Anda di halaman 1dari 20

BAB IV

SOSIALISASI DAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN

Standar kompetensi : Menerapkan nilai dan norma dalam proses pengembangan kepribadian
Kompetensi Dasar : Menjelaskan Sosialisasi sebagai proses dalam pembentukan kepribadian

A. SOSIALISASI
Pengertian
Sosialisasi adalah suatu proses dimana seorang individu belajar tentang segala nilai dan norma
yang berkembang di masyarakatnya agar ia menjadi bagian dari masyarakat tersebut.

Tujuan Sosialisasi adalah :


1. Membekali seseorang dengan seperangkat nilai dan norma agar sikap perilakunya sesuai
dengan harapan masayarakat.
2. Membekali latihan berbagai keterampilan yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan
sesamanya dan lingkungan.
3. Mengembangkan kemampuan sesorang untuk berkomunikasi dengan semua pihak dan
melakukan mobilitas Sosial.
4. Melatih seseorang agar mampu mengendalikan fungsi fungsi organiknya dan kepentingannya
agar sikap dan perilakunya tidak menyimpang dari tata nilai dan norma.

Tahapan Sosialisasi Menurut George Herbert Mead :

1. Tahap Persiapan (Preparatory stage)


Tahap ini dialami sejak manusaia dilahirkan, saat seorang anak mempersiapkan diri untuk mengenal
lingkungan sosialnya, termasuk untuk memperoleh pemahaman diri. Pada tahap ini juga anak-anak
mulai melakukan kegiatan meniru meski tidak sempurna.
Contoh :
Kata “makan” yang diajarkan ibu kepada anaknya yang masih balita diucapkan kata “mam”.
Kata tersebut belum dipahami oleh anak. Lama Kelamaan anak akan memahami secara tepat
makna kata makan tersebut dengan kenyataan yang dialaminya.

2. Tahap Meniru bertindak (play Stage)


Tahap ini ditandai dengan semakin sempurnanya seorang anak menirukan peran-peran yang
dilakukan oleh orang dewasa. Pada tahap ini mulai berbentuk kesadaran tentang nama diri dan
siapa nama orangtuanya, kakaknya dan sebagainya. Anak mulai menyadari tentang apa yang
dilakukan seorang ibu dan apa yang diharapkan seorang ibu dari anak. Dengan kata lain,
kemampuan untuk menempatkan diri pada posisi orang lain juga mulai berbentuk pada tahap ini.
Kesadaran bahwa dunia sosial manusia berisikan banyak orang telah berbentuk. Sebagian dari orang
tersebut merupakan orang-orang yang dianggap penting bagi pembentukan dan bertahannya diri,
yakni dari mana anak menyerap norma dan nilai. Bagi seorang anak, orang-orang ini disebut
orang-orang yang amat berarti (significant other).
3. Tahap siap bertindak (game stage)
Peniruan yang dilakukan sudah mulai berkurang dan digantikan oleh peran yang secara langsung
dimainkan sendiri dengan penuh kesadaran. Kemampuannya menempatkan pada posisi orang
lainpun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia
mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan bekerja sama dengan teman-
temannya. Pada tahap ini lawan beriteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks.
Individu mulai berhubungan dengan teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku
diluar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai
menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku diluar keluarganya.

4. Tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage)


Pada tahap ini seseorang telah dianggap dewasa. Dia sudah dapat menempatkan dirinya pada
masyrakta secara luas. Dengan kata lain, ia dapat bertenggang rasa tidak hanya dengan orang-
orang yang berinteraksi dengannya tapi juga dengan masyarakat luas. Manusia dewasa menyadari
pentingnya peraturan, kemampuan bekerjasama, bahkan tahap ini diartikan bahwa seseorang telah
menjadi warga masyarakat dalam arti sepenuhnya.

Tabel ciri-ciri tahap perkembangan dalam tahap-tahap sosialisasi


Kriteria Prepatory stage Play Stage Game stage Generalized stage

Jumlah orang Sedikit


Sedikit Agak banyak Banyak
berinteraksi bertambah
Keragaman orang
Rendah Agak rendah Agak tinggi Tinggi
dalam interaksi
Mampu bekerjasama
Kesadaran diri Mampu
Belum Hanya meniru dalam masyarakat luas
yang memiliki bekerjasama
secara tatap muka

Faktor-faktor yang mempengaruhi sosialisasi :


1. Sifat dasar manusia
2. Lingkungan prenatal (individu dalam rahim)
3. Perbedaan individu
4. Lingkungan (alam, budaya dan masyarakat)
5. Motivasi (dorongan dan kebutuhan)
Jenis-jenis Sosialisasi :
1. Sosialisasi Primer
Sosialisasi primer adalah sosialisasi yang pertama dijalani individu yaitu sosialisasi yang berlangsung
dilingkungan keluarga. Dalam sosialisasi ini individu belejar tentang hal-hal yang yang terjadi dalam
lingkungan keluarganya. Misalnya belajar mengenal anggota keluarga, belajar cara berbicara, belajar
makan dan sebagainya.
Sosilisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk sekolah.
Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga.Secra bertahap dia mulai mampu
mebedakan dirinya dengan orang lain dan sekitarnya keluarganya.
Dalam hal ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang
anak melakukan pola interaksi secara terbatas didalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat
ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi anatara anak dengan anggota
keluarga terdekatnya.

2. Sosialisai Sekunder
Sosialisasi sekunder yaitu sosialisasi tingkat lanjut yan dijalani oleh individu, yaitu sosialisasi yang
berlangsung dilingkungan masyarakat. Dalam sosialisasi ini seorang individu belajar tentang hal yang
berkaitan dengan lingkungannya misalnya belajar membangun persahabatan, belajar menghargai
perbedaan, belajar mengembagkan pola pikir, beroorganisasi, dsb. (lingkungan bermain, sekolah,
lingkungan kerja, dsb)

Pola/proses sosialisasi melalui dua cara yaitu :


1.Sosialiasi Represif
Pola sosialisasi yang menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan atau proses
sosialisasi yang terjadi melalui tekanan atau paksaan dari luar.
2.Sosialisasi Partisipatif
Pola sosialisasi yang menekankan parsipasi anak sebagai individu yang belajar (anak sebagai
pusat individu yang belajar)

Tipe Sosialisasi
1. Formal
Sosialisasi tipe ini terjadi melalui lembaga-lembaga yang berwenang menurut ketentuan berlaku
dalam negara, seperti pendidikan di sekolah maupun militer.
2. Informal
Sosialisasi tipe ini terdapat di masyarakat atau dalam pergaulan yang bersifat kekluargaan, seperi
dalam teman,sahabat, sesama anggota klub, dan kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat.

