Anda di halaman 1dari 75

1

LEMBARAN DAERAH
KABUPATEN SUMBA TIMUR
TAHUN 2010 NOMOR 206

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA TIMUR


NOMOR 12 TAHUN 2010

TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUMBA TIMUR


TAHUN 2008 - 2028

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI SUMBA TIMUR,

Menimbang: a. bahwa untuk mengarahkan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten


Sumba Timur secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras,
seimbang dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat,
dan pertahanan keamanan, perlu disusun rencana tata ruang wilayah;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan keterpaduan pembangunan antar
sektor, daerah dan masyarakat, maka rencana tata ruang wilayah
merupakan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan
Pemerintah, masyarakat, dan/ atau dunia usaha;
c. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 25 Tahun 1998
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumba Timur sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dewasa ini sehingga
perlu ditinjau kembali;
d. bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun
2008 tentang RTRW Nasional, dan Peraturan Daerah Provinsi Nusa
Tenggara Timur Nomor 9 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2006 – 2020, maka strategi
dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah nasional dan
provinsi perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c dan huruf d, perlu membentuk Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumba Timur Tahun 2008-
2028;

Mengingat: 1. Undang–Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-


daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1655);
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok

BAGIAN HUKUM
Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor
104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); 1
3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak
Atas Tanah Dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2324);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981
Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3209);
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
6. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3419);
7. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469) ;
8. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);
9. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya
Tanaman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 46,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3478);
10. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara
Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
11. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881);
12. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3888), sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4401);
13. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 3, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169);
14. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1226);
15. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
16. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
17. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377);

BAGIAN HUKUM
18. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 1
Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4389);
19. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4421);
20. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4433);
21. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
22. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4438);
23. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4444);
24. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
25. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
26. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4739);
27. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4849);
28. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
29. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4955);
30. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
31. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
32. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025 );

33. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

BAGIAN HUKUM
Pengelolaan Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 1
Nomor 5059);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan
Ganti Kerugian Oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan Dengan Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3014);
35. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3294);
36. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1987 tentang Penyediaan dan
Penggunaan Tanah untuk Keperluan Pemakaman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3350);
37. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan
Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3373);
38. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak
dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata cara Peran Serta Masyarakat
dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3660);
39. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3747);
40. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka
Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3776);
41. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisa Dampak
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3838);
42. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian
Peta Untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3934);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242);
44. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385);
45. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 147,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4453);
46. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan
Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4490);

47. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman

BAGIAN HUKUM
Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
1
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
48. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4624);
49. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan
Pemerintahan Daerah Kabupaten / Kota (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4737);
50. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi
Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4815);
51. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan Tata Cara
Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana
Pembangunan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4817);
52. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2008 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4856);
53. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 151,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070);
54. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010
Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5103);
55. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 1998 tentang
Penyelenggaraan Penataan Ruang di Daerah;
56. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 1998 tentang Tata Cara
Peran serta Masyarakat Dalam Proses Perencanaan Tata Ruang di
Daerah;
57. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang
Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintah Daerah;
58. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan.
59. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pedoman
Penyiapan Sarana dan Prasarana dalam Penanggulangan Bencana;
60. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 51 Tahun 2007 tentang
Pembangunan Kawasan Perdesaan Berbasis Masyarakat;
61. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 Tahun 1999 tentang Izin
Lokasi;
62. Peraturan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor 9 Tahun 2005
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2006 – 2020 (Lembaran Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tahun 2005 Nomor 25);
63. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Pembentukan Kecamatan Kambata Mapambuhang dan Kecamatan
Kambera (Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Tahun 2007 Nomor
25, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 144);

BAGIAN HUKUM
64. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 7 Tahun 2007 tentang
Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 27 1
Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan Matawai La Pawu
(Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Tahun 2007 Nomor 26,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 145);
65. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 17 Tahun 2007
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur
Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan Karera,
Kecamatan Kahaungu Eti dan Kecamatan Wulla Waijelu (Lembaran
Daerah Kabupaten Sumba Timur Tahun 2007 Nomor 142, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 155);
66. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 18 Tahun 2007
tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur
Nomor 28 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kecamatan Nggaha Ori
Angu (Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Tahun 2007 Nomor
143, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 156);
67. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 19 Tahun 2007
tentang Pembentukan Kecamatan Lewa Tidahu, Kecamatan Katala Hamu
Lingu, Kecamatan Kanatang, Kecamatan Ngadu Ngala dan Kecamatan
Mahu (Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Tahun 2007 Nomor
144, Tambahan Lembaran Daerah Kabupetan Sumba Timur Nomor 157);
68. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 1 Tahun 2008 tentang
Urusan Pemerintahan Yang Menjadi Kewenangan Kabupaten Sumba
Timur (Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Tahun 2008 Nomor
151, Tambahan Lembaran Daerah Kabupetan Sumba Timur Nomor 161);
69. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 4 Tahun 2008
tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas - Dinas Daerah
( Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Tahun 2008 Nomor 154,
Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 164);
70. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 5 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat, Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah dan Lembaga Teknis Daerah (Lembaran Daerah
Kabupaten Sumba Timur Tahun 2008 Nomor 155, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 165);
71. Peraturan Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 15 Tahun 2008
tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten
Sumba Timur Tahun 2005 - 2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Sumba
Timur Tahun 2008 Nomor 191, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten
Sumba Timur Nomor 175);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH


KABUPATEN SUMBA TIMUR
dan
BUPATI SUMBA TIMUR

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG


WILAYAH KABUPATEN SUMBA TIMUR TAHUN 2008 – 2028.

BAGIAN HUKUM
BAB I
1
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :


1. Daerah adalah Kabupaten Sumba Timur.
2. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
3. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
4. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Sumba Timur.
5. Bupati adalah Bupati Sumba Timur.
6. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan atau aspek fungsional.
7. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk
ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain
hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
8. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
9. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana
dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
10. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi
peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
11. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
12. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
13. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang.
14. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan ruang
yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat.
15. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui
pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang.
16. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang
dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
17. Perencanaan tata ruang adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan
pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.
18. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang
sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program
beserta pembiayaannya.
19. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.
20. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
21. Sistem wilayah adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai jangkauan
pelayanan pada tingkat wilayah.
22. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten yang selanjutnya disingkat RTRW Kabupaten
adalah rencana tata ruang wilayah kabupaten di Sumba Timur.
23. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya.
24. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi
kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya
buatan.
25. Kawasan budi daya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan.
26. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian,
termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai
tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan
kegiatan ekonomi.

BAGIAN HUKUM
27. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan 1
dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
28. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan
pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber
daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarkhi
keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
29. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan
negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau
lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
30. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi,
sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
31. Kawasan strategis kabupaten/kota adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup
kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
32. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa
provinsi.
33. Pusat Kegiatan Wilayah yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan
yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
34. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
35. Kawasan Prioritas adalah kawasan yang dianggap perlu diprioritaskan penanganannya
serta memerlukan dukungan penataan ruang segera dalam kurun waktu perencanaan.
36. Kawasan Potensial adalah kawasan yang memiliki peran untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi bagi kawasan sekitarnya serta dapat mewujudkan pemerataan
pemanfaatan ruang.
37. Kawasan Pengendalian Ketat adalah kawasan yang memerlukan pengawasan secara
khusus dan dibatasi pemanfaatannya untuk mempertahankan daya dukung, mencegah
dampak negatif, menjamin proses pembangunan yang berkelanjutan.
38. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang
penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh
secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
39. Satuan Wilayah Pengembangan yang selanjutnya disingkat SWP adalah suatu wilayah
dengan satu dan/atau semua kabupaten/kota-perkotaan didalamnya mempunyai
hubungan hirarki yang terikat oleh sistem jaringan jalan sebagai prasarana
perhubungan darat, dan/atau yang terkait oleh sistem jaringan sungai atau perairan
sebagai prasarana perhubungan air.
40. Energi baru dan terbarukan adalah bentuk energi yang dihasilkan oleh teknologi baru.
41. Energi terbarukan adalah bentuk energi yang dihasilkan dari sumberdaya energi yang
secara alamiah tidak akan habis dan dapat berkelanjutan jika dikelola dengan baik.
42. Ekosistem adalah sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya.
43. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan masa
kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang.
44. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan ekosistem untuk mendukung kehidupan
organisme secara sehat sekaligus mempertahankan produktifitas, kemampuan adaptasi
dan kemampuan memperbarui diri.
45. Ramah lingkungan adalah suatu kegiatan industri, jasa dan perdagangan yang dalam
proses produksi atau keluarannya mengutamakan metoda atau teknologi yang tidak
mencemari lingkungan dan tidak berbahaya bagi makhluk hidup.

BAGIAN HUKUM
BAB II
1
AZAS, TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Bagian Kesatu
Asas

Pasal 2

RTRW Kabupaten berdasarkan asas :


a. keterpaduan;
b. keserasian, keselarasan, dan keseimbangan;
c. keberlanjutan;
d. keberdayagunaan dan keberhasilgunaan;
e. keterbukaan;
f. kebersamaan dan kemitraan;
g. pelindungan kepentingan umum;
h. kepastian hukum dan keadilan; dan
i. akuntabilitas.

Bagian Kedua
Tujuan

Pasal 3

Tujuan penataan ruang wilayah adalah untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan berdasarkan daya dukung dan fungsi kawasan dengan
:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan sehingga
dapat melindungi masyarakat dari kemungkinan terkena bencana alam;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya
buatan untuk memperkuat struktur perekonomian sesuai potensi wilayah dan
peningkatan kualitas sumber daya manusia;
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap
lingkungan akibat pemanfaatan ruang untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan;
d. terwujudnya ruang wilayah Kabupaten Sumba Timur yang dapat mendorong minat
investasi dalam bidang peternakan, perkebunan, perikanan dan kelautan, pariwisata,
industri, dan pertanian di berbagai bagian wilayah Kabupaten.

Bagian Ketiga
Ruang Lingkup

Pasal 4

Ruang lingkup RTRW Kabupaten meliputi :


a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kabupaten;
b. rencana struktur ruang wilayah kabupaten yang meliputi sistem perkotaan di
wilayahnya yang terkait dengan kawasan perdesaan dan sistem jaringan prasarana
wilayah kabupaten;
c. rencana pola ruang wilayah kabupaten yang meliputi kawasan lindung kabupaten dan
kawasan budi daya kabupaten;
d. penetapan kawasan strategis kabupaten;

BAGIAN HUKUM
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi indikasi program utama
jangka menengah lima tahunan; dan 1
f. ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten yang berisi ketentuan
umum peraturan zonasi, ketentuan perizinan, ketentuan insentif dan disinsentif, serta
arahan sanksi.

BAB III
KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG
WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Kebijakan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 5

(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal
3, ditetapkan kebijakan penataan ruang wilayah.
(2) Kebijakan Sistem Perdesaan meliputi:
a. kebijakan pengembangan kawasan perdesaan sesuai potensi di masing-masing
kawasan yang dihubungkan dengan pusat kegiatan pada setiap kawasan
perdesaan.
b. kebijakan memprioritaskan pengembangan kawasan agropolitan untuk mendorong
pertumbuhan kawasan perdesaan di wilayah Kabupaten Sumba Timur.
c.kebijakan mengembangkan pusat desa mulai dari tingkat dusun sampai pusat desa
secara berhirarkhi.
(3) Kebijakan sistem perkotaan yaitu pengembangan sistem perkotaan secara berjenjang
dan bertahap sesuai pengembangan perkotaan secara keseluruhan.
(4) Kebijakan Penetapan Pola Ruang Wilayah Kabupaten
a. kebijakan pelestarian kawasan lindung
1. kebijakan pemantapan fungsi lindung pada kawasan yang
memberi perlindungan kawasan bawahannya;
2. kebijakan pemantapan kawasan perlindungan setempat;
3. kebijakan pemantapan kawasan suaka alam dan pelestarian
alam;
4. kebijakan penanganan kawasan rawan bencana alam;dan
5. kebijakan pemantapan kawasan lindung lainnya.
b. kebijakan pengembangan kawasan budidaya
1. kebijakan pengembangan hutan produksi;
2. kebijakan pengembangan kawasan pertanian;
3. kebijakan pengembangan kawasan pertambangan;
4. kebijakan pengembangan kawasan peruntukan industri;
5. kebijakan pengembangan kawasan pariwisata;
6. kebijakan pengembangan kawasan permukiman pedesaan dan
perkotaan; dan
7. kebijakan pemantapan kawasan konservasi budaya dan
sejarah.
c. kebijakan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya
1. kebijakan mengoptimalkan dan mengendalikan pemanfaatan
ruang pada kawasan lindung dan budidaya;
2. kebijakan pemantapan kawasan lindung sesuai fungsi
perlindungan masing-masing;
3. kebijakan arahan penanganan kawasan budidaya;dan
4. kebijakan pengaturan kelembagaan pengelolaan kawasan
lindung dan budidaya.
(5) Kebijakan Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana Wilayah meliputi :

BAGIAN HUKUM
a. kebijakan pengembangan transportasi jalan raya
1 pengembangan jaringan jalan untuk mendukung kelancaran pergerakan dan 1
pertumbuhan wilayah;dan
2 pengembangan infrastruktur jaringan pergerakan berupa terminal untuk
mendukung pertumbuhan wilayah.
b. kebijakan pengembangan transportasi laut
1. pengembangan akses eksternal wilayah dalam lingkup yang lebih luas;
2. pengembangan jaringan transportasi laut untuk membuka keterisolasian
wilayah kabupaten;
3. pengembangan akses internal kawasan yang menghubungkan simpul-simpul
kegiatan untuk mendukung potensi industri;
4. optimalisasi pelayanan pelabuhan maupun sarana pendukung;
5. optimalisasi pelayanan pelabuhan dari segi sosial ekonomi;dan
6. penyiapan kelembagaan operasional pengelola kawasan pelabuhan.
c.kebijakan pengembangan transportasi udara
1. optimalisasi penerbangan komersil;
2. optimalisasi tingkat pelayanan bandar udara sesuai dengan hierarki yaitu
bandar udara pengumpul;
3. optimalisasi tingkat kenyamanan dan keselamatan penerbangan;dan
4. pengembangan Bandar Udara Umbu Mehang Kunda dari hierarki pengumpul
skala pelayanan tersier menjadi skala pelayanan sekunder untuk mendukung
pengembangan di Kabupaten Sumba Timur.
d. kebijakan pengembangan prasarana telekomunikasi
1. peningkatan jangkauan pelayanan dan kemudahan mendapatkannya;dan
2. peningkatan jumlah dan mutu telekomunikasi tiap wilayah.
e. kebijakan pengembangan prasarana pengairan
1. peningkatan sistem jaringan pengairan;dan
2. optimalisasi fungsi dan pelayanan prasarana pengairan.
f. kebijakan Pengembangan Prasarana Energi / Listrik
1. optimalisasi tingkat pelayanan;
2. perluasan jangkauan listrik sampai ke pelosok desa;
3. peningkatan kapasitas dan pelayanan melalui sistem koneksi antar wilayah
kabupaten.
g. kebijakan pengembangan prasarana lingkungan
1. pereduksian sumber timbunan sampah;
2. optimalisasi tingkat penanganan sampah perkotaan;
3. optimalisasi tingkat penanganan sampah perdesaan;
4. penetapan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH);dan
5. perwujudan lingkungan permukiman yang sehat dan bersih.

Bagian Kedua
Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 6

(1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, ditetapkan strategi penataan ruang wilayah.
(2) Strategi Sistem Perdesaan meliputi :
a. mengembangkan kawasan perdesaan sesuai potensi di masing-masing kawasan
yang dihubungkan dengan pusat kegiatan pada setiap kawasan perdesaan,
meliputi:
1. mengembangkan kawasan perdesaan berbasis hasil perkebunan;

BAGIAN HUKUM
2. meningkatkan pertanian berbasis hortikultura;
3. mengembangkan pusat pengolahan dan hasil pertanian; dan 1
4. mengembangkan pusat produksi di kawasan perdesaan.
b. memprioritaskan pengembangan kawasan agropolitan untuk mendorong
pertumbuhan kawasan perdesaan di wilayah Kabupaten Sumba Timur.
1. mendorong peningkatan produksi, pengolahan dan pemasaran produk
pertanian unggulan sebagai satu kesatuan sistem;
2. mengembangkan fasilitas dan infrastruktur penunjang agropolitan; dan
3. mengembangkan kelembagaan penunjang agropolitan.
c. mengembangkan pusat desa mulai dari tingkat dusun sampai pusat desa secara
berhierarki.
1. mengembangkan kawasan perdesaan melalui desa pusat pertumbuhan
berdasarkan potensi ekonomi;
2. mengembangkan pusat kawasan perdesaan terpadu mandiri; dan
3. meningkatkan interaksi antara pusat kegiatan perdesaan dan perkotaan secara
bersinergi.
(3) Strategi sistem perkotaan yaitu pengembangan orde perkotaan secara berjenjang dan
bertahap sesuai pengembangan perkotaan secara keseluruhan.
a. mengembangkan perkotaan utama di Kabupaten Sumba Timur sebagai pusat
kegiatan wilayah;
b. mendorong dan mempersiapkan perkotaan di Kecamatan Lewa, Kecamatan
Karera, Kecamatan Haharu dan Kecamatan Umalulu sebagai pusat sistem
perwilayahan;
c. menjalin kerjasama dengan perkotaan di kabupaten lainnya di Pulau Sumba untuk
menunjang dan mempercepat perkembangan sistem perkotaan di Pulau Sumba;
dan
d. memantapkan potensi Perkotaan Waingapu yang berkedudukan sebagai PKW agar
dapat meningkatkan potensinya sebagai PKN di masa yang akan datang.
(4) Strategi Penetapan Pola Ruang Wilayah Kabupaten, meliputi :
a. strategi pelestarian kawasan lindung
1. strategi pemantapan fungsi lindung pada kawasan yang memberi
perlindungan kawasan bawahannya.
a) pengembalian fungsi pada kawasan yang mengalami kerusakan, melalui
penanganan secara teknis dan vegetatif;
b) pada kawasan yang memberi perlindungan kawasan bawahannya tetapi
terjadi alih fungsi untuk budidaya maka perkembangannya dibatasi dan
dikembangkan tanaman yang memiliki fungsi lindung;
c) kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan resapan air harus
dipertahankan;
d) kawasan yang termasuk hulu DAS harus dilestarikan dengan
pengembangan hutan atau perkebunan tanaman keras tegakan tinggi;
e) peningkatan peran serta dari masyarakat sekitar kawasan; dan
f) peningkatan kesadaran akan lingkungan melalui pendidikan, pariwisata,
penelitian dan kerjasama pengelolaan kawasan.
2. strategi pemantapan kawasan perlindungan setempat
a) pembatasan kegiatan yang tidak berkaitan dengan perlindungan
setempat;
b) kawasan perlindungan setempat sepanjang sungai dibatasi untuk
kepentingan pariwisata;
c) kawasan perlindungan setempat sekitar waduk dan mata air, dibatasi untuk
pariwisata dan menghindari bangunan radius pengamanan kawasan dan
mengutamakan vegetasi yang memberikan perlindungan waduk dan mata
air;

BAGIAN HUKUM
d) pengamanan kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai dilakukan
1
dengan mempertahankan ekosistem pantai, terumbu karang dan rumput
laut;
e) penggunaan fungsional seperti pariwisata, pelabuhan, pertahanan dan
keamanan, permukiman, dan industri harus memperhatikan kaidah
lingkungan dan ekosistem pesisir; dan
f) pemanfaatan sumber air dan waduk untuk irigasi dilakukan dengan tetap
memperhatikan keseimbangan pasokan air dan kebutuhan masyarakat
setempat.
3. strategi pemantapan kawasan suaka alam dan pelestarian alam
a) kawasan ini hanya diperuntukkan bagi kegiatan yang berkaitan dengan
pelestarian kawasan;
b) memelihara habitat dan ekosistem khusus yang ada dan sifatnya
setempat;
c) meningkatan nilai dan fungsi kawasan dengan menjadikan kawasan
sebagai tempat wisata, obyek penelitian, dan kegiatan pecinta alam;
d) pada kawasan hutan yang mengalami alih fungsi dilakukan pembatasan dan
pengembalian fungsi lindung; dan
e) peningkatan dan pengembangan kerjasama pengelolaan kawasan.
4. strategi penanganan kawasan rawan bencana alam
a) menghindari kawasan yang rawan terhadap bencana alam, seperti banjir,
tanah longsor dan bencana alam lainnya;
b) pengembangan peringatan dini dari kemungkinan adanya bencana
alam;
c) pengembangan hutan mangrove dan bangunan yang dapat meminimalisasi
bencana abrasi; dan
d) pengurangan debit limpasan permukaan dan peningkatan resapan air
ke dalam tanah.
5. strategi pemantapan kawasan lindung lainnya
a) pada kawasan yang memiliki kekayaan plasma nutfah tidak digunakan alih
fungsi dan dilakukan penjagaan kawasan secara ketat;
b) kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan pengungsian satwa,
ekosistemnya harus dipelihara guna menjaga keberlanjutan kehidupan
satwa dalam skala lokal maupun antar benua;
c) menjadikan kawasan sebagai obyek wisata dan penelitian saat terjadi
pengungsian satwa;
d) pemeliharaan habitat dan ekosistem sehingga keaslian kawasan
terpelihara; dan
e) pelaksanaan kerjasama dalam pengelolaan kawasan.
b. Strategi pengembangan kawasan budidaya
1. strategi pengembangan hutan produksi
a) mengembangkan hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi tetapi tetap
memiliki fungsi perlindungan kawasan;
b) melakukan penanaman dan penebangan secara bergilir;
c) pengolahan hasil hutan;
d) kawasan hutan rakyat diberikan insentif untuk mendorong terpeliharanya
hutan produksi;
e) pada kawasan hutan produksi yang dikonversi harus dilakukan penggantian
lahan untuk pengembangan hutan setidaknya tanaman tegakan tinggi
tahunan yang berfungsi seperti hutan;

