TESIS
ADITYA MULYA
1606840903
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
ADITYA MULYA
1606840903
ii
NPM : 1606840903
Tanda Tangan
Tanggal
iii
DEWAN PENGUJI
Ditetapkan di : Depok
iv
Penulis tidak dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dan tepat waktu tanpa adanya
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. rer.nat. Eko Kusratmoko M.S. dan Bapak Dr. Agus Syafril, ST., M.MT
selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
2. Bapak Dr. Mangapul P Tambunan, M.S selaku ketua sidang, Prof. Dr. Aris Poniman
dan Dr. Tito Latif Indra M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran serta
masukan sehingga tesis ini dapat disusun dengan sebaik-baiknya.
3. Ibu penulis Endang Wahyuningsih, Istri Novia Dewi Ismawardani, dan seluruh
keluarga tercinta yang tiada hentinya memberikan doa dan dukungan.
4. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memberikan beasiswa penuh
kepada penulis selama menempuh studi di Universitas Indonesia.
5. Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sebagai tempat penulis bekerja
yang telah memberikan banyak dukungan dan bantuan.
6. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Magister Ilmu Geografi khususnya bapak
Supriyanto yang telah banyak membantu dalam administrasi.
7. Stasiun Klimatologi Kelas II Malang dan BAPPEDA Bojonegoro yang telah banyak
membantu dalam memperoleh data yang penulis perlukan.
vi
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
mr:
Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : 28 Juni 2018
vii
Salah satu bencana alam yang dapat terjadi akibat dari perubahan iklim dengan
meningkatnya suhu bumi adalah Kekeringan. Bojonegoro merupakan Kabupaten yang
sebelah utaranya merupakan daerah aliran sungai dan sebelah selatan daerah perbukitan.
Kekeringan yang terjadi di Bojonegoro hampir terjadi sepanjang tahun, dimana lokasi dan
waktu terjadinya juga berbeda-beda. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan
mengklasifikasi wilayah kekeringan dan hubungan antara kekeringan meteorologis dengan
kekeringan lahan. Kekeringan meteorologis dihitung dengan menggunakan metode SPI
(Standardized Precipitation Index) sedangkan kekeringan lahan dihitung dengan
menggunakan penginderaan jauh metode TVI (Thermal Vegetation Index). Pola sebaran
kekeringan menunjukkan pola dimana kekeringan mulai terjadi pada bulan Maret saat
curah hujan rendah, dengan sebaran kekeringan terjadi di wilayah utara yang merupakan
daerah dataran dan kemiringan lereng datar hingga landai kemudian meluas pada wilayah
selatan yang merupakan daerah perbukitan dan kemiringan lereng agak curam. Kekeringan
Meteorologis memberikan dampak yang berbeda pada Kekeringan Lahan saat tahun El
Nino kuat. Tahun 2015 kekeringan lahan Sangat Berat terbesar terjadi pada bulan
November seluas 20.010 ha dan tahun 1997 terbesar terjadi pada bulan Juni seluas 63.624
ha dan tersebar di sebagian besar wilayah Bojonegoro. Pola sebaran kekeringan lahan juga
terjadi di wilayah dataran yang kemudian meluas pada daerah perbukitan. Kondisi
kekeringan meteorologis (SPI) dengan kekeringan lahan (TVI) yang didasarkan pada Uji
Chi Square menghasilkan nilai signifikansinya 0 dan kurang dari α (0.05) artinya Ho
ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan terdapat asosiasi atau hubungan antara
kekeringan meteorologis dengan kekeringan lahan.
viii
One of the natural disasters that can occur as a result of climate change with due to rising
Earth’s temperature is Drought. Bojonegoro is a regency with the river in northern part of it
and the hill in the south. The drought that occurred in Bojonegoro mostly occurred
throughout the year, where the location and time of occurrence are also vary. The purpose
of this study were to analyze and classify drought areas and the relationship between
meteorological drought and inland drought. Meteorological drought was calculated using
the SPI (Standardized Precipitation Index) method while the drought was calculated using
remote sensing method of TVI (Thermal Vegetation Index). The drought distribution shows
a pattern where droughts start to occur in March when the rainfall is low, with the drought
occurring in the northern part which is flat and with the flat slope to low then extends to the
southern region which is a hilly area and the slope of a rather steep slope. Meteorological
Drought has had a different impact on inland drought when El Nino is strong. In 2015
“Very Vast” Inland Drought occurred in November of 20,010 ha and the largest in 1997
occurred in June of 63,624 ha and spreaded out in most of Bojonegoro regency. The pattern
of Inland drought distribution also occurred in the plains which then extends to the hills.
The condition of dryness of meteorological (SPI) and inland drought (TVI) based on Chi
Square Test yields significance value 0 and less than α (0.05) which means Ho is rejected
and Ha accepted so it can be concluded there is an association or relationship between
meteorological drought with inland drought.
ix
xi
xii
Tabel 2.1 Karakteristik dan Kemampuan aplikasi saluran (band) Citra Landsat.................15
Tabel 2.2 State of the art......................................................................................................17
Tabel 3.1 Variabel Penelitian................................................................................................25
Tabel 3.2 Daftar Stasiun Hujan di Kabupaten Bojonegoro ..................................................26
Tabel 3.3 Klasifikasi Nilai SPI ............................................................................................29
Tabel 3.4 Klasifikasi Nilai TVI............................................................................................29
Tabel 4.1 Kecamatan dan Luas Wilayah Kabupaten Bojonegoro ........................................31
Tabel 4.2 Luas Wilayah Bentuk Lahan di Kabupaten Bojonegoro ....................................33
Tabel 4.3 Luas Wilayah Jenis Tanah di Kabupaten Bojonegoro .........................................35
Tabel 4.4 Luas Wilayah Kemiringan Lereng di Kabupaten Bojonegoro .............................39
Tabel 4.5 Luas Wilayah Ketinggian di Kabupaten Bojonegoro...........................................41
Tabel 4.6 Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bojonegoro ............................................43
Tabel 5.1 Curah Hujan Kabupaten Bojonegoro Tahun 1986-2015 ....................................49
Tabel 5.2 Jumlah Kejadian Kekeringan Meteorologis Bulanan Kabupaten Bojonegoro ...51
Tabel 5.3 Hubungan Kekeringan Meteorologis dengan Kekeringan Lahan (Ha) ..............66
Tabel 5.4 Chi-Square Test Kekeringan Meteorologis dengan Kekeringan Lahan .............66
Tabel 5.5 Koefisien Korelasi Kekeringan Meteorologis dengan Kekeringan Lahan...........67
xiii
xiv
1 Universitas Indonesia
tersedia. Beberapa cara dalam pencegahan kerusakan tanaman oleh kekeringan antara
lain: mengurangi kebutuhan air tanaman, meningkatkan persediaan air atau
kemungkinan kombinasi dari kedua cara tersebut (Tjasyono, 2004).