Baik sosialisasi formal maupun soisialisasi informal tetap mengarah kepada pertumbuhan
pribadi anak agar sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku di lingkungannya. Dalam lingkungan
formal seperti di sekolah, seorang siswa bergaul dengan teman sekolahnya dan berinteraksi dengan
guru dan karyawan sekolahnya. Dalam interaksi tersebut ia mengalami proses sosialisasi. Dengan
proses sosialisasi tersebut, siswa akan disadarkan tentang peranan apa yang harus dia lakukan. Siswa
juga diharapkan mempunyai kesadaran dalam dirinya untuk menilai diri sendiri. Misalnya, apakah
saya ini termasuk anak yang baik dan disukai teman atau tidak? Apakah perilaku saya sudah pantas
atau tidak. meskipun proses sosialisasi dipisahkan secar formal dan informal, namun hasilnya sangat
sulit dipisahkan-pisahkan karena individu biasanya mendapat sosialisasi formal dan informal
sekaligus.

Agen Sosialisasi
Sosialisasi membutuhkan agen atau lembaga yang berperan dalam transformasi nilai-nilai dan
norma-norma dalam masyarakat. Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang melaksanakan atau
melakukan sosialisasi. Agen atau sosialisasi tersebut meliputi :
1. Keluarga
Keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat yang memiliki tugas utama untuk
membangun karakter individu melalui penanaman nilai dasar dalam hidup bermasyarakat.
Dalam konteks ini, peran lembaga keluarga menjadi sangat penting karena perkembangan
individu secara umum sangat dipengaruhi oleh keluarga.

2. Kelompok teman bermain


Melalui teman bermain seorang individu akan belajar membangun solidaritas dan
persamaan. Karena dalam ruang teman bermain seorang individu merasa memilki pososi
yang sam dengan temen-temannya bila dibandingkan posisi dia dalam keluarga.Lingkungan
keluarga secara umum membangun subordinasi, dimana anak-anak selalu dalam posisi yang
tidak mempunyai pilihan untuk di membantah. Sementara dalam teman bermain mereka
bisa belajar kesetaraan.

3. Sekolah
Sekolah juga merupakan agen atau lembaga dalam proses sosialisasi. Sekolah mengajarkan
tentang pendayaguanaan segala potensi dan kemampuan serta akal pikiran dalam mengatasi
permasalahan dan mengembangkan daya pikir untuk kehidupan yang lebih baik. Disekolah
individu diperkenalkan dengan aturan-aturan yang jelas dan berlaku secara umum bagi
siswa dalam suatu sekolah tanpa memandang latar belakang siswa yang bersangkutan.

4. Lingkungan kerja
Setelah individu melewati masa kanak-kanak dan masa remaja, kemudian meninggalkan
kelompok permainannya, individu memasuki dunia baru, yaitu lingkungan kerja. Secara
umum individu yang ada didalamnya hampir dewasa dan bahkan sebagaian besar mereka
sudah dewasa, maka sistem nilai dan norma lebih jelas dan tegas. Di dalam lingkungan kerja
ini individu saling berinteraksi dan berusaha menyesuaikan diri dengan nilai dan norma yang
berlaku didalamnya. Orang yang bekerja dan bergaul dengan teman-temannya didunia
pendidikan akan memiliki perilaku dan gaya hidup yang berbeda dengan mereke yang
bekerja dikemiliteran.

5. Media Massa
Media massa juga tidak kalah pentingnya dalam sosialisasi apalagi di zaman seperti sekarang
ini dimana dunia teknologi informasi berkembang sangat cepat. Sajian-sajian media massa
yang menjurus pada transformasi nilai-nilai yang kurang baik akan sangat mudah diikuti
oleh individu. Oleh karenanya sajian-sajian media massa diharapkan menampilkan nilai-nilai
yang lebih mengedepankan moral dan agama, agar mampu membangun manusia yang
bermoral dan beretika baik
B. KEPRIBADIAN

Definisi Kepribadaian

1. Allport: Kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistem psikofisis dalam diri individu yang
menentukan keunikan penyesuaian diri terhadap linkungan.
2. Koentjaraningrat: kepribadian adalah susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan
perbedaan tingkah laku atau tindakan tiap-tiap individu.
3. Yinger: kepribadian adalah keseluruhan perilaku seseorang dengan sistem kecenderungan
tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian situasi.

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa :


Kepribadian adalah ciri-ciri watak seseorang yang konsisten sehingga menjadi identitas dirinya
secara khusus dan muncul ketika menghadapi situasi tertentu.

Faktor-Faktor Pembentuk Kepribadian

1. Warisan biologis (keturunan)


Individu tidak bisa lepas dari kondisi biologis secara pisik maupun psikis dalam proses pembentukan
kepribadian. Walau bagaimanapun pengaruh orang tua sedikit banyak akan mempengaruhi
kepribadian seseorang.Tidak sedikit kita dapat melihat seorang anak yang mempunyai kepribadian
seperti orang tuanya. Hal ini menunjukan bahwa faktor biologis dapat mempengaruhi kepribadian
seseorang.

2. Lingkungan fisik (geografis)


Individu yang tinggal didaerah yang gersang dan dengan daerah yang subur cenderung memiliki
kepribadian yang berbeda. Individu yang tinggal didaerah yang gersang memiliki kepribadian yang
cenderung keras dan termperamental, sementara individu yang tinggal didaerah yang subur
memiliki kepribadian yang cenderung pasif dan kurang kreatif.

