Anda di halaman 1dari 99

UNIVERSITAS INDONESIA

POLA SPASIAL KEKERINGAN DI KABUPATEN BOJONEGORO

TESIS

ADITYA MULYA
1606840903

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU GEOGRAFI
DEPOK
JUNI 2018

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


UNIVERSITAS INDONESIA

POLA SPASIAL KEKERINGAN DI KABUPATEN BOJONEGORO

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

ADITYA MULYA
1606840903

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU GEOGRAFI
DEPOK
JUNI 2018

ii

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


HALAMAN PERNY ATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Aditya Mulya

NPM : 1606840903

Tanda Tangan

Tanggal

iii

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


HALAMANPENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh


Nama Aditya Mulya
NPM 1606840903
Program Studi Magister Ilmu Geografi
Judul Tesis Pola Spasial Kekeringan di Kabupaten Bojonegoro

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Magister I1mu Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Universitas Indonesia.

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Dr. Mangapul P. Tambunan, M.Si.


/)

Pembimbing I : Dr. rer.nat. Eko Kusratmoko, M.S. (

Pembimbing II : Dr. Agus Syafril, ST., M.MT

Penguji II : Prof. Dr. Aris Poniman (

Penguj i III : Dr. Tito LatifIndra, S.Si, M.Si. (

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 28 Juni 1018

iv

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah


memberikan rahmat, hidayah serta karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis
berjudul “Pola Spasial Kekeringan di Kabupaten Bojonegoro” dengan sebaik-baiknya.
Sholawat serta salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihi
wa sallam. Penulisan tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Magister Sains Program Ilmu Geografi pada Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.

Penulis tidak dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik dan tepat waktu tanpa adanya
bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. rer.nat. Eko Kusratmoko M.S. dan Bapak Dr. Agus Syafril, ST., M.MT
selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk
mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.
2. Bapak Dr. Mangapul P Tambunan, M.S selaku ketua sidang, Prof. Dr. Aris Poniman
dan Dr. Tito Latif Indra M.Si. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran serta
masukan sehingga tesis ini dapat disusun dengan sebaik-baiknya.
3. Ibu penulis Endang Wahyuningsih, Istri Novia Dewi Ismawardani, dan seluruh
keluarga tercinta yang tiada hentinya memberikan doa dan dukungan.
4. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memberikan beasiswa penuh
kepada penulis selama menempuh studi di Universitas Indonesia.
5. Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika sebagai tempat penulis bekerja
yang telah memberikan banyak dukungan dan bantuan.
6. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Magister Ilmu Geografi khususnya bapak
Supriyanto yang telah banyak membantu dalam administrasi.
7. Stasiun Klimatologi Kelas II Malang dan BAPPEDA Bojonegoro yang telah banyak
membantu dalam memperoleh data yang penulis perlukan.

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


8. Rekan-rekan seperjuangan program pasca sarjana Ilmu Geografi 2016 yang telah
memberikan bantuan serta dukungan.
9. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam menyelesaikan tesis
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga Allah Subhanahu Wata’ala memberikan keselamatan dan keberkahan kepada


berbagai pihak yang sudah mendukung dan membantu dalam penyelesaian tesis. Penulis
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam tesis ini, meskipun telah diusahakan
semaksimal dan sebaik mungkin. Namun penulis berharap semoga tesis ini bermanfaat bagi
peneliti selanjutnya.

Depok, 28 Juni 2018


Penulis

vi

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah
mr:

Nama : Aditya Mulya


NPM : 1606840903
Program Studi : Magister Ilmu Geografi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis karya : Tesis

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas


Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-Free Right) atas
karya ilmiah saya yang berjudul :

Pola Spasial Kekeringan di Kabupaten Bojooegoro


beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini
Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedialformat-kan, mengelola dalam
bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama
tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenamya.

Dibuat di : Depok
Pada Tanggal : 28 Juni 2018

vii

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


ABSTRAK

Nama : Aditya Mulya


NPM : 1606840903
Program Studi : Magister Ilmu Geografi
Judul : Pola Spasial Kekeringan di Kabupaten Bojonegoro

Salah satu bencana alam yang dapat terjadi akibat dari perubahan iklim dengan
meningkatnya suhu bumi adalah Kekeringan. Bojonegoro merupakan Kabupaten yang
sebelah utaranya merupakan daerah aliran sungai dan sebelah selatan daerah perbukitan.
Kekeringan yang terjadi di Bojonegoro hampir terjadi sepanjang tahun, dimana lokasi dan
waktu terjadinya juga berbeda-beda. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan
mengklasifikasi wilayah kekeringan dan hubungan antara kekeringan meteorologis dengan
kekeringan lahan. Kekeringan meteorologis dihitung dengan menggunakan metode SPI
(Standardized Precipitation Index) sedangkan kekeringan lahan dihitung dengan
menggunakan penginderaan jauh metode TVI (Thermal Vegetation Index). Pola sebaran
kekeringan menunjukkan pola dimana kekeringan mulai terjadi pada bulan Maret saat
curah hujan rendah, dengan sebaran kekeringan terjadi di wilayah utara yang merupakan
daerah dataran dan kemiringan lereng datar hingga landai kemudian meluas pada wilayah
selatan yang merupakan daerah perbukitan dan kemiringan lereng agak curam. Kekeringan
Meteorologis memberikan dampak yang berbeda pada Kekeringan Lahan saat tahun El
Nino kuat. Tahun 2015 kekeringan lahan Sangat Berat terbesar terjadi pada bulan
November seluas 20.010 ha dan tahun 1997 terbesar terjadi pada bulan Juni seluas 63.624
ha dan tersebar di sebagian besar wilayah Bojonegoro. Pola sebaran kekeringan lahan juga
terjadi di wilayah dataran yang kemudian meluas pada daerah perbukitan. Kondisi
kekeringan meteorologis (SPI) dengan kekeringan lahan (TVI) yang didasarkan pada Uji
Chi Square menghasilkan nilai signifikansinya 0 dan kurang dari α (0.05) artinya Ho
ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan terdapat asosiasi atau hubungan antara
kekeringan meteorologis dengan kekeringan lahan.

Kata kunci: Kekeringan Meteorologis, SPI, TVI

viii

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


ABSTRACT

Name : Aditya Mulya


Student Number : 1606840903
Study Program : Geography
Thesis Title : Spatial Drought Pattern in Bojonegoro Regency

One of the natural disasters that can occur as a result of climate change with due to rising
Earth’s temperature is Drought. Bojonegoro is a regency with the river in northern part of it
and the hill in the south. The drought that occurred in Bojonegoro mostly occurred
throughout the year, where the location and time of occurrence are also vary. The purpose
of this study were to analyze and classify drought areas and the relationship between
meteorological drought and inland drought. Meteorological drought was calculated using
the SPI (Standardized Precipitation Index) method while the drought was calculated using
remote sensing method of TVI (Thermal Vegetation Index). The drought distribution shows
a pattern where droughts start to occur in March when the rainfall is low, with the drought
occurring in the northern part which is flat and with the flat slope to low then extends to the
southern region which is a hilly area and the slope of a rather steep slope. Meteorological
Drought has had a different impact on inland drought when El Nino is strong. In 2015
“Very Vast” Inland Drought occurred in November of 20,010 ha and the largest in 1997
occurred in June of 63,624 ha and spreaded out in most of Bojonegoro regency. The pattern
of Inland drought distribution also occurred in the plains which then extends to the hills.
The condition of dryness of meteorological (SPI) and inland drought (TVI) based on Chi
Square Test yields significance value 0 and less than α (0.05) which means Ho is rejected
and Ha accepted so it can be concluded there is an association or relationship between
meteorological drought with inland drought.

Keyword: Meteorological Drought, SPI, TVI

ix

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................................i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................................iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................................iv
KATA PENGANTAR .........................................................................................................v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..........................................vii
ABSTRAK...........................................................................................................................viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................................xii
DAFTAR TABEL ...............................................................................................................xiii
DAFTAR RUMUS ..............................................................................................................xiv
1 PENDAHULUAN ...........................................................................................................1
1.1. Latar Belakang .........................................................................................................1
1.2. Perumusan Masalah .................................................................................................4
1.3. Tujuan Penelitian .....................................................................................................5
1.4. Batasan Masalah ......................................................................................................5
2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................................7
2.1. Iklim .........................................................................................................................7
2.2. Sistem Cuaca Penyebab Kekeringan .......................................................................8
2.3. Kekeringan ...............................................................................................................10
2.4. Standardized Precipitation Index (SPI) ...................................................................10
2.5. Penginderaan Jauh ...................................................................................................13
2.6. Karakteristik Citra Landsat ......................................................................................14
2.7. Terapan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kekeringan ..........................................15
2.7.1. Normalyzed Difference Vegetation Index (NDVI)...........................................16
2.7.2. Thermal Vegetation Index (TVI)......................................................................16
2.8. State of the art ..........................................................................................................16
3 METODE PENELITIAN ..............................................................................................22
3.1. Alur Pikir Penelitian ................................................................................................22
3.2. Alur Kerja Penelitian ...............................................................................................23
3.3. Variabel Penelitian ...................................................................................................25
3.4. Pengumpulan Data ...................................................................................................25
3.5. Pengolahan Data ......................................................................................................28
3.6. Analisis Data ............................................................................................................30
4 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ........................................................31
4.1. Daerah Penelitian .....................................................................................................31
4.2. Bentuk Lahan ...........................................................................................................32
4.3. Jenis Tanah ..............................................................................................................35
4.4. Kondisi Iklim ...........................................................................................................37
4.5. Kemiringan Lereng ..................................................................................................39
4.6. Wilayah Ketinggian .................................................................................................41
4.7. Penggunaan Lahan ...................................................................................................43

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


5 PEMBAHASAN ..............................................................................................................45
5.1. Curah Hujan Kabupaten Bojonegoro........................................................................45
5.1.1. Curah Hujan Tahunan .....................................................................................45
5.1.2. Curah Hujan Bulanan ......................................................................................48
5.1.3. Trend Curah Hujan Kabupaten Bojonegoro ....................................................49
5.2. Kekeringan Meteorologis Kabupaten Bojonegoro ...................................................50
5.2.1. Wilayah Kekeringan Meteorologis Kabupaten Bojonegoro ...........................50
5.2.2. Kekeringan Meteorologis Tahun El Nino Kuat Kabupaten Bojonegoro ........53
5.2.3. Tingkat Keparahan Kekeringan Meteorologis Kabupaten Bojonegoro ..........59
5.3. Kekeringan Lahan Kabupaten Bojonegoro...............................................................61

6 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................................68


6.1. Kesimpulan................................................................................................................68
6.2. Saran.........................................................................................................................68

DAFTAR REFERENSI ........................................................................................................69


LAMPIRAN .........................................................................................................................73

xi

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Komponen Sistem Iklim, Proses dan Interaksinya ..........................................8


Gambar 2.2 Sistem penginderaan jauh dan aplikasinya ......................................................14
Gambar 3.1 Alur Pikir Penelitian ........................................................................................23
Gambar 3.2 Diagram Alur Kerja Penelitian ........................................................................24
Gambar 3.3 Peta Stasiun Hujan Kabupaten Bojonegoro .....................................................27
Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Bojonegoro .......................................................32
Gambar 4.2 Peta Bentuk Lahan Kabupaten Bojonegoro ....................................................34
Gambar 4.3 Peta Jenis Tanah Kabupaten Bojonegoro .......................................................36
Gambar 4.4 Peta Curah Hujan Bulanan Kabupaten Bojonegoro Tahun 1986-2015 ..........38
Gambar 4.5 Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Bojonegoro ...........................................40
Gambar 4.6 Peta Ketinggian Kabupaten Bojonegoro ........................................................42
Gambar 4.7 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bojonegoro ............................................44
Gambar 5.1 Rata-rata Curah Hujan Tahunan Stasiun Hujan Bojonegoro ..........................46
Gambar 5.2 Peta Rata-rata Curah Hujan Tahunan Kabupaten Bojonegoro .......................47
Gambar 5.3 Tren Curah Hujan Tahunan Kabupaten Bojonegoro ......................................50
Gambar 5.4 Peta Kejadian Kekeringan Tahun 1986-2015 Kabupaten Bojonegoro ...........52
Gambar 5.5 Peta SPI 3 Bulanan Tahun 1987 Kabupaten Bojonegoro ................................54
Gambar 5.6 Peta SPI 3 Bulanan Tahun 1997 Kabupaten Bojonegoro ................................56
Gambar 5.7 Peta SPI 3 Bulanan Tahun 2015 Kabupaten Bojonegoro ................................58
Gambar 5.8 Grafik SPI 3 Bulanan Stasiun Hujan Kerjo,Leran,Merkurius dan Sumberejo 60
Gambar 5.9 Peta Suhu Permukaan Tanah Mei 1997 Kabupaten Bojonegoro ....................61
Gambar 5.10 Peta Indeks Vegetasi Mei 1997 Kabupaten Bojonegoro ...............................62
Gambar 5.11 Peta Kelas Kekeringan TVI Mei Juni 1997 dan November Desember 2015 63
Gambar 5.12 Luas Kekeringan Lahan Mei dan Juni 1997 ..................................................64
Gambar 5.13 Luas Kekeringan Lahan November dan Desember 2015 ..............................65

xii

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Karakteristik dan Kemampuan aplikasi saluran (band) Citra Landsat.................15
Tabel 2.2 State of the art......................................................................................................17
Tabel 3.1 Variabel Penelitian................................................................................................25
Tabel 3.2 Daftar Stasiun Hujan di Kabupaten Bojonegoro ..................................................26
Tabel 3.3 Klasifikasi Nilai SPI ............................................................................................29
Tabel 3.4 Klasifikasi Nilai TVI............................................................................................29
Tabel 4.1 Kecamatan dan Luas Wilayah Kabupaten Bojonegoro ........................................31
Tabel 4.2 Luas Wilayah Bentuk Lahan di Kabupaten Bojonegoro ....................................33
Tabel 4.3 Luas Wilayah Jenis Tanah di Kabupaten Bojonegoro .........................................35
Tabel 4.4 Luas Wilayah Kemiringan Lereng di Kabupaten Bojonegoro .............................39
Tabel 4.5 Luas Wilayah Ketinggian di Kabupaten Bojonegoro...........................................41
Tabel 4.6 Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bojonegoro ............................................43
Tabel 5.1 Curah Hujan Kabupaten Bojonegoro Tahun 1986-2015 ....................................49
Tabel 5.2 Jumlah Kejadian Kekeringan Meteorologis Bulanan Kabupaten Bojonegoro ...51
Tabel 5.3 Hubungan Kekeringan Meteorologis dengan Kekeringan Lahan (Ha) ..............66
Tabel 5.4 Chi-Square Test Kekeringan Meteorologis dengan Kekeringan Lahan .............66
Tabel 5.5 Koefisien Korelasi Kekeringan Meteorologis dengan Kekeringan Lahan...........67

xiii

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


DAFTAR RUMUS

Rumus 2.1 Distribusi Gamma ................................................................................... 11


Rumus 2.2 Fungsi Gamma ........................................................................................ 11
Rumus 2.3 Optimalisasi estimasi nilai Alpha............................................................ 11
Rumus 2.4 Optimalisasi estimasi nilai Beta .............................................................. 11
Rumus 2.5 Fungsi Konstanta ..................................................................................... 11
Rumus 2.6 Probabilitas Kumulatif ............................................................................ 11
Rumus 2.7 Probabilitas Kumulatif untuk x=10 ........................................................ 12
Rumus 2.8 SPI saat 0 <H(X) ≤ 0.5 ............................................................................ 12
Rumus 2.9 Konstanta t saat 0 <H(X) ≤ 0.5 ............................................................... 12
Rumus 2.10 SPI saat 0.5 <H(X) ≤ 1.0 ....................................................................... 12
Rumus 2.11 Konstanta t saat 0.5 <H(X) ≤ 1.0 .......................................................... 12
Rumus 2.12 Normalyzed Difference Vegetation Index (NDVI) ............................. 16
Rumus 2.13 Thermal Vegetation Index (TVI) ........................................................ 16
Rumus 3.1 Land Surface Temperature (LST) ........................................................ 27
Rumus 3.2 Enchanced Vegetation Index (EVI) ...................................................... 28
Rumus 3.3 Koefisien Korelasi ................................................................................ 30
Rumus 3.4 Chi Square ............................................................................................ 30
Rumus 3.5 Frekuensi Harapan ................................................................................ 30

xiv

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perubahan iklim merupakan tema yang banyak dibahas dan dibicarakan di
seluruh dunia. Perubahan iklim tidak terjadi secara mendadak, namun secara perlahan
dalam jangka waktu yang relatif sangat panjang. Laporan Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) melalui Assesment Report ke-5 menjelaskan bahwa perubahan
iklim memang sudah terjadi. Suhu bumi meningkat sekitar 0,8°C selama satu abad
terakhir. Secara berturut-turut kondisinya lebih hangat daripada dekade sebelumnya
(IPCC,2013).
Salah satu bencana alam yang dapat terjadi akibat dari perubahan iklim dengan
meningkatnya suhu bumi adalah Kekeringan. Kekeringan hampir setiap tahun terjadi di
wilayah Indonesia yang merupakan wilayah tropis. Kekeringan merupakan salah satu
bencana alam yang terjadi serta berdampak sangat luas dan bersifat lintas sektor (sosial,
kesehatan, ekonomi dan pendidikan). Thornthwaite (1957) mendefinisikan kekeringan
sebagai keadaan atau kondisi kebutuhan penguapan dan transpirasi melampaui jumlah
air tanag yang tersedia. Tjasyono (2004) menjelaskan bahwa kekeringan dibedakan
dalam tiga kelas antara lain, yang pertama kekeringan permanen yang diberkaitkan
dengan iklim kering. Kedua kekeringan musiman yang terjadi pada iklim dengan
periode cuaca kering yang berbeda setiap tahunnya. Ketiga kekeringan yang diakibatkan
kondisi berubahnya curah hujan.
Tjasyono dan Harijono (2006) menjelaskan salah satu penyebab utama
kekeringan adalah curah hujan yang rendah, meskipun faktor peningkatan kebutuhan air
cenderung meningkatkan penyebab kekeringan. Kekeringan tidak hanya terjadi pada
awal musim kering, akan tetapi kekeringan terjadi apabila persediaan air dalam tanah
tidak mencukupi lagi untuk kebutuhan tanaman. Penguapan yang meningkat
mengakibatkan tanah kehilangan air secara cepat. Tanaman yang tumbuh pada tanah
yang mempunyai daya tampung tinggi dalam mempertahankan air kurang rentan
terhadap periode cuaca kemarau yang singkat. Tanah yang banyak digunakan untuk
pembangunan cenderung meningkatkan limpasan sehingga mengurangi air tanah yang
dapat disimpan. Kekeringan menunjukkan keadaan kebutuhan air melebihi air yang

