Oleh:
dr. Gina Anisah Mujahidah M.R, S.Ked
Dokter Pendamping:
dr. Andre Hendrajaya, S.Ked
PROGRAMINTERNSHIPDOKTERINDONESIA
RS HL MANAMBAI ABDULKADIR
PROVINSINTB
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karunia-Nya, penulisan laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka mengikuti “Program Internsip
Dokter Indonesia” di RS HL Manambai Abdulkadir.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis memperoleh banyak
bimbingan dan petunjuk, serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak.Melalui
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat :
1. dr.Andre Hendrajaya, selaku dokter pendamping di RS HL Manambai
Abdulkadir.
2. Teman sejawat Dokter Internsip di RS HL Manambai Abdulkadir, serta
semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam
masalah kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sinus frontal kanan dan kiri, sinus ethmoid kanan dan kiri (anterior
dan posterior), sinus maksila kanan dan kiri (antrum highmore) dan sinus
sfenoid kanan dan kiri. Semua sinus ini dilapisi oleh mukosa yang
merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara di
rongga hidung melalui ostium masing-masing.3
Pada meatus medius yang merupakan ruang di antara konka
superior dan konka inferior rongga hidung terdapat suatu celah sempit
yaitu hiatus semilunaris sebagai muara dari sinus maksila, sinus frontalis
dan ethmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di
antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid
posterior dan sinus sfenoid.3
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa
rongga hidung dan terbentuk pada fetus usia bulan III atau menjelang
bulan IV dan tetap berkembang selama masa kanak-kanak, jadi tidak heran
jika pada foto anak-anak belum ada sinus frontalis karena belum
terbentuk.4
Sinus Maksila
Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus
maksila berbentuk seperti piramid. Dinding anterior sinus maksila
dibentuk oleh permukaan fasial os maksila (fosa kanina), dinding posterior
terbentuk oleh permukaan infra-temporal maksila, bagian medial sinus
maksila adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superior terbentuk
oleh dasar orbita, dan dinding inferior terbentuk oleh prosesus alveolaris
dan palatum.4
Secara klinis, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila
adalah dasar dari sinus maksila (dinding inferior) sangat berdekatan
dengan akar gigi rahang atas, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke
atas dan menyebabkan terjadinya sinusitis. Sinusitis maksila dapat
menimbulkan terjadinya komplikasi orbita karena dinding superior sinus
maksila dibenuk oleh dasar orbita. Ostium sinus maksila terletak lebih
tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari
pergerakan silia.3,4
2.2 Definisi
Sinusitis adalah radang mukosa sinus paranasal. Sesuai anatomi
sinus yang terkena, dapat dibagi menjadi sinusitis maksila, sinusitis
etmoid, sinusitis frontal dan sinusitis sfenoid.1,2,3 Yang paling sering
ditemukan ialah sinusitis maksila dan sinusitis etmoid, sinusitis frontal dan
sinusuitis sfenoid lebih jarang.
Sinus maksila disebut juga dengan antrum highmore, merupakan
sinus yang sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal
yang terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran
sekret atau drainase dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia,
(3) dasar sinus maksila adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris),
sehingga infeksi gigi dapat menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium
sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang
sempit, sehingga mudah tersumbat.1
Sinusitis maksilaris dapat terjadi akut, berulang atau kronis.
Sinusitis maksilaris akut berlangsung tidak tanpa adanya residu kerusakan
jaringan mukosa. Sinusitis berulang terjadi lebih sering tapi tidak terjadi
kerusakan signifikan pada membran mukosa. Sinusitis kronis berlangsung
selama 3 bulan atau lebih dengan gejala yang terjadi selama lebih dari dua
puluh hari (lebih dari tiga minggu). Sinusitis akut dapat sembuh sempurna
jika diterapi dengan baik. 1,2,5
2.3 Patofisiologi
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal
antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu,
(3) membantu keseimbangan kepala, (4) resonansi suara, (5) peredam
perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk
membersihkan rongga hidung.1,3
Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan
tubuh baik lokal maupun sistemik.2,3,5 Seperti pada mukosa hidung, di
dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di
dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju
ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.