BAGIAN HUKUM
f) melakukan kerjasama dengan masyarakat kawasan hutan dalam mengelola
1
hutan sebagai hutan kemasyarakatan.
2. strategi pengembangan kawasan pertanian
a) mempertahankan lahan sawah beririgasi teknis di Kabupaten Sumba Timur;
b) pada lahan yang ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan,
pertanian tanaman pangan diberikan insentif;
c) alih fungi sawah pada kawasan perkotaan yang tidak dapat dihindari harus
dilakukan pencetakan/pengembangan sawah baru yang dilengkapi sistem
irigasi teknis sehingga secara keseluruhan luas sawah beririgasi teknis tidak
berkurang;
d) mengendalikan saluran irigasi tidak boleh diputus atau disatukan dengan
drainase;
e) mengendalikan pendirian bangunan sepanjang saluran irigasi;
f) mengembangkan lumbung desa;
g) mengembangkan pengolahan hasil hortikultura ke arah eksport;
h) melestarikan kawasan hortikultura dengan mengembangkan sebagian lahan
untuk tanaman tegakan tinggi yang memiliki fungsi lindung;
i) mengembalikan lahan perkebunan yang telah mengalami kerusakan dan
alih komoditas menjadi seperti semula;
j) meningkatkan produktivitas dan pengolahan hasil perkebunan;
k) mengembangkan kemitraan dengan masyarakat;
l) mengembangkan usaha kemitraan dengan pengembangan peternakan;
m) mengendalikan kualitas embung dan sungai untuk pengembangan
perikanan darat;
n) mengembangkan sistem mina padi;
o) mengembangkan perikanan tangkap disertai pengolahan hasil ikan laut;
p) menggunakan alat tangkap ikan laut yang ramah lingkungan; dan
q) meningkatkan kualitas ekosistem pesisir untuk menjaga mata rantai
perikanan laut.
3. strategi pengembangan kawasan pertambangan
a) meningkatkan nilai ekonomis hasil pertambangan;
b) meningkatkan pengelolaan lingkungan kawasan pertambangan;
c) kawasan tambang bernilai ekonomis tinggi yang berada pada kawasan
lindung atau permukiman harus melakukan kajian kelayakan ekologis dan
lingkungan, ekonomis dan sosial bila akan dilakukan kegiatan
penambangan;
d) meningkatkan upaya pengembalian rona alam melalui pengembangan
kawasan hutan, atau kawasan budidaya lain seperti tanaman yang
mempunyai fungsi lindung pada area bekas penambangan; dan
e) meningkatkan pencegahan galian liar terutama pada kawasan yang
membahayakan lingkungan.
4. strategi pengembangan kawasan peruntukkan industri
a) mengembangkan industri kecil dan home industri untuk pengolahan hasil
pertanian, peternakan, perkebunan, dan perikanan laut;
b) mengembangkan pusat promosi dan pemasaran hasil industri kecil;
c) meningkatkan kegiatan koperasi usaha mikro, kecil dan menengah, serta
peningkatan investasi;
d) mengembangkan industri yang mengolah bahan dasar hasil tambang;
e) mengembangkan kawasan industri menengah yang non polutif; dan

BAGIAN HUKUM
f) mengembangkan kawasan industri yang ditunjang pelabuhan khusus.
1
5. strategi pengembangan kawasan pariwisata
a) mengembangkan obyek wisata yang berpotensi skala nasional dan
internasional;
b) membentuk zona wisata dengan disertai pengembangan paket wisata;
c) mengembangkan pusat kerajinan;dan
d) meningkatkan promosi wisata, melalui pengadaan kegiatan festival wisata
atau gelar seni budaya, dan penyusunan kalender wisata.
6. strategi Pengembangan kawasan permukiman perdesaan dan perkotaan
a) mengembangkan permukiman perdesaan disesuaikan dengan karakter fisik,
sosial-budaya dan ekonomi masyarakat perdesaan;
b) meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana permukiman perdesaan;
c) meningkatkan kualitas permukiman perdesaan;
d) meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana permukiman perkotaan;
e) meningkatkan kualitas permukiman perkotaan;
f) mengembangkan kawasan transmigrasi lokal;
g) mengembangkan kawasan Kota Terpadu Mandiri;dan
h) mengembangkan perumahan yang terjangkau masyarakat.
7. strategi penetapan kawasan konservasi budaya dan sejarah
a) meningkatkan pengamanan kawasan, benda cagar budaya dan sejarah
dengan melindungi tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai sejarah,
situs purbakala;
b) meningkatkan pemberian insentif bagi yang melestarikan benda cagar
budaya, dan memberikan disinsentif bagi yang melakukan perubahan;
c) pada bangunan bersejarah yang digunakan untuk berbagai kegiatan
fungsional dilakukan pemeliharaan dan larangan perubahan tampilan
bangunan;
d) melindungi tempat sekitar bangunan bersejarah;
e) meningkatkan nilai manfaat melalui kegiatan penelitian dan pariwisata; dan
f) meningkatkan partisipasi masyarakat.
c. Strategi pengelolaan kawasan lindung dan budidaya
1. strategi mengoptimalkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang pada
kawasan lindung dan budidaya
a) menetapkan fungsi kawasan lindung dan budidaya;
b) pemantapan fungsi lindung sesuai peruntukkannya;dan
c) meminimalisasi alih fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya.
2. strategi pemantapan kawasan lindung sesuai fungsi perlindungan
masing-masing
a) melindungi keanekaragaman dan keunikan alam;
b) mengembangkan tanaman pelindung;
c) meningkatkan pengamanan kawasan perbukitan, dan kawasan lainnya yang
mempunyai fungsi resapan air;dan
d) meningkatkan upaya pembatasan perluasan dan penggunaan untuk
keperluan budidaya.
3. strategi arahan penanganan kawasan budidaya
a) menetapkan kawasan yang dapat digunakan untuk budidaya sesuai fungsi
masing-masing serta kawasan budidaya yang digunakan untuk mendukung
fungsi lindung kawasan;

BAGIAN HUKUM
b) optimasi pengembangan kawasan melalui peningkatan nilai ekonomis
1
kawasan, fungsi sosial dan kenyamanan;dan
c) meningkatkan komoditas unggulan yang didukung prasarana
pendukungnya.

4. strategi pengaturan kelembagaan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya


a) meningkatkan peran serta masyarakat di kawasan sekitar; dan
b) meningkatkan kerjasama dengan pihak investor, terkait pengelolaan,
pemberian dana, peningkatan sarana dan prasarana pendukung.
(5) Strategi Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana Wilayah meliputi:
a. strategi pengembangan transportasi jalan raya
1. strategi pengembangan jalan dalam
mendukung pertumbuhan wilayah.
a) mengembangkan jaringan jalan dalam upaya mewujudkan keterpaduan
dengan wilayah Kabupaten Sumba Timur sebagai Pusat Kegiatan Wilayah
(PKW) dengan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) di Kabupaten Sumba Tengah,
Kabupaten Sumba Barat dan Kabupaten Sumba Barat Daya;
b) mengembangkan Jalan Trans Pulau Sumba sebagai Jalan Provinsi yaitu
jaringan jalan mengelilingi Pulau Sumba;
c) mengembangkan jaringan jalan, pengembangan sarana angkutan dan
pengembangan prasarana jalan raya yang mengkases ke pelabuhan;
d) mengembangkan jalan lokal primer yang menghubungkan pusat kabupaten
dengan pusat sistem perwilayahan;
e) mengembangkan jalan menuju Kawasan Agropolitan Umakahauripan untuk
memperlancar pengangkutan hasil-hasil dari kawasan agropolitan;
f) mengembangkan jaringan jalan di wilayah perkotaan Kabupaten Sumba
Timur;dan
g) melakukan pengendalian kemacetan lalu lintas di lokasi-lokasi rawan
kemacetan di perkotaan yang ada di Kabupaten Sumba Timur.
2. strategi pengembangan infrastruktur jaringan
prasarana transportasi pendukung pertumbuhan wilayah berupa terminal.
a) meningkatkan infrastruktur pendukung dan pelayanan terminal penumpang
di Perkotaan Waingapu dan Terminal Penumpang Kambajawa sebagai
terminal penumpang antar Kota Tipe B di Kecamatan Kota Waingapu;dan
b) mengembangkan terminal Tipe C di pusat wilayah pengembangan dan
disetiap kecamatan.
b. strategi pengembangan transportasi laut
1. strategi pengembangan akses eksternal wilayah dalam lingkup yang lebih luas.
a) mengembangkan jalur transportasi laut yang menghubungkan Waingapu
dengan pelabuhan lainnya di Provinsi NTT dan Provinsi lainnya dalam skala
Nasional;
b) meningkatkan kapasitas bongkar muat Pelabuhan Waingapu dengan
pengembangan prasarananya;dan
c) menjalin kerjasama dengan daerah lain untuk mendukung pengembangan
akses eksternal.
2. strategi pengembangan jaringan transportasi laut untuk membuka
keterisolasian wilayah di pulau-pulau Kabupaten Sumba Timur.
a) pembangunan pelabuhan pengumpan di pulau-pulau kecil;
b) pembangunan pelabuhan pengumpan di pantai Selatan Kabupaten Sumba
Timur sebagai akses masuk ke pulau-pulau kecil;dan
c) pembangunan prasarana jalan untuk mendukung kegiatan pelabuhan
pengumpan tersebut.
3. strategi pengembangan akses internal kawasan yang menghubungkan simpul-
simpul kegiatan untuk mendukung potensi industri.

BAGIAN HUKUM
a) mengembangkan jalan penghubung utama dari sentral pengembangan
industri ke pelabuhan;dan 1
b) pembangunan terminal khusus untuk mendukung kegiatan industri.
4. strategi optimalisasi pelayanan pelabuhan maupun sarana pendukung.
a) mengembangkan sarana pendukung pelabuhan pengumpul;
b) mengembangkan sarana pendukung pelabuhan dengan orientasi kegiatan
eksport-import secara langsung;dan
c) mengembangkan terminal barang dan penumpang;
5. strategi optimalisasi pelayanan pelabuhan dari segi sosial ekonomi.
a) meningkatkan pelayanan bongkar muat Pelabuhan Waingapu antar pulau
skala Nasional;dan
b) mengembangkan pelabuhan Waingapu untuk melayani eksport-import.
6. strategi penyiapan kelembagaan operasional pengelola kawasan pelabuhan.
a) penyiapan infrastruktur penunjang pelabuhan;dan
b) memantapkan lembaga pengelola kawasan pelabuhan.
c. strategi pengembangan transportasi udara
1. strategi optimalisasi penerbangan komersil.
a) meningkatkan frekuensi penerbangan domestik ;dan
b) meningkatkan kapasitas layanan Bandar Udara Umbu Mehang Kunda
sehingga mampu didarati pesawat setara Boing 737-400.
2. strategi optimalisasi pelayanan Bandara Umbu Mehang Kunda sesuai dengan
hirarkhi sebagai bandar udara pengumpul skala pelayanan tersier.
a) mengembangkan fasilitas pada areal pendaratan sesuai standar yang
berlaku;dan
b) mengembangkan infrastruktur penunjang pada bangunan terminal bandar
udara sesuai standar pada hirarkhinya.
3. strategi optimalisasi tingkat kenyamanan dan keselamatan penerbangan.
a) pengendalian kawasan sekitar bandara udara sesuai aturan keselamatan
penerbangan;dan
b) pengendalian tinggi bangunan di sekitar kawasan Bandar Udara.
4. strategi pengembangan layanan Bandar Udara Umbu Mehang Kunda dari
pengumpul skala pelayanan tersier menjadi pengumpul skala pelayanan
sekunder untuk mendukung pengembangan di Kabupaten Sumba Timur.
d. strategi pengembangan prasarana telekomunikasi
1. strategi peningkatan jangkauan pelayanan dan kemudahan mendapatkannya.
a) mengembangkan prasarana telekomunikasi meliputi telepon rumah tangga,
telepon umum, dan jaringan telepon seluler;
b) penambahan jumlah tower BTS (Base Transceiver Station) yang dapat
digunakan secara bersama antar Provider yang bisa menjangkau ke seluruh
wilayah di Kabupaten Sumba Timur; dan
c) meningkatkan sistem informasi telekomunikasi pembangunan daerah
berupa informasi berbasis teknologi internet.
2. strategi Peningkatan jumlah dan mutu Telekomunikasi tiap wilayah.
a) pembangunan teknologi Telekomunikasi pada wilayah-wilayah pusat
pertumbuhan;
b) membentuk jaringan telekomunikasi dan informasi yang menghubungkan
setiap wilayah pertumbuhan dengan ibukota kabupaten;
c) pembangunan stasiun Radio dan Televisi pemerintah daerah, serta
repeater-repeaternya untuk mempercepat penyampaian informasi-informasi
satu arah dari pusat pemerintahan ke seluruh pelosok wilayah Kabupaten
Sumba Timur; dan
d) penerapan teknologi Telekomunikasi berbasis teknologi modern.
e. strategi pengembangan prasarana pengairan
1. strategi peningkatan sistem jaringan pengairan.

BAGIAN HUKUM
a) meningkatkan pembangunan jaringan irigasi sederhana dan irigasi setengah
teknis; dan 1
b) meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana pendukung.
2. strategi optimalisasi fungsi dan pelayanan prasarana pengairan.
a) perlindungan terhadap sumber-sumber mata air, daerah resapan air dan
embung;
b) pencegahan terjadinya pendangkalan terhadap saluran irigasi dan
bendungan;
c) mengembangkan waduk baru, bendung, dan cek-dam pada kawasan
potensial; dan
d) pembangunan dan perbaikan sarana pengairan.
f. strategi pengembangan prasarana energi / listrik
1. strategi optimalisasi tingkat pelayanan.
a) mengembangkan jaringan baru untuk wilayah-wilayah hunian yang belum
terlayani fasilitas listrik;
b) penyempurnaan jaringan lama untuk meningkatkan keandalan jaringan;
c) meningkatkan infrastruktur pendukung termasuk komputerisasi sistem
administrasi pelayanan pelanggan;
d) perbaikan sistem pencatatan metering pelanggan/digitalisasi dan
komputerisasi sistem metering pelanggan;
e) optimalisasi pengoperasian dan penggunaan infrastruktur untuk
meningkatkan tingkat pelayanan kepada pelanggan, baik dari segi
kontinuitas suplai tenaga listrik, kecukupan jumlah tenaga listrik yang
memadai serta kualitas tenaga listrik yang memenuhi standard; dan
f) meningkatkan kapasitas Penerangan Jalan Umum (PJU) khususnya pada
waktu malam hari sebagai upaya meningkatkan aktivitas perekonomian
wilayah kabupaten.
2. strategi perluasan jangkauan listrik sampai ke pelosok desa.
a) meningkatkan jaringan listrik pada wilayah pelosok;
b) pengkajian dan pengembangan sistem interkoneksi jaringan tegangan
menengah; dan
c) pengkajian dan pengembangan pembangkit listrik Hybrid untuk wilayah-
wilayah yang secara tekno-ekonomis tidak layak untuk diinterkoneksikan
dengan jaringan listrik PLN.
3. strategi peningkatan kapasitas dan pelayanan melalui sistem koneksi antar
wilayah kabupaten.
a) mengembangkan sistem interkoneksi tegangan menengah di Kabupaten
Sumba Timur dan menggantikan PLTD-PLTD kecil dengan PLTD kapasitas
besar yang dioperasikan terpusat untuk mengurangi biaya bahan bakar dan
meningkatkan kontinuitas suplai tenaga listrik;
b) pengkajian dan pengembangan PLTU sebagai sarana pemenuhan krisis
energi listrik dalam jumlah yang cukup untuk mendukung percepatan
program-program pembangunan khususnya pembangunan dalam bidang
pengembangan industri di Kabupaten Sumba Timur;
c) pengkajian dan pengembangan PLTA kapasitas besar di sepanjang wilayah
aliran Sungai Kambaniru yang cukup untuk mengatasi krisis energi
diseluruh Pulau Sumba;
d) pengkajian dan pengembangan transmisi tegangan tinggi interkoneksi antar
kabupaten di Pulau Sumba sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan
daerah;
e) menjalin kerjasama dengan kabupaten sekitar untuk menunjang
pembangunan sistem interkoneksi Tegangan Tinggi Pulau Sumba;
f) pengkajian dan pengembangan pembangkit listrik Hybrid untuk wilayah-
wilayah yang secara tekno-ekonomis tidak memungkinkan untuk
diinterkoneksikan dengan jaringan listrik PLN; dan

BAGIAN HUKUM
g) mengembangkan PLTM yang memanfaatkan potensi energi air di
Bendungan Kambaniru untuk memperkuat kapasitas pembangkit listrik di 1
wilayah Kabupaten Sumba Timur.
g. strategi pengembangan prasarana lingkungan
1. strategi mereduksi sumber timbunan sampah.
a) meminimasi penggunaan sumber sampah yang sukar didaur ulang secara
alamiah;
b) memanfaatkan daur ulang sampah yang memiliki nilai ekonomi;dan
c) mengolah sampah organik menjadi kompos.
2. strategi optimalisasi tingkat penanganan sampah perkotaan.
a) meningkatkan prasarana pengolahan sampah;
b) meningkatkan pengelolaan sampah berkelanjutan; dan
c) mengembangkan TPA yang ramah lingkungan.
3. strategi optimalisasi tingkat penanganan sampah perdesaan.
a) sistem pengolahan sampah komposing; dan
b) meningkatkan Pengolahan sampah untuk mendukung pertanian.
4. strategi menciptakan lingkungan permukiman yang sehat dan bersih.
a) meningkatkan pemenuhan fasilitas septic tank per KK di wilayah perkotaan;
b) meningkatkan penanganan limbah rumah tangga dengan fasilitas sanitasi
per KK juga sanitasi umum pada wilayah perdesaan; dan
c) meningkatkan sanitasi lingkungan untuk permukiman, produksi, jasa, dan
kegiatan sosial ekonomi lainnya.

B A B IV
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 7

(1) Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana
dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat
yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
(2) Struktur Ruang Wilayah Kabupaten meliputi:
a. pengembangan sistem pusat permukiman;
b. pengembangan sistem jaringan transportasi;
c.pengembangan sistem sumber energi dan jaringan tenaga listrik;
d. pengembangan sistem jaringan telekomunikasi;
e. pengembangan sistem jaringan sumber daya air; dan
f. pengembangan prasarana lingkungan.
(3) Struktur pemanfaataan ruang wilayah diwujudkan berdasarkan arahan pengembangan
sistem pusat permukiman perdesaan dan sistem pusat permukiman perkotaan serta
arahan sistem prasarana wilayah.
(4) Struktur pemanfaatan ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi pusat
permukiman perdesaan, pusat permukiman perkotaan, dan prasarana wilayah.

Bagian Kedua
Rencana Pengembangan Sistem Pusat Pelayanan

Paragraf 1
Rencana Pengembangan Sistem Perkotaan

BAGIAN HUKUM
Pasal 8
1
Rencana pengembangan sistem perkotaan dilakukan melalui pengembangan sistem
kota-kota yang sesuai dengan daya dukung sumber daya alam dan daya tampung
lingkungan hidup serta kegiatan dominannya.
Pasal 9

(1) Pengembangan sistem pusat permukiman wilayah kabupaten meliputi pengembangan


pusat permukiman perkotaan dan pusat permukiman perdesaan.
(2) Pusat permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas PKN,
PKW, dan PKL.
(3) Pengembangan pusat permukiman perkotaan dan pusat permukiman perdesaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara teknis diatur pejabat yang berwenang.

Pasal 10

(1) Untuk mewujudkan struktur ruang wilayah, kebijakan pengembangan sistem perkotaan
adalah mengembangkan sistem perkotaan yang memiliki keterkaitan secara
fungsional.
(2) Untuk mengembangkan struktur ruang wilayah meliputi sistem pusat permukiman
perkotaan dan pusat permukiman perdesaan dalam kesatuan hirarki agar berfungsi
sebagai pusat-pusat pertumbuhan, maka rencana pengembangan sistem pusat
permukiman adalah sebagai berikut :
a. memantapkan peranan Kota Waingapu sebagai Ibukota Kabupaten dan pusat
pengembangan wilayah bagi daerah;
b. lebih meningkatkan, mengembangkan dan memantapkan peran kota-kota utama
agar mengurangi kesenjangan perkembangan antar kota ;
c. mengembangkan keterkaitan antar kota secara fungsional melalui peningkatkan
peran dan fungsi; dan
d. mengembangkan desa-desa melalui penetapan desa pusat pertumbuhan sebagai
pusat lokasi distribusi bagi kegiatan ekonomi.

