BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik atau chronik kidney disease(CKD) saat ini banyak diderita oleh
penduduk di dunia dan terus meningkat jumlah penderitanya di berbagai negara. Gagal
ginjal kronik adalah gangguan fungsi ginjal yang progresif dan tidak dapat pulih kembali,
dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme, keseimbangan cairan, dan elektrolit
yang berakibat pada peningkatan ureum. Pada pasien gagal ginjal kronik mempunyai
berupa transplantasi ginjal, dialisis peritoneal, hemodialisis, dan rawat jalan dalam jangka
Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami penyakit gagal ginjal kronik pada
stadium tertentu.Hasil sistemik review dan meta-analisis yang dilakukan oleh Hill et al
ruangan hemodialisa RSUD Tidar Kota Magelang yang melakukan hemodialisa pada
bulan April sebanyak 175pasien, sedangkan pada bulan Mei sebanyak 174 pasien.
Saat ini hemodialisis menjadi terapi pengganti ginjal yang paling banyak dipilih.
CKD.
Hemodialisis idealnya dilakukan 10-12 jam per minggu agar tercapai adekuasi. Pasien
biasanya menjalani hemodialisis 2-3 hari seminggu dengan lama durasi tiap
hemodialisis 3-5 jam, artinya ketika pasien tidak menjalani hemodialisis pada hari-hari
diantara dua waktu dialisis pasien akan mengalami masalah penumpukan cairan dalam
Penderita dengan gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa harus mematuhi diet,
Apabila cairan tidak dijaga atau terjadi kelebihan cairan antara sesi dialisis, maka akan
membatasi cairan selama hemodialisa dapat menimbulkan rasa haus dan mulut kering
(kozier, 2011).
Rasa haus merupakan keinginan yang disadari terhadap kebutuhan akan cairan
tubuh.
Rasa haus dapat mengakibatkan pasien tidak mematuhi diet pembatasan asupan
menunjukan ada hubungan yang signifikan antara masukan cairan dengan interdialytic
weight gain (IDWG) atau peningkatan berat badan diantara waktu dialisis (Istanti,
2013). Kelebihan cairan akan menurunkan kualitas hidup pasien karena timbulnya
harus dimanajemen atau dikendalikan agar pasien patuh pada diet pembatasan intake
cairan. Berbagai penelitian menunjukan bahwa intervensi manajemen rasa haus dapat
bermanfaat mengurangi rasa haus. Air yang terkandung didalam es batu membantu
memberikan efek dingin yang dapat menyegarkan dan mengatasi haus pasien yang
ml es batu dengan cara dikulum oleh pasien postoperatif terbukti efektif dapat
mengurangi rasa haus pada periode pemulihan di recovery room (RR). Penggunaan es
batu 20% lebih efektif daripada air pada suhu ruangan untuk meringankan kehausan.
Konsumsi jumlah es batu yang dikulum dalam mengurangi rasa haus juga harus
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu perubahan fungsi ginjal yang
progresif dan ireversibel ditandai oleh penurunan laju filtrasi glomerolus secara
mendadak dan cepat. Pada gagal ginjal kronik, ginjal tidak bisa untuk mempertahankan
Gagal Ginjal Kronik adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi
ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut, serta bersifat
persisten dan irrever-sibel (Mansjoer, 2000, dalam Nurani & Mariyanti, 2013). Gagal
Ginjal Kronik (GGK) merupakan penyakit terminal destruksi jaringan dan kehilangan
fungsi ginjal secara berangsur-angsur. Kondisi ini terjadi akibatpenyakit progresif cepat
dengan awitan mendadak yang merusak nefron dan menyebabkan ginjal rusak secara
ireversibel (Kowalak,2011).
Kidney Foundation (2016), penyakit gagal ginjal kronik dikarenakan adanya kerusakan
struktural atau fungsional ginjal dan/atau penurunan laju filtrasi glomerulus kurang dari
pada darah atau tes urine. Berdasarkan definisi dari berbagai sumber diatas, maka
dapat disimpulkan bahwa gagal ginjal kronik adalah penyakit terminal dimana fungsi
Kidney Foundation (2016), terdapat dua penyebab utama dari penyakit ginjal
a. Diabetes Melitus
gagal ginjal dan juga penyebab kematian pada pasien gagal ginjal kronik. Diabetes
darah kecil. Diabetes dapat merusak pembuluh darah tersebut sehingga pada
Kadar gula yang tinggi dalam darah membuat ginjal harus bekerja lebih keras
dalam proses panyaringan darah, dan mengakibatkan kebocoran pada ginjal. Awalnya,
penderita akan mengalami kebocoran protein albumin ke dalam urin (albuminaria) yang
ginjal menurun. Pada saat itu, tubuh akan mendapatkan banyak limbah karena
menurunnya fungsi ginjal yang nantinya akan menyebabkan gagal ginjal. Apabila
kondisi ini tidak dapat diatasi dan berlangsung terus menerus dapat meningkatkan
stadium dari gagal ginjal dan selanjutnya akan menyebabkan kematian (Tjekyan, 2014).
Budiyanto (2009 dalam Ekantari, 2012) mengatakan bahwa hipertensi dan gagal
sebaliknya.
arteriol di seluruh tubuh, ditandai dengan fibrosis dan hialinisasi dinding pembuluh
darah. Organ sasaran utama adalah jantung, otak, ginjal, dan mata. Pada ginjal,
dan atrofi tubulus, sehingga seluruh nefron rusak, yang menyebabkan terjadinya gagal
ginjal kronik. Gagal ginjal kronik sendiri sering menimbulkan hipertensi. Sekitar 90%
hipertensi bergantung pada volume dan berkaitan dengan retensi air dan natrium,
c. Penyebab lain
penyakit yang menyebabkan peradangan dan kerusakan pada unit penyaringan ginjal.
gangguan ini adalah jenis yang paling umum ketiga penyakit ginjal. penyakit warisan,
seperti penyakit ginjal polikistik, yang menyebabkan kistabesar terbentuk di ginjal dan
menyebabkan urin mengalir kembali ke ginjal. Hal ini menyebabkan infeksi dan dapat
merusak ginjal. Lupus dan 8 penyakit lain yang mempengaruhi sistem kekebalan tubuh.
Penghalang yang disebabkan oleh masalah seperti batu ginjal, tumor atau pembesaran
kelenjar prostat pada pria serta infeksi saluran kencing berulang (NKF, 2016)
Kidney Foundation (NKF) tahun 2016 terdapat 5 stage pada penyakit gagal ginjal
kronik. Berdasarkan adanya kerusakan ginjal dan laju filtrasi glomerulus (GFR), yang
(mL/menit/1,73m2)
(NKF, 2016)
4. Patofisiologi
Gagal Ginjal Kronik (GGK) berlangsung secara progresif dengan lima stadium.