1 Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


2

tersedia. Beberapa cara dalam pencegahan kerusakan tanaman oleh kekeringan antara
lain: mengurangi kebutuhan air tanaman, meningkatkan persediaan air atau
kemungkinan kombinasi dari kedua cara tersebut (Tjasyono, 2004).
Kekeringan dapat diklasifikasikan berdasarkan dampak yang ditimbulkan dan
karakteristiknya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2016) menjelaskan secara
spesifik terdapat 4 (empat) tipe kekeringan antara lain: Kekeringan Meteorologis yang
ditinjau dari kurangnya curah hujan periode tersebut dengan kondisi curah hujan rata-
ratanya, Kekeringan Pertanian yang diakibatkan menurunnya ketersediaan kelembaban
tanah yang diperlukan oleh tanaman padi di bawah level optimal, Kekeringan Hidrologi
ditandai dengan berkurangnya aliran air permukaan secara signifikan hingga mencapai
kondisi di bawah normal, akibat dari berkurangnya curah hujan, dan Kekeringan sosial
ekonomi yang merupakan hubungan antara aktivitas manusia dengan kekeringan
meteorologi, pertanian, dan hidrologi.
Kekeringan merupakan salah satu bencana yang sering terjadi di Indonesia.
Curah hujan yang semakin menurun dalam beberapa periode merupakan salah satu
penyebab terjadinya kekeringan. Interaksi antara atmosfer dengan lautan, serta
ketidakteraturan suhu permukaan laut yang terjadi di perairan Indonesia seperti El Niño,
IOD (Indian Ocean Dipole) positif, dan monsun menjadi pemicu dalam dinamika curah
hujan. Irawan (2003) menjelaskan bahwa kekeringan di Indonesia erat kiatannya dengan
kejadian anomali iklim seperti El Niño dan IOD positif. Kekeringan yang terjadi antara
tahun 1884 – 1998 sebanyak 43 kejadian, hanya 6 kejadian yang tidak berhubungan
dengan fenomena El Niño dan IOD positif. Menurut BNPB (2016), El Niño dan IOD
positif mengakibatkan pertumbuhan dan jumlah awan hujan di wilayah Indonesia
berkurang akibat dari menurunnya suhu permukaan laut di Indonesia dan sekitarnya.
SPI (Standardized Precipitation Index) merupakan metode yang sangat
bermanfaat dalam memantau dan mendeteksi kekeringan meteorologis dengan berbasis
data curah hujan. SPI memberikan cara yang mudah dan fleksibel dalam memantau
kekeringan dan telah direkomendasikan oleh berbagai penelitian untuk kesesuaiannya
dalam memperkirakan kekeringan meteorologi pada jeda waktu yang berbeda (Dutta et
al, 2017). Saidah dkk (2017) melakukan penelitian terkait kekeringan meteorologis
menggunakan SPI di pulau Lombok, hasil penelitian menunjukkan metode SPI cukup
bagus dalam mengevaluasi kejadian kekeringan meteorologis baik secara spasial

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


3

maupun temporal. Metode SPI memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan, kelebihan
SPI antara lain: data yang digunakan hanya curah hujan bulanan, dapat membandingkan
tingkat kekeringan suatu wilayah dengan kondisi iklim yang berbeda beda, dapat
menentukan penyimpangan dari kondisi kekeringan yang sedang terjadi (tahun yang
sedang berjalan), dan dapat digunakan untuk jangka waktu 1 hingga 36 bulan.
Sedangkan kelemahan metode SPI adalah hasilnya hanya ditentukan oleh curah hujan,
sehingga apabila data curah hujan tidak lengkap atau datanya tidak benar maka hasilnya
juga tidak akan maksimal. Sehingga selain menggunakan SPI dalam mendeteksi dan
memonitoring kekeringan juga diperlukan teknologi penginderaan jauh.
Fenomena cuaca dan iklim dapat dipelajari dan dideteksi secara berkelanjutan
dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Indonesia juga telah melakukan
pemanfaatan penginderaan jauh dalam mendeteksi dan memetakan kekeringan.
Pemantauan dan pemetaan kekeringan dilakukan dengan menganalisis awan dari citra
satelit cuaca dan lingkungan, dalam mempelajari fenomena cuaca juga dikembangkan
analisis suhu permukaan laut secara global untuk mengetahui anomali iklim, deteksi
kehijauan lahan menggunakan parameter indeks vegetasi (Anugrahadi, 2017). Di
Indonesia, Penggunaan parameter indeks vegetasi dan indeks lainnya dalam pemantauan
dan deteksi kekeringan telah menggunakan banyak metode, antara lain: TVDI
(Temperature Vegetation Dryness Index), SBI (Soil Brightness Index), MSAVI
(Modified Soil-Adjusted Vegetation Index), PVI (Perpendicular Vegetation Index), dan
VDI (Vegetation Dryness Index), (Adiningsih, 2014). Undang Undang Nomor 21 Tahun
2013 tentang Keantariksaan Pasal 20 menjelaskan bahwa Lembaga memiliki tugas
dalam melakukan pembinaan dan menetapkan standarisasi data dan produk informasi
serta metode pengolahan penginderaan jauh nasional, namun hingga saat ini belum
ditetapkan standar metode atau indeks dalam pengolahan data penginderaan jauh dalam
mendeteksi parameter kekeringan.
Kegiatan pemantauan dan prediksi kekeringan dilakukan agar dampak dari
kekeringan dapat diantisipasi dan diminimalkan. Upaya penanganan bencana
kekeringan harus terus dilakukan untuk mencegah kerugian baik fisik maupun sosial
yang semakin luas. Strategi mitigasi yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan
informasi kondisi iklim, daerah-daerah rawan kekeringan dan prediksi gejala kekeringan
yang akan terjadi. Informasi karakteristik iklim di suatu wilayah dan sifat fisik

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


4

tanahnya, serta ketersediaan air tanah, dan rawan kekeringan disajikan secara spasial
dan temporal sebagai pedoman untuk penentuan awal masa tanam, pemilihan varietas
tanaman agar tahan terhadap kekeringan, perencanaan alokasi penggunaan lahan serta
pengelolaan sumber daya air dan budi daya pertanian, guna mengantisipasi dampak
akibat bencana kekeringan. (BMG, 2007 dalam Trianasari 2009).
Bojonegoro adalah Kabupaten yang dilalui oleh sungai Bengawan Solo di
bagian Utaranya sehingga cukup mendukung dalam kegiatan pertanian, sedangkan
bagian selatan merupakan daerah perbukitan kapur yang merupakan bagian dari
pegunungan Kendeng. Bojonegoro adalah salah satu kabupaten yang ada di Jawa Timur
dengan risiko terjadinya kekeringannya tinggi dan masuk dalam peringkat ke 67 dari
144 kabupaten dengan skor 19 (rawan) kekeringan di Indonesia (BNPB 2011). Sebagai
Kabupaten yang potensial untuk mengembangkan lahan pertanian dalam mendukung
ketahanan pangan di Indonesia, kondisi ini sangat rentan terhadap Kekeringan di
Bojonegoro.

1.2. Perumusan Masalah


Perubahan iklim memang memberikan dampak yang signifikan terhadap
pertanian. Terjadinya fenomena La Niña menyebabkan musim hujan menjadi lebih
panjang dari normalnya sehingga berakibat terjadinya banjir di berbagai wilayah yang
dalam pertanian mengakibatkan gagal panen. El Niño menyebabkan musim kemarau
menjadi lebih panjang dari normalnya sehingga mengakibatkan terjadi kekeringan yang
juga dalam pertanian mengakibatkan gagal panen. Kekeringan yang terjadi di
Bojonegoro hampir terjadi sepanjang tahun, dimana lokasi dan waktu terjadinya juga
berbeda-beda. Salah satu sumber utama kekeringan adalah curah hujan, dimana
penelitian ini menggunakan metode SPI dalam mendeteksi kekeringan meteorologis.
Akan tetapi metode SPI memiliki kelemahan dimana keterbatasan data menjadi faktor
yang berpengaruh terhadap hasilnya, sehingga diperlukan metode lain yang dapat
membantu dalam deteksi kekeringan. Penggunaan penginderaan jauh penting dilakukan
dalam deteksi kehijauan lahan menggunakan parameter indeks vegetasi guna
mendapatkan informasi secara spasial dan temporal secara luas.
Zubaidah dkk (2014) melalui penelitiannya di Provinsi Jawa Timur dan Bali
pada bulan Juli hingga September tahun 2011 menjelaskan bahwa Kekeringan dapat

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


5

ditinjau dengan penginderaan jauh menggunakan metode Tingkat Kehijauan Vegetasi


(TKV). Kondisi TKV Rendah pada provinsi Jawa Timur terjadi pada Kabupaten
Bojonegoro, Jember, Banyuwangi, dan Kediri. Curah hujan rendah dan TKV yang
rendah di Kabupaten Bojonegoro menyebabkan kondisi lahan sawah mengalami
kekeringan ringan hingga sedang dan semakin meningkat menjadi berat pada bulan
September tahun 2011. Berdasarkan latar belakang dan uraian tersebut penulis
merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah wilayah yang terjadi kekeringan meteorologis di Kabupaten
Bojonegoro?
2. Bagaimana hubungan antara kekeringan meteorologis berdasarkan metode SPI
dengan kekeringan lahan menggunakan metode penginderaan jauh (TVI)?

1.3. Tujuan Penelitian


Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk:
1. Menganalisis dan mengklasifikasi wilayah yang terjadi kekeringan di Kabupaten
Bojonegoro.
2. Menganalisis hubungan antara kekeringan meteorologis berdasarkan metode SPI
sedangkan kekeringan lahan berdasarkan penginderaan jauh (metode TVI).

1.4. Batasan Masalah


Batasan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a. Curah hujan adalah tinggi air di atas permukaan tanah datar yang jatuh dari
atmosfer. Curah hujan 1 mm artinya di atas permukaan tanah yang datar seluas 1
m2 tertampung air setinggi 1 milimeter dengan asumsi tidak meresap, tidak
mengalir dan tidak menguap (Tjasyono, 2004).
b. Kekeringan yang dibahas pada penelitian ini adalah Kekeringan Meteorologis.
Kekeringan Meteorologis adalah kondisi curah hujan yang lebih rendah
dibandingkan dengan curah hujan rata-ratanya, di dalam suatu periode yang
panjang (BNPB, 2016).
c. Standardized Precipitation Index (SPI) adalah indeks yang digunakan untuk
mengetahui kondisi kering atau basah di suatu wilayah pada suatu kurun waktu
tertentu (McKee, et al., 1993)

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


6

d. Penginderaan jauh (remote sensing merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena (geofisik), melalui
analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan
obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994 dalam
Purwadhi, dkk 2015).
e. Citra penginderaan jauh merupakan gambaran objek, daerah, gejala permukaan
bumi dengan bentuk dan letak objek mirip dengan bentuk dan letak objek yang
ada di permukaan bumi meliputi daerah yang luas dan permanen (Sutanto 1986
dalam Purwadhi, 2015).
f. Citra penginderaan jauh yang digunakan adalah citra Landsat 8 (bulan
November dan Desember 2015) dan Landsat 4-5 TM (bulan Mei dan Juni 1997).
g. TVI (Thermal Vegetation Index) merupakan indeks kekeringan yang diperoleh
dengan melakukan perbandingan LST (Land Surface Temperature) dengan EVI
(Enhanced Vegetation Index) pada penginderaan jauh.
h. LST merupakan, sifat termal dari permukaan dan bawah permukaan tanah yang
dikendalikan oleh keseimbangan energi permukaan dan atmosfer.
i. EVI merupakan metode yang digunakan untuk mengoptimalkan sinyal vegetasi
dengan peningkatan sensitivitas di daerah biomassa tinggi dan pemantauan
vegetasi yang lebih baik melalui pemisahan dari sinyal dan pengurangan
pengaruh atmosfer (Jiang, et al, 2008).
j. Kondisi Fisik yang ditinjau pada penelitian ini adalah bentuk lahan, jenis tanah,
ketinggian, kemiringan lereng.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Iklim
Iklim merupakan salah satu unsur geografis yang paling penting dalam
memberikan pengaruh terhadap makhluk hidup (Sandy 1985). Hal ini dikarenakan
makhluk hidup tidak dapat menghindar dan mengendalikan iklim. Iklim adalah kondisi
cuaca yang terjadi di suatu tempat dalam periode yang panjang. Kondisi cuaca suatu
tempat ditetapkan berdasarkan kriteria probabilitas satu atau lebih dari nilai-nilai unsur
iklim yang ditetapkan seperti suhu udara, curah hujan, angin dan penguapan
(Wirjomiharjo dan Swarinoto, 2007). Sistem iklim di bumi merupakan interaksi atmosfer
dengan daratan, salju dan es, lautan dan badan air, serta aktivitas makhluk hidup di
dalamnya. Iklim di suatu tempat atau daerah dipengaruhi oleh letak lintang, lereng,
ketinggian, serta seberapa jauh jarak tempat tersebut dari perairan dan juga keadaan arus
lautnya. (Aldrian, dkk 2011). Iklim pada suatu tempat akan mengalami perbedaan.
Perbedaan ini diakibatkan dari ketidakmerataan sinar matahari pada setiap wilayah di
permukaan Bumi. Kondisi permukaan Bumi yang beraneka ragam baik jenis maupun
bentuk topografinya, memiliki kemampuan yang berbeda dalam merespons radiasi
Matahari yang diterimanya. Sandy (1985) menjelaskan faktor letak dan sifat kepulauan
menentukan empat sifat dasar iklim di Indonesia, yaitu :
a) Wilayah Indonesia yang berada di daerah khatulistiwa menyebabkan suhu rata-
rata tahunannya menjadi tinggi.
b) Posisi Indonesia yang berada diantara Benua Asia dan Australia menyebabkan
tekanan udara di daratan Asia dan Australia berbeda. Perbedaan ini
mengakibatkan hembusan angin yang membawa hujan menuju Indonesia.
c) Tidak adanya angin Taifun akibat dari Kepulauan Indonesia yang terletak
dibawah 10° Lintang Utara atau 10° Lintang Selatan.
d) Sifat kepulauan mengakibatkan kondisi kelembaban yang relatif tinggi, kondisi
perairan di Indonesia yang bersuhu tinggi menyebabkan penguapan juga tinggi.
Komponen iklim yang paling memberikan dampak terhadap iklim adalah
atmosfer. Skema komponen sistem iklim, proses, dan interaksinya dapat dilihat pada
Gambar 2.1.

7 Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


8

Komponen iklim yang paling memberikan dampak terhadap iklim adalah


atmosfer. Skema komponen sistem iklim, proses, dan interaksinya dapat dilihat pada
Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Komponen Sistem Iklim, Proses, dan Interaksinya (IPCC, 2007 dalam Aldrian 2011)

2.2. Sistem Cuaca Penyebab Bencana Kekeringan


Kondisi kering pada umumnya diakibatkan dari berkurangnya curah hujan
(input) dan evapotranspirasi (output). Sandy (1985) menjelaskan banyak sedikitnya
curah hujan di wilayah Indonesia sangat dipengaruhi oleh lima hal, yaitu :
a) Letak Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT)
Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT) adalah daerah yang luas dengan
kondisi tekanan udara yang rendah akibat dari suhu udara di sekitarnya yang
tinggi. Udara bergerak dari daerah yang bertekanan tinggi menuju daerah
bertekanan rendah menyebabkan udara bergerak naik akibat dari pemanasan
dan terbentuk awan hujan.
b) Bentuk Medan
Medan bergunung atau berbukit mengakibatkan massa udara bergerak naik
melintasinya. Massa udara yang bergerak melintasi bukit atau gunung
tersebut dipaksa naik akan mengakibatkan suhu udara turun. Setiap kenaikan
100 m mengakibatkan suhu udara menurun sebesar 0.5˚C. Kemampuan massa

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


9

udara dalam mengikat uap air juga menurun, sehingga kandungan uap air
dalam massa udara tidak banyak. Dimana sebagian uap air yang jatuh sebagai
hujan disebut sebagai hujan orografis.
c) Arah Lereng Medan (Exposure)
Kondisi Lereng medan yang menghadap arah angin akan mengalami curah
hujan lebih banyak dibandingkan dengan lereng medan yang membelakangi
arah angin (daerah bayangan hujan).
d) Arah Angin Sejajar Arah Garis Pantai
Kandungan uap air tidak menyebabkan terjadi hujan apabila arah angin
sejajar dengan arah garis pantai, hal ini mengakibatkan tidak adanya
perubahan suhu udara.
e) Jarak Penjalanan Angin di Atas Medan Datar
Angin yang mengakibatkan terjadinya hujan merupakan angin bergerak dari
perairan (sumber uap air) menuju ke daratan. Apabila angin tersebut bergerak
dengan sedikit hambatan akibat dari sifat medan datar yang lurus dan tidak
berubah, menyebabkan hujan pada daerah dekat pantai.
Selain kelima hal diatas terdapat fenomena lain yang mempengaruhi curah hujan
di wilayah Indonesia seperti El Niño dan Dipole Mode. El Niño merupakan fenomena
meningkatnya suhu muka laut di atas rata-rata di sekitar Pasifik Tengah dan Timur yang
disertai dengan perubahan kondisi cuaca di wilayah Pasifik dan sekitarnya, Sedangkan
fenomena La Niña ditandai dengan perbandingan suhu muka laut yang tidak biasa di
Pasifik ekuatorial tengah dan timur (Dupe, 2000). Di Indonesia, fenomena El Niño
menyebabkan penurunan jumlah curah hujan musim hujan, sedangkan La Niña
meningkat jumlah curah hujan (Irianto dkk, 2003).
Dipole Mode merupakan fenomena interaksi laut dan atmosfer di Samudera
Hindia yang ditetapkan berdasarkan selisih suhu permukaan laut perairan sebelah timur
Afrika dengan perairan Samudera Hindia sebelah barat pulau Sumatera. Di Indonesia,
apabila Dipole Mode bernilai negatif maka akan meningkatkan curah hujan, sedangkan
apabila Dipole Mode bernilai positif maka curah hujan akan mengalami penurunan (Saji
et al. 1999).

