax ini maka beberapa oknum tersebut dapat
dikatakan bahwa mereka belum bisa menggunakan dengan baik dari kemampuan
berpikir, berucap dan bertindak tentang memberikan dan menyampaikan informasi.
Konsep nilai dari ajaran Tri Premana ini juga memiliki makna yang sama
dengan konsep nilai dari ajaran Tri Kaya Parisudha, yakni manacika (pikiran),
wacika (perkataan) dan kayika (perbuatan). Kedua konsep ajaran tersebut selaras
dalam meningkatkan kualitas manusia untuk membentuk kepribadian moral dan etika
mereka.
Tri Kaya Parisudha mengajarkan tentang bagaimana cara manusia dalam
berpikir, berkata dan bertingkah laku yang baik. Ajaran ini mendidik seseorang agar
dapat mengendalikan dasendria (sepuluh indera) yang sulit dikontrol oleh diri sendiri
sebagai manusia. Oleh sebab itu, manusia hendaknya tetap berpedoman dengan
ajaran Tri Kaya Parisudha untuk meminimalisir dampak negatif dari penggunaan
indera tersebut. Dalam lontar Tri Kaya Parisudha/Resi Sesana 2a ditegaskan bahwa:
Sang Hyang Tri Kaya Parisudha de sangsewaka dharma, mangkana ling
sangpaòdita Ndhyata patakoning ala lawanhayu, úabdha tan patût ikâ
mahala úabdha patût ikâ hayu, mangkana kalinganta, hana Sang Hyang
Daúa Úilâ ngaranya, ika pakatonan hala hayuning ulah œabdhalawan
ambêk, lwirnya nihan, cakºu, œrote,grana, twak, jihwa, pada, payu, pasta,
waknahan tikang dwa daœa puluh wiji detunggal wiºayanya ikâ, ndhya
pratykanya patunggalaning wiºanya, sugyan mangkanâlingta sang para
nihan.

Terjemahannya:
Melaksanakan ajaran Sang Hyang Tri Kaya Parisudha oleh orang yang
menjunjung tinggi kebenaran. Demikian sabda sang pandita. Ada pertanyaan
baik dan buruk, segala perkataan yang tidak baik adalah dosa besar, perkataan
yang benar adalah baik, demikianlah kebenarannya, ada Sang Hyang Dasa
Sila namanya. Itu adalah wujud segala perkataan dan perbuatan baik dan
buruk, seperti : mata, bibir, hidung, lidah, tangan, kaki, pantat, alat kelamin.
Inilah dua belas biji yang memiliki masing-masing berbeda keguanaannya.
Inilah tata cara menyatukan segala keguanaanya. Oleh karena itu inilah
yang dikatakan oleh beliau:

Disebutkan juga dalam lontar Tri KayaParisudha/Resi Sesana 2.2b. bahwa:


Telihên Sang Hyang Tri Kaya Parisudha,mengêt pwa kita ri pawkasan mami,
hilanghyuntaring hala hayu, elikta ikang, malitikang manah, sambega ujara
manis.

Terjemahannya:
Bercerminlah dari Sang Hyang Tri Kaya Parisudha. Ingatlah kamu tentang
akibat dari perbuatan kamu. Hilangnya pikiranmu dari segala yang baik dan
buruk, keinginanmu terhadap segala yang buruk, menyebabkan pikiranmu
kerdil, dasari dengan mengucapkan kata yang manis.

Berdasarkan kutipan sloka diatas dapat diartikan bahwa seseorang perlu


menanamkan nilai ajaran Tri Kaya Parisudha dalam hidupnya, untuk menjadi
pedoman dalam berpikir, berkata dan bertindak yang baik. Maka dari itu, keberadaan
dari ajaran Tri Kaya Parisudha ini perlu dilihat dan diterapkan agar mampu
meminimalisir dampak negatif dari permasalahan indera seperti tidak menyampaikan
berita hoax tersebut.

