Anda di halaman 1dari 61

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik atau chronik kidney disease(CKD) saat ini banyak diderita oleh

penduduk di dunia dan terus meningkat jumlah penderitanya di berbagai negara. Gagal

ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali,

dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme, keseimbangan cairan, dan elektrolit

yang berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal kronik mempunyai

karakteristik bersifat menetap, tidak bisa disembuhkan, dan memerlukan pengobatan

berupa transplantasi ginjal, dialisis peritoneal, hemodialisis, dan rawat jalan dalam jangka

waktu yang lama (B & Hawk, 2014).

Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami penyakit gagal ginjal kronik pada

stadium tertentu.Hasil sistemik review dan meta-analisis yang dilakukan oleh Hill et al

(2016),mendapatkan prevalensi global penyakit gagal ginjal kronik sebesar 13,4 %.

Sedangkan di Indonesia sendiri prevalensi penyakit gagal ginjal kronik berdasarkan

diagnosis dokter sebesar 0,2 % (Kemenkes, 2017). Di Jawa tengahpenderita gagal

ginjal jumlahnya mencapai 2.192 penderita (Infodatin, 2017), berdasarkan data di

ruangan hemodialisa RSUD Tidar Kota Magelang yang melakukan hemodialisa pada

bulan April sebanyak 175pasien, sedangkan pada bulan Mei sebanyak 174 pasien.

Saat ini hemodialisis menjadi terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih.

Fungsi dialisis untuk mengatasi ketidakseimbangan cairan dan


membantu mengendalikan penyakit ginjal serta meningkatkan kualitas hidup pasien

CKD.

Hemodialisis idealnya dilakukan 10-12 jam per minggu agar tercapai adekuasi. Pasien

biasanya menjalani hemodialisis 2-3 hari seminggu dengan lama durasi tiap

hemodialisis 3-5 jam, artinya ketika pasien tidak menjalani hemodialisis pada hari-hari

diantara dua waktu dialisis pasien akan mengalami masalah penumpukan cairan dalam

tubuh(Arfany, Armiyati, &Kusuma, 2014).

Penderita dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa harus mematuhi diet,

minum obat, pembatasan aktivitas, proses hemodialisis, dan pembatasan cairan.

Apabila cairan tidak dijaga atau terjadi kelebihan cairan antara sesi dialisis, maka akan

menimbulkan dampak berupa penambahan berat badan, dan edema.Namun,

membatasi cairan selama hemodialisa dapat menimbulkan rasa haus dan mulut kering

akibat produksi kelenjar ludah yang berkurang

(kozier, 2011).

Rasa haus merupakan keinginan yang disadari terhadap kebutuhan akan cairan

tubuh.

Rasa haus dapat mengakibatkan pasien tidak mematuhi diet pembatasan asupan

cairan sehingga pasien mengalami kelebihan cairan atau overhidrasi. Ketidakpatuhan

terhadap pembatasan cairan akan semakin meningkatkan asupan cairan. Penelitian

menunjukan ada hubungan yang signifikan antara masukan cairan dengan interdialytic

weight gain (IDWG) atau peningkatan berat badan diantara waktu dialisis (Istanti,

2013). Kelebihan cairan akan menurunkan kualitas hidup pasien karena timbulnya

berbagai komplikasi seperti permasalahan kardiovaskuler. Kelebihan cairan bisa terjadi


karena intake cairan yangberlebihan akibat tidak dapat menahan rasa haus. Rasa haus

harus dimanajemen atau dikendalikan agar pasien patuh pada diet pembatasan intake

cairan. Berbagai penelitian menunjukan bahwa intervensi manajemen rasa haus dapat

dilakukan, salah satunya yaitu mengulum es batu.

Pasien dengan pembatasan asupan cairan dengan mengulum es batu sangat

bermanfaat mengurangi rasa haus. Air yang terkandung didalam es batu membantu

memberikan efek dingin yang dapat menyegarkan dan mengatasi haus pasien yang

sedang menjalani hemodialisa (Arfany, Armiyati dan Kusumo,2015). Conchon dan

Fonseca (2014), dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa dengan penggunaan 10

ml es batu dengan cara dikulum oleh pasien postoperatif terbukti efektif dapat

mengurangi rasa haus pada periode pemulihan di recovery room (RR). Penggunaan es

batu 20% lebih efektif daripada air pada suhu ruangan untuk meringankan kehausan.

Konsumsi jumlah es batu yang dikulum dalam mengurangi rasa haus juga harus
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep DasarGagal Ginjal Kronik (GGK)

1. DefinisiGagal Ginjal Kronik (GGK)

Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu perubahan fungsi ginjal yang

progresif dan ireversibel ditandai oleh penurunan laju filtrasi glomerolus secara

mendadak dan cepat. Pada gagal ginjal kronik, ginjal tidak bisa untuk mempertahankan

keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Padila, 2012).

Gagal Ginjal Kronik adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi

ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat

persisten dan irrever-sibel (Mansjoer, 2000, dalam Nurani & Mariyanti, 2013). Gagal

Ginjal Kronik (GGK) merupakan penyakit terminal destruksi jaringan dan kehilangan

fungsi ginjal secara berangsur-angsur. Kondisi ini terjadi akibatpenyakit progresif cepat

dengan awitan mendadak yang merusak nefron dan menyebabkan ginjal rusak secara

ireversibel (Kowalak,2011).

Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative(K/DOQI) of National

Kidney Foundation (2016), penyakit gagal ginjal kronik dikarenakan adanya kerusakan

struktural atau fungsional ginjal dan/atau penurunan laju filtrasi glomerulus kurang dari

60mL/menit/1,73m2 yang berlangsung lebih dari tiga bulan. Kerusakan ginjal

didefinisikan sebagai kelainan patologis atau penanda kerusakan, termasuk kelainan

pada darah atau tes urine. Berdasarkan definisi dari berbagai sumber diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik adalah penyakit terminal dimana fungsi

ginjal mengalami kegagalan dan kerusakan secara 6 progresif dalammempertahankan

metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, ditandai dengan penumpukan

uremia, yang bersifatireversibel.

2. Penyebab Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative(K/DOQI) of National

Kidney Foundation (2016), terdapat dua penyebab utama dari penyakit ginjal

kronisyaitu diabetes dan tekanan darah tinggiantara lain :

a. Diabetes Melitus

Toto (2003) mengatakan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab utama

gagal ginjal dan juga penyebab kematian pada pasien gagal ginjal kronik. Diabetes

yang tidak terkontrol dapat menyebabkan diabetes nepropati yang merupakan

penyebab gagal ginjal.

Tjekyan (2014) mengatakan bahwa ginjal mempunyai banyak pembuluh-pembuluh

darah kecil. Diabetes dapat merusak pembuluh darah tersebut sehingga pada

gilirannya mempengaruhi kemampuan ginjal untuk menyaring darah dengan baik.

Kadar gula yang tinggi dalam darah membuat ginjal harus bekerja lebih keras

dalam proses panyaringan darah, dan mengakibatkan kebocoran pada ginjal. Awalnya,

penderita akan mengalami kebocoran protein albumin ke dalam urin (albuminaria) yang

dikeluarkan oleh urine, kemudian berkembang dan mengakibatkan fungsi penyaringan

ginjal menurun. Pada saat itu, tubuh akan mendapatkan banyak limbah karena
menurunnya fungsi ginjal yang nantinya akan menyebabkan gagal ginjal. Apabila

kondisi ini tidak dapat diatasi dan berlangsung terus menerus dapat meningkatkan

stadium dari gagal ginjal dan selanjutnya akan menyebabkan kematian (Tjekyan, 2014).

b. Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

Budiyanto (2009 dalam Ekantari, 2012) mengatakan bahwa hipertensi dan gagal

ginjal saling mempengaruhi. Hipertensi dapat menyebabkan gagal ginjal, atau

sebaliknya.

Hipertensi yang berlangsung lama dapat mengakibatkanperubahan struktur pada

arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh

darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal,

arteriosklerosis akibat hipertensi lama menyebabkan nefrosklerosis. Gangguan ini

merupakan akibat langsung iskemia karena penyempitan lumen pembuluh darah

intrarenal. Penyumbatan arteri dan arteriol akan menyebabkan kerusakan glomerulus

dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan terjadinya gagal

ginjal kronik. Gagal ginjal kronik sendiri sering menimbulkan hipertensi. Sekitar 90%

hipertensi bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan natrium,

sementara kurang dari 10% bergantung pada renin (Ekantari, 2012)

c. Penyebab lain

Kondisi lain yang mempengaruhi ginjal adalah Glomerulonefritis, sekelompok

penyakit yang menyebabkan peradangan dan kerusakan pada unit penyaringan ginjal.

gangguan ini adalah jenis yang paling umum ketiga penyakit ginjal. penyakit warisan,
seperti penyakit ginjal polikistik, yang menyebabkan kistabesar terbentuk di ginjal dan

merusak jaringan di sekitarnya.

Malformasi yang terjadi sebagai bayi berkembang di dalam rahim ibunya.

Misalnya,penyempitan dapat terjadi yang mencegah aliran normal urin dan

menyebabkan urin mengalir kembali ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan dapat

merusak ginjal. Lupus dan 8 penyakit lain yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh.

Penghalang yang disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal, tumor atau pembesaran

kelenjar prostat pada pria serta infeksi saluran kencing berulang (NKF, 2016)

3. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Menurut The Kidney Disease Outcomes Quality Initiative(K/DOQI) of National

Kidney Foundation (NKF) tahun 2016 terdapat 5 stage pada penyakit gagal ginjal

kronik. Berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan laju filtrasi glomerulus (GFR), yang

merupakan ukuran dari tingkat fungsi ginjal

.Tabel 2.1 Stage Gagal Ginjal Kronik

STAGE GAGAL GINJAL

Stage Deskripsi Laju filtrasi Glumerolus (GFR)*

(mL/menit/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal (misalnya, protein

dalam urin) dengan GFR normal 90 atau lebih dari di atasnya

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan 60-89 ringan pada GFR


3a Penurunan moderat GFR 45 –59

3b Penurunan moderat GFR 30 –44

4 penurunan parah GFR 15 –29

5 Gagal ginjal Kurang dari 15

(NKF, 2016)

4. Patofisiologi

Gagal Ginjal Kronik (GGK) berlangsung secara progresif dengan lima stadium.

Cadangan ginjal yang menurun terlihatlaju filtrasi glomerulus (LFG) sebesar 35%

sampai 50% laju filtrasi yang normal. Pada insufisiensi renal LFG sebesar 20% sampai

35% laju filtrasi yang normal. Gagal ginjal LFG sebesar 20% sampai 25% laju filtrasi

yang normal, sedangkan pada gagal ginjal stadium terminal (end stage renal desease)

LFG kurang dari 20% laju filtrasi yang normal (Kowalak,2011).