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


10

2.3. Kekeringan
Kekeringan merupakan bencana yang paling sering mengganggu sistem dan
produksi pertanian di Indonesia khususnya pada tanaman pangan. Beberapa tahun
terakhir kekeringan tidak hanya meningkat dalam intensitas dan luasnya, tetapi juga
sebaran dan dampak terhadap wilayah yang terjadi kekeringan. Secara umum
kekeringan dapat didefinisikan sebagai kondisi kekurangan air pada suatu wilayah
dalam periode waktu yang panjang sehingga mengakibatkan terjadinya defisit air tanah
yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan makhluk hidup didalamnya.
Bakornas PBP (2007) dalam Anugrahadi, dkk (2017) menggolongkan kekeringan
menjadi 4 (empat) macam yaitu :
1) Kekeringan meteorologis (meteorological drought).
Kekeringan meteorologis berkaitan dengan tingkat curah hujan di bawah normal
dalam satu musim untuk satu wilayah tertentu.
2) Kekeringan pertanian (agricultural drought).
Kekeringan Pertanian erat kaitannya dengan berkurangnya lengas tanah
(kandungan air dalam tanah) sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan
satu tanaman pada periode waktu tertentu di wilayah yang luas.
3) Kekeringan hidrologi (hydrological drought).
Kekeringan hidrologi umumnya dikaitkan dengan ketersediaan air permukaan
dan air tanah pada suatu daerah. Kekeringan hidrologi dapat diukur dari
ketinggian muka waduk, danau, air sungai dan air tanah.
4) Kekeringan Sosial Ekonomi (socio-economical drought).
Kekeringan Sosial Ekonomi berkaitan dengan kondisi dimana ketersediaan
kebutuhan ekonomi kurang dari kebutuhan normalnya yang diakibatkan dari kekeringan
meteorologi, hidrologi, dan pertanian.

2.4. Standardized Precipitation Index (SPI)


Standardized Precipitation Index (SPI) adalah indeks yang digunakan untuk
menentukan penyimpangan curah hujan terhadap normalnya dalam suatu periode yang
panjang (bulanan, dua bulanan, tiga bulanan dan seterusnya). SPI dapat memonitor
kondisi penyimpangan curah hujan dalam berbagai skala waktu, sehingga dapat

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


11

digunakan sebagai aplikasi jangka pendek untuk pertanian maupun jangka panjang
untuk hidrologi. Indeks SPI digunakan untuk mengetahui kondisi kering atau basah di
suatu wilayah pada waktu tertentu (McKee, et al., 1993).
SPI dapat dimanfaatkan untuk mengkaji potensi kekeringan meteorologis. Input
data yang dibutuhkan berupa data hujan bulanan dalam rentang waktu 30-100 tahun
(McKee, et al., 1993). Distribusi gamma dapat digunakan dalam menyamakan data time
series hujan secara klimatologi, distribusi ini didefinisikan dari frekuensi atau fungsi
kepadatan probabilitas (Thom, 1966) dengan rumus sebagai berikut :
1 𝑥
𝐺 (𝑥 ) =
𝛽 𝑎 𝚪 (𝑎)
∫0 𝑥 𝑎−1 𝑒 −𝑥/𝛽 𝑑𝑥 ……………………………...…..…….…………. (2.1)
𝜔
𝚪(𝛼) = ∫0 𝑦𝑎−1 𝑒−𝑦 𝑑𝑦, 𝚪(𝛼) ………………………………………………………... (2.2)

dimana
G(x) : Distribusi Gamma
α > 0 : α merupakan parameter bentuk
β > 0 : β merupakan parameter skala
x > 0 : x merupakan jumlah hujan
𝚪( 𝛼 ) : merupakan fungsi gamma yang besarnya
Nilai SPI dihitung menggunakan metode statistik probabilistik distribusi gamma.
Perhitungan SPI dilakukan dengan menyamakan distribusi frekuensi dari jumlah hujan
tiap stasiun hujan dengan fungsi kepadatan probabilitas gamma nilai α dan β dengan
rumus Thom (1966) :
1 4𝐴
𝛼 = 44 (1 + √1 + 3
) …………………….…………………...…………………. (2.3)

𝑥̂
𝛽 = 𝛼 …………………….…………………..………….….………..….…………. (2.4)

dimana
∑ ln (𝑥)
𝐴 = ln(𝑥̂ ) − ……….……..……………………….……….…..….………… (2.5)
𝑛

n = jumlah pengamatan curah hujan


Parameter yang dihasilkan digunakan untuk mendapatkan probabilitas kumulatif dari
kejadian hujan yang diamati untuk setiap bulan dan skala waktu dari setiap stasiun
hujan. Probabilitas kumulatif dihitung dengan menggunakan rumus (Thom, 1966):
𝑥 1 𝑥
𝐺 (𝑥 ) = ∫0 𝑔(𝑥 )𝑑𝑥 =
𝛽 𝑎 𝚪 (𝑎)
∫0 𝑥 𝑎−1 𝑒 −𝑥/𝛽 𝑑𝑥 ………………..……...…………... (2.6)

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


12

Karena fungsi gamma tidak terdefinisi untuk x = 0, meskipun distribusi curah hujan
kemungkinan terdiri dari nilai nol, sehingga probabilitas kumulatifnya menjadi :
𝐻(𝑥 ) = 𝑞 + (1 − 𝑞)𝐺(𝑥) …………...……………….…………..…..………….…. (2.7)
dimana
H (X), merupakan probabilitas kumulatif
q, merupakan jumlah kejadian hujan = 0
Jika m merupakan jumlah nol dari seluruh time series, maka q dapat diestimasi
dengan m/n. Probabilitas kumulatif (H (X)) tersebut kemudian ditransformasikan ke
dalam Standard normal random variabel Z dengan nilai rata-rata 0 dan variasi 1, nilai
yang diperoleh Z tersebut merupakan nilai SPI. Nilai standar normal variabel Z atau SPI
dikemukakan oleh Abramowitz dan Stegun (1965) dengan perhitungan menggunakan
aproksimasi berikut ini :
𝑐 0 𝑐 1𝑡+ 𝑐 2 𝑡2
𝑍 = 𝑆𝑃𝐼 = −(𝑡 − ) untuk : 0 <H(X) ≤ 0.5 .…….............………. (2.8)
1+𝑑1 𝑡+ 𝑑2 𝑡2 +𝑑3 𝑡3

1
dengan 𝑡 = √ln( ( ) 2 …………...………………...………..……..……….....….. (2.9)
(𝐻 𝑋 )

𝑐 0 𝑐 1𝑡+ 𝑐 2 𝑡2
𝑍 = 𝑆𝑃𝐼 = +(𝑡 − ) untuk : 0.5 < H(X) ≤ 1.0 .……………...….. (2.10)
1+𝑑1 𝑡+ 𝑑2 𝑡2 +𝑑3 𝑡3

1
dengan 𝑡 = √ln(1−(𝐻 (𝑋))2 …………...………………………..………….….…… (2.11)

dan
c0 = 2.515517, c1 = 0.802853, c2 = 0.010328
d1 = 1.432788, d2 = 0.189269, d3 = 0.001308
SPI memiliki kelemahan, hal ini dikarenakan SPI hanya berdasarkan data curah
hujan dan tidak memperhitungkan komponen keseimbangan air tanah seperti
evapotranspirasi dan evapotranspirasi potensial (WMO 2012). Data tersebut ditentukan
peluang distribusinya yang kemudian ditransformasikan menjadi distribusi normal
sehingga nilai rata-ratanya adalah nol. Keterbatasan SPI adalah panjang data dan
distribusi peluangnya. Jika panjang datanya dan penggunaan peluang distribusi berbeda
maka parameter bentuk dan skalanya dari distribusi gamma akan berbeda, yang
menyebabkan nilai numerik indeksnya berbeda (McKee, et al., 1993). Pada daerah yang
memiliki banyak nilai curah hujan sama dengan 0, maka diperlukan data pengamatan
yang panjang karena periode data pendek akan mempengaruhi distribusi datanya.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


13

Dalam penelitian ini nilai SPI dihitung dengan menggunakan program Seasonal
Climate Outlooks in Pacific Island Countries (SCOPIC) yang dikembangkan dan
dikeluarkan oleh National Drought Mitigation Center, Amerika. SCOPIC merupakan
sistem pendukung keputusan untuk menghasilkan prediksi probabilistik (seasonal
climate outlooks) untuk curah hujan, suhu atau parameter iklim lainnya.

2.5. Penginderaan Jauh


Penginderaan jauh (remote sensing) atau sering disebut indraja, merupakan ilmu
dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau fenomena
geofisik, melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung
dengan obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994 dalam
Purwadhi, dkk 2015). Konsep dasar penginderaan jauh terdiri atas beberapa elemen atau
komponen, meliputi sumber tenaga, atmosfer, interaksi tenaga dengan obyek di
permukaan bumi, sensor, sistem pengolahan data, dan berbagai penggunaan data
(Purwadhi, dkk 2015).
Sistem penginderaan jauh dan penggunaannya (aplikasinya) dilakukan dengan
merekam obyek permukaan bumi. Tenaga dalam penginderaan jauh yang membawa
data obyek ke sensor dapat berupa daya magnetik, bunyi, gaya berat, dan tenaga
elektromagnetik, namun tenaga yang digunakan dalam penginderaan jauh untuk
mengindra adalah tenaga elektromagnetik. Teknologi penginderaan jauh satelit telah
berkembang melalui kehadiran berbagai sistem satelit dan sensor penginderaan jauh.
Hal tersebut merupakan peluang baik, yang telah mendorong Indonesia untuk
membangun stasiun bumi satelit penginderaan jauh dan sumberdaya alam (Purwadhi,
dkk 2015).

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


14

Gambar 2.2. Sistem penginderaan jauh dan aplikasinya (Purwadhi, dkk 2015)

Perkembangan teknologi penginderaan jauh semakin membantu dalam


mendeteksi dan mempelajari fenomena cuaca dan iklim dalam suatu wilayah yang luas.
Data satelit lingkungan dan cuaca dapat digunakan untuk mendeteksi gejala-gejala alam
yang berkaitan dengan kekeringan. Pemantauan dan prediksi kekeringan dapat diawali
dengan analisis awan dari citra satelit lingkungan dan cuaca. Dalam mempelajari
fenomena cuaca dikembangkan analisis suhu permukaan laut secara global untuk
mengetahui anomali iklim, deteksi kehijauan lahan menggunakan parameter indeks
vegetasi (Anugrahadi, dkk 2017).

2.6. Karakteristik Citra Landsat


Landsat merupakan satelit sumberdaya milik Amerika Serikat yang diluncurkan
sejak tahun 1972. Karakteristik setiap saluran (band) dari citra Landsat MSS dan citra
Landsat TM, sangat berpengaruh terhadap aplikasi atau penggunaan dari citranya, baik
saluran tunggal maupun kombinasi citra (komposit). Kombinasi saluran (band) dapat
memaksimalkan penggunaan, misalnya untuk kajian air agar dapat digunakan gabungan
antara panjang gelombang biru dan inframerah pantulan (inframerah dekat). Data yang
direkam menggunakan inframerah pantulan dapat memberikan kontras yang tegas
antara air, tanah, dan tanaman, sehingga batas air dan daratan dapat diidentifikasi
dengan tegas. Landsat dengan panjang gelombang biru penetrasi terhadap air tinggi,
sehingga dapat digunakan untuk deteksi benda yang ada di bawah permukaan air laut.
(Purwadhi, dkk 2015).

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


15

Tabel 2.1 Karakteristik dan Kemampuan aplikasi saluran (band) Citra Landsat

Landsat 5 TM dan Landsat 7 ETM+


Saluran (band) Aplikasi / Penggunaan
Saluran (band) 1 ➢ Tanggap peningkatan penetrasi air.
(0.45 – 0.52 μm) ➢ Mendukung analisis sifat khas lahan, tanah, vegetasi
Saluran (band) 2 ➢ Mengindra puncak pantulan vegetasi.
(0.53 – 0.61 μm) ➢ Menekankan perbedaan vegetasi dan nilai kesuburan
Saluran (band) 3 ➢ Memisahkan vegetasi
(0.63 – 0.69 μm) ➢ Klorofil dan kontras vegetasi
Saluran (band) 4 ➢ Tangap biomas dan vegetasi
(0.78 – 0.90 μm) ➢ Identifikasi dan kontras tanaman, tanah, air
Saluran (band) 5 ➢ Menentukan jenis vegetasi dan kandungan airnya
(1.55 – 1.75 μm) ➢ Kelembaban tanah
➢ Deteksi Suhu objek
Saluran (band) 6
➢ Analisis gangguan vegetasi
(10.4 – 12.5 μm)
➢ Kelembaban tanah
Saluran (band) 7 ➢ Pemisahan formasi batuan
(2.09 – 2.35 μm) ➢ Analisis bentuk lahan
➢ Pemetaan planimetric
Saluran (band) 8 ➢ Identifikasi permukiman
(0.50 – 0.90 μm) ➢ Bentang alam dan budaya
➢ Identifikasi Geologi
(Sumber : Lansat Handbook, 1986 dan Program Landsat 7, 1998 dalam Purwadhi, dkk 2015)

2.7. Terapan Penginderaan Jauh untuk Deteksi Kekeringan


Terapan penginderaan jauh merupakan suatu metode alternatif dalam melakukan
studi terkait dengan bencana alam, pemetaan, inventarisasi, dan pemantauan sumber
daya alam dan lingkungan (Anugrahadi, 2016). Penginderaan jauh dapat digunakan
untuk mitigasi bencana beraspek hidrometeorologi dan geologi seperti banjir,
kekeringan, angin puting beliung, gelombang pasang, gempa bumi, tsunami, gunungapi,
dan tanah longsor.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


16

2.7.1 Normalyzed Difference Vegetation Index (NDVI)


Indeks vegetasi merupakan suatu nilai yang memiliki interval tertentu dimana
nilai tersebut merepresentasikan tingkat kehijauan vegetasi. NDVI merupakan suatu
metode dalam aplikasi penginderaan jauh dengan menggunakan gelombang inframerah
dekat dan gelombang merah dalam mengukur tingkat kehijauan vegetasi. Metode NDVI
membandingkan spektral antara gelombang cahaya inframerah dekat (NIR) dengan
gelombang Merah. Fenomena penyerapan cahaya merah oleh klorofil dan pemantulan
NIR oleh jaringan mesofil yang terdapat pada daun akan membuat nilai kecerahan yang
diterima sensor satelit pada kedua band tersebut berbeda (Ardiansyah, 2015). Rouse et
al (1973) dalam Daruati (2012) mendefisinikan rumus NDVI sebagai berikut :
(𝑁𝐼𝑅 −𝑟𝑒𝑑)
NDVI = (𝑁𝐼𝑅 +𝑟𝑒𝑑) ..................................................................................................... (2.12)

dimana:
NDVI = Normalyzed Difference Vegetation Index
NIR = Band (saluran) yang memiliki Panjang gelombang inframerah dekat
Red = Band (saluran) yang memiliki Panjang gelombang merah

2.7.2 Thermal Vegetation Index (TVI)


Kondisi kekeringan dapat dideteksi berdasarkan perubahan Land Surface
Temperature (LST) dan Indeks Vegetasi (IV). Secara umum, LST dan IV berbanding
terbalik, dimana ketika LST tinggi maka IV rendah dan sebaliknya. Formula TVI
ditemukan oleh Dirgahayu (2006) yang dikembangkan oleh Daruati et al (2013) dalam
penelitiannya di Jawa Tengah dengan rumus sebagai berikut :
𝐿𝑆𝑇
TVI = ……………….………...………………………..………………...…… (2.13)
𝐼𝑉

dimana:
TVI = Thermal Vegetation Index
LST = Land Surface Temperature
IV = Indeks Vegetasi

2.8. State of the art


Pada penelitian ini state of the art ditampilkan dalam bentuk tabel 2.3 yang
berisikan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, variabel, hasil, dan
perbedaan antara penelitian sebelumnya dengan penelitian yang akan peneliti lakukan.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


17

Penelitian mengenai kekeringan dengan menggunakan data observasi atau data citra
satelit sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Penelitian ini
membahas mengenai kekeringan meteorologis yang didapatkan dengan metode SPI dan
dikaitkan juga dengan kekeringan lahan yang diolah menggunakan penginderaan jauh
dengan metode TVI. Sehingga diharapkan peneliti dapat mendapatkan kebaharuan
dalam penelitian yang akan dilakukan.
Tabel 2.2 State of the art
No Judul Penelitian Peneliti Th. Variabel Hasil Perbedaan
1. SPI menunjukkan kekeringan
terburuk terjadi pada tahun
1999. Persentase terbesar
antara vegetasi yang padat
dan vegetasi yang jarang
terjadi pada tahun 2010 dan
1998, sedangkan persentase Kekeringan didapatkan
terendah untuk kedua kelas dengan menghitung nilai
tersebut terjadi pada tahun SPI dan menggunakan
Assessment the H. 2000. data Landsat untuk
Effect of Khosravi, 2. Terdapat korelasi 95% pada menghitung NDVI.
Kekering
Drought on E. Haydari, area dengan vegetasi yang Sedangkan penelitian
an dan
1 Vegetation in S. 2015 jarang pada pertengahan yang penulis lakukan
Indeks
Desert Area Shekoohiz musim semi dan SPI tahunan selain menghitung SPI
Vegetasi
using Landsat adegan dan sebelumnya. Tidak adanya juga mencari nilai TVI
Data S. Zareie korelasi yang ditemukan untuk mengetahui
antara daerah dengan vegetasi kekeringan lahan yang
yang padat di pertengahan terjadi baik secara spasial
musim semi dan jumlah SPI maupun temporal.
tahunan sebelumnya.
3. Studi tentang korelasi antara
rata-rata SPI dan persentase
kelas vegetasi menunjukkan
bahwa padang rumput sangat
peka terhadap perubahan SPI.
Aplikasi Monica 1. Kekeringan sangat luas terjadi Penelitian ini melihat
Kekering
Penginderaan Nilasari, pada bulan September 2015 kondisi kekeringan lahan
2 2017 an
Jauh Untuk Bandi dengan luas 20165.579 ha , Pertaniannya dan
Pertanian
Memetakan Sasmito, sedangkan yang terendah melakukan skoring dan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


