Anda di halaman 1dari 28

14

Materi analisis kebijakan publik

1. Pengertian Analisis Kebijakan Publik William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan
adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan
argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga
dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Salah satu
esensi kehadiran kebijakan publik (public policy) adalah memecahkan masalah yang berkembang di
masyarakat secara benar. Meskipun demikian, kegagalan sering terjadi karena kita memecahkan
masalah secara tidak benar. Analisis kebijakan publik (public policy analysis) merupakan upaya untuk
mencegah kegagalan dalam pemecahan masalah melalui kebijakan publik. Oleh karena itu, kehadiran
analisis kebijakan berada pada setiap tahapan dalam proses kebijakan publik (public policy process).
Analisis kebijakan publik adalah ilmu yang menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan
publik. Produk analisis kebijakan publik adalah nasehat. Kebijakan yang diambil akan mempunyai biaya
dan manfaat sosial tertentu. Kebijakan tersebut dapat relatif menguntungkan suatu kelompok dan
relatif merugikan kelompok lainnya. 2. Analisis Kebijakan Publik dan Analisnya Analisis kebijakan publik
mempunyai tujuan yang bersifat penandaan (designative) dengan pendekatan empiris (berdasarkan
fakta), bersifat penilaian dengan pendekatan evaluatif dan bersifat anjuran dengan pendekatan
normatif. Prosedur analisis berdasarkan letak waktu dalam hubungannya dengan tindakan dibagi dua
yaitu ex ante dan ex post. Prediksi dan rekomendasi digunakan sebelum tindakan diambil atau untuk
masa datang (ex ante), sedangkan deskripsi dan evaluasi digunakan setelah tindakan terjadi atau dari
masa lalu (ex post). Analisis ex post berhubungan dengan analisis kebijakan retrospektif yang biasa
dilakukan oleh ahli ahli ilmu sosial dan politik, sedangkan analisis ex ante berhubungan dengan analisis
kebijakan prospektif yang biasa dilakukan oleh ahli-ahli ekonomi, sistem analisis dan operations
research. Analisis kebijakan biasanya terdiri dari perumusan masalah, peliputan, peramalan, evaluasi,
rekomendasi dan kesimpulan. Analis kebijakan adalah seseorang yang melakukan analisis kebijakan.
Yang diperlukan oleh seorang analis : 1. Analis harus tahu bagaimana mengumpulkan,
mengorganisasikan dan mengkomunikasi informasi dalam situasi dimana waktu dan informasi terbatas.
Mereka harus dapat membuat strategi untuk mengerti secara cepat problem untuk analisis kebijakan
tersebut dan sejumlah solusi yang mungkin. Mereka harus dapat mengidentifikasi secara cepat, paling
tidak secara kwalitatip, biaya dan manfaat untuk masing-masing alternatif dan mengkomunikasikan
penilaian tersebut dengan klien. 2. Analis membutuhkan perspektif (pandangan) untuk meletakkan
problem sosial yang dihadapi kedalam konteks, memahami kegagalan pasar dan kegagalan pemerintah.
3. Analis membutuhkan kemampuan teknis untuk memperkirakan kebijakan-kebijakan apa yang
diperlukan bagi masa datang yang lebih baik dan mengevaluasi konsekwensi pilihan-pilihan kebijakan
yang lebih baik. Ekonomi (mikro dan keuangan publik) dan statistik diperlukan untuk hal tersebut. 4.
Analis harus mengerti institusi dan implementasi dari masalah yang diamati untuk dapat meramalkan
akibat dari kebijakan yang dipilih. Dengan mengerti pandangan klien dan lawannya, analis dapat
menyusun fakta dan argumentasi secara lebih efektif. 5. Analis harus mempunyai etika (moral). 6. Tiga
macam peranan analis kebijakan : 1. Analis Obyektif : Mereka menyatakan keadaan apa adanya dalam
analisisnya dan membiarkan analisis menyatakan kebenaran. Kepentingan politik klien adalah nomor
dua. Fokusnya terutama adalah memperkirakan akibat-akibat dari kebijakan-kebijakan alternatip.
Mereka sadar bahwa klien adalah politikus yang seringkali tidak obyektif. Walaupun demikian klien
dapat memberikan informasi yang menyebabkan analis bisa bekerja pada isyu-isyu yang menarik.
Meskipun analis memberikan beberapa alternatif kebijakan dan akibat-akibatnya, keputusan terakhir
pemilihan alternatip tetap berada ditangan klien. Analis obyektif biasanya berusaha menjaga jarak
dengan klien dan lebih menyukai bekerja untuk institusi daripada bekerja untuk pribadi. Banyak diantara
analis ini yang pekerjaan tetapnya adalah diperguruan tinggi. 2. Pembela Klien Mereka jarang
memberikan kesimpulan-kesimpulan yang definitif dan justru menggunakan kesamaran tersebut demi
kepentingan klien. Mereka harus loyal kepada klien (pejabat) sebagai imbalan bagi jabatan yang
diberikan kepadanya, misal sebagai asisten, penasehat, staf ahli atau konsultan. Itulah sebabnya banyak
pejabat pemerintah atau konsultan yang tidak bisa berkomentar sebebas analis obyektif (misal dari
perguruan tinggi) atau analis isyu (dari orsospol atau LSM) walaupun kemampuannya sama. Biasanya
mereka memilih klien dengan system nilai yang sesuai. Seyogyanya dalam jangka panjang mereka
berusaha merubah klien supaya menjadi lebih bermoral. 3. Pembela Isyu Mereka jarang memberikan
kesimpulan-kesimpulan yang defenitif dan justru menguatkan kesamaran tersebut dan membuang hal-
hal yang tidak menguntungkan jika diperkirakan hasil analisisnya tidak mendukung pembelaan isyu
tersebut. Klien yang memberikan kesempatan untuk pembelaan isyu tersebut, dipilih berdasarkan
persamaan kepentingan. Contoh pembela isyu adalah lembaga bantuan hukum dan lembaga konsumen.
Seyogyanya analisisnya berguna untuk membangun masyarakat yang lebih baik. Pertimbangan kebijakan
seringkali lebih bersifat politis dibandingkan bersifat obyektif sehingga bisa saja analis tidak bisa
melakukan apa yang diminta klien. Ada beberapa kemungkinan yang dapat terjadi, diantaranya dia bisa
memprotes dengan menyatakan apa yang diminta klien tersebut tidak etis. Apabila protesnya bisa
menyadarkan klien atau karena sesuatu hal analis jadi menuruti klien maka persoalannya selesai.
Apabila tidak, analis bisa saja meminta berhenti dari pekerjaannya atau dia tetap bekerja pada klien
tetapi tidak loyal (selingkuh) dengan membocorkan kelemahan-kelemahan kebijakan tersebut dan
kelemahan klien ke pihak lain. Subarsono mengemukakan suatu kerangka kerja kebijkan publik dapat
dijadikan sebagai alat bantu dalam melakukan analisis kebijakan publik, yang ditentukan beberapa
variablel, sebagai berikut : 1. Tujuan akan dicapai; 2. Preferensi nilai seperti apa yang perlu
dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. 3. Sumber daya yang mendukung kebijakan. 4.
Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembutan kebijkan; 5. Lingkungan yang mencakup lingkungan
sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. 3. Kecakapan-Kecakapan Seorang Analis Kebijakan Seorang
Analis Kebijakan Harus Memiliki Kecakapan-kecakapan sebagai berikut : 1. Mampu cepat ambil fokus
pada kriteria keputusan yang paling sentral 2. Mempunyai kemampuan analisis multi-disiplin 3. Mampu
memikirkan jenis-jenis tindakan kebijakan yang dapat diambil 4. Mampu gunakan metode paling
sederhana yang tepat dan gunakan logika desain metode, 5. Mampu mengatasi ketidak pastian 6.
Mampu mengemukakan dengan angka secara kuantitatif dan asumsi kualitaitf 7. Mampu buat rumusan
analisa sederhana namun jelas 8. Mampu memeriksa fakta-fakta yang diperlukan 9. Mampu meletakkan
diri dlm posisi orang lain (empati) sbg pengambil kebijakan publik 10. Mampu menahan diri hanya utk
memberikan analisis kebijakan, bukan keputusan 11. Mampu mengatakan”Ya” atau “Tidak” pada usulan
yang masuk, namun juga mampu memberikan definisi dan analisa dri usulan tersebut 12. Mampu
menyadari bahwa tidak ada kebijakan yang sama sekali benar, rasional dan komplet 13. Mampu
memahami bahwa ada batas-batas intervensi kebijakan publik 14. Mempunyai etika profesi yang tinggi
4. Kriteria Analisa Kebijakan yang baik Nugroho berpendapat bahwa suatu analisa kebijakan yang baik
ialah bersifat deskriptif karena memang peranannya memberikan rekomendasi kebijakan yang patut
diambil oleh eksekutif. Setiap analisa kebijakan publik selalu menyusun struktur analisanya. Tugas
Analisis Kebijakan Publik yaitu:  Membantu merumuskan cara untuk mengatasi atau memecahkan
masalah kebijkan publik  Menyediakan informasi tentang apa konsekuensi dari alternatif kebijakan 
Mengidentifikasi isu dan masalah kebijakan publik yang perlu menjadi agenda kebijakan pemerintah
http://belajarilmukomputerdaninternet.blogspot.com/2013/07/pengertian-analisis-kebijakan-
publik.html BENTUK-BENTUK KERANGKA ANALISIS KEBIJAKAN 1.Analisis Kebijakan Prospektif Sintesis
informasi yang diambil dari alternative dan pilihan kebijakan, yangdinyatakan dalam wujud
perbandingan, prediksi secara kuantitatif dan kualitatif sebagaidasar atau pedoman keputusan
kebijakan, policy analysis vs policy research.Analisis kebijakan prospektif berupa produksi dan
tranformasi informasi sebelumaksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan cenderung menciri cara
beroperasi paraekonom, analis sistem, dan peneliti operasi.Analisis kebijakan prospektif merupakan
suatu alat untuk mensistesakan informasiuntuk dipakai dalam merumuskan alternative dan preferensi
kebijakan yang dinyatakansecara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai
landasanatau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan 2.Analisis Kebijakan Retrospektif
Analisis kebijakan retrospektif, dijelaskan sebagai penciptaan dan tranformasiinformasi sesudah
kebijakan diambil, mencakup berbagai tipe kegiatan yangdikembangkan oleh tiga kelompok analis: 1.
Analis yang berorientasi pada disiplin (Discipline- oriented analysts)(Kajian murni berdasarkan disiplin
ilmu) Mengembangkan dan menguji teori yang didasarkan pada teori dan menerangkansebab-sebab
dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Jarang untuk mengidentifikasi tujuan-tujuan dan sasaran
spesifik dari para pembuat kebijakandan tidak melakukan usaha apa pun untuk membedakan variabel-
variabelkebijakan yang merupakan hal yang dapat diubah melalui manipulasi kebijakan,dan variabel
situasional yang tidak dapat dimanipulasi.Analisi kebijakan yang berorientasi pada disiplin jarang
menghasilkan informasiyang secara langsung bermanfaat untuk merumuskan pemecahan atas masalah-
masalah kebijakan, terutama karena variabel-variabel yang paling relevan bagi
http://www.scribd.com/doc/39235114/Resume-Kerangka-Model-Analisis-Kebijakan-Menurut-William-N
PROSES ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Sumber buku Analisis Kebijakan Publik Karya Liestyodono Proses
kebijakan baru dimulai ketika para pelaku kebijakan mulai sadar bahwa adanya situasi permasalahan,
yaitu situasi yang dirasakan adanya kesulitan atau kekecewaan dalam perumusan kebutuhan, nilai dan
kesempatan( Ackoff dalam Dunn, 2000:121). Dunn (2000-21) berpendapat bahwa metodologi analisis
kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan masalah manusia:
definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi, dan evaluasi. Dalam analisis kebijakan prosedur-prosedur
tersebut memperoleh nama-nama khusus, yakni: 1. Perumusan Masalah Perumusan masalah (definisi)
menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah kebijakan 2. Peramalan
Peramalan (prediksi) menyediakan informasi mengenai konsekuensi di masa mendatang dari penerapan
alternatif kebijakan. 3. Rekomendasi Rekomendasi (preskripsi) menyediakan informasi mengenai nilai
atau kegunaan relatif dari konsekuensi di masa depan dari suatu pemecahan masalah. 4. Pemantauan
Pemantauan (deskripsi), menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dan masa lalu dari
diterapkannya alternatif kebijakan. 5. Evaluasi Evaluasi, yang mempunyai nama sama dengan yang
dipakai dalam bahasa sehari-hari, menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari
konsekuensi pemecahan atau pengatasan masalah. Dalam analisis kebijakan publik paling tidak meliputi
tujuh langkah dasar. Ke tujuh langkah tersebut adalah: 1. Formulasi Masalah Kebijakan Untuk dapat
mengkaji sesuatu masalah publik diperlukan teori, informasi dan metodologi yang relevan dengan
permasalahan yang dihadapi. Sehingga identifikasi masalah akan tepat dan akurat, selanjutnya
dikembangkan menjadi policy question yang diangkat dari policy issues tertentu. Teori dan metode yang
diperlukan dalam tahapan ini adalah metode penelitian termasuk evaluation research, metode
kuantitatif, dan teori-teori yang relevan dengan substansi persoalan yang dihadapi, serta informasi
mengenai permasalahan yang sedang dilakukan studi. 2. Formulasi Tujuan Suatu kebijakan selalu
mempunyai tujuan untuk memecahkan masalah publik. Analis kebijakan harus dapat merumuskan
tujuan-tujuan tersebut secara jelas, realistis dan terukur. Jelas, maksudnya mudah dipahami, realistis
maksudnya sesuai dengan nilai-nilai filsafat dan terukur maksudnya sejauh mungkin bisa diperhitungkan
secara nyata, atau dapat diuraikan menurut ukuran atau satuan-satuan tertentu. 3. Penentuan Kriteria
Analisis memerlukan kriteria yang jelas dan konsisten untuk menilai alternatif-alternatif. Hal-hal yang
sifatnya pragmatis memang diperlukan seperti ekonomi (efisiensi, dsb) politik (konsensus antar
stakeholders, dsb), administratif ( kemungkinan efektivitas, dsb) namun tidak kalah penting juga hal-hal
yang menyangkut nilai-nilai abstrak yang fundamental seperti etika dan falsafah (equity, equality, dsb) 4.