` 3. Lingkungan sosial (budaya, pengalaman kelompok, pengalaman unik)

lingkungan sosiali dan budaya dimana individu tinggal juga dapat mempengaruhi pembentukan
kepribadiannya. Tak bisa disangkal bahwa individu yang melakukan interaksi dengan orang-orang
disekitarnya dengan budayanya masing-masing akan memberi warna tersendiri bagi kepribadaian
seseorang.Individu yang tinngal didaerah yang agamis akan cenderung menjadi individu yang taat
pada norma-norma yang ada.
Susunan Kepribadian Meliputi

1. Pengetahuan, (fantasi, pemahaman dan konsep dari pengamatan dan

pemahaman mengenai segala hal yang berbeda dalam lingkungan individu).

2. Perasaan, (suatu keadaan dalam kesadaran manusia yang menghasilkan

penilaian positif atau negatif tentang sesuatu).

3. Dorongan naluri, (kemampuan dalam diri yang sudah merupakan naluri

atau bagian yang tak terpisahkan dari setiap manusia.


RANGKUMAN BAB IV

Sosialisasi adalah Suatau proses dimana seorang individu dimana seorang individu belajar tentang
segala nilai dan norma yang berkembang dimasyarakat agar ia menjadi bagian dari masyarakatnya
tersebut.
Tahapan Sosialisasi menurut George Herbert Mead :

1. Tahap persiapan (preparatory stage)


2. Tahap meniru bertindak (play stage)
3. Tahap siap bertindak (game stage)
4. Tahap penerimaan norma kolektif (generalized stage)

Faktor yang mempengaruhi Sosialisasi

1. Sifat dasar manusia


2. Lingkungan prenatal (individu dalam rahim)
3. perbedaan individu
4. Lingkungan (alam, budaya dan masyarakat)
5. Motivasi (dorongan dan kebutuhan)

Jenis-jenis sosialisasi

1. Sosialisasi primer, yaitu sosialisasi yang pertama dijalani individu yaitu sosialisasi yang
berlangsung dilingkungan keluarga.
2. Sosialisasi sekunder, yaitu sosialisasi tingkat lanjut yang dijalani oleh individu, yaitu
sosialisasi yang berlangsung di lingkungan masyarakat.

Pola / proses sosialisasi melalui dua cara, yaitu :


1. Sosialisasi Represif
2. Sosialisasi Partisipatif

Agen / Pelaku / Lembaga Sosialisasi


1. Keluarga
2. Kelompok/ teman bermain
3. Sekolah
4. Lingkungan Kerja
5. Media Massa

Kepribadian adalah ciri-ciri watak seseorang yang konsisten sehingga menjadi identitas dirinya
secara khusus.

Faktor-Faktor Pembentukan Kepribadian


1. Warisan biologis (keturunan)
2. Lingkungan fisik (geografis)
3. Lingkungan sosial (budaya, pengalaman kelompok, pengalaman unik)

Susunan Kepribadian Meliputi :


1. Pengetahuan
2. Perasaan
3. Dorongan naluri
BAB V

PERILAKU MENYIMPANG DAN PENGENDALIAN SOSIAL


Standar Kompetensi:
2. Menerapkan nilai dan norma dalam proses pengembangan kepribadian Kompetensi Dasar:
2.2 Mendeskripsikan terjadinya perilaku menyimpang dan sikap-sikap anti sosial

A. Pengertian dan beberapa contoh perilaku menyimpang

Pada umumnya orang-orang dalam masyarakat cenderung konformis (menyesuaikan cara hidupnya:
cara berfikir, berperasaan dan bertindak) dengan yang berlaku di lingkungan kelompoknya. Misalnya:
anak laki-laki bermain dengan “mainan laki-laki”, anak perempuan bermain dengan “mainan
perempuan”, apabila diberi kesempatan saling berinteraksi maka cenderung memiliki opini atau
pendapat yang sama, dan seterusnya.

Mengapa orang-orang cenderung konformis terhadap norma-norma sosial?

1. Orang yang bersangkutan telah berhasil disosialisasi sehingga menginternalisasikan nilai dan
norma yang berlaku di masyarakatnya
2. Orang yang bersangkutan tidak dapat menemukan alternatif lain kecuali mengikuti pola
yang sudah ada
3. Apabila tidak konformis dengan norma sosial akan direaksi dengan pemberian sanksi oleh
masyarakat, dan apabila konformis akan mendapatkan positive- incentive (ganjaran) dari
masyarakat
4. Meskipun demikian di masyarakat ada sedikit orang yang perilakunya “melanggar” norma
atau “menyimpang”.

Secara sosiologis istilah “menyimpang” atau “deviance” lebih tepat dari pada “melanggar” atau
“violate”. Mengapa?

Perilaku yang dikatakan menyimpang selain meliputi perilaku yang melanggar norma dan merusak
atau mengacaukan kaidah yang ada, acapkali terdapat pula perilaku yang tidak terbukti nyata kalau
merusak atau mengacau tatanan yang ada, melainkan hanya terasa lucu, aneh, nyentrik, dan malah
dapat memperkaya alternatif perilaku.

Invensi-invensi kreatif dalam berperilaku yang masih dalam taraf individual peculiarities (keanehan
pribadi), belum memasyarakat, belum terbakukan dan karenanya masih dinyatakan “melawan arus”
pun dapat masuk sebagai perilaku menyimpang.

Banyak perilaku-perilaku kreatif seperti bersifat sangat rasional akan dipandang menyimpang hanya
karena belum lazim dan berbeda dengan kaidah sosial yang berlaku yang sesungguhnya tidak
rasional.

Beberapa batasan tentang perilaku menyimpang:

1. Perilaku menyimpang adalah perilaku yang oleh sejumlah orang dianggap sebagai hal yang
tercela dan diluar batas toleransi (van der Zanden, 1979)
2. Perilaku menyimpang adalah perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap
norma kelompok/masyarakat (Horton dan Hunt, 1993)
3. Perbuatan disebut menyimpang apabila perbuatan itu dinyatakan menyimpang, sehingga
penyimpangan bukanlah kualitas dari suatu tindakan melainkan konsekuensi atau akibat dari
adanya peraturan dan diterapkannya sanksi-sanksi oleh masyarakat (Becker, dalam Horton dan
Hunt, 1993)
Dari tiga batasan di atas tampak bahwa penyimpangan bukanlah sesuatu yang melekat pada suatu
tindakan, tetapi diberi ciri menyimpang melalui definisi sosial.

