Anda di halaman 1dari 19

INTERNALISASI NILAI-NILAI MORAL DALAM MEMBENTUK

KARAKTER ANTI KORUPSI TERHADAP SANTRI DI

PP. ANNUQAYAH LUBTARA PUTRI.

Subna El Hidayah
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Prodi Tasawuf & Psikoterapi
elsana1002@gmail.com

Tatimmatul Umah
Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Prodi Tasawuf & Psikoterapi
tatimmatul_umah@gmail.com

Abstract
Santri is one of the assets that promote the movement of religious values. This is motivated by the participation
of Islamic boarding schools in educating and targeting students to always deepen their religious knowledge.
Today, more and more students are mushrooming who have lost their existence as a santri, as the next
generation of religion. They prefer to choose to live according to modern trends, both in terms of speech and
behavior. Therefore it is important to internalize moral values towards santri so that the influence of the times on
the corrupt character of santri is known. This study used a qualitative field method with observation techniques,
interviews and documentation. The data analysis technique uses Miles and Huberman's technique. The results
of this study indicate that there are three classifications of moral values that must be re-strengthened in the
personality of the santri, two factors for inculcating moral values for the santri, and four strategies for
inculcating moral values for the santri. Of all the research results that will be given to the Div. PPA Security &
Code of Conduct of Lubtara Putri, it is hoped that there will be good and appropriate countermeasures related to
the lack of moral students.
Keywords: Internalization, Anti-Corruption Morale, Santri, Sumenep

Abstrak
Santri merupakan salah satu aset penggalang bergeraknya nilai-nilai keagamaan. Hal tersebut dilatar
belakangi oleh keikutsertaan pesantren dalam mendidik serta membidik santri untuk selalu
memperdalam keilmuan agama. Dewasa ini, semakin menjamur santri yang kehilangan eksistensinya
sebagai seorang santri, selaku generasi penerus agama. Mereka lebih suka memilih hidup sesuai trend
modern, baik dari segi ucapan maupun tingkah laku. Oleh karena itu penting untuk dilakukan
internalisasi nilai-nilai moral terhadap santri agar diketahui pengaruh zaman terhadap karakter
koruptif santri. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif lapangan dengan teknik observasi,
wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan teknik milik Miles dan Huberman.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat tiga klasifikasi nilai moral yang harus kembali
diperkokoh dalam pribadi santri, dua faktor penanaman nilai-nilai moral terhadap santri, dan empat
strategi untuk penanaman nilai moral kepada santri. Dari seluruh hasil penelitian yang akan
diberikan kepada pengurus Div. Keamanan & Tata Tertib PPA. Lubtara Putri ini, diharapkan akan
adanya penanggulangan yang baik dan tepat terkait minimnya moral santri.
Kata kunci: internalisasi, Moral Anti Korupsi, Santri, Sumenep.

A. PENDAHULUAN

a. Latar Belakang
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dengan mudah ditemukan

dimanapun. Bahkan sejarah dapat membuktikan bahwa setiap Negara di dunia

ini mengantongi kasus korupsi masing-masing. Bahkan dari tahun ke tahun

kasus korupsi semakin meninggi dalam hitungan diagram penegak hukum

Indonesia.1 Penyelewengan hak dan wewenang hampir terjadi di semua sektor.

Dan hal ini berimbas tidak hanya kepada aspek ekonomi masyarakat, tetapi juga

dalam pembentukan karakter penerus bangsa, sosial, keamanan, HAM, bahkan

dalam aspek spiritualitas.

Secara harfiah, korupsi berasal dari kata Latin “corruptio” atau “corruptus” yang

berarti kerusakan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, dan tidak

bermoral kesucian.2 Dan kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis

“Corruption” yang berarti menyalahgunakan wewenangnya, untuk

menguntungkan dirinya sendiri.3Namun Sam Santoso membuat suatu

kesimpulan bahwa korupsi adalah bentuk lain dari pencurian. Korupsi

merupakan wujud penyimpangan tingkah laku tugas resmi suatu jabatan secara

sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk

perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Konon untuk memperoleh

jabatan itu ada biayanya, yang dianggap sebagai kewajiban oleh pelaku. Karena

itu, seorang pejabat merasa berhak untuk korupsi. 4 Sementara itu salah satu bukti

masih berlangsungnya kasus korupsi di Indonesia dapat dengan jelas terlihat

dalam kasus penetapan KPK terhadap mantan pejabat Ditjen Perimbangan

Keuangan, atas sangkaan kasus suap dana perimbangan daerah yang terjadi +

lima bulan yang lalu.

Dari hal ini, pesantren yang secara empiris dikenal sebagai institusi yang

sukses dalam membangun pendidikan yang berkualitas, khususnya di bidang

agama,5 perlu mengagendakan suatu pemberantasan dan pencegahan korupsi di

1
Yadi Imansyah, dkk, “Implementasi Nilai-Nilai Anti Korupsi Dalam
Pembentukan Karakter Mahasiswa (Studi Di Universitas Nahdlatul Ulama Nusa
Tenggara Barat)” Retorika: Journal of Law, Social, and Humanities Vol. 1 No. 1, Juli 2022, 2.
2
Martiman Prodjohamidjojo, Op. Cit., hal. 8.
3
I.P.M Ranuhandoko, 1996, Terminolohi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 177.
4
Ibid, hal 9.
5
Tamrin Fathoni, “Pesantren Dan Penanaman Sikap Anti Korupsi” AL-MANHAJ;
Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam Vol. 1, No. 1, Januari 2019, 5.
berbagai instansi, baik berupa seminar penanaman moral dan anti korupsi, atau