Penyusunan Model Model adalah abstraksi dari dunia nyata, dapat pula didefinisikan sebagai gambaran
sederhana dari realitas permasalahan yang kompleks sifatnya. Model dapat dituangkan dalam berbagai
bentuk yang dapat digolongkan sebagai berikut: Skematik model ( contoh: flow chart), fisikal model
(contoh: miniatur), game model (contoh: latihan pemadam kebakaran), simbolik model (contoh: rumus
matematik). Manfaat model dalam analisis kebijakan publik adalah mempermudah deskripsi persoalan
secara struktural, membantu dalam melakukan prediksi akibat-akibat yang timbul dari ada atau tidaknya
perubahan-perubahan dalam faktor penyebab. 5. Pengembangan Alternatif Alternatif adalah sejumlah
alat atau cara-cara yang dapat dipergunakan untuk mencapai, langsung ataupun tak langsung sejumlah
tujuan yang telah ditentukan. Alternatif-alternatif kebijakan dapat muncul dalam pikiran seseorang
karena beberapa hal: (1) Berdasarkan pengamatan terhadap kebijakan yang telah ada. (2) Dengan
melakukan semacam analogi dari suatu kebijakan dalam sesuatu bidang dan dicoba menerapkannya
dalam bidang yang tengah dikaji, (3) merupakan hasil pengkajian dari persoalan tertentu. 6. Penilaian
Alternatif Alternatif-alternatif yang ada perlu dinilai berdasarkan kriteria sebagaimana yang dimaksud
pada langkah ketiga. Tujuan penilaian adalah mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai tingkat
efektivitas dan fisibilitas tiap alternatif dalam pencapaian tujuan, sehingga diperoleh kesimpulan
mengenai alternatif mana yang paling layak , efektif dan efisien. Perlu juga menjadi perhatian bahwa,
mungkin suatu alternatif secara ekonomis menguntungkan, secara administrasi bisa dilaksanakan tetapi
bertentangan dengan nilai-nilai sosial atau bahkan mempunyai dampak negatif kepada lingkungan.
Maka untuk gejala seperti ini perlu penilaian etika dan falsafah atau pertimbangan lainnya yang mungkin
diperlukan untuk bisa menilai secara lebih obyektif. 7. Rekomendasi kebijakan Penilaian atas alternatif-
alternatif akan memberikan gambaran tentang sebuah pilihan alternatif yang tepat untuk mencapai
tujuan-kebijakan publik. Tugas analis kebijakan publik pada langkah terakhir ini adalah merumuskan
rekomendasi mengenai alternatif yang diperhitungkan dapat mencapai tujuan secara optimum.
Rekomendasi dapat satu atau beberapa alternatif, dengan argumentasi yang lengkap dari berbagai
faktor penilaian tersebut. Dalam rekomendasi ini sebaiknya dikemukakan strategi pelaksanaan dari
alternatif kebijakan yang yang disodorkan kepada pembuat kebijakan publik.
http://abdulsalamserbakomunikasi.blogspot.com/2010/03/proses-analisis-kebijakan-publik.html
Kebijakan Publik Kaldera Tingkat III XXX 1. Apa yang dimaksud dengan perumusan kebijakan ? •
Perumusan kebijakan menurut Dye (2005, 31-32) adalah Pengembangan proposal kebijakan untuk
menyelesaikan dan memperbaiki masalah. • Menurut Anderson perumusan kebijakan adalah
pengembangan usulan akan tindakan yang terkait dan dapat diterima untuk menangani permasalahan
publik • Menurut Sidney (2007, 79 dalam Fischer, Miller and Sidney, 2007) Perumusan kebijakan adalah
tahapan untuk menjawab terhadap sejumlah pertanyaan “apa”, yakni: apa rencana untuk
menyelesaikan masalah? Apa yang menjadi tujuan dan prioritas? Pilihan apa yang tersedia untuk
mencapai tujuan tersebut? Apa terkait dengan setiap alternatif? Jadi dapat disimpulkan bahwa
perumusan kebijakan merupakan suatu pengembangan usulan kebijakan yang akan diputuskan untuk
diambil pemerintah dan dapat digunakan untuk menyelesaikan dan memperbaiki permasalahan publik.
2. Sebutkan dan Jelaskan tahapan perumusan kebijakan! Proses perumusan kebijakan menurut Suharto
(1997) yaitu : a. Tahap Identifikasi  Identifikasi Masalah dan Kebutuhan: Tahap pertama dalam
perumusan kebijakan adalah mengumpul-kan data mengenai permasalahan yang dialami masyarakat
dan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang belum terpenuhi (unmet needs).  Analisis
Masalah dan Kebutuhan: Tahap berikutnya adalah mengolah, memilah dan memilih data mengenai
masalah dan kebutuhan masyarakat yang selanjutnya dianalisis dan ditransformasikan ke dalam laporan
yang terorganisasi. Informasi yang perlu diketahui antara lain: apa penyebab masalah dan apa
kebutuhan masyarakat? Dampak apa yang mungkin timbul apabila masalah tidak dipecahkan dan
kebutuhan tidak dipenuhi? Siapa dan kelompok mana yang terkena masalah?  Penginformasian
Rencana Kebijakan: Berdasarkan laporan hasil analisis disusunlah rencana kebijakan. Rencana ini
kemudian disampaikan kepada berbagai sub-sistem masyarakat yang terkait dengan isu-isu kebijakan
publik untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Rencana ini dapat pula diajukan kepada lembaga-
lembaga perwakilan rakyat untuk dibahas dan disetujui.  Perumusan Tujuan Kebijakan: Setelah
mendapat berbagai saran dari masyarakat dilakukanlah berbagai diskusi dan pembahasan untuk
memperoleh alternatif-alternatif kebijakan. Beberapa alternatif kemudian dianalisis kembali dan
dipertajam menjadi tujuan-tujuan kebijakan.  Pemilihan Model Kebijakan: Pemilihan model kebijakan
dilakukan terutama untuk menentukan pendekatan, metoda dan strategi yang paling efektif dan efisien
mencapai tujuan-tujuan kebijakan. Pemilihan model ini juga dimaksudkan untuk memperoleh basis
ilmiah dan prinsip-prinsip kebijakan sosial yang logis, sistematis dan dapat dipertanggungjawabkan. 
Penentuan Indikator : Agar pencapaian tujuan dan pemilihan model kebijakan dapat terukur secara
objektif, maka perlu dirumuskan indikator-indikator yang berfungsi sebagai acuan, ukuran atau standar
bagi rencana tindak dan hasil-hasil yang akan dicapai.  Membangun Dukungan dan Legitimasi Publik:
Tugas pada tahap ini adalah menginformasikan kembali rencana kebijakan yang telah disempurnakan.
Selanjutnya melibatkan berbagai pihak yang relevan dengan kebijakan, melakukan lobi, negosiasi dan
koalisi dengan berbagai kelompok-kelompok masyarakat agar tercapai konsensus dan kesepakatan
mengenai kebijakan yang akan diterapkan. b. Tahap Implementasi  Perumusan Kebijakan: Rencana
kebijakan yang sudah disepakati bersama dirumuskan kedalam strategi dan pilihan tindakan beserta
pedoman peraturan pelaksanaannya.  Perancangan dan Implementasi Program: Kegiatan utama pada
tahap ini adalah mengoperasionalkan kebijakan ke dalam usulan-usulan program (program proposals)
atau proyek sosial untuk dilaksanakan atau diterapkan kepada sasaran program. c. Tahap Evaluasi 
Evaluasi dan Tindak Lanjut: Evaluasi dilakukan baik terhadap proses maupun hasil implementasi
kebijakan. Penilaian terhadap proses kebijakan difokuskan pada tahapan perumusan kebijakan,
terutama untuk melihat keterpaduan antar tahapan, serta sejauhmana program dan pelayanan sosial
mengikuti garis kebijakan yang telah ditetapkan. Penilaian terhadap hasil dilakukan untuk melihat
pengaruh atau dampak kebijakan, sejauh mana kebijakan mampu mengurangi atau mengatasi masalah.
Berdasarkan evaluasi ini, dirumuskanlah kelebihan dan kekurangan kebijakan yang akan dijadikan
masukan bagi penyempurnaan kebijakan berikutnya atau permusan kebijakan baru. Sedangkan menurut
Sidney (2007: 79) tahap perumusan kebijakan publik meliputi :  Identifikasi : proses identifikasi
terhadap berbagai pendekatan untuk menyelesaikan masalah dan selanjutnya mendisain seperangkat
perangkat kebijakan spesifik yang dapat mewakili setiap pendekatan  Penyusunan draft : Proses
penyusunan draft peraturan untuk setiap alternatif yang isinya mendeskripsikan mengenai sanksi
hibah,larangan,hak serta mengartikulasikan kepada siapa atau kepada apa ketentuan tersebut berlaku
dan memiliki dampak. 3. Sebutkan dan jelaskan aktor serta perumusannya dalam perumusan kebijakan!
Pada perumusan kebijakan menurut Anderson (2006, 46-67) melibatkan berbagai aktor yaitu :  Aktor
pemerintahan/ pembuat kebijakan resmi (officiak policy-makers) Pembuat kebijakan resmi adalah
mereka yang memiliki kewenangan legal untuk terlibat dalam perumusan kebijakan publik. Mereka
terdiri atas : o Legislatif : merujuk pada anggota kongres atau dewan yang seringkali dibantu para
staffnya o Eksekutif merujuk pada presiden dan jajaran kabinetnya o Badan administratif yaitu lembaga-
lembaga pelaksana kebijakan o Pengadilan merupakan aktor yang penting dalam perumusan kebijakan
karena mereka memiliki kewenangan untuk me-review kebijakan serta penafsiran terhadap undang-
undang dasar. Dengan wewenang tersebut putusan pengadilan bisa mempengaruhi isi dan bentuk dari
sebuah kebijakan publik.  Aktor non-pemerintahan ( non-governmental participants) Mereka disebut
aktor non-pemerintahan karena pentingnya atau dominannya peran mereka dalam sejumlah situasi
kebijakan, tetapi mereka tidak memiliki kewenangan legal dalam pembuatan kebijakan yang mengikat.
Peran mereka adalah dalam menyediakan informasi, memberikan tekanan, serta mencoba
mempengaruhi. Mereka terdiri atas : o Kelompok kepentingan o Partai politik o Organisasi penelitian o
Media komunikasi o Individu masyarakat Menurut Sidney (2007, 79 dalam Fischer, Miller and Sidney,
2007) tahap perumusan kebijakan diharapkan melibatkan seluruh aktor yang lebih sedikit dibandingkan
dalam tahapan penetapan agenda. Dalam tahap perumusan ini aktor diharapkan bekerja dalam
merumuskan alternatif kebijakan. http://primakaldera.blogspot.com/2012/06/perumusan-kebijakan-
publik.html Analisis, Prinsip, Agenda dan Penilaian Kebijakan Publik PENGERTIAN KEBIJAKAN PUBLIK •
Thomas R. Dye Mendefinisikan kebijakan publik sbb : “Public Policy is whatever the government choose
to do or not to do”. (Kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau
tidak melakukan sesuatu). • James E. Anderson Mengatakan : “Public Policies are those policies
developed by governmental bodies and officials”. (Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang
dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah). ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Analisis
: Suatu alat diarahkan utk dpt menemukan data dan informasi yg akurat, aktual dan berbagai alternatif
tindakan, pemecahan yg tepat untuk dipilih. Kebijakan : Tindakan scr disengaja yg dilakukan seorang
aktor berkenaan dgn adanya masalah tertentu yg dihadapi. Publik : Orang banyak (umum), masyarakat
Keputusan : Suatu pilihan thd pelbagai macam alternatif Perumusan Kebijakan : Pilihan alternatif terus-
menerus dilakukan dan tak pernah selesai Setiap Administrator dituntut : 1. Memiliki
kemampuan/keahlian 2. Tanggung jawab dan kemauan 3. Membuat kebijakan sesuai dgn yg diharapkan
• Kebijakan Nasional Suatu kebijakan negara yg bersifat fundamental dan strategis dlm pencapaian
tujuan nasional. Yang berwenang menetapkan adalah MPR, Presiden, dan DPR. Misal : UU, PP, dan
PERPU. • Kebijakan Umum Suatu kebijakan presiden sebagai pelaksanaan UUD, UU untuk mencapai
tujuan nasional. • Kebijakan Pelaksanaan Merupakan penjabaran dari kebijakan umum sebagai strategi
pelaksanaan tugas di bidang tertentu. 1. Policy Demands (Tuntutan Kebijakan) 2. Policy Decisions
(Keputusan Kebijakan) 3. Policy Statement (Pernyataan Kebijakan) 4. Policy Outputs (Keluaran
Kebijakan) 5. Policy Outcomes (Hasil Akhir Kebijakan) Proses kebijakan publik ini dapat digambarkan
sebagai berikut : Perumusan Kebijaksanaan Evaluasi Kebijakan Implementasi Kebijakan Monitoring
Kebijakan PRINSIP KEBIJAKAN PUBLIK • Dibuat oleh pemerintah yang berupa tindakan-tindakan
pemerintah. • Dilaksanakan dlm bentuk nyata • Mempunyai maksud dan tujuan tertentu • Untuk
kepentingan seluruh masyarakat • Selalu berorientasi tujuan dan tindakan • Semua nilai utama yang ada
pada masyarakat • Semua alternatif dan konsekuensi yg timbul • Rasio antara tujuan dan nilai-nilai
sosial • Alternatif kebijakan yg paling efisien • Harus mengetahui informasi yang memiliki kualitas tinggi,
sebab akan menentukan efektifitas kebijakan publik “ Suatu kebijakan publik menjadi efektif bila
dilaksanakan dan mempunyai dampak positip bagi masyarakat” “Pembuat keputusan harus mempunyai
pengetahuan cukup tentang nilai-nilai masyarakat dan kemampuan scr tepat menghitung ratio biaya
dan kemungkinan alternatif” Kumorotomo (dalam Parker, 1994) mengemukakan sbb : • Ketersediaan
(availability) • Mudah dipahami • Relevan • Bermanfaat • Tepat waktu • Keandalan (reliability) • Akurat
• Konsisten Dalam kaitannya dengan penyediaan informasi, William N. Dunn (1994), bahwa metodologi
analisis kebijakan dapat memberikan informasi dengan menjawab 5 bentuk pertanyaan. • Masalah
apakah yang dihadapi ? • Kebijakan apa yang telah dibuat untuk memecahkan masalah tersebut ? •
Bagaimana nilai dari hasil-hasil kebijakan ? • Alternatif kebijakan apakah yang tersedia untuk
memecahkan masalah tersebut ? • Alternatif tindakan apakah yang dilakukan untuk memecahkan
masalah ? AGENDA SETTING 1. Suatu tahap sebelum perumusan kebijakan dilakukan, yaitu bagaimana
isu-isu itu muncul pada agenda pemerintah yang perlu ditindaklanjuti berupa tindakan-tindakan
pemerintah. 2. Pengenalan masalah, yang dihadapi oleh instansi-instansi pemerintah. 3. Daftar subyek
dimana para pejabat pemerintah dan masyarakat saling memberikan perhatian pada masalah tersebut.