Gagal Ginjal Kronik (GGK) dimulai pada fase awal gangguan,keseimbangan

cairan,penanganan garam, serta penimbunan zat-zat sisamasih bervariasi dan

bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampaifungsi ginjal turun kurang dari 25%

normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa

yang sehatmengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa 5
meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorbsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi

(Kowalak, 2011).

Seiring dengan makinbanyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa

menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan

akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitandengan tuntutan

pada nefron-nefron yang ada untuk meningkatkanreabsorbsi protein. Pada saat

penyusutan progresif nefron-nefron, terjadipembentukan jaringan parut dan aliran darah

ginjal akan berkurang.

Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga

dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal ginjal,

dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtras protein-protein plasma. Kondisi akan

bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respons

dari kerusakan nefrondan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan

manifestasi penumpukan metabolit - metabolit yang seharusnya dikeluarkan dari

sirkulasi 10 sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak

manifestasi pada setiap organ tubuh (Muttaqin dan sari, 2011)

5. Penatalaksanaan pada Gagal Ginjal Kronik (GGK)

Pada dasarnya perencanaan dari penatalaksanaan Gagal Ginjal Kronik (GGK),

dilakukan sesuai dengan derajat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), antara lain :

Tabel 2.2Rencana tatalaksana PGK berdasarkan derajat LFG


Derajat LFG (ml/ mnt/ 1,73 m2) Penatalaksanaan

1 ≥ 90 Pemberian terapi pada

penyakit dasarnya,terapi pada kondisi

komorbid, evaluasi terjadinya

pemburukan (progression) fungsiginjal,

meminimalisir risiko kardiovaskular

2 60-89 Mencegah pemburukan(progression)

fungsiginjal.

3 30-59 Evaluasi dan pemberian terapi pada komplikasi

4 15-29 Persiapan pemberian terapi pengganti ginjal

5 ≤ 15 Terapi pengganti ginjal

Sumber : (Suwitra, 2007)

Menurut Suwitra (2007) penatalaksanaan yang harus dilakukan pada Gagal

Ginjal Kronik (GGK) sesuai dengan derajat Laju FiltrasiGlomerulus (LFG), diantaranya :
a. Pengobatan dengan terapi spesifik pada penyakit dasarnya.

Pemberian tindakan terapi penyakit dasarnya harus dilakukan pada

waktu yang tepat yaitu waktu dimana sebelum terjadi penurunan Laju Filtrasi

Glomerulus (LFG), sehingga tidak akan terjadi pemburukan fungsi ginjal.

b. Pemberian terapi dan pencegahan terhadap kondisi komorbid (Comorbid

Condition).

Pada pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) akan terjadi kecepatan penurunan LFG,

yang harus dipantau dan dicatat setiap saat untuk mengetahui terjadinya kondisi

komorbid (superimposedfactors) yang membuat kondisi pasien semakin memburuk.

c. Mencegah terjadinya pemburukan (Progression) fungsi ginjal.

Penyebab utama terjadinya perburukan fungsi ginjal adalah hiperfiltrasi glomerulus.

Cara yang dapa tdilakukan untukmengurangi hiperfiltrasi glomerulus, adalah:

1) Pembatasan asupan protein.

Pada pasien GGK pemberian diet tinggi protein dapat memicu terjadinya

penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik, dan mengakibatkan gangguan klinis

serta metabolik biasa disebut uremia. Asupan protein yang berlebih (protein overload)

juga membuat perubahan pada hemodinamik ginjal dan akan terjadi peningkatan aliran

darah serta tekanan intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration) yang dapat

mempercepat progresifitas kerusakan fungsi ginjal. Sehingga perlu dilakukan

pembatasan asupan protein untuk mengurangi sindrom uremik.


2) Pemberian terapifarmakologis.

Penggunaan obat antihipertensi penghambat Ensim Konverting Angiotensin

(Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), sangat bermanfaat untuk memperkecil

risiko terjadinya kardiovaskular dan untuk memperlambat terjadinya pemburukan

kerusakan nefron dengan cara menurunkan hipertensi intraglomerulus serta hipertrofi

glomerulus.

3) Pemberian terapi dan pencegahan terhadap penyakit kardiovaskular.

Pada pasien GGK cara yang dapat dilakukan untuk 12terapi dan juga

pencegahan penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, hipertensi,

dislipidemia, anemia, hiperfosfatemia serta terapi dari kelebihan volumecairan dan

gangguan keseimbangan elektrolit. Hal ini berkaitan dengan pemberian terapi dan

pencegahan akibat dari komplikasi GGK secara menyeluruh.Karena 40-45% kematian

pasien GGK diakibatkan oleh penyakit kardiovaskular

d. Pemberian terapi dan pencegahanterhadap bahaya komplikasi. Komplikasi yang

biasa terjadi pada pasien GGK adalah:

1) Anemia.

Pada pasien GGK anemia (jika kadar hemoglobin ≤ 10 gr% dan hematokrit ≤

30%) disebabkanoleh defisiensi eritropoitin. Sehingga terapi yang harus diberikan

adalah eritropoitin (EPO). Namun dalam terapi pemberian EPO, hal yang harus

diperhatikan adalah status zat besi karena dalam mekanisme kerjanya EPO

membutuhkan zat besi. Transfusi pada pasien GGK harus dilakukan dengan hati-hati,
sesuai dengan indikasi yang tepat dan cermat. Jika transfusi tidak dilakukan dengan

cermat dapat terjadi kelebihan cairan di tubuh, hiperkalemia dan penurunan fungsi

ginjal. Target kadar hemoglobin berdasarkan hasil dari berbagai studi klinik adalah

11-12g/dl.

2) Steodistrofi renal.

Salah satukomplikasi yang sering terjadi pada pasien GGK adalah osteodistrofi.

Penanganan osteodistrofi renal dilakukan dengan mengatasi hiperfosfatemia dan

pemberian hormon kalsitriol. Penanganan hiperfosfatemia dapat dilakukan dengan

pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat untuk menghambat absorbsi

fosfat pada saluran cerna, pemberian kalsium memetik (calcium mimetic agent) adalah

obat yang dapat menghambat reseptor kalsium (Ca) di kelenjar 13paratiroid . Proses

dialisis pada pasien GGK juga berperan mengatasi hiperfosfatemia

3) Pemberiankalsitriol.

Penggunaan kalsitriol untuk penatalaksanaan osteodistrofi renal dapat

menyebabkan peningkatan absorbsi fosfat dan kalsium pada saluran cerna sehingga

dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan garam calcium carbonate pada jaringan

dikenal sebagai kalsifikasi metastatik, dan juga mengakibatkan penekanan berlebih

pada kelenjar paratiroid. Sehingga penggunaan kalsitriol harus dibatasi pada pasien

dengan kadar fosfat darah normal serta kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5x normal

4) Pembatasan cairan dan elektrolit.


Pada pasien GGK pembatasan asupan cairan sangat penting untuk mencegah

terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Kadar cairan yang masuk dan keluar

di dalam tubuh harus seimbang, baik lewat urin ataupun insensible water loss (jika air

yang keluar lewat insensible water loss 500-800 ml/ hari sesuai luas permukaan tubuh,

maka air yang harus masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin). Sedangkan asupan

kadar elektrolit yang harus dibatasi adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium

harus dilakukan karena jika terjadi hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia jantung

(jumlah kadar kalium darah yang dianjurkan 3,5-5,5 mEq/ liter), dan pembatasan

natrium dilakukan untuk mengendalikan terjadinya hipertensi dan edema (jumlah

asupan garam natrium yang boleh diberikan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan

tingginya tekanan darah serta derajat dari edema yangterjadi).

e. Pemberian terapi pengganti ginjal yaitu dialisis atau transplantasi ginjal.

Pada pasien GGK stadium 5 terjadi penurunan LFG kurang dari 15 ml/menit,

harus segera dilakukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis, peritoneal dialisis,

dan transplantasi ginjal.

B. Manajemen Cairan

1. Definisi Cairan

Manajemen cairan adalah ketrampilan dalam mengidentifikasi masalah,

menetapkan tujuan, pemecahan masalah, pengambilan keputusan dalam menanggapi

flukturasi tanda dan gejala, mengambil tindakan dalam menghadapi respon fisiologis

kekurangan cairan tubuh, mentoring serta mengelola gejala (Lindbreg, 2010 dalam

Isroin, 2013).
Penting untuk diingat tentang penyebab haus. Haus adalah hasil langsung dari terlalu

banyaknya garam dalam air, makanan dan juga garam yang ditambahkan dalam

makanan. Diet garam terlalu banyak akan meyebabkan tingkat natrium meningkat dan

mengaktifkan mekanisme haus di otak, untuk itu perlu minum cairan yang cukup untuk

menormalkan natrium. Aspek yang lebih penting untuk menjaga IDWG normal pada

pasien dengan hemodialysis dan peritonial dialysis adalah dengan mengurangi jumlah

garam dan menggunakan bumbu-bumbu serta rempah-rempah untuk menambah rasa

(Thomas, 2008)

Kelebihan IDWG mungkin tidak selalu menjadi penyebab pasien kurang mengerti

tentang pembatasan asupan cairan. Makanan berisi cairan dan nafsu makan pasien

yang meningkat akan meningkatkan IDWG, dan kenyataan ini dapat dengan rinci

diperoleh pada pengkajian diet, indikasi tinggi protein dan kalori seperti cairan dalam

jelly, ice cream, saus dan sup. Kelebihan IDWG dapat dicegah dengan pemasukan

cairan tiap hari 500-800 ml dalam situasi produksi urin kering. Pemasukan natrium 80 –

110 mmol tiap hari, akan cukup untuk mengontrol haus dan membantu pasien

mengatur cairan (Thomas, 2008)

2. Perilaku Asupan Cairan

Pasien gagal ginjal harus memperhatikan asupan cairan, salah satu masalah

yang dihadapi adalah peningkatan volume cairan diantara kedua waktu dialisis yang

dimanifestasikan dengan penambahan berat badan. Tujuan dari hemodialisis salah

satunya adalah untuk memperbaiki keseimbangan cairan yang diharapkan. Walaupun


demikian pasien harus tetap melakukan pembatasan atau pengelolaan cairan dan diet

(sulistini dkk, 2015).

Asupan cairan harian yang dianjurkan pada pasien gagal ginjal dibatasi hanya

sebanyak “insensible water losses” ditambah jumlah urin. Pembatasan cairan

mempunyai tujuan untuk mengurangi kelebihan cairan pada periode interdialitik (istanti,

2014).

