Anda di halaman 1dari 7

FAKTOR PEMBENTUK KEPRIBADIAN

Secara umum kepribadian dapat diartikan sebagai suatu sikap yang khas dan hakiki yang tercermin pada sikap
seseorang setiap harinya. Pasti setiap manusia mempunyai kepribadian yang berbeda-beda. Hal tersebut terjadi
karena ada faktor-faktor pembentuk kepribadian, yaitu:

1. Faktor Biologis (Warisan)


Yaitu faktor pembentuk kepribadian yang diperoleh dari gen keturunan orang tua. Tak dapat lagi dipungkiri
bahwa rumah tempat segalanya adalah orang tua. Di mana faktor ini memberikan pengaruh besar terhadap
sikap dasar pembentuk kepribadian seseorang. Orang tua akan menjadi contoh untuk para anak-anaknya.
2. Faktor Kelompok
Yaitu kepribadian yang terbentuk dari pengaruh lingkungan kelompok sosial. Kelompok sosial dalam lingkup
kecil bisa disebut "teman hidup" entah itu kelompok masyarakat, kelompok kerja, dan kelompok belajar.
Ketika kita bergaul dalam kelompok, maka secara sadar atau tidak maka akan memengaruhi anggota yang lain.
3. Faktor Prenatal
Yaitu faktor yang berkaitan dengan pemberian rangsangan atau stimulus ketika anak masih dalam kandungan.
Oleh sebab itu, kondisi dan kepribadian ibu juga akan berpengaruh terhadap fisik maupun psikis anak yang
akan dilahirkanya.
4. Faktor Geografis
Yaitu faktor pembentuk kepribadian yang dipengaruhi oleh lingkungan alam, di mana perbedaan iklim,
topografi, hingga sumber daya alam yang tersedia akan menyebabkan manusia beradaptasi dengan
lingkungannya. Maka kepribadian dengan sendirinya akan terbentuk, misalnya orang yang tinggal di pesisir
pantai akan berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah pegunungan. Misalnya orang-orang pinggir pantai
identik  berbicara dengan nada keras dan tinggi karena faktor suara debur ombak yang kera.
5. Faktor Kebudayaan
Yaitu faktor kepribadian yang dibentuk oleh kebudayaan. Perbedaan setiap kebudayaan  membuat kebudayaan
yang dimiliki masing-masing juga berbeda, sehingga perbedaan itu memberikan ciri khas pada anggotanya.
Karena manusia, alam, lingkungan sosial termasuk kebudayaan di dalamnya akan saling mempengaruhi.
6. Faktor Pengalaman
Yaitu faktor pembentuk kepribadian yang berhubungan dengan pengalaman hidup. Karena tiap jalan
hidup manusia berbeda-beda, maka pahit manisnya kehidupan ini akan mempengaruhi kepribadian juga.
Misalnya, jika seseorang mempunyai pengalaman suka duka tertentu sampai keberhasilanya, maka kemungkinan
jiwa-jiwa pantang menyerah, suka berbagi, pembelajar, akan ada dalam dirinya.
AGEN-AGEN SOSIALISASI
Dalam sosiologi, pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi disebut sebagai agen atau media sosialisasi. Fuller dan
Jacobs mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama yang melaksanakan proses sosialisasi utama. Keempat agen
atau media sosialisasi tersebut adalah keluarga, kelompok sebaya atau sepermainan, sekolah, dan media massa.

Keluarga
Pada masa awal kehidupan seseorang, agen sosialisasi terdiri atas orang tua dan saudara kandung. Namun dalam
masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas (extended family), agen sosialisasi tidak hanya kedua orang tua dan
saudara kandung saja, tetapi juga paman, bibi, kakek, dan nenek. Demikian juga pada masa sekarang ini, pengasuh
anak dan pekerja pada tempat penitipan anak yang tidak termasuk anggota keluarga juga berperan besar dalam
proses sosialisasi seorang anak. Gertrude Jaeger mengemukakan bahwa peran agen sosialisasi pada tahap awal
(primer), terutama peran orangtua sangat penting. Pentingnya keluarga sebagai agen sosialisasi pertama terletak
pada beberapa kemampuan penting yang diajarkan dalam tahap ini. Seorang bayi akan belajar berkomunikasi secara
verbal dan nonverbal pada tahap ini. la belajar berkomunikasi melalui pendengaran, penglihatan, indera perasa, dan
sentuhan fisik. Banyak ahli berpendapat bahwa kemampuan-kemampuan tertentu hanya dapat diajarkan dalam
periode tertentu saja. Proses sosialisasi akan gagal jika proses itu terlambat dilakukan atau dilakukan terlalu dini.