Kekeringan dapat diklasifikasikan berdasarkan dampak yang ditimbulkan dan
karakteristiknya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016) menjelaskan secara
spesifik terdapat 4 (empat) tipe kekeringan antara lain: Kekeringan Meteorologis yang
ditinjau dari kurangnya curah hujan periode tersebut dengan kondisi curah hujan rata-
ratanya, Kekeringan Pertanian yang diakibatkan menurunnya ketersediaan kelembaban
tanah yang diperlukan oleh tanaman padi di bawah level optimal, Kekeringan Hidrologi
ditandai dengan berkurangnya aliran air permukaan secara signifikan hingga mencapai
kondisi di bawah normal, akibat dari berkurangnya curah hujan, dan Kekeringan sosial
ekonomi yang merupakan hubungan antara aktivitas manusia dengan kekeringan
meteorologi, pertanian, dan hidrologi.
Kekeringan merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia.
Curah hujan yang semakin menurun dalam beberapa periode merupakan salah satu
penyebab terjadinya kekeringan. Interaksi antara atmosfer dengan lautan, serta
ketidakteraturan suhu permukaan laut yang terjadi di perairan Indonesia seperti El Niño,
IOD (Indian Ocean Dipole) positif, dan monsun menjadi pemicu dalam dinamika curah
hujan. Irawan (2003) menjelaskan bahwa kekeringan di Indonesia erat kiatannya dengan
kejadian anomali iklim seperti El Niño dan IOD positif. Kekeringan yang terjadi antara
tahun 1884 – 1998 sebanyak 43 kejadian, hanya 6 kejadian yang tidak berhubungan
dengan fenomena El Niño dan IOD positif. Menurut BNPB (2016), El Niño dan IOD
positif mengakibatkan pertumbuhan dan jumlah awan hujan di wilayah Indonesia
berkurang akibat dari menurunnya suhu permukaan laut di Indonesia dan sekitarnya.
SPI (Standardized Precipitation Index) merupakan metode yang sangat
bermanfaat dalam memantau dan mendeteksi kekeringan meteorologis dengan berbasis
data curah hujan. SPI memberikan cara yang mudah dan fleksibel dalam memantau
kekeringan dan telah direkomendasikan oleh berbagai penelitian untuk kesesuaiannya
dalam memperkirakan kekeringan meteorologi pada jeda waktu yang berbeda (Dutta et
al, 2017). Saidah dkk (2017) melakukan penelitian terkait kekeringan meteorologis
menggunakan SPI di pulau Lombok, hasil penelitian menunjukkan metode SPI cukup
bagus dalam mengevaluasi kejadian kekeringan meteorologis baik secara spasial
Universitas Indonesia
maupun temporal. Metode SPI memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan, kelebihan
SPI antara lain: data yang digunakan hanya curah hujan bulanan, dapat membandingkan
tingkat kekeringan suatu wilayah dengan kondisi iklim yang berbeda beda, dapat
menentukan penyimpangan dari kondisi kekeringan yang sedang terjadi (tahun yang
sedang berjalan), dan dapat digunakan untuk jangka waktu 1 hingga 36 bulan.
Sedangkan kelemahan metode SPI adalah hasilnya hanya ditentukan oleh curah hujan,
sehingga apabila data curah hujan tidak lengkap atau datanya tidak benar maka hasilnya
juga tidak akan maksimal. Sehingga selain menggunakan SPI dalam mendeteksi dan
memonitoring kekeringan juga diperlukan teknologi penginderaan jauh.
Fenomena cuaca dan iklim dapat dipelajari dan dideteksi secara berkelanjutan
dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Indonesia juga telah melakukan
pemanfaatan penginderaan jauh dalam mendeteksi dan memetakan kekeringan.
Pemantauan dan pemetaan kekeringan dilakukan dengan menganalisis awan dari citra
satelit cuaca dan lingkungan, dalam mempelajari fenomena cuaca juga dikembangkan
analisis suhu permukaan laut secara global untuk mengetahui anomali iklim, deteksi
kehijauan lahan menggunakan parameter indeks vegetasi (Anugrahadi, 2017). Di
Indonesia, Penggunaan parameter indeks vegetasi dan indeks lainnya dalam pemantauan
dan deteksi kekeringan telah menggunakan banyak metode, antara lain: TVDI
(Temperature Vegetation Dryness Index), SBI (Soil Brightness Index), MSAVI
(Modified Soil-Adjusted Vegetation Index), PVI (Perpendicular Vegetation Index), dan
VDI (Vegetation Dryness Index), (Adiningsih, 2014). Undang Undang Nomor 21 Tahun
2013 tentang Keantariksaan Pasal 20 menjelaskan bahwa Lembaga memiliki tugas
dalam melakukan pembinaan dan menetapkan standarisasi data dan produk informasi
serta metode pengolahan penginderaan jauh nasional, namun hingga saat ini belum
ditetapkan standar metode atau indeks dalam pengolahan data penginderaan jauh dalam
mendeteksi parameter kekeringan.
Kegiatan pemantauan dan prediksi kekeringan dilakukan agar dampak dari
kekeringan dapat diantisipasi dan diminimalkan. Upaya penanganan bencana
kekeringan harus terus dilakukan untuk mencegah kerugian baik fisik maupun sosial
yang semakin luas. Strategi mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan
informasi kondisi iklim, daerah-daerah rawan kekeringan dan prediksi gejala kekeringan
yang akan terjadi. Informasi karakteristik iklim di suatu wilayah dan sifat fisik
Universitas Indonesia
tanahnya, serta ketersediaan air tanah, dan rawan kekeringan disajikan secara spasial
dan temporal sebagai pedoman untuk penentuan awal masa tanam, pemilihan varietas
tanaman agar tahan terhadap kekeringan, perencanaan alokasi penggunaan lahan serta
pengelolaan sumber daya air dan budi daya pertanian, guna mengantisipasi dampak
akibat bencana kekeringan. (BMG, 2007 dalam Trianasari 2009).
Bojonegoro adalah Kabupaten yang dilalui oleh sungai Bengawan Solo di
bagian Utaranya sehingga cukup mendukung dalam kegiatan pertanian, sedangkan
bagian selatan merupakan daerah perbukitan kapur yang merupakan bagian dari
pegunungan Kendeng. Bojonegoro adalah salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur
dengan risiko terjadinya kekeringannya tinggi dan masuk dalam peringkat ke 67 dari
144 kabupaten dengan skor 19 (rawan) kekeringan di Indonesia (BNPB 2011). Sebagai
Kabupaten yang potensial untuk mengembangkan lahan pertanian dalam mendukung
ketahanan pangan di Indonesia, kondisi ini sangat rentan terhadap Kekeringan di
Bojonegoro.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
d. Penginderaan jauh (remote sensing merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena (geofisik), melalui
analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan
obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994 dalam
Purwadhi, dkk 2015).
e. Citra penginderaan jauh merupakan gambaran objek, daerah, gejala permukaan
bumi dengan bentuk dan letak objek mirip dengan bentuk dan letak objek yang
ada di permukaan bumi meliputi daerah yang luas dan permanen (Sutanto 1986
dalam Purwadhi, 2015).
f. Citra penginderaan jauh yang digunakan adalah citra Landsat 8 (bulan
November dan Desember 2015) dan Landsat 4-5 TM (bulan Mei dan Juni 1997).
g. TVI (Thermal Vegetation Index) merupakan indeks kekeringan yang diperoleh
dengan melakukan perbandingan LST (Land Surface Temperature) dengan EVI
(Enhanced Vegetation Index) pada penginderaan jauh.
h. LST merupakan, sifat termal dari permukaan dan bawah permukaan tanah yang
dikendalikan oleh keseimbangan energi permukaan dan atmosfer.
i. EVI merupakan metode yang digunakan untuk mengoptimalkan sinyal vegetasi
dengan peningkatan sensitivitas di daerah biomassa tinggi dan pemantauan
vegetasi yang lebih baik melalui pemisahan dari sinyal dan pengurangan
pengaruh atmosfer (Jiang, et al, 2008).
j. Kondisi Fisik yang ditinjau pada penelitian ini adalah bentuk lahan, jenis tanah,
ketinggian, kemiringan lereng.