Definisi sosial dapat diberikan oleh golongan/kelas berkuasa atau oleh masyarakat pada umumnya.

Maka, apakah “wanita berambut pendek” atau “laki-laki berambut panjang” merupakan suatu
penyimpangan?

Bentuk-bentuk perilaku menyimpang:

Secara umum, macam-macam penyimpangan adalah sebagai berikut.

1. Tindakan nonconform (tidak sesuai dengan nilai dan norma yang ada), misalnya: mengenakan
sandal ke sekolah, membolos, dst. Termasuk dalam kategori ini adalah perilaku-perilaku yang terlalu
maju, terlalu rasional, terlalu baik, dan sebagainya yang dalam tahap tertentu masih dalam taraf
individual peculiarities sebagaimana disebutkan di atas.
2. Tindakan antisosial (melawan kebiasaan masyarakat/kepentingan umum), misalnya: menarik dari
dari pergaulan, keinginan bunuh diri, ngebutisme, alkoholisme, dan seterusnya.
3. Tindakan kriminal, misalnya pencurian, perampokan, pembu-nuhan, korupsi, dan seterusnya

Secara khusus, macam-macam penyimpangan dapat dirinci sebagai berikut.


1. Penyimpangan diterima dan penyimpangan ditolak. Penjahat ataupun orang-orang yang sangat
baik adalah penyimpang.
2. Penyimpangan relatif dan penyimpangan mutlak. Dalam kehidupan sosial yang sebenarnya sukar
dijumpai orang yang sepenuhnya menyimpang atau sepenuhnya konformis. Yang mudah dijumpai
adalah menyimpang dalam batas-batas tertentu dan konformis dalam batas-batas tertentu.
Sehingga sukar dijumpai orang yang secara mutlak menyimpang.
3. Penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder. Penyimpangan primer terjadi pada kasus
seseorang yang menyimpang dalam hal-hal tertentu, temporer dan tidak berulang sehingga
pelakunya tidak mendapatkan cap atau label sebagai penyimpang. Penyimpangan sekunder terjadi
pada kasus orang yang memperlihat perilaku khas menyimpang, misalnya karena perilaku
menyimpang itu dilakukan berulang, sehingga memang orang tersebut kemudian dikenal sebagai
penyimpang.
4. Penyimpangan terhadap budaya nyata atau budaya ideal. Bahwa perilaku korupsi itu jahat,
bahwa merokok itu merusak kesehatan, bahwa NAPZA itu merusak jiwa dan raga, sebagian besar
orang tentu setuju dengan pernyataan ini. Tapi, apakah kemudaian tidak melakukannya?
Demikianlah, tidak selamanya budaya nyata sejalan dengan budaya ideal. Penyimpangan atau
konformis terhadap salah satunya berarti konformis atau menyimpang terhadap yang lain.
5. Penyimpangan individual, kelompok dan campuran
Penyimpangan individual dilakukan oleh seorang individu tanpa melibatkan kelompoknya (individual
deviation). Penyimpangan kelompok dilakukan oleh orang-orang dalam kelompok (group deviation),
yang mungkin saja individu-individu di dalamnya bukanlah penyimpang individual. Contohnya:
pelanggaran lampu lalu lintas yang dilakukan oleh sekelompok pengendera kendaraan bermotor.
Pelanggaran tersebut bisa jadi bukan kehendak pribadi-pribadi.
Pernahkah Anda merasa “dipaksa” menyimpang oleh kelompok Anda?
Penyimpangan yang dilakukan oleh seseorang baik sendirian maupun bersama dengan kelompoknya
disebut sebagai penyimpangan campuran (mixture both deviation).
6. Penyimpangan adaptif
Yang dimaksud penyimpangan adaptif adalah penyimpangan yang berfungsi sebagai cara
menyesuaikan diri terhadap perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan dalam masyarakat.
Jenis-jenis perilaku menyimpang berdasar kekerapannya:

1. penyimpangan primer

Perilaku menyimpang yang bersifat sementara (temporer) dan pelangggarnya masih dapat diterima
kembali oleh masyarakat.

2. penyimpangan sekunder

Penyimpangan yang dilakukan secara terus menerus meskipun telah diberikan sanksi. Orang inilah
yang kemudian disebut sebagai pelaku perilaku menyimpang.
B. Pembentukan perilaku menyimpang
1. Teori biologi

Teori ini menjelaskan tentang

bagaimana perilaku menyimpang tersebut hubungannya dengan keadaan biologis, misalnya cacat
tubuh bawaan lahir, tipe tubuh tertentu, misalnya endomorph (gemuk-halus), mesomorph (sedang-
atletis) atau ectomorph (kurus), dengan perilaku jahat.

2. Teori psikologi

Perilaku menyimpang sering dianggap sebagai penyakit mental, jadi orang yang menyimpang itu
karena mengalami penyakit mental atau gangguan kejiwaan.

3. Teori sosialisasi

Perilaku menyimpang merupakan hasil dari proses sosialisasi:

1. proses sosialisasi tidak sempurna, dapat terjadi karena seseorang (1) mengalami inferioritas
(minder) akibat cacat fisik bawaan lahir, atau (2) kurang ditanamkannya nilai dan norma
sosial oleh agen-agen sosialiasi, misalnya karena orangtua terlalu sibuk dengan karier dan
pekerjaannya. Keadaan tersebut mengakibatkan seseorang tidak dapat menginternalisasikan
nilai¬nilai dan norma yang berlaku dan diterima oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Jadilah ia penyimpang.
2. Seseorang menghayati kehidupannya dalam kelompok menyimpang (kebudayaan
khusus/subkultur menyimpang) di delinquen area (dalam sosiologi dikenal adanya black area,
atau kawasan permukim¬an kumuh (slums) yang sering berasosiasi dengan crime areas, yang
dijumpai hampir di setiap kota). Orang-orang di area itu menganggap bahwa perilaku
menyimpang adalah hal biasa. Sehingga perilaku yang dalam masyarakat pada umumnya
dianggap menyimpang, dalam kawasan kehidupan ini tidaklah dianggap menyimpang.
3. Karena pergaulannya dengan para penyimpang (asosiasi diferensial). Sebenarnya teori ini
digunakan oleh EH Sutherland untuk menjelaskan tentang perilaku kriminal atau kejahatan,
tetapi sering juga digunakan untuk menganalisis berbagai perilaku menyimpang, seperti
pelacuran, kecanduan obat-obatan, alkoholisme, perilaku homoseksual, dan sebagainya.

