Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai kesenjangan yang ditemukan antara teori dan
pengaplikasian asuhan keperawatan pada kasus yang ditemukan pada Tn. M dengan Chronic
Kidney Disease (CKD) disertai anemia diruang Al-aziz 2 lantai 2 RS Rumah Sehat Dompet
Dhuafa.

IV.1 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian keperawatan adalah catatan ataupun informasi mengenai perkembangan
yang terjadi pada klien, baik data dasar dari klien ataupun mengenai respon kesehatan pasien.
Pengkajian ini dilakukan secara menyeluruh, sistematis dan masuk akal untuk menemukan
masalah pada klien. Masalah keperawatan yang ditemukan menggunakan data pengkajian
sebagai rumus untuk membuat diagnosa keperawatan (Dinarti, 2017).

Pengkajian merupakan langkah awal dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Pada tahap
ini penulis mengumpulkan data dasar melalui wawancara, observasi, pemeriksaan fisik
maupun catatan medis yang ditemukan selama proses pengkajian berlangsung.

Menurut teori yang didapatkan, gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi
renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme serta keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi
uremia (Smeltzer & Bare, 2015). Menurut teori gagal ginjal kronik stage lima ialah dengan
nilai GFR dibawah 15 ml/menit yang mengakibatkan ginjal gagal mempertahankan
keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga terjadi uremia (KDIGO, 2013). Setelah
dilakukan pemeriksaan darah, klien baru diketahui mengalami gagal ginjal kronik atau
Chronic Kidney Desease (CKD) stadium lima dengan hasil GFR 14,93 ml/menit.

Saat ini klien Tn. M mengalami Chronic Kidney Desease (CKD) disertai anemia
yang ditandai dengan konjungtiva anemis, kulit pucat, tampak lemas, mengalami sesak
napas dan penurunan kesadaran. Menurut (Bayhakki, 2013) gagal ginjal kronik melibatkan
penurunan dan kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Selain
itu, penderita juga mengalami tekanan darah tinggi, karena ginjal tidak mampu membuang
kelebihan garam dan air. Lambat laun, limbah metabolik yang tertimbun didalam darah
semakin banyak. Maka, penderita menunjukan berbagai macam gejala, seperti mudah lelah,
letih, kurang siaga, kedutan otot, kelemahan otot, kram, anggota gerak seperti tertusuk jarum,
dan hilangnya rasa pada daerah-daerah tertentu. Selain itu, nafsu makan penderita menurun,
merasa mual dan muntah, terjadi peradangan pada lapisan mulut (stomatitis), rasa tidak enak
dimulut, dan penderita mengalami penurunan berat badan dan atau malnutrisi. Apabila
tekanan darah tinggi, penderita akan kejang. Dan kelainan kimia darah menyebabkan
kelainan fungsi otak penderita (Muhammad, 2012).

Penyebab dari proses terjadinya penyakit Chronic Kidney Desease (CKD) disertai
dengan anemia penulis telah melaksanakan wawancara dan studi kepustakaan mengenai
riwayat peyakit terdahulu dan riwayat penyakit saat ini yang dialami klien serta obat-obatan
yang dikonsumsi sebelumnya. Tn. M sebelumnya memiliki riwayat hipertensi pada tahun
1.991 (usia 40 tahun) dan keluarga mengatakan klien mengonsumsi obat amlodipine namun
tidak rutin dan tidak rutin kontrol tekanan darah serta untuk makan dan minuman tidak
memantang saat sehat. Untuk riwayat penyakit sekarang klien mengalami gangguan pada
ginjal stadium lima dengan istilah End Stage Renal Desease (ESRD). Menurut Goh & Griva,
2018 penyakit gagal ginjal kronik stadium akhir memerlukan terapi penggantian ginjal. Gagal
ginjal kronik yang terjadi pada klien disebabkan karena tekanan darah yang tidak terkontrol
membuat pembuluh darah melemah dan menyempit yang menyuplai ginjal sehingga dapat
menghambat fungsi ginjal untuk berfungsi secara normal karena kekurangan oksigen
sehingga fungsi ginjal menurun 25% dan lambat laun akan semakin menurun hingga
menyebabkan ESRD. ESRD (End-Stage Renal Disease) merupakan diagnosis stadium akhir
yang membutuhkan terapi penggantian ginjal atau transplantasi ginjal (Arora, 2015). Tidak
terdapat kesenjangan antara kasus dengan teori, dimana klien Tn. M diberikan terapi
penggantian ginjal berupa hemodialisis untuk mempertahankan hidup nya.