Universitas Indonesia
2.1. Iklim
Iklim merupakan salah satu unsur geografis yang paling penting dalam
memberikan pengaruh terhadap makhluk hidup (Sandy 1985). Hal ini dikarenakan
makhluk hidup tidak dapat menghindar dan mengendalikan iklim. Iklim adalah kondisi
cuaca yang terjadi di suatu tempat dalam periode yang panjang. Kondisi cuaca suatu
tempat ditetapkan berdasarkan kriteria probabilitas satu atau lebih dari nilai-nilai unsur
iklim yang ditetapkan seperti suhu udara, curah hujan, angin dan penguapan
(Wirjomiharjo dan Swarinoto, 2007). Sistem iklim di bumi merupakan interaksi atmosfer
dengan daratan, salju dan es, lautan dan badan air, serta aktivitas makhluk hidup di
dalamnya. Iklim di suatu tempat atau daerah dipengaruhi oleh letak lintang, lereng,
ketinggian, serta seberapa jauh jarak tempat tersebut dari perairan dan juga keadaan arus
lautnya. (Aldrian, dkk 2011). Iklim pada suatu tempat akan mengalami perbedaan.
Perbedaan ini diakibatkan dari ketidakmerataan sinar matahari pada setiap wilayah di
permukaan Bumi. Kondisi permukaan Bumi yang beraneka ragam baik jenis maupun
bentuk topografinya, memiliki kemampuan yang berbeda dalam merespons radiasi
Matahari yang diterimanya. Sandy (1985) menjelaskan faktor letak dan sifat kepulauan
menentukan empat sifat dasar iklim di Indonesia, yaitu :
a) Wilayah Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa menyebabkan suhu rata-
rata tahunannya menjadi tinggi.
b) Posisi Indonesia yang berada diantara Benua Asia dan Australia menyebabkan
tekanan udara di daratan Asia dan Australia berbeda. Perbedaan ini
mengakibatkan hembusan angin yang membawa hujan menuju Indonesia.
c) Tidak adanya angin Taifun akibat dari Kepulauan Indonesia yang terletak
dibawah 10° Lintang Utara atau 10° Lintang Selatan.
d) Sifat kepulauan mengakibatkan kondisi kelembaban yang relatif tinggi, kondisi
perairan di Indonesia yang bersuhu tinggi menyebabkan penguapan juga tinggi.
Komponen iklim yang paling memberikan dampak terhadap iklim adalah
atmosfer. Skema komponen sistem iklim, proses, dan interaksinya dapat dilihat pada
Gambar 2.1.
7 Universitas Indonesia
Gambar 2.1 Komponen Sistem Iklim, Proses, dan Interaksinya (IPCC, 2007 dalam Aldrian 2011)
Universitas Indonesia
udara dalam mengikat uap air juga menurun, sehingga kandungan uap air
dalam massa udara tidak banyak. Dimana sebagian uap air yang jatuh sebagai
hujan disebut sebagai hujan orografis.
c) Arah Lereng Medan (Exposure)
Kondisi Lereng medan yang menghadap arah angin akan mengalami curah
hujan lebih banyak dibandingkan dengan lereng medan yang membelakangi
arah angin (daerah bayangan hujan).
d) Arah Angin Sejajar Arah Garis Pantai
Kandungan uap air tidak menyebabkan terjadi hujan apabila arah angin
sejajar dengan arah garis pantai, hal ini mengakibatkan tidak adanya
perubahan suhu udara.
e) Jarak Penjalanan Angin di Atas Medan Datar
Angin yang mengakibatkan terjadinya hujan merupakan angin bergerak dari
perairan (sumber uap air) menuju ke daratan. Apabila angin tersebut bergerak
dengan sedikit hambatan akibat dari sifat medan datar yang lurus dan tidak
berubah, menyebabkan hujan pada daerah dekat pantai.
Selain kelima hal diatas terdapat fenomena lain yang mempengaruhi curah hujan
di wilayah Indonesia seperti El Niño dan Dipole Mode. El Niño merupakan fenomena
meningkatnya suhu muka laut di atas rata-rata di sekitar Pasifik Tengah dan Timur yang
disertai dengan perubahan kondisi cuaca di wilayah Pasifik dan sekitarnya, Sedangkan
fenomena La Niña ditandai dengan perbandingan suhu muka laut yang tidak biasa di
Pasifik ekuatorial tengah dan timur (Dupe, 2000). Di Indonesia, fenomena El Niño
menyebabkan penurunan jumlah curah hujan musim hujan, sedangkan La Niña
meningkat jumlah curah hujan (Irianto dkk, 2003).
Dipole Mode merupakan fenomena interaksi laut dan atmosfer di Samudera
Hindia yang ditetapkan berdasarkan selisih suhu permukaan laut perairan sebelah timur
Afrika dengan perairan Samudera Hindia sebelah barat pulau Sumatera. Di Indonesia,
apabila Dipole Mode bernilai negatif maka akan meningkatkan curah hujan, sedangkan
apabila Dipole Mode bernilai positif maka curah hujan akan mengalami penurunan (Saji
et al. 1999).
Universitas Indonesia
2.3. Kekeringan
Kekeringan merupakan bencana yang paling sering mengganggu sistem dan
produksi pertanian di Indonesia khususnya pada tanaman pangan. Beberapa tahun
terakhir kekeringan tidak hanya meningkat dalam intensitas dan luasnya, tetapi juga
sebaran dan dampak terhadap wilayah yang terjadi kekeringan. Secara umum
kekeringan dapat didefinisikan sebagai kondisi kekurangan air pada suatu wilayah
dalam periode waktu yang panjang sehingga mengakibatkan terjadinya defisit air tanah
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan makhluk hidup didalamnya.
Bakornas PBP (2007) dalam Anugrahadi, dkk (2017) menggolongkan kekeringan
menjadi 4 (empat) macam yaitu :
1) Kekeringan meteorologis (meteorological drought).
Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal
dalam satu musim untuk satu wilayah tertentu.
2) Kekeringan pertanian (agricultural drought).
Kekeringan Pertanian erat kaitannya dengan berkurangnya lengas tanah
(kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
satu tanaman pada periode waktu tertentu di wilayah yang luas.
3) Kekeringan hidrologi (hydrological drought).
Kekeringan hidrologi umumnya dikaitkan dengan ketersediaan air permukaan
dan air tanah pada suatu daerah. Kekeringan hidrologi dapat diukur dari
ketinggian muka waduk, danau, air sungai dan air tanah.