Beberapa proposisi yang digunakan dalam teori asosiasi diferensial adalah:

(1) perilaku menyimpang adalah hasil proses belajar,


(2) perilaku menyimpang dipelajari oleh seseorang dalam interaksinya dengan orang lain,
(3) pembelajaran perilaku menyimpang berlangsung dalam kelompok-kelompok personal yang
intim/akrab,
(4) yang dipelajari adalah cara dan juga dorongan-dorongan, alasan-alasan atau rasionalisasi
mengapa menyimpang,
(5) pilihan menjadi penyimpang karena dianggap lebih menguntungkan daripada tidak
menyimpang,
(6) perilaku menyimpang merupakan ekspresi dari kebutuhan untuk diakui atau eksistensi diri.

4. Teori anomie

Perilaku menyimpang muncul dalam masyarakat karena adanya anomie (kesimpangsiuran norma
atau keadaan tanpa norma yang pasti sebagai patokan berperilaku). Anomie menimbulkan perilaku
menyimpang karena mengakibatkan keterpisahan emosional (ketidakberdayaan, ketidakberartian,
keterpencilan) antara seseorang dengan masyarakatnya.

Emille Durkheim dan Robert K. Merton menguraikan bahwa anomie terjadi karena
ketidakharmonisan antara tujuan budaya dengan cara-cara formal untuk mencapai tujuan.

Dalam kaitan ini Merton mengemukakan adanya lima macam cara adaptasi oleh orang atau
sekelompok orang terhadap tujuan-tujuan masyarakat, yaitu:

Cara Tujuan budaya Cara formal


adaptasi
Konformitas (penyesuaian) Diterima Diterima

Inovasi (pembaruan) Diterima Ditolak

Ritualisme Diabaikan/ditolak Diterima

Retreatisme (pengunduran
Ditolak Ditolak
/menarik diri)

Ditolak dan berupaya menggantinya Ditolak dan berupaya


Rebellion (pemberontak an)
dengan yang baru menggantinya dengan yang baru

Di antara lima cara adaptasi di atas hanya satu yang bukan penyimpangan, yakni konformitas.

5. Teori reaksi masyarakat: teori labelling (pemberian cap)

Seseorang berperilaku menyimpang karena oleh masyarakat diberi cap menyimpang. Pemberian cap
ini mendorong individu melakukan serangkaian perbuatan yang merupakan self-fulfilling prophecy
(pembenaran peramalan diri) bahwa ia adalah penyimpang.

6. Teori konflik

Teori konflik meliputi dua hal, yaitu konflik budaya dan konflik sosial. Konflik budayan terjadi pada
masyarakat dengan ciri pluralitas (kemajemukan), di masyarakat tersebut terdapat dua atau lebih
kelompok dengan subkultur yang saling berbeda, sehingga suatu perilaku yang sesuai dengan
subkultur tertentu dapat berarti penyimpangan terhadap subkultur yang lain.

Teori konflik sosial menerangkan bahwa penyimpangan terjadi karena adanya perbedaan norma dan
kepentingan di antara kelas-kelas, sehingga suatu perilaku yang tidak sesuai dengan perilaku kelas
tertentu dinyatakan sebagai perilaku menyimpang.

7. Teori pengendalian sosial

Penyimpangan terjadi karena lemahnya pengendalian sosial, baik berupa tekanan sosial maupun
pemberian sanksi-sanksi, bahwa suatu kejahatan, misalnya mencuri atau memperkosa, tidak selalu
diawali oleh adanya niat untuk mencuri atau memperkosa, tetapi karena adanya kesempatan untuk
itu, akibat lemahnya pengendalian sosial.

mempunyai self-enforcing (kemampuan diri melaksanakan fungsi) di dalam menjamin keteraturan


sosial. Oleh karena itu, selain proses sosialisasi masyarakat menciptakan pula sistem pengendalian
sosial.
Apa yang dimaksud pengendalian sosial?
1. Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan oleh masyarakat untuk menertibkan
anggota-anggotanya yang membangkang (Berger, 1978)

2. Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau
masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau
masyarakat (Horton dan Hunt, 1993).

C. Pengertian dan Jenis-jenis Pengendalian Sosial


Agar dapat diterima oleh kelompok atau masyarakatnya individu harus mentaati sejumlah aturan
yang hidup dan berkembang dalam masyarakatnya. Untuk itu masyarakat melakukan pengendalian
sosial terhadap para warganya sehingga perilaku sebagian besar warga masyarakat berada dalam
kerangka keteraturan sosial.

Dalam masyarakat orang dikendalikan terutama dengan mensosialisasikan mereka dengan nilai dan
norma sosial sehingga mereka menjalankan peran-peran sesuai harapan sebagian besar warga
masyarakat, melalui penciptaan kebiasaan dan rasa senang.

Namun dalam kenyataannya, meskipun nilai dan norma sosial itu telah disosialisasikan, tetap saja
terjadi penyimpangan. Hal ini menunjukkan bahwa sosialisasi saja tidak cukup untuk terciptanya
keteraturan sosial. Norma-norma sosial itu tidak cukup kuat mempunyai self-enforcing (kemampuan
diri melaksanakan fungsi) di dalam menjamin keteraturan sosial. Oleh karena itu, di samping proses
sosialisasi masyarakat menciptakan pula sistem pengendalian sosial.