Gambar 2. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus
Gambar 10. Foto lateral menunjukkan gambaran air fluid level di sinus
maksila
Gambar 14. Foto CT scan posisi Gambar 15. Foto CT scan posisi
coronal menggambarkan coronal menggambarkan sinusitis
Sinusitis jamur. Jaringan lunak pada sisi kanan sinus
menempati sinus maksilaris spenoethmodal.
kanan dan ethmoid dengan
daerah hyperattenuating pusat
khas jamur sinusitis. Dinding
medial sinus yang terkena
terkikis.
Pemeriksaan MRI
Meskipun CT scan tetap menjadi modalitas utama untuk kriteria
standar diagnosis sinusitis, tetapi MRI diindikasikan pada kasus-kasus
klinis yang dicurigai dapat menjadi komplikasi, terutama pada pasien
dengan komplikasi intrakranial dan infeksi yang besifat extension atau
pada mereka yang suspek superior sagittal venous thrombosis. 9
MRI meningkatkan diferensiasi jaringan lunak, tetapi itu tidak
membantu dalam mengevaluasi tulang. MRI jelas menggambarkan tumor
dari inflamasi pada jaringan sekitar dan sekresi pada sinus. Pada MRI T2-
weighted, membran edema dan lendir jelas terlihat hiperintens.9
2.8 Penatalaksanaan
Terapi sinusitis maksilaris umumnya terdiri dari : 9,10
1. Istirahat
2. Antibiotika
Antibiotika yang dipilih adalah antibiotika spektrum luas yang relatif
murah dan aman. Lama pemberian antibiotika yang disarankan oleh
beberapa kepustakaan juga bervariasi tergantung kondisi penderita. Pada
kasus akut, antibiotika diberikan selama 5-7 hari sedangkan pada kasus
kronik diberikan selama 2 minggu hingga bebas gejala selama 7 hari.
Antibiotika yang dapat diberikan antara lain :
a. Amoksisilin 3 kali 500 mg
b. Ampicillin 4 kali 500 mg
c. Eritromisin 4 kali 500 mg
d. Sulfametoksasol – TMP
e. Doksisiklin
3. Dekongestan lokal (tetes hidung) atau sistemik (oral) merupakan
Alpha adrenergik agonis menyebabkan vasokontriksi, sehingga
memperlancar drainase sinus.
a. Sol Efedrin 1-2 % sebagai tetes hidung
b. Sol Oksimetasolin HCL 0,05% (semprot hidung untuk dewasa)
c. Oksimetasolin HCL 0,025% (semprot hidung untuk anak-anak)
d. Tablet pseudoefedrin 3 kali 60 mg (dewasa)
4. Analgetika dan antipiretik: parasetamol atau metampiron
5. Antihistamin
Antagonis histamine H1 yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada
reseptor H1 sel target. Bekerja dengan menghambat hipersekresi kelenjar
mukosa dan sel goblet dan menghambat peningkatan permeabilitas
kapiler sehingga mencegah rinore dan sebagai vasokontriksi sinusoid
untuk mencegah hidung tersumbat. Antihistamin berguna untuk
mengurangi obstruksi KOM pada pasien alergi yang menderita sinusitis
akut. Terapi antihistamin ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan
rutin pada pasien dengan sinusitis akut, karena dapat menimbulkan
komplikasi melalui efeknya yang mengentalkan dan mengumpulkan
sekresi sinonasal.
6. Mukolitik
Secara teori, mukolitik seperti bromehexin atau ambroxol hidroklorida
memiliki kelebihan dalam mengurangi sekresi dan memperbaiki drainase.
Namun tidak biasa digunakan dalam praktek klinis untuk mengobati
sinusitis akut.