4) Kekeringan Sosial Ekonomi (socio-economical drought).
Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana ketersediaan
kebutuhan ekonomi kurang dari kebutuhan normalnya yang diakibatkan dari kekeringan
meteorologi, hidrologi, dan pertanian.
Universitas Indonesia
digunakan sebagai aplikasi jangka pendek untuk pertanian maupun jangka panjang
untuk hidrologi. Indeks SPI digunakan untuk mengetahui kondisi kering atau basah di
suatu wilayah pada waktu tertentu (McKee, et al., 1993).
SPI dapat dimanfaatkan untuk mengkaji potensi kekeringan meteorologis. Input
data yang dibutuhkan berupa data hujan bulanan dalam rentang waktu 30-100 tahun
(McKee, et al., 1993). Distribusi gamma dapat digunakan dalam menyamakan data time
series hujan secara klimatologi, distribusi ini didefinisikan dari frekuensi atau fungsi
kepadatan probabilitas (Thom, 1966) dengan rumus sebagai berikut :
1 𝑥
𝐺 (𝑥 ) =
𝛽 𝑎 𝚪 (𝑎)
∫0 𝑥 𝑎−1 𝑒 −𝑥/𝛽 𝑑𝑥 ……………………………...…..…….…………. (2.1)
𝜔
𝚪(𝛼) = ∫0 𝑦𝑎−1 𝑒−𝑦 𝑑𝑦, 𝚪(𝛼) ………………………………………………………... (2.2)
dimana
G(x) : Distribusi Gamma
α > 0 : α merupakan parameter bentuk
β > 0 : β merupakan parameter skala
x > 0 : x merupakan jumlah hujan
𝚪( 𝛼 ) : merupakan fungsi gamma yang besarnya
Nilai SPI dihitung menggunakan metode statistik probabilistik distribusi gamma.
Perhitungan SPI dilakukan dengan menyamakan distribusi frekuensi dari jumlah hujan
tiap stasiun hujan dengan fungsi kepadatan probabilitas gamma nilai α dan β dengan
rumus Thom (1966) :
1 4𝐴
𝛼 = 44 (1 + √1 + 3
) …………………….…………………...…………………. (2.3)
𝑥̂
𝛽 = 𝛼 …………………….…………………..………….….………..….…………. (2.4)
dimana
∑ ln (𝑥)
𝐴 = ln(𝑥̂ ) − ……….……..……………………….……….…..….………… (2.5)
𝑛
Universitas Indonesia
Karena fungsi gamma tidak terdefinisi untuk x = 0, meskipun distribusi curah hujan
kemungkinan terdiri dari nilai nol, sehingga probabilitas kumulatifnya menjadi :
𝐻(𝑥 ) = 𝑞 + (1 − 𝑞)𝐺(𝑥) …………...……………….…………..…..………….…. (2.7)
dimana
H (X), merupakan probabilitas kumulatif
q, merupakan jumlah kejadian hujan = 0
Jika m merupakan jumlah nol dari seluruh time series, maka q dapat diestimasi
dengan m/n. Probabilitas kumulatif (H (X)) tersebut kemudian ditransformasikan ke
dalam Standard normal random variabel Z dengan nilai rata-rata 0 dan variasi 1, nilai
yang diperoleh Z tersebut merupakan nilai SPI. Nilai standar normal variabel Z atau SPI
dikemukakan oleh Abramowitz dan Stegun (1965) dengan perhitungan menggunakan
aproksimasi berikut ini :
𝑐 0 𝑐 1𝑡+ 𝑐 2 𝑡2
𝑍 = 𝑆𝑃𝐼 = −(𝑡 − ) untuk : 0 <H(X) ≤ 0.5 .…….............………. (2.8)
1+𝑑1 𝑡+ 𝑑2 𝑡2 +𝑑3 𝑡3
1
dengan 𝑡 = √ln( ( ) 2 …………...………………...………..……..……….....….. (2.9)
(𝐻 𝑋 )
𝑐 0 𝑐 1𝑡+ 𝑐 2 𝑡2
𝑍 = 𝑆𝑃𝐼 = +(𝑡 − ) untuk : 0.5 < H(X) ≤ 1.0 .……………...….. (2.10)
1+𝑑1 𝑡+ 𝑑2 𝑡2 +𝑑3 𝑡3
1
dengan 𝑡 = √ln(1−(𝐻 (𝑋))2 …………...………………………..………….….…… (2.11)
dan
c0 = 2.515517, c1 = 0.802853, c2 = 0.010328
d1 = 1.432788, d2 = 0.189269, d3 = 0.001308
SPI memiliki kelemahan, hal ini dikarenakan SPI hanya berdasarkan data curah
hujan dan tidak memperhitungkan komponen keseimbangan air tanah seperti
evapotranspirasi dan evapotranspirasi potensial (WMO 2012). Data tersebut ditentukan
peluang distribusinya yang kemudian ditransformasikan menjadi distribusi normal
sehingga nilai rata-ratanya adalah nol. Keterbatasan SPI adalah panjang data dan
distribusi peluangnya. Jika panjang datanya dan penggunaan peluang distribusi berbeda
maka parameter bentuk dan skalanya dari distribusi gamma akan berbeda, yang
menyebabkan nilai numerik indeksnya berbeda (McKee, et al., 1993). Pada daerah yang
memiliki banyak nilai curah hujan sama dengan 0, maka diperlukan data pengamatan
yang panjang karena periode data pendek akan mempengaruhi distribusi datanya.
Universitas Indonesia
Dalam penelitian ini nilai SPI dihitung dengan menggunakan program Seasonal
Climate Outlooks in Pacific Island Countries (SCOPIC) yang dikembangkan dan
dikeluarkan oleh National Drought Mitigation Center, Amerika. SCOPIC merupakan
sistem pendukung keputusan untuk menghasilkan prediksi probabilistik (seasonal
climate outlooks) untuk curah hujan, suhu atau parameter iklim lainnya.
Universitas Indonesia
Gambar 2.2. Sistem penginderaan jauh dan aplikasinya (Purwadhi, dkk 2015)
Universitas Indonesia
Tabel 2.1 Karakteristik dan Kemampuan aplikasi saluran (band) Citra Landsat
Universitas Indonesia
dimana:
NDVI = Normalyzed Difference Vegetation Index
NIR = Band (saluran) yang memiliki Panjang gelombang inframerah dekat
Red = Band (saluran) yang memiliki Panjang gelombang merah
dimana:
TVI = Thermal Vegetation Index
LST = Land Surface Temperature
IV = Indeks Vegetasi
Universitas Indonesia
Penelitian mengenai kekeringan dengan menggunakan data observasi atau data citra
satelit sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian ini
membahas mengenai kekeringan meteorologis yang didapatkan dengan metode SPI dan
dikaitkan juga dengan kekeringan lahan yang diolah menggunakan penginderaan jauh
dengan metode TVI. Sehingga diharapkan peneliti dapat mendapatkan kebaharuan
dalam penelitian yang akan dilakukan.