Cadangan ginjal yang menurun terlihatlaju filtrasi glomerulus (LFG) sebesar 35%
sampai 50% laju filtrasi yang normal. Pada insufisiensi renal LFG sebesar 20% sampai
35% laju filtrasi yang normal. Gagal ginjal LFG sebesar 20% sampai 25% laju filtrasi
yang normal, sedangkan pada gagal ginjal stadium terminal (end stage renal desease)
bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampaifungsi ginjal turun kurang dari 25%
normal, manifestasi klinis gagal ginjal kronik mungkin minimal karena nefron-nefron sisa
yang sehatmengambil alih fungsi nefron yang rusak. Nefron yang tersisa 5
meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorbsi, dan sekresinya, serta mengalami hipertrofi
(Kowalak, 2011).
Seiring dengan makinbanyaknya nefron yang mati, maka nefron yang tersisa
menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nefron tersebut ikut rusak dan
akhirnya mati. Sebagian dari siklus kematian ini tampaknya berkaitandengan tuntutan
Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga
dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtras protein-protein plasma. Kondisi akan
bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut sebagai respons
dari kerusakan nefrondan secara progresif fungsi ginjal menurun drastis dengan
sirkulasi 10 sehingga akan terjadi sindrom uremia berat yang memberikan banyak
dilakukan sesuai dengan derajat penurunan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), antara lain :
fungsiginjal.
Ginjal Kronik (GGK) sesuai dengan derajat Laju FiltrasiGlomerulus (LFG), diantaranya :
a. Pengobatan dengan terapi spesifik pada penyakit dasarnya.
waktu yang tepat yaitu waktu dimana sebelum terjadi penurunan Laju Filtrasi
Condition).
Pada pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) akan terjadi kecepatan penurunan LFG,
yang harus dipantau dan dicatat setiap saat untuk mengetahui terjadinya kondisi
Pada pasien GGK pemberian diet tinggi protein dapat memicu terjadinya
penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik, dan mengakibatkan gangguan klinis
serta metabolik biasa disebut uremia. Asupan protein yang berlebih (protein overload)
juga membuat perubahan pada hemodinamik ginjal dan akan terjadi peningkatan aliran
glomerulus.
Pada pasien GGK cara yang dapat dilakukan untuk 12terapi dan juga
gangguan keseimbangan elektrolit. Hal ini berkaitan dengan pemberian terapi dan
1) Anemia.
Pada pasien GGK anemia (jika kadar hemoglobin ≤ 10 gr% dan hematokrit ≤
adalah eritropoitin (EPO). Namun dalam terapi pemberian EPO, hal yang harus
diperhatikan adalah status zat besi karena dalam mekanisme kerjanya EPO
membutuhkan zat besi. Transfusi pada pasien GGK harus dilakukan dengan hati-hati,
sesuai dengan indikasi yang tepat dan cermat. Jika transfusi tidak dilakukan dengan
cermat dapat terjadi kelebihan cairan di tubuh, hiperkalemia dan penurunan fungsi
ginjal. Target kadar hemoglobin berdasarkan hasil dari berbagai studi klinik adalah
11-12g/dl.
2) Steodistrofi renal.
Salah satukomplikasi yang sering terjadi pada pasien GGK adalah osteodistrofi.
fosfat pada saluran cerna, pemberian kalsium memetik (calcium mimetic agent) adalah
obat yang dapat menghambat reseptor kalsium (Ca) di kelenjar 13paratiroid . Proses
3) Pemberiankalsitriol.
menyebabkan peningkatan absorbsi fosfat dan kalsium pada saluran cerna sehingga
pada kelenjar paratiroid. Sehingga penggunaan kalsitriol harus dibatasi pada pasien
dengan kadar fosfat darah normal serta kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5x normal
terjadinya edema dan komplikasi kardiovaskular. Kadar cairan yang masuk dan keluar
di dalam tubuh harus seimbang, baik lewat urin ataupun insensible water loss (jika air
yang keluar lewat insensible water loss 500-800 ml/ hari sesuai luas permukaan tubuh,
maka air yang harus masuk 500-800 ml ditambah jumlah urin). Sedangkan asupan
kadar elektrolit yang harus dibatasi adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium
harus dilakukan karena jika terjadi hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia jantung
(jumlah kadar kalium darah yang dianjurkan 3,5-5,5 mEq/ liter), dan pembatasan
asupan garam natrium yang boleh diberikan harus disesuaikan terlebih dahulu dengan
Pada pasien GGK stadium 5 terjadi penurunan LFG kurang dari 15 ml/menit,
harus segera dilakukan terapi pengganti ginjal seperti hemodialisis, peritoneal dialisis,
B. Manajemen Cairan
1. Definisi Cairan
flukturasi tanda dan gejala, mengambil tindakan dalam menghadapi respon fisiologis
kekurangan cairan tubuh, mentoring serta mengelola gejala (Lindbreg, 2010 dalam
Isroin, 2013).
Penting untuk diingat tentang penyebab haus. Haus adalah hasil langsung dari terlalu
banyaknya garam dalam air, makanan dan juga garam yang ditambahkan dalam
makanan. Diet garam terlalu banyak akan meyebabkan tingkat natrium meningkat dan
mengaktifkan mekanisme haus di otak, untuk itu perlu minum cairan yang cukup untuk
menormalkan natrium. Aspek yang lebih penting untuk menjaga IDWG normal pada
pasien dengan hemodialysis dan peritonial dialysis adalah dengan mengurangi jumlah
(Thomas, 2008)
Kelebihan IDWG mungkin tidak selalu menjadi penyebab pasien kurang mengerti
tentang pembatasan asupan cairan. Makanan berisi cairan dan nafsu makan pasien
yang meningkat akan meningkatkan IDWG, dan kenyataan ini dapat dengan rinci
diperoleh pada pengkajian diet, indikasi tinggi protein dan kalori seperti cairan dalam
jelly, ice cream, saus dan sup. Kelebihan IDWG dapat dicegah dengan pemasukan
cairan tiap hari 500-800 ml dalam situasi produksi urin kering. Pemasukan natrium 80 –
110 mmol tiap hari, akan cukup untuk mengontrol haus dan membantu pasien
Pasien gagal ginjal harus memperhatikan asupan cairan, salah satu masalah
yang dihadapi adalah peningkatan volume cairan diantara kedua waktu dialisis yang
Asupan cairan harian yang dianjurkan pada pasien gagal ginjal dibatasi hanya
mempunyai tujuan untuk mengurangi kelebihan cairan pada periode interdialitik (istanti,
2014).