Sebuah ilustrasi skematis seperti bi-variasi dijurnal status cairan disajikan pada gambar

dibawah ini.

https://repository.poltekkes-smg.ac.id/js/pdfjs/web/images/texture.png

Sumber : Lindberg (2010)

2.1 Gambar 5 Status cairan dalam hemodialisa

IDWG merupakan peningkatan volume cairan yang dimanifestasikan dengan

peningkatan berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk

selama periode interdialitik. Pasien secara rutin diukur berat badanya sebelum dan

sesudah hemodialisis untuk mengetahui kondisi cairan dalam tubuh pasien, 16

kemudian IDWG dihitung berdasarkan berat badan kering setelah hemodialisis (istanti,

2014). Cara menghitung IDWG adalah dengan mengukur berat badan pasien sebelum

dilakukan hemodialisis saat sekarang, ukur berat badan post hemodialisis sebelumnya.

Hitunglah selisih penambahan berat badan antara post hemodialisis pada periode

sebelumnya dengan berat badan sebelum hemodialisis saat sekarang Hitung

penambahan berat badan dengan rumus berat badan post hemodialisis pada periode
sebelumnya dikurangi berat badan pasien sebelum hemodialisis saat sekarang

kemudian dibagi berat badan sebelum hemodialisis sekarang dikali 100% (Hirmawaty,

2014).

Pasien harus mempertahankan nilai IDWG 2,5%-3,5% berat badan kering atau

tidak melebihi 5% berat badan kering. IDWG lebih dari 2,5 kg menyatakan lemahnya

kepatuhan pasien terhadap asupan cairan (Isroin, 2013). Pengaturan masukan cairan

yang baik dapat mencegah IDWG yang berlebih, Kapple & Ihassy merekomendasikan

masukan cairan ideal yang dikonsumsi pasien setiap harinya adalah 600mL + urin

output/24jam +extrareanal waterloos, dimana 600mL merupakancairan yang hilang

setiap harinya, sedangkan extrareanal waterloos meliputi diare,muntah dan sekresi

nasogastrik (istanti 2014).

Selain untuk mempertahankan tekanan darah menghindari dan edema selain

harus melakukan pembatasan masukan cairan pasien di anjurkan untuk membatasi

asupan natrium 40-120 meq/hari.Bila asupan cairan berlebihan maka selama satu

periode atara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar (Sudoyo 2009).

Isroin dkk, (2013) menyatakan bahwa banyak pasien hemodialisis yang melanggar

aturan diet yang seharusnya dilakukan, meskipun pasien menyadaribahwa diet harus

dilakukan, rasa haus pada pasienhemodialisis menimbulkan rasa tidak nyaman yaitu

ambivalensi antara minum dan tidak minum.


3. Petunjuk bagi pasien yang menjalani hemodialisis untuk menjaga cairan.

Menurut Thomas (2008) ada beberapa petunjuk bagi pasien untuk menjaga

cairan tubuh pada pasien yang menjalani hemodialisa.

a. Menggunakan sedikit garam dalam makanan dan hindari menambahkan

garam makanan

b. Menggunakan bumbu dari rempak-rempah

c. Menghindari dan batasi penggunaan makanan olahan

d. Membagi jumlah cairan rata dalam sehari

e. Menggunakan gelas kecil bukan gelas besar

f. Setiap minum hanya setengah gelas.

g. Es batu kubus bisa membantu untuk mengurangi rasa haus. Satu es batu

kubus sama dengan 30 ml air (2 sendok makan).

h. Merangsang produksi saliva, dengan menghisap irisan jeruk lemon/jeruk

bali, permen karet rendah kalori

i. Cek berat badan tiap hari sebelum makan pagi, akan membantu untuk

mengetahu

j. tingkat cairan antar hemodialisa.

4. Monitoring Keseimbangan Cairan

Monitoring keseimbangan cairan dilakukan dengan cara mencatat pemasukan

dan pengeluaran cairan serta berat badan. Pemasukan cairan meliputi jenis dan jumlah

makanan maupun cairan.


Sedangkan pengeluaran adalah jumlah urin, muntah dan diare. Pasien mengisi buku

catatan harian untuk mentoring keseimbangan cairan setiap hari. Buku catatan harian

membantu pasien dalam mencegah masalah dalam, mengambil keputusan dan

tindakan dalam menghadapi respon haus. Pasien yang mengikuti dan melaksanakan

petunjuk menjaga keseimbangan cairan dapat membantu mempertahankan IDWG

2,5% sampai 3,5% beratbadan kering atau tidak melebihi 5% berat badan kering. Nilai

IWGD dihitung 18berdasarkan berat badan pasien sebelum hemodialisa (berat badan

basah) dikurangi berat badan setelah hemodialisa (berat badan kering).Nilai normal

IDWG adalah kurang dari 3% berat badan kering (Price &Wilson 2005, Istanti 2014).

C Hemodialisa

1. DefinisiHemodialisa

Hemodialisa adalah proses pembuangan zat-zat sisa metabolisme, zat toksis

lainnya melalui membran semipermiabel sebagai pemisah antara darah dan cairan

dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser. Membran semipermiabel adalah lembar

tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran

memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, keratin, dan asam

urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran,

tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk

melewati pori-pori membran(Wijaya, dkk., 2013).

Hemodialisa adalah suatu prosespembuangan limbah metabolik (urea dan

kreatinin) dan kelebihan volume cairan dimana terjadi perpindahan partikel terlarut
(solute) dan air secara pasif melalui satu kompartemen cair (darah) menuju

kompartemen lain (cairan dialisat) melewati membran semipermeabel didalam dialiser

(Price dan Wilson, 2013).

Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi sampah

buangan. Hemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau

pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat (Nursalam, 2013).

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa hemodialisis adalah

mekanisme penbuangan zat-zat sisa metabolisme tubuh berupa urea dan kreatinin

serta volume cairan yang berlebih dilakukan dengan cara pengalihan darah ke dan dari

dialiser melalui membran semipermeabel secara difusi dan ultrafiltrasi.

2. Tujuan

Menurut Lumenta (2006), Sebagai terapi pengganti, kegiatan hemodialisa

mempunyai tujuan :

a) Membuang produk metabolisme protein seperti urea, kreatinin, dan

b) asam urat

c) b. Membuang kelebihan air.

d) c.Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.

e) d.Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.

f) e.Memperbaiki status kesehatan penderita.


3.Indikasi

Menurut Wijaya dkk, (2013) indikasi hemodialisa adalah sebagai berikut:

a) Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk

sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus < 5ml). Pasien-

pasien tersebut dinyatakan memerlukan hemodialisa apabila terdapat indikasi:

Hiperkalemia (K+darah> 6 mEq/l), asidosis,

b) kegagalan terapi konservatif, kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah (Ureum >

200 mg%, Kreatinin serum > 6 mEq/l), kelebihan cairan, mual dan muntah hebat.

c) Intoksikasi obat dan zat kimia

d) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit berat

e) Sindrom hepatorenal dengan kriteria :

1. K+pH darah < 7,10 → asidosis, Oliguria/anuria > 5 hari, GFR < 5 ml/I pada

GGK,

2. Ureum darah > 200 mg/dl.

4.Kontra Indikasi

Menurut Wijaya, dkk (2013) menyebutkan kontra indikasi pasien yang

hemodialisa adalah sebagai berikut:

a) Hipertensi berat (TD > 200/100 mmHg).

b) Hipotensi (TD < 100 mmHg).

c) Adanya perdarahan hebat.

d) Demam tinggi.
5. Prinsip dan Proses Hemodialisa

Dialisis adalah pergerakan cairan dan butir-butir (partikel) dalam tubuh melalui

membran semipermeabel. Dialisis merupakan tindakan yang bisa memulihkan

keseimbangan volume cairan dan elektrolit, mengendalikan keseimbangan asam basa

dan mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme dan bahan toksik dari dalam tubuh

(Baradero dan Dayrit,2009).

Dialisis mempunyai tiga prinsip dasar yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Difusi

adalah pergerakan butir-butir (partikel) dari tempat berkonsentrasi tinggi ke tempat yang

berkonsentrasi rendah. Di dalam tubuh manusia, proses difusi terjadi melalui membran

semipermeabel.

Difusi dapat mengakibatkan urea, kreatinin, dan asam urat dari dalam darah pasien

masuk ke dalam dialisat. Meskipun konsentrasi eritrosit dan protein dalam darah sangat

tinggi, materi ini tidak bisa menembus membran semipermeabel karena eritrosit dan

protein mengandung molekul yang sangat besar (Baradero dan Dayrit, 2009).

Osmosis menyangkut proses terjadinya pergerakan air melalui membran

semipermeabel dari tempat berkonsentrasi rendah ke tempat yang berkonsentrasi tinggi

(osmolalitas). Ultrafiltrasi adalah proses pergerakan cairan melalui membran

semipermeabel akibat tekanan gradien buatan. Tekanan gradien buatan bisa

bertekanan positif (didorong) ataupun bertekanan negatif (ditarik). Difusi atau ultrafiltrasi

lebih efisien dibandingkan dengan osmosis dalam hal mengambil cairan dan diterapkan

dalam hemodialisis (Baradero dan Dayrit, 2009).


Proses ultrafiltrasi terdiri dari ultrafiltrasi hidrostatik dan osmotik. Ultrafiltrasi

hidrostatik adalah pergerakan air yang terjadi dari kompartemen bertekanan hidrostatik

tinggi ke kompartemen yang bertekanan hidrosatik rendah. Ultrafiltrasi hidrostatik

tergantung pada tekanan transmembran dan koefisien ultrafiltrasi. Ultrafiltasi osmotik

adalah perpindahan air yang terjadi dari kompartemen yang bertekananosmotik rendah

ke kompartemen yang bertekanan osmotik tinggi sampai tercapai keadaan seimbang

antara tekanan osmotik di dalam kedua kompartemen (Ficheux, 2011).

Perpindahan air (fluid removal) pada proses ultrafiltrasi sangat penting untuk

mencapai keseimbangan cairan pada tubuh pasien sehingga mengurangi komplikasi

intradialitik yang dapat timbul (Jaeger, 1999). Preskripsi untuk fluid removal ditentukan

berdasarkan target berat badan kering pasien. Berat badan kering adalah berat badan

terendah dari pasien yang dapat menoleransi gejala hipotensi, definisi berat badan

kering yang lebih tepat adalah berat badan pascadiali


Gambar 2.2. Proses hemodialisa

6. Peralatan Hemodialisa

a. Arterial-Venouse Blood Line (AVBL)

terdiri dari :

1) Arterial Blood Line (ABL) Adalah tubing tubing/line plastic yang menghubungkan

darah dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut Inlet ditandai

dengan warna merah.