Tabel 2.2 State of the art
No Judul Penelitian Peneliti Th. Variabel Hasil Perbedaan
1. SPI menunjukkan kekeringan
terburuk terjadi pada tahun
1999. Persentase terbesar
antara vegetasi yang padat
dan vegetasi yang jarang
terjadi pada tahun 2010 dan
1998, sedangkan persentase Kekeringan didapatkan
terendah untuk kedua kelas dengan menghitung nilai
tersebut terjadi pada tahun SPI dan menggunakan
Assessment the H. 2000. data Landsat untuk
Effect of Khosravi, 2. Terdapat korelasi 95% pada menghitung NDVI.
Kekering
Drought on E. Haydari, area dengan vegetasi yang Sedangkan penelitian
an dan
1 Vegetation in S. 2015 jarang pada pertengahan yang penulis lakukan
Indeks
Desert Area Shekoohiz musim semi dan SPI tahunan selain menghitung SPI
Vegetasi
using Landsat adegan dan sebelumnya. Tidak adanya juga mencari nilai TVI
Data S. Zareie korelasi yang ditemukan untuk mengetahui
antara daerah dengan vegetasi kekeringan lahan yang
yang padat di pertengahan terjadi baik secara spasial
musim semi dan jumlah SPI maupun temporal.
tahunan sebelumnya.
3. Studi tentang korelasi antara
rata-rata SPI dan persentase
kelas vegetasi menunjukkan
bahwa padang rumput sangat
peka terhadap perubahan SPI.
Aplikasi Monica 1. Kekeringan sangat luas terjadi Penelitian ini melihat
Kekering
Penginderaan Nilasari, pada bulan September 2015 kondisi kekeringan lahan
2 2017 an
Jauh Untuk Bandi dengan luas 20165.579 ha , Pertaniannya dan
Pertanian
Memetakan Sasmito, sedangkan yang terendah melakukan skoring dan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
22 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2. Data TVI diperoleh melalui proses pengolahan data suhu permukaan tanah
(Land Surface Temperature) dan data indeks vegetasi (Enchanced Vegetation
Index). Data tersebut dikumpulkan dengan cara :
a. Mengidentifikasi nilai LST / suhu permukaan tanah dari citra landsat 8
dan landsat 4-5 dengan menggunakan ENVI 5.0. Dalam penginderaan
jauh , suhu permukaan tanah dapat didefinisikan suhu permukaan rata-
rata dari suatu permukaan. Cakupan suatu pixel dengan berbagai tipe
permukaan yang berbeda menggambarkan suhu permukaan tanah. LST
dalam Ardiansyah (2015) dihitung dengan menggunakan rumus :
𝐾2
𝑇= 𝐾1 …………………...………………..………..………. (3.1)
ln ( +1)
𝐶𝑉 𝑅2
dimana :
T = Suhu permukaan tanah (Kelvin)
K1 dan K2 = konstanta pada band 10
CVR = Nilai radiance pada band thermal
b. Nilai Index Vegetasi (IV) didapatkan dengan menggunakan rumus
Enchanced Vegetation Index (EVI) yang dikalkulasikan dari nilai
reflektansi spektrum cahaya merah, inframerah dekat, dan cahaya biru
(Huete et al, 1999 dalam Parwati 2008). sebagai berikut :
Universitas Indonesia
𝑝2 − 𝑝1
𝐸𝑉𝐼 = 𝐺 ……………….…………....…………. (3.2)
𝑝2 +𝐶1 x 𝑝1− 𝐶2 x 𝑝3 +L
dimana :
EVI = Indeks Vegetasi, G = 2.5 (gain faktor), C 1 = 6 (gain faktor)
C2 = 7.5 (gain faktor), L = 1 (gain faktor), ρ 1 ρ2 ρ3 = reflektansi
Nilai LST kemudian dibagi dengan nilai EVI untuk mendapatkan nilai
TVI.
3) Data Kondisi Fisik dengan indikator bentuk lahan, penggunaan lahan, dan jenis
tanah didapatkan dengan mengumpulkan data Rupa Bumi Indonesia tahun 2016
yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG), BAPPEDA dan BPN
Bojonegoro, serta ketinggian dan kemiringan lereng dari DEM SRTM dari
USGS.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
( O−E) 2
Dimana X 2 = ∑ ……………………...….……………….………... (3.4)
E
Total Baris
dan 𝐸 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑜𝑙𝑜𝑚 ……...…….…………………….……….. (3.5)
N
Keterangan:
CC = Koefisien Korelasi O = Frekuensi observasi
X2 = Chi Square N = Total Subyek
Universitas Indonesia
31 Universitas Indonesia
22 Gayam 50.05 12
23 Kalitidu 65.95 18
24 Malo 65.41 20
25 Purwosari 62.32 12
26 Padangan 42.00 16
27 Kasiman 51.80 10
28 Kedewan 56.51 5
Kabupaten Bojonegoro 2307.06 430
Sumber : BPS Bojonegoro 2016
Universitas Indonesia
Bentuk Lahan di Wilayah Bojonegoro memiliki sebaran dan luasan yang hampir
merata. Bentuk Lahan Dataran tektonik seluas 65.957 ha atau 28.59% dan Perbukitan
karst seluas 52.222 ha atau 22.64% dari luas kabupaten Bojonegoro tersebar di sebagian
besar wilayah tengah. Dataran aluvial seluas 34.071 ha atau 14.77% dan Dataran antar
perbukitan/pegunungan seluas 35.776 ha atau 15.51% dari luas kabupaten Bojonegoro
tersebar di wilayah utara. Perbukitan vulkan seluas 39.944 ha atau 17.31% dari luas
kabupaten Bojonegoro berada di sebelah selatan hingga tengah. Perbukitan tektonik
seluas 2.736 ha atau 1.19% dari luas kabupaten Bojonegoro berada di kecamatan
Kedewan. Bentuk lahan berupa perbukitan dan dataran memberikan pengaruh dalam
pertumbuhan awan hujan dan penyebaran curah hujan yang turun sehingga berdampak
kekeringan pada wilayah yang curah hujannya rendah.