7. Tindakan operatif
a. Pungsi dan Irigasi sinus maksilaris (antrum wash out)
Tujuan dilakukan Irigasi antrum adalah 1) sebagai tindakan
diagnostik untuk memastikan ada tidaknya sekret pada sinus
maksilaris, 2) untuk mengeluarkan sekret yang terkumpul didalam
rongga sinus maksilaris, 3) memperbaiki aliran mukosiliar, 4) jika
dalam waktu 10 hari, penderita tidak menunjukkan tanda-tanda
perbaikan dengan terapi konservatif, atau telah didapatkan adanya air
fluid level dalam antrum, 5) untuk memperoleh material yang dapat
digunakan untuk kultur dan tes sensitifitas.
Tindakan ini dapat dilakukan dengan :
Mukosa hidung disemprot dengan larutan 10% kokain dan adrenalin
1/1000. kemudian dengan sepotong kapas yang dibasahi dengan
larutan yang sama ditempatkan pada meatus inferior. Ditunggu
selama 15 menit.
Dengan menggunakan trokar (misal Trokar dari Lichwits) dibuat
drainase melalui meatus inferior atau celah bukalis gusi menembus
fosa insisiva dengan menempatkan ujung trokar pada bagian atas dari
meatus nasi inferior, kearah kanthus lateralis 1-1/2 inch dari lobang
hidung atau tepi atas daun telinga. Trokar didorong masuk dengan
arah sedikit memutar sampai terasa menembus tulang. Trokar dicabut
dengan meninggalkan kanul.
Dilakukan irigasi antrum dengan larutan salin steril hangat ke dalam
antrum maksilaris. Selanjutnya mengalirkan larutan saline hangat,
akan mendorong pus ke luar melalui ostium alami ke rongga hidung
atau mulut. cairan irigasi ditampung dan dikirim untuk pemeriksaan
bakteriologi dan uji kepekaan kuman.
Antrum wash out dilakukan lima-enam kali dengan selang waktu 4- 5
hari (2 kali dalam seminggu). Bila tidak ada perbaikan dan klinis
masih tetap banyak sekret purulen, berarti mukosa sinus tidak dapat
kembali normal (perubahan irreversible), maka perlu dilakukan
operasi radikal.
Antibiotika diberikan sesuai dengan pemeriksaan bakteriologi dan tes
uji kepekaan.
8. Pembedahan radikal
Indikasi pembedahan radikal ini adalah 1) kegagalan respon terapi
konservatif yakni sinusitis kronik refrakter terhadap terapi medis yang
maksimal terhadap terapi antibiotik, 2) tindakan irigasi terutama pada
sinusitis kronik dan persisten dengan mukosa sinus yang irreversible.
Sinusitis akut jarang membutuhkan pembedahan, kecuali jika terjadi
komplikasi seperti bentukan mukopiokele dengan kecurigaan penyebaran
ke orbita atau intrakranial, atau bila ada nyeri yang hebat karena ada
sekret tertahan oleh sumbatan.
Terapi radikal dilakukan dengan pembedahan Caldwel-luc, yaitu dengan
mengangkat mukosa yang patologis dan membuat drainasesinus.
9. Pembedahan tidak radikal
Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) atau Functional
Endoscopic Sinus Surgery (FESS) merupakan tehnik penanganan terkini
dari sinusitis oleh karena pembedahan dengan metode Caldwel-luc sudah
jarang dipakai. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah
KOM yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga ventilasi
sinus dan drainase sinus dapat lancer kembali melalui ostium alami dan
mengembalikan fungsi mukosilier. Pendekatan terdahulu untuk membuat
saluran nasoantral dalam sinus maksilaris (untuk memfasilitasi gravitasi
drainase) adalah tidak efektif, karena pembersihan normal mukosilier
adalah satu arah dan melawan gravitasi. Oleh karena itu, pembersihan
normal mukosilier tidak akan berubah walaupun telah dibuatkan saluran
nasoantral.