• Isu itu memperoleh perhatian yang luas dan menumbuhkan kesadaran masyarakat. • Adanya persepsi
atau pandangan masyarakat, perlu dilakukan tindakan untuk pemecahan masalah. • Adanya persepsi
yang sama dari masyarakat bahwa masalah itu merupakan kewajiban dan tanggung jawab yang sah dari
pemerintah untuk dipecahkan. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Merupakan aspek yang penting dari
keseluruhan proses kebijakan. Udji (Abdul Wahab, 1991) mengemukakan : “Implementasi kebijakan
merupakan sesuatu yang penting, bahkan mungkin lebih penting daripada pembuatan kebijakan.
Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana yang tersimpan dalam arsip apabila tidak
diimplementasikan”. Mustopadidjaja AR (1988), dilihat dari implementasinya ada 3 bentuk kebijakan
publik. • Kebijakan langsung, yaitu kebijakan yg pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah sendiri,
misalnya : impres SD. • Kebijakan tidak langsung, kebijakan yg pelaksanaannya tidak dilakukan oleh
pemerintah,misal : tentang investasi asing. • Kebijakan campuran, kebijakan yg pelaksanaannya
dilakukan oleh pemerintah dan swasta. Misal : pelaksanaan kebersihan dapat dilakukan oleh dinas
kebersihan dan swasta. Hogwood dan Gunn (1986), mengelompokkan kegagalan implementasi
kebijakan tersebut dalam dua kategori, yaitu : • “non implementation” (tidak dapat diimplementasikan).
• “unsuccessful implementation” (implementasi yang kurang berhasil). • Kebijakan yang “non
implementation” adalah kebijakan Menteri Keuangan yang mengenakan pajak 5% untuk penukaran
rupiah ke US$, yang ternyata tiga hari kemudian kebijakan tersebut dicabut kembali. • Kebijakan yang
“unsuccessful implementation” adalah implementasi kebijakan pemungutan retribusi pesawat TV
(televisi), yang pelaksanaannya tersendat-sendat. MONITORING KEBIJAKAN PUBLIK William N. Dunn
(1994), menjelaskan bahwa monitoring mempunyai beberapa tujuan, antara lain yaitu : • Compliance
(kesesuaian/kepatuhan) menentukan apakah implementasi kebijakan tersebut sesuai dengan standard
dan prosedur yang telah ditentukan. • Auditing (pemeriksaan) Menentukan apakah sumber-sumber /
pelayanan kepada kelompok sasaran (target groups) memang benar-benar sampai kepada mereka. •
Accounting (Akuntansi) Menentukan perubahan sosial dan ekonomi apa saja yang terjadi setelah
implementasi sejumlah kebijakan publik dari waktu ke waktu. • Administrative Evaluation (Evaluasi
Administratif) : dibatasi pada pengkajian tentang efisiensi penyampaian pelayanan pemerintah dan
penentuan apakah penggunaan dana sesuai dengan tujuan yang telah dicapai. • • Judicial Evaluation
(Evaluasi Yudisial) : apakah kebijakan yg dibuat pemerintah telah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan, tidak melanggar HAM dan hak-hak individu. • Political Evaluation (Evaluasi Politis) : masuk
dalam proses kebijakan hanya waktu-waktu tertentu. Misal : pemilihan umum. Misal : disuatu
Kabupaten, produksi padi tidak meningkat, oleh karena itu perlu dicari apa penyebabnya. Produksi Padi
Tidak Meningkat Belum Menggunakan Bibit Unggul Serangan Hama Belum Menggunakan Pupuk •
Politik, paling banyak mendapat dukungan dari aktor kebijakan. • Ekonomi/financial, paling banyak
menggunakan dana. • Administrasi/organisatoris, apakah ada organisasi yang melaksanakan. •
Teknologi, didukung oleh tersedianya teknologi yang diperlukan. • Sosial, budaya dan agama, apakah
alternatif tsb tidak menimbulkan gejolak sosial, SARA, dsb. • HANKAM, dari segi stabilitas keamanan
apakah cukup feasible (layak). Ada 4 alternatif kebijakan yang akan diperhitungkan yaitu : • Membatasi
kemungkinan untuk tinggal di Jakarta dengan tidak memberikan KTP baru bagi mereka yang baru. •
Membangun fasilitas yang lebih baik di daerah-daerah. • Membatasi pertumbuhan kota Jakarta dengan
membatasi pertambahan investasi baru. • Mendorong perpindahan penduduk ke wilayah lain dengan
lebih mempermudah transportasi laut ke dan dari wilayah-wilayah di luar Jakarta. PENILAIAN KEBIJAKAN
PUBLIK A. Penilaian Kebijakan Publik, meliputi; 1. Isi kebijakan 2. Pelaksanaan kebijakan 3. Dampak
kebijakan B. Penilaian Kebijakan Publik dilakukan pada; 1. Fase perumusan masalah 2. Formulasi usulan
kebijakan 3. Implementasi kebijakan 4. Dan sebagainya _______________ 1. Sumber-sumber terbatas,
tenaga, biaya, waktu dsb. 2. Kesalahan pengadministrasian 3. Problema publik sering timbul 4.
Masyarakat memberikan respon dgn caranya sendiri 5. Kebijakan publik bertentangan dgn tujuan 6.
Problema publik tak diselesaikan tuntas 7. Perubahan sifat permasalahan 8. Berpindahnya perhatian,
karena timbul masalah baru. ______________ 1. Pembuat kebijakan harus menilai dampak dari
kebijakan yang telah dilaksanakan 2. Dampak positip dan negatip difungsikan sebagai umpan balik 3.
Menjadikan peningkatan mutu kebijakan Adapun proses KPTS kebijakan dalam bentuk : UU, Peraturan
Pemerintah, Dekrit Presiden, dsb. 1. Jaringan kekuatan, politik, ekonomi, sosial dan budaya 2. Tujuan
sasaran yang bersifat umum dan terperinci 3. Informasi yg memadai 4. Pelaksanaan keputusan kebijakan
dasar 5. Berbagai usaha yg dilakukan pejabat atasan untuk kepatuhan pejabat bawahan http://perpus-
sospol.blogspot.com/2011/04/analisis-prinsip-agenda-dan-penilaian.html Studi Implementasi Kebijakan
Publik Oleh : DR. MUKLIR, S.SOS.,SH.,M.AP Implementasi Kebijakan Pada Prinsipnya: Cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuan. Untuk mengiplementasikan kebijakan ada dua pilihan langkah: 1.
Langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program. 2. Melalui formulasi kebijakan derivat
atau turunan dari kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dalam bentuk Undang –Undang atau
Pancasila adalah jenis kebijakan publik yang memerlukan kebijakan publik penjelas atau yang sering
diistilahkan sebagai peraturan pelaksanaan (PP) Pengelolaan Implementasi Kebijakan Pertimbangan
Kemungkinan Kebijakan/Program dapat disebut gagal karena keduanya memang tidak dapat
dilaksanakan sesuai rencana. Kebijakan/Program dapat dilaksanakan sesuai rencana, tetapi tidak
mampu mencapai hasil yang diharapkan. Implementasi Kebijakan REGULATIF Kebijakan yang dirancang
untuk menjamin terwujudnya penaatan terhadap serangkaian ketentuan, aturan ataupun prosedur
tertentu yang diwajibkan kepada objek dan subjet kebijakan. ALOKATIF Kebijakan yang menetapkan
kebutuhan masukan/input berupa dana, waktu, personil maupun perlengkapan ( termasuk tehnologi,
mesin, sarana dan prasarana. Analisis implementasi menkaji beberapa faktor yang menghambat atau
mempelancar pelaksanaan kebijakan: 1. Siapa dan berapa banyak unsur pelaksana kebijakan 2.
Bagaimana setting pelaksanaannya 3. Apakah ada standar operasional yang baku. 4. Bagaimana tingkat
konsensus pelaksanaan kebijakan yang disepakati. 5. Bagaimana tingkat dampak yang diharapkan 6.
Tehnik apa yang dapat digunakan untuk peleksanaan kebijakan ini. 7. Apakah sumber-sumber yang
dibutuhkan untuk pelaksanaan telah tersedia. Fungsi Pemantauan Implementasi Kebijakan Compliance
(penaatan): memonitor apakah tindakan pelaksana kebijakan dan stakeholders memenuhi standar dan
prosedur yang telah ditetapkan. Auditing(pemeriksaan): memeriksa apakah sumber-sumber dan
program yang ditujukan bagi target group dan benefeciaries telah benar-benar atau diterima yang
bersangkutan. Explanation (penjelasan): memperoleh informasi untuk menjelaskan tingkat kinerja
kebijakan. Upaya – Upaya Mencegah Kegagalan Implementasi Kebijakan 1. Kebijakan tidak bersifat
Ambiqua 2. Prosedur administrasi jelas dan dikomunikasikan secara konsisten 3. SDM terlatih dan well
informended tersedia untuk melaksanakan kebijakan 4. SDM memperoleh delegasi wewenang 5. SDM
memperoleh insentif dan motivasi 6. Melaksanakan pemantauan dan evaluasi Mengapa Implementasi
kebijakan perlu dipelajari ? Aspek yang penting dari keseluruhan proses kebijakan, bahkan jauh lebih
penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan akan sekedar berupa impian atau rencana
bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan.(Udoji,1981,hal.32) Model-Model
Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakn yang berpola “dari atas kebawah “ (top-bottomer)
versus dari” bawah keatas “ (bottom topper), Implementasi yang berpola paksa (command-and-
conntrol) dan mekanisme pasar (economic incentive). Kebijakan Publik Yang Bisa Langsung Operasioanal
: 1. Keppres, 2. Inpres, 3. Kepmen, 4. Keputusan Kepala Daerah, 5. Keputusan kepala dinas, 6. Dan lain-
lain Model Mekanisme Paksa Model yang mengedepankan arti penting lembaga tunggal yang
mempunyai monopoli atas mekanisme paksa didalam negara dimana tidak ada mekanisme insentif bagi
yang menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak melaksanakan atau melanggarnya. Model
Mekanisme Pasar Model yang mengedepankan mekanisme insentif bagi yang menjalani, dan bagi yang
tidak menjalankan tidak mendapatkan sanksi, namun tidak mendapatkan insentif. Ada sanksi bagi yang
menolak melaksanakan atau melanggarnya 4 Variabel Yang Mempengaruhi Kebijakn Publik 1. Aktivitas
implementasi dan komunikasi antarorganisasi. 2. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor, 3.
Kondisi ekonomi, sosial dan politik, dan 4. Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/ implementor. 3
Hambatan Dalam Implementasi Kebijakan Pertama, variabel independen, yaitu mudah tidaknya masalah
dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis palaksanaan, keragaman obyek,
dan perubahan seperti apa yang dikehendaki. Kedua, variabel intervening: yaitu variabel kemampuan
kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan konsitensi tujuan,
dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana, keterpaduan hierarkis diantara lembaga
palaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan
keterbukaan kepada pihak luar; dan variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi
yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio ekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap dan
risorsis dari konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmen & kualitas kepemimpinan
dari pejabat pelaksana. Ketiga, variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan
lima tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/ badan pelaksan dalam bentuk disusunnya kebijakan
pelaksana, kebutuhan obyek, hasil nyata, penerimaan atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah
kepada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan kebijakan yang
bersifat mendasar. Syarat Implementasi Kebijakan Brian W. Hoogwood dan lewis A. gun (1978) Syarat
pertama berkenaan dengan jaminan bahwa kondisi eksternal yang dihadapi oleh lembaga/badan tidak
akan menimbulkan masalah yang besar. Syarat kedua adalah apakah untuk melaksanakannya tersedia
sumberdaya yang memadai, termasuk sumberdaya waktu. Gagasan sangat bijaksana karena berkenaan
dengan fabisilitas dari implementasi kebijakan Syarat ketiga apakah perpaduan sumber –sumber yang
diperlukan benar-benar ada. Kebijkan publik adalah kebijakan yang komplek dan menyangkut impak
yang luas. Karen aitu, Implementasi kebijakan publik akan melibatkan berbagai–bagai sumber yang
diperlukan, baik dalam konteks sumber daya atau sumber aktor. Syarat keempat adalah apakah
kebijakan yang akan diimplementasikan didasari hubungan kausal yang andal. Jadi, prinsipnya adalah
apakah kebijakan tersebut memang dapat menyelesaikan masalah yang hendak ditanggulangi. Dalam
metodologi dapat disederhanakan menjadi “apakah jika X dilakukan akan terjadi Y”. Syarat kelima
adalah seberapa banyak hubungan kausalitas yang terjadi. Asumsinnya, semakin sedikit hubungan
“sebab akibat”,semakin tinggi pula hasil yang dikehendaki oleh kebijakan tersebut dapat dicapai. Sebuah
kebijkan yang mempunyai hubungan kausalitas yang kompleks, otomatis menurunkan efektivitas
implementasi kebijakan . Syarat keenam adalah apakah hubungan saling ketergantungan kecil.
