Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan kepala leher paling seringdi
Indonesia. Keterlambatan diagnosis sering terjadi pada KNF karena gejala
tidakspesifik seperti gangguan telinga unilateral.
Insidensi karsinoma nasofaring (KNF) tertinggi di Cina Selatan, Asia Tenggara,
Jepang, Afrika Utara dan Timur Tengah. Rata-rata angka insidensi dari KNF di Cina
Selatan sekitar 15 sampai 50 dari 100.000 populasi. Di Amerika Serikat, insidensi
KNF rata-rata ditemukan sebanyak 1-2 kasus dari 100.000 populasi berjenis kelamin
laki-laki dan 0,4 kasus dari 100.000 populasi berjenis kelamin perempuan. Selain itu,
keganasan merupakan kejadian yang paling banyak ditemukan di berbagai Negara
dan berbagai suku, terutama di Asia (Adham M, dkk, 2014).
Keganasan nasofaring merupakan keganasan keempat setelah kanker ovarium,
payudara dan kulit yang paling sering terjadi di Indonesia. Rata-rata insidensi
kejadian KNF di Indonesia sendiri yaitu sebanyak 6,2 dari 100.000 populasi atau
sebanyak 12.000 kasus baru setiap tahunnya. Sulit untuk mendeteksi dini KNF
namun penegakan diagnosis secepatnya akan menghasilkan hasil yang optimal
terhadap tatalaksana yang akan dilakukan. Alasan sulitnya penegakan diagnosis KNF
ini dikarenakan gejala yang ditunjuk seekan tidak begitu spesifik diantara lain seperti
rasa tidak nyaman pada hidung dan telinga. Keluhan di telinga pada jenis keganasan
ini bersifat unilateral seperti disfungsi saluran Tuba Eustachius, otitis media perfusi,
tuli konduktif dan nyeri di telinga (Adham M, dkk, 2014).
Gejala dan tanda karsinoma nasofaring yang sering berupa benjolan di leher
(78%), obstruksi hidung (35,5%), epistaksis (27,5%) dan diplopia. Termasuk
adenopati leher, epistaksis, otitis media efusi, gangguan pendengaran unilateral atau
bilateral, hidung tersumbat, paralisis nervus kranial, retrosphenoidal syndrome of
Jacod (kesulitan ekspresi wajah, masalah gerakan mata dan rahang), retroparotidian

1
syndrome of Villaret (sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah dan leher), nyeri
telinga yang menjalar. Seperempat pasien karsinoma nasofaring mengalami gangguan
nervus kranial, 28,8% mengenai nervus V, 26,9 % mengenai nervus VI dan 25%
mengenai nervus X (Ariwibowo, 2013).
Diagnosis dini menentukan prognosis pasien, namun cukup sulit dilakukan karena
nasofaring tersembunyi di belakang langit-langit dan terletak di bawah dasar
tengkorak serta berhubungan dengan banyak daerah penting didalam tengkorak dan
ke lateral maupun ke posterior leher. Oleh karena itu, tidak mudah diperiksa oleh
mereka yang bukan ahli. Sering kali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan
metastasis ke leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama. Untuk dapat
berperan dalam pencegahan, deteksi dini dan rehabilitasi perlu diketahui seluruh
aspeknya antara lain epidemiologi, etiologi, diagnostik, pemeriksaan serologi,
histopatologi, terapi dan pencegahan serta perawatan paliatif pasien yang
pengobatannya tidak berhasil baik (Roezin, 2008).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus, terletak
dibelakang rongga hidung dengan dinding yang kaku di atasnya, bagian belakang
danlateral yang secara anatomi termasuk bagian faring sehingga akan membentuk
suatu rongga. Diatas tepi bebas palatum molle berhubungan dengan rongga hidung
danruang telinga melalui koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh
dasar tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah
(Firdaus dan Prijadi, 2011).

Gambar 1: Anatomi nasofaring

3
Anterior nasofaring akan berhubungan dengan rongga hidung melalui koana
dan tepi belakang septum nasi, sehingga sumbatan hidung merupakan gangguan yang
sering timbul. Ke arah posterior dinding nasofaring melengkung ke supero-anterior
dan terletak di bawah tulang sfenoid, sedangkan bagian belakang nasofaring
berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia pre-vertebralis dan otot-otot dinding
faring. Pada dinding lateral nasofaring terdapat orifisium tuba eustachius dimana
orifisium ini dibatasi superior dan posterior oleh torus tubarius, sehingga penyebaran
tumor ke lateral akan menyebabkan sumbatan orifisium tuba eustachius dan akan
mengganggu pendengaran. Ke arah postero-superior dari torus tubarius terdapat fossa
Rosenmuller yang merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring. Pada atap
nasofaring sering terlihat lipatan-lipatan mukosa yang dibentuk oleh jaringan lunak
sub mukosa, dimana pada usia muda dinding postero-superior nasofaring umumnya
tidak rata. Hal ini disebabkan karena adanya jaringan adenoid (Firdaus dan Prijadi,
2011).
Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu faringeal
asenden dan desenden serta cabang faringeal arteri sfenopalatina. Darah vena dari
pembuluh darah balik faring pada permukaan luar dinding muskuler menuju pleksus
pterigoid dan vena jugularis interna. Daerah nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris
yang terdiri dari nervus glossofaringeus (N.IX) dan cabang maksila dari saraf
trigeminus (N.V2) yang menuju ke anterior nasofaring (Firdaus dan Prijadi, 2011).
Sistem limfatik daerah nasofaring terdiri dari pembuluh getah bening yang
saling menyilang dibagian tengah dan menuju ke kelenjar Rouviere yang terletak
pada bagian lateral ruang retrofaring, selanjutnya menuju ke kelenjar limfa
disepanjang vena jugularis dan kelenjar limfa yang terletak di permukaan superfisial
(Firdaus dan Prijadi, 2011).