Tabel 4.2 Luas Wilayah Bentuk Lahan di Kabupaten Bojonegoro
Luas Persen
No. Bentuk Lahan
(Ha) (%)
1 Dataran aluvial 34071 14.77
Dataran antar
2 35776 15.51
perbukitan/pegunungan
3 Dataran tektonik 65957 28.59
4 Perbukitan karst 52222 22.64
5 Perbukitan tektonik 2736 1.19
6 Perbukitan vulkan 39944 17.31
Jumlah 230706 100
Sumber: BAPPEDA Bojonegoro dan Pengolahan data 2018
Kabupaten Bojonegoro terletak pada posisi 112˚25' - 112˚09' Bujur Timur dan
6˚59' - 7˚37' Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Bojonegoro sebesar 2.307,06
km² atau 4.78 persen dari luas Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan posisi geografis
Kabupaten Bojonegoro berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk, Madiun dan Ngawi di
sebelah selatan, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
banjir dan saat musim kemarau terjadi kekeringan. Saat musim kemarau air permukaan
menjadi habis (kering) dan hanya sedikit cadangan air dalam tanah.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 4.4 Peta Curah Hujan Bulanan Kabupaten Bojonegoro Tahun 1986-2015
Sumber : BMKG dan Pengolahan 2018
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
45
Secara umum sifat hujan di Bojonegoro pada tahun El Nino kuat yaitu bawah
normal. Pada El Nino 1987 sebagian besar stasiun hujan bersifat bawah normal dimulai
dari Maret hingga Oktober. Secara khusus pada bulan April, Mei dan Agustus 1987,
seluruh stasiun hujan memiliki curah hujan dengan sifat bawah normal. Saat El Nino
1997 sifat hujan bawah normal pada sebagian besar stasiun hujan dimulai dari Maret
hingga November. Secara khusus pada Maret, Juni, Agustus, September, dan Oktober
1997, seluruh stasiun hujan memiliki curah hujan dengan sifat bawah normal. Tahun El
Nino 2015 sebagian besar stasiun hujan bersifat bawah normal dimulai dari Mei hingga
Desember. Pada tahun 2015, seluruh stasiun hujan memiliki curah hujan dengan sifat
bawah normal secara berturut-turut selama 4 bulan yaitu Juli, Agustus, September dan
Oktober. Presentasi curah hujan pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober
bernilai 0 % dari curah hujan normalnya
Curah Hujan Tahunan Stasiun hujan Bojonegoro 1986-
5000
2015
4000
3000
2000
1000
0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2011
2012
2013
2014
2015
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Namun ada beberapa stasiun hujan yang menunjukkan penurunan curah hujan
yaitu pada stasiun hujan Jatiblimbing, Karangnongko, Leran, PJK Adem, Tlogorejo dan
Tretes. Peningkatan curah hujan tertinggi terjadi di stasiun hujan Sugihan, dengan
peningkatan curah hujan sebesar 18.65 mm setiap tahunnya, sedangkan penurunan
curah hujan terendah terjadi di stasiun hujan Leran dengan penurunan curah hujan
sebesar 37.39 mm setiap tahunnya.
10.00
0.00
-10.00
-20.00
-30.00
-40.00
Universitas Indonesia
jarang terjadi kekeringan pada stasiun hujan Simorejo sebanyak 40 kejadian. Secara
spasial sebaran kejadian kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Tabel 5.2 Jumlah Kejadian Kekeringan Meteorologis Bulanan Kabupaten Bojonegoro Periode 1986-2015
Bul an
No Sta s iun LNT BUJUR ELEVASI
Ja n Feb Ma r Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Total
1 Ba l en -7.19 111.95 36 5 3 6 6 5 4 5 0 0 0 6 7 47
2 Ba ureno -7.13 112.11 32 4 5 5 4 4 4 6 5 0 0 7 5 49
3 Bojonegoro -7.14 111.90 36 3 3 4 5 4 6 6 0 0 5 5 3 44
4 Ca wa k -7.22 112.11 20 6 3 8 6 6 8 5 5 0 0 5 4 56
5 Da nder -7.25 111.84 62 4 4 3 4 4 5 5 0 0 6 6 6 47
6 Ja ti blimbing -7.24 111.87 49 4 3 4 6 5 6 5 5 0 4 6 5 53
7 Ka nor -7.11 112.02 33 2 5 6 6 5 5 6 7 0 4 6 6 58
8 Ka pa s -7.20 111.93 54 4 4 6 5 4 4 5 0 0 0 7 3 42
9 Ka ra ngnongko -7.25 111.51 74 6 6 5 7 5 5 6 0 0 0 5 2 47
10 Kerjo -7.20 112.09 35 4 4 5 5 4 5 4 0 0 0 5 5 41
11 Kl epek -7.26 111.93 41 3 5 4 4 4 3 5 0 0 5 7 5 45
12 Lera n -7.19 111.82 41 6 3 3 3 4 7 5 3 0 0 4 4 42
13 Merkuri s -7.23 112.02 49 3 4 3 3 3 5 4 6 0 6 6 6 49
14 PJKAdem -7.30 112.04 78 4 4 4 6 4 5 6 0 0 4 7 7 51
15 Si morejo -7.12 112.04 20 3 4 4 3 6 3 6 4 0 0 4 3 40
16 Sugi han -7.40 111.87 142 5 6 5 4 4 6 5 0 0 0 4 4 43
17 Sumberejo -7.18 111.99 17 5 5 5 5 5 5 6 7 0 7 6 6 62
18 Tl ogorejo -7.16 112.04 30 2 4 7 4 5 4 5 0 0 0 5 5 41
19 Tretes -7.36 111.87 116 5 4 6 5 6 2 5 6 0 0 4 5 48
Sumber : Pengolahan 2018
Stasiun hujan Sumberejo merupakan stasiun hujan dengan ketinggian 17 mdpl
dan berada pada kemiringan lereng datar, curah hujan 1770 mm per tahun serta berjenis
tanah aluvial sehingga apabila terjadi hujan maka curah hujan hanya sedikit yang
tertampung baik di dalam tanah maupun di permukaan tanah, hal ini dikarenakan curah
hujan yang jatuh langsung mengalir menuju sungai Bengawan Solo. Stasiun hujan
Sugihan juga merupakan stasiun hujan dengan kejadian kekeringan rendah karena
berapa pada daerah perbukitan dengan ketinggian 142 mdpl, dan berada pada
kemiringan lereng Agak miring hingga miring. Curah hujan yang tertinggi dengan nilai
curah hujan 2056 mm per tahun dan berjenis tanah campuran mediteran dan latosol
menyebabkan kejadian kekeringan jarang terjadi.
Universitas Indonesia
Gambar 5.4 Peta Kejadian Kekeringan Tahun 1986 - 2015 Kabupaten Bojonegoro
Sumber : Pengolahan 2018
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada saat El Nino kuat tahun 1997, nilai SPI berada pada kategori sangat kering,
kering, cukup kering, normal, cukup basah, dan basah. Kekeringan meteorologis dalam
kategori Normal terjadi di seluruh wilayah Bojonegoro di bulan September. Bulan
Agustus, Oktober, dan Desember secara umum kekeringan meteorologis berada pada
kategori normal, hanya sebagian kecil dalam kategori cukup kering hingga kering.
Pada bulan Januari tidak ada satu pun wilayah di Bojonegoro yang mengalami
kekeringan meteorologis, hal tersebut dapat dilihat dari nilai SPI yang berada pada
kategori normal hingga basah. Kategori kekeringan meteorologis cukup basah hingga
basah mengalami penurunan pada bulan Februari dan terjadi kekeringan meteorologis
dengan kategori cukup kering hingga kering di stasiun hujan Karangnongko dan
Merkuris, sedangkan stasiun hujan lainnya berada pada kondisi normal.
Bulan Maret dan April kekeringan meteorologis dengan kategori sangat kering
terjadi di stasiun hujan Karangnongko dan Merkuris, kategori cukup kering hingga
kering terjadi di stasiun hujan Baureno, Semberejo, Balen, dan Bojonegoro, stasiun
hujan lainnya berada pada kategori normal dan hanya stasiun hujan Jatiblimbing dengan
kategori cukup basah. Bulan Mei, Juni, Juli dan November secara umum kekeringan
meteorologis di Bojonegoro berada pada kategori cukup kering. Kategori sangat kering
hanya terjadi di stasiun hujan Merkuris, dan Jatiblimbing. Kategori Normal terjadi pada
stasiun hujan Tretes, Sugihan, dan Klepek, serta kategori kering berada pada stasiun
hujan lainnya.