Asumsinya adalah jika hubungan saling ketergantungan tinggi, justru implementasi tidak akan dapat
berjalan secara efektif apa lagi jika hubungannya adalah hubungan ketergantungan. Implementasi
kebijakan pengaruh utamaan gender banyak menemui kendala karena Kantor Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan tergantung dalam intensitas yang tinggi kepada seluruh departemen dan
LPND serta kepada daerah-daerah. Syarat ketujuh adalah pemahaman yang mendalam dan kesepakatan
terhadap tujuan. Tidaklah begitu sulit dipahami, bahwa mereka yang ada dalam perahu yang sama
sepakat akan tujuan yang sama . sebuah perahu dengan penumpang dengan tujuan yang berbeda-beda
dan tidak ada yang mampu memimpin, adalah sebuah perahu yang tidak pernah beranjakk dari
tempatnya berada. Jika Kepala Daerah dan DPRD tidak pernah bersepakat bahkan saling menjatuhkan
untuk menyusun satu kebaikan publik untuk membawa kemajuan bagi rakyat daerah, yang terjadi
adalah kemerosotan pembangunan dikawasan tersebut. Syarat kedelapan adalah bahwa tugas-tugas
telah dirinci dan ditempatkan dalam urutan yang benar. Tugas yang jelas dan prioritas yang jelas adalah
kunci efektivitas implementassi kebijakan. Syarat kesembilan adalah komunikasi dan koordinasi yang
sempurna. Komunikasi adalah organisasi, dan koordinasi adalah asal muasal dari kerjasama tim serta ter
bentuknya sinergi. Syarat kesepuluh adalah bahwa pihak-pihak yang memiliki wewenang dapat
menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna.Kekuasan atau power adalah syarat bagi
kefektivan implementasi kebijakan. Tanpa otoritas yang berasal dari kekuasaan, maka kebijakan akan
tetap berupa kebijakan tanpa ada impak bagi target kebijakan. Memilih Model Setelah mengetahui
model-model implementasi kebijakan, masalah penting adalah model mana yang terbaik yang hendak
dipakai? Jawabannya adalah tidak ada model yang terbaik. Setiap jenis kebijakan publik memerlukan
model implementasi kebijakan yang berlainan. Ada kebijakan publik yang perlu diimplementasikan
secara top-down seperti kebijakan anti-terorisme. Kebijakan – kebijakan yang bersifat top-downer
adalah kebijakan yang bersifat sangat strategis dan berhubungan dengan keselamatan negara. Berbeda
dengan kebijakan yang lebih efektif jika diimplementasikan secara Bottom-upper, yang biasanya
berkenaan dengan hal-hal yang tidak secara langsung berkenaan dengan national security seperti
kebijakan kontrasepsi (KB), padi varitas ungul, pengembangan ekonomi nelayan, dan sejenisnya. Namun
sebenarnya, pilihan yang paling efektif adalah jika kita bisa membuat kombinasi implementasi kebijakan
publik yang partisivatif, artinya yang bersifat top-downer dan bottom-upper. Model seperti ini biasanya
lebih dapat berjalan secara efektif, berkesinambungan, dan murah. Bahkan dapat pula dilaksanakan
untuk hal-hal yang bersifat national security. Indonesia mempunyai kebijakan keamanan nasioanal yang
disebut sebagai pertahanan rakyat semesta dimana konsep ini menghendaki implementasi pertahanan
nasional melibatkan kerja sama antar militer dengan rakyat, dimana kedua komponen ini tidak saling
berhubungan secara hierarkis, namun berhubungan secara kooperatif murni. 4 Tepat Penanggulangan
Masalah Dalam Implementasi Kebijakan Tepat pertama, adalah apakah kebijakannya sendiri sudah
tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang
memang memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excellent is the
policy. Sisi kedua dari kebijakan adalah apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan
karakter masalah yang hendak dipecahkan seperti yang kita bahas pada bab sebelumnya tentang
perumusan kebijakan. Sisiketiga adalah, apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai
kewenangan (misi kelembagaan ) yang sesuai dengan karakter kebijakannya. Tepat kedua adalah “tepat
pelaksananya”. Aktor implementasi kebijakan tindakan hanya pemerintah . Ada tiga lembaga yang dapat
menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerja sama antara pemerintah- masyarakat/swasta , atau
implementasi kebijakan yang diswastakan (privatization atrau contractig out). Kebijakan–kebijakan yang
bersifat monopoli, seperti kartu identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik keamanan yang
tinggi, seperti pertahanan dan keamanan sebaiknya diselenggarakan pemerintah bersama dengan
masyarakat, seperti bagaimana perusahaan harus dikelola, atau dimana pemerintah tidak efektif
menyelenggarakannya sendiri, seperti pembangunan industri-industri berskala menengah dan kecil yang
tidak strategis , sebaiknya diserahkan kepada masyarakat. Tepat ketiga adalah “tepat target”. Ketepatan
berkenaan dengan tiga hal. Pertama, apakah target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan,
apakah tidak ada tumpang tindih dengan interrvensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi
kebijakan lain. Di Indonesia kebijakan untuk Income generating diwarnai dengan banyaknya kebijakan
pemberian kredit bersubsidi oleh berbagai departemen yang akhirnya overlapping dan saling mematikan
di lapangan. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk disintervensi, ataukah tidak. Kesiapan
bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni,
dan apakah kondisi target dan kondisi mendukung atau menolak. Sosialisasi kebijakan pertanian
dikawasan konflik tidaklah salah, namun tidak efektif karena prioritas utama adalah keselamatan nyawa.
Pembangunan kawasan industri maju dikawasan terbelakang tanpa menyiapkan masyarakatnya
menghasilkan penolakan yang laten seperti pada kasus–kasus di Papua (Irian Jaya). Ketiga, apakah
intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbaharui implementasi kebijakan
sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada prinsipnya mengulang
kebijakan lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya. Tepat keempat
adalah “tepat lingkungan “. Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu lingkungan kebijakan,
yaitu interaksi diantara lembaga perumusan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan dengan lembaga lain
yang terkait. Donald J. Calista (1994) menyebutkan sebagai pariabel endogen, yaitu authoritativa
arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari berbagai organisasi yang terlibat
dengan kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, dan implementation setting yang
berkenaan dengan posisi tawar menawar antara otoritas yang mengeluakan kebijakan dengan jejaring
yang berkenaaan dengan implementasi kebijakan. Lingkungan kedua adalah lingkungan eksternal
kebijakan yang disebut oleh Calista sebagai variabel eksogen yang terdiri dari public opinion yaitu
persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interfretive instution yang berkenaan
dengan interfretasi dari lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok
penekanan, dan kelompok kepentingan, dalam mengiterprestasikan kebijakan dan implementasi
kebijakan, dan individual yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam
menginterprestasikan kebijakan dan implementasi kebijakan. Ke empat “tepat “ tersebut masih perlu
didukung oleh tiga jenis Dukungan 1. Dukungan politik, 2. Dukungan strategik, dan 3. Dukungan teknis.
Menurut William N Dunn dalam Publik Policy Analisis: An Introduction menjelaskan bahwa evaluasi
merupakan salah satu dari proses ataupun siklus kebijakan publik setelah perumusan masalah kebijakan,
implementasi kebijakan, dan monitoring atau pengawasan terhadap implementasi kebijakan. Pada
dasarnya, evaluasi kebijakan bertujuan untuk menilai apakah tujuan dari kebijakan yang dibuat dan
dilaksanakan tersebut telah tercapai atau tidak. Tetapi evaluasi tidak hanya sekedar mengahasilkan
sebuah kesimpulan mengenai tercapai atau tidaknya sebuah kebijakan atau masalah telah terselesaikan,
tetapi evaluasi juga berfungsi sebagai klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari kebijakan,
membantu dalam penyesuaian dan perumusan masalah pada proses kebijakan selanjutnya. Evaluasi
merupakan salah satu dari prosedur dalam analisis kebijakan publik. Metodologi analisis kebijakan
publik pada hakikatnya menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam pemecahan
masalah manusia yaitu definisi (perumusan masalah), prediksi (peramalan), preskripsi (rekomendasi),
dan evaluasi yang mempunyai nama sama dengan yang dipakai dalam bahasa sehari-hari yang berfungsi
menyediakan informasi mengenai nilai atau kegunaan dari konsekuensi pemecahan masalah atau
pengatasan masalah.. BAB II PEMBAHASAN Evaluasi Kebijakan Peraturan Menteri Pendayagunaan
Aparatur Negara no Per / 15 / M.Pan / 7 / 2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi
menyebutkan bahwa ”evaluasi adalah suatu kegiatan menilai hasil suatu kegiatan yang sedang atau
sudah dilaksanakan. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan
tujuan yang telah ditetapkan. ” Hal ini berbeda dengan monitoring dimana monitoring dilakukan ketika
sebuah kebijakan sedang diimplementasikan ( Subarsono, cetakan II 2006 : 113). Mustopadidjaja (2003 :
45 ) mengatakan bahwa ”evaluasi merupakan kegiatan pemberian nilai atas suatu fenomena, yang di
dalamnya terkandung pertimbangan nilai ( value judgement tertentu ).” Fenomena yang dinilai adalah
berbagai fenomena mengenai kebijakan, seperti tujuan dan sasaran kebijakan,kelompok sasaran yang
ingin dipengaruhi, instrumen kebijakan yang dipergunakan, respons dari lingkungan kebijakan, kinerja
yang dicapai, dampak yang terjadi dan lain – lain. Sedangkan evaluasi kinerja kebijakan merupakan
bagian dari evaluasi kebijakan yang secara spesifik terfokus pada berbagai indikator kinerja yang terkait
kebijakan dan rencana yang telah ditetapkan. Esensi dari evaluasi menurut buku SANKRI ( LAN 2005 :
131 ) adalah untuk menyediakan umpan balik ( feedback ), yang mengarah pada hasil yang baik
(successful outcomes ) menurut ukuran nyata dan obyektif. Pada hakekatnya, tujuan evaluasi adalah
untuk perbaikan ( bila perlu, bukan dalam rangka pembuktian / to improve, not to prove ). Dua hal yang
ingin diungkap melalui evaluasi adalah : (1) Keluaran kebijakan ( policy output ), yaitu apa yang
dihasilkan dengan adanya perumusan kebijakan; ( 2 ) hasil / dampak kebijakan ( policy outcomes /
consequences ), yaitu akibat dan konsekuensi yang ditimbulkan dengan diterbitkan dan
diimplementasikannya suatu kebijakan. Secara umum, tujuan evaluasi menurut Mark, et.al. (2000:13)
ada empat: a. Penilaian terhadap unggulan dan nilai (assessment of merit and worth), yaitu
mengembangkan penilaian-penilaian yang dapat dipercaya, pada tingkat individu dan masyarakat, dari
suatu kebijakan atau program. b. Penyempurnaan program dan organisasi (program and organizational
improvement), yaitu usaha untuk menggunakan informasi yang secara langsung memodifikasi dan
mendukung operasi program. c. Kekeliruan dan kesesuaian (oversight and compliance), penilaian
terhadap perluasan dari program seperti status perintah, peraturan, aturan, mandat baku dan harapan
formal lainnya. d. Pengembangan pengetahuan (knowledge development), pemeriksaan atau pengujian
teori umum, proposisi hipotesis dalam konteks kebijakan dan program. Sedangkan jenis- jenis evaluasi
kinerja kebijakan menurut LAN (2005:131 ) dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar : 1.
Evaluasi proses, meliputi: a. Evaluasi implementasi, memusatkan perhatian pada (1) upaya
mengidenfifikasi kesenjangan yang ada antara hal-hal yang telah direncanakan dan realita, ( 2 ) upaya
menjaga agar kebijakan / program dan kegiatan-kegiatan sesuai dengan rancangan dan bila diperlukan
dapat dilakukan modifikasi dalam rangka penyesuaian dan penyempurnaan. b. Evaluasi kemajuan,
memfokuskan pada kegiatan pemantauan indikator - indikator dari kemajuan pencapaian tujuan
kebijakan. 2. Evaluasi hasil, dilakukan dalam rangka menetapkan tingkat pencapaian tujuan kebijakan.
Termasuk di dalamnya analisis SWOT, dan rekomendasi untuk perbaikan di masa yang akan datang.
Kedua jenis evaluasi tersebut perlu dilakukan untuk memastikan pencapaian tujuan kebijakan yang telah
ditetapkan Secara metodologis, (1989:5) dapat dibedakan evaluasi dalam dua jenis, yaitu evaluasi
formatif dan sumatif. Evaluasi formatif biasanya melihat dan meneliti pelaksanaan suatu program,
mencari umpan balik untuk memperbaiki pelaksanaan program tersebut. Sementara evaluasi sumatif
biasanya dilakukan pada akhir program untuk mengukur apakah tujuan program tersebut tercapai.
Sedangkan Herman, Morris dan Gibbon ( 1987: 26 ) membedakan evaluasi formatif dengan evaluasi
sumatif menurut fokus tindakannya sebagai berikut : (..... evaluasi formatif, yang memfokuskan pada
pemberian informasi kepada perencana dan pelaksana mengenai bagaimana meningkatkan dan
memperbaiki suatu program yang sedang dikembangkan atau berlangsung; dan evaluasi sumatif yang
berusaha menilai kualitas dan dampak keseluruhan dari program yang matang untuk tujuan
pertanggung jawaban dan pembuatan kebijakan ). Perbedaan yang lebih jelas antara keduanya dapat
ilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Perbandingan antara Evaluasi Formatif dan Evaluasi Sumatif
Evaluasi Formatif Evaluasi Sumatif Penggunaan Utama Pengembang program Manager program
Pelaksana Program  Pengambil Kebijakan  Penyandang dana Tekanan utama dalam pengumpulan
data Klarifikasi Tujuan Kematangan program, proses atau implementasi Klarifikasi persoalan dalam
imple-mentasi dan kemajuan terkait outcome Analisa level mikro dari implemen-tasi dan outcome 
Dokumentasi outcome  Dokumentasi implementasi Peran utama pengembang dan pelaksana program
Kolaborator Penyedia data Peran utama evaluator Interaktif Independen Metodologi tipikal Kualitatif
dan kuantitatif, dengan penekanan pada metode kualitatif Kuantitatif, kadang diperkaya dengan
kualitatif Frekuensi pengambilan data Selama proses monitoring Terbatas Mekanisme utama pelaporan
Diskusi atau interaksi dalam pertemuan informal Laporan formal Frekuensi pelaporan Selama proses
berlangsung Pada akhir proses Penekanan pelaporan  Hubungan antara elemen proses level mikro 
Hubungan konteks & proses  Hubungan proses& outcome  Implikasi terhadap pelaksanaan program &
perubahan yang spesifik dalam operasi. Hubungan dalam konteks makro dari proses dan outcomes.
Implikasi terhaap kebijakan, kontrol administrasi dan manajemen. Kredibilitas yang diper - syaratkan 
Memahami program  Adanya hubungan dengan pengembang atau pelaksana  Advokasi atau rasa
percaya  Aturan ilmiah yang ketat  Kenetralan Sumber : Herman, Morris & Gibbon ( 1987:26) Weis
( 1972:2526 ) seperti yang dikatakan oleh Widodo ( 2008:124 ) menjabarkan bahwa terdapat beberapa
tahap dalam evaluasi kebijakan: 1. Formulating the program goals that the evaluation will use as criteria.
2. Choosing among multiple goals. 3. Investigating unanticipated consequences. 4. Measuring outcomes.
5. Specifying what the program is 6. Measuring program inputs and intervening processes. 7. Collecting
the necessary data. Dengan mengacu pada uraian sebelumnya maka menurut Widodo (2008:125) untuk
melakukan evaluasi kebijakan, program dan kegiatan terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan : a.
Mengidentifikasi apa yang menjadi tujuan kebijakan, program dan kegiatan. b. Penjabaran tujuan
kebijakan, program dan kegiatan ke dalam kriteria atau indikator pencapaian tujuan. c. Pengukuran
indikator pencapaian tujuan kebijakan program. d. Berdasarkan indikator pencapaian tujuan kebijakan
program tadi, data dicari di lapangan. e. Hasil data yang diperoleh dari lapangan diolah dan dikomparasi
dengan kriteria pencapaian tujuan. Sedangkan kriteria / indikator evaluasi menurut Dunn ( 2000 :61)
sebagai berikut Tabel 3. Indikator Evaluasi Kebijakan menurut Dunn Tipe kriteria Pertanyaan 1.
Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah dicapai 2. Efisiensi Seberapa banyak usaha diperlukan
untuk mencapai hasil yang diinginkan 3. Kecukupan Seberapa jauh pencapaian hasil yang diinginkan
memecahkan masalah 4. Pemerataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan dengan merata kepada
kelompok yang berbeda 5. Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan kebutuhan, preferensi atau
nilai kelompok tertentu 6. Ketepatan Apakah hasil ( tujuan ) yang diinginkan benar – benar berguna atau
bernilai ? Berdasarkan tingkat keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kebijakan, disusun rekomendasi
kebijakan berkaitan dengan masa depan kebijakan publik yang sedang dievaluasi. Alternatif
rekomendasi kebijakan tentang nasib kebijakan publik meliputi beberapa hal yaitu apakah kebijakan
program tersebut : (1) perlu diteruskan, (2) perlu diteruskan dengan perbaikan, (3) perlu direplikasikan
di tempat lain atau memperluas berlakunya royek, (4) harus dihentikan. Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah kegiatan menilai hasil suatu kegiatan yang sedang atau
sudah dilaksanakan. Evaluasi bertujuan untuk memperbaiki ( to improve ) dan bukan membuktikan ( to
prove ) dengan memberikan umpan balik. REKOMENDASI AKSI-AKSI KEBIJAKAN Rumusan kebijakan
berkenaan dengan persoalan bagaimana masalah-masalah public memperoleh perhatian para pembuat
kebijakan, bagaimana usul-usul kebijakan dirumuskan untuk menanggapi masalah-masalah tertentu,
bagaimana sesuatu usul kebijakan tertentu dipilih diantara begitu banyak pilihan. Prosedur nalalisis-
kebijakan dari rekomendasi memungkinkan analis menghsilkan informasi tentang kemungkinan
serangkaian aksi di masa mendatang untuk menghsilkan keonsekuensi yang berharga bagi individu,
kelompok, atau masyarakat umumnya. Untuk merekomendasikan suatu tindakan kebijakan khusus
diperlukan adanya informasi tentang konsekuensi-konsekuensi di masa depan setelah dilakukannya
berbagai alternative tindakan. Sementara itu, membuat rekomendasi kebijakan harus menentukan
alternative mana yang paling baik dan mengapa menggunakan alternative tersebut. Oleh karenanya,
prosedur analisis kebijakan dari rekomendari berkaitan erat dengan persoalan etika dan moral.
REKOMENDASI DALAM ANALISIS KEBIJAKAN Rekomendasi serangkaian aksi di masa mendatang untuk
menghasilkan konsekuensi yang berharga bagi individu, kelompok, atau masyarakat seluruhnya. Untuk
merekomendasikan suatu tindakan kebijakan khusus diperlukan adanya informasi tentang konsekuensi-
konsekuensi di masa depan setelah dilakukannya berbagai alternatif tindakan. F Rekomendasi Dan
Advokasi Ganda Semua isu tersebut memerlukan rekomendasi kebijakan yang menjawab pertanyaan :
Apa yang harus dilakukan ? setiap jawaban untuk pertanyaan ini memerlukan pendekatan yang
normatif, tidak hanya empiris atau evaluatif, karena persoalannya adalah aksi mana yang tepat.
Pertanyaan-pertanyaan tentang aksi meminta analisis memilih di antara berbagai pernyataan advokatif
tentang apa yang seharusnya dilakukan. Pernyataan advokatif mempunyai sejumlah karakteristik
khusus. Pernyataan advokatif haruslah : 1. Dapat ditindaklanjuti (Actionable) 2. Prospektif 3. Muatan
nilai 4. Secara etika kompleks Gagasan mengenai advokasi ganda (multiple advocacy) harus
dipertentangkan secara tajam dengan pandangan bahwa fungsi analisis kebijakan adalah untuk
mendukung posisi politik yang ditentukan oleh pengumpulan sebanyak mungkin informasi sesuai
dengan kepentingan klien. Advokasi ganda merupakan pendekatan untuk melakukan perbandingan
secara sistematis dan penilaian secara kritis terhadap sejumlah peluang pemecahan, bukan sebagai cara
untuk mempertahankan suatu posisi atau pendapat secara membabi buta. F Model Pilihan Yang
Sederhana Pernyataan advokasi menjadi mungkin hanya ketika analisis berhadapan dengan suatu situasi
untuk memilih di antara dua atau lebih alternatif. Dalam bentuknya yang paling sederhana pilihan dapat
dijelaskan sebagai sebuah proses penalaran yang meliputi tiga komponen yang saling berhubungan : a.
Definisi masalah mengharuskan tindakan b. Perbandingan konsekuensi dari dua atau lebih alternatif
untuk menyelesaikan masalah c. Rekomendasi alternatif yang akan dapat membuahkan hasil yang
diinginkan, yaitu alternatif yang paling memuaskan sejumlah kebutuhan, nilai, atau kesempatan. Sebagai
contoh, pilihan dapat diterangkan sebagai proses penalaran di mana alternnatif pertama (A1)
menghasilkan satu hasil (O1), alternatif kedua (A2) menghasilkan hasil lain (O2), dan nilai O1 lebih besar
dari pada O2 (O1>O2). Dengan informasi seperti ini analisis tidak akan menemui kesulitan untuk
merekomendasikan A1 sebagai alternatif yang dipilih. Analisis beralasan sebagai berikut : alternatif
pertama menimbulkan suatu hasil, sementara alternatif kedua memberikan hasil yang lain. Hasil yang
pertama lebih berharga dari pada yang kedua. Oleh karena itu (…), arah tindakan yang pertama harus
direkomendasikan (lihat gambar). Gambar Pilihan Model Sederhana A1 O1 A2 O2 O1 > O2 . … A1 Proses
penalaran yang sederhana ini mengandung dua elemen pilihan yang esensial : premis factual dan premis
nilai. Premis keputusan pertama menyatakan bahwa A1 akan menghasilkan O1 sementara premis
keputusan kedua menyatakan bahwa A2, akan menghasilkan O2. Kedua premis ini disebut premis
faktual, yaitu suatu asumsi yang pada prinsipnya dapat dibenarkan atau disalahkan atas dasar
pengetahuan faktual. Sementara prems ketiga disebut premis nilai, yaitu asumsi yang dapat dikatakan
baik atau buruk atas dasar nilai atau sistem etika. Premis nilai menyatakan bahwa O1 pada tingkat atau
nilai tertentu lebih baik dibanding O2. Premis seperti ini tidak dapat dibuktikan kebenaran atau
kesalahannya dengan hanya mempertimbangkan premis faktual, karena pertanyaan-pertanyaan nilai
mengharuskan adanya alasan-alasan yang masuk akal mengapa suatu hasil di nilai baik atau benar oleh
sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat secara keseluruhan. Semua pilihan mengandung baik
premis faktual dan premis nilai. Kondisi yang harus ada agar model pilihan ini menjadi model yang valid.
1. Pengambil keputusan tunggal. Pilihan harus dibuat oleh satu orang saja. 2. Kepastian. Hasil pilihan
harus diketahui dengan pasti. Namun dalam kenyataannya hasil pilihan jarang diketahui dengan pasti. 3.
Kesegeraan akibat. Hasil-hasil tindakan harus segera terjadi. Tetapi dalam sebagian besar situasi pilihan,
hasil tindakan baru muncul setelah kurun waktu yang panjang. Sebab hasil tidak terjadi tiba-tiba, tetapi
berubah seiring dengan perkembangan waktu. F Bentuk-Bentuk Rasionalitas Pada dasarnya, setiap
situasi pilihan dapat menghasilkan rekomendasi yang disukai oleh semua pihak sebab hal itu akan
membuahkan hasil yang diinginkan. Namun sebagian besar situasi plihan melibatkan banyak pelaku
kebijakan, ketidak pastian, dan konsekuensi-konsekuensi yang berubah sepanjang waktu. Dalam
kenyataan konflik dan ketidak setujuan adalah karakteristik penting dari sebagian besar isu-isu
kebijakan. Sesungguhnya ketidak-mampuan kita untuk memenuhi proses rekomendasi tidak cukup
untuk menyimpulkan bahwa proses rekomendasi tidak dan tidak dapat rasional. Jika rasionalitas kita
artikan sebagai proses yang dilakukan secara sadar untuk menggunakan argument-argumen yang
bernalar dalam membuat dan mempertahankan pernyataan-pernyataan advokatif, kita tidak hanya
menemukan bahwa banyak pilihan adalah rasional; tetapi kita juga akan melihat bahwa sebagian besar
adalah bersifat multirasional. Ini berarti bahwa terdapat dasar-dasar rasional ganda yang mendasari
sebagian besar pilihan-pilihan kebijakan : a. Rasionalitas teknis Rasionalitas teknis merupakan
karakteristik pilihan yang bernalar yang meliputi pembandingan berbagai alternatif atas dasar
kemampuan masing-masing memecahkan masalah-masalah public secara efektif. b. Rasionalitas
ekonomis Rasionalitas ekonomis merupakan karakteristik pilihan yang bernalar yang membandingkan
berbagai alternatif atas dasar kemampuannya untuk menemukan pemecahan masalah publik yang
efisien. c. Rasionalitas legal Rasionalitas legal merupakan karakteristik pilihan yang bernalar yang
meliputi perbandingan alternatif menurut kesesuaian hukumnya terhadap peraturan-peraturan dan
kasus-kasus penyelesaian perkara sebelumnya. d. Rasionalitas sosial Rasionalitas sosial merupakan
karakteristik pilihan yang bernalar menyangkut perbandingan alternatif menurut kemampuannya dalam
mempertahankan atau meningkatkan institusi-institusi sosial yang bernilai, yaitu untuk
menyelenggarakan pelembagaan. e. Rasionalitas substantif Rasionalitas substantif merupakan
karakterstik pilihan yang bernalar menyangkut perbandingan berbagai bentuk rasionalitas teknik,
ekonomis, legal, sosial dengan maksud agar dapat dibuat pilihan yang paling layak di bawah kondisi yang
ada. F Teori Rasional Komprehensif Dalam kenyataan, agar menjadi rasional dan pada saat yang sama
komprehensif, suatu pilihan harus memenuhi kondisi seperti berikut ini, yang disebut sebagai teori
rasional-komprehensif dalam pembuatan keputusan : 1. Pembuat keputusan individual atau kolektif
harus mengidentifikasi masalah kebijakan yang diterima sebagai konsensus oleh semua pelaku kebijakan
yang relevan. 2. Pembuat keputusan individual atau kolektif harus mendefinisikan dan mengurutkan
secara konsisten tujuan dan sasaran yang pencapaiannya mencerminkan pemecahan masalah. 3.
Pembuat keputusan individual atau kolektif harus mengidentifikasi semua pilihan kebijakan yang dapat
memberi kontribusi terhadap pencapaian masing-masing tujuan dan sasaran. 4. Pembuat keputusan
individual atau kolektif harus meramalkan semua konsekuensi yang akan dihasilkan oleh seleksi setiap
alternatif. 5. Pembuat keputusan individual atau kolektif harus membandingkan setiap pilihan dalam hal
akibatnya terhadap pencapaian setiap tujuan dan sasaran. 6. Pembuat keputusan individual atau kolektif
harus memilih alternatif yang memaksimalkan pencapaian tujuan. F Teori Inkremental-Terputus-putus
Terdapat beberapa kritik penting terhadap teori pembuatan keputusan rasional-komprehensif. Yang
pertama, dikenal sebagai teori pembuatan keputusan inkremental-terputus-putus (disjointed-
incremental decision making theory), berpendapat bahwa pilihan-pilihan kebijakan yang aktual jarang
memenuhi persyaratan teori rasional-komprehensif. F Dalil Kemustahilan Arrow Kritik penting yang
kedua terhadap teori komprehensif-rasional dikenal sebagai dalil kemustahilan Arrow (Arrow’s
Impossibility Theorem). Dalil ini dikembangkan oleh pemenang Hadiah Nobel Kenneth Arrow,
menunjukkan bahwa mustahil bagi pembuat keputusan dalam masyarakat demokratis untuk memenuhi
kondisi teori rasional-komprehensif. Salah satu kesimpulan Arrow adalah bahwa pilihan-pilihan individu
tidak dapat diagregasikan melalui prosedur pengambilan suara terbanyak untuk menciptakan keputusan
kolektif yang akan menghasilkan solusi tunggal yang terbaik bagi semua kelompok. Kemustahilan
menciptakan berdasarkan pilihan-pilihan individu yang diagregasikan (dijumlahkan), suatu keputusan
kolektif yang menggunakan preferensi transitif disebut sebagai paradoks pemilih (voters paradox). F
Rasionalitas yang Terkungkung Simon mengembangkan sebuah teori rasionalitas yang terkungkung
(Bounded rationality), yang menurut teori ini pembuat keputusan menolak begitu saja usaha untuk
menjadi rasional dan pada saat yang sama komprehensif. Sementara pilihan-pilihan bersifat rasional,
pilihan tersebut dikungkung oleh keadaan praktis di dalam mana pilihan tersebut dibuat. F Rasionalitas
sebagai Maksimisasi yang Terbatas Dalam kenyataannya, perilaku memuaskan dapat sepenuhnya
rasional, jika yang kita maksud “rasional’ adalah proses mempekerjakan akal dalam membuat pilihan-
pilihan yang meperhitungkan biaya pencarian informasi. Jadi, perilaku semacam itu dapat didefinisikan
sebagai pilihan yang masuk akal yang berusaha memaksimalkan keluaran dan bersamaan dengan itu
menyadari keterbatasan yang didesakkan oleh biaya pencarian informasi yang tinggi. F Penelusuran
Campuran Penelusuran campuran membedakan antara syarat-syarat pilihan strategis yang menetapkan
arah bagi kebijakan dasar dan pilihan-pilihan operasional yang membantu meletakkan landasan bagi
keputusan-keputusan strategis dan mendukung implementasi keputusan strategis ini. Karenanya,
penelusuran campuran berusaha untuk mengadaptasi strategi pemilihan ke dalam sifat masalah yang
dihadapi pembuat kebijakan. Karena apa yang rasional dalam satu konteks belum tentu demikian dalam
konteks lainnya, penelusuran campuran secara selektif mengkombinasikan elemen-elemen rasionalitas
komprehensif dan inkrementalisme terputus-putus. F Rasionalitas Erotetik Prinsip utama dari
rasionalitas erotetik telah dinyatakan secara singkat dan tepat oleh Albert dalam kritiknya tentang
penggunaan analisis biaya-manfaat dalam konteks peradilan : “Ketidaktahuan adalah sine qua’non dari
rasionalitas”. Dalam banyak kasus penting, analisis sama sekali tidak tahu hubungan antara kebijakan,
hasil kebijakan, dan nilai-nilai apa yang harus dipakai untuk mengkaji hasil-hasil tersebut. Kesenjangan
pengetahuan ini menuntut pengakuan yang jujur tentang ketidaktahuan sebagai prasyarat untuk
memulai proses bertanya dan menjawab, suatu proses yang di dalamnya suatu metodologi ampliative
menghasilkan jawaban yang optimal rasional terhadap pertanyaan yang melebihi pengalaman tambahan
dan berlari lebih cepat dari pencapaian informasi yang telah tersedia pada kita. F Kriteria untuk
Rekomendasi Kebijakan Beberapa tipe pilihan rasional dapat diletakkan sebagai kriteria keputusan yang
digunakan untuk menyarankan pemecahan masalah kebijakan. Dengan kriteria keputusan dimaksudkan
secara eksplisit sebagai nilai-nilai yang dinyatakan yang melandasi rekomendasi untuk tindakan. Kriteria
keputusan terdiri dari enam tipe utama : efektivitas, efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas, dan
kelayakan. Efektivitas (effectiveness) berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat)
yang diharapkan, atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efisiensi (efficiency) berkenaan
dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Kecukupan
(adequacy) berkenaan dengan seberapa jauh suatu tingkat efektivitas memuaskan kebutuhan, nilai, atau
kesempatan yang menumbuhkan adanya masalah. Kriteria kecukupan berkenaan dengan empat tipe
masalah : a. Masalah Tipe I. Masalah dalam tipe ini meliputi ongkos tetap dan efektivitas yang berubah.