18

Kekeringan Abdi terjadi pada bulan September pembobotan


Lahan Pertanian Sukmono 2016 dengan luas 4874.504 menggunakan metode
Dengan Metode ha. AHP dengan melakukan
Thermal 2. Pola sebaran kekeringan di wawancara kepada
Vegetation kabupaten Kudus dimulai dari kepala bidang
Index (Studi wilayah selatan, kemudian Hortikultura Dinas
Kasus : bertambah luas ke bagian Pertanian Kudus.
Kabupaten tengah dan semakin meluas di Penelitian yang penulis
Kudus, Jawa wilayah utara. lakukan, selain
Tengah) 3. Hasil uji statistik mengetahui kekeringan
menunjukkan bahwa lahan dengan
parameter suhu permukaan, menggunakan data
indeks vegetasi, ke lerengan penginderaan jauh, data
dan jenis tanah berpengaruh observasi dilapangan
terhadap kejadian kekeringan juga diperlukan untuk
lahan pertanian di Kabupaten mencari pola sebaran
Kudus kekeringan meteorologis
dengan menggunakan
metode SPI.
1. Kekeringan meteorologis Penelitian ini melihat
pada tahun 2015 lebih lemah kondisi kekeringan
dibanding tahun 1997. Meteorologinya dan
Proporsi luas wilayah dengan menghitung lama musim
klasifikasi kering pada tahun kering guna mengetahui
Kekering
1997 mencapai 48 %, berapa lama
an
Dampak sedangkan tahun 2015 hanya kekeringannya terjadi.
Meteorol
Kekeringan 31%. Selain itu data landsat 8
ogis,
terhadap Pola 2. Kekeringan mengakibatkan digunakan untuk mencari
Sari Dwika Pola
3 Tanam Padi 2016 perubahan pola tanam padi indeks kehijauan dan
Ratri Tanam,
Sawah di sawah di kabupaten indeks kelembaban yang
Satuan
Kabupaten Pringsewu. Kondisi lahan memberikan pengaruh
untuk
Pringsewu sawah banyak yang bera saat terhadap pola tanam.
Lahan
El Nino menyebabkan Sedangkan penulis selain
Sawah
mundurnya musim tanam menganalisis kekeringan
utama di bulan November meteorologis, kekeringan
bergeser menjadi Desember. lahan juga dianalisis
3. Kekeringan mempengaruhi untuk mengetahui
persediaan air pada satuan apakah kekeringan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


19

lahan tertentu. Musim tanam meteorologis juga


lebih cepat terjadi pada satuan memberikan dampak
lahan untuk sawah berupa yang signifikan terhadap
aluvial dan dataran dengan kekeringan lahan.
relief datar hingga
bergelombang.
1. NDVI yang berasal dari
perhitungan VCI dapat Selain metode SPI
bermanfaat dalam permulaan penelitian ini juga
monitoring, durasi dan tingkat menggunakan satelit
Assessment of
spasi temporal kekeringan NOAA-AVHRR dalam
agricultural
pertanian. Kurang dari 35% di menghitung VCI untuk
drought in
Dipanwita sebagian besar wilayah menentukan kekeringan
Rajasthan
Dutta, Rajasthan pada tahun 2002 di suatu wilayah.
(India) using
Arnab yang menunjukkan adanya Sedangkan penelitian
remote sensing Kekering
Kundu, kekeringan. yang penulis lakukan,
4 derived 2015 an
N.R. Patel, 2. Korelasi positif 0.75 antara selain menghitung SPI,
Vegetation Pertanian
S.K. Saha VCI dan hasil panen data citra satelit yang
Condition Index
dan A.R. menunjukkan terdapat digunakan adalah satelit
(VCI) and
Siddiqui keterkaitan antara kekeringan Landsat untuk
Standardized
dengan tanaman. Hasil mendapatkan nilai TVI
Precipitation
penggunakan metode SPI dalam menentukan
Index (SPI)
tidak semaksimal VCI dalam kondisi kekeringan lahan
menggambarkan tingkat secara spasial dan
kekeringan secara spasial dan temporal
temporal
Kekering 1. Kekeringan sangat berat Data citra satelit modis
an tertinggi terjadi pada bulan dan software ER Mapper
Pertanian September 2006 seluas 7.0 digunakan untuk
Pola Wilayah Lahan 806.564 ha yang meliputi mengetahui kondisi
Kekeringan Sawah, hampir seluruh Provinsi Jawa kekeringan Pertaniannya.
Lahan Basah Dini Curah Barat karena pengaruh El Sedangkan pada
5 2012
(Sawah) di Daruati Hujan, Nino, sedangkan terendah penelitian yang penulis
Propinsi Jawa Lereng, terjadi pada bulan September lakukan, untuk
Barat Drainase 2010 seluas 101.959 ha yang mengetahui kondisi
Tanah, sebagian besar berada di kekeringan lahan
Geomorf Kabupaten Subang dan menggunakan data citra
ologi, Indramayu karena pengaruh Landsat 8 yang diolah

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


20

Wilayah La Nina. menggunakan software


Irigasi. 2. Sebaran kekeringan pada ENVI 5.0 untuk
tahun 2000-2011 memiliki mendapatkan nilai TVI
pola yang sama yaitu pada nya. Pola sebaran
awal musim kering (Mei) kekeringan meteorologis
kekeringan terjadi di bagian juga dilakukan dengan
utara (sepanjang pantura) menggunakan metode
kemudian bertambah luas ke SPI untuk mengetahui
arah timur/selatan pada apakah kekeringan
pertengahan musim kering meteorologis
(Juli-Agustus) lalu bertambah memberikan dampak
lagi ke arah barat pada akhir yang signifikan terhadap
musim kering (September). kekeringan lahan.
3. Kejadian kekeringan ada
hubungannya dengan kondisi
fisik wilayah tetapi yang
paling berpengaruh adalah
curah hujan berdasarkan uji
statistik Chisquare
1. Pola spasial potensi tingkat Kekeringan Pertanian
kekeringan berdasarkan nilai dideteksi dengan
NMDI di wilayah provinsi menggunakan data
NTB menunjukkan bahwa MODIS dan metode
potensi tingkat kekeringan Normalized Multiband
rendah (NMDI > 0.70) terjadi Drought Index (NMDI).
di wilayah Pulau Lombok Sedangkan pada
Pola Kekeringan
Kekering selama periode bulan penelitian yang penulis
Pertanian
an Desember-April, sedangkan lakukan, untuk
Provinsi Nusa Maria Evy
6 2009 Pertanian potensi tingkat kekeringan mengetahui kondisi
Tenggara Barat Trianasari
, Curah tinggi (NMDI < 0.64) terjadi kekeringan lahan
Tahun 2007-
Hujan di wilayah Pulau Sumbawa menggunakan data citra
2008
selama periode bulan Juni- Landsat 8 yang diolah
Oktober. menggunakan software
2. Berdasarkan hasil analisis ENVI 5.0 untuk
statistik hubungan pola mendapatkan nilai TVI.
spasial tingkat kekeringan Pola sebaran kekeringan
(NMDI) dan curah hujan meteorologis juga
bulanan di wilayah NTB dilakukan dengan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


21

menunjukkan bahwa proses menggunakan metode


akan terjadinya kekeringan SPI.
(Time lag) bervariasi selama
tahun tersebut. Time lag akan
terjadinya potensi tingkat
kekeringan antara 1-2 bulan
umumnya terjadi di wilayah
Pulau Sumbawa, untuk
wilayah di Pulau Lombok
mempunyai time lag akan
terjadi kekeringan antara 2-3
bulan.
1. Pola tingkat kerawanan
kekeringan di Jawa Tengah
dengan katagori rawan sampai
dengan sangat rawan
terkonsentrasi di wilayah Kekeringan meteorologis
bagian timur pantai utara diperoleh dengan
Jawa Tengah. melakukan pembobotan
2. Faktor yang mempengaruhi pada tipe iklim oldeman
tingkat kerawanan kekeringan dan air tanah tersedia.
Kekering di wilayah tersebut adalah Sedangkan penelitian
an bentuk medan, arah angin yang penulis lakukan,
Pola Tingkat
Meteorol yang sejajar pantai, dan arah kekeringan Meteorologis
Kerawanan Soeroso
7 2007 ogis, lereng medan. diperoleh dengan
Kekeringan di Hadiyanto
Tipe 3. Wilayah dengan tingkat menggunakan metode
Jawa Tengah
Iklim kerawanan kekeringan sangat SPI yang didukung juga
Oldeman rawan pada umumnya dengan menggunakan
mempunyai karakteristik data penginderaan jauh
beriklim sangat kering, berada untuk menghitung
pada dataran rendah yang kekeirngan lahan
sempit, bukan merupakan menggunakan metode
wilayah dengan kepadatan TVI.
penduduk yang tinggi, dan
mata pencaharian
penduduknya sebagian besar
adalah di bidang pertanian

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Alur Pikir Penelitian


Kabupaten Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang
memiliki visi sebagai Lumbung Pangan dan Energi Negeri. Kekeringan merupakan salah
satu bencana alam yang dapat menghambat dalam pelaksanaan visi Kabupaten
Bojonegoro. Informasi pola spasial dan temporal kekeringan diperlukan dalam
meminimalisir dampak dan memaksimalkan mitigasi bencana kekeringan di Kabupaten
Bojonegoro.
Kekeringan meteorologis, kekeringan lahan dan kondisi fisik wilayah merupakan
variabel yang digunakan pada penelitian ini. Kekeringan meteorologis dihitung dengan
menggunakan indikator nilai SPI. Salah satu sumber utama dari kekeringan meteorologis
adalah curah hujan. Kekeringan lahan dihitung dengan menggunakan metode
penginderaan jauh. Data yang digunakan adalah suhu permukaan tanah dan indeks
vegetasi yang diperoleh dari satelit Landsat dan dihitung untuk mendapatkan nilai TVI.
Kondisi fisik wilayah penelitian yang ditinjau adalah bentuk lahan, jenis tanah, ketinggia n
dan kemiringan lereng. Kondisi ini dianalisis dengan kekeringan meteorologis dan juga
kekeringan lahan untuk mendapatkan pola sebaran kekeringan di Bojonegoro. Alur pikir
penelitian secara umum dapat dilihat pada Gambar 3.1.

22 Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


23

Gambar 3.1 Alur Pikir Penelitian

3.2 Alur Kerja Penelitian


Alur kerja pada penelitian ini menjelaskan mulai dari awal penentuan tema
hingga hasil penelitian. Setelah menentukan tema langkah selanjutnya adalah
mengumpulkan dan mengolah data yang bersumber dari berbagai instansi terkait.
Secara umum alur kerja penelitian terdapat pada Gambar 3.2.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


24

Gambar 3.2. Diagram Alur Kerja Penelitian

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


25

3.3 Variabel Penelitian


Variabel yang digunakan pada penelitian ini adalah kekeringan meteorologis,
kekeringan lahan, dan kondisi fisik wilayah penelitian. Analisis sebaran kekeringan
meteorologis diperolah dari data curah hujan di berbagai stasiun hujan di Kabupaten
Bojonegoro dengan menggunakan SPI. Karena SPI hanya menunjukkan hasil di titik
stasiun hujan saja maka pengolahan data penginderaan jauh perlu dilakukan untuk
mendapatkan hasil yang maksimal secara spasial maupun temporal. Data penginderaan
jauh diperoleh dari hasil ekstraksi data satelit Landsat 8 menggunakan indeks
kekeringan TVI. Berikut ini merupakan variabel, indikator dan sumber yang digunakan
dalam penelitian.
Tabel 3.1 Variabel Penelitian

Variabel Indikator Sumber


Pengolahan data curah hujan yang
Kekeringan diperoleh dari Stasiun Hujan yang bekerja
Nilai SPI
Meteorologis sama dengan Stasiun Klimatologi Kelas II
Malang
Kekeringan Pengolahan citra Landsat 8
Nilai TVI
Lahan dan Landsat 4-5 TM
Bentuk Lahan
Jenis Tanah
Kondisi Fisik BIG, BAPPEDA, BPN dan DEM SRTM
Ketinggian
Kemiringan lereng

3.4 Pengumpulan Data


Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh
dari citra Landsat dan instansi- instansi terkait, antara lain :
1. Data SPI diperoleh melalui proses pengolahan data curah hujan selama 30 tahun
(1986 – 2015). Data curah hujan diperoleh dari Stasiun Hujan di Bojonegoro
yang bekerja sama dengan BMKG Stasiun Klimatologi Kelas II Malang. Data
curah hujan kemudian dihitung dengan menggunakan rumus Thom 1996 untuk
mendapatkan frekuensi atau fungsi kepadatan probabilitas.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


26

Kemudian menghitung nilai standar normal variabel Z atau SPI dengan


menggunakan rumus Abramowitz dan Stegun (1965). Pada penelitian ini SPI
dihitung dengan menggunakan program SCOPIC yang dikembangkan dan
dikeluarkan oleh National Drought Mitigation Center, Amerika. Daftar Stasiun
Hujan di Kabupaten Bojonegoro disajikan pada Tabel 3.2 dan secara spasial
dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Tabel 3.2 Daftar Stasiun Hujan di Kabupaten Bojonegoro
Ketinggian
No. Stasiun Hujan Lintang Bujung
(mdpl)
1 Balen -7.19 111.95 36
2 Baureno -7.13 112.11 32
3 Bojonegoro -7.14 111.90 36
4 Cawak -7.22 112.11 20
5 Dander -7.25 111.84 62
6 Jatiblimbing -7.24 111.87 49
7 Kanor -7.11 112.02 33
8 Kapas -7.20 111.93 54
9 Karangnongko -7.25 111.51 74
10 Kerjo -7.20 112.09 35
11 Klepek -7.26 111.93 41
12 Leran -7.19 111.82 41
13 Merkuris -7.23 112.02 49
14 PJ_K_Adem -7.30 112.04 78
15 Simorejo -7.12 112.04 20
16 Sugihan -7.40 111.87 142
17 Sumberejo -7.18 111.99 17
18 Tlogorejo -7.16 112.04 30
19 Tretes -7.36 111.87 116
Sumber : BMKG Stasiun Klimatologi Kelas II Malang

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


27

Gambar 3.3 Peta Stasiun Hujan Kabupaten Bojonegoro

2. Data TVI diperoleh melalui proses pengolahan data suhu permukaan tanah
(Land Surface Temperature) dan data indeks vegetasi (Enchanced Vegetation
Index). Data tersebut dikumpulkan dengan cara :
a. Mengidentifikasi nilai LST / suhu permukaan tanah dari citra landsat 8
dan landsat 4-5 dengan menggunakan ENVI 5.0. Dalam penginderaan
jauh , suhu permukaan tanah dapat didefinisikan suhu permukaan rata-
rata dari suatu permukaan. Cakupan suatu pixel dengan berbagai tipe
permukaan yang berbeda menggambarkan suhu permukaan tanah. LST
dalam Ardiansyah (2015) dihitung dengan menggunakan rumus :
𝐾2
𝑇= 𝐾1 …………………...………………..………..………. (3.1)
ln ( +1)
𝐶𝑉 𝑅2

dimana :
T = Suhu permukaan tanah (Kelvin)
K1 dan K2 = konstanta pada band 10
CVR = Nilai radiance pada band thermal
b. Nilai Index Vegetasi (IV) didapatkan dengan menggunakan rumus
Enchanced Vegetation Index (EVI) yang dikalkulasikan dari nilai
reflektansi spektrum cahaya merah, inframerah dekat, dan cahaya biru
(Huete et al, 1999 dalam Parwati 2008). sebagai berikut :

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


28

𝑝2 − 𝑝1
𝐸𝑉𝐼 = 𝐺 ……………….…………....…………. (3.2)
𝑝2 +𝐶1 x 𝑝1− 𝐶2 x 𝑝3 +L

dimana :
EVI = Indeks Vegetasi, G = 2.5 (gain faktor), C 1 = 6 (gain faktor)
C2 = 7.5 (gain faktor), L = 1 (gain faktor), ρ 1 ρ2 ρ3 = reflektansi
Nilai LST kemudian dibagi dengan nilai EVI untuk mendapatkan nilai
TVI.
3) Data Kondisi Fisik dengan indikator bentuk lahan, penggunaan lahan, dan jenis
tanah didapatkan dengan mengumpulkan data Rupa Bumi Indonesia tahun 2016
yang diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (BIG), BAPPEDA dan BPN
Bojonegoro, serta ketinggian dan kemiringan lereng dari DEM SRTM dari
USGS.