2) Venouse Blood Line Adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari

dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet ditandai

dengan warna biru. Priming volumeAVBL antara 100-500 ml. priming volume adalah

volume cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan kompartemen

dialiser.Bagian-bagian dari AVBL dan kopartemen adalah konektor, ujung


runcing,segmen pump,tubing arterial/venouse pressure,tubingudara,bubble

trap,tubing infus e/transfuse set, port biru obat,port darah/merah heparin,tubing

heparin dan ujung tumpul.

3) Dializer/ginjal buatan (artificial kidney) Adalah suatu alat dimana proses dialisis

terjadi terdiri dari 2 ruang/kompartemen,yaitu:

a) Kompartemen darah yaitu ruangan yang berisi darah.

Kompartemen dialisat yaitu ruangan yang berisi dialisat

b) Kedua

kompartemen dipisahkan oleh membran semipermiabel.Dialiser mempunyai 4

lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk darah dan dua samping untuk keluar

masuk dialisat.

4) Air Water Treatment

Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur dialisat peka (diasol).

Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air sumur, yang harus

dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi standar AAMI

(Association for the Advancement of Medical Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan

untuk satu session hemodilaisis seorang pasien adalah sekitar 120 liter.

5) Larutan Dialisat

Dialisat adalah larutan yang mengandung elektrolit dalam komposisi tertentu.

Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan dialisat bicarbonate.

Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa macam yaitu : jenis standart, free

potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate adayang powder, sehingga
sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam air murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter

dan ada yang bentuk cair (siap pakai).

6) Mesin Hemodialisis

Ada bermacam-macam mesin haemodilisis sesuai dengan merek nya. Tetapi

prinsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan larutan dilisat, system

pemantauan mesin terdiri dari blood circuit dan dillisat circuit dan bebagai monitor

sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan komponen tambahan seperti heparin pump,

tombol bicarbonate, control ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, kateter vena, blood volume

monitor

D. Rasa Haus

1. Definisi

Haus adalah insting atau keinginan untuk memenuhi cairan yang mendorong

naluri dasar untuk minum, dengan suatu mekanisme penting yangterlibat dalam

keseimbangan cairan (Said dan Mohammed,2013).

Haus adalah respon fisiologis dari dalam tubuh manusia berupa keinginan untuk

memenuhi kebutuhan cairan dalam tubuh yang dilakukan secara sadar. Fenomena

munculnya rasa haus sama pentingnya untuk pengaturan konsentrasi natrium dan air

dalam tubuh. Karena jumlah air didalam tubuh pada setiap saat ditentukan oleh

keseimbangan antara masukan dan pengeluaran air yang dikonsumsi setiap hari

(Guyton,2012).
Haus adalah perasaan seseorang yang secara sadar menginginkan air dan

merupakan faktor utama yang menentukan kebutuhan asupan cairan (Potter dan Perry,

2010).

2. Faktor yang mempengaruhi rasa haus (dipsogenic factor).

Pemenuhan kebutuhan cairan dalam tubuh manusia diatur oleh mekanisme rasa

haus, pusat reseptor stimulus fisiologis utama yang mengendalikan rasa haus ada

dihipotalamus otak. Faktor yang mempengaruhi munculnya atau timbulnya rasa haus

diantaranya karena adanya peningkatan konsentrasi plasma, penurunan volume darah,

membran mukosa dan mulut yang kering, angiotensin II, kehilangan kalium,dan faktor-

faktor psikologis.Sel reseptor osmoreseptor secara terus-menerus memantau

osmolalitas, apabila tubuh kehilangan cairan banyak osmoreseptor akan bekerja

mendeteksi kehilangan cairan dan mengaktifkan pusat rasa haus, hal ini yang

mengakibatkan seseorang merasa haus dan muncul keinginan unt

uk minum (Potter dan Perry, 2010).

\Faktor lain yang memicu munculnya rasa haus menurut Ardiyanti Armiyati & Arif

SN (2015, adalah prosedur hemodialisis pada pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) yang

tidak dilakukan setiap hari akan memicu munculnya masalah penumpukan cairan

diantara sesi dialisis.

Hal ini yang akan menyebabkan berat badan pasien bertambah, tekanan darah

meningkat, sesak nafas, gangguan jantung, dan edema karena ginjal tidak mampu

mengeluarkan cairan. Retensi natrium dan air terjadi akibat hilangnya fungsi ginjal,

sehingga fungsi tubulus juga hilang yang mengakibatkan sekresi urine encer dan terjadi
dehidrasi (O' challaghan, 2009, dalam Ardiyanti, 2015). Keadaan dehidrasi ini

menyebabkan peningkatan osmolalitas, sehingga sel akan mengkerut dan muncul

perasaan haus (Kowalak, 2011).Sedangkan menurut Kozier, Erb, Berman dan Snyder

(2011) faktor keseimbangan cairan tubuh, elektrolit, dan asam-basa dipengaruhi oleh

beberapa hal berikut :

a) a.Usia

Kebutuhan cairan tubuh manusia dipengaruhi oleh usia seseorang, antara bayi,

anak, dan orang dewasa kebutuhan cairan tubuh yang harus dipenuhi berbeda-

beda karena dalam masa

pertumbuhan bayi dan anak mengalami perpindahan cairan lebih besar dan laju

metabolisme lebih tinggi dari pada orang dewasa yang mengakibatkan terjadinya

peningkatan kehilangan cairan. Secara tidak langsung kehilangan cairan pada

bayi dipengaruhi oleh belum mata ngnya organ ginjal sehingga kemampuan

menyimpan air rendah dibandingkan dengan orang dewasa, dan pernapasan

bayi yang lebih cepat serta besarnya area permukaan tubuh bayi secara

proporsional lebih besar dari orang dewasa. Lebih cepatnya perpindahan cairan

disertai hilangnya cairan akibat penyakit pada anak-anak akan terjadi

ketidakseimbangan

cairan jauh lebih cepat dari dewasa. Kehilangan cairan pada usia lanjut

dipengaruhi oleh proses penuaan dan kecenderungan terhadap penyakit. Proses

penuaan terjadi perubahan normal yang meningkatkan risiko dehidrasi, meliputi;

respon haus yang kurang dirasakan sering kali terjadi, kadar hormon antidiuretik
yang normal atau meningkat tetapi pada nefron terjadi penurunan kemampuan

menyimpan air sebagai respon terhadap ADH, peningkatan kadar natriuretik

atrial. Selain itu, adanya kecenderungan terhadap penyakit jantung, ginjal, dan

regimen obat multipel, risiko terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

lebih signifikan (Kozier, Erb, Berman dan Snyder,2011).

b) Jenis kelamin dan berat badan

Total air dalam tubuh dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ukuran tubuh.

Seseorang yang mempunyai lemak tubuh berlebih maka cairan tubuh yang

dimilikinya akan sedikit karena sel lemak tidak mengandung air dan jaringan

tanpa lemak tinggi akan kandungan air. Secara proporsional wanita mempunyai

lemak tubuh lebih banyak dan cairan lebih sedikit dari pria (Kozier, Erb, Berman

dan Snyder, 2011).

c) Suhulingkungan.

Kehilangan cairan tubuh pada manusia dipengaruhi oleh suhu lingkungan,

dimana suhu lingkungan yang panas akan meningkatkan kehilangan cairan

melalui keringat sebagai upaya

tubuh untuk menghilangkan panas (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).

d) Gayahidup.

Keseimbangan cairan dipengaruhi oleh gaya hidup seseorang, faktor yang

mempengaruhi gaya hidup seperti diet karena pada kondisii malnutrisi berat
terjadi penurunan kadar albumin serum dan bisa terjadii edema disebabkan

berkurangnya aliran osmotik cairan ke kompartemen pembuluh darah, asupan

kalori yang tidak adekuat juga akanmembuat cadangan lemak dalam tubuh

dipecah dan asam lemak dilepaskan yang dapat meningkatkan risiko asidosis.

Faktor yang kedua adalah olah raga, saat olah raga tubuh banyak kehilangan

cairan dan elektrolit karena ketika seseorang sedang berolah raga cairan dan elektrolit

dalam tubuh akan keluar lewat keringat. Faktor yang ketiga adalah stres, saat stres

terjadi peningkatan produksi ADH yang bisa mengakibatkan penurunan produksi urine

dan respon tubuh dalam menghadapi stres adalah meningkatkan volume darah,

metabolisme selular, kadar konsentrasi glukosa darah, dan kadar katekolamin.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi keseimbangan cairan adalahkonsumsi

alkohol berlebih dapat mempengaruhi keseimbangan elektrolit, risiko penurunan kadar

kalsium, magnesium,fosfat, dan terjadi asidosis akibat peningkatan pemecahan

cadangan lemak dalam tubuh (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).

3 .Mekanisme Fisiologis Terjadinya Rasa Haus

Mekanisme munculnya rasa haus merupakan proses pengaturan primer asupan

cairan. Pusat rangsangan haus berada di hipotalamus otak dekat sel penghasil

vasopresin. Hipotalamus sebagai pusat pengontrolan mengatur sekresi vasopresin

(pengeluaran urin) dan rasa haus (minum) bekerja secara berkesinambungan. Sekresi

vasoprin serta rasa haus di rangsang oleh kekurangan cairan dan dikendalikan oleh

kelebihan cairan. Itu sebabnya, kondisi yang mendorong kejadian penurunan


pengeluaran urin untuk menghemat cairan tubuh dapat menimbulkan rasa haus untuk

mengganti kehilangan cairan tubuh (Sherwood, 2012).

Osmoreseptor hipotalamus yang terletak dekat sel penghasil vasopresin dan

pusat haus, marangsang sinyal eksitatorik utama sekresi vasopresin dan rasa haus.

Osmoreseptor ini memantau osmolaritas cairan, selanjutnya mencerminkan konsentrasi

keseluruh cairan internal. Sepanjang peningkatan osmolaritas (air terlalu sedikit) dan

kebutuhan akan air bertambah, maka secara otomatis akan terjadi aktifasi sekresi

vasopresin dan rasa haus. Akibat proses aktifasi tersebut, terjadi peningkatan

reabsorpsi air di tubulus distal dan koligentes sehingga pengeluaran urin kurang dan air

akan dihemat, disisi lain asupan air secara bersamaan dirangsang. Proses ini

memulihkan cadangan air yang berkurang sehingga keadaan hipertonik mereda seiring

pulihnya konsentrasi zat terlarut dalam kondisi normal. Sebaliknya, air yang berlebihan,

bermanifestasi sebagai menurunnya osmolaritas CES, mendorong kenaikan ekskresi

urin (lewat penurunansekresi vasopresin) dan menekan perasaan haus, sehingga

mengurangi jumlahair dalam tubuh (Sherwood, 2014).