Pola kekeringan menunjukkan bahwa kondisi kering berada di wilayah tengah dan timur
yang merupakan daerah dataran dengan ketinggian 0 hingga 50 mdpl dengan
kemiringan lereng datar hingga landai. Bulan Maret merupakan awal kekeringan
mengalami peningkatan hingga bulan Juli, dimana kondisi curah hujan juga mengalami
penurunan dari bulan Maret hingga Oktober. Berdasarkan pola streamline juga
menunjukkan pada bulan Maret hingga Oktober arah angin berasal dari wilayah
Australia dimana uap air yang dibawa cenderung kering sehingga ketika angin sampai
di Bojonegoro tidak memberikan dampak pertumbuhan awan konvektif yang
menyebabkan terjadinya hujan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pada saat El Nino kuat tahun 2015, nilai SPI berada pada kategori sangat kering,
kering, cukup kering, normal, cukup basah, dan basah. Tidak ada satu pun wilayah yang
dengan kategori sangat basah di Kabupaten Bojonegoro, bahkan hanya sebagian kecil
wilayah yang berada dalam kategori cukup basah dan basah yaitu pada bulan Februari,
Maret dan April, Mei dan Juni.
Bulan Januari hingga Oktober secara umum kekeringan meteorologis di
kabupaten Bojonegoro berada pada kategori normal. Bulan Januari, Februari, Maret,
dan April stasiun hujan Karangnongko berada pada kategori kering dan stasiun hujan
Tretes, dan Klepek berada pada kategori cukup kering. Bulan Oktober kekeringan
meteorologis dengan kategori cukup kering mulai meningkat di wilayah bagian timur
dan utara Bojonegoro yang merupakan daerah dataran dengan kemiringan lereng datar.
Bulan November kekeringan meteorologis dengan kategori cukup kering
semakin meluas bahkan secara umum wilayah Bojonegoro berada pada kategori kering.
Stasiun hujan Kanor berada dalam kategori sangat kering sedangkan stasiun hujan
Kerjo, Cawak, dan PJK Adem berada dalam kategori Normal. Bulan Desember
kekeringan meteorologis dengan kategori sangat kering semakin meluas di wilayah
Utara, Barat dan Selatan Bojonegoro yang terjadi di stasiun hujan Karangnongko,
Tretes, Sugihan, Leran, Bojonegoro, Kapas, dan Leran. Stasiun hujan Cawak dan
Sumberejo berada pada kategori Normal sedangkan stasiun hujan lainnya berada pada
kategori kering. Kekeringan yang terjadi pada bulan November dan Desember salah
satunya diakibatkan indeks SOI yang tinggi.
Penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan et al 2017
dan Saidah dkk 2017 dimana fenomena kekeringan meteorologis mampu
direpresentasikan secara spasial dan temporal dengan perhitungan menggunakan metode
SPI. Pada tahun El Nino, SPI mampu menggambarkan wilayah yang terdampak
kekeringan meteorologis dengan kategori cukup kering hingga sangat kering. Pada
tahun El Nino secara umum kondisi kekeringan di wilayah Bojonegoro terjadi pada
bulan Mei, Juni, November dan Desember. Sebaran kekeringan meteorologis tidak sama
setiap tahunnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan distribusi curah hujan yang ada di
wilayah penelitian.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Gambar 5.8 Grafik SPI 3 Bulanan Stasiun hujan Kerjo, Leran, Merkurius, dan Sumberejo
Universitas Indonesia
Gambar 5.9 Peta Suhu Permukaan Tanah Mei 1997 Kabupaten Bojonegoro
Sumber : Landsat 4-5 TM dan Pengolahan 2018
Universitas Indonesia
Peta Suhu Permukaan Tanah menunjukkan bahwa daerah dataran memiliki suhu
lebih tinggi dari pada daerah perbukitan. Begitu juga untuk Kawasan hutan di sebelah
utara menunjukkan suhu permukaan tanah yang rendah diakibatkan oleh banyaknya
vegetasi yang berada pada wilayah tersebut. Daerah dataran yang merupakan daerah
pusat perkotaan seperti di Kecamatan Bojonegoro menunjukkan suhu yang lebih tinggi
akibat dari lahan yang digunakan sebagai permukiman dan aktivitas manusia di
sekitarnya.
Indeks vegetasi juga dihitung berdasarkan parameter EVI (Enhanced Vegetation
Index) menggunakan persamaan 3.2. sehingga didapatkan hasil pada Gambar 5.10.
Universitas Indonesia
Gambar 5.11 Peta Kelas Kekeringan TVI Mei Juni 1997 dan November Desember 2015
Sumber : Landsat 4-5 TM, Landsat 8 dan Pengolahan 2018
Universitas Indonesia
Pada Mei tahun 1997 kekeringan lahan kelas Normal seluas 127.530 ha atau
55.28% dari luas kabupaten Bojonegoro yang tersebar di sebagian besar wilayah tengah,
dan selatan. Kekeringan ringan seluas 43.360 ha atau 18.79%, Sedang 21.119 ha atau
9.15%, Berat 11.172 ha atau 4.84%, dan Sangat Berat 27.5252 ha atau 11.93%, dari luas
kabupaten Bojonegoro. Wilayah TVI kekeringan Normal, pada SPI terdampak cukup
kering hingga kering dan curah hujan berada dalam kategori rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa kekeringan lahan pada bulan Mei tahun 1997 tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor meteorologis dan curah hujan tetapi terdapat faktor lain yang
juga berpengaruh seperti bentuk lahan, jenis tanah, ketinggian dan kemiringan lereng.
120000
100000
80000
Hektar
60000 Mei
Juni
40000
20000
0
Normal Ringan Sedang Berat Sangat Berat
Kelas Kekeringan
Universitas Indonesia
Pada November tahun 2015 kekeringan lahan kelas Normal seluas 77.058 ha
atau 33.40% dari luas kabupaten Bojonegoro yang tersebar merata di wilayah Selatan
dan Timur Bojonegoro. Kekeringan ringan seluas 42.183 ha atau 18.28%, Sedang
34.060 ha atau 14.76%, Berat 20.745 ha atau 8.99%, dan Sangat Berat 56.660 ha atau
24.56% dari luas kabupaten Bojonegoro. Sebagian besar wilayah Bojonegoro
berdasarkan TVI berada pada kekeringan, hal ini selaras dengan kekeringan
meteorologis SPI kategori kering yang tersebar merata dengan curah hujan berada
dalam kategori rendah.
100000
80000 Nov
60000 Des
40000
20000
0
Normal Ringan Sedang Berat Sangat Berat
Kelas Kekeringan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
6.1 Kesimpulan
Nilai SPI (Standardized Precipitation Index) menunjukkan kekeringan
meteorologis paling sering terjadi pada stasiun hujan Sumberejo dengan total 62
kejadian sedangkan paling jarang terjadi kekeringan pada stasiun hujan Simorejo
sebanyak 40 kejadian selama 30 tahun. Pola sebaran kekeringan menunjukkan pola
dimana kekeringan mulai terjadi pada bulan Maret saat curah hujan rendah, dengan
sebaran kekeringan terjadi di wilayah utara yang merupakan daerah dataran dan
berlereng datar hingga landai kemudian meluas pada wilayah selatan yang merupakan
daerah perbukitan dan berlereng agak curam.