Sebuah ilustrasi skematis seperti bi-variasi dijurnal status cairan disajikan pada gambar
dibawah ini.
https://repository.poltekkes-smg.ac.id/js/pdfjs/web/images/texture.png
peningkatan berat badan sebagai dasar untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk
selama periode interdialitik. Pasien secara rutin diukur berat badanya sebelum dan
kemudian IDWG dihitung berdasarkan berat badan kering setelah hemodialisis (istanti,
2014). Cara menghitung IDWG adalah dengan mengukur berat badan pasien sebelum
dilakukan hemodialisis saat sekarang, ukur berat badan post hemodialisis sebelumnya.
Hitunglah selisih penambahan berat badan antara post hemodialisis pada periode
penambahan berat badan dengan rumus berat badan post hemodialisis pada periode
sebelumnya dikurangi berat badan pasien sebelum hemodialisis saat sekarang
kemudian dibagi berat badan sebelum hemodialisis sekarang dikali 100% (Hirmawaty,
2014).
Pasien harus mempertahankan nilai IDWG 2,5%-3,5% berat badan kering atau
tidak melebihi 5% berat badan kering. IDWG lebih dari 2,5 kg menyatakan lemahnya
kepatuhan pasien terhadap asupan cairan (Isroin, 2013). Pengaturan masukan cairan
yang baik dapat mencegah IDWG yang berlebih, Kapple & Ihassy merekomendasikan
masukan cairan ideal yang dikonsumsi pasien setiap harinya adalah 600mL + urin
asupan natrium 40-120 meq/hari.Bila asupan cairan berlebihan maka selama satu
periode atara dialisis akan terjadi kenaikan berat badan yang besar (Sudoyo 2009).
Isroin dkk, (2013) menyatakan bahwa banyak pasien hemodialisis yang melanggar
aturan diet yang seharusnya dilakukan, meskipun pasien menyadaribahwa diet harus
dilakukan, rasa haus pada pasienhemodialisis menimbulkan rasa tidak nyaman yaitu
Menurut Thomas (2008) ada beberapa petunjuk bagi pasien untuk menjaga
garam makanan
g. Es batu kubus bisa membantu untuk mengurangi rasa haus. Satu es batu
i. Cek berat badan tiap hari sebelum makan pagi, akan membantu untuk
mengetahu
dan pengeluaran cairan serta berat badan. Pemasukan cairan meliputi jenis dan jumlah
catatan harian untuk mentoring keseimbangan cairan setiap hari. Buku catatan harian
tindakan dalam menghadapi respon haus. Pasien yang mengikuti dan melaksanakan
2,5% sampai 3,5% beratbadan kering atau tidak melebihi 5% berat badan kering. Nilai
IWGD dihitung 18berdasarkan berat badan pasien sebelum hemodialisa (berat badan
basah) dikurangi berat badan setelah hemodialisa (berat badan kering).Nilai normal
IDWG adalah kurang dari 3% berat badan kering (Price &Wilson 2005, Istanti 2014).
C Hemodialisa
1. DefinisiHemodialisa
lainnya melalui membran semipermiabel sebagai pemisah antara darah dan cairan
dialisat yang sengaja dibuat dalam dialiser. Membran semipermiabel adalah lembar
tipis, berpori-pori terbuat dari selulosa atau bahan sintetik. Ukuran pori-pori membran
memungkinkan difusi zat dengan berat molekul rendah seperti urea, keratin, dan asam
urat berdifusi. Molekul air juga sangat kecil dan bergerak bebas melalui membran,
tetapi kebanyakan protein plasma, bakteri, dan sel-sel darah terlalu besar untuk
kreatinin) dan kelebihan volume cairan dimana terjadi perpindahan partikel terlarut
(solute) dan air secara pasif melalui satu kompartemen cair (darah) menuju
buangan. Hemodialisa digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal atau
pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat (Nursalam, 2013).
mekanisme penbuangan zat-zat sisa metabolisme tubuh berupa urea dan kreatinin
serta volume cairan yang berlebih dilakukan dengan cara pengalihan darah ke dan dari
2. Tujuan
mempunyai tujuan :
b) asam urat
a) Pasien yang memerlukan hemodialisa adalah pasien GGK dan GGA untuk
sementara sampai fungsi ginjalnya pulih (laju filtrasi glomerulus < 5ml). Pasien-
b) kegagalan terapi konservatif, kadar ureum/kreatinin tinggi dalam darah (Ureum >
200 mg%, Kreatinin serum > 6 mEq/l), kelebihan cairan, mual dan muntah hebat.
1. K+pH darah < 7,10 → asidosis, Oliguria/anuria > 5 hari, GFR < 5 ml/I pada
GGK,
4.Kontra Indikasi
d) Demam tinggi.
5. Prinsip dan Proses Hemodialisa
Dialisis adalah pergerakan cairan dan butir-butir (partikel) dalam tubuh melalui
dan mengeluarkan zat-zat sisa metabolisme dan bahan toksik dari dalam tubuh
Dialisis mempunyai tiga prinsip dasar yaitu difusi, osmosis, dan ultrafiltrasi. Difusi
adalah pergerakan butir-butir (partikel) dari tempat berkonsentrasi tinggi ke tempat yang
berkonsentrasi rendah. Di dalam tubuh manusia, proses difusi terjadi melalui membran
semipermeabel.
Difusi dapat mengakibatkan urea, kreatinin, dan asam urat dari dalam darah pasien
masuk ke dalam dialisat. Meskipun konsentrasi eritrosit dan protein dalam darah sangat
tinggi, materi ini tidak bisa menembus membran semipermeabel karena eritrosit dan
protein mengandung molekul yang sangat besar (Baradero dan Dayrit, 2009).
bertekanan positif (didorong) ataupun bertekanan negatif (ditarik). Difusi atau ultrafiltrasi
lebih efisien dibandingkan dengan osmosis dalam hal mengambil cairan dan diterapkan
hidrostatik adalah pergerakan air yang terjadi dari kompartemen bertekanan hidrostatik
adalah perpindahan air yang terjadi dari kompartemen yang bertekananosmotik rendah
Perpindahan air (fluid removal) pada proses ultrafiltrasi sangat penting untuk
intradialitik yang dapat timbul (Jaeger, 1999). Preskripsi untuk fluid removal ditentukan
berdasarkan target berat badan kering pasien. Berat badan kering adalah berat badan
terendah dari pasien yang dapat menoleransi gejala hipotensi, definisi berat badan
6. Peralatan Hemodialisa
terdiri dari :
1) Arterial Blood Line (ABL) Adalah tubing tubing/line plastic yang menghubungkan
darah dari tubing akses vaskular tubuh pasien menuju dialiser, disebut Inlet ditandai
2) Venouse Blood Line Adalah tubing/line plastic yang menghubungkan darah dari
dialiser dengan tubing akses vascular menuju tubuh pasien disebut outlet ditandai
dengan warna biru. Priming volumeAVBL antara 100-500 ml. priming volume adalah
volume cairan yang diisikan pertama kali pada AVBL dan kompartemen
3) Dializer/ginjal buatan (artificial kidney) Adalah suatu alat dimana proses dialisis
b) Kedua
lubang yaitu dua ujung untuk keluar masuk darah dan dua samping untuk keluar
masuk dialisat.