Pasal 11

Sistem pusat permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2),
meliputi:
a. sistem perkotaan;
b. perwilayahan;dan
c. fungsi satuan wilayah pengembangan.

Pasal 12

(1) Sistem perkotaan di Kabupaten Sumba Timur dikaitkan dengan kedudukannya dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yaitu Waingapu sebagai Pusat Kegiatan
Wilayah.
(2) Sistem perkotaan di Kabupaten Sumba Timur kedepan dicanangkan sebagai berikut :
a. PKL meliputi ibukota kecamatan yang berkedudukan sebagai pusat sistem
perwilayahan: Lewa, Karera, Haharu, dan Umalulu,
b. PKL meliputi seluruh ibukota kecamatan di Kabupaten yang berfungsi melayani
perdesaan.
(3) Perwilayahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12, terbagi dalam 5 (lima) wilayah
pengembangan :

BAGIAN HUKUM
a. Sistem Perwilayahan Waingapu
1
Wilayah pengembangan Waingapu meliputi Kecamatan Kota Waingapu,
Kecamatan Kambera, Kecamatan Pandawai, dan Kecamatan Kambata
Mapambuhang. Pusat pengembangannya di Kecamatan Kota Waingapu.
b. Sistem Perwilayahan Lewa
Wilayah pengembangan Lewa meliputi Kecamatan Lewa, Kecamatan Nggaha Ori
Angu, Kecamatan Katala Hamulingu dan Kecamatan Lewa Tidahu. Pusat
pengembangannya di Kecamatan Lewa.

c. Sistem Perwilayahan Karera


Wilayah pengembangan Karera meliputi Kecamatan Karera, Kecamatan
Tabundung, Kecamatan Pinu Pahar, Kecamatan Matawai La Pawu, Kecamatan
Paberiwai, Kecamatan Mahu dan Kecamatan Ngadu Ngala. Pusat
pengembangannya di Kecamatan Karera.
d. Sistem Perwilayahan Haharu
Wilayah pengembangan Haharu meliputi Kecamatan Haharu dan Kecamatan
Kanatang. Pusat pengembangannya di Kecamatan Haharu.
e. Sistem Perwilayahan Umalulu
Wilayah pengembangan Umalulu meliputi Kecamatan Umalulu, Kecamatan
Kahaungu Eti, Kecamatan Rindi, Kecamatan Pahunga Lodu dan Kecamatan Wulla
Waijelu. Pusat Pengembangannya di Kecamatan Umalulu.
(4) Setiap wilayah pengembangan diarahkan mempunyai fungsi wilayah sesuai dengan
potensi wilayah masing-masing.
a. sistem perwilayahan Waingapu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a
diarahkan pada kegiatan utama sebagai berikut :
1. pengembangan kegiatan perdagangan dan jasa;
2. pengembangan kegiatan pertanian;
3. pengembangan kawasan peternakan;
4. pengembangan perikanan;
5. pengembangan kegiatan industri kecil, industri sedang, atau industri besar;
6. pengembangan kegiatan pariwisata dan sarana/prasarana penunjangnya;
7. pengembangan pertambangan; dan
8. pengembangan kehutanan.
b. sistem perwilayahan Lewa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diarahkan
pada kegiatan utama sebagai berikut :
1. pengembangan perkebunan, kehutanan, pertambangan dan industri
pengolahan hasil pertanian dan perkebunan, dan pariwisata;
2. pusat pelayanan pendidikan skala SMU/SMK;
3. pusat pelayanan perdagangan dan jasa; dan
4. pusat pelayanan kesehatan
c. sistem perwilayahan Karera sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c
diarahkan pada kegiatan utama sebagai berikut :
1. pengembangan perkebunan, pertanian, kehutanan, dan pariwisata;
2. pelayanan pemerintahan dan perkantoran skala lokal;
3. pusat pendidikan (SLTA/kejuruan);
4. pusat perdagangan skala lokal; dan
5. pusat pelayanan kesehatan.
d. sistem perwilayahan Haharu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d
diarahkan pada kegiatan utama sebagai berikut :

BAGIAN HUKUM
1. pengembangan kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, industri,
pariwisata, pengembangan perikanan dan pelabuhan serta pertambangan; 1
2. pusat pelayanan pemerintahan skala lokal;
3. pusat pelayanan pendidikan tingkat SMU;
4. pusat pelayanan perdagangan dan jasa; dan
5. pusat pelayanan kesehatan.
e. sistem perwilayahan Umalulu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e
diarahkan pada kegiatan utama sebagai berikut :
1. pusat pelayanan kesehatan skala rumah sakit;
2. pusat pelayanan pendidikan tingkat SMU/SMK; dan
3. pusat pelayanan perdagangan dan jasa, pertambangan dan kehutanan

Paragraf 2
Rencana Pengelolaan Sistem Perkotaan
Pasal 13

Rencana pengelolaan kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud, meliputi :


a. fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat kegiatan ekonomi wilayah,
pusat pengolahan dan distribusi hasil pertanian, perdagangan, jasa, pemerintahan,
pendidikan, kesehatan, serta transportasi, pergudangan dan sebagainya.
b. fungsi perkotaan sebagai pemasok kebutuhan dan lokasi pengolahan
agroindustri dan berbagai kegiatan agrobisnis.
c. kota sebagai pusat pelayanan, pusat prasarana dan sarana sosial
ekonomi sebagai upaya mempengaruhi pedesaan dalam peningkatan produktifitasnya.
d. pembangunan perkotaan yang berkelanjutan melalui upaya menjaga
keseimbangan wilayah terbangun dan tidak terbangun, mengembangkan hutan kota
dan menjaga eksistensi wilayah yang bersifat perdesaan di sekitar kawasan perkotaan.
e. masing-masing wilayah kota, harus merencanakan : penyediaan dan
pemanfaatan ruang terbuka hijau; penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka
nonhijau; dan penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan
kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang
dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial
ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
f. ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud, terdiri dari ruang terbuka
hijau publik dan ruang terbuka hijau privat. Dengan proporsi ruang terbuka hijau pada
wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota, dan proporsi
ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari
luas wilayah kota.

Paragraf 3
Rencana Pengembangan Sistem Perdesaan
Pasal 14

(1) Sistem pusat permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 9 ayat (1) dilakukan dengan membentuk pusat pelayanan desa secara
berhirarkhi.

(2) Pusat permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) disusun berdasarkan pelayanan perdesaan secara berhirarkhi, meliputi :
a. pusat pelayanan antar desa; dan
b. pusat pelayanan desa.

BAGIAN HUKUM
(3) Pusat pelayanan perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
secara berhirarkhi memiliki hubungan dengan pusat kecamatan sebagai kawasan 1
perkotaan terdekat, dan dengan ibukota kabupaten sebagai pusat wilayah
pengembangan.

Paragraf 4
Rencana Pengelolaan Sistem Perdesaan

Pasal 15
Rencana pengelolaan kawasan perdesaan, meliputi :
a. fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
b. rencana pengembangan kawasan agropolitan merupakan alternatif
pembangunan perdesaan melalui keterkaitan kawasan perkotaan-perdesaan untuk
meningkatkan peran perkembangan kawasan perdesaan.

Pasal 16

(1) Rencana pengembangan pusat permukiman perdesaan adalah penataan struktur


ruang pedesaan sebagai sistem pusat permukiman di pedesaan yang berpotensi
menjadi pusat pertumbuhan di perdesaan.
(2) Rencana pengembangan struktur ruang pedesaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) melalui :
a. pembentukan Desa Pusat Pertumbuhan (DPP).
b. pembentukan Pusat Desa.
c. pembentukan Desa Pendukung.
(3) Pengelolaan struktur ruang perdesaan merupakan upaya untuk mempercepat
efek pertumbuhan di kawasan perdesaan.
(4) Setiap pusat pelayanan dikembangkan melalui penyediaan berbagai fasilitas
sosial-ekonomi yang mampu mendorong perkembangan kawasan perdesaan.

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana

Paragraf 1
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi

Pasal 17

(1) Rencana pengembangan sistem jaringan transportasi wilayah mencakup sistem jaringan
transportasi darat, sistem jaringan transportasi laut, dan sistem jaringan transportasi
udara.
(2) Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
transportasi jalan raya serta transportasi penyeberangan;

(3) Sistem jaringan transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
pelabuhan laut dan alur pelayaran.
(4) Sistem jaringan transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup
jaringan rute penerbangan yang membentuk suatu sistem angkutan udara.

BAGIAN HUKUM
1

Pasal 18

(1) Rencana pengembangan sistem prasarana transportasi jalan terdiri dari


prasarana jalan umum yang dinyatakan dalam status, fungsi jalan, sistem jaringan jalan
dan prasarana terminal penumpang jalan.
(2) Pengelompokan jalan berdasarkan status dapat dibagi menjadi jalan nasional,
jalan Provinsi, dan jalan kabupaten.
(3) Pengelompokan jalan berdasarkan fungsi jalan dibagi kedalam jalan arteri,
jalan kolektor, jalan lokal dan jalan lingkungan.
(4) Pengelompokan jalan berdasarkan sistem jaringan jalan terdiri dari sistem
jaringan jalan primer dan sistem jaringan jalan sekunder.
(5) Pengembangan prasarana jalan meliputi arahan pengembangan bagi jalan
nasional, jalan Provinsi, jalan kabupaten dan jalan lingkar pulau sebelah utara.
(6) Pengembangan prasarana jalan meliputi pengembangan jalan baru dan
pengembangan jalan yang sudah ada.

Pasal 19

(1) Rencana pengembangan jalan nasional yaitu pada ruas jalan yang
menghubungkan Kota Waingapu ke Waibakul (Kabupaten Sumba Tengah) –
Waikabubak (Kabupaten Sumba Barat) – Weetabula (Kabupaten Sumba Barat Daya)
dan ruas jalan Waingapu – Napu – Tanambanas – Mamboro – Tanariwu – Weetabula.
(2) Rencana pengembangan jalan Provinsi yaitu pada ruas yang menghubungkan
Kabupaten Sumba Timur ke Kabupaten Sumba Barat, rencana jaringan jalan lingkar
Pantai Utara (Trans Pulau Sumba) dan rencana pengembangan jaringan jalan lingkar
Sumba dengan prioritas sedang yang menghubungkan kota-kota Waitabula-
Waikabubak-Waibakul-Waingapu.
(3) Jalan Provinsi direncanakan mampu dilewati oleh kendaraan-kendaraan berat,
dan kelas jalan direncanakan kelas I dengan muatan sumbu terberat lebih dari 10 ton.
(4) Rencana jaringan jalan kabupaten adalah sebagai berikut :
a rencana pengembangan jaringan jalan kabupaten dilakukan dengan melakukan
peningkatan jalan eksisting yaitu melebarkan jalan dan meningkatkan kualitas
perkerasan jalan.
b penentuan prioritas pengembangan jaringan jalan didasarkan kepada rencana
prioritas pengembangan wilayah.
(5) Rencana pengembangan terminal angkutan di Kabupaten Sumba Timur
sebagai berikut:
a rencana pengembangan terminal di Kota Waingapu dengan klasifikasi Tipe B
sebagai terminal antar kota untuk melayani pergerakan antar wilayah kabupaten,
dan
b rencana pengembangan terminal Tipe C sebagai terminal antar Kecamatan terdiri
dari :
1.rencana pengembangan terminal dalam Kota Waingapu melayani angkutan
umum perkotaan di Kota Waingapu;
2.rencana pengembangan terminal angkutan Tipe-C di Lewa (Sistem
Perwilayahan Lewa);
3.rencana pengembangan terminal angkutan Tipe-C di Karera (Sistem
Perwilayahan Karera);
4.rencana pengembangan terminal angkutan Tipe-C di Haharu (Sistem
Perwilayahan Haharu);
5.rencana pengembangan terminal angkutan Tipe-C di Umalulu (sistem
perwilayahan Umalulu); dan

BAGIAN HUKUM
6.rencana pengembangan terminal Tipe C di Tingkat Kecamatan Kabupaten
Sumba Timur sesuai dengan tingkat kebutuhannya. 1

Pasal 20

Rencana pengembangan dermaga pelabuhan laut di Kabupaten Sumba Timur didasarkan


pada pendekatan sebagai berikut :
1. rencana pengembangan pelabuhan laut mendukung rencana sistem pengembangan
kepulauan di Provinsi Nusa Tenggara Timur;
2. pembangunan pelabuhan mendukung pengembangan ekonomi masyarakat dan
memacu perkembangan wilayah hiterlandnya;
3. pengembangan pelabuhan rakyat menjadi pelabuhan lokal dilakukan pada lokasi-
lokasi yang strategis dalam memperlancar transportasi orang/barang sehingga dapat
memacu percepatan pengembangan wilayah;

Pasal 21

(1) Rencana pengembangan prasarana transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 17 ayat 1, di arahkan sebagai berikut :
a. melakukan pengembangan (perluasan dan pelebaran) dermaga Pelabuhan Laut
Waingapu sehingga dapat melayani kebutuhan pergerakan orang ataupun barang
keluar/masuk Kabupaten Sumba Timur dan kinerja pelayanan pelabuhan dapat
ditingkatkan; dan
b. membuka keterisolasian wilayah terhadap pulau-pulau yang belum terakses
transportasi laut.
(2) Rencana pengembangan pelabuhan di Pulau Sumba adalah sebagai berikut :
a. rencana pengembangan pelabuhan (perluasan dan pelebaran Dermaga Laut
Waingapu) untuk meningkatkan kinerja/pelayanan skala prioritas sedang
Pelabuhan Nasional Waingapu;
b. rencana pengembangan Pelabuhan Waingapu menjadi pelabuhan untuk skala
internasional yang mendukung kegiatan eksport/import dari Pulau Sumba;
c. rencana pembangunan pelabuhan lokal di Pulau Salura untuk membuka
keterisolasian wilayah dan memperlancar pergerakan dari Pulau Sumba
(Kabupaten Sumba Timur) ke Pulau Salura;
d. pembangunan pelabuhan lokal di Desa Katundu sebagai akses menuju pelabuhan
di Pulau Salura; dan
e. pembangunan Pelabuhan Khusus di Warajangga Kecamatan Rindi, Laiwotung
Kecamatan Haharu untuk mendukung pengembangan kegiatan industri.
(3) Rencana pengembangan sistem jaringan transportasi penyeberangan dari pelabuhan
Waingapu dengan rute penyeberangan :
a. Waingapu – Sabu – Kupang (Lintas Kabupaten/ Kota);
b. Waingapu – Aimere – Kupang (Lintas Kabupaten/ Kota);
c. Waingapu – Ende – Kupang (Lintas Kabupaten/ Kota);
d. Waingapu – Borong– Kupang (Lintas Kabupaten/ Kota);
e. Sape – Waingapu (Lintas Provinsi);
f. Waingapu – Benoa (Lintas Provinsi);
g. Waingapu – Surabaya (Lintas Provinsi); dan
h. Waingapu – Labuan Bajo (Lintas Kabupaten/Kota).

Pasal 22

(1) Rencana pengembangan prasarana transportasi udara sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 17 ayat 1 meliputi bandara umum.
(2) Rencana pengembangan Bandar Udara Umbu Mehang Kunda dilakukan sebagai
berikut :

BAGIAN HUKUM
a. bandar udara Umbu Mehang Kunda adalah Bandar Udara Pengumpul skala tersier.
b. rencana peningkatan fasilitas Bandara Umbu Mehang Kunda yaitu fasilitas pada 1
bangunan terminal dan areal pendaratan/ run-way pesawat untuk meningkatkan
keamanan dan kenyamanan penumpang dan keselamatan penerbangan.
c.pengembangan bandara Umbu Mehang Kunda menjadi bandar udara pengumpul
skala sekunder pada masa yang akan datang sejalan dengan peningkatan volume
angkutan orang dan barang yang ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
d. rencana pengembangan bandar udara Laipori sebagai bandar udara pengumpul.

Paragraf 2
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Energi

Pasal 23
(1) Sumberdaya energi adalah sebagian dari sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber energi dan/atau energi baik secara langsung maupun
dengan proses konservasi atau transformasi.
(2) Rencana pengembangan sistem jaringan energi dimaksudkan untuk menunjang
penyediaan jaringan energi listrik dan pemenuhan energi lainnya.
(3) Rencana pengembangan sumberdaya energi akan memberikan masukan
(supply) energi listrik di Wilayah Kabupaten Sumba Timur.
(4) Rencana pengembangan energi baru dan terbarukan oleh pemerintah kabupaten
yang meliputi PLTD, PLTMH, PLTU, PLTA, Mikrohidro, PLTB, PLTS ataupun sistem
Pembangkit gabungan (Hybrid) sesuai dengan potensi energi yang ada di daerah
setempat;
(5) Rencana pengembangan sarana listrik meliputi :
a. pembangunan pembangkit listrik Mikrohidro untuk menambah kapasitas
pembangkit listrik yang sudah ada dengan memanfaatkan aliran sungai
Kambaniru, Kadumbul, dan Melolo;
b. pengkajian dan pengembangan PLTA Kapasitas besar di sepanjang wilayah aliran
Sungai Kambaniru yang cukup untuk mengatasi krisis energi listrik di seluruh
pulau Sumba;dan
c. rencana jaringan energi listrik nasional di Pulau Sumba berupa rencana
pembangunan 3 PLTU yaitu di Waingapu, Waikabubak dan Weetabula.

Paragraf 3
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 24
(1) Prasarana telekomunikasi adalah perangkat komunikasi dan pertukaran
informasi yang dikembangkan untuk sektor publik ataupun swasta (private).
(2) Prasarana telekomunikasi yang dikembangkan, meliputi :
a. sistem kabel;
b. sistem seluler;dan
c. sistem satelit.
(3) Rencana pengembangan prasarana telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terus ditingkatkan perkembangannya hingga mencapai pelosok
wilayah kecamatan dan desa yang belum terjangkau sarana prasarana telekomunikasi
mendorong kualitas perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

BAGIAN HUKUM
(4) Untuk meningkatkan pelayanan di wilayah terpencil, pemerintah
memberi dukungan dalam pengembangan kemudahan jaringan telekomunikasi. 1
(5) Pengelolaan ada di bawah kewenangan pemerintah kabupaten sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Paragraf 4
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Sumber Daya Air
Pasal 25

(1) Prasarana sumber daya air adalah prasarana pengembangan sumber daya
air untuk memenuhi berbagai kepentingan.
(2) Rencana pengembangan prasarana sumber daya air untuk air bersih
diarahkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumber air permukaan dan sumber air
tanah.
(3) Rencana pengembangan prasarana sumber air tanah untuk air bersih dengan
melakukan pengoptimalan mata air dan membangun sumur bor, di Kecamatan Kota
Waingapu, Kambera, Pandawai, Kambata Mapambuhang, Lewa, Nggaha Ori Angu,
Katala Hamu Lingu, Lewa Tidahu, Karera, Tabundung, Pinu Pahar, Matawai La Pawu,
Paberiwai, Mahu, Ngadu Ngala, Haharu, Kanatang, Umalulu, Kahaungu Eti, Rindi,
Pahunga Lodu, dan Wulla Waijelu.
(4) Wilayah sungai lintas kabupaten yaitu Sungai Kadahang di Kecamatan
Haharu.
(5) Pengelolaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. pembangunan prasarana sumber daya air.
b. semua sumber air baku dari dam, embung, waduk/danau, serta sungai - sungai
yang airnya dapat dimanfaatkan secara langsung dan dikembangkan untuk
berbagai kepentingan.
c.zona pemanfaatan DAS dilakukan dengan membagi tipologi DAS berdasarkan
tipologinya.
d. penetapan zona pengelolaan sumber daya air sesuai dengan keberadaan wilayah
sungai tersebut pada zona kawasan lindung tidak diijinkan pemanfaatan sumber
daya air untuk fungsi budidaya.
e. prasarana sumber daya air yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan lintas
wilayah administratif kabupaten/kota, dikoordinasikan oleh pemerintah provinsi.

Paragraf 5
Rencana Pengembangan Sistem Prasarana Lingkungan

Pasal 26

(1) Prasarana lingkungan merupakan arahan pengelolaan prasarana


yang digunakan lintas wilayah administratif.
(2) Prasarana yang digunakan lintas wilayah secara administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
terpadu yang dikelola bersama untuk kepentingan wilayah dan tempat pengelolaan
limbah industri B3 dan non B3, dan pengembangan sistem pengelolaan sampah di
Kecamatan Pandawai.

BAGIAN HUKUM
(3) Rencana pengembangan sistem prasarana lingkungan yang
digunakan lintas wilayah secara administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), 1
adalah :
a. kerjasama antar wilayah dalam hal pengelolaan dan
penanggulangan masalah sampah terutama di wilayah perkotaan.
b. pengalokasian tempat pembuangan akhir sesuai
dengan persyaratan teknis.
c. pengolahan dilaksanakan dengan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan
kaidah teknis.
d. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus
sesuai dengan daya dukung lingkungan.

BAB V
RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUMBA TIMUR

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 27

(1) Pola ruang wilayah menggambarkan rencana sebaran kawasan lindung dan kawasan
budidaya.
(2) Kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kawasan yang
memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat,
kawasan suaka alam dan cagar budaya, dan kawasan rawan bencana alam.
(3) Kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kawasan hutan
produksi, kawasan pertanian, kawasan perikanan dan kelautan, kawasan perkebunan,
kawasan peternakan, kawasan pariwisata, kawasan permukiman, kawasan industri,
kawasan pertambangan, dan kawasan khusus.