3.5 Pengolahan Data


Tahapan pengolahan data dilakukan sebagai berikut :
1. Curah Hujan
Curah hujan dikelompokkan dan kemudian diolah untuk mendapatkan nilai
curah hujan rata-rata tahunan dan bulanan di Kabupaten Bojonegoro.
2. Kekeringan Meteorologis
Kekeringan Meteorologis didapatkan dengan menghitung indeks kekeringan
dengan menggunakan metode SPI. Tahapan pengolahan kekeringan
meteorologis adalah sebagai berikut :
a. Menghitung SPI pada di Kabupaten Bojonegoro menggunakan software
SCOPIC dengan pilihan waktu 3 bulanan. Kekeringan terjadi pada saat
SPI bernilai -1 atau lebih kecil secara terus menerus dan akan berakhir
apabila nilai SPI menjadi positif (Saidah dkk, 2017). Nilai SPI
diklasifikasikan pada Tabel 3.3.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


29

Tabel 3.3 Klasifikasi nilai SPI


No. Nilai SPI Klasifikasi
1 ≥ 2.00 Sangat Basah
2 1.50 hingga 1.99 Basah
3 1.00 hingga 1.49 Cukup Basah
4 -0.99 hingga 0.99 Normal
5 -1.00 hingga -1.49 Cukup Kering
6 -1.50 hingga -1.99 Kering
7 ≤ -2.00 Sangat Kering
Sumber : McKee et al 1993 dalam WMO No.1090

b. Hasil Klasifikasi SPI pada setiap stasiun hujan kemudian di


kelompokkan sesuai dengan kelas kekeringan. Data SPI selama 30 tahun
dari setiap stasiun hujan kemudian dihitung untuk setiap wilayah dalam
kategori kering.
c. Hasil wilayah kekeringan akan disajikan secara spasial dengan
menggunakan ArcMAP 10.2 untuk mengetahui informasi kekeringan
meteorologis secara spasial dan temporal dan dikaitkan dengan kondisi
fisik di Kabupaten Bojonegoro.
3. Kekeringan Lahan
Kekeringan lahan didapatkan dengan menghitung suhu permukaan tanah dan
indeks vegetasi menggunakan metode penginderaan jauh (TVI). Tahapan
pengolahan kekeringan lahan adalah sebagai berikut :
a. Nilai TVI dihitung dengan membandingkan antara LST dengan IV. Nilai
TVI diklasifikasikan pada Tabel 3.4 :
Tabel 3.4 Klasifikasi nilai TVI
No. Nilai TVI Kelas Kekeringan
1 55 hingga 70 Ringan
2 71 hingga 85 Sedang
3 85 hingga 99 Berat
4 > 99 Sangat Berat
Sumber : Dirgahayu 2006

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


30

Klasifikasi nilai TVI kemudian di petakan secara spasial dengan menggunakan


ArcMAP 10.2 untuk mengetahui informasi kekeringan lahan secara spasial dan
temporal pada saat kekeringan meteorologis yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro.

3.6 Analisis Data


Analisis data dilakukan dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian
dengan tahapan sebagai berikut :
1. Analisis curah hujan dilakukan dengan menganalisis nilai curah hujan tahunan
dan bulanan di Kabupaten Bojonegoro, pada bulan, tahun serta wilayah mana
saja pada Kabupaten Bojonegoro yang memiliki nilai curah hujan maksimum
dan minimumnya serta pola sebarannya.
2. Analisis kekeringan meteorologis dengan Klasifikasi nilai SPI untuk total
wilayah kekeringan selama 30 tahun (1986-2015) di sajikan menggunakan
ArcMAP 10.2 untuk mengetahui kekeringan meteorologis secara spasial di
Kabupaten Bojonegoro.
3. Analisis kekeringan meteorologis data observasi dikaitkan dengan data
penginderaan jauh metode TVI untuk mengetahui distribusi spasial kekeringan
lahan saat kondisi kekeringan meteorologis di Kabupaten Bojonegoro.
4. Analisis nilai SPI dan TVI dihitung dengan menggunakan analisis chi square
untuk mengetahui adanya asosiasi atau hubungan antara kekeringan
meteorologis dengan kekeringan lahan.
Kekeringan Meteorologis dikaitkan dengan Kekeringan Lahan yang dihitung
menggunakan metode statistik metode chi square.
X2
CC = √ ………………………....…….…………………….………... (3.3)
X2 + N

( O−E) 2
Dimana X 2 = ∑ ……………………...….……………….………... (3.4)
E
Total Baris
dan 𝐸 = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐾𝑜𝑙𝑜𝑚 ……...…….…………………….……….. (3.5)
N

Keterangan:
CC = Koefisien Korelasi O = Frekuensi observasi
X2 = Chi Square N = Total Subyek

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


BAB 4
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1. Daerah Penelitian


Kabupaten Bojonegoro terletak pada posisi 112˚25' - 112˚09' Bujur Timur dan
6˚59' - 7˚37' Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Bojonegoro sebesar 2.307,06 km²
atau 4.78 persen dari luas Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan posisi geografis Kabupaten
Bojonegoro berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk, Madiun dan Ngawi di sebelah
selatan, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lamongan, di sebelah utara
berbatasan dengan Kabupaten Tuban dan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten
Blora Provinsi Jawa Tengah. Secara administratif Kabupaten Bojonegoro terbagi menjadi
28 kecamatan dengan total 419 desa serta 11 kelurahan. Kecamatan Tambakrejo
merupakan kecamatan terluas sebesar 209.52 km² (9.08%) dengan jumlah desa sebanyak
18 desa dan 66 dusun/lingkungan, sebaliknya Kecamatan Bojonegoro merupakan
kecamatan dengan luas wilayah terkecil yakni sebesar 25.71 km² (1.11%) dengan jumlah
desa/kelurahan sebesar 7 desa, 11 kelurahan dan 12 dusun/lingkungan.
Tabel 4.1 Kecamatan dan Luas Wilayah Kabupaten Bojonegoro
No. Kecamatan Luas (km2) Jumlah desa/Kel
1 Margomulyo 139.68 6
2 Ngraho 71.48 16
3 Tambakrejo 209.52 18
4 Ngambon 48.65 5
5 Sekar 130.24 6
6 Bubulan 84.73 5
7 Gondang 107.01 7
8 Temayang 124.67 12
9 Sugihwaras 87.15 17
10 Kedungadem 145.15 23
11 Kepohbaru 79.64 25
12 Baureno 66.37 25
13 Kanor 59.78 25
14 Sumberejo 76.58 26
15 Balen 60.52 23
16 Sukosewu 47.48 14
17 Kapas 46.38 21
18 Bojonegoro 25.71 18
19 Trucuk 36.71 12
20 Dander 118.36 16
21 Ngasem 147.21 17

31 Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


32

22 Gayam 50.05 12
23 Kalitidu 65.95 18
24 Malo 65.41 20
25 Purwosari 62.32 12
26 Padangan 42.00 16
27 Kasiman 51.80 10
28 Kedewan 56.51 5
Kabupaten Bojonegoro 2307.06 430
Sumber : BPS Bojonegoro 2016

Gambar 4.1 Peta Administrasi Kabupaten Bojonegoro


Sumber : BAPPEDA Bojonegoro dan Pengolahan data 2018

4.2 Bentuk Lahan


Wilayah kabupaten Bojonegoro terdiri dari dataran dan perbukitan. Dataran
lebih dominan disebagian besar sebelah utara sedangkan perbukitan berada di sebagian
besar sebelah selatan Bojonegoro, sedangkan dibagian tengah terdapat dataran dan
perbukitan. Bentuk lahan di kabupaten Bojonegoro antara lain: Dataran Aluvial,
Dataran antar perbukitan, Dataran Tektonik, Perbukitan Karst, Perbukitan tektonik, dan
Perbukitan Vulkan. Sebaran spasial bentuk lahan Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat
pada Gambar 4.2.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


33

Bentuk Lahan di Wilayah Bojonegoro memiliki sebaran dan luasan yang hampir
merata. Bentuk Lahan Dataran tektonik seluas 65.957 ha atau 28.59% dan Perbukitan
karst seluas 52.222 ha atau 22.64% dari luas kabupaten Bojonegoro tersebar di sebagian
besar wilayah tengah. Dataran aluvial seluas 34.071 ha atau 14.77% dan Dataran antar
perbukitan/pegunungan seluas 35.776 ha atau 15.51% dari luas kabupaten Bojonegoro
tersebar di wilayah utara. Perbukitan vulkan seluas 39.944 ha atau 17.31% dari luas
kabupaten Bojonegoro berada di sebelah selatan hingga tengah. Perbukitan tektonik
seluas 2.736 ha atau 1.19% dari luas kabupaten Bojonegoro berada di kecamatan
Kedewan. Bentuk lahan berupa perbukitan dan dataran memberikan pengaruh dalam
pertumbuhan awan hujan dan penyebaran curah hujan yang turun sehingga berdampak
kekeringan pada wilayah yang curah hujannya rendah.
Tabel 4.2 Luas Wilayah Bentuk Lahan di Kabupaten Bojonegoro
Luas Persen
No. Bentuk Lahan
(Ha) (%)
1 Dataran aluvial 34071 14.77
Dataran antar
2 35776 15.51
perbukitan/pegunungan
3 Dataran tektonik 65957 28.59
4 Perbukitan karst 52222 22.64
5 Perbukitan tektonik 2736 1.19
6 Perbukitan vulkan 39944 17.31
Jumlah 230706 100
Sumber: BAPPEDA Bojonegoro dan Pengolahan data 2018
Kabupaten Bojonegoro terletak pada posisi 112˚25' - 112˚09' Bujur Timur dan
6˚59' - 7˚37' Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Bojonegoro sebesar 2.307,06
km² atau 4.78 persen dari luas Provinsi Jawa Timur. Berdasarkan posisi geografis
Kabupaten Bojonegoro berbatasan dengan Kabupaten Nganjuk, Madiun dan Ngawi di
sebelah selatan, di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


34

Gambar 4.2 Peta Bentuk Lahan Kabupaten Bojonegoro


Sumber : BAPPEDA Bojonegoro dan Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


35

4.3 Jenis Tanah


Jenis tanah di Kabupaten Bojonegoro terdiri dari aluvial, grumusol, komplek
litosol mediteran dan rensina, komplek mediteran dan latosol. Jenis tanah Aluvial
tersebar di sebagian utara sedangkan grumusol tersebar di bagian tengah dan sebagian
kecil utara Bojonegoro. Jenis tanah campuran yang terdiri dari komplek latosol
mediteran rensina dan komplek mediteran latosol tersebar di bagian tengah dan selatan
Bojonegoro. Sebaran spasial jenis tanah lahan Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat pada
Gambar 4.3.
Tabel 4.3 Luas Wilayah Jenis Tanah di Kabupaten Bojonegoro
Luas Persen
No. Jenis Tanah
(Ha) (%)
1 Aluvial 37866 16.41
2 Grumosol 96207 41.70
Komplek Litosol Mediteran dan
3 59583 25.83
Rensina
4 Komplek Mediteran dan Litosol 37050 16.06
Jumlah 230706 100
Sumber: BAPPEDA, BPN Bojonegoro dan Pengolahan data 2018

Jenis tanah di Wilayah Bojonegoro didominasi oleh grumusol seluas 96.207 ha


atau 41.70% dari luas kabupaten Bojonegoro. Komplek latosol mediteran dan rensina
berada pada urutan kedua seluas 59.583 ha atau 25.83%. Disusul Aluvial seluas 37.866
ha atau 16.41% dan Komplek mediteran dan latosol seluas 37.050 ha atau 16.06% dari
luas kabupaten Bojonegoro. Tanah Grumusol memiliki nilai koefisien pemuaian yang
tinggi, apabila tiba musim kemarau maka kondisi tanah akan mengembang dan merekah
sehingga memudahkan dalam mendeteksi terjadinya kekeringan. Tanah Aluvial berada
di bagian utara yang memang merupakan daerah aliran sungai bengawan solo sehingga
banyak dimanfaatkan untuk pertanian karena mampu menyerap air dengan cukup baik.
Jenis Tanah Mediteran dan campurannya tersebar di sebagian besar wilayah selatan
yang memang merupakan daerah perbukitan kapur. Jenis tanah ini umumnya memiliki
sifat sulit untuk menyerap air. Saat musim hujan hanya sedikit yang tertampung baik di
dalam tanah maupun di permukaan tanah, hal ini dikarenakan curah hujan yang jatuh
langsung mengalir menuju sungai Bengawan Solo. Sehingga saat musim hujan terjadi

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


36

banjir dan saat musim kemarau terjadi kekeringan. Saat musim kemarau air permukaan
menjadi habis (kering) dan hanya sedikit cadangan air dalam tanah.

Gambar 4.3 Peta Jenis Tanah Kabupaten Bojonegoro


Sumber : BAPPEDA, BPN Bojonegoro dan Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


37

4.4 Kondisi Iklim


Kabupaten Bojonegoro merupakan daerah tropis dengan suhu rata-rata 27.8°C,
suhu udara berkisar 24.2°C – 31.4°C. Penyinaran matahari tertinggi terjadi pada bulan
Agustus atau September, sedangkan penyinaran terendah terjadi pada bulan Desember-
Februari. Hal ini menyebabkan Bojonegoro memiliki tipe hujan monsunal dimana
terdapat satu puncak curah hujan maksimum dan minimum dalam satu tahun. Curah
hujan tinggi umumnya terjadi pada bulan Desember-Januari-Februari, sedangkan curah
hujan rendah pada bulan Juni-Juli-Agustus. Hal tersebut dapat dilihat pada gambar 4.4.
Pada bulan Desember hingga Maret, curah hujan di Kabupaten Bojonegoro periode
1986-2015 masuk dalam kategori “Tinggi”, yaitu berkisar antara 300-500 mm per
bulan. Sedangkan pada bulan April, curah hujan mulai mengalami penurunan yaitu
berkisar antara 100-300 mm per bulan dan masuk dalam kategori “Menengah”. Curah
hujan dengan kategori rendah mulai terjadi pada bulan Mei hingga Oktober, berkisar
antara 0 hingga 100 mm per bulan. Agustus merupakan bulan dengan curah hujan
terendah, yaitu berkisar antara 0-20 mm dan terjadi hampir di seluruh wilayah
Bojonegoro. Kondisi bentuk lahan di wilayah Kabupaten Bojonegoro yang terdiri dari
dataran dan perbukitan merupakan faktor lokal yang dapat mempengaruhi kondisi cuaca
dan iklim khususnya curah hujan (Sandy 1985).

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


38

Gambar 4.4 Peta Curah Hujan Bulanan Kabupaten Bojonegoro Tahun 1986-2015
Sumber : BMKG dan Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


39

4.5 Kemiringan Lereng


Citra DEM SRTM menunjukkan bahwa sebagian wilayah Bojonegoro berada
pada kemiringan lereng 0-3% yang berarti Datar dan 3-8% (Landai). Kemiringan lereng
8-15% (Agak Miring), 15-30% (Miring) dan ≥ 35% berada di wilayah perbukitan yang
terdapat di sebagian besar selatan Bojonegoro. Sebaran spasial kemiringan lereng
Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat pada Gambar 4.5.
Kelas kemiringan lereng 0-3% (datar) seluas 166.904 ha atau 72.34% dan 3-8%
(Landai) seluas 51.754 ha atau 22.43% dari luas kabupaten Bojonegoro tersebar di
sebagian besar wilayah tengah dan utara. Kemiringan lereng 8-15% (Agak miring)
seluas 10.006 ha atau 4.34% dan 15-30% (miring) seluas 2.024 ha atau 0.88% dari luas
kabupaten Bojonegoro tersebar di wilayah selatan dan sebagian kecil utara. Selebihnya
kemiringan lereng ≥ 35% seluas 18 ha atau 0.01% dari luas kabupaten Bojonegoro
berada di kecamatan Sekar dan Gondang yang memang merupakan wilayah perbukitan.
Kemiringan lereng juga memberikan pengaruh dalam peningkatan dan penurunan curah
hujan yang berdampak pada kekeringan di Bojonegoro, dimana daerah dengan
kemiringan lereng datar hingga landai di Bojonegoro memiliki curah hujan yang lebih
sedikit dibandingkan dengan daerah dengan kemiringan lereng agak miring hingga
sangat miring yang terdapat di wilayah selatan Bojonegoro. Kecuraman lereng, panjang
lereng dan bentuk lereng juga memberikan pengaruh terhadap aliran permukaan dan
besarnya erosi.
Tabel 4.4 Luas Wilayah Kemiringan Lereng di Kabupaten Bojonegoro
Kemiringan Persen
No. Luas (Ha)
Lereng (%)
1 0-3% 166904 72.34
2 3-8% 51754 22.43
3 8 - 15 % 10006 4.34
4 15 - 30 % 2024 0.88
5 ≥ 35% 18 0.01
Jumlah 230706 100
Sumber: Pengolahan data 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


40

Gambar 4.5 Peta Kemiringan Lereng Kabupaten Bojonegoro


Sumber : DEM SRTM dan Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


41

4.6 Wilayah Ketinggian


Wilayah Ketinggian di Kabupaten Bojonegoro terbagi menjadi lima kelas, antara
lain : <50 mdpl, 50-150 mdpl, 150-250 mdpl, 250-350 mdpl, dan >350 mdpl. 899 mdpl
merupakan ketinggian tertinggi yang berada di Kecamatan Sekar dan Gondang. Sebaran
spasial Wilayah Ketinggian Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Ketinggian di kabupaten Bojonegoro umumnya dinyatakan dalam mdpl (meter dari
permukaan laut).
Kabupaten Bojonegoro dominan berada pada ketinggian 0-150 mdpl seluas
191.620 ha atau 83.06% dari luas kabupaten Bojonegoro yang tersebar di sebagian besar
wilayah tengah dan utara. Ketinggian 150 - 350 mdpl seluas 35.436 ha atau 15.32 %
dari luas kabupaten Bojonegoro tersebar di wilayah selatan dan sebagian kecil utara.
Selebihnya ketinggian ≥ 350 mdpl seluas 3741 ha atau 1.62 % dari luas kabupaten
Bojonegoro berada di kecamatan Sekar dan Gondang dan yang memang merupakan
wilayah perbukitan berbatasan dengan Kabupaten Madiun dan Nganjuk. Wilayah
dengan ketinggian 150 hingga 350 mdpl yang merupakan daerah perbukitan memiliki
curah hujan yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah dengan ketinggian 0 hingga
150 mdpl. Hal ini dikarenakan wilayah perbukitan merupakan tempat terjadinya hujan
orografis yang juga berdampak pada kekeringan di wilayah Bojonegoro.
Tabel 4.5 Luas Wilayah Ketinggian di Kabupaten Bojonegoro
No. Ketinggian Luas (Ha) Persen (%)
1 < 50 mdpl 95512 41.40
2 50 - 150 mdpl 96108 41.66
3 150 - 250 mdpl 28641 12.41
4 250 - 350 mdpl 6705 2.91
5 >350 mdpl 3741 1.62
Jumlah 230706 100
Sumber: DEM SRTM dan Pengolahan data 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