Komplikasi lanjut yang dialami oleh Tn. M yakni anemia, anemia adalah penurunan
kadar hemoglobin kurang dari 12 g/dL pada wanita dan kurang dari 13 g/dL pada laki-laki.
Ginjal memiliki peran penting pada eritropoiesis, karena sel interstisial peritubuler ginjal
mengatur produksi eritropoietin akan meningkat ketika sel tersebut mendeteksi penurunan
oksigen (McPherson dan Pincus, 2017). Klien Tn. M mengalami anemia dengan hasil
hemoglobin 7.9 g/dl pada hari pertama penulis melakukan pengkajian, oleh karena itu klien
diberikan transfuse darah on hemodialisis sebanyak 360cc dan obat B12 2 x 1 tab dan asam
folat 3 x 1 tab untuk membantu pembentukan sel darah, protein dan jaringan.
Berdasarkan anamnesis, didapatkan data klien tampak lemas. Adanya lemas
mengarahkan akibat dari anemia. Hasil pemeriksaan tampak konjungtiva anemis dengan hasil
pemeriksaan laboratorium hemoglobin sebesar 7.9 g/dL (13.2 – 17.3) yang termasuk dalam
kategori anemia sedang. Anemia pada klien ini disebabkan karena gangguan produksi
eritropoetin pada pasien gagal ginjal kronik (Longo DL, dkk, 2015). Berbagai obat digunakan
dalam penatalaksanaan anemia pada gagal ginjal kronik adalah asam folat, eritropoetin,
vitamin B12, Erythropoiesis stimulating agent (ESA), dan zat besi (Ineck et al., 2008;
KDIGO, 2012). Penggunaan asam folat memberikan pengaruh kepada pasien gagal ginjal
kronik karena dapat meningkatkan kadar hemoglobin pasien dan dalam pembentukan sel
darah merah, menstimulasi produk sel darah merah, sel darah putih dan platelet pada anemia
megaloblastik Alvionita (2016). Eritropoetin bekerja pada suatu glikoprotein hormon yang
akan terikat pada reseptor spesifik progenitor sel darah merah yang selanjutnya memberi
sinyal merangsang proliferasi dan diferensasi. Produksi EPO akan meningkat pada keadaan
anemia ataupun hipoksia jaringan (Ineck et al., 2008). Vitamin B12 merupakan nutrisi
hematopoetik yang bekerja pada proses pembentukan sel darah merah (Bangbola, 2011;
Atkinson dan Warady, 2018). Tujuan penatalaksanaan anemia pada GGK adalah mencapai
target Hb > 10 g/dL dan Ht > 30 % (Ismatullah, 2015). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat kesenjangan antara terapi yang diberikan dengan teori yang didapat.

Setelah itu didapatkan data dari keluarga pasien dan data dari perkembangan perawat
diruangan, yaitu: keluarga mengatakan klien mengalami bengkak pada kaki, sedikit sesak
napas, keluarga mengatakan klien memiliki riwayat hipertensi serta hanya buang air kecil
pada malam hari.