Bagian Kedua
Rencana Pengembangan Kawasan Lindung

Pasal 28

Kawasan lindung meliputi :


a. kawasan perlindungan kawasan bawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan suaka alam dan cagar budaya; dan
d. kawasan rawan bencana.

Pasal 29

BAGIAN HUKUM
1
(1) Perlindungan kawasan bawahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a,
meliputi :
a. kawasan hutan lindung;dan
b. kawasan resapan air.
(2) Kawasan hutan lindung di Kabupaten Sumba Timur mencakup wilayah seluas kurang
lebih 118.035 Ha, dengan penyebaran kawasan hutan lindung hampir di seluruh
kecamatan di Kabupaten Sumba Timur.
(3) Kawasan resapan air yang berfungsi untuk perlindungan memberikan ruang yang
cukup bagi peresapan air di Kabupaten Sumba Timur tersebar di 22 Kecamatan
dengan luas kurang lebih 1.770 Ha. Kecamatan yang memiliki daerah resapan air yang
paling luas yaitu Kecamatan Kambata Mapambuhang sebesar 324 Ha.

Pasal 30
(1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b,
meliputi :
a. kawasan sekitar mata air;
b. kawasan sempadan sungai;dan
c. kawasan sempadan pantai.
(2) Kawasan perlindungan setempat kawasan sekitar mata air, paling kurang dengan jari–jari
200 meter di sekeliling mata air.
(3) Kawasan perlindungan setempat kawasan sempadan mata air di Kabupaten Sumba
Timur terdapat di Kecamatan Kota Waingapu yaitu mata air Payeti dan Lakullu.
(4) Kawasan perlindungan setempat kawasan sempadan sungai di Kabupaten Sumba Timur
mencapai kurang lebih 196.233 Ha.
(5) Kawasan perlindungan setempat kawasan sempadan pantai di Kabupaten Sumba Timur
terdapat di 15 kecamatan, yaitu Kecamatan Haharu, Kecamatan Kanatang, Kecamatan
Kambera, Kecamatan Pandawai, Kecamatan Umalulu, Kecamatan Rindi, Kecamatan
Pahunga Lodu, Kecamatan Ngadu Ngala, Kecamatan Karera, Kecamatan Pinu Pahar,
Kecamatan Tabundung, Kecamatan Katala Hamu Lingu, Kecamatan Kota Waingapu,
Kecamatan Wula Waijelu dan Kecamatan Lewa Tidahu. Panjang pantai di wilayah
Kabupaten Sumba Timur kurang lebih 433 km.

Pasal 31
(1) Kawasan suaka alam dan cagar budaya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 huruf c meliputi kawasan Taman Nasional dan kawasan
cagar budaya.
(2) Kawasan Taman Nasional di Kabupaten Sumba Timur,
yaitu Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru dengan luas ± 24.200 Ha dan
Kawasan Taman Nasional Laiwangi–Wanggameti seluas ± 47.014 Ha, yang tersebar
di Kecamatan Tabundung, Kecamatan Matawai La Pawu, Kecamatan Pinu Pahar dan
Kecamatan Karera.
(3) Kawasan suaka alam dan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi situs-situs budaya rumah adat, situs kerajaan dan peninggalan sejarah.
Kawasan Cagar Budaya tersebar di seluruh wilayah kecamatan khususnya di
Kecamatan Karera, Kecamatan Kanatang, Kecamatan Kambera, Kecamatan Umalulu,
Kecamatan Haharu, dan Kecamatan Rindi.

BAGIAN HUKUM
Pasal 32
(1) Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf d, meliputi: 1
a. kawasan rawan banjir.
b. kawasan rawan longsor.
(2) Kawasan rawan banjir dan longsor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan b,
meliputi wilayah: Kecamatan Lewa, Kecamatan Lewa Tidahu, Kecamatan Katala Hamu
Lingu, Kecamatan Karera, Kecamatan Ngadu Ngala, Kecamatan Paberiwai,
Kecamatan Pahunga Lodu, Kecamatan Wula Waijelu, Kecamatan Rindi, Kecamatan
Pandawai, Kecamatan Kambera, Kecamatan Tabundung, Kecamatan Pinu Pahar,
Kecamatan Umalulu dan Kecamatan Tabundung.

Pasal 33
(1) Dalam kawasan lindung di Kabupaten Sumba Timur, terdapat enclave yang berada di
dalam kawasan hutan lindung seluas kurang lebih 3.110 Ha, dan enclave yang berada
di kawasan Taman Nasional Laiwangi – Wanggameti seluas kurang lebih 1.765 Ha,
yang berkaitan dengan perkembangan kegiatan penduduk dan kepemilikan lahan oleh
penduduk asli Kabupaten Sumba Timur .
(2) Keberadaan enclave tersebut tidak mengurangi luasan lahan kawasan hutan lindung di
Kabupaten Sumba Timur sebagaimana disebut dalam Pasal 29 maupun luas lahan
Taman Nasional sebagaimana disebut dalam Pasal 31 diatas.

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya

Pasal 34

Pola pemanfaatan kawasan budidaya meliputi :


a. kawasan hutan;
b. kawasan pertanian;
c. kawasan perikanan dan kelautan;
d. kawasan perkebunan;
e. kawasan peternakan;
f. kawasan pariwisata;
g. kawasan permukiman;
h. kawasan industri;dan
i. kawasan pertambangan.
Pasal 35

(1) Kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a,


meliputi kawasan hutan produksi terbatas, kawasan hutan produksi tetap dan kawasan
hutan produksi yang dapat dikonversi.
(2) Kawasan hutan produksi terbatas di Kabupaten Sumba Timur seluas
kurang lebih 15.231 Ha yang tersebar di Kecamatan Pandawai, Kecamatan Haharu,
Kecamatan Umalulu, Kecamatan Pahunga Lodu, Kecamatan Lewa dan Kecamatan
Karera.
(3) Kawasan hutan produksi tetap di Kabupaten Sumba Timur seluas
kurang lebih 25.000 Ha yang tersebar di Kecamatan Pandawai, Kecamatan Haharu,
Kecamatan Rindi, Kecamatan Lewa, Kecamatan Tabundung dan Kecamatan
Paberiwai.

BAGIAN HUKUM
(4) Kawasan hutan produksi di Kabupaten Sumba Timur seluas kurang
lebih 58.422 Ha yang tersebar di Kecamatan Pandawai, Kecamatan Haharu, 1
Kecamatan Umalulu, Kecamatan Pahunga Lodu, Kecamatan Lewa dan Kecamatan
Karera.

Pasal 36

(1) Kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf b,


meliputi lahan basah/sawah beririgasi dan sawah tadah hujan/pertanian lahan kering.
(2) Lahan sawah di Kabupaten Sumba Timur seluas kurang lebih 28.224 Ha
yang terbagi atas lahan sawah irigasi seluas kurang lebih 19.428 Ha dan lahan sawah
tadah hujan seluas kurang lebih 8.796 Ha. Sedangkan lahan kering terdiri dari lahan
tegalan, perkebunan, dan pekarangan seluas kurang lebih 77.726 Ha.
(3) Lahan pertanian sawah teknis tersebar di tiga kecamatan yaitu Kecamatan
Pandawai, Kambera dan Umalulu dengan total luas kurang lebih 2.699 Ha, sedangkan
lahan setengah teknis tersebar di 8 kecamatan yaitu Kecamatan Pahunga Lodu, Lewa
Tidahu, Rindi, Umalulu, Wula Waijelu, Ngadu Ngala, Lewa dan Pinu Pahar dengan luas
lahan kurang lebih 8.011 Ha.
(4) Daerah irigasi yang tersebar di kecamatan-kecamatan Kabupaten Sumba
Timur antara lain (beserta luasannya), antara lain: (Menurut Kepmen PU Nomor 390
Tahun 2007)
a. D.I Kabundulpola 200 Ha
b. D.I. Kadauki 55 Ha
c. D.I. Kahiri 300 Ha
d. D.I. Kahunggar 165 Ha
e. D.I. Kambuhapang 150 Ha
f. D.I. Kambumuru 150 Ha
g. D.I. Kandoruk 100 Ha
h. D.I. Kangeli 200 Ha
i. D.I. Karinga 214 Ha
j. D.I. Kiriali 75 Ha
k. D.I. Kitena 200 Ha
l. D.I. Kombapari 200 Ha
m. D.I. Kondamara 150 Ha
n. D.I. Kotakau 200 Ha
o. D.I. Laharianang 150 Ha
p. D.I. Lai Timur 150 Ha
q. D.I. Laimbonga 60 Ha
r. D.I. Laikambela 200 Ha
s. D.I. Laikandera 100 Ha
t. D.I. Laikonda 70 Ha
u. D.I. Lailunggi 75 Ha
v. D.I. Laimahi 80 Ha
w. D.I. Laingguhar 120 Ha
x. D.I. Laitena 200 Ha
y. D.I. Lakabu 100 Ha
z. D.I. Lurumbu 60 Ha
aa. D.I. Makaminggit 150 Ha
bb. D.I. Marawatu 200 Ha
cc. D.I. Matawa Iwi 200 Ha
dd. D.I. Matawai Kabaru 65 Ha
ee. D.I. Matawai Kamaimbun 150 Ha
ff. D.I. Matawai Kanjangi 150 Ha
gg. D.I. Matawai Kanoru 75 Ha
hh. D.I. Matawai Kurrang 60 Ha
ii. D.I. Matawai Maringu 60 Ha
jj. D.I. Matawai Mbana 90 Ha

BAGIAN HUKUM
kk. D.I. Maukawau 86 Ha
ll. D.I. Mbalu 54 Ha 1
mm. D.I. Mburukulu I 150 Ha
nn. D.I. Mburukulu II 100 Ha
oo. D.I. Mburukulu IV 150 Ha
pp. D.I. Ngolung 100 Ha
qq. D.I. Pahomba 100 Ha
rr. D.I. Paulunga 100 Ha
ss. D.I. Praing Kareha 150 Ha
tt. D.I. Pulupanjang 100 Ha
uu. D.I. Rakawatu 282 Ha
vv. D.I. Retijawa 120 Ha
ww. D.I. Rutung / Ukaehuk 100 Ha
xx. D.I. Tanahraing II 200 Ha
yy. D.I. Tanalingu 200 Ha
zz. D.I. Tanamiting 100 Ha
aaa. D.I. Tandulalu'u 65 Ha
bbb. D.I. Tatung 310 Ha
ccc. D.I. Tawui 100 Ha
ddd. D.I. Waibara 55 Ha
eee. D.I. Watubara 100 Ha
fff. D.I. Watumbelar 85 Ha
ggg. D.I. Watumoto 100 Ha
hhh. D.I. Wula 543 Ha
iii. D.I. Kawukuliku 50 Ha
jjj. D.I. Waimbidi 30 Ha
kkk. D.I. Watumanu 40 Ha
lll. D.I. Kanjangi 50 Ha
mmm. D.I. Kataka 50 Ha
nnn. D.I. Matawai Hanoi 50 Ha
ooo. D.I. Palaomang 50 Ha
ppp. D.I. Kanatang 45 Ha
qqq. D.I. Kapehu 15 Ha
rrr. D.I. Karita 45 Ha
sss. D.I. Labokang 45 Ha
ttt. D.I. Lolalang 50 Ha
uuu. D.I. Matawai Kawuku 40 Ha
vvv. D.I. Maulewa 25 Ha
www. D.I. Nggurumuni 45 Ha
xxx. D.I. Okatehu 20 Ha
yyy. D.I. Paruru Nggading 40 Ha
zzz. D.I. Prai Marada 20 Ha
aaaa. D.I. Praimbana 48 Ha
bbbb. D.I. Ri Iyang 30 Ha
cccc. D.I. Taimanu 20 Ha
dddd. D.I. Tamburi 50 Ha
eeee. D.I. Tanabara 25 Ha
ffff. D.I. Tangga Madita 45 Ha
gggg. D.I. Tiring 50 Ha
hhhh. D.I. Wudi 20 Ha
(5) Kawasan andalan pertanian di Kabupaten Sumba Timur sebagai berikut :
a. padi terdapat di Kecamatan Lewa, Pahunga Lodu, Wulla Waijelu, Pandawai, Kota
Waingapu, Haharu, Umalulu, Lewa Tidahu dan Kambera;
b. jagung terdapat di Kecamatan Nggaha Ori Angu, Pahunga Lodu, Umalulu, Kota
Waingapu, Kambera, Pandawai, Lewa Tidahu dan Katala Hamu Lingu;
c. kacang tanah terdapat di Kecamatan Lewa, Nggaha Ori Angu, Pinu Pahar,
Paberiwai, Karera, Pahunga Lodu, Wulla Waijelu, Umalulu, Kanatang dan
Haharu;dan
d. kacang hijau terdapat di Kecamatan Umalulu,Haharu, Kambera dan Pandawai.

BAGIAN HUKUM
1
Pasal 37

(1) Kawasan perikanan dan kelautan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf
c meliputi :
a. perikanan darat; dan
b. perikanan laut.
(2) Kawasan perikanan darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi: Pengembangan kawasan perikanan darat yang tersebar pada wilayah–
wilayah yang teraliri air atau dilintasi sungai dan sepanjang daerah aliran sungai.
(3) Pengembangan kawasan perikanan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, meliputi hampir seluruh Kecamatan yang wilayahnya mempunyai akses
secara langsung dengan laut.
(4) Perikanan darat, diantaranya adalah usaha budidaya ikan berupa perairan
umum, tambak dan kolam;
(5) Perikanan laut, meliputi usaha penangkapan ikan di laut yang tersebar di
kawasan pesisir Kabupaten Sumba Timur yang mempunyai wilayah pantai atau
berbatasan dengan laut. Hasil perikanan laut yang potensial lainnya yaitu budidaya
rumput laut dan penangkapan cumi-cumi.
(6) Kecamatan pantai yang potensial untuk usaha budidaya rumput laut sistem
permukaan (long line, rakit) sebanyak 13 kecamatan dan 37 desa/kelurahan yaitu Desa
Praisalura, Desa Praimadita, Desa Hambawutang, Desa Kakaha, Desa Lainjanji, Desa
Lumbumaggit, Desa Hadakamali, Desa Wula, Desa Kaliuda, Desa Mburukulu, Desa
Palanggai, Desa Tanaraing, Desa Rindi, Desa Kayuri, Desa Watuhadang, Kelurahan
Lumbukore, Desa Matawai Atu, Desa Patawang, Desa Wanga, Desa Kadumbul, Desa
Palakahembi, Kelurahan Watumbaka, Kelurahan Kawangu, Kelurahan Kambaniru,
Kelurahan Kamaputi, Kelurahan Hambala, Kelurahan Temu, Desa Kuta, Desa
Hambapraing, Desa Mondu, Desa Rambangaru, Desa Kadahang, Desa Wunga, Desa
Napu, Desa Tarimbang, Desa Wahang, dan Desa Tawui dengan panjang garis pantai
115 km dan luas kurang lebih 559 Ha.
(7) Kawasan Andalan untuk perikanan di Selat Sumba yaitu untuk daerah
pengembangan rumput laut dan Laut Sabu di kembangkan sebagai daerah
pengembangan rumput laut dan areal penangkapan cumi-cumi.

Pasal 38

(1) Pemanfaatan kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34


huruf d, diarahkan di seluruh kecamatan, untuk meningkatkan peran serta, efisiensi,
produktivitas dan keberlanjutan, dengan mengembangkan kawasan industri
masyarakat perkebunan.
(2) Kawasan perkebunan dimaksud pada ayat (1) dikembangkan di setiap
lokasi pengembangan dan sentra produksi yang diselenggarakan dengan
kebersamaan ekonomi dan berwawasan lingkungan.
(3) Kawasan Andalan di sektor perkebunan di Kabupaten Sumba Timur terdiri
dari :
a. kelapa terdapat di Kecamatan Karera, Nggadu Ngala, Wulla Waijelu dan Kambera;
b. kopi terdapat di Kecamatan Nggaha Ori Angu, Tabundung, Paberiwai, Pinupahar
dan Lewa Tidahu;
c. jambu Mente terdapat di Kecamatan Tabundung, Pinu Pahar, Paberiwai, Karera,
Nggadu Ngala dan Mahu;

BAGIAN HUKUM
d. kemiri terdapat di Kecamatan Nggaha Ori Angu, Pahunga Lodu, Nggadu Ngala,
Katala Hamu Lingu, Mahu, Umalulu, Matawai La Pawu, Lewa Tidahu, Tabundung 1
dan Paberiwai;
e. pinang terdapat di Kecamatan Lewa, Karera, Pahunga Lodu, Rindi, Tabundung,
Pinu Pahar, Katala Hamu Lingu dan Lewa Tidahu;
f. kapok terdapat di Kecamatan Paberiwai, Matawai La Pawu, Wulla Waijelu,Lewa
dan Lewa Tidahu;
g. vanili terdapat di Kecamatan Lewa dan Paberiwai; dan
h. sirih terdapat di Kecamatan Tabundung, Paberiwai, Mahu, Nggaha Ori Angu dan
Karera.

Pasal 39

(1) Pemanfaatan kawasan peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf e,


meliputi peternakan ternak besar, peternakan ternak kecil, dan peternakan unggas.
(2) Sentra peternakan kerbau berada pada Kecamatan Lewa, Nggaha Ori Angu,
Paberiwai, Karera, Matawai La Pawu, Kahaungu Eti, Tabundung dan Nggadu Ngala.
(3) Sentra peternakan Kuda berada pada Kecamatan Haharu, Lewa, Umalulu, Pandawai,
Pahunga Lodu, Kanatang dan Rindi
(4) Sentra peternakan Sapi berada pada Kecamatan Nggaha Ori Angu, Paberiwai,
Kahaungu Eti, Rindi, Pahunga Lodu dan Wula Waijelu.
(5) Sentra peternakan ternak kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan lokasi
pengembangan dapat dialokasikan di seluruh kecamatan dengan berpedoman pada
potensi dan unggulan peternakan pada masing-masing kecamatan.
(6) Kawasan peternakan unggas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan lokasi
pengembangan dapat dialokasikan di seluruh kecamatan dengan berpedoman pada
potensi dan unggulan peternakan pada masing-masing kecamatan.

Pasal 40

(1) Kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf f, meliputi kawasan
yang tersebar di seluruh kecamatan di wilayah kabupaten.
(2) Rencana pengembangan pariwisata agar dapat lebih terfokus dan efisien maka
disusun prioritas pengembangan, pada kawasan andalan yaitu:

a. kawasan pariwisata bahari yaitu :


1. kawasan wisata Pantai Kuta (Londa Lima) yang terdapat di Desa Kuta
Kecamatan Kanatang;
2. kawasan wisata Pantai Puru Kambera yang terdapat di Desa Mondu
Kecamatan Kanatang;
3. kawasan wisata Pantai Pinduhurani-Tarimbang-Banggawatu terdapat di
Kecamatan Tabundung;
4. kawasan wisata Pantai Walakiri terdapat di Kelurahan Watumbaka Kecamatan
Pandawai;
5. kawasan wisata Pantai Kalala terdapat di Kecamatan Wulla Waijelu;
6. kawasan wisata Pantai Waihungu, Pantai Katundu dan Pantai Mengkudu
terdapat di Desa Praimadita Kecamatan Karera;
7. kawasan wisata Pantai Mambang terdapat di Desa Kambaru Kecamatan Katala
Hamu Lingu; dan
8. kawasan wisata Pantai Walahi terdapat di Kecamatan Lewa Tidahu.

BAGIAN HUKUM
b. kawasan pariwisata berwawasan lingkungan yaitu :
1
1. air terjun Laputi yang terletak di Desa Praing Kareha Kecamatan Tabundung;
2. air terjun Hirumanu di Desa Kananggar Kecamatan Paberiwai;
3. air terjun Harunda di Desa Bidihunga Kecamatan Lewa;
4. air terjun Maidang di Kecamatan Kambta Mapambuhang;
5. air terjun Ndata di Kecamatan Kanatang;
6. air terjun Waimanjali di Kecamatan Lewa;
7. air terjun Kojamata Jirik di Desa Watumbelar, Kecamatan Lewa Tidahu;
8. air terjun Laindamuki di Desa Pindu Hurani , Kecamatan Tabundung; dan
9. bendungan Kambaniru di Kelurahan Maulumbi Kecamatan Kambera.

c. kawasan pariwisata budaya yaitu :


1. kampung adat Wunga terdapat di Desa Wunga Kecamatan Haharu;
2. kampung adat Rambangaru di Desa Rambangaru Kecamatan Haharu;
3. kampung adat Prailiu di Kelurahan Prailiu Kecamatan Kambera;
4. kampung adat Pau di Desa Watuhadang Kecamatan Umalulu;
5. kampung adat Praiyawang terdapat di Desa Rindi Kecamatan Rindi;
6. kampung adat Prainatang di Desa Mondu, Kecamatan Kanatang;
7. kampung Lailara di Desa Lailara, Kecamatan Katala Hamu Lingu; dan
8. kampung adat Lewa Paku, di Desa Kambuhapang, Kecamatan Lewa.
Pasal 41

(1) Pemanfaatan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34


huruf g, meliputi permukiman perdesaan, dan perkotaan.
(2) Permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. Permukiman pusat perdesaan.
b. Permukiman desa pendukung.
(3) Permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. Permukiman perkotaan menengah.
b. Permukiman perkotaan kecil.
(4) Permukiman perkotaan menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a,
merupakan permukiman di perkotaan yang memiliki fungsi sebagai :
a. Pusat pertumbuhan skala kabupaten
b. Pusat pelayanan kabupaten.
(5) Permukiman perkotaan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, merupakan
permukiman di perkotaan yang memiliki fungsi sebagai :
a. Pusat pertumbuhan skala wilayah.
b. Pusat pelayanan perkotaan kecamatan.
(6) Dalam kawasan permukiman perkotaan, Kabupaten harus menyediakan
peruntukan lahan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah seluas areal
berdasarkan kebutuhan dan atau sesuai ketentuan dalam pembangunan perumahan
dan permukiman dengan lingkungan yang berimbang.