Air dalam tindakan hemodialis dipakai sebagai pencampur dialisat peka (diasol).
Air ini dapat berasal dari berbagai sumber, seperti air PAM dan air sumur, yang harus
dimurnikan dulu dengan cara “water treatment” sehingga memenuhi standar AAMI
(Association for the Advancement of Medical Instrument). Jumlah air yang dibutuhkan
untuk satu session hemodilaisis seorang pasien adalah sekitar 120 liter.
5) Larutan Dialisat
Dipasaran beredar dua macam dialisat yaitu dialisat asetat dan dialisat bicarbonate.
Dialisat asetat menurut komposisinya ada beberapa macam yaitu : jenis standart, free
potassium, low calsium dan lain-lain. Bentuk bicarbonate adayang powder, sehingga
sebelum dipakai perlu dilarutkan dalam air murni/air water treatment sebanyak 9,5 liter
6) Mesin Hemodialisis
prinsipnya sama yaitu blood pump, system pengaturan larutan dilisat, system
pemantauan mesin terdiri dari blood circuit dan dillisat circuit dan bebagai monitor
sebagai deteksi adanya kesalahan. Dan komponen tambahan seperti heparin pump,
tombol bicarbonate, control ultrafiltrasi, program ultrafiltrasi, kateter vena, blood volume
monitor
D. Rasa Haus
1. Definisi
Haus adalah insting atau keinginan untuk memenuhi cairan yang mendorong
naluri dasar untuk minum, dengan suatu mekanisme penting yangterlibat dalam
Haus adalah respon fisiologis dari dalam tubuh manusia berupa keinginan untuk
memenuhi kebutuhan cairan dalam tubuh yang dilakukan secara sadar. Fenomena
munculnya rasa haus sama pentingnya untuk pengaturan konsentrasi natrium dan air
dalam tubuh. Karena jumlah air didalam tubuh pada setiap saat ditentukan oleh
keseimbangan antara masukan dan pengeluaran air yang dikonsumsi setiap hari
(Guyton,2012).
Haus adalah perasaan seseorang yang secara sadar menginginkan air dan
merupakan faktor utama yang menentukan kebutuhan asupan cairan (Potter dan Perry,
2010).
Pemenuhan kebutuhan cairan dalam tubuh manusia diatur oleh mekanisme rasa
haus, pusat reseptor stimulus fisiologis utama yang mengendalikan rasa haus ada
dihipotalamus otak. Faktor yang mempengaruhi munculnya atau timbulnya rasa haus
membran mukosa dan mulut yang kering, angiotensin II, kehilangan kalium,dan faktor-
mendeteksi kehilangan cairan dan mengaktifkan pusat rasa haus, hal ini yang
\Faktor lain yang memicu munculnya rasa haus menurut Ardiyanti Armiyati & Arif
SN (2015, adalah prosedur hemodialisis pada pasien Gagal Ginjal Kronik (GGK) yang
tidak dilakukan setiap hari akan memicu munculnya masalah penumpukan cairan
Hal ini yang akan menyebabkan berat badan pasien bertambah, tekanan darah
meningkat, sesak nafas, gangguan jantung, dan edema karena ginjal tidak mampu
mengeluarkan cairan. Retensi natrium dan air terjadi akibat hilangnya fungsi ginjal,
sehingga fungsi tubulus juga hilang yang mengakibatkan sekresi urine encer dan terjadi
dehidrasi (O' challaghan, 2009, dalam Ardiyanti, 2015). Keadaan dehidrasi ini
perasaan haus (Kowalak, 2011).Sedangkan menurut Kozier, Erb, Berman dan Snyder
(2011) faktor keseimbangan cairan tubuh, elektrolit, dan asam-basa dipengaruhi oleh
a) a.Usia
Kebutuhan cairan tubuh manusia dipengaruhi oleh usia seseorang, antara bayi,
anak, dan orang dewasa kebutuhan cairan tubuh yang harus dipenuhi berbeda-
pertumbuhan bayi dan anak mengalami perpindahan cairan lebih besar dan laju
metabolisme lebih tinggi dari pada orang dewasa yang mengakibatkan terjadinya
bayi dipengaruhi oleh belum mata ngnya organ ginjal sehingga kemampuan
bayi yang lebih cepat serta besarnya area permukaan tubuh bayi secara
proporsional lebih besar dari orang dewasa. Lebih cepatnya perpindahan cairan
ketidakseimbangan
cairan jauh lebih cepat dari dewasa. Kehilangan cairan pada usia lanjut
respon haus yang kurang dirasakan sering kali terjadi, kadar hormon antidiuretik
yang normal atau meningkat tetapi pada nefron terjadi penurunan kemampuan
atrial. Selain itu, adanya kecenderungan terhadap penyakit jantung, ginjal, dan
Total air dalam tubuh dipengaruhi oleh jenis kelamin dan ukuran tubuh.
Seseorang yang mempunyai lemak tubuh berlebih maka cairan tubuh yang
dimilikinya akan sedikit karena sel lemak tidak mengandung air dan jaringan
tanpa lemak tinggi akan kandungan air. Secara proporsional wanita mempunyai
lemak tubuh lebih banyak dan cairan lebih sedikit dari pria (Kozier, Erb, Berman
c) Suhulingkungan.
tubuh untuk menghilangkan panas (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).
d) Gayahidup.
mempengaruhi gaya hidup seperti diet karena pada kondisii malnutrisi berat
terjadi penurunan kadar albumin serum dan bisa terjadii edema disebabkan
kalori yang tidak adekuat juga akanmembuat cadangan lemak dalam tubuh
dipecah dan asam lemak dilepaskan yang dapat meningkatkan risiko asidosis.