Apa yang dimaksud pengendalian sosial?

1. Pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan oleh masyarakat untuk menertibkan
anggota-anggotanya yang membangkang (Berger, 1978)
2. Pengendalian sosial adalah segenap cara dan proses yang ditempuh oleh sekelompok orang atau
masyarakat sehingga para anggotanya dapat bertindak sesuai dengan harapan kelompok atau
masyarakat (Horton dan Hunt, 1993).

Menurut waktu pelaksanaannya, pengendalian sosial dapat dibedakan antara

1. Pengendalian sosial preventif, yakni dilakukan sebelum terjadi penyimpangan


2. Pengendalian sosial kuratif, yang dilakukan setelah terjadi penyimpangan, dimaksudkan untuk
memulihkan keadaan.

Sedangkan apabila menurut caranya, tedapat pengendalian sosial

1. Persuasif, yakni yang dilakukan dengan mengajak atau mendidik


2. Represif, dilakukan dengan menggunakan tekanan sosial, paksaan, atau bahkan kekerasan

Menurut Soetandyo Wignyosubroto, sarana utama pengendalian sosial adalah sanksi, yaitu suatu
bentuk penderitaan yang secara sengaja dibebankan oleh masyarakat. Individu yang telah
menyimpang dikenakan sanksi, dan yang diperkirakan akan menyimpang diancam dengan sanksi.
Secara umum sanksi ada tiga macam: (1) sanksi ekonomi, (2) sanksi fisik, dan (3) sanksi psikologis.
Mengapa masyarakat melakukan pengendalian sosial?

1. Eksploitasi: pengendalian sosial dimaksudkan untuk mengendalikan situasi sehingga tidak


mengancam kepentingan-kepentingan yang telah tertanam kuat (vested interested)

2. Regulatif: pengendalian sosial dilakukan agar dicapai keteraturan sosial, sehingga warga
masyarakat mudah menyesuaikan dirinya dengan tujuan-tujuan masyarakat, termasuk mudah
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya

3. Konstruktif, pengendalian sosial dimaksudkan untuk mengarahkan perubahan dan kebudayaan ke


arah yang diharapkan oleh sebagaian besar masyarakat

Cara-cara pengendalian sosial:

1. Sosialiasi

Para anggota masyarakat disosialisasikan untuk menjalankan peran sesuai dengan harapan
masyarakat. Melalui sosialisasi seseorang menginternalisasikan nilai-nilai sehingga menjadi bagian
dari perilaku otomatisnya. Dengan kata lain, sosialisasi membentuk kebiasaan, keinginan dan tata
cara yang sangat membantu dalam mengambil keputusan “apakah dan harus bagaimanakah”
melakukan aktivitas (termasuk kapan bangun pagi, kapan tidur, bagaimana bentuk potongan
rambut laki-laki, bentuk potongan rambut perempuan, prosedur memperoleh pasangan hidup, dan
seterusnya).

2. Tekanan sosial

Individu akan menerima tekanan sosial tertentu apabila perilakunya tidak konformis dengan
harapan-harapan masyarakat. Tekanan sosial dapat dilakukan dengan cara-cara: membujuk,
meperolok, mempermalukan, mengucilkan, dan sebagainya. Cara-cara demikian memang cukup
efektif pada kelompok primer. Pada kelompok sekunder, tekanan-tekanan sosial dilakukan dengan
peraturan resmi, standardisasi, propaganda, human engineering, reward dan hukuman. Cara-cara
ini akan lebih efektif kalau didukung oleh kelompok primer.

Tekanan sosial seperti pada kelompok primer tidak efektif pada kelompok sekunder. Mengapa
demikian?

Kebutuhan orang pada kelompok sekunder bukanlah kebutuhan emosional, maka jika kelompok
sekunder tidak lagi dapat memenuhi kebutuhannya yang ditinggalkan saja. Orang sering tidak
bersedih kehilangan kelompok sekunder.

Bahasa sebagai alat pengendalian sosial

Menurut para penganut teori interaksionisme simbolik, bahasa adalah konstruksi kenyataan sosial.
Penggunaan bahasa diyakini dapat mengubah cara pandang seseorang. Penggunaan bahasa-bahasa
tertentu (istilah-istilah) dapat merupakan tekanan sosial bagi pihak-pihak tertentu dalam
masyarakat sehingga perilakunya dapat dikendalikan. Bahasa sebagai alat tekanan sosial melalui
eufemisme (penghalusan bahasa) ataupun plesetan (redefinition).

3. Kekuatan/paksaan fisik

Apabila cara-cara pengendalian sosial melalui sosialisasi dan tekanan sosial tidak lagi efektif, maka
adalah yang tertua dan terkini: paksaan fisik, resmi maupun tidak resmi.
D. Peran lembaga (pranata) sosial dalam mengendalikan perilaku menyimpang
Di antara sekian lembaga sosial yang ada dalam masyarakat, adalah regulative institution yang
secara tegas berfungsi sebagai kontrol sosial, misalnya: lembaga kepolisian, pengadilan, adat,
lembaga-lembaga perwakilan rakyat di mana di dalamnya ada para tokoh masyarakat, dan
sebagainya.

Beberapa lembaga juga sering disebut lembaga resosialisasi. Misalnya rumah singgah, penjara, dst.
Mengapa resosialisasi? Beberapa anggota masyarakat memiliki perilaku yang menyimpang atau tidak
sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam kelompok/masyarakat, mulai dari yang sekedar
berbeda, unik, bahkan jahat. Melalui proses resosialisasi nilai-nilai lama yang dianut oleh seseorang
dicabut dan digantikan dengan nilai-nilai baru yang sesuai dengan harapan sebagian besar anggota
masyarakat.

Berikut ini lembaga-lembaga yang berfungsi dan berperan dalam proses pengendalian sosial, antara
lain:

1. Lembaga kepolisian

Lembaga ini terutama menangani penyimpangan terhadap aturan-aturan atau hukum tertulis,
dengan cara menangkap, memeriksa/menyidik dan selanjutnya mengajukan pelaku penyimpangan
ke pengadilan.