upaya lain yang dapat dilaksanakan di pesantren. Sebab dalam permasalahan ini,

pesantren menduduki julukan sebagai suatu lembaga pendidikan materi dan

spiritual yang dapat memberi harapan pemecahan masalah serius yang sudah

sering terbengkalai ini. Bahkan pesantren dianggap memiliki peran sentral untuk

menerapkan budidaya anti korupsi tersebut. Karena dalam dunia pesantren,

seluruh penghuni seakan-akan dituntut untuk mematuhi segala peraturan yang

telah ditetapkan, baik oleh pengurus pesantren atau Kiai selaku pemimpin yang

paling disegani di pesantren, tak luput pula Pondok Pesantren Annuqayah

Lubtara Putri yang sekitar 70% santrinya telah mengaktualisasikan nilai moral

dalam kehidupan berpesantren mereka, tempat penelitian ini dilakukan. Maka

untuk mewujudkan serta mengembangkan hal tersebut diperlukan landasan

nilai-nilai moral yang harus tertanam dalam diri masing-masing santri, minimal

seperti pemaknaan terhadap budidaya antri di pesantren. Dimulai dari praktik

kecil semacam membudidayakan antri dalam berbagai urusan di pesantren,

santri akan terlatih untuk tidak belajar mengkorupsi keadaan atau waktu

tertentu. Dan dalam penerapan budidaya antri ini di PPA. Lubtara Putri,

mayoritas moral santri lebih mengarah kepada penilaian positif. Ada sekitar 15%

santri yang masih dirasa sulit menerapkannya dengan baik, sehingga mereka

mudah mumbully, menghardik, atau mengomel apabila dalam suatu urusan

yang memerlukan antri. Contoh lain adalah mengerjakan sesuatu sesuai waktu

yang ditentukan pesantren. Maksudnya, pada waktu jam belajar, seluruh santri

harus belajar, saat salat berjemaah semua santri juga diperkenankan

mengikutinya dengan tertib. Begitu seterusnya untuk urusan seperti ajian kitab

dan lainnya.

Dari permasalahan ini, peran pesantren menjadi solusi untuk mendidik

generasi muda agar tidak terjebak dengan tindakan korupsi baik di lingkungan,

masyarakat, ataupun negara. Maka pesantren Lubtara Putri melakukan banyak

upaya untuk menggalang generasi anti korupsi ini sejak masih remaja. Misalnya,

pengoreksian jam belajar dan waktu salat berjemaah secara teratur,

membiasakan berlakunya forum diskusi, pentas seni, dan mengokohkan budaya


literasi dengan mewajibkan setiap santri meminjam serta meresensi buku dari

perpustakaan sesuai target yang ditentukan setiap bulannya untuk mengasah

ketajaman berpikir, dan menerapkan metode modeling yang positif kepada santri

junior baik oleh pengurus atau pengasuh sekalipun dalam berbagai tindakan.

Kemudian, setia pesantren lumrahnya juga memberlakukan punishment untuk

seluruh pelanggaran sesuai konsekuensinya masing-masing. Baik bentuk

pelanggaran yang kecil ataupun besar. Namun, perlu digarisbawahi bahwa

bentuk punishment ini tidak mungkin melanggar norma dan HAM. Sebab

Pengasuh atau Kiai di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Utara Putri

melarang dengan keras diadakannya hukuman apabila akan membahayakan

korban dari segi fisik maupun psikisnya. Dan mayoritas hukuman yang

diberlakukan mengandung unsur religiusitas. Karena pada dasarnya hukuman

ini diberlakukan sebagai bentuk pelatihan kedisiplinan serta wujud pertanggung

jawaban atas pelanggaran yang telah dilakukannya demi membentuk karakter

anti korupsi kepada santri.

Akan tetapi, sedetail apapun punishment yang diberlakukan suatu pesantren

tidak akan menutup kemungkinan terjadinya kasus penyelewengan tersebut.

Karena + sekitar tiga atau empat bulan yang lalu, di Pondok Pesantren

Annuqayah Lubtara Putri terjadi suatu pelanggaran besar yang melibatkan

hubungan romantisme antara pengurus Lubtara Putri dengan pengurus Lubtara

Putra sendiri. Kasus lain yang sering terjadi dalam sistem kepengurusan di PPA.

Lubtara Putri ini adalah adalah kelompok-kelompok orang atau semacam

perkubuan yang tidak jarang bertindak sewenang-wenang bahkan menyalahi

aturan pesantren, yang tentunya secara tidak langsung dapat memarginalkan

seorang individu atau kelompok lain yang lebih kecil. Dan hal ini tentu menjadi

penghalang besar terhadap keefesiensian program kerja pesantren secara umum.

Berbeda lagi dengan kasus para santri yang mayoritas lebih cenderung kepada

pelanggaran karena mengaktifkan media sosial dan ketidakhadiran dalam salat

jemaah. Dan dua kategori pelanggaran inilah yang seringkali

dikambinghitamkan oleh para santri, dalam artian perbandingan antara

pelanggaran yang dilakukan oleh pihak pengurus dan santri terkait


ketidaksamarataan sanksi yang diterapkan. Maka, berangkat dari berbagai

tindakan koruptif yang terjadi di PPA. Lubtara Putri ini, dirasa sangat penting

menanamkan nilai kedisiplinan, keadilan, menghargai sesama, dan sikap berani

bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan, paling tidak sebagai bekal

untuk hidup dengan baik dan benar di lingkungan pesantren, lebih-lebih dalam

urusan bermasyarakat dan bernegara. Karena apabila hal demikian tidak

tanamkan oleh pihak pesantren, maka selain karena hal tersebut melanggar

norma dalam kacamata agama Islam, juga tidak dapat terbayang lagi angka-

angka korupsi yang akan terpampang sepuluh atau lima belas tahun mendatang.