Pada masyarakat modern, seorang anak sangat tergantung pada didikan dari orangtua atau keluarga. Melalui
interaksi dalam keluarga, anak mempelajari pola perilaku, sikap, keyakinan, cita-cita, serta nilai dalam keluarga dan
masyarakat. Contoh, pola perilaku dan sikap anggota keluarga yang cenderung disiplin akan mudah terinternalisasi
dalam diri seorang anak sehingga menjadikannya bersikap disiplin. Akan tetapi, pengaruh orang tua yang sangat
dominan terkadang dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan orangtua lernadap anaknya sendiri seperti
penganiayaan dan pemerkosaan.
A. Kelompok Sebaya atau Sepermainan (Peer Group)
Setelah anak dapat berialan, berbicara, dan bepergian, ia mulai bertemu dan berinteraksi dengan teman sebayanya,
yang biasanya berasal dan keluarga lain. Pada tahap ini, anak memasuki game stage, tase ketika la mural mempelajari
berbagai aturan tentang peran orang-orang yang kedudukannya sederajat. Dengan bermain, ia mulai mengenal nilai-
nilai keadilan, kebenaran, toleransi, atau solidaritas. Contohnya, bermain dengan teman tidak boleh curang atau mau
menang sendiri.

B. Sekolah
Agen sosialisasi berikutnya adalah pendidikan formal atau sekolah. Di sini, seseorang akan mempelajari hal baru yang
tidak diajarkan di dalam keluarga maupun kelompok sepermainannya. Sekolah mempersiapkannya untuk peranperan
baru di masa mendatang saat ia tidak bergantung lagi pada orangtua.
Sekolah tidak saja mengajarkan pengetahuan dan keterampilan yang memengaruhi perkembangan intelektual anak,
tetapi juga hal lain seperti kemandirian, tanggung jawab, dan tata tertib. Robert Dreeben berpendapat bahwa yang
dipelajari anak di sekolah, di samping membaca, menulis, dan berhitung-adalah aturan mengenai kemandirian
(independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism), dan spesifisitas (specificity).
Menurut Robert Dreeben, seorang anak harus belajar mandiri di sekolah. Apabila di rumah seorang anak dapat
mengharapkan bantuan orang tuanya dalam melakukan berbagai pekerjaan, maka sebagian besar tugas di sekolah
harus dilakukan sendiri. Ketergantungan pada orang tua yang dijumpai di rumah tidak terdapat di sekolah. Guru
menuntut kemandirian dan tanggung jawab pribadi dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kerja sama dalam kelas
hanya dibenarkan bila tidak melibatkan penipuan atau kecurangan, seperti menyontek pada saat ujian.

C.Media Massa
Media massa terdiri dari media cetak (surat kabar atau majalah) dan media elektronik (radio, televisi, internet,
film, kaset, dan CD). Media massa merupakan bentuk komunikasi dan rekreasi yang menjangkau banyak orang.
Minat anak-anak terhadap siaran televisi yang menayangkan berbagai jenis film membuat media ini begitu dominan
dalam proses sosialisasi. Hal ini disebabkan anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton televisi
dibandingkan belajar. Penayangan film-film keras dan brutal melalui televisi dapat menimbulkan perilaku keras dan
agresif pada anak-anak. Iklan yang ditayangkan di televisi pun mempunyai potensi memicu perubahan pola konsumsi
atau gaya hidup masyarakat.

BENTUK SOSIALISASI
Sosialisasi dapat kita bagi ke dalam dua bentuk, yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Donald Light,
Suzanne Keller, dan Craig Callhoun mengemukakan bahwa setelah seseorang mendapatkan sosialisasi dini atau
sosialisasi primer (primary socialization), maka selanjutnya ia akan mendapatkan sosialisasi sekunder (secondary
socialization).