Sebagian stimulus merangsang pusat ini, termasuk juga tekanan osmotik cairan

tubuh, volume vaskular, dan angiotensin (hormon yang dilepaskan sebagai respon

pada penurunan aliran darah ke ginjal). Tekanan osmotik yang meningkat akan

menstimulasi pusat haus yang menyebabkan munculnya rasa haus dan mendorong

keingin untuk minum untuk menggantikan kehilangan cairan (Kozier, Erb, Berman dan

Snyder, 2011).

Regulasi ketat harus dilakukan pada osmolalitas cairan ekstraselular karena

perubahan osmolalitas akan menyebabkan pembengkakan atau pengerutan sel dan


mengakibatkan sel mati. Kontrol pada osmolalitas lebih dulu terjadi dari kontrol volume

cairan tubuh (Ward, Clarke dan Linden, 2009). Peningkatan osmolalitas plasma terjadi

pada kondisi defisiensi air dan menurun dengan ingesti air. Osmoreseptor

dihipotalamus anterior sangat sensitif pada perubahan kecil 1% pada osmolalitas

plasma serta meregulasi hormon antidiuretik (antidiuretic hormone, ADH). Osmolalitas

yang meningkat merangsang peningkatan pelepasan ADH dan menstimulasi

munculnya rasa haus serta reabsorpsi air, dan pada keadaan menurunnya osmolalitas

menyebabkan efek yang sebaliknya (Ward, Clarke dan Linden, 2009).

Peningkatan konsentrasi plasma, penurunan volume darah, membran mukosa

dan mulut yangkering, angiotensin II, kehilangan kalium, dan faktor-faktor psikologis.

Sel reseptor osmoreseptor secara terus-menerus memantau osmolalitas, apabila tubuh

kehilangan cairan banyak osmoreseptor akan bekerja mendeteksi kehilangan cairan

dan mengaktifkan pusat rasa haus, hal ini yang mengakibatkan seseorang merasa haus

dan mencul keinginan untuk minum (Potter dan Perry, 2010).

Munculnya rasa haus merupakan sebuah fenomena penting mekanisme dasar

yang dialami tubuh manusia sebagai sinyal atau tanda kebutuhan akan cairan (air)

dalam tubuh untuk mempertahankan kebutuhan cairan. Karena jumlah air dalam tubuh

manusia harus seimbang pada setiap saat antara yang masuk dan yang keluar setiap

hari. Jika antara jumlah air yang masuk dan keluar tidak seimbang (jumlah air yang

keluar lebih banyak dibanding yang masuk), maka akan muncul rasa haus

(Guyton,2014).

Rasa haus akan segera hilang sesaat setelah seseorang minum dan bahkan

sebelum cairan yang diminum diabsorpsi oleh saluran gastrointestinalis. Tetapi rasa
haus hanya akan hilang sementara setelah seseorang minum dan cairan yang di

minum mendistensi saluran gastrointestinalis atas, kemudian rasa haus akan kembali

dirasakan dalam waktu sekitar 15 menit. Karena saat lambung kemasukan air, akan

terjadi peregangan lambung dan bagian lain dari traktus gastrointestinalis atas yang

dapat memberikan efek pengurangan rasa haus untuk sesaat selama 5 sampai 30

menit. Mekanisme ini mengatur kebutuhan cairan tubuh manusia agar cairan yang di

minum tidak berlebihan, karena cairan dalam tubuhbutuh waktu 30 menit sampai 1 jam

untuk diabsorpsi dan diedarkan ke seluruh tubuh (Kozier, Erb, Berman dan Snyder,

2011) dan (Guyton, 2014)

.4. Manajemen Rasa Haus

Pembatasan asupan cairan penting dilakukan bagi seseorang yang mengalami

retensi cairan (kelebihan volume cairan) akibat dari gagalginjal, gagal jantung kongestif,

SIADH, dan penyakit kronik lain (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011). Manajemen

cairan yang tepat perlu dilakukan pada pasien dengan pembatasan cairan.Manajemen

cairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari puasa sampai dengan pembatasan

asupan cairan tertentu yang tepat sesuai program dari dokter. Pada kondisi dengan

penyakit kronik tertentu seperti gagal ginjal kronik, pembatasan asupan cairan dirasa

sulit untuk dilakukan oleh beberapa pasien, terutama saat mengalami kehausan

(Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).

Menurut (Salomo, 2006,dalam Arfany, 2015), beberapa cara yang dapat

dilakukan dalam mengurangi haus pada pasien yang menjalani hemodialisis,

diantaranya:
Menghisap es batu, mengunyah permen karet, berkumur air matang, frozen grapes,

dan sikat gigi

Menghisap es batu.

Salah satu cara atau strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kebutuhan

asupan cairan diantaranya adalah dengan memberikan secara sering sedikit asupan

cairan (air), memberikan es batu atau es batang (Kozier, Erb, Berman dan Snyder,

2011). Sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Arfany, Armiyati dan Kusumo (2015),

menyebutkan bahwa

dengan mengulum es batu selama 5 menit efektif dapat menurunkan rasa haus pasien

GGK. Alasannya disebutkan bahwa dengan mengulum es batu, lama kelamaan es batu

akan mencair dan es batu yang mencair dalam mulut dapat memberikan efek dingin

serta menyegarkan sehingga keluhan haus pasien menjadi berkurang.Serta dengan

mengulum es batu akan membuat mukosa dalam mulut lembab setelah es batu

mencair, sehingga mulut pasien tidak kering yang dapat memicu munculnya rasa haus

(Igbokwe dan Obika,2008).

Pasien dengan pembatasan asupan cairan dengan mengulum es batu sangat

bermanfaat mengurangi haus. Air yang terkandung didalam es batu membantu

memberikan efek dingin yang dapat menyegarkan dan mengatasi haus pasien yang

sedang menjalani hemodialisa (Arfany, Armiyati dan Kusumo,2015),

Conchon dan Fonseca (2014), dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa

dengan penggunaan 10 ml es batu dengan cara dikulum oleh pasien postoperatif

terbukti efektif dapat mengurangi rasa haus pada periode pemulihan di recovery room

(RR). Penggunaan es batu 20% lebih efektif daripada air pada suhu ruangan untuk
meringankan kehausan. Konsumsi jumlah es batu yang dikulum dalam mengurangi

rasa haus juga harus dipertimbangkan, hitung cairan setengah dari volume es batu (jika

es batu dalam wadah ukuran 200 ml, maka volume yang harus dihitung berjumlah 100

ml)selama 5-10 menit (Kozier, Erb,Berman dan Snyder, 2011)


BAB III

METODOLOGI STUDI KASUS

A. Desain Studi Kasus

Desain penelitian ini menggunakan case study(studi kasus). Case study

adalah bagian dari metode kuantitatif yang hendak mendalami suatu kasus

tertentu secara lebih mendalam dengan melibatkan pengumpulan beraneka

sumber informasi (Swarjana,2016)

Pada studi kasusini peneliti ingin menganalisa kasus kelolaan penurunan rasa haus

pada pasien dengan kelebihan volume cairan setelah dilakukan intervensi mengulum es

batu diruang HemodialisaRSUDTidar Kota Magelang.Secara skematis rancangan studi

kasus ini sebagai berikut :

rancangan studi kasus

Pre test Perlakuan Post tes

01 x 02

Keterangan:

01: Pengukuran rasa haus sebelum tindakan mengulum es batu

X: Tindakan pemberian mengulum es batu

02: Pengukuran rasa haussetelah tindakan mengulum es batu


B. Teknik Pengumpulan Data

1. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data

(Sugiyono, 2016). Pada studi kasus ini menggunakan teknik pengumpulan

data sebagai berikut:

a. Wawancara

Data didapatkan melalui komunikasi langsung dengan responden. Sumber data

didapat dari pasien, keluarga dan perawat lainnya. Hasil dari anamnesa

berupa :keluhan utama pasien, identitas pasien, riwayat keperawatan

sekarang,riwayat keperawatan dahulu dan riwayat keperawatan keluarga.

b. Observasi atau Pengamatan

Observasi yang dilakukan yaitu dengan mengobservasi pasienyang mengalami

rasa haus

c. .Pengukuran biofisiologis

Sebenarnya penelitian mengenai rasa haus telah banyak dilakukan oleh peneliti

terdahulu. Dalam mengukur rasa haus peneliti terdahulu menggunakan bebagai

macam instrumen. Beberapa instumen yang bisa digunakan, antaralain:

1) Visual Analogy Scale (VAS)

Instrumen ini telah banyak digunakan oleh peneliti terdahulu. Igbokwe dan Obika

(2008), melakukan uji reliabilitas terhadap instrumen ini dan hasil VAS menunjukkan
reliabel untuk mengukur rasa haus dengan nilai Cronbach’s alpha coefficientt=

0,96.Instrumen untuk pengukuran haus menurut VAS ditunjukkan oleh gambar 3.1

Tidak haus sangat haus sekali

Gambar 3.1

Visual analogy scale

Sumber: (Stafford, Wendland, O'Dea dan Norman, 2012)

Instrumen untuk pengukuran skor dan kategori haus menurut VAS

ditunjukkan oleh gambar 3.2

Scores and Categorical Visual Analog Scale (VAS) :

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Tidak Haus Ringan Haus Sedang Haus beraT

Haus sangat Berat

Gambar 3.2 Scores and categorical visual analogy scale


Sumber:(Kara, 2013; Stafford, Wendland, O'Dea danNorman,2012)

2) Thirst Distres Scale(TDS)

Instrumen ini telah banyak dilakukan uji validitas dan reliabilitas.

Uji reliabliitas menyatakan nilai Cronbach’s alpha coefficient= 0,78 (Kara, 2013).

Beberapa komponen yang harus ditanyakan dalam TDS

sesuai tabel 3.1 :

Tabel 3.1 Thirst Distres Scale

No Komponenpertanyaan

1 Rasa haus saya menyebabkan saya merasa tidaknyaman

2 Rasa haus saya membuat saya minum sangatbanyak

3 Saya sangat tidak nyaman ketika sayahaus

4 Mulut saya terasa sangat kering ketika sayahaus

5 Saliva saya sangat sedikit ketika sayahaus

6 Ketika saya kurang minum, saya akan sangat kehausan

Sumber : (Kara, 2013)

TDS digunakan dalam mengukur rasa haus pasien yang berhubungan dengan

ketidaknyamanan pasien sejak dialisis terakhir.


Masing-masing komponen pertanyaan TDS diberikan skala Likert dengan rentang mulai

dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Jumlah skor yang mungkin

didapatkan adalah 6-30, semakin tinggi skor menunjukkan sangat stres terhadap rasa

haus.