Hipertensi menyebabkan rangsangan barotrauma pada kapiler glomerolus dan


meningkatkan tekanan kapiler glomerolus terebut, yang lama kelamaan akan menyebabkan
glomerolusclerosis. Glomerulusclerosis dapat merangsang terjadinya hipoksia kronis yang
menyebabkan kerusakan ginjal. Hipoksia yang terjadi menyebabkan meningkatnya
kebutuhan metabolisme oksigen pada tempat tersebut, yang menyebakan keluarnya substansi
vasoaktif (endotelin, angiotensin dan norephineprine) pada sel endotelial pembuluh darah
lokal tersebut yang menyebabkan meningkatnya vasokonstriksi. Aktivasi RAS (Renin
Angiotensin Sistem) disamping menyebabkan vasokontriksi, juga menyebakan terjadinya
stres oksidatif yang meningkatkan kebutuhan oksigen dan memperberat terjadinya hipoksia.
Stres oksidatif juga menyebabkan penurunan efesiensi transport natrium dan kerusakan pada
DNA, lipid & protein, sehingga pada akhirnya akan menyebakan terjadinya tubulointertitial
fibrosis yang memperparah terjadinya kerusakan ginjal (Palm F, Nordquist L, 2011).
Tinjauan kasus pada Tn. M yang memiliki penyakit gagal ginjal kronik dengan permasalahan
menurut teori yaitu diakibatkan karena hipertensi yang berlangsung lama dan tidak terkontrol
sehingga menyebabkan kerusakan pada ginjal. Untuk menurunkan tekanan darah klien
diberikan obat antihipertensi golongan Calcium Channel Blockers atau CCB (Anand, B.,
Kumar, V. & Sivasubramanian, L., 2011) dengan amlodipine 1 x 10 mg dan klien diberikan
obat nevodiokip 1 x 1 tab yang termasuk golongan beta bloker. Berdasarkan panduan Joint
National Committee of Hypertension VIII tahun 2014 yang menyatakan bahwa pengobatan
pada pasien hipertensi dengan gagal ginjal kronik untuk segala umur menggunakan agen
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) seperti captropil dan lisinopril atau
Angiotensin Receptor Blocker (ARB) seperti candesartan dan ibesartan dan kemudian dapat
dikombinasikan dengan agen lain yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Pemilihan obat
yang tepat akan mengoptimalkan pengobatan pasien. Pada kasus terdapat kesenjangan
dimana klien diberikan obat amlodipine dan nevodio kip yang termasuk kedalam beberapa
obat tidak tepat pengobatan contohnya adalah amlodipin, nifedipin, bisoprolol, clonidin, dan
furosemid. Hal ini dikarenakan obat-obat tersebut bukan merupakan first line therapy pada
pasien hipertensi dengan hemodialisis.

Pada pasien tampak adanya edema dan saat dilakukan pemeriksaan klien terdapat
asites pada rongga perutnya yang mana hal ini mengarahkan pada penyakit ginjal. Pasien
diketahui fungsi ginjal menurun secara mendadak tanpa diketahui sebelumnya. Hal ini dapat
mengarahkan penyebab dari bengkak pada ekstremitas bawah klien yaitu karena gagal ginjal
kronik. Secara berkelanjutan, penumpukan cairan ini dapat menyebar hingga rongga
abdomen yang disebut dengan asites. Kondisi ini akan membuat tekanan darah meningkat
dan memperberat kerja jantung, menekan diafragma sehingga menyebabkan paru – paru
terdesak dan tidak dapat melakukan ventilasi secara adekuat sehingga terjadi sesak (Smeltzer
& Bare, 2015). Klasifikasi gagal ginjal kronik pada pasien yaitu stadium lima berdasarkan
hasil GFR 14,93 ml/menit (stage 5: nilai GFR dibawah 15). Pada tahap ini, ginjal tidak
mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal, ginjal tidak
mampu merespon sesuai dengan perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari,
kemudian terjadi retensi natrium dan air dapat meningkatkan beban sirkulasi berlebihan,
sehingga terjadinya edema, gagal jantung kongestif dan hipertensi (Isroin, 2016). Sehingga
klien diberikan furosemide 3 x 10 mg sebagai terapi untuk mengurangi bengkak pada
ekstremitas bawah klien. Pasien dengan penyakit ginjal kronik akan susah untuk
mengeluarkan cairan dalam tubuhnya melalui urin sehingga salah satu strategi untuk
meningkatkan efek diuretik atau pengeluaran cairan dalam tubuh yaitu dengan cara
pemberian transfusi albumin, namun hal ini tidak terbukti secara signifikan bahwa dengan
pemberian furosemid tunggal dibandingkan dengan kombinasi furosemid albumin secara
intravenous dapat meningkatkan efek diuretiknya (Ho dan Power, 2010; Dora et al., 2017).
Berdasarkan teori yang didapat, terdapat kesenjangan antara teori dengan kasus dimana klien
hanya diberikan furosemide tunggal tanpa kombinasi furosemide albumin sehingga efek
diuretiknya tidak begitu signifikan.