1. Sosialisasi primer adalah sosialisasi pada tahap awal kehidupan seseorang sebagai manusia. Berger dan Luckman
menjelaskan sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil, ketika ia belajar
menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi primer dipelajari dalam keluarga. Sosialisasi primer akan memengaruhi
seorang anak untuk dapat membedakan dirinya dengan orang lain di sekitarnya, seperti ayah, ibu, kakak, dan adik.

2. Sosialisasi sekunder adalah proses berikutnya yang memperkenalkan individu ke dalam lingkungan di luar
keluarganya, seperti sekolah, lingkungan bermain, dan lingkungan kerja. Dalam proses sosialisasi sekunder sering
dijumpai proses resosialisasi atau proses sosialisasi ulang dalam masyarakat. Proses ini teriadi jika halvand telah
disosialisasikan dalam tahap sosialisasi primer berbeda dengan sosialisasi sekunder. Proses resosialisasi didahului
dengan proses desosialisasi atau proses pencabutan hal-hal yang telah dimiliki oleh individu seperti nilai dan norma
Erving Goffman menyatakan bahwa peristiwa resosialisasi dan desosialisasi di dalam sebuah bentuk total
institusi. Proses resosialisasi dapat dilihat tika seorang murid SMP masuk ke dalam lingkungan SMA. Mereka m
oalami proses resosialisasi yang didahului oleh desosialisasi, misalnya dengan mengganti pakaian putih biru menjadi
putih abu-abu dan menjalani proses orientasi ketika teman-teman senior maupun guru menjelaskan tentang
peraturan di SMA yang berbeda dengan peraturan di SMP.
TIPE SOSIALISASI
Setiap kelompok masyarakat memiliki standar nilai yang berbeda. contoh, standar seseorang yang disebut baik di
sekolah dan di kelompok copermainan tentu berbeda. Di sekolah, misalnya, seseorang disebut baik apabila nilai
ulangannya di atas tujuh atau tidak pernah terlambat masuk sekolah. Sementara di kelompok sepermainan,
seseorang disebut baik apabila solider dengan teman atau saling membantu.
Perbedaan standar dan nilai pun tidak terlepas dari tipe sosialisasi yang ada. Terdapat dua tipe sosialisasi, yaitu
sebagai berikut.
1. Formal. Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan yang berlaku
dalam negara, seperti pendidikan di sekolah dan pendidikan militer.
2. Informal. Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekeluargaan,
seperti pergaulan sesama teman, sahabat, anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat.
Baik sosialisasi formal maupun informal tetap mengarah pada pertumbuhan pribadi anak agar sesuai dengan
nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan formal seperti di sekolah, seorang siswa
bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan guru dan karyawan sekolah. Dalam interaksi
tersebut, ia mengalami proses sosialisasi dan siswa akan disadarkan tentang peran apa yang harus ia lakukan.
Siswa juga diharapkan memiliki kesadaran untuk menilai dirinya sendiri. Misalnya, apakah saya ini termasuk
baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perilaku saya sudah pantas atau belum?
Meskipun proses sosialisasi dipisahkan secara formal dan informal, namun hasilnya sangat sulit untuk dipisah-
pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal sekaligus.

POLA SOSIALISASI
Getrude Jaeger membagi sosialisasi ke dalam dua pola, yaitu pola Sosialisasi represif dan pola sosialisasi
partisipatoris. 

1. Sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Ciri lain dari sosialisasi represif
adalah penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan; penekanan pada kepatuhan anak pada
orangtua; penekanan pada komunikasi yang bersifat satu arah, nonverbal dan berisi perintah; penekanan sosialisasi
terletak pada orangtua dan pada keinginan orangtua; dan peran keluarga sebagai significant others. 

2. Sosialisasi partisipatoris (participatory socialization) merupakan pola dengan ciri pemberian imbalan ketika


anak berperilaku baik. Selain itu, hukuman dan imbalan bersifat simbolik. Dalam proses sosialisasi ini anak diberi
kebebasan. Penekanan terletak pada interaksi dan komunikasi yang bersifat lisan. Pusat sosialisasi adalah anak dan
keperluan anak, sedangkan keluarga menjadi generalized others.

Anda mungkin juga menyukai