Jika pengeluaran budgeter maksimum yang dapat diterima menghasilkan biaya tetap, tujuannya adalah
memaksimalkan efektivitas pada batas risorsis yang tersedia. b. Masalah Tipe II. Masalah pada tipe ini
menyangkut efektivitas yang sama dan biaya yang berubah. Jika tingkat hasil yang dihargai sama,
tujuannya adalah meminimalkan biaya. c. Masalah Tipe III. Masalah pada tipe ini menyangkut biaya yang
berubah dan efektivitas yang berubah. d. Masalah Tipe IV. Masalah pada tipe ini mengandung biaya
sama dan juga efektivitas tetap. Pernyataan tentang kecukupan tidak dapat dipecahkan dengan
mengambil secara sewenang-wenang satu kriteria. Misalnya, manfaat pendapatan bersih (efektivitas
dalam dolar dikurangi biaya dalam dolar), bukanlah kriteria yang memadai jika biaya bersifat tetap dan
satu program dengan rasio biaya-laba tertinggi dapat diulang-ulang berkali-kali dengan batas biaya tetap
total. Analisis harus mempertimbangkan pertanyaan yang mendasar : seberapa jauh suatu kebijakan
dapat memaksimalkan kesejahteraan sosial, dan tidak hanya individu-individu atau kelompok-kelompok
tertentu? Jawaban dari pertanyaan ini dapat dicari melalui beberapa cara : 1. Memaksimalkan
kesejahteraan individu 2. Melindungi kesejahteraan minimum 3. Memaksimalkan kesejahteraan bersih
4. Memaksimalkan kesejahteraan redistributif Tidak satupun kriteria kesamaan sepenuhnya
memuaskan. Alasannya adalah bahwa pandangan yang berlawanan mengenai rasionalitas masyarakat
secara keseluruhan (rasionalitas sosial) atau ketepatan norma-norma legal yang menjamin hak milik
(rasionalitas legal) tidak dapat dipecahkan hanya dengan menganjurkan penggunaan hukum ekonomi
formal (misalnya, kriteria Pareto atau Kaldor-Hicks) atau prinsip filosofis formal (misalnya, kriteria
redistributif Rawls). Pertanyaan menyangkut perataan, kewajaran, dan keadilan bersifat politis; di mana
pilihan tersebut dipengaruhi oleh proses distribusi dan legitimasi kekuasaan dalam masyarakat.
Walaupun teori ekonomi dan filsafat moral dapat memperbaiki kapasitas kita untuk menilai secara kritis
kriteria kesamaan, kriteria-kriteria tersebut tidak dapat menggantikan proses politik. PENDEKATAN-
PENDEKATAN UNTUK REKOMENDASI Dalam membuat rekomendasi kebijakan analisis secara khusus
mengarahkannya kepada sejumlah pertanyaan yang saling berhubungan. Kebutuhan, nilai, dan peluang
apa yang tersedia dan memuaskan mereka. Apa tujuan dan sasaran yang harus dicapai, dan bagaimana
itu semua harus diukur. Berapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mencapai tujuan dan jenis-
jenis hambatan apa keuangan, hukum, administrasi, politik yang mungkin menghambat pencapaian
tujuan. Apakah ada efek samping, efek ganda, dan akibat-akibat lain yang dapat dan yang tidak dapat
diantisipasi yang harus dipertimbangkan sebagai biaya atau manfaat? Seberapa jauh nilai dan manfaat
berubah sepanjang waktu? Sejauh mana keyakinan terhadap peramalan terhadap keluaran-keluaran
berubah sepanjang waktu? Seberapa pasti hasil peramalan dapat terjadi? Apa yang harus dilakukan? F
Pilihan Publik vs Pilihan Swasta Ada beberapa perbedaan yang penting yang harus dipertimbangkan di
antara dua sektor tersebut ; a. Sifat dari proses perumusan kebijakan publik. Pembuatan kebijakan di
sektor publik termasuk di dalamnya tawar menawar, kompromi, dan konflik di antara kelompok-
kelompok warga negara, lembaga legislatif, lembaga eksekutif dan departemen, badan pembuat
peraturan, swasta dan berbagai pembuat kebijakan yang lain. Di sini tidak ada prosedur tunggal maupun
pemanfaatan tunggal dari barang-barang dan pelayanan yang mana keuntungan dan kesejahteraannya
akan ditingkatkan. Kehadiran sejumlah pembuat kebijakan yang berkompetisi atau mempunyai konflik
nilai akan membuat permasalahan pemilihan kebijakan menjadi semakin kompleks dibandingkan
dengan sektor swasta. b. Sifat kolektif dari tujuan-tujuan kebijakan publik. Tujuan-tujuan dari kebijakan
di sektor publik bersifat kolektif, yang dianggap merupakan cerminan dari preferensi masyarakat atau
lebih luas sebagai “kepentingan publik”. Spesifikasi dari tujuan kolektif ini, seperti yang telah kita lihat,
sering melibatkan berbagai konflik kriteria, dari segi efektivitas, efisiensi, dan kecukupan hingga
keadilan, tanggung jawab dan kelayakan. c. Sifat barang publik. Barang-barang publik dan barang-barang
privat dibedakan menjadi tiga jenis : barang-barang spesifik, barang-barang kolektif, dan barang-barang
setengah kolektif. Barang spesifik bersifat eksklusif, di mana seseorang yang memiliki benda tersebut
mempunyai hak secara legal untuk mengeluarkan orang lain dari keuntungan yang diperolehnya. Alokasi
dari barang-barang spesifik ini (sebagai contoh mobil, rumah, atau pelayanan-pelayanan yang bersifat
fisik) selalu didasarkan pada harga pasar, yang ditentukan oleh penawaran dan permintaan. F
Penawaran dan Permintaan Biaya kesempatan (opportunity cost) di sektor swasta dapat diestimasikan
dengan menggunakan harga pasar sebagai ukuran biaya dan manfaat. Harga pasar dari suatu barang
ditentukan oleh penawaran dan permintaan. Jika kita melihat berbagai kombinasi dari harga dan
kuantitas barang, kita melihat bahwa (1) konsumen akan meningkatkan kuantitas (Q) permintaan dari
suatu produk ketika harga produk (P) itu turun; dan (2) produsen akan meningkatkan kuantitas (Q)
penawaran atas suatu produk ketika harga (P) dari produk tersebut naik.Akhirnya, (3) kombinasi dari
harga dan kuantitas yang menghasilkan satu tingkat permintaan dan penawaran yang sama yakni satu
titik di mana penawaran dan permintaan saling bersinggungan (PeQe) menunjukkan harga dan kuantitas
suatu barang tertentu yang akan dijual di pasar. F Pilihan Publik Ada beberapa alasan mengapa konsep
keuntungan, manfaat bersih dan biaya kesempatan sukar untuk diterapkan dalam masalah pilihan public
a. Banyaknya pembuat kebijakan yang sah b. Barang-barang kolektif dan setengah kolektif c.
Keterbatasan perbandingan dari ukuran pendapatan d. Tanggung jawab publik terhadap manfaat dan
biaya sosial F Analisis Biaya – Manfaat Analisis biaya manfaat adalah suatu pendekatan untuk
merekomendasikan kebijakan yang memungkinkan analis membandingkan dan menganjurkan suatu
kebijakan dengan cara menghitung total biaya dalam bentuk uang dan total keuntungan dalam bentuk
uang. Sementara analisis baiaya manfaat digunakan untuk merekomendasikan tindakan kebijakan dalam
arti diaplikasikan ke depan dan digunakan untuk mengevaluasi kinerja kebijakan
http://ifdlali.wordpress.com/2010/05/28/rekomendasi-aksi-kebijakan/ ii DAFTAR ISI PROLOG
————————————————————————————————– ii DAFTAR ISI
——————————————————————————————— iii BAB I. PENDAHULUAN
———————————————————————— 1 1. A. Latar Belakang
———————————————————————– 1 2. B. Rumusan Masalah
——————————————————————- 2 3. C. Tujuan Penyusunan
—————————————————————– 2 4. D. Metode Penulisan
——————————————————————– 2 5. E. Sistematika Penulisan
————————————————————— 2 BAB II. PEMBAHASAN
————————————————————————– 4 A. Pengertian Tahapan kebijakan
————————————————– 4 B. Sistematika kebijakan public
—————————————————— 4 C. Evaluasi Kebijakan
—————————————————————— 6 BAB III. KESIMPULAN
————————————————————————– 8 1. A. Kesimpulan
—————————————————————————- 8 2. B. Saran-saran
—————————————————————————- 8 DAFTAR PUSTAKA
——————————————————————————— 9 iii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Tahapan sebuah kebijakan tentu saja melibatkan seluruh stake holder yang ada, baik sektor swasta
maupun publik secara kelompok maupun individual. Implementasi kebijakan meliputi tiga unsur yakni
tindakan yang diambil oleh badan atau lembaga administratif; tindakan yang mencerminkan ketaatan
kelompok target serta jejaring sosial politik dan ekonomi yang mempengaruhi tindakan para stake
holder tersebut. Interaksi ketiga unsur tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak baik dampak
yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan. Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak
terwujud dalam beberapa indikator yakni hasil atau output yang biasanya terwujud dalam bentuk
konkret semisal dokumen, jalan, orang, lembaga; keluaran atau outcome yang biasanya berwujud
rumusan target semisal tercapainya pengertian masyarakat atau lembaga; manfaat atau benefit yang
wujudnya beragam; dampak atau impact baik yang diinginkan maupun yang tak diinginkan serta
kelompok target baik individu maupun kelompok. Implementasi mengacu pada tindakan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk
mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha mencapai
perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasi
pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program
dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk
pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial.
Dalam tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri
atas beberapa tahapan yakni: 1. Tahapan pengesahan peraturan perundangan; 2. Pelaksanaan
keputusan oleh instansi pelaksana; 3. Kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan; 4.
Dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak; 5. Dampak keputusan sebagaimana yang
diharapkan instansi pelaksana; 6. Upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan. Proses
persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni: 1. Penyiapan sumber daya,
unit dan metode; 2. Penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan
dijalankan; 3. Penyediaan layanan, pembayaran dan hal lain secara rutin. Oleh karena itu, implikasi
sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi. 1 B.
Rumusan Masalah Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam proses penyusunan makalah ini
adalah tentang tahapan kebijakan. Untuk memberikan kejelasan makna serta menghindari meluasnya
pembahasan, maka dalam makalah ini masalahnya dibatasi pada : 1. Pengertian tahapan kebijakan 2.
Sistematika pembuatan kebijakan 3. Kebijakan publik C. Tujuan Penulisan Pada dasarnya tujuan
penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum dalam
penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Agama.
Adapun tujuan khusus dari penyusunan makalah ini adalah : 1. Untuk mengetahui pengertian tahapan
kebijakan 2. Untuk mengetahui sistematika kebijakan 3. Untuk mengetahui tentang kebijakan publik D.
Metode Penulisan Dalam proses penyusunan makalah ini menggunakan motede heuristic. Metode yaitu
proses pencarian dan pengumpulan sumber-sumber dalam melakukan kegiatan penelitian. Metode ini
dipilih karena pada hakekatnya sesuai dengan kegiatan penyusunan dan penulisan yang hendak
dilakukan. Selain itu, penyusunan juga menggunakan studi literatur sebagai teknik pendekatan dalam
proses penyusunannya. E. Sestimatika Penulisan Sistematika penyusunan makalah ini dibagi menjadi tiga
bagian utama, yang selanjutnya dijabarkan sebagai berikut : • 2 • Bagaian kesatu adalah pendahuluan.
Dalam bagian ini penyusun memeparkan beberapa Pokok permasalahan awal yang berhubungan erat
dengan permasalah utama. Pada bagian pendahuluan ini di paparkan tentang latar belakang masalah
batasan, dan rumusan masalah, tujuan penulisan makalah, metode penulisan dan sistematika penulisan
makalah. • Bagian Kedua yaitu pembahasan. Pada bagian ini merupakan bagaian utama yang hendak
dikaji dalam proses penyusunan makalah. Penyususn berusaha untuk mendeskripsikan berbagai temuan
yang berhasil ditemukan dari hasil pencarian sumber/bahan. • Bagian ketiga yaitu Kesimpulan. Pada
Kesempatan ini penyusun berusaha untuk mengemukakan terhadap semua permasalahan-
permasalahan yang dikemukakan oleh penyusun dalam perumusan masalah. 3 BAB II PEMBAHASAN A.
Pengertian Tahapan kebijakan Tahapan kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi
pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak.
Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu.
Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu
perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya
menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan. Kebijakan atau
kajian kebijakan dapat pula merujuk pada proses pembuatan keputusan-keputusan penting organisasi,
termasuk identifikasi berbagai alternatif seperti prioritas program atau pengeluaran, dan pemilihannya
berdasarkan dampaknya. Kebijakan juga dapat diartikan sebagai mekanisme politis, manajemen,
finansial, atau administratif untuk mencapai suatu tujuan eksplisit. Sebuah kebijakan identik dengan
sebuah keputusan, adapun keputusan itu sendiri dapat diartikan suatu reaksi terhadap beberapa solusi
alternatif yang dilakukan secara sadar dengan cara menganalisa kemungkinan – kemungkinan dari
alternatif tersebut bersama konsekuensinya.Setiap keputusan akan membuat pilihan terakhir, dapat
berupa tindakan atau opini. Itu semua bermula ketika kita perlu untuk melakukan sesuatu tetapi tidak
tahu apa yang harus dilakukan. Untuk itu keputusan dapat dirasakan rasional atau irrasional dan dapat
berdasarkan asumsi kuat atau asumsi lemah. keputusan adalah suatu ketetapan yang diambil oleh organ
yang berwenang berdasarkan kewenangan yang ada padanya. B. Sistematika kebijakan publik
Berdasarkan berbagai definisi para ahli kebijakan publik, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan
yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di
masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan. Tahap-tahap pembuatan
kebijakan publik menurut William Dunn Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn. adalah
sebagai berikut: 1. Penyusunan Agenda Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat
strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang
disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu
berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik,
maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. 4 Dalam
agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu
agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy
problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor
mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai
karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau
fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu
masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. Ada beberapa
Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980;
Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya: 1. Telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan
menjadi ancaman yang serius; 2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;
3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat
dukungan media massa; 4. Menjangkau dampak yang amat luas ; 5. Mempermasalahkan kekuasaan dan
keabsahan dalam masyarakat ; 6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi
mudah dirasakan kehadirannya) Karakteristik : Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan
masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda
untuk waktu lama. Ilustrasi : Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-
undang mengirimkan ke Komisi Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan
berhenti di komite dan tidak terpilih. Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan
tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh
mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder. 2. Formulasi kebijakan Masalah yang
sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-
masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah
tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan
perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan
masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk
memecahkan masalah. 3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan 5 Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan
otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh
kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah.Namun warga negara harus
percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi
– cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota
mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu.
Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah. 4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau
penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi
dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada
tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi
kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan
untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. C. Evaluasi
Kebijakan Dalam mengadakan sebuah proses evaluasi, terdapat beberapa hal yang akan dibahas yaitu
apa yang menjadi bahan evaluasi, bagaimana proses evaluasi, kapan evaluasi diadakan, mengapa perlu
diadakan evaluasi, dimana proses evaluasi diadakan, dan pihak yang mengadakan evaluasi.. Hal yang
perlu dilakukan evaluasi tersebut adalah narasumber yang ada, efektifitas penyebaran pesan, pemilihan
media yang tepat dan pengambilan keputusan anggaran dalam mengadakan sejumlah promosi dan
periklanan. Evaluasi tersebut perlu diadakan dengan tujuan untuk menghindari kesalahan perhitungan
pembiayaan, memilih strategi terbaik dari berbagai alternatif strategis yang ada, meningkatkan efisiensi
iklan secara general, dan melihat apakah tujuan sudah tercapai. Di sisi lain, perusahaan kadang-kadang
enggan untuk mengadakan evaluasi karena biayanya yang mahal, terdapat masalah dengan penelitian,
ketidaksetujuan akan apa yang hendak dievaluasi, merasa telah mencapai tujuan, dan banyak
membuang waktu. Secara garis besar, proses evaluasi terbagi menjadi di awal (pretest) dan diakhir
(posttest). Pretest merupakan sebuah evaluasi yang diadakan untuk menguji konsep dan eksekusi yang
direncanakan. Sedangkan, posttest merupakan evaluasi yang diadakan untuk melihat tercapainya tujuan
dan dijadikan sebagai masukan untuk analisa situasi berikutnya. Evaluasi dapat dilakukan di dalam atau
diluar ruangan. Evaluasi yang diadakan di dalam ruangan pada umumnya menggunakan metode
penelitian laboratorium dan sampel akan dijadikan sebagai kelompok percobaan. Kelemahannya,
realisme dari metode ini kurang dapat diterapkan. Sementara, evaluasi yang diadakan di luar ruangan
akan menggunakan metode penelitian lapangan dimana kelompok percobaan tetap dibiarkan
menikmati kebebasan dari lingkungan sekitar. Realisme dari metode ini lebih dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai evaluasi tersebut dengan baik, diperlukan sejumlah tahapan
yang harus dilalui yakni menentukan permasalahan secara jelas, mengembangkan pendekatan
permasalahan, memformulasikan desain penelitian, melakukan penelitian lapangan untuk
mengumpulkan data, menganalisis data yang diperoleh, dan kemampuan menyampaikan hasil
penelitian. 6 d. Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara yang di
laksanakan agar sebuah kebijakan dapat tercapai tujuannya(Dwijowijoto,2003:158). Dijelaskan oleh putt
dan springer implementasi kebijakan adalah serangkaian aktivitas dan keputusan yang memudahkan
pernyataan kebijakan dalam formulasi terwujudke dalam paktik organisasi. Tangkilisan (2003:11)
berpendapat bahwa pelaksanaan kebijakan memerlukan sejumlah keputusan dan tindakan oleh kepala
sekolah. ada empat faktor penting dalam mengimplementasikan kebijakan yaitu komunikasi, sumber,
disposisi, atau sikap dan struktur birokrasi. Untuk mengimplementasikan kebijakan ada dua pilihan
langkah yang memungkinkan, yaitu langsung mengimplemntasikan dalam bentuk program-program,
atau dapat melalui kebijakan derivat (turunan) dari kebijakan publik tersebut. e. Komunikasi Proses
komunikasi ekfektif diperlukan dalam kerangkapelaksanaan kebijakan. Itu artinya pemimpin harus
mengkomunikasikan kepada bidang yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kebijakan agar
memahami kebijakan yang menjadi tenggung jawabnya, maka untuk mengimplementasikan kebijakan
secara tepat, ukuran implementasi mesti tidak hanya diterima, namun kebijakan yang di laksanakan bagi
mereka harus juga jelas. Jika tidak para pelaksana akan kacau dengan apa yang seharusnya mereka
lakukan dan mereka akan memiliki kewenangan untuk melaksanakan kebijakan dimaksud. Dwijowijoto,
(2003:174) menjelaskan komunikasindan koordinasi yang sempurna merupakan syarat pelaksanaan
kebijakan. Komunikasi adalah perekat organisasi dan koordinasi adalah asal muasal dari kerja sama tim
serta terbentuknya sinergindan integrasi. f. Sumber Daya Betapapun jelasnya proses komunikasi
kebijakan kepada pelaksana kebijakan dan betapapun perintah dan kewenangan sudah diberikan, tetapi
kalau sumber daya yang tersedia tidak mendukung hal ini dapat menghambat pelaksanaan kebijakan.
Adapun pentingnya sumber daya ini mencakup: jumlah staf yang tepat, keahlian yang di perlukan,
informasi yang relevan tentang cara melaksanakan kebijakan dan berbagai penyesuaian lainnya. Jika
sumber daya tidak cukup, berarti kebijakan tidak akan terlaksana karena prosedur kerja, kegiatan yang
ditetapkan tidak dapat dibumikan dalam memenuhi tujuan dan harapan stakeholders atau pelanggan.
Dwijowijoto, (2003) berpendapat bahwa keekuasaan atau power adalah syarat bagi keefektifan
implementasi kebijakan. Tanpa otoritas yang berasal dari kekuasaan maka kebijakan akan tetap berupa
kebijakan dan tidak ada pengaruh dari target kebijakan. g. Disposisi Disposisi atau sikap di sini
dimaksudkan adalah sikap pelaksanaan kebijakan. Para pelaksana kebijakan yang ditetapkan dengan
kemampuannya memang harus terdorong sepenuh hati atau memiliki komitmen melaksanakan
kebijakan tersebut. Disini diperlukan keseimbangan pandangan bahwa kebijakan dilaksanakan
memenuhi tujuan pribadi dan tujuan organisasi sehingga kebijakan menyentuh harapan yang sejatinya
adalah mencapai tujuan. h. Sruktur Birokrasi Bila para pelaksanasudah tahu apa yang akan dikerjakan
karena sudah dikomunikasikan dan mau melaksanakan namun kadang terhambat karena stuktur
birokrasi. Masalah koordinasi menjadi faktor struktur birokrasi yang dapat menghambat pelaksanaan
kebijakan. Karena dalam pelaksanaan kebijakan melibatkan banyak orang, bidang dan lingkungan yang
dapat mempengaruhi kelancaran dan keberhasilan kebijakan. Jadi prosedur tetap (protap), atau
standard operational procedure (SOP) merupakan cara-cara yang ditempuh bagi kelancaran kebijakan
dengan baik. Ada beberapa variabel yang termasuk sebagai faktor yang mempengaruhi kebijakan publik,
yaitu: 1. Aktuvitas implementasi dan komunikasi antar organisasi 2. Karakteristik dari agen
pelaksana/implementator 3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik 4. Kecenderungan (dispotision) dari
pelaksana implementator. i. Monitoring Program Monitoring mencakup pengumpulan data secara
vsistematik dan berkelanjutan atau aktivitas bprogram. Imformasi tersebut mencakup dua jenis utama,
yaitu: • Masukan adalah sumber daya yang dibutuhkan oleh pelaksana aktuvitas program. Anggaran
biaya dan waktu merupakan masukan dasar pelayanan sebagai pengukuran efisiensi. • Hasil adalah
produk dari aktivitas program. Sejumlah kasus proses, jumlah hambatan, jumlah hambatan pernyataan
kalimat, dan keempat adalah contoh ukuran hasil pelayanan sebagai indikator efektivitas. Monitoring
pprogram juga mencakup pengembangan indikator kinerja yang terstandar dan sistem pelaporan. Selain
itu monitoring programpun sebagai proses menajemen yang memerlukan data maka ada proses
pelaporan yang diatur oleh menajemen untuk memudahkan proses penilaian pihak manajemen puncak.
j. Evaluasi Pengaruh Evaluasi pengaruh dilaksanakan untuk menentukan tingkatan pencapaian kebijakan
yang sesuai sasaran. Evaluasi pengaruh adalah lebih dari pengembangan monitoring program, yang
berarti pengaruh evaluasi ini adalah berkenaan dengan fokus perubahan dalam hak sosial dan kondisi
fisik. Secara ideal pengaruh evaluasi memberikan lebih dari suatu deskripsi dari perubahan dalam
pengukuran sasaran program implementasi. Dan juga analisis usaha merancang kajian bahwa
membiarkan mereka menerntukan berapa banyak perubahan ini dicirikan dalam kebijakan yang
dievaluasi secara baik. k. Evaluasi Proses Evaluasi proses adalah menentukan mengapa program
dilaksanakn pada level ini dan apakah dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja. Evaluasi proses ini
berkenaan dengan identifikasi jaringan khusus antara aktivitas pelaksanaan kebijakan dengan kinerja
program. • Evaluasi formulasi kebijakan a) Menggunakan pendekatan b) Mengarah pada masalah inti c)
Mengikuti prosedur yang telah disepakati d) Mendayagunakan sumber daya yang ada secara optimal. •
Model evaluasi formulasi kebijakan 1) Model kelembagaan 2) Model proses 3) Model kelompok 4)
Model elit 5) Model rasional 6) Model inkremental 7) Model teori permainan 8) Model pilihan publik 9)
Model sistem 10) Model demokratis dan 11) Model perumusan strategis. • Fungsi evaluasi a) Memberi
informasi yang valid dan tepat b) Memberi sumbangan klarifikasi dan kritik dalam pemilihan tujuan dan
target c) Memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis. HAL-HAL YANG PERLU
DIPERHTAIKAN DALAM SEBUAH EVALUASI KEBIJAKAN 7 BAB III KESIMPULAN A. Kesimpulan Legitimasi
(legitimize) adalah kualitas hukum yang berbasis pada penerimaan putusan dalam peradilan, dapat pula
diartikan seberapa jauh masyarakat mau menerima dan mengakui kewenangan, keputusan atau
kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin. Dalam konteks legitimasi, maka hubungan antara
pemimpin dan masyarakat yang dipimpin lebih ditentukan adalah keputusan masyarakat untuk
menerima atau menolak kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin. sedangkan Legitimasi tradisional
mengenai seberapa jauh masyarakat mau menerima kewenangan, keputusan atau kebijaksaan yang
diambil pemimpin dalam lingkup tradisional, seperti dalam kehidupan keraton yang seluruh
masyarakatnya terikat akan kewenagan yang dipegang oleh pimpinan mereka dan juga karena hal
tersebut dapat menimbulkan gejolak dalam nurani mereka bahwa mereka adalah bawahan yang selalu
menjadi alas dari pemimpinnya. Legitimasi dapat diperoleh dengan berbagai cara yang dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori yakni secara simbolis, prosedural atau material (Ramlan Surbakti,
1992), sedangkan Max Weber mendefinisikan tiga sumber untu memperoleh legitimasi adalah
tradisional, karisma dan legal/rasional. B. Saran-Saran 1. Dalam sebuah kebijakan sudah tentu akan
melibatkan publik, maka dalam implementasinya memerlukan kesepakatan tidak bersifat otoriter. 2.
Kemaslahatan bersama merupakan tolak ukur dalam sebuah pengambilan tahapan kebijakan 3.