Pasal 42
(1) Pemanfaatan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
huruf h, meliputi :
a. zona industri;dan
b. sentra industri kecil.

BAGIAN HUKUM
(2) Zona industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, meliputi: Industri
besar-menengah yang direncanakan di Kecamatan Kanatang, Kecamatan Pandawai, 1
Kecamatan Haharu, Kecamatan Kota Waingapu, Kambera dan Kecamatan Pahunga
Lodu
(3) Sentra industri kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, terdapat di
Kecamatan Wula Waijelu, Kecamatan Rindi, Kecamatan Umalulu, Pahunga Lodu,
Kambera dan Kanatang.

Pasal 43
(1) Pemanfaatan kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf
i, meliputi pertambangan bahan galian golongan C dan bahan galian golongan galian
strategis.
(2) Pengembangan penambangan bahan galian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :
a. Sirtu: : Waingapu di Kelurahan Kambaniru (Sungai Kambaniru)
Umalulu di Desa Watuhadang (Sungai Melolo)
Pinupahar di Desa Lailunggi (Sungai Lailunggi)
Tabundung di Desa Billa (Sungai Malahar)
Matawai Pawali
Karera
1. Desa Nggongi, kampung Watubara (Sungai Robu)
2. Desa Nggongi, Praimadita, (Sungai Taraba)
3. Desa Tandula Jangga, (Sungai Kabundu Pola)
4. Desa Kakaha, Lairundu (Pantai Manukangga)
Matawai La Pawu di Desa Wanggameti, Hutan Laironja
Wanggameti
Wula Waijelu di Desa Laijanji, Desa Laipandak, Desa Hadakamali
(Sungai Baing)
Lewa di Desa Uma Manu, (Sungai Tidas)
Pahunga Lodu di Desa Laijanji, lokasi pada jalan menuju Tanjung
Ngunju
Pandawai di Kelurahan Kawangu (sungai Kawangu

b. Pasir : Tabundung di Desa Tarimbang lokasi pasir terdapat di pantai


selatan Desa Tarimbang
Ngadu Ngala di Desa Kakaha, lokasi pasir terdapat di Sungai
Manu Langga
Pahunga Lodu di Desa Kaliuda, lokasi pasir terdapat di muara
Sungai Ngallu
Desa Matawai Pawali dan Rakawatu

c. Andesit : Lewa di Desa Uma Manu

d. Granit : Pinupahar di Desa Tawui ± 1 km dari Desa Tawui kearah Desa


Wahang. Sedangkan di Desa Lailunggi lokasi pada km 7 yang
menghubungkan Desa Lailunggi dan Desa Ramuk.
Wulawaijelu di Desa Harai - Waturara Kuruwaki

e. Batu Gamping : Nggaha Ori Angu Km 18 jurusan Waingapu-Waikabubak


Katala Hamu Lingu di Desa Kombapari
Lewa di Kelurahan Lewa Paku, terletak pada jarak 2 km dari
Lewa kearah Waingapu dan kearah selatan sejauh 500 m
Pinupahar di Desa Wahang
Matawai La Pawu di Desa Katiku Tana dan Desa Wanggameti
Ngadu Ngala di Desa Kakaha – Lairudu, Lokasi berada di pantai
Manu Kangga
Kamanggih

BAGIAN HUKUM
a. Sirtu: : Waingapu di Kelurahan Kambaniru (Sungai Kambaniru)
f. Batu Kapur : Lewa di Desa Tanarara 1
Nggaha Ori Angu di Desa Praipaha
Pahunga Lodu di Desa Kaliuda
g. Oker : Lewa di Desa Rakawatu

h. Batu Ornamen : Pahunga Lodu di Desa Lulundilu

i. Tanah Liat : Lewa di Desa Rakawatu dan Desa Kambata Wundut


Umalulu di Desa Watupuda
Pinupahar di Desa Lailunggi dan Desa Tawui

Bagian Keempat
Rencana Pengelolaan kawasan Lindung dan Budidaya

Paragraf 1
Rencana Pengelolaan Kawasan Lindung

Pasal 44
(1) Rencana pengelolaan kawasan lindung meliputi semua upaya perlindungan,
pengawetan, konservasi dan pelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungannya
guna mendukung kehidupan secara serasi yang berkelanjutan dan tidak dapat
dialihfungsikan menjadi kawasan budidaya.
(2) Rencana konservasi kawasan lindung meliputi kawasan cagar alam, suaka alam,
kawasan pelestarian alam, dan kawasan cagar budaya.
(3) Rencana pengelolaan kawasan lindung tidak dapat dialihfungsikan.
(4) Rencana pengelolaan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
antara lain :
a. pelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
b. mempertahankan fungsi ekologis kawasan alami.
c.pengawasan dan pemantauan untuk pelestarian kawasan konservasi dan hutan
lindung.
d. penambahan luasan kawasan lindung, yang merupakan hasil alih fungsi hutan
produksi menjadi hutan lindung.
e. pengembangan kerjasama antar wilayah dalam pengelolaan kawasan lindung.
f. percepatan rehabilitasi lahan milik masyarakat yang termasuk di dalam kriteria
kawasan lindung dengan melakukan penanaman pohon lindung yang dapat di
gunakan sebagai perlindungan kawasan bawahannya yang dapat diambil hasil
hutan non-kayu.
g. menanamkan rasa memiliki/mencintai alam.
h. pemanfaatan kawasan lindung untuk sarana pendidikan penelitian dan
pengembangan kecintaan terhadap alam.
i. percepatan rehabilitasi hutan/reboisasi hutan lindung dengan tanaman yang sesuai
dengan fungsi lindung.
(5) Rencana pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan
bawahannya antara lain :
a. pengembangan pemanfaatan untuk pelestarian kawasan konservasi dan hutan
lindung.
b. peningkatan luasan kawasan lindung, yang merupakan hasil alih fungsi hutan
produksi menjadi hutan lindung.
c. percepatan rehabilitasi lahan milik masyarakat yang termasuk di dalam kriteria
kawasan lindung dengan melakukan penanaman pohon lindung yang dapat di
gunakan sebagai perlindungan kawasan bawahannya yang dapat diambil dari hasil
hutan non-kayu
d. percepatan rehabilitasi hutan/reboisasi hutan lindung dengan tanaman yang sesuai
dengan fungsi lindung.

BAGIAN HUKUM
e. pelestarian ekosistem yang merupakan ciri khas kawasan melalui tindakan
pencegahan perusakan dan upaya pengembalian pada rona awal sesuai ekosistem 1
yang pernah ada.
f. membuka jalur wisata jelajah/pendakian untuk menanamkan rasa
memiliki/mencintai alam, serta pemanfaatan kawasan lindung untuk sarana
pendidikan penelitian dan pengembangan kecintaan terhadap alam.
(6) Rencana pengelolaan kawasan lindung setempat antara lain :
a. perlindungan kawasan melalui tindakan pencegahan, pemanfaatan kawasan pada
kawasan lindung setempat.
b. pengembangan kegiatan yang bersifat alami dan mempunyai kemampuan
memberikan perlindungan kawasan seperti wisata air.
c. perlindungan kualitas air melalui pencegahan penggunaan area di sekitar kawasan
lindung.
d. menindak tegas perilaku vandalisme terhadap fungsi lindung.
(7) Rencana pengelolaan kawasan suaka alam antara lain :
a. perlindungan dan pelestarian keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya.
b. perlindungan keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam
bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan.
c. mempertahankan fungsi ekologis kawasan alami baik biota maupun fisiknya melalui
upaya pencegahan pemanfaatan kawasan pada kawasan suaka alam dan upaya
konservasi.
d. perlindungan dan pelestarian habitat alami hutan bakau (mangrove) yang berfungsi
memberikan perlindungan kepada perikehidupan pantai dan lautan.
e. pengembangan dan perlindungan kegiatan budidaya di kawasan sekitar pantai dan
lautan.
f. perlindungan kekayaan budaya berupa peninggalan-peninggalan sejarah,
bangunan arkeologi, monumen nasional dan keragaman bentuk geologi.
g. pengembangan kegiatan konservas dan rehabilitasi yang bergunauntuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dari ancaman kepunahan yang disebabkan
oleh kegiatan alam maupun manusia.
(8) Rencana pengelolaan kawasan pelestarian alam antara lain :
a. perlindungan taman nasional yang mempunyai vegetasi tetap, yang memiliki
tumbuhan dan satwa yang beragam.
b. perlindungan dan pelestarian koleksi tumbuhan
c. pelestarian alam di darat maupun di laut yang dapat dimanfaatkan untuk pariwisata
dan rekreasi alam
d. peningkatan kualitas lingkungan sekitar taman nasional, taman hutan raya dan
taman wisata alam melalui upaya pencegahan kegiatan yang mempunyai potensi
menimbulkan pencemaran.
(9) Rencana pengelolaan kawasan rawan bencana antara lain :
a. perlindungan manusia melalui upaya pencegahan pemanfaatan kawasan rawan
bencana untuk kegiatan permukiman.
b. perlindungan kawasan yang berpontensi mengalami longsor, banjir melalui upaya
mitigasi.
c. pelarangan kegiatan pemanfaatan tanah yang mempunyai potensi longsor dan
banjir.

(10) Rencana pengelolaan kawasan lindung lainnya, antara lain :


a. perlindungan dan pelestarian satwa melalui pengelolaan taman nasional.

BAGIAN HUKUM
b. penetapan areal pemindahan satwa yang merupakan tempat kehidupan bagi satwa
tersebut. 1
c. pelestarian kawasan pantai berhutan bakau melalui upaya perlindungan
pembabatan tanaman bakau untuk kegiatan lain.
Paragraf 2
Rencana Pengelolaan Kawasan Budidaya

Pasal 45

(1) Rencana pengelolaan kawasan budidaya meliputi segala usaha untuk meningkatkan
pendayagunaan lahan yang dilakukan di luar kawasan lindung, yang kondisi fisik dan
sumber daya alamnya dianggap potensial untuk dimanfaatkan, tanpa mengganggu
keseimbangan dan kelestarian ekosistem.
(2) Rencana pengelolaan kawasan hutan produksi antara lain :
a. kawasan hutan produksi yang mempunyai tingkat kerapatan tegakan rendah harus
dilakukan percepatan reboisasi, serta percepatan pembangunan hutan rakyat.
b. mengarahkan di setiap wilayah kawasan perkotaan dan kecamatan mewujudkan
hutan kota.
(3) Rencana pengelolaan kawasan pertanian antara lain :
a. peningkatan kegiatan usaha tani baik melalui intensifikasi, ekstensifikasi maupun
diversifikasi.
b. penggunaan pupuk kandang guna mengganti unsur hara yang hilang akibat
penanaman yang telah dilakukan sebelumnya.
c. penerapan sistem pertanian terpadu (mixed farming).
d. pengembangan bidang-bidang unggulan pada setiap jenis tanaman dan pada
kawasan-kawasan yang potensial.
e. pencetakan sawah baru yang disertai dengan perbaikan sistem irigasi primer dan
sekunder guna mendukung sistem pertanian kawasan.
f. perbaikan saluran dan pembuatan embung pada wilayah-wilayah yang rawan
kekeringan.
g. perubahan kawasan pertanian harus tetap memperhatikan luas kawasan yang
dipertahankan sehingga perlu adanya ketentuan tentang pengganti lahan
pertanian.
h. pemanfaatan kawasan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produksi dan
produktifitas tanaman pangan.
(4) Rencana pengelolaan kawasan perikanan antara lain :
a. mempertahankan, merehabilitasi dan merevitalisasi tanaman bakau/mangrove.
b. pengembangan budidaya perikanan tangkap dan budidaya perikanan laut.
c. menjaga kelestarian sumber daya air terhadap pencemaran limbah industri maupun
limbah lainnya.
d. peningkatan produksi dengan memperbaiki sarana dan prasarana perikanan.
(5) Rencana pengelolaan kawasan perkebunan antara lain :
a. pengembangan kawasan perkebunan hanya di kawasan yang dinyatakan
memenuhi syarat.
b. dalam penetapan komoditi tanaman tahunan selain mempertimbangkan kesesuaian
lahan, konservasi tanah dan air juga perlu mempertimbangkan aspek sosial
ekonomi dan keindahan/estetika.
c. peningkatan pemanfaatan kawasan perkebunan dilakukan melalui peningkatan
peran serta masyarakat yang tergabung dalam kawasan Permukiman dan
Perkebunan.
(6) Rencana pengelolaan kawasan peternakan, antara lain :
a. meningkatkan kegiatan peternakan secara alami dengan mengembangkan padang
penggembalaan.
b. kawasan peternakan diarahkan mempunyai keterkaitan dengan pusat distribusi
pakan ternak.

BAGIAN HUKUM
c. pengembangan kawasan peternakan diarahkan kepada pengembangan komoditas
ternak unggulan yang dimiliki oleh daerah yaitu komoditas ternak yang memiliki 1
keunggulan komparatif dan kompetitif.
d. kawasan budidaya ternak yang berpotensi untuk dapat menularkan penyakit dari
hewan ke manusia atau sebaliknya pada permukiman padat penduduk, akan
dipisahkan sesuai standart teknis kawasan usaha peternakan.
e. peningkatan nilai ekonomi ternak dengan mengelola dan mengolah hasil ternak,
seperti pembuatan industri pengolah hasil ternak, mengolah kulit, dan sebagainya.
(7) Rencana pengelolaan kawasan pariwisata antara lain :
a. tetap melestarikan budaya dan alam sekitar untuk menjaga keindahan obyek
wisata.
b. tidak melakukan pengerusakan terhadap obyek wisata alam seperti menebang
pohon.
c. melestarikan perairan pantai, dengan memperkaya tanaman mangrove untuk
mengembangkan ekosistem bawah laut termasuk terumbu karang dan biota laut
yang dapat di jadikan obyek wisata taman laut.
d. menjaga dan melestarikan peninggalan bersejarah.
e. meningkatkan pencarian/penelusuran terhadap benda bersejarah untuk menambah
koleksi budaya.
f. pada obyek yang tidak memiliki akses yang cukup, perlu ditingkatkan pembangunan
dan pengendalian pembangunan sarana dan prasarana transportasi ke obyek-
obyek wisata alam, budaya dan minat khusus.
g. meningkatkan daya tarik wisata melalui penetapan jalur wisata, kalender wisata,
informasi dan promosi wisata.
h. menjaga keserasian lingkungan alam dan buatan sehingga kualitas visual kawasan
wisata tidak terganggu.
i. meningkatkan peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian obyek wisata,
dan daya jual/saing.
(8) Rencana pengelolaan kawasan permukiman antara lain :
a. pengembangan kawasan budidaya yang secara teknis dapat digunakan untuk
permukiman harus aman dari bahaya bencana alam, sehat, mempunyai akses
untuk kesempatan berusaha dan dapat memberikan manfaat bagi peningkatan
ketersediaan permukiman, mendayagunakan fasilitas dan utilitas disekitarnya serta
meningkatkan sarana dan prasarana perkembangan kegiatan sektor ekonomi yang
ada.
b. pengembangan permukiman perdesaan dilakukan dengan menyediakan fasilitas dan
infrastruktur secara berhirarki sesuai dengan fungsinya sebagai pusat pelayanan
antar desa, maupun pusat pelayanan setiap desa.
c.menjaga kelestarian permukiman perdesaan khususnya kawasan pertanian.
d. pengembangan permukiman perkotaan dilakukan dengan tetap menjaga fungsi dan
hirarki kawasan perkotaan.
e. membentuk cluster-cluster permukiman untuk menghindari penumpukan dan
penyatuan antar kawasan permukiman, dan diantara cluster permukiman
disediakan ruang terbuka hijau
f. permukiman kawasan khusus seperti penyediaan tempat peristirahatan pada
kawasan pariwisata, kawasan permukiman baru sebagai akibat perkembangan
infrastruktur, kegiatan sentra ekonomi, sekitar lokasi industri, dilakukan dengan
tetap memegang kaidah lingkungan hidup.
(9) Rencana pengelolaan peruntukan industri antara lain :
a. pengembangan peruntukan industri dilakukan dengan mempertimbangkan aspek
ekologis.
b. jenis industri yang dianggap potensial menimbulkan pencemaran udara, tanah dan
air harus di lokasikan berjauhan dengan kawasan permukiman dan sebaliknya
c.peruntukan Industri harus memiliki sistem pengolahan limbah dan air buangan
lainnya
d. peruntukan industri harus terdapat jalur hijau sebagai pembatas kawasan industri
dengan kawasan permukiman

BAGIAN HUKUM
e. perlu pengaturan zoning kawasan dan penggunaan tanah pada peruntukan industri
dan sekitarnya agar tidak terjadi konflik penggunaan 1
f. perlu pengadaan dan perencanaan sarana/prasarana atau infrastruktur sebagai
penunjang peruntukan industri.
(10) Rencana pengelolaan kawasan pertambangan antara lain :
a. pengembangan kawasan pertambangan dilakukan dengan mempertimbangkan
potensi bahan galian, kondisi geologi dan geohidrologi dalam kaitannya dengan
kelestarian lingkungan.
b. pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi/reklamasi sesuai
dengan zona peruntukan yang ditetapkan, sehingga menjadi lahan yang dapat
digunakan kembali ataupun kegiatan budidaya lainnya dengan tetap
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup.

Bagian Kelima
Rencana Pengembangan Kawasan Pesisir Dan Kepulauan

Pasal 46

(1) Rencana pengelolaan sumberdaya kelautan pada kepulauan


untuk pelestarian fungsi alami dan pemanfaatan secara ekonomi maupun sumber daya
terbarukan lainnya wajib didasarkan pada azas kecocokan dan keberlanjutan daya
dukung lingkungan alam.
(2) Rencana pengembangan kawasan pesisir, meliputi:
a. Menjaga dan memelihara keseimbangan ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil.
b. Mengembangkan pola ruang pantai berdasar sumber daya yang ada.
c. Menjaga fungsi tumbuhan pantai/mangrove, terumbu karang dan ekosistem pantai
secara lestari dan alami.
d. Menjaga fungsi biodegradasi di pesisir.
e. Memelihara fasilitas publik dan kemudahan akses di wilayah pesisir.
f. Mengembangkan masyarakat pesisir melalui program ekonomi, pendidikan dan
sosial.
g. Pemberdayaan masyarakat dan aparat pemerintah untuk melindungi ekosistem dan
sumber daya pesisir, untuk pemanfaatan yang berkelanjutan.
h. Mengendalikan pemanfaatan ruang pesisir untuk kegiatan yang berpotensi
memberikan dampak lingkungan yang besar dan luas.
i. Mengkhususkan pengelolaan lokasi di wilayah pesisir yang digunakan untuk
kepentingan militer keamanan dan kepentingan strategis negara.
(3) Setiap upaya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut dan
pulau mengikuti peraturan dan perundangan yang berlaku.

Bagian Keenam
Rencana Pengelolaan Tata Guna Tanah, Tata Guna Air,
Tata Guna Udara, dan Tata Guna Sumber Daya alam Lainnya

Pasal 47

Rencana pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata guna
sumberdaya alam lainnya, yaitu:
a. Tata guna tanah meliputi kebijakan penatagunaan tanah dan
penyelenggaraan penatagunaan tanah.
b. Tata guna air meliputi kebijakan penatagunaan dan penyelenggaraan air
permukaan dan air tanah.

BAGIAN HUKUM
c. Tata guna udara meliputi kebijakan penatagunaan dan penyelenggaraan
ketinggian bangunan, lintasan pesawat, saluran udara tegangan tinggi dan saluran 1
udara tegangan ekstra tinggi.
d. Tata guna sumber daya alam lainnya diarahkan pada pemanfaatan
sumber daya alam dengan tetap memperhatikan fungsi kelestarian kemampuan
lingkungan hidup untuk mendukung kehidupan secara berkelanjutan.