3) Dialysis Thirst Inventory(DTI)

Instrumen ini bisa digunakan sebagai indikator dalam mengukur rasa haus

sebelum dan sesudah dilakukan tindakan hemodialisis. DTI adalah sebuah kuisioner

yang sudah tervalidasi

yang terdiri dari 5 komponen, setiap komponen memiliki 5 point berasal dari skala Likert

(tidak pernah=1 sampai sangat sering=5). Respon dari kelima komponen tersebut

kemudian dijumlahkan, hasilnya berupa skor sebagai berikut: 5= tidak pernah haus, 10

hampir tidak pernahhaus, 15= kadang-kadang, 20= hampir sering haus, dan 25= sangat

sering haus (Said dan Mohammed, 2013).

Beberapa pertanyaan DTI dapat dilihat pada tabel 3.2

Tabel 3.2

Dialysis Thirst Inventory

No Komponenpertanyaan
1 Haus adalah masalah untuksaya

2 Saya merasa haus sepanjang hari

3 Saya merasa haus sepanjang malam

4 Kehidupan sosial saya dipengaruhi oleh haus saya

5 Saya haus sebelum sesi dialisis

6 Saya haus selama sesi dialisis

7 Saya haus setelah sesi dialisis

Sumber : (Said dan Mohammed, 2013)

Masing-masing dari beberapa komponen pertanyaan diberikan skala Likert dengan tipe

skala (1= tidak pernah hingga 5= sangat sering). Laporan dari pasien yang mengatakan

“tidak pernah" dan “hampir tidak pernah” dikategorikan “tidak ada haus”, “kadang-

kadang” hingga “sangat sering” dikategorikan sebagai “ada haus” (Said dan

Mohammed,2013)

4) IDWG (Interdyalitic weight gain)

Berat badan pasien adalah cara sederhana yang akurat untuk pengkajian

tambahan cairan yang dibuktikan secara klinis adanya edema, peningkatan tekanan

vena jugularis, hipo/hipertensi dan sesak nafas. Tanda klinis tersebut menyebabkan

gangguan kesehatan fisik dan mempengaruhi kualitas hidup pasien (Thomas,2003).

Interdialysis weight gain (IDWG) adalah pertambahan berat badan pasien di antara dua

waktu dialisis. Penambahan ini dihitung berdasarkan berat badan kering (dry weight)
pasien, yaitu berat badan post dialysis setelah sebagian besar cairan dibuang melalui

proses UF (ultrafiltrasi), berat badan paling rendah yang dapat dicapai pasien ini

seharusnya tanpa disertai keluhan dan gejala hipotensi (Reams & Elder, 2003).Nilai

IDWG (interdialytic weight gain) dihitung berdasarkan berat badan pasien sebelum

hemodialisa (berat badan basah) dikurangi berat badan setelah hemodialisa (berat

badan kering). Nilai IDWG menurut Price & Wilson (2008) adalah sebagai berikut :

a) a)Normal:kurangdari3%beratbadankering

b) b)Ringan: <2,5%

c) Sedang: 2,5%-3,5%

d) Berat: > 3,5%

Dalam rangka untuk menurunkan risiko kelebihan volume di antara dialisis, dianjurkan

IDWG berada dalam kisaran 2,5% sampai 3,5% dari berat badan kering untuk

mengurangi risiko kardiovaskular dan juga untuk mempertahankan status gizi yang baik

(Lindberg,2010).

5). Dokumentasi

Pada studi kasus ini dokumentasi dilakukan dengan melihat buku

catatan medis pasien dan pangambilan foto pelaksanaan penelitian

C. Luaran
Adapun luaran yang ingin dicapai ialah :

1. Memberikan gambaran permasalahan rasa haus pada pasien dengan kelebihan

volume cairan diruang hemodialisa RSUD Tidar Kota Magelang.

2. Menerapkan intervensi keperawatan mengulum es batu untuk mengurangi rasa

haus yang

3. sering dirasakan pada pasiensaat hemodialisa untuk mendukung program

pembatasan intake cairan.

4. Memberikan edukasi kepada keluarga mengenai mengulum es batuuntuk

mengurangi rasa haus pada saat pasiendirumah untuk mendukung program

pembatasan cairan supaya tidak terjadi kelebihan volume cairan

D. Kriteria Pasien

Kriteria pasien yaitu terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi:

1. Kriteria inklusi

Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi

yang dapat diambil sebagai sampel (Notoatmodjo,2010).Dalam penelitian ini berberapa

kriteria inklusi antara lain :

a. Pasien kooperatif

b. Pasien dengan diagnosa keperawatan resiko atau kelebihan volume cairan

c. Pasien menjalani Hemodialisa

d. Pasien yang merasakan haus sedang sampai sangat berat

e. Semua jenis pasien (laki-laki atau perempuan)


f. Umur 26 –59 tahun

g. Pasien menyutujui informed consent

2. Kriteria eksklusi

a. a.Pasien yang mengalami penurunan kesadaran saat Hemodialisa.

b. b.Pasien yang mengalami CKD stage 1-3

E. Evidance Based Practice

1. Analisa PICOT

P (Problem): ditemukan fenomena bahwa sebagian besar pasien yang menjalani

hemodialysis mengalami rasa haus atau gangguan manajemen cairan

I (Intervention): perlu diberikan intervensimengulum es batu untuk mengatasirasa haus

saat hemodialisa

.C (Comparation): pasien dianjurkan untuk mengulum es batu

O (Outcome): setelah diberikan tindakan diharapkan pasien mengalamirasa haus

berkurang

T (Time): intervensi mengulum es batu yang telah disediakan dengan volume 30 ml

selama 5-10 menit tiap pasien selama proses dialisis berlangsung dalam 1 sesi.

2. Metode Telusur Artikel


Penelusuran artikel yang dilakukan dengan meggunakan situs-situs ideks

nasional dan internasional antara lain: Portal Garuda IPI (Indonesian Publication Index),
Directory of Open Access Journals (DOAJ), Google Scholar atau Google Cendikia,

Scient Direct, Proquest dan librarypoltekkes semarang

3. Analisis Artikel

Penelitian yang dilakukan oleh Yunie Armiyati, Khoiriyahdan , Ahmad Mustofa,

pada tahun 2019

yang berjudulOptimizing of Thirst Management on CKD Patients Undergoing

Hemodialysis by Sipping Ice Cube.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan ketiganyaintervensi

"manajemen haus", yaitu mengulumes batu, berkumur air matangdan berkumur dengan

obat kumur terhadap rasa haus pasien. Penelitian ini adalahsebuah studi eksperimental

pada 27 smpel pasien CKD yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Roemani

Muhammadiyah di Semarang yang terbagi menjadi 3 kelompok dengan masing-masing

kelompok 9 sampel. Hasil penelitian menunjukkan bahwadurasi menahan dahaga untuk

kelompok yang mengulumes batu rata-rata 93menit, kelompok air matang rata-rata 55

menit danlama rata-rata kelompok haus yang berkumur dengan obat kumur adalah

69,71 menit. Tidak ada perbedaan signifikan dalam durasi memegang haus setelah

mengulumes batu, berkumur air matang, dan berkumur dengan obat kumur (ρ nilai

0,061). Menghirup es batu bias melawan dahaga terpanjang dibandingkan dengan

berkumr dengan air matang atau berkumur dengan obat kumur.

Penelitian yang dilakukan oleh Dasuki, Buhari Basok.

Pada tahun 2018 yang berjudul Pengaruh Menghisap Slimber Ice terhadap Intensitas
Rasa Haus Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh menghisap ice cubes terhadap

intensitas rasa haus pada penderita gagal ginjal kronis yangmenjalani hemodialisa.

Desain penelitian menggunakan quasi experimental pre-post with control group.

Jumlah sampel dalam penelitian yaitu 68responden; 34 responden kelompok intervensi

dan 34 responden kelompok kontrol yang memenuhi kreteria inklusi. Hasil penelitian

didapat bahwa intensitas rasa haus pada kelompok intervensi terjadi penurunan

intensitas rasa haus rerata adalah 3.03 dengan nilai signifikan p-value0.000 (p < 0.05)

yang artinya terdapat pengaruh menghisap slimber ice terhadap intensitas rasa haus,

40sedangkan kelompok kontrol pada temuan penelitian ini juga mengalami penurunan

rerata adalah 0.35 dan nilai signifikan p-value= 0.005

Penelitian yang dilakukan oleh Marilia Ferrari Conchon, MSN, RN, Ligia Fahl

Fonseca, PhD,RNThe purpose of this study was toevaluate the efficacy of an ice

popsicle compared with water at room temperature for thirst relief in the immediate

postoperative period interms of variation in the intensity of the initial compared with the

final thirst and the satiety reached after an hour of evaluation and intervention.

Design: A parallel randomized clinical trial was used.

Methods: A total of 208 patients in the immediate postoperative period

were assessed for 1 hour, every 15 minutes. Thirst intensity was assessed

initially and subsequently; interventions were performed according to

the group: (1) control group, 10 mL of water at room

temperature; and (2) experimental group, 10-mL ice popsicle.Findings: The ice popsicle

was 37.8% (P , .01) more effective than waterregarding the intensity variation between
the initial and final thirst. Thethirst intensity and number of interventions were different

for the twogroups as from the second moment (P , .01)

4. Implementasi EBP
Prosedure pelaksanaan intervensi mengulum es batu, antara lain:

a. Mencari pasien yang mengalami rasa hausdan kelebihan cairan

b. Menjelaskan tujuan dari tindakan yang akan dilakukan

c. Pasien diminta untuk menandatangani inform concentsebagai bukti persetujuan

dilakukannya tindakan.

d. Pasien dilakukan pengkajian terkait nama, umur, jens kelamin, dan pekerjaan.

e. pengkajian terkait diagnosa medis, diagnosa keperawatan, hasil laboratorium,

BB, riwayat oedeme , serta lajur ultrafiltrasi saat dilakukan HD.

f. Pasien dilakukan pengukuran skala haus menggunakan Visual Analogy

Scale(VAS) dan Interdyalitic weight gain (IDWG).

g. Pasiendiberikan perlakuan mengulum es batu yang telah disediakan dengan

volume 30 ml selama 5-10 menit tiap pasien selama proses dialisis berlangsung

dalam 1 sesi.

h. Pasien dilakukan pengukuran kembali skala haus menggunakan Dialysis Thrist

Inventory

A. Prosedur Intervensi Keperawatan Mandiri berdasarkan EBP


Berikut ini prosedur pemberian intervensi mengulum es batu :
1. Pengkajian awal di lakukan 10 menit sebelum mengulum es batu dengan

pedoman kuesioner Visual Analogy Scale (VAS), Interdyalitic weight gain

(IDWG)atau Dialysis Thrist Inventory

(DTI) untuk mengetahui score rasa haus pasien.

2. Setelah hasil dari pengkajian awal didapat, peneliti kemudian memberikan

perlakuan mengulum es batu yang telah disediakan dengan volume 30 ml

selama 5-10 menit tiap pasien selama proses dialisis berlangsung dalam 1 sesi.