Pasraman for Pokemon (Potensi Kecerdasan Emosional) dalam Upaya


Mengembangkan Nilai Moral Generasi Muda Millennial

Masyarakat global saat ini secara serius dihadapkan pada pengaruh sistem
nilai sekuler dan materialis. Semua lapisan masyarakat baik orang tua, pendidik,
agamawan, kini tengah menghadapi dilema besar dalam pendidikan, yaitu tentang
bagaimana cara terbaik untuk mendidik generasi muda dan mempersiapkan mereka
menghadapi tantangan global di masa mendatang (Zainuddin, 2008:01). Masyarakat
yang memperoleh pendidikan yang tepat akan menghasilkan masyarakat yang
beradab, bermoral dan berperikemanusiaan. Sistem pendidikan yang salah akan
menghasilkan masyarakat yang tidak memiliki moral, meskipun mereka menguasai
IPTEK. Pandangan tersebut menunjukkan bahwa pendidikan adalah cara untuk
membentuk peradaban manusia. Mengenyam pendidikan yang baik dan benar maka
akan bermanfaat serta mengantarkan individu memiliki kualitas yang baik pula dalam
dirinya. Bermanfaat disini tentu berarti lebih komprehensif daripada manfaat-manfaat
duniawi yang sering kita unggulkan sementara ini.
Kegagalan paradigma modern dalam membangun manusia dan peradaban
manusia merupakan kelemahan dalam dunia pendidikan maka diperlukan kajian
pendidikan menurut pandangan Agama, sebagai perbandingan yang berguna sebagai
acuan agar paradigma modern dapat diteliti letak kelemahan konsep-konsepnya,
sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya kesadaran masyarakat akan pendidikan
(Naradha, 2004:152). Berdasarkan kajian emperik maka konsep pendidikan yang
diharapkan saat ini adalah konsep akulturasi pendidikan tradisional dengan
pendidikan modern. Konsep akulturasi pendidikan ini akan melahirkan pendidikan
berdasarkan lokal genius namun berwawasan global dalam wujud pendidikan di
pasraman.
Dalam Wikipedia (April, 2021) disebutkan bahwa pasraman adalah lembaga
pendidikan khusus bidang agama hindu. Pada sekolah formal agama Hindu diajarkan
sebatas ilmu pengetahuan, sedangkan di pasraman bukan hanya sebatas ilmu
pengetahuan, melainkan sebagai bentuk latihan disiplin spiritual dan latihan menata
hidup yang baik. Kata “Pasraman” berasal dari kata “Asrama” (dikenal dengan
sebutan ashram) yaitu artinya tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar atau
pendidikan. Pasraman dalam Sistem Pendidikan Nasional saat ini merupakan bagian
dari jalur pendidikan non-formal (Sisdiknas, Bab VI;pasal 14 & 55; Sila (2016) &
Subagia, 2017).
Optimalisasi pasraman merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan
untuk mengembangkan nilai moral generasi muda kususnya di era millennial seperti
saat ini. Melalui lembaga pendidikan non-formal seperti Pasraman Brahma Vidya
Samgrha misalnya. Pasraman ini terletak di Desa Penarungan, Kecamatan Buleleng,
Kabupaten Buleleng. Pasraman Brahma Vidya Samgrha merupakan akulturasi sistem
pendidikan antara sistem pendidikan tradisional dengan sistem pendidikan modern.
Prabhavananda (dalam Suarnaya, 2020) menjelaskan bahwa Pendidikan tradisional
Hindu di pasraman masih diterapkan dengan pembelajaran dimana sisya/siswa duduk
dekat dengan tekun atau juga dikenal dengan istilah Upanisad. Sistem pendidikan
modern diadopsi karena para sisya/siswa tidak tinggal bersama guru, artinya para
sisya setelah pembelajaran pulang ke rumah masing-masing, hal ini dimungkinkan
karena perkembangan jaman yang dapat mempengaruhi sistem pendidikan di
pasraman atau pendidikan berdasarkan lokal genius namun berwawasan global.
Keunikan keberadaan pendidikan di pasraman mampu mengelaborasi
pendidikan abad ke-21 yang diwarnai dengan pengaruh-pengaruh globalisasi
sehingga memiliki wawasan global. Namun pembelajaran di pasraman
mengelaborasi kearah demokratisasi belajar dan merdeka belajar, “bertumpu pada
empat pilar belajar yaitu learn to know, learn to to, learn to be dan learn to life
together sehingga memiliki ketrampilan hidup (life skill)” (Naradha, 2004:155). Pada
Pasraman Brahma Vidya Samgrha ini, penanaman nilai dalam Panca sraddha
merupakan satu kesatuan dalam kehidupan para sisya sehari hari. Penanaman nilai
moral yang ada dalam tattwa seperti selalu mengucapkan rasa syukur atas anugrah
dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan) dan menyadari keberadaan Tuhan melalui
penerapan japa mantra, yang merupakan metode klasik transmisi pengalaman
spiritual dengan mendengarkan, berpikir reflektif dan bermeditasi (Sravana, Manana
dan Nidhidhyasana) (Rao, 2010).
Moral seseorang dapat mempengaruhi karakter dan kepribadian orang itu
sendiri. Widjaja (1985:154) menyatakan bahwa moral adalah ajaran baik dan buruk
tentang perbuatan dan kelakuan (akhlak). Pada pasraman, siswa diajarkan untuk
menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama yang bersumber dari Tuhan,
menghargai sesama dan penerapan ajaran Tat twam Asi yang mengajarkan persamaan
rasa sosial, toleransi, serta kasih sayang (dalam arti luas) dengan sesama.
Istilah pasraman for pokemon merujuk pada korelasi antara sistem
pembelajaran di pasraman dengan potensi kecerdasan emosional. Betapa tidak, diusia
muda yang cenderung labil, lebih mudah untuk melakukan sesuatu yang dilihat dan
didengar. Melalui Pasraman Brahma Vidya Samgrha ini yang mengajak generasi
millennial untuk melatih pola pikir sekaligus mental dalam bersosial maka
diharapkan akan mampu mendorong moral dan akhlak mereka menjadi lebih terarah,
dimulai dari cara mereka dalam berpikir, berkata dan bertingkah-laku.
Menurut Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2001), kecerdasan emosional
merupakan kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang
lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan.
Individu yang mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi akan mampu mengatasi
berbagai masalah atau tantangan yang muncul dalam hidupnya. Dalam
mengembangkan resiliensi, peran kecerdasan emosional sangatlah penting. Sama
seperti ketika seseorang mendapatkan didikan yang tepat tentang bagaimana cara
mengasah pola pikir, maka kecerdasan emosional mereka akan menjadi meningkat.
Potensi kecerdasan emosional (pokemon) yang didapatkan dari metode
pembelajaran pasraman sangatlah potensial untuk dikembangkan. Sebagai lembaga
pendidikan non-formal, pasraman tersebut dapat dijadikan referensi untuk seseorang
dalam mengenyam pendidikan, bukan hanya tentang wawasan/ilmu pengetahuan,
tetapi juga tentang pembelajaran kehidupan sehar-hari dimulai dari kegiatan gotong
royong dan aktivitas social lainnya
Mencermati begitu menariknya cara meningkatkan kualitas moral sesuai
ajaran Tri Kaya Parisudha pada Pasraman Brahma Vidya Samgrha ini, maka generasi
muda seyogyanya tergugah jiwanya untuk terus mampu belajar mengontrol pola
pikir, sikap dan perkataan guna menjadikan kualitas diri menjadi baik termasuk
dalam pandangan masyarakat. Bagi pihak pasraman diharapkan terus
mengoptimalkan pelaksanaan pembelajaran gabungan antara metode ajaran
tradisional dan modern tersebut guna meningkatkan daya motorik siswa dalam
mengembangkan moralnya. Untuk pemerintah seyogianya terus memfasilitasi pihak
pasraman dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan khususnya dalam upaya
menciptakan sistem pendidikan yang berkelanjutan (up to-date).
DAFTAR PUSTAKA