Pasal 48

(1) Rencana tata guna tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a, dilakukan
melalui upaya perlindungan tanah dan perlindungan/pengawetan keseimbangaannya
terhadap kelestarian lingkungan hidup, meliputi:
a. Pengaturan peruntukan dan penggunaan tanah yang memperhatikan daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup.
b. Penggunaan tanah yang mengacu pada fungsi (zona) yang telah ditetapkan untuk
kawasan lindung dengan pemanfaatan sebagai kawasan konservasi.
c. Lahan yang berperan strategis bagi kelestarian lingkungan seperti pengembangan
tanaman lindung pada kawasan konservasi.
d. Penggunaan tanah yang tidak sesuai rencana tata ruang tidak dapat diperluas atau
dikembangkan penggunaannya.
e. Pola penyesuaian penggunaan/pemanfaatan tanah dilakukan melalui penataan
kembali (konsolidasi tanah), upaya kemitraan dan penyerahan/pelepasan hak atas
tanah pada negara atau pihak lain dengan penggantian sesuai peraturan
perundang-undangan.
f. Menunjang keseimbangan pembangunan dengan penyediaan tanah disetiap
tingkatan pemerintahan baik provinsi maupun kabupaten/kota yang selaras dengan
rencana tata ruang.
(2) Rencana pengelolaan tata guna air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b,
dilakukan melalui upaya kelestarian sumberdaya air terdiri dari:
a. Penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian baik air permukaan
dan/atau air tanah.
b. Pengembangan daerah rawa, untuk pertanian dan/atau untuk budidaya perikanan.
c. Pengendalian dan pengaturan banjir serta usaha untuk perbaikan sungai, dan
sebagainya serta pengaturan prasarana dan sarana sanitasi.
d. Pengaturan dan penyediaan air minum, air perkotaan, air industri dan pencegahan
terhadap pencemaran atau pengotoran air.
e. Pemeliharaan ketersediaan kuantitas dan kualitas air yang berkelanjutan, melalui
pemeliharaan kelangsungan fungsi resapan air dan daerah tangkapan air;
pengisian air pada sumber air; pengendalian pengolahan tanah di daerah hulu;
pengaturan daerah sempadan sumber air; rehabilitasi hutan dan lahan dan/atau
pelestarian hutan lindung, kawasan suaka alam, dan pelestarian alam.
(3) Rencana pengelolaan tata guna udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf c,
meliputi :
a. Menjaga kelestarian kualitas udara terhadap pencemaran lingkungan.
b. Pengaturan jalur SUTT dan SUTET.
c. Pengaturan frekuensi radio dan jalur transmisi lainnya.
d. Pengaturan jalur penerbangan umum.
e. Pengaturan ruang udara untuk keperluan militer.
f. Pengaturan ketinggian bangunan.
g. Pengaturan ruang kawasan keselamatan operasional penerbangan di bandara.

Pasal 49

BAGIAN HUKUM
1
(1) Pemanfaatan ruang di daerah bertujuan untuk meningkatkan kegiatan pembangunan,
kesejahteraan masyarakat, investasi dan memelihara serta mencegah terjadinya
kerusakan lingkungan hidup.
(2) RTRW Kabupaten mengacu untuk sinkronisasi dan keterpaduan terhadap RTRW
Provinsi maupun RTRW Nasional.
(3) Dalam rangka mewujudkan pemanfatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah kabupaten, Pemerintah Kabupaten menyediakan pencadangan lahan di
masing-masing wilayah disetiap tahun anggaran.
(4) Untuk mewujudkan pola pemanfaatan ruang daerah, disusun prioritas dan tahapan
pembangunan.
(5) Prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi prioritas sektor dan wilayah di
Kabupaten Sumba Timur.
(6) Tahapan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi tahapan 5
(lima) tahun pertama sampai ke empat.
(7) Syarat zoning pemanfaatan ruang yang lebih detail akan diatur dengan Peraturan
Bupati.
Pasal 50

(1) Langkah-langkah pengelolaan kawasan lindung meliputi :


a. percepatan rehabilitasi kawasan lindung yang telah mengalami penurunan kwalitas
tegakan serta degradasi lahannya.
b. penambahan kawasan lindung baru yang termasuk dalam kawasan perlindungan
bawahan yakni kawasan resapan air mempunyai fungsi sebagai kawasan yang
dapat menampung genangan air serta curah hujan dan mempunyai jenis tanah
yang dapat menyerap air tinggi (porous).
c. pada kawasan dengan fungsi perlindungan bawahan, mengendalikan jenis tegakan
disesuaikan dengan karakter tanah dan analisa potensi ekonomi di masing-masing
wilayah.
d. penambahan hutan lindung yang merupakan hasil alih fungsi hutan produksi yang
mempunyai kriteria kawasan lindung menjadi hutan lindung.
e. alih fungsi hutan mangrove di dalam dan diluar kawasan hutan menjadi kawasan
lindung.
f. pengamanan hutan lindung dari gangguan hutan dan perubahan lahan hutan.
(2) Langkah-langkah pengelolaan kawasan budidaya meliputi :
a. arahan pemanfaatan ruang kawasan budaya secara optimal, berdayaguna, serasi,
seimbang, dan berkelanjutan.
b. arahan untuk menentukan prioritas pemanfaatan ruang antar kegiatan budidaya
yang berbeda.
c. arahan bagi perubahan jenis pemanfaatan ruang dari jenis kegiatan budidaya
tertentu ke jenisnya.
d. percepatan rehabilitasi hutan produksi yang telah mengalami penurunan kualitas
tegakannya, perluasan hutan rakyat serta pembangunan hutan kota.
e. pengamanan hutan produksi dari gangguan illegal loging.
f. penggunaan tanah dikawasan budidaya tidak boleh diterlantarkan, harus dipelihara
pemanfaatannya dan mencegah kerusakan.
g. perubahan/alih fungsi penggunaan tanah sawah yang tidak produktif dan bukan
beririgasi teknis dapat dilakukan untuk kegiatan yang sesuai dengan rencana tata
ruang sehingga meningkatkan fungsi wilayah dengan tidak meninggalkan kaidah
ekologis, sedangkan sawah subur dan beririgasi teknis dipertahankan untuk
menunjang swasembada pangan.
h. arahan penggunaan tanah tentang perimbangan antara ketersediaan dan
kebutuhan penggunaan tanah menurut fungsi kawasan

Pasal 51

BAGIAN HUKUM
(1) Langkah-langkah pengelolaan kawasan perdesaan, meliputi :
a. pemantapan dan pengembangan kawasan agropolitan yang strategis dan 1
potensial.
b. pemantapan kelembagaan masyarakat dan pemerintahan perdesaan dalam
pengelolaan kegiatan pertanian, perikanan dan kelautan, peternakan, perkebunan,
kehutanan, agrobisnis, agrowisata dan agroindustri.
c. membangun kawasan perdesaan melalui peningkatan produktivitas dan
pemberdayaan masyarakat di kawasan perdesaan.
d. meningkatkan keterkaitan aksesibilitas antara kawasan perdesaan dan perkotaan.
e. mengelola dan mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam di perdesaan
sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.
f. membangun sistem jaringan pelayanan inter dan intra sektor dan wilayah untuk
mendukung keunggulan potensi kawasan/daerah, berupa antara lain pendidikan
formal dan informal, pemasaran, kelembagaan, teknologi informasi.
g. meningkatkan daya tarik wilayah pedesaan untuk mengurangi tingkat migrasi ke
wilayah perkotaan.
h. menjadikan pengembangan kawasan perdesaan sebagai buffer yang mempunyai
nilai ekonomis, untuk menjaga pengembangan kawasan perkotaan yang tidak
terkendali.
(2) Langkah-langkah pengelolaan kawasan perkotaan meliputi :
a. mengendalikan urbanisasi khususnya di wilayah Kota Waingapu
b. mengalihkan penumpukan beban transportasi yang cenderung berorientasi ke arah
Kota Waingapu.
c. menjaga keseimbangan keberlanjutan lingkungan dengan keseimbangan wilayah
terbangun dan tidak terbangun termasuk juga menjaga eksistensi wilayah yang
bersifat rural di sekitar kawasan perkotaan.
d. menyediakan ruang terbuka hijau minimal 30 %.
e. merencanakan penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan
pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi
bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat
pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah.
f. mendorong persebaran pembangunan infrastruktur perkotaan secara terpadu.
g. membangun infrastruktur yang dapat mengendalikan perkembangan yang
monosentris.
h. menyerasikan perkembangan fisik perkotaan yang dapat menimbulkan disparitas
perkembangan kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan.
i. mendorong terbentuknya sistem cluster dengan pusat–pusat pelayanan.

Pasal 52

Pokok-pokok pengelolaan sumber daya tanah, sumber daya air, sumber daya udara dan tata
guna sumber daya lainnya, meliputi:
a. Kebijakan menjaga keseimbangan daya dukung air terhadap kebutuhan
perkembangan penduduk dan kegiatannya.
b. Kebijakan menjaga keseimbangan daya dukung pangan khususnya beras
terhadap kebutuhan perkembangan penduduk.
c. Kebijakan peningkatan pertumbuhan dan pengembangan ekonomi wilayah
terhadap pembangunan ekonomi nasional yang bertumpu pada ekonomi lokal,
mengikuti dan menyesuaikan perkembangan ekonomi global.
d. Kebijakan peningkatan pertumbuhan ekonomi dalam rangka menciptakan
pemerataan pembangunan wilayah.
e. Kebijakan pemanfaatan ruang wilayah secara optimal yang mencerminkan
keterkaitan antar sumber daya manusia, sumber daya alam dan sumber daya buatan.
f. Kebijakan pelaksanaan rencana tata ruang melalui upaya pemanfaatan dan
pengendalian secara terbuka, berkeadilan menjunjung tinggi hukum, persamaan serta
berorientasi pada pelayanan umum pada semua lapisan masyarakat.

BAGIAN HUKUM
Pasal 53
1
(1) Untuk mewujudkan keserasian pemanfaatan ruang daerah, sumber daya air dan udara di
Kabupaten Sumba Timur, maka diperlukan koordinasi dan kerjasama pemanfaatan
ruang antar kabupaten sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Untuk menjamin terwujudnya keseraian pemanfaatan ruang daerah maka diperlukan
kerjasama dalam pemanfaatan ruang antar kabupaten, yang mengacu pada peta
potensi wilayah berdasarkan hasil pemetaan yang terkoordinasi oleh Provinsi dan
pusat.

BAB VI
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS

Bagian Kesatu
Umum
Pasal 54

(1) Rencana pengembangan kawasan strategis merupakan kawasan yang mempunyai


karakter khusus dan perlu ditangani secara tersendiri.
(2) Kawasan strategis bercirikan oleh adanya aglomerasi kegiatan ekonomi dan
sentra-sentra produksi/distribusi, adanya potensi sumberdaya dan sektor unggulan
yang dapat dikembangkan, serta tersedianya prasarana penunjang.
(3) Kawasan strategis kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :
a. bidang pertahanan dan keamanan
b. bidang pertumbuhan ekonomi
c. bidang sosial budaya
d. bidang fungsi dan daya dukung lingkungan
(4) Rencana pengembangan kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
meliputi :
a kawasan yang berpotensi mendorong perkembangan kawasan sekitar dan atau
berpengaruh terhadap perkembangan wilayah secara umum. Pengembangan
sektor di wilayah tersebut mempunyai dampak yang luas, baik secara regional
maupun nasional;
b kawasan yang mempunyai prospek ekonomi yang tinggi sehingga membutuhkan
penanganan yang mendesak;
c pengembangan sektor di wilayah tersebut membutukan ruang kegiatan dalam skala
luas; dan
d pengembangan sektor yang akan dikembangkan di atasnya mempunyai prioritas
tinggi dalam lingkup regional maupun nasional dan mendorong
perkembangan/revitalisasi potensi wilayah yang belum berkembang.

Bagian Kedua
Kawasan Strategis Bidang Pertahanan dan Keamanan

Pasal 55

Rencana pengembangan kawasan strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3)
huruf a , meliputi :

a. kawasan pesisir di Kabupaten Sumba Timur mencapai kurang lebih 433 km yang
mencakup 15 kecamatan.
b. pulau – pulau kecil yang sudah mempunyai nama di Kabupaten Sumba Timur terdiri dari
Pulau Kotak, Pulau Salura, Pulau Nusa dan Pulau Manggudu.
c. pulau Manggudu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2008 ditetapkan
sebagai Kawasan Strategis Nasional.

BAGIAN HUKUM
1
Bagian Ketiga
Kawasan Strategis Bidang Pertumbuhan Ekonomi

Pasal 56

(1) Kawasan strategis kabupaten bidang ekonomi sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) huruf b meliputi :
a. kawasan prioritas
b. kawasan agropolitan, dan
c. kawasan cepat tumbuh.
(2) Rencana pengembangan kawasan prioritas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a meliputi Kawasan Strategis Mangili – Lewa yang terdiri dari Sub
Kawasan : Mangili – Kambaniru – Melolo, dengan pusat pengembangan agribisnis
berbasis hortikultura.
(3) Rencana pengembangan kawasan Agropolitan di Kecamatan
Pandawai, Kecamatan Umalulu, Kecamatan Kahaungu Eti, dan Kecamatan Rindi.
Rencana pengembangan kawasan Agropolitan diarahkan di Pusat pelayanan untuk
kawasan agropolitan disebut Kota Tani. Kota Tani yang direncanakan dalam Kawasan
Agropolitan Umakahauripan adalah Kawangu, Tanaraing, Melolo, dan Kamanggih.
(4) Kawasan cepat tumbuh (KCT) adalah Kecamatan Kota Waingapu.
KCT Haharu merupakan kawasan Pantai Utara di Kecamatan Haharu; KCT Lewa di
arahkan di Kecamatan Lewa dan Nggaha Ori Angu; KCT Lewa Tidahu merupakan
kawasan Pantai Selatan di Kecamatan Lewa Tidahu dan Kecamatan Katala
Hamalingu; dan KCT Karera merupakan kawasan Pantai Selatan Bagian Tengah di
Kecamatan Karera. Pusat pengembangan kawasan cepat tumbuh yaitu Kecamatan
Kota Waingapu.
Bagian Keempat
Kawasan Strategis Bidang Sosial Budaya
Pasal 57

(1) Kawasan strategis kabupaten bidang sosial budaya sebagaimana di


maksud pada ayat (3) huruf a meliputi :
a. kuburan adat
b. kampung adat
(2) Kawasan strategis bidang sosial budaya sebagaimana pada ayat (1)
huruf a meliputi kuburan raja yang dibuat dari batu megalitik dan terdapat di Kampung
Prailiu - Kelurahan Prailiu, Kampung Pau - Desa Watuhadang, Kampung Praiyawang -
desa Rindi dan Kampung Rambangaru – Desa Rambangaru, Kampung Wunga – Desa
Wunga, Kampung Prainatang – Desa Mondu, Kampung Lalindi – Desa Praimadita.
(3) Kawasan strategis bidang sosial budaya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf b meliputi Kampung Praiyawang di Desa Rindi, Kecamatan Rindi,
Kampung Wunga dan Kampung Prainatang, Kecamatan Haharu .

Bagian Kelima
Kawasan Strategis Bidang Fungsi dan Daya Dukung Lingkungan

Pasal 58
Kawasan strategis kabupaten bidang daya dukung lingkungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (3) huruf d meliputi Kawasan Taman Nasional di Kabupaten Sumba
Timur, yaitu Kawasan Taman Nasional Manupeu Tanadaru dengan luas ± 24.200 Ha dan
Kawasan Taman Nasional Laiwangi–Wanggameti seluas ± 47.014,00 Ha, yang tersebar di

BAGIAN HUKUM
Kecamatan Tabundung, Kecamatan Matawai La Pawu, Kecamatan Pinu Pahar dan
Kecamatan Karera. 1

BAB VII
ARAHAN PEMANFATAAN RUANG WILAYAH KABUPATEN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 59

(1) Pemanfaatan ruang dilakukan melalui pelaksanaan program pemanfaatan ruang


beserta pembiayaannya.
(2) Pemanfaatan ruang mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata
ruang dilaksanakan dengan mengembangkan penatagunaan tanah, penatagunaan air,
penatagunaan udara dan penagunaan sumberdaya alam lain.

Bagian Kedua
Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah

Paragraf 1
Perumusan Kebijakan Strategis Operasionalisasi

Pasal 60

(1) Penataan ruang sesuai dengan RTRW Kabupaten


dilaksanakan secara sinergis dengan Peraturan Daerah lain yang ada di Daerah.
(2) Penataan ruang dilaksanakan secara menerus dan sinergis
antara perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang.

Paragraf 2
Prioritas dan Tahapan Pembangunan

Pasal 61

(1) Prioritas pelaksanaan pembangunan disusun berdasarkan atas


kemampuan pembiayaan dan kegiatan yang mempunyai efek mengganda sesuai
arahan umum pembangunan daerah.
(2) Pelaksanaan pembangunan berdasarkan tata ruang
dilaksanakan selama 20 tahun, dibagi menjadi 4 tahap.
(3) Tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
dalam kurun waktu 5 tahun setiap tahapnya.
(4) Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten meliputi :
a. penetapan struktur ruang wilayah;
b. penetapan pola ruang wilayah; serta
c. penetapan kawasan strategis.

Pasal 62

BAGIAN HUKUM
(1) Pemanfaatan ruang di daerah bertujuan untuk meningkatkan kegiatan pembangunan,
kesejahteraan masyarakat, investasi dan memelihara serta mencegah terjadinya 1
kerusakan lingkungan hidup.
(2) RTRW Kabupaten melakukan sinkronisasi dan keterpaduan dengan penyusunan
RTRW diatasnya.
(3) Untuk mewujudkan perwujudan arahan pemanfaatan ruang kabupaten, disusun
prioritas dan tahapan pembangunan.
(4) Prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi prioritas program utama.
(5) Tahapan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi tahapan 5
(lima) tahunan.
(6) Syarat zoning pemanfaatan ruang yang lebih detail akan diatur dengan Keputusan
Bupati.

Pasal 63
(1) Prioritas utama program 5 tahun pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
ayat (4) meliputi: melanjutkan pelaksanaan pembangunan yang telah direncanakan
sebelumnya dan menyelesaiakan pembangunan yang sudah berjalan sampai pada
tahap yang telah direncanakan sebelumnya.
(2) Prioritas utama program 5 tahun pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum pada lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.

Bagian Ketiga
Arahan Pemanfaatan Ruang untuk Penetapatan Struktur Ruang
dan Pola Ruang Wilayah

Paragraf 1
Arahan Pemanfaatan Ruang untuk Penetapan Struktur Ruang Wilayah

Pasal 64

Pemanfaatan ruang untuk penetapan struktur ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada
pasal 7 ayat (4) meliputi :
a. pemanfaatan ruang untuk sistem perdesaan;
b. pemanfaatan ruang untuk sistem perkotaan;
c. pemanfaatan ruang untuk penetapan fungsi kawasan perdesaan dan kawasan
perkotaan;dan
d. pemanfaatan ruang untuk pengembangan prasarana wilayah.

Pasal 65

Pemanfaatan ruang untuk sistem perdesaan sebagaimana dimaksud pada pasal 15


meliputi :
a. pengembangan kawasan perdesaan sesuai potensi masing-masing kawasan yang
dihubungkan dengan pusat kegiatan pada setiap kawasan perdesaan; dan
b. memprioritaskan pengembangan Kawasan Agropolitan Umakahuripan (Kawangu,
Tanaraing, Melolo dan Kamanggih) untuk mendorong pertumbuhan kawasan
perdesaan di sekitarnya dan di pusat pelayanannya.
Pasal 66

Pemanfaatan ruang untuk sistem perkotaan sebagaimana dimaksud pada pasal 9 meliputi :
a. membentuk pusat kegiatan yang terintegrasi dan berhirarki di seluruh wilayah
Kabupaten Sumba Timur; dan
b. pengembangan orde perkotaan secara berjenjang dan bertahap sesuai pengembangan
perkotaan secara keseluruhan.

Pasal 67

BAGIAN HUKUM
1
Pemanfaatan ruang untuk penetapan fungsi kawasan perdesaan dan kawasan perkotaan
sebagaimana dimaksud pada pasal 13 dan pasal 15 meliputi :
a. Penetapan fungsi kawasan perdesaan :
1. tempat permukiman perdesaan;
2. pelayanan jasa pemerintahan; serta
3. pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
b. Penetapan fungsi kawasan perkotaan :
1. pusat kegiatan ekonomi wilayah, pusat pengolahan dan distribusi hasil pertanian,
perdagangan dan jasa, pemerintahan, pendidikan, kesehatan serta transportasi
pergudangan dan sebagainya;
2. sebagai pemasok kebutuhan dan lokasi pengolahan agroindustri dan berbagai
kegiatan agrobisnis;
3. pusat pelayanan, pusat prasarana dan sarana sosial ekonomi.

Pasal 68

Pemanfaatan ruang untuk wilayah untuk pengembangan prasarana wilayah sebagaimana


dimaksud pada pasal 17 meliputi :
a. Pengembangan transportasi jalan raya :
1. pengembangan jalan dalam mendukung pertumbuhan dan pemerataan wilayah;
dan
2. pengembangan infrastruktur pendukung pertumbuhan wilayah berupa terminal.
b. Pengembangan transportasi laut :
1. pengembangan akses eksternal kawasan dalam lingkup yang lebih luas;
2. pengembangan akses internal kawasan yang menghubungkan simpul-simpul
kegiatan;
3. optimalisasi pelayanan pelabuhan dari segi ketersediaan sarana pendukung;
4. optimalisasi pelayanan pelabuhan dari segi ketersediaan prasarana pendukung;
5. optimalisasi pelayanan pelabuhan dari segi sosial ekonomi; serta
6. penyiapan kelembagaan operasional pengelola kawasan pelabuhan dan Kawasan
Sendangbiru secara keseluruhan.
c. Pengembangan transportasi udara dengan optimalisasi Bandara Umbu Mehang
Kunda:
1. optimalisasi penerbangan komersil;
2. optimalisasi tingkat pelayanan dan kelas bandara ke tingkat yang lebih baik; serta
3. optimalisasi tingkat kenyamanan dan keselamatan penerbangan.
d. Pengembangan prasarana Telekomunikasi :
1. peningkatan jangkauan pelayanan dan kemudahan mendapatkannya; dan
2. peningkatan jumlah dan mutu Telekomunikasi tiap wilayah.
e. Pengembangan prasarana pengairan :
1. peningkatan sistem jaringan pengairan; dan
2. optimalisasi fungsi dan pelayanan prasarana pengairan.
f. Pengembangan prasarana energi / listrik :
1. optimalisasi tingkat pelayanan;
2. perluasan jangkauan listrik sampai ke pelosok desa;
g. Pengembangan prasarana lingkungan :
1. mereduksi sumber timbunan sampah sejak awal;
2. optimalisasi tingkat penanganan sampah perkotaan;
3. optimalisasi tingkat penanganan sampah perdesaan;
4. menciptakan lingkungan yang sehat dan bersih.

Paragraf 2
Arahan Pemanfataan Ruang untuk Penetapan Pola Ruang Wilayah

Pasal 69

BAGIAN HUKUM
Pemanfaatan ruang untuk penetapan pola ruang wilayah sebagaimana dimaksud pada pasal 1
27 ayat (1) meliputi :
a. pemanfaatan ruang untuk pemantapan kawasan lindung;
b. pemanfaatan ruang untuk pengembangan kawasan budidaya; dan
c. pemanfaatan ruang untuk pengelolaan kawasan lindung dan budidaya.

Pasal 70

Pemanfaatan ruang untuk pemantapan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada pasal
27 ayat (2) meliputi :
a. pemantapan fungsi lindung pada kawasan yang memberi perlindungan kawasan
bawahannya;
b. pemantapan kawasan perlindungan setempat;
c. pemantapan kawasan suaka alam dan pelestarian alam;
d. penanganan kawasan rawan bencana alam; serta
e. pemantapan kawasan lindung lainnya.

Pasal 71

Pemanfaatan ruang untuk pengembangan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada


pasal 27 ayat (3) meliputi :
a. pengembangan hutan produksi;
b. pengembangan kawasan pertanian;
c. pengembangan kawasan pertambangan;
d. pengembangan kawasan peruntukan industri;
e. pengembangan kawasan pariwisata;
f. pengembangan kawasan permukiman perdesaan dan perkotaan; serta
g. penetapan kawasan konservasi budaya dan sejarah.

Pasal 72

Pemanfaatan ruang untuk pengelolaan kawasan lindung dan budidaya sebagaimana


dimaksud pada pasal 28 dan pasal 34 meliputi :
a. mengoptimalkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang pada kawasan lindung dan
budidaya;
b. pemantapan kawasan lindung sesuai fungsi perlindungan masing-masing;
c. arahan penanganan kawasan budidaya; serta
d. pengaturan kelembagaan pengelolaan kawasan lindung dan budidaya.

Paragraf 3
Arahan Pemanfaatan Ruang Untuk Penetapan Kawasan Strategis

Pasal 73

Pemanfaatan ruang untuk penetapan kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada pasal
54 meliputi :
a. mengendalikan perkembangan ruang sekitar kawasan strategis kabupaten;
b. memantapkan fungsi lindung pada kawasan sosio-kultural;
c. memantapkan kawasan perlindungan ekosistem dan lingkungan hidup.

Pasal 74

BAGIAN HUKUM
1
Pemanfaatan ruang untuk penataan kawasan pesisir dan kepulauan meliputi :
a. konservasi kawasan Pulau Salura, Pulau Kotak, Pulau Manggudu dan Pulau Nusa
sesuai fungsinya sebagai kawasan wisata;
b. mempertahankan dan memperbaiki ekosistem pesisir

Pasal 75

Pemanfaatan ruang untuk penataan tata guna tanah, tata guna air, tata guna udara, dan tata
guna sumberdaya alam lainnya meliputi :
a. meningkatkan keserasian antar fungsi dalam penatagunaan tanah;
b. pemantapan fungsi kawasan dalam mendukung penatagunaan hutan;
c. pemantapan fungsi dalam penatagunaan air;
d. pengaturan keselamatan dan kenyamanan pada penatagunaan udara; serta
e. penatagunaan sumberdaya lainnya.

B A B VIII
KETENTUAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 76

(1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui penetapan


peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, dan pengenaan sanksi.
(2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang digunakan sebagai acuan dalam
pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang dan prosedur pelaksanaan
pembangunan wilayah kabupaten.
(3) Pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas:
a. peraturan zonasi wilayah;
b. perizinan;
c. pemberian insentif dan disinsentif; serta
d. sanksi.
(4) Peraturan zonasi kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Bupati

Bagian Kedua
Peraturan Zonasi Wilayah

Pasal 77

(1) Peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 disusun sebagai pedoman
pengendalian pemanfaatan ruang.
(2) Peraturan zonasi pada setiap butir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat
tentang apa yang harus ada, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
(3) Peraturan zonasi sistem wilayah meliputi indikasi arahan peraturan zonasi untuk
struktur ruang dan pola ruang, yang terdiri atas :
a. struktur ruang dan sistem perkotaan;
b. sistem jaringan prasarana wilayah;

BAGIAN HUKUM
c. kawasan lindung dan budi daya.
1

Paragraf 1
Peraturan Zonasi Untuk Struktur Ruang Dan Sistem Perkotaan

Pasal 78

Peraturan zonasi untuk sistem perkotaan wilayah dan jaringan prasarana wilayah meliputi :
a. Zonasi pemanfaatan ruang di sekitar jaringan prasarana wilayah untuk mendukung
berfungsinya sistem perkotaan wilayah dan jaringan prasarana wilayah terdiri dari
kegiatan lindung dan budidaya sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan;
b. Pelarangan melakukan pemanfaatan ruang yang menyebabkan gangguan terhadap
berfungsinya sistem perkotaan wilayah dan jaringan prasarana wilayah; dan
c. Pembatasan intensitas pemanfaatan ruang agar tidak mengganggu fungsi sistem
perkotaan wilayah dan jaringan prasarana wilayah.

Paragraf 2
Peraturan Zonasi untuk Sistem Perkotaan

Pasal 79

Peraturan zonasi untuk PKL disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk
kegiatan ekonomi berskala kabupaten yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur
perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

Paragraf 3
Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Prasarana Wilayah

Pasal 80

(1) Peraturan zonasi untuk sistem jaringan prasarana wilayah kabupaten disusun dengan
meliputi jaringan sarana prasarana transportasi, jaringan dan sarana prasarana
Telekomunikasi, jaringan sarana prasarana pengairan, jaringan sarana prasarana
energi dan jaringan sarana prasarana lingkungan.
(2) Peraturan zonasi pada jaringan sarana prasarana transportasi sebagaimana dimaksud
ayat (1) meliputi:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan Nasional dan Kabupaten harus sesuai
dengan ketentuan perundangan yang mengatur tentang jalan; dan
b. pengendalian ketat dilakukan pada kawasan dengan kecenderungan
perkembangan tinggi dengan memperhatikan bangkitan dan tarikan laulintas,
ketersediaan sarana prasarana jalan dan persimpangan lalulintas.
(3) Peraturan zonasi pada jaringan sarana prasarana Telekomunikasi sebagaimana
dimaksud ayat (1), meliputi :
a. pengembangan jaringan Telekomunikasi disesuaikan dengan kebutuhan dan
peraturan yang berlaku; dan
b. penempatan sarana dan prasarana Telekomunikasi bisa memanfaatkan kawasan
lindung maupun budidaya selama tidak mengganggu fungsi dasar yang telah

BAGIAN HUKUM
ditetapkan dalam rencana tata ruang, dengan tetap memperhatikan aspek
keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan di sekitarnya. 1
(4) Peraturan zonasi pada jaringan sarana prasarana pengairan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi :
a. pengembangan jaringan pengairan disesuaikan dengan kebutuhan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. pembatasan dan pengendalian pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang
sisi jaringan pengairan dan di kawasan yang peka terhadap fungsi dan keberadaan
jaringan sarana prasarana pengairan; dan
c. pemanfaatan ruang di sepanjang jaringan sarana prasarana pengairan tidak boleh
mengurangi dan mengganggu fungsi dan keberadaan sarana prasarana yang ada.
(5) Peraturan zonasi pada jaringan sarana prasarana energi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik harus memperhatikan jarak
aman dari kegiatan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan
b. pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Peraturan zonasi pada jaringan sarana prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi persampahan dan sanitasi lingkungan.
a. peraturan zonasi pada jaringan sarana prasarana persampahan
meliputi :
1. pemanfaatan ruang di sekitar lokasi TPA harus memperhatikan jarak aman dari
kegiatan lain sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; dan
2. pemanfaatan ruang pada sekitar jaringan persampahan harus memperhatikan
aspek kesehatan dan keselamatan lingkungan dan meminimalisasi
kemungkinan terkena dampak.
b. Peraturan zonasi pada jaringan sarana prasarana sanitasi meliputi:
1. pemanfaatan ruang diwajibkan mempertimbangkan penyediaan sanitasi dan
mendukung pengembangan sistem pengelolaan sanitasi wilayah.
2. pemanfaatan ruang di sekitar lokasi instalasi pengelolaan limbah harus
memperhatikan dampak yang akan timbul dari kegiataan pengelolaan.
Paragraf 4
Peraturan Zonasi Kawasan Lindung dan Budidaya

Pasal 81

Peraturan zonasi untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian tanpa
mengubah bentang alam;
b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang membahayakan
keselamatan umum;
c. pembatasan pemanfaatan ruang di sekitar kawasan yang telah
ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana alam;
d. pembatasan pemanfaatan ruang yang menurunkan kualitas fungsi
lingkungan.
Paragraf 5
Peraturan Zonasi Kawasan Lindung

Pasal 82

BAGIAN HUKUM
(1) Peraturan zonasi kawasan lindung diarahkan pada kawasan-kawasan lindung yang
ditetapkan sebagai fungsi lindung dan berdasarkan kewenangan perencanaan sampai 1
pengelolaannya.
(2) Peraturan zonasi kawasan hutan lindung disusun dengan memperhatikan:
a. arahan peraturan zonasi kawasan hutan lindung dilakukan pada kawasan yang
ditetapkan fungsi sebagai hutan lindung yang menjadi kewenangan daerah.
b. pemanfaatan ruang wilayah kabupaten untuk wisata alam tanpa merubah bentang
alam.
c. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budidaya hanya diizinkan bagi
permukiman penduduk asli dengan luasan tetap/terbatas, tidak mengurangi fungsi
lindung kawasan, dan di bawah pengawasan ketat secara teknis oleh instansi
terkait yang berwenang.
d. ketentuan pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan
hutan dan tutupan vegetasi.
(3) Peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang
memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan.
b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada.
(4) Peraturan zonasi untuk sempadan pantai disusun dengan memperhatikan:
a. prioritas pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau dan fungsi konservasi
lainnya.
b. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi.
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan pelabuhan,
perikanan dan rekreasi pantai.
d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c
kecuali bangunan penunjang pelabuhan dan perikanan.
e. ketentuan pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai
ekologis, dan estetika kawasan.
(5) Peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan kawasan sekitar bendungan disusun
dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau.
b. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan
untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air.
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi
maupun fasilitas pendukungnya, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan
kualitas dan daya dukung-daya tampung sungai dan atau bendungan yang ada
serta keamanan dari masyarakat secara umum yang memanfaatkan ruang
tersebut.
d. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(6) Peraturan zonasi untuk ruang terbuka hijau disusun dengan memperhatikan:
a. RTH dimanfaatkan sebagai ruang untuk kegiatan rekreasi, perlindungan kawasan,
makam, pendidikan dan penelitian serta kegiatan sejenis.
b. RTH diperuntukan kepentingan publik maupun privat, dimana RTH publik antara
lain taman kota, taman pemakaman umum dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai
dan pantai; sedangkan RTH privat antara lain kebun atau halaman rumah/gedung
milik masyarakat atau swasta yang ditanami tumbuhan.
c. Pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi
dan fasilitas umum lainnya.
d. Ketentuan pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud pada
huruf b.
e. Fungsi dasar RTH tidak boleh berkurang karena pendirian bangunan penunjang
RTH dimaksud.
(7) Peraturan zonasi untuk taman nasional, disusun dengan memperhatikan:

BAGIAN HUKUM
a. pemanfaatan ruang untuk penelitian, pendidikan, dan wisata alam.
b. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a. 1
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana
dimaksud pada huruf a.
d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c; dan
e. ketentuan pelarangan terhadap penanaman flora dan pelepasan satwa yang bukan
merupakan flora dan satwa endemik kawasan.
(8). Peraturan zonasi untuk Kawasan pantai berhutan Bakau disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendidikan, penelitian, dan wisata alam;
b. ketentuan pelarangan pemanfaatan kayu bakau; dan
c. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengubah mengurangi luas dan/atau
mencemari ekosistem bakau.
(9). Peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata; dan
b. ketentuan pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan
fungsi kawasan.
(10). Peraturan zonasi untuk kawasan rawan tanah longsor disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman
bencana;
b. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan
c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman
bencana dan kepentingan umum.
(11). Peraturan zonasi untuk kawasan rawan banjir disusun dengan memperhatikan:
a. penetapan batas dataran banjir;
b. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang
terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan
c. ketentuan pelarangan pemanfaatan
ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting lainnya.
(12). Peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan
b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air.
Paragraf 6
Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya

Pasal 83

(1) Peraturan Zonasi untuk Kawasan Budidaya diarahkan pada kawasan-kawasan


budidaya yang ditetapkan sebagai fungsi budidaya dan berdasarkan kewenangan
perencanaan sampai pengelolaannya.
(2) Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi disusun dengan memperhatikan:
a. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber
daya kehutanan;
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil
hutan; dan
c. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada
huruf b.
(3) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian lahan basah (sawah) disusun
dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah;
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya non pertanian
(terbangun) kecuali terbatas untuk pembangunan sistem jaringan prasarana utama,
dan fasilitas pendukung pertanian yang sangat mempengaruhi pada upaya

BAGIAN HUKUM
peningkatan produktivitas dan pengolahan hasil panen sesuai Ketentuan/Peraturan
yang berlaku; 1
c. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya non pertanian
(terbangun) sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b termasuk sebagai
lahan pertanian pangan berkelanjutan atau yang ditetapkan sebagai sentra lahan
pertanian basah (sawah); dan
d. ketentuan alih fungsi lahan pertanian sawah mengikuti ketentuan yang berlaku.
(4) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian lahan kering disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk rencana pengembangan kawasan pertanian sawah tadah
hujan, tegalan, ladang, kebun campur, perkebunan, hortikultura, peternakan, serta
perikanan darat, sesuai kebijakan dan strategi pengembangan dari masing-masing
jenis kawasan;
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya non pertanian
(terbangun) kecuali terbatas untuk pembangunan sistem jaringan prasarana utama,
dan fasilitas pendukung pertanian yang sangat mempengaruhi pada upaya
peningkatan produktivitas dan pengolahan hasil panen sesuai Ketentuan/Peraturan
yang berlaku; serta
c. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budidaya non pertanian
(terbangun) sebagaimana diuraikan pada huruf a dan b diatas, yang termasuk
sebagai Kawasan Sentra budidaya pertanian khusus sesuai ketentuan/peraturan
yang berlaku.
(5) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perikanan (pantai dan laut) disusun
dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dan/atau nelayan dengan kepadatan
rendah;
b. pemanfaatan ruang untuk kawasan penghijaun dan/atau
c. kawasan sabuk hijau; serta
d. pemanfaatan sumber daya perikanan agar tidak melebihi potensi lestari.

(6) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertambangan disusun dengan


memperhatikan:
a. ketentuan pelarangan pemanfaatan pertambangan pada kawasan dengan fungsi
lindung, kawasan pertanian lahan basah (sawah), serta kawasan budidaya
terbangun (permukiman, industri, pariwisata, dan sejenisnya termasuk sistem
jaringan prasarana utama); serta
b. ketentuan pemanfaatan pertambangan pada kawasan yang telah diarahkan
sebagai rencana pengembangan penambangan, dengan memperhatikan
keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara risiko dan
manfaat, termasuk pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan
kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan bahaya dengan
memperhatikan kepentingan, berdasarkan analisa teknis dari instansi teknis yang
terkait.

(7) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan industri dan pergudangan disusun dengan
memperhatikan:

a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan kawasan industri, Kawasan Peruntukan


Industri, dan Industri rumah tangga (Home Industri);
b. pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan kemampuan
penggunaan teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di
wilayah sekitarnya;
c. pembatasan pembangunan rumah tinggal di dalam lokasi Kawasan Peruntukan
Industri untuk mengurangi dampak negatif pengaruh dari keberadaan industri
terhadap permukiman yang ada;
d. ketentuan pelarangan peruntukkan lain selain industri maupun fasilitas
pendukungnya dalam Kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan industri sesuai
Ketentuan/Peraturan yang berlaku, kecuali Kawasan Peruntukan Industri, Home
Industri serta kawasan industri;

BAGIAN HUKUM
e. pemanfaatan ruang kawasan industri, diarahkan untuk pemanfaatan rumah tinggal,
kegiatan produksi, tempat proses produksi, fasilitas pendukung/penunjang 1
permukiman maupun industri akan diatur tersendiri secara khusus berdasarkan
peraturan yang berlaku;
f. pemanfaatan ruang untuk Industri rumah tangga (Home Industri) diijinkan
pemanfaatannya dalam kawasan permukiman dengan pembatasan pada luasan
lahan, dan dampak yang ditimbulkan (berdasarkan batasan kapasitas produksi,
tenaga kerja, transportasi yang dihasilkan, dan limbah yang dihasilkan berdasarkan
analisa daya dukung dan daya tampung lokasi) sesuai peraturan yang berlaku;
serta
g. pemanfaatan ruang untuk pergudangan antara lain berupa gudang untuk industri,
perdagangan, stasiun pengisian bahan bakar dan kegiatan sejenis diijinkan
pemanfaatannya dalam kawasan permukiman dengan pembatasan pada luasan
lahan, dan dampak yang ditimbulkan sesuai peraturan yang berlaku.
(8) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya
tampung lingkungan;
b. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau;
c. pembatasan pendirian bangunan (kecuali permukiman penduduk) pada koridor
jalur wisata utama maupun kawasan/obyek wisata hanya untuk
kegiatan/peruntukan lahan yang menunjang kegiatan pariwisata; dan
d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.
(9) Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan permukiman disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk peruntukkan Industri rumah tangga (Home Industri)
dengan kepadatan rendah dan batasan khusus sesuai ketentuan yang berlaku;
b. penetapan fasilitas pendukung kegiatan permukiman dan aktivitas masyarakat
yang dibutuhkan secara proporsional sesuai peraturan yang berlaku, antara lain
berupa fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan, rekreasi, olah raga dan lain-
lain sesuai kebutuhan masyarakat setempat;
c. penetapan amplop bangunan;
d. penetapan tema arsitektur bangunan;
e. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan; dan
f. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan.

Bagian Ketiga
Ketentuan Perizinan

Pasal 84

(1) Pendayagunaan mekanisme perizinan


pemanfaatan ruang dan lokasi pembangunan merupakan bagian dari pengendalian
terhadap pemanfaatan ruang wilayah agar pemanfaatan ruang atau pembangunan
sesuai dengan RTRW Kabupaten.
(2) Pendayagunaan mekanisme perizinan
pemanfaatan ruang dan lokasi pembangunan dilakukan melalui tahapan-tahapan
sebagai berikut :
a. tahap gagasan/ide.
b. tahap pemberian izin lokasi.
c. tahap kegiatan pembangunan.
d. tahap kegiatan berusaha.
e. tahap perubahan pembangunan.
f. tahap evaluasi kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang wilayah.
(3) Tahap gagasan/ide sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yaitu
investor/masyarakat/pemerintah memberi suatu studi kelayakan seperti prastudi
kelayakan, studi kelayakan, kelayakan ekonomi dan lingkungan.

BAGIAN HUKUM
(4) Tahap pemberian izin lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. persetujuan prinsip pencadangan tanah. 1
b. persetujuan penguasaan peruntukan ruang.
c. persetujuan pembebasan peruntukan ruang.
d. persetujuan ruang.
e. persetujuan tetangga sekitar.
f. penyelesaian administrasi pertanahan.
(5) Tahap kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yaitu
pengaturan dan pengendalian proses fisik pembangunan kawasan lindung, kawasan
budidaya dan kawasan khusus yang terdapat pada wilayah perencanaan.
(6) Tahap kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d yaitu
mengontrol kegiatan-kegiatan berusaha/ usaha yang diisyaratkan sehingga tercapai
pertumbuhan ekonomi wilayah yang diharapkan.
(7) Tahap perubahan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e yaitu
upaya penyesuaian fungsi-fungsi kawasan sesuai dengan perkembangan yang terjadi
serta dampak-dampak yang ditimbulkannya.
(8) Penataan yang dilakukan oleh seluruh pihak terkait dengan pelaksanaan RTRW
Kabupaten sebagai kebijakan matra ruang akan diberikan insentif atau disinsentif yang
akan diatur dengan Peraturan Bupati.