3. Peneliti kembali lagi melakukan pengukuran akhir nilai rasa haus menggunakan

4. Visual Analogy Scale(VAS), Interdyalitic weight gain(IDWG)atau Dialysis Thrist

Inventory (DTI)
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lahan Praktik

RSUD umumnya merupakan rumah sakit pendidikan dan mempunyai tugas

fungsi pelayanan, pendidikan dan penelitian.Pasien adalah seseorang yang datang ke

Instalasi kesehatan yang membutuhkan pelayanan medis/ keperawatan yang terganggu

kondisi kesehatannya baik jasmani maupun rohani (WHO, 1999).RSUD Tidar Kota

Magelangm terletak di JalanTidar No. 30 A, Kemirirejo, Magelang Tengah, Kota

Magelang, Jawa Tengah 56125

merupakan rumah sakit tipe Byang merupakan rumah sakit pendidikan dan penelitian.

1. Visi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tidar

“Terwujudnya Rumah Sakit yang Unggul, Profesional, Beretika, dan

Berkeadilan”.

2. .Misi Rumah SakitUmum Daerah (RSUD) Tidar

a. Memberikan pelayanan kesehatan rujukan yang profesional, bermutu, terjangkau

dan adil kepada segala lapisan masyarakat.

b. Mengembangkan dan meningkatkan kompetensi SDM rumah sakit.

c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana & prasarana rumah sakit secara

memadai dan berkesinambungan.


d. Menyelenggarakan pengelolaan rs secara akuntabel.

e. Menciptakan lingkungan kerja yg sehat, suasana yang nyaman dan

harmonis.

f. Melaksanakan pendidikan dan penelitian dibidang kesehatan.

3. Moto Pelayanan

“Mitra Menuju Sehat”

B. Hasil

Penelitian yang dilakukan pada tanggal 13-15Juni 2019 ditemukan sebanyak 4

(empat) pasien mengalami tingkat kehausansedang sampaisangat berat dengan

diagnosa keperawatan kelebihan volume cairan pada program pembatasan intake

cairan.Pada pembahasan tugas akhirini penulis akan menyajikan pembahasan hasil

dari intervensi mengulum es batu yang telah dilakukandiruangan hemodialisa RSUD

Tidar Kota Magelang, setelah itu dikaitkan dengan teori-teori serta penelitian-penelitian

yang telah dilakukan sebelumnya yang juga membahas tentang intervensi pemberian

es batu untuk menurunkan atau menghilangkan rasa haus pada pasien CKD. Asuhan

keperawatan yang dilakukan penulis dalam mengurangi rasa haus yaitu dengan

menggunakan intervensi mengulum es batu terhadap penurunan rasa haus pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Tidar Kota

Magelangdan menggunakaninstrument Visual Analogy Scale (VAS) sebagai alat ukur

pembanding pre dan post intervensi mengulum es batu untuk mengetahui pengaruh

intervensi yang diberikan yaitu pengukuran tingkat kehausan sebelum intervensi


mengulum es batu dan pengukuran tingkat kehausan setelah intervensi mengulum es

batu. Hasil dari intervensi tindakanmengulum es batu yang telah dilakukan penulis pada

3 responden dapat disajikansebagai berikut :

1. Responden 1

Pada tanggal 13 Juni 2019 dilakukan pengkajian pada Tn.A berusia 54

tahun dengan diagnosa CKD Stage 5 dengan jadwal hemodialisa rutin 2x seminggu

setiap hari Selasa dan Jum’at, klien sudah menjalani hemodialisa sebanyak 334 kali

dengan jenis akses AV shun BB pre HD70 kg, BB HD y.l : 68 kg, masalah keperawatan

yang dialami klien sering mengeluh haus pada saat hemodialisa, dengan skala haus

8(berat) tanda tanda vital : TD 170/90 mmHg, HR 89x/menit, T 36,4°C, RR 21 x/menit.

Klien tidak ada keluhan, HD rutin 2x seminggu. Hasil laboratorium : Hb 9.8g/dL, ureum

182.3mg/dL, creatinin13.46mg/dL

, asam urat 7.1 mg/dL

.Untuk pembatasan asupan cairan dengan kelebihan volume cairan pada klien

yang mengalami tingkat kehausan sedang sampai sangat berat dilakukan intervensi

pemberian mengulumes batu untuk menurunkan rasa haus, pemberian es batu

dilakukan selama 10 menit dengan volume ±30 ml dan idapatkan hasil pengkajian

setelah intervensi, klien mengatakan haus berkurang dengan skala 5 (sedang),

sehingga dapat disimpulkan terjadipenurunan rasa haus pada Tn. A dari skala 8(berat)

menjadi skala 5(sedang) setelah dilakukan intervensi mengulum esbatu, kemudian

dilakukan pengkajian monitoring manajemen cairan saat dirumah untuk mencatat


berapa urin keluar dan input cairan setiap hari, dan edukasi terhadap keluarga dan

klienmengulumes batu program pembatasan asupan cairan.

Pengkajian didapatkan dari klien : urin(keluarbiasa 5-6x/hari)700 ± minum 800

cc + IWL500cc= ±2000 cc, sedangkan cairan yang masuk ± 2200 perhari, sehingga

diberikan edukasi setiap minum per hari ± 5gelas isi 200 cc sisa ±100 cc digunakan

untuk pembuatan es batu untuk program pembatasan asupan cairan agar tidak terjadi

kelebihan volume cairan. Setelah dilakukan hemodialisa selama 5 jam BB turun

menjadi 68 kg, tanda tanda vital : TD160/90mmHg , HR 98x/menit, RR 21 x/menit, T

36,10C

2. Responden 2

Pada tanggal 13 Juni 2019 dilakukan pengkajian pada Tn. E berusia 32 tahun

dengan diagnosa CKD Stage 5 dengan jadwal hemodialisa rutin 2x seminggu setiap

hari Selasa dan Jum’at, klien sudah menjalani hemodialisa sebanyak 478 kali dengan

jenis akses AVF BB pre HD 48, 5 kg, BB HD y.l : 46, 5kg, masalah keperawatan yang

dialami klien sering mengeluh haus pada saat hemodialisa, dengan skala haus 6

(sedang) tanda tanda vital : TD 130/80 mmHg, HR 86 x/menit, T 36, 6 °C, RR 21

x/menit. Klien tidak ada keluhan, HD rutin 2x seminggu. Hasil laboratorium : Hb 13.6

g/dL, ureum 63.0 mg/dL, creatinin 6.72 mg/dL. Untuk pembatasan asupan cairan

dengan kelebihan volume cairan pada klien yang mengalami tingkat kehausan sedang

sampai sangat berat dilakukan intervensi pemberian mengulumes batu untuk

menurunkan rasa haus, pemberian es batu dilakukan selama 10 menit dengan volume

±30 ml dan didapatkan hasil pengkajian setelah intervensi, klien mengatakan haus

berkurang dengan skala 3 (ringan), sehingga dapat disimpulkan terjadi penurunan rasa
haus pada Tn. Edari skala 6 (sedang) menjadi skala 3 (ringan) setelah dilakukan

intervensi mengulumes batu, kemudian dilakukan pengkajian monitoring manajemen

cairan saat dirumah untuk mencatat berapa urin keluar dan input cairan setiap hari, dan

edukasi terhadap keluarga dan klienmengulumes batu program pembatasan asupan

cairan. Pengkajian didapatkan dari klien : urin (tidakkeluar) ± minum 500 cc + IWL 500

cc = ±1000 cc, sedangkan cairan yang masuk ± 1500 perhari, sehingga diberikan

edukasi setiap minum per hari ± 4 gelas isi 200 cc sisa ±100 cc digunakan untuk

pembuatan es batu untuk program pembatasan asupan cairan agar tidak terjadi

kelebihan volume cairan. Setelah dilakukan hemodialisa selama 5 jam BB turun

menjadi 46,5kg, tanda tanda vital : TD 140/90 mmHg , HR 92 x/menit, RR 21 x/menit, T

36,50C

3. Responden 3

Pada tanggal 15Juni 2019 dilakukan pengkajian pada Ny. F berusia 38 tahun

dengan diagnosa CKD Stage 5 dengan jadwal hemodialisa rutin 2x seminggu setiap

hari Rabu dan Sabtu, klien sudah menjalani hemodialisa sebanyak 285 kali dengan

jenis akses AV shuntBB pre HD 76kg, BB HD y.l : 73kg, masalah keperawatan yang

dialami klien sering mengeluh haus pada saat hemodialisa, dengan skala haus 8(berat)

tanda tanda vital : TD 120/90 mmHg, HR92x/menit,T36, 6°C, RR 21

46x/menit. Klien tidak ada keluhan, HD rutin 2x seminggu. Hasil laboratorium : Hb

9.3g/dL, ureum 78.1 mg/dL, creatinin 3.85mg/dL.

Untuk pembatasan asupan cairan dengan kelebihan volume cairan pada klien yang

mengalami tingkat kehausan sedang sampai sangat berat dilakukan intervensi

pemberian mengulum es batu untuk menurunkan rasa haus, pemberian es batu


dilakukan selama 10 menit dengan volume ±30 ml dan didapatkan hasil pengkajian

setelah intervensi, klien mengatakan haus berkurang dengan skala 4(sedang),

sehingga dapat disimpulkan terjadipenurunan rasa haus pada Ny. F dari skala 8(berat)

menjadi skala 4(sedang) setelah dilakukan intervensi mengulum es batu, kemudian

dilakukan pengkajian monitoring manajemen cairan saat dirumah untuk mencatat

berapa urin keluar dan input cairan setiap hari, dan edukasi terhadap keluarga

dan klien mengulumes batu program pembatasan asupan cairan. Pengkajian

didapatkan dari klien : urin (keluar biasa 5-6x/hari)450 ± minum 800 cc + IWL 500 cc =

±1750 cc, sedangkan cairan yang masuk ± 1900perhari, sehingga diberikan edukasi

setiap minum per hari ± 5gelas isi 200 cc sisa ±100 cc digunakan untuk pembuatan es

batu untuk program pembatasan asupan cairan agar tidak terjadi kelebihan volume

cairan. Setelah dilakukan hemodialisa selama 5

jam BB turun menjadi 68 kg, tanda tanda vital : TD 150/90 mmHg , HR 96x/menit, RR