Kondition evaluasion menjadi bahan edukasi dalam langkah pengambilan kebijakan
http://kreativitasdircom.wordpress.com/20 Etika Governance Nuryana/ 25210226 4EB09 Etika
Governance Ethical Governance ( Etika Pemerintahan ) adalah Ajaran untuk berperilaku yang baik dan
benar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam Ethical
Governance ( Etika Pemerintahan ) terdapat juga masalah kesusilaan dan kesopanan ini dalam aparat,
aparatur, struktur dan lembaganya. Kesusilaan adalah peraturan hidup yang berasal dari suara hati
manusia. Suara hati manusia menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk, tergantung
pada kepribadian atau jati diri masing-masing. Manusia berbuat baik atau berbuat buruk karena bisikan
suara hatinya ( consience of man ). Kesusilaan mendorong manusia untuk kebaikan akhlaknya, misalnya
mencintai orang tua, guru, pemimpin dan lain – lain, disamping itu kesusilaan melarang orang berbuat
kejahatan seperti mencuri, berbuat cabul dan lain – lain. Kesusilaan berasal dari ethos dan esprit yang
ada dalam hati nurani. Sanksi yang melanggar kesusilaan adalah batin manusia itu sendiri, seperti
penyesalan, keresahan dan lain – lain. Saksi bagi mereka yang melanggar kesopanan adalah dari dalam
diri sendiri, bukan dipaksakan dari luar dan bersifat otonom. Kesopanan adalah peraturan hidup yang
timbul karena ingin menyenangkan orang lain, pihak luar, dalam pergaulan sehari – hari bermasyarakat,
berpemerintahan dan lain – lain. Kesopanan dasarnya adalah kepantasan, kepatutan, kebiasaan,
keperdulian, kesenonohan yang berlaku dalam pergaulan ( masyarakat, pemerintah, bangsa dan
negara ). Kesopanan disebut pula sopan santun, tata krama, adat, costum, habit. Kalau kesusilaan
ditujukan kepada sikap batin (batiniah ), maka kesopanan dititik beratkan kepada sikap lahir ( lahiriah )
setiap subyek pelakunya, demi ketertiban dan kehidupan masyarakat dalam pergaulan. Tujuan bukan
pribadinya akan tetapi manusia sebagai makhluk sosial (communal, community, society, group, govern
dan lain – lain ), yaitu kehidupan masyarakat, pemerintah, berbangsa dan bernegara. Sanksi terhadap
pelanggaran kesopanan adalah mendapat celaan di tengah – tengah masyarakat lingkungan, dimana ia
berada, misalnya dikucilkan dalam pergaulan. Sanksi dipaksakan oleh pihak luar (norma, kaedah yang
ada dan hidup dalam masyarakat ). Sanksi kesopanan dipaksakan oleh pihak luar oleh karena itu bersifat
heretonom. Khususnya dalam masa krisis atau perubahan, prinsip pemerintahan dan fundamental etika-
nya di dalam masyarakat sering kali dipertanyakan dan kesenjangan antara ideal dan kenyataan
ditantang. Belum lagi, kita mengerti diskusi Etika Pemerintahan sebagai diskursus berjalan dalam
pengertian bersama tentang apa yang membuat pemerintahan itu baik, dan langkah konkrit yang mana
yang harus dilakukan dalam rangka berangkat dari konsensus bersama ke pemerintahan praktis itu
adalah indikator demokrasi dan masyarakat multidimensi. Good governance merupakan tuntutan yang
terus menerus diajukan oleh publik dalam perjalanan roda pemerintahan. Tuntutan tersebut merupakan
hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon positif oleh aparatur penyelenggaraan pemerintahan.
Good governance mengandung dua arti yaitu : 1. Menjunjung tinggi nilai-nilai luhur yang hidup dalam
kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara yang berhubungan dengan nilai-nilai kepemimpinan.
Good governance mengarah kepada asas demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 2.
Pencapaian visi dan misi secara efektif dan efisien. Mengacu kepada struktur dan kapabilitas
pemerintahan serta mekanisme sistem kestabilitas politik dan administrasi negara yang bersangkutan.
Untuk penyelenggaraan Good governance tersebut maka diperlukan etika pemerintahan. Etika
merupakan suatu ajaran yang berasal dari filsafat mencakup tiga hal yaitu : 1. Logika, mengenai tentang
benar dan salah. 2. Etika, mengenai tentang prilaku baik dan buruk. 3. Estetika, mengenai tentang
keindahan dan kejelekan. Secara etimologi, istilah etika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata ”Virtus”
yang berarti keutamaan dan baik sekali, serta bahasa Yunani yaitu kata ”Arete” yang berarti utama.
Dengan demikian etika merupakan ajaran-ajaran tentang cara berprilaku yang baik dan yang benar.
Prilaku yang baik mengandung nilai-nilai keutamaan, nilai-nilai keutamaan yang berhubungan erat
dengan hakekat dan kodrat manusia yang luhur. Oleh karena itu kehidupan politik pada jaman Yunani
kuno dan Romawi kuno, bertujuan untuk mendorong, meningkatkan dan mengembangkan manifestasi-
manifestasi unsur moralitas. Kebaikan hidup manusia yang mengandung empat unsur yang disebut juga
empat keutamaan yang pokok (the four cardinal virtues) yaitu : 1. Kebijaksanaan, pertimbangan yang
baik (prudence). 2. Keadilan (justice). 3. Kekuatan moral, berani karena benar, sadar dan tahan
menghadapi godaan(fortitude). 4. Kesederhanaan dan pengendalian diri dalam pikiran, hati nurani dan
perbuatan harus sejalan atau ”catur murti” (temperance). Dengan demikian etika pemerintahan tidak
terlepas dari filsafat pemerintahan. filsafat pemerintahan adalah prinsip pedoman dasar yang dijadikan
sebagai fondasi pembentukan dan perjalanan roda pemerintahan yang biasanya dinyatakan pada
pembukaan UUD Negara kalau melihat sistematika filsafat yang terdiri dari filsafat
teoritis,”mempertanyakan yang ada”, sedangkan filsafat praktis, ”mempertanyakan bagaimana sikap
dan prilaku manusia terhadap yang ada”. Dan filsafat etika. Oleh karena itu filsafat pemerintahan
termasuk dalam kategori cabang filsafat praktis. Filsafat pemerintahan berupaya untuk melakukan suatu
pemikiran mengenai kebenaran yang dilakukan pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara mengacu kepada kaedah-kaedah atau nilai-nilai baik formal maupun etis. Dari segi etika,
pemerintahan adalah perbuatan atau aktivitas yang erat kaitannya dengan manusia dan kemanusiaan.
Oleh karena itu perbuatan atau aktivitas pemerintahan tidak terlepas dari kewajiban etika dan moralitas
serta budaya baik antara pemerintahan dengan rakyat, antara lembaga/pejabat publik pemerintahan
dengan pihak ketiga. Perbuatan semacam ini biasanya disebut Prinsip Kepatutan dalam pemerintahan
dengan pendekatan moralitas sebagi dasar berpikir dan bertindak. Prinsip kepatutan ini menjadi fondasi
etis bagi pejabat publik dan lembaga pemerintahan dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Etika
pemerintahan disebut selalu berkaitan dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak
dasar warga negara selaku manusia sosial (mahluk sosial). Nilai-nilai keutamaan yang dikembangkan
dalam etika pemerintahanadalah : 1. Penghormatan terhadap hidup manusia dan HAM lainnya. 2.
kejujuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap manusia lainnya(honesty). 3. Keadilan dan
kepantasan merupakan sikap yang terutama harus diperlakukan terhadap orang lain. 4. kekuatan
moralitas, ketabahan serta berani karena benar terhadap godaan(fortitude). 5. Kesederhanaan dan
pengendalian diri (temperance). 6. Nilai-nilai agama dan sosial budaya termasuk nilai agama agar
manusia harus bertindak secara profesionalisme dan bekerja keras. Karena pemerintahan itu sendiri
menyangkut cara pencapaian negara dari prespekti dimensi politis, maka dalam perkembangannya etika
pemerintahan tersebut berkaitan dengan etika politik. Etika politik subyeknya adalah negara, sedangkan
etika pemerintahan subyeknya adalah elit pejabat publik dan staf pegawainya. Etika politik berhubungan
dengan dimensi politik dalam kehidupan manusia yaitu berhubungan dengan pelaksanaan sistem politik
seperti contoh : tatanan politik, legitimasi dan kehidupan politik. Bentuk keutamaannya seperti prinsip
demokrasi(kebebasan berpendapat), harkat martabat manusia (HAM), kesejahteraan rakyat. Etika
politik juga mengharuskan sistem politik menjunjung nilai-nilai keutamaan yang harus dapat
dipertanggungjawabkan secara etis maupun normatif. Misalnya legitimasi politik harus dapat
dipertanggungjawabkan dengan demikian juga tatanan kehidupan politik dalam suatu negara. Etika
pemerintahan berhubungan dengan keutamaan yang harus dilaksanakan oleh para elit pejabat publik
dan staf pegawai pemerintahan. Oleh karena itu dalam etiak pemerintahan membahas prilaku
penyelenggaraan pemerintahan, terutama penggunaan kekuasaan, kewenangan termasuk legitimasi
kekuasaan dalam kaitannya dengan tingkah laku yang baik dan buruk. Wujud etika pemerintahan
tersebut adalah aturan-aturan ideal yang dinyatakan dalam UUD baik yang dikatakan oleh dasar negara
(pancasila) maupun dasar-dasar perjuangan negara (teks proklamasi). Di Indonesia wujudnya adalah
pembukaan UUD 1945 sekaligus pancasila sebagai dasar negara (fundamental falsafah bangsa) dan
doktrin politik bagi organisasi formil yang mendapatkan legitimasi dan serta keabsahan hukum secara de
yure maupun de facto oleh pemerintahan RI, dimana pancasila digunakan sebagai doktrin politik
organisasinya. MAKNA ETIKA PEMERINTAHAN Etika berkenaan dengan sistem dari prinsip – prinsip
moral tentang baik dan buruk dari tindakan atau perilaku manusia dalam kehidupan sosial. Etika
berkaitan erat dengan tata susila ( kesusilaan ), tata sopan santun ( kesopanan ) dalam kehidupan
sehari-hari yang baik dalam keluarga, masyarakat, pemerintahan, bangsa dan negara. Etika dalam
kehidupan didasarkan pada nilai, norma, kaidah dan aturan. Etika berupa : etika umum ( etika sosial )
dan etika khusus ( etika pemerintahan ). Dalam kelompok tertentu dikenal dengan etika bidang
profesional yaitu code PNS, code etik kedokteran, code etik pers, kode etik pendidik, kode etik profesi
akuntansi, hakim, pengacara, dan lainnya. Contoh kasus PT. Kimia Farma Tbk. Pada tahun 2002
mengindikasikan adanya praktik earning management dengan menaikan laba hingga Rp 32,7 milyar. PT.
Indofarma pada tahun 2004 melakukan praktik earning management dengan menyajikan overstated
laba bersih senilai Rp 28,870 milyar, sebagai dampak dari penilaian persediaan barang dalam proses
yang lebih tinggi dari yang seharusnya, sehingga harga pokok penjualan tahun tersebut understated.
Skandal keuangan juga terjadi di negara maju, seperti di Amerika Serikat (AS), antara lain Enron, Merck,
World Com dan mayoritas perusahaan lain di Amerika Serikat (Cornett, et al., 2006). Dengan melihat
beberapa contoh kasus di atas, sangat relevan bila ditarik suatu pertanyaan tentang efektivitas
penerapan good corporate governance (GCG), khususnya pada perusahaan manufaktur yang listing di
BEI, karena terdapat perusahaan manufaktur yang terindikasi melakukan earning management.
Corporate governance (CG) memberikan suatu struktur yang memfasilitasi penentuan sasaran-sasaran
dari suatu perusahaan, dan sebagai sarana untuk menentukan teknik monitoring kinerja (Darmawati, et
al., 2004). Murhadi (2009) dalam penelitiannya terhadap perusahaan go public di Indonesia menemukan
bahwa praktik GCG berpengaruh signifikan terhadap praktik earning management yang dilakukan oleh
suatu perusahaan. Namun dari lima indikator GCG yang berpengaruh signifikan hanya dua yakni CEO
duality dan Top Share. Dualisme antara pemilik yang sekaligus menjadi CEO mendorong peningkatan
terjadinya praktik earning management. Sementara itu, adanya pemegang saham pengendali yang
berbentuk institusi mendorong pengawasan menjadi lebih profesional sehingga berdampak pada
penurunan praktik earning management. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Iqbal (2007)
menyatakan bahwa ukuran dan jumlah dewan direksi berpengaruh signifikan terhadap earning
management dengan arah positif. Penelitian ini termotivasi dari penelitian sebelumnya, namun terdapat
perbedaan. Penelitian ini meneliti pengaruh GCG terhadap earning management dengan menggunakan
persyaratan GCG yang telah ditetapkan KNKG (2006) yang digunakan sebagai persyaratan variabel
independen dummy yaitu perusahaan yang menerapkan GCG dengan perusahaan yang tidak
menerapkan GCG. Syarat-syarat yang di tetapkan Komite Nasional Kebijakan Governance/KNKG (2006)
adalah perusahaan publik harus memiliki organ perusahaan diantaranya adalah RUPS, Dewan Komisaris,
Komite Audit, Dewan Direksi dan Sekretaris Perusahaan. Sedangkan penelitian sebelumnya
menggunakan komite audit, komisaris independen, CEO duality, Top Share koalisi pemegang saham,
ukuran dan jumlah dewan direksi. Penelitian ini berupa studi empiris pada perusahaan manufaktur yang
listing di Bursa Efek Indonesia. Dewasa ini pengidentifikasian kecurangan laporan keuangan
dipandangsebagai masalah serius oleh profesi akuntansi. Hal itu disebabkan semakinbesarnya kerugian
yang ditimbulkan kecurangan. Di Amerika kecurangan danpenyalahgunaan wewenang telah
menyebabkan kerugian yang diderita olehorganisasi sebesar US$ 400 Milyar per tahun. Rata-rata setiap
organisasikehilangan pendapatannya 6% dari total pendapatan tahunan karena kecurangan
manajemen.Kecurangan laporan keuangan diyakini berkaitan dengan kecurangan manajemen, yang
membutuhkan solusi, walaupun profesi akuntansi seperti AICPA mengakui sangat sulit untuk
mendapatkan solusi yang tepat untuk permasalahantersebut. Oleh sebab itu diterbitkanlah SAS. 82.
yang menyatakan bahwapertimbangan kecurangan dalam laporan keuangan berhubungan signifikan
dengankecurangan manajemen (AICPA, 1997). Standar tersebut mengamandementanggung jawab
auditor dengan memasukan tanggung jawab auditor untukmenemukan alasan untuk menjamain bahwa
laporan keuangan yang telahdiauditnya bebas dari kesalahan pelaporan yang material, termasuk
kecurangan. DiIndonesia, walaupun tidak diatur secara tersendiri, standar profesional akuntanpublik
(SPAP) No. 32 paragraf 05 dan 06 menyatakan bahwa akuntan pemeriksamemiliki tanggungjawab untuk
menditeksi kekeliruan dan ketidakberesan.Perhatian terhadap kecurangan manajemen semakin besar,
ditandai dengan munculnya suatu assosiasi yang mengkhususkan pada penditeksian
kecuranganmanajemen. Assosiasi ini muncul pertaman sekali di Amerika Utara dan Eropayang
diberinama Certified Fraud Examiners (CFE). Assosiasi tersebutberanggotakan orang dari berbagai
profesi seperti auditor, akuntan, penyidikkecurangan, specialist pencegah kerugian, pengacara,
pendidik, dan ahlikriminologi. Gambar 1 memperlihatkan persentase kecurangan (fraud yangdilakukan
oleh berbagai kalangan di dalam perusahaan. Perlu disadari bahwa selama ini terdapat perbadaan
persepsi antara auditordengan pemakai laporan keuangan (publik) mengenai kecurangan dalam
laporankeuangan. Auditor memandang menemukan kecurangan manajemen merupakanperanan kedua
dari proses audit, sedangkan pemakai laporan keuanganmenganggap auditor mampu menditeksi segala
bentuk kecurangan yang dilakukanoleh manajemen berkaitan dengan laporan keuangan.
http://nuryana26.wordpress.com/2014/01/05/etika-governance/

Anda mungkin juga menyukai