Bagian Keempat
Ketentuan Insentif dan Disinsentif

Pasal 85

(1) Dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perangkat atau upaya untuk
memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana
tata ruang, berupa:
a. keringanan pajak;
b. pemberian kompensasi;
c. subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham;
d. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
e. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
f. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau pemerintah daerah.
(3) Disinsentif sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau
mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, berupa:
a. pengenaan pajak yang tinggi disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan
untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau
b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.
(4) Insentif dan disinsentif diberikan
dengan tetap menghormati hak masyarakat.
(5) Insentif dan disinsentif dapat
diberikan oleh:
a. pemerintah kepada pemerintah daerah;
b. pemerintah daerah kepada pemerintah daerah lainnya; dan
c. pemerintah kepada masyarakat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai
bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati.

BAGIAN HUKUM
Bagian Kelima 1
Arahan Sanksi

Pasal 86

Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasa 76 ayat (3) huruf d merupakan acuan
dalam pengenaan saksi terhadap :
a. pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah Kabupaten Sumba Timur;
b. pelanggaran ketentuan arahan peraturan
zonasi sistem kabupaten;
c. pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan
ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten Sumba Timur;
d. pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin
pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten Sumba Timur;
e. pelangaran ketentuan yang ditetapkan dalam
prasyarat izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRW Kabupaten
Sumba Timur;
f. pemanfaatan ruang yang menghalangi akses
terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik
umum; dan/atau
g. pemanfaatan ruang dengan izin yang
diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.

Pasal 87

(1) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a, huruf b, huruf
d, huruf e, huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administrasi berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi; dan/atau
i. denda administratif.
(2) Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf c dikenakan
sanksi administratif berupa :
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pembongkaran bangunan;
f. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
g. denda administratif.

BAB IX

HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 88

BAGIAN HUKUM
Dalam kegiatan mewujudkan pemanfaatan ruang wilayah, masyarakat berhak:
a. Ikut serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian 1
pemanfaatan ruang.
b. Mengetahui secara terbuka RTRW Kabupaten, rencana tata ruang kawasan, rencana
rinci tata ruang kawasan.
c. Menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari
penataan ruang.
d. Memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat
pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang.

Pasal 89

(1) Untuk mengetahui rencana tata ruang, selain dari Lembaran Daerah, masyarakat dapat
mengetahui rencana tata ruang yang telah ditetapkan melalui pengumuman atau
penyebarluasan oleh Pemerintah Kabupaten.
(2) Kewajiban untuk menyediakan media pengumuman atau penyebarluasan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penempelan/pemasangan peta
rencana tata ruang yang bersangkutan pada tempat-tempat umum dan juga pada
media massa, serta melalui pembangunan sistem informasi tata ruang.

Pasal 90

(1) Dalam menikmati manfaat ruang dan/atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang, pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan atau kaidah yang berlaku.
(2) Untuk menikmati dan memanfaatkan ruang beserta sumberdaya alam yang terkandung
didalamnya, menikmati manfaat ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang
dapat berupa manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan dilaksanakan atas dasar
pemilikan, penguasaan, atau pemberian hak tertentu berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan ataupun atas hukum adat dan kebiasaan yang berlaku atas
ruang pada masyarakat setempat.

Pasal 91

(1) Hak memperoleh penggantian yang layak atas


kerugian terhadap perubahan status semula yang dimiliki oleh masyarakat sebagai
akibat pelaksanaan RTRW Kabupaten diselenggarakan dengan cara musyawarah
antara pihak yang berkepentingan.
(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai
penggantian yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka penyelesaiannya
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 92
Dalam kegiatan penataan ruang wilayah Kabupaten Sumba Timur, masyarakat wajib :
a. mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan ijin pemanfaatan ruang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan ijin pemanfaatan
ruang dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan Peraturan
Perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 93

BAGIAN HUKUM
(1) Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 94 dilaksanakan dengan mematuhi dan menerapkan kriteria, kaidah, baku 1
mutu, dan aturan-aturan penataan ruang yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Kaidah dan aturan pemanfaatan ruang yang dipraktekkan masyarakat secara turun
temurun dapat diterapkan sepanjang memperhatikan faktor-faktor daya dukung
lingkungan, estetika lingkungan, lokasi dan struktur pemanfaatan ruang serta dapat
menjamin pemanfaatan ruang yang serasi, selaras, dan seimbang.

Pasal 94

Dalam pemanfaatan ruang di daerah, peran masyarakat dapat berbentuk :


a. pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan
ruang udara berdasarkan peraturan perundang-undangan, agama, adat, atau
kebiasaan yang berlaku.
b. bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan
dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan yang mencakup lebih
dari satu wilayah kabupaten.
c. penyelenggaraan kegiatan pembangunan
berdasarkan RTRW Kabupaten dan rencana tata ruang kawasan yang meliputi lebih
dari satu wilayah.
d. perubahan atau konversi pemanfaatan ruang
sesuai dengan RTRW kabupaten yang telah ditetapkan.
e. bantuan teknik dan pengelolaan dalam
pemanfaatan ruang dan/atau kegiatan menjaga, memelihara, serta meningkatkan
kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pasal 95

(1) Tata cara peran masyarakat dalam


pemanfaatan ruang di daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Pelaksanaan peran masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Pemerintah Kabupaten.

Pasal 96

Dalam pengendalian pemanfaatan ruang, peran masyarakat dapat berbentuk :


a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah dan
kawasan, termasuk pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang
kawasan dimaksud.
b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan
penertiban pemanfaatan ruang.

BAB X

KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 97

BAGIAN HUKUM
1
(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kabupaten diberikan
wewenang untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan
dalam Peraturan Daerah ini.
(2) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang agar keterangan atau
laporan tersebut menjadi lengkap dan jelas.
b. meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau
badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan di bidang
penataan ruang.
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang penataan ruang.
d. memeriksa buku-buku catatan-catatan dan dokumen–dokumen lain berkenaan
tindak pidana di bidang penataan ruang.
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan,
pencatatan dan dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan
bukti tersebut.
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang penataan ruang.
g. menyuruh berhenti dan atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang
dan atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e.
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang penataan
ruang.
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi.
j. menghentikan penyidikan.
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di
bidang penataan ruang menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 98
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87
Peraturan Daerah ini diancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau
denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah)
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.
(3) Selain tindak pidana pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tindak pidana
atas pelanggaran pemanfaatan ruang yang mengakibatkan perusakan dan pencemaran
lingkungan serta kepentingan umum lainnya dikenakan ancaman pidana sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan.

B A B XII

BAGIAN HUKUM
1
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 99

(1) RTRW Kabupaten sebagaimana dimaksud dilengkapi dengan lampiran


berupa buku Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sumba Timur 2008– 2028 dan
album peta skala 1:100.000.
(2) Buku RTRW Kabupaten dan album peta sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Pasal 100

Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi
pembangunan dan administrasi pertanahan.

Pasal 101

Rencana tata ruang wilayah kabupaten menjadi pedoman untuk:


a. penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;
b. penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;
c. pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kabupaten;
d. mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antar sektor;
e. penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan
f. penataan ruang kawasan strategis kabupaten.

Pasal 102

(1) RTRW Kabupaten dapat dilakukan peninjauan kembali 5 (lima) tahun sekali.
(2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala
besar yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan dan/atau perubahan
batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang ditetapkan
dengan Undang-Undang, rencana tata ruang wilayah kabupaten ditinjau kembali lebih
dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

Pasal 103

Peran masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 90 disampaikan secara lisan atau tertulis kepada Bupati dan pejabat yang ditunjuk.

BAB XIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 104

BAGIAN HUKUM
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlakunya, maka semua rencana tata ruang dan
sektoral yang berkaitan dengan penataan ruang di wilayah kabupaten tetap berlaku 1
sepanjang tidak bertentangan dengan RTRW Kabupaten.

Pasal 105

(1) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka semua peraturan pelaksanaan
yang berkaitan dengan penataan ruang Daerah yang telah ada dinyatakan berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan
Daerah ini.
(2) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:
a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan
Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya;
b. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan
ketentuan Peraturan Daerah ini berlaku ketentuan:
1 untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan
dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini;
2 untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, pemanfaatan ruang
dilakukan sampai izin terkait habis masa berlakunya dan dilakukan penyesuaian
dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini; dan
3 untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan
untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan
Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian
yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan
penggantian yang layak;
c. pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan Peraturan
Daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan Peraturan Daerah ini;

d. pemanfaatan ruang di Daerah yang diselenggarakan tanpa izin ditentukan sebagai


berikut:
1 yang bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, pemanfaatan ruang
yang bersangkutan ditertibkan dan disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini;
dan
2 yang sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini, dipercepat untuk
mendapatkan izin yang diperlukan.

B A B XIV

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 106

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, maka Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat
II Sumba Timur Nomor 25 Tahun 1998 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Daerah Tingkat II Sumba Timur (Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Tahun 1998
Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur Nomor 14)
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 107

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Sumba Timur.

BAGIAN HUKUM
Ditetapkan di Waingapu 1
pada tanggal 27 Oktober 2010

BUPATI SUMBA TIMUR,

GIDION MBILIJORA

Diundangkan di Waingapu
pada tanggal 27 Oktober 2010

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN SUMBA TIMUR,

UMBU HAMAKONDA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMBA TIMUR TAHUN 2010 NOMOR 206

PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA TIMUR
NOMOR 12 TAHUN 2010

TENTANG

BAGIAN HUKUM
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SUMBA TIMUR
1
TAHUN 2008 - 2028

I. UMUM
Ruang Wilayah Kabupaten Sumba Timur , baik sebagai kesatuan wilayah yang meliputi
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi, maupun sumber
daya, merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang perlu dilindungi dan disyukuri dan
dikelola secara berkelanjutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat Sumba
Timur sesuai dengan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta makna yang terkandung dalam
falsafah dan dasar negara Pancasila. Untuk mewujudkannya, Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah ini menyatakan bahwa daerah menyelenggarakan
penataan ruang, yang pelaksanaan wewenangnya daerah yang aman, nyaman, produktif
dan berkelanjutan, Peraturan Daerah ini mengamanatkan perlunya dilakukan penataan
ruang wilayah yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dengan tetap menghormati
hak yang dimiliki oleh setiap orang.

Ruang yang meliputi ruang darat, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam
bumi, sebagai tempat dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan dan memelihara
kelangsungan hidupnya, pada dasaranya ketersediaannya tidak tak terbatas. Berkaitan
dengan hal tersebut, dan untuk mewujudkan tata ruang wilayah mengharmoniskan
lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan serta
dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang.

Ruang sebagai sumber daya pada dasarnya tidak mengenal batas wilayah. Namun, untuk
mewujudkan ruang wilayah daerah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan serta
sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang nyata, luas dan bertanggung jawab,
penataan ruang menuntut kejelasan pendekatan dalam proses perencanaannya demi
menjaga keselarasan, keserasian, keseimbangan dan keterpaduan antar daerah, antara
pusat dan daerah, antar sektor dan antar pemangku kepentingan.

Penataan ruang dengan pendekatan kegiatan utama kawasan terdiri atas penataan ruang
kawasan perkotaan dan penataan ruang kawasan perdesaan. Penataan ruang kawasan
perdesaan diselenggarakan pada kawasan perdesaan yang merupakan bagian wilayah
kabupaten atau pada kawasan yang secara fungsional berciri perdesaan yang mencakup
2 (dua) atau lebih wilayah kabupaten. Kawasan perdesaan yang merupakan bagian
wilayah kabupaten dapat berupa kawasan agropolitan.

Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan dimaksudkan untuk


mengembangkan, melestarikan, melindungi dan atau mengkoordinasikan keterpaduan
pembangunan nilai strategis kawasan yang bersangkutan demi terwujudnya pemanfaatan
yang berhasil guna, berdaya guna dan berkelanjutan. Penetapan kawasan strategis
didasarkan pada pengaruh yang sangat penting terhadap ekonomi, sosial, budaya dan
atau lingkungan termasuk kawasan yang ditetapkan cagar budaya, yang diukur
berdasarkan pendekatan eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi penanganan kawasan
yang bersangkutan.

Penataan ruang sebagai suatu sistem perencanaan ruang merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan antara yang satu dengan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan
kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat mewujudkan pemanfaatan ruang
yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan
hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak
menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang.

Perencanaan tata ruang dilakukan untuk menghasilkan rencana umum tata ruang dan
rencana rinci tata ruang. Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan
wilayah administratif dengan muatan substantif mencakup rencana struktur ruang dan

BAGIAN HUKUM
rencana pola ruang. Rencana rinci tata ruang disusun berdasarkan pendekatan nilai
strategis kawasan dan atau kegiatan kawasan dengan muatan substantif yang dapat 1
mencakup hingga penetapan blok dan sub blok peruntukan. Penyusunan rencana rinci
tersebut dimaksudkan sebagai operasionalisasi rencana umum tata ruang dan sebagai
dasar peraturan penetapan zonasi. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang
mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya.

Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui perizinan pemanfaatan ruang,


pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi. Perizinan pemanfaatan ruang
dimaksudkan sebagai upaya penertiban pemanfaatan ruang sehingga setiap pemanfaatan
ruang harus dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang. Izin pemanfaatan ruang diatur
dan ditertibkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, baik yang dilengkapi
dengan izin maupun yang tidak memiliki izin dikenai sanksi administratif, sanksi pidana
dan atau sanksi pidana denda.

Pemberian insentif dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan imbalan terhadap


pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, baik yang dilakukan oleh
masyarakat maupun oleh pemerintah daerah. Bentuk insentif dapat berupa keringanan
pajak, pembangunan sarana dan prasarana (infrastruktur), pemberian kompensasi,
kemudahan prosedur perizinan dan atau penghargaan.
Disinsentif dimaksudkan sebagai perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan
dan atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang yang antara
lain dapat berupa pengenaan pajak yang tinggi, pembatasan penyediaan sarana dan
prasarana serta pengenaan kompensasi dan penalti.

Pengenaan sanksi, yang merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang,
dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Dalam peraturan daerah ini
pengenaan sanksi tidak harus diberikan kepada pemanfaat ruang, tetapi dikenakan pula
kepada pejabat pemerintah yang berwenang yang menertibkan izin pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

Dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan penataan ruang, Peraturan Daerah ini
memuat ketentuan pokok sebagai berikut :
a. Pengaturan penataan ruang yang dilakukan melalui penetapan peraturan daerah
sebagai acuan penyelenggaraan penataan ruang wilayah;
b. Pelaksanaan penataan ruang yang mencakup perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkatan pemerintah dan
stakeholder;
c. Hak, kewajiban dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang
untuk menjamin keterlibatan masyarakat dalam setiap proses penyelenggaraan
penataan ruang;
d. Ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai dasar untuk penegakan
hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan ”keterpaduan’ adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan mengintegrasikan berbagai kepentingan yang bersifat lintas
sektor, lintas wilayah dan lintas pemangku kepentingan (pemerintah dan masyarakat)
Huruf b

BAGIAN HUKUM
Yang dimaksud dengan “keserasian, keselarasan, dan keseimbangan” adalah bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan mewujudkan keserasian antara struktur 1
ruang dan pola ruang, keselarasan antara kehidupan manusia dan lingkungannya,
keseimbangan pertumbuhan dan perkembangan antar daerah serta antar kawasan
perkotaan dan kawasan perdesaan.

Huruf c
Yang dimaksud dengan “keberlanjutan” adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan menjamin kelestarian dan kelangsungan daya dukung dan
daya tampung lingkungan dengan memperhatikan kepentingan generasi yang akan
datang.

Huruf d
Yang dimaksud dengan “keberdayagunaan dan keberhasilgunaan” adalah bahwa
penataan ruang diselenggarakan dengan mengoptimalkan manfaat ruang dan
sumber daya yang terkandung di dalamnya serta menjamin terwujudnya tata ruang
yang berkualitas.

Huruf e
Yang dimaksud dengan “keterbukaan” adalah bahwa diselenggarakan dengan
memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan
informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “kebersamaan dan kemitraan” adalah bahwa penataan ruang
diselenggarakan dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

Huruf g
Yang dimaksud dengan “pelindungan kepentingan umum” adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan mengutamakan kepentingan masyarakat.

Huruf h
Yang dimaksud dengan “kepastian hukum dan keadilan” adalah bahwa penataan
ruang diselenggarakan dengan berlandaskan hukum/ketentuan perundang-undangan
dan bahwa penataan ruang dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan
masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan
jaminan kepastian hukum.

Huruf i
Yang dimaksud dengan “akuntabilitas” adalah bahwa penyelenggaraan penataan
ruang dapat dipertanggungjawabkan baik prosesnya, pembiayaannya maupun
hasilnya.

Pasal 3
Yang dimaksud “aman” adalah situasi masyarakat yang dapat menjalankan aktivitas
kehidupannya dengan terlindungi dari berbagai ancaman.

Yang dimaksud “nyaman” adalah keadaan masyarakat dapat mengartikulasikan nilai


sosial budaya dan fungsinya dalam suasana yang tenang dan damai.

Yang dimaksud “produktif” adalah proses produksi dan distribusi berjalan secara
efisien sehingga mampu memberikan nilai tambah ekonomi untuk kesejahteraan
masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing.

Yang dimaksud “berkelanjutan” adalah kondisi kualitas lingkungan fisik dapat


dipertahankan bahkan dapat ditingkatkan, termasuk pula antisipasi untuk
mengembangkan orientasi ekonomi kawasan setelah habisnya sumber daya alam
tak terbarukan.

Pasal 4

BAGIAN HUKUM
Cukup jelas
Pasal 5 1
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

BAGIAN HUKUM
Pasal 25
Cukup jelas 1
Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Huruf a
Kawasan perlindungan kawasan bawahannya adalah kawasan sumber mata air
dan kawasan hutan lindung

Huruf b
Kawasan perlindungan setempat adalah kawasan disekitar sumber mata air,
kawasan di sekitar danau/sungai, kawasan sempadan sungai dan kawasan
sempadan pantai.

Huruf c
Kawasan suaka alam adalah kawasan lindung yang terdiri dari cagar alam, suaka
margasatwa, hutan wisata, daerah perlindungan plasma nutfah dan daerah
pengungsian satwa. Sedangkan Kawasan cagar budaya adalah kawasan yang
berisikan situs-situs budaya rumah adat, situs kerajaan dan peninggalan sejarah

Huruf 6
Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sangat rentan terhadap
bencana alam seperti tsunami, banjir, tanah longsor, dan letusan gunung berapi.

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Cukup jelas

BAGIAN HUKUM
Pasal 40 1
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Cukup jelas

BAGIAN HUKUM
Pasal 60 1
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup Jelas

Pasal 70
Cukup Jelas

Pasal 71
Cukup jelas

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

Pasal 74
Cukup jelas

Pasal 75
Cukup jelas

Pasal 76
Cukup jelas

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Cukup Jelas

BAGIAN HUKUM
Pasal 80
Cukup Jelas 1

Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat 1
Cukup jelas
Ayat 2
Cukup jelas
Ayat 3
Cukup jelas
Ayat 4
Cukup jelas
Ayat 5
Cukup jelas
Ayat 6
Cukup jelas
Ayat 7
Cukup jelas
Ayat 8
Cukup jelas
Ayat 9
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Batas maksimum ruang yang di ijinkan untuk di bangun pada suatu
persil di batasi oleh garis sempadan bangunan dari muka, samping,
belakang dan bukaan langit
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Cukup jelas

Pasal 86
Cukup jelas

Pasal 87
Cukup jelas

Pasal 88
Cukup jelas

Pasal 89
Cukup jelas

Pasal 90
Cukup jelas.

BAGIAN HUKUM
Pasal 91 1
Cukup jelas

Pasal 92

Huruf a
Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan dimaksudkan sebagai
kewajiban setiap orang untuk memiliki izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang
berwenang sebelum pelaksanaan pemanfaatan ruang.

Huruf b
Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dimaksudkan
sebagai kewajiban setiap orang untuk melaksanakan pemanfaatan ruang sesuai
dengan fungsi ruang yang tercantum dalam izin pemanfaatan ruang.

Huruf c
Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang
di maksudkan sebagai kewajiban setiap orang untuk memenuhi ketentuan
amplop ruang dan kualitas ruang.

Huruf d
Pemberian akses dimaksudkan untuk menjamin agar masyarakat dapat
mencapai kawasan yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan
sebagai milik umum. Kewajiban memberikan akses dilakukan apabila memenuhi
syarat berikut :
a. untuk kepentingan masyarakat umum; dan/atau
b. tidak ada akses lain menuju kawasan dimaksud.
Yang dimaksud dalam kawasan yang dinyatakan sebagai milik umum, antara lain,
adalah sumber air dan pesisir pantai.

Pasal 93
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas

Pasal 95
Cukup jelas.

Pasal 96
Cukup jelas.

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas

Pasal 99
Cukup jelas

Pasal 100
Cukup jelas

Pasal 101
Cukup jelas

Pasal 102
Cukup jelas

BAGIAN HUKUM
Pasal 103 1
Cukup jelas

Pasal 104
Cukup jelas

Pasal 105
Cukup jelas

Pasal 106
Cukup jelas

Pasal 107
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMBA TIMUR NOMOR 195

BAGIAN HUKUM

Anda mungkin juga menyukai