Kekeringan Meteorologis memberikan dampak yang berbeda pada Kekeringan
Lahan saat tahun El Nino kuat. Tahun 2015 kekeringan lahan Sangat Berat terbesar
terjadi pada bulan November seluas 20.010 ha dan tahun 1997 terbesar terjadi pada
bulan Juni seluas 63.624 ha dan tersebar di sebagian besar wilayah Bojonegoro. Pola
sebaran kekeringan lahan juga terjadi di wilayah dataran yang kemudian meluas pada
daerah perbukitan. Kondisi kekeringan meteorologis (SPI) dengan kekeringan lahan
(TVI) yang didasarkan pada Uji Chi Square menghasilkan nilai signifikansinya 0 dan
kurang dari α (0.05) artinya Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan
terdapat asosiasi atau hubungan antara kekeringan meteorologis dengan kekeringan
lahan. Nilai CC (Contingency Coefficient) 0.159 menunjukkan bahwa hubungan antara
kekeringan meteorologis dengan kekeringan lahan tidak terlalu kuat.
6.2 Saran
Penggunaan metode lain dalam penginderaan jauh juga perlu dilakukan untuk
mendapatkan metode yang paling sesuai dalam menganalisis kondisi kekeringan suatu
wilayah seperti VDI (Vegetation Dryness Index) dan TVDI (Temperature Vegetation
Dryness Index). Penggunaan metode lain dalam kaitannya dengan kekeringan
meteorologis seperti Indeks Palmer, Klasifikasi Oldeman dan lainnya juga dilakukan
untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.
Universitas Indonesia
68
DAFTAR REFERENSI
Universitas Indonesia
Dupe, Z.L., (2000). El Niño dan La Niña, Dampaknya Terhadap Cuaca dan Musim di
Indonesia. Pengetahuan Alam dan Pengembangan. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Dutta, D., Kundu, A., Patel, N.R., Saha, S.K., Siddiqui, A.R., (2015). Assessment of
agricultural drought in Rajasthan (India) using remote sensing derived
Vegetation Condition Index (VCI) and Standardized Precipitation Index (SPI).
The Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Science, Volume 18, Issue 1,
June 2015, Pages 53-63
Hadiyanto, Soeroso. (2007). Pola Tingkat Kerawanan Kekeringan di Jawa Tengah.
Program Pascasarjana Ilmu Geografi. FMIPA Universitas Indonesia : Tesis
Irawan, B. (2003). Dampak El Nino dan La Nina Terhadap Produksi Padi dan
Palawija. Jurnal Litbang Pertanian. Jakarta
Irianto, G., Amin, L.I. dan Surmaini, E., (2000). Keragaman Iklim Sebagai Peluang
Diversifikasi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Jiang, Z., Huete, A. R., Didan, K. & Miura T. (2008). Development of a two-band
Enhanced Vegetation Index without a blue band. Remote Sensing of
Environment, 112 (2008), 3833-3845
Khosravi, H., Haydari, E., Shekoohizadegan, S., Zareie, S., (2017). Assessment the
Effect of drought on Vegetation in Desert Area using Landsat Data. The Egyptian
Journal of Remote Sensing and Space Science, Volume 20, Supplement 1, April
2017, Pages S3-S12
McKee, T.B., Doesken, N.J., dan Kleist, J. (1993). The Relationship of Drought
Frequency and Duration to Time Scales. Procedings of the 8 th Conference on
Applied Climatology, Anaheim, California, 1722 January 1993, pp.179-184.
Boston, MA, USA: American Meteorological Society.
Nilasari, M., Sasmito, B., Sukmono, A., (2017). Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk
Memetakan Kekeringan Lahan Pertanian Dengan Metode Thermal Vegetation
Index (Studi Kasus : Kabupaten Kudus, Jawa Tengah). Jurnal Geodesi Volume 1
Nomor 3. Universitas Diponegoro.
Nuryadi. (2007). Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran
Curah Hujan di Sumatera Barat. Program Pascasarjana Ilmu Geografi. FMIPA
Universitas Indonesia : Tesis
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Tjasyono, B. H. K. (2008). Selamatkan Bumi dari Isu Perubahan Iklim dan Pemanasan
Global. Orasi Ilmiah. Jakarta
Thornthwaite, C.W. and Mather, J.R. (1957). Instruction and Tables for Computing
Potential Evapotranspiration and the Water Balance. Drexel Institute of
Technology. Laboratory of Climatology. New Jersey, USA.
Trianasari, M. E. (2009). Pola Kekeringan Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2007-2008. Program Pascasarjana Ilmu Geografi. FMIPA Universitas
Indonesia : Tesis
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariskaan.
Wang, C., Deser, C., Yu, J.Y., DiNezio, P. dan Clement, A., (2012). El Niño and
southern oscillation (ENSO): a review. Coral Reefs of the Eastern Pacific, pp.3-
19.
World Meteorological Organization, (2012). Standardized Precipitation Index Users
Guide. World Meteorological Organization, Geneva 2, Switzerland.
https://www.bmkg.go.id/iklim/indeks-presipitasi-terstandarisasi.bmkg diakses tanggal
26 Februari 2018
http://extreme.kishou.go.jp/itacs5/analyze/form_auth diakses tanggal 1 Juni 2018
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Pos Hujan Dander
Koordinat 7°14’58.7”LS 111°50’35.3” BT
Lokasi Ds. Dander Kec Dander
Foto Lapangan
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Pos Hujan Kanor
Koordinat 7°05’43.9”LS 112°01’9.5” BT
Lokasi Ds. Kanor Kec Kanor
Foto Lapangan
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Pos Hujan Kerjo
Koordinat 7°11’53.79”LS 112°5’14.15” BT
Lokasi Ds. Brangkal Kec Kepuhbaru
Foto Lapangan
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Pos Hujan Leran
Koordinat 7°11’17.6”LS 111°49’14.5” BT
Lokasi Ds. Ngumpakdalem Kec Dander
Foto Lapangan
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Pos Hujan PJKAdem
Koordinat 7°19’50.5”LS 112°3’0.3” BT
Lokasi Ds. Panjang Kec Kedungadem
Foto Lapangan
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Pos Hujan Sumberejo
Koordinat 7°10’33.77”LS 112°0’2.14” BT
Lokasi Ds. Kedungdowo Kec Sumberejo
Foto Lapangan
Universitas Indonesia
(lanjutan)
Pos Hujan Tretes
Koordinat 7°21’14.95”LS 111°52’14.73” BT
Lokasi Ds. Kedungsumber Kec Temayam
Foto Lapangan
Universitas Indonesia
Lampiran 5. Peta Streamline Angin Permukaan Bulan Mei dan Juni Tahun 1997
Universitas Indonesia
Lampiran 6. Peta Streamline Angin Permukaan Bulan November dan Desember Tahun 1997
Universitas Indonesia