BAB III
LAPORAN KASUS
.1 Identitas pasien
Nama : Nn. Ayu Rahmawati
Usia : 20 tahun
No. register : 062878
Alamat : Moyo Hilir, Sumbawa
Jenis Kelamin : Perempuan
.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Nyeri kepala sisi kanan
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasein datang ke IGD RS Manambai dengan keluhan nyeri kepala
dominan sisi kanan sejak 1 minggu yang lalu, nyeri di rasakan seperti kepala
terasa berat. Keluhan di rasakan terus menerus, memberat terutama saat pasien
posisi menunduk dan tidak membaik dengan beristirahat. Selain itu pasien
mengeluhkan pilek lama sejak kurang lebih 1 bulan ini disertai hidung
tersumbat, pasien memang memiliki riwayat hidung sering tersumbat bila
terkena suhu dingin dan terkena debu keluhan sering muncul saat pagi hari
saat bangun tidur. Sejak 4 hari ini adanya pengeluaran cairan bening yang
lama kelamaan berubah kuning kehijauan, kental dan berbau dan seperti sering
menelan lender. Keluhan gangguan pengelihatan dan pendengaran disangkal,
Mual dan muntah di sangkal, BAB dan BAK dalam batas normal.
Riwayat Pengobatan
Pasien tidak dalam pengobatan atau mengkonsumsi obat rutin.
Riwayat Alergi
Pasien alergi terhadap debu dan suhu dingin. alergi makanan, obat-
obatan, disangkal
.3 Pemeriksaan fisik
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran E4V5M6
Tekanan darah 120/70 mmHg
Nadi 89 x/menit, kuat, reguler
Suhu 36,4 ºc
Respirasi 20 x/menit, pergerakan dada simetris
Spo2 99% (tanpa oksigen)
Status generalis
Kepala : Normochepali, alopesia (-)
Mata : Anemis (-/-), ikterus (-/-), reflek pupil (+/+) isokor kiri
dan kanan, edema palpebra (+/+), mata cowong (-)
Leher : Pembesaran kelenjar getah beninh (-/-), deviasi trakea (-)
Thorax
o Inspeksi : Dada tampak simetris
o Palpasi : Nyeri tekan (-/-), vocal fremitus (+/+) sama kanan
dan kiri
o Perkusi : Sonor diseluruh lapang paru
o Auskultasi : Vesikuler +/+, ronchi-/-, wheezing (-/-)
Cor
o Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
o Palpasi : ictus cordis teraba di ICS 5 mid claviculasinistra
o Perkusi : atas : ICS 2 linea sternalis sinistra
kiri : ICS 5 linea mid clavicula sinistra 1 jari ke
arah lateral
kanan : ICS 5 linea mid clavicula dekstra
o Auskultasi : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : distensi (-), massa (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani diseluruh lapang abdomen, asites (-)
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit (+)
baik
Ekstremitas : akral hangat dan edema (-), sianosis (-)
Kulit : kulit kering (-), sianosis (-), turgor kulit baik.