Adapun wujud kebaruan penelitian ini dibandingkan penelitian-penelitian

sebelumnya adalah fakta bahwa penelitian ini lebih difokuskan meneliti proses

pembentukan nilai-nilai moral dalam membentuk karakter anti korupsi yang ada

di Annuqayah Lubangsa Utara Putri.

b. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah penulis sampaikan di atas, maka

rumusan masalah di penelitian ini sebagai berikut:

1. Apa saja nila-nilai moral yang ditanamkan PPA. Lubtara Putri dalam

pembentukan karakter anti-korupsi?

2. Apa faktor penanaman nilai-nilai moral dalam pembentukan karakter

antikorupsi di PPA. Lubtara Putri?

3. Bagaimana strategi penanaman nilai-nilai moral dalam membentuk karakter

anti-korupsi di PPA. Lubtara Putri?

c. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apa saja nila-nilai moral yang ditanamkan PPA. Lubtara

Putri dalam pembentukan karakter anti-korupsi

2. Demi mengetahui apa faktor penanaman nilai-nilai moral dalam

pembentukan antikorupsi di PPA. Lubtara Putri.

3. Untuk mengetahui strategi penanaman nilai-nilai moral yang diperlukan

dalam membentuk karakter anti-korupsi di PPA. Lubtara Putri.

d. Riset Terdahulu
Tidak sedikit ditemukan penelitian tentang kasus korupsi beredar di blog-blog

internet. Pertanda sudah begitu banyak peneliti yang mengkaji kasus, berikut

teori-teori pemberantasan korupsi tersebut, ataupun kaitan antara minim moral

dengan peran sentral pesantren dalam mengkader generasi yang mumpuni.

Beberapa diantaranya ialah pembahasan dalam Di dalam pembahasan jurnal

Internalisasi Pendidikan Karakter dan anti Korupsi dalam Mata Pelajaran pada

Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Boyolali karya Sri Hastuti, dkk

ditekankan bahwa pendidikan anti korupsi dimaknai sebagai upaya yang

dilakukan untuk meminimalisir dan memberantas korupsi adalah melalui jalur

mata pelajaran yakni pendidikan secara formal.6 Kemudian sasaran objeknya

adalah pelajar SMP di Boyolali. Dari hal tersebut, sudah ditemukan titik-titik

perbedaannya. Sementara dalam penelitian yang kami lakukan ialah menitik

beratkan kepada internalisasi nilai moral anti korupsi tidak melalui pelajaran

secara formal, kemudian para informannya berstatus sebagai santri di PP.

Annuqayah Lubtara Kabupaten Sumenep.

Sedangkan penilitian ini berlokasi khusus di Pesantren Annuqayah Lubangsa

Utara Putri sekaligus membahas detail proses pembentukan nilai-nilai moral

dalam mencetak karakter anti korupsi, dan apa saja teori internalisasi nilai-nilai

moral yang diterapkan di pesantren tersebut. Selain itu, jurnal jurnal tersebut

hanya lebih menjelaskan tentang teori kejujuran dalam membentuk karakter anti

korupsi. Padahal apabila dikaji lebih dalam, untuk menciptakan generasi anti

korupsi tidak hanya aspek kejujuran yang perlu ditekankan. Maka disinilah titik

terang perbedaannya dengan penelitian tentang anti korupsi ini. Karena

penelitian ini sifatnya lebih luas, artinya mencakup banyak teori yang bisa

diaplikasikan untuk membidik generasi anti korupsi, seperti pelatihan

kedisiplinan, kemandirian, rasa sosial tinggi, dan lainnya. Tidak hanya fokus

pada korupsi mengenai uang, tetapi juga yang lainnya. Baik itu korupsi

mengenai waktu, atau bahkan tanggung jawab.

6
Sri Hastuti, dkk, “Internalisasi Pendidikan Karakter dan anti Korupsi dalam
Mata Pelajaran pada Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Boyolali” MANHAJ:
Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam Vol. 3, No. 2, Februari 2020, 2.
Selain jurnal di atas, penelitian sebelumnya juga dilakukan oleh Nadri Taja

dan Helmi Aziz yang berjudul Mengintegrasi Nilai-Nilai Anti Korupsi dalam

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas yang pokok

penelitian untuk menciptakan generasi yang bermoral dan anti korupsi juga

melalui pendalaman materi pelajaran formal, namun dikhususkan untuk materi

PAI. Hal ini terjadi lantaran materi PAI dianggap sebagai salah satu instrumen

dari komponen kurikulum yang dapat memberikan kontribusi positif pada

aspek perubahan sikap pada siswa, yaitu melalui mata pelajaran PAI di sekolah.

Akan tetapi, sampai saat ini Pendidikan Agama Islam yang diharapkan belum

mampu membentukkarakter peserta menjadi lebih baik.7 Selain itu, objek

penelitian dalam jurnal tersebut adalah siswa SMA yang juga tidak berdomisili

di pesantren manapun.

Namun, antara jurnal Nadri Taja dan Helmi Aziz dengan penelitian ini

memiliki kesamaan, yaitu mengenai tema korupsi yang akan dibahas, artinya

bukan hanya korupsi yang bersifat tindak pidana dan melibatkan kerugian

keuangan negara atau kasus suap, namun kembali kepada definisi korupsi secara

harfiah yaitu kebobrokan, kebusukan, perbuatan curang dan sejenisnya. Jurnal

ini juga menjelaskan, dengan nilai-nilai dasar anti korupsi seperti jujur, peduli,

mandiri, disiplin, tanggung jawab, sederhana, dan kerja keras. Maka diharapkan

kabiasaan-kebiasaan yang dapat melahirkan perilaku koruptif dapat ditekan

semaksimal mungkin agar korupsi sekecil apapun bentuknya dapat dicegah.