2. Pengadilan

Pengadilan memiliki fungsi membuat keputusan hukum terhadap warga masyarakat yang
melakukan pelanggaran terhadap norma-norma hukum. Keputusan pengadilan selain berdasarkan
norma hukum, juga mempertimbangkan nilai-nilai kepatutan dan kesusilaan yang berlaku, hidup
dan berkembang dalam masyarakat.

3. Adat istiadat

Adat istiadat pada umumnya mengandung norma-norma yang bersumber pada ajaran-ajaran
agama atau keyakinan masyarakat. Adat istiadat memiliki peran penting dalam pengendalian sosial
karena dapat saja orang lebih menghormati dan taat kepada adat dari pada terhadap hukum
tertulis. Namun, adat istiadat juga dapat melengkapi aturan-aturan hukum tertulis.

4. Agama

Di dalam agama terdapat ajaran tentang perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang dianjurkan,
diperintahkan ataupun diperbolehkan. Dalam ajaran agama juga terdapat system sanksi dan
ganjaran atau pahala. Perbuatan-perbuatan yang dilarang agama diklasifikasikan sebagai perbuatan
dosa yang diancam dengan hukuman atau siksa neraka di akhirat.

5. Lembaga pendidikan

Melalui pendidikan orang mempelajari, mengakui dan membiasakan diri bertindak sesuai dengan
nilai-nilai dan norma sosial yang berlaku dimasyarakatnya, sehingga lembaga pendidikan memegang
peran penting dalam pengendalian sosial.

6. Tokoh masyarakat

Tokoh masyarakat adalah individu-individu yang memiliki kemampuan, pengetahuan, perilaku, usia,
atau kedudukan yang dipandang penting oleh anggota masyarakat. Peran tokoh masyarakat dalam
pengendalian sosial antara lain: mendamaikan persilisihan, memberikan nasehat kepada warga yang
telah/akan melakukan penyim-pangan, dan sebagainya.
E. Efektivitas pengendalian sosial
Apakah pengendalian sosial itu selalu efektif untuk mendorong atau memaksa warga masyarakat
agar selalu conform dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial (yang dengan demikian
menyebabkan masyarakat selalu berada dalam keadaan tertib)?

Ternyata tidak. Sebagaimana halnya dengan proses sosialisasi. Usaha pengendalian sosial pun tidak
selalu berhasil, untuk menjamin terselenggaranya keteraturan sosial.

Menurut Soetandyo Wignyosubroto ada beberapa faktor dalam masyarakat yang ikut menentukan
efektif atau tidaknya pengendalian sosial, yaitu:

1. Menarik-tidaknya kelompok bagi anggota-anggotanya; semakin menarik, suatu kelompok semakin


efektif dalam melakukan pengendalian sosial

2. Otonomi-tidaknya kelompok; semakin otonom suatu kelompok (yang ditandai oleh kesadaran
para anggota kelompok bahwa di luar kelompoknya tidak terdapat banyak kelompok serupa) maka
pengendalian sosial semakin efektif

3. Beragam tidaknya norma yang berlaku dalam kelompok; semakin banyak norma semakin besar
potensi terjadinya anomie

4. Besar kecilnya kelompok; semakin besar kelompok, pengendalian sosial semakin tidak efektif

5. Anomie-tidaknya kelompok; semakin anomie pengendalian sosial semakin tidak efektif


BAB VI.
PENGENDALIAN SOSIAL

A. Pengertian
Pengendalian sosial adalah suatu proses yang direncanakan maupun tidak direncanakan yang
bertujuan untuk mengajak, membimbing, bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-
nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Jadi pengendalian sosial merupakan usaha
untuk mencegah dan mengatasi terjadinya perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai dan norma-
norma yang berlaku di masyarakat.

B. Cara-cara dan Sifat-sifat Pengendalian Sosial

1. Cara Pengendalian Sosial


Pelaksanaan pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu, individu terhadap
kelompok, kelompok terhadap individu, kelompok terhadap kelompok. Pelaksanaan pengendalian
sosial dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

a) Persuasif, yaitu pengendalian sosial yang dilakukan dengan cara mengajak, membujuk,
membimbing, individu atau kelompok untuk mematuhi norma-norma yang berlaku di
masyarakat.
b) Koersif, yaitu pengendalian sosial yang dilakukan dengan cara memaksa atau bahkan dengan
kekerasan.
c) Kompulsi, yaitu pengendalian sosial yang dilakukan dengan cara suatu situasi sedemikian rupa
sehingga seseorang terpaksa taat atau merubah perilakunya yang negatif.
d) Pervasi, yaitu pengendalian sosial yang dilakukan dengan cara menyampaikan nilai-nilai dan
norma-norma sosial secara berulang-ulang dengan harapan nilai-nilai dan norma-norma
tersebut dapat merasuk dan melekat dalam jiwa seseorang sehingga orang tersebut akan
berubah dan terbentuk sikap dan perilakunya.
2. Sifat-sifat Pengendalian Sosial
a) Preventif, yaitu usaha yang dilakukan sebelum terjadinya pelanggaran, tujuannya adalah
untuk mencegah terjadinya pelanggaran.
b) Represif, yaitu usaha yang dilakukan sesudah terjadi pelanggaran dengan tujuan untuk
memulihkan keadaan kepada situasi semula sebelum terjadi pelanggaran.