TELINGA
Radang (-), nyeri tekan Radang (-), nyeri tekan tragus
Aurikula
tragus (-) (-)
Retroaurikula Radang (-), nyeri tekan (-) Radang (-), nyeri tekan (-)
Meatus
akustikus sulit di evaluasi sulit di evaluasi
eksternus
Membran
sulit di evaluasi sulit di evaluasi
timpani
HIDUNG
Sekret (+), massa (-), hiperemis Sekret (+), massa (-), hiperemis
Vestibulum
(+) (-)
Konka
Hipertrofi (+), hiperemis (+) Hipertrofi (-), hiperemis (-)
inferior
Meatus nasi
Pus (-), polip (-) Pus (-), polip (-)
media
Kavum nasi Lapang Lapang
Mukosa Hiperemis (+) Hiperemis (-)
Sekret Deviasi (-) Deviasi (-)
Septum normal normal
FARING
Arkus faring Simetris Simetris
T1, hiperemi (-), kripta
(-), T1, hiperemi (-), kripta (-),
Tonsil
detritus (-), permukaan detritus (-), permukaan rata
rata
Uvula Simetris, hiperemi (-), oedem (-)
Palatum mole Simetris, hiperemi (-)
Mukosa halus, hiperemi (-), refleks muntah (+/+), post
Dinding faring
nasal drip (+)
Regio Fasialis:
Inspeksi : pembengkakan pipi (-), deformitas wajah (-)
Palpasi : nyeri tekan maksila dextra (+), nyeri tekan maksila sinistra (-)
Perkusi : nyeri ketok maksila dextra (+), nyeri tekan maksila sinistra (-)
Pemeriksaan Gigi : Lengkap , caries gigi (-)
Pemeriksaan tambahan
Transiluminasi : Sulit dinilai
3.4 PemeriksaanPenunjang
Darah lengkap (31/03/2021)
Hemoglobin 12.9 g/dL 12.3-15.3
Leukosit 12.97 Ribu/uL 4.00-11.30
Hitung jenis
leukosit
Netrofil 88.3 % 50.0-70.0
Limfosit 22.00 % 22.00-40.00
Monosit 4.7 % 0,0-7,0
Eosinofil 0.7 % 1.0 ~ 3.0
3.6 Planning
Prognosis
Ad vitam : bonam
Ad functionam : bonam
Ad sanationam : bonam
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang laki-laki, 51 tahun datang berobat ke Poliklinik THT-KL dengan
keluhan hidung tersumbat sejak 4 minggu SMRS. Keluhan hidung tersumbat
dirasakan hilang timbul. Pasien juga mngeluhkan adanya cairan yang keluar
melalui hidung. Cairan berwarna kuning kehijauan dan berbau. Kadang, pasien
juga meraskan ada cairan yang turun dari belakang hidung ke tenggorok. Pasien
juga mengeluhkan nyeri yang dirasakan pada kedua pipinya. Dalam satu minggu
terakhir pasien juga mengeluhkan sakit kepala.
Berdasarkan anamnesis pasien mengaku hidung terasa sumbat serta
adanya pengeluaran cairan bening yang lama kelamaan berubah kuning kehijauan,
kental dan berbau. Hal ini sesuai dengan teori bahwa organ-organ yang
membentuk KOM (kompleks osteo meatal) letaknya berdekatan dan apabila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak
dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative di dalam
rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi berupa serous. Kondisi ini
biasanya di anggap sebagai rhinosinusitis non bacterial dan biasanya akan sembuh
dalam beberapa hari. Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus
akan menjadi mediator yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga sekter
akan berubah purulen.
Sinusitis akut dapat disebabkan oleh rinitis akut, infeksi faring, infeksi gigi
rahang atas (dentogen), trauma. Gejala klinis dapat berupa demam dan rasa lesu.
Pada hidung dijumpai ingus kental. Dirasakan nyeri didaerah infraorbita dan
kadang-kadang menyebar ke alveolus. Penciuman terganggu dan ada perasaan
penuh dipipi waktu membungkuk ke depan. Pada pemeriksaan tampak
pembengkakan di pipi dan kelopak mata bawah. Pada rinoskopi anterior tampak
mukosa konka hiperemis dan edema. Pada rinoskopi posterior tampak mukopus di
nasofaring (post nasal drip). Terapi medikamentosa berupa antibiotik selam 10-14
hari. Pengobatan lokal dengan inhalasi, pungsi percobaan dan pencucian.
Sinusitis kronik dapat disebabkan oleh pneumatisasi yang tidak memadai,
makanan yang tak memadai, reaksi atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan
variasi anatomi. Gejala berupa kongesti atau obstruksi hidung, nyeri kepala
setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal drip), gangguan
penciuman dan pengecapan.