Tidak hanya pada kedua jurnal tersebut, dalam jurnal Muhammad Aliansyah

yang berjudul “Internalisasi Nilai-nilai Spiritual Dalam Membentuk Karakter

Santri Melalui Program Tahfidzul Quran di Rumah Tahfidz Nur Hidayah.” Di

dalamnya mengkaji pembentukan karakter tidak hanya cenderung kepada

masalah korupsi, melainkan lebih umum kepada pembentukan karakter secara

luas. Bahkan, pembentukan karakter ini juga lebih dikhususkan kepada nilai-

nilai spiritual, seperti melalui tahfidzul Qura’n, dan lebih memposisikan

7
Nadri Taja dan Helmi Aziz, “Mengintegrasi Nilai-Nilai Anti Korupsi dalam
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas” Jurnal Pendidikan Agama
Islam, Vol. XIII, No. 1, Juni 2021, 40
penelitiannya di rumah tahfidz nur hidayah.8 Sedangkan penelitian kami

dikhususkan kepada pembentukan karakter mengenai masalah korupsi. Dan

tidak hanya difokuskan kepada nilai-nilai spiritual, tetapi juga terhadap nilai-

nilai lainnya seperti kedisiplinan, saling menghargai, HAM, dan lainnya yang

barangkali dapat mencegah sifat korupsi.

Maka diantara ketiga penelitian terdahulu yang telah dilakukan, sama-sama

memiliki titik fokus yang berbeda. Baik dari segi lokasi, atau bahkan sasaran

penelitian. Sehingga sekalipun tema besarnya sama-sama tentang korupsi, akan

menghasilkan makna kajian yang berbeda.

e. Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Utara

Putri selama 3 bulan terhitung dari bulan Oktober 2022 sampai dengan bulan

Desember 2022. Jenis penelitian yang dilakukan oleh peneliti merupakan

penelitian kualitatif jenis observasi lapangan.

Yang dimaksud penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada

kondisi obyek yang alamiah, yang memposisikan peneliti sebagai instrumen

kunci).9 dengan subjek yang meliputi, dua santri yang tercatat sebagai siswi MA

dan mahasiswa yang aktif di Annuqayah Lubangsa Utara Putri, ketua pengurus

yang bertugas, serta Kiai Naqib Hasan selaku pengasuh. Maka dengan begitu,

teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling,

yang menunjukkan bahwa setiap informan memiliki kesempatan dan

kemampuan yang sama dalam memberikan informasi.

Penelitian ini dilandaskan kepada pendekatan fenomenologis, yang

berarti penelitian ini menitikfokuskan fenomena pengalaman dan kesadaran jiwa

seseorang mengenai internalisasi nilai-nilai moral dalam membentuk karakter

anti korupsi pada santri di PPA. Lubtara Putri. Sementara teknik pengumpulan

datanya dilakukan secara triangulasi (gabungan Pengumpulan data penelitian

8
Mohammad Alfiansyah, Internalisasi Nilai-nilai Spiritual Dalam Membentuk
Karakter Santri Melalui Program Tahfidzul Quran di Rumah Tahfidz Nur Hidayah,
Skripsi, Program Strata 1Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, Agustus 2021, 8.
9
Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D,
(Bandung: Alfabeta, 2015), 9.
ini menggunakan metode wawancara, dan dokumentasi melalui pengawasan,

evaluasi, pengamatan pendahuluan, dan pernyataan orang-orang yang patut

dipercaya. Teknik observasi, yang merupakan suatu proses yang kompleks,

suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis. Dua

diantara yang terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan. 10 Teknik

ini biasa dipakai apabila penelitiannya berkenaan dengan perilaku manusia,

proses kerja, gejala-gejala alam, dan apabila informan diamati yang diamati tidak

terlalu besar. Dalam observasi tersebut peneliti juga terlibat dalam berbagai

problem yang diusung dengan menjadi santri di PPA. Lubtara Putri dan turut

merasakan sensasi menjadi santri yang melanggar atau melakukan

penyelewengan hak dan kewajiban, serta bagaimana faktor penanaman nilai-

nilai moral dalam pembentukan karakter antikorupsi di PPA. Lubtara Putri.

Selanjutnya teknik wawancara guna melengkapi data setelah melakukan

observasi. Wawancara merupakan kegiatan Tanya jawab antara narasumber dan

informan untuk memperoleh data yang dibutuhkan, baik dalam sebuah

penelitian atau lainnya. Wawancara ini dilakukan karena peneliti ingin

melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus

diteliti, serta ingin mengetahui hal-hal dari informan dengan lebih mendalam,

dan jumlah informannya sekali lagi bisa dikategorikan sedikit. Dalam

wawancara, peneliti memutuskan menggunakan teknik wawancara terstruktur

dengan menyediakan segala perlengkapan untuk melakukan wawancara seperti

draft pertanyaan, alat perekam dan lainnya, karena peneliti telah mengetahui

dengan pasti informasi apa yang nantinya akan diperoleh. Data-data yang

dibutuhkan dari hasil wawancara meliputi Apa saja nila-nilai moral yang

ditanamkan, apa faktor penanaman nilai-nilai moral dalam pembentukan

karakter antikorupsi, serta bagaimana strategi penanaman nilai-nilai moral

dalam membentuk karakter anti-korupsi di PPA. Lubtara Putri.

Teknik pengumpulan data yang terakhir adalah dokumentasi.

Dokumentasi tidak hanya tentang foto fenomena atau bukti wawancara di

10
Ibid, hal 145.
lapangan. Tetapi juga meliputi buku-buku, laporan penelitian, serta jurnal-jurnal

yang dipakai sebagai rujukan dalam penulisan penelitian ini.

