Anda di halaman 1dari 145

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN POLA SPASIAL PENERAPAN METODE


PENENTUAN KEKERINGAN DI PROBOLINGGO,
JAWA TIMUR

SKRIPSI

NADINE GRACE YUSTICIA


1206216121

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI GEOGRAFI
DEPOK
JULI 2016

Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016


UNIVERSITAS INDONESIA

PERBANDINGAN POLA SPASIAL PENERAPAN


METODE PENENTUAN KEKERINGAN DI PROBOLINGGO,
JAWA TIMUR

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains

NADINE GRACE YUSTICIA


1206216121

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI GEOGRAFI
DEPOK
JULI 2016

Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Nadine Grace Yusticia

NPM : 1206216121

Tanda Tangan :

Tanggal : 30 Juni 2016

iii

Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016


HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh:

Nama : Nadine Grace Yusticia


NPM : 1206216121
Program Studi : Geografi
Judul Skripsi : Perbandingan Pola Spasial Penerapan Metode Penentuan
Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur.

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima


sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada Program Studi Geografi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Dr. Tito Latif Indra, M.Si. (...............................)

Pembimbing I : Drs. Sobirin. M.Si. (...............................)

Pembimbing II : Dra. Astrid Damayanti, M.Si. (...............................)

Penguji I : Dr. Mangapul P. Tambunan, M.Si. (...............................)

Penguji II : Drs. Tjiong Giok Pin, M.Si. (...............................)

Ditetapkan di : Depok, Jawa Barat


Tanggal : 30 Juni 2016

iv

Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas penyertaan Tuhan Yesus Kristus
yang oleh karena anugerah-Nya yang melimpah, kekuatan dan kasih setia-Nya
yang besar, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan penelitian
mengenai Perbandingan Pola Spasial Penerapan Metode Penentuan Kekeringan di
Probolinggo, Jawa Timur. Penelitian skripsi ini dilakukan dalam rangka
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Jurusan
Geografi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Indonesia.
Saya menyadari bahwa, dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini tidak
terlepas dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Bantuan
mulai dari perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi saya. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini saya dengan kerendahan hati menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Bapak Drs. Sobirin M.Si selaku pembimbing I dan Ibu Dra. Astrid Damayanti,
M.Si., selaku pembimbing II yang telah menyediakan dan memberikan waktu,
tenaga, pikiran, serta kesabaran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan
skripsi ini;
2. Bapak Dr. Mangapul P. Tambunan, M.Si, selaku penguji I dan Bapak Drs.
Tjiong Giok Pin, M.Si., selaku penguji II yang telah memberikan masukan
dan saran yang sangat bermanfaat kepada saya bagi penyusunan skripsi ini;
3. Seluruh dosen pengajar di Departemen Geografi FMIPA UI atas segala ilmu
yang telah diberikan selama ini, serta Staf Tata Usaha Departemen Geografi
dan Dekanat FMIPA UI dalam pelayanan kepada saya untuk menyelesaikan
semua urusan administrasi;
4. Mas Kuswantoro S.Si., M.Sc yang telah memberikan berbagai masukan, saran
dan bantuan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini;
5. Bapak Drs. Teguh Sukarsono, MM. selaku Kepala Bidang Operasi dan
Pemeliharaan dan Mas Nurul Hidayat, ST. selaku Staff Bidang Operasi dan
Pemeliharaan Dinas PU Pengairan Kabupaten Probolinggo yang telah
membantu dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan baik data tabular
juga data lapang;
v

Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016


6. Bapak Bahnan yang membantu dan menemani saat survei lapang, serta Ibu
Yuyun yang menyediakan tempat tinggal selama di Probolinggo;
7. Dinas PU Bidang Pengairan Kota Probolinggo, BPN Kabupaten Probolinggo,
BPN Kota Probolinggo, dan BPBD Kabupaten Probolinggo, yang telah
membantu memperoleh data tabular dan spasial yang saya perlukan;
8. Bapak ku tercinta (Hutur Marsius Sagala, SH.) dan Mama ku tersayang (Herta
Bagara Tampubolon), yang memberikan doa, kekuatan, motivasi, bantuan
material dan moral, dan selalu mengingatkan saya agar selalu berdoa,
berusaha dan menyerahkan semua kedalam tangan Tuhan Yesus;
9. Abang Tommy, Abang Jordy dan keluarga yang terus mendukung selama
penyelesaian skripsi saya;
10. Sahabat-sahabatku, Tanti, Dian, Fairuz, dan Bonita yang selalu membantu,
menghibur, mendukung selama perkuliahan dan penyelesaian skripsi ini; serta
teman-teman Naposobulung HKBP Pasar Rebo dan Orkes Simfoni
Universitas Indonesia Mahawaditra;
11. Seluruh Keluarga Besar Geografi UI Angkatan 2012 yang tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah menemani selama empat tahun masa
perkuliahan dan memberikan banyak pengalaman kepada saya;
Akhir kata saya berharap Tuhan Yang Maha Esa membalas segala kebaikan
semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi
ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Depok, Juni 2016

Penulis

“Serahkanlah hidupmu kepada TUHAN dan percayalah kepadaNya


dan Ia akan bertindak” (Mazmur 37: 5), “Karena masa depan
sungguh ada dan harapan mu tidak akan hilang” (Amsal 23: 18).

vi

Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016


HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini:
Nama : Nadine Grace Yusticia
NPM : 1206216121
Program Studi : S1
Departemen : Geografi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Perbandingan Pola Spasial Penerapan Metode Penentuan Kekeringan
di Probolinggo, Jawa Timur.
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok, Jawa Barat


Pada tanggal : 30 Juni 2016

Yang menyatakan

(Nadine Grace Yusticia)

vii

Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016


ABSTRAK
Nama : Nadine Grace Yusticia
Program Studi : Geografi
Judul : Perbandingan Pola Spasial Penerapan Metode Penentuan
Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur.

Wilayah Probolinggo di Jawa Timur memiliki perbedaan musim kering dan


musim basah yang jelas antara dataran rendah dan pegunungan. Penerapan metode
de Boer, Standardized Precipitation Index (SPI), dan Hari Tanpa Hujan (HTH)
dalam penentuan kekeringan di Probolinggo akan diperbandingkan secara
keruangan berbasis data hujan dari 55 lokasi periode 1990-2015. Melalui teknik
overlay peta dan perbandingan luas, pola spasial wilayah kekeringan dari ketiga
metode dibandingkan. Hasil analisis menunjukkan metode de Boer dan HTH
menampilkan pola keruangan kekeringan yang bergerak dari dataran rendah ke
pegunungan. Tingkat kekeringan menurut metode de Boer sebanding dengan
tingkat kekeringan SPI, namun lebih basah dibandingkan tingkat kekeringan
menurut metode HTH. Kekeringan menurut metode de Boer lebih sesuai
dianalisis berdasarkan ketinggian, angin dan arah hadapan lereng dibandingkan
dengan metode SPI dan HTH.

Kata Kunci : kekeringan, metode de Boer, metode Hari Tanpa Hujan


(HTH), metode Standardized Precipitation Index (SPI).

ABSTRACT
Name : Nadine Grace Yusticia
Study Program : Geography
Title : Comparison Spatial Pattern Implementation of Drought
Determination Method in Probolinggo, East Java.

Regions Probolinggo in East Java having clear difference between the dry and wet
seasons on the lowlands and the mountains. Implementation of the methods of the
de Boer, Standardized Precipitation Index (SPI), and No Rain Days (NRD) in the
determination of drought in Porbolinggo will be compared based on spatial
rainfall data from 55 locations periode from 1990 until 2015. The spatial pattern
of drought of the dryness methods are compared by overlay maps techniques and
size of the regions. The spatial result analysis of the method de Boer and NRD
showed the drought move from the lowlands up to the mountains. The level of
dryness of the de Boer is comparable to the SPI drought, but more wetter than the
method of drought NRD. Drought is more appropriate analysed based on the
elevation, wind direction and toward front slopes according to the de Boer method
than methods of SPI and NRD.

Keyword : drought, de Boer method, No Rain Days (NRD) method,


Standardized Precipitation Index (SPI) method.
viii

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
DAFTAR ISI

Hal.
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................ vii
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................ viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xiv
DAFTAR PETA .................................................................................................. xv
1. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4
1.4 Batasan Penelitian .................................................................................... 4
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 6
2.1 Klimatologi .............................................................................................. 6
2.2 Sifat Dasar Iklim Indonesia .................................................................... 10
2.3 Curah Hujan ........................................................................................... 10
2.4 Pola Curah Hujan di Indonesia .............................................................. 13
2.5 Penentuan Awal Musim Hujan dan Musim Kemarau............................ 15
2.5.1 Klasifikasi de Boer ...................................................................... 15
2.6 Kekeringan ............................................................................................. 15
2.7 Metode Penentuan Kekeringan .............................................................. 17
2.7.1 Metode de Boer ........................................................................... 18
2.7.2 Metode Standardized Precipitation Index (SPI) ......................... 18
2.7.3 Metode Hari Tanpa Hujan (HTH) ............................................... 20
2.8 Ordinary Kriging .................................................................................... 21
2.9 Penelitian Terdahulu .............................................................................. 23
3. METODOLOGI PENELITIAN .................................................................... 25
3.1 Daerah Penelitian ................................................................................... 25
3.2 Alur Pikir Penelitian............................................................................... 25
3.3 Alur Kerja Penelitian.............................................................................. 28
3.4 Pengumpulan Data ................................................................................. 30
3.4.1 Survei Lapang.............................................................................. 30
3.4.2 Inventarisasi Data ........................................................................ 31
3.5 Stasiun Curah Hujan .............................................................................. 32
3.6 Pengolahan Data..................................................................................... 33
3.6.1 Penentuan Stasiun Curah Hujan yang Digunakan ....................... 33
3.6.2 Input Data Sekunder .................................................................... 33
3.6.3 Pengolahan Data Tabular ............................................................ 33
3.6.3.1 Pengolahan Data Metode de Boer .................................... 33
3.6.3.2 Pengolahan Data Metode Standardized Precipitation
Index (SPI) ....................................................................... 35
ix

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
3.6.3.3 Pengolahan Data Metode Hari Tanpa Hujan (HTH)........ 36
3.6.4 Pengolahan Data Spasial ............................................................. 37
3.7 Analisis Data .......................................................................................... 39
4. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ........................................ 41
4.1 Kondisi Geografi Probolinggo ............................................................... 41
4.2 Kondisi Fisik Probolinggo ..................................................................... 41
4.2.1 Wilayah Ketinggian ..................................................................... 41
4.2.2 Wilayah Lereng ........................................................................... 43
4.3 Kondisi Iklim Probolinggo ..................................................................... 45
4.4 Kekeringan di Probolinggo .................................................................... 47
5. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 49
5.1 Inventarisasi Data ................................................................................... 49
5.2 Persebaran Curah Hujan ......................................................................... 50
5.3 Pola Spasial Kekeringan Berdasarkan Metode de Boer ......................... 51
5.4 Pola Spasial Kekeringan Berdasarkan Metode Standardized
Precipitation Index (SPI) ....................................................................... 59
5.5 Pola Spasial Kekeringan Berdasarkan Metode
Hari Tanpa Hujan (HTH) ....................................................................... 66
5.6 Perbandingan Rumus Metode Penentuan Kekeringan ........................... 73
5.7 Perbandingan Pola Spasial Kekeringan ................................................. 75
5.7.1 Metode de Boer (A) dan Standardized Precipitation
Index (SPI) (B) ............................................................................ 76
5.7.2 Metode de Boer (A) dan Hari Tapa Hujan (HTH) (C) ................ 82
5.7.3 Metode Standardized Precipitation Index (SPI) (B) dan
Hari Tanpa Hujan (HTH) (C) ...................................................... 89
5.8 Kesesuaian Pola Spasial Kekeringan dengan Wilayah Ketinggian ....... 95
5.9 Kesesuaian Pola Spasial Kekeringan dengan Arah Angin dan
Arah Hadapan Lereng ............................................................................ 97
KESIMPULAN .................................................................................................... 99
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 100
LAMPIRAN ....................................................................................................... 102

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 2.1. Indian Ocean Dipole (IOD) Positif dan Negatif. ............................ 9
Gambar 2.2. Tiga Wilayah Iklim Berdasarkan Rata-Rata Curah Hujan di
Indonesia. Pola Monson (region A), Pola Equatorial (region B),
dan Pola Lokal (region C). ............................................................ 14
Gambar 2.3. Perbandingan Pola Spasial Curah Hujan Rata-Rata Tahunan
1990-2015 Berdasarkan Model Semivarian Metode Kriging
di Probolinggo Jawa Timur. .......................................................... 23
Gambar 3.1. Alur Pikir Penelitian...................................................................... 27
Gambar 3.2. Alur Kerja Penelitian..................................................................... 29
Gambar 4.1. Arah Hadapan Lereng Terhadap Rata-rata Datangnya Angin
Tahun 2000-2015 di Probolinggo, Jawa Timur. ........................... 44
Gambar 4.2. Rata-Rata Curah Hujan Bulanan di Probolinggo, Jawa Timur
Periode 1990-2015. ....................................................................... 45
Gambar 4.3. Rata-Rata Curah Hujan Tahunan di Probolinggo, Jawa Timur
Periode 1990-2015. ....................................................................... 46
Gambar 5.1. Wilayah Kondisi Normal dengan Metode de Boer. ...................... 53
Gambar 5.2. Wilayah Normal (Kanan) dan Kering (Kiri) dengan
Metode de Boer. ............................................................................ 56
Gambar 5.3. Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015 dengan
Metode de Boer di Probolinggo, Jawa Timur. .............................. 58
Gambar 5.4. Wilayah Kondisi Agak Basah (Kanan) dan Normal (Kiri)
dengan Metode Standardized Precipitation Index (SPI). ............. 60
Gambar 5.5. Wilayah Kondisi Normal dengan Metode Standardized
Precipitation Index (SPI). ............................................................. 63
Gambar 5.6. Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015 dengan
Metode Standardized Precipitation Index (SPI) di
Probolinggo, Jawa Timur. ............................................................. 65
Gambar 5.7. Wilayah Kondisi Agak Basah dengan Metode
Hari Tanpa Hujan (HTH). ............................................................. 67
Gambar 5.8. Wilayah Kondisi Agak Kering (Kanan) dan Kering (Kiri)
dengan Metode Hari Tanpa Hujan (HTH). ................................... 71
Gambar 5.9. Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015 dengan
Metode Hari Tanpa Hujan (HTH) di Probolinggo, Jawa Timur. .. 72
Gambar 5.10. Luas Perbedaan Tingkat Kekeringan Metode de Boer (A)
dan Metode SPI (B) Berdasarkan Ketinggian di Probolinggo,
Jawa Timur. ................................................................................... 77
Gambar 5.11. Perbandingan Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015
dengan Metode de Boer (A) dan Standardized Precipitation
Index (SPI) (B) di Probolinggo, Jawa Timur. ............................... 81
Gambar 5.12. Luas Perbedaan Tingkat Kekeringan Metode de Boer (A) dan
Metode HTH (C) Berdasarkan Ketinggian di Probolinggo,
Jawa Timur. ................................................................................... 84

xi

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
Gambar 5.13. Perbandingan Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015
dengan Metode de Boer (A) dan Hari Tanpa Hujan (HTH) (B)
di Probolinggo, Jawa Timur. ......................................................... 88
Gambar 5.14. Luas Perbedaan Tingkat Kekeringan Metode SPI (B) dan
Metode HTH (C) Berdasarkan Ketinggian di Probolinggo,
Jawa Timur. ................................................................................... 91
Gambar 5.15. Perbandingan Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015
dengan Metode Standardized Precipitation Index (SPI) (B)
dan Hari Tanpa Hujan (HTH) (C) di Probolinggo, Jawa Timur. .. 94

xii

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 2.1. Klasifikasi Skala Nilai SPI Menurut Mc Kee. ..................................... 19


Tabel 2.2. Klasifikasi Hari Tanpa Hujan menurut BMKG. ................................. 21
Tabel 3.1. Pengumpulan Data Penelitian. ............................................................ 30
Tabel 3.2. Klasifikasi Jumlah Data Curah Hujan. ................................................ 31
Tabel 3.3. Klasifikasi Kekeringan Metode de Boer. ............................................ 34
Tabel 3.4. Klasifikasi Kekeringan Metode SPI. ................................................... 36
Tabel 3.5. Klasifikasi Kekeringan Metode Hari Tanpa Hujan. ............................ 37
Tabel 5.1. Luas Wilayah Hasil Analisis Overlay Metode de Boer (A) dan
Metode SPI (B) di Probolinggo, Jawa Timur...................................... 76
Tabel 5.2. Luas Wilayah Hasil Analisis Overlay Metode de Boer (A) dan
HTH (C) di Probolinggo, Jawa Timur. ............................................... 83
Tabel 5.3. Luas Wilayah Hasil Analisis Overlay Metode SPI (B) dan
Metode HTH (C) di Probolinggo, Jawa Timur. .................................. 90
Tabel 5.4. Kesesuaian Pola Spasial Metode Penentuan Kekeringan
dengan Ketinggian. ............................................................................. 96
Tabel 5.5. Kesesuaian Pola Spasial dengan Metode Penentuan Kekeringan
dengan Arah Angin dan Hadapan Lereng. .......................................... 98

xiii

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
DAFTAR LAMPIRAN

Hal.

Lampiran 1. Inventarisasi Data Curah Hujan 1990-2015 di Probolinggo,


Jawa Timur. ................................................................................. 102
Lampiran 2. Inventarisasi Data Stasiun Curah Hujan di Probolinggo,
Jawa Timur. ................................................................................. 103
Lampiran 3. Hasil Pengolahan Data Metode de Boer. .................................... 106
Lampiran 4. Tingkat Kekeringan Menggunakan Metode de Boer
di Probolinggo, Jawa Timur. ....................................................... 107
Lampiran 5. Hasil Pengolahan Data Metode Standardized Precipitation
Index (SPI). ................................................................................. 109
Lampiran 6. Tingkat Kekeringan Menggunakan Metode Standardized
Precipitation Index (SPI) di Probolinggo, Jawa Timur. ............. 110
Lampiran 7. Hasil Pengolahan Data Metode Hari Tanpa Hujan (HTH). ........ 112
Lampiran 8. Tingkat Kekeringan Menggunakan Metode Hari Tanpa Hujan
(HTH) di Probolinggo, Jawa Timur. ........................................... 113
Lampiran 9. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan
Metode de Boer di Probolinggo, Jawa Timur. ............................ 115
Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan
Metode SPI di Probolinggo, Jawa Timur. ................................... 115
Lampiran 11. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan
Metode HTH di Probolinggo, Jawa Timur. ................................ 115
Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode
Kekeringan Tiap Bulan di Probolinggo, Jawa Timur. ................ 116
Lampiran 13. Dokumentasi Survei Lapang ....................................................... 122

xiv

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
DAFTAR PETA

Hal.

Peta 1. Administrasi Probolinggo, Jawa Timur. .............................................. 124


Peta 2. Wilayah Ketinggian Probolinggo, Jawa Timur.................................... 125
Peta 3. Wilayah Lereng Probolinggo, Jawa Timur. ......................................... 126
Peta 4. Arah Hadapan Lereng di Probolinggo, Jawa Timur. ........................... 127
Peta 5. Desa Terdampak Kekeringan Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur
Tahun 2015. ......................................................................................... 128
Peta 6. Sebaran Stasiun Curah Hujan Probolinggo, Jawa Timur. .................... 129
Peta 7. Pola Spasial Curah Hujan Rata-Rata Tahunan 1990-2015
di Probolinggo, Jawa Timur. ................................................................ 130

xv

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang berada di daerah tropis. Letaknya ini
membuat Indonesia memiliki variasi suhu rata-rata tahunan kecil, sedangkan
variasi curah hujan cukup besar. Oleh karena itu, perubahan musim di Indonesia
ditentukan oleh curah hujan. Hujan adalah salah satu unsur iklim yang paling
tinggi variasinya. Oleh karena itu, curah hujanlah yang paling banyak diamati,
dibandingkan unsur iklim yang lain (Sandy, 1987:29).
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki dua rezim hujan; rezim hujan
Barat dan rezim hujan Timur. Pulau-pulau dengan rezim hujan Barat, tempat yang
terletak di sebelah barat musim hujannya datang lebih dulu dibandingkan tempat
yang letaknya lebih ke timur (Sandy, 1987:44). Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT
merupakan barisan pulau-pulau yang panjang dan berderet-deret dari barat ke
timur, sehingga berlaku dalil, semakin ke timur curah hujannya akan semakin
sedikit, dan datang lebih lama. Saat musim kemarau tiba, daerah yang berada di
sebelah Timur durasi musim kemaraunya akan semakin panjang, sehingga potensi
kekeringan menjadi lebih tinggi.
Potensi kekeringan berkaitan dengan dinamika iklim. Dinamika iklim
Indonesia dipengaruhi oleh faktor skala lokal, regional dan global. Faktor skala
lokal, yaitu kondisi topografi, arah hadapan lereng terhadap datangnya angin,
kelembaban udara, dan Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT). Faktor skala
regional, yaitu keberadaan siklus monsun akibat gerak revolusi bumi terhadap
matahari juga mempengaruhi iklim di Indonesia. Pengaruh siklus monsun terjadi
karena letak Indonesia berada diantara dua benua yang senantiasa berlawanan
musimnya. Faktor skala global, yaitu kondisi suhu laut dan tekanan udara di
atmosfer menciptakan fenomena alam seperti El Nino, La Nina, dan Dipole Mode
yang mempengaruhi variasi curah hujan Indonesia.
Kekeringan di Indonesia tak luput dari fenomena El Nino yang terjadi. El
Nino adalah peristiwa di lautan berupa penyimpangan suhu udara laut di atas rata-
ratanya di daerah Pasifik tengah dan timur. Pada saat yang sama terjadi perubahan
1

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
2

tekanan udara di belahan bumi selatan yang dikenal sebagai Southern Oscillation
Index (SOI). Jika peristiwa ini terjadi secara bersamaan di kenal dengan nama El
Nino Southern Oscillation (ENSO), yaitu meningkat suhu air laut di atas atau di
bawah kondisi normal di kawasan lautan Pasifik. Kondisi suhu laut di perairan
Indonesia menurun, uap air yang terangkat tidak cukup untuk membentuk awan,
sehingga hujan tidak terjadi, pun terjadi curah hujannya akan rendah. Efek
fenomena El Nino untuk wilayah Indonesia adalah musim kemarau yang lebih
panjang yang menjadi penyebab utama kekeringan.
Kekeringan adalah suatu peristiwa berkurangnya curah hujan yang cukup
besar dalam waktu yang lama, sehingga dapat mempengaruhi kehidupan makhluk
hidup di suatu daerah tertentu. Kekeringan yang terjadi di sebagian besar wilayah
Indonesia merupakan siklus 4-5 tahunan dengan tingkat kekeringan yang dinamis.
Untuk itu, perlu adanya kajian tentang kekeringan agar pemerintah serta
masyarakat dapat mengatasi dan mengelola dampak dari kekeringan. Sampai
akhir Juli 2016, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan
bahwa Indonesia mengalami defisit air sekitar ± 20 miliar m3. Defisit air tersebut
meliputi Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Tercatat 16 provinsi, yang meliputi
102 kabupaten/kota, 721 kecamatan yang mengalami defisit air. Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur menyatakan bahwa
sejumlah wilayah di Jawa Timur, salah satu dari 16 kabupaten/kota yang dilanda
kekeringan adalah Probolinggo.
Wilayah Probolinggo di Jawa Timur memiliki perbedaan musim kering dan
musim basah yang jelas antara dataran rendah dan pegunungan. Kondisi topografi
Probolinggo beragam dengan ketinggian 0 – 2.500 m di atas permukaan laut.
Berdasarkan ketinggiannya, Probolinggo terbagi menjadi tiga wilayah, yaitu
dataran rendah di bagian utara, lereng-lereng gunung di bagian tengah dan dataran
tinggi di bagian selatan. Kondisi topografi tersebut mempengaruhi banyak
sedikitnya jumlah curah hujan di Probolinggo. Tahun 2014, kekeringan melanda
44 desa dari 13 kecamatan di Probolinggo akibat musim kemarau. Warga merasa
kesulitan mendapatkan air untuk kebutuhan rumah tangga, serta untuk kebutuhan
air tanaman mereka. Kekurangan air untuk sawah membuat sawah menjadi kering
akibatnya petani mengalami gagal panen dan hasil produksi padi berkurang.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
3

Berbeda dari tahun 2014, 30 desa dari 11 kecamatan di Probolinggo dilanda


kekeringan dengan kategori kering kritis pada tahun 2015. Kekeringan ini terjadi
tidak hanya karena memasuki musim kemarau tetapi juga adanya pengaruh
fenomena El Nino, namun petani masih dapat panen meski jumlah produksi padi
berkurang. Sebagian besar kekeringan melanda Probolinggo bagian barat, di
ketinggian < 500 mdpl. Probolinggo mengalami kekeringan setiap tahunnya pada
musim kemarau akibat berkurangnya curah hujan (BPBD Kabupaten Probolinggo,
2015:1).
Kekeringan dapat diprediksi menggunakan beberapa metode penentuan
kekeringan guna mengantisipasi dan menanggulangi akibat kekeringan. Tingkat
kekeringan suatu wilayah berbeda satu dengan yang lainnya. Metode penentuan
kekeringan dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti Metode de Boer dalam
penentuan bulan basah dan bulan kering yang dapat diaplikasikan untuk
menentukan indeks kekeringan, Metode Standardized Precipitation Index (SPI),
Metode Hari Tanpa Hujan (HTH) dan metode lainnya.
Perhitungan dalam metode kekeringan di suatu wilayah menghasilkan tingkat
kekeringan dan pola spasial kekeringan. Pola spasial kekeringan tersebut ada yang
sesuai/tidak sesuai dengan kondisi datangnya hujan di suatu wilayah. Tentunya
jumlah curah hujan berkaitan dengan ketersediaan air. Saat ini, ada tiga metode
untuk monitoring kekeringan yang digunakan oleh Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG), yaitu Metode de Boer, Metode Standardized
Precipitation Index (SPI), dan yang terbaru adalah Metode Hari Tanpa Hujan
(HTH). Ketiga metode tersebut telah diterapkan di seluruh Indonesia. Penelitian
ini ingin membandingkan bagaimana pola spasial kekeringan berdasarkan ketiga
metode yang digunakan BMKG tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang “Perbandingan Pola Spasial
Penerapan Metode Penentuan Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur”.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
4

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, pertanyaan masalah dari
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pola spasial kekeringan dengan Metode de Boer, Metode
Standardized Precipitation Index (SPI), dan Metode Hari Tanpa Hujan (HTH)
di Probolinggo, Jawa Timur?
2. Bagaimanakah perbandingan pola spasial kekeringan Metode de Boer, Metode
Standardized Precipitation Index (SPI), dan Metode Hari Tanpa Hujan (HTH)
dikaitkan dengan faktor pembentuk hujan di Probolinggo, Jawa Timur?

1.3 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola spasial kekeringan
berdasarkan Metode de Boer, Metode Standardized Precipitation Index (SPI), dan
Metode Hari Tanpa Hujan (HTH) dalam penentuan kekeringan. Kemudian, ingin
pula diketahui perbedaan pola spasial kekeringan ketiga metode tersebut dikaitkan
dengan kondisi topografi dan faktor pembentuk hujan di Probolinggo, Jawa
Timur. Kajian teoritis dalam penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan
dalam memilih manakah metode penentuan kekeringan yang cocok diterapkan di
Indonesia.

1.4 Batasan Penelitian


Daerah penelitian dilakukan di Kabupaten dan Kota Probolinggo, Jawa Timur.
Pengamatan kekeringan yang terjadi di daerah penelitian diteliti menggunakan
tiga metode penentuan kekeringan, yaitu metode de Boer, metode Standardized
Precipitation Index (SPI) dan Hari Tanpa Hujan (HTH). Ketiga metode penentuan
kekeringan tersebut akan dibandingkan pola spasial kekeringannya. Unit analisis
yang digunakan untuk membandingkan pola spasial kekeringan adalah wilayah
ketinggian Probolinggo, Jawa Timur.
Pola spasial kekeringan yang dimaksud adalah bentuk keruangan yang
ditentukan berdasarkan curah hujan menggunakan metode de Boer, metode
Standardized Precipitation Index (SPI) dan Hari Tanpa Hujan (HTH). Pola spasial
kekeringan juga dilihat berdasarkan pola pergerakan kekeringannya setiap bulan

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
5

dalam satu tahun. Pola spasial masing-masing metode dihasilkan dengan metode
interpolasi Ordinary Kriging menggunakan software ArcGIS 10.1 Data curah
hujan yang digunakan adalah data curah hujan harian periode tahun 1990 – 2015
dari 55 stasiun curah hujan di Probolinggo, Jawa Timur. Pola spasial kekeringan
metode de Boer, metode SPI dan metode HTH akan dikaitkan dengan faktor
pembentuk hujan. Faktor pembentuk hujan yang digunakan adalah ketinggian,
arah angin dan arah hadapan lereng, karena ketiga faktor tersebut yang paling
mudah diamati dalam pembentukan hujan.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klimatologi
Klimatologi merupakan salah satu kajian dalam ilmu geografi yang
membutuhkan kajian secara komprehensif untuk mendapatkan pemahaman
tentang iklim secara mendalam. Menurut Tjasyono (1999:2) kajian meteorologis
merupakan kajian yang sangat erat kaitannya dengan proses klimatis yang
berpengaruh nyata dalam kehidupan di muka bumi. Meski sama-sama
mempelajari atmosfer, klimatologi berbeda dengan meteorologi. Klimatologi
berkaitan dengan hasil proses atmosfer, sedangkan meteorologis menitikberatkan
pada proses fisis dan gejala cuaca yang terjadi di dalam atmosfer (Tjasyono, 1999:
2). Atmosfer adalah lapisan gas yang menyelubungi bulatan bumi. Keadaan
atmosfer pada suatu saat disebut cuaca, sedangkan rata-rata dari cuaca dalam
periode panjang disebut iklim (Tjasyono, 1999: 2-3).
Menurutnya Tjasyono (1999:12), unsur-unsur iklim meliputi suhu udara,
kelembaban udara, curah hujan, tekanan udara, angin dan durasi penyinaran
matahari. Dari unsur-unsur tersebut unsur yang paling utama diamati di Indonesia
adalah curah hujan. Akibat dari letak Indonesia yang berada di wilayah tropis,
maka variasi suhu udara kecil sedangkan variasi curah hujan besar. Hal itu
mempengaruhi penentuan musim. Musim adalah periode dengan unsur iklim yang
mencolok, misalnya dalam musim panas maka unsur iklim yang mencolok adalah
suhu udara yang tinggi, dalam musim hujan maka unsur iklim yang mencolok
adalah jumlah curah hujannya.
Menurut Sandy (1987:4), pengamatan iklim memerlukan proses yang sangat
lama dan dibutuhkan waktu yang lama pula untuk mengumpulkan data untuk
dapat menyimpulkan ciri dan sifat iklim suatu daerah. Perolehan data hingga
proses analisis data tersebut membutuhkan skema yang panjang, sehingga
perkembangan pengamatan curah hujan dari tahun ke tahun perlu di validasi agar
data yang diperoleh akurat. Skema yang panjang mendorong beberapa pakar iklim
untuk menciptakan penggolongan iklim, agar memudahkan dalam mempelajari
iklim. Namun tidak semudah itu pula, penggolongan iklim membutuhkan waktu
6

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
7

kurang lebih 30 tahun menurut World Meteorological Organization (WMO),


artinya diperlukan data yang lengkap dan proses inventarisasi data yang baik,
guna mencapai hasil yang akurat.
Iklim di Indonesia digolongkan oleh beberapa pakar iklim. Pakar yang
pertama adalah Mohr. Mohr mendasarkan penggolongannya atas persyaratan
jumlah bulan kering dan jumlah bulan basah dalam satu tahun. Bulan kering
ditentukan jika suatu tempat memperoleh curah hujan rata-rata sebulan kurang
dari 60 milimeter. Pakar iklim berikutnya adalah Schmidt dan Ferguson. Schmidt
dan Ferguson mencoba mempertajam penggolongan iklim oleh Mohr sehubungan
dengan usaha pertanian, yaitu penggunaan ratio jumlah bulan kering dan jumlah
bulan hujan, dengan penggolongan iklim A sampai dengan H. Jika persentasenya
kecil maka tempat itu basah (iklim tipe A), sedangkan jika persentasenya besar
maka tempat itu kering (iklim tipe H). Pakar iklim berikutnya adalah Oldeman
yang membuat penggolongan iklim berdasarkan curah hujan dengan tujuan
membantu usaha pertanian terutama usaha tanaman padi. Oldeman berpegang
kepada keberurutan atau kontinuitas bulan basah dan bulan kering (Sandy,
1996:45-46).
Penggolongan iklim dari masing-masing ahli memiliki kesamaan yaitu
berdasarkan unsur curah hujan. Pemahaman mengenai iklim terus berkembang.
Klasifikasi iklim dilihat dari hubungan sistematik antara unsur iklim dan pola
tanaman dunia (Tjasyono, 1999: 13). Berdasarkan pola tanaman tersebut, didapat
korelasi antara tanaman dan unsur panas atau air. Dengan demikian, indeks suhu
atau air dipakai sebagai kriteria untuk menentukan jenis iklim. Unsur panas
dibatasi dengan batas suhu dan unsur air dibatasi dengan curah hujan.
Suhu sebagai unsur iklim yang saling berkaitan dengan penyinaran matahari.
Khususnya Indonesia yang berada di khatulistiwa, suhu udaranya selalu tinggi.
Revolusi bumi membuat seakan-akan matahari bergerak ke arah Selatan dan ke
arah Utara, sehingga menimbulkan “musim” (Sandy, 1987:7). Ketika terjadi
perbedaan suhu, maka tekanan udaranya pun berbeda. Suhu tinggi maka tekanan
udaranya rendah, begitu pula ketika suhu rendah maka tekanan udaranya tinggi.
Tekanan udara akan bergerak dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
8

Indonesia berada diantara dua benua, yaitu Australia dan Asia yang tekanan
udaranya berlawanan. Tekanan udara yang berlawanan menyebabkan ada
pergerakan udara dari Australia ke Asia atau dari Asia ke Australia. Pergerakan
udara ini biasa disebut dengan angin monsun.
Di Indonesia terdapat dua angin monsun, yaitu angin monsun timur dan angin
monsun barat. Angin monsun timur merupakan angin yang berhembus dari
Australia ke Asia. Pada bulan April sampai September, kedudukan matahari
berada di belahan bumi utara. Bumi bagian selatan memasuki musim dingin
sehingga tekanan udaranya tinggi. Angin bergerak dari Australia ke Asia. Angin
tersebut melewati gurun yang luas di Australia, sehingga bersifat kering. Pada saat
itu Indonesia mengalami musim kemarau. Sebaliknya, angin monsun barat
merupakan angin yang berhembus dari Asia ke Australia. Pada bulan Oktober
sampai Maret, kedudukan matahari berada di belahan bumi selatan. Bumi bagian
selatan memasuki musim panas, sedangkan bumi bagian utara memasuki musim
dingin. Tekanan udara di Asia tinggi dan tekanan udara di Australia rendah.
Angin yang berhembus dari Asia melalui Samudera Hindia, sehingga angin
tersebut mengandung uap air yang banyak. Pada saat itu terjadi musim hujan di
Indonesia.
Selain unsur suhu, musim di Indonesia dapat diketahui dari curah hujan.
Curah hujan sebagai unsur iklim yang utama di Indonesia, akan sangat mungkin
dipengaruhi oleh keadaan suhu permukaan laut (SPL) di sekitar perairan
Indonesia. Indonesia didominasi oleh lautan dan diapit oleh dua Samudera, yaitu
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Salah satu fenomena perubahan SPL
yang terjadi di Samudera Hindia yang kemudian mempengaruhi curah hujan di
Indonesia adalah yang dikenal dengan istilah Dipole Mode (DM). Dipole Mode
(DM) merupakan fenomena gabungan antara atmosfer dan laut yang ditandai
dengan perbedaan anomali dua kutub SPL di Samudera Hindia tropis bagian timur
(perairan Indonesia di sekitar Sumatera dan Jawa) dan Samudera Hindia tropis
bagian tengah sampai barat (perairan pantai timur Benua Afrika) (Hermawan,
dkk, 2007:92-93).
Saat anomali SPL di Samudera Hindia tropis bagian barat lebih besar daripada
di bagian timurnya, terjadi peningkatan curah hujan dari normalnya di pantai

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
9

timur Afrika dan Samudera Hindia bagian barat, sedangkan di Indonesia


mengalami penurunan curah hujan dari normalnya yang menyebabkan
kekeringan, kejadian ini biasa di kenal dengan istilah Dipole Mode Positif (DM +)
(Gambar 2.1). Fenomena yang berlawanan dengan kondisi ini dikenal sebagai
Dipole Mode Negative (DM -) (Hermawan, dkk, 2007: 93). Indeks Dipole Mode
di Samudera Hindia menunjukkan kecenderungan nilai dengan kisaran positif kuat
pada dasarian I Oktober 2015 dengan nilai (+0,62). Hal ini berpengaruh dalam
pengurangan curah hujan di sebagian wilayah Indonesia bagian barat (BMKG,
2015:1).