C. Jenis-jenis Pengendalian Sosial


1. Gosip (desas-desus), yaitu berita yang menyebar secara cepat dan tidak berlandaskan fakta atau
kenyataan. Jadi isi gosip itu belum tentu benar. Adanya gosip dapat membuat orang sadar akan
perbuatannya yang menyimpang dan lebih berhati-hati dalam bertingkah laku. Gosip atau desas-
desus ini terjadi pada saat kritik sosial secara terbuka tidak dapat dilontarkan.
2. Cemoohan atau ejekan, masyarakat biasanya melakukan cemoohan atau ejekan terhadap orang-
orang yang berperilaku menyimpang. Dengan cemoohan atau ejekan tersbut diharapkan dapat
membuat orang yang melakukan penyimpangan tersebut menyadari kesalahannya dan kembali
mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku, dan menjadi berhati-hati untuk tidak
melakukannya lagi.
3. Teguran, teguran dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara lisan dan cara tertulis.
Teguran dapat dilakukan secara vertikal maupun horisontal. Dengan teguran ini diharapkan orang
yang melakukan penyimpangan dapat segera menyadari kesalahannya dan segera memperbaiki
dirinya.
4. Hukuman, merupakan alat pengendalian sosial yang paling ampuh, karena disertai dengan
sanksi-sanksi yang tegas. Adanya aturan hukum yang jelas dengan sanksi-sanksi yang tegas akan
mampu membuat warga masyarakat mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat, dan membuat jera bagi mereka yang pernah melanggar hukum, sehingga tidak
mengulangi lagi perbuatan yang menyimpang.
5. Pendidikan, merupakan alat pengendalian sosial yang sudah melembaga dalam masyarakat.
Melalui pendidikan warga masyarakat dibimbing untuk mematuhi nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku di masyarakat sehingga mereka tidak melakukan perilaku menyimpang.
6. Agama, ajaran agama memberikan pedoman kepada pemeluknya tentang perbuatan-perbuatan
yang boleh dikerjakan dan yang tidak boleh dikerjakan. Seseorang yang bergama apabila melakukan
penyimpangan akan selalu merasa berdosa dan bersalah, yang sulit untuk dilupakan, karena
pelanggaran terhadap ajaran agama juga ada sanksinya. Meskipun sanksinya mungkin tidak
diterima di dunia, orang akan takut melanggarnya, dan orang yang melanggara dapat kembali
bertaubat atau patuh kembali kepada ajaran agamanya.
7. Ostrasisme, yaitu suatu situasi dimana seseorang diperbolehkan bekerjasama atau
membiarkannya hidup dan bekerja dalam kelompok itu, tetapi tidak seorangpun yang mau
berbicara dengannya, bahkan ditegurpun tidak. Orang yang menerima perlakuan seperti ini adalah
orang-orang yang berperilaku menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma kelompok atau
masyarakatnya.
8. Fraudulens, merupakan bentuk pengendalian sosial dengan jalan mengadukan atau meminta
bantuan kepada orang lain dalam mengatasi perilaku yang menyimpang. Hal ini pada umumnya
berlaku pada anak kecil. Orang dewasa kadang-kadang juga melakukan perbuatan seperti ini. Jika ia
tidak berani menghadapi lawan, ia minta bantuan kepada backingnya.
9. Intimidasi, merupakan pengendalian sosial yang dilakukan dengan paksaan, yaitu dengan cara
menekan, memaksa, mengancam, atau menakut-nakuti. Tujuannya adalah agar orang yang
melakukan penyimpangan atau pelanggaran menjadi takut sehingga ia mengakui pelanggarannya.
10. Kekerasan fisik, yaitu pengendalian sosial yang dilakukan dengan cara penganiayaan fisik,
misalnya memukul, menendang, dsb.

D. Bentuk-bentuk Pengendalian Sosial


Ada beberapa bentuk pengendalian yang dilakukan dalam masyarakat tradisional maupun
mayarakat modern, yaitu:

1. Menanamkan atau mempertahankan keyakinan para anggota kelompok masyarakat akan


adanya peraturan-peraturan atau norma-norma yang masih berlaku.
2. Menunjukkan sikap bangga atau memberikan penghargaan-penghargaan tertentu bagi
anggota-anggota kelompok masyarakat yang dianggap patuh pada norma-norma yang
berlaku.
3. Mempertebal rasa percaya diri, keberanian membela kebenaran, dan rasa tanggung jawab
terhadap apa yang diperbuat.
4. Menciptakan lembaga-lembaga tertentu yang berhubungan dengan pemeliharaan tata
tertib, kesopanan, dan atau memberikan sanksi-sanksi yang tegas terhadap para anggota
yang melakukan penyimpangan.
5. Memberikan contoh-contoh konkrit tentang cara-cara bersikap dan bergaul dalam
kehidupan masyarakat.

E. Peran Lembaga-lembaga Sosial Dalam Mengendalikan Perilaku Menyimpang

1. Kepolisian, mempunyai tugas utama mengayomi masyarakat dan menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat.
2. Pengadilan, mempunyai tugas dan wewenang untuk menyelidiki, mengusut, dan
menjatuhkan hukuman kepada warga masyarakat yang melakukan perilaku menyimpang
atau melanggar hukum.
3. Adat/Pengadilan Adat, mempunyai tugas mengawasi atau mengendalikan perilaku warga
masyarakat, dan mengadili warga masyarakat yang melakukan perilaku menyimpang.
4. Tokoh masyarakat, yaitu pemimpin dalam masyarakat baik yang bersifat formal (seperti
Kepala Desa, Camat, Bupati, dsb), maupun yang bersifat in formal (seperti ulama, tokoh
adat, dsb.). Mereka melakukan pengendalian sosial terhadap warga masyarakat dengan cara
mendidik, menasehati, menegur, memberikan pengarahan, dsb. Agar mematuhi nilai-nilai
dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
5. Sekolah, memiliki peranan melakukan pengendalian sosial khususnya terhadap murid-
muridnya, dengan cara mendidik, membimbing, dan menasehati agrar mematuhi nilai-nilai
dan norma-norma yang belaku, dan memberikan hukuman bagi mereka yang melanggar.
6. Keluarga, memiliki peranan melakukan pengendalian sosial khususnya terhadap anggota
keluarganya, dengan cara mendidik atau mensosialisasikan anak dengan nilai-nilai dan
norma-norma yang baik, menasehati, menegur, dll. Terhadap anggota keluarga yang
berperilaku menyimpang.
7. Mahasiswa (Perguruan Tinggi), mempunyai peranan dalam melakukan pengendalian sosial
dengan cara memprotes tokoh masyarakat, pejabat pemerintah, dll yang dianggap
menyimpang dari nilai-nilai dan norma-norma sosial, hukum, serta merugikan masyarakat
dan negara.

Anda mungkin juga menyukai