Faktor yang kedua adalah olah raga, saat olah raga tubuh banyak kehilangan
cairan dan elektrolit karena ketika seseorang sedang berolah raga cairan dan elektrolit
dalam tubuh akan keluar lewat keringat. Faktor yang ketiga adalah stres, saat stres
terjadi peningkatan produksi ADH yang bisa mengakibatkan penurunan produksi urine
dan respon tubuh dalam menghadapi stres adalah meningkatkan volume darah,
cadangan lemak dalam tubuh (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011).
cairan. Pusat rangsangan haus berada di hipotalamus otak dekat sel penghasil
(pengeluaran urin) dan rasa haus (minum) bekerja secara berkesinambungan. Sekresi
vasoprin serta rasa haus di rangsang oleh kekurangan cairan dan dikendalikan oleh
pusat haus, marangsang sinyal eksitatorik utama sekresi vasopresin dan rasa haus.
keseluruh cairan internal. Sepanjang peningkatan osmolaritas (air terlalu sedikit) dan
kebutuhan akan air bertambah, maka secara otomatis akan terjadi aktifasi sekresi
vasopresin dan rasa haus. Akibat proses aktifasi tersebut, terjadi peningkatan
reabsorpsi air di tubulus distal dan koligentes sehingga pengeluaran urin kurang dan air
akan dihemat, disisi lain asupan air secara bersamaan dirangsang. Proses ini
memulihkan cadangan air yang berkurang sehingga keadaan hipertonik mereda seiring
pulihnya konsentrasi zat terlarut dalam kondisi normal. Sebaliknya, air yang berlebihan,
Sebagian stimulus merangsang pusat ini, termasuk juga tekanan osmotik cairan
tubuh, volume vaskular, dan angiotensin (hormon yang dilepaskan sebagai respon
pada penurunan aliran darah ke ginjal). Tekanan osmotik yang meningkat akan
menstimulasi pusat haus yang menyebabkan munculnya rasa haus dan mendorong
keingin untuk minum untuk menggantikan kehilangan cairan (Kozier, Erb, Berman dan
Snyder, 2011).
cairan tubuh (Ward, Clarke dan Linden, 2009). Peningkatan osmolalitas plasma terjadi
pada kondisi defisiensi air dan menurun dengan ingesti air. Osmoreseptor
munculnya rasa haus serta reabsorpsi air, dan pada keadaan menurunnya osmolalitas
dan mulut yangkering, angiotensin II, kehilangan kalium, dan faktor-faktor psikologis.
dan mengaktifkan pusat rasa haus, hal ini yang mengakibatkan seseorang merasa haus
yang dialami tubuh manusia sebagai sinyal atau tanda kebutuhan akan cairan (air)
dalam tubuh untuk mempertahankan kebutuhan cairan. Karena jumlah air dalam tubuh
manusia harus seimbang pada setiap saat antara yang masuk dan yang keluar setiap
hari. Jika antara jumlah air yang masuk dan keluar tidak seimbang (jumlah air yang
keluar lebih banyak dibanding yang masuk), maka akan muncul rasa haus
(Guyton,2014).
Rasa haus akan segera hilang sesaat setelah seseorang minum dan bahkan
sebelum cairan yang diminum diabsorpsi oleh saluran gastrointestinalis. Tetapi rasa
haus hanya akan hilang sementara setelah seseorang minum dan cairan yang di
minum mendistensi saluran gastrointestinalis atas, kemudian rasa haus akan kembali
dirasakan dalam waktu sekitar 15 menit. Karena saat lambung kemasukan air, akan
terjadi peregangan lambung dan bagian lain dari traktus gastrointestinalis atas yang
dapat memberikan efek pengurangan rasa haus untuk sesaat selama 5 sampai 30
menit. Mekanisme ini mengatur kebutuhan cairan tubuh manusia agar cairan yang di
minum tidak berlebihan, karena cairan dalam tubuhbutuh waktu 30 menit sampai 1 jam
untuk diabsorpsi dan diedarkan ke seluruh tubuh (Kozier, Erb, Berman dan Snyder,
retensi cairan (kelebihan volume cairan) akibat dari gagalginjal, gagal jantung kongestif,
SIADH, dan penyakit kronik lain (Kozier, Erb, Berman dan Snyder, 2011). Manajemen
cairan yang tepat perlu dilakukan pada pasien dengan pembatasan cairan.Manajemen
cairan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dari puasa sampai dengan pembatasan
asupan cairan tertentu yang tepat sesuai program dari dokter. Pada kondisi dengan
penyakit kronik tertentu seperti gagal ginjal kronik, pembatasan asupan cairan dirasa
sulit untuk dilakukan oleh beberapa pasien, terutama saat mengalami kehausan
diantaranya:
Menghisap es batu, mengunyah permen karet, berkumur air matang, frozen grapes,
Menghisap es batu.
Salah satu cara atau strategi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kebutuhan
asupan cairan diantaranya adalah dengan memberikan secara sering sedikit asupan
cairan (air), memberikan es batu atau es batang (Kozier, Erb, Berman dan Snyder,
2011). Sesuai penelitian yang telah dilakukan oleh Arfany, Armiyati dan Kusumo (2015),
menyebutkan bahwa
dengan mengulum es batu selama 5 menit efektif dapat menurunkan rasa haus pasien
GGK. Alasannya disebutkan bahwa dengan mengulum es batu, lama kelamaan es batu
akan mencair dan es batu yang mencair dalam mulut dapat memberikan efek dingin
mengulum es batu akan membuat mukosa dalam mulut lembab setelah es batu
mencair, sehingga mulut pasien tidak kering yang dapat memicu munculnya rasa haus
memberikan efek dingin yang dapat menyegarkan dan mengatasi haus pasien yang
terbukti efektif dapat mengurangi rasa haus pada periode pemulihan di recovery room
(RR). Penggunaan es batu 20% lebih efektif daripada air pada suhu ruangan untuk
meringankan kehausan. Konsumsi jumlah es batu yang dikulum dalam mengurangi
rasa haus juga harus dipertimbangkan, hitung cairan setengah dari volume es batu (jika
es batu dalam wadah ukuran 200 ml, maka volume yang harus dihitung berjumlah 100
adalah bagian dari metode kuantitatif yang hendak mendalami suatu kasus
Pada studi kasusini peneliti ingin menganalisa kasus kelolaan penurunan rasa haus
pada pasien dengan kelebihan volume cairan setelah dilakukan intervensi mengulum es
01 x 02
Keterangan:
a. Wawancara
didapat dari pasien, keluarga dan perawat lainnya. Hasil dari anamnesa
rasa haus
c. .Pengukuran biofisiologis
Sebenarnya penelitian mengenai rasa haus telah banyak dilakukan oleh peneliti
Instrumen ini telah banyak digunakan oleh peneliti terdahulu. Igbokwe dan Obika
(2008), melakukan uji reliabilitas terhadap instrumen ini dan hasil VAS menunjukkan
reliabel untuk mengukur rasa haus dengan nilai Cronbach’s alpha coefficientt=
0,96.Instrumen untuk pengukuran haus menurut VAS ditunjukkan oleh gambar 3.1
Gambar 3.1
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Uji reliabliitas menyatakan nilai Cronbach’s alpha coefficient= 0,78 (Kara, 2013).