Peneliti mengaplikasikan analisis deskriptif kualitatif sebagai analisis

data dalam penelitian ini, untuk menghasilkan penelitian yang real, aktual dan

terkonsep. Selain itu, juga bertujuan memilih data yang berhubungan dengan

masalah yang peneliti teliti dan membuang data yang tidak diperlukan,

melakukan penyajian data dalam bentuk naratif dan gambaran yang terjadi di

lapangan, penarikan kesimpulan, dan verifikasi. Analisis data tersebut bersifat

induktif/kualitatif, karena hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna

daripada generalisasi.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam proses pengumpulan

data-data penelitian adalah sebagai berikut:

1. Langkah Persiapan

Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini adalah sebagai berikut:

a. Menentukan sampel penelitian.

b. Menentukan dan menyiapkan tenaga pembantu dalam

pelaksanaan dalam pengumpulan data.

c. Menyusun daftar pertanyaan yang digunakan pada saat

wawancara.

2. Tahap Pelaksanaan Melakukan proses wawancara berdasarkan daftar

pertanyaan yang telah disusun kepada mahasiswa yang sudah

ditentukan sebagai sampel penelitian

3. Tahap Akhir Tahap akhir dari pelaksanaan penelitian ini adalah

mengolah dan menganalisis data-data yang diperoleh dalam penelitian

ini, yaitu data-data dari hasil wawancara.11

Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistic

karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting);

disebut sebagai metode etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih

banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai

metode kualitatif, karena data yang terkumpul dan analisisnya lebih bersifat

11
Ibid, 19.
kualitatif.12 Jadi jenis penelitian kualitatif sangat cocok dengan variable yang

diangkat dalam rancangan penelitian ini.

B. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Profil dan macam-macam nilai moral pada pelaku tindakan koruptif

Dari hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan kepada empat informan

mengenai macam-macam moral yang perlu tertanam ke dalam pribadi masing-

masing santri demi membina karakter anti korupsi sangatlah beragam. Prosedurnya

juga bergantung kepada latar belakang kehidupan keluarga ataupun lingkungan

sosial informan.

Yang pertama, kasus tindakan koruptif di PPA. Lubtara Pi ini sangat

beragam. Seperti halnya, penyelewengan anggaran pesantren, pelanggaran terhadap

peraturan, perilaku ghasab, sering terlambat menghadiri salat Jemaah ataupun ajian

kitab, dll. Penanganan pertama yang harus dilakukan yaitu pengokohan pemahaman

fundamental santri. Mengenai hal tersebut K. H. Naqib Hasan berargumen bahwa

“Pemahaman fundamental santri di Annuqayah secara umum adalah meliputi tigal hal, yaitu

tasawuf, syariah, dan sains.”13 Namun menurut pandangan beliau, untuk kasus

semacam tindakan koruptif sekecil apapun di pesantren, maka nilai yang perlu

ditanamkan terlebih dahulu adalah pemahaman dari segi tasawuf. Nilai-nilai yang

terkandung dalam tasawuf sangatlah banyak, akan tetapi semua hal tersebut adalah

berbicara tentang akhlak, baik akhlak anak kepada orang tua, kepada guru, kepada

sesama teman yang lebih senior ataupun junior, akhlak untuk menghargai waktu,

kepada alam secara umum, dan masih banyak lagi. Intinya hidup seseorang tidak

pernah terlepas dari kebutuhan kepada akhlak. Apalagi di dunia yang tengah

dikepung oleh arus teknologi, baik positif maupun negatif. Maka dari problem ini

santri sangat butuh untuk diberi pemahaman tentang akhlak sedini mungkin. Jika

sudah dirasa terlambat karena tidak dilakukan sejak di keluarga masing-masing,

tentu bisa dilakukan ketika masih tahun-tahun pertama bermukim di pesantren, agar

akhlak tersebut bisa mendarah daging dalam artian menjadi karakter pribadi masing-

masing santri. Namun jika hal tersebut juga dirasa terlambat untuk dilakukan, maka

cara terakhir yang perlu dilakukan adalah menunggu kesadaran dari santri yang

12
Ibid, 8.
13
Informan pertama, yaitu K. H. Naqib Hasan (pengasuh PPA. Lubtara)
sering melakukan tindakan koruptif tersebut. Dan secara konseptual, disadari

ataupun tidak, menunggu kesadaran ini memerlukan waktu yang lama.

Sementara pandangan Sulistiawati selaku informan kedua sekaligus ketua

pengurus PPA. Lubtara Putri tentang nilai-nilai moral yang perlu ditanamkan

kedalam kepribadian santri yaitu “perlunya akhlak yang baik, dimulai dari menyikapi hal-

hal yang remeh dan sederhana.”14 Alasan informan mengakatan hal tersebut adalah jika

individu sudah bisa menghargai hal-hal yang kecil saja, maka otomatis individu

tersebut juga tidak akan sulit untuk menghargai sesuatu yang sifatnya lebih besar

dan berharga. Namun penerapan ini dirasa cukup sulit untuk dilakukan di

Annuqayah secara umum, salah satu faktornya ialah karena antara genarasi di

zamannya dan generasi saat ini memiliki perbedaan yang cukup signifikan dari

berbagai hal, lebih-lebih untuk urusan akhlak. Misal yang informan ceritakan

kepada peneliti saat diwawancarai yaitu “dulu di masa saya masih menjadi santri, jika

sengaja atau tidak melakukan pelanggaran sekecil apapun seperti tidak hadiran, maka saya

akan merasa sangat bersalah terutama kepada pengurus yang menjadi wali di kamar. Apalagi

kepada pengurus sei peribadatan itu sendiri” 15 Namun fakta hari ini di lapangan, para

santri seakan seenaknya melakukan pelanggaran demi pelanggaran, kecil maupun

besar tanpa rasa bersalah, baik itu kepada wali kamar, pengurus yang bersangkutan,

pengasuh ataupun kepada orang tua mereka saat terpaksa dilakukan pemanggilan

wali santri ketika pelanggaran seorang santri sudah membeludak.