Keluarga mengatakan klien sedikit sesak napas, dari hasil studi kepustakaan
didapatkan data menurut Nurseskasatmata dkk, 2019, sesak nafas merupakan bentuk
ketidakpatuhan pasien akan konsumsi makanan yang tidak bergizi dan asupan cairan yang
berlebih sehingga pasien yang belum masuk jadwal hemodialisis sudah merasakan keparahan
dari penyakit gagal ginjal kronis berupa sesak nafas akibat penumpukan cairan di paru-paru.
Hal ini membuktikan pasien gagal ginjal kronis yang sudah menjalani terapi hemodialisis
rata-rata mengalami sesak nafas. Pada kondisi klien, ditemukan pola napas yang cepat dan
dalam, keluhan utama yang paling sering dirasakan oleh penderita gagal ginjal kronik adalah
sesak nafas, nafas tampak cepat dan dalam atau yang disebut pernafasan kusmaul (Smeltzer
& Bare, 2017). Hal tersebut dapat terjadi karena adanya penumpukan cairan di dalam
jaringan paru atau dalam rongga dada, ginjal yang terganggu mengakibatkan kadar albumin
menurun. Selain disebabkan karena penumpukan cairan, sesak nafas juga dapat disebabkan
karena pH darah menurun akibat perubahan elektrolit serta hilangnnya bikarbonat dalam
darah. Selain itu rasa mual, cepat lelah serta mulut yang kering, juga sering di alami oleh
penderita gagal ginjal kronik. Hal tersebut disebabkan oleh penurunan kadar natrium dalam
darah, karena ginjal tidak dapat mengendalikan ekskresi natrium, hal tersebut dapat pula
mengakibatkan terjadinya pembengkakan (Firdaus, 2016). Salah satu gejala adalah sesak
nafas, ada retraksi otot nafas, keringat dingin saturasi oksigen yang turun (Aisara et al.,
2018). Sehingga klien diberikan posisi semifowler. Klien diberikan posisi semifowler untuk
mengurangi sesak napas, menurut penelitian Supadi (2010), menyebutkan posisi semifowler
dengan kemiringan 30-45˚ menggunakan gaya gravitasi untuk membantu pengembangan
paru – paru dan mengurangi tekanan dari abdomen ke diafragma. Saat sesak nafas, pasien
lebih nyaman dengan posisi duduk atau setengah duduk sehingga posisi semifowler
memberikan kenyamanan dan membantu memperingan kesukaran bernafas selain itu,
diberikan terapi oksigen (O2) yang merupakan salah satu dari terapi pernapasan dalam
mempertahankan oksigenisasi jaringan yang adekuat. Berdasarkan teori yang didapat, tidak
ada kesenjangan antara kasus dengan teori dimana klien Tn. M diberikan posisi semifowler
saat perawatan di rumah sakit.

Klien mengalami kondisi dimana urine yang dikeluarkan sedikit dan hanya terjadi
pada malam hari hal ini dikarenakan total laju filtrasi glomerulus (GFR) menurun dan klirens
menurun, BUN, dan kreatinin meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi
akibat usaha menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan
kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan ekskresi, sejumlah besar urine
dikeluarkan, yang menyebabkan klien mengalami kekurangan cairan. Tubulus secara
bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya, urine yang dibuang
mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri. Lambat laun ginjal tidak dapat
menyerap air dari air kemih, sehingga volume air kemih bertambah. Oleh karena itu,
penderita mengalami nokturia (sering berkemih pada malam hari) (Muhammad, 2012).
Sehingga klien dibantu dalam pengeluaran urine dengan pemasangan kateter dengan jenis
folley catheher. Terganggunya eliminasi menandakan terjadinya gangguan pada bagian
sistem perkemihan, salah satunnya ginjal. Eliminasi merupakan salah satu pemenuhan
kebutuhan fisiologis manusia. Kateterisasi urin merupakan salah satu tindakan untuk
membantu eliminasi urin (Esho, 2014). Berdasarkan teori yang didapat, tidak terdapat
kesenjangan antara kasus dengan teori dimana klien Tn. M diberikan folley catheher sebagai
cara pemenuhan kebutuhan eliminasi urin klien.