21x/menit, T 36,3 0C

4. Responden 4

Pada tanggal 15Juni 2019 dilakukan pengkajian padaTn. N berusia 45 tahun

dengan diagnosa CKD Stage 5 dengan jadwal hemodialisa rutin 2x seminggu setiap

hari Rabu dan Sabtu

, klien sudah menjalani hemodialisa sebanyak374 kali dengan jenis akses AV shunt

BB pre HD57kg, BB HD y.l : 55 kg, masalah keperawatan yang dialami klien sering

mengeluh haus pada saat hemodialisa, dengan skala haus 6(sedang) tanda tanda

vital:TD140/90 mmHg, HR 88x/menit, T 36, 5°C, RR 21 x/menit. Klien tidak ada

keluhan, HD rutin 2x seminggu. Hasil laboratorium : Hb 9.8g/dL, ureum 69.1 mg/dL,


creatinin 4.87mg/dL. Untuk pembatasan asupan cairan dengan kelebihan volume cairan

pada klien yang mengalami tingkat kehausan sedang sampai sangat berat dilakukan

intervensi pemberian mengulumes batu untuk menurunkan rasa haus, pemberian es

batu dilakukan selama 10 menit dengan volume ±30 ml dan didapatkan hasil

pengkajian setelah intervensi, klien mengatakan haus berkurang dengan

skala3(ringan), sehingga dapat disimpulkan terjadi penurunan rasa haus padaTn. N dari

skala 6(sedang) menjadi skala 3(ringan) setelah dilakukan intervensi mengulum es

batu, kemudian dilakukan pengkajian monitoring manajemen cairan saat dirumah untuk

mencatat berapa urin keluar dan input cairan setiap hari, dan edukasi terhadap

keluarga dan klien mengulum es batu program pembatasan asupan cairan. Pengkajian

didapatkan dari klien : urin (tidak keluar)± minum 1000 cc + IWL 500 cc = ±1500 cc,

sedangkan cairan yang masuk ±1700perhari, sehingga diberikan edukasi setiap minum

per hari ± 5gelas isi 200 cc sisa ±100cc digunakan untuk pembuatan es batu untuk

program pembatasan asupan cairan agar tidak terjadi kelebihan volume cairan. Setelah

dilakukan hemodialisa selama 5 jam BB turun menjadi 55kg, tanda tanda vital: TD

130/90 mmHg , HR 93x/menit, RR 21 x/menit, T 36,3 0C

Hasil menunjukan pada pasien hemodialisis di RSUD Tidar Kota

Magelang menunjukan sebagian besar responden adalah laki-laki sebanyak 3

responden dan perempuan sebanyak 1 responden. Hasil penelitian pada

tabel 4.1 observasi manajemen cairan pada lansia awal pemasukan cairan lebih banyak

(±2200cc/24 jam) daripada usia dewasa awal.

Berdasarkan Tabel 4.2. Menunjukkan karakteristik responden


berdasarkan usia responden mayoritas kategori lansia awal sebanyak 1 responden,

dewasa akhir sebanyak 2responden dan kategori dewasa awal sebanyak 1 responden.

Kebutuhan cairan tubuh manusia dipengaruhi oleh usia seseorang, antara bayi, anak,

dan orang dewasa kebutuhan cairan tubuh yang harus dipenuhi berbeda-beda karena

dalam masa pertumbuhan bayi dan anak mengalami perpindahan cairan lebih besar

dan laju metabolisme lebih tinggi dari pada orang dewasa yang mengakibatkan

terjadinya peningkatan kehilangan cairan. Secara tidak langsung kehilangan cairan

pada bayi dipengaruhi oleh belum matangnya organ ginjal sehingga kemampuan

menyimpan air rendah dibandingkan dengan orang dewasa, dan pernapasan bayi yang

lebih cepat serta besarnya area permukaan tubuh bayi secara proporsional lebih besar

dari orang dewasa. Lebih cepatnya perpindahan cairan disertai hilangnya cairan akibat

penyakit pada anak-anak akan terjadi ketidakseimbangan cairan jauh lebih cepat dari

dewasa. Kehilangan cairan pada usia lanjut dipengaruhi oleh proses penuaan dan

kecenderungan terhadap penyakit. Proses penuaan terjadi perubahan normal yang

meningkatkan risiko dehidrasi, meliputi; respon haus yang kurang dirasakan sering kali

terjadi, kadar hormon antidiuretik yang normal atau meningkat tetapi pada nefron terjadi

penurunan kemampuan menyimpan air sebagai respon terhadap ADH, peningkatan

kadar natriuretik atrial. Selain itu, adanya kecenderungan terhadap penyakit jantung,

ginjal, dan regimen obat multipel, risiko terjadinya ketidakseimbangan cairan dan

elektrolit lebih signifikan (Kozier,Erb, Berman dan Snyder,2011).

C. Pembahasan

1. Analisis Masalah Keperawatan Kasus Kelolaan dengan Konsep Penelitian Terkait


CKD merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi

ginjal yang irreversibel pada suatu derajat dimana memerlukan terapi pengganti ginjal

yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa masalah keperawatan utama yang

muncul dari ke 4 responden tersebutyaitu gangguan kelebihan cairan b.d kelebihan

asupan cairan.

Dimana program pembatasan cairan sangatlah penting bagi pasien yang menjalani

hemodialisis. Jumlah cairan yang dikonsumsi penderita penyakit ginjal kronik harus

dibatasi dan dipatuhi. Parameter yang efektif agar bisa terkontrol dengan berat badan

pasien itu sendiri. Jika pasien mengalami peningkatan berat badan, akan menyebabkan

komplikasi penyakit lainnya dan juga menyebabkanedema pada tubuh dan sesak nafas.

Aturan yang dipakai untuk menentukan asupan cairan adalah produksi urine yang

dikeluarkan selama 24 jam terakhir+500 ml (IWL). Asupan cairan ini membutuhkan

peraturan yang harus dijaga dan dipatuhi, karena pada pasien CKD sering mengalami

kelebihan cairan atau overhidrasi

Selain itu, pola makan klien merupakan salah satu gaya hidup klien

yang memiliki kerentanan untuk timbulnya oedema dan asites. Pola makan

klien yang tidak teratur dan gemar makan makanan yang asin. Asupan natrium yang

berlebihan menyebabkan tubuh meretensi cairan sehingga volume cairan

meningkat(Rita Yumaris,2008).

Kepatuhan dalam pembatasan asupan cairan sering menjadi permasalahan, menurut

Agh, dkk (2011, dalam Hidayati, 2012) banyak factor yang mempengaruhi klien dalam

menjalani terapi, diantaranya usia, jenis kelamin, pengetahuan dan demografi klien.
2. Analisis Intervensi Kasus Kelolaan dengan Konsep Penelitian Terkait

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan data penurunan

rasa haus dengan menggunakan skor VAS terhadap 4 responden sebelum dilakukan

intervensi mengulum es batu adalah tingkat kehausannya 6-8 (sedang sampai berat)

dan setelah dilakukan pemberian intervensi mengulum es batu adalah tingkat

kehausannya 3-4

(ringan sampai sedang). Dari data tersebut penulis mendapatkan hasil bahwa

mengulum es batu berpengaruh dalam menurunkan skor tingkat kehausan pada pasien

CKD dan penurunan skor tingkat penurunan rasa haus dikatakan signifikan karena rata-

rata skor tingkat penurunan rasa haus sebelum dan setelah dilakukan

intervensipemberian mengulum es batu menurun dari berat ke ringan (8-3).

Temuan hasil penelitian ini didukung oleh beberapa rumah sakit baik pemerintah

maupun swasta, penelitian N.W. Arfany (2014) di RSUD Tugurejo Semarang ditemukan

bahwa terdapat pengaruh yang signifikan tingkat rasa haus sebelum dan setelah

intervensi mengulum es batu selama 5 menit (p-value 0.002)karena air es yang mencair

dan rasa dingin dari es dapat menyegarkan mulut dan tenggorokan sehingga perasaan

haus berkurang (Arfany et al, 2014). Penelitian lain mengatakan bahwa untuk

mengurangi rasa haus pada penderita gagal ginjal kronik karena pembatasan cairan
adalah dengan mengkonsumsi potongan es karena dapat memberikan perasaan lebih

segar dari pada meminum air sedikit-sedikit (phillips et al, 2014)

Penelitian serupa yang dilakukan oleh Sacrias,dkk yang juga menyebutkan

bahwa mengulum es batu lebih efektif daripada tidak diberikan perlakuan apapun

dengan nilai pre test 1,95 dan nilai dan nilai post test 1,75 dengan p-value (0,004< 0,05)

yang menunjukan ada perbedaan tingkat rasa haus sebelum dan sesudah diberikan

intervensi mengulum es batu.

Rekomendasi dari penelitian ini diharapkan mengulum es batu dapat digunakan untuk

terapi manajemen rasa haus pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani

hemodialysis dan saat dirumahKeterbatasan dalam penelitian ini penulis tidak

menanyakan kapan terakhir pasien minum sebelum diberikan intervensi. Meskipun

penulis sudah melakukan seleksi dengan memilih pasien yang bersedia dan tahan

dingin pada saat mengulum es batu selama pengelolaan asuhan keperawatan yaitu

dalam pengambilan responden, penelitian ini juga belum memperhatikan kondisi

lingkungan sekitar tempat tinggal responden yang bisa mempengaruhi hasil penelitian

supaya penelitian selanjutnya mendapatkan hasil yang lebih optimal.

.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil temuan penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan

bahwa intervensi pemberian mengulum es batu terhadap penurunan rasa haus pada

pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Tidar Kota Magelang

terdapat pengaruh yang

signifikan

1.Hasil empat responden tingkat haus pada kasus kelolaan sebelum dilakukan

intervensi mengulumes batu rata-rata tingkat haus sedang sampai sangat berat(6-8)

sedangkan setelah dilakukan intervensi tingkat haus menjadi ringan sampai sedang(3-

5), sehingga menunjukkan perubahan yang signifikan pengaruh intervensi mengulum

es batu

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut diatas, peneliti memberikan saran sebagai

berikut :

1. Rumah Sakit
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberian intervensi mengulum es

batu berpengaruh terhadap tingkat penurunan rasa haus pada pasien CKD, namun

harus diimbangi dengan kebutuhan cairan pasien, dan rumah sakit dapat membuat

kebijakan dan standar operasional manajemen rasa haus kepada penderita gagal

ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dengan mengulum es batu.

2. Peneliti Selanjutnya

a. Peneliti berharap kepada peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang

serupa untuk lebih baik serta cermat dalam hal mengawasi dan mengontrol

responden selama proses penelitian berlangsung seperti menambahkan lembar

observasi, dan lembar observasi dalam manajemen cairan selama penelitian.

b. Untuk memperluas jangkauan penelitian mengenai pemberian intervensi

mengulum es batu

terhadap penurunan rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik

c. Pelaksanaan penelitian sebaiknya tidak bersamaan dengan kegiatan yang lain

sehingga peneliti mempunyai waktu yang cukup untuk lebih berkonsentrasi

penuh pada penelitian dan mencegah human errormaupun confounding factor

Anda mungkin juga menyukai