Maka dari fenomena-fenomena semacam ini, pengurus pesantren tentunya

melakukan banyak evaluasi untuk mendapatkan suatu pemecahan masalah-masalah

seperti yang telah disebutkan di atas. Dan salah satunya yaitu dengan memperbaiki

akhlak santri dimulai kepada hal-hal yang paling kecil, seperti bagaimana cara

berjalan di hadapan wali santri yang tengah duduk di teras, bagaimana menyikapi

santri TK yang juga sedang belajar di Lubtara setiap sore, tidak meghasab barang

milik teman, dan lain sebagainya.

Namun selain itu, pihak santri yang juga kami wawancarai, dua-duanya

memiliki perspektif yang sama tentang penyelewengan-penyelewengan yang kerap

mereka lakukan. Adapun salah satu alasan yang membuat santri sering melanggar

14
Ketua pengurus PPA. Lubtara Pi 2022-2023 M.
15
Ibid.
peraturan ialah karena padatnya kegiatan di pesantren serta ketidakadilan pihak

pengurus terhadap sanksi yang diberikan atas nama pelanggaran mereka, sementara

di sisi lain pengurus yang juga melakukan pelanggaran tersebut tidak mendapat

perlakuan yang sama, menurut mereka. Padahal, pada dasarnya pelanggaran yang

dilakukan santri atau pengurus pendapat sanksi yang sama. Hanya saja, untuk pihak

pengurus yang melanggar, sanksi tersebut tidak diperlihatkan kepada santri. Bukan

karena niat untuk menutup-nutupi, tetapi juga demi kebaikan pesantren, agar santri

tetap mau menuruti aturan-aturan yang ditegakkan oleh pengurus yang

bersangkutan. Dari kasus semacam ini pula, santri menginginkan nilai moral yang

seharusnya ditanamkan oleh pesantren adalah nilai tanggung jawab, dan modelling

atau perlu adanya teladan yang baik terhadap para santri mengenai akhlak dimulai

dari sikap pengurus.

Namun secara sadar, pada dasarnya kesulitian penerapan kebiasaan ini tidak

hanya difaktori oleh satu hal. Sekurang-kurangya ialah karena faktor didikan

keluarga, dan lingkungan pergaulan. Tidak ada satu perspektif pun yang menyalahi

aturan atau dirasa kurangnya teori dari pesantren. Karena sebagaimana pendapat

salah satu Masyaikh Annuqayah, pesantren manapun, termasuk Lubtara Pi tidak

pernah kekurangan teori dan penerapan untuk memperbaiki akhlak santri. Namun

kembali kepada kemauan dan kemampuan santri untuk berubah kepada yang lebih

baik. Dan dari empat informan yang telah diwawancarai, semuanya sependapat

dengan pandangan tersebut.

Faktor Penanaman Nilai Moral kepada Santri

Adapun faktor penanaman nilai-nilai moral terhadap santri di PPA. Lubtara

Putri secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe. Tipe yang pertama

adalah patuh. Dalam tipe ini, santri yang dinasehati maupun ditegur oleh pengurus

atau orang lain, respon psikologisnya akan merasa bersalah, menerima kesalahan dan

berusaha memperbaiki kesalahan tersebut bahkan sampai ada yang menjadikan

teguran tersebut sebagai pengalaman traumatik. Namun dari hasil observasi, santri

yang bertipe patuh ini hanya sebagian kecil saja, yakni sekitar 35%. Hal tersebut

terjadi juga bisa dilatarbelakangi oleh dua situasi. Yang pertama, karena dinasehati

dengan pendekatan yang benar dan teguran yang halus. Dan yang kedua, karena
karakteristik kepribadiannya yang memang terbentuk bail sejak dini, artinya sejak

dari keluarganya. Santri yang berada di tipe patuh ini, umumnya tidak mudah

melakukan tindakan koruptif di pesantren baik dalam urusan finansial atau

penyelewengan secara umum, karena telah terdidik dengan kedisiplinan serta

fondasi akhlak yang kokoh sejak di keluarga. Namun berangkat dari pernah

terjadinya pengalaman traumatik santri tersebut, diperlukan pemahaman ulang

tentang nilai-nilai yang seharusnya dimiliki seorang santri dengan cara yang lebih

halus terhadap beberapa santri tertentu.

Tipe yang kedua yaitu tipe memberontak. Para santri yang berada di tipe ini

lebih banyak daripada di tipe patuh. Hal semacam ini terjadi karena ada beberapa hal

yang membuat mereka tidak suka terhadap sebuah nasehat. Misalnya, cara

menasehati atau menegur yang kasar. Sehingga perilaku tersebut membangkitkan

kebencian di dalam diri mereka dan nasehat yang disampaikan tidak bisa

menyadarkan kesalahan yang telah diperbuat. “Padahal yaaa_agar ucapan atau nasehat

bisa sampai ke hati dan disadari oleh santri, itu juga perlu penyampaian yang juga dari

hati.”16 Begitulah ungkap salah satu informan. Faktor yang kedua adalah kurangnya

pemahaman tentang konsep baik dan buruk. Lumrahnya seorang individu yang

memberontak dan malah mengumpat saat diberi nasehat ialah karena mereka tidak

bisa berfikir panjang dan jernih dalam menyikapi suatu perkara. Padahal jika dilhat

dengan kacamata positif, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah santri yang juga

termasuk salah satu informan, “seperti apapun bentuk ungkapan dalam sebuah nasehat,

itu hanyalah demi kebaikan santri yang bersangkutan.” 17 Tentunya hal ini mendapat

respon baik dari berbagai pihak yang menilai tentang nilai-nilai moral yang harus

ada dalam kepribadian atau watak santri.