Pada rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen dari meatus
medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring. Pengobatan
sinusitis kronik dilakukan secara konservatif dengan antibiotik selama 10 hari,
dekongestan lokal dan sistemik, juga dapat dilakukan diatermi gelombang pendek
selama 10 hari di daerah sinus maksila, pungsi dan irigasi sinus.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya:
1. Transluminasi: pemeriksaan ini akan memberikan hasil yang bermkna apa
bila hanya salah satu sinus yang terkena. Hasil pemeriksaan transluminasi
positif menunjukkan adanya adanya perbedaan cahaya antara sinus yang
normal dan sinus ang sakit
2. Foto water: merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat
membantu dalam penegakan siagnosa sinusitis. Hasil pemeriksaan foto waters
menunjukkan adanya gambaran perselubungan dengan gambaran penebalan
dari mukosa atau dapat ditemukan adanya gambaran air fluid level.
3. CT Scan merupakan tes yang paling sensitive dalam mengungkapkan
kelainan anatomis selain melihat adanya cairan dalam sinus. tetapi karena
mahal, CT scan jarang dipakai sebagai skrining awal dalam menegakan
diagnose sinusitis.
Pada pasien ini diberikan terapi kortikosteroid spray yaitu fluticasone,
dekongestan spray yaitu xylometazoline. Penatalaksanaan lini pertama pada
sinusitis maksilaris menggunakan dekongestan nasal topikal dan irrigasi saline
dari cavum nasi. Dekongestan topikal seperti ephedrine atau xylometazoline dapat
melebarkan ostium sinus paranasal yang akan melancarkan drainase dengan
aktivitas siliaris. Kebanyakan dekongestan berbentuk spray sehingga
penghantaran zatnya lebih efektif. Penggunaan dekongestan berlebihan dapat
menyebabkan nasal discomfort dan rebound mucosal swelling sehingga
penggunaannya dianjurkan tidak lebih dari tujuh hari. Namun pada sinusitis
kronik, penggunaan dekongestan nasal lebih lama namun dibatasi pengunaanya
satu kali dalam sehari.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hall dan Collmans Sinusitis. Disease of The Nose, Throat and Ear. Head and
Neck Surgery. Fourtheenth ed, 2005, 49 – 53.
2. Dykewicz MS, Hamilos DL February 2010. Rhinitis and Sinusitis. The
Journal of Allergy and Clinical Immunology. 125: S103–15.
3. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA,
Iskandar N (eds). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher. 6th Ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2008.pp.150-154.
4. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
5. Kennedy E. Sinusitis. Available from:
http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm
6. Rosenfeld RM. Picirrilo JF. Chandrasekhar SS. Brook I. Kumar KA. Kramper
M. Orlandi RR. Et al. 2015. Clinical Practice Guideline (Update): Adult
Sinusitis. Otolaryngology Head and Neck Surgery. 2015. 152 : (2S).p.1-24.
7. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F,
Soejak S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p.81-
91.
8. Desrosiers M. Evans GA. Keith PK. Wright ED, Kaplan A, Ciavarella A.
Doyle PW, Javer AR, et al. Canadian clinical practice guidelines for acute and
chronic rhinosinusitis. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2011.
7:2.p.1-38.
9. Boies ET. Sinusitis. In: Harwood-Nuss A, Wolfson AB, Linden CA, Shepherd
SM, Stenklyft PH. The Clinical Practice of Emergency Medicine. 3rd ed.
Philadelphia, PA: Lippincott Williams & Wilkins Publishers; 2001.
10. Laszlo I. Radiologi Daerah Kepala dan Leher. Dalam: Penyakit Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepal & Leher Jilid 2. Edisi 13. Jakarta: Binarupa
Aksara; 1997. p 2-9
11. Bell GW, Joshi BB and Macleod RI.Maxillary sinus disease: diagnosis and
treatment. British Dental Journal. 2011. 210: (3). 113-118.