Gambar 2.1. Indian Ocean Dipole (IOD) Positif dan Negatif.


Sumber: Australian Government, Bureau of Meteorology. (2016:1).

Selain dipengaruhi oleh Dipole Mode, menurut Aldrian (2003:1436) iklim di


Indonesia juga dipengaruhi oleh El Nino Southern Oscillation (ENSO). Fenomena
ENSO hampir sama dengan seperti Dipole Mode dan terjadi secara independen
diantara keduanya. Namun seringkali istilah ini digunakan oleh banyak pakar
untuk merujuk kepada kejadian El Nino (warm event) saja, yaitu meningkatnya
suhu muka laut di wilayah tengah dan timur ekuator laut Pasifik, sedangkan
Osilasi Selatan (southern oscillation) adalah osilasi tekanan atmosfer wilayah laut
Pasifik dan atmosfer laut Indonesia-Australia. Berdasarkan pengamatan Nilai
Indeks Osilasi Selatan selama 3 bulan terakhir (Juli, Agustus, September 2015)
secara berturut adalah -24,5, -19,8, dan -22,0. Nilai ini menunjukkan kondisi El
Nino kuat, yang mengakibatkan terjadi pengurangan pasokan uap air di wilayah
Indonesia bagian timur (BMKG, 2015:1).

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
10

2.2 Sifat Dasar Iklim Indonesia


Iklim adalah rata-rata keadaan cuaca di suatu tempat dalam periode yang
panjang. Periode ini bersifat relatif karena periode tersebut tergantung kepada
tempat, waktu dan unsur cuaca. Gejala iklim sangat mempengaruhi
perikehidupan manusia, manusia tidak bisa menghindar dari gejala tersebut. Di
Indonesia, ada empat sifat dasar iklim, yang ditentukan oleh faktor-faktor letak
dan sifat kepulauan (Sandy, 1996:37), yaitu:
1. Suhu rata-rata tahunan tinggi, sebagai akibat daripada letak “dekat”
khatulistiwa.
2. Adanya hembusan angin musim yang membawa musim hujan dan musim
kemarau, sebagai akibat daripada perbedaan tekanan udara di daratan Asia dan
Australia. Letak Indonesia adalah antara Benua Asia dan Australia.
3. Bebas dari hembusan Angin Taifun, karena Kepulauan Indonesia sebagian
terbesar terletak tidak lebih dari 10° LU dan 10° LS.
4. Kadar kelembaban udara senantiasa tinggi, sebagai akibat daripada sifat
kepulauan. Luasnya lautan dan selat-selat serta suhu yang selalu tinggi,
mengakibatkan jumlah penguapan selalu tinggi pula.
Kelembaban udara di Indonesia selalu di antara 70% - 80% pada musim
kemarau dan di tempat-tempat paling kering sekalipun, karena kadar kelembaban
udara yang tinggilah iklim Indonesia disebut juga iklim tropik basah. Selain sifat
kelembaban udara yang tinggi, sifat kepulauan Indonesia mengakibatkan adanya
perbedaan yang besar (ekstrem) antara suhu maksimum dan suhu minimum. Laut
mencegah adanya suhu ekstrem.

2.3 Curah Hujan


Hujan merupakan unsur iklim yang paling tinggi variasinya. Oleh karena itu,
curah hujanlah yang paling banyak diamati, kalau dibandingkan dengan unsur-
unsur iklim lainnya (Sandy, 1987:29). Curah hujan sangat bervariasi baik dalam
skala ruang maupun skala waktu (Sandy, 1987:3). Variasi curah hujan
berdasarkan ruang diperjelas dengan kondisi topografi. Ada tempat yang terlihat
jelas perbedaan musim hujan dan musim kemaraunya, ada yang tidak jelas
perbedaannya. Pada skala waktu hujan berlangsung dalam jumlah dan durasi yang

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
11

berbeda tiap harinya di tempat yang sama ataupun berbeda. Ada yang berlangsung
cepat dengan jumlah yang sedikit, sering terjadi pula hujan dengan durasi cepat
dan jumlah curah hujan yang tinggi. Selain itu, tak jarang terjadi fenomena hujan
dengan durasi yang lama dan jumlah curah hujannya rendah.
Hujan terbentuk dari pengangkatan massa udara di suatu tempat yang
dipengaruhi oleh bentukan alamnya. Massa udara yang terangkat itu mengalami
pendinginan hingga menjadi butir air yang merupakan unsur awan, dan setelah
jenuh akan turun sebagai hujan. Awan terbentuk dari butir air yang terakumulasi,
namun jika angin berhembus kencang bisa membatalkan hujan. Hujan merupakan
hasil akhir dari proses yang berlangsung di atmosfer bebas. Menurut Sandy
(1987:26), turunnya hujan di suatu wilayah bergantung kepada berbagai faktor,
yaitu kelembaban udara, topografi, arah dan kecepatan angin, suhu udara, dan
arah hadapan lereng.
Kelembaban udara merupakan ukuran banyaknya uap air yang terkandung di
udara. Kondisi udara di atmosfer Indonesia senantiasa lembab akibat pengaruh
sifat kepulauan Indonesia. Kelembaban udara di Indonesia selalu tinggi (60%) di
dataran rendah, dekat pantai, rawa, hutan tropik, atau sungai besar. Daerah
pedalaman atau dataran tinggi di lereng gunung, kelembaban udaranya relatif
rendah dibandingkan dataran rendah. Kelembaban udara yang tinggi, lebih
memungkinkan turunnya hujan.
Kondisi topografi sehubungan dengan adanya hujan dan jumlah hujan nampak
lebih jelas di daerah yang memiliki topografi beragam, mulai pesisir hingga
pegunungan. Ketinggian suatu wilayah berhubungan dengan suhu dan hujannya.
Makin tinggi suatu tempat dari permukaan laut, curah hujan akan semakin banyak,
begitu sebaliknya. Kondisi medan berbukit dan bergelombang akan memaksa
udara atau angin bergerak naik, sehingga suhu udara turun, kemampuan uap air
juga menurun, lalu akan turun sebagai hujan (Sandy, 1987:26). Probolinggo
memiliki topografi yang beragam mulai dari topografi pesisir hingga pegunungan
dengan bentuk medan yang berupa dataran rendah, perbukitan, pegunungan.
Ketinggian Probolinggo berkisar antara 0 – 2.500 m di atas permukaan laut dari
Utara ke Selatan. Probolinggo memiliki tiga gunung, yaitu Gunung Bromo,

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
12

Gunung Lamongan, dan Gunung Argopuro dengan lereng yang beragam pula.
Dengan demikian, secara teori distribusi curah hujan Probolinggo beragam.
Angin adalah udara yang bergerak. Udara bergerak karena ada perbedaan
tekanan di dua tempat. Tekanannya berbeda karena suhunya berbeda. Daerah
yang memiliki garis pantai sejajar dengan arah anginnya, biasanya hujan tidak
turun. Angin yang berhembus terlalu kencang bisa membatalkan hujan, karena
mendung yang tadinya sudah akan menurunkan hujan, dihembuskan angin ke
daerah lain (Sandy, 1987:26). Pada waktu tertentu Probolinggo memiliki garis
pantai yang sejajar dengan arah anginnya, sehingga pesisir Probolinggo jarang
terjadi hujan.
Selain arah dan kecepatan angin, unsur suhu juga memegang peran penting
dalam mendatangkan hujan. Pengaruh suhu terhadap proses turunnya hujan dapat
dilihat dari lama intensitas penyinaran matahari di suatu daerah yang ditunjukkan
dengan adanya Daerah Konvergensi Antar Tropik (DKAT), yaitu zona yang suhu
udara sekitarnya tertinggi akibat pemanasan matahari, atau disebut juga ekuator
termal. Suhu tinggi ini menyebabkan tekanan udara di atas zone itu rendah,
sehingga udara dari tekanan tinggi bergerak dan mengalami pendinginan pula
dalam perjalanannya menuju zone tekanan rendah. Menurunnya suhu udara
tersebut, yang diakibatkan oleh gerakan naiknya di DKAT, sebagian dari uap air
yang dikandung akan jatuh sebagai hujan (hujan konvektif) (Sandy, 1996:39-40).
Probolinggo yang berada di Pulau Jawa bagian timur, hanya sekali dilalui garis
DKAT pada satu periode pergerakan utara-selatan (Jan-Feb) atau selatan-utara
(Feb-Mar).
Lereng yang menghadap ke arah datangnya angin pembawa hujan akan
mendapat hujan lebih banyak daripada lereng medan yang membelakangi arah
angin (Sandy, 1996:40). Hujan terbentuk ketika gerakan udara melalui
pegunungan atau bukit yang tinggi, udara tersebut dipaksa naik. Setelah terjadi
kondensasi, terbentuklah awan pada lereng di atas angin (windward side), dan
hujannya disebut hujan orografik, sedangkan pada lereng dibawah angin (leeward
side) udara yang turun akan mengalami pemanasan dengan sifat kering, daerah ini
disebut daerah bayangan hujan (Tjasyono, 1999:20). Lereng di Probolinggo
sangat beragam mulai dari datar hingga terjal, terutama di wilayah pegunungan di

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
13

Probolinggo bagian selatan. Sebagian besar hujan yang terjadi di wilayah


Pegunungan Probolinggo berdasarkan teori ini adalah hujan orografik.

2.4 Pola Curah Hujan di Indonesia


Menurut Sandy (1996:45), pola umum curah hujan di Kepulauan Indonesia
dapat di katakan sebagai berikut:
1. Pantai barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan lebih banyak dari pantai
timur.
2. Pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT merupakan barisan pulau-pulau yang
panjang dan berderet-deret dari barat ke timur. Pulau ini hanya diselingi oleh
selat-selat yang sempit, sehingga untuk kepulauan ini secara keseluruhan
terlihat seakan-akan satu pulau, sehingga berlaku pula dalil, bahwa di sebelah
timur curah hujan lebih kecil, kalau dibandingkan dengan sebelah barat.
Sebelah barat dari jejeran pulau ini adalah pantai Barat Jawa Barat.
3. Selain bertambah jumlahnya dari Timur ke Barat, hujan juga bertambah
jumlahnya dari dataran rendah ke pegunungan, dengan jumlah terbesar di
ketinggian 600-900 meter di atas permukaan laut.
4. Di daerah pedalaman semua pulau, musim hujan jatuh pada musim Pancaroba.
Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar-besar.
5. Bulan maksimum hujan sesuai dengan letak Daerah Konvergensi Antar Tropis
(DKAT).
6. Saat mulai turunnya hujan juga bergeser dari Barat ke Timur. Pantai Barat
Pulau Sumatera sampai Bengkulu, mendapat hujan terbanyak pada bulan
November; Lampung-Bangka yang letaknya sedikit ke timur pada bulan
Desember, sedangkan Jawa (utara), Bali, NTB, NTT pada bulan Januari-
Februari letaknya lebih ke timur lagi.
7. Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah
mempunyai musim hujan yang berbeda, yaitu pada bulan Mei-Juni. Justru
pada waktu bagian lain dari Kepulauan Indonesia ada pada musim kering.
Batas rezim hujan Indonesia Barat dan rezim Indonesia Timur kira-kira
terdapat di lintang 120° Bujur Timur (BT).

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
14

Menurut Aldrian dan Susanto (2003:1439), pola hujan di Indonesia (Gambar


2.2) secara klimatologis dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Pola Monson (A) dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal
(satu puncak musim hujan, yaitu sekitar bulan Desember).
2. Pola Equatorial (B) dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk bimodal (dua
puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan Oktober, yaitu
pada saat matahari berada dekat ekuator.
3. Pola Lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodal (satu puncak hujan),
tetapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan tipe Monson.
Berdasarkan pembagian pola hujan menurut Aldrian dan Susanto (2003:1439)
(Gambar 2.2), Probolinggo yang terletak di Jawa Timur masuk ke dalam Pola
Monson.

Gambar 2.2. Tiga Wilayah Iklim Berdasarkan Rata-Rata Curah Hujan di


Indonesia. Pola Monson (region A), Pola Equatorial (region B), dan Pola Lokal
(region C).
Sumber: Aldrian, E., & R.D Susanto. (2003:1438).

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
15

2.5 Penentuan Awal Musim Hujan dan Musim Kemarau


Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau.
Penentuan awal musim hujan dan musim kemarau dilakukan untuk mengetahui
lama bulan hujan dan bulan kering dalam satu tahun berdasarkan data curah hujan.
Penentuan tersebut membantu dalam menentukan jumlah berapa bulan basah pada
musim hujan dan berapa bulan kering pada musim kemarau. Penentuan awal
musim hujan dan musim kemarau ini menggunakan klasifikasi dari de Boer.

2.5.1 Klasifikasi de Boer


Menurut de Boer, penentuan musim hujan dan musim kemarau dapat
dilakukan dengan cara menjumlahkan curah hujan selama sepuluh hari (CH
dasarian) (Sandy, 1987:43). Permulaan musim kemarau ditetapkan berdasarkan
jumlah curah hujan dalam satu dasarian (10 hari) kurang dari 50 milimeter dan
diikuti oleh beberapa dasarian berikutnya. Permulaan musim hujan ditetapkan
berdasarkan jumlah curah hujan dalam satu dasarian (10 hari) lebih dari 50
milimeter dan diikuti oleh beberapa dasarian berikutnya. Berdasarkan perhitungan
tersebut, diketahui bahwa adanya perbedaan datangnya musim di Pulau Jawa dan
Madura. Sampai saat ini, metode de Boer digunakan BMKG untuk menentukan
awal musim hujan/kemarau dan lamanya (durasi) musim.

2.6 Kekeringan
Kekeringan menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana adalah ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan air untuk
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan. Menurut
Encyclopedia of World Climatology (2005:338), kekeringan adalah suatu bencana
alam berbahaya yang dihasilkan dari kurangnya curah hujan di bawah normal, hal
itu terjadi selama jangka waktu yang lama, sehingga tidak cukup untuk memenuhi
tuntutan aktivitas manusia. Dapat disimpulkan bahwa kekeringan adalah
kurangnya ketersediaan air untuk kebutuhan hidup dalam jangka waktu lama,
sehingga mengganggu aktivitas manusia.
Kekeringan terjadi dengan kondisi dan waktu tertentu di suatu daerah. Tiap
kekeringan memiliki karakteristik unik, unsur spasial dan memiliki dampak.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
16

Kekeringan berdampak kepada banyak sektor, terutama sosial dan ekonomi, oleh
karena itu perlu adanya kajian dari berbagai disiplin ilmu dalam skala global.
Untuk lebih memudahkan dalam pemahaman mengenai kekeringan, pengertian
kekeringan dibagi secara spesifik:
1. Kekeringan Meteorologis adalah kekeringan yang berhubungan dengan
tingkat curah hujan yang terjadi di bawah kondisi normal dalam satu
periode/musim (persentase perbandingan dari kondisi normal) (Encyclopedia
of World Climatology, 2005:339). Perhitungan tingkat kekeringan
meteorologis merupakan indikasi pertama terjadinya kondisi kekeringan.
Intensitas kekeringan meteorologis diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Kering: apabila curah hujan antara 70%-80%, dari kondisi normal.
b. Sangat Kering: apabila curah hujan antara 50%-70% dari kondisi normal.
c. Amat Sangat Kering: apabila curah hujan di bawah 50% dari kondisi
normal.
2. Kekeringan Hidrologis adalah kekeringan akibat berkurangnya pasokan air
permukaan dan air tanah. Kekeringan hidrologis diukur dari ketinggian muka
air waduk, danau dan air tanah. Ada jarak waktu antara berkurangnya curah
hujan dengan berkurangnya ketinggian muka air sungai, danau dan air tanah,
sehingga kekeringan hidrologis bukan merupakan gejala awal terjadinya
kekeringan. Intensitas kekeringan hidrologis dikelompokkan menjadi:
a. Kering: apabila debit sungai mencapai periode ulang aliran di bawah
periode 5 tahunan.
b. Sangat Kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang aliran jauh
di bawah periode 25 tahunan.
c. Amat Sangat Kering: apabila debit air sungai mencapai periode ulang
aliran amat jauh di bawah periode 50 tahunan.
3. Kekeringan Pertanian berhubungan dengan berkurangnya kandungan air
dalam tanah (lengas tanah) sehingga tak mampu lagi memenuhi kebutuhan air
bagi tanaman pada suatu periode tertentu. Kekeringan ini terjadi setelah
terjadinya gejala kekeringan meteorologis, yaitu berkurangnya cadangan air
tanah, perbedaan antara evapotranspirasi aktual dan potensial, kekurangan air

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
17

tanah (Encyclopedia of World Climatology, 2005:339). Intensitas kekeringan


pertanian dikelompokkan sebagai berikut:
a. Kering: apabila 1/4 daun kering dimulai pada ujung daun (terkena ringan
s/d sedang).
b. Sangat Kering: apabila 1/4-2/3 daun kering dimulai pada bagian ujung
daun (terkena berat).
c. Amat Sangat Kering: apabila seluruh daun kering (puso).
4. Kekeringan Sosial Ekonomi berhubungan dengan berkurangnya pasokan
komoditi yang bernilai ekonomi dari kebutuhan normal sebagai akibat dari
terjadinya kekeringan meteorologis, pertanian dan hidrologis. Intensitas
kekeringan sosial ekonomi diklasifikasikan berdasarkan ketersediaan air
minum atau air bersih sebagai berikut:
1. Kering Langka Terbatas: apabila ketersediaan air (dalam liter/orang/hari)
> 30 dan < 60, air mencukupi untuk minum, memasak, mencuci alat
masak/makan, tetapi untuk mandi terbatas, sedangkan jarak dari sumber
air 0.1 – 0.5 Km.
2. Kering Langka: apabila ketersediaan air (dalam liter/orang/hari) > 10 dan
< 30, air hanya mencukupi untuk minum, memasak, dan mencuci alat
masak/makan, sedangkan jarak dari sumber air 0.5 – 3.0 Km.
3. Kering Kritis: apabila ketersediaan air (dalam liter/orang/hari) < 10, air
hanya mencukupi untuk minum dan memasak, sedangkan jarak dari
sumber air >3.0 Km.

2.7 Metode Penentuan Kekeringan


Terjadinya kekeringan meteorologis menjadi indikasi awal terjadinya
kekeringan di suatu daerah. Kejadian kekeringan dapat dihitung tingkatannya
dengan beberapa metode. Metode penentuan kekeringan dapat menggunakan
metode de Boer, Metode Standardized Precipitation Index (SPI), dan Metode Hari
Tanpa Hujan (HTH). Perbedaan metode dapat menghasilkan variasi pola spasial
kekeringan di suatu daerah karena memiliki syarat yang berbeda pula.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
18

2.7.1 Metode de Boer


Variabilitas jumlah hujan dan variabilitas waktu datangnya hujan memiliki
hubungan yang erat. Kedua hal tersebut penting, namun paling penting adalah
variabilitas waktu, sehubungan dengan kapan musim hujan tiba. Pertanyaan itulah
yang lebih sering didengar, terutama dari kalangan petani, mengingat “musim
segar” (Sandy, 1987:42).
Masa segar merupakan masa atau jangka waktu tersedianya air di dalam tanah
yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman (Sandy, 1996:47). Di daerah seperti
Indonesia, air menjadi unsur yang penting bagi tanaman untuk hidup dan
bertumbuh dibandingkan suhu. Hal itu selanjutnya akan membawa kita pada
usaha untuk menentukan mulainya musim hujan dan mulainya musim kemarau.
Usaha menentukan awal dan akhir musim kemarau dilakukan di Pulau Jawa dan
Madura oleh de Boer pada tahun 1947.
Berdasarkan klasifikasi de Boer, jumlah curah hujan dalam satu dasarian
kurang dari 50 milimeter akan dikategorikan kering, dan jumlah curah hujan
dalam satu dasarian lebih dari 50 milimeter akan dikategorikan basah. Semakin
banyak jumlah bulan kering, maka potensi terjadinya kekeringan semakin besar.
Dari klasifikasi tersebut, dapat dikategorikan kembali dalam pengolahan data
untuk kelas sangat kering, kering, agak kering, normal, agak basah dan basah
berdasarkan jumlah curah hujan dalam satu dasarian. Penerapan metode de Boer
hanya dilakukan dalam skala lokal, yaitu di Indonesia.

2.7.2 Metode Standardized Precipitation Index (SPI)


Pada tahun 1992 di Colorado, McKee et al mengembangkan perhitungan
indeks kekeringan meteorologis dengan menggunakan metode Standardized
Precipitation Index (SPI). Hasil penelitian mereka untuk pertama kali
dipresentasikan di 8th Conference on Applied Climatology, Januari 1993. Basis
indeks dibangun berdasarkan hubungan frekuensi, durasi dan skala waktu
kekeringan. Kekeringan yang dimaksud dalam metode SPI adalah berdasarkan
curah hujan standarnya. Standardized Precipitation Index (SPI) hanyalah
perbedaan rata-rata curah hujan untuk jangka waktu tertentu dibagi dengan

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
19

standar deviasi. Adapun rata-rata dan standar deviasi ditentukan dari data
sebelumnya (McKee, 1993:1).
Nilai SPI dihitung menggunakan metode statistik probabilistik distribusi
gamma untuk melihat hubungan probabilitas curah hujan (McKee, 1993:2).
Periode perhitungan dalam skala waktu yang panjang, yaitu 1 sampai 36 bulan
atau lebih lama lagi. SPI dapat dihitung paling sedikit dari 20 tahun agar layak,
tetapi idealnya periode data minimal 30 tahun, meskipun terdapat data yang
hilang/ tidak tercatat. Metode ini merupakan model untuk mengetahui dan
memonitoring kekeringan, menentukan penyimpangan curah hujan terhadap
normalnya dalam suatu periode waktu yang panjang. Penyimpangan terhadap
normalnya bisa bernilai positif (kering) atau negatif (basah), sehingga dalam
periode perhitungan dapat diketahui periode kering dan periode basahnya
(McKee, 1993:2). Metode SPI lebih sederhana daripada metode Palmer Drought
Severity Index (PDSI) dalam penentuan kekeringan (BMKG, 2015:2).
Kemampuan SPI harus dihitung pada berbagai skala waktu untuk beberapa
aplikasi. Nilai SPI selama 3 bulan atau kurang berguna untuk pemantauan
kekeringan dasar. Nilai SPI selama 6 bulan atau kurang berguna untuk
pemantauan dampak kekeringan pertanian. Nilai SPI selama 12 bulan atau lebih
berguna untuk pemantauan dampak kekeringan hidrologi. Skala nilai SPI dibagi
menjadi 7 kelas (Tabel 2.1) menurut Mc Kee.

Tabel 2.1. Klasifikasi Skala Nilai SPI Menurut Mc Kee.


No Nilai SPI Klasifikasi
1. ≤ - 2,00 Sangat Kering
2. -1,50 s/d -1,99 Kering
3. -1,00 s/d -1,49 Agak Kering
4. -0,99 s/d 0,99 Normal
5. 1,00 s/d 1,49 Agak Basah
6. 1,50 s/d 1,99 Basah
7. ≥ 2,00 Sangat Basah
Sumber: Mc Kee (1993:2).

Tahun 2009, World Meteorological Organization (WMO) sebagai suatu


Badan Meteorologi Dunia menganjurkan kepada semua badan meteorologi dan
hidrologi nasional untuk menggunakan metode SPI dalam memonitor tingkat

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
20

kekeringan (IDMP, 2014:1). WMO memberikan arahan bagi negara-negara untuk


membangun peringatan dini kekeringan menggunakan SPI. Arahan tersebut
diterima BMKG sebagai badan meteorologi di Indonesia. Sampai saat ini BMKG
menggunakan metode SPI untuk memonitoring tingkat kekeringan di Indonesia.
Alasannya, metode SPI memiliki beberapa kelebihan (IDMP, 2014:1),
diantaranya:
1. Cukup menggunakan data curah hujan bulanan.
2. SPI dapat digunakan untuk membandingkan tingkat kekeringan antar
wilayah meskipun dengan jenis iklim yang berbeda.
3. Indeks dari SPI ini digunakan untuk menentukan anomali kekeringan yang
saat ini terjadi.
4. SPI dapat digunakan untuk periode 1-36 bulan.

2.7.3 Metode Hari Tanpa Hujan (HTH)


Pada tahun 2014, BMKG mengembangkan metode penentuan musim kemarau
untuk Indonesia. Mengacu pada ketentuan kekeringan menurut World
Meteorological Organization (WMO), BMKG mengembangkan metode yang
disebut Hari Tanpa Hujan. Sebelumnya, Sandy telah membahas mengenai hari
tanpa hujan berturut-turut. Dia menyatakan, “Apabila 60 hari berturut-turut tidak
ada hujan turun, tanaman musiman di Indonesia mati. Apabila 30 hari berturut-
turut tidak ada hujan turun, biasanya di daerah-daerah pantai-rawa air minumnya
bergantung pada air sungai,” (Sandy, 1996:48). Tentu musim di Indonesia tidak
seragam untuk seluruh wilayah. Bagi tempat-tempat seperti Pontianak,
Palembang, Tembilahan, 30 hari berturut-turut tanpa hujan sudah berarti kemarau
panjang. Berbeda dari tempat itu, pedalaman Jawa Barat dianggap mengalami
kemarau panjang jika 60 hari berturut-turut tanpa hujan.
Sebagian besar rakyat Indonesia adalah petani. Bagi mereka musim menjadi
hal yang sangat penting untuk mengetahui kapan waktu tanam yang tepat.
Sebelum diperkenalkannya cara-cara pengamatan iklim modern, rakyat Indonesia
mengamati iklim berdasarkan jalan bintang Wuluku (Sandy, 1996:48). Seiring
berkembangnya cara modern tersebut, BMKG pun berusaha mengembangkan

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
21

metode hari tanpa hujan untuk membantu petani dalam pengamatan iklim untuk
waktu tanam.
Pengamatan hari tanpa hujan didasarkan pada tanggal updating dan dianalisis
ke belakang sampai dengan didapat hari hujan. Hari tanpa hujan berturut-turut
dihitung dari hari terakhir pengamatan. Hasilnya, jika hari terakhir tidak hujan,
maka dihitung sesuai dengan kriteria, sedangkan jika hari terakhir pengamatan ada
hujan (≥ 1 mm) langsung dikategorikan Hari Hujan (HH) (BMKG, 2015:2).
HTH berturut-turut adalah jumlah dari hari kering (hari tanpa ada hujan)
berurutan yang tidak diselingi oleh hari basah (hari hujan). Jumlah hari tanpa
hujan menjadi dasar dalam penentuan tingkat kekeringan (Tabel 2.2). Semakin
banyak jumlah hari kering berturut-turut maka semakin tinggi tingkat kekeringan
di suatu wilayah.

Tabel 2.2. Klasifikasi Hari Tanpa Hujan menurut BMKG.


No. Jumlah Hari Tanpa Hujan Klasifikasi
1. 1–5 Sangat Pendek
2. 6 – 10 Pendek
3. 11 – 20 Menengah
4. 21 – 30 Panjang
5. 31 – 60 Sangat Panjang
6. >60 Kekeringan Ekstrim
Sumber: BMKG (2015:2).

2.8 Ordinary Kriging


Menurut Childs (2004:34), metode Kriging adalah estimasi stokhastik yang
mirip dengan IDW. Stokhastik adalah kebolehjadian yang hanya dapat ditentukan
distribusi frekuensinya. Kejadian stokhastik tidak dapat ditentukan fungsinya
dengan pasti, namun hanya berupa kisaran fungsi yang nilainya belum dapat
ditetapkan. Selain menggunakan estimasi stokhastik, metode ini menggunakan
kombinasi linear dari weight untuk memperkirakan nilai diantara sampel data.
Metode ini ditemukan oleh D.L. Krige untuk memperkirakan nilai dari bahan
tambang. Pada penerapannya, Kriging di bawah asumsi kestasioneran dalam rata-
rata (0) dan varians ( ), sehingga jika asumsi kestasioneran tersebut dilanggar
maka Kriging menghasilkan nilai prediksi yang kurang presisif. Asumsi dari

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
22

metode ini adalah jarak dan orientasi antara sampel data menunjukkan korelasi
spasial yang penting dalam hasil interpolasi. Tidak seperti metode IDW, Kriging
memberikan ukuran error dan confidence. Metode ini menggunakan
semivariogram ɣ(h) yang merepresentasikan perbedaan spasial dan nilai diantara
semua pasangan sampel data. Semivariogram ɣ(h) dihitung sebagai setengah rata-
rata perbedaan kuadrat data komponen.
Ordinary Kriging adalah salah satu metode Kriging yang paling umum.
Metode ini adalah metode geostatistika yang digunakan untuk memprediksi data
di lokasi tertentu. Metode ini merupakan interpolasi suatu nilai peubah di suatu
titik tertentu yang dilakukan dengan mengamati data sejenis di lokasi lainnya
(Rachmawati, 2009:10). Ordinary Kriging menduga suatu variabel di suatu titik
tertentu dilakukan dengan mengamati data yang sejenis di suatu daerah.
Metode Ordinary Kriging merupakan metode kriging yang menghasilkan
estimator yang bersifat Best Linear Unbiased Estimator (BLUE). Hal tersebut
berarti mempunyai variansi terkecil dibanding estimator lain, atau memberikan
penaksiran linear tak bias terbaik. Data yang digunakan dalam metode Ordinary
Kriging merupakan data spasial dengan rata-rata populasi tidak diketahui dan
asumsi bersifat stasioner (Kurniati, B. 2007:5).
Menurut Burrough, McDonnell dan Lloyd (1998), terdapat berbagai model
semivariance yang dapat digunakan dalam Ordinary Kriging. Setiap model
memiliki formula yang berbeda. Pilihan model ini ditentukan oleh bentuk
variogram eksperimental. Beberapa model tersebut adalah spherical, circular,
exponential, guassian dan linear (Gambar 2.3). Model spherical digunakan ketika
variogram memiliki bentuk ‘klasik’, model exponential digunakan ketika
pendekatan ke ambang batas bertahap, model Gaussian lebih tepat digunakan
ketika nilainya kecil dan variasi nilainya sangat halus, dan model linear paling
tepat digunakan dalam data yang tidak memiliki ambang batas. Pada gambar 2.4
terlihat bahwa pola spasial curah hujan rata-rata tahunan model spherical sangat
mirip dengan model circular. Menggunakan model exponential pola spasial curah
hujan rata-rata tahunan >3.000 mm di bagian tenggara berbeda dari model
lainnya. Pola spasial curah hujan rata-rata tahunan 2.500-3.000 mm menggunakan
model Gaussian terlihat lebih luas dibanding model lainnya, sedangkan

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
23

menggunakan model linear perbedaan pola spasial terjadi dengan curah hujan
2.000 – 3.000 mm. Dalam penelitian ini, digunakan model semivariogram
spherical untuk data curah hujan karena dicirikan dengan kaitan antara curah
hujan dengan ketinggian.

Gambar 2.3. Perbandingan Pola Spasial Curah Hujan Rata-Rata Tahunan 1990-
2015 Berdasarkan Model Semivarian Metode Kriging di Probolinggo Jawa Timur.
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Model spherical dapat ditulis sebagai berikut:


(2.1)

Dimana ɣ(h) adalah semivariogam spherical dengan jangkauan ɑ dan ambang


batas S untuk perbedaan jarak h.

2.9 Penelitian Terdahulu


Penelitian yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Morid, et.al
(2006) dengan judul “Comparison of Seven Meteorological Indices for Drought

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
24

Monitoring in Iran” di Tehran, Iran. Tujuan penelitian ini untuk membandingkan


kinerja dan mengevaluasi penerapan beberapa indeks kekeringan yang berbasis
curah hujan di Tehran, Iran. Hasil penelitian adalah metode SPI, CZI, Z-Score
menunjukkan kesamaan dalam hal penentuan kekeringan dan merespon lambat
terhadap kejadian kekeringan; metode DI menunjukkan perubahan yang cepat
terhadap kejadian kekeringan, namun memiliki variasi spasial dan temporal yang
tidak konsisten; metode SPI dan EDI merupakan metode yang cocok untuk
mendeteksi kekeringan, variasi spasial dan temporal yang konsisten dan
direkomendasikan untuk monitoring kekeringan tingkat Provinsi. Namun, metode
EDI lebih responsif terhadap kejadian kekeringan dan menunjukkan kinerja yang
baik.
Penelitian yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Utami (2013)
dengan judul “Prediksi Kekeringan Berdasarkan Standardized Precipitation Index
(SPI) Pada Daerah Aliran Sungai Keduang di Kabupaten Wonogiri” di
Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui indeks kekeringan
dengan menggunakan metode Standardized Precipitation Index (SPI) di DAS
Keduang, (2) mengetahui indeks ketajaman kekeringan berdasarkan metode SPI,
(3) mengetahui prediksi data hujan dan kekeringan pada tahun 2012-2015. Metode
penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif. Hasil menunjukkan bahwa
pada tahun 2012-2013 tidak mengalami kondisi Sangat Kering. Pada prediksi
kekeringan DAS Keduang untuk tahun 2014-2015 mengalami kondisi Sangat
Kering pada bulan Juli, kondisi Kering pada bulan Juni dan Agustus. Prediksi
kekeringan pada tahun 2012-2015 mengalami kondisi Kering dengan nilai indeks
kekeringan SPI antara -1,0 sampai -1,49.
Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Zulfiana
(2011)dengan judul “Studi Perbandingan Prediksi Kekeringan Menggunakan
Metode Desil dan SPI di DAS Brangkal-Jawa Timur”di DAS Brangakal-Jawa
Timur. Tujuan penelitian ini untuk memprediksi kekeringan meteorologi secara
temporal dan spasial di DAS Brangkal sebagai strategi penentuan pola tata tanam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode SPI lebih sesuai dalam menganalisis
kekeringan meteorologi daripada metode Desil untuk penentuan pola tata tanam.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Daerah Penelitian


Penelitian dilakukan di Probolinggo yang merupakan salah satu Kabupaten
dan Kota di Provinsi Jawa Timur. Secara administrasi Probolinggo terletak di
bagian pesisir utara Provinsi Jawa Timur (Peta 1. Administrasi Probolinggo, Jawa
Timur). Terdapat enam kabupaten yang bersebelahan dengan Probolinggo, yaitu
Kabupaten Pasuruan, Kabupaten Malang, Kabupaten Lumajang, Kabupaten
Jember, Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Situbondo.
Probolinggo merupakan wilayah yang memiliki ketinggian dan curah hujan
yang beragam. Wilayah Probolinggo terletak di ketinggian 0 – 2.500 m di atas
permukaan laut. Ketinggian yang beragam ini, mengindikasikan distribusi curah
hujan yang beragam.Secara umum kondisi curah hujan Probolinggo tidak merata
sepanjang tahun. Pada bulan November hingga Juni, Probolinggo memasuki
musim penghujan dengan jumlah curah hujan terbanyak terjadi di bulan
Januari.Pada bulan Juli hingga Oktober, Probolinggo memasuki musim kemarau
yang ditandai dengan sedikitnya jumlah curah hujan tiap bulan bahkan selama
bulan Agustus, September, dan Oktober tidak terjadi hujan di Probolinggo, yang
menyebabkan bencana kekeringan (BPS Kabupaten dan Kota Probolinggo Tahun
2015).

3.2 Alur Pikir Penelitian


Alur pikir penelitian dalam gambar 3.1 menunjukkan bahwa penelitian ini
mencoba menganalisis pola spasial kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur
dengan variabel curah hujan sebagai variabel utamanya. Data curah hujan yang
digunakan selama periode 1990-2015 dari 55 stasiun curah hujan yang tersebar di
Probolinggo. Data curah hujan tiap stasiun curah hujan diolah untuk menentukan
kekeringan menggunakan tiga metode, yaitu metode de Boer, metode
Standardized Precipitation Index (SPI) dan metode Hari Tanpa Hujan (HTH).
Tiap metode menghasilkan tingkat kekeringan tiap stasiun curah hujan. Hasil
tingkat kekeringan tiap stasiun tersebut kemudian diinterpolasi menggunakan
25

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
26

metode Ordinary Kriging, sehingga diperoleh pola spasial kekeringan masing-


masing metode, yaitu pola spasial kekeringan menggunakan de Boer, pola spasial
kekeringan menggunakan SPI dan pola spasial kekeringan menggunakan HTH.
Setelah mendapatkan hasil pola spasial kekeringan menggunakan ketiga
metode tersebut kemudian dibandingkan. Pola spasial kekeringan de Boer dan
SPI dibandingkan dengan analisis overlay sehingga diperoleh perbandingan pola
spasial kekeringan de Boer dan SPI. Hasil perbandingan tersebut dianalisis secara
spasial dengan wilayah ketinggian Probolinggo untuk memperoleh perbandingan
pola spasial kekeringan de Boer dan SPI berdasarkan wilayah ketinggian. Pola
spasial kekeringan metode de Boer dan HTH dibandingkan pula dengan analisis
overlay sehingga diperoleh perbandingan pola spasial kekeringan de Boer dan
HTH. Hasil perbandingan dianalisis secara spasial dengan wilayah ketinggian
Probolinggo untuk memperoleh perbandingan pola spasial kekeringan de Boer
dan HTH berdasarkan wilayah ketinggian. Begitu pula dengan pola spasial
kekeringan SPI dan HTH. Kedua pola spasial kekeringan tersebut dibandingkan
dengan analisis overlay, dan hasil perbandingannya dianalisis dengan wilayah
ketinggian untuk mengetahui perbandingan pola spasial kekeringan SPI dan HTH
berdasarkan wilayah ketinggian.
Pola spasial kekeringan ketiga metode juga dikaitkan dengan faktor
pembentuk hujan. Dalam penelitian ini faktor pembentuk hujan yang digunakan
adalah faktor wilayah ketinggian, arah angin dan arah hadapan lereng. Pola
spasial kekeringan de Boer, SPI dan HTH dianalisis secara visual bagaimana
kesesuaian pola spasial kekeringan yang dihasilkan tiap metode. Hal tersebut
dilakukan untuk memperoleh perbandingan pola spasial kekeringan de Boer, SPI
dan HTH berdasarkan faktor pembentuk hujan. Pola spasial kekeringan metode
de Boer, SPI dan HTH yang telah dibandingkan akan menghasilkan perbandingan
pola spasial kekeringan penerapan metode penentuan kekeringan di Probolinggo,
Jawa Timur.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
27

Probolinggo

Curah Hujan Periode 1990 - 2015

Penentuan Kekeringan Penentuan Kekeringan Metode Penentuan Kekeringan Metode


Metode de Boer Standardized Precipitation Index (SPI) Hari Tanpa Hujan (HTH)

Pola Spasial Kekeringan Menggunakan de Boer


Pola Spasial Kekeringan Menggunakan SPI
Pola Spasial Kekeringan Menggunakan HTH

Wilayah Arah Arah


Ketinggian Angin Hadapan Perbandingan Pola Perbandingan Pola Perbandingan Pola
Lereng Spasial Kekeringan Spasial Kekeringan de Spasial Kekeringan
de Boer & SPI Boer & HTH SPI & HTH

Perbandingan Pola Spasial Kekeringan Perbandingan Pola Spasial Perbandingan Pola Spasial Perbandingan Pola Spasial
de Boer, SPI & HTH Berdasarkan Kekeringan de Boer & SPI Kekeringan de Boer & HTH Kekeringan SPI & HTH
Ketinggian, Arah Angin dan Arah Berdasarkan Wil. Ketinggian Berdasarkan Wil. Ketinggian Berdasarkan Wil. Ketinggian
Hadapan Lereng

Perbandingan Pola Spasial Penerapan Metode Penentuan Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur

Gambar 3.1. Alur Pikir Penelitian.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
28

3.3 Alur Kerja Penelitian


Dalam penelitian ini, terdapat 5 tahap yang perlu dilakukan untuk dapat
menjawab rumusan masalah dan mencapai kesimpulan penelitian (Gambar 3.2).
Tahap dalam alur kerja penelitian dilakukan secara berurutan atau secara
sistematik. Tahapan pertama dimulai dari persiapan pra survei yang terdiri atas
tiga bagian, yaitu menentukan topik penelitian, rumusan masalah, metodologi
penelitian, studi literatur dan membuat peta kerja. Studi literatur bertujuan untuk
mendapatkan kajian teori dan pemahaman mengenai topik penelitian, dan
menambah pengetahuan dari penelitian terdahulu. Pembuatan peta kerja
dilakukan dengan mengolah data sekunder yang didapat sebelumnya, dan
penentuan titik stasiun curah hujan yang akan di survei.
Tahapan pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data sekunder, survei
lapang, mendokumentasikan kondisi daerah penelitian, dan inventarisasi data.
Data sekunder diperoleh dengan cara mendatangi beberapa instansi, diantaranya
Dinas Pengairan Kabupaten Probolinggo, Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Bidang
Pengairan Kota Probolinggo, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten dan
Kota Probolinggo, dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Kabupaten dan Kota Probolinggo dengan menyerahkan surat permohonan
datanya. Survei lapang bertujuan untuk memvalidasi dan melihat kondisi
beberapa stasiun curah hujan di Probolinggo. Inventarisasi data bertujuan untuk
mengetahui kelengkapan data sekunder yang sudah diperoleh sehingga dapat
menentukan data yang bisa digunakan dalam penelitian.
Tahapan berikutnya, yaitu pengolahan data yang sudah diperoleh dan
penjabaran hasil. Penentuan stasiun curah hujan yang digunakan berdasarkan
hasil inventarisasi data, memasukkan data sekunder dalam bentuk tabular sesuai
dengan kebutuhan format perhitungan ketiga metode. Pengolahan data tabular
metode penentuan kekeringan menggunakan software Microsoft Excel, dan
pengolahan data spasial menggunakan software ArcGIS. Interpolasi tingkat
kekeringan masing-masing metode menggunakan metode interpolasi Kriging.
Tahapan keempat yaitu analisis data yang terdiri atas analisis spasial, temporal
dan deskriptif komparatif. Selanjutnya masuk ke tahapan hasil, yaitu visualisasi

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
29

hasil menggunakan tabel/grafik/peta/alat bantu lainnya, serta membuat


kesimpulan dari hasil penelitian yang didapat.

1. Menentukan topik penelitian,


Persiapan Pra Survei rumusan masalah, metodologi.
2. Studi literatur
3. Membuat peta kerja

1. Mengumpulkan data sekunder dari


instansi terkait:
 Data Curah Hujan 1990-2015
 Titik Stasiun Curah Hujan
 Data Administrasi
Pengumpulan Data  Data Topografi 2013
 Peta Arah Angin 2000-2015
2. Survei Lapang
3. Mendokumentasikan kondisi daerah
penelitian
4. Inventarisasi Data

1. Penentuan Stasiun Curah Hujan


yang digunakan
2. Input data sekunder dalam bentuk
Pengolahan Data tabular.
3. Pengolahan data hasil survei dengan
tiap metode penentuan kekeringan
4. Pengolahan data spasial kekeringan
(interpolasi Kriging dan overlay)

1. Analisis spasial & temporal


Analisis 2. Analisis deskriptif dan komparatif

1. Membuat visualisasi hasil penelitian


dengan tabel/grafik/peta/alat bantu
lainnya.
Hasil
2. Penarikan kesimpulan

Gambar 3.2. Alur Kerja Penelitian.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
30

3.4 Pengumpulan Data


Variabel dan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini dijabarkan dalam
tabel 3.1. Variabel curah hujan merupakan variabel utama yang digunakan untuk
menentukan kekeringan berdasarkan metode de Boer, SPI dan HTH. Data curah
hujan yang digunakan adalah data curah hujan harian di 55 stasiun curah hujan
selama 26 tahun di Probolinggo. Variabel ketinggian, lereng dan arah angin
digunakan untuk membantu analisis karakteristik persebaran kekeringan secara
spasial di Probolinggo.

Tabel 3.1. Pengumpulan Data Penelitian.


Variabel dan Data Jenis Data Sumber Data
Curah Hujan periode Curah hujan harian
BMKG Karangploso
1990 - 1999 dalam bentuk softcopy
Curah hujan harian Dinas Pengairan Kabupaten
Curah Hujan periode dalam bentuk softcopy Probolinggo dan DPU
2000 - 2015 Bidang Pengairan Kota
Probolinggo
Titik koordinat stasiun Dinas Pengairan Kabupaten
curah hujan dalam Probolinggo dan DPU
Stasiun Curah Hujan
bentuk softcopy Bidang Pengairan Kota
Probolinggo
Shapefile Administrasi BPN Kabupaten dan Kota
Administrasi
Probolinggo
DEM (Digital
Badan Informasi Geospasial
Ketinggian Elevation Model)
(BIG)
Tahun 2015
DEM (Digital
Arah Hadapan Badan Informasi Geospasial
Elevation Model)
Lereng (BIG)
Tahun 2015
Peta Arah Angin se Pusat Penelitian dan
Arah Angin 2000- Indonesia dalam Pengembangan Sumber
2015 bentuk softcopy Daya Laut dan Pesisir
(P3SDLP)
Sumber: Analisa Penulis, 2016.

3.4.1 Survei Lapang


Dalam mencapai tujuan penelitian diperlukan survei/ verifikasi data di lapang
agar peneliti mengetahui kondisi di lapang. Survei lapang ini dimaksudkan untuk
validasi data sebaran stasiun hujan di Probolinggo, mendokumentasikan kondisi
daerah penelitian (Lampiran 13. Dokumentasi Survei Lapang), dan meminta data

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
31

yang dibutuhkan ke instansi terkait. Peralatan yang digunakan adalah HP yang


memiliki sistem GPS (Global Positioning System), peta kerja, kamera digital, dan
alat tulis. Survei lapangan dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada tanggal 18-19
November 2015 dan bulan 14 – 18 Maret 2016.

3.4.2 Inventarisasi Data


Inventarisasi adalah pencatatan atau pendaftaran data tentang data itu sendiri
(Kamus Besar Bahasa Indonesia). Inventarisasi data dilakukan guna mengetahui
kelengkapan data dari setiap variabel. Inventarisasi data dalam penelitian ini
mengenai kelengkapan data curah hujan tiap stasiun curah hujan berdasarkan
jumlah data tiap tahunnya, letak tiap stasiun curah hujan berdasarkan kecamatan
dan desa, dan beberapa foto stasiun curah hujan yang sudah di survei.
Langkah-langkah inventarisasi data adalah sebagai berikut:
1. Membuat folder data curah hujan yang berisi 26 file Ms. Excel. Setiap file
mewakili satu tahun data curah hujan.
2. Merapihkan data curah hujan sesuai dengan format yang diperlukan
berdasarkan stasiun curah hujan.
3. Menghitung kelengkapan data tiap tahun dari 55 stasiun curah hujan yang
digunakan.
4. Membuat klasifikasi data berdasarkan jumlah bulan (Tabel 3.2). Data
dikatakan lengkap dalam satu tahun jika jumlah bulan masuk dalam kelas 5
dan 6.

Tabel 3.2. Klasifikasi Jumlah Data Curah Hujan.


Kelas Jumlah Bulan
1 0-2
2 3-4
3 5-6
4 7-8
5 9 - 10
6 11 - 12
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

5. Membuat rekap hasil dalam bentuk tabel berdasarkan jumlah tahunnya.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
32

6. Membuat rekap letak tiap stasiun curah hujan dengan penjelasan koordinat,
kecamatan, desa, dan ketinggian yang telah di survei dan yang diperoleh dari
Dinas Pengairan Kabupaten Probolinggo dan DPU Bidang Pengairan Kota
Probolinggo. Koordinat titik stasiun curah hujan yang di survei diperoleh
menggunakan handphone yang sudah terhubung dengan koneksi internet agar
dapat melakukan plotting GPS kemudian pengambilan gambar stasiun curah
hujan dan kondisi lapang.

3.5 Stasiun Curah Hujan


Jumlah stasiun curah hujan yang tersebar di Probolinggo adalah 58 stasiun.
Tiga diantaranya tidak digunakan dalam penelitian ini karena terdapat lebih dari
13 tahun data yang kosong (50% dr 26 tahun). Stasiun curah hujan yang
digunakan dalam penelitian ini sebanyak 55 stasiun. Stasiun curah hujan milik
Dinas Pengairan Kabupaten Probolinggo sebanyak 51 stasiun, dan 4 stasiun milik
Dinas PU Bidang Pengairan Kota Probolinggo.
Lokasi stasiun curah hujan cukup menyebar di seluruh daerah Probolinggo
(Peta 6. Sebaran Stasiun Curah Hujan Probolinggo, Jawa Timur). Berdasarkan
ketinggian, 28 stasiun curah hujan berada di ketinggian < 100 m di atas
permukaan laut, 19 stasiun curah hujan berada di ketinggian 100 - 500 m di atas
permukaan laut, 8 stasiun curah hujan berada di ketinggian 500 - 1.000 m di atas
permukaan laut, dan 3 stasiun curah hujan berada di ketinggian > 1.000 m di atas
permukaan laut. Lokasi stasiun yang berada di ketinggian lebih dari 1.000 m di
atas permukaan laut, yaitu Stasiun Sapeh, Stasiun Ngadisari, dan Stasiun Gemito
dua diantaranya tidak digunakan. Stasiun Ngadisari dengan ketinggian 1.890
mdpl yang berada di Desa Ngadirejo, Kecamatan Sukapura merupakan stasiun
curah hujan yang terletak paling tinggi, sedangkan stasiun Bayeman di Desa
Sumendi, Kecamatan Tongas dan stasiun Kandang Jati di Desa Randujalak,
Kecamatan Besuk merupakan stasiun curah hujan yang terletak paling rendah
dengan ketinggian 8 mdpl.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
33

3.6 Pengolahan Data


3.6.1 Penentuan Stasiun Curah Hujan yang Digunakan
Penentuan stasiun curah hujan yang digunakan dilakukan setelah inventarisasi
data selesai. Stasiun curah hujan yang digunakan adalah stasiun yang memiliki
kelengkapan data ≥ 13 tahun (50%) dari jumlah tahun yang digunakan. Stasiun
curah hujan yang ada di Probolinggo berjumlah 58 stasiun curah hujan. Stasiun
curah hujan yang memenuhi persyaratan sebanyak 55 stasiun, sedangkan 3
stasiun curah hujan tidak memenuhi persyaratan yang berada di Probolinggo
bagian barat daya (Lampiran 1. Inventarisasi Data Curah Hujan 1990-2015 di
Probolinggo, Jawa Timur.).

3.6.2 Input Data Sekunder


Data curah hujan harian diinput untuk membuat database dalam perangkat
lunak Microsoft Excel 2016.Semua data curah hujan yang telah diperoleh diinput
dalam file Ms. Excel yang berbeda-beda sesuai metode de Boer, SPI dan HTH.
Setiap file terdiri dari 55 sheet sesuai jumlah stasiun curah hujannya. Format
tabular disesuaikan agar mudah dalam pengolahan tiap metodenya.

3.6.3 Pengolahan Data Tabular


Pengolahan data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggabungkan data yang telah terkumpul dan diinput sebelumnya. Tiap metode
dipisahkan dokumen pengolahannya. Data curah hujan diolah dengan beberapa
cara pengolahan data sesuai dengan metode penentuan kekeringan yaitu, metode
de Boer, Metode Standardized Precipitation Index (SPI), dan Metode Hari Tanpa
Hujan.

3.6.3.1 Pengolahan Data Metode de Boer


1. Pengolahan data dilakukan di 55 stasiun curah hujan. Data curah hujan harian
diolah tiap tahun terlebih dahulu kemudian dihitung rata-rata tingkat
kekeringan dari tahun 1990-2015 untuk memperoleh data rata-rata tahunan.
2. Data curah hujan harian tiap tahunnya diolah menjadi data 10 harian
(dasarian). Satu bulan terdapat 3 dasarian, sehingga dalam satu tahun terdapat

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
34

36 dasarian. Dasarian I merupakan data curah hujan tanggal 1-10, Dasarian II


tanggal 11-20, dan Dasarian III tanggal 21-28/29 untuk bulan Februari dan
tanggal 30/31 untuk bulan selain Februari.
3. Hitung rata-rata tahunannya untuk penentuan durasi rata-rata tahunan musim
kemarau per stasiun dalam bentuk tabular.
4. Menentukan bulan basah yang ditetapkan berdasarkan jumlah curah hujan
dalam satu dasarian (10 hari) lebih dari 50 milimeter dan diikuti oleh
beberapa dasarian berikutnya. Durasi musim hujan dihitung dari awal
dasarian bulan basah sampai awal bulan kering.
5. Menentukan bulan kering yang ditetapkan berdasarkan jumlah curah hujan
dalam satu dasarian (10 hari) kurang dari 50 milimeter dan diikuti oleh
beberapa dasarian berikutnya. Durasi musim kemarau dihitung dari awal
dasarian bulan kering sampai awal bulan basah.
6. Data dasarian dihitung jika data harian lengkap dan data kosong tidak lebih
dari 3 hari. Ketentuan 3 hari tersebut mengikuti ketentuan dari BMKG dalam
perhitungan jumlah curah hujan dalam satu dasarian.
7. Analisis temporal yang digunakan adalah analisis bulanan. Nilai curah hujan
bulanan didapat dari hasil rata-rata tiga dasarian dari bulannya. Nilai rata-rata
curah hujan yang mewakili satu bulan tersebut menentukan kelas kekeringan.
Nilai rata-rata curah hujan dalam tiga dasarian dan pembagiannya dapat
dilihat dalam Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Klasifikasi Kekeringan Metode de Boer.


No Rata-Rata CH dalam Tiga Dasarian (mm) Keterangan
1. 0 – 10 Sangat Kering
2. 10 – 30 Kering
3. 30 – 50 Agak Kering
4. 50 – 70 Normal
5. 70 – 90 Agak Basah
6. > 90 Basah
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

8. Hasil akhir perhitungan nilai curah hujan bulan Januari sampai Desember dari
55 stasiun curah hujan dimasukkan dalam satu tabel akhir.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
35

3.6.3.2 Pengolahan Data Metode Standardized Precipitation Index (SPI)


1. Pengolahan data dilakukan di 55 stasiun curah hujan. Data curah hujan harian
dijumlah tiap bulannya, kemudian hasilnya dirata-ratakan dari tahun 1990-
2015 untuk memperoleh data rata-rata tahunan.
2. Perhitungan SPI.
Perhitungan data curah hujan untuk mengetahui indeks kekeringan. Rumus
matematis SPI yang menggunakan metode statistik probabilistik distribusi
gamma disederhanakan dengan persamaan sebagai berikut (Utami, D., dkk,
2013, 223):

(3.1)

dimana
= Peubah Z, tahun ke i bulan ke j

= hujan bulanan tahun ke i bulan ke j

= hujan bulan j, rata-rata

= simpangan baku bulan

Dengan simpangan baku:


(3.2)

Keterangan:
= data curah hujan
= jumlah rata-rata curah hujan
= jumlah data

3. Analisis temporal yang digunakan adalah analisis bulanan, sehingga


perhitungan SPI dilakukan dalam waktu satu bulan selama 26 tahun. Setelah
melakukan perhitungan, maka diperoleh indeks SPI tiap bulan.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
36

Tabel 3.4. Klasifikasi Kekeringan Metode SPI.


No Indeks SPI Klasifikasi
1. ≤ - 2,00 Sangat Kering
2. -1,50 s/d -1,99 Kering
3. -1,00 s/d -1,49 Agak Kering
4. -0,99 s/d 0,99 Normal
5. 1,00 s/d 1,49 Agak Basah
6. >1,50 Basah
Sumber: BMKG (2015:1).

4. Indeks SPI bulan januari sampai desember yang telah diperoleh menentukan
tingkat kekeringan. Klasifikasi kekeringan yang dapat dilihat dalam Tabel 3.4.
5. Indeks SPI yang semula berjumlah 7 kelas, dimodifikasi menjadi 6 kelas.
Modifikasi ini dilakukan agar tingkat kekeringan tiap metode sama sehingga
dapat diperbandingkan.
6. Hasil akhir perhitungan bulan januari sampai desember dari 55 stasiun curah
hujan dimasukkan dalam satu tabel akhir.

3.6.3.3 Pengolahan Data Metode Hari Tanpa Hujan (HTH)


1. Pengolahan data dilakukan di 55 stasiun curah hujan. Data curah hujan harian
diurutkan ke bawah untuk data bulan januari sampai desember dan ke
samping untuk data tahun selama 26 tahun.
2. Hari tanpa hujan adalah hari dengan curah hujan bernilai 0 (nol). Periode
pengamatan adalah bulanan.
3. Perhitungannya sebagai berikut:
a. Jika dalam satu bulan terdapat hari hujan (>=1mm) maka nilai bulan
tersebut dihitung hari tanpa hujan berturut-turut, kemudian di ambil data
yang paling besar (maksimal) dari jumlah hari tanpa hujan berturut-turut.
b. Jika dalam satu bulan tidak terdapat hari hujan (>=1mm) maka nilai bulan
tersebut adalah jumlah hari tanpa hujan berturut-turut diakumulasi ke
bulan sebelumnya, sampai didapat hari hujan.
4. Perhitungan tersebut dilakukan tiap bulan dalam periode tahun 1990-2015 di
55 stasiun curah hujan. Setelah mendapat nilai bulan dari masing-masing

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
37

tahun, kemudian nilai tersebut dirata-ratakan dalam periode tahun 1990-2015.


Berdasarkan rata-rata yang telah dihitung, klasifikasi kekeringan dapat dilihat
dalam Tabel 3.5.

Tabel 3.5. Klasifikasi Kekeringan Metode Hari Tanpa Hujan.


No. Jumlah Hari Tanpa Hujan Berturut-turut Klasifikasi
1. 1–5 Sangat Kering
2. 6 – 10 Kering
3. 11 – 20 Agak Kering
4. 21 – 30 Normal
5. 31 – 60 Agak Basah
6. >60 Basah
Sumber: BMKG (2015:2).

5. Hasil akhir perhitungan bulan januari sampai desember dari 55 stasiun curah
hujan dimasukkan dalam satu tabel akhir.

3.6.4 Pengolahan Data Spasial


Pengolahan data spasial dilakukan setelah pengolahan data tabular selesai
diolah. Pengolahan data spasial menggunakan data tingkat kekeringan dari 55
stasiun curah hujan di Probolinggo. Pengolahan data spasial ini menggunakan
perangkat lunak ArcGIS 10.1. Dalam pengolahan, pola spasial metode penentuan
kekeringan menggunakan Extension Spatial Analyst dengan metode interpolasi
Kriging. Proses pengolahan data spasial sebagai berikut:
1. Data tabular hasil pengolahan data tiap metode selama periode 1990-2015
dalam perangkat lunak Microsoft Excel 1997-2003 kemudian di join table
dengan data shapefile titik stasiun hujan, sehingga didapatkan data tingkat
kekeringan per stasiun dalam bentuk shapefile. Joint table dilakukan
sebanyak 3 kali, sesuai dengan jumlah metode penentuan kekeringan yang
dipakai. Sehingga terdapat 3 shapefile, yaitu: deboer.shp, spi.shp, dan hth.shp.
2. Pola spasial dibuat dengan melakukan proses interpolasi spasial menggunakan
Extension Spatial Analyst Tools dengan metode interpolasi Ordinary Kriging.
Masukkan data pada Input point features dengan data deboer.shp. Isi Z value
field dengan atribut tabel yang ingin diinterpolasi, misalnya Jan maka
interpolasi yang dihasilkan merupakan interpolasi de Boer pada bulan Januari.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
38

Simpan hasilnya di folder Kriging. Kemudian dipilih metode Kriging pada


properti semivariogram yaitu, Ordinary dan model semivariogram yang
digunakan adalah spherical. Setelah itu, klik Environment untuk mengatur
hasil interpolasi sesuai dengan administrasi Probolinggo. Klik Processing
Extent, ubah Extent Default menjadi Same as layer adm_Prob. Klik Raster
Analysis, kemudian pilih layar adm_Prob pada bagian Mask. Klik OK. Setelah
itu, klik OK pada jendela Kriging. Proses tersebut dilakukan pula untuk
interpolasi metode SPI dan metode HTH.
3. Data hasil interpolasi kemudian diklasifikasikan kembali menggunakan
Extension Spatial Analyst Tools, pilih Reclass, dan pilih Reclassify. Input
raster dengan layer hasil interpolasi Kriging yang sebelumnya sudah
dihasilkan. Untuk mengklasifikasikan data tersebut, klik Classify. Pilih
metode klasifikasi, yaitu Equal Interval dan atur jumlah kelas menjadi 6
kelas. Ubah nilai pada Break Values sesuai dengan klasifikasi kekeringan
metode de Boer (Tabel 3.3), dan hal tersebut dilakukan pula untuk metode
lainnya, yaitu SPI (Tabel 3.4), dan HTH (Tabel 3.5). Nilai bisa saja tidak
sesuai dengan jangkauan klasifikasi tiap metode karena jangkauan data tiap
bulan yang berbeda-beda. Klik OK, kemudian simpan hasilnya di folder
Kriging. Setelah itu Klik OK. Format data raster dirubah menjadi data
polygon dengan menggunakan tools Raster to Polygon. Peta interpolasi
dihasilkan dari masing-masing metode penentuan kekeringan dari bulan
Januari hingga Desember, sehingga dihasilkan 36 peta interpolasi.
4. Peta interpolasi dari masing-masing metode kemudian di analisis overlay (I)
(intersect) dengan bulan yang sama untuk mendapatkan perbandingan antar
metode dua. Contoh, Bulan Januari: de boer - spi, de boer – hth, spi –hth.
Begitu pula dengan bulan Februari hingga Desember, sehingga terdapat 36
peta hasil overlay. Kemudian diidentifikasi, wilayah yang memiliki tingkat
kekeringan dengan perbandingan “lebih kering”(<), “sama kering” (=) dan
“lebih basah” (>) antar metode penentuan kekeringan kemudian dihitung
luasnya.
5. Peta wilayah ketinggian dibuat dengan mengolah data kontur yang berasal
dari peta RBI skala 1 : 25.000 yang telah diolah menjadi data DEM. Data

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
39

DEM tersebut kemudian diklasifikasikan berdasarkan klasifikasi ketinggian


yang telah ditentukan dengan menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.1.
6. Peta perbandingan kekeringan hasil overlay (I) dioverlay (II) kembali dengan
peta ketinggian untuk melihat hubungan perbandingan tingkat kekeringan
antar metode dengan ketinggian Probolinggo. Penjabaran akan dilakukan
dalam bentuk tabel analisis luasan.
7. Peta arah hadapan lereng dibuat dengan mengolah data kontur yang berasal
dari peta RBI skala 1 : 25.000 yang telah diolah menjadi data DEM. Data
DEM tersebut kemudian dilakukan pengolahan dengan tools aspect untuk
mendapatkan arah hadapan lereng dengan menggunakan perangkat lunak
ArcGIS 10.1. Arah hadapan lereng yang menghadap datangnya angin akan
diberi warna berbeda untuk melihat wilayah mana saja yang akan mendapat
hujan lebih tinggi.

3.7 Analisis Data


Data-data yang telah terkumpul dan diolah secara spasial serta kuantitatif,
kemudian dianalisis untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian. Analisis yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis spasial, temporal dan deskriptif
untuk mendeskripsikan pola spasial kekeringan di Probolinggo selama periode
1990-2015 tiap bulannya berdasarkan metode de Boer, metode SPI, dan metode
HTH.
1. Untuk menjawab pertanyaan pertama, yaitu: “Bagaimana pola spasial
kekeringan dengan Metode de Boer, Metode Standardized Precipitation Index
(SPI), dan Metode Hari Tanpa Hujan di Probolinggo, Jawa Timur?” Analisis
yang digunakan adalah analisis spasial wilayah kekeringan dari masing-
masing metode. Analisis temporal digunakan untuk melihat pola pergerakan
kekeringan dari bulan Januari sampai Desember. Analisis deskriptif juga
dibutuhkan guna menjabarkan daerah mana saja yang mengalami kekeringan
berdasarkan metode yang digunakan.
2. Untuk menjawab pertanyaan kedua, yaitu: “Bagaimana perbandingan pola
spasial kekeringan Metode de Boer, Metode Standardized Precipitation Index
(SPI), dan Metode Hari Tanpa Hujan di Probolinggo, Jawa Timur?” Analisis

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
40

yang digunakan analisis spasial dengan cara tumpang tindih (overlay) wilayah
kekeringan masing-masing metode. Setelah di overlay, dianalisis
perbandingan pola spasial kekeringan masing-masing metode dengan
perbandingan “lebih kering”(<), “sama kering” (=) dan “lebih basah” (>)
antar metode penentuan kekeringan berdasarkan luasan. Analisis temporal
digunakan untuk melihat perbandingan dari bulan januari sampai desember.
Analisis deskriptif juga dibutuhkan guna menjabarkan daerah mana saja yang
memiliki pola berbeda berdasarkan klasifikasi dari metode yang
dibandingkan. Unit analisis ketinggian digunakan untuk mengetahui di
ketinggian berapa terjadi perbedaan antar metode penentuan kekeringan
tersebut dalam bentuk tabel analisis luasan.
3. Selain itu, analisis spasial dan deskriptif juga digunakan untuk mengetahui
kesesuaian hasil interpolasi kekeringan tiap bulan menggunakan metode de
Boer, metode SPI dan metode HTH dengan dalil hujan berdasarkan faktor
pembentuk hujan, yaitu faktor ketinggian, arah angin dan arah hadapan lereng
Probolinggo. Kesesuaian dengan faktor ketinggian, yaitu Probolinggo bagian
utara memiliki ketinggian < 500 mdpl dengan curah hujan rendah, sehingga
tingkat kekeringannya akan tinggi. Tetapi sebaliknya, Probolinggo bagian
selatan memiliki ketinggian > 500 mdpl dengan curah hujan tinggi, sehingga
tingkat kekeringannya akan rendah. Jika tingkat kekeringan sesuai dengan hal
tersebut, maka dikatakan sesuai. Kesesuaian dengan faktor arah angin dan
arah hadapan lereng, yaitu Probolinggo bagian barat daya dan Probolinggo
bagian tenggara akan mendapat curah hujan yang lebih tinggi karena
didominasi lereng yang menghadap ke arah datangnya angin. Tingkat
kekeringan di Probolinggo bagian barat daya dan tenggara akan rendah. Jika
tingkat kekeringan sesuai dengan hal tersebut, maka dikatakan sesuai.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
BAB 4
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografi Probolinggo


Probolinggo merupakan salah satu Kabupaten dan Kota di Provinsi Jawa
Timur. Secara geografis, Probolinggo terletak antara 7° 40’ – 8° 10’ LS dan 112°
50’ – 113° 30’ BT. Probolinggo memiliki luas 1.752,827 Km2. Secara
administratif, Kabupaten Probolinggo memiliki 24 kecamatan, 325 desa dan 5
kelurahan, sedangkan Kota Probolinggo yang berada di dalam cakupan
administrasi Kabupaten Probolinggo memiliki 5 kecamatan, dan 29 kelurahan.
(Peta 1. Administrasi Probolinggo, Jawa Timur).
Batas-batas wilayah Kabupaten Probolinggo adalah sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Selat Madura,
b. Sebelah Timur : Kabupaten Situbondo,
c. Sebelah Selatan : Kabupaten Lumajang dan Kabupaten Jember,
d. Sebelah Barat : Kabupaten Pasuruan.
Secara topografi, Probolinggo semakin tinggi dari utara ke selatan. Kondisi
wilayah merupakan dataran rendah dan tanah pasir, daerah perbukitan dan daerah
pegunungan. Di Probolinggo bagian selatan terdapat lereng gunung yang
membujur dari barat ke timur, yakni Pegunungan Tengger dengan salah satu
gunung yang masih aktif hingga saat ini, yaitu Gunung Bromo (2.329 mdpl),
kemudian Gunung Lamongan (1.651 mdpl) dan Gunung Argopuro (3.088 mdpl).

4.2 Kondisi Fisik Probolinggo


4.2.1 Wilayah Ketinggian
Ketinggian adalah titik di bumi yang menunjukkan jarak vertikal di atas atau
di bawah dari level permukaan laut. Menurut Sandy (1987,26), semakin tinggi ke
pegunungan (topografi), jumlah hujan akan semakin besar. Sebagian besar
wilayah Probolinggo merupakan wilayah dengan ketinggian < 100 mdpl.

41

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
42

Secara umum, topografi Probolinggo terdiri atas 3 jenis, yaitu:


1. Dataran rendah dan tanah pesisir dengan ketinggian 0 – 100 m di atas
permukaan laut. Daerah ini membentang di sepanjang pantai utara mulai dari
Barat ke Timur kemudian membujur ke Selatan.
2. Daerah perbukitan dengan ketinggian 100 – 1.000 m di atas permukaan laut.
Daerah ini terletak di wilayah bagian tengah sepanjang Pegunungan Tengger
serta di bagian selatan sisi Timur sekitar Gunung Lamongan.
3. Daerah pegunungan dengan ketinggian lebih dari 1.000 m di atas permukaan
laut. Daerah ini terletak di sebelah Barat Daya, yaitu Pegunungan Tengger
dan sekitaran Gunung Argopuro.

Berdasarkan ketinggiannya, Probolinggo dibagi menjadi empat wilayah (Peta


2. Wilayah Ketinggian Probolinggo, Jawa Timur), yaitu:
1. Wilayah ketinggian < 100 m di atas permukaan laut, terdapat di bagian pesisir
Utara meliputi Kecamatan Tongas, Kecamatan Sumberasih, Kecamatan
Wonomerto, Kecamatan Kademangan, Kecamatan Mayangan, Kecamatan
Kanigaran, Kecamatan Dringu, Kecamatan Gending, Kecamatan Pajarakan,
Kecamatan Kraksaan, dan Kecamatan Paiton. Selain itu, wilayah ketinggian <
100 mdpl juga meliputi bagian tengah Probolinggo, yaitu Kecamatan
Kadepok, Kecamatan Wonoasih, Kecamatan Bantaran, Kecamatan Leces,
Kecamatan Tegalsiwalan, Kecamatan Banyuanyar, Kecamatan Maron,
Kecamatan Krejengan, Kecamatan Besuk, Kecamatan Kotaanyar, Kecamatan
Pakuniran, dan sebagian kecil Kecamatan Lumbang, Kecamatan Gading.
Wilayah ketinggian < 100 mdpl di Probolinggo mempunyai luas total sebesar
643,93 Km2.
2. Wilayah ketinggian 100 – 500 m di atas permukaan laut, terdapat di
Probolinggo bagian tengah, membentang dari barat ke timur, yaitu Kecamatan
Lumbang – Kecamatan Kotanyar dengan luas total sebesar 475,43 Km2.
3. Wilayah ketinggian 500 – 1.000 m di atas permukaan laut, terdapat di
Probolinggo bagian barat daya, yaitu Kecamatan Lumbang, Kecamatan
Sukapura, Kecamatan Kuripan, Kecamatan Sumber. Selain itu, di
Probolinggo bagian tenggara, yaitu Kecamatan Tiris, Kecamatan Krucil,

42

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
43

Kecamatan Gading. Selain itu, terdapat pula di Probolinggo bagian timur,


yaitu Kecamatan Pakuniran, dan sedikit di Probolinggo bagian selatan, yaitu
Kecamatan Kotaanyar dengan luas total sebesar 308,90 Km2.
4. Wilayah ketinggian > 1.000 m di atas permukaan laut, terdapat di
Probolinggo bagian barat daya, yaitu Kecamatan Lumbang, Kecamatan
Sukapura, Kecamatan Sumber. Selain itu, terdapat di Probolinggo bagian
tenggara, yaitu Kecamatan Krucil, Kecamatan Gading dan Kecamatan
Pakuniran dengan luas total sebesar 324,57 Km2.

4.2.2 Wilayah Lereng


Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu
dengan bidang horizontal. Berdasarkan kemiringan lerengnya (Peta 3. Wilayah
Lereng Probolinggo, Jawa Timur), Probolinggo dibagi menjadi 4 wilayah, yaitu:
1. Wilayah kemiringan 0 – 2 %, meliputi sebagian besar Probolinggo dengan
luas total 537,36 Km2 atau 30.65% dari luas Probolinggo. Wilayah ini
terdapat di semua kecamatan, kecuali Kecamatan Sumber, Kecamatan Krucil,
dan Kecamatan Tongas yang berada di Probolinggo bagian selatan.
2. Wilayah kemiringan 2 – 15 %, meliputi sebagian besar Probolinggo dengan
luas total 417,21 Km2 atau 23.80% dari luas Probolinggo. Wilayah ini
terdapat di semua kecamatan.
3. Wilayah kemiringan 15 – 40 %, meliputi Probolinggo bagian barat daya dan
tenggara dengan luas total 209,68 Km2 atau 11.96% dari luas Probolinggo.
4. Wilayah kemiringan > 40 %, meliputi Probolinggo bagian barat daya dan
tenggara dengan luas total 588,56 Km2 atau 33.57% dari luas Probolinggo.
Wilayah kemiringan > 40% merupakan wilayah yang paling luas.

Arah hadapan lereng mempengaruhi curah hujan. Lereng yang menghadap


arah angin akan mendapat hujan lebih banyak daripada lereng yang
membelakangi arah datangnya angin (bayangan hujan). Hujan yang terjadi karena
peristiwa tersebut disebut hujan orografis.
Probolinggo memiliki arah hadapan lereng yang beragam dengan dominasi
yang berbeda. Probolinggo bagian barat didominasi oleh lereng yang menghadap

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
44

ke arah timur laut. Probolinggo bagian tengah didominasi oleh lereng yang
menghadap ke arah barat laut dan utara. Probolinggo bagian timur didominasi
oleh lereng yang menghadap ke barat laut dan barat. Probolinggo bagian selatan
didominasi oleh lereng yang menghadap tenggara dan selatan.
Arah angin selalu bergerak ke arah dan dengan kekuatan yang berbeda tiap
waktunya. Selama tahun 2000-2015, rata-rata arah angin dominan yang bergerak
di atas wilayah Probolinggo adalah ke arah barat laut cenderung ke utara (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut dan Pesisir (P3SDLP), 2016: 1)
(Gambar 4.1). Berdasarkan hal tersebut, kecenderungan hujan jatuh di lereng
yang menghadap datangnya angin, yaitu lereng yang menghadap ke tenggara dan
selatan.

Gambar 4.1. Arah Hadapan Lereng Terhadap Rata-rata Datangnya Angin Tahun
2000-2015 di Probolinggo, Jawa Timur.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
45

4.3 Kondisi Iklim Probolinggo


Letak Probolinggo yang berada di sekitar garis khatulistiwa menyebabkan
daerah Probolinggo mengalami dua musim setiap tahunnya, yaitu musim hujan
dan musim kemarau. Secara klimatologis Probolinggo masuk kedalam pola iklim
monson. Pola Monson dicirikan oleh bentuk pola hujan yang bersifat unimodal
(satu puncak musim hujan) (Aldrian & Susanto, 2003:1439). Menurut Sandy
(1996:45), Jawa bagian utara, Bali, NTB dan NTT mendapat curah hujan
terbanyak pada bulan Januari dan Februari. Probolinggo yang berada di Jawa
Timur bagian utara dilihat dari pola curah hujan tahunan selama 26 tahun
membentuk pola monsun yang mana bulan Januari dan Februari mendapat curah
hujan terbanyak maka ini sesuai dengan teorinya.
Berdasarkan perhitungan de Boer dalam satu dasarian tidak lebih dari 50 mm
dikatakan kering, dalam satu bulan terdapat tiga dasarian sehingga
diakumulasikan satu bulan tidak lebih dari 150 mm dikatakan bulan kering.
Selama 26 tahun terakhir, musim hujan terjadi berkisar pada bulan Desember
hingga bulan April, sedangkan musim kemarau dimulai dari bulan Mei hingga
bulan November (Gambar 4.2). Rata-rata curah hujan bulanan maksimum terjadi
pada bulan Januari sebesar 355 mm dan rata-rata curah hujan bulan minimum
pada bulan Agustus sebesar 6 mm.

Gambar 4.2. Rata-Rata Curah Hujan Bulanan di Probolinggo, Jawa Timur


Periode 1990-2015.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
46

Gambar 4.3. Rata-Rata Curah Hujan Tahunan di Probolinggo, Jawa Timur Periode 1990-2015.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
47

Berdasarkan rata-rata tahunan (Gambar 4.3), rata-rata curah hujan maksimal


terjadi pada tahun 2010 sebesar 2.678 mm, ini bertepatan dengan terjadinya
fenomena La Nina di Indonesia yang mengakibatkan jumlah curah hujan sangat
tinggi. Rata-rata curah hujan minimum terjadi pada tahun 1997 sebesar 1.329
mm. Kejadian ini tidak lepas dari adanya pengaruh fenomena El Nino di
Indonesia. Indonesia mengalami kejadian El Nino pada tahun 1986, 1987, 1991,
1995, 1997, 2002, 2008, 2009, 2012 dan 2015, pada tahun El Nino tersebut di
Probolinggo yang memiliki curah hujan paling tinggi terjadi tahun 2009.
Suhu udara di Probolinggo berbeda di Probolinggo wilayah dataran rendah
(utara) dan wilayah pegunungan (selatan). Suhu udara di Probolinggo beragam
dengan rata-rata 27°C hingga 32°C di bagian utara. Probolinggo bagian selatan
yang meliputi wilayah pegunungan Tengger dan Argopuro di Kecamatan
Sukapura, Kecamatan Sumber, Kecamatan Tiris, dan Kecamatan Krucil suhu
udaranya berkisar 5°C hingga 15°C.
Angin dari waktu ke waktu menunjukkan arah dan kecepatan yang berbeda.
Arah angin rata-rata diperoleh dari dominasi arah dan kecepatan selama kurun
waktu yang ingin diketahui, misalnya satu tahun. Arah angin rata-rata di
Probolinggo selama kurung waktu 16 tahun terakhir menunjukkan adanya
pergerakan angin menuju ke barat laut, utara, dan timur laut. Namun, arah barat
laut lebih mendominasi diantara arah lainnya.

4.4 Kekeringan di Probolinggo


Bencana kekeringan di Probolinggo sudah cukup sering terjadi. Pada tahun
2014, kekeringan melanda 44 desa dari 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Tongas,
Kecamatan Lumbang, Kecamatan Sumberasih, Kecamatan Wonomerto,
Kecamatan Bantaran, Kecamatan Kuripan, Kecamatan Leces, Kecamatan
Tegalsiwalan, Kecamatan Banyuanyar, Kecamatan Sumber, Kecamatan Tiris,
Kecamatan Gading dan Kecamatan Krucil (BPBD, 2015). Sebagian besar
kekeringan terjadi di Probolinggo bagian barat.
Pada tahun 2015, bencana kekeringan sebagian besar terjadi di Probolinggo
bagian barat, kejadian ini sama seperti tahun sebelumnya. Kekeringan melanda 30
desa dari 11 kecamatan, yaitu Kecamatan Lumbang, Kecamatan Tegal Siwalan,

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
48

Kecamatan Krucil, Kecamatan Leces, Kecamatan Bantaran, Kecamatan


Banyuanyar, Kecamatan Tiris, Kecamatan Sumberasih, Kecamatan Kuripan,
Kecamatan Tongas, Kecamatan Wonomerto (BPBD, 2015). Jumlah ini berkurang
dari tahun sebelumnya. Sembilan kecamatan mengalami penurunan jumlah desa,
satu kecamatan mengalami penambahan jumlah desa, dan tiga kecamatan tidak
mengalami perubahan jumlah desa yang terdampak kekeringan.
Berdasarkan kriteria kekeringan domestik yang digunakan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB), kekeringan dibagi menjadi tiga kategori, yaitu
kritis, kritis dan langka dan langka. Sebagian besar kondisi kritis berada di
Probolinggo bagian barat, kondisi kritis dan langka berada di Probolinggo bagian
selatan, sedangkan kondisi langka lebih menyebar namun tetap didominasi di
Probolinggo bagian barat. Kondisi desa yang tidak terdampak berada di
Probolinggo bagian utara dan timur (Peta 5. Desa Terdampak Kekeringan
Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur Tahun 2015).
Selama ini, kejadian kekeringan sangat berpengaruh dalam aktivitas
penggunaan air terutama untuk kebutuhan rumah tangga. Penanggulangan yang
sudah dilakukan oleh BNPB, yaitu memasok bantuan air bersih sebanyak 5.000 –
6.000 liter/desa tiap harinya. Bencana kekeringan secara umum terjadi di
Kabupaten Probolinggo bagian barat, sedangkan menurut BPBD Kota
Probolinggo, bencana kekeringan di Kota Probolinggo tidak terjadi karena sudah
menggunakan pompa air untuk menyalurkan air ke rumah-rumah warga.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
BAB 5
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Inventarisasi Data


Inventarisasi data yang dilakukan berguna untuk mengetahui kelengkapan data
yang telah diperoleh dari tiap-tiap instansi terkait. Inventarisasi data berguna
untuk menentukan stasiun curah hujan yang akan digunakan dalam penelitian.
Selain itu, inventarisasi data juga berguna untuk mendata letak stasiun curah hujan
dalam bentuk tabular (Lampiran 2. Inventarisasi Data Stasiun Curah Hujan di
Probolinggo, Jawa Timur). Berdasarkan hasil inventarisasi tersebut, 55 stasiun
curah hujan dari 58 stasiun curah hujan digunakan dalam penelitian (Lampiran 1.
Inventarisasi Data Curah Hujan 1990-2015 di Probolinggo, Jawa Timur).
Tiga stasiun curah hujan yang tidak digunakan adalah Stasiun Sapeh, Stasiun
Sukapura, dan Stasiun Gemito. Stasiun Sukapura memiliki data yang paling
sedikit. Berdasarkan hasil inventarisasi data, Stasiun Sukapura sejak tahun 2000
hingga tahun 2015 tidak memiliki data, maka dinyatakan rusak atau tidak
digunakan lagi dalam mengukur curah hujan harian. Pada tahun 1993 hingga
tahun 2005 Stasiun Sapeh dan Stasiun Gemito tidak memiliki data curah hujan
harian, ini mungkin terjadi kerusakan alat, dan baru bisa digunakan kembali pada
tahun 2006.
Pada tahun 1992, sebanyak 27 stasiun curah hujan tidak memiliki data, namun
tahun 1994 jumlah stasiun yang tidak memiliki data curah hujan berkurang
menjadi 21 stasiun curah hujan. Pada tahun 1995 terdapat 3 stasiun curah hujan
yang tidak memiliki data curah hujan, 11 stasiun curah hujan yang hanya
memiliki data 2 bulan saja, dan 15 stasiun curah hujan hanya memiliki data 3
bulan. Pada tahun 2006 dan 2007 data curah hujan di stasiun yang berlokasi di
Kota Probolinggo, yaitu Stasiun Triwung Kidul, Stasiun Pakistaji, Stasiun
Kademangan tidak memiliki data, sedangkan Stasiun Probolinggo tidak memiliki
data tahun 2006 saja. Menurut, Staff Dinas PU Pengairan Kota Probolinggo buku
induk pencatatan tahun 2006 dan 2007 hilang dan tidak sempat disalin.
Selama periode 1990-2015 terdapat 18 stasiun curah hujan yang memiliki data
lengkap. Stasiun curah hujan tersebut adalah Stasiun Bayeman, Stasiun Lumbang,
49

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
50

Stasiun Boto Gardu, Stasiun Patalan, Stasiun Krasak, Stasiun Bantaran, Stasiun
Dringu, Stasiun Jorongan, Stasiun Sumber Bulu, Stasiun Leces, Stasiun Malasan,
Stasiun Gending, Stasiun Banyuanyar, Stasiun Adiboyo, Stasiun Pekalen, Stasiun
Jatiampuh, Stasiun Pajarakan, dan Stasiun Condong. Stasiun tersebut menyebar di
Probolinggo bagian barat dan tengah dengan ketinggian < 500 mdpl.

5.2 Persebaran Curah Hujan


Berdasarkan curah hujan tahunan, persebaran curah hujan rata-rata tahunan
1990 – 2015 di Probolinggo (Peta 7. Pola Spasial Curah Hujan Rata-Rata
Tahunan 1990-2015 di Probolinggo, Jawa Timur) adalah sebagai berikut:
1. Wilayah curah hujan < 1.500 mm terdapat di Probolinggo bagian utara, yaitu
Kecamatan Tongas, Kecamatan Sumberasih, Kecamatan Kademangan,
Kecamatan Mayangan, Kecamatan Kanigaran, Kecamatan Kedepok,
Kecamatan Wonoasih, Kecamatan Dringu, Kecamatan Gending, Kecamatan
Pajarakan, Kecamatan Krejengan, Kecamatan Kraksaan, Kecamatan Besuk,
Kecamatan Paiton, Kecamatan Sukapura dan sebagian kecil di Kecamatan
Wonomerto, Kecamatan Leces, Kecamatan Tegalsiwalan, Kecamatan
Banyuanyar, dan Kecamatan Maron.
2. Wilayah curah hujan 1.500 – 2.000 mm terdapat di Probolinggo bagian tengah
yang membentang dari barat ke timur, serta di Probolinggo bagian barat daya,
yaitu Kecamatan Tongas, Kecamatan Wonomerto, Kecamatan Lumbang,
Kecamatan Kuripan, Kecamatan Sumber, Kecamatan Sukapura, Kecamatan
Bantara, Kecamatan Leces, Kecamatan Tegalsiwalan, Kecamatan
Banyuanyar, Kecamatan Maron, Kecamatan Gading, Kecamatan Besuk,
Kecamatan Pakuniran, dan Kecamatan Kotaanyar.
3. Wilayah curah hujan 2.000 - 2.500 mm terdapat di Probolinggo bagian
tenggara dan sebagian di Probolinggo bagian barat, yaitu Kecamatan
Lumbang, Kecamatan Kuripan, Kecamatan Wonomerto, Kecamatan Leces,
Kecamatan Tegalsiwalan, Kecamatan Gading, Kecamatan Krucil, dan
Kecamatan Tiris.
4. Wilayah curah hujan 2.500 – 3.000 mm terdapat di Probolinggo bagian
tenggara, yaitu Kecamatan Tiris, Kecamatan Krucil, dan Kecamatan Gading.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
5. Wilayah curah hujan > 3.000 mm terdapat di Probolinggo bagian tenggara,
yaitu Kecamatan Tiris.
Curah hujan semakin tinggi dari utara ke selatan (Peta 7. Pola Spasial Curah
Hujan Rata-Rata Tahunan 1990-2015 di Probolinggo, Jawa Timur). Probolinggo
bagian tenggara memiliki curah hujan tahunan yang paling tinggi > 3.000 mm,
karena berada di ketinggian > 1.000 mdpl. Selanjutnya ditinjau kembali oleh arah
hadapan lereng, wilayah tersebut mengarah ke tenggara menghadap datangnya
angin sehingga curah hujan tinggi. Curah Hujan tahunan < 1.500 mm berada di
Probolinggo bagian barat daya, meskipun wilayah tersebut berada di ketinggian >
1.000 mdpl namun arah hadapan lereng didominasi arah timur laut, sehingga
curah hujan tahunan lebih rendah dari Probolinggo bagian tenggara.
Berdasarkan curah hujan rata-rata tahunan selama periode 1990 – 2015,
Probolinggo memasuki awal musim kemarau pada bulan April dasarian III sampai
bulan November dasarian II. Musim kemarau tersebut berlangsung selama 21
dasarian. Curah hujan semakin berkurang dari bulan April sampai bulan Agustus,
dan kembali bertambah pada bulan September. Curah hujan minimal terjadi pada
bulan Juli sampai bulan September, sedangkan curah hujan maksimal pada musim
kemarau terjadi pada bulan Oktober dasarian I.
Musim hujan di Probolinggo terjadi pada bulan November dasarian III sampai
bulan April dasarian II. Musim hujan berlangsung selama 15 dasarian. Curah
hujan minimal terjadi pada bulan November dasarian II, sedangkan curah hujan
maksimal pada musim hujan terjadi pada bulan Januari dasarian II.

5.3 Pola Spasial Kekeringan Berdasarkan Metode de Boer


Metode de Boer merupakan metode yang menghitung jumlah curah hujan
dalam waktu 10 hari (dasarian). Besar kecil jumlah curah hujan harian sangat
berpengaruh terhadap hasil perhitungan dan tingkat kekeringan (Lampiran 3.
Hasil Pengolahan Data Metode de Boer). Pengolahan data menggunakan metode
de Boer menghasilkan tingkat kekeringan setiap stasiun curah hujan (Lampiran 4.
Tingkat Kekeringan Menggunakan Metode de Boer di Probolinggo, Jawa Timur).
Pada bulan Januari, sebagian besar wilayah Probolinggo basah mencakup 29
kecamatan, sedangkan wilayah agak basah terdapat di Probolinggo bagian utara

Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016


52

meliputi Kecamatan Kraksaan dan sebagian kecil Kecamatan Gending,


Kecamatan Pajarakan, dan Kecamatan Krejengan. Luas wilayah terbesar terjadi
pada kondisi basah, yaitu 1.718,66 Km2 atau 98,05% dan luas wilayah terkecil
terjadi pada kondisi agak basah, yaitu 34,17 Km2 atau 1,95% (Lampiran 9. Luas
Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de Boer di
Probolinggo, Jawa Timur). Berdasarkan rata-rata curah hujan tahunan, bulan
Januari merupakan bulan yang memiliki jumlah curah hujan maksimal dibanding
bulan lainnya, sehingga terbukti Probolinggo masih dalam kondisi basah.
Pada bulan Februari, sebagian besar wilayah Probolinggo masih dalam kondisi
basah, pada bulan ini luas wilayah agak basah bertambah ke arah selatan (Gambar
5.3). Kondisi basah memiliki luas terbesar, yaitu 1.517,08 Km2 atau 86,55% dan
kondisi agak basah memiliki luas terkecil, yaitu 235,75 Km2 atau 13,45%
(Lampiran 9. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de
Boer di Probolinggo, Jawa Timur). Luas wilayah agak basah tersebut bertambah
sekitar 201,58Km2 dari luas wilayah agak basah bulan Januari. Pada bulan ini
kondisi agak basah terjadi di 15 kecamatan, dan kondisi basah terjadi di 27
kecamatan (Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode
Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur) yang sebagian besar berada di
Probolinggo bagian selatan. Kecamatan yang seluruhnya mengalami kondisi agak
basah adalah Kecamatan Mayangan dan Kecamatan Kraksaan dan Kecamatan
Sukapura yang berada di ketinggian > 1.000 mdpl.
Pada bulan Maret, kondisi Probolinggo terbagi menjadi tiga menurut metode
de Boer, yaitu normal, agak basah dan basah (Gambar 5.3). Wilayah Probolinggo
yang kondisi sebelumnya agak basah pada bulan ini menjadi wilayah dengan
kondisi normal. Kondisi basah memiliki luas terbesar, yaitu 1.168,25 Km2 atau
66,65% dan kondisi normal memiliki luas terkecil, yaitu 233,60 Km2 atau 13,33%
(Lampiran 9. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de
Boer di Probolinggo, Jawa Timur). Pada bulan ini terdapat 17 kecamatan
mengalami kondisi normal, 22 kecamatan mengalami kondisi agak basah dan 18
kecamatan mengalami kondisi basah, dimungkinkan satu kecamatan memiliki
kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan
Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur). Probolinggo bagian tenggara

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
53

yang mencakup Kecamatan Sukapura, Kecamatan Sumber dan Kecamatan


Lumbang mengalami kondisi agak basah. Kondisi ini berbeda dari kondisi sekitar
Probolinggo bagian selatan lainnya. Salah satu kecamatan yang mengalami
kondisi normal adalah Kecamatan Gending (Gambar 5.1).

Gambar 5.1. Wilayah Kondisi Normal dengan Metode de Boer.


Sumber: Survei Lapang Penulis, Maret 2016.

Pada bulan April, kondisi Probolinggo terbagi menjadi empat menurut metode
de Boer, yaitu agak kering, normal, agak basah dan basah. Semakin ke selatan,
tingkat kekeringan Probolinggo semakin tinggi pada bulan ini (Gambar 5.3).
Kondisi agak kering memiliki luas terbesar, yaitu 509,66 Km2 atau 29,08% dan
kondisi basah memiliki luas terkecil, yaitu 342,78 Km2 atau 19,56% (Lampiran 9.
Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de Boer di
Probolinggo, Jawa Timur). Pada bulan April mulai terdeteksi adanya kondisi agak
kering di Probolinggo bagian utara. Pada bulan ini terdapat 26 kecamatan
mengalami kondisi agak kering, 19 kecamatan mengalami kondisi normal, 15
kecamatan mengalami kondisi agak basah dan 5 kecamatan mengalami kondisi
basah, dimungkinkan satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran
12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di
Probolinggo, Jawa Timur).
Pada bulan Mei, kondisi Probolinggo terbagi menjadi tiga menurut metode de
Boer, yaitu kering, agak kering, dan normal (Gambar 5.3). Kondisi kering
memiliki luas terbesar, yaitu 967,24 Km2 atau 55,18% dan kondisi normal
memiliki luas terkecil, yaitu 138,45 Km2 atau 7,90% (Lampiran 9. Luas Wilayah

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
54

Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de Boer di Probolinggo, Jawa


Timur). Pada bulan ini terdapat 28 kecamatan mengalami kondisi kering, 15
kecamatan mengalami kondisi agak kering, dan 2 kecamatan mengalami kondisi
normal, dimungkinkan satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran
12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di
Probolinggo, Jawa Timur). Kondisi kering sebagian besar berada di Probolinggo
bagian utara hingga tengah, juga bagian barat daya. Kondisi normal hanya berada
di Kecamatan Tiris dan Kecamatan Krucil.
Pada bulan Juni, curah hujan bulanan mulai rendah yaitu di bawah 50 mm.
Berdasarkan perhitungan, semua stasiun menunjukkan kondisi kering (Gambar
5.3). Hal ini berbeda dari bulan sebelumnya, yang masih terdapat kondisi normal
di Probolinggo bagian tenggara. Pada bulan Juni, seluruh wilayah Probolinggo
kering dengan luas 1.752,83 Km2 atau 100% (Lampiran 9. Luas Wilayah
Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de Boer di Probolinggo, Jawa
Timur).
Pada bulan Juli, kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua menurut metode de
Boer, yaitu sangat kering, dan kering. Sebagian besar wilayah Probolinggo
kondisinya sangat kering dengan luas 1.393,63 Km2 atau sekitar 79,51%,
sedangkan luas wilayah kering yang sebelumnya terjadi di seluruh wilayah
Probolinggo pada bulan Juni berkurang menjadi 359,19 Km2 (Lampiran 9. Luas
Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de Boer di
Probolinggo, Jawa Timur). Seluruh kecamatan mengalami kondisi sangat kering.
Kecamatan yang mengalami kondisi kering berjumlah 5 kecamatan yang berada
di Probolinggo bagian tenggara (Gambar 5.3). Dua kecamatan diantaranya
memiliki luas kering yang lebih besar dibanding kecamatan lainnya.
Curah hujan semakin berkurang dari bulan April sampai Agustus. Bulan
Agustus merupakan bulan yang curah hujannya paling rendah, yaitu 6 mm
(Gambar 4.5). Menurut perhitungan metode de Boer, seluruh titik stasiun curah
hujan menunjukkan kondisi sangat kering. Hasil interpolasi menunjukkan
Probolinggo sangat kering di seluruh wilayah (Gambar 5.3) dengan luas
1.752,83Km2 atau 100% (Lampiran 9. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat
Kekeringan dengan Metode de Boer di Probolinggo, Jawa Timur).

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
55

Pada bulan September, curah hujan rata-rata bulanan bertambah sebesar 4 mm


menjadi 10 mm. Kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua menurut metode de
Boer, yaitu sangat kering, dan kering (Gambar 5.3). Sebagian besar wilayah
Probolinggo kondisinya sangat kering dengan luas 1.752,83 Km2 atau 97,78%,
sedangkan luas wilayah kering 38,95 Km2 atau 2,22% (Lampiran 9. Luas Wilayah
Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de Boer di Probolinggo, Jawa
Timur). Seluruh kecamatan mengalami kondisi sangat kering, sedangkan
kecamatan yang juga mengalami kondisi kering berjumlah 1 kecamatan yang
berada di Probolinggo bagian tenggara, tepatnya di Kecamatan Tiris (Lampiran
12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di
Probolinggo, Jawa Timur). Pertambahan curah hujan sebesar 4 mm dengan mudah
terdeteksi menggunakan metode de Boer, sehingga dapat terlihat ada perubahan
kondisi di Probolinggo bagian tenggara.
Pada bulan Oktober, kondisi Probolinggo terbagi menjadi empat kondisi
menurut metode de Boer, yaitu sangat kering, kering, agak kering dan normal.
Pada bulan ini kondisi normal mulai terjadi di Probolinggo bagian selatan di
ketinggian > 1.000 mdpl dengan luas terkecil dibanding wilayah lainnya, yaitu
77,91 Km2 atau 4,44%, sedangkan kondisi sangat kering memiliki luas terbesar,
yaitu 849,85 Km2 atau 48,48% (Lampiran 9. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat
Kekeringan dengan Metode de Boer di Probolinggo, Jawa Timur). Semakin ke
utara, tingkat kekeringan Probolinggo dan luas wilayah semakin tinggi pada bulan
ini (Gambar 5.3). Pada bulan Oktober terdapat 26 kecamatan mengalami kondisi
sangat kering, 20 kecamatan mengalami kondisi kering, 3 kecamatan mengalami
kondisi agak kering dan 2 kecamatan mengalami kondisi normal, dimungkinkan
satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan
Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur).
Pada bulan November, kondisi Probolinggo terbagi menjadi lima menurut
metode de Boer, yaitu kering, agak kering, normal, agak basah dan basah. Bulan
ini merupakan bulan yang paling banyak variasi kondisi kekeringannya dibanding
bulan lainnya. Semakin ke utara, tingkat kekeringan Probolinggo semakin tinggi
pada bulan ini (Gambar 5.3). Luas wilayah terbesar terjadi pada kondisi sangat
kering, yaitu 752,81 Km2 atau 42,95% dan luas wilayah terkecil terjadi pada

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
56

kondisi agak basah, yaitu 164,77 Km2 atau 9,40% (Lampiran 9. Luas Wilayah
Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de Boer di Probolinggo, Jawa
Timur). Pada bulan ini terdapat 21 kecamatan mengalami kondisi kering, 22
kecamatan mengalami kondisi agak kering, 12 kecamatan mengalami kondisi
normal, 4 kecamatan mengalami kondisi agak basah dan 2 kecamatan mengalami
kondisi basah, dimungkinkan satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda
(Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di
Probolinggo, Jawa Timur). Sebagian kecil kondisi normal berada di Kecamatan
Kuripan, Kecamatan Lumbang dan Kecamatan Wonomerto. Salah satu kecamatan
yang mengalami kondisi normal berada di Kecamatan Maron, dan yang
mengalami kondisi kering berada di Kecamatan Pakuniran (Gambar 5.2).

Gambar 5.2. Wilayah Normal (Kanan) dan Kering (Kiri) dengan Metode de Boer.
Sumber: Survei Lapang Penulis, November 2015.

Pada bulan Desember, kondisi Probolinggo terbagi menjadi tiga menurut


metode de Boer, yaitu normal, agak basah dan basah. Semakin ke utara, tingkat
kekeringan Probolinggo semakin tinggi pada bulan ini (Gambar 5.3). Luas
wilayah terbesar terjadi pada kondisi basah, yaitu 1.045,46 Km2 atau 59,64% dan
luas wilayah terkecil terjadi pada kondisi normal, yaitu 322,90 Km2 atau 18,42%
(Lampiran 9. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de
Boer di Probolinggo, Jawa Timur). Pada bulan ini terdapat 20 kecamatan
mengalami kondisi normal, 19 kecamatan mengalami kondisi agak basah, 18
kecamatan mengalami kondisi basah, dimungkinkan satu kecamatan memiliki
kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
57

Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur). Sebagian kecil kondisi normal


berada di Probolinggo bagian barat daya, terutama di Kecamatan Sukapura,
sebagian kecil Kecamatan Sumber dan Kecamatan Lumbang.
Secara umum pola spasial kekeringan menggunakan metode de Boer bergerak
ke selatan dan tenggara. Bulan Januari hingga bulan Agustus kekeringan
bertambah luas dari utara ke selatan, sedangkan pada bulan September hingga
Desember kekeringan semakin berkurang luasnya ke arah utara (Gambar 5.3). Hal
ini terjadi karena pengaruh angin monsun dan ketinggian. Angin monsun timur
bergerak dari Australia ke Asia pada bulan April hingga bulan September
membawa udara yang bersifat kering. Selain itu, Probolinggo bagian selatan
memiliki ketinggian > 1.000 mdpl. Ketika angin berhembus dari Australia ke
Asia, angin tersebut akan melewati pegunungan terlebih dahulu, sehingga
Probolinggo bagian utara menjadi wilayah bayangan hujannya. Angin yang
bersifat kering tersebut berlangsung selama beberapa bulan, sehingga semakin
lama tingkat kekeringan di Probolinggo bagian utara semakin tinggi, kemudian
bergerak ke selatan dan tenggara.
Durasi terjadi kekeringan menurut metode de Boer, yaitu selama 7 bulan dari
bulan Mei hingga November dengan tingkat yang beragam. Kondisi sangat kering
terjadi selama 4 bulan, yaitu pada bulan Juli, bulan Agustus, bulan September, dan
bulan Oktober; kondisi kering terjadi selama 6 bulan, yaitu pada bulan Mei, bulan
Juni, bulan Juli, bulan September, bulan Oktober dan bulan November; dan
kondisi agak kering terjadi selama 4 bulan, yaitu pada bulan April, bulan Mei,
bulan Oktober, dan bulan November. Bulan April merupakan bulan peralihan dari
musim hujan ke musim kemarau yang ditandai dengan munculnya kondisi agak
kering di Probolinggo bagian utara dan bulan November merupakan bulan
peralihan dari musim kemarau ke musim hujan yang ditandai dengan munculnya
kondisi basah di Probolinggo bagian tenggara. Wilayah Probolinggo yang
seluruhnya mengalami kekeringan dengan kondisi yang beragam terjadi pada
bulan Juni hingga September. Sementara itu, puncak kekeringan terjadi pada
bulan Agustus dengan kondisi sangat kering, serta bulan Juli dan September yang
didominasi oleh kondisi sangat kering.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
58

Gambar 5.3. Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015 dengan Metode De
Boer di Probolinggo, Jawa Timur.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
59

5.4 Pola Spasial Kekeringan Berdasarkan Metode Standardized Precipitation


Index (SPI)
Metode SPI merupakan salah satu metode yang menggunakan rumus
matematis dalam perhitungannya. Berdasarkan perhitungan data tersebut
diperoleh berapa besaran curah hujan normalnya. Hasil perhitungan dengan nilai
minimal SPI -628,33 pada bulan Agustus karena jumlah curah hujan dari tahun ke
tahun di bawah 1 mm, dan nilai maksimal SPI adalah 2,21 pada bulan Februari
(Lampiran 5. Hasil Pengolahan Data Metode Standardized Precipitation Index
(SPI). Tingkat kekeringan tiap bulan (Lampiran 6. Tingkat Kekeringan
Menggunakan Metode Standardized Precipitation Index (SPI) di Probolinggo,
Jawa Timur) mengacu kepada curah hujan normalnya. Setelah dilakukan
pengolahan data didapat hasil sebagai berikut:
Pada bulan Januari, sebagian besar wilayah Probolinggo agak basah mencakup
29 kecamatan, sedangkan kondisi basah terdapat di Probolinggo bagian tenggara.
Kondisi basah meliputi Kecamatan Krejengan, Kecamatan Besuk, Kecamatan
Gading, Kecamatan Tiris, Kecamatan Krucil yang terbesar luasnya dan
Kecamatan Pakuniran yang terkecil luasnya (Gambar 5.6). Luas wilayah terbesar
terjadi pada kondisi agak basah, yaitu 1.446,14 Km2 atau 82,50% dan luas
wilayah terkecil terjadi pada kondisi basah, yaitu 306,69 Km2 atau 17,50%
(Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode
SPI di Probolinggo, Jawa Timur).
Pada bulan Februari, wilayah Probolinggo dengan kondisi basah terbagi
menjadi dua di Probolinggo bagian barat dan timur, yang terpisah oleh kondisi
agak basah (Gambar 5.6). Kondisi basah memiliki luas terbesar, yaitu 1.266,26
Km2 atau 72,24% dan kondisi agak basah memiliki luas terkecil, yaitu 486,57
Km2 atau 27,76% (Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan
dengan Metode SPI di Probolinggo, Jawa Timur). Luas kondisi basah tersebut
bertambah sekitar 959,57 Km2 dari luas pada bulan Januari. Pada bulan ini kondisi
agak basah terjadi di 14 kecamatan, dan kondisi basah terjadi di 28 kecamatan,
dimungkinkan satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12.
Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo,
Jawa Timur). Kecamatan yang seluruh wilayah mengalami kondisi basah adalah

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
60

Kecamatan Tongas, Kecamatan Sumberasih, Kecamatan Kademangan,


Kecamatan Mayangan, Kecamatan Kanigaran, Kecamatan Kedopok, Kecamatan
Wonoasih, Kecamatan Dringu, Kecamatan Krucil, Kecamatan Gading,
Kecamatan Pakuniran, Kecamatan Kotaanyar, Kecamatan Paiton dan Kecamatan
Besuk, sedangkan kecamatan yang seluruh wilayahnya mengalami kondisi agak
basah ialah Kecamatan Sumber (Gambar 5.6).
Pada bulan Maret, kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua menurut metode
SPI, yaitu normal, agak basah (Gambar 5.6). Probolinggo bagian utara pada bulan
ini dalam kondisi normal, namun tidak sepanjang garis pantai Probolinggo, hanya
di Probolinggo bagian timur saja, yaitu Kecamatan Gending, Kecamatan
Pajarakan, Kecamatan Kraksaan, Kecamatan Besuk, Kecamatan Paiton,
Kecamatan Maron, Kecamatan Krejengan, Kecamatan Gading, serta sebagian
kecil Kecamatan Pakuniran dan Kecamatan Kotaanyar. Kondisi agak basah
memiliki luas terbesar, yaitu 1.534,40 Km2 atau 87,54% dan kondisi normal
memiliki luas terkecil, yaitu 218,43 Km2 atau 12,46% (Lampiran 10. Luas
Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode SPI di Probolinggo,
Jawa Timur). Pada bulan ini terdapat 10 kecamatan mengalami kondisi normal, 28
kecamatan mengalami kondisi agak basah, dimungkinkan satu kecamatan
memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan
Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur). Salah satu
kecamatan yang mengalami kondisi agak basah adalah kecamatan Pakuniran, dan
mengalami kondisi normal adalah kecamatan Krejengan (Gambar 5.4).

Gambar 5.4. Wilayah Kondisi Agak Basah (Kanan) dan Normal (Kiri) dengan
Metode Standardized Precipitation Index (SPI).
Sumber: Survei Lapang Penulis, Maret 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
61

Kondisi Probolinggo berdasarkan curah hujan yang sudah diolah


menggunakan metode SPI menghasilkan kondisi normal pada bulan April.
Kondisi normal meliputi seluruh wilayah Probolinggo (Gambar 5.6). Luas
wilayah kondisi normal berbeda dari bulan sebelumnya, pada bulan April luasnya
sebesar 1.752,83 Km2 atau 100% (Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan
Tingkat Kekeringan dengan Metode SPI di Probolinggo, Jawa Timur).
Pada bulan Mei, kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua menurut metode
SPI, yaitu agak kering, dan normal (Gambar 5.6). Kondisi normal memiliki luas
terbesar, yaitu 913,92 Km2 atau 52,14% dan kondisi agak kering memiliki luas
terkecil, yaitu 838,91 Km2 atau 47,86% (Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan
Tingkat Kekeringan dengan Metode SPI di Probolinggo, Jawa Timur). Pada bulan
ini terdapat 21 kecamatan mengalami kondisi agak kering, dan 23 kecamatan
mengalami kondisi normal, dimungkinkan satu kecamatan memiliki kondisi yang
berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode
Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur). Kondisi agak kering membentuk
diagonal dari Probolinggo bagian barat daya sampai Probolinggo bagian timur
laut. Kondisi normal meliputi Probolinggo bagian barat laut dan Probolinggo
bagian tenggara dengan luasan yang berbeda.
Pada bulan Juni, kondisi Probolinggo terbagi menjadi tiga menurut metode
SPI, yaitu sangat kering, kering dan agak kering. Kondisi sangat kering pertama
kali terjadi pada bulan ini. Dari segi luasnya kondisi agak kering memiliki luas
terbesar, yaitu 708,32 Km2 atau 40,41% dan kondisi kering memiliki luas terkecil,
yaitu 391,95 Km2 atau 22,36% (Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat
Kekeringan dengan Metode SPI di Probolinggo, Jawa Timur). Kondisi sangat
kering terjadi di 10 kecamatan, kondisi kering terjadi di 18 kecamatan dan kondisi
agak kering terjadi di 24 kecamatan, dimungkinkan satu kecamatan memiliki
kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan
Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur). Probolinggo bagian timur
didominasi oleh kondisi agak kering, Probolinggo bagian tengah didominasi oleh
kondisi kering, dan Probolinggo bagian timur didominasi oleh kondisi sangat
kering (Gambar 5.6).

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
62

Kondisi Probolinggo berdasarkan curah hujan yang sudah diolah


menggunakan metode SPI menghasilkan kondisi sangat kering pada bulan Juli.
Seluruh wilayah Probolinggo mengalami kondisi sangat kering (Gambar 5.6)
dengan luas 1.752,83 Km2 atau 100% (Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan
Tingkat Kekeringan dengan Metode SPI di Probolinggo, Jawa Timur). Bulan Juli
merupakan bulan pertama saat Probolinggo mengalami kondisi sangat kering.
Kondisi sangat kering bergerak ke arah barat laut dari kondisi bulan sebelumnya.
Pada bulan Agustus, berdasarkan pengolahan data dengan metode SPI kondisi
Probolinggo sangat kering di seluruh wilayah dengan luas 1.752,83 Km2 atau
100% (Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan
Metode SPI di Probolinggo, Jawa Timur). Kondisi sangat kering ini sama seperti
bulan sebelumnya, sehingga sudah terjadi kondisi sangat kering dua bulan
berturut-turut di seluruh wilayah Probolinggo (Gambar 5.6). Menurut rata-rata
curah hujan bulanan, bulan Agustus merupakan bulan yang jumlah hujan rata-
ratanya paling rendah yaitu 6 mm, dari data tersebut dapat dikatakan kondisi
kekeringan sesuai dengan kondisi curah hujannya.
Pada bulan September, berdasarkan pengolahan data dengan metode SPI
kondisi Probolinggo sangat kering di seluruh wilayah dengan luas 1.752,83 Km2
atau 100% (Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan
Metode SPI di Probolinggo, Jawa Timur). Kondisi sangat kering ini sama seperti
dua sebelumnya, sehingga sudah terjadi kondisi sangat kering tiga bulan berturut-
turut di seluruh wilayah Probolinggo (Gambar 5.6). Kondisi ini mengindikasikan
bahwa terjadi kekeringan hebat di Probolinggo pada bulan September dibanding
bulan-bulan lainnya.
Pada bulan Oktober, kondisi Probolinggo terbagi menjadi tiga menurut
metode SPI, yaitu sangat kering, kering, dan agak kering. Pada bulan ini kondisi
kering dan agak kering mulai terjadi di Probolinggo bagian tenggara di ketinggian
> 1.000 mdpl, ini mengindikasikan bahwa sudah terjadi hujan di wilayah tersebut
(Gambar 5.6). Kondisi sangat kering memiliki luas terbesar, yaitu 1.390,26 Km2
atau 79,32% dan kondisi agak kering memiliki luas terkecil, yaitu 58,61 Km2 atau
3,34% (Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan
Metode SPI di Probolinggo, Jawa Timur). Pada bulan ini terdapat 29 kecamatan

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
63

mengalami kondisi sangat kering, 3 kecamatan mengalami kondisi kering, dan 2


kecamatan mengalami kondisi agak kering, dimungkinkan satu kecamatan
memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan
Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur).
Pada bulan November, kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua menurut
metode SPI, yaitu agak kering, dan normal. Luas wilayah terbesar terjadi pada
kondisi normal, yaitu 1.739,08 Km2 atau 99,22% dan luas wilayah terkecil terjadi
pada kondisi agak kering, yaitu 13,75 Km2 atau 0,78% (Lampiran 10. Luas
Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode SPI di Probolinggo,
Jawa Timur). Pada bulan ini terdapat 4 kecamatan mengalami kondisi agak
kering, 29 kecamatan mengalami kondisi normal, dimungkinkan satu kecamatan
memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan
Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur). Kondisi agak
kering meliputi Kecamatan Sumberasih, Kecamatan Kademangan, Kecamatan
Mayangan dan Kecamatan Kanigaran (Gambar 5.6).
Sebagian besar wilayah Probolinggo mengalami kondisi normal salah satunya
kecamatan Kotaanyar (Gambar 5.5). Jika dilihat tiga bulan sebelumnya wilayah
Probolinggo sangat kering, namun pada bulan November sebagian besar
kondisinya normal. Hal ini mengindikasikan bahwa pada bulan November terjadi
hujan yang cukup besar sehingga kondisi dalam satu bulan kembali normal.

Gambar 5.5. Wilayah Kondisi Normal dengan Metode Standardized Precipitation


Index (SPI).
Sumber: Survei Lapang Penulis, November 2015.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
64

Curah hujan terus meningkat dari bulan September sampai bulan Desember.
Secara perlahan, terlihat bahwa luas wilayah kekeringan semakin berkurang dari
selatan ke utara. Pada bulan Desember, kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua
menurut SPI, yaitu normal, dan agak basah. Luas wilayah terbesar terjadi pada
kondisi agak basah, yaitu 1.211,11 Km2 atau 69,09% dan luas wilayah terkecil
terjadi pada kondisi normal, yaitu 541,71 Km2 atau 30,91% (Lampiran 10. Luas
Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode SPI di Probolinggo,
Jawa Timur). Pada bulan ini terdapat 22 kecamatan yang mengalami kondisi
normal, dan 21 kecamatan yang mengalami kondisi agak basah, dimungkinkan
satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan
Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur).
Kondisi normal meliputi Probolinggo bagian barat laut dan Probolinggo bagian
barat daya yang terdiri atas tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Sukapura,
Kecamatan Sumber dan Kecamatan Lumbang (Gambar 5.6).
Secara umum dari hasil penentuan kekeringan menggunakan metode SPI,
pergerakan pola spasial kekeringan bergerak dari barat ke timur (Gambar 5.6).
Hal ini terjadi karena terjadi penyimpangan negatif dari curah hujan di
Probolinggo bagian timur. Perhitungan SPI menggunakan rata-rata dan standar
deviasi dari data rata-rata bulanan dan rata-rata tahunan, dari perhitungan tersebut
diketahui kondisi normal setahun berdasarkan periode data perhitungan.
Khususnya pada bulan Juni (awal musim kering) terlihat bahwa penyimpangan
negatif terjadi di Probolinggo bagian timur sedangkan di Probolinggo bagian barat
terjadi penyimpangan positif. Karena hal tersebut, pergerakan pola spasial
kekeringan dari barat ke timur. Fenomena angin monsun yang terjadi tidak terlalu
berpengaruh terhadap pergerakan pola spasial kekeringan Probolinggo
menggunakan SPI, namun hanya mempengaruhi kisaran waktu memasuki musim
kering dan musim hujan.
Durasi terjadi kekeringan menurut metode SPI, yaitu selama 6 bulan dari
bulan Mei hingga Oktober dengan tingkat yang beragam. Kondisi sangat kering
terjadi selama 5 bulan, yaitu pada bulan Juni, bulan Juli, Agustus, bulan
September, dan Bulan Oktober; kondisi kering terjadi selama 2 bulan, yaitu pada
bulan Juni, dan bulan Oktober; dan kondisi agak kering terjadi selama 4 bulan,

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
65

Gambar 5.6. Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015 dengan Metode
Standardized Precipitation Index (SPI) di Probolinggo, Jawa Timur.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
66

yaitu pada bulan Mei, bulan Juni, bulan Oktober, dan bulan November. Bulan Mei
merupakan bulan peralihan dari musim hujan ke musim kemarau, ditandai dengan
munculnya kondisi agak kering, dan bulan November merupakan bulan peralihan
dari musim kemarau ke musim hujan, ditandai dengan kondisi normal si sebagian
besar Probolinggo. Wilayah Probolinggo yang seluruhnya mengalami kekeringan
dengan kondisi yang beragam terjadi pada bulan Juni hingga Oktober. Sementara
itu, puncak kekeringan terjadi pada bulan Juli, bulan Agustus, dan bulan
September dengan kondisi sangat kering, serta bulan Oktober yang masih
didominasi kondisi sangat kering.

5.5 Pola Spasial Kekeringan Berdasarkan Metode Hari Tanpa Hujan (HTH)
Metode HTH merupakan salah satu metode yang membutuhkan data dari
kelompok-kelompok jumlah hari tanpa hujan berturut-turut. Kelompok yang
memiliki jumlah paling besar atau maksimal menjadi nilai pada periode bulan
dalam perhitungannya. Ada atau tidak adanya hujan menjadi lebih penting dari
pada jumlah curah hujannya. Jumlah hari hujan berturut-turut dari hasil
perhitungan menggunakan metode hari tanpa hujan 2 merupakan nilai minimal
dan 155 merupakan nilai maksimal (Lampiran 7. Hasil Pengolahan Data Metode
Hari Tanpa Hujan (HTH). Pengolahan data menggunakan metode HTH
menghasilkan tingkat kekeringan stasiun curah hujan (Lampiran 8. Tingkat
Kekeringan Menggunakan Metode Hari Tanpa Hujan (HTH) di Probolinggo,
Jawa Timur) setiap bulan.
Pada bulan Januari, sebagian besar wilayah Probolinggo mengalami kondisi
agak basah yang mencakup 29 kecamatan, sedangkan wilayah basah mencakup 3
kecamatan, yaitu Kecamatan Tiris, Kecamatan Krucil dan Kecamatan Maron yang
terkecil luasnya (Gambar 5.9). Kondisi basah berada di Probolinggo bagian
tenggara. Luas wilayah terbesar terjadi pada kondisi agak basah, yaitu 1.481,76
Km2 atau 84,54% dan luas wilayah terkecil terjadi pada kondisi basah, yaitu
271,07 Km2 atau 15,46% (Lampiran 11. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat
Kekeringan dengan Metode HTH di Probolinggo, Jawa Timur).
Pada bulan Februari, terbagi menjadi dua menurut metode HTH, yaitu agak
basah dan basah (Gambar 5.9). Kondisi agak basah memiliki luas terbesar, yaitu

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
67

1.174,66 Km2 atau 67,02% dan kondisi basah memiliki luas terkecil, yaitu 578,17
Km2 atau 32,98% (Lampiran 11. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan
dengan Metode HTH di Probolinggo, Jawa Timur). Luas wilayah basah tersebut
bertambah sekitar 307,10 Km2 dari luas wilayah basah bulan Januari.
Pertambahan luas wilayah basah mengarah ke utara meliputi 8 kecamatan, yaitu
sebagian besar wilayah Kecamatan Tiris, Kecamatan Krucil, Kecamatan Gading,
Kecamatan Pakuniran, dan sebagian kecil wilayah Kecamatan Tegalsiwalan,
Kecamatan Banyuanyar, Kecamatan Besuk, dan Kecamatan Maron. Kondisi agak
basah terjadi di 28 kecamatan, 21 kecamatan diantaranya memiliki kondisi agak
basah yang meliputi seluruh wilayah kecamatan (Lampiran 12. Daftar Kecamatan
Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur).
Kecamatan yang seluruh wilayahnya mengalami kondisi basah adalah Kecamatan
Krucil.

Gambar 5.7. Wilayah Kondisi Agak Basah dengan Metode Hari Tanpa Hujan
(HTH).
Sumber: Survei Lapang Penulis, Maret 2016.

Pada bulan Maret, kondisi Probolinggo terbagi menjadi tiga menurut metode
HTH, yaitu normal, agak basah dan basah. Wilayah Probolinggo sebagian besar
dalam kondisi agak basah, kemudian wilayah Probolinggo bagian utara pada
bulan ini kondisinya normal, dan wilayah Probolinggo bagian selatan masih
terdapat kecamatan dalam kondisi basah (Gambar 5.9). Kondisi agak basah

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
68

memiliki luas terbesar, yaitu 1.625,21 Km2 atau 92,72% dan kondisi basah
memiliki luas terkecil, yaitu 62,91 Km2 atau 3,59% (Lampiran 11. Luas Wilayah
Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode HTH di Probolinggo, Jawa
Timur). Pada bulan ini terdapat 7 kecamatan mengalami kondisi normal, 29
kecamatan mengalami kondisi agak basah salah satunya Kecamatan Kotaanyar
(Gambar 5.7) dan 3 kecamatan mengalami kondisi basah, dimungkinkan satu
kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan
Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur).
Pada bulan April, kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua menurut metode
HTH, yaitu normal dan agak basah. Kondisi normal memiliki luas terbesar, yaitu
958,47 Km2 atau 54,68% dan kondisi agak kering memiliki luas terkecil, yaitu
794,36 Km2 atau 45,32% (Lampiran 11. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat
Kekeringan dengan Metode HTH di Probolinggo, Jawa Timur). Pada bulan ini
terdapat 27 kecamatan mengalami kondisi normal, dan 15 kecamatan mengalami
kondisi agak basah, dimungkinkan satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda
(Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di
Probolinggo, Jawa Timur). Probolinggo bagian utara didominasi oleh kondisi
normal, sedangkan Probolinggo bagian selatan didominasi oleh kondisi agak
basah (Gambar 5.9).
Pada bulan Mei, kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua menurut metode
HTH, yaitu agak kering, dan normal (Gambar 5.9). Bulan ini Probolinggo mulai
mengalami kekeringan di bagian utara. Berdasarkan luasnya, kondisi normal
memiliki luas terbesar, yaitu 939,04 Km2 atau 53,57% dan kondisi agak kering
memiliki luas terkecil, yaitu 813,78 Km2 atau 46,43% (Lampiran 11. Luas
Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode HTH di Probolinggo,
Jawa Timur). Pada bulan ini terdapat 25 kecamatan mengalami kondisi agak
kering, dan 20 kecamatan mengalami kondisi normal, dimungkinkan satu
kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan
Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur).
Kondisi agak kering berada di Probolinggo bagian barat dan utara, sedangkan
kondisi normal sebagian besar berada di Probolinggo bagian timur dan selatan.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
69

Pada bulan Juni, kondisi Probolinggo terbagi menjadi tiga menurut metode
HTH yaitu kering, agak kering dan normal. Kondisi agak kering memiliki luas
terbesar, yaitu 1199,22 Km2 atau 68,42% dan kondisi normal memiliki luas
terkecil, yaitu 138,71 Km2 atau 7,91% (Lampiran 11. Luas Wilayah Berdasarkan
Tingkat Kekeringan dengan Metode HTH di Probolinggo, Jawa Timur). Pada
bulan ini kondisi kering terjadi di 15 kecamatan, kondisi agak kering terjadi di 24
kecamatan dan kondisi normal terjadi di 2 kecamatan, dimungkinkan satu
kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan
Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur).
Kondisi normal berada di Probolinggo bagian tenggara.
Pada bulan Juli, curah hujan semakin sedikit menyebabkan kekeringan di
Probolinggo semakin meluas. Menurut perhitungan metode HTH kondisi
Probolinggo kering di seluruh wilayahnya, dengan luas 1.752,83 Km2 atau 100%
(Gambar 5.9). Hal ini, berbeda dari bulan sebelumnya yang didominasi oleh
kondisi agak kering. Kondisi kering bergerak ke selatan dari kondisi bulan
sebelumnya.
Pada bulan Agustus, kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua menurut metode
HTH, yaitu sangat kering dan kering. Bulan Agustus merupakan bulan yang
pertama kali mengalami kekeringan dengan tingkat sangat kering. Berdasarkan
luasnya, kondisi sangat kering memiliki luas terbesar, yaitu 1.214,26 Km2 atau
69,27% dan kondisi kering memiliki luas terkecil, yaitu 538,57 Km2 atau 30,73%
(Lampiran 11. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode
HTH di Probolinggo, Jawa Timur). Pada bulan ini terdapat 28 kecamatan
mengalami kondisi sangat kering, dan 10 kecamatan mengalami kondisi kering,
dimungkinkan satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12.
Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo,
Jawa Timur). Kondisi kering berada di Probolinggo bagian tenggara, sedangkan
kondisi sangat kering mendominasi Probolinggo bagian barat (Gambar 5.9).
Pada bulan September, kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua menurut
metode HTH, yaitu sangat kering dan kering. Kondisi sangat kering memiliki luas
terbesar, yaitu 1.675,15 Km2 atau 95,57% dan kondisi kering memiliki luas
terkecil, yaitu 77,68 Km2 atau 4,43% (Lampiran 11. Luas Wilayah Berdasarkan

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
70

Tingkat Kekeringan dengan Metode HTH di Probolinggo, Jawa Timur).


Dibandingkan bulan sebelumnya, bulan September merupakan bulan yang paling
kering menurut metode HTH. Pada bulan ini terdapat 29 kecamatan mengalami
kondisi sangat kering, dan 3 kecamatan mengalami kondisi kering, dimungkinkan
satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan
Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur).
Sebagian besar wilayah Probolinggo pada bulan September mengalami kondisi
sangat kering, hanya sebagian kecil saja mengalami kondisi kering, yaitu
Kecamatan Tiris, Kecamatan Maron dan Kecamatan Gading (Gambar 5.9).
Pada bulan Oktober, kondisi Probolinggo terbagi menjadi dua menurut metode
HTH, yaitu sangat kering, dan kering. Pola spasial pada bulan Oktober mirip
dengan pola spasial pada bulan Agustus meskipun luasnya berbeda (Gambar 5.9).
Kondisi sangat kering memiliki luas terbesar, yaitu 1.254,99 Km2 atau 71,60%
dan kondisi agak kering memiliki luas terkecil, yaitu 58,61 Km2 atau 3,34%
(Lampiran 11. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode
HTH di Probolinggo, Jawa Timur). Kondisi kering bertambah luasnya ke arah
utara dari bulan sebelumnya sebesar 420,16 Km2. Pada bulan ini terdapat 28
kecamatan mengalami kondisi sangat kering, dan 9 kecamatan mengalami kondisi
kering, dimungkinkan satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran
12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di
Probolinggo, Jawa Timur).
Pada bulan November, kondisi Probolinggo terbagi menjadi empat menurut
metode HTH, yaitu kering, agak kering, normal dan agak basah. Luas wilayah
terbesar terjadi pada kondisi kering, yaitu 927,00 Km2 atau 52,89% dan luas
wilayah terkecil terjadi pada kondisi agak basah, yaitu 206,36 Km2 atau 11,77%
(Lampiran 11. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode
HTH di Probolinggo, Jawa Timur). Pada bulan ini terdapat 23 kecamatan
mengalami kondisi kering, 11 kecamatan mengalami kondisi agak kering, 9
kecamatan mengalami kondisi normal, dan 3 kecamatan mengalami kondisi agak
basah, dimungkinkan satu kecamatan memiliki kondisi yang berbeda (Lampiran
12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode Kekeringan di
Probolinggo, Jawa Timur). Probolinggo bagian tenggara lebih basah dari

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
71

Probolinggo bagian utara (Gambar 5.9). Probolinggo bagian barat ditemukan


wilayah dengan kondisi agak kering diantara kondisi kering, tentunya ini
disebabkan karena curah hujan wilayah tersebut lebih besar. Salah satu kecamatan
yang mengalami kondisi agak kering adalah Kecamatan Krejengan, dan yang
mengalami kondisi kering adalah Kecamatan Wonomerto (Gambar 5.8).

Gambar 5.8. Wilayah Kondisi Agak Kering (Kanan) dan Kering (Kiri) dengan
Metode Hari Tanpa Hujan (HTH).
Sumber: Survei Lapang Penulis, November 2015.

Pada bulan Desember, kondisi Probolinggo terbagi menjadi tiga menurut


HTH, yaitu agak kering, normal, dan agak basah. Luas wilayah terbesar terjadi
pada kondisi agak basah, yaitu 1.087,97 Km2 atau 62,07% dan luas wilayah
terkecil terjadi pada kondisi agak kering, yaitu 109,32 Km2 atau 6,24% (Lampiran
11. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode HTH di
Probolinggo, Jawa Timur). Pada bulan ini terdapat 8 kecamatan mengalami
kondisi agak kering, 21 kecamatan mengalami kondisi normal, dan 19 kecamatan
mengalami kondisi agak basah, dimungkinkan satu kecamatan memiliki kondisi
yang berbeda (Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode
Kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur). Kondisi agak kering berada di sebagian
kecil wilayah Probolinggo bagian utara dan barat daya, kondisi normal berada di
sebagian besar wilayah Probolinggo bagian utara, dan kondisi agak basah
sebagian besar berada di Probolinggo bagian selatan (Gambar 5.9).

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
72

Gambar 5.9. Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015 dengan Metode Hari
Tanpa Hujan (HTH) di Probolinggo, Jawa Timur.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
73

Secara umum pola spasial kekeringan menggunakan metode HTH, bergerak


ke selatan dan tenggara. Bulan Januari hingga bulan September kekeringan
bertambah luas dari utara ke selatan, kemudian pada bulan Oktober hingga
Desember kekeringan semakin berkurang luasnya ke arah utara dan barat
(Gambar 5.9). Pergerakan kekeringan tersebut selain karena pengaruh angin
monsun, pergerakan juga dipengaruhi oleh angin lokal. Berbeda dengan
perhitungan metode de Boer yang menggunakan data besaran curah hujan,
perhitungan HTH menggunakan data kejadian hari tanpa hujan. Semakin tinggi
suatu tempat belum tentu kejadian hujannya lebih tinggi. Namun, jika angin lokal
berhembus sejajar dengan garis pantai, maka suhu tidak berubah dan karena itu
pula hujan tidak jatuh. Angin monsun timur yang terjadi sedikit banyak juga
mempengaruhi pola spasial kekeringan menggunakan metode HTH. Angin
monsun timur yang bersifat kering berlangsung selama beberapa bulan, sehingga
dapat diketahui bahwa semakin lama tingkat kekeringan di Probolinggo bagian
utara semakin tinggi, kemudian bergerak ke selatan dan tenggara.
Durasi terjadinya kekeringan menurut metode HTH, yaitu selama 7 bulan dari
bulan Mei hingga November dengan tingkat yang beragam. Kondisi sangat kering
terjadi selama 3 bulan, yaitu pada bulan Agustus, bulan September, dan Bulan
Oktober; kondisi kering terjadi selama 6 bulan, yaitu pada bulan Juni, bulan Juli,
bulan Agustus, bulan September, bulan Oktober dan bulan November; dan kondisi
agak kering terjadi selama 4 bulan, yaitu pada bulan Mei, bulan Juni, bulan
November, dan bulan Desember. Bulan Mei merupakan bulan peralihan dari
musim hujan ke musim kemarau, ditandai dengan munculnya kondisi agak kering,
dan bulan November merupakan bulan peralihan dari musim kemarau ke musim
hujan, ditandai dengan munculnya kondisi agak basah di Probolinggo bagian
tenggara. Wilayah Probolinggo yang seluruhnya mengalami kekeringan dengan
kondisi yang beragam terjadi pada bulan Juli hingga Oktober. Sementara itu,
puncak kekeringan terjadi pada bulan September.

5.6 Perbandingan Rumus Metode Penentuan Kekeringan


Pola spasial yang terbentuk dari masing-masing metode penentuan kekeringan
menghasilkan keberagaman satu sama lain. Selain pola spasial, diketahui pula

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
74

perbedaan durasi kekeringan tiap metode. Tentunya, hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan cara perhitungan. Perbandingan rumus metode dijelaskan
sebagai berikut:
Metode de Boer merupakan metode yang menghitung jumlah curah hujan dari
10 harian, sehingga parameter yang digunakan dalam metode de Boer adalah
jumlah curah hujan dalam milimeter. Untuk mendapatkan rata-rata bulan maka
jumlah curah hujan dasarian 1, 2, 3 di total lalu di bagi tiga. Secara sederhana
dijelaskan dalam rumus berikut:
(5.1)

Keterangan.
= Rata-rata dalam tiga dasarian (milimeter)
= jumlah curah hujan dasarian (milimeter)
Berdasarkan rumus tersebut, metode de Boer sangat membutuhkan
kelengkapan data curah hujan tiap harinya agar didapat hasil yang tepat karena
perhitungan yang digunakan adalah jumlah/ total. Kekosongan data harian cukup
berpengaruh dalam menentukan tingkat kekeringan. Keuntungannya, jika seluruh
data lengkap, penggunaan metode de Boer sangat detail dibanding metode SPI
dan HTH dalam penentuan tingkat kekeringan. Selain itu, klasifikasi de Boer
memiliki hubungan dengan ketinggian berdasarkan data curah hujan. Berdasarkan
perhitungan yang telah dilakukan, data curah hujan saling mempengaruhi dalam
kurun waktu dasarian dalam satu bulan, namun hasil tingkat kekeringan antar
bulannya tidak berhubungan dalam menentukan tingkat kekeringan.
Metode SPI merupakan metode yang menggunakan metode statistik
probabilistik distribusi gamma dalam menentukan tingkat kekeringan. Metode
SPI memerlukan data jumlah curah hujan dalam periode satu bulan dan satu
tahun. Data rata-rata bulanan dan tahunan didapat dari jumlah curah hujan
bulanan dan tahunan dibagi dengan jumlah data, sehingga jika data jumlah curah
hujan bulanan dan tahunan tidak lengkap maka akan mempengaruhi hasil secara
keseluruhan data karena adanya perhitungan simpangan baku. Perhitungan
simpangan baku berguna untuk melihat penyimpangan curah hujan bulan tersebut
terhadap normalnya. Semakin tinggi simpangan baku, maka semakin besar pula

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
75

penyimpangan dari data normalnya. Semua data bulanan dan tahunan dalam
perhitungan memiliki hubungan satu sama lain berdasarkan rumus SPI tersebut,
sehingga tingkat kekeringan dalam periode perhitungan juga saling berhubungan
satu sama lain dalam periode perhitungan. Tidak ada jumlah curah hujan yang
pasti untuk membatasi tingkat kekeringan. Suatu wilayah dikatakan kering atau
basah jika terjadi penyimpangan data curah hujan terhadap normalnya.
Keunggulan metode SPI, metode penentuan kekeringan ini dapat menghitung
tingkat kekeringan kurun waktu 1 bulan sampai 36 bulan. Saat ini, sudah ada
software SPI yang mudah digunakan untuk menghitung tingkat kekeringan.
Berbeda dengan metode de Boer dan metode SPI yang menghitung besaran
curah hujan, metode HTH menghitung jumlah hari tanpa hujan berturut-turut
tanpa diselingi hari hujan dalam penentuan kekeringan. Metode HTH memerlukan
data harian dalam periode yang ditentukan. Kelengkapan data harian tentunya
menjadi hal yang penting untuk mengetahui deret hari tanpa hujan maksimal
dalam periode perhitungan. Data curah hujan dari segi jumlahnya dalam metode
ini tidak begitu dibutuhkan karena perhitungan yang dilakukan adalah jumlah
harinya bukan jumlah curah hujan (milimeter) seperti metode de Boer dan metode
SPI. Syarat akumulasi data ke bulan sebelumnya juga menjadi salah satu indikator
bahwa metode HTH memperhitungkan kejadian sebelumnya untuk mengetahui
kondisi periode yang sedang dihitung. Namun, tingkat kekeringan bulan dalam
penelitian ini bisa jadi berhubungan, bisa juga tidak berhubungan dengan bulan
sebelumnya tergantung syarat perhitungan mana yang berlaku pada bulan
tersebut. Penerapan metode HTH sangat membantu serta mudah dimengerti oleh
petani khususnya untuk mengetahui kondisi alam dan kapan waktu mereka untuk
mulai menanam.

5.7 Perbandingan Pola Spasial Kekeringan


Metode de Boer, metode SPI dan metode HTH untuk penentuan kekeringan
yang digunakan dalam penelitian ini menghasilkan pola spasial kekeringan yang
beragam. Perbandingan yang coba diungkapkan ialah perbandingan antar dua
metode dengan klasifikasi lebih kering (<), sama kering (=) dan lebih basah (>).
Perbandingan wilayah kekeringan tersebut di analisis pula dengan variabel

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
76

ketinggian, sehingga dapat diketahui pada ketinggian berapa terjadi berbedaan


luas kekeringan dari metode yang dibandingkan.

5.7.1 Metode de Boer (A) dan Standardized Precipitation Index (SPI) (B)
Pada bulan Januari, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode de
Boer (A) sama kering dengan metode SPI (B) dan metode de Boer (A) lebih basah
daripada metode SPI (B). Hasil analisis overlay A > B meliputi sebagian besar
Probolinggo, sedangkan hasil analisis overlay A = B meliputi Probolinggo bagian
timur yang membujur dari utara ke selatan (Gambar 5.11). Wilayah A > B luasnya
paling besar (Tabel 5.1), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A
menentukan kondisi yang lebih basah dibanding metode B. Berdasarkan
ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan antara metode A dengan metode B
terjadi di seluruh wilayah ketinggian, dengan luas maksimal sebesar 560,34 Km2
atau 31,97% di ketinggian < 100 mdpl (Gambar 5.10).

Tabel 5.1. Luas Wilayah Hasil Analisis Overlay Metode de Boer (A) dan Metode
SPI (B) di Probolinggo, Jawa Timur.
A<B A=B A>B
Bulan
Luas % Luas % Luas %
Jan 0 0 340,57 19,43 1.412,26 80,57
Feb 168,07 9,59 1.166,20 66,53 418,57 23,88
Mar 100,43 5,73 409,88 23,38 1.242,52 70,89
Apr 509,54 29,07 473,39 27,01 769,89 43,92
Mei 1.429,14 81,53 308,26 17,59 15,43 0,88
Juni 708,75 40,43 392.06 22,37 652,01 37,20
Juli 0 0 1.393,95 79,53 358,88 20,47
Ags 0 0 1.752,83 100 0 0
Sep 0 0 1.714,00 97,78 38,83 2,22
Okt 0 0 967,88 55,22 784,95 44,78
Nov 1.146,09 65,39 237,72 13,56 369,02 21,05
Des 95,87 5,47 422,44 24,10 1.234,52 70,43
*Satuan luas =Km2
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Pada bulan Februari, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode
de Boer (A) lebih kering daripada metode SPI (B), metode de Boer (A) sama
kering dengan metode SPI (B) dan metode de Boer (A) lebih basah daripada
metode SPI (B). Hasil analisis overlay A < B terjadi sebagian besar di

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
77

Probolinggo bagian utara, hasil analisis overlay A = B terjadi di Probolinggo


bagian barat dan timur, dan hasil analisis overlay A > B terjadi di Probolinggo
bagian barat daya dan selatan (Gambar 5.11). Berdasarkan perhitungan luas,
wilayah A = B paling besar (Tabel 5.1), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan
metode A menentukan kondisi yang sama kering dengan metode B. Berdasarkan
ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian <
100 mdpl, dengan total luas sebesar 204,05 Km2 atau 11.64% (Gambar 5.10).

Gambar 5.10. Luas PerbedaanTingkat Kekeringan Metode de Boer (A) dan


Metode SPI (B) Berdasarkan Ketinggian di Probolinggo, Jawa Timur.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Pada bulan Maret, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode de
Boer (A) lebih kering daripada metode SPI (B), metode de Boer (A) sama kering
dengan metode SPI (B) dan metode de Boer (A) lebih basah daripada metode SPI
(B). Hasil analisis overlay A < B terjadi di Probolinggo bagian utara, hasil analisis
overlay A = B terjadi di Probolinggo bagian tengah dan barat daya, dan hasil
analisis overlay A > B terjadi di Probolinggo bagian tengah hingga selatan yang
membentang dari barat ke timur (Gambar 5.11). Wilayah A > B memiliki luas
terbesar (Tabel 5.1), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A
menentukan kondisi yang lebih basah dibanding metode B. Berdasarkan
ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan antara metode A dengan metode B

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
78

terjadi di seluruh wilayah ketinggian, dengan luas maksimal sebesar 431,77 Km2
atau 24,63% di ketinggian 100-500 mdpl (Gambar 5.10).
Pada bulan April, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode de
Boer (A) lebih kering daripada metode SPI (B), metode de Boer (A) sama dengan
metode SPI (B) dan metode de Boer (A) lebih basah daripada metode SPI (B).
Hasil analisis overlay A < B terjadi di Probolinggo bagian utara, hasil analisis
overlay A = B terjadi di Probolinggo bagian tengah, dan hasil analisis overlay A >
B terjadi di Probolinggo bagian selatan (Gambar 5.11). Berdasarkan perhitungan
luas, wilayah A > B memiliki luas paling besar (Tabel 5.1), sehingga pada bulan
ini dapat dikatakan metode A menentukan kondisi yang lebih basah dibanding
metode B. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan antara metode A
dengan metode B terjadi di seluruh wilayah ketinggian, dengan luas maksimal
sebesar 465,66 Km2 atau 26,45% di ketinggian < 100 mdpl (Gambar 5.10).
Pada bulan Mei, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode de
Boer (A) lebih kering daripada metode SPI (B), metode de Boer (A) sama kering
dengan metode SPI (B) dan metode de Boer (A) lebih basah daripada metode SPI
(B). Hasil analisis overlay A < B terjadi di sebagian besar Probolinggo, hasil
analisis overlay A = B terjadi di Probolinggo bagian selatan, dan hasil analisis
overlay A > B terjadi di Probolinggo bagian selatan (Gambar 5.11). Berdasarkan
perhitungan luas wilayah A < B lebih besar (Tabel 5.1), sehingga pada bulan ini
dapat dikatakan metode A menentukan kondisi yang lebih kering dibanding
metode B. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak
terjadi di ketinggian < 100 mdpl, dengan total luas sebesar 624,50 Km2 atau
35,63% (Gambar 5.10).
Pada bulan Juni, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode de
Boer (A) lebih kering daripada metode SPI (B), metode de Boer (A) sama kering
dengan metode SPI (B) dan metode de Boer (A) lebih basah daripada metode SPI
(B). Hasil analisis overlay A < B terjadi di Probolinggo bagian barat, hasil analisis
overlay A = B terjadi di Probolinggo bagian tengah, dan hasil analisis overlay A >
B terjadi di Probolinggo bagian timur (Gambar 5.11). Berdasarkan perhitungan
luas wilayah A < B lebih besar (Tabel 5.1), sehingga pada bulan ini dapat
dikatakan metode A menentukan kondisi yang lebih kering dibanding metode B.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
79

Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di


ketinggian < 100 mdpl, dengan total luas sebesar 624,50 Km2 atau 35,63%
(Gambar 5.10).
Pada bulan Juli, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode de
Boer (A) sama dengan metode SPI (B) dan metode de Boer (A) lebih basah
daripada metode SPI (B). Pda bulan ini sudah memasuki musim kemarau. Hasil
analisis overlay A = B terjadi di sebagian besar Probolinggo, dan hasil analisis
overlay A > B terjadi di Probolinggo bagian tenggara (Gambar 5.11). Berdasarkan
perhitungan luasnya, wilayah A = B merupakan wilayah terbesar (Tabel 5.1),
sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A menentukan kondisi yang sama
kering dengan metode B. Berdasarkan ketinggian, tidak terjadi perbedaan tingkat
kekeringan di ketinggian < 100 mdpl, dan di ketinggian 500-1.000 mdpl terjadi
perbedaan luas tingkat kekeringan maksimal dengan total luas sebesar 185,57
Km2 atau 10,59% (Gambar 5.10).
Pada bulan Agustus, hasil analisis overlay metode de Boer (A)dengan metode
SPI (B) menunjukkan tingkat kekeringan yang sama di seluruh wilayah
Probolinggo (Gambar 5.11). Bulan ini kondisi rata-rata curah hujan bulanan
Probolinggo merupakan kondisi paling minimum, hal ini dapat terdeteksi oleh
kedua metode yang menunjukkan kondisi sangat kering. Berdasarkan ketinggian,
tidak terjadi perbedaan tingkat kekeringan di seluruh wilayah ketinggian (Gambar
5.10).
Pada bulan September, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu
metode de Boer (A) sama kering dengan metode SPI (B) dan metode de Boer (A)
lebih basah daripada metode SPI (B). Hasil analisis overlay A = B terjadi di
sebagian besar Probolinggo, dan hasil analisis overlay A > B terjadi di sebagian
kecil Probolinggo bagian tenggara (Gambar 5.11). Wilayah A = B merupakan
wilayah dengan luas terbesar (Tabel 5.1), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan
metode A menentukan kondisi yang sama kering dengan metode B. Berdasarkan
ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan terbesar terjadi di ketinggian 500-1.000
mdpl, dengan total luas sebesar 35,82 Km2 atau 2,04% (Gambar 5.10).
Pada bulan Oktober, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode
de Boer (A) sama kering dengan metode SPI (B) dan metode de Boer (A) lebih

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
80

basah daripada metode SPI (B). Hasil analisis overlay A = B terjadi di


Probolinggo bagian utara dan barat daya, dan hasil analisis overlay A > B terjadi
di Probolinggo bagian selatan (Gambar 5.11). Wilayah A = B merupakan wilayah
dengan luas terbesar (Tabel 5.1), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode
A menentukan kondisi yang sama kering dengan metode B. Meskipun rata-rata
curah hujan bulanan sudah bertambah dari bulan sebelumnya, namun kedua
metode ini masih menunjukkan kondisi sangat kering, meski ada sebagian kecil
kondisinya lebih basah. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan
terbesar terjadi di ketinggian 100-500 mdpl, dengan total luas sebesar 346,09 Km2
atau 19,74% (Gambar 5.10).
Pada bulan November, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu
metode de Boer (A) lebih kering daripada metode SPI (B), metode de Boer (A)
sama kering dengan metode SPI (B) dan metode de Boer (A) lebih basah daripada
metode SPI (B). Hasil analisis overlay A < B terjadi di bagian barat hingga ke
timur Probolinggo, hasil analisis overlay A = B terjadi di Probolinggo bagian
timur, dan hasil analisis overlay A > B terjadi di Probolinggo bagian tenggara
(Gambar 5.11).Wilayah A < B merupakan wilayah dengan luas terbesar (Tabel
5.1), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A menentukan kondisi yang
lebih kering dibanding metode B. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat
kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl, dengan total luas
sebesar 611,44 Km2 atau 34,88% (Gambar 5.10).
Pada bulan Desember, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode
de Boer (A) lebih kering daripada metode SPI (B), metode de Boer (A) sama
kering dengan metode SPI (B) dan metode de Boer (A) lebih basah daripada
metode SPI (B). Hasil analisis overlay A < B terjadi di Probolinggo bagian utara,
hasil analisis overlay A = B terjadi di Proboliggo bagian utara, dan hasil analisis
overlay A > B terjadi di sebagian besar wilayah Probolinggo yang membentang
dari barat ke timur (Gambar 5.11). Wilayah A > B merupakan wilayah dengan
luas terbesar (Tabel 5.1), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A
menentukan kondisi yang lebih basah dibanding metode B. Berdasarkan
ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian 100-
500 mdpl, dengan total luas sebesar 428,24 Km2 atau 24,43% (Gambar 5.10).

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
81

Gambar 5.11. Perbandingan Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015 dengan
Metode de Boer (A) dan Standardized Precipitation Index (SPI) (B) di
Probolinggo, Jawa Timur.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
82

Perbandingan antar metode dilakukan dari bulan Januari hingga bulan


Desember. Bulan Agustus merupakan satu-satunya bulan yang tidak terdapat
perbedaan tingkat kekeringan metode de Boer (A) dan metode SPI (B) (Gambar
5.11). Bulan September merupakan bulan dengan luas wilayah perbedaan tingkat
kekeringannya terkecil. Berdasarkan perbandingan luas terbesar antara metode de
Boer (A) dan metode SPI (B), luas terbesar A < B terhitung 3 kali, yaitu bulan
Mei, Juni, November, A = B terhitung 5 kali, yaitu bulan Februari, Juli hingga
Oktober dan A > B terhitung 4 kali, yaitu bulan Januari, Maret, April, dan
Desember. Berdasarkan hal tersebut, diperoleh hasil bahwa metode de Boer (A)
sama kering dengan metode SPI (B) dalam menentukan kekeringan di
Probolinggo, Jawa Timur.
Perbedaan antara metode de Boer dan metode SPI juga dilihat dari wilayah
ketinggian Probolinggo. Di ketinggian < 100 mdpl perbedaan tingkat kekeringan
dengan luas terbesar terjadi pada bulan Mei, sedangkan dengan luas terkecil
terjadi pada bulan Juli hingga Desember. Di ketinggian 100-500 mdpl terjadi pada
bulan Maret (terbesar) dan bulan Agustus (terkecil). Di ketinggian 500-1.000
mdpl terjadi pada bulan Maret (terbesar) dan bulan Agustus (terkecil). Di
ketinggian > 1.000 mdpl terjadi pada bulan Juni (terbesar) dan bulan Agustus
(terkecil). Perbedaan tingkat kekeringan terbesar di ketinggian < 100 mdpl.

5.7.2 Metode de Boer (A) dan Hari Tapa Hujan (HTH) (C)
Pada bulan Januari, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode de
Boer (A) sama kering dengan metode HTH (C) dan metode de Boer (A) lebih
basah daripada metode HTH (C). Hasil analisis overlay A > C terjadi sebagian
besar wilayah Probolinggo, sedangkan hasil analisis overlay A = C terjadi di
sebagian kecil Probolinggo bagian utara dan tenggara (Gambar 5.13).
Berdasarkan perhitungan luas, wilayah A > C adalah yang terbesar (Tabel 5.2),
sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A menentukan kondisi yang lebih
basah dibanding metode C. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan
paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl, dengan total luas sebesar 593,87
Km2 atau 33,88% (Gambar 5.12).

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
83

Tabel 5.2. Luas Wilayah Hasil Analisis Overlay Metode de Boer (A) dan HTH
(C) di Probolinggo, Jawa Timur.
A <C A=C A >C
Bulan
Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) %
Jan 0 0 305,04 17,40 1.447,79 82,60
Feb 0 0 813,99 46,44 938,84 53,56
Mar 178,36 10,18 459,37 26,21 1.115,10 63,62
Apr 609,33 34,76 720,63 41,11 422,87 24,12
Mei 1.491,20 85,07 261,62 14,93 0 0
Juni 1.338,13 76,34 414,69 23,66 0 0
Juli 1.393,95 79,53 358,88 20,47 0 0
Ags 538,79 30,74 1.214,04 69,26 0 0
Sep 5.456,13 3,11 1.682,45 95,98 15,82 0,90
Okt 0 0 1.056,72 60,29 696,11 39,71
Nov 142,03 8,10 635,57 36,26 975,24 55,64
Des 67,07 3,83 276,97 15,80 1.408,79 80,37
*Satuan luas =Km2
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Pada bulan Februari, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode
de Boer (A) sama kering dengan metode HTH (C) dan metode de Boer (A) lebih
basah daripada metode HTH (C). Hasil analisis overlay A > C terjadi di
Probolinggo bagian barat, tengah, dan barat laut, sedangkan hasil analisis overlay
A = C terjadi di Probolinggo bagian utara dan tenggara (Gambar 5.13).
Berdasarkan perhitungan luas, wilayah A > C adalah yang terbesar (Tabel 5.2),
sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A menentukan kondisi yang lebih
basah dibanding metode C. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan
paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl, dengan total luas sebesar 396,52
Km2 atau 22,62% (Gambar 5.12).
Pada bulan Maret, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode de
Boer (A) lebih kering daripada metode HTH (C), metode de Boer (A) sama kering
dengan metode HTH (C) dan metode de Boer (A) lebih basah daripada metode
HTH (C). Hasil analisis overlay A < C terjadi sebagian besar di Probolinggo
bagian utara, hasil analisis overlay A = C terjadi di Probolinggo bagian utara,
tengah, dan barat daya, dan hasil analisis overlay A > C terjadi di Probolinggo
bagian barat dan timur (Gambar 5.13). Berdasarkan perhitungan luas wilayah A >
C adalah yang terbesar (Tabel 5.2), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan
metode A menentukan kondisi yang lebih basah dibanding metode C.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
84

Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di


ketinggian 100-500 mdpl, dengan total luas sebesar 385,26 Km2 atau 21,98%
(Gambar 5.12).

Gambar 5.12. Luas PerbedaanTingkat Kekeringan Metode de Boer (A) dan


Metode HTH (C) Berdasarkan Ketinggian di Probolinggo, Jawa Timur.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Pada bulan April, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode de
Boer (A) lebih kering daripada metode HTH (C), metode de Boer (A) sama
dengan metode HTH (C) dan metode de Boer (A) lebih basah daripada metode
HTH (C). Hasil analisis overlay A < C terjadi sebagian besar di Probolinggo
bagian utara, hasil analisis overlay A = C tersebar di beberapa bagian wilayah
Probolinggo, dan hasil analisis overlay A > C terjadi di Probolinggo bagian
tenggara dan beberapa bagian lain namun luasan yang tidak besar (Gambar 5.13).
Berdasarkan perhitungan luas wilayah A = C adalah yang terbesar (Tabel 5.2),
sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A menentukan kondisi yang sama
kering dengan metode C. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan
paling banyak terjadi di ketinggian < 1000 mdpl, dengan total luas sebesar 495,45
Km2 atau 28,27% (Gambar 5.12).
Pada bulan Mei, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode de
Boer (A) lebih kering daripada metode HTH (C) dan metode de Boer (A) sama

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
85

kering dengan metode HTH (C). Hasil analisis overlay A < C terjadi di sebagian
besar wilayah Probolinggo, sedangkan hasil analisis overlay A = C tersebar di
Probolinggo bagian barat, tenggara dan timur (Gambar 5.13). Berdasarkan
perhitungan luas wilayah A < C adalah yang terbesar (Tabel 5.2), sehingga pada
bulan ini dapat dikatakan metode A menentukan kondisi yang lebih kering
dibanding metode C. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan
paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl, dengan total luas sebesar 627,40
Km2 atau 35,79% (Gambar 5.12).
Pada bulan Juni, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode de
Boer (A) lebih kering daripada metode HTH (C) dan metode de Boer (A) sama
kering dengan metode HTH (C). Hasil analisis overlay A < C terjadi di sebagian
besar wilayah Probolinggo, sedangkan hasil analisis overlay A = C tersebar di
Probolinggo bagian utara, barat daya dan timur laut dengan luasan yang beragam
(Gambar 5.13). Berdasarkan perhitungan luas wilayah A < C adalah yang terbesar
(Tabel 5.2), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A menentukan
kondisi yang lebih kering dibanding metode C. Berdasarkan ketinggian,
perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl,
dengan total luas sebesar 421,16 Km2 atau 24,03% (Gambar 5.12).
Pada bulan Juli, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode de
Boer (A) lebih kering daripada metode HTH (C) dan metode de Boer (A) sama
dengan metode HTH (C). Hasil analisis overlay A < C terjadi di sebagian besar
wilayah Probolinggo, sedangkan hasil analisis overlay A = C terjadi di
Probolinggo bagian tenggara (Gambar 5.13). Berdasarkan perhitungan luas
wilayah A < C adalah yang terbesar (Tabel 5.2), sehingga pada bulan ini dapat
dikatakan metode A menentukan kondisi yang lebih kering dibanding metode C.
Berdasarkan ketinggian sama seperti tiga bulan sebelumnya, perbedaan tingkat
kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl, dengan total luas
sebesar 627,89 Km2 atau 35,82% (Gambar 5.12).
Pada bulan Agustus, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode
de Boer (A) lebih kering daripada metode HTH (C) dan metode de Boer (A) sama
kering dengan metode HTH (C). Hasil analisis overlay A < C terjadi di sebagian
besar wilayah Probolinggo, sedangkan hasil analisis overlay A = C tersebar di

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
86

Probolinggo bagian timur (Gambar 5.13). Berdasarkan perhitungan luas wilayah


A = C adalah yang terbesar (Tabel 5.2), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan
metode A menentukan kondisi yang sama kering dengan metode C. Berdasarkan
ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian 100-
500 mdpl, dengan total luas sebesar 202,57 Km2 atau 11,56% (Gambar 5.12).
Pada bulan September, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu
metode de Boer (A) lebih kering daripada Metode HTH (C), Metode de Boer (A)
sama dengan Metode HTH (C) dan Metode de Boer (A) lebih basah daripada
Metode HTH (C). Hasil analisis overlay A < C terjadi di sebagian besar wilayah
Probolinggo, hasil analisis overlay A = C terjadi di sebagian kecil wilayah
Probolinggo bagian tenggara, dan hasil analisis overlay A > C terjadi di bagian
tenggara wilayah Probolinggo (Gambar 5.13). Berdasarkan perhitungan luas
wilayah A = C adalah yang terbesar (Tabel 5.2), sehingga pada bulan ini dapat
dikatakan metode A menentukan kondisi yang sama dengan metode C.
Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di
ketinggian 500-1.000 mdpl, dengan total luas sebesar 37,30 Km2 atau 2,13%
(Gambar 5.12).
Pada bulan Oktober, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu Metode
de Boer (A) sama dengan Metode HTH (C) dan Metode de Boer (A) lebih basah
daripada Metode HTH (C). Hasil analisis overlay A = C terjadi sebagian besar
wilayah Probolinggo terutama bagian utara, sedangkan hasil analisis overlay A
>C terjadi di Probolinggo bagian barat dan timur (Gambar 5.13). Berdasarkan
perhitungan luas wilayah A = C lebih besar (Tabel 5.2), sehingga pada bulan ini
dapat dikatakan metode A menentukan kondisi yang sama dengan metode C.
Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di
ketinggian 500-1.000 mdpl, dengan total luas sebesar 226,61 Km2 atau 12,93%
(Gambar 5.12).
Pada bulan November, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu
metode de Boer (A) lebih kering daripada metode HTH (C), metode de Boer (A)
sama kering dengan metode HTH (C) dan metode de Boer (A) lebih basah
daripada metode HTH (C). Hasil analisis overlay A < C terjadi di Probolinggo
bagian tengah, hasil analisis overlay A = C terjadi di Probolinggo bagian utara,

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
87

dan hasil analisis overlay A > C terjadi di Probolinggo bagian barat dan timur
(Gambar 5.13).Berdasarkan perhitungan luas wilayah A > C adalah yang terbesar
(Tabel 5.2), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A menentukan
kondisi yang lebih basah dibanding metode C. Berdasarkan ketinggian, perbedaan
tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian > 1.000 mdpl, dengan total
luas sebesar 373,30 Km2 atau 21,30% (Gambar 5.12).
Pada bulan Desember, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode
de Boer (A) lebih kering daripada metode HTH (C), metode de Boer (A) sama
dengan metode HTH (C) dan metode de Boer (A) lebih basah daripada metode
HTH (C). Hasil analisis overlay A < C terjadi di Probolinggo bagian utara, hasil
analisis overlay A = C terjadi di Probolinggo bagian utara dan tengah, dan hasil
analisis overlay A > C terjadi di sebagian besar wilayah Probolinggo (Gambar
5.13). Berdasarkan perhitungan luas wilayah A > C adalah yang terbesar (Tabel
5.2), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode A menentukan kondisi yang
lebih basah dibanding metode C. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat
kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian 100-500 mdpl, dengan total luas
sebesar 432,48 Km2 atau 24,67% (Gambar 5.12).
Berdasarkan perbandingan antar bulan, bulan September merupakan bulan
yang memiliki luas perbedaan terkecil dibandingkan bulan lainnya (Gambar 5.13).
Berdasarkan perbandingan luas terbesar antara metode de Boer (A) dan Metode
HTH (C), luas terbesar A < C terhitung 3 kali, yaitu bulan Mei hingga Juli
berturut-turut, A = C terhitung 4 kali, yaitu bulan April, Agustus hingga Oktober
berturut-turut, dan A > C terhitung 5 kali, yaitu bulan Januari hingga Maret, dan
bulan November hingga Desember. Berdasarkan hal tersebut, diperoleh hasil
bahwa metode de Boer (A) lebih basah daripada metode HTH (C) dalam
menentukan kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur.
Perbedaan antara metode de Boer dan metode SPI juga dapat dilihat dari
wilayah ketinggian Probolinggo (Gambar 5.12). Di ketinggian < 100 mdpl terjadi
perbedaan tingkat kekeringan pada bulan Juli dengan luas terbesar, sedangkan
dengan luas terkecil terjadi pada bulan September. Di ketinggian 100-500 mdpl
terjadi pada bulan Juni (terbesar) dan bulan September (terkecil). Di ketinggian

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
88

Gambar 5.13. Perbandingan Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015 dengan
Metode de Boer (A) dan Hari Tanpa Hujan (HTH) (B) di Probolinggo, Jawa
Timur.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
89

500-1.000 mdpl terjadi pada bulan Desember (terbesar) dan bulan September
(terkecil). Di ketinggian > 1.000 mdpl terjadi pada bulan November (terbesar) dan
bulan September (terkecil). Perbedaan luasan yang paling kecil di seluruh wilayah
ketinggian Probolinggo terjadi pada bulan September. Perbedaan tingkat
kekeringan metode de Boer (A) dan metode SPI (B) dari bulan Januari hingga
Desember paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl.

5.7.3 Metode Standardized Precipitation Index (SPI) (B) dan Hari Tanpa
Hujan (HTH) (C)
Pada bulan Januari, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode
SPI (B) lebih kering daripada metode HTH (C), metode SPI (B) sama kering
dengan metode HTH (C) dan metode SPI (B) lebih basah daripada metode HTH
(C). Hasil analisis overlay B < C terjadi di Probolinggo bagian tenggara, hasil
analisis overlay B = C terjadi di sebagian besar wilayah Probolinggo, dan hasil
analisis overlay B > C terjadi di Probolinggo bagian timur (Gambar 5.15).
Berdasarkan perhitungan luas wilayah B = C adalah yang terbesar (Tabel 5.3),
sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode B menentukan kondisi yang sama
kering dengan metode C. Berdasarkan ketinggian, perbandingan metode de Boer
dan metode SPI, serta metode de Boer dan metode HTH menunjukkan perbedaan
tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl, berbeda
dengan itu perbandingan metode SPI dan metode HTH terjadi di ketinggian 500-
1.000 mdpl, dengan total luas sebesar 99,06 Km2 atau 5,65% (Gambar 5.14).
Pada bulan Februari, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode
SPI (B) lebih kering daripada metode HTH (C), metode SPI (B) sama kering
dengan metode HTH (C) dan metode SPI (B) lebih basah daripada metode HTH
(C). Hasil analisis overlay B < C terjadi di Probolinggo bagian tenggara, hasil
analisis overlay B = C terjadi di Probolinggo bagian selatan, dan hasil analisis
overlay B > C terjadi di Probolinggo bagian utara (Gambar 5.15). Berdasarkan
perhitungan luas wilayah B = C adalah yang terbesar (Tabel 5.3), sehingga pada
bulan ini dapat dikatakan metode B menentukan kondisi yang sama dengan
metode C. Berdasarkan ketinggian, sama seperti perbandingan metode-metode

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
90

sebelumnya, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian <


100 mdpl, dengan total luas sebesar 527,20 Km2 atau 30,08% (Gambar 5.14).

Tabel 5.3. Luas Wilayah Hasil Analisis Overlay Metode SPI (B) dan Metode
HTH (C) di Probolinggo, Jawa Timur.
B<C B=C B>C
Bulan
Luas % Luas % Luas %
Jan 114,95 6,56 1.487,42 84,86 150,45 8,58
Feb 79,29 4,52 906,16 51,70 767,38 43,78
Mar 265,45 15,14 1.436,15 81,93 51,22 2,92
Apr 794,42 45,32 958,41 54,68 0 0
Mei 380,78 21,72 1.016,40 57,99 355,65 20,29
Juni 1.036,82 59,15 403,77 23,04 312,24 17,81
Juli 1.752,83 100 0 0 0 0
Ags 538,79 30,74 1.214,04 69,26 0 0
Sep 77,61 4,43 1.675,22 95,57 0 0
Okt 206,70 11,79 1.416,18 80,79 129,94 7,41
Nov 206,26 11,77 334,55 19,09 1.212,03 69,15
Des 167,24 9,54 1.186,14 67,67 399,45 22,79
*Satuan luas =Km2
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Pada bulan Maret, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode
SPI (B) lebih kering daripada metode HTH (C), metode SPI (B) sama kering
dengan metode HTH (C) dan metode SPI (B) lebih basah daripada metode HTH
(C). Hasil analisis overlay B < C terjadi di Probolinggo bagian timur, hasil
analisis overlay B = C terjadi di sebagian besar wilayah Probolinggo, dan hasil
analisis overlay B > C terjadi di Probolinggo bagian utara dengan luasan sangat
kecil sekitar 2,92% (Gambar 5.15). Wilayah B = C merupakan wilayah dengan
luas terbesar (Tabel 5.3), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode B
menentukan kondisi yang sama kering dengan metode C. Berdasarkan ketinggian,
perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl,
dengan total luas sebesar 252,47 Km2 atau 14,40% (Gambar 5.14).
Pada bulan April, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode SPI
(B) lebih kering daripada metode HTH (C), Metode SPI (B) sama kering dengan
metode HTH (C). Hasil analisis overlay B < C terjadi di Probolinggo bagian barat
dan tenggara, sedangkan hasil analisis overlay B = C terjadi di Probolinggo
bagian utara dan barat daya (Gambar 5.15). Berdasarkan perhitungan luas wilayah

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
91

B = C adalah yang terbesar (Tabel 5.3), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan
metode B menentukan kondisi yang sama kering dengan metode C. Berdasarkan
ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian 100-
500 mdpl, dengan total luas sebesar 297,37 Km2 atau 16,97% (Gambar 5.14).

Gambar 5.14. Luas PerbedaanTingkat Kekeringan Metode SPI (B) dan Metode
HTH (C) Berdasarkan Ketinggian di Probolinggo, Jawa Timur.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Pada bulan Mei, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode SPI
(B) lebih kering daripada metode HTH (C), metode SPI (B) sama kering dengan
metode HTH (C) dan metode SPI (B) lebih basah daripada metode HTH (C).
Hasil analisis overlay B < C terjadi di Probolinggo bagian tengah, hasil analisis
overlay B = C tersebar seluruh wilayah Probolinggo yang didominasi di bagian
tenggara, dan hasil analisis overlay B > C terjadi di Probolinggo bagian barat laut
dan timur (Gambar 5.15). Berdasarkan perhitungan luas wilayah B = C adalah
yang terbesar (Tabel 5.3), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode B
menentukan kondisi yang sama kering dengan metode C. Berdasarkan ketinggian,
perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl,
dengan total luas sebesar 364,53 Km2 atau 20,80% (Gambar 5.14).
Pada bulan Juni, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode SPI
(B) lebih kering daripada metode HTH (C), metode SPI (B) sama kering dengan

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
92

metode HTH (C) dan metode SPI (B) lebih basah daripada metode HTH (C).
Hasil analisis overlay B < C terjadi di Probolinggo bagian timur, hasil analisis
overlay B = C terjadi di Probolinggo barat dan tengah, dan hasil analisis overlay B
> C terjadi di Probolinggo bagian barat (Gambar 5.15). Berdasarkan perhitungan
luas wilayah B < C adalah yang terbesar (Tabel 5.3), sehingga pada bulan ini
dapat dikatakan metode B menentukan kondisi yang lebih kering dibanding
metode C. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak
terjadi di ketinggian < 100 mdpl, dengan total luas sebesar 488,09 Km2 atau
27,85% (Gambar 5.14).
Pada bulan Juli, hasil analisis overlay adalah kekeringan oleh metode SPI (B)
lebih kering daripada metode HTH (C). Wilayahnya mencakup seluruh
Probolinggo (Gambar 5.15). Pada bulan Juli, metode SPI menentukan kondisi
sangat kering, sedangkan metode HTH menentukan kondisi kering di
Probolinggo. Berdasarkan ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling
banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl, dengan total luas sebesar 627, 84 Km2
atau 35,82% (Gambar 5.14).
Pada bulan Agustus, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu metode
SPI (B) lebih kering daripada metode HTH (C) dan metode SPI (B) sama kering
dengan metode HTH (C). Hasil analisis overlay B < C terjadi di Probolinggo
bagian tenggara, sedangkan hasil analisis overlay B = C terjadi di sebagian besar
wilayah Probolinggo (Gambar 5.15). Berdasarkan perhitungan luas wilayah B = C
adalah yang terbesar (Tabel 5.3), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode
B menentukan kondisi yang sama kering dengan metode C. Berdasarkan
ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian 100-
500 mdpl, dengan total luas sebesar 202,57 Km2 atau 11,56% (Gambar 5.14).
Pada bulan September, hasil analisis overlay terbagi menjadi dua, yaitu
metode SPI (B) lebih kering daripada metode HTH (C) dan metode SPI (B) sama
kering dengan metode HTH (C). Hasil analisis overlay B < C terjadi di
Probolinggo bagian tenggara dengan luas sangat kecil (4,43% dari luas total),
sedangkan hasil analisis overlay B = C terjadi di sebagian besar wilayah
Probolinggo (Gambar 5.15). Berdasarkan perhitungan luas wilayah B = C adalah
yang terbesar (Tabel 5.3), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode B

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
93

menentukan kondisi yang sama kering dengan metode C. Berdasarkan ketinggian,


perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian 500-1.000 mdpl,
dengan total luas sebesar 41,48 Km2 atau 2,39% (Gambar 5.14).
Pada bulan Oktober, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode
SPI (B) lebih kering daripada metode HTH (C), metode SPI (B) sama kering
dengan metode HTH (C) dan metode SPI (B) lebih basah daripada metode HTH
(C). Hasil analisis overlay B < C terjadi di Probolinggo bagian selatan, hasil
analisis overlay B = C terjadi di sebagian besar wilayah Probolinggo, dan hasil
analisis overlay B > C terjadi di Probolinggo bagian tenggara dengan luas sangat
kecil (7,41 % dari luas total) (Gambar 5.15). Wilayah B = C merupakan wilayah
dengan luas terbesar (Tabel 5.3), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode
B menentukan kondisi yang sama kering dengan metode C. Berdasarkan
ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian 100-
500 mdpl, dengan total luas sebesar 165,57 Km2 atau 9,45% (Gambar 5.14).
Pada bulan November, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu
metode SPI (B) lebih kering daripada metode HTH (C), metode SPI (B) sama
kering dengan metode HTH (C) dan metode SPI (B) lebih basah daripada metode
HTH (C). Hasil analisis overlay B < C terjadi di Probolinggo bagian tenggara,
hasil analisis overlay B = C terjadi di Probolinggo bagian selatan dan tenggara,
dan hasil analisis overlay B > C terjadi di sebagian besar wilayah Probolinggo
(Gambar 5.15). Berdasarkan perhitungan luas wilayah B > C adalah yang terbesar
(Tabel 5.3), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode B menentukan
kondisi yang lebih basah dibanding metode C. Berdasarkan ketinggian, perbedaan
tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl, dengan total
luas sebesar 559,68 Km2 atau 15,51% (Gambar 5.14).
Pada bulan Desember, hasil analisis overlay terbagi menjadi tiga, yaitu metode
SPI (B) lebih kering daripada metode HTH (C), metode SPI (B) sama kering
dengan metode HTH (C) dan metode SPI (B) lebih basah daripada metode HTH
(C). Hasil analisis overlay B < C terjadi di Probolinggo bagian tengah, hasil
analisis overlay B = C terjadi di sebagian besar wilayah Probolinggo, namun
didominasi di bagian timur, dan hasil analisis overlay B > C menyebar dengan
luas yang cukup kecil di Probolinggo, yaitu di Probolinggo bagian barat daya,

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
94

Gambar 5.15. Perbandingan Pola Spasial Kekeringan Tahun 1990 – 2015 dengan
Metode Standardized Precipitation Index (SPI) (B) dan Hari Tanpa Hujan (HTH)
(C) di Probolinggo, Jawa Timur.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
95

utara dan timur laut (Gambar 5.15). Berdasarkan perhitungan luas wilayah B = C
adalah yang terbesar (Tabel 5.3), sehingga pada bulan ini dapat dikatakan metode
B menentukan kondisi yang sama kering dengan metode C. Berdasarkan
ketinggian, perbedaan tingkat kekeringan paling banyak terjadi di ketinggian <
100 mdpl, dengan total luas sebesar 271,84 Km2 atau 15,51% (Gambar 5.14).
Perbandingan antar metode dilakukan dari bulan Januari hingga bulan
Desember. Bulan Juli merupakan bulan dengan hasil analisis overlay B < C
mencakup seluruh wilayah Probolinggo. Bulan September merupakan bulan yang
memiliki luas perbedaan terkecil (Gambar 5.15). Berdasarkan perbandingan luas
terbesar antara metode SPI (B) dan metode HTH (C), luas terbesar B < C
terhitung 2 kali, yaitu bulan Juni dan Juli, B = C terhitung 9 kali, yaitu bulan
Januari hingga Mei, bulan Agustus hingga Oktober berturut-turut, serta bulan
Desember, dan B > C terhitung 1 kali, yaitu bulan November. Berdasarkan hal
tersebut, diperoleh hasil bahwa metode SPI (B) sama kering dengan metode HTH
(C) dalam menentukan kekeringan di Probolinggo, Jawa Timur.
Perbedaan antara metode de Boer dan metode SPI juga dapat dilihat dari
wilayah ketinggian Probolinggo (Gambar 5.14). Di ketinggian < 100 mdpl
perbedaan tingkat kekeringan dengan luas terbesar terjadi pada bulan Juli,
sedangkan dengan luas terkecil terjadi pada bulan September. Di ketinggian 100-
500 mdpl terjadi pada bulan Juli (terbesar) dan bulan September (terkecil). Di
ketinggian 500-1.000 mdpl terjadi pada bulan Juli (terbesar) dan bulan Maret
(terkecil). Di ketinggian > 1.000 mdpl terjadi pada bulan Juli (terbesar) dan bulan
Maret (terkecil). Perbedaan luasan yang paling kecil di seluruh wilayah ketinggian
Probolinggo terjadi pada bulan September. Perbedaan tingkat kekeringan metode
SPI (B) dan metode HTH (C) dari bulan Januari hingga Desember paling banyak
terjadi di ketinggian < 100 mdpl.

5.8 Kesesuaian Pola Spasial Kekeringan dengan Wilayah Ketinggian


Menurut Sandy (1987:26,45), sampai di ketinggian tertentu, semakin tinggi
dari pegunungan (topografi), jumlah hujan akan semakin besar, selain itu hujan
juga bertambah jumlahnya dari dataran rendah ke pegunungan, dengan jumlah
terbesar di ketinggian 600-900 mdpl. Berdasarkan dalil tersebut, di ketinggian

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
96

600-900 mdpl kondisinya akan lebih basah dari ketinggian lainnya. Wilayah
ketinggian 500-1.000 mdpl berada di Probolinggo bagian tenggara, sehingga
wilayah tersebut akan lebih basah dari wilayah lainnya. Semakin sedikit jumlah
curah hujan, maka tingkat kekeringannya semakin tinggi.
Secara umum, semakin ke utara kondisi Probolinggo semakin kering
berdasarkan wilayah ketinggian. Selain itu, Probolinggo bagian barat daya akan
lebih kering dari Probolinggo bagian tenggara karena Probolinggo bagian
tenggara didominasi oleh ketinggian 500-1.000 mdpl. Hasil pola spasial Metode
de Boer, metode SPI dan metode HTH dianalisis dengan wilayah ketinggian agar
diperoleh hasil metode mana yang sesuai dengan wilayah ketinggian Probolinggo.
Metode tersebut dikatakan sesuai jika secara umum Probolinggo bagian utara
lebih kering dari Probolinggo bagian selatan, serta Probolinggo bagian barat daya
lebih kering dari Probolinggo bagian tenggara. Selain itu, jika seluruh wilayah
Probolinggo mengalami kondisi yang sama, maka bulan tersebut dikatakan sesuai.

Tabel 5.4. Kesesuaian Pola Spasial Metode Penentuan Kekeringan dengan


Ketinggian.
No. Bulan De Boer SPI HTH Ketentuan
1. Jan Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai jika:
Tidak 1. Probolinggo bagian
2. Feb Sesuai Sesuai
Sesuai (K1) utara lebih kering
3. Mar Sesuai Sesuai Sesuai dari Probolinggo
4. Apr Sesuai Sesuai Sesuai bagian selatan.
Tidak (K1)
5. Mei Sesuai Sesuai 2. Probolinggo bagian
Sesuai (K1)
Tidak barat laut lebih
6. Jun Sesuai Sesuai kering dari
Sesuai (K2)
7. Jul Sesuai Sesuai Sesuai Probolinggo bagian
8. Ags Sesuai Sesuai Sesuai tenggara. (K2)
9. Sep Sesuai Sesuai Sesuai 3. Seluruh wilayah
10. Okt Sesuai Sesuai Sesuai Probolinggo
11. Nov Sesuai Sesuai Sesuai mengalami kondisi
12. Des Sesuai Sesuai Sesuai yang sama.
Tidak sesuai jika
Jumlah kondisi sebaliknya dari
13. 12 9 12 ketentuan sesuai poin 1
Sesuai
dan 2.
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
97

Kesesuaian pola spasial kekeringan metode penentuan kekeringan dengan


wilayah ketinggian diamati dari bulan Januari hingga Desember (Tabel 5.4). Pola
spasial kekeringan metode de Boer menunjukkan kesesuaian dengan wilayah
ketinggian dari bulan Januari hingga Desember. Pola spasial kekeringan metode
SPI menunjukkan kesesuaian pada bulan Januari, Maret, April, Juli hingga
Desember. Namun beberapa bulan menunjukkan ketidaksesuaian, yaitu pada
bulan Februari dan Mei karena Probolinggo bagian utara lebih basah dari bagian
selatan. Berbeda dari bulan Februari dan Mei, ketidaksesuaian terjadi pada bulan
Juni karena Probolinggo bagian barat laut lebih basah dari bagian tenggara. Pola
spasial kekeringan metode HTH menunjukkan kesesuaian dengan wilayah
ketinggian dari bulan Januari hingga Desember. Berdasarkan jumlah kesesuaian
pola spasial kekeringan yang terbanyak dari bulan Januari hingga Desember, pola
spasial kekeringan metode de Boer dan metode HTH lebih sesuai dengan wilayah
ketinggian di Probolinggo daripada pola spasial metode SPI.

5.9 Kesesuaian Pola Spasial Kekeringan dengan Arah Angin dan Arah
Hadapan Lereng
Arah angin dan arah hadapan lereng mempengaruhi turunnya hujan. Lereng
yang menghadap arah angin akan mendapat hujan lebih banyak daripada lereng
yang membelakangi arah datangnya angin. Wilayah yang arah anginnya sejajar
dengan garis pantai membuat suhu udara tidak berubah sehingga hujan tidak jatuh
di wilayah tersebut. Selama 16 tahun terakhir arah angin yang berhembus di
Probolinggo didominasi oleh arah angin ke barat laut cenderung ke utara. Dilihat
dari arah hadapan lereng terhadap arah angin, Probolinggo bagian barat daya dan
Probolinggo bagian tenggara akan mendapat curah hujan yang lebih tinggi karena
menghadap arah datangnya angin. Semakin tinggi jumlah curah hujan, maka
tingkat kekeringan semakin rendah.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
98

Tabel 5.5. Kesesuaian Pola Spasial dengan Metode Penentuan Kekeringan dengan
Arah Angin dan Hadapan Lereng.
No. Bulan De Boer SPI HTH Ketentuan
1. Jan Sesuai Sesuai Sesuai Sesuai jika:
2. Tidak Sesuai 1. Probolinggo
Feb Sesuai Sesuai
(K1) bagian barat
3. Tidak daya tingkat
Mar Sesuai Sesuai kekeringannya
Sesuai (K1)
4. Tidak rendah. (K1)
Apr Sesuai Sesuai 2. Probolinggo
Sesuai (K1)
5. Tidak Sesuai Tidak bagian tenggara
Mei Sesuai tingkat
(K1) Sesuai (K1)
6. Tidak Sesuai Tidak kekeringannya
Jun Sesuai rendah. (K2)
(K2) Sesuai (K1)
7. Jul Sesuai Sesuai Sesuai 3. Seluruh wilayah
8. Ags Sesuai Sesuai Sesuai Probolinggo
9. Sep Sesuai Sesuai Sesuai mengalami
10. Okt Sesuai Sesuai Sesuai kondisi yang
11. Nov Sesuai Sesuai Sesuai sama. (K3)
12. Tidak Sesuai Tidak Tidak sesuai jika
Des Sesuai kondisi sebaliknya
(K1) Sesuai (K1)
dari ketentuan
13. Jumlah
11 8 8 sesuai poin 1 dan 2.
Sesuai
Sumber: Pengolahan Data Penulis, 2016.

Kesesuaian pola spasial kekeringan metode penentuan kekeringan dengan arah


angin dan arah hadapan lereng diamati dari bulan Januari hingga Desember (Tabel
5.5). Pola spasial kekeringan metode de Boer menunjukkan ketidaksesuaian pada
bulan Maret karena menunjukkan Probolinggo bagian barat daya lebih kering.
Pola spasial kekeringan metode SPI pada bulan Februari, Mei dan Desember tidak
sesuai karena kondisi Probolinggo bagian barat daya lebih kering, sedangkan
bulan Juni tidak sesuai karena kondisi Probolinggo bagian tenggara lebih kering.
Pola spasial kekeringan bulan April, Mei, Juni dan Desember dengan metode
HTH tidak sesuai karena kondisi Probolinggo bagian barat daya lebih kering dari
wilayah sekitarnya. Berdasarkan jumlah kesesuaian pola spasial yang terbanyak
dari bulan Januari hingga Desember, pola spasial kekeringan dengan metode de
Boer lebih sesuai dengan arah angin dan arah hadapan hujan di Probolinggo
daripada pola spasial kekeringan metode SPI dan metode HTH.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
BAB 6
KESIMPULAN

Pola spasial kekeringan dengan metode de Boer bergerak dari wilayah dataran
rendah (utara) ke wilayah pegunungan (selatan) dengan durasi kekeringan selama
7 bulan dari bulan Mei hingga bulan November. Pergerakan pola spasial
kekeringan dengan metode Standardized Precipitation Index (SPI) tidak
mengikuti wilayah ketinggian Probolinggo, namun pola spasial kekeringan
bergerak dari barat ke timur dengan durasi kekeringan selama 6 bulan dari bulan
Mei hingga bulan Oktober. Pola spasial kekeringan dengan metode Hari Tanpa
Hujan (HTH) bergerak dari wilayah dataran rendah (utara) ke wilayah
pegunungan (selatan) dengan durasi kekeringan selama 7 bulan dari bulan Mei
hingga November. Berdasarkan pola pergerakan kekeringan, metode de Boer dan
HTH menunjukkan pergerakan pola spasial kekeringan dan jumlah bulan
kekeringan yang sama.
Perbandingan pola spasial kekeringan metode de Boer dan SPI menunjukkan
bahwa metode de Boer sama kering dengan metode SPI dalam menentukan
kekeringan. Perbandingan pola spasial kekeringan metode de Boer dan metode
HTH menunjukkan bahwa metode de Boer lebih basah daripada metode HTH
dalam menentukan kekeringan. Perbandingan pola spasial kekeringan metode SPI
dan metode HTH menunjukkan bahwa metode SPI sama kering dengan metode
HTH dalam menentukan kekeringan. Berdasarkan perbandingan tersebut, tingkat
kekeringan menurut metode de Boer sebanding dengan tingkat kekeringan SPI,
namun lebih basah dibandingkan tingkat kekeringan menurut HTH. Perbedaan
pola spasial kekeringan antar metode banyak terjadi di ketinggian < 100 mdpl.
Dalam kaitannya dengan faktor pembentuk hujan, pola spasial kekeringan
metode de Boer lebih sesuai dibandingkan pola spasial kekeringan metode SPI
dan metode HTH dalam menggambarkan pola kekeringan di Probolinggo.
Berdasarkan ketinggian, metode de Boer lebih sesuai karena semakin ke utara,
tingkat kekeringan semakin tinggi. Berdasarkan arah angin dan arah hadapan
lereng, metode de Boer lebih sesuai karena tingkat kekeringannya semakin rendah
di Probolinggo bagian barat daya dan tenggara.

99

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
100

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., & R.D Susanto. (2003). Identification of Three Dominant Rainfall
Regions Within Indonesia and Their Relationship to Sea Surface Temperature.
International Journal of Climatology, vol. 23, DOI: 10.1002/joc.950. p. 1435-
1452
Australian Government, Bureau of Meteorology. (2016). Indian Ocean Influences
on Australian Climate. 13 Juli 2016. http://www.bom.gov.au/climate/iod/.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). (2015). Monitoring Hari
Tanpa Hujan Berturut-turut Indonesia Dasarian III Updated 30 November
2015. Stasiun Klimatologi Karangploso. Malang.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Probolinggo. (2015). Kabupaten
Probolinggo Dalam Angka 2015.
Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Probolinggo. (2015). Kota Probolinggo Dalam
Angka 2015.
Burrough, P., McDonnell, R., & Lloyd, C.D. (1998). Principles of Geographical
Information System (3rd ed.). Oxford: Oxford University Press.
Childs, C. (2004). Interpolating Surfaces in ArcGIS Spatial Analyst. ESRI
Education Services. p.32-35
Hermawan, Eddy, dkk. (2007). Pengaruh Kejadian Dipole Mode terhadap
Variabilitas Curah Hujan di Sumatera Barat dan Selatan. Makalah: Pusat
Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim LAPAN-Bandung. hal. 92-93.
Indayanti, D. (2009). Perbandingan Hasil Penentuan Curah Hujan Bulanan
Menurut Teori Mohr dan Oldeman dengan Pendekatan Sistem Informasi
Geografis. Skripsi: Program Studi Sistem Informasi Fakultas Sains dan
Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.
Integrated Drought Management Programme (IDMP). (2014). Standardized
Precipitation Index (SPI). 13 Juli 2016.
http://www.droughtmanagement.info/standardized-precipitation-index-spi/.
Kurniati, B, B. (2007). Metode Penaksiran Ordinary Kriging. Skripsi:
Departemen Matematika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Indonesia. Depok. hal.5.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
101

McKee, T. B., Doesken, N. J., dan Kleist, J. (1993). The Relationship of Drought
Frequency and Duration to Time Scales. Proceedings of the 8th Conference on
Applied Climatology. California. p. 179-184.
Morid, S., Smakhtin, V., Moghaddasi, M. (2006). Comparison if Seven
Meteorological Indices for Drought Monitoring in Iran. Journal of
Climatology, 26, p. 971-985.
Oliver, J.E. (2005). Encyclopedia of World Climatology. Encyclopedia of Earth
Sciences Series. Indiana State University. p. 338-339.
Rachmawati, D. 2009. Pendugaan Kadar NO2 dengan Metode Ordinary Kriging
dan Cokriging. Skripsi: Jurusan Statistika, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. hal. 10.
Sandy, I. M. (1987). Iklim Regional Indonesia. Departemen Geografi FMIPA
Universitas Indonesia, Depok. hal. 3-45.
--------------. (1996). Republik Indonesia Geografi Regional. Departemen Geografi
FMIPA Universitas Indonesia. PT. Indograph Bakti. Jakarta. hal. 37-48.
Tjasyono, B. (1999). Klimatologi Umum. Bandung: Pionir Jaya. hal. 2-20.
Utami, D., Hadiani, R., dan Susilowati. (2013). Prediksi Kekeringan Berdasarkan
Standardized Precipitation Index (SPI) pada Daerah Aliran Sungai Keduang di
Kabupaten Wonogiri. Jurnal: Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas
Sebelas Maret. Solo. hal. 221-226.
World Meteorological Organization (WMO). 2003. Climate Variability Extreme.
4 November 2015.
http://www.wmo.int/pages/themes/climate/climate_variability_extremes.php
Zulfiana, N. S. (2011). Studi Perbandingan Prediksi Kekeringan Menggunakan
Metode Desil dan SPI di DAS Brangkal - Jawa Timur. Skripsi: Program Studi
Strata 1 (S1) Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Jember, Jember.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
102

LAMPIRAN

Lampiran 1. Inventarisasi Data Curah Hujan 1990-2015 di Probolinggo, Jawa Timur.


Kelengkapan Kelengkapan Kelengkapan
No Nama Stasiun No Nama Stasiun No Nama Stasiun
data (tahun) data (tahun) data (tahun)
1 Bayeman 26 20 Sumber bulu 26 39 Wangkal 23
2 Lumbang 26 21 Leces 26 40 Soka'an 23
3 Sapeh 12 22 Malasan 26 41 Bermi 23
4 Boto Gardu 26 23 Gending 26 42 Besuk 23
5 Muneng 25 24 Banyuanyar 26 43 Bago 23
6 Ngadisari 13 25 Adiboyo 26 44 Batur 23
7 Sukapura 7 26 Pekalen 26 45 Klampokan 23
8 Patalan 26 27 Jatiampuh 26 46 Kandang Jati 23
9 Triwung Kidul 24 28 Pajarakan 26 47 Jabung 23
10 Krasak 26 29 Condong 26 48 Ramah 23
11 Pakistaji 23 30 Tiris 25 49 Sumber Bendo 23
12 Bantaran 26 31 Segaran 25 50 Arah Makam 24
13 Gemito 9 32 Kraksaan 23 51 Paiton 24
14 Sumber 20 33 Krejengan 23 52 Pakuniran 24
15 Ronggotali 25 34 Kertosuko 23 53 Kalidandan 24
16 Kademangan 24 35 Krucil 23 54 Kedungsumur 24
17 Probolinggo 25 36 Katimoho 23 55 Kota Anyar 24
18 Dringu 26 37 Pandalaras 23 56 Gunggungan Kidul 24
19 Jorongan 26 38 Jurangjero 23 57 Glagah 24
58 Asemjajar 24
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
103

Lampiran 2. Inventarisasi Data Stasiun Curah Hujan di Probolinggo, Jawa Timur.


No Nama Stasiun Kecamatan Desa Koordinat Ketinggian (mdpl)
1 Bayeman Tongas Sumendi -7° 44' 51" LS 113° 7' 40.80" BT 8
2 Lumbang Lumbang Lumbang -7° 49' 21" LS 113° 3' 57.96" BT 320
3 Boto Gardu Wonomerto Sumberkare -7° 49' 14.16" LS 113° 6' 48.96" BT 313
4 Muneng Sumberasih Muneng -7° 47' 28.99" LS 113° 9' 48.43" BT 47
5 Ngadisari Sukapura Ngadirejo -7° 55' 37.92" LS 113° 0' 33.12" BT 1890
6 Patalan Wonomerto Patalan -7° 50' 22.92" LS 113° 8' 36.96" BT 137
7 Triwung Kidul Kademangan Triwung Kidul -7° 46' 30.72" LS 113° 10' 12.00" BT 27
8 Krasak Wonomerto Pohsangit Ngisor -7° 49' 33.76" LS 113° 9' 47.03" BT 102
9 Pakistaji Wonoasih Kedunggaleng -7° 48' 43.56" LS 113° 13' 8.4" BT 37
10 Bantaran Gading Duren -7° 52' 41.16" LS 113° 29' 39.84" BT 87
11 Sumber Sumber Jatisari Kuripan -7° 56' 11.04" LS 113° 8' 57.12" BT 970
12 Ronggotali Kuripan Kadawung -7° 53' 51" LS 113° 7' 50.16" BT 265
13 Kademangan Kademangan Kademangan -7° 46' 33.6" LS 113° 11' 16.8" BT 15
14 Probolinggo Kanigaran Tisnonegaran -7° 45' 13.32" LS 113° 12' 49.32" BT 38
15 Dringu Dringu Kalirejo -7° 46' 32.19" LS 113° 14' 23.31" BT 43
16 Jorongan Leces Clarak -7° 49' 41.16" LS 113° 13' 53.04" BT 38
17 Sumber bulu Leces Clarak -7° 49' 41.16" LS 113° 14' 30.12" BT 35
18 Leces Leces Tigasan Wetan -7° 51' 27" LS 113° 13' 51.96" BT 50
19 Malasan Leces Malasan Kulon -7° 53' 13.92" LS 113° 15' 12.96" BT 180
20 Gending Gending Pajurangan -7° 47' 48.11" LS 113° 18' 26.65" BT 20
21 Banyuanyar Bantaran Kedungrejo -7° 52' 21" LS 113° 12' 24.12" BT 89
22 Adiboyo Krejengan Petemon -7° 48' 19.08" LS 113° 22' 53.04" BT 11
23 Pekalen Maron Brabe -7° 52' 15.64" LS 113° 22' 11.65" BT 110
24 Jatiampuh Pajarakan Selogudig Wetan -7° 49' 13.84" LS 113° 22' 53.70" BT 57
25 Pajarakan Pajarakan Pajarakan Kulon -7° 46' 54.84" LS 113° 22' 44.04" BT 27
26 Condong Maron Maron Kidul -7° 51' 52.92" LS 113° 21' 55.08" BT 118

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
104

Lampiran 2. (lanjutan)
No Nama Stasiun Kecamatan Desa Koordinat Ketinggian (mdpl)
27 Tiris Tiris Tiris -7° 57' 47.16" LS 113° 24' 3.96" BT 502
28 Segaran Tiris Segaran -7° 57' 5.04" LS 113° 23' 58.92" BT 559
29 Kraksaan Kraksaan Patokan -7° 45' 39.96" LS 113° 24' 38.88" BT 25
30 Krejengan Krejengan Krejengan -7° 47' 47.795" LS 113° 24' 24.70" BT 10
31 Kertosuko Krucil Kertosuko -7° 56' 31.92" LS 113° 26' 24" BT 740
32 Krucil Krucil Krucil -7° 57' 6.12" LS 113° 29' 2.04" BT 925
33 Katimoho Krejengan Krejengan -7° 57' 5.04" LS 113° 23' 58.92" BT 33
34 Pandalaras Krucil Watu Panjang -7° 55' 14.88" LS 113° 29' 18.96" BT 872
35 Jurangjero Gading Jurangjero -7° 51' 41.51" LS 113° 24' 7.72" BT 145
36 Wangkal Gading Keben -7° 50' 43.08" LS 113° 26' 51" BT 115
37 Soka'an Krejengan Kedung Caluk -7° 48' 7.92" LS 113° 26' 12.12" BT 47
38 Bermi Gading Duren -7° 52' 24.96" LS 113° 29' 20.04" BT 926
39 Besuk Besuk Besuk Agung -7° 46' 56.49" LS 113° 28' 36.64" BT 58
40 Bago Besuk Kecik -7° 49' 21.27" LS 113° 29' 44.12" BT 107
41 Batur Gading Batur -7° 51' 25.92" LS 113° 30' 29.16" BT 337
42 Klampokan Besuk Klampokan -7° 48' 42.84" LS 113° 28' 22.08" BT 120
43 Kandang Jati Besuk Randujalak -7° 46' 41.16" LS 113° 28' 59.88" BT 8
44 Jabung Paiton Jabung Sisir -7° 43' 55.92" LS 113° 28' 5.16" BT 25
45 Ramah Gading Kertosono -7° 50' 26.16" LS 113° 28' 32.16" BT 155
46 Sumber Bendo Gading Nogo Saren -7° 49' 23.16" LS 113° 26' 12.12" BT 67
47 Arah Makam Gading Sentul -7° 50' 42" LS 113° 29' 27.96" BT 208
48 Paiton Paiton Sukodadi -7° 43' 7.82" LS 113° 30' 32.63" BT 26
49 Pakuniran Pakuniran Sogaan -7° 48' 25.51" LS 113° 30' 25.96" BT 91
50 Kalidandan Pakuniran Kali Dandang -7° 47' 39.84" LS 113° 34' 13.08" BT 225
51 Kedungsumur Kotaanyar Kedung Rejoso -7° 45' 12.59" LS 113° 31' 8.86" BT 283
52 Kota Anyar Kotaanyar Kotaanyar -7° 44' 49.72" LS 113° 32' 5.13" BT 22

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
105

Lampiran 2. (lanjutan)
No Nama Stasiun Kecamatan Desa Koordinat Ketinggian (mdpl)
53 Gunggungan Kidul Pakuniran Gunggungan Kidul -7° 49' 50.78" LS 113° 30' 35.61" BT 146
54 Glagah Pakuniran Glagah -7° 46' 13.08" LS 113° 30' 28.08" BT 48
55 Asemjajar Kotaanyar Sidomulyo -7° 46' 45.84" LS 113° 33' 18" BT 123
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
106

Lampiran 3. Hasil Pengolahan Data Metode de Boer.


Rata-Rata CH dalam Tiga Dasarian (mm)
No Nama Stasiun
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
1 Bayeman 89 93 71 40 18 12 4 0 0 5 18 64
2 Lumbang 146 138 124 68 31 21 4 2 3 9 46 110
3 Boto Gardu 179 177 146 85 38 26 10 1 4 16 46 133
4 Ngadisari 74 80 73 49 17 13 8 1 1 6 39 64
5 Patalan 160 150 132 70 34 24 4 1 4 8 52 119
6 Triwung Kidul 90 92 70 40 19 11 5 0 0 6 18 53
7 Pakistaji 102 101 82 39 20 10 6 1 1 11 29 67
8 Bantaran 110 118 100 62 23 15 3 1 2 10 36 75
9 Sumber 130 131 107 81 32 29 7 1 4 7 38 100
10 Ronggotali 141 124 123 71 41 24 8 1 3 12 48 107
11 Kademangan 99 94 70 37 16 11 5 0 0 6 17 51
12 Jorongan 109 107 83 48 23 11 5 1 2 12 37 73
13 Sumber Bulu 93 93 79 45 19 12 5 1 2 11 33 72
14 Leces 146 161 147 68 25 14 3 2 1 11 38 102
15 Malasan 141 159 158 78 29 15 8 2 2 14 36 108
16 Banyuanyar 109 104 81 50 22 16 5 2 5 13 37 85
17 Adiboyo 87 85 70 40 15 12 5 2 1 4 25 61
18 Condong 122 103 97 73 31 21 13 4 7 19 56 92
19 Pajarakan 75 74 58 36 12 7 3 2 1 4 20 53
20 Tiris 202 165 161 138 66 29 21 6 11 59 140 160
21 Segaran 189 154 153 127 59 29 16 6 10 54 127 151
22 Kraksaan 90 74 67 40 16 10 5 1 2 4 26 66
23 Kertosuko 158 142 140 114 48 26 11 5 8 45 91 147
24 Krucil 168 154 142 118 52 24 10 8 10 47 103 146
25 Pandalaras 150 146 123 98 43 21 9 4 9 30 83 127
26 Jurangjero 145 139 118 86 35 27 16 2 8 20 78 114
27 Wangkal 120 115 93 75 35 21 12 2 5 18 54 102
28 Sokaan 85 82 60 37 17 12 4 1 1 7 26 69
29 Bermi 159 153 138 118 48 24 9 4 9 44 101 143
30 Batur 204 191 151 114 58 30 16 6 10 33 101 177
31 Klampokan 98 100 72 48 24 15 7 2 2 12 43 88
32 Kandang Jati 78 78 56 32 13 11 3 1 0 5 20 60
33 Jabung 72 72 62 31 16 9 3 1 2 4 22 61
34 Ramah 132 123 100 72 39 24 14 4 4 24 63 120
35 Sumber Bendo 111 109 78 56 25 18 4 1 2 11 42 94
36 Arah Makam 170 151 114 83 39 21 9 2 3 21 81 145
37 Kalidandan 132 136 99 58 24 12 5 1 4 6 31 96
38 Kedungsumur 163 165 118 72 33 18 12 1 5 15 57 125
Gunggungan
39 134 136 105 63 30 17 11 1 5 13 46 104
Kidul

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
107

Lampiran 3. (lanjutan)
Rata-Rata CH dalam Tiga Dasarian (mm)
No Nama Stasiun
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
40 Glagah 91 83 72 36 16 11 6 1 2 7 28 81
41 Asemjajar 130 120 97 48 21 11 4 0 3 6 28 96
42 Paiton 91 84 75 38 13 11 5 1 1 4 21 61
43 Kota Anyar 94 82 73 35 12 8 4 0 2 3 21 69
44 Pakuniran 107 89 79 46 30 14 9 1 3 10 39 86
45 Bago 131 122 95 64 35 15 12 2 3 18 54 115
46 Besuk 89 88 77 41 19 10 7 2 2 11 30 77
47 Katimoho 89 84 66 39 19 10 4 1 1 7 24 68
48 Krejengan 95 92 73 42 20 11 5 1 1 8 29 77
49 Muneng 102 99 86 43 19 15 4 0 0 6 24 67
50 Krasak 101 108 98 40 19 14 3 0 0 5 28 73
51 Probolinggo 76 85 64 37 17 9 4 2 3 5 13 50
52 Dringu 89 82 65 41 21 10 5 2 1 4 26 56
53 Gending 79 71 57 33 13 11 6 1 1 4 24 54
54 Pekalen 112 103 88 71 27 20 12 5 5 17 53 91
55 Jatiampuh 88 86 66 49 18 15 7 3 2 5 32 79
Rata-rata 119 114 95 61 27 16 7 2 3 14 45 92
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Lampiran 4. Tingkat Kekeringan Menggunakan Metode de Boerdi Probolinggo, Jawa Timur.


No Nama Stasiun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
1 Bayeman AB B AB AK K K SK SK SK SK K N
2 Lumbang B B B N AK K SK SK SK SK AK B
3 Boto Gardu B B B AB AK K SK SK SK K AK B
4 Ngadisari AB AB AB AK K K SK SK SK SK AK N
5 Patalan B B B N AK K SK SK SK SK N B
6 Triwung Kidul AB B N AK K K SK SK SK SK K N
7 Pakistaji B B AB AK K SK SK SK SK K K N
8 Bantaran B B B N K K SK SK SK SK AK AB
9 Sumber B B B AB AK K SK SK SK SK AK B
10 Ronggotali B B B AB AK K SK SK SK K AK B
11 Kademangan B B N AK K K SK SK SK SK K N
12 Jorongan B B AB AK K K SK SK SK K AK AB
13 Sumber Bulu B B AB AK K K SK SK SK K AK AB
14 Leces B B B N K K SK SK SK K AK B
15 Malasan B B B AB K K SK SK SK K AK B
16 Banyuanyar B B AB AK K K SK SK SK K AK AB
17 Adiboyo AB AB N AK K K SK SK SK SK K N

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
108

Lampiran 4. (lanjutan)
No Nama Stasiun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
18 Condong B B B AB AK K K SK SK K N B
19 Pajarakan AB AB N AK K SK SK SK SK SK K N
20 Tiris B B B B N K K SK K N B B
21 Segaran B B B B N K K SK SK N B B
22 Kraksaan AB AB N AK K SK SK SK SK SK K N
23 Kertosuko B B B B AK K K SK SK AK B B
24 Krucil B B B B N K SK SK SK AK B B
25 Pandalaras B B B B AK K SK SK SK K AB B
26 Jurangjero B B B AB AK K K SK SK K AB B
27 Wangkal B B B AB AK K K SK SK K N B
28 Sokaan AB AB N AK K K SK SK SK SK K N
29 Bermi B B B B AK K SK SK SK AK B B
30 Batur B B B B N K K SK SK AK B B
31 Klampokan B B AB AK K K SK SK SK K AK AB
32 Kandang Jati AB AB N AK K K SK SK SK SK K N
33 Jabung AB AB N AK K SK SK SK SK SK K N
34 Ramah B B B AB AK K K SK SK K N B
35 Sumber Bendo B B AB N K K SK SK SK K AK B
36 Arah Makam B B B AB AK K SK SK SK K AB B
37 Kalidandan B B B N K K SK SK SK SK AK B
38 Kedungsumur B B B AB AK K K SK SK K N B
39 Gunggungan Kidul B B B N K K K SK SK K AK B
40 Glagah B AB AB AK K K SK SK SK SK K AB
41 Asemjajar B B B AK K K SK SK SK SK K B
42 Paiton B AB AB AK K K SK SK SK SK K N
43 Kota Anyar B AB AB AK K SK SK SK SK SK K N
44 Pakuniran B AB AB AK K K SK SK SK SK AK AB
45 Bago B B B N AK K K SK SK K N B
46 Besuk AB AB AB AK K SK SK SK SK K K AB
47 Katimoho AB AB N AK K SK SK SK SK SK K N
48 Krejengan B B AB AK K K SK SK SK SK K AB
49 Muneng B B AB AK K K SK SK SK SK K N
50 Krasak B B B AK K K SK SK SK SK K AB
51 Probolinggo AB AB N AK K SK SK SK SK SK K AK
52 Dringu AB AB N AK K SK SK SK SK SK K N
53 Gending AB AB N AK K K SK SK SK SK K N
54 Pekalen B B AB AB K K K SK SK K N B
55 Jatiampuh AB AB N AK K K SK SK SK SK AK AB
Ket.: AB (Agak Basah), B (Basah), N (Normal), AK (Agak Kering), K (Kering), dan SK (Sangat Kering).
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
109

Lampiran 5. Hasil Pengolahan Data Metode Standardized Precipitation Index (SPI).