42

Gambar 4.6 Peta Ketinggian Kabupaten Bojonegoro


Sumber : DEM SRTM dan Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


43

4.7 Penggunaan Lahan


Penggunaan Lahan sangat erat kaitannya dengan aktivitas manusia dalam
kaitannya dengan lahan. Penggunaan lahan sendiri bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia dalam kehidupannya. Setiap wilayah memiliki penggunaan lahan
yang berbeda beda. Penggunaan Lahan di Kabupaten Bojonegoro secara umum terbagi
antara lain : hutan, permukiman, kebun, vegetasi, Badan Air, Pertanian Lahan Basah
dan pertanian lahan kering. Sebaran penggunaan lahan Kabupaten Bojonegoro dapat
dilihat pada Gambar 4.7.
Penggunaan Lahan Kabupaten Bojonegoro paling besar digunakan sebagai hutan
seluas 92.747 ha atau 40.20% dan pertanian lahan basah seluas 95.061 ha atau 41.20%
dari luas kabupaten Bojonegoro. Permukiman seluas 21.478 ha atau 9.31% tersebar di
pusat-pusat kabupaten Bojonegoro. Meskipun demikian di dekat permukiman pun
masih banyak terdapat lahan pertanian, hal ini memang menunjukkan bahwa sebagian
besar masyarakat Bojonegoro bermata pencaharian sebagai petani yang mampu
memaksimalkan lahan yang ada.
Tabel 4.6 Luas Penggunaan Lahan di Kabupaten Bojonegoro
Luas Persen
No. Penggunaan Lahan
(Ha) (%)
1 Hutan 92747 40.20
2 Permukiman 21478 9.31
3 Kebun 72 0.03
4 Vegetasi 252 0.11
5 Badan Air 2582 1.12
6 Pertanian Lahan Basah 95061 41.20
7 Pertanian Lahan Kering 18513 8.02
Jumlah 230706 100
Sumber: Pengolahan data 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


44

Gambar 4.7 Peta Penggunaan Lahan Kabupaten Bojonegoro


Sumber : BAPPEDA Bojonegoro

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


BAB 5
PEMBAHASAN

5.1 Curah Hujan Kabupaten Bojonegoro


Kabupaten Bojonegoro merupakan daerah dengan pola curah hujan monsunal
dimana dalam satu tahun Bojonegoro memiliki puncak curah hujan tertinggi dan curah
hujan terendah. Curah hujan yang dibahas pada penelitian ini meliputi curah hujan
tahunan, bulanan dan tren nya.

5.1.1 Curah Hujan Tahunan


Pola curah hujan tahunan Kabupaten Bojonegoro di wilayah selatan yang
merupakan daerah perbukitan memiliki curah hujan lebih besar dari pada daerah lainnya
dengan nilai curah hujan tahunannya 1800 hingga 2000 mm per tahun. Pada bagian
timur, ujung utara, dan barat Bojonegoro memiliki nilai curah hujan 1300 hingga 1600
mm per tahun, daerah ini merupakan gabungan dataran aluvial, dataran antar
perbukitan, dan dataran tektonik. Sedangkan pada bagian tengah curah hujan berkisar
1600 hingga 1800 mm per tahun. Curah hujan tahunan maksimum terjadi pada tahun
2010 yang terdapat pada stasiun hujan Sugihan dengan curah hujan 4204 mm per tahun.
Curah hujan tahunan minimum terjadi pada tahun 2015 yang terdapat pada stasiun hujan
Karangnongko dengan curah hujan 421 mm per tahun.
Fenomena El Nino kuat terjadi pada tahun 1987/1988, 1997/1998, dan
2015/2016, sedangkan La Nina kuat terjadi pada tahun 1988/1989, 1999/2000, dan
2010/2011. Tahun 2010 hampir di setiap stasiun hujan mengalami peningkatan, hal ini
berkaitan juga karena tahun 2010 merupakan terjadinya La Nina kuat yang berdampak
meningkatkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia. Tahun 2015 merupakan
fenomena El Nino kuat yang memberikan dampak menurunnya curah hujan di sebagian
besar wilayah Indonesia, sehingga sebagian besar stasiun hujan di Bojonegoro juga
mengalami penurunan curah hujan. Pada tahun-tahun La Nina, curah hujan rata-rata
tahunan di Bojonegoro berada di atas 2000 mm. Pada tahun-tahun El Nino curah hujan
rata-rata tahunannya di bawah 1500 mm. Sedangkan untuk tahun-tahun normal, rata-
rata curah hujan tahunan berkisar antara 1500 hingga 2000 mm.

Universitas Indonesia
45

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


46

Secara umum sifat hujan di Bojonegoro pada tahun El Nino kuat yaitu bawah
normal. Pada El Nino 1987 sebagian besar stasiun hujan bersifat bawah normal dimulai
dari Maret hingga Oktober. Secara khusus pada bulan April, Mei dan Agustus 1987,
seluruh stasiun hujan memiliki curah hujan dengan sifat bawah normal. Saat El Nino
1997 sifat hujan bawah normal pada sebagian besar stasiun hujan dimulai dari Maret
hingga November. Secara khusus pada Maret, Juni, Agustus, September, dan Oktober
1997, seluruh stasiun hujan memiliki curah hujan dengan sifat bawah normal. Tahun El
Nino 2015 sebagian besar stasiun hujan bersifat bawah normal dimulai dari Mei hingga
Desember. Pada tahun 2015, seluruh stasiun hujan memiliki curah hujan dengan sifat
bawah normal secara berturut-turut selama 4 bulan yaitu Juli, Agustus, September dan
Oktober. Presentasi curah hujan pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober
bernilai 0 % dari curah hujan normalnya
Curah Hujan Tahunan Stasiun hujan Bojonegoro 1986-
5000
2015
4000

3000

2000

1000

0
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
1986
1987
1988
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999

2011
2012
2013
2014
2015

Kanor Bojonegoro Sugihan

Gambar 5.1 Rata-rata Curah Hujan Tahunan Stasiun hujan Bojonegoro


Gambar 5.1 menunjukkan curah hujan tahunan yang terdapat di tiga stasiun
hujan Bojonegoro. Stasiun hujan Kanor yang terletak di daerah dataran yang merupakan
dataran gabungan (dataran aluvial, dataran antar perbukitan, dan dataran tektonik),
stasiun hujan Bojonegoro terletak di pusat kota Bojonegoro dan dekat dengan Daerah
Aliran Sungai Bengawan Solo dan stasiun hujan Sugihan yang terletak di daerah
Perbukitan. Ketiga stasiun hujan menunjukkan pola yang berbeda. Stasiun hujan yang
berada pada daerah perbukitan dengan ketinggian 142 mdpl dan kemiringan lereng
Agak miring memiliki curah hujan yang lebih besar dibandingkan stasiun hujan kanor
dan bojonegoro. Dimana bentuk lahan dan Arah Lereng Medan merupakan faktor yang
mempengaruhi curah hujan (Sandy 1985).

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


47

Gambar 5.2 Peta Rata-rata CH Tahunan Kabupaten Bojonegoro


Sumber : BMKG dan Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


48

5.1.2 Curah Hujan Bulanan


Pola curah hujan bulanan di Bojonegoro menunjukkan bahwa curah hujan
tertinggi terjadi pada bulan Januari kemudian menurun pada bulan Februari hingga
puncak terendahnya pada bulan Agustus, dan kembali meningkat pada bulan September
hingga Desember. Curah hujan bulanan juga menunjukkan pola dimana curah hujan
semakin meningkat pada bagian selatan yang merupakan wilayah perbukitan. Hal ini
menunjukkan bahwa bentuk medan dan ketinggian serta kemiringan lereng memberikan
pengaruh terhadap curah hujan bulanan di Bojonegoro. Secara spasial sebaran curah
hujan bulanan dari total 19 stasiun hujan selama 30 tahun (1986-2015) di Kabupaten
Bojonegoro dapat dilihat pada Gambar 4.4
Rata-rata curah hujan bulanan tertinggi terjadi pada bulan Maret di stasiun hujan
Tretes dengan nilai 352 mm per bulan, sedangkan terendah terjadi pada bulan Agustus
di stasiun hujan Leran dengan nilai 3 mm per bulan. Curah hujan dengan kategori
menengah (100 - 300 mm per bulan) paling banyak terdapat pada stasiun hujan Dander,
dan Sumberejo sebanyak 7 bulan sedangkan yang paling sedikit pada stasiun hujan
Sugihan sebanyak 3 bulan. Curah hujan dengan kategori tinggi (300 - 500 mm per
bulan) paling banyak terjadi pada stasiun hujan Sugihan sebanyak 4 bulan. Pada setiap
stasiun hujan, Curah hujan dengan kategori rendah (≤ 100 mm per bulan) sebanyak 5
hingga 6 bulan terjadi pada bulan Mei hingga Oktober.
Pada bulan Januari, Februari, dan Maret Curah hujan di Bojonegoro berada pada
kategori tinggi dan menengah, dimana kategori tinggi terjadi di wilayah selatan dengan
daerah perbukitan dengan kemiringan lereng agak miring hingga miring dan ketinggian
150 hingga 350 mdpl. Wilayah Utara yang merupakan daerah dataran dengan
kemiringan lereng datar hingga landai dan ketinggian 0 hingga 150 mdpl berkategori
curah hujan menengah. Bulan April wilayah Bojonegoro berada pada kategori curah
hujan menengah sedangkan pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, September, dan
Oktober berada pada kategori curah hujan rendah dengan puncak terendah berada pada
bulan Agustus. Bulan November dan Desember curah hujan mengalami peningkatan
dengan kategori Menengah dan pola sebaran peningkatan curah hujan dimulai dari
wilayah selatan yang merupakan daerah perbukitan.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


49

Tabel 5.1 Curah Hujan Kabupaten Bojonegoro Tahun 1986-2015


CURAH HUJAN
No Pos Elevasi
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AUG SEP OKT NOV DES Tot
1 Balen 36 295 234 272 180 94 58 34 20 25 90 184 279 1765
2 Baureno 32 256 242 234 160 93 64 35 18 25 79 171 245 1621
3 Bojonegoro 36 306 250 254 185 82 51 28 11 21 61 185 247 1680
4 Cawak 20 243 208 228 139 67 47 25 9 21 57 155 239 1437
5 Dander 62 297 265 284 209 85 65 26 15 25 100 246 270 1889
6 Jatiblimbing 49 317 275 295 210 99 59 32 15 25 122 239 325 2013
7 Kanor 33 281 225 214 154 78 62 35 15 20 71 173 251 1580
8 Kapas 54 310 282 273 172 90 54 30 11 25 95 184 280 1804
9 Karangnongko 74 249 222 196 176 92 50 27 10 27 87 194 221 1550
10 Kerjo 35 230 197 209 121 68 43 26 13 27 69 171 201 1376
11 Klepek 41 320 279 303 229 102 75 35 17 31 92 235 304 2024
12 Leran 41 305 273 278 181 76 56 18 3 14 64 180 260 1708
13 Merkuris 49 247 230 266 165 96 72 28 23 29 82 203 252 1693
14 PJKAdem 78 313 278 298 225 101 58 21 19 25 85 220 276 1920
15 Simorejo 20 277 224 219 142 88 71 36 11 22 71 183 237 1580
16 Sugihan 142 347 317 336 222 100 64 27 8 22 74 226 310 2053
17 Sumberejo 17 268 253 244 164 99 72 40 24 39 100 200 269 1770
18 Tlogorejo 30 216 221 212 127 55 48 24 11 14 50 143 220 1341
19 Tretes 116 306 291 352 230 95 68 36 11 24 81 226 278 1995

Sumber : BMKG dan Pengolahan data, 2018

5.1.3 Trend Curah Hujan Kabupaten Bojonegoro


Selama periode tahun 1986-2015, sebagian besar wilayah Bojonegoro memiliki
kecenderungan curah hujan tahunan yang meningkat apabila dilihat dari nilai tren curah
hujan tahunannya. Peningkatan dan penurunan curah hujan tahunan dapat dilihat pada
Gambar 5.3. Nilai tren yang positif menunjukkan curah hujan mengalami peningkatan.
Sebaliknya curah hujan mengalami penurunan apabila nilai tren bernilai negatif. Stasiun
hujan yang mengalami peningkatan curah hujan antara lain stasiun hujan Balen,
Baureno, Bojonegoro, Cawak, Dander, Kanor, Kapas, Kerjo, Klepek, Merkurius,
Simorejo, Sugihan, dan Sumberejo. Stasiun hujan yang mengalami peningkatan curah
hujan secara umum berada di wilayah utara yang merupakan daerah dataran dengan
kemiringan lereng datar hingga landai dan ketinggian 0 hingga 150 mdpl.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


50

Namun ada beberapa stasiun hujan yang menunjukkan penurunan curah hujan
yaitu pada stasiun hujan Jatiblimbing, Karangnongko, Leran, PJK Adem, Tlogorejo dan
Tretes. Peningkatan curah hujan tertinggi terjadi di stasiun hujan Sugihan, dengan
peningkatan curah hujan sebesar 18.65 mm setiap tahunnya, sedangkan penurunan
curah hujan terendah terjadi di stasiun hujan Leran dengan penurunan curah hujan
sebesar 37.39 mm setiap tahunnya.

Nilai Tren Curah Hujan Tahunan


20.00

10.00

0.00

-10.00

-20.00

-30.00

-40.00

Gambar 5.3 Tren Curah Hujan Tahunan Kabupaten Bojonegoro

5.2 Kekeringan Meteorologis Kabupaten Bojonegoro


5.2.1 Wilayah Kekeringan Meteorologis Kabupaten Bojonegoro
Kekeringan meteorologis didapatkan berdasarkan nilai Standardized
Precipitation Index (SPI) yang dihitung dengan menggunakan program SCOPIC.
Sumber data yang digunakan adalah data curah hujan dari 19 stasiun hujan selama 30
tahun yang tersebar di Kabupaten Bojonegoro. Curah hujan yang berbeda beda
menyebabkan nilai SPI juga mengalami perbedaan. SPI dikategorikan kering apabila
bernilai ≤ -1, basah apabila ≥ 1, dan normal apabila -0.99 hingga 0.99.
Sebaran kejadian kekeringan pada Gambar 5.6 menunjukkan bahwa stasiun
hujan Cawak, Kanor, Semberejo merupakan stasiun hujan yang paling sering terjadi
kekeringan dengan total kejadian 54-61 kejadian selama 30 tahun. Hal ini selaras
dengan curah hujan pada stasiun tersebut merupakan stasiun hujan dengan nilai curah
hujan yang lebih rendah dibandingkan dengan stasiun hujan lainnya. Berdasarkan Tabel
5.6 wilayah yang paling sering terjadi kekeringan meteorologis adalah stasiun hujan
Sumberejo dengan total kejadian kekeringan sebanyak 62 kejadian, sedangkan paling

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


51

jarang terjadi kekeringan pada stasiun hujan Simorejo sebanyak 40 kejadian. Secara
spasial sebaran kejadian kekeringan dapat dilihat pada Gambar 5.4.
Tabel 5.2 Jumlah Kejadian Kekeringan Meteorologis Bulanan Kabupaten Bojonegoro Periode 1986-2015

Bul an
No Sta s iun LNT BUJUR ELEVASI
Ja n Feb Ma r Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Total
1 Ba l en -7.19 111.95 36 5 3 6 6 5 4 5 0 0 0 6 7 47
2 Ba ureno -7.13 112.11 32 4 5 5 4 4 4 6 5 0 0 7 5 49
3 Bojonegoro -7.14 111.90 36 3 3 4 5 4 6 6 0 0 5 5 3 44
4 Ca wa k -7.22 112.11 20 6 3 8 6 6 8 5 5 0 0 5 4 56
5 Da nder -7.25 111.84 62 4 4 3 4 4 5 5 0 0 6 6 6 47
6 Ja ti blimbing -7.24 111.87 49 4 3 4 6 5 6 5 5 0 4 6 5 53
7 Ka nor -7.11 112.02 33 2 5 6 6 5 5 6 7 0 4 6 6 58
8 Ka pa s -7.20 111.93 54 4 4 6 5 4 4 5 0 0 0 7 3 42
9 Ka ra ngnongko -7.25 111.51 74 6 6 5 7 5 5 6 0 0 0 5 2 47
10 Kerjo -7.20 112.09 35 4 4 5 5 4 5 4 0 0 0 5 5 41
11 Kl epek -7.26 111.93 41 3 5 4 4 4 3 5 0 0 5 7 5 45
12 Lera n -7.19 111.82 41 6 3 3 3 4 7 5 3 0 0 4 4 42
13 Merkuri s -7.23 112.02 49 3 4 3 3 3 5 4 6 0 6 6 6 49
14 PJKAdem -7.30 112.04 78 4 4 4 6 4 5 6 0 0 4 7 7 51
15 Si morejo -7.12 112.04 20 3 4 4 3 6 3 6 4 0 0 4 3 40
16 Sugi han -7.40 111.87 142 5 6 5 4 4 6 5 0 0 0 4 4 43
17 Sumberejo -7.18 111.99 17 5 5 5 5 5 5 6 7 0 7 6 6 62
18 Tl ogorejo -7.16 112.04 30 2 4 7 4 5 4 5 0 0 0 5 5 41
19 Tretes -7.36 111.87 116 5 4 6 5 6 2 5 6 0 0 4 5 48
Sumber : Pengolahan 2018
Stasiun hujan Sumberejo merupakan stasiun hujan dengan ketinggian 17 mdpl
dan berada pada kemiringan lereng datar, curah hujan 1770 mm per tahun serta berjenis
tanah aluvial sehingga apabila terjadi hujan maka curah hujan hanya sedikit yang
tertampung baik di dalam tanah maupun di permukaan tanah, hal ini dikarenakan curah
hujan yang jatuh langsung mengalir menuju sungai Bengawan Solo. Stasiun hujan
Sugihan juga merupakan stasiun hujan dengan kejadian kekeringan rendah karena
berapa pada daerah perbukitan dengan ketinggian 142 mdpl, dan berada pada
kemiringan lereng Agak miring hingga miring. Curah hujan yang tertinggi dengan nilai
curah hujan 2056 mm per tahun dan berjenis tanah campuran mediteran dan latosol
menyebabkan kejadian kekeringan jarang terjadi.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