No Komponenpertanyaan
TDS digunakan dalam mengukur rasa haus pasien yang berhubungan dengan
dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju). Jumlah skor yang mungkin
didapatkan adalah 6-30, semakin tinggi skor menunjukkan sangat stres terhadap rasa
haus.
Instrumen ini bisa digunakan sebagai indikator dalam mengukur rasa haus
sebelum dan sesudah dilakukan tindakan hemodialisis. DTI adalah sebuah kuisioner
yang terdiri dari 5 komponen, setiap komponen memiliki 5 point berasal dari skala Likert
(tidak pernah=1 sampai sangat sering=5). Respon dari kelima komponen tersebut
kemudian dijumlahkan, hasilnya berupa skor sebagai berikut: 5= tidak pernah haus, 10
hampir tidak pernahhaus, 15= kadang-kadang, 20= hampir sering haus, dan 25= sangat
Tabel 3.2
No Komponenpertanyaan
1 Haus adalah masalah untuksaya
Masing-masing dari beberapa komponen pertanyaan diberikan skala Likert dengan tipe
skala (1= tidak pernah hingga 5= sangat sering). Laporan dari pasien yang mengatakan
“tidak pernah" dan “hampir tidak pernah” dikategorikan “tidak ada haus”, “kadang-
kadang” hingga “sangat sering” dikategorikan sebagai “ada haus” (Said dan
Mohammed,2013)
Berat badan pasien adalah cara sederhana yang akurat untuk pengkajian
tambahan cairan yang dibuktikan secara klinis adanya edema, peningkatan tekanan
vena jugularis, hipo/hipertensi dan sesak nafas. Tanda klinis tersebut menyebabkan
Interdialysis weight gain (IDWG) adalah pertambahan berat badan pasien di antara dua
waktu dialisis. Penambahan ini dihitung berdasarkan berat badan kering (dry weight)
pasien, yaitu berat badan post dialysis setelah sebagian besar cairan dibuang melalui
proses UF (ultrafiltrasi), berat badan paling rendah yang dapat dicapai pasien ini
seharusnya tanpa disertai keluhan dan gejala hipotensi (Reams & Elder, 2003).Nilai
IDWG (interdialytic weight gain) dihitung berdasarkan berat badan pasien sebelum
hemodialisa (berat badan basah) dikurangi berat badan setelah hemodialisa (berat
badan kering). Nilai IDWG menurut Price & Wilson (2008) adalah sebagai berikut :
a) a)Normal:kurangdari3%beratbadankering
b) b)Ringan: <2,5%
c) Sedang: 2,5%-3,5%
Dalam rangka untuk menurunkan risiko kelebihan volume di antara dialisis, dianjurkan
IDWG berada dalam kisaran 2,5% sampai 3,5% dari berat badan kering untuk
mengurangi risiko kardiovaskular dan juga untuk mempertahankan status gizi yang baik
(Lindberg,2010).
5). Dokumentasi
C. Luaran
Adapun luaran yang ingin dicapai ialah :
haus yang
D. Kriteria Pasien
Kriteria pasien yaitu terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi:
1. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi
a. Pasien kooperatif
2. Kriteria eksklusi
1. Analisa PICOT
saat hemodialisa
berkurang
selama 5-10 menit tiap pasien selama proses dialisis berlangsung dalam 1 sesi.
nasional dan internasional antara lain: Portal Garuda IPI (Indonesian Publication Index),
Directory of Open Access Journals (DOAJ), Google Scholar atau Google Cendikia,
3. Analisis Artikel
"manajemen haus", yaitu mengulumes batu, berkumur air matangdan berkumur dengan
obat kumur terhadap rasa haus pasien. Penelitian ini adalahsebuah studi eksperimental
pada 27 smpel pasien CKD yang menjalani hemodialisis di Rumah Sakit Roemani
kelompok yang mengulumes batu rata-rata 93menit, kelompok air matang rata-rata 55
menit danlama rata-rata kelompok haus yang berkumur dengan obat kumur adalah
69,71 menit. Tidak ada perbedaan signifikan dalam durasi memegang haus setelah
mengulumes batu, berkumur air matang, dan berkumur dengan obat kumur (ρ nilai
Pada tahun 2018 yang berjudul Pengaruh Menghisap Slimber Ice terhadap Intensitas
Rasa Haus Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani Hemodialisa.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh menghisap ice cubes terhadap
intensitas rasa haus pada penderita gagal ginjal kronis yangmenjalani hemodialisa.
dan 34 responden kelompok kontrol yang memenuhi kreteria inklusi. Hasil penelitian
didapat bahwa intensitas rasa haus pada kelompok intervensi terjadi penurunan
intensitas rasa haus rerata adalah 3.03 dengan nilai signifikan p-value0.000 (p < 0.05)
yang artinya terdapat pengaruh menghisap slimber ice terhadap intensitas rasa haus,
40sedangkan kelompok kontrol pada temuan penelitian ini juga mengalami penurunan
Penelitian yang dilakukan oleh Marilia Ferrari Conchon, MSN, RN, Ligia Fahl
Fonseca, PhD,RNThe purpose of this study was toevaluate the efficacy of an ice
popsicle compared with water at room temperature for thirst relief in the immediate
postoperative period interms of variation in the intensity of the initial compared with the
final thirst and the satiety reached after an hour of evaluation and intervention.
were assessed for 1 hour, every 15 minutes. Thirst intensity was assessed
temperature; and (2) experimental group, 10-mL ice popsicle.Findings: The ice popsicle
was 37.8% (P , .01) more effective than waterregarding the intensity variation between
the initial and final thirst. Thethirst intensity and number of interventions were different
4. Implementasi EBP
Prosedure pelaksanaan intervensi mengulum es batu, antara lain:
dilakukannya tindakan.
d. Pasien dilakukan pengkajian terkait nama, umur, jens kelamin, dan pekerjaan.
volume 30 ml selama 5-10 menit tiap pasien selama proses dialisis berlangsung
dalam 1 sesi.