Dilakukan pemeriksaan laboratorium sebelum dilakukan hemodialis didapatkan hasil


ureum dan kreatinin mengalami peningkatan dengan nilai ureum 176 mg/dl (15-45) dan
kreatinin 8.6 mg/dl (0.9 – 1.3). Menurut penelitian Rivalta & Olifie (2015), meningkatnya
kadar ureum dinamai uremia. Keadaan ini paling sering disebabkan oleh ekskresi ureum yang
terhambat oleh kegagalan fungsi ginjal. Ureum adalah satu molekul kecil yang mudah
mendifusi ke dalam cairan ekstrasel, tetapi pada akhirnya dipekatkan dalam urin dan
dieksresi. Kreatinin adalah produk akhir dari metabolisme kreatine. Kreatine yang terutama
disintesis oleh hati, terdapat hampir semuanya dalam otot rangka; disana ia terikat secara
reversibel kepada fosfat dalam bentuk fosfokreatinine, yakni senyawa penyimpan energi.
Nilai kreatinine dalam darah meningkat apabila fungsi renal berkurang. Berdasarkan teori
yang didapat, tidak terjadi kesenjangan antara teori dengan kasus dimana klien Tn. M
mengalami peningkatan ureum dan kreatinin yang signifikan yang menandakan kerusakan
pada ginjal.
Pasien dengan penyakit GGK cenderung ditemukan nilai ureum kreatinin secara signifikan
tinggi dibandingkan dengan kelompok yang bebas dari tanda dan gejala GGK (Merzah &
Suhad, 2015). Setelah diberikan hemodialisis, klien dilakukan pemeriksaan ureum kreatinin
ulang dan didapatkan hasil : ureum 75mg/dl (15-45) dan kreatinin 4.1 mg/dl (0.9 – 1.3).
Menurut penelitian Makmur & Tassa (2015) hemodialisis membantu terjadinya penurunan
ureum dan kreatinin akan tetapi tidak semua kembali ke nilai normal dengan kata lain tetap
terjadi penurunan tetapi kadarnya masih cukup tinggi (melebihi kadar normal).

Tn. M dilakukan tindakan hemodialisis sebagai bentuk terapi penggantian ginjal yang rusak
dengan akses fistula arteriovenosa atau cimino. Pilihan akses vaskular terbaik adalah fistula
arteriovenosa karena masa hidupnya yang lama serta risiko komplikasi yang lebih rendah
dibandingkan dengan graft arterio venosa dan kateter. Sampai saat ini fistula AV masih
menjadi pilihan utama akses vaskular untuk hemodialisis karena risiko infeksi dan kematian
yang lebih rendah. Namun angka kegagalan primer dari fistula AV masih cukup tinggi
sehingga penggunaan kateter vena sentral tidak dapat dihindarkan. (Ravani P dkk, 2018).
Berdasarkan kasus dan teori tidak terjadi kesenjangan. Klien diberikan akses cimino pada
lengan kiri untuk dilakukan hemodialisis.

Klien dilakukan pemeriksaan analisa gas darah pada arteri femoralis dikarenakan
kondisi klien yang gelisah dan terpasang restrain ditangannya sehingga pengambilan darah
dilakukan pada arteri femoralis. Pada klien Tn. M terdapat tanda-tanda hipoksia seperti pola
napas cepat dan dalam, terjadinya sesak napas dan tubuh tampak lemas yang diakibatkan
terjadinya penurunan hemoglobin. Untuk itu status oksigenasi harus diketahui dengan
melakukan pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) dan oksimetri (Tarwoto dan Wartonah,
2015).

Berdasarkan studi kasus didapatkan data klien diberikan terapi oksigen nasal kanul
sebanyak 3 liter permenit dengan respirasi 28x/menit dan SpO2 : 98%, dengan pernapasan
menggunakan cuping hidung. Menurut I Putu (2015) Nasal kanul merupakan alat terapi
oksigen dengan sistem arus rendah yang digunakan bagi pasien yang membutuhkan
konsentrasi oksigen rendah. Nasal kanul mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-
6 liter/menit dengan kandungan oksigen 24-44%. Setelah diberikan terapi oksigen klien
mengalami perbaikan dalam pernapasan dengan respirasi 23 x.menit dan SpO2 100%.
Namun pada hari keempat perawatan, klien mengalami sedikit sesak napas dengan respirasi
28 x.menit dan SpO2 100% sehingga klien diberikan oksigen nasal kanul 4 liter permenit.
Kemudian hasil pemeriksaan Analisa Gas Darah (AGD) ditemukan dengan hasil alkalosis
respiratorik (hasil laboratorium terlampir). Alkalosis respiratorik adalah suatu keadaan
dimana darah menjadi basa karena pernafasan yang cepat dan dalam, sehingga menyebabkan
kadar karbondioksida dalam darah menjadi rendah (Hawfield A, DuBose T, 2010).
Pernafasan yang cepat dan dalam disebut hiperventilasi, yang menyebabkan terlalu
banyaknya jumlah karbondioksida yang dikeluarkan dari aliran darah. Alkalosis respiratorik
dapat membuat penderita merasa cemas dan dapat menyebabkan rasa gatal disekitar bibir dan
wajah. Jika keadaannya makin memburuk, bisa terjadi kejang otot dan penurunan kesadaran
(Hawfield A, DuBose T, 2010). Pada klien Tn. M mengalami penurunan kesadaran dari
apatis menjadi sopor sehingga klien dianjurkan oleh dokter untuk perawatan diruang High
Care Unit (HCU).