52

Gambar 5.4 Peta Kejadian Kekeringan Tahun 1986 - 2015 Kabupaten Bojonegoro
Sumber : Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


53

5.2.2 Kekeringan Meteorologis Tahun El Nino Kuat Kabupaten Bojonegoro


Pada saat El Nino kuat tahun 1987, nilai SPI berada pada kategori basah hingga
sangat kering. Tidak ada satu pun wilayah yang berada pada kategori sangat basah,
bahkan hanya sebagian kecil wilayah dengan kategori cukup basah dan basah yaitu pada
bulan Januari dan Februari di stasiun hujan Leran dan Jatiblimbing.
Bulan Januari, Februari, Maret, Agustus, September, Oktober, November dan
Desember secara umum kekeringan meteorologis di kabupaten Bojonegoro berada pada
kategori normal. Bulan April kekeringan meteorologis kategori sangat kering terjadi di
stasiun hujan Bojonegoro, Balen, Simorejo dan Kerjo, kategori kering hingga cukup
kering terjadi di stasiun hujan Tretes, Jatiblimbing, Klepek, Merkuris, Cawak, Kanor,
Tlogorejo, Sumberejo, Baureno, dan Kapas, sedangkan kategori normal berada di
stasiun hujan Sugihan, Dander, Leran dan Karangnongko.
Bulan Mei kekeringan meteorologis dengan kategori cukup kering hingga sangat
kering terjadi di sebagian besar kabupaten Bojonegoro, hanya sebagian kecil yang
berada pada kategori normal seperti stasiun hujan Karangnongko, Dander dan PJK
Adem. Bulan Juni kondisi kekeringan meteorologis memiliki pola yang hampir sama
dengan bulan Mei hanya sebarannya yang berbeda. Secara umum pada bulan Juni
kekeringan meteorologis di Bojonegoro berada pada kategori kering
Bulan Juli kekeringan meteorologis dengan kategori sangat kering mengalami
penurunan yang hanya terjadi pada stasiun hujan Tretes, sedangkan stasiun hujan
lainnya berada pada kategori cukup kering hingga kering. Secara umum pada bulan Juli
kekeringan meteorologis di Bojonegoro berada pada kategori cukup kering. Pola
kekeringan menunjukkan bahwa kondisi kering berada di wilayah utara yang
merupakan daerah dataran dengan ketinggian 0 hingga 50 mdpl dengan kemiringan
lereng datar hingga landai, dan curah hujan kategori rendah.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


54

Gambar 5.5 Peta SPI 3 Bulanan Tahun 1987 Kabupaten Bojonegoro


Sumber : Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


55

Pada saat El Nino kuat tahun 1997, nilai SPI berada pada kategori sangat kering,
kering, cukup kering, normal, cukup basah, dan basah. Kekeringan meteorologis dalam
kategori Normal terjadi di seluruh wilayah Bojonegoro di bulan September. Bulan
Agustus, Oktober, dan Desember secara umum kekeringan meteorologis berada pada
kategori normal, hanya sebagian kecil dalam kategori cukup kering hingga kering.
Pada bulan Januari tidak ada satu pun wilayah di Bojonegoro yang mengalami
kekeringan meteorologis, hal tersebut dapat dilihat dari nilai SPI yang berada pada
kategori normal hingga basah. Kategori kekeringan meteorologis cukup basah hingga
basah mengalami penurunan pada bulan Februari dan terjadi kekeringan meteorologis
dengan kategori cukup kering hingga kering di stasiun hujan Karangnongko dan
Merkuris, sedangkan stasiun hujan lainnya berada pada kondisi normal.
Bulan Maret dan April kekeringan meteorologis dengan kategori sangat kering
terjadi di stasiun hujan Karangnongko dan Merkuris, kategori cukup kering hingga
kering terjadi di stasiun hujan Baureno, Semberejo, Balen, dan Bojonegoro, stasiun
hujan lainnya berada pada kategori normal dan hanya stasiun hujan Jatiblimbing dengan
kategori cukup basah. Bulan Mei, Juni, Juli dan November secara umum kekeringan
meteorologis di Bojonegoro berada pada kategori cukup kering. Kategori sangat kering
hanya terjadi di stasiun hujan Merkuris, dan Jatiblimbing. Kategori Normal terjadi pada
stasiun hujan Tretes, Sugihan, dan Klepek, serta kategori kering berada pada stasiun
hujan lainnya.
Pola kekeringan menunjukkan bahwa kondisi kering berada di wilayah tengah dan timur
yang merupakan daerah dataran dengan ketinggian 0 hingga 50 mdpl dengan
kemiringan lereng datar hingga landai. Bulan Maret merupakan awal kekeringan
mengalami peningkatan hingga bulan Juli, dimana kondisi curah hujan juga mengalami
penurunan dari bulan Maret hingga Oktober. Berdasarkan pola streamline juga
menunjukkan pada bulan Maret hingga Oktober arah angin berasal dari wilayah
Australia dimana uap air yang dibawa cenderung kering sehingga ketika angin sampai
di Bojonegoro tidak memberikan dampak pertumbuhan awan konvektif yang
menyebabkan terjadinya hujan.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


56

Gambar 5.6 Peta SPI 3 Bulanan Tahun 1997 Kabupaten Bojonegoro


Sumber : Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


57

Pada saat El Nino kuat tahun 2015, nilai SPI berada pada kategori sangat kering,
kering, cukup kering, normal, cukup basah, dan basah. Tidak ada satu pun wilayah yang
dengan kategori sangat basah di Kabupaten Bojonegoro, bahkan hanya sebagian kecil
wilayah yang berada dalam kategori cukup basah dan basah yaitu pada bulan Februari,
Maret dan April, Mei dan Juni.
Bulan Januari hingga Oktober secara umum kekeringan meteorologis di
kabupaten Bojonegoro berada pada kategori normal. Bulan Januari, Februari, Maret,
dan April stasiun hujan Karangnongko berada pada kategori kering dan stasiun hujan
Tretes, dan Klepek berada pada kategori cukup kering. Bulan Oktober kekeringan
meteorologis dengan kategori cukup kering mulai meningkat di wilayah bagian timur
dan utara Bojonegoro yang merupakan daerah dataran dengan kemiringan lereng datar.
Bulan November kekeringan meteorologis dengan kategori cukup kering
semakin meluas bahkan secara umum wilayah Bojonegoro berada pada kategori kering.
Stasiun hujan Kanor berada dalam kategori sangat kering sedangkan stasiun hujan
Kerjo, Cawak, dan PJK Adem berada dalam kategori Normal. Bulan Desember
kekeringan meteorologis dengan kategori sangat kering semakin meluas di wilayah
Utara, Barat dan Selatan Bojonegoro yang terjadi di stasiun hujan Karangnongko,
Tretes, Sugihan, Leran, Bojonegoro, Kapas, dan Leran. Stasiun hujan Cawak dan
Sumberejo berada pada kategori Normal sedangkan stasiun hujan lainnya berada pada
kategori kering. Kekeringan yang terjadi pada bulan November dan Desember salah
satunya diakibatkan indeks SOI yang tinggi.
Penelitian ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Setiawan et al 2017
dan Saidah dkk 2017 dimana fenomena kekeringan meteorologis mampu
direpresentasikan secara spasial dan temporal dengan perhitungan menggunakan metode
SPI. Pada tahun El Nino, SPI mampu menggambarkan wilayah yang terdampak
kekeringan meteorologis dengan kategori cukup kering hingga sangat kering. Pada
tahun El Nino secara umum kondisi kekeringan di wilayah Bojonegoro terjadi pada
bulan Mei, Juni, November dan Desember. Sebaran kekeringan meteorologis tidak sama
setiap tahunnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan distribusi curah hujan yang ada di
wilayah penelitian.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


58

Gambar 5.7 Peta SPI 3 Bulanan Tahun 2015 Kabupaten Bojonegoro


Sumber : Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


59

5.2.3 Tingkat Keparahan Kekeringan Meteorologis Kabupaten Bojonegoro


Tingkat keparahan kekeringan dapat diketahui dari nilai severity yang terjadi
secara berturut-turut. Severity adalah tingkat keparahan dengan nilai SPI sama atau
kurang dari -1.0. Perhitungan severity di Bojonegoro tahun 1986-2015 menunjukkan
bahwa wilayah dengan kejadian kekeringan terpanjang yaitu 7 bulan tercatat di stasiun
hujan Kerjo, Leran, Merkuris dan Sumberejo. Stasiun hujan Kerjo mengalami
kekeringan selama 7 bulan berturut-turut terjadi pada bulan Desember 1986 hingga Juni
1987 dengan nilai SPI berkisar antara -1.1 hingga -2.3.
Pada stasiun hujan Leran kekeringan selama 7 bulan terjadi pada bulan Januari
2003 hingga Juli 2003 dengan nilai SPI -1,6 dan -2,1 yang termasuk pada kategori
kering hingga sangat kering. Kekeringan selama 7 bulan berturut-turut di stasiun hujan
Merkuris terjadi pada bulan Februari 1997 hingga Agustus 1997 dengan nilai SPI -1.3
hingga -3.1 atau cukup kering hingga sangat kering. Sedangkan pada stasiun hujan
Sumberejo, kekeringan 7 bulan berturut-turut terjadi pada bulan Oktober 2006 hingga
April 2007 dengan nilai SPI -1 hingga -2.2 yang termasuk dalam kategori cukup kering
hingga sangat kering. Severity terpanjang dapat dilihat pada Gambar 5.8.
Wilayah yang memiliki tingkat keparahan kekeringan pada umumnya berada
pada daerah dataran dengan ketinggian < 50 mdpl dengan kemiringan lereng datar dan
berjenis tanah Grumosol dan Aluvial. Curah hujan merupakan salah satu faktor yang
memberikan pengaruh dalam keparahan kekeringan karena curah hujan di wilayah
tersebut cenderung rendah.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


60

Gambar 5.8 Grafik SPI 3 Bulanan Stasiun hujan Kerjo, Leran, Merkurius, dan Sumberejo

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


61

5.3 Kekeringan Lahan Kabupaten Bojonegoro


Metode penginderaan jauh digunakan dalam menganalisis kondisi kekeringan
lahan di wilayah penelitian. Data citra landsat sebelum digunakan dilakukan koreksi
Radiometrik dengan tujuan memperbaiki nilai pixel pada citra satelit akibat kesalahan
radiometrik serta untuk meningkatkan visualisasi citra. TOA reflektan terkoreksi sudut
matahari (Sun angel correction) dilakukan untuk memperbaiki nilai reflektan yang error
akibat posisi matahari. Secara visual memang tidak terdapat perbedaan antara data yang
belum dikoreksi dengan data yang sudah dikoreksi, perbedaan terletak pada nilai pixel
antara keduanya. Setelah dilakukan koreksi Radiometrik, selanjutnya menghitung suhu
permukaan tanah dengan menggunakan persamaan 3.1 sehingga didapatkan hasil pada
Gambar 5.9.

Gambar 5.9 Peta Suhu Permukaan Tanah Mei 1997 Kabupaten Bojonegoro
Sumber : Landsat 4-5 TM dan Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


62

Peta Suhu Permukaan Tanah menunjukkan bahwa daerah dataran memiliki suhu
lebih tinggi dari pada daerah perbukitan. Begitu juga untuk Kawasan hutan di sebelah
utara menunjukkan suhu permukaan tanah yang rendah diakibatkan oleh banyaknya
vegetasi yang berada pada wilayah tersebut. Daerah dataran yang merupakan daerah
pusat perkotaan seperti di Kecamatan Bojonegoro menunjukkan suhu yang lebih tinggi
akibat dari lahan yang digunakan sebagai permukiman dan aktivitas manusia di
sekitarnya.
Indeks vegetasi juga dihitung berdasarkan parameter EVI (Enhanced Vegetation
Index) menggunakan persamaan 3.2. sehingga didapatkan hasil pada Gambar 5.10.

Gambar 5.10 Peta Indeks Vegetasi Mei 1997 Kabupaten Bojonegoro


Sumber : Landsat 4-5 TM dan Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


63

Kekeringan Lahan didapatkan dengan menghitung selisih antara suhu


permukaan tanah dengan indeks vegetasi. Kekeringan pada tahun El Nino memberikan
dampak yang berbeda setiap bulannya. Tahun 2015 kekeringan terjadi hampir di seluruh
wilayah Bojonegoro pada bulan November dan Desember, sedangkan tahun 1997
dampak paling signifikan terjadi pada bulan Mei dan Juni. Kekeringan lahan juga
dihitung dengan penginderaan jauh menggunakan metode TVI untuk mengetahui
apakah kekeringan meteorologis juga memberikan dampak yang signifikan terhadap
kondisi lahan pada bulan dan tahun tersebut.

Gambar 5.11 Peta Kelas Kekeringan TVI Mei Juni 1997 dan November Desember 2015
Sumber : Landsat 4-5 TM, Landsat 8 dan Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


64

Pada Mei tahun 1997 kekeringan lahan kelas Normal seluas 127.530 ha atau
55.28% dari luas kabupaten Bojonegoro yang tersebar di sebagian besar wilayah tengah,
dan selatan. Kekeringan ringan seluas 43.360 ha atau 18.79%, Sedang 21.119 ha atau
9.15%, Berat 11.172 ha atau 4.84%, dan Sangat Berat 27.5252 ha atau 11.93%, dari luas
kabupaten Bojonegoro. Wilayah TVI kekeringan Normal, pada SPI terdampak cukup
kering hingga kering dan curah hujan berada dalam kategori rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa kekeringan lahan pada bulan Mei tahun 1997 tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor meteorologis dan curah hujan tetapi terdapat faktor lain yang
juga berpengaruh seperti bentuk lahan, jenis tanah, ketinggian dan kemiringan lereng.

Kekeringan Lahan Mei dan Juni 1997


140000

120000

100000

80000
Hektar

60000 Mei
Juni
40000

20000

0
Normal Ringan Sedang Berat Sangat Berat
Kelas Kekeringan

Gambar 5.12 Luas Kekeringan Lahan Mei dan Juni 1997


Pada Juni tahun 1997 kekeringan lahan kelas normal seluas 71.816 ha atau
31.13% dari luas kabupaten Bojonegoro yang tersebar di sebagian besar wilayah
selatan. Kekeringan ringan seluas 51.325 ha atau 22.25%, Sedang 27.348 ha atau
11.85%, dan Berat 16.593 ha atau 7.19%, dan Sangat Berat seluas 63.624 ha atau
27.58% dari luas kabupaten Bojonegoro. Kondisi normal mengalami penurunan
sedangkan kekeringan ringan, sedang, berat, dan sangat berat mengalami peningkatan
dari bulan Mei hingga Juni 1997. Wilayah Bojonegoro berdasarkan TVI berada pada
kondisi Kering, sedangkan pada SPI terdampak cukup kering dengan curah hujan
berada dalam kategori ringan. Hal ini menunjukkan bahwa kekeringan lahan pada bulan
Juni tahun 1997 tidak hanya dipengaruhi oleh faktor kekeringan meteorologis dan curah
hujan tetapi terdapat faktor lain yang juga berpengaruh seperti bentuk lahan, jenis tanah,
ketinggian dan kemiringan lereng.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


65

Pada November tahun 2015 kekeringan lahan kelas Normal seluas 77.058 ha
atau 33.40% dari luas kabupaten Bojonegoro yang tersebar merata di wilayah Selatan
dan Timur Bojonegoro. Kekeringan ringan seluas 42.183 ha atau 18.28%, Sedang
34.060 ha atau 14.76%, Berat 20.745 ha atau 8.99%, dan Sangat Berat 56.660 ha atau
24.56% dari luas kabupaten Bojonegoro. Sebagian besar wilayah Bojonegoro
berdasarkan TVI berada pada kekeringan, hal ini selaras dengan kekeringan
meteorologis SPI kategori kering yang tersebar merata dengan curah hujan berada
dalam kategori rendah.

Kekeringan Lahan November dan Desember 2015


180000
160000
140000
120000
Hektar

100000
80000 Nov
60000 Des
40000
20000
0
Normal Ringan Sedang Berat Sangat Berat
Kelas Kekeringan

Gambar 5.13 Luas Kekeringan Lahan November dan Desember 2015


Pada Desember tahun 2015 kekeringan lahan kelas normal seluas 16.8480 ha
atau 73.03% dari luas kabupaten Bojonegoro yang tersebar di sebagian besar wilayah
tengah, selatan, dan timur. Kekeringan ringan seluas 23.188 ha atau 10.05%, Sedang
12.278 ha atau 5.32%, dan Berat 6.750 ha atau 2.93%, dan Sangat Berat seluas 20.010
ha atau 8.67% dari luas kabupaten Bojonegoro. Kondisi Normal mengalami
peningkatan sedangkan kekeringan ringan, sedang, berat, dan sangat berat mengalami
penurunan dari bulan November hingga Desember 2015. Sebagian besar wilayah
Bojonegoro berdasarkan TVI berada pada kondisi Normal, hal ini berlainan dengan
kekeringan meteorologis berdasarkan SPI kategori kering yang tersebar merata dengan
curah hujan berada dalam kategori rendah hingga menengah. Tentunya kekeringan
lahan pada bulan November dan Desember tahun 2015 tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor kekeringan meteorologis dan curah hujan tetapi terdapat faktor lain yang juga
berpengaruh seperti bentuk lahan, jenis tanah, ketinggian dan kemiringan lereng.

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


66

Penggunaan metode TVI mampu merepresentasikan kondisi kekeringan lahan


dengan cukup baik. Penelitian ini selaras dengan penelitian Daruati et al 2013 dan
Nilasari dkk 2017 dimana fenomena kekeringan lahan mampu direpresentasikan secara
spasial dan temporal dengan menggunakan metode TVI dalam penginderaan jauh.
Sehingga kekurangan hasil dari metode SPI akibat sebaran data yang kurang merata
dapat dibantu dengan data penginderaan jauh dalam mendeteksi kekeringan.
Uji chi square dilakukan untuk mengetahui hubungan antara kekeringan
meteorologis dengan kekeringan lahan di wilayah penelitian. Tidak semua bulan dan
tahun diuji, akan tetapi hanya bulan Desember 2015 saat SPI menunjukkan kondisi
kering hingga sangat kering di sebagian besar wilayah Bojonegoro.
Luasan wilayah yang terdampak kekeringan meteorologis dan kekeringan lahan
hujan dapat dilihat pada tabel 5.3 dimana luasan didapatkan dari mengolah jumlah pixel
hasil overlay antara kekeringan meteorologis (SPI) dengan kekeringan lahan (TVI).
Wilayah paling luas terdampak kekeringan sangat kering, kering, cukup kering dan
normal saat kondisi lahan normal.
Tabel 5.3 Hubungan Kekeringan Meteorologis dengan Kekeringan Lahan (Ha)
Klasifikasi Kelas Kekeringan lahan (TVI)
Kekeringan
Meteorologis Normal Ringan Sedang Berat Sangat Berat
(SPI)
Sangat Kering 56110 6346 3378 1884 7454
Kering 75484 9126 4484 2200 5790
Cukup Kering 34354 7422 4320 2600 7170
Normal 2100 312 104 38 30
Sumber : Pengolahan 2018

Tabel 5.4 Chi-Square Test Kekeringan Meteorologis dengan Kekeringan Lahan


Value df Asymp. Sig. (2-sided)
Pearson Chi-Square 5.962E3a 12 .000
Likelihood Ratio 5.929E3 12 .000
Linear-by-Linear
972.027 1 .000
Association
N of Valid Cases 230706
Uji Chi-Square pada tabel 5.4 menunjukkan nilai signifikansinya 0 dan kurang
dari α (0.05) artinya Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan terdapat
hubungan antara kekeringan meteorologis dengan kekeringan lahan. Nilai CC
(Contingency Coefficient) menggunakan metode Chi-square antara kekeringan
meteorologis dengan kekeringan lahan menunjukkan bahwa semakin besar nilai CC

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


67

maka semakin besar pengaruh kekeringan lahan terhadap kekeringan meteorologis.


Kekeringan lahan memiliki nilai CC 0.159 (15.9%) tidak terlalu kuat. Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun terjadi kekeringan meteorologis, tidak secara langsung
kondisi lahan juga mengalami kekeringan.

Tabel 5.5 Koefisien Korelasi Kekeringan Meteorologis dengan Kekeringan Lahan


Asymp. Approx. Approx.
Value
Std. Errora Tb Sig.a
Nominal by Nominal Contingency
.159 .000
Coefficient
Interval by Interval Pearson's R .065 .002 31.243 .000c
Ordinal by Ordinal Spearman Correlation .085 .002 41.143 .000c
N of Valid Cases 230706
Sumber : Pengolahan 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Nilai SPI (Standardized Precipitation Index) menunjukkan kekeringan
meteorologis paling sering terjadi pada stasiun hujan Sumberejo dengan total 62
kejadian sedangkan paling jarang terjadi kekeringan pada stasiun hujan Simorejo
sebanyak 40 kejadian selama 30 tahun. Pola sebaran kekeringan menunjukkan pola
dimana kekeringan mulai terjadi pada bulan Maret saat curah hujan rendah, dengan
sebaran kekeringan terjadi di wilayah utara yang merupakan daerah dataran dan
berlereng datar hingga landai kemudian meluas pada wilayah selatan yang merupakan
daerah perbukitan dan berlereng agak curam.
Kekeringan Meteorologis memberikan dampak yang berbeda pada Kekeringan
Lahan saat tahun El Nino kuat. Tahun 2015 kekeringan lahan Sangat Berat terbesar
terjadi pada bulan November seluas 20.010 ha dan tahun 1997 terbesar terjadi pada
bulan Juni seluas 63.624 ha dan tersebar di sebagian besar wilayah Bojonegoro. Pola
sebaran kekeringan lahan juga terjadi di wilayah dataran yang kemudian meluas pada
daerah perbukitan. Kondisi kekeringan meteorologis (SPI) dengan kekeringan lahan
(TVI) yang didasarkan pada Uji Chi Square menghasilkan nilai signifikansinya 0 dan
kurang dari α (0.05) artinya Ho ditolak dan Ha diterima sehingga dapat disimpulkan
terdapat asosiasi atau hubungan antara kekeringan meteorologis dengan kekeringan
lahan. Nilai CC (Contingency Coefficient) 0.159 menunjukkan bahwa hubungan antara
kekeringan meteorologis dengan kekeringan lahan tidak terlalu kuat.

6.2 Saran
Penggunaan metode lain dalam penginderaan jauh juga perlu dilakukan untuk
mendapatkan metode yang paling sesuai dalam menganalisis kondisi kekeringan suatu
wilayah seperti VDI (Vegetation Dryness Index) dan TVDI (Temperature Vegetation
Dryness Index). Penggunaan metode lain dalam kaitannya dengan kekeringan
meteorologis seperti Indeks Palmer, Klasifikasi Oldeman dan lainnya juga dilakukan
untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.

Universitas Indonesia
68

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


69

DAFTAR REFERENSI

Abramowitz, M. and Stegun, I.A., (1965) Handbook of Mathematical Functions with


Formulas, Graphs, and Mathematical Tables. Dover Publications Inc., New York,
1046 p.
Adiningsih, E.S., (2014). Agricultural Tinjauan Metode Deteksi Parameter Kekeringan
Berbasis Data Penginderaan Jauh. Prosiding Seminar Nasional Penginderaan
Jauh 2014. LAPAN.
Aldrian, E., Karmini, M., Budiman. (2011). Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di
Indonesia. Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG. Jakarta
Anugrahadi, A., Purwadhi, F.S.H., Haryani, N.S., (2017). Terapan Penginderaan Jauh
dan Sistem Informasi Geografis dalam Geologi, Geomorfologi dan Mitigasi
Bencana Beraspek Hidrometeorologi. Universitas Trisakti, Jakarta.
Badan Meteorologi Dan Geofisika, (2006). Penyusunan Data Indeks Kekeringan
Daerah Sentra Produksi Pangan Jawa Tengah. BMG, Jakarta.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2016). RBI Risiko Bencana Indonesia.
Jakarta
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2011). Indeks Rawan Bencana Indonesia.
Jakarta
Badan Pusat Statistik Kabupaten Bojonegoro. (2016). Statistik Kesejahteraan Rakyat
Kabupaten Bojonegoro 2016. Bojonegoro
Bell, G.D., Halpert, M.S., Schnell, R.C., Higgins, R.W., Lawrimore, J., Kousky, V.E.,
Tinker, R., Thiaw, W., Chelliah, M. and Artusa, A., (2000). Climate assessment
for 1999. Bulletin of the American Meteorological Society, 81(6), pp.s1-s50.
Daruati, Dini. (2012). Pola Wilayah Kekeringan Lahan Basah (Sawah) di Propinsi
Jawa Barat. Program Pascasarjana Ilmu Geografi. FMIPA Universitas Indonesia :
Tesis
Daruati, D., Rahmatulloh, Purwadhi, F.S.H., (2013). Agricultural Drought Pattern in
West Java Using Thermal Vegetation Index from Modis-Terra Satellite. Makara
Journal of Technology. Vol 17, No 1. Universitas Indonesia

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


70

Dupe, Z.L., (2000). El Niño dan La Niña, Dampaknya Terhadap Cuaca dan Musim di
Indonesia. Pengetahuan Alam dan Pengembangan. Direktorat Jendral Pendidikan
Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional
Dutta, D., Kundu, A., Patel, N.R., Saha, S.K., Siddiqui, A.R., (2015). Assessment of
agricultural drought in Rajasthan (India) using remote sensing derived
Vegetation Condition Index (VCI) and Standardized Precipitation Index (SPI).
The Egyptian Journal of Remote Sensing and Space Science, Volume 18, Issue 1,
June 2015, Pages 53-63
Hadiyanto, Soeroso. (2007). Pola Tingkat Kerawanan Kekeringan di Jawa Tengah.
Program Pascasarjana Ilmu Geografi. FMIPA Universitas Indonesia : Tesis
Irawan, B. (2003). Dampak El Nino dan La Nina Terhadap Produksi Padi dan
Palawija. Jurnal Litbang Pertanian. Jakarta
Irianto, G., Amin, L.I. dan Surmaini, E., (2000). Keragaman Iklim Sebagai Peluang
Diversifikasi. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
Jiang, Z., Huete, A. R., Didan, K. & Miura T. (2008). Development of a two-band
Enhanced Vegetation Index without a blue band. Remote Sensing of
Environment, 112 (2008), 3833-3845
Khosravi, H., Haydari, E., Shekoohizadegan, S., Zareie, S., (2017). Assessment the
Effect of drought on Vegetation in Desert Area using Landsat Data. The Egyptian
Journal of Remote Sensing and Space Science, Volume 20, Supplement 1, April
2017, Pages S3-S12
McKee, T.B., Doesken, N.J., dan Kleist, J. (1993). The Relationship of Drought
Frequency and Duration to Time Scales. Procedings of the 8 th Conference on
Applied Climatology, Anaheim, California, 1722 January 1993, pp.179-184.
Boston, MA, USA: American Meteorological Society.
Nilasari, M., Sasmito, B., Sukmono, A., (2017). Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk
Memetakan Kekeringan Lahan Pertanian Dengan Metode Thermal Vegetation
Index (Studi Kasus : Kabupaten Kudus, Jawa Tengah). Jurnal Geodesi Volume 1
Nomor 3. Universitas Diponegoro.
Nuryadi. (2007). Hubungan Indeks Penguapan di Samudera Hindia dengan Sebaran
Curah Hujan di Sumatera Barat. Program Pascasarjana Ilmu Geografi. FMIPA
Universitas Indonesia : Tesis

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


71

Parwati, Suwarsono (2008). Model Indeks TVDI (Temperature Vegetation Dryness


Index) untuk Mendeteksi Kekeringan Lahan Berdasarkan Data Modis-Terra.
Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital Vol.5. LAPAN :
Jakarta.
Purwadhi, F.S.H., Kardono, P., Karsidi, A., Haryani, N.S., Rokhmatuloh (2015).
Aplikasi Penginderaan Jauh Sistem Informasi Geografis untuk Pengembangan
Wilayah. Polimedia Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Ratri, Sari, D., (2016). Dampak Kekeringan terhadap Pola Tanam Padi Sawah di
Kabupaten Pringsewu.. Program Pascasarjana Ilmu Geografi. FMIPA Universitas
Indonesia : Tesis
Saidah, H., Budianto, M.B., Hanifah, L., (2017). Analisa Indeks dan Sebaran
Kekeringan Menggunakan Metode Standardized Precipitation Index (SPI) Dan
Geographical Information System (GIS) Untuk Pulau Lombok . Jurnal Spektran
Vol.5. No.2 Hal.173-179, Universitsa Udayana.
Saji, N.H., Goswami, B.N., Vinayachandran, P.N. dan Yamagata, T., (1999). A dipole
mode in the tropical Indian Ocean. Nature, 401(6751), pp.360-363.
Sandy, I Made (1985). Republik Indonesia Geografi Regional, Jurusan Geografi FMIPA
Universitas Indonesia
Setiawan, A.M., Lee, W.S., dan Rhee, J., (2017). Spatio-temporal characteristics of
Indonesian drought related to El Niño events and its predictability using the
multi-model ensemble. International Journal of Climatology, Volume 47, Issue 13,
Pages 4700-4719.
Sonjaya, I. (2007). Analisa Standardized Precipitation Index (SPI) di Kalimantan
Selatan. Stasiun Klimatologi Banjar Baru Kalimantan Selatan
Supriatna, (2001). Dasar-dasar Sistem Informasi Geografis. Departemen Geografi,
FMIPA Universitas Indonesia.
Tjasyono, B. H. K. (1992). Klimatologi Terapan. Pionir Jaya. Bandung.
Tjasyono, B. H. K. (2004). Klimatologi. ITB. Bandung
Tjasyono, B. H. K. (2006). Meteorologi Indonesia 1, Karakteristik dan Sirkulasi
Atmosfer. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta
Tjasyono, B. H. K., Harijono, S.W.B. (2006). Meteorologi Indonesia 2, Awan Hujan
dan Monsun. Badan Meteorologi dan Geofisika. Jakarta

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


72

Tjasyono, B. H. K. (2008). Selamatkan Bumi dari Isu Perubahan Iklim dan Pemanasan
Global. Orasi Ilmiah. Jakarta
Thornthwaite, C.W. and Mather, J.R. (1957). Instruction and Tables for Computing
Potential Evapotranspiration and the Water Balance. Drexel Institute of
Technology. Laboratory of Climatology. New Jersey, USA.
Trianasari, M. E. (2009). Pola Kekeringan Pertanian Provinsi Nusa Tenggara Barat
Tahun 2007-2008. Program Pascasarjana Ilmu Geografi. FMIPA Universitas
Indonesia : Tesis
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Keantariskaan.
Wang, C., Deser, C., Yu, J.Y., DiNezio, P. dan Clement, A., (2012). El Niño and
southern oscillation (ENSO): a review. Coral Reefs of the Eastern Pacific, pp.3-
19.
World Meteorological Organization, (2012). Standardized Precipitation Index Users
Guide. World Meteorological Organization, Geneva 2, Switzerland.
https://www.bmkg.go.id/iklim/indeks-presipitasi-terstandarisasi.bmkg diakses tanggal
26 Februari 2018
http://extreme.kishou.go.jp/itacs5/analyze/form_auth diakses tanggal 1 Juni 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


73

LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta Curah Hujan Bulanan Kabupaten Bojonegoro Tahun 1987

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


74

Lampiran 2. Peta Curah Hujan Bulanan Kabupaten Bojonegoro Tahun 1997

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


75

Lampiran 3. Peta Curah Hujan Bulanan Kabupaten Bojonegoro Tahun 2015

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


76

Lampiran 4. Dokumentasi Survey Lapangan di Kabupaten Bojonegoro


Pos Hujan Balen
Koordinat 7°11’40.06”LS 111°57’12.95” BT
Lokasi Ds. Balenrejo Kec Balen
Foto Lapangan

Pos Hujan Cawak


Koordinat 7°13’14.06”LS 112°6’33.07” BT
Lokasi Ds. Simorejo Kec Kepuhbaru
Foto Lapangan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


77

(lanjutan)
Pos Hujan Dander
Koordinat 7°14’58.7”LS 111°50’35.3” BT
Lokasi Ds. Dander Kec Dander
Foto Lapangan

Pos Hujan Jatiblimbing


Koordinat 7°14’40.28”LS 111°52’21.76” BT
Lokasi Ds. Bendo Kec Kapas
Foto Lapangan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


78

(lanjutan)
Pos Hujan Kanor
Koordinat 7°05’43.9”LS 112°01’9.5” BT
Lokasi Ds. Kanor Kec Kanor
Foto Lapangan

Pos Hujan Kapas


Koordinat 7°11’52.31”LS 111°55’41.67” BT
Lokasi Ds. Kapas Kec Kapas
Foto Lapangan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


79

(lanjutan)
Pos Hujan Kerjo
Koordinat 7°11’53.79”LS 112°5’14.15” BT
Lokasi Ds. Brangkal Kec Kepuhbaru
Foto Lapangan

Pos Hujan Klepek


Koordinat 7°15’26.25”LS 111°55’43.23” BT
Lokasi Ds. Klepek Kec Sukosewu
Foto Lapangan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


80

(lanjutan)
Pos Hujan Leran
Koordinat 7°11’17.6”LS 111°49’14.5” BT
Lokasi Ds. Ngumpakdalem Kec Dander
Foto Lapangan

Pos Hujan Merkuris


Koordinat 7°13’51.3”LS 112°1’51.0” BT
Lokasi Ds. Merkuris Kec Sumberejo
Foto Lapangan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


81

(lanjutan)
Pos Hujan PJKAdem
Koordinat 7°19’50.5”LS 112°3’0.3” BT
Lokasi Ds. Panjang Kec Kedungadem
Foto Lapangan

Pos Hujan Sugihan


Koordinat 7°23’56.34”LS 111°52’30.08” BT
Lokasi Ds. Kedungsumber Kec Temayang
Foto Lapangan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


82

(lanjutan)
Pos Hujan Sumberejo
Koordinat 7°10’33.77”LS 112°0’2.14” BT
Lokasi Ds. Kedungdowo Kec Sumberejo
Foto Lapangan

Pos Hujan Tlogorejo


Koordinat 7°9’24.9”LS 112°05’37.9” BT
Lokasi Ds. Tlogorejo Kec Kepohbaru
Foto Lapangan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


83

(lanjutan)
Pos Hujan Tretes
Koordinat 7°21’14.95”LS 111°52’14.73” BT
Lokasi Ds. Kedungsumber Kec Temayam
Foto Lapangan

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


84

Lampiran 5. Peta Streamline Angin Permukaan Bulan Mei dan Juni Tahun 1997

Sumber : http://extreme.kishou.go.jp/itacs5/analyze/form_auth dan Pengolahan data, 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018


85

Lampiran 6. Peta Streamline Angin Permukaan Bulan November dan Desember Tahun 1997

Sumber : http://extreme.kishou.go.jp/itacs5/analyze/form_auth dan Pengolahan data, 2018

Universitas Indonesia

Pola spasial..., Aditya Mulya, FMIPA UI, 2018

Anda mungkin juga menyukai