Inventory
selama 5-10 menit tiap pasien selama proses dialisis berlangsung dalam 1 sesi.
3. Peneliti kembali lagi melakukan pengukuran akhir nilai rasa haus menggunakan
Inventory (DTI)
BAB IV
kondisi kesehatannya baik jasmani maupun rohani (WHO, 1999).RSUD Tidar Kota
merupakan rumah sakit tipe Byang merupakan rumah sakit pendidikan dan penelitian.
Berkeadilan”.
c. Meningkatkan kualitas dan kuantitas sarana & prasarana rumah sakit secara
harmonis.
3. Moto Pelayanan
B. Hasil
Tidar Kota Magelang, setelah itu dikaitkan dengan teori-teori serta penelitian-penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya yang juga membahas tentang intervensi pemberian
es batu untuk menurunkan atau menghilangkan rasa haus pada pasien CKD. Asuhan
keperawatan yang dilakukan penulis dalam mengurangi rasa haus yaitu dengan
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Tidar Kota
pembanding pre dan post intervensi mengulum es batu untuk mengetahui pengaruh
batu. Hasil dari intervensi tindakanmengulum es batu yang telah dilakukan penulis pada
1. Responden 1
tahun dengan diagnosa CKD Stage 5 dengan jadwal hemodialisa rutin 2x seminggu
setiap hari Selasa dan Jum’at, klien sudah menjalani hemodialisa sebanyak 334 kali
dengan jenis akses AV shun BB pre HD70 kg, BB HD y.l : 68 kg, masalah keperawatan
yang dialami klien sering mengeluh haus pada saat hemodialisa, dengan skala haus
Klien tidak ada keluhan, HD rutin 2x seminggu. Hasil laboratorium : Hb 9.8g/dL, ureum
182.3mg/dL, creatinin13.46mg/dL
.Untuk pembatasan asupan cairan dengan kelebihan volume cairan pada klien
yang mengalami tingkat kehausan sedang sampai sangat berat dilakukan intervensi
dilakukan selama 10 menit dengan volume ±30 ml dan idapatkan hasil pengkajian
sehingga dapat disimpulkan terjadipenurunan rasa haus pada Tn. A dari skala 8(berat)
cc + IWL500cc= ±2000 cc, sedangkan cairan yang masuk ± 2200 perhari, sehingga
diberikan edukasi setiap minum per hari ± 5gelas isi 200 cc sisa ±100 cc digunakan
untuk pembuatan es batu untuk program pembatasan asupan cairan agar tidak terjadi
36,10C
2. Responden 2
Pada tanggal 13 Juni 2019 dilakukan pengkajian pada Tn. E berusia 32 tahun
dengan diagnosa CKD Stage 5 dengan jadwal hemodialisa rutin 2x seminggu setiap
hari Selasa dan Jum’at, klien sudah menjalani hemodialisa sebanyak 478 kali dengan
jenis akses AVF BB pre HD 48, 5 kg, BB HD y.l : 46, 5kg, masalah keperawatan yang
dialami klien sering mengeluh haus pada saat hemodialisa, dengan skala haus 6
x/menit. Klien tidak ada keluhan, HD rutin 2x seminggu. Hasil laboratorium : Hb 13.6
g/dL, ureum 63.0 mg/dL, creatinin 6.72 mg/dL. Untuk pembatasan asupan cairan
dengan kelebihan volume cairan pada klien yang mengalami tingkat kehausan sedang
menurunkan rasa haus, pemberian es batu dilakukan selama 10 menit dengan volume
±30 ml dan didapatkan hasil pengkajian setelah intervensi, klien mengatakan haus
berkurang dengan skala 3 (ringan), sehingga dapat disimpulkan terjadi penurunan rasa
haus pada Tn. Edari skala 6 (sedang) menjadi skala 3 (ringan) setelah dilakukan
cairan saat dirumah untuk mencatat berapa urin keluar dan input cairan setiap hari, dan
cairan. Pengkajian didapatkan dari klien : urin (tidakkeluar) ± minum 500 cc + IWL 500
cc = ±1000 cc, sedangkan cairan yang masuk ± 1500 perhari, sehingga diberikan
edukasi setiap minum per hari ± 4 gelas isi 200 cc sisa ±100 cc digunakan untuk
pembuatan es batu untuk program pembatasan asupan cairan agar tidak terjadi
36,50C
3. Responden 3
Pada tanggal 15Juni 2019 dilakukan pengkajian pada Ny. F berusia 38 tahun
dengan diagnosa CKD Stage 5 dengan jadwal hemodialisa rutin 2x seminggu setiap
hari Rabu dan Sabtu, klien sudah menjalani hemodialisa sebanyak 285 kali dengan
jenis akses AV shuntBB pre HD 76kg, BB HD y.l : 73kg, masalah keperawatan yang
dialami klien sering mengeluh haus pada saat hemodialisa, dengan skala haus 8(berat)
Untuk pembatasan asupan cairan dengan kelebihan volume cairan pada klien yang
sehingga dapat disimpulkan terjadipenurunan rasa haus pada Ny. F dari skala 8(berat)
berapa urin keluar dan input cairan setiap hari, dan edukasi terhadap keluarga
didapatkan dari klien : urin (keluar biasa 5-6x/hari)450 ± minum 800 cc + IWL 500 cc =
±1750 cc, sedangkan cairan yang masuk ± 1900perhari, sehingga diberikan edukasi
setiap minum per hari ± 5gelas isi 200 cc sisa ±100 cc digunakan untuk pembuatan es
batu untuk program pembatasan asupan cairan agar tidak terjadi kelebihan volume
jam BB turun menjadi 68 kg, tanda tanda vital : TD 150/90 mmHg , HR 96x/menit, RR
21x/menit, T 36,3 0C
4. Responden 4
dengan diagnosa CKD Stage 5 dengan jadwal hemodialisa rutin 2x seminggu setiap
, klien sudah menjalani hemodialisa sebanyak374 kali dengan jenis akses AV shunt
BB pre HD57kg, BB HD y.l : 55 kg, masalah keperawatan yang dialami klien sering
mengeluh haus pada saat hemodialisa, dengan skala haus 6(sedang) tanda tanda
pada klien yang mengalami tingkat kehausan sedang sampai sangat berat dilakukan
batu dilakukan selama 10 menit dengan volume ±30 ml dan didapatkan hasil
skala3(ringan), sehingga dapat disimpulkan terjadi penurunan rasa haus padaTn. N dari
batu, kemudian dilakukan pengkajian monitoring manajemen cairan saat dirumah untuk
mencatat berapa urin keluar dan input cairan setiap hari, dan edukasi terhadap
keluarga dan klien mengulum es batu program pembatasan asupan cairan. Pengkajian
didapatkan dari klien : urin (tidak keluar)± minum 1000 cc + IWL 500 cc = ±1500 cc,
sedangkan cairan yang masuk ±1700perhari, sehingga diberikan edukasi setiap minum
per hari ± 5gelas isi 200 cc sisa ±100cc digunakan untuk pembuatan es batu untuk
program pembatasan asupan cairan agar tidak terjadi kelebihan volume cairan. Setelah
dilakukan hemodialisa selama 5 jam BB turun menjadi 55kg, tanda tanda vital: TD
tabel 4.1 observasi manajemen cairan pada lansia awal pemasukan cairan lebih banyak
dewasa akhir sebanyak 2responden dan kategori dewasa awal sebanyak 1 responden.