IV.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah langkah dasar dalam menyusun rencana tindakan


keperawatan dengan mengambil keputusan secara klinis mengenai klien, ataupun keluarga
yang dikaji sebagai sebab dari masalah kesehatan atau proses terjadinya penyakit dalam
kehidupan baik secara aktual maupun potensial. Diagnosa keperawatan yang ditegakkan
sejalan dengan diagnosa medis, karena dalam proses pengumpulan data diperlukan diagnosa
medis untuk meninjau keadaan penyakit yang dialami klien (Dinarti, 2017).

Tahap kedua dari proses keperawatan adalah menyusun diagnosa keperawatan


berdasarkan prioritas pada Tn. M. Pada kasus Tn. M ditemukan emoat diagnosa utama
selama tiga hari pemberian asuhan keperawatan (16 Maret 2021 sampai 18 Maret 2021)
dimana keempat diagnosa ini di dapat dari Nanda 2018-2020, diantaranya: Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan (Nanda Internasional, 2020, hlm.
228 domain 4 kelas 4 kode 00032); Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan
mekanisme regulasi (Nanda Internasional, 2020, hlm. 183, domain 2 kelas 5 kode 00026);
Risiko jatuh berhubungan dengan penggunaan restrein (Nanda Internasional, 2020, hlm. 390,
domain 11 kelas 2 kode 00155); Hambatan pertukaran gas berhubungan dengan
ketidakseimbangan ventilasi perfusi (Nanda Internasional, 2020, hlm. 207, domain 3 kelas 4
kode 00030). Berikut ini akan dijelaskan faktor penyebab masalah keperawatan serta teori
acuan penegakkan diagnosa pada Chronic Kidney Desease (CKD):