4
Gambar 2: sistem limfatik pada kepala dan leher
2.2. Karsinoma Nasofaring
2.2.1. Definisi
Karsinoma Nasofaring merupakan tumor ganas yang timbul pada epithelial
pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dengan predileksi yang paling sering
adalah di fossa Rossenmuller (Meka dan Mukhlis, 2017).
2.2.2. Epidemiologi
Insidensi karsinoma nasofaring (KNF) tertinggi di Cina Selatan, Asia
Tenggara, Jepang, Afrika Utara dan Timur Tengah. Rata-rata angka insidensi dari
KNF di Cina Selatan sekitar 15 sampai 50 dari 100.000 populasi. Di Amerika Serikat,
insidensi KNF rata-rata ditemukan sebanyak 1-2 kasus dari 100.000 populasi berjenis
kelamin laki-laki dan 0,4 kasus dari 100.000 populasi berjenis kelamin perempuan.
Selain itu, keganasan merupakan kejadian yang paling banyak ditemukan di berbagai
Negara dan berbagai suku, terutama di Asia. Rata-rata insidensi di suku Cantonese di

5
Cina Utara sekitar 25-50 kasus dari 100.000 populasi dan terhitung sebesar 18% dari
seluruh kasus keganasan. dan keganasan ini merupakan penyebab utama kematian
pada suku Cantonese.(1,3)
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan keganasan di daerah kepala dan leher
yang merupakan tumor lima besar diantara keganasan bagian tubuh lain bersama
dengan kanker serviks, kanker payudara, tumor ganas getah bening dan kanker kulit
sedangkan di daerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF mendapat
persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala dan leher, diikuti tumor ganas
hidung dan sinus paranasal 18%, laring 16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil
dan faring) (Meka dan Mukhlis, 2017).
2.2.3. Faktor resiko
Beberapa faktor risiko karsinoma nasofaring antara lain virus Epstein Barr,
ikan asin, kurang konsumsi buah dan sayuran segar, tembakau, asap lain, dan variasi
genetic (Ariwibowo, 2013).
1. Virus Epstein Barr (EBV)
Transmisi utama melalui saliva. Limfosit B adalah target utama EBV, jalur
masuk EBV ke sel epitel masih belum jelas, replikasi EBV dapat terjadi di sel
epitel orofaring. Virus Epstein-Barr dapat memasuki sel-sel epitel orofaring,
bersifat menetap (persisten), tersembunyi (laten) dan sepanjang masa (life-
long). Antibodi Anti-EBV ditemukan lebih tinggi pada pasien karsinoma
nasofaring, pada pasien karsinoma nasofaring terjadi peningkatan antibodi
IgG dan IgA, hal ini dijadikan pedoman tes skrining karsinoma nasofaring
pada populasi dengan risiko tinggi (Ariwibowo, 2013).
2. Ikan asin
Paparan non-viral yang paling konsisten dan berhubungan kuat dengan risiko
karsinoma nasofaring adalah konsumsi ikan asin. Konsumsi ikan asin
meningkatkan risiko 1,7 sampai 7,5 kali lebih tinggi dibanding yang tidak
mengkonsumsi. Diet konsumsi ikan asin lebih dari tiga kali sebulan
meningkatkan risiko karsinoma nasofaring. Potensi karsinogenik ikan asin

6
didukung dengan penelitian yang disebabkan proses pengawetan dengan
garam tidak efisien sehingga terjadi akumulasi nitrosamin yang dikenal
karsinogen pada hewan. Enam puluh dua persen pasien karsinoma nasofaring
mengkonsumsi secara rutin makanan fermentasi yang diawetkan. Tingginya
konsumsi nitrosamin dan nitrit dari daging, ikan dan sayuran yang
berpengawet selama masa kecil meningkatkan risiko karsinoma nasofaring.
Delapan puluh delapan persen penderita karsinoma nasofaring mempunyai
riwayat konsumsi daging asap secara rutin (Ariwibowo, 2013).
3. Buah dan Sayuran Segar
Konsumsi buah dan sayuran segar seperti wortel, kobis, sayuran berdaun
segar, produk kedelai segar, jeruk, konsumsi vitamin E atau C, karoten
terutama pada saat anak-anak, menurunkan risiko karsinoma nasofaring. Efek
protektif ini berhubungan dengan efek antioksidan dan pencegahan
pembentukan nitrosamine (Ariwibowo, 2013).
4. Tembakau
Sejak tahun 1950 sudah dinyatakan bahwa merokok menyebabkan kanker.
Merokok menyebabkan kematian sekitar 4 sampai 5 juta per tahunnya dan
diperkirakan menjadi 10 juta per tahunnya pada 2030. Rokok mempunyai
lebih dari 4000 bahan karsinogenik, termasuk nitrosamin yang meningkatkan
risiko terkena karsinoma nasofaring. Kebanyakan penelitian menunjukkan
merokok meningkatkan risiko karsinoma nasofaring sebanyak 2 sampai 6 kali.
Perokok lebih dari 30 bungkus per tahun dan merokok selama lebih dari 25
tahun mempunyai risiko besar terkena karsinoma nasofaring (Ariwibowo,
2013).
5. Asap lain
Beberapa peneliti menyatakan bahwa insiden karsinoma nasofaring yang
tinggi di Cina Selatan dan Afrika Utara disebabkan karena asap dari
pembakaran kayu bakar. Sembilan puluh tiga persen penderita karsinoma
nasofaring tinggal di rumah dengan ventilasi buruk dan mempunyai riwayat

7
terkena asap hasil bakaran kayu bakar. Pajanan asap hasil kayu bakar lebih
dari 10 tahun meningkatkan 6 kali lipat terkena karsinoma nasofaring
(Ariwibowo, 2013).

2.2.4. Etiologi
Penyebab karsinoma nasoaring (KNF) secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu
genetik, lingkungan dan virus Ebstein Barr. Karena pada semua pasien nasofaring
didapatkan titer anti-virus Epstein-Barr (EBV) yang cukup tinggi. Titer ini lebih
tinggi dari titer orang sehat, pasien tumor ganas leher dan kepala lainnya dan tumor
organ tubuh lainnya, bahkan pada kelainan nasofaring yang lain sekalipun (Soepardi
et al, 2012).
Selain dari itu terdapat juga faktor predisposisi yang mempengaruhi
pertumbuhan tumor ganas ini, seperti:
1) Faktor genetik
Perubahan genetik mengakibatkan proliferasi sel-sel kanker secara tidak
terkontrol.Beberapa perubahan genetik ini sebagian besar akibat mutasi,
putusnya kromosom, dan kehilangan sel-sel somatik. Sejumlah laporan
menyebutkan bahwa HLA (Human Leucocyte Antigen) berperan penting
dalam kejadian KNF. Teori tersebut didukung dengan adanya studi
epidemiologik mengenai angka kejadian dari kanker nasofaring. Kanker
nasofaring banyak ditemukan pada masyarakat keturunan Tionghoa(Meka dan
Mukhlis, 2017).
2) Virus Ebstein Barr
Pada hampir semua kasus kanker nasofaring telah mengaitkan terjadinya
kanker nasofaring dengan keberadaan virus Ebstein Barr.5 Virus ini
merupakan virus DNA yang diklasifikasi sebagai anggota famili virus Herpes
yang saat ini telah diyakini sebagai agen penyebab beberapa penyakit yaitu,
mononucleosis infeksiosa, penyakit Hodgkin, limfoma-Burkitt dan kanker
nasofaring. Virus ini seringkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan

8
lainnya tetapi juga dapat dijumpai menginfeksi orang normal tanpa
menimbulkan manifestasi penyakit.5 Virus tersebut masuk ke dalam tubuh dan
tetap tinggal di sana tanpa menyebabkan suatu kelainan dalam jangka waktu
yang lama. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator. Jadi,
adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk menimbulkan
proses keganasan (Meka dan Mukhlis, 2017).
3) Faktor lingkungan
Ikan yang diasinkan kemungkinan sebagai salah satu faktor etiologi terjadinya
kanker nasofaring. Teori ini didasarkan atas insiden kanker nasofaring yang
tinggi pada nelayan tradisionil di Hongkong yang mengkonsumsi ikan kanton
yang diasinkan dalam jumlah yang besar dan kurang mengkonsumsi vitamin,
sayur, dan buah segar. Faktor lain yang diduga berperan dalam terjadinya
kanker nasofaring adalah debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu bakar,
asap dupa, serbuk kayu industri, dan obat-obatan tradisional, tetapi hubungan
yang jelas antara zat-zat tersebut dengan kanker nasofaring belum dapat
dijelaskan. Kebiasaan merokok dalam jangka waktu yang lama juga
mempunyai resiko yang tinggi menderita kanker nasofaring (Meka dan
Mukhlis, 2017)

2.2.5. Stadium
Penentuan stadium dilakukan berdasarkan atas kesepakatan antara Union
Internationale Centre Cancer(UICC) dan Americant Joint Committe on Cancer
(AJCC). Pembagian TNM untuk karsinoma nasofaring adalah sebagai berikut:

9
Tabel 1: Pembagian TNM untuk karsinoma nasofaring

Keterangan:
- T menggambarkan keadaan tumor primer, besar dan perluasannya.
- N menggambarkan keadaaan kelenjar limfe regional.
- M menggambarkan metastase jauh.

Tabel 2: stadium karsinoma nasofaring

10
Keterangan :
- Sadium 0 = Tumor terbatas di nasofaring, tidak ada pembesaran, tidak ada
metastasis jauh.
- Stadium II = Tumor terbatas di nasofaring, metastasis kelenjar getah bening
unilateral, dengan ukuran terbesar ≤6 cm, diatas fossa supraklavikula, tidak
ada metastasis jauh. Terjadi perluasan tumor ke rongga hidung tanpa
perluasan ke parafaring, metastasis kelenjar getah bening unilateral. Disertai
perluasan ke parafaring, tidak ada pembesaran dan metastasis kelenjar getah
bening unilateral, dengan ukuran terbesar ≤6 cm, diatas fossa supraklavikula,
tidak ada metastasis jauh.
- Stadium III = Tumor terbatas di nasofaring, metastasis kelenjar getah bening
bilateral, dengan ukuran terbesar ≤6 cm, diatas fossa supraklavikula, dan tidak
ada metastasis jauh.
- Stadium IVA = Tumor dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat
keterlibatan saraf kranial, fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang
mastikator. Tidak ada pembesaran dan metastasis kelenjar getah bening
unilateral serta metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran
terbesar ≤6 cm, diatas fossa supraklavikula. Tidak ada metastasis jauh.
- Stadium IVB = Tumor primer, tidak tampak tumor, tumor terbatas di
nasofaring, tumor meluas ke jaringan lunak, perluasan tumor ke orofaring
dan / atau rongga hidung tanpa perluasan ke parafaring, disertai perluasan ke
parafaring, tumor menginvasi struktur tulang dan / atau sinus paranasal, tumor
dengan perluasan intrakranial dan / atau terdapat keterlibatan saraf kranial,
fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruang mastikator. Metastasis
kelenjar getah bening bilateral dengan ukuran >6 cm, atau terletak di dalam
fossa supraklavikula. Tidak ada pembesaran.
- Stadium IVC = Tumor primer, tidak tampak tumor, tumor terbatas di
nasofaring, tumor meluas ke jaringan lunak, perluasan tumor ke rongga
hidung tanpa perluasan ke parafaring. Bisa jadi disertai perluasan ke

11
parafaring, tumor menginvasi struktur tulang dan atau sinus paranasal, tumor
dengan perluasan intrakranial dan atau terdapat keterlibatan saraf kranial,
fossa infratemporal, hipofaring, orbita atau ruangmastikator. Selain itu dapat
juga pembesaran kelenjar getah bening regional, pembesaran kelenjar getah
bening tidak dapat dinilai, tidak ada pembesaran, metastasi kelenjar getah
bening unilateral, dengan ukuran terbesar ≤6 cm, diatas fossa supraklavikula,
metastasis kelenjar getah bening bilateral, dengan ukuran terbesar ≤6 cm,
diatas fossa supraklavikula, Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan
ukuran >6 cm, atau terletak di dalam fossa supraklavikula, ukuran >6 cm, di
dalam supraklavikula, dan terdapat metastasis jauh (Soepardi et al, 2012).

- Stadium I : T1 dan N0 dan M0

12
- Stadium IIA : T2 dan N0 dan M0

- Stadium IIB : T1 atau T2 dan N1 dan M0

- Stadium III : T1/T2 dan N1/N2 dan M0 atau T3 dan N0/N1/N2 dan M0

13
- Stadium IVA : T4 dan N0/N1 dan M0 atau T dan N2 dan M0

- Stadium IVB : T1/T2/T3/T4 dan N3A/N3B dan M0

14
- Stadium IVC : T1/T2/T3/T4 dan N0/N1/N2/N3 dan M1.

2.2.6. Patogenesis
Infeksi laten EBV sangat penting dalam perkembangan menuju displasia yang
berat pada KNF. Seperti yang ditemukan pada keganasan umumnya, terdapat
beberapa tahap gambaran histologi yang mencerminkan perubahan genetik pada
KNF. Displasia merupakan lesi awal yang dapat terdeteksi yang diperkirakan
dipengaruhi oleh beberapa karsinogen lingkungan. Area displasia ini merupakan asal
dari tumor namun belum cukup untuk menyebabkan perkembangan yang progresif.
Pada stadium laten ini, infeksi EBV dapat mengacu pada perkembangan displasia

15
yang lebih berat. Didapatkan kerusakan gen pada kromosom yang dapat memicu
terjadinya kanker invasif dan metastasis sering dihubungkan dengan mutasi (Asroel
HA, 2002).
2.2.7. Manifestasiklinis
Tanda awal dari karsinoma nasofaring sulit untuk didiagnosis atau dideteksi
yang dikarenakan letak nasofaring yang tersembunyi (Adham dkk, 2012):
1) Gejala dini
Karena KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosisdan
pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting untukmengetahui
gejala dini KNF dimana tumor masih terbatas di rongganasofaring.
Gejala telinga yang dapat timbul diantara lain adalah sebagaiberikut:
- Sumbatan tuba eustachius/kataralis
Pasien mengeluh rasapenuh di telinga, telinga berdengung kadang-kadang
disertaidengan gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejalayang
sangat dini
- Radang telinga tengah sampai perforasi membrane timpani
Keadaan ini merupakan kelainan lanjutan yang terjadi akibatpenyumbatan
muara tuba dimana organ telinga tengah akanterisi cairan. Cairan yang
diproduksi makin lama makinbanyak, sehingga akhirnya terjadi perforasi
membrane timpanidengan akibat gangguan pendengaran.
Sedangkan gejala hidung yang mungkin dapat timbul adalah sebagaiberikut:
- Epistaksis
Dinding tumor biasanya rapuh sehingga oleh rangsangan dansentuhan
dapat terjadi perdarahan hidung atau epistaksis.Keluarnyadarah ini
biasanya berulang-ulang, jumlahnyasedikit dan seringkali bercampur
dengan ingus, sehinggaberwarna kemerahan.
- Sumbatan hidung
Sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhantumor ke
dalam rongga hidung dan menutupi koana. Gejalamenyerupai pilek kronis,

16
kadang-kadang disertai dengangangguan penciuman dan adanya ingus
kental.
Gejala telinga dan hidung ini bukan merupakan gejala yang khas untuk
penyakit ini, karena juga dapat dijumpai pada infeksi biasa, misalnya pilek
kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Hal ini menyebabkan keganasan nasofaring
sering tidak terdeteksi pada stadium dini (Meka dan Mukhlis, 2017).
2) Gejala lanjut
- Pembesaran kelenjar limfe leher
Tidak semua benjolan leher menandakan penyakit ini. Yang khas
jikatimbulnya di daerah samping leher, 3-5 cm di bawah daun telinga
dantidak nyeri, karenanya sering diabaikan oleh pasien. Sel-selkanker dapat
berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenaiotot di bawahnya.
Kelenjarnya menjadi lekat pada otot dan sulitdigerakan. Keadaan ini
merupakan gejala yang lebih lanjut.Pembesaran kelenjar limfe leher
merupakan gejala utama yangmendorong pasien datang ke dokter.
- Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar
Karena nasofaring berhubungan dengan rongga tengkorak melalui
beberapa foramen, maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi,
seperti:
 Gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut
karsinoma ini dikarenakan posisi anatomi nasofaring yang berhubungan
dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lubang/foramen.
Penjalaran melalui foramen laserum akan mengenai saraf otak ke II, IV,
VI dan dapat pula ke V, sehingga tidak jarang gejala diplopia lah yang
membawa pasien lebih dahulu ke dokter mata. Neuralgia trigeminal
merupakan gejala yang sering ditemukan oleh ahli saraf jika belum
terdapat keluhan lain yang berarti.

17
 Sebelum terjadi kelumpuhan saraf kranial, didahului oleh gejala
subyektif dari penderita seperti : kepala sakit atau pusing, hipestesia
daerah pipi dan hidung, kadang sulit menelan atau disfagia.Perluasan
kanker primer ke dalam kavum kranii akan menyebabkan kelumpuhan
N. II, III, IV, V dan VI akibat kompresi maupun infiltrasi atau
perluasan tumor menembus jaringan sekitar atau juga secara hematogen
dengan manifestasinya adalah diplopia.
Gejala saraf kranialis meliputi:
o Kerusakan N.I bisa terjadi karena karsinoma nasofaring sudah
mendesak N.I melalui foramen olfaktorius pada lamina
kribrosa. Penderita akan mengeluh anosmia.
o Sindroma Petrosfenoidal. Pada sindroma ini nervi kranialis yang
terlibat secara berturut-turut adalah N.IV, III, VI dan yang
paling akhir mengenai N.II. Paresis N.II, apabila perluasan
kanker mengenai kiasma optikum maka N.optikus akan lesi
sehingga penderita memberikan keluhan penurunan tajam
penglihatan. Paresis N.III menimbulkan kelumpuhan mata
m.levator palpebra dan m.tarsalis superior sehingga
menyebabkan oftalmoplegia serta ptosis bulbi (kelopak mata
atas menurun), fissura palpebra menyempit dan kesulitan
membuka mata. Paresis N.III, IV dan VI akan menimbulkan
keluhan diplopia.
o Parese N.V yang merupakan saraf motorik dan sensorik, akan
menimbulkan keluhan parestesi sampai hipestesi pada separuh
wajah atau timbul neuralgia pada separuh wajah.
o Sindroma parafaring. Proses pertumbuhan dan perluasan lanjut
karsinoma, akan mengenai saraf otak N.kranialis IX, X, XI, dan
XII jika penjalaran melalui foramen jugulare, yaitu suatu tempat

18
yang relatif jauh dari nasofaring. Gangguan ini sering disebut
dengan sindrom Jackson. Bila sudah mengenai seluruh saraf
otak disebut sindrom unilateral. Dapat pula disertai dengan
destruksi tulang tengkorak dengan prognosis buruk. Parese
N.IX menimbulkan gejala klinis : hilangnya refleks muntah,
disfagia ringan, deviasi uvula ke sisi sehat, hilangnya sensasi
pada laring, tonsil, bagian atas tenggorok dan belakang lidah,
salivasi meningkat akibat terkenanya pleksus timpani pada lesi
telinga tengah, takikardi pada sebagian lesi N.IX mungkin
akibat gangguan refleks karotikus. Paresis N.X akan
memberikan gejala : gejala motorik (afoni, disfoni, perubahan
posisi pita suara, disfagia, spasme otot esofagus), gejala
sensorik (nyeri daerah faring dan laring, dispnea, hipersalivasi).
Parese N.XI akan menimbulkan kesukaran mengangkat dan
memutar kepala dan dagu. Parese N.XII akibat infiltrasi tumor
melalui kanalis n. hipoglossus atau dapat pula karena parese
otot-otot yang dipersarafi yaitu m.stiloglossus, m.longitudinalis
superior dan inferior, m.genioglossus (otot-otot lidah). Gejala
yang timbul berupa lidah yang deviasi ke sisi yang lumpuh saat
dijulurkan, suara pelo dan disfagia .
3) Gejala akibat metastasis
Sel-sel kanker dapat ikut bersama aliran limfe atau darah, mengenaiorgan
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal ini yang disebutmetastasis jauh.
Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika initerjadi menandakan suatu
stadium dengan prognosis yang sangat buruk (Meka dan Mukhlis, 2017).

19
2.2.8. Diagnosa
Diagnosis KNF dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan juga
pemeriksaan penunjang. Karsinoma nasofaring baru terdiagnosa pada saat pasien
datang dengan keluhan benjolan di leher.
1) Pemeriksaan Nasofaring
Nasofaring terletak di bagian dalam dan sulit untuk dilihat pada pemeriksaan
biasa. Pemeriksaan nasofaring dilakukan untuk menilai keadaan nasofaring
yang abnormal, perdarahan, atau tanda dari penyakit lainnya.Jika tumor
nasofaring berasal dari lapisan submukosa kemungkinan besar tidak akan
terlihat bila hanya dengan pemeriksaan tersebut, maka sangat dianjurkan untuk
dilakukannya pemeriksaan yang menunjang diagnostic lain seperti
pemeriksaan pencitraan dengan menggunakan CT-Scan untuk hasil yang lebih
baik (American Cancer Society, 2015).
2) Pemeriksaan Pencitraan Radiologi
- Radiologi Konvensional:
Pada foto tengkorak dengan potongan anteroposterior dan lateral serta
posisi Waters akan tampak jaringan lunak di daerah nasofaring. Pada foto
dasar tengkorak ditemukan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa
serebri media.(8) Dapat juga dilakukan pemeriksaan foto dada untuk
melihat adanya penyebaran sel tumor atau metastase di paruparu
(American Cancer Society, 2015).
- Computed Tomography Scan (CT-Scan):
Merupakan suatu teknik pemeriksaan yang sampai saat ini paling
dipercayai untuk menetapkan diagnosa dan juga dapat menentukan staging
tumor dan juga perluasan tumor itu sendiri. Pada stadium dini, terlihat
asimetri dari resessus lateralis, torus tubarius dan dinding posterior dari
nasofaring(American Cancer Society, 2015).

20
Gambar 3. CT Scan kepala potongan aksial  penderita karsinoma nasofaring. Tampak
perluasan tumor yang menyebabkan destruksi fossa pterygopalatine kanan (panah tebal),
dibandingkan dengan sisi kontralateral yang normal (panah tipis).

Gambar 4: CT Scan leher potongan sagital  penderita karsinoma nasofaring. Tampak


massa tumor yang memenuhi daerah nasofaring (panah)
- Magnetic Resonance Imaging (MRI):
Sama halnya dengan pemeriksaan CT scan namun MRI
dapatmenggambarkan struktur-struktur yang kecil tampak lebih baik dan
lebih jelas dibandingkan dengan gambaran CT seperti jaringan lunak di
hidung dan tenggorok. Hasil gambaran MRI lebih akurat untuk

21
mendiagnosa karsinoma nasofaring. Dengan MRI dapat mendeteksi suatu
sel keganasan misalnya pada nasofaring yang pada saat dilakukan
endoskopi tidak terlihat. Sebanyak 82% kasus karsinoma nasofaring
terletak di resessus posterolateral dinding faring (fossa Rossenmuller) dan
12% lainnya kasus karsinoma nasofaring terletak di bagian tengah. Dan
sebanyak 6-10% dari jumlah kasus diatas karsinoma nasofaring semuanya
tidak terdeteksi pada saat pemeriksaan endoskopi namun dapat terdeteksi
pada saat dilakukan pemeriksaan MRI (American Cancer Society, 2015).
3) Pemeriksaan Biopsi
- Biopsi Endoskopi: Indikasi dilakukan tindakan biopsi endoskopi ini adalah
bila seorang penderita memiliki tanda dan gejala karsinoma nasofaring
namun dari hasil pemeriksaan fisiknya tidak ditemukan adanya suatu
kelainan.
- Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB): Dilakukan bila tumor primer di
nasofaring belum jelas yang disertai dengan adanya pembesaran kelenjar
leher yang diduga akibat dari proses suatu metastase karsinoma nasofaring
(American Cancer Society, 2015).
4) Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah ini tidak menunjang dalam penegakan
diagnostik,melainkan untuk membantu menggambarkan adanya penyebaran sel
tumoratau metastase ke organ yang lain.
- Darah rutin dan kimia darah
Pemeriksaan ini dapat membantu dokter dalam melihat statuskesehatan
penderita dengan menilai adanya malnutrisi, anemia,gangguan fungsi hati,
fungsi ginjal ataupun tulang untukmendeskripsikan ada atau tidaknya
proses metastase (American Cancer Society, 2015).
- Epstein-Barr Virus (EBV) DNA Level
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi keberadaan EBV dapatdilakukan
dengan cara Polymerase Chain reaction (PCR),immunohistochemistry, dan

22
In Situ Hybridization (ISH).Pemeriksaan PCR memberikan kontribusi
terhadapditemukannya EBV pada karsinoma nasofaring
namunpemeriksaan PCR ini tidak dapat membuktikan letak lokalisasisel
virus tersebut. Dalam sebuah penelitian yang dilakukanterhadap 107 kasus
karsinoma nasofaring di Taiwan, EBVdapat terdeteksi dengan teknik ISH
sebanyak 105 kasus. Padakeadaan nasofaring yang normal ketika dilakukan
tindakanbiopsi didapatkan tidak ada tanda ditemukannya EBV
denganmenggunakan metode ISH. Diecken, dkk tidak menemukanvirus
EBV pada delapan sampel dengan nasofaring yangnormal (Adam, 2014).

2.2.9. Penatalaksanaan
Pemilihan terapi pada kanker tidaklah banyak faktor yang perlu diperhatikan,
antara lain jenis kanker, kemosensitifitas, dan radiosensitifitas kanker, imunitas tubuh
dan kemampuan pasien untuk menerima terapi yang diberikan, efek samping terapi
yang diberikan.
Tabel 3: penatalaksanaan sesuai stadium

Penatalaksanaan utama karsinoma nasofaring adalah dengan metode radiasi. Karena


keterbatasan letak anatomi dan banyaknya kelenjar limfe maka terapi operatif jarang
dilakukan. Kemoterapi dapat dipakai sebagai terapi pada pasien dengan penyebaran
kelenjar limfe lokal atau metastase jauh. Kekambuhan kelenjar limfe regional dapat
diterapi menggunakan radiasi dengan atau tanpa kemoterapi. Faktor-faktor yang
mempengaruhi prognosis pada karsinoma nasofaring adalah besar kecilnya tumor
terutama dengan kelainan saraf kranial atau invasi intrakranial, besar kecilnya nodus
limfe, nodus limfe bilateral dan nodus limfe di fossa supraclavicular, usia tua, jenis

23
kelamin, gejala telinga saat diagnosis, tingginya kadar LDH, meningkatnya serum
antibodi EBV (Meka dan Mukhlis, 2017).
1) Radioterapi
Radioterapi adalah metode pengobatan penyakit maligna
denganmenggunakan sinar peng-ion, bertujuan untuk mematikan sel-sel
tumorsebanyak mungkin dan memelihara jaringan sehat di sekitar tumor
agartidak menderita kerusakan terlalu berat. Karsinoma nasofaring
bersifatradioresponsif sehingga radioterapi tetap merupakan terapi
terpenting.Dosis radiasi perfraksi yang diberikan adalah 200 Gy DT
(dosistumor) diberikan 5 kali seminggu untuk tumor primer maupun
kelenjar.Terapi radiasi biasanya dilakukan selama 3 minggu dengan
menggunakancisplatinum 100 mg/m².Hasil pengobatan yang dinyatakan
dalam angka respons terhadappenyinaran sangat tergantung pada stadium
tumor. Makin lanjut stadiumtumor, makin berkurang responsnya.
Untuk stadium I dan II, diperolehrespons komplit 80% - 100% dengan
terapi radiasi. Sedangkan stadium IIIdan IV, ditemukan angka kegagalan
respons lokal dan metastasis jauhyang tinggi, yaitu 50% - 80%. Angka
ketahanan hidup penderita karsinoma nasofaring tergantung beberapa faktor,
diantaranya yang terpenting adalah stadium penyakit.
Walaupun radiasi memberikan kesembuhan tetapi dapat jugamenimbulkan
komplikasi akut maupun kronik. Waktu yang diperlukanuntuk terjadinya
komplikasi akut tergantung dengan siklus sel dan reaksimukosa yang terjadi
pada minggu kedua. Efek radiasi akut terhadapjaringan normal biasanya
berkuran dalam beberapa minggu pasca terapidan tidak merupakan masalah
besar. Menurut Radiation TherapyOncology Group (RTOG) efek radiasi akut
biasanya mencapai puncakdalam 90 hari. Umumnya penyembuhan epitel
terjadi dalam waktu 20-40hari pasca terapi, mempergunakan kombinasi
radiasi dan kemoterapiagresif, efek akutnya > 90 hari.

24
Pengaruh radiasi apabila dipergunakanjangka panjang karena kerusakan
jaringan dapat bersifat permanen.Sebagian besar efek radiasi jangka panjang
terjadi dalam tiga tahunpertama pengobatan dan sebagian kecil setelah tiga
tahun. Komplikasiradiasi lambat atau jangka panjang antara lain serostomia,
kerusakan gigi,fibrosis, nekrosis jaringan lunak, nekrosis kartilago, kerusakan
mata,telinga dan susunan saraf pusat (SSP) (Haryanto, 2010).
2) Kemoterapi
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yangdapat
menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh selkanker. Obat-
obatan anti kanker dapat digunakan sebagian terapi tunggal, tetapi pada
umumnya berupa kombinasi karenadapat lebih meningkatkan potensi
sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu, sel-sel yang resisten terhadap salah
satu obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat dikurangi sehingga efek
samping menurun.
Pemberian kemoterapi pada karsinoma nasofaring diindikasikan pada kasus
penyebaran ke kelenjar getah bening leher, metastasis jauh dan kasus-kasus
residif. Diberikan sebagai kemoterapi neoadjuvan dan concomitan. Regimen
kemoterapi neoadjuvan antara lain: cisplatin dan 5-FU, cisplatin dan
epirubicin, paclitaxel dan carboplatin, docetaxel dan cisplatin, gemcitabin dan
cisplatin (Farhat, 2009).
3) Operatif
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan KNF. Terbatas
pada diseksi leher radikal untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan
metastase leher setelah radioterapi, pada pasien tertentu pembedahan
penyelamatan dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring.
Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi leher
radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih terdapat sisa
kelenjar paska radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat bahwa
tumor primer sudah dinyatakan bersih yangdibuktikan melalui pemeriksaan

25
radiologi. Nasofaringektomi merupakan suatu operasi paliatif yang dilakukan
pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya residu pada nasofaring yang tidak
berhasil diterapi dengan caralain (Farhat, 2009).
Resiko dan efek samping dari tindakan pembedahan yang mungkin terjadi
diantaranya adalah perdarahan, infeksi, komplikasi dari tindakan pembiusan
dan juga pneumonia. Beberapa orang mengeluhkan rasa nyeri setelah
dilakukan tindakan pembedahan. Kemungkinan permasalahan lain yang dapat
timbul setelah dilakukan tindakan pembedahan yaitu dapat berupa hilangnya
suara atau suara menjadi parau. Efek samping lain yang dapat timbul setalah
dilakukan tindakan diseksi adalah seperti rasa penuh di telinga dan kerusakan
saraf (American Cancer Society, 2015).
4) Imunoterapi
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah EBV, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat diberikan
terapi imunoterapi. Salah satu contoh imutoerapi yaitu dengan terapi sel T.
Terapi T sel dalam keadaan ini diharapkan mempunyai tigkat keberhasilan
yang lebih besar (Basso, 2011).
5) Perawatan paliatif
Hal-hal yang perlu diperhatikan setelah pengobatan radiasi. Mulut terasa
kering disebabkan oleh kerusakan kelenjar liur mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa
kaku didaerah leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala,
kehilangan nafsu makan dan kadang-kadang muntah atau rasa mual.
Perawatan paliatif diindikasikan langsung untuk mengurangi rasa nyeri,
mengontrol gejala dan memperpanjang usia.
Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam
penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk
karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata

26
dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau
pada keadaan kambuh. Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring
berupa diseksi leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan
jika masih ada sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar
dengan syarat bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan
dengan pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan
suatu operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau
adanya residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.
Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring
adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat
diberikan imunoterapi.
Regimen kemoterapi dengan cisplatin dipilih sebagai terapi utama untuk
pasien NPC, dengan tingkat keberhasilan diatas 50% dan kemampuan
bertahan hidup rata-rata 12 bulan. Pilihan regimen lini dua pada pasien yang
tidak respon dengan terapi berbasis platinum masih belum ada. Maka dari itu,
terapi sel menjanjikan kemungkinan yang unik untuk mengembalikan imun
antitumor. Polyclonal EBVspesifik CTL terapi aman dengan komplikasi yang
rendah tetapi mempunyai respon klinis yang signifikan untuk pasien dengan
NPC berulang yang mengeksprasikan antigen EBV (Basso, 2011).

27
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


- Nama : Ny. “J”
- Umur : 55 tahun
- Jenis Kelamin : Perempuan
- Agama : Islam
- Bangsa : Indonesia
- Pekerjaan : -
- Pendidikan : -
- Alamat : Sumbawa
- Tanggal Pemeriksaan: 07 Februari 2018

3.2. Anamnesis
3.2.1. Keluhan Utama
Benjolan pada leher sebelah kanan.
3.2.2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik THT RSU Provinsi NTB dengan keluhan
terdapat benjolan besar dan keras di leher di bawah telinga kanan, muncul sejak ±
3 bulan lalu. Benjolan terus membesar hingga saat ini. Pasien juga mengeluh sulit
untuk membuka mulut dan lidah tidak dapat dikeluarkan, lubang hidung kanan
tersumbat (+), ada ingus keluar dari lubang hidung kanan, putih bening kental,
tidak berbau, nyeri kepala (+), pada kedua sisi kepala. Semua keluhan tersebut
dirasakan sejak ± 3 bulan lalu. Pasien tidak merasakan adanya penurunan
pendengaran. Keluhan sering mimisan, ingus bercampur darah, dan melihat ganda
disangkal. Keluhan mendengar suara air terkocok di dalam telinga disangkal.

28
3.2.4.Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien baru pertama kali merasakan keluhan seperti ini
- Riwayat alergi obat, makanan, debu disangkal
- Riwayat dirawat di RS, operasi THT-KL disangkal
- Pasien mengaku tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.

3.2.5.Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Pasien mengaku tidak memiliki anggota keluarga lain yang memiliki keluhan
serupa.
3.3. Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Status Generalis
- Keadaan umum : baik
- Kesadaran : kompos mentis
- Tekanan darah : 120/80mmHg
- Nadi : 88x/menit
- Laju Pernapasan : 20x/menit
- Suhu : 36.5°C

3.3.2. Status Internus :


- Mata : Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
- Thorak : tde
- Abdomen : tde
- Ekstremitas : Perfusi baik, akral hangat

3.3.3. Status THT-KL


Telinga
KANAN KIRI
Bentuk Daun Telinga Normal Normal
Deformitas (-) Deformitas (-)
Kelainan Kongenital Tidak ada Tidak ada
Tumor Tidak ada Tidak ada

29
Nyeri tekan tragus Tidak nyeri Tidak Nyeri
Penarikan daun telinga Tidak nyeri Tidak Nyeri
Valsava test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Toyinbee test Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Regio mastoid Tidak ada kelainan Tidak ada kelainan
Liang telinga Serumen (-), hiperemis Serumen (-), hiperemis
(-), mukosa eritem (-) (-), mukosa eritem (-)
furunkel (-), edema (-), furunkel (-), edema (-),
otorrhea (-), otorrhea (-)

Membran timpani Retraksi (-), bulging (-), Retraksi (-), bulging (-),
hiperemis (-), edema (-), hiperemis (-), edema (-),
perforasi (-), refleks perforasi (-), refleks
cahaya (+), gambaran cahaya (+), gambaran
pulsasi (-) pulsasi (-)

Normal Normal

Tes Pendengaran Tidak dilakukan Tidak dilakukan

Hidung

Pemeriksaan Hidung kanan Hidung kiri


Hidung
Hidung luar Bentuk (normal), hiperemi (-), Bentuk (normal),
nyeri tekan (-), deformitas (-) hiperemi (-), nyeri
tekan (-), deformitas
(-)
Rinoskopi anterior
Vestibulum nasi Normal, ulkus (-) Normal, ulkus (-)
Cavum nasi Bentuk (normal), mukosa pucat Bentuk (normal),

30
(-), hiperemia (-) mukosa pucat (-),
hiperemia (-)
Meatus nasi Mukosa hiperemis, sekret (+, Mukosa hiperemis,
media bening ketal), massa berwarna sekret (-), massa
putih mengkilat (-). berwara putih
mengkilat (-).
Konka nasi Edema (+), mukosa hiperemi (+) Edema (-), mukosa
inferior hiperemi (-)
Septum nasi Deviasi (-), perdarahan (-), ulkus Deviasi (-),
(-) perdarahan (-), ulkus
(-)

Tenggorokan
Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)
Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi
Lidah
Uvula
Palatum mole Sulit dievaluasi karena pasien sulit untuk membuka mulut
Faring (1 jari).
Tonsila palatine
Fossa Tonsillaris
dan Arkus
Faringeus

Leher
Ditemukan massa pada colli dextra, dengan karakteristik:
Ukuran: dextra ± 7 x 4 cm;
Batas: tegas
Mobilisasi: immobile terhadap jaringan di bawah dan sekitarnya
Permukaan: licin, tidak rata
Nyeri tekan: -
Keterbatasan gerak leher: +
Maksilo-Fasial

31
 Parese nervus cranial : tidak ada
 Bentuk : Deformitas (-); Hematom (-)

3.4. Resume
Pasien perempuan usia 55 tahun datang diantar keluarganya ke Poliklinik THT
RSU Provinsi NTB dengan keluhan terdapat benjolan besar dan keras di leher di
bawah telinga kanan, muncul sejak ± 3 bulan lalu. Selain itu, Pasien juga mengeluh
sulit untuk membuka mulut dan lidah tidak dapat dikeluarkan, lubang hidung kanan
tersumbat (+), ada ingus keluar dari lubang hidung kanan, putih bening kental, tidak
berbau, nyeri kepala (+), pada kedua sisi kepala. Keluhan pengelihatan ganda
disangkal. Keluhan keluar darah dari hidung disangkal.
Riwayat penyakit asma, penyakit jantung disangkal. Pasien belum pernah
berobat ke klinik manapun dan belum minum obat apapun untuk menghilangkan
keluhan.

3.5. Diagnosis Banding


- Karsinoma nasofaring
- Limfoma

3.5. Usulan Pemeriksaan


- CT Scan Kepala

32
Interpretasi hasil CT-Scan:
 tampak massa solid bulat pada nasofaring, ukuran ± 4 x 3 cm
 Sinus paranasal kiri dan kanan normal
 Tidak terdapat infiltrasi ke intracranial
 Terdapat pembesaran KGB leher kanan atas ± 7 x 4,5 cm

Kesimpulan: Ca nasofaring kanan T2/N3/Mx

33
- Biopsi nasofaring
- Metastasis jauh:
 Tes fungsi hepar dan ginjal
 Foto thoraks
 USG hepar

3.6. Diagnosis Kerja


Tumor colli dextra, suspect Ca. Nasofaring
3.7. UsulanTerapi
RENCANA TERAPI (sementara/simtomatik)
Medikamentosa
 Analgetik :
 Asam Mefenamat 3 x 500 mg
 Nasal Dekongestan & AH1
 Pseudoefedrine HCl 3 x 60 mg
 Triprolidine HCl 3 x 2,5 mg
KIE pasien
 Tumor yang diderita pasien memiliki kemungkinan ganas, sehingga terapi
harus dilakukan dengan cepat untuk menghindari penyebaran ke otak.
 Pasien perlu dirujuk ke centre pengobatan lebih besar untuk memulai terapi
definitif terhadap tumor yang diderita.
 Untuk saat ini, akan dilakukan pengambilan sedikit jaringan dari tumor yang
ada di dalam tenggorokan dengan bius lokal untuk mengetahui karakteristik
sel yang ada.
 Diberikan obat antinyeri yang dapat sedikit mengurangi nyeri yang timbul.
Diminum bila nyeri dirasakan saja.
 Untuk mengobati pilek yang diderita dan mengurang sumbatan hidung,
diberikan obat tablet yang diminum 3 kali sehari sampai gejala hilang.

34
3.8. Prognosis
- Dubius ad malam

35
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dilakukan, sementara
ditegakkan diagnosis kerja suspect karsinoma nasofaring. Hasil anamnesis yang
mendukung adalah adanya gejala tumor berupa benjolan pada sisi leher kanan di
bawah telinga yang membesar dalam waktu 3 bulan, gejala hidung berupa hidung
tersumbat, nyeri kepala. Adanya penekanan kelenjar limfoid pada ruang faring
menyebabkan keluhan sukit menelan dan sakit menelan makanan yang besar. Di
samping itu terdapat gejala hidung makin tersumbat dengan ingus bening kental yang
dialami sejak 1 hari sebelum memeriksakan diri.
Hasil pemeriksaan fisik mendapatkan tidak ada gangguan anatomis pada telinga
yang dapat dilihat dari luar, pada pemeriksaan hidung didapatkan edema konka
inferior, adanya sekret bening kental di meatus media dan vestibulum. Pada
pemeriksaan mata tidak didapatkan adanya keterbatasan gerak mata ataupun
gangguan dan diplopia pada konvergensi. Pada pemeriksaan leher didapatkan adanya
massa padat terfiksir immobile yang tidak nyeri tekan pada sisi leher kanan. Massa
ini kemungkinan adalah pembesaran KBG leher, yang menunjukkan telah terdapat
metastasis secara limfogen pada karsinoma nasofaring. Pembesaran KGB juga dapat
terjadi pada limfoma. Pada pasien ini, terdapat pemesaran kelenjar bilateral, tang
meningkatkan kemungkinan terjadinya limfoma. Perlu dicari adanya pembesaran
KGB di bagian tubuh lain untuk meningkatkan kecurigaan limfoma.
CT-Scan dan biopsi dilakukan untuk menegakkan diagnosis. Hasil CT-Scan
menunjukkan adanya massa nasofaring yang telah meluas ke orofaring, namun tidak
terdapat perluasan ke intracranial. Terdapat pula pembesaran KGB di colli dextra
dengan ukuran 7 x 4,5 cm. Berdasarkan hasil tersebut, stadium karsinoma nasofaring
pada pasien ini adalah T2/N3/MX yang diklasifikasikan sebagai stadium IV. Biopsi
nasofaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis pasti karsinoma masofaring.

36
Terapi definitif terhadap karsinoma nasofaring baru dapat dimulai bila
diagnosis pasti sudah ditegakkan. Untuk sementara terapi yang diberikan adalah
terapi simtomatik berupa analgetik untuk mengurangi nyeri dan dekongestan-AH1
untuk mengurangi gejala rhinitis akut yang diderita agar hidung tidak tersumbat.

37
DAFTAR PUSTAKA
Adam AAM, Abdullah NE, Hassan LAME, Elamin EM, Ibrahim ME, Hassan AME.
Detection of Epstein-Barr Virus in Nasopharyngeal Carcinoma in
Sudanese by in Situ Hybridization. Journal of Cancer Therapy
2014;5:517-22.
Adham M, Rohdiana D, Mayangsari ID, Musa Z. Delayed Diagnosis of
Nasopharyngeal Carcinoma in Sudanese By In-Situ Hybridization. Journal
of Cancer Therapy 2014;5:517-22.
Adham M, Kurniawan AN, Muhtadi AI, Roezin A, Hermani B, Gondhowiardjo S, et
al. Nasopharyngeal carcinoma in Indonesia: epidemiology, incidence,
signs, and symptomps at presentation. Chinese Journal of Cancer.
2012;31(4):185-96.
American Cancer Society. Nasopharyngeal Cancer. Atlanta, Ga: American Cancer
Society. 2015.
Ariwibowo H. 2013. Faktor Resiko Karsinoma Nasofaring. CDK: 40(5):348-351.
Asroel HA. 2002. Penatalaksanaan Radioterapi pada Karsinoma Nasofaring.
Medan: USU Digital library [internet]; diakses 5 Mei 2018. Tersedia dari:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/3463/tht-
hary2.pdf;jsessionid=5D82BFECE303B6E6EA80C254C9796F52?
sequence=1 carcinoma in a patient with early signs of unilateral ear
disorder. Med J Indones. 2014;23(1).
Basso S, Zecca M, Merli P, Gurrado A, Secondino S, Quartuccio G, et al. T Cell
Therapy for Nasopharyngeal Carcinoma. Journal of Cancer. 2011;2:341-
6.
Farhat. Vascular Endothelial Growth Factor pada Karsinoma Nasofaring. Majalah
Kedokteran Nusantara. 2009;42(1):59-65.

38
Haryanto R, Saefuddin OM, Boesoirie TS. Radiasi Eksternal Karsinoma Nasofaring
sebagaiPenyebab Gangguan Dengar Sensorineural. Majalah Kedokteran
Bandung. 2010;42(3)
Meka A. P. dan Mukhlis I. Tumor Nasofaring dengan Diplopia Pada Pasien Usia 44
Tahun. Volume 7. Nomor 4. Bagian THT-KL, Rumah Sakit Abdul
Moeloek Provinsi Lampung. 2017: 181-6
Roezin A, Adham M. Karsinoma Nasofaring dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan LeherEd.6. Jakarta: Balai Penerbit
FK UI; 2008.

39

Anda mungkin juga menyukai