Kebutuhan cairan tubuh manusia dipengaruhi oleh usia seseorang, antara bayi, anak,
dan orang dewasa kebutuhan cairan tubuh yang harus dipenuhi berbeda-beda karena
dalam masa pertumbuhan bayi dan anak mengalami perpindahan cairan lebih besar
dan laju metabolisme lebih tinggi dari pada orang dewasa yang mengakibatkan
pada bayi dipengaruhi oleh belum matangnya organ ginjal sehingga kemampuan
menyimpan air rendah dibandingkan dengan orang dewasa, dan pernapasan bayi yang
lebih cepat serta besarnya area permukaan tubuh bayi secara proporsional lebih besar
dari orang dewasa. Lebih cepatnya perpindahan cairan disertai hilangnya cairan akibat
penyakit pada anak-anak akan terjadi ketidakseimbangan cairan jauh lebih cepat dari
dewasa. Kehilangan cairan pada usia lanjut dipengaruhi oleh proses penuaan dan
meningkatkan risiko dehidrasi, meliputi; respon haus yang kurang dirasakan sering kali
terjadi, kadar hormon antidiuretik yang normal atau meningkat tetapi pada nefron terjadi
kadar natriuretik atrial. Selain itu, adanya kecenderungan terhadap penyakit jantung,
ginjal, dan regimen obat multipel, risiko terjadinya ketidakseimbangan cairan dan
C. Pembahasan
ginjal yang irreversibel pada suatu derajat dimana memerlukan terapi pengganti ginjal
Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa masalah keperawatan utama yang
asupan cairan.
Dimana program pembatasan cairan sangatlah penting bagi pasien yang menjalani
hemodialisis. Jumlah cairan yang dikonsumsi penderita penyakit ginjal kronik harus
dibatasi dan dipatuhi. Parameter yang efektif agar bisa terkontrol dengan berat badan
pasien itu sendiri. Jika pasien mengalami peningkatan berat badan, akan menyebabkan
komplikasi penyakit lainnya dan juga menyebabkanedema pada tubuh dan sesak nafas.
Aturan yang dipakai untuk menentukan asupan cairan adalah produksi urine yang
peraturan yang harus dijaga dan dipatuhi, karena pada pasien CKD sering mengalami
Selain itu, pola makan klien merupakan salah satu gaya hidup klien
yang memiliki kerentanan untuk timbulnya oedema dan asites. Pola makan
klien yang tidak teratur dan gemar makan makanan yang asin. Asupan natrium yang
meningkat(Rita Yumaris,2008).
Agh, dkk (2011, dalam Hidayati, 2012) banyak factor yang mempengaruhi klien dalam
menjalani terapi, diantaranya usia, jenis kelamin, pengetahuan dan demografi klien.
2. Analisis Intervensi Kasus Kelolaan dengan Konsep Penelitian Terkait
rasa haus dengan menggunakan skor VAS terhadap 4 responden sebelum dilakukan
intervensi mengulum es batu adalah tingkat kehausannya 6-8 (sedang sampai berat)
kehausannya 3-4
(ringan sampai sedang). Dari data tersebut penulis mendapatkan hasil bahwa
mengulum es batu berpengaruh dalam menurunkan skor tingkat kehausan pada pasien
CKD dan penurunan skor tingkat penurunan rasa haus dikatakan signifikan karena rata-
rata skor tingkat penurunan rasa haus sebelum dan setelah dilakukan
Temuan hasil penelitian ini didukung oleh beberapa rumah sakit baik pemerintah
maupun swasta, penelitian N.W. Arfany (2014) di RSUD Tugurejo Semarang ditemukan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan tingkat rasa haus sebelum dan setelah
intervensi mengulum es batu selama 5 menit (p-value 0.002)karena air es yang mencair
dan rasa dingin dari es dapat menyegarkan mulut dan tenggorokan sehingga perasaan
haus berkurang (Arfany et al, 2014). Penelitian lain mengatakan bahwa untuk
mengurangi rasa haus pada penderita gagal ginjal kronik karena pembatasan cairan
adalah dengan mengkonsumsi potongan es karena dapat memberikan perasaan lebih
bahwa mengulum es batu lebih efektif daripada tidak diberikan perlakuan apapun
dengan nilai pre test 1,95 dan nilai dan nilai post test 1,75 dengan p-value (0,004< 0,05)
yang menunjukan ada perbedaan tingkat rasa haus sebelum dan sesudah diberikan
Rekomendasi dari penelitian ini diharapkan mengulum es batu dapat digunakan untuk
terapi manajemen rasa haus pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani
penulis sudah melakukan seleksi dengan memilih pasien yang bersedia dan tahan
dingin pada saat mengulum es batu selama pengelolaan asuhan keperawatan yaitu
lingkungan sekitar tempat tinggal responden yang bisa mempengaruhi hasil penelitian
.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
bahwa intervensi pemberian mengulum es batu terhadap penurunan rasa haus pada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RSUD Tidar Kota Magelang
signifikan
1.Hasil empat responden tingkat haus pada kasus kelolaan sebelum dilakukan
intervensi mengulumes batu rata-rata tingkat haus sedang sampai sangat berat(6-8)
sedangkan setelah dilakukan intervensi tingkat haus menjadi ringan sampai sedang(3-
es batu
B. Saran
berikut :
1. Rumah Sakit
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberian intervensi mengulum es
batu berpengaruh terhadap tingkat penurunan rasa haus pada pasien CKD, namun
harus diimbangi dengan kebutuhan cairan pasien, dan rumah sakit dapat membuat
kebijakan dan standar operasional manajemen rasa haus kepada penderita gagal
2. Peneliti Selanjutnya
a. Peneliti berharap kepada peneliti lain yang akan melakukan penelitian yang
serupa untuk lebih baik serta cermat dalam hal mengawasi dan mengontrol
mengulum es batu