Strategi Penanaman Nilai-Nilai Moral dalam Membentuk Karakter Anti Korupsi

Pesantren memiliki fungsi sebagai lembaga pendidikan dalam menyiapkan diri

untuk ikut serta dalam pembangunan di bidang pendidikan, sesuai dengan

perkembangan arus zaman dan era teknologi secara global. Hal ini terlihat jelas

bahwa pesantren masih terus menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan

16
Informan 3 dari pihak santri, yaitu Fina Syahadatina Awi, yang ungkapan tersebut juga
disetujui oleh informan 4 pihak santri, Mafazah.
17
Informan santri, Mafazah.
yang tentunya masih tetap dalam kawasan prinsip agama. Keberadaan pesantren di

tengah masyarakat merupakan suatu lembaga yang bertujuan untuk menegakkan

kalimat Allah SWT dalam artian penyebaran agama Islam yang sebenarnya. Selain

itu, tujuan pendirian pesantren adalah untuk memberikan ilmu-ilmu agama secara

komperhensif.

Kehadiran pesantren sebenarnya dalam rangka dakwah islamiyah. Hanya saja

kegiatan-kegiatan pesantren dapat dikatakan sangat beragam dalam memberikan

pelayanan untuk masyarakat. Selain itu, pesantren juga hadir sebagai lembaga sosial

yang menunjukkan keterlibatan pesantren dalam menangani masalah-masalah sosial

yang dihadapi masyarakat. Masalah-masalah sosial yang dimaksud oleh pesantren

pada dasrnya bukan saja terbatas pada aspek duniawi, melainkan juga ukhrawi.

Dari penjelasan di atas, sudah jelas bahwa pesantren saat ini ditantang untuk

menyikapi globalisasi secara kritis dan bijak. Pesantren harus mampu mencari solusi

yang benar-benar mencerahkan, sehingga pada satu sisi dapat menumbuh

kembangkan kaum santri yang memiliki wawasan luas yang tidak mudah

menghadapi modernitas sekaligus tidak kehilangan identitas dan jati dirinya, dan

pada sisi yang lain dapat mengantarkan masyrakat menjadi komunitas yang

menyadari tentang persoalan yang dihadapi dan mampu mengatasi dengan penuh

kemandirian dan lebih beradab. Oleh karena itu, pesantren bisa dijadikan sebagai

sumber untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi di zaman sekarang

ini.

Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai strategi penanaman nilai-nilai

moral dalam membentuk karakter anti korupsi di Lubangsa Utara. K.H. Naqib Hasan

selaku pengasuh pondok pesantren Lubangsa Utara menyampaikan bahwa, untuk

membentuk karakter anti korupsi di Lubangsa Utara ini dapat dilakukan dengan

beberapa cara, di antaranya adalah:

1. Memberikan Fundamental Pemahaman Yang Berupa Aqidah, Syari’at, Dan

Akhlaq

Informan pertama yaitu K. H. Naqib Hasan selaku penanggung jawab

pesantren, “Mayoritas santri yang bermukim di PPA. Lubtara Pi berasal dari, eehhh

mohon maaf sebelumnya, yaitu dari keluarga dengan pemahaman dan pendidikan
yang rendah. Sebab, jika sejak dari rumah sudah dibiasakan hal-hal baik maka santri

tersebut tidak akan dengan mudah melakukan tindakan-tindakan koruptif di

pesantren ini”18 Menyadari hal tersebut tentu pesantren perlu meperkokoh

pemahaman fundamental seperti akhlak, aqidah serta aqidah tersebut.

Aqidah dan syari’at ini sudah dari dulu dijadikan sebagai fundamental

dalam pendidikan, hal ini karena aqidah adalah sumber dari tawakkal, dan

ilmu di dalam tawakkal itu disebut iman, dan ke-imanan itu adalah

kebenaran. Kemudian syari’at adalah sumber dari hukum-hukum yang ada di

dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan akhlaq merupakan pembelajaran inti

yang diterapkan di pesantren kepada santrinya. Karena tujuan pesantren

adalah tafaqquh fi al-din dan membentuk moralitas ummat. Jadi, dari

penjelasan yang pertama ini dapat ditarik pemahaman bahwa pesantren

bertujuan untuk membentuk akhlaq sebagai bidang utama dalam

membangun karakter santri, khususnya yang ada di Lubangsa Utara.

2. Melatih Kedisiplinan

Untuk menjadi seorang yang disiplin, maka harus ada pembiasaan dari dini,

karena jika sudah dewasa, kesadaran untuk disiplin itu akan sangat sulit.

Nilai kedisiplinan ini tercermin dalam sikap ketika ada kegiatan ajian kitab.

Santri Lubangsa Utara selalu masuk tepat waktu ketika ada kegiatan ajian

kitab. Hal ini tak lepas dari adanya kesadaran dari diri mereka untuk

memperbaiki dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum memperbaiki orang

lain, sebagaimana yang dilakukan oleh informan dua. Kedisiplinan yang

dirasakan oleh informan didapat oleh kesadaran yang muncul dari dirinya

untuk terlebih dahulu memperbaiki atau intropeksi diri. Karena menurut

informan, hal terkecil yang ada di dunia ini bukan ada di sekitar kita, tetapi

ada pada diri kita sendiri.

Namun, selain adanya kesadaran dalam melatih kedisiplinan, hal itu

juga tak lepas dari adanya dorongan yang selalu diberikan oleh pengurus

dalam membentuk karakter anti korupsi yang ada di Lubangsa Utara.

Dorongan tersebut bisa berupa motivasi-motivasi yang bermanfaat bagi santri

18
K. H. Naqib Hasan, pengasuh PPA. Lubtara
sehingga dengan hal itu mereka bisa sadar untuk lebih disiplin lagi dalam

menjalani hidup. Tetapi, hal ini tentunya harus melihat orangnya terlebih

dahulu, artinya jika sekiranya santri tersebut bisa dinasehati, maka lebih baik

dinasehati. Namun jika tidak bisa, maka tentunya harus ada sanksi bagi

mereka yang tidak bisa dinasehati dan selalu melanggar, seperti sering

terlambat dalam mengikuti kegiatan ajian kitab. Dan sanksi tersebut tentunya

sudah ada dalam Undang-Undang yang sudah ditetapkan di pesantren.

3. Menghormati Yang Tua Dan Menyayangi Yang Muda

Selain dari dua strategi yang telah dijelaskan di atas, ada satu strategi lagi

yang bisa membantu untuk membentuk karakter anti korupsi yang ada di

Lubangsa Utara, yaitu dengan menghormati yang lebih tua dan menyayangi

yang lebih muda. Dan di Lubangsa Utara ini bisa menjadi sarana untuk

mengaplikasikan hal tersebut. karena di pesantren Lubtara ini ada lembaga

TK (taman kanak-kanak) yang bisa dijadikan sebagai objek untuk

mengaplikasikannya. Artinya, santri bisa menghormati yang lebih tua dengan

cara lebih hormat dan lebih sopan lagi ketika berjalan di depan wali TK. Dan

santri bisa menyayangi yang lebih muda dengan cara lebih ramah dan lebih

lembut lagi ketika berbicara dengan anak-anak TK.

4. Menganalisis Keadaan Psikologis Santri

Diantara tiga strategi yang baik di atas, menganalisis keadaan psikologis

santri juga menjadi strategi yang urgen untuk dilakukan. Hal tersebut

diupayakan agar pengurus atau pihak pengasuh dapat mengevaluasi dan

mempelajari terlebih dahulu akan kepribadian santri, serta dapat memahami

hal apa yang sebenarnya perlu diberikan dan diperhatikan dari santri

tersebut.

C. Kesimpulan

Setelah memaparkan tentang internalisasi nilai-nilai moral dalam membentuk

karakter anti korupsi di Lubangsa Utara, maka dapat diatarik kesimpulan bahwa:

1. Nilai-nilai moral yang perlu ditanamkan ke dalam kepribadian santri Lubangsa

Utara Pi adalah pemahaman tentang akhlak, baik akhlak kepada diri sendiri,

orang lain, ataupun kepada lingkungan sekitar. Apalagi, arus zaman dan era
teknologi yang semakin canggih seperti sekarang ini. Maka sangat perlu adanya

kesadaran pemahaman tentang akhlak. Karena jika seseorang bisa peduli pada

hal-hal yang kecil saja, maka ia tentunya pasti bisa menghargai hal-hal yang

besar. seperti bagaimana cara berjalan di hadapan wali santri yang tengah duduk

di teras, bagaimana menyikapi santri TK yang juga sedang belajar di Lubtara

setiap sore, tidak meghasab barang milik teman, dan lain sebagainya. Namun,

karena berkembangnya zaman yang semakin pesat, maka hal ini menjadi sulit

untuk dilakukan, apalagi di kalangan santri, maka sangat perlu adanya

kesadaran akan hal itu. Namun, hal ini bisa dilakukan dengan cara modelling

atau perlu adanya teladan yang baik terhadap para santri mengenai akhlak, yang

hal ini bisa dimulai dari sikap pengurus terhadap santri.

2. faktor penanaman nilai-nilai moral terhadap santri di PPA. Lubtara Putri secara

garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua tipe. Tipe yang pertama adalah

patuh, santri yang berada pada tipe ini adalah orang yang sudah benar-benar

terdidik dengan kedisiplinan dan akhlak yang kokoh sejak dari lingkup keluarga.

Dan tipe yang kedua adalah tipe memberontak, santri yang berada pada tipe ini

adalah orang yang masih belum benar-benar terdidik dengan kedisiplinan,

sehingga ia mudah memberontak dan tidak mau dinasehati. Biasanya, seorang

individu yang memberontak dan malah menolak saat diberi nasehat ialah karena

mereka tidak bisa berfikir panjang dan jernih dalam menyikapi suatu perkara.

3. Adapun strategi yang dilakukan untuk membentuk karakter anti korupsi di

Lubangsa Utara adalah dengan cara, memberikan fundamental pemahaman yang

berupa aqidah, syari’at, dan akhlaq, melatih kedisiplinan, serta berusaha

menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda.

D. Daftar Pustaka

Buku:

Ranuhandoko, I.P.M, (1996). Terminolohi Hukum. Sinar Grafika: Jakarta.

Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Jurnal:
Alfiansyah, Mohammad. (2021). Internalisasi Nilai-nilai Spiritual Dalam

Membentuk Karakter Santri Melalui Program Tahfidzul Quran di Rumah Tahfidz Nur

Hidayah. Skripsi, Program Strata 1Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga, 8.

Fathoni,Tamrin. (2019). Pesantren Dan Penanaman Sikap Anti Korupsi. AL-

MANHAJ; Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam. 1 (1), 5.

Hastuti, Sri Hastuti, dkk. (2020). Internalisasi Pendidikan Karakter dan anti

Korupsi dalam Mata Pelajaran pada Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Boyolali.

MANHAJ: Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Islam. 3 (2), 2.

Imansyah,Yadi, dkk. (2022) “Implementasi Nilai-Nilai Anti Korupsi Dalam

Pembentukan Karakter Mahasiswa (Studi Di Universitas Nahdlatul Ulama Nusa

Tenggara Barat)” Retorika: Journal of Law, Social, and Humanities. 1 (1).

Prodjohamidjojo, Martiman. Op. Cit., 8.

Taja, Nadri dan Helmi Aziz. (2021). Mengintegrasi Nilai-Nilai Anti Korupsi dalam

Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas. Jurnal Pendidikan

Agama Islam. XIII (1), 40.

Informan:

Awi, Fina Syahadatina dan Mafazah. (pihak santri). Informan tiga dan empat.

Naqib, Hasan. (pengasuh PPA. Lubtara). Informan pertama.

Sulistiawati. (Ketua pengurus PPA. Lubtara Pi 2022-2023 M.). Informan kedua.

Anda mungkin juga menyukai