Data Jumlah Pendidikan Kasus di Indonesia dilansir dari Tempo.co dapat diakses di:
https://nasional.tempo.co/read/1109584/hari-anak-nasional-kpai-catat-
kasus-bullying-paling-banyak (diakses pada tanggal 18 April 2021)
Data Survei oleh Masyarakat Telematika Indonesia dapat diakses di:
https://mastel.id/wp-content/uploads/2019/04/Survey-Hoax-Mastel-2019-
10-April-2019.pdf (diakses pada tanggal 18 April 2021)
Goleman. 2001. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Alih Bahasa:
Widodo, A.T. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hambali. 2015. Class room as a Medium to Develop Character Values. Proceeding 2
nd International Conference on Current Issues in Education (ICCI) ISSN:
2460-7185
Lontar Tri Kaya Parisudha/Resi Sesana, Denpasar: Unit Pelaksanaan Dokumentasi
Kebudayaan Bali.
Naradha, S. (2004). Ajeg Bali Sebuah Cita-Cita. Denpasar: Bali Post.
Pengertian Pasraman tersedia di https://id.wikipedia.org/wiki/Pasraman (diakses
pada tanggal 18 April 2021)
Rao, K. R. (2010). Indian psychology: Towards a psychology of the future. In D. K.
Bhattacherjee (Ed.), Psychology and education: Indian perspectives (pp. 5–
33). New Delhi: Indian Council of Education Research and Training.
Suarnaya, I. P. (2020). Eksistensi Pasraman Dalam Menanamkan Nilai Moral Bagi
Umat Hindu. Cetta: Jurnal Ilmu Pendidikan, 3(2), 205-218.
Subagia, I. N. (2017). Keberadaan Pasraman Sebagai Penguatan Budaya Lokal
Dikaitkan Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007. VIDYA
SAMHITA: Jurnal Penelitian Agama, 2(2).
Widjaja, AW. 1985. Kesadaran Hukum Manusia dan Masyarakat Pancasila. Jakarta:
Era Swasta
Zainuddin. 2008. Inovasi Pendidikan Berbasis Masyarakat: Studi Kasus terhadap
Pesantren Nurul Hakim Kediri. Malang

Anda mungkin juga menyukai