Indeks SPI
No Nama Stasiun
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
1 Bayeman 1.46 1.76 1.03 0.18 -0.84 -1.08 -3.66 -192.78 -16.53 -3.09 -0.84 1.02
2 Lumbang 1.72 2.21 1.23 0.29 -1.04 -1.60 -7.08 -11.39 -5.86 -3.56 -0.38 1.11
3 Boto Gardu 1.05 1.50 1.29 0.25 -0.86 -0.95 -2.32 -28.33 -4.53 -1.86 -0.56 0.74
4 Ngadisari 0.90 1.26 0.73 0.51 -1.42 -1.28 -1.74 -12.55 -8.50 -2.84 0.17 0.85
5 Patalan 0.81 1.08 0.97 0.14 -0.67 -0.89 -5.42 -16.00 -3.49 -3.90 -0.16 0.60
6 Triwung Kidul 1.28 1.76 1.07 0.22 -0.73 -1.14 -2.53 -31.44 -16.58 -2.11 -0.84 0.56
7 Pakistaji 1.53 1.75 0.97 -0.01 -0.94 -2.17 -2.93 -24.96 -12.80 -2.03 -0.41 0.87
8 Bantaran 1.52 1.41 1.26 0.42 -0.97 -1.63 -5.42 -25.65 -6.36 -2.32 -0.38 0.70
9 Sumber 1.52 1.19 1.09 0.79 -1.11 -0.82 -2.45 -27.07 -4.74 -5.18 -0.60 1.22
10 Ronggotali 1.81 1.46 1.33 0.35 -0.58 -1.14 -3.03 -21.44 -6.05 -3.20 -0.32 1.35
11 Kademangan 1.39 1.68 1.06 0.10 -1.03 -1.28 -2.12 -28.16 -23.04 -2.50 -0.85 0.54
12 Jorongan 1.39 1.61 1.07 0.15 -0.66 -2.04 -2.60 -15.74 -10.18 -1.58 -0.15 0.88
13 Sumber Bulu 1.24 1.81 0.99 0.22 -1.31 -1.65 -2.44 -21.62 -7.65 -2.12 -0.24 0.84
14 Leces 1.27 1.66 1.16 0.18 -1.21 -2.32 -5.82 -11.55 -35.69 -3.48 -0.74 0.88
15 Malasan 1.09 1.21 1.19 0.39 -1.12 -2.39 -2.80 -16.47 -11.18 -2.77 -0.89 0.94
16 Banyuanyar 1.21 1.13 0.87 0.17 -1.13 -1.43 -2.82 -8.06 -3.77 -1.77 -0.30 1.03
17 Adiboyo 1.16 1.37 0.96 0.29 -1.18 -1.42 -3.68 -6.37 -8.32 -3.48 -0.42 0.76
18 Condong 1.14 1.55 1.47 0.71 -1.13 -1.38 -1.82 -5.97 -3.21 -1.73 0.10 1.30
19 Pajarakan 1.19 1.41 1.00 0.38 -1.46 -2.10 -3.83 -7.39 -8.14 -5.21 -0.48 0.98
20 Tiris 1.43 1.37 1.40 0.98 -0.83 -2.58 -1.87 -7.39 -3.36 -0.92 0.79 0.90
21 Segaran 1.38 1.32 1.27 0.95 -0.83 -2.52 -2.24 -7.70 -3.47 -0.91 0.74 0.97
22 Kraksaan 1.50 1.17 0.86 0.30 -0.99 -2.20 -3.40 -9.01 -8.33 -6.04 -0.27 0.95
23 Kertosuko 1.57 1.62 1.18 0.89 -0.98 -1.96 -3.52 -6.62 -3.02 -0.79 0.25 1.47
24 Krucil 1.78 1.80 1.15 0.89 -1.10 -2.63 -4.10 -4.26 -3.07 -1.15 0.52 1.71
25 Pandalaras 1.48 1.85 1.17 0.75 -1.02 -2.50 -3.79 -8.77 -2.61 -1.64 0.35 1.37
26 Jurangjero 1.18 1.35 0.94 0.36 -0.99 -1.31 -1.76 -12.48 -2.60 -2.03 0.21 0.91
27 Wangkal 1.47 1.79 1.23 0.57 -0.87 -1.80 -2.17 -14.61 -3.95 -1.93 -0.02 1.23
28 Sokaan 1.77 1.38 0.80 0.16 -0.87 -1.52 -3.85 -10.98 -6.50 -2.52 -0.41 1.00
29 Bermi 1.69 1.87 1.28 0.94 -1.23 -2.93 -4.77 -9.02 -2.83 -1.17 0.56 1.69
30 Batur 1.18 1.63 1.18 0.57 -0.70 -1.75 -2.57 -6.19 -2.11 -1.47 0.13 1.18
31 Klampokan 1.69 1.89 0.77 0.20 -0.99 -1.45 -3.19 -9.23 -6.00 -2.22 -0.02 1.28
32 Kandang Jati 1.28 1.54 0.73 0.14 -1.10 -1.87 -4.50 -13.49 -24.09 -2.76 -0.60 0.81
33 Jabung 1.30 1.47 0.88 0.07 -0.72 -1.84 -4.00 -20.37 -5.12 -5.27 -0.40 1.20
34 Ramah 1.60 2.08 1.10 0.34 -0.98 -1.45 -2.24 -7.25 -4.33 -1.65 0.08 1.36
35 Sumber Bendo 1.53 1.81 0.61 0.30 -0.96 -1.19 -5.10 -15.26 -8.49 -2.65 -0.16 1.04
36 Arah Makam 1.52 1.40 1.00 0.34 -1.07 -1.70 -3.82 -15.17 -6.06 -2.46 0.19 1.23
37 Kalidandan 1.25 1.80 1.16 0.29 -0.93 -2.74 -4.83 -14.22 -3.29 -3.68 -0.74 0.90
38 Kedungsumur 1.44 1.94 1.12 0.18 -0.98 -2.52 -2.25 -18.30 -3.72 -2.08 -0.27 1.15
39 Gunggungan Kidul 1.50 1.65 1.28 0.22 -0.87 -2.27 -1.91 -17.19 -3.43 -2.02 -0.36 1.13

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
110

Lampiran 5. (lanjutan)
Indeks SPI
No Nama Stasiun
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
40 Glagah 1.31 1.80 0.89 0.01 -1.35 -1.97 -2.88 -20.16 -7.64 -2.59 -0.46 1.12
41 Asemjajar 1.11 1.84 1.16 0.07 -1.01 -2.72 -4.42 -196.32 -3.60 -3.53 -0.89 1.16
42 Paiton 1.36 1.56 0.80 0.16 -1.54 -1.81 -2.85 -8.72 -9.80 -3.43 -0.86 0.90
43 Kota Anyar 1.60 1.30 0.94 0.05 -1.70 -2.97 -3.22 -628.33 -7.71 -3.88 -0.66 0.89
44 Pakuniran 1.40 1.52 0.99 0.10 -0.44 -1.97 -1.86 -16.98 -4.71 -1.85 -0.15 1.11
45 Bago 1.58 2.00 1.06 0.25 -0.82 -2.32 -2.41 -10.83 -4.80 -2.14 -0.09 1.42
46 Besuk 1.30 1.79 0.97 0.16 -1.12 -2.71 -3.21 -9.54 -5.09 -2.24 -0.40 1.24
47 Katimoho 1.56 1.74 0.91 0.21 -0.85 -2.03 -3.78 -12.79 -9.31 -3.40 -0.66 1.07
48 Krejengan 1.69 1.60 1.04 0.15 -0.99 -1.95 -3.63 -12.20 -9.85 -2.73 -0.57 0.96
49 Muneng 1.29 1.85 1.18 0.08 -1.14 -1.13 -3.31 -36.42 -78.49 -2.77 -0.78 0.73
50 Krasak 1.53 1.69 1.30 -0.03 -1.11 -1.35 -6.59 -67.16 -51.41 -4.56 -0.53 0.96
51 Probolinggo 1.26 1.44 0.95 0.19 -0.74 -1.30 -3.63 -3.60 -2.00 -2.80 -1.19 0.53
52 Dringu 1.31 2.10 0.93 0.25 -0.60 -1.27 -2.48 -7.54 -11.90 -4.02 -0.33 0.81
53 Gending 1.49 1.19 0.71 0.12 -1.24 -1.04 -1.66 -13.35 -9.79 -5.15 -0.19 0.90
54 Pekalen 1.16 1.56 1.22 0.71 -1.48 -1.32 -2.06 -5.66 -3.68 -1.68 0.12 1.11
55 Jatiampuh 1.37 1.53 0.97 0.40 -1.14 -1.15 -2.26 -7.20 -6.99 -5.21 -0.33 1.33
Rata-rata 1.39 1.60 1.05 0.33 -1.01 -1.79 -3.28 -32.68 -9.63 -2.76 -0.29 1.03

Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Lampiran 6. Tingkat Kekeringan Menggunakan Metode Standardized Precipitation Index


(SPI)di Probolinggo, Jawa Timur.
No Nama Stasiun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
1 Bayeman AB B AB N N AK SK SK SK SK N AB
2 Lumbang B B AB N AK K SK SK SK SK N AB
3 Boto Gardu AB B AB N N N SK SK SK K N N
4 Ngadisari N AB N N AK AK K SK SK SK N N
5 Patalan N AB N N N N SK SK SK SK N N
6 Triwung Kidul AB B AB N N AK SK SK SK SK N N
7 Pakistaji B B N N N SK SK SK SK SK N N
8 Bantaran B AB AB N N K SK SK SK SK N N
9 Sumber B AB AB N AK N SK SK SK SK N AB
10 Ronggotali B AB AB N N AK SK SK SK SK N AB
11 Kademangan AB B AB N AK AK SK SK SK SK N N
12 Jorongan AB B AB N N SK SK SK SK K N N
13 Sumber Bulu AB B N N AK K SK SK SK SK N N
14 Leces AB B AB N AK SK SK SK SK SK N N
15 Malasan AB AB AB N AK SK SK SK SK SK N N
16 Banyuanyar AB AB N N AK AK SK SK SK K N AB

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
111

Lampiran 6. (lanjutan)
No Nama Stasiun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
17 Adiboyo AB AB N N AK AK SK SK SK SK N N
18 Condong AB B AB N AK AK K SK SK K N AB
19 Pajarakan AB AB AB N AK SK SK SK SK SK N N
20 Tiris AB AB AB N N SK K SK SK N N N
21 Segaran AB AB AB N N SK SK SK SK N N N
22 Kraksaan B AB N N N SK SK SK SK SK N N
23 Kertosuko B B AB N N K SK SK SK N N AB
24 Krucil B B AB N AK SK SK SK SK AK N B
25 Pandalaras AB B AB N AK SK SK SK SK K N AB
26 Jurangjero AB AB N N N AK K SK SK SK N N
27 Wangkal AB B AB N N K SK SK SK K N AB
28 Sokaan B AB N N N K SK SK SK SK N AB
29 Bermi B B AB N AK SK SK SK SK AK N B
30 Batur AB B AB N N K SK SK SK AK N AB
31 Klampokan B B N N N AK SK SK SK SK N AB
32 Kandang Jati AB B N N AK K SK SK SK SK N N
33 Jabung AB AB N N N K SK SK SK SK N AB
34 Ramah B B AB N N AK SK SK SK K N AB
35 Sumber Bendo B B N N N AK SK SK SK SK N AB
36 Arah Makam B AB AB N AK K SK SK SK SK N AB
37 Kalidandan AB B AB N N SK SK SK SK SK N N
38 Kedungsumur AB B AB N N SK SK SK SK SK N AB
39 Gunggungan Kidul B B AB N N SK K SK SK SK N AB
40 Glagah AB B N N AK K SK SK SK SK N AB
41 Asemjajar AB B AB N AK SK SK SK SK SK N AB
42 Paiton AB B N N K K SK SK SK SK N N
43 Kota Anyar B AB N N K SK SK SK SK SK N N
44 Pakuniran AB B N N N K K SK SK K N AB
45 Bago B B AB N N SK SK SK SK SK N AB
46 Besuk AB B N N AK SK SK SK SK SK N AB
47 Katimoho B B N N N SK SK SK SK SK N AB
48 Krejengan B B AB N N K SK SK SK SK N N
49 Muneng AB B AB N AK AK SK SK SK SK N N
50 Krasak B B AB N AK AK SK SK SK SK N N
51 Probolinggo AB AB N N N AK SK SK SK SK AK N
52 Dringu AB B N N N AK SK SK SK SK N N
53 Gending AB AB N N AK AK K SK SK SK N N
54 Pekalen AB B AB N AK AK SK SK SK K N AB
55 Jatiampuh AB B AB N AK SK SK SK SK SK N AB
Ket.: AB (Agak Basah), B (Basah), N (Normal), AK (Agak Kering), K (Kering), dan SK (Sangat Kering).
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
112

Lampiran 7. Hasil Pengolahan Data Metode Hari Tanpa Hujan (HTH).


Jumlah Hari Tanpa Hujan Berturut-turut
No Nama Stasiun
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
1 Bayeman 7 6 9 12 23 34 56 82 109 155 55 9
2 Lumbang 4 4 6 8 18 23 42 66 89 84 20 7
3 Boto Gardu 6 4 7 11 23 30 54 79 103 93 40 8
4 Ngadisari 9 7 10 13 27 40 62 90 118 92 47 24
5 Patalan 5 4 7 10 21 27 52 75 105 90 34 8
6 Triwung Kidul 8 7 9 13 24 39 60 86 113 95 61 30
7 Pakistaji 5 5 8 10 21 31 50 66 90 80 38 29
8 Bantaran 6 5 8 11 22 30 53 76 99 93 29 11
9 Sumber 9 7 10 9 19 26 46 71 96 89 47 9
10 Ronggotali 4 5 7 10 17 24 44 64 87 69 26 7
11 Kademangan 7 6 8 14 22 34 54 81 108 97 70 31
12 Jorongan 7 6 8 12 18 25 47 63 79 68 22 8
13 Sumber Bulu 6 5 8 11 17 24 42 61 81 62 20 8
14 Leces 6 4 7 12 21 28 50 67 85 63 14 8
15 Malasan 7 5 7 11 22 28 46 60 81 52 13 8
16 Banyuanyar 8 7 10 11 19 29 49 72 79 68 28 10
17 Adiboyo 7 6 8 11 19 23 39 57 73 84 35 10
18 Condong 4 4 4 6 13 19 29 47 63 40 14 5
19 Pajarakan 7 6 8 11 21 27 44 60 79 64 27 9
20 Tiris 4 4 5 5 12 17 30 47 57 30 7 6
21 Segaran 4 3 5 5 13 17 32 52 61 30 7 5
22 Kraksaan 8 10 10 14 27 37 50 72 92 81 46 11
23 Kertosuko 5 3 6 7 15 20 34 51 74 35 8 6
24 Krucil 4 3 5 5 13 19 34 51 65 30 8 5
25 Pandalaras 5 3 5 6 14 20 33 54 74 39 9 5
26 Jurangjero 7 4 7 9 16 26 40 57 70 51 11 9
27 Wangkal 6 5 6 8 16 21 34 53 65 40 9 7
28 Sokaan 9 7 9 12 20 27 45 70 94 82 36 9
29 Bermi 4 2 4 5 13 17 31 50 67 28 8 4
30 Batur 5 4 6 8 17 25 38 56 79 66 18 6
31 Klampokan 6 6 8 10 16 26 36 56 80 67 12 8
32 Kandang Jati 11 8 12 16 25 27 48 67 91 85 43 18
33 Jabung 9 8 10 13 25 33 47 68 89 76 35 9
34 Ramah 6 5 6 9 15 20 30 48 71 41 11 7
35 Sumber Bendo 7 5 9 12 21 29 48 67 86 75 20 7
36 Arah Makam 5 4 6 9 19 29 41 60 85 56 20 18
37 Kalidandan 7 5 9 11 23 32 50 79 100 110 52 10
38 Kedungsumur 7 5 7 11 21 29 43 69 95 93 39 8
39 Gunggungan Kidul 6 5 7 11 21 29 43 69 95 92 42 8

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
113

Lampiran 7. (lanjutan)
Jumlah Hari Tanpa Hujan Berturut-turut
No Nama Stasiun
Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
40 Glagah 7 7 8 12 22 29 49 75 100 100 31 17
41 Asemjajar 7 6 9 11 24 32 52 80 107 114 57 10
42 Paiton 8 8 10 13 23 29 49 73 99 105 45 12
43 Kota Anyar 8 8 10 16 25 35 55 85 108 119 66 12
44 Pakuniran 7 5 7 10 19 25 41 69 96 89 26 8
45 Bago 5 4 7 9 16 21 31 53 79 47 10 7
46 Besuk 7 5 8 10 19 23 33 52 75 55 12 7
47 Katimoho 8 6 8 10 19 23 39 59 84 65 20 8
48 Krejengan 7 6 8 11 17 24 36 52 79 75 19 8
49 Muneng 8 6 9 13 22 27 47 73 96 95 34 10
50 Krasak 7 6 9 13 22 29 52 78 106 82 35 10
51 Probolinggo 8 6 10 13 21 34 54 80 102 100 62 39
52 Dringu 8 6 9 11 20 30 50 68 85 80 47 10
53 Gending 9 9 14 14 21 33 51 75 100 90 38 12
54 Pekalen 5 4 5 7 14 19 29 42 58 40 8 6
55 Jatiampuh 7 6 8 9 18 22 35 51 71 65 19 8
Rata-rata 7 5 8 10 19 27 44 65 87 74 29 11
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Lampiran 8. Tingkat Kekeringan Menggunakan Metode Hari Tanpa Hujan (HTH) di


Probolinggo, Jawa Timur.
No Nama Stasiun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
1 Bayeman AB AB AB N AK K K SK SK SK K AB
2 Lumbang B B AB AB N AK K SK SK SK N AB
3 Boto Gardu AB B AB N AK AK K SK SK SK K AB
4 Ngadisari AB AB AB N AK K SK SK SK SK K AK
5 Patalan B B AB AB AK AK K SK SK SK K AB
6 Triwung Kidul AB AB AB N AK K K SK SK SK SK AK
7 Pakistaji B B AB AB AK K K SK SK SK K AK
8 Bantaran AB B AB N AK AK K SK SK SK AK N
9 Sumber AB AB AB AB N AK K SK SK SK K AB
10 Ronggotali B B AB AB N AK K SK SK SK AK AB
11 Kademangan AB AB AB N AK K K SK SK SK SK K
12 Jorongan AB AB AB N N AK K SK SK SK AK AB
13 Sumber Bulu AB B AB N N AK K SK SK SK N AB
14 Leces AB B AB N AK AK K SK SK SK N AB
15 Malasan AB B AB N AK AK K K SK K N AB
16 Banyuanyar AB AB AB N N AK K SK SK SK AK AB

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
114

Lampiran 8. (lanjutan)
No Nama Stasiun Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Ags Sept Okt Nov Des
17 Adiboyo AB AB AB N N AK K K SK SK K AB
18 Condong B B B AB N N AK K SK K N B
19 Pajarakan AB AB AB N AK AK K K SK SK AK AB
20 Tiris B B B B N N AK K K AK AB AB
21 Segaran B B B B N N K K SK AK AB B
22 Kraksaan AB AB AB N AK K K SK SK SK K N
23 Kertosuko B B AB AB N N K K SK K AB AB
24 Krucil B B B B N N K K SK AK AB B
25 Pandalaras B B B AB N N K K SK K AB B
26 Jurangjero AB B AB AB N AK K K SK K N AB
27 Wangkal AB B AB AB N AK K K SK K AB AB
28 Sokaan AB AB AB N N AK K SK SK SK K AB
29 Bermi B B B B N N K K SK AK AB B
30 Batur B B AB AB N AK K K SK SK N AB
31 Klampokan AB AB AB AB N AK K K SK SK N AB
32 Kandang Jati N AB N N AK AK K SK SK SK K N
33 Jabung AB AB AB N AK K K SK SK SK K AB
34 Ramah AB B AB AB N N AK K SK K N AB
35 Sumber Bendo AB B AB N AK AK K SK SK SK N AB
36 Arah Makam B B AB AB N AK K K SK K N N
37 Kalidandan AB B AB N AK K K SK SK SK K AB
38 Kedungsumur AB B AB N AK AK K SK SK SK K AB
39 Gunggungan Kidul AB B AB N AK AK K SK SK SK K AB
40 Glagah AB AB AB N AK AK K SK SK SK K N
41 Asemjajar AB AB AB N AK K K SK SK SK K AB
42 Paiton AB AB AB N AK AK K SK SK SK K N
43 Kota Anyar AB AB AB N AK K K SK SK SK SK N
44 Pakuniran AB B AB AB N AK K SK SK SK AK AB
45 Bago B B AB AB N AK K K SK K AB AB
46 Besuk AB B AB AB N AK K K SK K N AB
47 Katimoho AB AB AB AB N AK K K SK SK N AB
48 Krejengan AB AB AB N N AK K K SK SK N AB
49 Muneng AB AB AB N AK AK K SK SK SK K AB
50 Krasak AB AB AB N AK AK K SK SK SK K AB
51 Probolinggo AB AB AB N AK K K SK SK SK SK K
52 Dringu AB AB AB N N AK K SK SK SK K AB
53 Gending AB AB N N AK K K SK SK SK K N
54 Pekalen B B B AB N N AK K K K AB AB
55 Jatiampuh AB AB AB AB N AK K K SK SK N AB
Ket.: AB (Agak Basah), B (Basah), N (Normal), AK (Agak Kering), K (Kering), dan SK (Sangat Kering).
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
115

Lampiran 9. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode de Boer di


Probolinggo, Jawa Timur.
Sangat Kering Kering Agak Kering Normal Agak Basah Basah
Bulan Luas Luas Luas Luas Luas Luas
% % % % % %
(Km2) (Km2) (Km2) (Km2) (Km2) (Km2)
Jan 0 0 0 0 0 0 0 0 34,17 1,95 17,19 98,05
Feb 0 0 0 0 0 0 0 0 235,75 13,45 1.517,08 86,55
Mar 0 0 0 0 0 0 233,60 13,33 350,97 20,02 1.168,25 66,65
Apr 0 0 0 0 509,66 29,08 473,36 27,01 427,03 24,36 342,78 19,56
Mei 0 0 967,24 55,18 647,14 36,92 138,46 7,90 0 0 0 0
Juni 0 0 1.752,83 100 0 0 0 0 0 0 0 0
Juli 1.393,63 79,51 359,19 20,49 0 0 0 0 0 0 0 0
Ags 1.752,83 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Sep 1.713,87 97,78 38,95 2,22 0 0 0 0 0 0 0 0
Okt 849,85 48,48 610,84 34,85 214,22 12,22 7,79 4,44 0 0 0 0
Nov 0 0 393,14 22,43 752,81 42,95 237,72 13,56 164,77 9,40 204,39 11,66
Des 0 0 0 0 0 0 322,90 18,42 384,47 21,93 1.045,46 59,64
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.
Lampiran 10. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode SPI di
Probolinggo, Jawa Timur.
Sangat Kering Kering Agak Kering Normal Agak Basah Basah
Bulan Luas Luas Luas Luas Luas Luas
% % % % % %
(Km2) (Km2) (Km2) (Km2) (Km2) (Km2)
Jan 0 0 0 0 0 0 0 0 1.446,14 82,50 306,69 17,50
Feb 0 0 0 0 0 0 0 0 486,57 27,76 1.266,26 72,24
Mar 0 0 0 0 0 0 218,43 12,46 1.534,40 87,54 0 0
Apr 0 0 0 0 0 0 1.752,83 100 0 0 0 0
Mei 0 0 0 0 838,91 47,86 913,92 52,14 0 0 0 0
Juni 652,56 37,23 391,95 22,36 708,32 40,41 0 0 0 0 0 0
Juli 1.752,83 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Ags 1.752,83 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Sep 1.752,83 100 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Okt 1.390,26 79,32 303,96 17,34 58,61 3,34 0 0 0 0 0 0
Nov 0 0 0 0 13,75 0,78 1.739,08 99,22 0 0 0 0
Des 0 0 0 0 0 0 541,71 30,91 1.211,11 69,09 0 0
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.
Lampiran 11. Luas Wilayah Berdasarkan Tingkat Kekeringan dengan Metode HTH di
Probolinggo, Jawa Timur.
Sangat Kering Kering Agak Kering Normal Agak Basah Basah
Bulan Luas Luas Luas Luas Luas Luas
% % % % % %
(Km2) (Km2) (Km2) (Km2) (Km2) (Km2)
Jan 0 0 0 0 0 0 0 0 1.481,76 84,54 271,07 15,46
Feb 0 0 0 0 0 0 0 0 1.174,66 67,02 578,17 32,98
Mar 0 0 0 0 0 0 64,71 3,69 1.625,21 92,72 62,91 3,59
Apr 0 0 0 0 0 0 958,47 54,68 794,36 45,32 0 0
Mei 0 0 0 0 813,78 46,43 939,04 53,57 0 0 0 0
Juni 0 0 414,89 23,67 1.199,22 68,42 138,71 7,91 0 0 0 0
Juli 0 0 1.752,83 100 0 0 0 0 0 0 0 0
Ags 1.214,26 69,27 538,57 30,73 0 0 0 0 0 0 0 0
Sep 1.675,15 95,57 77,68 4,43 0 0 0 0 0 0 0 0
Okt 1.254,99 71,60 497,83 28,40 0 0 0 0 0 0 0 0
Nov 0 0 927,00 52,89 284,98 16,26 334,49 19,08 206,36 11,77 0 0
Des 0 0 0 0 109,32 6,24 555,54 31,69 1.087,97 62,07 0 0
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
116

Lampiran 12. Daftar Kecamatan Berdasarkan Tingkat dan Metode KekeringanTiap Bulan di Probolinggo, Jawa Timur.
Januari Februari Maret
Agak Basah Basah Agak Basah Basah Normal Agak Basah Basah
No Kecamatan
de de de de de de de
SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH
Boer Boer Boer Boer Boer Boer Boer
1 Sukapura v v v v v v v v v v v v
2 Sumber v v v v v v v v v v
3 Kuripan v v v v v v v v v v
4 Bantaran v v v v v v v v v v v
5 Leces v v v v v v v v v v v
6 Tegalsiwalan v v v v v v v v v v v v
7 Banyuanyar v v v v v v v v v v v v v v v
8 Tiris v v v v v v v v v v v v v v
9 Krucil v v v v v v v v v v v
10 Gading v v v v v v v v v v v v v v
11 Pakuniran v v v v v v v v v v v v v v
12 Kotaanyar v v v v v v v v v
13 Paiton v v v v v v v v v v v v v v
14 Besuk v v v v v v v v v v v v v v v
15 Kraksaan v v v v v v v v v v v v v
16 Krejengan v v v v v v v v v v v v v v v
17 Pajarakan v v v v v v v v v v v v v v
18 Maron v v v v v v v v v v v v v v v v v v
19 Gending v v v v v v v v v v v v v v v
20 Dringu v v v v v v v v v v v v
21 Wonomerto v v v v v v v v v v v
22 Lumbang v v v v v v v v v v
23 Tongas v v v v v v v v v v v
24 Sumberasih v v v v v v v v v v v
25 Kademangan v v v v v v v v v v v
26 Mayangan v v v v v v v v v
27 Kanigaran v v v v v v v v v v
28 Kedopok v v v v v v v v v v v
29 Wonoasih v v v v v v v v v v v
Total Kecamatan 4 29 29 29 6 3 15 14 28 27 28 8 17 10 7 22 28 29 18 0 3

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
117

Lampiran 12. (lanjutan)


April Mei
Agak Kering Normal Agak Basah Basah Kering Agak Kering Normal
No Kecamatan
de de de de de de de
SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH
Boer Boer Boer Boer Boer Boer Boer
1 Sukapura v v v v v v v v v v v
2 Sumber v v v v v v v v v v v v
3 Kuripan v v v v v v v v v v v
4 Bantaran v v v v v v v v v v v
5 Leces v v v v v v v v v v
6 Tegalsiwalan v v v v v v v v v v v v
7 Banyuanyar v v v v v v v v v v v
8 Tiris v v v v v v v v v v v
9 Krucil v v v v v v v v v
10 Gading v v v v v v v v v v v v v
11 Pakuniran v v v v v v v v v v v v v
12 Kotaanyar v v v v v v v
13 Paiton v v v v v v v
14 Besuk v v v v v v v v v v v v
15 Kraksaan v v v v v v v
16 Krejengan v v v v v v v v v v
17 Pajarakan v v v v v v v v
18 Maron v v v v v v v v v v
19 Gending v v v v v v v
20 Dringu v v v v v v v v
21 Wonomerto v v v v v v v v v v
22 Lumbang v v v v v v v v v v v v
23 Tongas v v v v v v v v v v
24 Sumberasih v v v v v v v
25 Kademangan v v v v v v
26 Mayangan v v v v v v
27 Kanigaran v v v v v v
28 Kedopok v v v v v v
29 Wonoasih v v v v v v v
Total Kecamatan 26 0 0 19 29 27 15 0 15 5 0 0 28 0 0 15 21 25 2 23 20

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
118

Lampiran 12. (lanjutan)


Juni Juli
No Kecamatan Sangat Kering Kering Agak Kering Normal Sangat Kering Kering
de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH
1 Sukapura v v v v v v v
2 Sumber v v v v v v v
3 Kuripan v v v v v v
4 Bantaran v v v v v v v
5 Leces v v v v v v
6 Tegalsiwalan v v v v v v v v
7 Banyuanyar v v v v v v v v
8 Tiris v v v v v v v v v
9 Krucil v v v v v v v v v
10 Gading v v v v v v v v v
11 Pakuniran v v v v v v v v
12 Kotaanyar v v v v v v v
13 Paiton v v v v v v v
14 Besuk v v v v v v v
15 Kraksaan v v v v v v v
16 Krejengan v v v v v v v
17 Pajarakan v v v v v v v
18 Maron v v v v v v v v
19 Gending v v v v v v v
20 Dringu v v v v v v v v
21 Wonomerto v v v v v v v v
22 Lumbang v v v v v v v
23 Tongas v v v v v v v
24 Sumberasih v v v v v v
25 Kademangan v v v v v v
26 Mayangan v v v v v v
27 Kanigaran v v v v v v
28 Kedopok v v v v v v v
29 Wonoasih v v v v v v v v
Total Kecamatan 0 10 0 29 18 15 0 20 24 0 0 2 29 29 0 5 0 29

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
119

Lampiran 12. (lanjutan)


Agustus September Oktober
No Kecamatan Sangat Kering Kering Sangat Kering Kering Sangat Kering Kering Agak Kering Normal
de de de de de de de de
SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH SPI HTH
Boer Boer Boer Boer Boer Boer Boer Boer
1 Sukapura v v v v v v v v v v
2 Sumber v v v v v v v v v v
3 Kuripan v v v v v v v v v v
4 Bantaran v v v v v v v v v v
5 Leces v v v v v v v v v v v
6 Tegalsiwalan v v v v v v v v v v v v
7 Banyuanyar v v v v v v v v v v v v
8 Tiris v v v v v v v v v v v v v v v
9 Krucil v v v v v v v v v v v v v v v
10 Gading v v v v v v v v v v v v v v
11 Pakuniran v v v v v v v v v v v v
12 Kotaanyar v v v v v v v v v v
13 Paiton v v v v v v v v v v
14 Besuk v v v v v v v v v v v v
15 Kraksaan v v v v v v v v v
16 Krejengan v v v v v v v v v v v
17 Pajarakan v v v v v v v v v v
18 Maron v v v v v v v v v v v v v
19 Gending v v v v v v v v v
20 Dringu v v v v v v v v v
21 Wonomerto v v v v v v v v v v
22 Lumbang v v v v v v v v v v
23 Tongas v v v v v v v v v v
24 Sumberasih v v v v v v v v v
25 Kademangan v v v v v v v v v
26 Mayangan v v v v v v v v v
27 Kanigaran v v v v v v v v v
28 Kedopok v v v v v v v v v
29 Wonoasih v v v v v v v v v v
Total Kecamatan 29 29 28 0 0 10 29 29 29 1 0 3 26 29 28 20 3 9 3 2 0 2 0 0

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
120

Lampiran 12. (lanjutan)


November
No Kecamatan Kering Agak Kering Normal Agak Basah Basah
de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH
1 Sukapura v v v v
2 Sumber v v v
3 Kuripan v v v v
4 Bantaran v v v v v
5 Leces v v v v v v
6 Tegalsiwalan v v v v
7 Banyuanyar v v v v v
8 Tiris v v v v v v v
9 Krucil v v v v v v
10 Gading v v v v v v
11 Pakuniran v v v v v v v
12 Kotaanyar v v v v
13 Paiton v v v v
14 Besuk v v v v v v v
15 Kraksaan v v v v
16 Krejengan v v v v v v
17 Pajarakan v v v v v
18 Maron v v v v v v
19 Gending v v v v v
20 Dringu v v v v v
21 Wonomerto v v v v v
22 Lumbang v v v v v
23 Tongas v v v v
24 Sumberasih v v v v
25 Kademangan v v v v
26 Mayangan v v v v
27 Kanigaran v v v v
28 Kedopok v v v
29 Wonoasih v v v v
Total Kecamatan 21 0 23 22 4 11 12 29 9 4 0 3 2 0 0

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
121

Lampiran 12. (lanjutan)


Desember
No Kecamatan Agak Kering Normal Agak Basah Basah
de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH de Boer SPI HTH
1 Sukapura v v v v v v v
2 Sumber v v v v v v v v
3 Kuripan v v v v v
4 Bantaran v v v v v v
5 Leces v v v v v v v
6 Tegalsiwalan v v v v v v
7 Banyuanyar v v v v v v
8 Tiris v v v v
9 Krucil v v v
10 Gading v v v
11 Pakuniran v v v v v
12 Kotaanyar v v v v v
13 Paiton v v v v v v
14 Besuk v v v v v v
15 Kraksaan v v v v v
16 Krejengan v v v v v
17 Pajarakan v v v v v v
18 Maron v v v v v
19 Gending v v v v v
20 Dringu v v v v
21 Wonomerto v v v v v v
22 Lumbang v v v v v v
23 Tongas v v v v v v
24 Sumberasih v v v v v
25 Kademangan v v v v
26 Mayangan v v v
27 Kanigaran v v v
28 Kedopok v v v v
29 Wonoasih v v v v
Total Kecamatan 0 0 8 20 22 21 19 21 19 18 0 0
Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
122

Lampiran 13. Dokumentasi Survei Lapang

UPDT Wilayah Sumberasih (Nov, 2015). DAM Pekalen (Nov, 2015).

Pompa Air untuk membantu pasokan air sawah Tanaman palawija (jagung, cabai, bawang merah)
sebagai pengganti padi (Nov, 2015).
(Nov, 2015).

Stasiun Curah Hujan Probolinggo (Nov, 2015). Stasiun Curah Hujan Pekalen (Nov, 2015).
Lampiran 13. (lanjutan)

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
123

Foto bersama penjaga pintu air DAM Kalisamas UPDT Pintu Air DAM Pekalen untuk membagi pasokan air
Dringu (Nov, 2015). (Nov, 2015).

Usaha Pemerintah membuat saluran irigasi mengatasi kekeringan (Kiri: Nov, 2015; Kanan: Maret, 2016).

Wilayah Probolinggo dengan kondisi yang berbeda Wilayah Probolinggo dengan kondisi kering menurut
menurut ketiga metode. Kondisi agak kering menurut metode de Boer dan HTH, sedangkan menurut metode
metode de Boer, kondisi normal menurut metode SPI, SPI kondisinya normal.
sedangkan menurut metode HTH kondisinya kering.
Sumber : Survei Lapang Penulis, November 2015 dan Maret 2016.

Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
124

Peta 1. Administrasi Probolinggo, Jawa Timur.

Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.


Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
125

Peta 2. Wilayah Ketinggian Probolinggo, Jawa Timur.

Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.


Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
126

Peta 3. Wilayah Lereng Probolinggo, Jawa Timur.

Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.


Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
127

Peta 4. Arah Hadapan Lereng di Probolinggo, Jawa Timur.

Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.


Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
128

Peta 5. Desa Terdampak Kekeringan Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur Tahun 2015.

Sumber: BPBD Kabupaten Probolinggo, 2016.


Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
129

Peta 6. Sebaran Stasiun Curah Hujan Probolinggo, Jawa Timur.

Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.


Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016
130

Peta 7. Pola Spasial Curah Hujan Rata-Rata Tahunan 1990-2015 di Probolinggo, Jawa Timur.

Sumber: Pengolahan Data Pribadi, 2016.


Universitas Indonesia
Perbandingan pola..., Nadine Grace Yusticia, FMIPAUI, 2016

Anda mungkin juga menyukai