IV.2.1 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan keletihan otot pernapasan (Nanda
Internasional, 2020, hlm. 228 domain 4 kelas 4 kode 00032)
Pada faktor penyebab pertama yang berhubungan dengan ketidakefektifan
pola napas adalah keletihan otot pernapasan. Pada Tn. M pola napas nya cepat dan
dalam. Menurut teori yang didapatkan, keluhan utama yang paling sering dirasakan
oleh penderita gagal ginjal kronik adalah sesak nafas, nafas tampak cepat dan dalam
atau yang disebut pernafasan kussmaul. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya
penumpukan cairan di dalam jaringan paru atau dalam rongga dada, ginjal yang
terganggu mengakibatkan kadar albumin menurun (Smeltzer & Bare, 2017). Pasien
gagal ginjal kronis masih banyak yang tidak patuh dalam pembatasan cairan dan diet
dan masih rendahnya dukungan dari keluarga sehingga dapat memungkinkan
terjadinya berbagai komplikasi peningkatan volume cairan jika terakumulasi secara
terusmenerus dapat terjadi odem paru. Salah satu gejala adalah sesak nafas, ada
retraksi otot nafas, keringat dingin saturasi oksigen yang turun (Aisara et al., 2018).
Kondisi ini merupakan keparahan dari Gagal Ginjal Kronis yang akan memperparah
penyakit sehingga berpotensi meningginya angka kematian pada pasien. Klien dalam
kondisi ini terpasang oksigen nasal kanul 3 liter permenit untuk mengurangi sesak
napas yang dialami klien. Demikian terdapat hubungan dengan diagnosa
ketidakefektifan pola napas.
IV.2.2 Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi (Nanda
Internasional, 2020, hlm. 183, domain 2 kelas 5 kode 00026)
Faktor penyebab pada kelebihan volume cairan yaitu gangguan mekanisme
regulasi akibat adanya masalah pada ginjal sehingga ginjal tidak mampu menyaring
zat sisa dalam tubuh secara normal. Menurut teori yang didapatkan ginjal memainkan
peran penting dalam mengatur keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa dan
hormon. Kerusakan pada ginjal akan mengakibatkan gangguan elektrolit seperti
hiperkalemia, hipokalsemia, asidosis metabolik, dan selanjutnya menimbulkan
gangguan pada otot, kelainan tulang, klasifikasi pembuluh darah dan kematian
(Brunzel, 2018). Akibatnya fungsi ginjal mengalami gangguan sehingga tidak dapat
mengatur keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa dan hormon menyebabkan
cairan menumpuk dan terjadinya kelebihan volume cairan dalam tubuh.
Adapun batasan karakteristik yang dialami oleh Tn. M ditandai dengan
adanya edema, asites, bunyi napas tambahan, gangguan pola napas, penurunan
hemoglobin dan hematokrit, dispnea, oliguria, gelisah dan terjadinya penambahan
berat badan dalam waktu yang cepat. Berdasarkan teori menurut Tim Pokja SDKI
DPP PPNI 2016 menyatakan tanda gejala hipervolemi atau kelebihan volume cairan
diantaranya edema anasarka atau edema perifer, berat badan meningkat dalam waktu
singkat, jugular venous pressure (JVP) atau central venous pressure (CVP)
meningkat, dan refleks hepatojugular positif. Berdasarkan data pada klien dapat
disimpulkan bahwa kelebihan volume cairan yang dialami karena adanya kerusakan
pada organ ginjal yang menyebabkan beberapa perubahan fisiologik yang dapat
mengakibatkan kegawatan seperti gagal jantung, aritmia, hiperkalemia, anemia,
imunitas yang menurun, gangguan mineral dan lain-lain (Setyohadi, Sally & Putu,
2016)
IV.2.3 Risiko jatuh berhubungan dengan penggunaan restrein (Nanda Internasional, 2020,
hlm. 390, domain 11 kelas 2 kode 00155)
Faktor penyebab klien mengalami resiko jatuh disebabkan karena klien Tn. M
mengalami penurunan kesadaran sehingga tubuh klien sangat beresiko tinggi
mengalami jatuh. Klien terpasang restrain ditempat tidurnya untuk mencegah klien
terjatuh. Adapun batasan karakteristik yang dialami oleh Tn. M adalah usia ≥ 65
tahun, dan pengkajian resiko jatuh dengan nilai 60 (resiko jatuh tinggi). Berdasarkan
teori keperawatan Faye G. Abdellah, 2018; tipologi masalah keperawatan di antaranya
mencegah terjadinya kecelakaan, cedera, atau trauma lain dan mencegah meluasnya
infeksi. Pelayanan yang diberikan pada pasien harus komprehensif, diantaranya
memberikan perawatan yang berlanjutan untuk menghilangkan nyeri dan
ketidaknyamanan dan memberikan rasa keamanan kepada individu. Teori ini sejalan
dengan patient safety, dimana perawat harus mampu memberikan asuhan aman bagi
pasien. Kejadian pasien jatuh dapat mengakibatkan cedera atau trauma untuk itu
perawat harus mampu memberikan perawatan yang dapat mencegah terjadinya jatuh
sehingga menciptakan rasa aman bagi pasien. Berdasarkan data pada klien dapat
disimpulkan bahwa resiko jatuh yang dialami karena adanya penurunan kesadaran.
IV.2.4 Hambatan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi perfusi
(Nanda Internasional, 2020, hlm. 207, domain 3 kelas 4 kode 00030)
Faktor penyebab klien mengalami hambatan pertukaran gas disebabkan karena
ketidakseimbangan ventilasi perfusi yang ditandai dengan keluhan utama gas darah
arteri abnormal, dispnea, pola pernapasan abnormal, dan bernapas menggunakan
cuping hidung.
Pada klien Tn. M terjadi pola napas cepat dan dalam yang menyebabkan terjadinya
sesak napas dengan hasil analisa gas darah areteri abnormal (Tarwoto dan Wartonah,
2015).
IV.3 Intervensi Keperawatan
IV.4 Implementasi Keperawatan
IV.5 Evaluasi Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai